Post on 12-Dec-2015
description
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. KETERLAMBATAN MOTORIK
A. Definisi
Istilah motorik diambil dari kata motor yang memiliki arti ”gerak” dalam
kaitannya dengan pengertian gerak dimaksud adalah suatu aktivitas yang
mengandalikan peran gerak tubuh sebagai perilaku gerak. Perilaku motorik
(gerak) merupakan istilah generik yang mengarah kepada pengertian tentang
”gejala perilaku nyata yang teramati dan ditampilkan melalui gerak otot atau
anggota tubuh di bawah kontrol sistem persyarafan”. Ada dua sitilah yang
sering digunakan dalam kaitannya dengan belajar motorik yaitu kemampuan
motorik dan keterampilan motorik.Kemampuan dan keterampilan ini
merupakan dua konsep yang berbeda.Kemampuan motorik lebih tepat disebut
sebagai kapasitas seseorang yang berkaitan dengan pelaksanaan dan unjuk
kemampuan yang relatif melekat sejak kanak-kanak (Lutan, 2005).
Faktor biologis dianggap sebagai kekuatan utama yang berpengaruh
terhadap kemampuan motorik dasar seseorang. Kemampuan motorik dasar
inilah yang kemudian berperan sebagai landasan bagi perkembangan
keterampilan motorik. Oleh karena itu keterampilan motorik akan banyak
bergantung kepada kemampuan dasar yang dikuasai. Lingkup kemampuan
dasar ini mencakup; keseimbangan, kecepatan, ketepatan dan locomosi,
kekuatan, dan fleksibilitas, misalnya.merupakan kemampuan dasar untuk
pelaksanaan berbagai keterampilan motorik. Dengan demikian keterampilan
motoriK dapat dikatakan sebagai faktor lingkungan (yang diciptakan) atau
merupakan hasil belajar misalnya; terampil memukul bola stik, bermain bola
dll.Secara mendasar anak-anak yang mengalami gangguan motorik dapat
digolongkan ke dalam tiga katagori yaitu; 1) Spina bifina, 2) Cerebal palcy 3)
developmental coordination disorder (Lutan, 2005).
9
B. Epidemiologi
Prevalensi gangguan koordinasi motorik tidak diketahui tetapi
diperkirakan sekitar 6% dari anak usia sekolah. Rasio laki-laki terhadap
perempuan juga tidak diketahui, tetapi lebih banyak anak laki-laki yang
memiliki gangguan koordinasi motorik dibandingkan anak perempuan.
Laporan dalam literatur menyebutkan rasio laki-laki berbanding perempuan
terentang dari 2:1 sampai sebesar 4:1 (Kaplan, 2002).
Seorang anak dapat mengalami keterlambatan perkembangan di hanya
satu ranah perkembangan saja, atau dapat pula di lebih dari satu ranah
perkembangan. Keterlambatan perkembangan umum atau global
developmental delay merupakan keadaan keterlambatan perkembangan yang
bermakna pada dua atau lebih ranah perkembangan. Secara garis besar, ranah
perkembangan anak terdiri atas motor kasar, motor halus, bahasa / bicara, dan
personal sosial / kemandirian.Sekitar 5 hingga 10% anak diperkirakan
mengalami keterlambatan perkembangan. Data angka kejadian keterlambatan
perkembangan umum belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan
sekitar 1-3% anak di bawah usia 5 tahun mengalami keterlambatan
perkembangan umum (IDAI, 2002).
C. Etiologi
Penyebab gangguan koordinasi motorik tidak diketahui, tetapi hipotesis
adalah termasuk penyebab organik dan perkembangan. Faktor resikonya
adalah prematuritas, hipoksia, malnutrisi perinatal, dan berat badan lahir
rendah. Kelainan neurokimiawi dan lesi lobus parietalis juga telah diajukan
berperan dalam defisit koordinasi (Kaplan, 2002).
Gangguan koordinasi motorik dan gangguan komunikasi memiliki
hubungan yang kuat, walaupun agen penyebab spesifik tidak diketahui untuk
keduanya.Masalah koordinasi juga lebih sering dibandingkan biasanya pada
anak-anak dengan perilaku impulsif dan berbagai gangguan belajar. Gangguan
koordinasi motorik kemungkinan memiliki penyebab yang multifaktoral
(Kaplan, 2002).
10
Penyebab keterlambatan perkembangan umum antara lain gangguan
genetik atau kromosom seperti sindrom Down; gangguan atau infeksi
susunan saraf seperti palsi serebral atau CP, spina bifida, sindrom Rubella;
riwayat bayi risiko tinggi seperti bayi prematur atau kurang bulan, bayi berat
lahir rendah, bayi yang mengalami sakit berat pada awal kehidupan sehingga
memerlukan perawatan intensif dan lainnya (Blackman, 1992).
D. Faktor resiko
Faktor risiko keterlambatan perkembangan motorik yang dapat diketahui
dengan penilaian perkembangan pada bayi meliputi :
Motorik kasar
1. 4,5 bulan : Belum dapat mengontrol kepala
2. 5 bulan : Belum dapat tengkurap bolak-balik
3. 7-8 bulan : Belum duduk tanpa bantuan
4. 9-10 bulan : Tidak dapat berdiri berpegangan
5. 15 bulan : Belum berjalan
6. 2 tahun : Tidak mampu naik atau turun tangga
Motorik halus
1. 3,5 bulan : Tangan tetap terkepal
2. 4-5 bulan : Tidak mampu memegang mainan
3. 7 bulan : Tidak mampu memegang benda pada setiap tangan
4. 10-11 bulan : Tidak mampu menyumput benda kecil
5. 15 bulan : Tidak dapat memasukkan atau mengambil benda
6. 20 bulan : Tidak dapat membuka kaos kaki atau sarung tangan
sendiri
7. 24 bulan : Tidak dapat menyusun 5 balok
E. Macam-macam penyakit yang dapat menyebabkan Gangguan
perkembangan Motorik
a) Spina Bifina
Spina bifina merupakan suatu pembentukan yang salah dari stuktur
tulang belakang (spina) yang disebabkan oleh penutupan yang kurang baik
11
dari satu atau lebihruas tulang belakang (vertebrata) yang dikenal dengan
nama sumbing tulang belakang atau pembelahan tulang belakang. Kondisi
sumbing tulang belakang yang tidak mengakibatkan secara serius
dinamakan sumbing tulang belakang samar (spinal bifidaocculta). Sumbing
tulang belakang kista ( spina bifida cysta) merupakan kelanjutan dari
kondisi spinal bifida occulta, yaitu suatu kondisi yang menggambarkan
adanya penutupan dari saluran spina melalui celah ruas tulang yang tidak
normal. Ada dua bentuk dari spina bifida cysta; Pertama; yang disebut
meningokel (meningocele) yaitu suatu keadaan dimana penutupan tali
spinal nampak menonjol. Kedua; yang disebut meilomeningokel (myelo-
meningocele). Suatu keadaan bilamana penutupan spinal terjadi pada tali
spinal, dan akar syaraf menonjol (Appleton, 2010).
Hasil penelitian kondisi kelainan tulang tersebut diperkirakan 1 dari
350 anak lahir dengan salah satu bentuk spina bifina dan kiri-kira ada
50.000 anak-anak usia sekolah yang memiliki salah satu bentuk dari
kondisi tersebut (French and Jansma, 2012).
Penyebab khusus dari Spina bifida tidak diketahui. Nampaknya bahwa
ada kombinasi faktor keturunan dan lingkungan yang mungkin
meningkatkan resiko dari sumbing tulang belakang, tetapi tidak ada satu
faktor secara langsung dapat diidentifikasi (Anderson dan Spain, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki
hambatan miomeningkol cenderung menunjukan kondisi hidrosefali. Di
mana anak ini akan meperlihatkan ketidak seimbangan di dalam
memproduksi cairan cerebrospinal dalam tengkorak dan pengaliran cairan
ke dalam sistem peredaran darah melalui permukaan otak. Jika kondisi ini
dibiarkan, maka akan menyebabkan terjadinya gangguan mental atau
kematian yang cepat (Anderson dan Spain 2010).
Banyak anak yang mengalami hambatan mielomeningokel mempunyai
masalah dalam perhatian yang sekaligus akan mengganggu aktivitas gerak
seperti; menangkap dan melempar bola, koordinasi gerak (visual-motor)
seperti dalam melakukan koordinasi gerak mata-tangan misalnya sering
12
muncul pada anak yang mengalami gangguan mielomeningokel (Anderson
dan Spain 2010)
b) Cerebral Palcy
Dilihat dari makna kata sesungguhnya kata Cerebral Palsy terdiri atas
dua yaitu cerebral dan palsy. Kata cerebral diambil dari kata cerebellum
yang berarti otak dan kata palsy yang berarti kekakuan. Jadi menurut arti
katanya Cerebral Palsy menunjuk kepada kekakuan yang disebabkan
karena adanya gangguan yang terletak di dalam otak . Berkenaan dengan
pengertian itu (Bax:1994) menjelaskan bahwa cerebal palsy digambarkan
sebagai gangguan gerak dan postur yang disebabkan oleh kerusakan
permanent tetapi nonprogresif pada otak Kondisi cerebral palsy memiliki
derajat tertentu dari yang ringan hingga yang berat tergantung pada hebat
tidaknya kerusakan yang terjadi pada otak. Jika kerusakan pada otak itu
cukup meluas sehinga menimbulkan kerusakan pada bagaian lain yaitu
pusat dan fungsi pancaindra, maka gangguan itu akan menyertai pula pada
gangguan yang menyebar luas pada fungsi sensoris seperti; penglihatan,
pendengaran, bicara bahkan masuk kepada wilayah kecerdasan, akan tetapi
dapat juga terjadi hanya menyangkut gangguan gerak dan tidak menyerang
fungsi yang lain ( Bax, 2010).
Berkenaan dengan hal ini (Bax:1994) menjelaskan bahwa Cerebal palsy
biasanya disertai oleh kombinasi kesulitan lainnya misalnya; penglihatan,
pendengaran, berbicara dan kemampuan kecerdasan. Oleh karena itu
sekalipun ada dua orang anak didiagnosisi sebagai anak yang memiliki
cerebal palcy akan memiliki perbedaan yang besar diantara keduanya. Hal
ini menyebakan timbulnya kesulitan untuk menemukan kesimpulan tentang
dampak dari gangguan motorik (cerebral palsy) terhadap perkembangan
anak (Bax, 2010).
Namun demikian secara umum dapat diidentifikasi dan didefinisikan
beberapa tipe hambatan yang ditimbulkan oleh gangguan motorik ini
(cerebal palsy).¾ dari anak daricerebral palsy mengalami gerakan spastic
(spastic movement), athetosis, ataxia, rigidity dan tremor.
13
Cerebral palsy dengan gangguan spastic menunjuk kepada suatu
kondisi yang disebabkan oleh kegagalan otot dalam melakukan releksasi
sehingga gerakan-gerakanmereka menjadi kaku. Cara berjalan yang
menyilang (scissor gait) sehingga aktivitas berjalan dilakukan pada ujung
jari; kaki mengarah ketengah, kedua lutut tertekuk dan hamper beradu,
punggung, sikut dan pergelangan tangang tertekuk; lengan bawah terputar
ke kekanan.
Cerebral palsy dengan gangguan athetosis, sering menunjukkan
aktivitas sepertimenggeliat secara berlebihan dan tanpa tujuan dan diluar
kehendak dirinya. Berlawanan dengan spastic, individu ini bergerak terlalu
banyak ; menunjukkan tonus otot yang rendah (hypotonus), ia juga
memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan air liur, pungggung yang
bengkung.
Cerebral palsy dengan gangguan ataxia, menunjukkan gangguan dalam
keseimbnagan dan kenestesis yang kurang, mengalami hambatan di dalam
kesadaran akan ruang. Kondisi anak seperti ini biasanya diperoleh setelah
lahir.
Cerebral palsy dengan gangguan rigidity, menunjuk kepada kekakuan
tonus otot agonis dan antagonis yang cenderung membekukan gerak dan
berlawanan dengan spastic, ia memiliki elastis otot yang minim dan hampir
tidak memiliki reflek.
Cerebral palsy dengan gangguan tremor, memiliki gerak yang kuat dan
takterkontrol. Jadi berlawanan dengan mereka yang mengalami gangguan
athetosis.Namun demikian Individu ini biasanya tidak terlalu mengalami
kesulitan berarti dibandingkan kondisi cerebral palsy lainnya (Bax, 2010).
Cerebral Palsy sebetulnya dapat mempengaruhi satu atau lebih bagian
tubuh sehingga seringkali dikelompokkan berdasarkan topografik atau
anatomik. Tipe tersebut mencakup apa yang disebut dengan :
1. hemiplegia ( kelumpuhan padaa satu sisi tubuh ; lengan dan tungkai,
2. paraplegia; kelumpuhan yang diderita pada kedua tungkai,
14
3. dipligia; (kelumpuhan pada kedua kaki dan sedikit mengalami
kelumpuhan pada lengan,
4. quadriplegia ( kelumpuhan pada semua anggota badan),
5. triplegia 9 kelumpuhan pada tiga anggota badan), dan
6. monoplegia (kelumpuhan pada satu anggota badan) (Bax, 2010)
c) Developmental coordination disorder
Anak yang mengalami gangguan koordinasi gerak (developmental
coordination disorder) adalah anak yang mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari yang memerlukan keterampilan-
keterampilan gerak tertentu dan koordinasi gerak seperti; menalikan tali
sepatu, mengancingkan kancing baju, menangkan dan melempar
bola, kesulitan menggunting dan memotong dengan menggunakan pisau,
mengendaria sepeda, melakukan kegiatan olah raga dan menulis.
Kondisi seperti ini sulit dijelaskan dari sudut pandang neorologis atau
kondisi medis dan biasanya kesulitan seperti ini berlangsung sampai usia
remaja ( Kadesjo dan Gillbert, 2011).
Akan tetapi kesulitan dalam menjelaskankondisi ini dilihat dari aspek
neorologisdipertanyakan oleh Jongmans, Mercuri, Dubowizt, dan
Henderson (1998) yang menemukan secara signifikan bahwa anak-anak
yang berusia 6 tahun ke atas yang memiliki kesulitan dalam koordinasi
gerak memiliki abnormalitas pada fungsi otak. Anak-anak yang
mempunyai hambatan seperti koordinasi gerak diberi label denganistilah
yang beragam seperti misalnya; Clumcy Child syndrome, developmental
disfraxia, Developmental apraxia dan agnosiam perceptual motor
dusfungtion, sensory integrative disfungtion, namun demikian pada tahun
1994 telah disepakati bahwa keragaman istilah sebagaimana diuraikan di
atas dapat disederhanakan dalam satu istilah yang disebut dengan
developmental coordination disorder (gangguan koordinasi gerak).
Meskipun sampai saat ini mesih terjadi perdebatan tentang apakah terdapat
perbedaan antara anak yangmenga,lami gangguan koordinasi gerajk dengan
15
istilah-istilah yang beragam sebagaimana yang di sebutkan di atas
(Jongmans et al, 2005).
Terdapat kesepakatan bahwa anak-anak dengan gangguan DCD bersifat
heterogen, (Dewey dan Kaplan 1994) menjelaskan bahwa terdapat tiga
kelompok anak yangdikatagorikan sebagai DCD yaitu;
1. Kesulitan keseimbangan
2. Kesulitan koordinasi
3. Mengalami kesulitan dalam kegiatan sehari-hari seperti menyisir
rambut, menulis,merencanakan gerak pada kegiatan yang berurutan dan
kesulitan dalam hampir semua bidang (Dewey dan Kaplan, 2009).
Kesulitan koordinasi gerak pada anak yang mengalami DCD biasanya
sulit diidentifikasi sebelum usia empat/lima tahun. Hal ini deisebabkan
karena belum ada kesepakatan dalam menentukan kriteria untuk
mengetahui DCD sehingga belum ada tes yang dapat digunakan untuk
dapat mengetahuinya pada anak di bawah usia 5 tahun. Namun demikian
terdapat perkiraan incident DCD yaitu; 500-1000 dari 10.000 anak diduga
mengalami DCD.. Sebagai contoh; penelitian yang dilakukanoleh Kadesjo
and Gilberg (1999) meneliti lebih dari 400 anak yang berusia 6 s/d 8 tahun
yang bertempat tinggal didaerah tertentu di Swedia dan anak-anak ini
bersekolah di sekolah biasa. 20 anakl (4,9 %) diindentifikais sebagai anak
yang mengalami DCD berat yang didasrkan pada test motorik kasar da
motorik halus. Kebanyakan anak dari kelompok ini (18 orang) adalah anak
laki-laki Selanjutnya 35 oarang anak (8,6%) diidentifikasi sebagai anak
yang mengalami DCD sedang dan 29 dari kelompok ini adalah anak laki-
laki. Hampir setengan dari kelompok anak inimenunjukkan gejala ADHD
(Attention Deficit and Hyperaktive Disorder) dari tingkat yang berat
sampai tingkat yang sedang.. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang mengalami
Develompment Coordination Disorder yaitu 5:1 (Dewey dan Kaplan,
2009).
16
F. Gejala dan tanda Klinis
Gambaran klinis dari masalah koordinasi motorik dinilai dari sudut
pandang perkembangan, yaitu dengan mempertimbangkan kemampuan fisik
normal pada usia yang berbeda. Evaluasi perkembangan meliputi
pertimbangan variasi individu. Mengevaluasi pengembangan keseluruhan
anak, mempertimbangkan karakteristik dan gaya kekuatan dan kelemahan
masing-masing anak ( Kaplan, 2002).
Manifestasi pada bayi
1. Bayi dengan kesulitan pada fungsi motorik mungkin muncul hipertonik
atau hipotonik. Jika bayi bereaksi keras pada setiap pendengaran ringan
atau rangsangan visual dengan menjadi kaku atau dengan melengkungkan
punggungnya, ini adalah tanda hipertonus dan hiperreaktivitas. Bayi muda
mempertahankan tonus fleksor dalam beberapa bulan pertama kehidupan
dan hanya secara bertahap mengembangkan pola ekstensi. Ketika orang
tua melaporkan bahwa bayi mereka kuat (yaitu, otot-otot keras dan tegang
muncul), jika refleks primitif (misalnya, Moro, plantar, atau refleks
rooting) bertahan setelah 6 atau 7 bulan, keprihatinan tentang
perkembangan motoric dibenarkan. Salah satu tanda tunggal mungkin
tidak signifikan, namun ketekunan refleks primitif harus mendatangkan
beberapa pemeriksaanpenuh fungsi motorik secara keseluruhan.Data
anekdotal menunjukkan bahwa bayi dalam beberapa kelompokras,
misalnya Afrika ,Amerika, umumnya mencapai keterampilanmotorik kasar
lebih cepat daripada anak-anak dari kelompok raslainnya. Ketika bayi
kecil muncul hampir siap untuk berjalan pada usiabeberapa bulan, ini
adalah tanda untuk perhatian. Bayi yang bergeraksebagai seluruh unit
tanpa mengoreksi sudut kepala menuju garisvertikal saat dipegang
samping mungkin memiliki masalah perkembangan motorik.
2. Bayi dengan tantangan bermotor sering tertunda dalam mencapai
perkembangannya seperti kemampuan untuk berguling, duduk dengan
bantuan, dan duduk tanpa bantuan. Bayi dengan masalah motor mungkin
17
tidak mampu mempertahankan berat badan mereka setelah 6 bulan bila
didukung di bawah lengan mereka.
3. Pada sekitar usia 4 bulan, bayi dapat mulai mengantisipasi pergerakan
benda-benda, menunjukkan perkembangan visuomotor awal. Pada sekitar
usia 6 bulan, mereka biasanya dapat menentang ibu jari dalam gerakan
menggenggam.
4. Pada usia 9 bulan, sambil duduk dengan sendirinya, bayi harus bisa
mengoreksi diri postur saat miring ke 1 sisi atau sisi lainnya, bukan hanya
menjadi terbalik.
5. Jika bayi tidak dapat duduk dengan bantuan atau dirinya sendiri pada usia
9 bulan, kekurangan ini harus diperhatian oleh pemeriksaan dokter dengan
rinci dan cepat.
6. Bayi yang berdiri dan yang selalu menunjuk ke bawah dengan jari-jarikaki
mereka juga mungkin menandakan hipertonus pada tungkai bawah (atau
hipertonus umum) dan sensitivitas tinggi untuk menyentuh di permukaan
plantar kaki. Bayi ini kemudian dapatb erjalan berjinjit.
Manifestasi pada tahun kedua dan ketiga dari kehidupan
1. Kesulitan dalam fungsi motorik halus pada anak-anak di tahun-tahun awal
mungkin sulit untuk diidentifikasi. Misalnya, balita yang memiliki deficit
keterampilan motorik halus tidak dapat menerima makanan yang
membutuhkan kemampuan mengunyah yang lebih besar. Makan makanan
padat membutuhkan fungsi terkoordinasi sekitar 31 pasang otot dan
koordinasi bernapas dengan menelan dari bolus tersebut. Balita yang tidak
makan makanan padat mungkin menampilkan penanda tantangan motor
yang mungkin melampaui mengunyah. Hal ini juga berlaku untuk balita
yang berulang kali tersedak makanan saat mengunyah.
2. Anak-anak mungkin memiliki kesulitan dalam kemampuan untuk
membuat pemahaman untuk mengambil benda kecil dengan jari telunjuk
dan jempol. Hal ini dapat diuji dengan membiarkan anak-anak untuk
mengambil sebuah benda kecil dari permukaan yang datar, seperti
sepotong sereal sarapan. Bayi dapat terus berusaha untuk mengambil
18
benda-benda dengan pemahaman palmar (yaitu, dengan permukaan
anterior seluruh tangan). Jika demikian, mereka harus diamati untuk
keterlambatan motorik halus.
3. Pada akhir tahun pertama kehidupan, sebagian besar bayi mulai membuat
upaya untuk berjalan sambil berpegangan pada furnitur dan mengambil
langkah-langkah pertama mereka tak lama kemudian. Bayiyang tidak
dapat berjalan setelah umur 18 bulan mungkin memiliki hypotonicity atau
hypertonicity, kekuatan otot yang buruk ataukoordinasi, dan kesulitan
dengan mengelola, keseimbangan, danpostur. Dalam sebuah studi tahun
1990 oleh Bax et al, kebanyakan anak yang tidak berjalan pada usia 18
bulan ternyata menjadi sehat,namun sebagian kecil mengalami kesulitan
motorik, termasuk cerebral palsy dan keterlambatan perkembangan
lainnya.
4. Kemampuan untuk berjalan sangat tergantung pada kemampuan untuk
menjaga keseimbangan dan tidak jatuh. Berjalan membutuhkan lebih
daripada kekuatan otot belaka untuk mendukung berat tubuh . Faktor-
faktorlain yang terlibat dalam onset berjalan termasuk gaya temperamen,
kesempatan, dan faktor motivasi. Manifestasi di prasekolah dan anak usia
sekolah pada usia 3-5 tahun, banyak keterampilan yang diperoleh dan
disempurnakan dengan paparan kegiatan dan permainan yang
membutuhkan motorik berlatih. Anak-anak jelas bervariasi dalam
kecepatan perkembangan mereka.
5. Pada usia 4-5 tahun, kebanyakan anak telah mengembangkan preferensi
tangan yang jelas atau dominasi. Dalam beberapa kasus, keterampilan
tangan yang benar kemampuan untuk benar-benar melakukan tugas
dengan baik dengan kedua tangan.
6. Tanda lain yang menjadi perhatian adalah kesulitan dalam memegang
pensil. Kekhawatiran muncul pada anak yang memiliki kesempatan
praktek dan yang masih tidak bisa memegang pensil dengan pola matang.
7. Banyak pakar berpikir bahwa kesulitan dalam keterampilan motoric halus
(yaitu, dalam mengelola jari dan pergelangan tangan) lebih merupakan
19
refleksi dari rusak di daerah proksimal tungkai atas daripada di daerah
lain. Anak-anak mungkin tidak dapat menangani pena, krayon, atau pensil.
Ini dianggap sebagai cara yang matang dan efisien untuk menangani tugas-
tugas menulis. Selama kegiatan itu, hanya pergelangan tangan bergerak
bersama, sementara sendi lain diekstremitas atas tetap. Namun demikian,
ketika bahu lemah, anak-anak kompensasi ketika mereka harus
menggunakan bagian distal ekstremitas atas (jari, tangan). Alih-alih
menggunakan pergelangan tangan untuk menulis, anak-anak harus
memindahkan seluruh ekstremitas atas untuk menulis (IDAI, 2002).
Tanda klinis yang mengarahkan adanya gangguan koordinasi motoric
terlihat paling awal pada masa bayi, saat anak yang terkena mulai berusaha
melakukan tindakan yang memerlukan koordinasi motorik. Gambaran
klinis yang penting adalah gangguan kinerja anak yang jelas terganggu
pada koordinasi motorik. Kesulitan dalam motorik mungkin bervariasi
menurut umur dan stadium perkembangan anak (Hawari, 2003).
Pada masa bayi dan masa anak-anak awal gangguan mungkin
bermanifestasi sebagai keterlambatan kejadian perkembangan normal,
seperti berputar, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, mengancingkan
baju, dan mengunci retsleting celana. Antara umur 2 dan 4 tahun,
kecanggungan tampak pada hampir semua aktivitas yang memerlukan
koordinasi motorik. Anak yang terkena tidak dapat memegang benda, dan
mereka mudah menjatuhkannya; gaya berjalan mereka tidak mantap;
mereka sering kali tersandung pada kakinya sendiri; dan mereka mungkin
menabrak anak-anak lain saat berusaha mendekati mereka (Hawari, 2003).
Pada anak yang lebih besar ganguan koordinasi mototrik mugkin
terlihat dalam permainan di meja, seperti mencocokkan kepingan gambar
atau membangun balok, dan pada tiap jenis permainan bola.Walaupun
tidak ada ciri spesifik yang patognomonik untuk gangguan koordinasi
motorik, kejadian perkembangan sering kali terlambat. Banyak anak
dengan ganguan juga memiliki gangguan bicara. Anak yang lebih tua
mungkin juga memiliki masalah kesulitan sekolah sekunder, termasuk
20
masalah perilaku dan emosional, yang memerlukan intervensi terapeutik
yang tepat (Hawari, 2003).
G. Penegakkan diagnosa
Diagnosa gangguan koordinasi motorik memerlukan riwayat tentang
perilaku motorik awal anak, termasuk pengamatan langsung aktivitas motorik.
Skrining informal untuk gangguan koordinasi motorik dapat dilakukan dengan
meminta anak melakukan pekerjaan yang melibatkan koordinasi motorik kasar
(melompat, meloncat, dan berdiri pada satu tungkai), koordinasi motorik halus
(menjentikkan jari dan mengikat tali sepatu), dan koordinasi mata dan tangan
(menangkap bola dan meniru tulisan) (Hawari, 2003).
Diagnosa didukung oleh skor subtes kinerja yang lebih rendah darinormal
dari tes kecerdasan baku da oleh skor subtes verbal yang normal atau di atas
normal. Tes khusus koordinasi motorik dapat berguna, seperti Bender Gestalt
Visual Motor Test, Frostig Movement Skills Test Battery, dan Bruininks
Oseretsky Test of Motor Proficiency (Hawari, 2003).
The Bender Gestalt Visual Motor test digunakan untuk menilai
penggabungan visual-motorik dan keterampilan pemahaman visual (apakah
kedua mata dan salah satu bagian otak berhubungan dengan penyampaian daya
lihat dengan tepat). Test ini terdiri dari sembilan tes yang harus diikuti.
Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency (BOTMP) untuk menilai
keterampilan motorik halus maupun kasar pada anak yang beusia4 sampai 14
tahun. BOTMP terbagi dalam 8 sub bagian, termasuk kemampuan untuk berlari
dan ketangkasan umum, bagaimana seorang anak dapat mempertahankan
keseimbangan dan koordinasi dari pergerakan bilateral. Tes ini sering disukai
oleh anak-anak karena serupa dengan aktivitas pada masa anak-anak
(melempar atau menangkap bola, berlari, melakukan push up). Tes ini paling
banyak digunakan untuk menilai kemampuan motorik, dan dapat digunakan
dalam cakupan yang luas pada anak-anak, dari kemampuan tubuh hingga
rintangan fisik yang berat (IDAI, 2002; Kaplan, 2002).
21
H. Skrining Perkembangan
Diagnosa juga dapat ditegakkan berdasarkan skrining perkembangan
dengan memakai denver developmental screening test II (DDST II) , bayley
Infan Neurodevelopmental Screening (BINS) , muenchener, KPSP, dan kartu
menuju sehat (KMS) (IDAI,2002).
Skrining perkembangan DENVER II
Skrining perkembangan yang banyak digunakan oleh profesi kesehatan
adalah Denver II, antara lain karena mempunyai rentang usia yang cukup lebar
(mulaibayi baru lahir sampai umur 6 tahun), mencakup semuaaspek
perkembangan dengan realiability cukup tinggi(interrates reability = 0.99, test-
retest reability = 0.90).13,20Sampai tahun 1990 metode ini telah digunakan
lebih dari 54 negara dan telah dimodifikasi lebih dari 15 negara (Frankenburgh
dkk, 1990). Walaupun secara eksplisit metode ini untuk mendeteksi 4 aspek
perkembangan, tetapi di dalamnya sebenarnya terdapat aspek-aspek lain
sebagai berikut (Frankenberg, 1990).
1. Gerak kasar
2. Gerak halus (di dalamnya terdapat aspek koordinasi mata dan tangan,
manipulasi benda-benda kecil, pemecahan masalah ),
3. Berbahasa (di dalamnya terdapat juga aspek pendengaran, penglihatan
dan pemahaman, komunikasi verbal),
4. Personal sosial (di dalamnya terdapat juga aspek penglihatan,
pendengaran, komunikasi, gerak halus dan kemandirian).
Uji Denver membutuhkan waktu cukup lama sekitar 30-45 menit.
Kesimpulan hasil skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut:
normal atau dicurigai ada gangguan tumbuh kembang pada aspek tertentu.
Normal, jika ia dapat melakukan semua kemampuan (atau berdasarkan laporan
orangtuanya) pada semua persentil yang masuk dalamgaris umurnya.
Walaupun ada 1 ketidakmampuan atau menolak melakukan pada persentil 75-
90 masih dianggap normal. Dicurigai ada gangguan tumbuh kembang jika ada
1 atau lebih ketidakmampuan pada persentil > 90, atau 2 (atau lebih)
ketidakmampuan/menolak pada persentil 75-90 yang masuk garis umurnya
22
Selain itu di dalam Denver II ada bagian terpisah untuk menilai perilaku anak
secara sekilas. Tetapi Denver II tidak mampu mendeteksi gangguan
emosional,atau gangguan-gangguan ringan. Tidak ada metoda skrining yang
sempurna (Gunawan, 2004).
Bayley Infan Neurodevelopmental Screening (BINS)
Untuk mengidentifikasi bayi berusia 3-24 bulan yang mengalami
keterlembatan tumbuh kembang atau mengalami gangguan neurologis. Aspek
perkembangan yang diuji oleh BINS meliputi :
1. Fungsi neurologis dasar : Mengukur kelengkapan perkembangan sistim
saraf pusat.
2. Fungsi penerimaan atau reseptif
3. Fungsi ekspresif
4. Fungsi pengertian (kognitif)
Dalam format pencatatan hasil skor total bayi disesuaikan dengan
distribusi skor yang disesuaikan usia kronologis bayi. Setiap usia memiliki titik
potong yang terbagi dalam 3 klasifikasi yang mengindikasikan besarnya resiko
untuk terjadinya keterlambatab dalam perkembangan atau gangguan
neurologis, : resiko rendah, resiko sedang, dan resiko tinggi. Tindak lanjut dari
hasil penilaian BINS adalah sebagi berikut :
Resiko rendah
Dianggap memiliki resiko minimal atau tidak memiliki resiko
terjadinya hambatan perkembangan. Walaupun demikian, tetap harus
diingat adanya variabel yang tidak dapat diukur oleh BINS namun
dapat mempengaruhi perkembangan, misalnya faktor lingkungan.
Resiko Sedang
Direkomendasikan uji BINS sekitar 3 bulan yang akan datang. Selama
itu orang tua diberi petunjuk untuk memberi stimulasi sebagai latihan
perkembangan anak. Bila dari pemeriksaan selanjutnya didapatkan
adanya keterlambatan maka kita jarus melakukan pemeriksaan lain
untuk mendiagnosis penyebab keterlambatan perkembangan.
Resiko tinggi
23
Dibutuhkan uji diagnostik lebih lanjut (Patacy, 2010)
Muenchener
Tujuan utama untuk mendeteksi keterlambatan dalam perkembangan
dengan cara mengukur tahap perkembangan bidang fungís tertentu. Digunakan
untuk usia 0-3 tahun. Aspek perkembangan yang dinilai antara lain :
Usia 0-12 bulan : merangkak, duduk, berjalan, memegang, persepsi,
berbicara, pengertian bahasa, sosialisasi
Usia 1-2 tahun : pengertian berbahasa, berbicara, persepsi,
keterampilan tangan, berjalan.
Penafsiran hasil pemeriksaan :
Yang pertama diperhatikan, apakah grafik tadi menunjukkan
penyimpangan yang negatif (usia perkembangan dalam bidang tertentu berada
di bawah usia kronologis) (Patacy, 2010).
Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)
Kuesioner ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari Denver Prescreening
Developmental Questionnaire(PDQ) oleh tim Depkes RI yang terdiri dari
beberapadokter spesialis anak, psikiater anak, neurolog, THT, mata dan lain-
lain pada tahun 1986. Kuesioner iniuntuk skrining pendahuluan bayi umur 3
bulan sampai anak umur 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua. Setiap umur
tertentu ada 10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan anak, yang
harus diisi (atau dijawab) oleh orangtua dengan ya atau tidak, sehingga hanya
membutuhkan waktu 10-15 menit (lihat lampiran). Jika jawaban ya sebanyak 6
atau kurang maka anak dicurigai ada gangguan perkembangan dan perlu
dirujuk, atau dilakukan skrining dengan Denver II. Jika jawaban ya sebanyak
7-8, perlu diperiksa ulang 1 minggu kemudian. Jika jawaban ya 9-10, anak
dianggap tidak ada gangguan, tetapi pada umur berikutnya sebaiknya dilakukan
KPSP lagi (Frankenburg, 1990).
Untuk memperluas jangkauan skrining perkembangan Frankenburg dkk,.
(1990) menganjurkan agar lebih banyak menggunakan PDQ, karena mudah,
cepat, murah dan dapat dikerjakan sendiri oleh orangtua atau dibacakan oleh
orang lain (misalnya paramedis atau kader kesehatan).20 Jika dengan PDQ
24
dicurigai ada gangguan perkembangan, anak tersebut dirujuk untuk dilakukan
skrining dengan Denver II yang lebih rumit, lama dan harus dilakukan oleh
tenaga terlatih. Kuesioner ini sampai sekarang masih dianjurkan oleh Depkes
untuk digunakan di tingkat pelayanan kesehatan primer (dokter
keluarga,Puskesmas) sering disebut sebagai ‘buku hijau’ berjudul Pedoman
Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita Depkes RI 1994 yang telah diuji coba di
beberapa propinsi, tetapi tampaknya jarang dimanfaatkan. Bahkan beberapa
dokter Puskemas tidak tahu adanya buku tersebut, atau tidak tahu cara
penggunaannya karena tidak pernah diajarkan (Frankenburg, 1990).
KARTU MENUJU SEHAT (KMS)
Suatu kartu yang digunakan untuk mencatat berat badan bayi dan anak
balita, setiap kali ditimbang secara teratur pada tiap-tiap bulan.Berat badan
dicantumkan dalam KMS dalam bentuk titik (.), disebut titik berat badan. Titik-
titik tersebut dirangkai sehingga membentuk grafik yang menunjukkan
pertumbuhan anak tersebut (DEPKES, 2004).
Kegunaan
1. Mengngontrol pertumbuhan berat badan anak.
2. Digunakan sebagai alat untuk mengetahui keadaan kesehatan anak.
3. Dipakai sebagai alat untuk mengetahui keadaan gizi anak.
Cara pengisian
1. Pada penimbangan pertama, pengisian kolom identitas dan kolom
bulan pada kolom tersedia.
2. Catat semua kejadian yang dialami atau diderita (sakit, imunisasi,
pemberian vit A dosis tinggi).
3. Hasil penimbangan pertama diberi titik pada batas garis tegak (pada
bulan dimana anak saat itu menimbang) dengan garis datar.
4. Penimbangan selanjutnya seperti no. 3 dan titik-titik pada tiap bulan
bila
Cara membaca
1. Garis yang menghubungkan titik satu ke yang lain apakah mengikuti
satu warna atau pindah kewarna yang lebih tua.
25
2. Bila garis yang menghubungkan titik-titik tersebut pindah kewarna
yang lebih tua berarti berat badan anak naik.
3. Bila garis yang dibuat menurun, tetap atau bertambah tetapi pindah ke
pita warna yang muda berarti berat badan anak tidak naik.20
Tabel 1
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Koordinasi Perkembangan
A Kinerja dalam aktivitas sehari-hari yang memerlukan
koordinasi motorik adalah secara bermakna di bawah yang
diharapkan menurut usia kronologis pasien dan inteligensia
yang terukur. Hal ini dapat bermanifestasi dengan
keterlambatan yang nyata dalam pencapaian kejadian
motorik (berjalan, merangkak, duduk), menjatuhkan barangbarang,
“kecanggungan”, prestasi buruk dalam olahraga, atau
tulisan tangan yang buruk
B Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu
pencapaian akademik atau aktivitas hidup sehari-hari
C Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Koordinasi Perkembangan
Gangguan bukan karena kondisi medis umum (palsi serebral,
hemiplegia, atau distrofi otot) dan tidak memenuhi kriteria
untuk gangguan perkembangan pervasif
D Jika terdapat retardasi mental, kesulitan motorik adalah13
melebihi dari apa yang biasa menyertainya
Catatan penulisan: jika terdapat kondisi medis umum
(neurologis) atau defisit sensorik, tuliskan kondisi tersebut
pada Aksis III.
(Dikutip dari American Psychiatric Association, Washington, 1994)
I. Terapi
Secara khusus seorang dokter akan mencoba untuk memastikan masalah
yang dialami seorang anak dalam kebiasaannya secara keseluruhan dan
kemudian merencanakan intervensi untuk mengembangkan fungsi adaptif
26
secara optimal atau kemahiran dari keterampilan yang terbelakang atau
perbaikan dari kesulitan berkoordinasi (Kaplan, 2002).
Terapi gangguan koordinasi motorik termasuk latihan motorik perseptual,
teknik latihan neurofisiologis untuk disfungsi motorik, dan pendidikan fisik
yang termodifikasi. Teknik Montessori mungkin berguna bagi banyak anak
prasekolah, karena menekankan perkembangan keterampilan motorik. Tidak
ada latihan atau metode latihan tunggal yang tampaknya lebih menguntungkan
atau efektif dibandingkan yang lainnya. Masalah perilaku atau emosional
sekunder dan gangguan komunikasi yang terjadi bersamaan harus ditangani
dengan metoda terapi yang sesuai (Hawari, 2003).
Tidak ada penelitian skala besar yang telah melaporkan efek
terapi,walaupun penelitian kecil telah menyatakan bahwa latihan dalam
koordinasi ritmik, mempraktekkan gerakan motorik, dan belajar menggunakan
mesin ketik semuanya adalah berguna (Hawari, 2003).
Konseling parental membantu menurunkan kecemasan dan ras bersalah
pada orangtua terhadap gangguan anak dan meningkatkan kesadaran mereka,
yang memberikan keyakinan bagi mereka untuk membantu anak (Hawari,
2003).
J. Prognosis
Jika tidak ditangani, anak-anak dengan gangguan koordinasi motoric
cenderung memiliki gejala yang bertahan pada masa remaja hingga masa
dewasa (Kaplan, 2002).
Pada kasus berat yang tetap tidak terobati, pasien mungkin memiliki
sejumlah komplikasi sekunder, seperti kegagalan berulang pada pekerjaan
akademik dan nonakademik di sekolah, masalah berulang dalam berusaha
bergabung dengan kelompok teman sebaya, dan ketidakmampuan bermain dan
berolahraga. Masalah tersebut dapat menyebabkan harga diri yang rendah,
kesedihan, menarik diri, dan pada beberapa kasus meningkatnya masalah
perilaku yang parah sebagai reaksi terhadap frustasi yang ditimbulkan oleh
gangguan. Semua tingkat fungsi adaptif dapat diharapkan pada anak-anak. Ciri
27
penyerta yang sering adalah keterlambatan kejadian nonmotorik, gangguan
bahasa ekspresif, dan gangguan bahasa reseptif/ekspresif campuran (Hawari,
2003).
II.KETERLAMBATAN BICARA
Kata bahasa berasal dari bahasa Latin “lingua” yang berarti lidah. Awalnya
pengertiannya hanya merujuk pada bicara, namun selanjutnya digunakan sebagai
bentuk sistem konvensional dari simbol-simbol yang dipakai dalam
komunikasi.19 American Speech-Language Hearing Association Committee on
Language mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang konvensional
yang kompleks dan dinamis yang dipakai dalam berbagai cara berpikir dan
berkomunikasi (Chaer, 2003).
Terdapat perbedaan mendasar antara bicara dan bahasa. Bicara adalah
pengucapan yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara
dalam suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam
suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi. Bahasa
reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang
didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara
simbolis baik visual (menulis, memberi tanda) maupun auditorik (Owens, 2001).
Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat
mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata
dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk
dimengerti tetapi ia dapat menyusun kata kata yang benar untuk menyatakan
keinginannya. Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua
masalah ini sering kali tumpang tindih (Owens, 2001).
Secara umum, seorang anak dianggap memiliki keterlambatan bicara jika
perkembangan bicara anak secara signifikan dibawah normal untuk anak-anak
pada usia yang sama. Seorang anak dengan keterlambatan bicara memiliki
perkembangan bicara yang khas yaitu kemampun bicaranya berkembang sama
dengan anak yang memiliki usia kronologis yang lebih muda. Kemampuan bicara
28
anak tetap mengikuti pola atau urutan yang normal tetapi terjadi lebih lambat
dibandingkan anak seusianya (Ansel et al, 1994).
Bahasa merupakan salah satu parameter dalam perkembangan anak.
Kemampuan bicara dan bahasa melibatkan perkembangan kognitif, sensorimotor,
psikologis, emosi, dan lingkungan sekitar anak. Kemampuan bahasa pada
umumnya dapat dibedakan menjadi kemampuan reseptif (mendengar dan
memahami) dan kemampuan ekspresif (berbicara). Kemampuan bicara lebih dapat
dinilai dari kemampuan lainnya sehingga pembahasan mengenai kemampuan
bahasa lebih sering dikaitkan dengan kemampuan berbicara (Simkin et al, 2006).
Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah artikulasi, suara,
kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata,
biasanya akibat cedera otak), serta keterlambatan dalam bicara atau bahasa.
Gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang
mendukung proses tersebut seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.
Keterlambatan dan gangguan bicara bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti
bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak) sampai dengan ketidakmampuan
untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme
motorik oral dalam fungsinya untuk bicara dan makan. Gangguan perkembangan
artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu huruf sampai beberapa huruf dan
sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi huruf tersebut sehingga
menimbulkan kesan cara bicaranya seperti anak kecil. Selain itu juga dapat berupa
gangguan dalam pitch, volume atau kualitas suara (Makum, 1991).
Afasia merupakan kehilangan kemampuan untuk membentuk kata-kata atau
kehilangan kemampuan untuk menangkap arti kata-kata sehingga pembicaraan
tidak dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak dengan afasia didapat memiliki
riwayat perkembangan bahasa awal yang normal, dan memiliki onset setelah
trauma kepala atau gangguan neurologis lain (contohnya kejang) (Makmum,
1991; Virginia et al, 1997).
Gagap adalah gangguan kelancaran atau abnormalitas dalam kecepatan atau
irama bicara. Terdapat pengulangan suara, suku kata, kata, atau suatu bloking
yang spasmodik, bisa terjadi spasme tonik dari otot-otot bicara seperti lidah, bibir,
29
dan laring. Terdapat kecenderungan adanya riwayat gagap dalam keluarga. Selain
itu, gagap juga dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua agar anak bicara
dengan jelas, gangguan lateralisasi, rasa tidak aman, dan kepribadian anak
(Makmum, 1991).
Keterlambatan bicara (speech delay) adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Gangguan ini semakin
hari tampaknya semakin meningkat pesat.1 Beberapa data menunjukkan angka
kejadian anak yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay) cukup tinggi.
Silva di New Zealand, sebagaimana dikutip Leung, menemukan bahwa 8,4% anak
umur 3 tahun mengalami keterlambatan bicara sedangkan Leung di Canada
mendapatkan angka 3% sampai 10%.
Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum
pernah diteliti secara luas. Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun
2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat 10,13% anak didiagnosis
keterlambatan bicara dan bahasa.27 Penelitian Wahjuni tahun 1998 di salah satu
kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi keterlambatan bahasa sebesar
9,3% dari 214 anak yang berusia bawah 3 tahun.28 Di Poliklinik Tumbuh
Kembang Anak RSUP Dr. Kariadi selama tahun 2007 diperoleh 100 anak (22,9
%) dengan keluhan gangguan bicara dan berbahasa dari 436 kunjungan baru
(Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Kariadi, 2007).
Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa berisiko mengalami
kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis, dan akan menyebabkan
pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh. Hal ini dapat berlanjut
sampai usia dewasa muda. Selanjutnya, orang dewasa dengan pencapaian
akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa akan mengalami
masalah perilaku dan penyesuaian psikososial (Owens, 2001). Beberapa ahli
menyimpulkan perkembangan bicara dan bahasa dapat dipakai sebagai indikator
perkembangan anak secara keseluruhan, termasuk kemampuan kognisi dan
kesuksesan dalam proses belajar di sekolah (Smith dan Hill, 1999). Hasil studi
longitudinal menunjukkan bahwa keterlambatan perkembangan bahasa berkaitan
dengan kecerdasan dan membaca di kemudian hari (Silva et al, 1987).
30
A. Penilaian Kemampuan Bicara Anak
Untuk menentukan apakah seorang anak mengalami keterlambatan bicara,
dokter harus memiliki pengetahuan dasar parameter penilaian kemampuan
berbicara. Anak mengalami perkembangan kemampuan berbicara sesuai dengan
umurnya melalui tahapan pola berbicara normal akan melalui tahap berikut :
B. Etiologi Keterlambatan Bicara
Kemampuan dalam bahasa dan berbicara dipengaruhi oleh faktor intrinsik
(anak) dan faktor ekstrinsik (psikososial). Faktor intrinsik ialah kondisi
pembawaan sejak lahir termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam
kemampuan bahasa dan berbicara. Sementara itu, faktor ekstrinsik dapat berupa
stimulus yang ada di sekeliling anak, misalnya perkataan yang didengar atau
ditujukan kepada si anak (Simkin et al, 2006).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan bicara adalah
sebagai berikut:
1) Faktor Intrinsik
31
a) Retardasi mental
Retardasi mental merupakan penyebab paling umum dari keterlambatan
bicara, tercatat lebih dari 50% dari kasus (Coplan, 1985). Seorang anak
retardasi mental menunjukkan keterlambatan bahasa menyeluruh,
keterlambatan pemahaman pendengaran, dan keterlambatan motorik.
Secara umum, semakin parah keterbelakangan mental, semakin lambat
kemampuan komunikasi bicaranya. Pada 30%-40% anak-anak dengan
retardasi mental, penyebabnya tidak dapat ditentukan. Penyebab retardasi
mental diantaranya cacat genetik, infeksi intrauterin, insufisiensi plasenta,
obat saat ibu hamil, trauma pada sistem saraf pusat, hipoksia, kernikterus,
hipotiroidisme, keracunan, meningitis atau ensefalitis, dan gangguan
metabolik (Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP dr Karyadi, 2007).
b) Gangguan pendengaran
Fungsi pendengaran dalam beberapa tahun pertama kehidupan sangat
penting untuk perkembangan bahasa dan bicara. Gangguan pendengaran
pada tahap awal perkembangan dapat menyebabkan keterlambatan bicara
yang berat. Gangguan pendengaran dapat berupa gangguan konduktif atau
gangguan sensorineural. Tuli konduktif umumnya disebabkan oleh otitis
media dengan efusi (Leung et al, 1990).
Gangguan pendengaran tersebut adalah intermiten dan rata-rata dari 15dB
sampai 20 dB (Schlieper et al, 1985). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa anak-anak dengan gangguan pendengaran konduktif yang
berhubungan dengan cairan pada telinga tengah selama beberapa tahun
pertama kehidupan berisiko mengalami keterlambatan bicara (Schlieper,
1985; Shonkoff, 1996).
Gangguan konduktif juga dapat disebabkan oleh kelainan struktur telinga
tengah dan atresia dari canalis auditoris eksterna. Gangguan pendengaran
sensorineural dapat disebabkan oleh infeksi intrauterin, kernikterus, obat
ototosik, meningitis bakteri, hipoksia, perdarahan intrakranial, sindrom
tertentu (misalnya, sindrom Pendred, sindrom Waardenburg, sindrom
Usher) dan kelainan kromosom (misalnya, sindrom trisomi). Kehilangan
32
pendengaran sensorineural biasanya paling parah dalam frekuensi yang
lebih tinggi (Leung et al, 1999).
c) Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan neurologis yang terjadi sebelum
anak mencapai usia 36 bulan. Autisme ditandai dengan keterlambatan
perkembangan bahasa, penyimpangan kemampuan untuk berinteraksi,
perilaku ritualistik, dan kompulsif, serta aktivitas motorik stereotip yang
berulang. Berbagai kelainan bicara telah dijelaskan, seperti ekolalia dan
pembalikan kata ganti. Anak-anak autis pada umumnya gagal untuk
melakukan kontak mata, merespon senyum, menanggapi jika dipeluk, atau
menggunakan gerakan untuk berkomunikasi. Autisme tiga sampai empat
kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan
(Leung et al, 1999).
d) Mutasi selektif
Mutasi selektif adalah suatu kondisi dimana anak-anak tidak berbicara
karena mereka tidak mau. Biasanya, anak-anak dengan mutasi selektif
akan berbicara ketika mereka sendiri, dengan teman-teman mereka, dan
kadang-kadang dengan orang tua mereka. Namun, mereka tidak berbicara
di sekolah, dalam situasi umum, atau dengan orang asing. Kondisi tersebut
terjadi lebih sering pada anak perempuan daripada anak laki-laki.36 Secara
signifikan anak-anak dengan mutasi selektif juga memiliki defisit
artikulatoris atau bahasa. Anak dengan mutasi selektif biasanya
memanifestasikan gejala lain dari penyesuaian yang buruk, seperti kurang
memiliki teman sebaya atau terlalu bergantung pada orang tua mereka.
Umumnya, anak-anak ini negativistik, pemalu, penakut, dan menarik diri.
Gangguan tersebut bisa bertahan selama berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun (Leung et al, 1999; Shonkoff, 1996).
e) Cerebral palsy
Keterlambatan bicara umumnya dialami oleh anak dengan cerbral
palsy. Keterlambatan bicara terjadi paling sering pada orang-orang dengan
tipe athetoid cerebral palsy. Selain itu juga dapat disertai atau dikombinasi
33
oleh faktor-faktor penyebab lain, diantaranya: gangguan pendengaran,
kelemahan atau kekakuan otot-otot lidah, disertai keterbelakangan mental
atau cacat pada korteks serebral (Leung et al, 1999).
f) Kelainan organ bicara
Kelainan ini meliputi lidah pendek, kelainan bentuk gigi dan
mandibula (rahang bawah), kelainan bibir sumbing (palatoschizis/cleft
palate), deviasi septum nasi, adenoid atau kelainan laring.Pada lidah
pendek terjadi kesulitan menjulurkan lidah sehingga kesulitan
mengucapkan huruf ”t”, ”n”, dan ”l”. Kelainan bentuk gigi dan mandibula
mengakibatkan suara desah seperti ”f”, ”v”, ”s”, ”z”, dan ”th”. Kelainan
bibir sumbing bisa mengakibatkan penyimpangan resonansi berupa
rinolalia aperta, yaitu terjadi suara hidung pada huruf bertekanan tinggi
seperti ”s”, ”k”, dan ”g” (Balipost , 2008).
2) Faktor Ekstrinsik (Psikososial)
Dalam keadaaan ini anak tidak mendapatkan rangsangan yang cukup
dari lingkungannya. Anak tidak mendapatkan cukup waktu dan kesempatan
berbicara dengan orang tuanya. Hasil penelitian menunjukkan stimulasi
yang kurang akan menyebabkan gangguan berbahasa yaitu keterlambatan
bicara, tetapi tidak berat. Bilamana anak yang kurang mendapat stimulasi
tersebut juga mengalami kurang makan atau child abuse, maka kelainan
berbahasa dapat lebih berat karena penyebabnya bukan deprivasi semata-
mata tetapi juga kelainan saraf karena kurang gizi atau penelantaran anak
(Bishop, 1994; Davis, 1988).
Berbagai macam deprivasi psikososial yang mengakibatkan
keterlambatan bicara adalah
a) Lingkungan yang Sepi
Bicara adalah bagian tingkah laku, jadi ketrampilannya melalui
meniru. Bila stimulasi bicara sejak awal kurang (tidak ada yang
ditiru) maka akan menghambat kemampuan bicara dan bahasa pada
anak (Widodo, 2008).
b) Anak Kembar
34
Pada anak kembar didapatkan perkembangan bahasa yang lebih
buruk dan lama dibandingkan dengan anak tunggal. Mereka satu
sama lain saling memberikan lingkungan bicara yang buruk karena
biasanya mempunyai perilaku yang saling meniru. Hal ini
menyebabkan mereka saling meniru pada keadaan kemampuan
bicara yang sama–sama belum bagus (Widodo, 2008).
c) Bilingualisme
Pemakaian 2 bahasa dapat menyebabkan keterlambatan bicara,
namun keadaan ini bersifat sementara. Smith meneliti pada
kelompok anak dengan lingkungan bilingualisme tampak
mempunyai perbendaharaan yang kurang dibandingkan anak
dengan satu bahasa, kecuali pada anak dengan kecerdasan yang
tinggi (Leung et al, 1999).
d) Teknik Pengajaran yang Salah
Cara dan komunikasi yang salah pada anak sering menyebabkan
keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa pada anak sebab
perkembangan mereka terjadi karena proses meniru dan
pembelajaran dari lingkungan (Balipost, 2008).
e) Pola menonton televisi
Menonton televisi pada anak-anak usia batita merupakan faktor
yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat
nonton televisi, anak akan lebih berperan sebagai pihak yang
menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang
masuk. Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu, yang mana
seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang
tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena
yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi, maka sel-
sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat
perkembangannya (Balipost, 2008).
35
C. Deteksi Dini Keterlambatan Bicara
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan agar melakukan
surveilans perkembangan (developmental surveillance) pada setiap kontrol anak
sehat dan melakukan skrining perkembangan (developmental screening) pada
anak yang kontrol pada usia 9,18, dan 30 bulan atau pada anak-anak yang
dicurigai memiliki keterlambatan atau kelainan perkembangan (yang ditemui saat
surveilans perkembangan) (Shonkoff, 1996).
Apabila didapatkan adanya gangguan perkembangan, maka harus dilakukan
evaluasi medis dan perkembangan (developmental assessment) agar dapat segera
dilakukan intervensi dini (early intervention) pada anak (Shonkoff, 1996).
Tiga tahun pertama kehidupan merupakan periode kritis kehidupan anak.
Plastisitas otak maksimal pada beberapa tahun pertama kehidupan dan berlanjut
dengan kecepatan yang lebih lambat. Pengalaman sensorik, stimulasi dan pajanan
bahasa selama periode ini dapat menentukan sinaptogenesis, mielinisasi, dan
hubungan sinaptik . Prinsip “gunakanlah atau kehilangan” dan “gunakan serta
kembangkanlah” didasarkan pada prinsip plastisitas otak (Johnston, 2004;
Mundkur, 2005).
Bila gangguan bicara dan bahasa tidak diterapi dengan tepat akan terjadi
gangguan kemampuan membaca, kemampuan verbal, perilaku, penyesuaian
psikososial, dan kemampuan akademis yang buruk.2 Identifikasi dan intervensi
secara dini diperlukan untuk mencegah terjadinya gangguan dan hambatan
tersebut. Oleh karena itu, periode yang tepat untuk melakukan deteksi dini ialah
usia 1-3 tahun (Leung dan Kao, 1999; Vincer et al, 2005).
Capute scales adalah salah satu alat skrining yang dapat menilai secara
akurat aspek-aspek perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visual-
motor pada anak usia 1-36 bulan. Capute scales telah digunakan secara luas untuk
clinical assessment oleh neurodevelopmental pediatricians dan dengan latihan
yang singkat alat ini dapat dikerjakan dengan baik ditingkat pelayanan primer.
Keberhasilannya dalam pengukuran secara cepat dan mudah dari aspek-aspek
perkembangan akan membantu menegakkan diagnosis banding dari sebagian
besar kategori utama gangguan perkembangan (delayed, deviasi, dan disosiasi)
36
pada masa bayi dan kanak-kanak dini, sehingga dapat segera dilakukan intervensi
dini untuk memberikan hasil yang terbaik (Accardo et al, 2005; Dhamayanti dan
Herlina, 2009).
Capute scales terdiri dari 2 jenis pemeriksaan yaitu Cognitive Adaptive Test
(CAT) dan Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale (CLAMS).8
Beberapa definisi dan istilah dalam Capute scales :
1) Usia ekuivalen/Age-Equivalent (AE) adalah usia (dalam bulan) seorang anak
berfungsi sesuai dengan perkembangan yang diuji. Usia ekuivalen ditentukan
dengan menambahkan usia basal dengan total bobot nilai desimal (point
values) yang diperoleh dari tiap uji/gugus tugas di atas usia basal yang mampu
dilakukan oleh anak
2) Usia basal/basal age adalah usia tertinggi di antara tingkatan usia seorang
anak dapat menyelesaikan semua gugus tugas dengan benar
3) Usia ceiling/ceiling age adalah usia termuda di antara tingkatan usia anak
tidak mampu melakukan semua gugus tugas. Dengan kata lain, gugus tugas
tertinggi apabila seorang anak dapat menyelesaikannya dengan benar
4) Usia kronologis/Chronological Age (CA) adalah usia anak sebenarnya (dalam
bulan) pada saat dilakukan uji
5) Developmental Quotient (DQ) adalah skor yang menggambarkan proporsi
perkembangan yang normal anak pada usia tersebut. Secara aritmetika DQ
dihitung dengan membagi usia ekuivalen anak dengan usia kronologis anak
dan dinyatakan dalam persentase perkembangan yang diharapkan untuk usia
kronologis
6) Expressive Language Quotient (ELQ) adalah usia ekuivalen pada expressive
language milestone dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100 sedangkan
Receptive Language Quotient (RLQ) adalah usia ekuivalen pada receptive
language milestone dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100
7) Language Quotient (LQ) adalah total atau gabungan usia ekuivalen bahasa
(language age-equivalent) dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100. LQ
merupakan sinonim dari CLAMS DQ
37
8) Problem-solving (cognitive/adaptive) quotient adalah total visual-motor
(problem solving) age-equivalent dibagi dengan usia kronologis dikalikan
100, yang merupakan sinonim dari CAT DQ
9) Full-Scale (composite) Developmental Quotient (FSDQ) merupakan nilai
rerata CAT DQ dan CLAMS DQ yang menunjukkan kemampuan keseluruhan
anak
Pemeriksaan CLAMS mengukur milestones bahasa reseptif dan ekspresif.
Milestones bahasa ekspresif diperoleh dari laporan orang tua terhadap kemampuan
verbal anak. Di dalam CLAMS terdapat 26 milestones bahasa ekspresif yang
meliputi 19 tingkat usia pengujian, yaitu usia 1-12 bulan (interval 1 bulan), usia
14,16,18 bulan (interval 2 bulan), usia 21 dan 24 bulan (interval 3 bulan), usia 30
dan 36 bulan (interval 6 bulan). Milestones bahasa reseptif diperoleh dari
kombinasi laporan orang tua dan demonstrasi langsung berupa pengertian konsep
spesifik oleh anak. Sebelas dari 17 kemampuan bahasa reseptif membutuhkan
demonstrasi langsung (Accardo et al, 2005).
Pengukuran CAT juga terdiri dari 19 tingkat usia pengujian dengan 57
milestones visual-motor yang diukur. Anak harus melakukan semua semua
milestones dari skala visual-motor (beberapa spontan dan beberapa setelah
dicontohkan pemeriksa). Setiap uji harus dimulai pada dua kelompok umur di
bawah tingkatan/level fungsional anak dan diteruskan hingga kelompok umur
tertinggi dimana anak dapat menyelesaikan tugas (Accardo et al, 2005).
Pemeriksaan DQ dan masalah-masalah perkembangan (delay, deviasi, dan
disosiasi) digunakan secara diagnostik dalam interpretasi Capute scales. Jika
terlihat keterlambatan pada aspek kognitif bahasa dan visualmotor, dan tidak
terdapat disosiasi di antara keterlambatan tersebut, maka retardasi mental
dipertimbangkan sebagai diagnosis utama. Jika keterlambatan hanya terlihat pada
aspek perkembangan bahasa dengan laju perkembangan yang normal pada aspek
visual-motor, maka akan ditemukan disosiasi. Pola perkembangan seperti ini dan
aspek bahasa terlambat sedangkan aspek visual-motor dalam batas normal,
menunjukkan kognisi keseluruhan normal namun terdapat suatu gangguan
komunikasi (Accardo et al, 2005).
38
Deviasi ditemukan bila aspek bahasa reseptif pada seorang anak jauh
melebihi kemampuan bahasa ekspresifnya. Pola deviasi menggambarkan adanya
gangguan bahasa ekspresif, sedangkan jika kemampuan bahasa reseptif dan
ekspresif terlambat dan terdapat disosiasi dengan kemampuan visual-motor, maka
terdapat gangguan komunikasi berupa gangguan bahasa reseptif dan ekspresif.
Tabel. Interpretasi dari keterlambatan disosiasi dan bahasa.
Capute scales memungkinkan dokter anak menilai perkembangan secara
akurat pada beberapa aspek perkembangan utama. Keberhasilan pengukuran
secara cepat dari aspek-aspek perkembangan akan membantu menegakkan
diagnosis banding dari sebagian besar kategori utama gangguan perkembangan
pada masa bayi dan kanak-kanak dini. Tabel. Interpretasi dari keterlambatan
disosiasi dan bahasa menunjukkan identifikasi CLAMS terhadap retardasi mental,
gangguan bahasa, dan gangguan pendengaran, identifikasi sebagian besar anak
dengan autism spectrum disorders. Komponen CAT dapat digunakan untuk
membedakan global developmental delay (gangguan kognitif, defisiensi
intelektual, retardasi mental) dari ganggunan komunikasi dan autis (Accardo et al,
2005).
Tabel. Spectrum development disabilities
39
Interpretasi nilai DQ, yaitu:
Normal, seorang anak berkembang secara normal jika DQ pada
kemampuan bahasa dan visual-motornya >85, dengan demikian FSDQ
juga >85.
Suspek, jika DQ pada satu atau kedua aspek <85 tetapi >75 (DQ:75-
85). Anak-anak ini harus dipantau dengan ketat.
Retardasi mental, jika kedua aspek (bahasa dan visual-motor)
menghasilkan DQ yang <75.
Gangguan komunikasi (communication disorder), jika aspek bahasa
terlambat (delayed), tetapi aspek visual-motor dalam batas normal (DQ >85),
disosiasi di antara dua aspek kognitif dari perkembangan sangat khas pada
berbagai gangguan komunikasi. Aspek bahasa harus diteliti lebih lanjut untuk
menilai adanya deviasi, yang akan terlihat jika aspek bahasa reseptif dan ekspresif
menunjukkan angka yang berbeda. Umumnya jika terdapat deviasi pada skala
bahasa, maka kemampuan bahasa ekspresif relatif lebih sering terlambat
dibandingkan dengan bahasa reseptif (Accardo et al, 2005; Dhamayanti dan
Herlina, 2009).
40
DAFTAR PUSTAKA
Accardo PJ, Capute AJ. 2005. The capute scales: Cognitive Adaptive Test/Clinical
Linguistic & Auditory Milestone Scale (CAT/CLAMS). Baltimore: Paul. H.
Brookes Publishing Co.
American Academy of Pediatrics. Committe on children with disabilities. Role of the
Pediatrician in family-centered early intervention service. Pediatrics
2001;107:1155-7.
American Academy of Pediatrics. Council on children with disabilities. identifying
infants and young children with developmental disorders in the medical home: an
algorithm for developmental surveillance and screening. Pediatrics 2006;118:405.
Anderson EM, Spain B. 2010. The Child With Spina Bifida. London: Methuen.
Ansel BM, Landa RM, Stark-Selz RE. 1994. Development and disorders of speech
and language. In: Oski FA, DeAngelis CD, editors. Principles and practice of
pediatrics. Philadelphia: Lippincott, pp:686–700.
Appleton PL, Minchom PE, Ellis NC, Eliott. Self Concept Of Young People With
Spina Bifida: A population-Based Study. Journal of Developmental Medicine and
Child Neurology. 2010; 36:198-215.
Bax MCO. Terminology And Classification Of Cerebral Palsy. Journal of
Developmental Medicine and Child Neurology. 2010; 6:295-7.
Bishop DV. 1994. Developmental disorders of speech and language. In: Rutter M,
Taylor E, Hersov L, eds. Child and adolescent psychiatry. Oxford: Blackwell
Science, pp:546–68.
Blackman JA. 1992. Developmental Screening: Infants, Toddlers, And Preschoolers.
Tokyo: Saunders, pp. 617-623.
Chaer A. 2003. Psiokolinguistik kajian teoritik. Jakarta: Rineka Abdi.
Coplan J. Evaluation of the child with delayed speech or language. Pediatr Ann.
1985;14:203–8.
Davis H, Stroud A, Green L. The maternal language environment of children with
language delay. Br J Disord Commun. 1988;23:253–66.
41
Departemen Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pengunaan KMS2012. Available at
http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/Pedoman-Penggunaan-
KMS_SK-Menkes.pdf. [diakses pada 21 Agustus 2015].
Dewey D, Kaplan BJ. Subtyping Of Development Motor Deficits. Journal of
Development Neuropsychology. 2009;10:265-84.
Dhamayanti Meita, Herlina Murfariza. Skrining gangguan kognitif dan bahasa dengan
menggunakan capute scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic and
Auditory Milestone Scale-Cat/Clams). Sari Pediatri. 2009;11(3):189-98).
Frankenburg WK, et al. 1990. Denver II Technical Manual. Denver: Denver
Developmental Materials, pp. 1-20.
Gunawan N. 2004. Pedoman deteksi dini tumbuh kembangbalita. Jakarta: Depkes RI,
pp. 1-120.
French R, Jansma P. 2012. Special Physical Education. Columbus: Charles E. Merrill
Publihing Company.
Hawari D. 2003. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa [Skripsi]. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Edisi 1.
Jakarta: Sagung Seto.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Keterlambatan Perkembangan Pada Anak. Available
athttp://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/mengenal-keterlambatan-
perkembangan-umum-pada-anak.html [diakses tanggal 21 Agustus 2015].
Jongmans MJ, Mercuri E, Dubowitz LMS, Henderson SE. Perseptual Motor
Difficulties And Their Concomitants In Six-Year-Old Children Born Prematurely.
Journal of Human Movement Science. 2005; 17:629-53.
Jonhston MV. Clinical disorder of brain plasticity. Brain dev, 2004;26:73-80.
Judarwanto Widodo. 2008. Keterlambatan bicara-speech delay. Available at:
http://www.keterlambatan-bicara.blogspot.com.
Kadesjo B, Gillberg C. Developmental Coordination Disorder In Swedish 7 Year-Old
Children. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry.
2011; 20:32-9.
42
Kaplan, et al. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatris Klinis Jilid 2.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Klinik Tumbuh Kembang Anak RS. Dr. Kariadi. 2007. Studi pendahuluan disfasia
perkembangan. Semarang.Leung KA, Kao PC. Evaluation and management of the
child with speech delay. Am Fam Phys, 1999;59:32-45.
Lutan R. 2005. Teori Belajar Keterampilan Motorik: Konsep dan Penerapan [Tesis].
Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Leung AK, Robson WL. Otitis media in infants and children. Drug Protocol.
1990;5:29–35.
Makum, AH. 2001. Gangguan perkembangan berbahasa. Buku ajar ilmu kesehatan
anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI, pp; 56-69.
Mundkur N. Neuroplasticity in children. Indian J Pediatr, 2005;72:855-7.
Oka Lely. 2008. Jika anak terlambat bicara. Available at : www.balipost.com
Owens RE. 2001. Language Development an Introduction, 5th edition. New York:
Allyn and Bacon.
Patacy, C. 2010. Motor Skills Disorder. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/915251. [diakses pada 21 Agustus 2015].
Schlieper A, Kisilevsky H, Mattingly S, Yorke L. Mild conductive hearing loss and
language development: a one year follow-up study. J Dev Behav Pediatr.
1985;6:65–8.
Shonkoff JP. 1996. Language delay: late talking to communication disorder. In:
Rudolph AM, Hoffman JI, Rudolph CD, editors. Rudolph's pediatrics. London:
Prentice-Hall, pp:124–8.
Silva PA, Williams SM, McGee R. A longitudinal study of children with
developmental language delay at age three; later intelligence , reading and
behavior problems. Dev Med Child Neurol, 1987;29;630-640.
Simkin Z, Conti G. Evidence of reading difficulty in subgroups of children with
specific language impairment. Child language teaching and therapy,
2006;22:315-31.
43
Smith C, Hill J. 1999. Language development and disorders of communication and
oral motor function. Pediatric Rehabilitation. Philadelphia: Hanley and Belfus, pp.
57-79.
Vincer MJ, Cake H, Graven M, Dodds L, McHugh S, Fraboni T. A population-based
study to determine the performance of the cognitive adaptive test/clinical
linguistic and auditory milestone scale to predict the mental developmental index
at 18 months on the bayley scales of infant development-II in very preterm
infants. Pediatrics, 2005 ;116:864-7.
Virginia W, Meredith G. 1997. Gangguan bicara dan bahasa. Buku ajar penyakit
telinga, hidung, tenggorok. Jakarta : EGC, pp ; 397-410.
Webster RI. The clinical spectrum of developmental language impairment in school
aged children: language, cognitive and motor findings. Pediatrics,
2006;118:1541-9.
44