Post on 06-Mar-2020
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu Kuda Sumbawa
2.1.1 Sejarah Susu Kuda Sumbawa
Susu kuda Sumbawa pada era tahun 1998 sering disebut susu kuda liar.
Orang-orang mengenalnya dengan sebutan susu kuda. Kabupaten Sumbawa
terletak di provinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu sentral peternakan
di Indonesia. Beberapa ternak menjadi komoditi unggulan di Kabupaten
Sumbawa, salah satu diantaranya adalah kuda Sumbawa. Produk hasil peternakan
dari kuda Sumbawa salah satunya adalah susu kuda Sumbawa. Penduduk
setempat percaya bahwa susu kuda Sumbawa mempunyai banyak khasiat karena
mengandung berbagai macam zat bergizi dan zat antimikroba. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Hermawati (2004), sifat antimikroba dalam susu kuda
Sumbawa mempunyai spektrum yang luas, dan ternyata bakteri Gram positif lebih
sensitif dibandingkan Gram negatif. Kuda Sumbawa dikenal sebagai ternak
penghasil susu yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Kuda ini dilepas liar di
padang rumput, daerah perbukitan, atau hutan di Kabupaten Sumbawa. Para
peternak melepas kudanya ke alam bebas dari pukul 06.00 WITA, kuda-kuda
tersebut akan pergi ke padang rumput, perbukitan, ataupun hutan untuk mencari
makan sendiri dan akan kembali ke kandang pukul 18.00 WITA.
Gambar 2.1 Kuda Sumbawa (Hermawati., 2004)
Susu kuda diperah pada masa laktasi dari kuda yang hidup berkembang
biak secara alami di padang rumput. Susu yang terkumpul kemudian dijual
langsung tanpa proses pngolahan oleh peternak. Biasanya peternak menjual dan
6
mengemas susu kuda dalam botol bekas air mineral atau drijen. Proses
pengolahan dan kemasan yang tidak sesuai standart dapat berakibat pada
penurunan daya saing dan mutu produk. Menurut SNI 01-6054-1999, syarat mutu
susu kuda meliputi keadaan bau asam menyengat, rasa asam, warna putih,
penampakkan cair, tidak terdapat benda asing, bobot jenis minimal 2%, pH
minimal 3, dan tidak ada pati.
Susu yang beredar di masyarakat tidak dipanaskan/dipasteurisasi atau
ditambah bahan lain. Meskipun demikian susu dalam kemasan tersebut tidak
tampak menggumpal dan tidak rusak, hanya mengalami fermentasi secara alami.
Selain tidak rusak, susu kuda Sumbawa tidak pecah meskipun sudah mengalami
fermentasi alami. Hal ini dapat dikaitkan dengan kadar kasein susu kuda
Sumbawa yang rendah (Sudarwanto et al., 1998).
Hasil penelitian sejumlah ahli menyebutkan bahwa sejumlah bakteri
patogen tidak dapat tumbuh dalam susu kuda Sumbawa, hal ini disebabkan oleh
aktifitas BAL dalam susu tersebut yang menyebabkan susu menjadi asam dan pH
susu menjadi rendah sehingga bakteri patogen tidak dapat tumbuh (Hermawati et
al., 2004). Susu kuda berkadar lemak rendah ini juga mengandung probiotik alami
yang berguna bagi pencernaan. Tak hanya itu, susu kuda Sumbawa juga dipercaya
dapat menyembuhkan penyakit dalam dan kanker (Rozita, 2008). Khasiat susu
kuda apabila dikonsumsi secara rutin, selain bisa mencegah menjalarnya sel
kanker, susu kuda juga dapat memperlambat proses penuaan, memulihkan kondisi
akibat stress dan bermanfaat dalam penanganan demam berdarah, diabetes, dan
asma (Rozita, 2008).
2.1.2 Karakteristik Bakteri Asam Laktat Dalam Susu Kuda Sumbawa
Bakteri asam laktat merupakan istilah umum untuk menyebut bakteri yang
memfermentasi laktosa dan menghasilkan asam laktat sebagai produk utamanya
(Mitsuoka, 1990). Bakteri asam laktat dapat diisolasi dari berbagai macam
pangan, salah satunya adalah susu kuda Sumbawa. Hasil isolasi diperoleh
sebanyak 41 isolat BAL yang terbagi menjadi enam kelompok berdasarkan
morfologinya. Enam spesies BAL yang diidentifikasi yaitu Lactobacillus brevis,
Lactobacillus plantarum, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus salivarius,
7
Lactobacillus delbrueckii subsp. Delbrueckii dan Lactococcus lactis subsp. Lactis
(Widiada et al.,2006). Berdasarkan pola fermentasi terhadap glukosa, keenam
spesies BAL tersebut termasuk homofermentatif, tidak memproduksi gas dan
positif menghasilkan asam. Asam diproduksi sebagai hasil dari metabolisme
laktosa oleh BAL.
2.1.3 Pengertian dan Komponen Susu
Susu adalah cairan yang diperoleh dari ambing ternak perah yang sehat
dengan cara pemerahan yang benar secara kontinyu, tidak dikurangi dan tidak
ditambah bahan lain (Hadiwiyoto, 1982). Susu murni adalah cairan yang berasal
dari ambing ternak sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang
benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun
dan belum mendapat perlakuan apapun, sedangkan susu segar adalah susu murni
yang tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa
mempengaruhi kemurniannya (Danasputra, 2005).
Komponen-komponen susu terdiri dari air, lemak, protein, laktosa,
vitamin, dan enzim. Air merupakan komponen utama susu segar, susu
mengandung air 87,90%, dan berfungsi sebagai pelarut bahan kering. Air di dalam
susu sebagian besar dihasilkan dari air yang diminum dari hewan ternak.. Kasein
adalah protein utama susu yang jumlahnya mencapai 80% dari total protein.
Secara garis besar kasein terdiri dari 3 komponen utama yaitu kasein alpha (40-
60%), beta (20-30%), dan gamma (3-7%) (Buckkle et al., 1987).
Tabel II.1 Komposisi Kandungan Zat Gizi pada Susu Mamalia (Buckle, 1978)
Jenis susu Lemak
(%) Protein
(%) Laktosa
(%) Abu
(%) Air
(%)
Kuda
Kambing
Ikan paus
Kelinci
Kerbau
Domba
Sapi
Manusia
1,59
4,09
22,24
13,60
7,40
8,29
3,90
3,80
2,00
3,71
11,90
12,95
4,74
5,44
3,40
1,20
6,14
4,20
1,79
2,40
4,64
4,78
4,80
7,00
0,41
0,79
1,66
2,55
0,78
0,90
0,72
0,21
89,86
87,81
63,00
68,50
82,44
80,60
87,10
87,60
8
2.1.4 Kerusakan pada Susu
Kesalahan dalam penanganan susu dapat menyebabkan kerusakan pada
susu, kerusakan pada susu terjadi apabila menunjukan penyimpangan yang
melebihi batas yang diterima secara normal oleh panca indra atau parameter lain
yang biasanya digunakan, kerusakan bahan makan dapat disebabkan oleh faktor-
faktor sebagai berikut: pertumbuhan dan aktifitas bakteri, aktifitas enzim, parasit,
serangga, tikus, sinar, udara, dan lama penyimpanan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pencemaran bakteri dalam susu meliputi faktor penyakit dan
faktor perlakuan seperti: alat yang digunakan, tindakan sanitasi, dan pemberian
pakan sapi (Ressang et al.,1998).
Produk susu dinyatakan rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi apabila
dalam susu tersebut terjadi perubahan rasa dan aroma, yaitu menjadi asam, busuk,
tidak segar dan susu menggumpal atau memisah. Untuk produk susu cair
perubahan warna biasanya menunjukan indikasi awal kerusakan produk, yaitu
adanya pertumbuhan bakteri, dan peningkatan asam. Produk seperti ini sebaiknya
tidak dikonsumsi. Susu yang diperah sering tercemar jika bagian luar dari ternak
dan daerah sekitarnya sebelum diperah tidak diperhatikan. Keadaan seperti ini
menyebabkan susu tetap terkontaminasi walaupun susu berasal dari kambing yang
sehat. Susu yang baru diperah sekalipun dari ternak ternak yang sehat dan diperah
secara aseptis biasanya mengandung jumlah bakteri yang sedikit (Eckles et
al.,1998).
2.2 Antibakteri
2.2.1 Definisi Antibakteri
Antibakteri adalah obat pembasmi bakteri, khususnya bakteri yang
merugikan manusia. Obat yang digunakan untuk membasmi bakteri penyebab
infeksi pada manusia harus memilki sifat toksisitas seselektif mungkin. Artinya
obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk bakteri, tetapi relatif tidak
toksik untuk hospes. Sifat toksisitas yang absolut belum atau mungkin tidak akan
diperoleh (Gunawan, 2007).
9
2.2.2 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi menjadi 5 kelompok
(Jawetz et al.,2005), antara lain sebagai berikut:
1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Bakteri mempunyai lapisan luar yang rigid, yakni dinding sel. Dinding sel
mempertahankan bentuk bakteri dan pelindung sel bakteri yang mempunyai
tekanan osmotik internal tinggi. Tekanan internal tersebut tiga hingga lima kali
lebih besar pada bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif. Trauma pada
dinding sel atau penghambatan pembentukannya menimbulkan lisis pada sel. Pada
lingkungan yang hipertonik, dinding sel yang rusak menimbulkan bentuk
protoplast bakteri sferik dari bakteri gram positif atau asferoplast dari bakteri
gram negatif. Bentuk-bentuk ini dibatasi oleh membran sitoplasma yang fragil.
2. Mengganggu permeabilitas membran sel bakteri.
Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sitoplasma yang
berperan sebagai barier permeabilitas selektif, membawa fungsi transpor aktif dan
kemudian mengontrol komposisi internal sel. Jika fungsi integritas membran
sitoplasma dirusak, makromolekul dan ion keluar dari sel kemudian sel rusak atau
terjadi kematian. Membran sitoplasma bakteri mempunyai struktur berbeda
dibanding sel binatang dan dapat dengan mudah dikacaukan oleh agen tertentu.
Oleh sebab itu, kemoterapi selektif adalah hal yang memungkinkan.
3. Menghambat sintesis protein sel bakteri.
Bakteri mempunyai 70S ribosom, sedangkan sel mamalia mempunyai 80S
ribosom. Subunit masing-masing tipe ribosom, komposisi kimianya dan
spesifikasi fungsinya berbeda, bisa untuk menerangkan mengapa antibakteri dapat
menghambat sintesis protein dalam ribosom bakteri tanpa berpengaruh pada
ribosom mamalia.
4. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat bakteri.
Bahan antibakteri dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan ikatan
yang sangat kuat pada enzim DNA Dependent RNA Polymerase bakteri sehingga
menghambat sintesis RNA bakteri.
10
2.2.3 Antimikroba Susu
Menurut Randolph dan Gould (1968) dan Reiter (1985) yang disitasi oleh
Conner (1993), mengelompokkan senyawa antimikroba alami dari susu sapi
terdiri dari immunoglobulin, lysozym, dan laktoferin. Sedangkan Naidu (2000)
menyatakan bahwa beberapa kelompok senyawa antimikroba alami susu sapi
adalah laktolipida dan senyawa protein yaitu laktoferin, laktopereoxidase, dan
laktoglobulin.
a. Laktoferin
Galaktoferin merupakan salah satu jenis laktoferin yang ditemukan pada
susu kuda. Laktoferin dalam susu pertama kali diisolasi oleh Groves (1960)
dengan metode khromatografi. Laktoferin adalah polypeptida tunggal dengan
berat molekul antara 75 sampai 80 kDa, mempunyai afinitas yang sangat besar
dan spesifik terhadap besi (Aisen, 1972). Menurut Megawa (1972), laktoferin
merupakan senyawa glukoprotein yang mempunyai aktivitas antimikroba di
dalam susu. Selain terdapat pada air susu, laktoferin juga ditemukan pada sekresi
tubuh dan jaringan hewan.
Gambar 2.2 Fungsi Laktoferin (Brooks, 2002).
Konsentrasi laktoferin tertinggi terdapat dalam kolostrum susu. Laktoferin
menunjukkan efek bakteriostatik terhadap berbagai bakteri Gram positif dan
11
Gram negatif (Lee et al., 2005). Dalam penelitian sebelumnya, diyakini bahwa
aktivitas antibakteri laktoferin adalah karena afinitasnya yang tinggi terhadap zat
besi. Bentuk laktoferin yang bebas zat besi menyebabkan mikroorganisme
kekurangan zat besi. Sehingga, menyebabkan laju pertumbuhan bakteri menjadi
lebih lambat (Law et al., 1997). Laktoferin mengikat molekul anionik salah
satunya yaitu asam lipoteikoat pada pada permukaan sel bakteri Gram positf.
Pengikatan elektrostatik ini mengurangi keseluruhan muatan negatif dinding sel
dan memfasiltasi efektivitas senyawa antibakkteri seperti lisozim dan antibiotik
(Barbiroli et al., 2012).
b. Laktoperoxidase
Susu dari beberapa spesies hewan seperti sapi, babi, domba, kelinci dan
manusia mengandung laktoperoxidase. Menurut Steephens (1979), susu sapi
mengandung 30 mg/liter laktoperoxidase tetapi kelinci mengandung
laktoperoxidase 10-15 kali lebih banyak dari pada sapi. Pruits (1985), menyatakan
laktoperoxidase mempunyai aktivitas antimikroba yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri stater didalam susu.
c.. Laktoglobulin
Laktoglobulin sebagian besar berada dalam protein whey susu hewan
ruminansia seperti sapi, kambing, dan hewan berlambung tungal seperti babi,
kuda, anjing, dan kucing.
2.2.4 Pengukuran Daya Antibakteri
Pada uji antibakteri diukur respon pertumbuhan populasi bakteri terhadap
agen antibakteri. Tujuan assay antibakteri (termasuk antibiotik dan substansi
antibakteri nonantibiotik, misalnya fenol, bisfenol, aldehid) adalah untuk
menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa
antibakteri di pabrik, untuk menentukan farmakokinetika obat pada hewan atau
manusia, dan untuk memonitor kemoterapi obat. Kegunaan uji antibakteri adalah
diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Terdapat
bermacam-macam metode uji antibakteri (Pratiwi, 2008), seperti yang dijelaskan
berikut ini:
12
1. Metode Disc Diffusion (Tes Kirby dan Bauer)
Metode ini untuk menentukan aktivitas agen antibakteri. Piringan yang
berisi agen antibakteri diletakkan pada media agar yang telah ditanami bakteri
yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Metode difusi ini menggunakan
Mueller-Hinton Agar (MHA), yang merupakan media yang baik untuk menguji
kerentanan rutin karena memiliki reproduktifitas yang baik. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan bakteri oleh agen antibakteri
pada permukaan media agar.
2. Metode E-Test
Metode E-Test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) atau KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) yaitu konsentrasi
minimal suatu agen antibakteri untuk dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen
antibakteri dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan
media agar yang telah ditanami bakteri. Pengamatan dilakukan pada area jernih
yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antibakteri yang
menghambat pertumbuhan bakteri pada media agar.
3. Ditch Plate Technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antibakteri yang diletakkan pada
parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada
bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam)
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antibakteri.
4. Cup Plate Tehnique
Metode ini serupa dengan metode Disc Diffusion, dimana dibuat sumur
pada media agar yang telah ditanami dengan bakteri dan pada sumur tersebut
diberi agen antibakteri yang akan diuji.
5. Gradient Plate Tehnique
Pada metode ini konsentrasi agen antibakteri pada media agar secara
teoritis bervariasi dari nol hingga maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji
ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri dan diletakkan
dalam posisi miring. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen
antibakteri berdifusi dan permukaan media mengering. Bakteri uji digoreskan
13
pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai
panjang total pertumbuhan bakteri maksimum yang mungkin dibandingkan
dengan panjang pertumbuhan hasil goresan. Yang perlu diperhatikan adalah dari
hasil perbandingan yang didapat dari lingkungan padat dan cair faktor difusi agen
antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media padat.
6. Metode Dilusi Cair / Broth Dilution Test
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau
KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal
Concentration) atau KBM (Kadar Bunuh Minimum). Cara yang dilakukan adalah
dengan membuat seri pengenceran agen antibakteri pada medium cair yang
ditambahkan dengan bakteri uji. Larutan uji agen antibakteri pada kadar terkecil
yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai
KHM, selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan bakteri uji
ataupun agen antibakteri dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap
terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM.
7. Metode Dilusi Padat / Solid Dilution Test
Metode ini serupa dengan metode difusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antibakteri
yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa bakteri uji.
2.2.5 Bakteri Propionibacterium acnes
Sistematika dari Propionibacterium acnes (Salle, 1961) adalah:
Gambar 2.3 Propionibacterium acnes (Anonim, 2012)
14
Kerajaan : Bacteria
Divisi : Actinobacteria
Kelas : Actinobacteridae
Bangsa : Actinomycetales
Suku : Propionibacteriaceae
Marga : Propionibacterium
Jenis : Propionibacterium acnes
Propionibacterium acnes merupakan bakteri anaerob Gram positif yang
toleran terhadap udara. Sel berbentuk batang yang tidak teratur, bercabang atau
campuran antara bentuk batang dengan bentuk kokoid. Propionibacterium acnes
tidak dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora. Beberapa
endospora bersifat patogen untuk hewan dan tanaman. Propionibacterium acnes
termasuk ke dalam kelompok bakteri corynebakteria anaerob yang biasanya
menetap pada kulit normal (Jawetz et al., 2001). Pada proses patogenesis jerawat,
Propionibacterium acnes menghasilkan lipid dengan memecah asam lemak bebas
dari lipid kulit. Asam lemak yang dihasilkan menimbulkan radang jaringan dan
menyebabkan jerawat (Jawetz et al., 1996).
2.3 Kulit
2.3.1 Definisi Kulit
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2 m² dengan kira-kira 16%
berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif,
bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada
lokasi tubuh (Tortora et al., 2009). Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti
sebagai perlindung, penyerap, indra perasa (Setiabudi,2008).
Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang dan
hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam
kecoklatan pada ganitalia orang dewasa. Demikian pula kulit bervariasi mengenai
lembut, tipis dan tebalnya kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpbera,
15
bibir dan preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan
tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang berambut kasar terdapat
pada kepala (Djuanda, 2003). Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga
lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan
subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis
ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak
(Tortora et al., 2009).
2.3.2 Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum korneum adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang
mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi protein yang
disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki
(Djuanda, 2003).
Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan
sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini
terdiri atas keratohialin. Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak
ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya.
Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan-jembatan antar sel yang
terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar jembatan-
jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero.
Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel stratum spinosum
mengandung banyak glikogen (Djuanda, 2003).
Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun
vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade).
Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini
mengalami mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel
yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong
dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatan antar sel, dan sel
16
pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda,
dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen
(melanosomes) (Djuanda, 2003).
2.3.3 Lapisan Dermis
Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis
yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis
dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis
besar dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke
epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikulare
yaitu bagian bawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas
serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin.Dasar
lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di
bagian ini terdapat pula fibrolast, membentuk ikatan yang mengandung
hidriksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah
umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda.
Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah
mengembang serta lebih elastis (Djuanda, 2003).
2.3.4 Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat,
besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel
ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula
yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung
pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak
mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan
(Djuanda, 2003).
17
2.4 Jerawat
Jerawat adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit
pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Jerawat sering menjadi tanda
pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum menarche atau haid
pertama. Onset jerawat pada perempuan lebih awal daripada laki-laki karena masa
pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki. Prevalensi jerawat
pada masa remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja.
Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik memiliki prevalensi jerawat tinggi,
yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan
India 23%. Pada ras Asia, lesi inflamasi lebih sering dibandingkan lesi
komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal. Tetapi pada ras
Kaukasia, jerawat komedonal lebih sering dibandingkan jerawat inflamasi, yaitu
14% jerawat komedonal, 10% jerawat inflamasi. Jerawat memiliki gambaran
klinis beragam, mulai dari komedo, papul, pustul, hingga nodus dan jaringan
parut, sehingga disebut dermatosis polimorfik dan memiliki peranan poligenetik.
Pola penurunannya tidak mengikuti hukum Mendel, tetapi bila kedua orangtua
pernah menderita jerawat berat pada masa remajanya, anak-anak akan memiliki
kecenderungan serupa pada masa pubertas. Meskipun tidak mengancam jiwa,
jerawat mempengaruhi kualitas hidup dan memberi dampak sosioekonomi pada
penderitanya.
Tingkat keparahan jerawat umumnya dapat dikategorikan menjadi ringan,
sedang, atau parah. Panduan mendukung penggunaan tahapan ini dengan cara
yang sedikit berbeda, tergantung dari jenis jerawat (yaitu lesi atau komedo),
jumlahnya, atau kedua. Dua studi mencatat bahwa berbagai sistem penilaian ada,
namun tidak ada konsensus yang tersedia (Nast 2012 ; Strauss 2007).
Klasifikasi derajat jerawat yaitu dibagi menjadi derajat ringan, sedang,
berat, dan sangat berat. Yang dinilai dalam klasifikasi antara lain dari jumlah
komedo, jumlah pustul, jumlah kista, inflamasi, dan jaringan parutnya (Movita,
2013).
18
Tabel II.2 Klasifikasi Derajat Jerawat Berdasarkan Jumlah dan Tipe Lesi
(Movita, 2013)
Derajat Komedo Papul
pustul
Nodul,
kista, sinus
Inflamasi Jaringan
parut
Ringan <10 <10 - -
Sedang <20 10-50 + +
Berat 20-50 50-100 <5 ++ ++
Sangat
berat
>50 >100 >5 +++ +++
Keterangan : (-) tidak ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak.
Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya jerawat
adalah (Pindha, 2004) :
1. Faktor genetik.
Faktor genetik memegang peranan penting terhadap kemungkinan
seseorang menderita jerawat. Penelitian di Jerman menunjukan bahwa jerawat
terjadi pada 45% remaja yang salah satu atau kedua orang tuannya menderita
jerawat, dan hanya 8% bila kedua orang tuanya tidak menderita jerawat.
(Ayudianti et al., 2010)
2. Kebersihan wajah
Meningkatkan perilaku kebersihan diri dapat mengurangi kejadian jerawat
pada remaja (name, 2009).
3. Faktor ras
Warga Amerika yang berkulit putih lebih banyak menderita jerawat
dibandingkan dengan ras yang berkulit hitam dan jerawat yang diderita lebih berat
dibandingkan dengan orang Jepang.
4. Hormonal
Hormonal dan keringat yang berlebihan dapat mempengaruhi keparahan
dari jerawat. Beberapa faktor fisiologis seperti menstruasi dapat mempengaruhi
timbulnya atau memperparah jerawat. Rata rata 60-70% wanita yang mengalami
masalah jerawat menjadi lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi dan lesi
jerawat menjadi lebih aktif rata- rata satu minggu sebelum menstruasi dan
menetap sampai seminggu setelah menstruasi yang disebabkan oleh hormon
progesteron. Hormon estrogen dalam kadar tertentu dapat menghambat
pertumbuhan jerawat karena hormon tersebut dapat menurukan kadar gonodropin
19
mempunyai efek menurunkan produksi sebum sehingga dapat menghambat
pertumbuhan jerawat (Nguyen et al., 2007).
5. Diet
Tidak ditemukan adanya hubungan antara jerawat dengan asupan total
kalori dan jenis makanan, karena hal tersebut tidak menimbulkan jerawat tetapi
mengkonsumsi coklat dan makan makanan berlemak secara berlebihan dapat
memperparah pertumbuhan jerawat.
6. Iklim
Cuaca yang panas dan lembab dapat memperparah jerawat hidrasi pada
stratum korneun epidermis dapat merangsang terjadinya jerawat dan paparan sinar
matahari yang berlebihan dapat memperburuk jerawat.
7. Linkungan
Jerawat lebih sering ditemukan dan gejalanya lebih berat di daerah industri
dan pertambangan dibandingankan dengan dipedesaan.
8. Stres
Jerawat dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita stres
emosional. Mekanisme yang tepat dari proses jerawat tidak sepenuhnya dipahami.
Namun lebih sering disebabkan oleh sebum berlebihan, hiperkaratinisasi folikel,
stress oksidatif dan peradangan, selain itu androgen mikroba dan pengaruh
patogenetik juga bekerja dalam proses terjadinya jerawat (Thiboutot., 2008).
2.5 Gel
Gel, kadang-kadang disebut Jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Kemenkes, 2014).
2.5.1 Karakteristik Gel
Sifat atau karakteristik gel diantaranya adalah sebagai berikut (Lachman et
al., 2008):
1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah inert,
aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain
20
2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan yang
baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan diberikan
kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam botol, pemerasan
tube, atau selama penggunaan topikal.
3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan yang
diharapkan.
4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau BM
besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau digunakan.
5. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tetapi dapat juga
pembentukan gel terjadi setelah pemanasan pada suhu tertentu, contoh polimer
seperti MC, HPMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang akan
membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan tersebut
akan membentuk gel.
6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh
pemanasan disebut thermogelation.
Sifat dan karakteristik gel adalah sebagai berikut (Disperse system) (Zats
et al., 1996) :
1. Swelling Gel
Dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi
larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi diantara
matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. Pengembangan gel
kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar polimer di dalam matriks gel yang
dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang.
2. Sineresis.
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel.
Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu
pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang
tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat
adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada
ketegaran gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga
memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada
hidrogel maupun organogel.
21
3. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui
penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan
hingga suhu tertentu. Polimer seperti HEC, HPMC, terlarut hanya pada air yang
dingin membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut
membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang
disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation.
4. Efek elektrolit.
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel
hidrofilik, ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang
ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan
konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi
waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat
akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium yang
disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium.
5. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,
selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas
dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten
terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur
gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel.
6. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang
terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan
jalan aliran non – Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan.
2.5.2 Klasifikasi Gel
Penggolongan sediaan gel dibagi menjadi dua (Kemenkes, 2014) yaitu:
1. Gel sistem dua fase (Organik)
Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif
besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma misalnya magma
bentonit. Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk
22
semipadat jika dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus
dikocok dahulu sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas.
2. Gel sistem fase tunggal (Anorganik)
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar sama
dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul
makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari
makromolekul sintetik misalnya carbomer atau dari gom alam misanya tragakan.
2.5.3 Komponen Sediaan Gel
Sediaan gel terdiri atas beberapa komponen, yaitu bahan pembentuk gel,
pengawet, dan bahan tambahan lainnya.
1. Bahan pembentuk gel
Bahan pembentuk gel merupakan komponen polimer berberat molekul
tinggi yang merupakan gabungan molekul-molekul dan lilitan-lilitan dari polimer
molekul yang akan memberikan sifat kental dan gel yang diinginkan. Molekul-
molekul polimernya berikatan melalui ikatan silang membentuk struktur jaringan
tiga dimensi dengan molekul pelarut terperangkap dalam jaringan ini (Clegg,
1995).
2. Pengawet
Meskipun beberapa basis gel resisten terhadap serangan mikroba, tetapi
semua gel mengandung banyak air sehingga membutuhkan pengawet sebagai
antimikroba. Dalam pemilihan pengawet harus memperhatikan inkompatibilitas
nya dengan gelling agent.
3. Humektan
Humektan atau pelembab adalah bahan-bahan yang digunakan untuk
mencegah atau mengurangi kekeringan kulit disamping bersifat protektif terhadap
kulit. Kekeringan kulit ditinjau dari sudut biokimia tidak lain merupakan
kandungan air dalam kulit dan efek melembabkan merupakan fenomena yang
berhubungan dengan konsentrasi air tersebut. Bahan pelembab yang biasa
digunakan adalah gliserin, sorbitol, propilenglikol atau polietilenglikol (PEG).
Bahan-bahan ini termasuk dalam golongan pelembab yang bersifat larut dalam
23
air, menjaga kulit tetap halus dan lembut dan akan memperlambat proses
penguapan air dari kulit (Ditjen POM, 1985).
2.5.4 Stabilitas Gel
Pada sediaan gel, stabilitas secara fisik dapat dilihat dari penyusutan,
pemisahan air dari fase gel, perubahan warna, dan kontaminasi mikroba. Pada
sediaan gel, tidak diinginkan adanya pertumbuhan bakteri, untuk mengatasi hal
tersebut dapat di autoklaf atau dengan penambahan pengawet (Allen, 1997).
2.5.5 Basis Gel
1. Basis gel hidrofobik
Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila
ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara
kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel,
1989).
2. Basis gel hidrofilik
Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang
besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi.
Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Umumnya daya tarik menarik pada
pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik
dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat
dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umumnya
mengandung komponen bahan pengembang air, humektan dan bahan pengawet
(Voigt, 1994).
2.5.6 Keunggulan Gel
Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak digunakan karena bening, mudah
mengering membentuk lapisan film yang mudah dicuci dan memberikan rasa
dingin di kulit. Gel mempunyai aliran pseudoplastik dan aliran tiksotropik yaitu
berbentuk padat apabila disimpan dan akan segera mencair bila dikocok. Sediaan
gel mempunyai kadar air tinggi, sehingga dapat menghidrasi stratum korneum dan
24
mengurangi resiko timbulnya peradangan lebih lanjut akibat menumpuknya
minyak pada pori-pori. Formulasi pada sediaan gel akan mempengaruhi jumlah
dan kecepatan zat aktif yang diabsorbsi. Zat aktif dalam sediaan gel masuk ke
dalam basis atau pembawa yang akan membawa obat untuk kontak dengan
permukaan kulit. Bahan pembawa yang digunakan untuk sediaan topikal akan
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap absorbsi obat dan memiliki efek
yang menguntungkan jika dipilih secara tepat (Lieberman, 1997).
2.6 Gelling Agent
Gelling agent adalah bahan tambahan yang digunakan untuk
mengentalkan dan menstabilkan berbagai macam sediaan obat, dan sediaan
kosmetik. Beberapa bahan penstabil dan pengental juga termasuk dalam
kelompok bahan pembentuk gel. Jenis-jenis bahan pembentuk gel biasanya
merupakan bahan berbasis polisakarida atau protein. Contoh dari gelling agent
antara lain Na-CMC, metil selulosa, asam alginat, sodium alginat, kalium alginat,
kalsium alginat, agar, karagenan, carbomer, pektin dan gelatin (Raton et al.,
1993).
Pemilihan gelling agent dalam sediaan farmasi dan kosmetik harus inert,
aman, tidak bereaksi dengan komponen lain. Penambahan gelling agent dalam
formula perlu dipertimbangkan yaitu tahan selama penyimpanan dan tekanan tube
selama pemakaian topikal. Beberapa gel, terutama polisakarida alami peka
terhadap penurunan derajat mikrobial. Penambahan bahan pengawet perlu untuk
mencegah kontaminasi dan hilangnya karakter gel dalam kaitannya dengan
mikrobial (Lieberman et al., 1996).
Macam-macam gelling agent antara lain:
1. Tragakan
Tragakan adalah eksudat gom kering yang diperoleh dengan penorehan
batang Astrogalus gummifer Labill dan spesies Astragalus lain. Tidak berbau dan
hampir tidak berasa, kelarutan dalam air agak sukar larut, tetapi mengembang
menjadi masa homogen, lengket, dan seperti gelatin (Depkes RI, 1979).
25
2. CMC-Na
Natrium CMC adalah garam natrium polikarboksimetil eter selulosa,
mengandung tidak kurang dari 6,5 % dan tidak lebih dari 9,5 % Na dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan. Kekentalan larutan 2 gr dalam 100 mL air,
untuk zat yang mempunyai kekentalan 100 centipoise (cP) atau kurang, tidak
kurang dari 80% dan tidak lebih dari 120% dari ketentuan yang tertera pada etiket,
untuk zat yang mempunyai kekentalan lebih dari 100 cP, dan tidak kurang dari 75
% dan tidak lebih dari 140 % dari ketentuan yang tertera dietiket. Natrium CMC
berupa serbuk atau butiran, putih atau putih gading, tidak berbau, higroskopik.
Natrium CMC mudah mendispersi dalam air, membentuk suspensi koloidal, tidak
larut dalam etanol 95 % P, dalam eter P, dan pelarut organik lain. Khasiat dan
kegunaan sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979). Penggunaan Na CMC sebagai
gelling agent.
3. Hydroxyethyl Cellulose (HEC)
Pemerian: Hidroksietil selulosa berwarna sebagai putih, putih kekuningan
atau putih keabu-abuan, tidak berbau dan berasa, bubuk higroskopis. Keasaman /
alkalinitas pH = 5,5-8,5 untuk 1% b/v larutan. Abu 2,5% b/b untuk Cellosize;
3,5% b/b untuk Natrosol (Rowe, et al.,2009). Titik lebur pada suhu 135-140°C;
terurai di sekitar 280°C. Hidroksietil selulosa tersedia dalam berbagai jenis
viskositas. Hidroksietil selulosa memiliki nilai berbeda terutama dalam viskositas
larutan air mereka yang berkisar 2-20000 MPa s untuk 2% b/v larutan. Terdapat
dua jenis Cellosizeare yang dihasilkan, jenis WP, yang merupakan bahan yang
memiliki kecepatan kelarutan normal, dan QP-jenis, yang merupakan pendispersi
bahan yang cepat. Untuk tipe QP semakin besar nilainya (tingkatannya) semakin
memiliki viskositas yang tinggi (Rowe et al.,2009). HydroxyEthy Selulosa (HEC)
dapat larut dalam eter selulosa non-ionik, baik larut dalam air dingin dan panas,
dengan penebalan, suspensi, adhesi, emulsifikasi, film formasi, retensi air, koloid
pelindung dan properti lainnya, banyak digunakan dalam pelapis, kosmetik,
pengeboran minyak dan industri lainnya (Rowe et al.,2009).
26
2.6.1 Carbomer
Gambar 2.4 Rumus Bangun Carbomer (Rowe et al., 2003)
Carbomer disebut juga karbopol, carboxyvinyl polimer, critamer, acrylic
acid polimer (Ansel et al., 1999). Carbomer merupakan basis gel yang kuat,
sehingga penggunaanya hanya sekitar 0,5-2,0%. Carbomer berupa serbuk halus,
berwarna putih, bersifat asam dan higroskopis. Carbomer bersifat higroskopis,
pada temperatur yang berlebih dapat mengakibatkan kekentalannya menurun
sehingga mengurangi stabilitas (Barel et al., 2009). Carbomer merupakan polimer
asam akrilat, berupa serbuk putih, higoskopik, bersifat asam dan mempunyai bau
khas (Wade et al., 2011). Air diperlukan untuk menghilangkan udara yang
terperangkap di dalam carbomer, kemudian penambahan suatu basa yang sesuai
seperti KOH, NaOH dan NH4OH diperlukan untuk menetralisasi carbomer
(Barry, 1983). Carbomer larut di dalam air, etanol, gliserin, dapat terdispersi di
dalam air untuk membentuk larutan koloidal yang bersifat asam dan memiliki
sifat merekat rendah (Rowe et al., 2006). Karakteristik carbomer yaitu larut dalam
air dan alkohol menunjukkan viskositas yang tinggi pada konsentrasi kecil,
bekerja efektif pada range pH yang luas, berupa cairan kental transparan.
Carbomer merupakan bahan yang stabil dan higroskopis, yang dapat dipanaskan
pada suhu di bawah 104ºC selama 2 jam tanpa mempengaruhi kemampuan
thickening-nya. Serbuk kering carbomer tidak dapat ditumbuhi jamur dan
mikroba. Namun ketika digunakan dalam dispersi aqueous, perlu ditambahkan
pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Pengawet yang dapat
digunakan antara lain, 0,1% b/v klorokresol, 0,18% b/v metil paraben, 0,02%
propil paraben, atau 0,1% b/v tiomersal. Pada umumnya digunakan pengawet
metil paraben atau propil paraben 0,1% b/v karena tidak mempengaruhi
efektivitas thickening carbomer (Wade et al., 2011). Pembuatan carbomer diawali
dengan mendispersikan carbomer ke dalam aquadest mendidih sampai
membentuk larutan koloid yang bersifat asam dengan viskositas rendah dan akan
27
terbentuk menjadi gel dalam viskositas yang tinggi setelah dinetralkan dengan
penambahan suatu basa.
Gambar 2.5 Struktur Skematik Carbomer (Osborne, 1990).
Bahan yang dapat digunakan untuk menetralkan carbomer antara lain
KOH, NaOH, amin organik polar seperti trietanolamin, lauryl dan stearyl amine.
Carbomer membentuk gel dengan viskositas yang cukup baik pada pH 6-11.
Viskositas carbomer akan menurun pada pH kurang dari 3 dan pada pH lebih dari
12 atau dengan adanya elektrolit kuat (Carter, 1975).
2.7 Monografi Eksipien Pembuatan Gel Susu Kuda
2.7.1 TEA (Triethanolamin)
Gambar 2.6 Rumus Bangun TEA (Rowe, 2009).
Trietanolamin mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari
107,4% dihitung terhadap zat anhidrat sebagai trietanolamin. Pemerian: cairan
kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak,
higroskopik. Kelarutan: mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut
dalam kloroform. Fungsinya sebagai zat tambahan dan membantu stabilitas gel
dengan basis carbomer (Depkes, 1979). Trietanolamin memiliki pH 10,5 dan larut
dalam air, metanol, karbon tetraklorida dan aseton. Khasiat sebagai penetral pH
28
carbomer agar terbentuk larutan jernih, sehingga gel transparan (Rowe, 2009).
Trietanolamin ditambahkan untuk mengentalkan gel setelah basis carbomer
didispersikan. Trietanolamin akan menetralisir resin basis carbomer yang
mengandung etanol hingga 50% (Allen, 2002). Netralisasi yang berlebihan (pH
optimal 5-10) akan menghasilkan penurunan viskositas, yang tidak dapat baik
dengan penambahan asam. pH sangat penting dalam menentukan viskositas gel
basis carbomer (Allen, 2002).
2.7.2 Gliserin
Gambar 2.7 Rumus Bangun Gliserin (Anonim, 1979).
Gliserin merupakan humektan atau pelembab yang mampu mengikat air
dari udara dan dapat melembabkan kulit pada kondisi atmosfer sedang atau
kondisi kelembaban tinggi. Penambahan bahan seperti gliserin menunjukkan tidak
ada ikatan dengan kulit dan mudah dibilas (Murphy, 1978). Pemeriannya adalah
berwarna putih, rasa tawar seperti lender, hampir tak berbau, bentuk bulat, butir.
Kelarutannya dapat bercampur dengan air dan dengan etanol 95%, praktis tidak
larut dalam kloroform dalam eter dan dalam minyak lemak dan dalam minyak
menguap, titik lebur 18ºC, titik didih 290ºC, stabilitasnya higroskopis dengan
adanya pemanasan, mengkristal dalam suhu rendah, kristal tidak akan mencair
sampai dengan suhu 20ºC akan timbul ledakan jika dicampur dengan bahan
teroksidasi (Anonim, 1979). Gliserin merupakan tryhydric alcohol 𝐶2𝐻5(𝑂𝐻)3
atau 1,2,3-propanetriol.
2.7.3 Metil paraben (Nipagin)
Gambar 2.8 Rumus Bangun Metil paraben (Rowe et al., 2009).
29
Metil paraben atau nipagin adalah antimikroba yang memiliki rumus
molekul C9H10O3 dan berat molekul 166,18 g/ml. Metil paraben sangat larut
dalam etanol, eter, propilen glikol dan air panas. Metil paraben dalam formula ini
digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam sediaan farmasi, kosmetik dan
produk makanan. Metil paraben berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk
kristal berwarna putih. Metil paraben juga tidak berbau atau hampir tidak berbau.
Metil paraben diperbolehkan berada pada sediaan topikal sebanyak 0,02% - 0,3%
(Rowe et al., 2009).
2.7.4 Aquades Destilata
Aquadest adalah air hasil destilasi atau penyulingan, sama dengan air
murni dan tidak ada mineral-mineral lain. Aquades merupakan cairan atau air
yang biasanya digunakan di dalam laboratorium sebagai pelarut. Karakteristik
aquades yaitu cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak mempunyai
rasa. Dalam penyimpanan sebaiknya di tempat tertutup (Craines, 2013).
2.8 Evaluasi Sediaan Semisolida
Evaluasi sediaan dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan yang telah
diperoleh sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan mencapai hasil yang
maksimal. Evaluasi untuk sediaan dermatologi terdiri dari stabilitas bahan aktif,
bahan tambahan, organoleptis (warna, bau, dan tekstur), homogenitas, pH,
viskositas. Evaluasi sediaan farmasi dapat dilakukan terhadap karakteristik fisik.
Karakteristik fisik sediaan meliputi:
1. Organoleptis
Organoleptis dilakukan dengan mengamati bentuk, bau, warna, dan
homogenitas gel. Homogenitas dilakukan untuk melihat sediaan gel homogen atau
tidak. Homogenitas sediaan ditunjukkan dengan ada atau tidaknya butiran kasar
(Dirjen POM, 1995).
2. Homogenitas
Pemeriksaan dilakukan dengan cara: ditimbang 0,1 g kemudian dioleskan
pada kaca objek atau bahan transparan lain yang cocok, diamati susunannya. Gel
yang baik tidak terdapat butiran kasar (Depkes RI, 1995).
30
3. pH
Pengujian pH dilakukan menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi
dengan larutan dapar pH 4 dan pH 7. Elektroda pH meter dimasukkan ke dalam
sediaan gel, kemudian dicatat angka yang ditunjukkan oleh pH meter (Devia,
2014).
pH kulit manusia adalah sekitar 4,5-6,5. pH yang terlalu asam dapat
mengiritasi kulit, sedangkan apabila terlalu basa dapat menyebabkan kulit kering.
Berdasarkan hal tersebut maka sediaan yang berkaitan dengan kulit manusia perlu
disesuaikan dengan pH kulit tersebut (Devia, 2014).
4. Uji Daya Sebar
Sediaan sebanyak 1 g diletakkan pada kaca transparan yang berdiameter
15cm, kaca lainnya diletakkan diatasnya dan dibiarkan selama 1 menit. Diameter
sebar gel diukur. Setelahnya ditambahkan 150 g beban tambahan dan di diamkan
selama 1 menit lalu diukur diameter yang konstan. Daya sebar 5-7 cm
menunjukkan konsistensi semisolid yang sangat nyaman dalam penggunaan
(Voight, 1994). Persyaratan daya sebar yang baik adalah dengan pertambahan luas
4,0-5,6 cm (Grag et al., 2002).
5. Viskositas
Viskositas merupakan pernyataan tahanan untuk mengalir dari suatu
sistem di bawah stress yang digunakan. Semakin kental suatu cairan maka
semakin besar kekuatan yang diperlukan untuk cairan tersebut dapat mengalir
dengan laju tertentu (Martin et al., 2012). Peningkatan viskositas akan
meningkatkan waktu retensi pada tempat aplikasi, tetapi menurunkan daya sebar.
Nilai viskositas sediaan gel pada umumnya berkisar ntara 12.000-20.000 cPs
(Pena, 1990).
6. Metode difusi sumuran.
Pengujian aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur berapa besar
potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi
mikroorganisme (Dart, 1996). Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada zat yang
bersifat menghambat pertumbuhan bakteri yang dikenal sebagai bakteriostatik dan
yang bersifat membunuh bakteri yang dikenal sebagai bakterisida (Ganiswara,
1995).
31
Untuk metode pengujian antibakteri suatu zat, metode yang sering
digunakan diantaranya metode difusi. Metode ini dapat dilakukan dengan
menggunakan disk atau sumuran yang ke dalamnya dimasukkan antibakteri dalam
gelas tertentu dan ditempatkan dalam media padat yang telah diinokulasikan
dengan bakteri indikator setelah diinkubasi akan terjadi daerah jenuh di sekitar
sumuran atau disk dan diameter hambatan merupakan ukuran kekuatan hambatan
dari substansi antibakteri. Terhadap bakteri yang digunakan. Lebarnya zona yang
terbentuk, yang juga ditentukan oleh konsentrasi senyawa efektif yang digunakan
merupakan dasar pengujian kuantitatif, hal ini mengindikasikan bahwa senyawa
tersebut bisa bebas berdifusi ke seluruh medium (Dart, 1996).
Penghambatan pertumbuhan bakteri melalui mekanisme penghambatan
sintesis dinding sel melibatkan gangguan pada sintesis peptidoglikan. Padahal
peptidoglikan merupakan komponen utama dinding sel, sehingga bakteri menjadi
lisis.