Post on 22-Oct-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1550, Fallopius menemukan bahwa terdapat sebuah lumen sempit di tulang
temporal dimana didalamnya terdapat bagian dari perjalanan Nervus VII. Pada tahun 1828,
Charles Bell berhasil menemukan perbedaan antara Nervus V dan Nervus VII, ia menyadari
bahwa Nervus VII merupakan Nervus yang berperan besar dalam fungsi motorik wajah dan
Nervus V berperan dalam sensibilitas wajah.
Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan nervus fasialis perifer akibat proses
nonsupuratif, non-neoplastik primer namun sangat mungkin akibat edema pada bagian – bagian
nervus fasialis di foramen stylomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen lima persen dari
seluruh lesi nervus fasialis termasuk dalam kelompok ini. Bell‘s Palsy atau yang lebih sering
disebut dengan Idiopathic Facial Paralysis (IFP) ini adalah suatu paralisis Lower Motor Neuron
yang bersifat akut, perifer, unilateral, yang pada 80-90% kasus dapat hilang sendiri seiring
berjalannya waktu.
Bell‘s Palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering menyerang nervus
kranialis dan penyebab kelumpuhan fasial yang paling sering di seluruh dunia. 60-75 % dari
Acute Unilateral Fascial Paralysis atau Kelumpuhan nervus fasial akut unilateral di seluruh
dunia merupakan suatu Bell‘s Palsy. Bell‘s Palsy lebih sering menyerang individu usia dewasa
dengan predominasi sedikit lebih tinggi pada usia diatas 65 tahun, orang dengan diabetes
melitus, atau pada wanita hamil.
1
ETIOLOGI
Pada masa yang lalu, paparan dingin terhadap wajah, seperti angin dingin, terkena AC
terus menerus, dianggap sebagai satu-satunya penyebab Bell‘s Palsy. Pada masa kini, beberapa
hal diduga dapat menyebabkan Bell‘s Palsy, salah satu diantaranya adalah infeksi. Pada tahun
1972, McCormick yang pertama kali menyinggung bahwa HSV (Herpes Simplex Virus)
bertanggung jawab dalam menyebabkan Kelumpuhan Fasial Idiopatik. Penemuan ini
berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikel-vesikel, kemudian menetap dan
bersifat laten di ganglion geniculatum. Sejak saat itu, sering dilaukan autopsi pada pasien Bell‘s
Palsy dan hasilnya mengarah kepada terdapatnya HSV di Ganglion geniculatum pada pasien
Bell‘s Palsy. Apabila hal ini benar, maka diduga virus ini berjalan melalui akson sensoris dan
menetap di sel Ganglion. Sehingga pada saat stres, virusnya akan mengalami reaktivasi dan
merusak selubung mielin. Selain itu penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan Bell Palsy
antara lain :
- Infeksi pada telinga bagian tengah
- Fraktur
- Penyakit Autoimun
- Meningitis
- Penyakit Mikrovaskular
- Peradangan
ANATOMI NERVUS FASIALIS
2
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi timbulnya Bell‘s Palsy secara pasti masih dalam perdebatan. Nervus
Fasialis berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan Kanalis Fasialis. Teori
yang ada mengatakan bahwa adanya edema dan ischemia menyebabkan kompresi dari Nervus
Fasialis dalam kanalis tulang ini. Namun penyebab dari edema dan ischemia ini belum
dipastikan. Kompresi nervus Fasialis ini dapat dilihat dengan MRI.
Bagian pertama dari kanalis fasialis, yang disebut dengan segmen Labyrinthine, adalah
bagian yang laing sempit; meatus foramien ini memiliki diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang
diduga merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada nervus fasialis pada Bell‘s
Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka terjadinya inflamasi,
demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling mungkin terjadi.
Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bell‘s Palsy bersifat perifer dari nukleus saraf
tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika
lesinya timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka akan timbul kelumpuhan
motorik disertai dengan ketidakabnormalan fungsi gustatorium dana otonom. Apabila lesi
terletak di foramen stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja.
KELUHAN DAN GEJALA KLINIS
RIWAYAT
3
Onset timbulnya Bell Palsy bersifat mendadak, dan biasanya gejalanya memuncak kurang dari
48 jam. Onset mendadak ini biasanya membuat pasien merasa takut, dimana mereka takut
terserang stroke ataupun tumor, dan pasien takut bahwa gejala tersebut akan bersifat permanen.
Kebanyakan orang biasanya menyadari kelumpuhan ini di pagi hari,Bell Palsy juga dapat timbul
setelah adanya gangguan Saluran Napas Atas.
Gejala awal :
- Kelemahan otot-otot wajah
- Kesulitan menutup kelopak mata
- Hyperacusis
- Kelumpuhan pada pipi/mulut
- Epiphora
- Nyeri mata
- Pandangan Kabur
- Nyeri telinga atau mastoid
- Perubahan indra pengecap
Kelumpuhan Fasial
Kelumpuhan harus melibatkan bagian dahi dan bawah dari wajah. Pasien biasanya
melaporkan ketidakmampuan untuk menutup matau atau tersenyum pada sisi yang terkena.
Apabila kelumpuhan hanya melibatkan bagian bawah dari wajah, dapat memungkinkan bagian
sentral terserang. Jika pasien mengeluhkan kelemahan atau diplopia pada sisi kontralateral, maka
dapat dicurigai terdapatnya stroke ataupun lesi intraserebral. Jika onset terjadinya paralisis fasial
bersifat gradual, kemudian disertai dengan kelemahan pada sisi kontralateral, terdapatnya
riwayat trauma atau infeksi, maka harus dipikirkan penyebab lain. Dimana apabila progres
kelumpuhan Fasial berlangsung lebih dari 10 hari dapat dipikirkan diagnosis lain. Pasien dengan
Bell‘s Palsy bilateral dapat dievaluasi untuk penyakit Guillan Barre, Lyme Disease, ataupun
meningitis.
Manifestasi Mata
Komplikasi ke bagian mata antara lain :
- Lagoftalmus
- Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah
- Alis Jatuh
- Retraksi kelopak mata atas
- Erosi Kornea
4
- Crocodile-tears tearing
Nyeri Telinga Posterior
Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian
belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy, namun
pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell Palsy. Bebera
pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga ipsilateral dari Palsy yang terjadi,
yang merupakan akibat sekunder dari kelemahan otot stapedius.
Gangguan Pengecapan
Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80% dari
penderita Bell Palsy mengalami penurunan kemampuan merasa.
Spasme Fasial
Spasme Fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat kontraksi
tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat stres dan timbul akibat
kompreksi dari akar Nervus VII akkibat gangguan pembuluh darah, tumor, ataupun proses
demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering menyerang pada usia 50 atau 60an. Selain itu
juga dapat timbul Synkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau
menutup mata, contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum atau
ketika mengedipkan mata.
Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :
1. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada
disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi
yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya
daripada posisi yang sehat, maka berkumpul di antara gigi dan mulut dan bagian
samping mulut yang lumpuh penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan
menutupkan matanya (lagoftalmus) disebabkan karena vena paralisis dari otot
orbikularis okuli, atau mengerutkan dahi. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika
mata tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih
mudah mendapat iritasi berupa angin, debu dan sebagainya, selain itu pula lakrimalis
5
yang berlebihan ini terjadi karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari
kelenjar liur ke kelenjar air mata pada waktu makan. Lakrimalis yang berlebihan ini
disebut juga dengan air mata buaya (Crocodille Tears Syndrome).
2. Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani
Seluru gejala diatas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan dua
pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.
3. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus stapedius gejala
(1), (2), ditambah ganglion geniculatum.
4. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.
Onsetnya seringkali akut, dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga.
Herpes Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese
nervus fasilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bell’s yang disertai herpes Zoster
pada ganglion geniculatum, lesi - lesi herpetik terlihat pada membrana tympani,
canalis auditorium eksterna, dan pada pinna.
5. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus
Gejala - gejala Bell’s Palsy dan ketulian akibat terkenanya nervus VIII.
6. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons
Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus
fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah.
Lesi pada daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectus lateralis
atau gerakan melirik kearah lesi.
7. Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan involunter
yang dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab dan mekanisme
sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya adalah suatu
rangsangan iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian gerakan - gerakan otot
wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu pencerminan kegelisahan atau
depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut muka terangkat dan kelompok mata
memejam secara berlebihan.
6
Bell‘s Palsy sisi kiri
PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dan dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan - pemeriksaan di bawah.
1. Pemeriksaan motorik nervus fasialis :
- Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.
- Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat
- Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak mata tidak dapat
menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas dapat dilihat. Hal tersebut
dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata
yang sakit lebih lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal
ini dikenal sebagai Lagoftalmus.
- Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat dikembungkan.
- Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh meringis
menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut
tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang
sakit mendatar.
2. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis
Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis diperiksa pada bagian
ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa asam diperiksa pada bagian tengah
7
lidah dengan bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang
tidak sehat kurang tajam.
3. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy adalah
pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada paresis
nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih
lambat atau tidak ada sama sekali. Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra
pada orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab
dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada paresis facialis jenis perifer
terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularis oculi (pemejaman mata pada sisi sakit).
Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk membantu
penegakkan diagnosa antara lain :
Stethoscope Loudness Test
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari muskulus stapedius.
Pasien diminta menggunakan stetoskop kemudian dibunyikan garpu tala pada membran
stetoskop, maka suara yang keras akan terlateralisasi ke sisi muskulus stapedius yang lumpuh
Schirmer Blotting Test
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi. Digunakan benzene
yang menstimulasi refleks nasolacrimalis sehingga dapat dibandingkan keluar air mata dapat
dibandingkan antara sisi yang lumpuh dan yang normal
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bell‘s Palsy antara lain adalah MRI
(Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran
kelainan pada nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila penderita
mengalami Kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan apakah kelainan itu hanya
merupakan gangguan pada nervus Fasialis ataupun terdapat tumor.
8
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Pada kebanyakan kasus, diagnosis dari Bell‘s Palsy biasanya dapat ditegakkan secara
langsung. Kegagalan untuk mengenali lesi struktural, infeksi, ataupun caskular dapat
menyebabkan kerusakan pada nervus fascialis sehingga menyebabkan kemunduran pada kondisi
pasien. Jika pada pasien yang dicurigai terkena Bell‘s Palsy juga terdapat gangguan pada nervus
kranialis yang lain, gangguan motorik ataupun sensorik yang lain, maka penyakit saraf yang lain
harus segera dicari dan diobati (Stroke, GBS, atauapun tumor).
Apabila terdapat gejala paralisis fasialis yang berjalan lambat, sakit yang luar biasa, Palsy
yang berulang, dan keterlibatan nervus kranialis yang lain maka kita harus mencurigai
terdapatnya tumor pada nervus Fasialis, terutama jika Palsy yang terjadi berulang pada sisi yang
sama (ipsilateral)
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
- Benign Skull Tumors
- Cerebral Aneurysm
- Intracranial Hemorrhage
- Meningioma
- Meningitis
SISTEM GRADING PADA BELL‘S PALSY
9
Pada
sistem ini,
Grade I-II
dianggap
memiliki
prognosis
yang
baik,
grade III-
IV
memiliki
disfungsi
sedang,
grade V-
VI
memiliki
prognosis
buruk.
Grade VI
disebut
sebagai
Complete
Fascial
Paralysis;
dimana
Grade I-V disebut dengan Incomplete Fascial Paralysis. Suatu Incomplete Fascial Paralysis
memiliki fungsi dan anatomi saraf yang masih baik.
10
The grading system developed by House and Brackmann
categorizes Bell palsy on a scale of I to VI, as follows[25, 26] :
Grade I - Normal facial function.
Grade II - Mild dysfunction. Slight weakness is noted on close inspection.
The patients may have a slight synkinesis. Normal symmetry and tone is
noted at rest. Forehead motion is moderate to good; complete eye closure is
achieved with minimal effort; and slight mouth asymmetry is noted.
Grade III - Moderate dysfunction. An obvious but not disfiguring difference
is noted between the 2 sides. A noticeable but not severe synkinesis,
contracture, or hemifacial spasm is present. Normal symmetry and tone is
noted at rest. Forehead movement is slight to moderate; complete eye
closure is achieved with effort; and a slightly weak mouth movement is
noted with maximum effort.
Grade IV - Moderately severe dysfunction. An obvious weakness and/or
disfiguring asymmetry is noted. Symmetry and tone are normal at rest. No
forehead motion is observed. Eye closure is incomplete, and an asymmetric
mouth is noted with maximal effort.
Grade V - Severe dysfunction. Only a barely perceptible motion is noted.
Asymmetry is noted at rest. No forehead motion is observed. Eye closure is
incomplete, and mouth movement is only slight.
Grade VI - Total paralysis. Gross asymmetry is noted. No movement is
noted.
PENATALAKSANAAN
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
Mengingat bahwa penderita Bell’s Palsy memiliki prognosis yang baik, dan perbaikan
spontan sangat mungkin, maka pengobatan dari Bell Palsy ini masih kontroversi. Tujuan dari
pengobatan adalah untuk memperbaiki fungsi nervus Faslialis dan mengurangi kerusakan
neuron. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam menangani pasien Bell’s Palsy. Hal yang
paling penting adalah harus dipikirkan dengan baik mengenai onset gejala.
Ketika pasien dengan Bell’s Palsy datang ke Unit Gawat Darurat, dokter harus bisa
melakukan pengobatan yang tepat, melindungi mata, dan mengatur penatalaksanaan lanjutan.
11
The American Academy of Neurology ( AAN) pada tahun 2001 menyatakann bahwa steroid dan
acyclovir memiliki kemungkinan efektivitas yang baik dalam pengobatan Bell’s Palsy.
- Menjaga agar muka tetap hangat dan menghindari agar tidak terbuka terutama terhadap
angin dan debu
- Melindungi mata dengan menggunakan kasa steril
- Mata ditahan mengaitkan pita atau kawat pada sudut mulut dan dikaitkan disekitar
telinga.
- Lakukan pijatan perlahan - lahan kearah atas pada oto - otot yang terkena selama 5 - 10
menit (2 - 3 kali sehari) untuk menjaga tonus otot.
- Dengan stimulasi listrik (2 hari sekali sesudah hari ke-14 ), dikerjakan untuk membantu
mencegah atropi otot.
- Pemanasan dengan memakai lampu infra merah dapat mempercepat penyembuhan.
TERAPI FARMAKOLOGIS
- Bell’s Palsy diobati sebagai kasus neuritis.
Ketidaknyamanan diobati dengan aspirin atau dicampur dengan codein. Dalam
tahap akut kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah
methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan diturunkan secara bertahap (tappering
off) selama 7 hari.
- Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros dengan ACTH im 40-
60 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat penyembuhan
- Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid. Penggunaan Aciclovir 400
mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10 hari. Atau penggunaan Valacyclovir 500 mg
sebanyak 2 kali per hari P.O selama lima hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek
yang lebih baik
TERAPI BEDAH
12
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi nervus Fasialis, Subocularis
Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot
muskulus temporalis, facial nerve graftingdan direct brow lift.
PROGNOSIS
Secara alamiah Bell‘s Palsy memiliki kecenderungan untuk sembuh secara spontan.
Kesembuhan Bell‘s Palsy sendiri ini bisa bersifat komplit ataupun memiliki gejala sisa dengan
nerve injury.
Prognosis setinggi letak lesi :
IntrapontinJuga mengenai nukleus N. Abducens, traktus kortikospinalis dan traktus sensoris.
Foramen StilomastoideusParalisis seluruh otot wajah, fenomena Bell (+), palpebra inferior ikut jatuh, punktum menjauh dari konjunktiva sehingga air mata sering keluar, rasa kecap (+).
Telinga DalamJuga mengenai N. Vestibulocochlearis, menyebabkan penurunan pendengaran, tinitus, pusing.
Telinga Tengah Rasa kecap (-), bila mengenai stapedius akan terjadi hiperakusis.
Sesuai dengan kriteria house :
- Grup 1 : Kesembuhan total tanpa gejala sisa
- Grup 2 : Kesembuhan inkomplit dengan gangguan fungsi motorik, tanpa gangguan
kosmetik yang terlihat jelas.
- Grup 3 : Terdapat gejala sisa permanen yang secara kosmetik dan secara klinis terlihat
jelas.
13
Pasien biasanya memiliki prognosis yang baik, 80-90% dapat sembuh tanpa gejala sisa.
Kebanyakan pasien dengan Bell‘s Palsy menderita neurapraxia atau gangguan konduksi saraf
lokal.
Faktor resiko yang diduga menyebabkan prognosis buruk pada penderita Bell‘s Palsy antara
lain :
- Usia diatas 60 tahun
- Paralisis komplit
- Penurunan kemampuan pengecapan atau terdapatnya salivary flow pada sisi yang
mengalami paralisis
Semakin cepat pasien Bell‘s palsy mengalami perbaikan dalam gejala klinis maka semakin kecil
kemungkinan timbulnya gejala sisa :
- Jika terjadi perbaikan fungsi dalam tiga minggu, maka kemungkinan pasien akan
mengalami kesembuhan total
- Jika terjadi perbaikan fungsi dalam 3 mingu sampai dua bulan, kemungkinan
kesembuhan dalam tingkat memuaskan
- Jika perbaikan fungsi tidak timbul sampai 2- 4 bulan setelah onset, kemungkinan
terjadinya gejala sisa permanen, termasuk parese dan synkinesia lebih tinggi
- Jika tidak terjadi perbaikan dalam 4 bulan, maka pasien kemungkinan memiliki gejala
sisa dari penyakit, yaitu Sinkinesia, crocodile tears, dan meskipun jarang hemifascial
spasme.
Bell‘s Palsy terjadi berulang pada 4-14% pasien. Pengulangan terjadinya Bell‘s Palsy dapat
berupa ipsilateral atau kontralateral dari Palsy pertama. Terjadinya Palsy secara berulang
berhubungan erat dengan riwayat keluarga yang sering menderita Bell‘s Palsy secara berulang.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr mahar mardjono, Prof dr. Priguna Sidharta, Saraf Otak Dan Patologinya, Neurologi
Klinis Dasar, Dian Rakyat Edisi ke VI Halaman 161 – 2
2. Gilroy, John, dan Neorologic Examination And Fungtional Neuroanatomy, Medical
Neorology, Macmillan Publishing Co, inc,3th ed. page 37,625
3. Burt, Alvin M, Sinopsis Of The Cranial Nerves, Text Book of Neuroanatomy, W.B.
Saunders, Co, 1th ed. 1992 page 419 – 20.
4. Danette C Taylor, DO, MS; Chief Editor: B Mark Keegan, MD. Bell Palsy. Emedicine online
, available at http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview.
15