Post on 06-May-2019
17
BAB II
BIMBINGAN ISLAM DAN ASERTIVITAS ANAK
A. Bimbingan Islam
1. Pengertian Bimbingan Islam
Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata
“Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti
“menunjukkan, membimbing, menuntun, ataupun membentuk Jadi
bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang terus menerus dari
seseorang pembimbing yang telah dipersiapkan kepada individu yang
membutuhkannya dalam rangka mengembangkan seluruh potensi yang
dimilikinya secara optimal dengan menggunakan berbagai macam metode
dan tehnik bimbingan dalam suasana asuhan yang normatif agar tercapai
kemandirian sehingga individu dapat bermanfaat baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi lingkungannya (Hallen, 2005: 9).
Sementara Walgito, (1995:4) berpendapat bahwa Bimbingan
adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau
sekumpulan dalam menghindari/mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam
kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai
kesejahteraan hidupnya.
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan oleh orang yang ahli
kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak, remaja, maupun
dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan
18
dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan
sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma
berlaku (Prayitno dan Amti, 1995:99).
Dari beberapa pengertian bimbingan tersebut, secara umum dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud bimbingan adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada seorang atau beberapa
orang agar mampu mengembangkan potensi (minat, bakat, dan
kemampuan) yang dimiliki, mengenali dirinya, mengatasi persoalan-
persoalan hidupnya secara bertanggungjawab tanpa tergantung kepada
orang lain.
Adapun bimbingan Islam adalah proses pemberian bantuan
terhadap individu agar dalam kehidupan keagamaannya senantiasa selaras
dengan ketentuan dan petunjuk Allah SWT, sehingga dapat mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2001:62).
Sementara Hallen (2005:16) berpendapat bahwa bimbingan Islam
adalah proses pemberian bantuan yang terarah, kontinyu dan sistematis
kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah
beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara
menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al- Qur'an dan
Al-Hadist ke dalam diri, sehingga ia dapat hidup selaras dan sesuai dengan
tuntunan Al- Qur'an dan Hadist.
Dari uraian tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa bila
internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadist itu
19
telah tercapai dan fitrah beragama telah berkembang secara optimal maka
individu tersebut dapat menciptakan hubungan yang baik dengan Allah
SWT, dengan manusia dan alam semesta sebagai manifestasi dari
peranannya sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus juga berfungsi
untuk menyembah atau mengabdi kepada Allah SWT.
2. Petugas dan Subyek Bimbingan Islam
a. Petugas Bimbingan Islam
Petugas bimbingan Islam adalah pihak yang membimbing atau
dapat pula disebut dengan istilah guide atau counselor
(Depag,1975:159)
Sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist, syarat-syarat
pembimbing dalam bimbingan Islam menurut Faqih (2001: 56-51)
berpendapat sebagai berikut:
1). Kemampuan profesional (keahlian)
Pembimbing merupakan orang yang memiliki
kemampuan keahlian atau kemampuan profesional dibidang
bimbingan Islam.
2). Sifat kepribadian yang baik (akhlaqul karimah)
Sifat-sifat kepribadian yang baik (akhlak yang mulia) dari
seorang pembimbing diantaranya adalah:
a). Siddiq (mencintai dan membenarkan Kebenaran) yakni cinta pada kebenaran dan mengatakan benar sesuatu yang memang benar.
b). Amanah (bisa dipercaya) maksudnya pembimbing mampu menjaga rahasia terbimbing.
20
c). Tabligh (mau menyampaikan apa yang layak disampaikan) maksudnya pembimbing mau menyampaikan ilmunya kalau dimintai nasehat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
d). Fatonah (intelejen, cerdas, berpengetahuan) pembimbing harus memiliki kemampuan dan kecerdasan yang memadai. Termasuk sifat inovatif, kreatif, cepat tanggap, dan cepat mengambil keputusan.
e). Mukhlis (ikhlas dalam menjalankan tugas) pembimbing selalu ikhlas dalam menjalankan tugasnya karena mengharapkan ridha Allah.
f). Sabar dalam arti pembimbing harus ulet, tabah, ramah, tidak mudah putus asa, tidak mudah marah, mau mendengarkan keluh kesah terbimbing.
g). Tawaduk (rendah hati) pembimbing harus memiliki sifat rendah hati, tidak sombong, tidak merasa paling tinggi kedudukan maupun ilmunya.
h). Saleh (mencintai, melakukan, membina, menyokong kebaikan) pembimbing Islam harus bersifat saleh, karena akan memudahkan melakukan tugasnya.
i). Adil dalam arti mampu mendudukkan permasalahan dan klien sesuai dengan situasi dan kondisi secara porporsional
j). Mampu mengendalikan diri dalam arti harus memiliki kemampuan kuat untuk mengendalikan diri, menjaga kehormatan diri dan terbimbing.
3). Kemampuan kemasyarakatan (hubungan sosial)
Pembimbing harus memiliki kemampuan melakukan
hubungan sosial, ukhuwah Islamiah yang tinggi.
4). Ketakwaan kepada Allah
Ketakwaan merupakan syarat dari segala syarat yang
harus dimiliki seorang pembimbing Islam, sebab ketakwaan
merupakan sifat paling baik.
Pembimbing harus memiliki sifat lahiriah yang baik, dan
juga kondisi mental yang baik. Jasmaniah yang baik misalnya
”berpakaian yang bersih” yang berarti pembimbing harus
21
berpenampilan menarik, sopan, rapi, tertib. Sementara sikap
pembimbing yang harus dimiliki adalah selalu takwa kepada
Allah, beramal saleh atau tidak berbuat dosa, sepi ing pamrih dan
sabar.
b. Subyek Bimbingan Islam
Subyek bimbingan Islam adalah pihak yang dibimbing atau
disebut terbimbing (Depag, 1975: 159). Subyek bimbingan Islam
adalah individu, baik orang perorang maupun kelompok, yang
memerlukan bimbingan tanpa memandang agamanya. Sedangkan
mereka yang tidak beragama Islam perlakuan dari pembimbing Islam
berbeda dengan mereka yang beragama Islam, sesuai dengan
bimbingan Islam pada umumnya.
1). Faktor-faktor yang mempengaruhi “subyek bimbingan Islam”
adalah
a). Motivasi
Motivasi adalah suatu kondisi yang menggerakkan
suatu mahluk yang mengarahkan kepada sesuatu tujuan atau
beberapa tujuan dari tingkat tertentu (Arifin, 2000: 49). Hasil
bimbingan akan menjadi optimal kalau ada motivasi, adanya
motivasi seseorang yang mengikuti bimbingan akan berhasil
dengan baik dan tekun dalam mengikuti bimbingan karena
dipengaruhi oleh motivasi.
22
b). Minat
Minat adalah kecenderungan hati kepada sesuatu atau
keinginan, minat juga sebagai kecederungan subyek yang
menetap untuk merasa tertarik pada bidang studi
(Poerwadarminta, 1999: 650).
Minat besar sekali pengaruhnya terhadap kegiatan
bimbingan, seseorang akan melakukan sesuatu yang diminati
tanpa mengenal lelah, sebaliknya tanpa minat seseorang tidak
mungkin melakukan sesuatu, kalau melakukan hanya dengan
keterpaksaan dan hal itu akan mengakibatkan kurang baik.
Subyek bimbingan sudah barang tentu tidak harus mereka yang
menghadapi masalah, sesuai dengan fungsi bimbingan. Dengan demikian
subyek bimbingan bisa meliputi banyak orang, ini berbeda dengan
konseling yang subyeknya adalah individu yang mempunyai masalah
(Faqih, 2001: 45-46).
3. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Islam
Tujuan bimbingan Islam yaitu untuk meningkatkan dan menumbuh
suburkan kesadaran manusia tentang eksistensinya sebagai makhluk dan
khalifah Allah SWT di muka bumi ini, sehingga setiap aktivitas tingkah
lakunya tidak keluar dari tujuan hidupnya yakni untuk menyembah atau
mengabdi kepada Allah (Hallen,2005:14). Menurut Faqih (2001: 4)
berpendapat bahwa tujuan bimbingan Islam adalah:
23
a. Hidup selaras dengan ketentuan Allah artinya sesuai kodrat-Nya yang ditentukan Allah sesuai dengan sunatullah sesuai dengan hakekatnya sebagai mahluk Allah.
b. Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai dengan pedoman yang ditentukan Allah melalui Rasulnya (ajaran Islam).
c. Hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah; berarti menyadari eksistensi diri sebagai mahluk Allah untuk mengabdi kepadanya dalam arti seluas-luasnya. .
Dengan menyadari eksistensinya sebagai mahluk Allah, yang
bersangkutan akan berperilaku yang tidak keluar dari ketentuan, petunjuk
Allah, dengan hidup serupa itu maka akan tercapai kehidupan bahagia di
dunia dan akhirat yang menjadi idaman setiap muslim.
Sedangkan fungsi bimbingan Islam menurut Arifin dan Etik (1995:
7) adalah:
a. Menjadi pendorong (motivasi) bagi yang dibimbing sehingga timbul semangat dalam menempuh kehidupan.
b. Menjadi pemantap (stabilisator) dan penggerak (dinamisator) bagi yang tersuluh untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dengan motivasi ajaran agama, segala tugas dilaksanakan dengan dasar ibadah kepada Tuhan.
c. Menjadi pengarah (direktif) bagi pelaksanaan program bimbingan Islam. Sehingga wadah pelaksanaan program kemungkinan menyimpang dapat dihindari.
Menurut Arifin (1992: 14) berpendapat bahwa pelaksanaan
bimbingan agar dapat berjalan dengan baik ada beberapa fungsi yaitu :
a. Fungsi umum 1). Mengusahakan agar klien terhindar dari segi gagasan yang
mengancam kelancaran proses perkembangan dan pertumbuhan. 2). Membantu mencegah kesulitan yang dialami oleh setiap klien. 3). Mengungkap tentang psikologis klien yang bersangkutan
mengenai kemampuan diri sendiri, minat perhatiannya terhadap bukti yang dimilikinya yang berhubungan dengan cita-cita yang ingin dicapainya.
4). Melakukan pengarahan terhadap pertumbuhan dan perkembangan klien sesuai dengan kenyataan bakat, minat, dan kemampuan sampai titik optimal.
24
b. Fungsi khusus 1). Fungsi penyaluran : Menyangkut bantuan kepada klien dalam
memilih sesuatu yang sesuai dengan keinginan klien baik masalah pendidikan, pekerjaan, sesuai bakat, kemampuan yang dimilikinya.
2). Fungsi penyesuaian klien dengan kemajuan dalam perkembangan secara optimal, agar memperoleh kesesuaian, klien dibantu untuk mengenal dan memahami permasalahan yang dihadapi serta mampu memecahkannya.
3). Fungi adaptasi program pengajaran sesuai bakat, minat, kemampuan serta kebutuhan klien.
Fungsi tersebut dapat disimpulkan bahwa bimbingan Islam
mempunyai fungsi sebagai pendorong, mantap, penggerak untuk mencapai
pengarahan bagi pelaksanaan bimbingan supaya sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan klien serta melihat bakat dan minat yang
dimilikinya secara optimal yang berhubungan dengan cita-cita yang ingin
dicapainya.
4. Metode dan Materi Bimbingan Islam
a. Metode Bimbingan Islam
Metode langsung adalah metode di mana metode pembimbing
melakukan komunikasi langsung (tatap muka). Menurut Musnamar
(1992;49) metode langsung dibagi menjadi dua yaitu:
1). Metode individu yaitu pembimbing dalam hal ini melakukan
komunikasi langsung secara individual dengan pihak yang
dibimbing diantaranya adalah percakapan pribadi yaitu
pembimbing melakukan dialog langsung tatap muka dengan pihak
yang dikunjungi atau dibimbing
25
2). Metode kelompok yaitu pembimbing melakukan komunikasi
langsung dengan klien dalam kelompok, hal ini dapat dilakukan
dengan tehnik : diskusi kelompok yaitu pembimbing melaksanakan
bimbingan dengan cara mengadakan diskusi bersama dengan klien
yang mempunyai masalah. Dengan metode ceramah yaitu
pembimbing melakukan dialog langsung tatap muka dengan klien,
pembimbing memberikan materi seperti aqidah tauhid, akhlak, dan
ibadah baik itu ibadah kepada tuhan maupun kepada manusia.
3). Metode Keteladanan, sebab seorang pembimbing merupakan
contoh ideal dalam pandangan seseorang yang tingkah laku sopan
santunnya akan ditiru, yang didasari atau tidak, bahkan semua
keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, dalam
bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi
maupun spiritual. Karena keteladanan merupakan faktor penentu
baik buruknya seseorang yang dibimbing
b. Materi Bimbingan Islam
Materi bimbingan Islam adalah semua bahan yang disampaikan
terhadap anak asuh, bimbingan yang menjadi sasaran dengan
bersumber Al Qur'an dan Hadis, pada dasarnya materi bimbingan
hendaknya disampaikan tidak terlepas dari apa yang menjadi tujuan
bimbingan Islam, namun dari keseluruhan materi yang menjadi dasar
adalah:
26
1). Aqidah
Aqidah adalah tauhid (meng-Esakan Tuhan) kepercayaan
yang pokok pangkal atas kepercayaan keyakinan yang sungguh–
sungguh akan ke-Esaan Allah.
2). Syari’ah
Syariat adalah peraturan yang diturunkan Allah kepada
manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya,
dengan sesamanya, dengan lingkunganya dan dengan kehidupan
(Rofiq, 2002: 4)
3). Akhlak
Akhlak adalah suatu sikap yang melekat dalam jiwa
seseorang yang melahirkan perbuatan berdasarkan kemauan dan
pilihan, baik buruk, terpuji dan tercela, akhlak tersebut melekat
menjadi tabiat jiwa karena pengaruh pendidikan baik dan buruk
(Al-Adnani, 2002: 70)
B. Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas
Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan
apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun
dengan tetap menjaga dan menghargai hak serta perasaan pihak lain (Rini,
www.psikologiums.net. 2004)
Menurut Perlman dan Cozby (1983) dalam Nashori (2000: 13)
asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk
27
mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas dan dapat
mempertahankan hak-haknya dengan tegas.
Asertivitas adalah perilaku antar perorangan (interpersonal) yang
melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan.
Perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang
berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang
lain (Gunarsa, 1992: 215).
Jadi asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk
mengungkapkan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan secara
terbuka, tegas, dan jujur dengan tetap menghargai dan menjaga hak-hak
serta perasaan orang lain.
Asertivitas dalam penelitian ini diungkap menggunakan skala
pengukuran asertivitas yang disusun berdasarkan aspek-aspek perilaku
Asertivitas menurut Myers (1999: 90) yang meliputi: bebas
mengekspresikan, perasaan dan pendapat, mampu berkomunikasi dengan
semua orang, mempunyai orientasi hidup ke depan secara positif dan
mampu menghargai diri sendiri.
Menurut Christoff dan Kelly (1985) dalam Gunarsa (1992: 216),
ada tiga kategori asertivitas yakni:
a. Asertif penolakan, ditandai oleh ucapan untuk memperhalus seperti : maaf
b. Asertif pujian ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji, dan bersyukur.
c. Asertif permintaan: jenis asertif ini terjadi kalau seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai, tanpa tekanan atau paksaan.
28
Jadi dari uraian ini terlihat bahwa asertivitas adalah perilaku yang
menunjukkan adanya ketrampilan untuk bisa menyesuaikan dalam
hubungan interpersonal, dalam lingkungan sosial dimana orang-orang bisa
mengekspresikan perasaan dan pemikiran mereka dengan cara
menunjukkan penghormatan terhadap hak orang lain yang berinteraksi
dengan mereka melalui ekspresi diri (Depsos, 2001: 45). Menurut Alberti
(1977) (salah seorang tokoh yang banyak menulis mengenai asertivitas),
latihan asertif (atau terapi perilaku asertif-assertive behavior therapy, atau
latihan ketrampilan sosial adalah prosedur latihan yang diberikan kepada
klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari
perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan haknya. Prosedurnya adalah:
a. Latihan ketrampilan, di mana perilaku verbal maupun non verbal
diajarkan dilatih dan diintegrasikan ke dalam rangkaian perilakunya.
Teknik untuk melakukan hal ini adalah: peniruan dengan contoh
(modeling). Umpan balik secara sistematik, tugas pekerjaan rumah,
latihan-latihan khusus antara lain melalui permainan.
b. Mengurangi kecemasan, yang diperoleh secara langsung (misalnya
pengebalan) atau tidak langsung, sebagai hasil tambahan dari latihan
ketrampilan. Teknik untuk melakukan hal ini antara lain dengan
pendekatan tradisional untuk pengebalan, baik melalui imajinasi
maupun keadaan aktual.
c. Menstruktur kembali aspek kognitif, di mana nilai-nilai, kepercayaan,
sikap dengan membatasi ekspresi diri pada klien, diubah oleh
29
pemahaman dan hal-hal yang dicapai dari perilakunya. Teknik untuk
melakukan hal ini meliputi penyajian didaktif tentang hak-hak
manusia. Kondisioning sosial, uraian nilai-nilai dan pengambilan
keputusan. Sebagaimana diketahui, bahwa hambatan untuk
mengekspresikan diri pada seseorang, yaitu masyarakat, kebudayaan,
umur, jenis kelamin, status sosial, ekonomi, keluarga, perlu
diperhatikan karena kaitannya dengan hak-hak pribadi seseorang.
2. Teknik Assertive Training
Tehnik assertive training yaitu teknik yang digunakan untuk
melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus menerus
menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian klien dalam
mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui role
playing atau bermain peran, rehearsal (latihan), dan sosial modeling atau
meniru model-model sosial. John L.Shelton (1977) dalam surya (2003: 26)
mengemukakan bahwa maksud utama teknik assertive training adalah
untuk:
a. Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya.
b. Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasi sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain.
c. Mendorong kepercayaan kepada kemampuan diri sendiri. d. Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku asertif
yang cocok untuk dirinya sendiri.
Pada umumnya teknik untuk melakukan latihan asertif,
mendasarkan pada prosedur belajar dalam diri seseorang yang perlu
30
diubah, dan diperbaiki. Masters, et al. (1987) dalam Gunarsa (1992: 216-
217) mengemukakan bahwa teknik yang banyak digunakan untuk latihan
asertif adalah latihan berperilaku (behavioral rehersal) yaitu melakukan
atau melatih sesuatu tindakan yang cocok dan efektif untuk menghadapi
kehidupan nyata yang menimbulkan persoalan pada pasien atau klien.
Jadi tujuan dari latihan asertivitas adalah agar seseorang belajar
bagaimana mengganti sesuatu respons yang baru, yang sesuai. Lange dan
Jakbowski (dalam Rakos, 1991: 81) menjelaskan bahwa asertif meliputi
pertahanan terhadap hak individu untuk mengekspresikan pikiran,
perasaan, dan keyakinan yang diungkapkan secara langsung, jujur, tepat,
dan tidak melanggar hak asasi orang lain.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Asertivitas Seseorang
Menurut Gunarsa (2000:42-45) adalah:
a. Keluarga Sebagai lingkungan pertama dan utama membentuk perilaku
asertif individu. Pada dasarnya keluarga akan mempengaruhi perilaku asertif melalui dua cara yaitu: hasil pembentukan kepribadian individu dan sikap atau perilaku asertif orang tua.
b. Lingkungan Sekolah
Hubungan antara murid dengan guru atau antara murid dengan murid, banyak mempengaruhi kepribadian, kepribadian guru dapat menjadi tokoh yang dikagumi, karena timbul hasrat peniruan terhadap guru tersebut. Hubungan murid dengan murid yang baik dapat memperkecil kemungkinan tumbuhnya perbuatan yang jauh dari nilai moral yang tinggi bilamana kelompok itu sendiri sudah mempunyai moral yang baik pula sehingga secara tidak langsung, Si murid memperoleh kesempatan untuk melatih dan memperkembangkan nilai-nilai moral.
c. Lingkungan Teman-teman Sebaya
Makin bertambah umur, Si anak makin memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengadakan hubungan dengan teman
31
bermain sebaya, sekalipun dalam kenyataannya perbedaan umur yang relatif besar tidak menjadi sebab tidak adanya kemungkinan melakukan dalam suasana bermain.
d. Segi Keagamaan
Penghayatan nilai-nilai keagamaan dan perwujudannya dalam tingkah laku dan dalam hubungan dengan anak lain, dalam perkembangannya seorang anak mula-mula merasa takut untuk berbuat sesuatu yang tidak baik, seperti berbohong. Bahwa perbuatan yang tidak baik akan dihukum oleh Penguasa Tertinggi yaitu: Tuhan. Ajaran keagamaan dapat berupa petunjuk apa yang boleh dan wajar dilakukan, dapat berupa pengontrol untuk tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Nilai-nilai keagamaan ini, diperoleh anak pada usia yang muda, dapat menetap menjadi pedoman tingkah laku dikemudian kalau pada mulanya kepatuhan didasarkan karena adanya rasa takut yang diasosiasikan dengan kemungkinan memperoleh hukuman, maka lama-lama kepatuhan akan dapat dihayati sebagai cara dan tujuan hidupnya.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa, keluarga, lingkungan sekolah,
teman sepermainan mempengaruhi perkembangan asertivitas anak sejak
dini, dan yang paling utama adalah keluarga karena dipandang sebagai
persiapan dasar untuk memasuki lingkungan. Sehubungan asertivitas dan
keluarga, Rakos (1991; 170-180) menjelaskan bahwa keluarga
mempengaruhi tingkat asertivitas individu melalui sikap, dan perilaku
orang tua atau lingkungan setempat terhadap perilaku tersebut. Dengan
kata lain, asertivitas anak merupakan hasil modeling terhadap tingkah
laku orang dewasa, orang tua yang tidak banyak tuntutan atau memberi
kebebasan terhadap anaknya untuk dapat mengekspresikan diri anak akan
menyebabkan anak mampu menampilkan asertivitas.
Sehubungan dengan hal tersebut pelaksanaan bimbingan Islam
bukan semata-mata diberikan kepada anak yang mengalami masalah
kejiwaan, melainkan lebih dari itu diberikan kepada anak secara
32
keseluruhan. Dengan mengasumsikan perkembangan anak yang amat
pesat pada usia sekolah, dan mengingat bahwa lingkungan keluarga
sekarang tidak lagi mampu memberikan fasilitas untuk mengembangkan
fungsi-fungsi anak, terutama fungsi intelektuil dalam mengejar kemajuan
zaman modern, maka anak memerlukan satu lingkungan sosial baru lebih
luas berupa sekolahan untuk mengembangkan potensinya.
Masa sekolah ini, pandangan anak betul-betul diesseiting, yaitu
mengarah pada masalah kehidupan sekarang, hal ini tidak berarti, bahwa
perasaan religius anak hilang sama sekali; akan tetapi tidak menonjol.
Perasaan tinggi tersebut (perasaan religius) seakan-akan lelap tertidur,
hanya kadang-kadang muncul. Sehubungan dengan hal ini, hendaknya
pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun tidak dilaksanakan dengan
kekerasan, ancaman, dan paksaan untuk melakukan rite-rite keagamaan.
Tetapi diberikan sesuai perkembangan psikis, kebutuhan, dan keinginan
anak (Kartono, 1979: 142).
Sehubungan dengan bimbingan Islam, anak yang mengalami
kematangan beragama maka mereka akan menjadikan agama yang
dihayati sebagai dasar berpikir dan berperilaku. Khususnya dalam
hubungan interpersonal orang lain (Nashori, 2000: 30).
Menurut penelitian Ernest Harms dalam ( Jalaluddin, 2000: 66-67 )
perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan).
Dalam bukunya The development of Religius on Children, yang
33
mengatakan bahwa perkembangan agama anak melalui tiga tingkatan
yaitu:
a. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada
tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh
fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati
konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi
hingga dalam menanggapi agamapun masih menggunakan konsep
fantasi yang meliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
b. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga
sampai ke usia (masa usia ) adolesense. Pada masa ini ide ketuhanan
anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada
kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga
keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa
lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas
dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan
yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak-anak
tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk
34
tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajari dengan penuh
minat
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang
paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep
keagamaan yang individual ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
1). Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan
dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh luar.
2). Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam
pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3). Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah
menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran
agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor
intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh
luar yang dialaminya.
Jadi dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep
keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-
anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority. Maksudnya
konsep keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius, yang
dipengaruhi oleh faktor lain dari luar diri mereka.
35
C. Pengaruh Bimbingan Islam terhadap Asertivitas Anak
Anak yatim piatu adalah anak-anak yang tidak punya orang tua, bapak-
ibu. Sehingga anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang secara
wajar dan tidak sempat mendapatkan pelayanan dan sentuhan nilai-nilai
agama. perkembangan agama anak sangat ditentukan oleh pengalaman yang
dilaluinya terutama pada masa umur (6-12 tahun ). Seseorang anak pada masa
itu tidak mendapat didikan agama, maka nanti setelah dewasa akan cenderung
kepada sikap negatif terhadap agama. Sudah melihat, mempelajari hal-hal
yang ada di luar mereka, sehingga akan mengikuti apa-apa yang dikerjakan
dan diajarkan oleh orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kemaslahatan agama ( Jalaluddin,2002:70 )
Kompleksitas permasalahan tersebut merupakan tantangan bagi
pelaksanaan dakwah Islam untuk memberi motivasi beragama yang kuat dari
segi lahiriyah maupun batainiyah
Menurut Sujanto (1982: 141-146) menyebutkan ciri-ciri umum anak
antara lain:
1. Adanya kegemaran mengumpulkan barang-barang Sebelum masa ini anak masih senang menggunakan barang-barang
tidak semestinya, kemudian mulai bermain dengan alat tertentu dan ingin memiliki sebanyak-banyaknya. Anak merasa senang sekali kalau orang tuanya bersedih dengan pengumpulan barang itu.
2. Adanya hasrat untuk berkomunikasi dengan dunia yang lebih luas Keinginan untuk berhubungan dengan dunia yang lebih luas
dimanfaatkan anak untuk saling berkunjung ke rumah teman sekelas. Contohnya: belajar bersama.
3. Anak mulai memilih hobby Pada umur ini anak cenderung memilih hobby, pada umumnya
kegemaran ini menunjukkan bakat sehingga perlu adanya pemupukan dari orang tua, guru agar bakat dapat berkembang
36
4. Adanya anak yang memerlukan perhatian khusus Perhatian khusus bukannya anak abnormal, melainkan anak yang
normal. Tetapi karena di rumah ia berada dalam kedudukan yang agak berlainan dengan anak yang lain, perhatian khusus ini diharapkan tidak merugikan dirinya, orang lain, dan sekolahnya.
Pada masa ini bimbingan aqidah tauhid, dan akhlak, al-Qur’an, ibadah
merupakan dasar-dasar yang harus ditanamkan ke dalam jiwa anak dengan
metode kasih sayang, ketulusan, dan ketauladanan yang persentatif dari kedua
orang tua, lingkungan keluarga dan masyarakat. Karena pada masa ini
merupakan masa mencontoh atau meniru sangatlah kuat bahkan akan mengisi
memori yang dalam pada anak (Adz-Dzaky, 2001: 111-112).
Oleh karena itu masyarakat wajib memperhatikan pemeliharaan anak-
anak yatim dan tidak boleh membiarkan mereka merasakan kepedihan-
kepedihan keyatiman dan kepahitannya. Seperti halnya wajib dipenuhi pula
kebutuhan-kebutuhan makanan yang diperlukan anak yatim, hendaknya
dipenuhi pula kebutuhan-kebutuhan jiwanya terhadap perhatian dan kasih
sayang, supaya tidak muncul padanya gangguan-gangguan kejiwaan.
Tanggung jawab hal ini terletak di pundak masyarakat.
Dalam memelihara anak-anak yatim, hendaknya seseorang
memperhatikan sikap pertengahan ( batas kewajaran ) dan menjauhi ifrath dan
tafrith (berkelebihan dan berkekurangan).
Bimbingan Islam merupakan proses pemberian bantuan, artinya
bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan, melainkan sekedar
membantu individu berdasarkan Al Qur'an dan Al Hadits. Kenyataan
menunjukkan manusia di dalam kehidupannya sering menghadapi persoalan-
37
persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan
yang lain timbul demikian seterusnya.
Berdasarkan atas kenyataan bahwa manusia itu tidak sama satu dengan
yang lainnya. Baik dalam sifat-sifatnya maupun dalam kemampuan-
kemampuannya. manusia yang sanggup mengatasi persoalannya tanpa adanya
bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak sanggup
mengatasi persoalan-persoalan tanpa adanya bantuan atau pertolongan dari
orang lain, sehingga bimbingan Islam sangat diperlukan. Manusia perlu
mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya, dengan mengenal dirinya manusia
dapat bertindak sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang ada padanya.
Tetapi tidak semua manusia dapat sampai kepada kemampuan ini, karena
perlunya pertolongan/ bantuan orang lain dan hal ini dapat diberikan oleh
bimbingan Islam (Walgito, 1995: 7)
Orang yang memiliki kepribadian sehat dan matang mengarahkan
dirinya pada orang lain. Mereka aktif terlibat dan terikat pada sesuatu atau
seseorang yang ada di luar dirinya, orang yang matang bukanlah penonton
kehidupan yang pasif, terisolasi, dan menarik diri dari orang lain tetapi dia
benar-benar tenggelam sepenuhnya dalam kehidupan bersama orang lain.
Mereka mempunyai kemampuan mencintai dan memperluas dirinya ke dalam
hubungan yang penuh perhatian dengan orang lain. Bagi mereka pertumbuhan
dan pemenuhan orang lain sekurang-kurangnya sama pentingnya dengan
pertumbuhan dan perkembangan dirinya sendiri.
38
Kesiapan untuk mengarahkan diri kepada orang lain ditopang oleh
kemampuan melakukan diferensiasi terhadap agama akan menjadikan individu
memahami ajaran agama secara obyektif. Dari sana, pemahaman obyektif
akan agama, ia mengetahui bahwa setiap agama menempatkan pemberian
kebaikan dan kasih sayang kepada orang lain sebagai tuntunan yang utama.
Pertemuan antara kesiapan mengarahkan diri kepada orang lain dengan
pemahaman obyektif akan pentingnya berhubungan dengan orang lain
sehingga mendorong individu berkenalan dan berbuat yang sebanyak-
banyaknya kepada orang lain. Kecenderungan ini akan menguat terutama bila
individu memiliki konsistensi moral sesuai ajaran agamanya. Prinsip-prinsip
kebaikan dan kebenaran yang diajarkan agamanya berkaitan dengan masalah
perhatian orang lain akan diupayakan untuk dilakukan. Karena ajaran agama
selalu menuntun bahwa setiap kali bertemu orang harus menyapa dengan
salam, maka ia sapa setiap orang sudah dikenal dan diajak kenalan orang yang
belum dikenal (Nashori, 2000: 30-31).
Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia yang
mempunyai hubungan baik dengan Allah SWT dengan manusia dan alam
semesta, sehingga diri klien tercipta hablum minallah dan hablum minan nas
sebagai manifestasi dari kesadarannya atas peranan dan fungsinya sebagai
mahluk Allah di muka bumi, sehingga ia kembali menyadari peranannya
sebagai khalifah di muka bumi dan berfungsi untuk menyembah atau
mengabdi kepada Allah SWT sehingga akhirnya tercipta kembali hubungan
baik dengan Allah, manusia dan alam semesta.
39
Menurut Weaver dalam Andrie (2003: 3-4) menyebutkan beberapa
ciri-ciri individu yang asertivitas, yaitu:
1. Mengijinkan orang lain untuk menjelaskan pikirannya sebelum dirinya sendiri berbicara.
2. Mempertahankan keadaan yang sesuai dengan perasaan individu. 3. Membuat keputusan berdasar pada apa yang dianggap individu benar 4. Memandang persahabatan sebagai kesempatan untuk belajar lebih jauh
tentang diri sendiri dan orang lain serta untuk bertukar pikiran. 5. Secara spontan dan alami memulai percakapan menggunakan tekanan dan
volume suara yang sedang. 6. Berusaha untuk mengerti perasaan orang lain sebelum membicarakan
perasaannya sendiri. 7. Berusaha untuk menghindari hal yang merugikan dan merepotkan dengan
membicarakan masalahnya, sebelum dirinya menemukan arti yang masuk akal untuk memecahkan masalah yang tidak dapat dihindari.
8. Menghadapi masalah dan pengambilan keputusan dengan tabah. 9. Menganggap dirinya kuat dan mampu, tapi sama dengan orang lain pada
umumnya 10. Bertanggung jawab dengan menghargai situasi, kebutuhan dan hak
individu.
Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa bimbingan Islam
merupakan salah satu upaya efektif untuk bisa mengembangkan,
menyeimbangkan serta mempertahankan perilaku-perilaku positif yang ada
dalam diri setiap individu, termasuk sikap asertivitas anak di panti asuhan
yatim piatu Darul Hadlonah Kudus sehingga memiliki akhlak yang baik,
dalam lingkungan sosial maupun lingkungan keluarga.
D. Hipotesa Penelitian
Hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang
kebenarannya masih harus diuji secara empiris (Sumadi, 1995: 69).
Jika landasan teoritis itu mengarahkan penyimpulannya ke “tidak ada
hubungan” atau ke “tidak ada perbedaan”, maka hipotesis penelitian yang
40
dirumuskan akan merupakan hipotesis nol (Ho). Sebaliknya, jika tinjauan
teoritis mengarahkan penyimpulannya ke “ada hubungan” atau ke ”ada
perbedaan”, maka hipotesis penelitian yang dirumuskan akan merupakan
hipotesis alternatif (HA) (Sumadi, 1995: 71).
Bahwa “Ada pengaruh positif antara bimbingan Islam terhadap
asertivitas anak di panti asuhan yatim piatu Darul Hadlonah Kabupaten
Kudus. Artinya, semakin tinggi tingkat bimbingan Islam maka akan semakin
baik perilaku asertif anak, dan sebaliknya semakin rendah tingkat bimbingan
Islam maka akan semakin buruk perilaku asertif anak.