Blok 12 Tetanus

Post on 06-Dec-2015

241 views 3 download

description

..

Transcript of Blok 12 Tetanus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus yang diberikan pada Problem Based Learning kali ini adalah seorang laki-laki

yang mengalami kejang opistotonus. Pasien ini sulit makan / menelan dan mengalami

demam. Dari alloanamnesis, didapatkan informasi, pasien pernah tertusuk paku pada

kaki kanannya sejak 12 hari yang lalu namun tidak diobati. Pada pemeriksaan fisik,

terlihat pasien tampak sakit sedang dan mulut terbuka maksimal hanya 2 jari. Selain itu

terdapat kekakuan pada otot wajah, leher dan anggota gerak. Perut kaku seperti papan

dan pada telapak kaki kanan bengkak dengan kulit tegang kemerahan. Pada telapak kaki

kanan juga ditemukan luka tusuk yang dalam dan bernanah. Hasil pemeriksaan : TD

130/80 mmHg, N 88x/menit, frekuensi napas 28x/menit, suhu tubuh 38,80 C.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dan manfaat penulisan ini adalah:

a. Mahasiswa mampu menegakkan working diagnosis dan differensial diagnosis dari

anamnesis, pemeriksaan umum serta pemeriksaan penunjang yang meliputi

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan tambahan bagi pasien dengan

keluhan tersebut.

b. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi, epidemiologi, komplikasi dari diagnosis

tersebut.

c. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep proses patofisiologis masalah pasien

tersebut.

d. Mahasiswa mampu untuk melakukan penatalaksaan yang tepat bagi pasien yang

didiagnosis dari keluhan  tersebut.

e. Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis dari diagnosis tersebut.

1

1.3 Hipotesis

Adapun hipotesis yang diambil oleh kelompok kami adalah,

Pasien dengan keluhan kejang opistotonus, kekakuan pada otot wajah, leher, anggota

gerak, juga bentuk perut seperti papan, dan ditemukan luka tusuk yang bernanah pada

kaki kanan, kemungkinan terinfeksi Clostridium tetanii dan menderita tetanus tingkat

berat.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah menggunakan metode deskriptif.

2

BAB II

ISI

2.1 Anamnesis

Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat

penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur

dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk

menegakkan diagnosis. Anamnesis dapat langsung dilakukan pada pasien (auti-

anamnesis) atau terhadap keluarga atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan

pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai, misalnya dalam keadaan gawat-

darurat, afasia akibat strok dan lain sebagainya.1

Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita),

riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan system dan anamnesis pribadi

(meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan).1

IDENTITAS

Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, nama orang tua

atau suami atau istri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan,

suku bangsa, dan agama.

KELUHAN UTAMA (Chief Complaint)

Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien

pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama

harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal

tersebut. Dalam kasus ini, keluhan utama pasien adalah kejang opistotonus.

Selain itu pasien juga sulit makan/menelan dan demam.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan

jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai

pasien datang berobat. Dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan

mendapatkan data-data sebagai berikut :

3

1. Waktu dan lamanya keluhan berlangsung

2. Sifat dan beratnya serangan, misalnya mendadak, perlahan-lahan, terus

menerus, hilang timbul, cenderung bertambah atau berkurang, dan

sebagainya.

3. Lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, berpindah-pindah.

4. Hubungannya dengan waktu, misalnya pagi lebih sakit daripada siang dan

sore, atau sebaliknya, atau terus menerus tidak mengenal waktu.

5. Hubungannya dengan aktivitas, misalnya bertambah berat jika melakukan

aktivitas atau bertambah ringan bila beristirahat.

6. Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, misalnya keluhan yang

mendahului serangan, atau keluhan yang bersamaan dengan serangan.

7. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.

8. Faktor risiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang

memperberat atau meringankan serangan.

9. Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang

sama.

10. Riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu.

11. Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala

sisa.

12. Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang

telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan

dengan penyakit yang sedang diderita.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan

antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Tanyakan

pula apakah pasien pernah menderita kecelakaan, menderita penyakit berat dan

menjalani operasi tertentu, memiliki riwayat alergi pada obat-obatan dan

makanan tertentu, dan lain-lain.

RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA

Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit

infeksi.

RIWAYAT PRIBADI

Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.

Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam sehari-hari

4

seperti masalah keuangan, pekerjaan, dan sebagainya. Kebiasaan pasien juga

harus ditanyakan, seperti merokok, memakai sandal saat bepergian, minum

alcohol, dan sebagainya. Selain itu juga pada pasien yang sering bepergian,

perlu ditanyakan apakah baru saja pergi dari tempat endemik penyakit infeksi

menular. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah lingkungan tempat tinggal

pasien, termasuk keadaan rumahnya, sanitasi, sumber air minum, tempat

pembuangan sampah, ventilasi, dan sebagainya.

2.2 Pemeriksaan Fisik & Penunjang

2.2.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat

temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan

visual atau pemeriksaan pandang (Inspeksi), periksa raba (Palpasi), pemeriksaan

ketok (Perkusi), dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan steteskop

(Auskultasi). 1

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pasien adalah :

Keadaan Umum

Keadaan umum pasien dapat diperhatikan dari ekspresi wajahnya, gaya

berjalannya, dan tanda-tanda spesifik lainnya yang segera tampak begitu kita

melihat pasien. Selain itu, keadaan umum juga termasuk keadaan gizi dan

habitus (ideal=atletikus, kurus=astenikus, lebih=piknikus).

Kesadaran

Keadaan pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien

yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Bila perlu, tingkat

kesadaran dapat diberikan dengan rangsang nyeri.

Tanda-tanda Vital (Suhu, Tekanan Darah, Nadi, Frekuensi Pernapasan)

Suhu normal tubuh adalah 360-370C.

Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg.

Nadi normal adalah 80-100 kali/menit. Lebih dari 100 disebut takikardia,

kurang dari 80 disebut bradikardia.

5

Frekuensi pernapasan normal adalah 16-24 kali/menit. Lebih dari 24 disebut

takipneu, kurang dari 24 disebut bradipneu.

Kulit & Warna Kulit

Kualitas kulit pasien harus diperiksa agar dapat membantu menegakkan

diagnosis yang tepat. Diantaranya adalah kelembaban kulit, elastisitas kulit

(turgor), atrofi atau hipertrofi kulit.

Warna kulit juga harus diperiksa, apakah ada eritema (kemerahan akibat

vasodilatasi kapiler), dll..

Lesi Lain pada Kulit

Apakah terdapat edema (bengkak), atau nanah.

Kepala dan Wajah

Keadaan wajah, mata, telinga, mulut, rambut, kepala, hidung, mulut, faring,

laring, leher, juga harus diperiksa dengan seksama agar didapatkan data yang

diperlukan.

Punggung & Pinggang

Pemeriksaan ini harus dilakukan bila ditemukan danya nyeri radikuler,

deformitas tengkuk, punggung dan pinggang, nyeri disekitar vertebra,

gangguan miksi dan defekasi, serta kelemahan lengan dan tungkai.

Ekstremitas (Otot, Sendi, Sensibilitas, Nyeri)

Perhatikan bentuk otot (eutrofi, hipertrofi, atrofi) dan tonus otot (hipertonus,

hipotonus). Apakah sendi-sendi dapat berfungsi dengan baik.

Pemeriksaan sensibilitas dilakukan dengan tes rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu,

rasa gerak, rasa sikap, rasa getar, rasa tekan, rasa nyeri dalam. Dan memeriksa

nyeri dan reaksi terhadap sensasi tersebut. Untuk pemeriksaan ekstremitas,

dilakukan tes refleks.

2.2.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disarankan kepada pasien dapat berupa pemeriksaan

darah. Pemeriksaan darah guna memeriksa jumlah leukosit. Elektromyogram dan

EKG juga diperlukan untuk melihat impuls unit-unit motorik dan kerja jantung. 1

2.3 Diagnosis Kerja & Diagnosis Banding

6

2.3.1 Diagnosis Banding (Differensial Diagnosis)

1. Keracunan Striknin

Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan

farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat

yang bekerja secara sentral. Striknin bekerja dengan cara mengadakan

antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di

daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai

transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yang lebih tinggi

di SSP.

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini

merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Striknin

ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek

striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya

disebut konvulsi spinal.

Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan

leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.

Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,

akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap

hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang

menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh.

Napas terhenti karena kontraksiotot diafragma, dada dan perut. Episode

kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan

adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat,

dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya

disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas.

Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yanghebat dapat

menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang

terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.

2. Trismus

7

Trismus didefinisikan sebagai suatu kontraksi tonik dari otot mastikasi.

Dahulu istilah trismus digunakan untuk menggambarkan gejala klinis dari

tetanus, yaitu lock jaw atau rahang yang terkunci, yaitu suatu gejala klinis

yang disebabkan oleh toksin tetanus terhadap kontraksi otot mastikasi atau

pengunyah. Saat ini istilah trismus digunakan untuk menggambarkan setiap

bentuk keterbatasan dalam membuka mulut, termasuk di dalamnya akibat dari

trauma, pembedahan dan radiasi. Keterbatasan dalam membuka mulut ini atau

trismus dapat menimbulkan masalah terhadap kesehatan, termasuk di

dalamnya kekurangan zat-zat nutrisi akibat gangguan mengunyah makanan,

gangguan dalam berbicara, dan pengaruhnya terhadap kesehatan mulut dan

gigi. Pada orang yang mengalami rasiasi pada daerah leher dan kepala,

permasalahan tersebut sering muncul bersamaan dengan gangguan dalam

menelan.

Trismus dapat mempengaruhi kualitas hidup si penderita dalam berbagai cara.

Komunikasi akan sulit dilakukan jika seseorang mengalami trismus. Tidak

hanya gangguan dalam berbicara akibat mulut tidak bisa terbuka dengan

sempurna, tetapi juga terdapat gangguan dalam artikulasi dan resonsi suara

sehingga kualitas suara yang dikeluarkan akan menurun. Pada penderita yang

mengalami trismus akan mengalami gangguan kesehatan mulut karena sulit

melakukan gerakan mengunyah dan menelan, dan akan terjadi peningkatan

resiko terjadinya aspirasi.

Gambaran yang utama dari trismus adalah gangguan dalam membuka mulut.

Pada pasien yang menderita kanker hal ini biasanya terjadi akibat radiasi atau

pembedahan, kerusakan pada saraf, atau gabungan dari berbagai faktor. Pada

penderita stroke, hal ini terjadi akibat gangguan pada SSP. Gangguan bicara

dan menelan sering mengiringi gangguan dalam membuka mulut, dan

kombinasi dari gejala tersebut akan menyulitkan penanganan pada penderita.

Pada penderita yang mengalami trismus akibat terapi radiasi, juga sering

mengalami xerostomia, mucusitis dan nyeri yang timbul dari luka bakar

radiasi. Semua hal tersebut sering dihubungkan dengan gejala klinis lain yang

ditemukan, seperti sakit kepala, nyeri pada rahang, nyeri telinga, ketulian,

atau nyeri pada pergerakan rahang. Pada kasus temporomandibular yang

mengalami kekakuan, biasanya joint tersebut mengalami proses pembentukan

8

jaringan ikat atau ankylosis (jarang terjadi). Masing-masing faktor tersebut

akan mempengaruhi penanganan pada penderita

3. Meningitis

Meningitis adalah suatu infeksi/peradangan dari meninges, lapisan yang

tipis/encer yang mengepung otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung,

disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa, yang dapat terjadi

secara akut dan kronis. Meningitis adalah infeksi yang menular. Sama seperti

flu, pengantar virus meningitis berasal dari cairan yang berasal dari

tenggorokan atau hidung. Virus tersebut dapat berpindah melalui udara dan

menularkan kepada orang lain yang menghirup udara tersebut.

Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk

dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh

mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus,

yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam

sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun. Tanda Kernig’s dan Brudzinky

positif.

4. Histeria

Histeria merupakan neurosis yang ditandai dengan reaksi-reaksi emosional

yang tidak terkendali sebagai cara untuk mempertahankan diri dari

kepekaannya terhadap rangsang-rangsang emosional. Pada neurosis jenis ini

fungsi mental dan jasmaniah dapat hilang tanpa dikehendaki oleh penderita.

Gejala-gejala sering timbul dan hilang secara tiba-tiba, teruma bila penderita

menghadapi situasi yang menimbulkan reaksi emosional yang hebat.

Histeria digolongkan menjadi 2, yaitu reaksi konversi atau histeria minor dan

reaksi disosiasi atau histeria mayor.

Histeria minor atau reaksi konversi

Pada histeria minor kecemasan diubah atau dikonversikan (sehingga

disebut reaksi konversi) menjadi gangguan fungsional susunan saraf

somatomotorik atau somatosensorik, dengan gejala : lumpuh, kejang-

kejang, mati raba, buta, tuli, dst.

Histeria mayor atau reaksi disosiasi

Histeria jenis ini dapat terjadi bila kecemasan yang yang alami penderita

demikian hebat, sehingga dapat memisahkan beberapa fungsi kepribadian

satu dengan lainnya sehingga bagian yang terpisah tersebut berfungsi secara

9

otonom, sehingga timbul gejala-gejala : amnesia, somnabulisme, fugue, dan

kepribadian ganda.

2.3.2 Diagnosis Kerja (Working Diagnosis) : Tetanus

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus

otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospamin, suatu toksin protein yang

kuat yang dihasilkan Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus,

termasuk diantaranya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan

neurologis lokal.

a. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini termasuk bakrteri

gram positif, berbentuk batang, selalu bergerak, dan merupakan bakteri

anaerob obligat yang menghasilkan spora. Bakteri ini menghasilkan efek-efek

klinis melalui eksotoksin yang kuat. Beberapa jenis Clostridium tetani dapat

dibedakan berdasarkan antigen, flagelar spesifik. Semua mempunyai antigen

O (somatik) yang sama, yang dapat disamarkan, dan menghasilkan jenis

antigenic neurotoksin yang sama, yaitu tetanospasmin. 1,2

b. Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non-

imun, individu dengan imunitas parsial, dan individu dengan imunitas penuh

yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan

vaksinasi ulangan. Tetanus ditemukan diseluruh dunia, terutama di negara

beriklim tropis dan Negara yang sedang berkembang, seperti Brasil, Filipina,

Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini paling sering

terjadi di daerah pertanian, pedesaan, pada daerah beriklim hangat selama

musim panas dan pada penduduk pria. Pada negara-negara tanpa program

imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan

anak-anak.1

Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995,

tetanus tetap bersifat endemik pada negra-negara berkembang dab WHO

memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh

10

dunia pada tahun 1992, termasuk di dalamnya 580.000 kematian akibat

tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara, dan 152.000 di Afrika.

Penyakit ini jarang dijumpai pada negara-negara maju. Di Afrika Selatan,

dilaporkan kira-kira 300 kasus per tahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan

terjadi tiap tahun di Inggris. 1,2

Di Amerika Serikat, sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut,

seperti luka tusuk, laserasi, atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di

dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang

lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar ataupun luka

kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada

beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat

merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangren.

Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah,

pembedahan, aborsi, dan persalinan. 1

Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey

serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan

antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72%

penduduk Amerika Serikat berusia diatas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus.

Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91% persentase ini menurun

dengan bertambahnya usia; 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45%,

wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.1

c. Patogenesis

Clostridium tetani bukan organisme invasif. Spora Clostridium tetani ini

sering mengkontaminasi luka. Sedangkan Clostridium tetani sendiri tidak

menyebabkan inflamasi (radang) dan port d’entrae tetap tampak tenang tanpa

tanda inflamasi kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme lain. Infeksi

tetap bersifat lokal di daerah yang mengalami devitalisasi (luka bakar, luka,

cidera, sisa umbilikus, jahitan bedah). Spora tersebut masuk ke dalam area

luka. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada daerah nekrotik dan

terinfeksi, spora tetanus mensekresikan dua macam toksin, yaitu

tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak

jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan

11

mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.

Tetanospamin menghasilkan sindroma klinis tetanus. 1,2,3

Jika toksin yang dihasilkan banyak ia akan memasuki aliran darah dan

kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf diseluruh tubuh.

Toksin itu kemudian menyebar dan ditransportasikan ke dalam akson dan

secara retrograd ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. Transport

terjadi pertama kali pada saraf motorik lalu ke saraf sensorik dan saraf

otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel ia akan berdifusi keluar dan

akan masuk untuk mempengaruhi neuron didekatnya. Apabila interneuron

inhibitoris spinal terpengaruh, maka gejala-gejala tetanus akan muncul.

Transport interneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya

toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer

melewati celah sinaptik dengan sukatu mekanisme yang tidak jelas. 1,2,3

Toksin ini mempunyai efek dominan terhadap neuron inhibitorik dimana

setelah toksin menyebrangi sinaptik untuk mencapai presinaptik, ia akan

memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitor yaitu glisin dan asam amino

butirit (gaba). Pada tetanus efek inhibitorik neuron motorik lebih berpengaruh

daripada berkurangnya fungsi pada neuronmuskular. Pusat medulla dan

hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Aliran efferent yang tak terkendali

pada saraf motorik pada chorda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan

dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konfusi. Reflek inhibisi dari

kelompok otot antagonis hilang. Sedangkan otot-otot antagonis dan agonis

berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat

frakture dan ruptur tendon. Otot rahang wajah dan kepala sering terlibat

pertama kali. Karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh

mengikuti, sedangkan otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat.

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya

control otonom dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar

katekolamin plasma yang berlebihan.

Terikatnya toksin pada neuron bersifat irreversible. Pemulihan membutuhkan

tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus

berdurasi lama.

Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginnervasi otot yang

bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin

12

dilepaskan di dalam luka, memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas

mencapai ujung saraf terminal : sawar darah otak memblokade masuknya

toksin secara langsung ke sistem saraf pusat. Toksin tersebut menyebar

sepanjang saraf ke sistem saraf pusat tempat toksin ini berikatan dengan

gangliosida, menekan pelepasan neurontransmitter inhibisi dan menyebabkan

spasme otot. Kematian dapat terjadi akibat tidak dapat bernapas. 1,2,3

d. Manifestasi Klinis

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan

tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus.

Tetanus juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren,

luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi

septik, persalinan, injeksi intramuskular, dan pembedahan. Beberapa jenis

tetanus adalah :

Tetanus Generalisata

Merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang ditandai dengan

meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi

bervariasi, tergantung dari lokasi luka, dan lebih singkat pada tetanus

berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam

3 hari dan 10% terjadi setelah 14 hari. 1

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat

disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk

membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot

masseter menyebabkan trismus ‘rahang terkunci’. Spasme secara

progresif meluas ke otot-otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang

khas ‘risus sardonicus’ dan meluas ke otot-otot menelan yang

menyebabkan disfagia. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala.

Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan

menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat.

Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran

tidak terpengaruh. 1

Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat

episodik. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada

kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini

13

dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus

visual, auditori, atau emosional.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata,

otot-otot diseluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher

biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang

progresif keseluruh tubuh.

Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat

meninggal akibat gagal napas akut. Seiring dengan perkembangan

penelitian, tetanus terbukti mempengaruhi saraf simpatis sehingga

meningkatkan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten dan

hipertensi. Juga dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia,

keringat berlebihan.

Tetanus Neonatorum

Biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal jika tidak

diterapi. Dijumpai pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak

diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan

tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali

pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan

memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu kehidupan

pertama. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, dan spasme merupakan

ciri khas tetanus neonatorum. 90% pasien meninggal, dan retardasi

mental pada yang bertahan hidup. 1

Tetanus Lokal

Merupakan bentuk yang jarang, dimana manifestasi klinisnya terbatas

hanya di otot-otot sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran

toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat

ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Prognosisnya baik.

Tetanus Sefalik

Merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah

trauma kepala dan infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai

trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah

saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi.

Mortalitasnya tinggi. 1

14

Perjalanan Klinis

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-

rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari.

Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)

bervariasi antara 1-7 hari.

Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan

penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan

spasme otot yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai

beberapa hari setelah spasme dan bertahan 1-2 minggu. Spasme berkurang

setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama. Pemulihan terjadi

karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin.

Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. 1

Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan.

Sistem yang paling sering dipakai adalah oleh Ablett : 1

- Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan

pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

- Derajat II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas tampak jelas, spasme singkat ringan sampai

sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan

lebih dari 30x, disfagia ringan.

- Derajat III (berat)

Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan,

frekuensi pernapasan lebih dari 40x, serangan apnea, disfagia berat dan

takikardia lebih dari 120.

- Derajat IV (sangat berat)

Derajat tiga dengan gangguan ototnomik berat melibatkan sistem

kardiovaskular, hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan

dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

Selain itu ada pula cara Phillips, dengan menggunakan score (angka) :

15

No Tolak Ukur Keterangan Nilai

1 Inkubasi <48 jam 5

2-5 hari 4

6-10 hari 3

11-14 hari 2

>14 hari 1

2 Lokalisasi

Infeksi / Port d’

entrae

Internal / Umbilikal 5

Leher, kepala badan, dinding tubuh 4

Ekstremitas proksimal 3

Ekstremitas distal 2

Tidak diketahui 1

3 Imunisasi Tidak ada 10

Mungkin ada, ibu 8

>10 tahun yang lalu 4

<10 tahun yang lalu 2

Proteksi lengkap 0

4 Faktor yang

memberatkan

Penyakit / trauma yg membahayakan jiwa 10

Keadaan yg tidak langsung membahayakan

jiwa

8

Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4

Trauma / penyakit ringan 2

ASA- derajat status fisik penderita 1

Dari score yang didapatkan, tentukan derajat beratnya penyakit :

Tetanus Ringan :       < 9

Tetanus Sedang :       9 – 16

Tetanus Berat :       > 16

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit tetanus dilakukan dalam dua cara, yaitu :

Medikamentosa

Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan : organisme yang

terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan

toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf

16

pusat hendaknya dinetralisir; dan efek dari toksin yang telah terikat pada

sistem saraf pusat diminimisasi.

Penatalaksanaan Umum

Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di

mana pasien bisa selalu di observasi dan dipantau kardiopulmonernya

sehingga dapat meminimalisasi stimulasi. Perlindungan terhadap jalan

napas bersifat vital. Namun perlu diperhatikan, pada perawatan ICU,

pasien sering mendapatkan komplikasi infeksi nosokomial terutama

pneumonia (akibat ventilator), sepsis generalisata, tromboembolisme,

dan perdarahan gastrointestinal. Selain itu, luka hendaknya

dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridemen

secara menyeluruh. 1

Netralisasi dari Toksin yang Bebas

Paling baik adalah memberikan antitoksin sebelum memanipulasi

luka. Karena antitoksin dapat menurunkan mortalitas dengan

menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka

yang belum terikat, walaupun toksin sudah melekat pada jaringan

saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin Tetanus Manusia (TIG)

merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan

dosis 3000-6000 unit intramuskular, biasanya dengan dosis terbagi

karena volumenya besar. 1

Menyingkirkan Sumber Infeksi

Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara

bedah. Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik

diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai

sumber toksin. Metronidazol merupakan antibiotik pilihan.

Dilakukan dengan dosis 500mg tiap 6 jam atau 1gr tiap 12 jam.

Metronidazol aman dan pada penelitian yang membandingkan dengan

penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi

dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak

menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang

ditunjukkan oleh penisilin. Eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan

klindamisin dapat diterima sebagai alternatif apabila pasien alergi

terhadap penisilin. 1,4

17

Pengendalian Rigiditas dan Spasme

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun

kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan

dapat mengancam respirasi karena menyebabkan laringospasme atau

kontraksi secara terus-menerus otot pernapasan. Regimen yang ideal

adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa

menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari

stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi

dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat

agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada

reseptor GABA. Pilihan lain adalah lorazepam dengan durasi aksi

yang lebih lama dan midazoloam dengan waktu paruh yang lebih

singkat. Midazoloam telah dipakai dengan akumulasi yang lebih

ringan. Sebagai sedasi tambahan, dapat diberikan antokonvulsan,

terutama fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas

GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin.

Diantara obat-obat baru, pipekuronium dan rokuronium merupakan

obat kerja panjang yang ‘bersih’ tapi mahal. Penggunaan dantrolen

untuk mengontrol spasme refrakter juga menunjukkan hasil yang

baik. Sebagai alternatif lain adalah propofol yang mahal dan baklofen

intratekal, yang sedang diteliti dengan harapan dapat memperpendek

periode paralisis teraputik. Baklofen intratekal (suatu agonis

GABAB) telah dilaporkan pada sedikit kasus dengan tingkat

keberhasilan yang bervariasi. Suksinilkolin merupakan alternatif,

namun berkaitan dengan hiperkalemia. Pemberian magnesium sulfat

membutuhkan pemantauan neurologis (refleks patella) dan fungsi

pernapasan serta pengukuran kadar magnesium serum setiap hari. 1,4

Penatalaksanaan Respirasi

Instubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik

mungkin dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi

berlebihan atau laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh

pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau disfagia.

Kebutuhan akan prosedur ini harus diantisipasi dan diterapkan secara

selektif dan secara dini. 1

18

Pengendalian Disfungsi Otot

Sedasi sering merupakan terapi pertama. Benzodiazepin,

antikonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan. Morfin

terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi

tanpa gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20-180mg per

hari. Mekanisme aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian

opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis dan pelepasan

histamin, Fenothiazin, terutama klorpromazin merupakan sedatif

yang berguna, antikolirgenik dan antagonis a adrenergik dapat

berperan terhadap stabilitas kardiovaskular.

Kematian mendadak akibat henti jantung merupakan karakteristik

tetanus berat. Penyebabnya masih belum jelas, tetapi penjelasan yang

dapat dipercaya mencakup mendadak hilangnya pacuan saraf

simpatis, kerusakan jantung yang diinduksi oleh katekolamin, dan

meningkatnya tonus parasimpatis atau suatu ‘badai’. Obat-obatan

pemblokade adrenergik α dan post ganglionik seperti nethanidin,

guanetidin, dan fentolamin telah sukses dipergunakan dengan

pronanolol bersama dengan obat-obatan lain yang mirip trimetafan,

fenoksibenzamin, dan reserpin. Kerugian penggunaan kelompok

obat ini adalah bahwa hipotensi yang terinduksi mungkin sulit diatasi,

takifilaksis terjadi, dan lepas obat akan menyebabkan terjadinya

hipertensi.

Selain itu, adalah perlu untuk menjaga kadar magnesium dalam tubuh

pasien, walaupun belum dilakukan penelitian lebih lanjut, namun

magnesium memiliki kaitan dengan efek fisiologis terhadap

neuromuskuler pada keadaan tetanus berat sehingga penting dalam

pemberian dosis obat-obatan tertentu.

Beberapa macam obat potensial untuk dipergunakan di masa yang

akan datang adalah Natrium Valproat yang memblokade GABA-

aminotransferase sehingga menghambat katabolisme GABA.

Deksmetodimid, agonis a 2 adrenergik yang lebih poten daripada

klonidin, mungkin juga mempunyai efek dalam menurunkan aktivitas

simpatis yang berlebihan. Adenosin, yang menurunkan pelepasan

norepineprin presinaptik dan melawan efek inotropik dari

19

katekolamin, bersifat potensial secara teoritis. Sampai saat ini

penggunaanya pada kondisi tetanus belum didiskusikan.

Hipotensi dan brakikardia mungkin memerlukan ekspansi volume,

penggunaan vasopressor atau agen kronotropik atau insersi pace

maker. 1,4

Penatalaksanaan Intensif Suportif

Turunnya berat badan umum terjadi pada pasien tetanus. Faktor yang

ikut menjadi penyebabnya mencakup ketidakmampuan menelan,

meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia dan aktivitas

muskular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu

nutrisi hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutrisi enteral berkaitan

dengan insidensi komplikasi yang rendah dan lebih murah daripada

nutrisi parenteral. Gastronosomi perkutaneus dapat menghindari

komplikasi berlebihan dengan pemberian makanan melalui tube

nasogastrik dan mudah sekali dilakukan di ICU di bawah sedasi.

Melindungi jalan napas pada tahap awal penyakit dan mencegah

aspirasi dan sepsis merupakan langkah untuk mencegah terjadinya

infeksi pneumonia akibat ventilator yang tidak steril. 1

Penatalaksanaan Lain

Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan

cairan yang tak nampak dan kehilangan cairan yang lain, yang

mungkin signifikan; kecukupan kebutuhan gizi yang meningkat

dengan pemberian enteral maupun parenteral; fisioterapi untuk

mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang

lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih dan

saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus

dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. 1

Vaksinasi

Pasien yang telah sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif

diimunisasi karena imunitas tidak diinduksi dari toksin dalam jumlah

kecil yang menyebabkan tetanus.1

Nonmedikamentosa

20

Adalah penatalaksanaan berupa edukasi pasien. Perlu dijelaskan efek

samping dari setiap obat-obatan yang dipakai, sehingga pasien tidak

merasa kaget atau panik ketika efek samping dari obat-obatan tersebut

muncul. Seperti pada penggunaan obat suksinilkolin dapat menyebabkan

hiperkalemia, dan berbagai efek samping lainnya. Selain itu, perlu

mengedukasi pasien dan keluarganya tentang bahaya penyakit, dan cara-

cara untuk mencegahnya. Juga berapa lama waktu pengobatannya dan

bagaimana prognosisnya, semuanya harus dijelaskan kepada pasien dan

keluarganya.

f. Pencegahan

Pencegahan untuk tetanus dapat dilakukan dengan cara, antara lain :

Imunisasi Aktif berupa pemberian tetanus toksoid. Semua individu dewasa

yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapat vaksin

tetanus, seperti halnya pasien yang sembuh dari tetanus. Vaksinasi pada

dewasa terdiri atas 3 dosis, dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-

8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6-8 bulan sejak dosis pertama. Dosis

ulangan diberikan setiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade

pertengahan seperti 35, 45, dst. Namun demikian, pemberian vaksin lebih dari

5 kali tidak diperlukan. Untuk individu diatas 7 tahun, kombinasi tetanus

toksoid dan difteri yang diabsorpsi lebih dipilih. Vaksin yang diabsorpsi lebih

disukai karena menghasil titer antibodi yang lebih menetap daripada vaksin

cair. 1

Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya

imunisasi pasif TIG dan imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk

individu usia diatas 7 tahun. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu

pada luka derajat sedang adalah 250 unit IM yang menghasilkan kadar

antibodi serum protektif paling sedikit 4-6 minggu. 1

Untuk pencegahan tetanus neonatorum sebaiknya dilakukan vaksinasi

maternal, bahkan selama kehamilan. Upaya untuk meningkatkan proporsi

kelahiran yang dilakukan dirumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non

medis. 1

g. Prognosis

21

Prognosis adalah perkiraan apakah pasien bisa sembuh atau tidak atau dengan

formulasi yang lebih subjektif, yang berarti apakah dengan ilmu dan

pengalaman yang dimilikinya, dokter mampu menyembuhkan penyakit yang

di derita pasien atau tidak. 5

Adapun prognosis untuk penyakit pasien terbagi menjadi tiga, yaitu prognosis

ad vitam (hidup-matinya), prognosis ad fungsionam (fungsinya), dan

prognosis ad sanationam (kesembuhan).

Prognosis ad vitam menunjuk pada pengaruh penyakit pada proses

kehidupan, apakah penyakit cenderung menuju pada proses kematian atau

akan kembali sehat seperti semula. 5

Prognosis ad fungsionam menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi

organ dan fungsi manusia di dalam melaksanakan tugas kesehariannya. 5

Prognosis ad sanationam menunjuk pada penyakit yang dapat hilang 100%

sehingga pasien kembali ke keadaan semula (sehat) atau penyakit akan

menetap atau menimbulkan kecacatan. 5

Dan tentang kualitas prognosis itu sendiri, terdiri atas 3 kemungkinan; yaitu :

1. Ad Bonam, yaitu baik dengan suatu atau beberapa persyaratan yang harus

dipenuhi.

2. Ad Dubiosan, yaitu meragukan.

3. Ad Malam, yaitu jelek.

Pada kasus tetanus kali ini, prognosis yang dapat diberikan adalah :

Prognosis ad vitam : ad bonam

Prognosis ad fungsionam : ad bonam

Prognosis ad sanationam : ad bonam

Angka mortalitas pada tetanus terbanyak pada pasien lanjut usia dan

neonatus, juga pada pasien dengan periode inkubasi yang pendek, interval

yang pendek antara onset gejala sampai tiba di RS. Tetanus yang berat

umumnya membutuhkan perawatan ICU 3-5 minggu, pasien juga mungkin

membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang. Tonus yang meningkat dan

spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan, namun pemulihan dapat

diharapkan sempurna, kembali ke fungsi normalnya. Pada beberapa penelitian

22

pengamatan pada pasien yang selamat dari tetanus, sering dijumpai

menetapnya problem fisik dan psikologis. 5

23

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Tetanus merupakan penyakit yang beresiko kematian dan dapat menyerang siapa saja,

terutama kepada orang-orang yang bekerja diluar rumah. Namun tetanus dapat

dicegah dengan pemberian imunisasi aktif, yaitu pemberian tetanus toksoid.

Tantangan terapi utama adalah pengendalian rigiditas dan spasme otot, terapi terhadap

gangguan ototnomik dan pencegahan komplikasi berkaitan dengan masa kritis

berkepanjangan. Pasien yang selamat dari tetanus dapat kembali ke fungsi normalnya.

Hipotesis : ditolak. Karena pasien menderita tetanus tingkat sedang.

2. Saran

Pencegahan tetanus sebaiknya selalu dihimbaukan kepada masyarakat luas. Cara yang

paling baik adalah dengan pemberian imunisasi sejak dini. Dan cara yang paling

mudah dilakukan adalah dengan selalu memakai sendal kemanapun kita bepergian,

agar menghindari luka. Dan selalu membersihkan luka dengan air maupun alkohol,

sekecil apapun luka yang kita dapat agar tidak terinfeksi dengan bakteri tetanus.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K Marcellus S, Setiati Siti. Buku

ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi V. 2009; Internal Publishing:2911-23.

2. Brooks, Geo F, Butel Janet S, Morse Stephen A. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23.

2008; Penerbit Buku Kedokteran EGC:155-6, 313

3. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. Volume 1. Edisi 7. 2007; Penerbit Buku

Kedokteran EGC: 357-8.

4. Departemen Farmakologi dan Terapiutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Farmakologi dan terapi. Edisi 5. 2008; Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

5. Daldiyono. Menuju seni ilmu kedokteran bagaimana dokter berpikir & bekerja. 2006.

Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

25