Makalah hadist dan ulumul hadist
-
Upload
nur-afifah -
Category
Education
-
view
600 -
download
18
Embed Size (px)
Transcript of Makalah hadist dan ulumul hadist

MakalahHadist dan Ulumul Hadist”Pengertian, sejarah,
perkembangannya dan cabang-cabangnya
& Pembagian hadits”
Yang di Bimbing oleh:Ali Tamam, M. Pd I
Yang disusun oleh:
1. Fitriyani (201346041138)2. Nur Afifah (201346041139)
STI Syari’ah Sentra Bisnis IslamJl. Kalidami no 14- 16 Surabaya

Tahun Ajaran 2015- 2016
K a t a P e n g a n t a r
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas kelimpahan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini untuk
memenuhi salah satu mata kuliah yatu Hadist dan Ulumul Hadist.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi akhir zaman,
manusia terbaik yang di turunkan Allah ke muka bumi, satu-satunya nabi dan rosul yang
berhak member safa’at, sang permata di antara batu karang, yakni nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Semoga kita termasuk umat beliau dan berhak
memperoleh safaatnya nanti di hari akhir amin..
Ulumul hadist adalah salah satu bidang study atau mata kuliah yang sangat penting
bagi para pelajar dan mahasiswa yang ingin mempelajari hadist dan keislaman secara
mendalam. Ulumul hadist merupakan ilmu yang mengantar umat islam untuk memahami
kajian hadist dengan mudah dan benar. Dengan demikian memahami Ulumul Hadist sangat
penting, karena hadits merupakan sumber ke dua setelah Al-qur’an.
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari
pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini
merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik
dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang
sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Alquran
dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji.
Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu
para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi
dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadis. Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah
dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis(Ilmu Hadis) yang merupakan salah satu bidang ilmu
yang penting di dalam Islam, terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi
SAW. Karena hadis merupakan sumber ajaran dan hukum Islam kedua setelah dan
berdampingan dengan Alquran. Namun begitu perlu disadari bahwa hadis-hadis yang dapat
dijadikan pedoman dalam perumusan hukum dan pelaksanaan ibadah serta sebagai sumber
ajaran Islam adalah hadis-hadis yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadis sahih dan hadis

hasan. Selain hadis maqbul, terdapat pula hadis Mardud, yaitu hadis yang ditolak serta tidak
sah penggunaannya sebagai dalil hukum atau sumber ajaran Islam. Bahkan bukan tak
mungkin jumlah hadis mardud jauh lebih banyak jumlahnya daripada hadis yang maqbul.
Untuk itulah umat Islam harus selalu waspada dalam menerima dan mengamalkan ajaran
yang bersumber dari sebuah hadis. Artinya, sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu
dikaji dan diteliti keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun salah
satu cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dengan yang ditolak adalah dengan
mempelajari dan memahami Ulumul Hadis yang memuat segala permasalahan yang berkaitan
dengan hadis.
Tak ada gading yang tak retak, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun
selalu kami nantikan, untuk perbaikan pembuat makalah selanjutnya.
Surabaya, 16 Oktober 2015
Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ulumul Hadist
2.2 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist
a. Periode Pertama (Zaman Rasul)
b. Periode Kedua (Masa Khulafaur rasyidin)
c. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil Tabi’it Besar)
d. Periode Keempat (Masa Pembukuan Hadist)
e. Periode Kelima (Masa Kodefikasi Hadist)
f. Periode Enam (dari tahun 656 H sampai sekarang)
2.3 Cabang- cabang Ilmu Hadist
a. Ilmu Dirayatul Hadist
b. Ilmu Riwayatul Hadist
2.4 Pembagian Hadist Dari segi kuantitas sanad, mutawatir, masyhur, dan ahad
a. Hadist Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanadnya
BAB III PENUTUP
3.1 Kritik
3.2 Saran

BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar belakang.
Hadits atau yang disebut dengan sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya.
Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an, sejarah perjalanan Hadits tidak terpisahkan
dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri
tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadis dapat disebut sumber hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an karena, hadis
diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda Nabi
s.a.w. :
ر النا من مقعده فليتبوأ متعمدا علي ب كذ من“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka
disediakan”
Tidak seperti Al-Qur'an, dalam penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW
banyak mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh
mereka. Penulisan itupun hanya bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian,
Hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in,
memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Sebab ada yang
meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW, dan
ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja, sedangkan redaksinya tidak sama.
Atas dasar itulah, maka dalam menerima suatu Hadits, langkah yang harus dilakukan
adalah dengan meneliti siapa pembawa Hadits itu (disandarkan kepada siapa Hadits itu),
untuk mengetahui apakah Hadits itu patut kita ikuti atau kita tinggalkan. Oleh karena untuk
memahami Hadits secara universal, diantara beberapa jalan, salah satu diantaranya adalah
dengan melihat Hadits dari segi kuantitas atau jumlah banyaknya pembawa Hadits (Sanad)
itu.

1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Ulumul Hadist ?
2. Bagaimanakah Sejarah, perkembangan dan cabang dari ulumul Hadist ?
3. Bagaimana penjelasan ulumul hadist dari segi kuantitas sanat, mutawattir, masyhur,
dan ahad?
4. Bagaimanakah penjelasan ulumul Hadist dari segi kualitas: shohih, hasan dan dlaif,
ma'mulbih dan ghayar ma'mulbih ?
1.2. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ulumul Hadist.
2. Mengetahui sejarah, perkembangan dan cabang dari ulumul Hadist.
3. Mengetahui dan mengerti tentang ulumul hadist dari segi kuantitas semisal sanad,
mutawattir, masyhur, dan ahad.
4. Mengetahui dan mengerti tentang ulumul hadist dari segi kualitas semisal shohih,
hasan, dlaif, ma’mulbih dan ghayar ma’mulbih.

BAB II
PEMBAHASAN2.1 Pengertian Ulumul Hadist
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits yang bahasa
Arabnya yaitu ‘Ulum al-Hadits. ‘Ulum al-Hadits ini terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-
Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-
ilmu”; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW. dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian
Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin mulai merintis ilmu ini
dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara
mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-
Turmudzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak (spesialis) dalam satu kitab
khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (360 H) yang diberi nama dengan
Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah
an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha
beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah
periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi Was Sami’
yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
2.2 Sejarah perkembangan Ilmu Hadits
a. Periode Pertama (Zaman Rasul)
Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap
permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi. Para sahabat lebih fokus
dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an. Rasul pada masa itu secara umum melarang
menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang /
masih diturunkan.
Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits,
mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan. Sebagian kecil sahabat –
yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti: Abdullah Bin Amr Bin Ash yang
mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin

Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir”. Pada
event tertentu orang Arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan
permintaannya untuk menuliskan haditsnya.
b. Periode Kedua (Masa Kulafaur Rasyidin)
Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan
ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia. Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah
Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka. Khalifah
Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits
kepadanya. Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits. Khalifah
Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak
periwayatan hadits. Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar
kedaerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
c. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
Para sahabat besar telah terpencar keluar dari Madinah. Jabir pergi ke Syam
menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary. Abu Ayyub Al Anshary
pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits. Masa ini sahabat
besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits
antara lain :
1. Abu Hurairah (5347 hadits)
2. Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
3. Anas Bin Malik (2236 hadits)
4. Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
5. Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
6. Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
7. Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
8. Ibnu Mas’ud
9. Abdullah Bin Amr Bin Ash
Setelah Khalifah Ali terbunuh, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan
keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani
Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-
masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
d. Periode Ke Empat (Masa pembukuan Hadits)

Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada
tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’, tergeraklah hatinya
untuk membukukan hadits dengan motif :
1. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
2. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
3. Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran
tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
4. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar
sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat
dalam peperangan-peperangan tersebut.
Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin
Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya
dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades,
murid Aisyah-Ummul Mukminin.
Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan
menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az
Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry) seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut
membukukan hadits Rasulullah SAW.
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H,
yang terkenal diantaranya :
1. Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
2. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
3. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
4. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
5. Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)
e. Periode Kelima (Masa Kodefikasi Hadits)
1. Periode penyaringan hadits dari fatwa para sahabat (abad ke-III H)
a) Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat Nabi
b) Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
c) Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan kesahihan hadits.
d) Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhari).
e) Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
f) Penyusunan kitab Sahih Bukhori.

g) Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui
oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih
mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang
tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
1) Sahih Bukhori
2) Sahih Muslim
3) Sunan Abu Dawud
4) Sunan An Nasa’i
5) Sunan At-Turmudzy
6) Sunan Ibnu Majah
2. Periode menghafal dan mengisnadkan hadits (abad ke-IV H)
a) Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-
kitab hadits.
b) Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab
hadits.
c) Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H,
jatuhnya Baghdad)
a) Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
b) Menguraikan dengan luas (mensyarah) kitab-kitab hadits.
c) Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
d) Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
e) Menciptakan kamus hadits.
f) Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhori-Muslim
g) Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
h) Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian
mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
i) Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhori Muslim
umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhari atau
Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
j) Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat
Bukhari dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di
sahihkan oleh keduanya.
f. Periode Ke Enam (dari tahun 656 H sampai sekarang)

Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang
ini.
1. Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
2. Membuat kitab-kitab jami’
3. Menyusun kitab-kitab athraf
4. Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat
dalam kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
2.3 Cabang-cabang Ilmu hadits
Secara garis besarnya, ilmu hadits terbagi dua, yaitu:
a. Ilmu Dirayatul Hadits
Menurut sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul Hadits adalah ilmu yang membahas
cara kelakuan persambungan hadits kepada nabi Muhammad SAW dari sikap perawinya,
mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan
bersambungnya, serta yang sepertinya.
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan
marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti tentang ke'adilan dan
kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan haditsnya serta sanadnya
bersambung atau tidak. Sedang dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau
tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
b. Ilmu Riwayatul Hadits
Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala penukilan yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa
sifatnya.
Adapun yang menjadi obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara
menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu
Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan
dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang
salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat
Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari
Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.

Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah di atas kemudian berkembang pula beberapa
cabang ilmu, yakni:
a. Ilmu Rijalul Hadits
Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari
angkatan sesudahnya. dengan ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang
menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan
seterusnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab
yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu saat menerima hadits.
b. Ilmu Jarhi wat Ta’dil
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi
dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang
khusus dan tentang martabat kata-kata itu. Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama
hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang
dari Nabi dan mana yang bukan.
c. Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebut dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu
diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail
Mubhamat.
d. Ilmu ‘Ilalil Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat
merusakkan hadits. Yakni: menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf,
memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila
diketahui dapat merusakkan hadits.
e. Ilmu Ghoribil Hadits
Yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits
yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang susah dipahami karena jarang
dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
f. Ilmu Nasikh wal Mansukh

Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan
menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits
tersebut muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan
dengan tidak sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak mungkin dikumpul
dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang
terdahulu dinamai mansukh.
g. Ilmu Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan
lahirnya. Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau
mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya
(dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
i. Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan
waktu beliau menuturkan itu.
j. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya
bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak
bertentangan dengan hadits lain.
2.5 Pembagian Hadist Dari segi kuantitas sanad, mutawatir, masyhur, dan ahad
2.5.1 Hadist Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanadnya.
Para ulama' berbeda pendapat tentang pembagian Hadits ditinjau dari sudut kuantitas
atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini. Diantara mereka ada yang
mengelompokkannya menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur dan
Hadits Ahad, dan ada pula yang membaginya menjadi dua bagian yaitu Hadits Mutawatir dan
Hadits Ahad.
Ulama' golongan pertama, yang menjadikan Hadits Masyhur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh sebagian ulama' ushul, diantaranya adalah Abu

Bakar al-Jashshash (305-307 H). Sedangkan golongan ulama' kedua, yang menjadikan Hadits
Masyhur sebagai bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh kebanyakan ulama' ushul dan ulama'
kalam. Mereka membagi Hadits menjadi dua bagian, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits
Ahad. Berdasarkan pembagian ini, maka Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib
merupakan bagian dari Hadits Ahad. Berangkat dari hal tersebut, guna memahami Hadits
secara mudah dan benar, maka dalam pembahasan makalah ini penulis mengikuti pendapat
yang kedua.
1. Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti "mutatabbi'" yaitu yang (datang) berturut-turut
dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan pengertian Hadits Mutawatir secara terminologi adalah
:
فالحديث المتواتر هو الحديث الذى رواه جمLLع يمتنLLع تواطLLؤهمعلى الكذب
[1]1عن جمع مثلهم من أول السند إلى منتهاه
Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad.
Berdasarkan definisi tersebut, ada empat hal yang harus terpenuhi pada sesuatu Hadits
yang dikategorikan Mutawatir, yaitu : Pertama, Hadits itu harus diriwayatkan oleh banyak
orang. Kedua, Hadits itu diterima dari banyak orang pula. Ketiga, ukuran banyak di sini
jumlahnya relatif, dengan ukuran berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa
mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta, dan keempat,
Hadits itu diperoleh melalui pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran
mereka2[2].
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Dengan memperhatikan ta'rif di atas, maka suatu Hadits baru bisa dikatakan
Mutawatir bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi
harus berdasarkan hasil pengamatan panca indera. Dengan kata lain berita yang
1[1] Muhammad Ajaj al-Khotib, Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa Musthalahuhu, Dar al-Manarah, Jeddah, Makkah, hal : 315.
2[2] Utang Ranuwijaya, 2001, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal : 125.

mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya,
penciumannya atau sentuhannya.
2. Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap thabaqahnya. Jumlah
sanad Mutawatir antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus
seimbang. Misalnya, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada
thabaqah-thabaqah berikutnya juga masing-masing harus 10, atau 9, atau 11 orang.
Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian
diterima oleh sepuluh tabi'in dan selanjutnya hanya diterima oleh empat tabi' at-tabi'in,
tidak digolongkan Hadits Mutawatir, sebab jumlah sanadnya tidak seimbang antara
thabaqah pertama dengan thabaqah-thabaqah berikutnya.
3. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan
mereka untuk bersepakat bohong (berdusta). Dalam hal ini para ulama' berbeda
pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta :
- Abu at-Thayyib menentukan sekurang-kurangnnya 4 orang. Karena diqiyaskan dengan
banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa.
- Ash-habu as-Syafi'i menentukan 5 orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para nabi
yang mendapat gelar Ulul Azmi
- Sebagian ulama' menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang
difirmankan oleh Allah dalam QS. Al-Anfal : 65 tentang sugesti Allah kepada orang mukmin
yang tahan uji, yang berjumlah 20 orang saja dapat mengalahkan 200 orang3[3].
)65إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين (األنفال : Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus musuh (al-Anfal : 65)
- Ulama' yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Karena mereka
mengqiyaskan dengan firman Allah :
يا أيها النLLبي حسLبك اللLه ومن اتبعLك من المؤمLLنين (األنفLLال :64(
Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).
- Dan ulama' yang lain berpendapat bahwa jumlah tersebut sekurang-kurangnya 70 orang4[4].
Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :
3[3] Fatchur Rahman, 1974, Ikhtisar Musthalahul Hadits, PT al-Ma'arif, Bandung, hal : 79.

واختار موسى قومه سبعين رجال لميقاتناSedangkan Hadits Mutawatir terbagi kepada dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdzi dan
Mutawatir Ma'nawi5[5]. Adapun yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Lafdzi dan
Ma'nawi adalah :
]6[6المتواتر اللفظي هو ما تواتر لفظه ومعناه
Hadits Mutawatir Lafdzi adalah Hadits yang Mutawatir lafadz dan maknanya
Contoh dari Hadits Mutawatir Lafdzi ini yaitu :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (البخارى)Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat di
neraka. (HR. Bukhori)
Menurut Abu Bakar al-Bazzar, Hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat,
dan sebagian ulama' mengatakan bahwa Hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat
dengan lafadz dan makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada 10 kitab Hadits ; al-
Bukhori, Muslim, al-Darimi, Abu Dawuf, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Thayalisi, Abu
Hanifah, al-Tabrhani, al-Hikam.
]7[7المتواتر المعنوي هو ماتواتر معناه دون لفطه
Hadits Mutawatir Ma'nawi adalah Hadits yang Mutawatir maknanya bukan lafadznya
Contoh dari Hadits Mutawatir Ma'nawi tersebut adalah :
ما رفع ص.م يده حتى رؤي بياض ابطيه فى شيئ من دعائه إال فى اإلستسفاء(متفق عليه)Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo'a selain dalam shalat istisqa dan
beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya
Hadits-hadits yang semakna dengan Hadits tersebut banyak sekali (kalau dikumpulkan
ada 100 Hadits), antara lain :
4[4] Nuruddin 'Atar, 1997, Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi, Dar al-Fikr al-Mu'asir, Beirut, hal : 405.
5[5] A. Qadir Hasan, 1990, Ilmu Mushthalah Hadits, CV Diponegoro, Bandung, hal : 44.
6[6] Mahmud at-Thahhan, Taisiiru Musthalahul Hadisi, hal : 20.
7[7] Ibid, hal : 21.

كان يرفع يده حدو منكبيه
Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau
2. Hadits Ahad
Secara etimologi, kata "ahad" merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu.
Maka Khobar Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu
orang. Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :
يث الحد مبلغ رواته يبلغ لم الذى هوالحديث االحد يث الحد
اوخمسة اربعة ااو اوثالثة اثنين او واحد الراوى كان سواء المتوتر
خبر فى خل د الحديث بان تشعر ال التى العداد من لك ذ غير الى
المتوتر.Artinya : “Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir,
baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi
pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis
mutawatir”.
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut
Hadits Ahad adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Mutawatir8[8]
Atau dengan kata lain, Hadits Ahad adalah suatu Hadits yang jumlah pemberitaannya
tidak mencapai jumlah pemberita Hadits Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang,
tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa Hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir9[9]. Dan Hadits Ahad itu
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Masyhur, Hadits 'Aziz dan Hadits Gharib.
1. Hadits Masyhur
Adapun yang dimaksud dengan Hadits Masyhur adalah :
رواه الذى يث الحد هو المشتفيض يث الحد او المشهور يث الحدالتوتر درجة يصل لم فاكثر ثة .الثال
8[8] Ibid, hal : 22.
9[9] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, hal : 74.

Hadits Masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih – dalam tiap
thabaqah – serta belum mencapai derajat Mutawatir.
Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Masyhur ada yang Shahih, ada yang Hasan dan
ada yang Dho'if10[10]. Hadits Masyhur yang Shahih artinya Hadits Masyhur yang memenuhi
syarat-syarat keshahihannya, Hadits Masyhur yang Hasan artinya Hadits Masyhur yang
kualitas perawinya di bawah kualitas perawi Hadits Masyhur yang Shahih, sedangkan Hadits
Masyhur yang Dho'if artinya Hadits Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau kurang
salah satu syaratnya dari syarat Hadits Shahih.
Menurut ulama' fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradhif dengan Hadits Musthafid,
sedangkan ulama' yang lain membedakannya. Suatu Hadits dikatakan musthafid bila jumlah
rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai thabaqah
terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih umum daripada Hadits Musthafid, yakni jumlah rawi-
rawi dalam tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu,
dalam Hadits Masyhur bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama adalah
sahabat, thabaqah kedua thabi'i, thabaqah ketiga tabi'it tabi'in dan thabaqah keempat adalah
orang-orang setelah tabi'it tabi'in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi-rawi
dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali11[11].
Adapun contoh dari Hadits Masyhur tersebut adalah :
إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى (متفق عليه)Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh
apa yang ia niatkan (Muttafaqun Alaihi)
Hadits tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri,
pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh al-Qamah sendiri, pada thabaqah ketiga
diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain : Abd al-Wahhab, Malik, Hammad dan Sufyan.
Hadits tersebut biasa disebut Hadits Masyhur, atau disebut Hadits Gharib pada
awalnya dan Masyhur pada akhirnya12[12].
Istilah Masyhur yang diterapkan pada suatu Hadits, kadang-kadang bukan untuk
memberikan sifat-sifat Hadits menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang
meriwayatkan suatu Hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu Hadits yang
mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai.
Dari sisi ini, maka Hadits Masyhur terbagi kepada :
10[10] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Úlumus as-Sunnah wa Dusturu al-Ummah, hal : 197.
11[11] Fatchur Rahman, Op-Cit, hal : 86.
12[12] Endang Soetari, 1997, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, hal : 125.

Masyhur di kalangan para muhadditsin dan lainnya (golongan ulama' ahli ilmu dan
orang umum)
Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli
Hadits saja, atau ahli Fiqih saja, atau ahli Tasawuf saja, atau ahli Nahwu saja dan lain
sebagainya.
Masyhur di kalangan orang-orang umum saja.
2. Hadits 'Aziz
Ulama' Hadits memberikan ta'rif Hadits 'Aziz adalah :
طبقة في كان ولو اثنان راه الذى يث الحد هو العزيز يث الحد
عة جما ذالك بعد رواه ثم واحدة Artinya: “Hadis ‘Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua orang rawi itu
pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.”
Dari definisi tersebut, kiranyanya dapat disimpulkan bahwa suatu Hadits dikatakan
'Aziz bukan saja yang meriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni sejak
dari thabaqat pertama sampai thabaqat terakhir, tetapi sewaktu kedua thabaqat didapati dua
orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai Hadits 'Aziz. Dalam kaitannya dengan
masalah ini, Ibnu Hibban mengatakan bahwa Hadits 'Aziz yang hanya diriwayatkan dari dan
kepada dua orang perawi pada setiap thabaqat tidak mungkin terjadi. Secara teori memang
ada kemungkinan, tetapi sulit untuk dibuktikan13[13].
Dari pemahaman seperti ini, bisa saja terjadi suatu Hadits yang pada mulanya
tergolong sebagai Hadits 'Aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah
menjadi Hadits Masyhur, karena perawi pada thabaqat lainnya berjumlah banyak.
Dalam Hadits 'Aziz terdapat Hadits 'Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada pula
yang Dha'if14[14]. Hadits 'Aziz yang Shahih, Hasan dan Dha'if tergantung kepada terpenuhi
atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'if.
Contoh 1 : Hadits 'Aziz pada thabaqah pertama
نيا : الد فى خرون اال نحن سلم و عليه الله صلي الله رسول قال
( هريرة ( وأبو يفة حذ عن القيامة يوم بقون اسا13[13] Munzier Suparta, 2003, Ilmu Hadits, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal : 116.
14[14] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Op-Cit, hal : 197.

Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda, “ Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan
yang paling terdahulu dihari kiamat.” (HR. Hudzaifah dan Abu Hurairah).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama yakni
Hudzaifah Ibn al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadits tersebut pada thabaqah kedua sudah
menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh
tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, al-'Araj, Abu Shalih, Humam dan Abd
al-Rahman.
Contoh 2 : Hadits 'Aziz pada thabaqah kedua
ال يؤمن احدكم حتى اكون احب إليLLه من نفسLLه ووالLLده وولLLدهوالناس اجمعين
(متفق عليه)Tidak sempurna iman salah seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya dari pada ia
mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya (Muttafaqun
'Alihi)
Hadits tersebut diterima oleh sahabat Anas Ibnu Malik (thabaqah pertama), kemudian
diterima oleh Qatadah dan Abd Aziz (thabaqah kedua).
Dari Qatadah diterima oleh Husein al-Mu'allim dan Syu'bah, sedang dari Abd al-Aziz
diriwayatkan oleh Abd al-Warits dam Ismail Ibnu Ulaiyah (thabaqah III). Pada thabaqah IV,
Hadits itu diterima masing-masing oleh Yahya Ibn Ja'far dan juga Yahya Ibnu Sa'id dari
Syu'bah, oleh Zubair Ibnu Harab dari Ismail, oleh Syaiban Ibnu Abi Syaibah dari Abd al-
Warits.
3. Hadits Gharib
Adapun pengertian Hadits Gharib adalah :
الغريب هو ما إنفرد بروايتLLه راو بحيث لم يLLروه غLLيره او إنفLLردبزيادة فى متنه او إسناده
Hadits Gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi karena tidak ada orang
lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap matan atau
sanadnya.
Hadis Gharib menurut bahasa adalah Hadist yang terpisah atau yang menyendiri dari
yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut :

واحد شحص يته بروا انفرد الذي يث الحد هو الغريب يث الحد
. السند من د التفر وقع مضع اي فىArtinya: “Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada
tingkatan maupun sanad ‘’
Contoh hadis gharib:
: صلى الله سول سمعت قال عنه ضىالله الخطاب ابن عمر عن
: امرئ لكل انما و النيات با العمال ا انما يقول سلم و عليه الله
نوى ماهما( ) غير و مسلم و البخارى رواه
Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda,
“Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkan.”(HR Bukhari,
Muslim, dan lain-lain).
Adapun maksud dari penyendirian rawi yaitu penyendirian rawi dalam meriwayatkan
Hadits itu, dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan
selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan si rawi, artinya sifat atau
keadaan si rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan
Hadits tersebut.
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi seperti tertera di atas, maka Hadits Gharib
ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Gharib Mutlaq dan Gharib Nisbi.
a. Gharib Mutlaq
Dikatakan Gharib Mutlaq, artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan keadaan
jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadits tersebut kecuali
dirinya sendiri.
Contoh :
اإليمان بضع وسبعون شعبة والحيLLاء شLعبة من اإليمLLان (متفLLقعلعه)
Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang, malu itu salah satu cabang dari iman
(Muttafaqun 'Alaihi)

Hadits tersebut diterima oleh Abu Hurairah dan Abu Hurairah (sahabat) hanya
diterima oleh Abu Shalih (tabi'in) dari Abu Shalih hanya diterima oleh Abdullah Ibn Dinar
(tabi'u al-tabi'in) yang darinya juga hanya diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Bilal, dan dari
Sulaiman diterima oleh Abu Amir. Baru setelah dari Abu Amir Hadits tersebut diriwayatkan
oleh Ubaidillah Ibn Sa'id dan Abdun Ibn Humaid yang dari keduanya, kemudian diterima oleh
Muslim.
Mengenai Gharib Mutlaq ini, para ulama' berbeda pendapat, apakah penyendirian pada
thabaqah sahabat juga termasuk ke dalam kategori Hadits Gharib atau tidak. Dengan kata lain,
apakah kajian tentang keghariban Hadits itu juga termasuk pada thabaqah sahabat atau tidak.
Menurut sebagian ulama', keghariban sahabat juga termasuk, sehingga apabila suatu Hadits
diterima dari Rasulullah hanya oleh seorang sahabat (misalnya oleh Abu Hurairah sendiri atau
oleh 'Aisyah sendiri), Hadits tersebut juga disebut Gharib, meskipun pada thabaqah-thabaqah
berikutnya diterima oleh beberpa orang.
Menurut sebagian ulama' lainnya berpendapat bahwa, penyendirian sahabat tidak
termasuk ke dalam Hadits Gharib. Keghariban Hadits menurut mereka hanya diukur pada
thabaqah tabi'in (misalnya pada Ibn Syihab az-Zuhri) dan thabaqah-thabaqah berikutnya.
Dengan demikian, suatu Hadits baru bisa dikatagorikan ke dalam Hadits Gharib apabila
terjadi penyendirian pada thabaqah tabi'in atau thabaqah-thabaqah berikutnya.
b. Hadits Gharib Nisbi
Disebut Hadits Gharib Nisbi, arti katanya Gharib adalah yang relatif. Ini maksudnya,
penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan
tertentu seorang rawi :
1. Penyendirian tentang sifat keadilan dan kedhabitan dan ketsiqahan rawi. Contoh :
كان رسول الله ص.م يقراء فى األضحى والفطLLر بLLق والقLLرانالمجيد واقترب الساعة وانشق القمر (اخرجه مسلم)
Konon Rasulullah SAW pada hari raya Qurban dan hari raya Idul Fitri membaca surat Qaaf
dan surat al-Qamar (Akhrajahu Muslim)
2. Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal tertentu, yakni Hadits yang hanya diriwayatkan
oleh para rawi dari kota atau daerah tertentu saja, misalnya Basrah, Kufah atau Madinah saja.
Contoh :

امرنا رسول الله ص.م ان نقراء بفاتحة الكتاب وما تيسLLر منLLه(رواه ابو داوو)
Rasulullah memerintahkan kepada kita agar membaca al-Fatihah
dan surat mudah dari al-Qur'an (HR. Abu Dawud)
Hadits ini diterima oleh Abu Dawud dari Abu Walid al-Thayalisi dari Hamam dan Qatadah
dari Abu Nasharah dan Sa'id yang kesemuanya berasal dari Bashrah.
3. Penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu. Contoh :
أن النبى ص.م اولم على صفية بسوبق وتمر
Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan
yang terbuat dari tepung gandum dan kurma
Dalam sanad Hadits tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa'il yang meriwayatkan Hadits
tersebut dari anaknya (Bakr Ibn Wa'il). Sedang perawi yang lain tidak ada yang meriwayatkan
demikian
Adapun penyendirian pada segi matan, artinya matan Hadits yang diriwayatkan itu berbeda
dengan periwayatan rawi-rawi lain.
Penyendirian seorang perawi seperti di atas, bisa pada keadilan dan kedhabitannya,
atau pada tempat tinggal atau kota tertentu. Misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqah kecuali si fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam ketsiqahannya dari
perawi lainnya. Atau misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh penduduk ahli Madinah
kecuali si fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam meriwayatkan Hadits tersebut.
Dilihat dari sudut keghariban pada sanad dan pada matan, Hadits Gharib terbagi
kepada dua macam. Pertama, keghariban pada sanad dan matan secara bersama-sama, dan
kedua, keghariban pada sanad saja15[15].
Yang dimaksud dengan Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama adalah
Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu silsilah sanad dengan satu matan Haditsnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan Gharib pada sanad saja adalah Hadits yang telah populer
dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya dari
salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan Hadits melalui sahabat yang
lain seperti ini disebut sebagai Hadits Gharib pada sanad.
15[15] Utang Ranuwijaya, Op-Cit, hal : 149

Dari pembahasan tentang Hadits Gharib tersebut, jelasnya pada Hadits Gharib
mempunyai beberapa hukum (nilai) diantaranya :
1. Shahih, yaitu jika perawinya mencapai dhabith yang sempurna dan tidak ditentang
oleh perawi yang lebih kuat dari padanya.
2. Hasan, yaitu jika dia mendekati derajat yang di atas dan tidak ditentang oleh orang
yang lebih rajah dari padanya.
3. Syad, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang dia adalah
orang kepercayaan.
4. Munkar, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang diapun
adalah orang yang lemah.
5. Matruk, yaitu jika dia tertuduh dusta walaupun tidak ditentang oleh orang lain.
Oleh karena yang demikian, terbagilah Hadits Gharib kepada tiga bagian, yaitu :
1. Gharib Shahih, yaitu segala Hadits Gharib yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim
2. Gharib Hasan, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan at-
Turmudzi
3. Gharib Dha'if, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan-sunan lain
dan dalam musnad-musnad16[16]
Untuk menetapkan suatu Hadits itu Gharib, hendaklah diperiksa lebih dulu pada kitab-
kitab Hadits, semisal kitab Jami' dan kitab Musnad, apakah Hadits tersebut mempunyai sanad
lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada hilanglah
kegharibannya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hadits yang diperkirakan Gharib dengan
maksud apakah Hadits tersebut mempunyai mutabi' atau syahid, disebut i'tibar. Jadi yang
dimaksud dengan i'tibar di sini adalah :
ع طرق الحديث من الجوامع والمساند واألجزاء اإلعتبار تتبحتى يعلم أن له متابعا أو شاهدا, أو ليس له شيئ منهما
16[16] M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1987, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, hal 84.

I'tibar adalah meneliti jalan-jalan Hadits dalam kitab-kitab Jami' Musnad dan kitab-kitab
juz untuk mengetahui apakah Hadits yang disangka fard (gharib) itu, ada mutabi'nya atau
tidak.17[17]
2.5.2 Dari segi kualitas: shohih, hasan dan dlaif, ma'mulbih dan ghayar ma'mulbih
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian
yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau
menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang
banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya
sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi,
baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya
memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk
mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits
tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya,
menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadist Shohih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah,
beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
• Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith,
sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
• Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya
bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak
syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara
17[17] Ibid, hal : 90.

beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-
Asqolani dalam An–Nukbah, yaitu:
. لذاته الصحيح هو شاذ وال ل معل غير ند الس صل مت الضبط تام عدل بنقل اآلحاد وخبر
لذاته فلحسن الضبط خف فاءن
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit
kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
ه والعل ذوذ الش من وخال ضبطه قل الذي العدل بنقل سنده صل ات ما هو
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna),
sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits
shahih.
b. Contoh hadits Hasan
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin
Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa
Nabi SAW bersabda :
ذالك يجوز من هم وأقل بعين الس الي ين ت الس بين ما امتي أعمار“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala

criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi
penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
منه أقوي أو مثله أخري طريق من روي اذا الضعيف الحديث هو“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
أوكذبه اوي الر فسق ضعفه سبب يكن ولـم طرقه تعددت اذا الضعيف هو
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik
atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih
dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan
kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya
dibawah hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin
mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan
penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam
persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan
dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan
matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah
hadits dhaif adalah :
شروطه من شرط بفقد الحسن صفه يجمع لم ما هوAdalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang
tidak terpenuhi.

Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :
والحسن الصحيح صفه يجمع لم ما هوHadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits
hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak
adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya
cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
محمد علي انزل بما كفر فقد كاهنا أو دبر من أوامرأه حائضا أتي ومنbarang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang
(dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif
oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar :
ن لي padanya فيه lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif
terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang
kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya
dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan
janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan
bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah,
tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh)
misalnya يروي ,dipindahkan نقل ,diriwayatkan روي : pada فيما sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3

pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al
a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari
Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang
menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan
sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
• Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh
dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan
bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
• Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam
(hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).
• Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-
hatisemata atau ikhtiyath.
• Tingkatan hadits dhaif Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas
adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk
kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar
urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub,
kemudian mudhatahrib.
4. Hadits Ma’mul Bih
Hadits Ma’mul Bih adalah hadits yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat
diamalkan. Yang termasuk katogori ini meliputi:
4.1 Hadits Muhkam

Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-
hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi
artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah
karena dapat dipakai sebagai hukum lantaran dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat
sedikit pun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan
jumlahnya sedikit.
Contohnya:
المقبري سعيد حدثني قال الليث حدثنا يوسف بن الله عبد حدثنا
النبي م تكل حين عيناي وابصرت أدناي سمعت قال العدوي شريح ابي..... جارهز األخرة واليوم بالله يؤمن كان من فقل م وسل عليه الله صلى( البخاري(“ telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, menceritakan kepada kami al-Laits, ia
berkata , bercerita kepada Said al-maqburi,dari Abu Suraih al-Adawi, ia berkata, saya
mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku manakala Nabi S.A.W
bercakap-capak beliau S.A.W bersabda:” barang siapa percaya kepada allah dan hari ahir,
hendaklah ia memulyakan tetangganya”. (H.R bukhori)
4.2 Hadits Mukhtalaf
Mukhtalaf artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara
istilah ialah hadits yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits
maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara
keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan
kedua-kaduanya.
Untuk mendudukan hadits-hadits yang mukalaf ini para ulama’ mengunakan dua cara
yaitu:
Thariqotul jam’i, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang kelihatan berlawanan yang
kemudian didudukan satu-persatu sehingga semua hadits tersebut dapat dipakai.
Thariqotut tarjih, yaitu hadits-hadits yang dhahir kelihatan bertentangan satu dengan yang
lain kemudian dicari keterangan yang paling kuat.

Dalam menyikapi hadits atau riwayat yang muktalif para ulama’ selalu memakai
thariqatul jam’i lebih dahulu, karena dengan cara ini semua dalil dapat dipakai. Setelah benar-
benar tidak ada jalan untuk menjama’ baru mereka menempuh cara thariqatut tajrih sebagai
usaha terahir.
Contohnya:
اخبرنا يحي بن يحيي بن حدثنا عمرو ععن حمن الر عبد بن داود
عليه الله رسول تزوج قال ه أن اس عب ابن عن الشعثاء أبي ريد بن جابر
( مسلم ( محرم وهو ميمونة م وسل“.... dari Ibnu Abbas Bahwasannya Rasulullah telah menikahi maimunah, sedang
beliau dalam ihram.(H.R Muslim)
الله ...... صلى الله رسول تزوجني قلت ميمونة عن األصم بن يزيد عن
( ) مسلم حالل وهو م وسل عليه“dari yazid bin asham dari maimunah, ia berkata rasulullah saw menikahiku sedang beliau
sedang dalam ihlal(keluar dari ihram).” (H.R Muslim)
Kedua riwayat tersebut drajatnya sama-sama shahih. Dan jika diihat terdapat
pertentangan antara keduanya. Oleh karena itu, para ulama’ ada yang mengunakan thariqatul
jam’i ada yang thariqatut tajrih.
4.3 Hadits Rajih
Hadits Rajih yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang
berlawanan maksudnya. Riwayat yang tidak dipakai dinamai marjuh artinya yang tidak
diberati, yang tidak kuat.
Contoh :hadits tentang riwayat yang mengatakan Nabi menikah saat ihlal. Riwayat yazid bin
asham itu disebut rajih dan riwayat ibnu abbas di sebut marjuh.
4.4 Hadits Nasikh
Hadits Nasikh yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan
hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.

Hadits yang dihapuskan ketentuan hukumnya dinamakan mansukh.
Contohnya:
ثالث بعد نسكه من احدكم اليأكلن م وسل عليه صلى الله رسول قال
( الشافعي(“Rasulullah saw bersabda : janganlah salah seorang diantara kamu memakan daging kurban
sudah tiga hari.” (imam syafi’i)
Larangan memakan daging kurban yang sudah tiga hari itu disebut “ hukum .”
Kemudian hukum dihapuskan oleh Nabi sendiri dengan sabdanya:
فى بها وانفيعوا فكلوا ثالث بعد التكولها ان األضاخي لحوم عن نهيتكم
اسفركم
( اإلعتبار(“aku pernah melarang kamu tentang daging kurban bahwa jangan kamu makan dia
sesudah tiga hari, tetapi (sekarang) makanlah dan gunakan dalam pelayaran-pelayaran
kamu.” (al-I’tibar)
Hadits yang pertama dinamakan mansukh, artinya yang dihapuskan karena hukum yang ada
padanya sudah tidak terpakai lagi. Hadits yang kedua di sebut nasikh, yang menghapuskan
hukum yang ada pada hadits yang pertama.
5. Hadits Ghairu Ma’mul bih
Hadits ghairu ma’mul bih ialah hadits hadits maqbul yang tidak bisa di amalkan. Yang
masuk kategori ini melipiti:
5.1 Hadits Mutasyabih
Matasybih artinya yang samar. Yakni hadits yang samar/ sukar dipahami dan tidak bisa
diketauhi maksud dan tujuannya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan
adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.

Contohnya:
( مسلم ( ة مر مائة اليوم في الله الستغفر ي وان قلبي على ليعان ه ان“sesungguhnya tertutup hatiku. Dan aku akan meminta maaf kepada allah dalam sehari
seratus kali” (H.R Muslim)
Arti hadits tersubut sudah jelas tetapi tentang maksudnya dan tujuanya para ulama’
berbeda pendapat. Dalam sarah muslim terdapat enam pendapat hadits tersebut.
Hadits mutasyabih sedikit sekali jumlahnya dibandingkan dengan yang muhkam.
Sebagian besar mutasyabih itu terdapat pada persoalan-persoalan yang gaib-gaib.
5.2 Hadits Mutawaqqaf fihi
Hadits mutawaqqaf fihi yaitu dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang
tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits ini hendaklah
dibekukan sementara.
5.3 Hadits Marjuh
Hadits marjuh yaitu sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh hadits Maqbul lain
yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits
marjuh.
5.4 Hadits Mansukh
Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni hadits maqbul yang telah
dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
Contohnya:
Fakta sejarah, seperti hadits yang terdapat dalam kitabnya Imam Ibn Majah
سليمان بن معمر حدثنا قاال رشيد بن وداود قي الر محمد بن وب أي حدثنا
ه الل عبد حدثنا
رسول قال قال هريرة أبي عن صالح حأبي عن األعمش عن بشر بنه الل صلى ه الل

والمجوم الحاجم أفطر م وسل عليهTelah menceritakan kepada kami Ayyub bin Muhamamd Ar Raqqi dan Dawud bin Rasyid
keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Mu'ammar bin Sulaiman berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Bisyr dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu
Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang
membekam dan yang dibekam semuanya batal”
Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang diriwayatkan Imam Tirmidzi
أيوب حدثنا سعيد بن الوارث عبد حدثنا البصري هالل بن بشر حدثنا
م وسل عليه الله صلى الله رسول احتجم قال اس عب بن عن عكرمة عن
صائم م محر وهوDua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa orang yang
membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak
membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam juga diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang
diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah) pada tahun 8
hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun
setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyah, maka hadits yang kedua menasakh hadits
pertama.

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.Hadist di tinjau dari kuantitasnya adalah dilihat dari sanadnya yaitu ada dua yakni Hadits
Mutawatir dan Hadist ahad

Hadits Mutawatir yang memberikan faedah qat'i (yakin), wajib diamalkan tanpa ragu-ragu,
baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik mengenai
ubudiyah maupun mu'amalah.
Hadits Ahad memberikan faedah dhanni wajib diamalkan, baik dalam bidang amaliah,
masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang
aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil yang
qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiaanya kami selaku manusia
biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mengharapkan kritk
maupun saran bagi kami yang brsifat membantu agar kami tidak melakaukan kesalahan yang
sama dalam penyusunan mkalah yang akan datang .