BAB II Pedsos

59
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. KETERLAMBATAN MOTORIK A. Definisi Istilah motorik diambil dari kata motor yang memiliki arti ”gerak” dalam kaitannya dengan pengertian gerak dimaksud adalah suatu aktivitas yang mengandalikan peran gerak tubuh sebagai perilaku gerak. Perilaku motorik (gerak) merupakan istilah generik yang mengarah kepada pengertian tentang ”gejala perilaku nyata yang teramati dan ditampilkan melalui gerak otot atau anggota tubuh di bawah kontrol sistem persyarafan”. Ada dua sitilah yang sering digunakan dalam kaitannya dengan belajar motorik yaitu kemampuan motorik dan keterampilan motorik.Kemampuan dan keterampilan ini merupakan dua konsep yang berbeda.Kemampuan motorik lebih tepat disebut sebagai kapasitas seseorang yang berkaitan dengan pelaksanaan dan unjuk kemampuan yang relatif melekat sejak kanak-kanak (Lutan, 2005). Faktor biologis dianggap sebagai kekuatan utama yang berpengaruh terhadap kemampuan motorik dasar seseorang. Kemampuan motorik dasar inilah yang kemudian berperan sebagai landasan bagi perkembangan 9

description

speech delay

Transcript of BAB II Pedsos

Page 1: BAB II Pedsos

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. KETERLAMBATAN MOTORIK

A. Definisi

Istilah motorik diambil dari kata motor yang memiliki arti ”gerak” dalam

kaitannya dengan pengertian gerak dimaksud adalah suatu aktivitas yang

mengandalikan peran gerak tubuh sebagai perilaku gerak. Perilaku motorik

(gerak) merupakan istilah generik yang mengarah kepada pengertian tentang

”gejala perilaku nyata yang teramati dan ditampilkan melalui gerak otot atau

anggota tubuh di bawah kontrol sistem persyarafan”. Ada dua sitilah yang

sering digunakan dalam kaitannya dengan belajar motorik yaitu kemampuan

motorik dan keterampilan motorik.Kemampuan dan keterampilan ini

merupakan dua konsep yang berbeda.Kemampuan motorik lebih tepat disebut

sebagai kapasitas seseorang yang berkaitan dengan pelaksanaan dan unjuk

kemampuan yang relatif melekat sejak kanak-kanak (Lutan, 2005).

Faktor biologis dianggap sebagai kekuatan utama yang berpengaruh

terhadap kemampuan motorik dasar seseorang. Kemampuan motorik dasar

inilah yang kemudian berperan sebagai landasan bagi perkembangan

keterampilan motorik. Oleh karena itu keterampilan motorik akan banyak

bergantung kepada kemampuan dasar yang dikuasai. Lingkup kemampuan

dasar ini mencakup; keseimbangan, kecepatan, ketepatan dan locomosi,

kekuatan, dan fleksibilitas, misalnya.merupakan kemampuan dasar untuk

pelaksanaan berbagai keterampilan motorik. Dengan demikian keterampilan

motoriK dapat dikatakan sebagai faktor lingkungan (yang diciptakan) atau

merupakan hasil belajar misalnya; terampil memukul bola stik, bermain bola

dll.Secara mendasar anak-anak yang mengalami gangguan motorik dapat

digolongkan ke dalam tiga katagori yaitu; 1) Spina bifina, 2) Cerebal palcy 3)

developmental coordination disorder (Lutan, 2005).

9

Page 2: BAB II Pedsos

B. Epidemiologi

Prevalensi gangguan koordinasi motorik tidak diketahui tetapi

diperkirakan sekitar 6% dari anak usia sekolah. Rasio laki-laki terhadap

perempuan juga tidak diketahui, tetapi lebih banyak anak laki-laki yang

memiliki gangguan koordinasi motorik dibandingkan anak perempuan.

Laporan dalam literatur menyebutkan rasio laki-laki berbanding perempuan

terentang dari 2:1 sampai sebesar 4:1 (Kaplan, 2002).

Seorang anak dapat mengalami keterlambatan perkembangan di hanya

satu ranah perkembangan saja, atau dapat pula di lebih dari satu ranah

perkembangan. Keterlambatan perkembangan umum atau global

developmental delay merupakan keadaan keterlambatan perkembangan yang

bermakna pada dua atau lebih ranah perkembangan. Secara garis besar, ranah

perkembangan anak terdiri atas motor kasar, motor halus, bahasa / bicara, dan

personal sosial / kemandirian.Sekitar 5 hingga 10% anak diperkirakan

mengalami keterlambatan perkembangan. Data angka kejadian keterlambatan

perkembangan umum belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan

sekitar 1-3% anak di bawah usia 5 tahun mengalami keterlambatan

perkembangan umum (IDAI, 2002).

C. Etiologi

Penyebab gangguan koordinasi motorik tidak diketahui, tetapi hipotesis

adalah termasuk penyebab organik dan perkembangan. Faktor resikonya

adalah prematuritas, hipoksia, malnutrisi perinatal, dan berat badan lahir

rendah. Kelainan neurokimiawi dan lesi lobus parietalis juga telah diajukan

berperan dalam defisit koordinasi (Kaplan, 2002).

Gangguan koordinasi motorik dan gangguan komunikasi memiliki

hubungan yang kuat, walaupun agen penyebab spesifik tidak diketahui untuk

keduanya.Masalah koordinasi juga lebih sering dibandingkan biasanya pada

anak-anak dengan perilaku impulsif dan berbagai gangguan belajar. Gangguan

koordinasi motorik kemungkinan memiliki penyebab yang multifaktoral

(Kaplan, 2002).

10

Page 3: BAB II Pedsos

Penyebab keterlambatan perkembangan umum antara lain gangguan

genetik atau kromosom seperti sindrom Down; gangguan atau infeksi

susunan  saraf seperti palsi serebral atau CP, spina bifida, sindrom Rubella;

riwayat bayi risiko tinggi seperti bayi prematur atau kurang bulan, bayi berat

lahir rendah, bayi yang mengalami sakit berat pada awal kehidupan sehingga

memerlukan perawatan intensif dan lainnya (Blackman, 1992).

D. Faktor resiko

Faktor risiko keterlambatan perkembangan motorik yang dapat diketahui

dengan penilaian perkembangan pada bayi meliputi :

Motorik kasar

1. 4,5 bulan           : Belum dapat mengontrol kepala

2. 5 bulan              : Belum dapat tengkurap bolak-balik

3. 7-8 bulan           : Belum duduk tanpa bantuan

4. 9-10 bulan         : Tidak dapat berdiri berpegangan

5. 15 bulan            : Belum berjalan

6. 2 tahun              : Tidak mampu naik atau turun tangga

Motorik halus

1. 3,5 bulan           : Tangan tetap terkepal

2. 4-5 bulan           : Tidak mampu memegang mainan

3. 7 bulan              : Tidak mampu memegang benda pada setiap tangan

4. 10-11 bulan       : Tidak mampu menyumput benda kecil

5. 15 bulan            : Tidak dapat memasukkan atau mengambil benda

6. 20 bulan            : Tidak dapat membuka kaos kaki atau sarung tangan

sendiri

7. 24 bulan            : Tidak dapat menyusun 5 balok

E. Macam-macam penyakit yang dapat menyebabkan Gangguan

perkembangan Motorik

a) Spina Bifina

Spina bifina merupakan suatu pembentukan yang salah dari stuktur

tulang belakang (spina) yang disebabkan oleh penutupan yang kurang baik

11

Page 4: BAB II Pedsos

dari satu atau lebihruas tulang belakang (vertebrata) yang dikenal dengan

nama sumbing tulang belakang atau pembelahan tulang belakang. Kondisi

sumbing tulang belakang yang tidak mengakibatkan secara serius

dinamakan sumbing tulang belakang samar (spinal bifidaocculta). Sumbing

tulang belakang kista ( spina bifida cysta) merupakan kelanjutan dari

kondisi spinal bifida occulta, yaitu suatu kondisi yang menggambarkan

adanya penutupan dari saluran spina melalui celah ruas tulang yang tidak

normal. Ada dua bentuk dari spina bifida cysta; Pertama; yang disebut

meningokel (meningocele) yaitu suatu keadaan dimana penutupan tali

spinal nampak menonjol. Kedua; yang disebut meilomeningokel (myelo-

meningocele). Suatu keadaan bilamana penutupan spinal terjadi pada tali

spinal, dan akar syaraf menonjol (Appleton, 2010).

Hasil penelitian kondisi kelainan tulang tersebut diperkirakan 1 dari

350 anak lahir dengan salah satu bentuk spina bifina dan kiri-kira ada

50.000 anak-anak usia sekolah yang memiliki salah satu bentuk dari

kondisi tersebut (French and Jansma, 2012).

Penyebab khusus dari Spina bifida tidak diketahui. Nampaknya bahwa

ada kombinasi faktor keturunan dan lingkungan yang mungkin

meningkatkan resiko dari sumbing tulang belakang, tetapi tidak ada satu

faktor secara langsung dapat diidentifikasi (Anderson dan Spain, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki

hambatan miomeningkol cenderung menunjukan kondisi hidrosefali. Di

mana anak ini akan meperlihatkan ketidak seimbangan di dalam

memproduksi cairan cerebrospinal dalam tengkorak dan pengaliran cairan

ke dalam sistem peredaran darah melalui permukaan otak. Jika kondisi ini

dibiarkan, maka akan menyebabkan terjadinya gangguan mental atau

kematian yang cepat (Anderson dan Spain 2010).

Banyak anak yang mengalami hambatan mielomeningokel mempunyai

masalah dalam perhatian yang sekaligus akan mengganggu aktivitas gerak

seperti; menangkap dan melempar bola, koordinasi gerak (visual-motor)

seperti dalam melakukan koordinasi gerak mata-tangan misalnya sering

12

Page 5: BAB II Pedsos

muncul pada anak yang mengalami gangguan mielomeningokel (Anderson

dan Spain 2010)

b) Cerebral Palcy

Dilihat dari makna kata sesungguhnya kata Cerebral Palsy terdiri atas

dua yaitu cerebral dan palsy. Kata cerebral diambil dari kata cerebellum

yang berarti otak dan kata palsy yang berarti kekakuan. Jadi menurut arti

katanya Cerebral Palsy menunjuk kepada kekakuan yang disebabkan

karena adanya gangguan yang terletak di dalam otak . Berkenaan dengan

pengertian itu (Bax:1994) menjelaskan bahwa cerebal palsy digambarkan

sebagai gangguan gerak dan postur yang disebabkan oleh kerusakan

permanent tetapi nonprogresif pada otak Kondisi cerebral palsy memiliki

derajat tertentu dari yang ringan hingga yang berat tergantung pada hebat

tidaknya kerusakan yang terjadi pada otak. Jika kerusakan pada otak itu

cukup meluas sehinga menimbulkan kerusakan pada bagaian lain yaitu

pusat dan fungsi pancaindra, maka gangguan itu akan menyertai pula pada

gangguan yang menyebar luas pada fungsi sensoris seperti; penglihatan,

pendengaran, bicara bahkan masuk kepada wilayah kecerdasan, akan tetapi

dapat juga terjadi hanya menyangkut gangguan gerak dan tidak menyerang

fungsi yang lain ( Bax, 2010).

Berkenaan dengan hal ini (Bax:1994) menjelaskan bahwa Cerebal palsy

biasanya disertai oleh kombinasi kesulitan lainnya misalnya; penglihatan,

pendengaran, berbicara dan kemampuan kecerdasan. Oleh karena itu

sekalipun ada dua orang anak didiagnosisi sebagai anak yang memiliki

cerebal palcy akan memiliki perbedaan yang besar diantara keduanya. Hal

ini menyebakan timbulnya kesulitan untuk menemukan kesimpulan tentang

dampak dari gangguan motorik (cerebral palsy) terhadap perkembangan

anak (Bax, 2010).

Namun demikian secara umum dapat diidentifikasi dan didefinisikan

beberapa tipe hambatan yang ditimbulkan oleh gangguan motorik ini

(cerebal palsy).¾ dari anak daricerebral palsy mengalami gerakan spastic

(spastic movement), athetosis, ataxia, rigidity dan tremor.

13

Page 6: BAB II Pedsos

Cerebral palsy dengan gangguan spastic menunjuk kepada suatu

kondisi yang disebabkan oleh kegagalan otot dalam melakukan releksasi

sehingga gerakan-gerakanmereka menjadi kaku. Cara berjalan yang

menyilang (scissor gait) sehingga aktivitas berjalan dilakukan pada ujung

jari; kaki mengarah ketengah, kedua lutut tertekuk dan hamper beradu,

punggung, sikut dan pergelangan tangang tertekuk; lengan bawah terputar

ke kekanan.

Cerebral palsy dengan gangguan athetosis, sering menunjukkan

aktivitas sepertimenggeliat secara berlebihan dan tanpa tujuan dan diluar

kehendak dirinya. Berlawanan dengan spastic, individu ini bergerak terlalu

banyak ; menunjukkan tonus otot yang rendah (hypotonus), ia juga

memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan air liur, pungggung yang

bengkung.

Cerebral palsy dengan gangguan ataxia, menunjukkan gangguan dalam

keseimbnagan dan kenestesis yang kurang, mengalami hambatan di dalam

kesadaran akan ruang. Kondisi anak seperti ini biasanya diperoleh setelah

lahir.

Cerebral palsy dengan gangguan rigidity, menunjuk kepada kekakuan

tonus otot agonis dan antagonis yang cenderung membekukan gerak dan

berlawanan dengan spastic, ia memiliki elastis otot yang minim dan hampir

tidak memiliki reflek.

Cerebral palsy dengan gangguan tremor, memiliki gerak yang kuat dan

takterkontrol. Jadi berlawanan dengan mereka yang mengalami gangguan

athetosis.Namun demikian Individu ini biasanya tidak terlalu mengalami

kesulitan berarti dibandingkan kondisi cerebral palsy lainnya (Bax, 2010).

Cerebral Palsy sebetulnya dapat mempengaruhi satu atau lebih bagian

tubuh sehingga seringkali dikelompokkan berdasarkan topografik atau

anatomik. Tipe tersebut mencakup apa yang disebut dengan :

1. hemiplegia ( kelumpuhan padaa satu sisi tubuh ; lengan dan tungkai,

2. paraplegia; kelumpuhan yang diderita pada kedua tungkai,

14

Page 7: BAB II Pedsos

3. dipligia; (kelumpuhan pada kedua kaki dan sedikit mengalami

kelumpuhan pada lengan,

4. quadriplegia ( kelumpuhan pada semua anggota badan),

5. triplegia 9 kelumpuhan pada tiga anggota badan), dan

6. monoplegia (kelumpuhan pada satu anggota badan) (Bax, 2010)

c) Developmental coordination disorder

Anak yang mengalami gangguan koordinasi gerak (developmental

coordination  disorder) adalah anak yang mengalami kesulitan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari    yang memerlukan keterampilan-

keterampilan gerak tertentu dan koordinasi gerak seperti;  menalikan tali

sepatu, mengancingkan kancing baju, menangkan dan melempar

bola,    kesulitan menggunting dan memotong dengan menggunakan pisau,

mengendaria sepeda,      melakukan kegiatan olah raga dan menulis.

Kondisi seperti ini sulit dijelaskan dari sudut pandang neorologis atau

kondisi medis dan biasanya kesulitan seperti ini berlangsung sampai usia

remaja ( Kadesjo dan Gillbert, 2011).

Akan tetapi kesulitan dalam menjelaskankondisi ini dilihat dari aspek

neorologisdipertanyakan oleh Jongmans, Mercuri, Dubowizt, dan

Henderson (1998)     yang menemukan secara signifikan bahwa anak-anak

yang berusia 6 tahun ke atas yang       memiliki kesulitan dalam koordinasi

gerak memiliki abnormalitas pada fungsi otak.  Anak-anak yang

mempunyai hambatan seperti koordinasi gerak diberi label denganistilah

yang beragam seperti misalnya; Clumcy Child syndrome, developmental

disfraxia, Developmental apraxia dan agnosiam perceptual motor

dusfungtion, sensory integrative disfungtion, namun demikian pada tahun

1994 telah disepakati bahwa keragaman istilah sebagaimana diuraikan di

atas dapat disederhanakan dalam satu istilah yang disebut dengan

developmental coordination disorder (gangguan koordinasi gerak).

Meskipun sampai saat ini mesih terjadi perdebatan tentang apakah terdapat

perbedaan antara anak yangmenga,lami gangguan koordinasi gerajk dengan

15

Page 8: BAB II Pedsos

istilah-istilah yang beragam sebagaimana yang di sebutkan di atas

(Jongmans et al, 2005).

Terdapat kesepakatan bahwa anak-anak dengan gangguan DCD bersifat

heterogen, (Dewey dan Kaplan 1994) menjelaskan bahwa terdapat tiga

kelompok anak yangdikatagorikan sebagai DCD yaitu;

1. Kesulitan keseimbangan

2. Kesulitan koordinasi

3. Mengalami kesulitan dalam kegiatan sehari-hari seperti menyisir

rambut, menulis,merencanakan gerak pada kegiatan yang berurutan dan

kesulitan dalam hampir semua bidang (Dewey dan Kaplan, 2009).

Kesulitan koordinasi gerak pada anak yang mengalami DCD biasanya

sulit diidentifikasi sebelum usia empat/lima tahun. Hal ini deisebabkan

karena belum ada kesepakatan dalam menentukan kriteria untuk

mengetahui DCD sehingga belum ada tes yang dapat digunakan untuk

dapat mengetahuinya pada anak di bawah usia 5 tahun. Namun demikian

terdapat perkiraan incident DCD yaitu; 500-1000 dari 10.000 anak diduga

mengalami DCD.. Sebagai contoh; penelitian yang dilakukanoleh Kadesjo

and Gilberg (1999) meneliti lebih dari 400 anak yang berusia 6 s/d 8 tahun

yang bertempat tinggal didaerah tertentu di Swedia dan anak-anak ini

bersekolah di sekolah biasa. 20 anakl (4,9 %) diindentifikais sebagai anak

yang mengalami DCD berat yang didasrkan pada test motorik kasar da

motorik halus. Kebanyakan anak dari kelompok ini (18 orang) adalah anak

laki-laki Selanjutnya 35 oarang anak (8,6%) diidentifikasi sebagai anak

yang mengalami DCD sedang dan 29 dari kelompok ini adalah anak laki-

laki. Hampir setengan dari kelompok anak inimenunjukkan gejala ADHD

(Attention Deficit and Hyperaktive Disorder) dari tingkat yang berat

sampai tingkat yang sedang.. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang mengalami

Develompment Coordination Disorder yaitu 5:1 (Dewey dan Kaplan,

2009).

16

Page 9: BAB II Pedsos

F. Gejala dan tanda Klinis

Gambaran klinis dari masalah koordinasi motorik dinilai dari sudut

pandang perkembangan, yaitu dengan mempertimbangkan kemampuan fisik

normal pada usia yang berbeda. Evaluasi perkembangan meliputi

pertimbangan variasi individu. Mengevaluasi pengembangan keseluruhan

anak, mempertimbangkan karakteristik dan gaya kekuatan dan kelemahan

masing-masing anak ( Kaplan, 2002).

Manifestasi pada bayi

1. Bayi dengan kesulitan pada fungsi motorik mungkin muncul hipertonik

atau hipotonik. Jika bayi bereaksi keras pada setiap pendengaran ringan

atau rangsangan visual dengan menjadi kaku atau dengan melengkungkan

punggungnya, ini adalah tanda hipertonus dan hiperreaktivitas. Bayi muda

mempertahankan tonus fleksor dalam beberapa bulan pertama kehidupan

dan hanya secara bertahap mengembangkan pola ekstensi. Ketika orang

tua melaporkan bahwa bayi mereka kuat (yaitu, otot-otot keras dan tegang

muncul), jika refleks primitif (misalnya, Moro, plantar, atau refleks

rooting) bertahan setelah 6 atau 7 bulan, keprihatinan tentang

perkembangan motoric dibenarkan. Salah satu tanda tunggal mungkin

tidak signifikan, namun ketekunan refleks primitif harus mendatangkan

beberapa pemeriksaanpenuh fungsi motorik secara keseluruhan.Data

anekdotal menunjukkan bahwa bayi dalam beberapa kelompokras,

misalnya Afrika ,Amerika, umumnya mencapai keterampilanmotorik kasar

lebih cepat daripada anak-anak dari kelompok raslainnya. Ketika bayi

kecil muncul hampir siap untuk berjalan pada usiabeberapa bulan, ini

adalah tanda untuk perhatian. Bayi yang bergeraksebagai seluruh unit

tanpa mengoreksi sudut kepala menuju garisvertikal saat dipegang

samping mungkin memiliki masalah perkembangan motorik.

2. Bayi dengan tantangan bermotor sering tertunda dalam mencapai

perkembangannya seperti kemampuan untuk berguling, duduk dengan

bantuan, dan duduk tanpa bantuan. Bayi dengan masalah motor mungkin

17

Page 10: BAB II Pedsos

tidak mampu mempertahankan berat badan mereka setelah 6 bulan bila

didukung di bawah lengan mereka.

3. Pada sekitar usia 4 bulan, bayi dapat mulai mengantisipasi pergerakan

benda-benda, menunjukkan perkembangan visuomotor awal. Pada sekitar

usia 6 bulan, mereka biasanya dapat menentang ibu jari dalam gerakan

menggenggam.

4. Pada usia 9 bulan, sambil duduk dengan sendirinya, bayi harus bisa

mengoreksi diri postur saat miring ke 1 sisi atau sisi lainnya, bukan hanya

menjadi terbalik.

5. Jika bayi tidak dapat duduk dengan bantuan atau dirinya sendiri pada usia

9 bulan, kekurangan ini harus diperhatian oleh pemeriksaan dokter dengan

rinci dan cepat.

6. Bayi yang berdiri dan yang selalu menunjuk ke bawah dengan jari-jarikaki

mereka juga mungkin menandakan hipertonus pada tungkai bawah (atau

hipertonus umum) dan sensitivitas tinggi untuk menyentuh di permukaan

plantar kaki. Bayi ini kemudian dapatb erjalan berjinjit.

Manifestasi pada tahun kedua dan ketiga dari kehidupan

1. Kesulitan dalam fungsi motorik halus pada anak-anak di tahun-tahun awal

mungkin sulit untuk diidentifikasi. Misalnya, balita yang memiliki deficit

keterampilan motorik halus tidak dapat menerima makanan yang

membutuhkan kemampuan mengunyah yang lebih besar. Makan makanan

padat membutuhkan fungsi terkoordinasi sekitar 31 pasang otot dan

koordinasi bernapas dengan menelan dari bolus tersebut. Balita yang tidak

makan makanan padat mungkin menampilkan penanda tantangan motor

yang mungkin melampaui mengunyah. Hal ini juga berlaku untuk balita

yang berulang kali tersedak makanan saat mengunyah.

2. Anak-anak mungkin memiliki kesulitan dalam kemampuan untuk

membuat pemahaman untuk mengambil benda kecil dengan jari telunjuk

dan jempol. Hal ini dapat diuji dengan membiarkan anak-anak untuk

mengambil sebuah benda kecil dari permukaan yang datar, seperti

sepotong sereal sarapan. Bayi dapat terus berusaha untuk mengambil

18

Page 11: BAB II Pedsos

benda-benda dengan pemahaman palmar (yaitu, dengan permukaan

anterior seluruh tangan). Jika demikian, mereka harus diamati untuk

keterlambatan motorik halus.

3. Pada akhir tahun pertama kehidupan, sebagian besar bayi mulai membuat

upaya untuk berjalan sambil berpegangan pada furnitur dan mengambil

langkah-langkah pertama mereka tak lama kemudian. Bayiyang tidak

dapat berjalan setelah umur 18 bulan mungkin memiliki hypotonicity atau

hypertonicity, kekuatan otot yang buruk ataukoordinasi, dan kesulitan

dengan mengelola, keseimbangan, danpostur. Dalam sebuah studi tahun

1990 oleh Bax et al, kebanyakan anak yang tidak berjalan pada usia 18

bulan ternyata menjadi sehat,namun sebagian kecil mengalami kesulitan

motorik, termasuk cerebral palsy dan keterlambatan perkembangan

lainnya.

4. Kemampuan untuk berjalan sangat tergantung pada kemampuan untuk

menjaga keseimbangan dan tidak jatuh. Berjalan membutuhkan lebih

daripada kekuatan otot belaka untuk mendukung berat tubuh . Faktor-

faktorlain yang terlibat dalam onset berjalan termasuk gaya temperamen,

kesempatan, dan faktor motivasi. Manifestasi di prasekolah dan anak usia

sekolah pada usia 3-5 tahun, banyak keterampilan yang diperoleh dan

disempurnakan dengan paparan kegiatan dan permainan yang

membutuhkan motorik berlatih. Anak-anak jelas bervariasi dalam

kecepatan perkembangan mereka.

5. Pada usia 4-5 tahun, kebanyakan anak telah mengembangkan preferensi

tangan yang jelas atau dominasi. Dalam beberapa kasus, keterampilan

tangan yang benar kemampuan untuk benar-benar melakukan tugas

dengan baik dengan kedua tangan.

6. Tanda lain yang menjadi perhatian adalah kesulitan dalam memegang

pensil. Kekhawatiran muncul pada anak yang memiliki kesempatan

praktek dan yang masih tidak bisa memegang pensil dengan pola matang.

7. Banyak pakar berpikir bahwa kesulitan dalam keterampilan motoric halus

(yaitu, dalam mengelola jari dan pergelangan tangan) lebih merupakan

19

Page 12: BAB II Pedsos

refleksi dari rusak di daerah proksimal tungkai atas daripada di daerah

lain. Anak-anak mungkin tidak dapat menangani pena, krayon, atau pensil.

Ini dianggap sebagai cara yang matang dan efisien untuk menangani tugas-

tugas menulis. Selama kegiatan itu, hanya pergelangan tangan bergerak

bersama, sementara sendi lain diekstremitas atas tetap. Namun demikian,

ketika bahu lemah, anak-anak kompensasi ketika mereka harus

menggunakan bagian distal ekstremitas atas (jari, tangan). Alih-alih

menggunakan pergelangan tangan untuk menulis, anak-anak harus

memindahkan seluruh ekstremitas atas untuk menulis (IDAI, 2002).

Tanda klinis yang mengarahkan adanya gangguan koordinasi motoric

terlihat paling awal pada masa bayi, saat anak yang terkena mulai berusaha

melakukan tindakan yang memerlukan koordinasi motorik. Gambaran

klinis yang penting adalah gangguan kinerja anak yang jelas terganggu

pada koordinasi motorik. Kesulitan dalam motorik mungkin bervariasi

menurut umur dan stadium perkembangan anak (Hawari, 2003).

Pada masa bayi dan masa anak-anak awal gangguan mungkin

bermanifestasi sebagai keterlambatan kejadian perkembangan normal,

seperti berputar, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, mengancingkan

baju, dan mengunci retsleting celana. Antara umur 2 dan 4 tahun,

kecanggungan tampak pada hampir semua aktivitas yang memerlukan

koordinasi motorik. Anak yang terkena tidak dapat memegang benda, dan

mereka mudah menjatuhkannya; gaya berjalan mereka tidak mantap;

mereka sering kali tersandung pada kakinya sendiri; dan mereka mungkin

menabrak anak-anak lain saat berusaha mendekati mereka (Hawari, 2003).

Pada anak yang lebih besar ganguan koordinasi mototrik mugkin

terlihat dalam permainan di meja, seperti mencocokkan kepingan gambar

atau membangun balok, dan pada tiap jenis permainan bola.Walaupun

tidak ada ciri spesifik yang patognomonik untuk gangguan koordinasi

motorik, kejadian perkembangan sering kali terlambat. Banyak anak

dengan ganguan juga memiliki gangguan bicara. Anak yang lebih tua

mungkin juga memiliki masalah kesulitan sekolah sekunder, termasuk

20

Page 13: BAB II Pedsos

masalah perilaku dan emosional, yang memerlukan intervensi terapeutik

yang tepat (Hawari, 2003).

G. Penegakkan diagnosa

Diagnosa gangguan koordinasi motorik memerlukan riwayat tentang

perilaku motorik awal anak, termasuk pengamatan langsung aktivitas motorik.

Skrining informal untuk gangguan koordinasi motorik dapat dilakukan dengan

meminta anak melakukan pekerjaan yang melibatkan koordinasi motorik kasar

(melompat, meloncat, dan berdiri pada satu tungkai), koordinasi motorik halus

(menjentikkan jari dan mengikat tali sepatu), dan koordinasi mata dan tangan

(menangkap bola dan meniru tulisan) (Hawari, 2003).

Diagnosa didukung oleh skor subtes kinerja yang lebih rendah darinormal

dari tes kecerdasan baku da oleh skor subtes verbal yang normal atau di atas

normal. Tes khusus koordinasi motorik dapat berguna, seperti Bender Gestalt

Visual Motor Test, Frostig Movement Skills Test Battery, dan Bruininks

Oseretsky Test of Motor Proficiency (Hawari, 2003).

The Bender Gestalt Visual Motor test digunakan untuk menilai

penggabungan visual-motorik dan keterampilan pemahaman visual (apakah

kedua mata dan salah satu bagian otak berhubungan dengan penyampaian daya

lihat dengan tepat). Test ini terdiri dari sembilan tes yang harus diikuti.

Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency (BOTMP) untuk menilai

keterampilan motorik halus maupun kasar pada anak yang beusia4 sampai 14

tahun. BOTMP terbagi dalam 8 sub bagian, termasuk kemampuan untuk berlari

dan ketangkasan umum, bagaimana seorang anak dapat mempertahankan

keseimbangan dan koordinasi dari pergerakan bilateral. Tes ini sering disukai

oleh anak-anak karena serupa dengan aktivitas pada masa anak-anak

(melempar atau menangkap bola, berlari, melakukan push up). Tes ini paling

banyak digunakan untuk menilai kemampuan motorik, dan dapat digunakan

dalam cakupan yang luas pada anak-anak, dari kemampuan tubuh hingga

rintangan fisik yang berat (IDAI, 2002; Kaplan, 2002).

21

Page 14: BAB II Pedsos

H. Skrining Perkembangan

Diagnosa juga dapat ditegakkan berdasarkan skrining perkembangan

dengan memakai denver developmental screening test II (DDST II) , bayley

Infan Neurodevelopmental Screening (BINS) , muenchener, KPSP, dan kartu

menuju sehat (KMS) (IDAI,2002).

Skrining perkembangan DENVER II

Skrining perkembangan yang banyak digunakan oleh profesi kesehatan

adalah Denver II, antara lain karena mempunyai rentang usia yang cukup lebar

(mulaibayi baru lahir sampai umur 6 tahun), mencakup semuaaspek

perkembangan dengan realiability cukup tinggi(interrates reability = 0.99, test-

retest reability = 0.90).13,20Sampai tahun 1990 metode ini telah digunakan

lebih dari 54 negara dan telah dimodifikasi lebih dari 15 negara (Frankenburgh

dkk, 1990). Walaupun secara eksplisit metode ini untuk mendeteksi 4 aspek

perkembangan, tetapi di dalamnya sebenarnya terdapat aspek-aspek lain

sebagai berikut (Frankenberg, 1990).

1. Gerak kasar

2. Gerak halus (di dalamnya terdapat aspek koordinasi mata dan tangan,

manipulasi benda-benda kecil, pemecahan masalah ),

3. Berbahasa (di dalamnya terdapat juga aspek pendengaran, penglihatan

dan pemahaman, komunikasi verbal),

4. Personal sosial (di dalamnya terdapat juga aspek penglihatan,

pendengaran, komunikasi, gerak halus dan kemandirian).

Uji Denver membutuhkan waktu cukup lama sekitar 30-45 menit.

Kesimpulan hasil skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut:

normal atau dicurigai ada gangguan tumbuh kembang pada aspek tertentu.

Normal, jika ia dapat melakukan semua kemampuan (atau berdasarkan laporan

orangtuanya) pada semua persentil yang masuk dalamgaris umurnya.

Walaupun ada 1 ketidakmampuan atau menolak melakukan pada persentil 75-

90 masih dianggap normal. Dicurigai ada gangguan tumbuh kembang jika ada

1 atau lebih ketidakmampuan pada persentil > 90, atau 2 (atau lebih)

ketidakmampuan/menolak pada persentil 75-90 yang masuk garis umurnya

22

Page 15: BAB II Pedsos

Selain itu di dalam Denver II ada bagian terpisah untuk menilai perilaku anak

secara sekilas. Tetapi Denver II tidak mampu mendeteksi gangguan

emosional,atau gangguan-gangguan ringan. Tidak ada metoda skrining yang

sempurna (Gunawan, 2004).

Bayley Infan Neurodevelopmental Screening (BINS)

Untuk mengidentifikasi bayi berusia 3-24 bulan yang mengalami

keterlembatan tumbuh kembang atau mengalami gangguan neurologis. Aspek

perkembangan yang diuji oleh BINS meliputi :

1. Fungsi neurologis dasar : Mengukur kelengkapan perkembangan sistim

saraf pusat.

2. Fungsi penerimaan atau reseptif

3. Fungsi ekspresif

4. Fungsi pengertian (kognitif)

Dalam format pencatatan hasil skor total bayi disesuaikan dengan

distribusi skor yang disesuaikan usia kronologis bayi. Setiap usia memiliki titik

potong yang terbagi dalam 3 klasifikasi yang mengindikasikan besarnya resiko

untuk terjadinya keterlambatab dalam perkembangan atau gangguan

neurologis, : resiko rendah, resiko sedang, dan resiko tinggi. Tindak lanjut dari

hasil penilaian BINS adalah sebagi berikut :

Resiko rendah

Dianggap memiliki resiko minimal atau tidak memiliki resiko

terjadinya hambatan perkembangan. Walaupun demikian, tetap harus

diingat adanya variabel yang tidak dapat diukur oleh BINS namun

dapat mempengaruhi perkembangan, misalnya faktor lingkungan.

Resiko Sedang

Direkomendasikan uji BINS sekitar 3 bulan yang akan datang. Selama

itu orang tua diberi petunjuk untuk memberi stimulasi sebagai latihan

perkembangan anak. Bila dari pemeriksaan selanjutnya didapatkan

adanya keterlambatan maka kita jarus melakukan pemeriksaan lain

untuk mendiagnosis penyebab keterlambatan perkembangan.

Resiko tinggi

23

Page 16: BAB II Pedsos

Dibutuhkan uji diagnostik lebih lanjut (Patacy, 2010)

Muenchener

Tujuan utama untuk mendeteksi keterlambatan dalam perkembangan

dengan cara mengukur tahap perkembangan bidang fungís tertentu. Digunakan

untuk usia 0-3 tahun. Aspek perkembangan yang dinilai antara lain :

Usia 0-12 bulan : merangkak, duduk, berjalan, memegang, persepsi,

berbicara, pengertian bahasa, sosialisasi

Usia 1-2 tahun : pengertian berbahasa, berbicara, persepsi,

keterampilan tangan, berjalan.

Penafsiran hasil pemeriksaan :

Yang pertama diperhatikan, apakah grafik tadi menunjukkan

penyimpangan yang negatif (usia perkembangan dalam bidang tertentu berada

di bawah usia kronologis) (Patacy, 2010).

Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)

Kuesioner ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari Denver Prescreening

Developmental Questionnaire(PDQ) oleh tim Depkes RI yang terdiri dari

beberapadokter spesialis anak, psikiater anak, neurolog, THT, mata dan lain-

lain pada tahun 1986. Kuesioner iniuntuk skrining pendahuluan bayi umur 3

bulan sampai anak umur 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua. Setiap umur

tertentu ada 10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan anak, yang

harus diisi (atau dijawab) oleh orangtua dengan ya atau tidak, sehingga hanya

membutuhkan waktu 10-15 menit (lihat lampiran). Jika jawaban ya sebanyak 6

atau kurang maka anak dicurigai ada gangguan perkembangan dan perlu

dirujuk, atau dilakukan skrining dengan Denver II. Jika jawaban ya sebanyak

7-8, perlu diperiksa ulang 1 minggu kemudian. Jika jawaban ya 9-10, anak

dianggap tidak ada gangguan, tetapi pada umur berikutnya sebaiknya dilakukan

KPSP lagi (Frankenburg, 1990).

Untuk memperluas jangkauan skrining perkembangan Frankenburg dkk,.

(1990) menganjurkan agar lebih banyak menggunakan PDQ, karena mudah,

cepat, murah dan dapat dikerjakan sendiri oleh orangtua atau dibacakan oleh

orang lain (misalnya paramedis atau kader kesehatan).20 Jika dengan PDQ

24

Page 17: BAB II Pedsos

dicurigai ada gangguan perkembangan, anak tersebut dirujuk untuk dilakukan

skrining dengan Denver II yang lebih rumit, lama dan harus dilakukan oleh

tenaga terlatih. Kuesioner ini sampai sekarang masih dianjurkan oleh Depkes

untuk digunakan di tingkat pelayanan kesehatan primer (dokter

keluarga,Puskesmas) sering disebut sebagai ‘buku hijau’ berjudul Pedoman

Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita Depkes RI 1994 yang telah diuji coba di

beberapa propinsi, tetapi tampaknya jarang dimanfaatkan. Bahkan beberapa

dokter Puskemas tidak tahu adanya buku tersebut, atau tidak tahu cara

penggunaannya karena tidak pernah diajarkan (Frankenburg, 1990).

KARTU MENUJU SEHAT (KMS)

Suatu kartu yang digunakan untuk mencatat berat badan bayi dan anak

balita, setiap kali ditimbang secara teratur pada tiap-tiap bulan.Berat badan

dicantumkan dalam KMS dalam bentuk titik (.), disebut titik berat badan. Titik-

titik tersebut dirangkai sehingga membentuk grafik yang menunjukkan

pertumbuhan anak tersebut (DEPKES, 2004).

Kegunaan

1. Mengngontrol pertumbuhan berat badan anak.

2. Digunakan sebagai alat untuk mengetahui keadaan kesehatan anak.

3. Dipakai sebagai alat untuk mengetahui keadaan gizi anak.

Cara pengisian

1. Pada penimbangan pertama, pengisian kolom identitas dan kolom

bulan pada kolom tersedia.

2. Catat semua kejadian yang dialami atau diderita (sakit, imunisasi,

pemberian vit A dosis tinggi).

3. Hasil penimbangan pertama diberi titik pada batas garis tegak (pada

bulan dimana anak saat itu menimbang) dengan garis datar.

4. Penimbangan selanjutnya seperti no. 3 dan titik-titik pada tiap bulan

bila

Cara membaca

1. Garis yang menghubungkan titik satu ke yang lain apakah mengikuti

satu warna atau pindah kewarna yang lebih tua.

25

Page 18: BAB II Pedsos

2. Bila garis yang menghubungkan titik-titik tersebut pindah kewarna

yang lebih tua berarti berat badan anak naik.

3. Bila garis yang dibuat menurun, tetap atau bertambah tetapi pindah ke

pita warna yang muda berarti berat badan anak tidak naik.20

Tabel 1

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Koordinasi Perkembangan

A Kinerja dalam aktivitas sehari-hari yang memerlukan

koordinasi motorik adalah secara bermakna di bawah yang

diharapkan menurut usia kronologis pasien dan inteligensia

yang terukur. Hal ini dapat bermanifestasi dengan

keterlambatan yang nyata dalam pencapaian kejadian

motorik (berjalan, merangkak, duduk), menjatuhkan barangbarang,

“kecanggungan”, prestasi buruk dalam olahraga, atau

tulisan tangan yang buruk

B Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu

pencapaian akademik atau aktivitas hidup sehari-hari

C Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Koordinasi Perkembangan

Gangguan bukan karena kondisi medis umum (palsi serebral,

hemiplegia, atau distrofi otot) dan tidak memenuhi kriteria

untuk gangguan perkembangan pervasif

D Jika terdapat retardasi mental, kesulitan motorik adalah13

melebihi dari apa yang biasa menyertainya

Catatan penulisan: jika terdapat kondisi medis umum

(neurologis) atau defisit sensorik, tuliskan kondisi tersebut

pada Aksis III.

(Dikutip dari American Psychiatric Association, Washington, 1994)

I. Terapi

Secara khusus seorang dokter akan mencoba untuk memastikan masalah

yang dialami seorang anak dalam kebiasaannya secara keseluruhan dan

kemudian merencanakan intervensi untuk mengembangkan fungsi adaptif

26

Page 19: BAB II Pedsos

secara optimal atau kemahiran dari keterampilan yang terbelakang atau

perbaikan dari kesulitan berkoordinasi (Kaplan, 2002).

Terapi gangguan koordinasi motorik termasuk latihan motorik perseptual,

teknik latihan neurofisiologis untuk disfungsi motorik, dan pendidikan fisik

yang termodifikasi. Teknik Montessori mungkin berguna bagi banyak anak

prasekolah, karena menekankan perkembangan keterampilan motorik. Tidak

ada latihan atau metode latihan tunggal yang tampaknya lebih menguntungkan

atau efektif dibandingkan yang lainnya. Masalah perilaku atau emosional

sekunder dan gangguan komunikasi yang terjadi bersamaan harus ditangani

dengan metoda terapi yang sesuai (Hawari, 2003).

Tidak ada penelitian skala besar yang telah melaporkan efek

terapi,walaupun penelitian kecil telah menyatakan bahwa latihan dalam

koordinasi ritmik, mempraktekkan gerakan motorik, dan belajar menggunakan

mesin ketik semuanya adalah berguna (Hawari, 2003).

Konseling parental membantu menurunkan kecemasan dan ras bersalah

pada orangtua terhadap gangguan anak dan meningkatkan kesadaran mereka,

yang memberikan keyakinan bagi mereka untuk membantu anak (Hawari,

2003).

J. Prognosis

Jika tidak ditangani, anak-anak dengan gangguan koordinasi motoric

cenderung memiliki gejala yang bertahan pada masa remaja hingga masa

dewasa (Kaplan, 2002).

Pada kasus berat yang tetap tidak terobati, pasien mungkin memiliki

sejumlah komplikasi sekunder, seperti kegagalan berulang pada pekerjaan

akademik dan nonakademik di sekolah, masalah berulang dalam berusaha

bergabung dengan kelompok teman sebaya, dan ketidakmampuan bermain dan

berolahraga. Masalah tersebut dapat menyebabkan harga diri yang rendah,

kesedihan, menarik diri, dan pada beberapa kasus meningkatnya masalah

perilaku yang parah sebagai reaksi terhadap frustasi yang ditimbulkan oleh

gangguan. Semua tingkat fungsi adaptif dapat diharapkan pada anak-anak. Ciri

27

Page 20: BAB II Pedsos

penyerta yang sering adalah keterlambatan kejadian nonmotorik, gangguan

bahasa ekspresif, dan gangguan bahasa reseptif/ekspresif campuran (Hawari,

2003).

II.KETERLAMBATAN BICARA

Kata bahasa berasal dari bahasa Latin “lingua” yang berarti lidah. Awalnya

pengertiannya hanya merujuk pada bicara, namun selanjutnya digunakan sebagai

bentuk sistem konvensional dari simbol-simbol yang dipakai dalam

komunikasi.19 American Speech-Language Hearing Association Committee on

Language mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang konvensional

yang kompleks dan dinamis yang dipakai dalam berbagai cara berpikir dan

berkomunikasi (Chaer, 2003).

Terdapat perbedaan mendasar antara bicara dan bahasa. Bicara adalah

pengucapan yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara

dalam suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam

suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi. Bahasa

reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang

didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara

simbolis baik visual (menulis, memberi tanda) maupun auditorik (Owens, 2001).

Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat

mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata

dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk

dimengerti tetapi ia dapat menyusun kata kata yang benar untuk menyatakan

keinginannya. Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua

masalah ini sering kali tumpang tindih (Owens, 2001).

Secara umum, seorang anak dianggap memiliki keterlambatan bicara jika

perkembangan bicara anak secara signifikan dibawah normal untuk anak-anak

pada usia yang sama. Seorang anak dengan keterlambatan bicara memiliki

perkembangan bicara yang khas yaitu kemampun bicaranya berkembang sama

dengan anak yang memiliki usia kronologis yang lebih muda. Kemampuan bicara

28

Page 21: BAB II Pedsos

anak tetap mengikuti pola atau urutan yang normal tetapi terjadi lebih lambat

dibandingkan anak seusianya (Ansel et al, 1994).

Bahasa merupakan salah satu parameter dalam perkembangan anak.

Kemampuan bicara dan bahasa melibatkan perkembangan kognitif, sensorimotor,

psikologis, emosi, dan lingkungan sekitar anak. Kemampuan bahasa pada

umumnya dapat dibedakan menjadi kemampuan reseptif (mendengar dan

memahami) dan kemampuan ekspresif (berbicara). Kemampuan bicara lebih dapat

dinilai dari kemampuan lainnya sehingga pembahasan mengenai kemampuan

bahasa lebih sering dikaitkan dengan kemampuan berbicara (Simkin et al, 2006).

Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah artikulasi, suara,

kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata,

biasanya akibat cedera otak), serta keterlambatan dalam bicara atau bahasa.

Gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang

mendukung proses tersebut seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.

Keterlambatan dan gangguan bicara bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti

bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak) sampai dengan ketidakmampuan

untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme

motorik oral dalam fungsinya untuk bicara dan makan. Gangguan perkembangan

artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu huruf sampai beberapa huruf dan

sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi huruf tersebut sehingga

menimbulkan kesan cara bicaranya seperti anak kecil. Selain itu juga dapat berupa

gangguan dalam pitch, volume atau kualitas suara (Makum, 1991).

Afasia merupakan kehilangan kemampuan untuk membentuk kata-kata atau

kehilangan kemampuan untuk menangkap arti kata-kata sehingga pembicaraan

tidak dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak dengan afasia didapat memiliki

riwayat perkembangan bahasa awal yang normal, dan memiliki onset setelah

trauma kepala atau gangguan neurologis lain (contohnya kejang) (Makmum,

1991; Virginia et al, 1997).

Gagap adalah gangguan kelancaran atau abnormalitas dalam kecepatan atau

irama bicara. Terdapat pengulangan suara, suku kata, kata, atau suatu bloking

yang spasmodik, bisa terjadi spasme tonik dari otot-otot bicara seperti lidah, bibir,

29

Page 22: BAB II Pedsos

dan laring. Terdapat kecenderungan adanya riwayat gagap dalam keluarga. Selain

itu, gagap juga dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua agar anak bicara

dengan jelas, gangguan lateralisasi, rasa tidak aman, dan kepribadian anak

(Makmum, 1991).

Keterlambatan bicara (speech delay) adalah salah satu penyebab gangguan

perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Gangguan ini semakin

hari tampaknya semakin meningkat pesat.1 Beberapa data menunjukkan angka

kejadian anak yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay) cukup tinggi.

Silva di New Zealand, sebagaimana dikutip Leung, menemukan bahwa 8,4% anak

umur 3 tahun mengalami keterlambatan bicara sedangkan Leung di Canada

mendapatkan angka 3% sampai 10%.

Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum

pernah diteliti secara luas. Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun

2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat 10,13% anak didiagnosis

keterlambatan bicara dan bahasa.27 Penelitian Wahjuni tahun 1998 di salah satu

kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi keterlambatan bahasa sebesar

9,3% dari 214 anak yang berusia bawah 3 tahun.28 Di Poliklinik Tumbuh

Kembang Anak RSUP Dr. Kariadi selama tahun 2007 diperoleh 100 anak (22,9

%) dengan keluhan gangguan bicara dan berbahasa dari 436 kunjungan baru

(Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Kariadi, 2007).

Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa berisiko mengalami

kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis, dan akan menyebabkan

pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh. Hal ini dapat berlanjut

sampai usia dewasa muda. Selanjutnya, orang dewasa dengan pencapaian

akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa akan mengalami

masalah perilaku dan penyesuaian psikososial (Owens, 2001). Beberapa ahli

menyimpulkan perkembangan bicara dan bahasa dapat dipakai sebagai indikator

perkembangan anak secara keseluruhan, termasuk kemampuan kognisi dan

kesuksesan dalam proses belajar di sekolah (Smith dan Hill, 1999). Hasil studi

longitudinal menunjukkan bahwa keterlambatan perkembangan bahasa berkaitan

dengan kecerdasan dan membaca di kemudian hari (Silva et al, 1987).

30

Page 23: BAB II Pedsos

A. Penilaian Kemampuan Bicara Anak

Untuk menentukan apakah seorang anak mengalami keterlambatan bicara,

dokter harus memiliki pengetahuan dasar parameter penilaian kemampuan

berbicara. Anak mengalami perkembangan kemampuan berbicara sesuai dengan

umurnya melalui tahapan pola berbicara normal akan melalui tahap berikut :

B. Etiologi Keterlambatan Bicara

Kemampuan dalam bahasa dan berbicara dipengaruhi oleh faktor intrinsik

(anak) dan faktor ekstrinsik (psikososial). Faktor intrinsik ialah kondisi

pembawaan sejak lahir termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam

kemampuan bahasa dan berbicara. Sementara itu, faktor ekstrinsik dapat berupa

stimulus yang ada di sekeliling anak, misalnya perkataan yang didengar atau

ditujukan kepada si anak (Simkin et al, 2006).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan bicara adalah

sebagai berikut:

1) Faktor Intrinsik

31

Page 24: BAB II Pedsos

a) Retardasi mental

Retardasi mental merupakan penyebab paling umum dari keterlambatan

bicara, tercatat lebih dari 50% dari kasus (Coplan, 1985). Seorang anak

retardasi mental menunjukkan keterlambatan bahasa menyeluruh,

keterlambatan pemahaman pendengaran, dan keterlambatan motorik.

Secara umum, semakin parah keterbelakangan mental, semakin lambat

kemampuan komunikasi bicaranya. Pada 30%-40% anak-anak dengan

retardasi mental, penyebabnya tidak dapat ditentukan. Penyebab retardasi

mental diantaranya cacat genetik, infeksi intrauterin, insufisiensi plasenta,

obat saat ibu hamil, trauma pada sistem saraf pusat, hipoksia, kernikterus,

hipotiroidisme, keracunan, meningitis atau ensefalitis, dan gangguan

metabolik (Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP dr Karyadi, 2007).

b) Gangguan pendengaran

Fungsi pendengaran dalam beberapa tahun pertama kehidupan sangat

penting untuk perkembangan bahasa dan bicara. Gangguan pendengaran

pada tahap awal perkembangan dapat menyebabkan keterlambatan bicara

yang berat. Gangguan pendengaran dapat berupa gangguan konduktif atau

gangguan sensorineural. Tuli konduktif umumnya disebabkan oleh otitis

media dengan efusi (Leung et al, 1990).

Gangguan pendengaran tersebut adalah intermiten dan rata-rata dari 15dB

sampai 20 dB (Schlieper et al, 1985). Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa anak-anak dengan gangguan pendengaran konduktif yang

berhubungan dengan cairan pada telinga tengah selama beberapa tahun

pertama kehidupan berisiko mengalami keterlambatan bicara (Schlieper,

1985; Shonkoff, 1996).

Gangguan konduktif juga dapat disebabkan oleh kelainan struktur telinga

tengah dan atresia dari canalis auditoris eksterna. Gangguan pendengaran

sensorineural dapat disebabkan oleh infeksi intrauterin, kernikterus, obat

ototosik, meningitis bakteri, hipoksia, perdarahan intrakranial, sindrom

tertentu (misalnya, sindrom Pendred, sindrom Waardenburg, sindrom

Usher) dan kelainan kromosom (misalnya, sindrom trisomi). Kehilangan

32

Page 25: BAB II Pedsos

pendengaran sensorineural biasanya paling parah dalam frekuensi yang

lebih tinggi (Leung et al, 1999).

c) Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan neurologis yang terjadi sebelum

anak mencapai usia 36 bulan. Autisme ditandai dengan keterlambatan

perkembangan bahasa, penyimpangan kemampuan untuk berinteraksi,

perilaku ritualistik, dan kompulsif, serta aktivitas motorik stereotip yang

berulang. Berbagai kelainan bicara telah dijelaskan, seperti ekolalia dan

pembalikan kata ganti. Anak-anak autis pada umumnya gagal untuk

melakukan kontak mata, merespon senyum, menanggapi jika dipeluk, atau

menggunakan gerakan untuk berkomunikasi. Autisme tiga sampai empat

kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan

(Leung et al, 1999).

d) Mutasi selektif

Mutasi selektif adalah suatu kondisi dimana anak-anak tidak berbicara

karena mereka tidak mau. Biasanya, anak-anak dengan mutasi selektif

akan berbicara ketika mereka sendiri, dengan teman-teman mereka, dan

kadang-kadang dengan orang tua mereka. Namun, mereka tidak berbicara

di sekolah, dalam situasi umum, atau dengan orang asing. Kondisi tersebut

terjadi lebih sering pada anak perempuan daripada anak laki-laki.36 Secara

signifikan anak-anak dengan mutasi selektif juga memiliki defisit

artikulatoris atau bahasa. Anak dengan mutasi selektif biasanya

memanifestasikan gejala lain dari penyesuaian yang buruk, seperti kurang

memiliki teman sebaya atau terlalu bergantung pada orang tua mereka.

Umumnya, anak-anak ini negativistik, pemalu, penakut, dan menarik diri.

Gangguan tersebut bisa bertahan selama berbulan-bulan sampai bertahun-

tahun (Leung et al, 1999; Shonkoff, 1996).

e) Cerebral palsy

Keterlambatan bicara umumnya dialami oleh anak dengan cerbral

palsy. Keterlambatan bicara terjadi paling sering pada orang-orang dengan

tipe athetoid cerebral palsy. Selain itu juga dapat disertai atau dikombinasi

33

Page 26: BAB II Pedsos

oleh faktor-faktor penyebab lain, diantaranya: gangguan pendengaran,

kelemahan atau kekakuan otot-otot lidah, disertai keterbelakangan mental

atau cacat pada korteks serebral (Leung et al, 1999).

f) Kelainan organ bicara

Kelainan ini meliputi lidah pendek, kelainan bentuk gigi dan

mandibula (rahang bawah), kelainan bibir sumbing (palatoschizis/cleft

palate), deviasi septum nasi, adenoid atau kelainan laring.Pada lidah

pendek terjadi kesulitan menjulurkan lidah sehingga kesulitan

mengucapkan huruf ”t”, ”n”, dan ”l”. Kelainan bentuk gigi dan mandibula

mengakibatkan suara desah seperti ”f”, ”v”, ”s”, ”z”, dan ”th”. Kelainan

bibir sumbing bisa mengakibatkan penyimpangan resonansi berupa

rinolalia aperta, yaitu terjadi suara hidung pada huruf bertekanan tinggi

seperti ”s”, ”k”, dan ”g” (Balipost , 2008).

2) Faktor Ekstrinsik (Psikososial)

Dalam keadaaan ini anak tidak mendapatkan rangsangan yang cukup

dari lingkungannya. Anak tidak mendapatkan cukup waktu dan kesempatan

berbicara dengan orang tuanya. Hasil penelitian menunjukkan stimulasi

yang kurang akan menyebabkan gangguan berbahasa yaitu keterlambatan

bicara, tetapi tidak berat. Bilamana anak yang kurang mendapat stimulasi

tersebut juga mengalami kurang makan atau child abuse, maka kelainan

berbahasa dapat lebih berat karena penyebabnya bukan deprivasi semata-

mata tetapi juga kelainan saraf karena kurang gizi atau penelantaran anak

(Bishop, 1994; Davis, 1988).

Berbagai macam deprivasi psikososial yang mengakibatkan

keterlambatan bicara adalah

a) Lingkungan yang Sepi

Bicara adalah bagian tingkah laku, jadi ketrampilannya melalui

meniru. Bila stimulasi bicara sejak awal kurang (tidak ada yang

ditiru) maka akan menghambat kemampuan bicara dan bahasa pada

anak (Widodo, 2008).

b) Anak Kembar

34

Page 27: BAB II Pedsos

Pada anak kembar didapatkan perkembangan bahasa yang lebih

buruk dan lama dibandingkan dengan anak tunggal. Mereka satu

sama lain saling memberikan lingkungan bicara yang buruk karena

biasanya mempunyai perilaku yang saling meniru. Hal ini

menyebabkan mereka saling meniru pada keadaan kemampuan

bicara yang sama–sama belum bagus (Widodo, 2008).

c) Bilingualisme

Pemakaian 2 bahasa dapat menyebabkan keterlambatan bicara,

namun keadaan ini bersifat sementara. Smith meneliti pada

kelompok anak dengan lingkungan bilingualisme tampak

mempunyai perbendaharaan yang kurang dibandingkan anak

dengan satu bahasa, kecuali pada anak dengan kecerdasan yang

tinggi (Leung et al, 1999).

d) Teknik Pengajaran yang Salah

Cara dan komunikasi yang salah pada anak sering menyebabkan

keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa pada anak sebab

perkembangan mereka terjadi karena proses meniru dan

pembelajaran dari lingkungan (Balipost, 2008).

e) Pola menonton televisi

Menonton televisi pada anak-anak usia batita merupakan faktor

yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat

nonton televisi, anak akan lebih berperan sebagai pihak yang

menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang

masuk. Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu, yang mana

seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang

tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena

yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi, maka sel-

sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat

perkembangannya (Balipost, 2008).

35

Page 28: BAB II Pedsos

C. Deteksi Dini Keterlambatan Bicara

American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan agar melakukan

surveilans perkembangan (developmental surveillance) pada setiap kontrol anak

sehat dan melakukan skrining perkembangan (developmental screening) pada

anak yang kontrol pada usia 9,18, dan 30 bulan atau pada anak-anak yang

dicurigai memiliki keterlambatan atau kelainan perkembangan (yang ditemui saat

surveilans perkembangan) (Shonkoff, 1996).

Apabila didapatkan adanya gangguan perkembangan, maka harus dilakukan

evaluasi medis dan perkembangan (developmental assessment) agar dapat segera

dilakukan intervensi dini (early intervention) pada anak (Shonkoff, 1996).

Tiga tahun pertama kehidupan merupakan periode kritis kehidupan anak.

Plastisitas otak maksimal pada beberapa tahun pertama kehidupan dan berlanjut

dengan kecepatan yang lebih lambat. Pengalaman sensorik, stimulasi dan pajanan

bahasa selama periode ini dapat menentukan sinaptogenesis, mielinisasi, dan

hubungan sinaptik . Prinsip “gunakanlah atau kehilangan” dan “gunakan serta

kembangkanlah” didasarkan pada prinsip plastisitas otak (Johnston, 2004;

Mundkur, 2005).

Bila gangguan bicara dan bahasa tidak diterapi dengan tepat akan terjadi

gangguan kemampuan membaca, kemampuan verbal, perilaku, penyesuaian

psikososial, dan kemampuan akademis yang buruk.2 Identifikasi dan intervensi

secara dini diperlukan untuk mencegah terjadinya gangguan dan hambatan

tersebut. Oleh karena itu, periode yang tepat untuk melakukan deteksi dini ialah

usia 1-3 tahun (Leung dan Kao, 1999; Vincer et al, 2005).

Capute scales adalah salah satu alat skrining yang dapat menilai secara

akurat aspek-aspek perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visual-

motor pada anak usia 1-36 bulan. Capute scales telah digunakan secara luas untuk

clinical assessment oleh neurodevelopmental pediatricians dan dengan latihan

yang singkat alat ini dapat dikerjakan dengan baik ditingkat pelayanan primer.

Keberhasilannya dalam pengukuran secara cepat dan mudah dari aspek-aspek

perkembangan akan membantu menegakkan diagnosis banding dari sebagian

besar kategori utama gangguan perkembangan (delayed, deviasi, dan disosiasi)

36

Page 29: BAB II Pedsos

pada masa bayi dan kanak-kanak dini, sehingga dapat segera dilakukan intervensi

dini untuk memberikan hasil yang terbaik (Accardo et al, 2005; Dhamayanti dan

Herlina, 2009).

Capute scales terdiri dari 2 jenis pemeriksaan yaitu Cognitive Adaptive Test

(CAT) dan Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale (CLAMS).8

Beberapa definisi dan istilah dalam Capute scales :

1) Usia ekuivalen/Age-Equivalent (AE) adalah usia (dalam bulan) seorang anak

berfungsi sesuai dengan perkembangan yang diuji. Usia ekuivalen ditentukan

dengan menambahkan usia basal dengan total bobot nilai desimal (point

values) yang diperoleh dari tiap uji/gugus tugas di atas usia basal yang mampu

dilakukan oleh anak

2) Usia basal/basal age adalah usia tertinggi di antara tingkatan usia seorang

anak dapat menyelesaikan semua gugus tugas dengan benar

3) Usia ceiling/ceiling age adalah usia termuda di antara tingkatan usia anak

tidak mampu melakukan semua gugus tugas. Dengan kata lain, gugus tugas

tertinggi apabila seorang anak dapat menyelesaikannya dengan benar

4) Usia kronologis/Chronological Age (CA) adalah usia anak sebenarnya (dalam

bulan) pada saat dilakukan uji

5) Developmental Quotient (DQ) adalah skor yang menggambarkan proporsi

perkembangan yang normal anak pada usia tersebut. Secara aritmetika DQ

dihitung dengan membagi usia ekuivalen anak dengan usia kronologis anak

dan dinyatakan dalam persentase perkembangan yang diharapkan untuk usia

kronologis

6) Expressive Language Quotient (ELQ) adalah usia ekuivalen pada expressive

language milestone dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100 sedangkan

Receptive Language Quotient (RLQ) adalah usia ekuivalen pada receptive

language milestone dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100

7) Language Quotient (LQ) adalah total atau gabungan usia ekuivalen bahasa

(language age-equivalent) dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100. LQ

merupakan sinonim dari CLAMS DQ

37

Page 30: BAB II Pedsos

8) Problem-solving (cognitive/adaptive) quotient adalah total visual-motor

(problem solving) age-equivalent dibagi dengan usia kronologis dikalikan

100, yang merupakan sinonim dari CAT DQ

9) Full-Scale (composite) Developmental Quotient (FSDQ) merupakan nilai

rerata CAT DQ dan CLAMS DQ yang menunjukkan kemampuan keseluruhan

anak

Pemeriksaan CLAMS mengukur milestones bahasa reseptif dan ekspresif.

Milestones bahasa ekspresif diperoleh dari laporan orang tua terhadap kemampuan

verbal anak. Di dalam CLAMS terdapat 26 milestones bahasa ekspresif yang

meliputi 19 tingkat usia pengujian, yaitu usia 1-12 bulan (interval 1 bulan), usia

14,16,18 bulan (interval 2 bulan), usia 21 dan 24 bulan (interval 3 bulan), usia 30

dan 36 bulan (interval 6 bulan). Milestones bahasa reseptif diperoleh dari

kombinasi laporan orang tua dan demonstrasi langsung berupa pengertian konsep

spesifik oleh anak. Sebelas dari 17 kemampuan bahasa reseptif membutuhkan

demonstrasi langsung (Accardo et al, 2005).

Pengukuran CAT juga terdiri dari 19 tingkat usia pengujian dengan 57

milestones visual-motor yang diukur. Anak harus melakukan semua semua

milestones dari skala visual-motor (beberapa spontan dan beberapa setelah

dicontohkan pemeriksa). Setiap uji harus dimulai pada dua kelompok umur di

bawah tingkatan/level fungsional anak dan diteruskan hingga kelompok umur

tertinggi dimana anak dapat menyelesaikan tugas (Accardo et al, 2005).

Pemeriksaan DQ dan masalah-masalah perkembangan (delay, deviasi, dan

disosiasi) digunakan secara diagnostik dalam interpretasi Capute scales. Jika

terlihat keterlambatan pada aspek kognitif bahasa dan visualmotor, dan tidak

terdapat disosiasi di antara keterlambatan tersebut, maka retardasi mental

dipertimbangkan sebagai diagnosis utama. Jika keterlambatan hanya terlihat pada

aspek perkembangan bahasa dengan laju perkembangan yang normal pada aspek

visual-motor, maka akan ditemukan disosiasi. Pola perkembangan seperti ini dan

aspek bahasa terlambat sedangkan aspek visual-motor dalam batas normal,

menunjukkan kognisi keseluruhan normal namun terdapat suatu gangguan

komunikasi (Accardo et al, 2005).

38

Page 31: BAB II Pedsos

Deviasi ditemukan bila aspek bahasa reseptif pada seorang anak jauh

melebihi kemampuan bahasa ekspresifnya. Pola deviasi menggambarkan adanya

gangguan bahasa ekspresif, sedangkan jika kemampuan bahasa reseptif dan

ekspresif terlambat dan terdapat disosiasi dengan kemampuan visual-motor, maka

terdapat gangguan komunikasi berupa gangguan bahasa reseptif dan ekspresif.

Tabel. Interpretasi dari keterlambatan disosiasi dan bahasa.

Capute scales memungkinkan dokter anak menilai perkembangan secara

akurat pada beberapa aspek perkembangan utama. Keberhasilan pengukuran

secara cepat dari aspek-aspek perkembangan akan membantu menegakkan

diagnosis banding dari sebagian besar kategori utama gangguan perkembangan

pada masa bayi dan kanak-kanak dini. Tabel. Interpretasi dari keterlambatan

disosiasi dan bahasa menunjukkan identifikasi CLAMS terhadap retardasi mental,

gangguan bahasa, dan gangguan pendengaran, identifikasi sebagian besar anak

dengan autism spectrum disorders. Komponen CAT dapat digunakan untuk

membedakan global developmental delay (gangguan kognitif, defisiensi

intelektual, retardasi mental) dari ganggunan komunikasi dan autis (Accardo et al,

2005).

Tabel. Spectrum development disabilities

39

Page 32: BAB II Pedsos

Interpretasi nilai DQ, yaitu:

Normal, seorang anak berkembang secara normal jika DQ pada

kemampuan bahasa dan visual-motornya >85, dengan demikian FSDQ

juga >85.

Suspek, jika DQ pada satu atau kedua aspek <85 tetapi >75 (DQ:75-

85). Anak-anak ini harus dipantau dengan ketat.

Retardasi mental, jika kedua aspek (bahasa dan visual-motor)

menghasilkan DQ yang <75.

Gangguan komunikasi (communication disorder), jika aspek bahasa

terlambat (delayed), tetapi aspek visual-motor dalam batas normal (DQ >85),

disosiasi di antara dua aspek kognitif dari perkembangan sangat khas pada

berbagai gangguan komunikasi. Aspek bahasa harus diteliti lebih lanjut untuk

menilai adanya deviasi, yang akan terlihat jika aspek bahasa reseptif dan ekspresif

menunjukkan angka yang berbeda. Umumnya jika terdapat deviasi pada skala

bahasa, maka kemampuan bahasa ekspresif relatif lebih sering terlambat

dibandingkan dengan bahasa reseptif (Accardo et al, 2005; Dhamayanti dan

Herlina, 2009).

40

Page 33: BAB II Pedsos

DAFTAR PUSTAKA

Accardo PJ, Capute AJ. 2005. The capute scales: Cognitive Adaptive Test/Clinical

Linguistic & Auditory Milestone Scale (CAT/CLAMS). Baltimore: Paul. H.

Brookes Publishing Co.

American Academy of Pediatrics. Committe on children with disabilities. Role of the

Pediatrician in family-centered early intervention service. Pediatrics

2001;107:1155-7.

American Academy of Pediatrics. Council on children with disabilities. identifying

infants and young children with developmental disorders in the medical home: an

algorithm for developmental surveillance and screening. Pediatrics 2006;118:405.

Anderson EM, Spain B. 2010. The Child With Spina Bifida. London: Methuen.

Ansel BM, Landa RM, Stark-Selz RE. 1994. Development and disorders of speech

and language. In: Oski FA, DeAngelis CD, editors. Principles and practice of

pediatrics. Philadelphia: Lippincott, pp:686–700.

Appleton PL, Minchom PE, Ellis NC, Eliott. Self Concept Of Young People With

Spina Bifida: A population-Based Study. Journal of Developmental Medicine and

Child Neurology. 2010; 36:198-215.

Bax MCO. Terminology And Classification Of Cerebral Palsy. Journal of

Developmental Medicine and Child Neurology. 2010; 6:295-7.

Bishop DV. 1994. Developmental disorders of speech and language. In: Rutter M,

Taylor E, Hersov L, eds. Child and adolescent psychiatry. Oxford: Blackwell

Science, pp:546–68.

Blackman JA. 1992. Developmental Screening: Infants, Toddlers, And Preschoolers.

Tokyo: Saunders, pp. 617-623.

Chaer A. 2003. Psiokolinguistik kajian teoritik. Jakarta: Rineka Abdi.

Coplan J. Evaluation of the child with delayed speech or language. Pediatr Ann.

1985;14:203–8.

Davis H, Stroud A, Green L. The maternal language environment of children with

language delay. Br J Disord Commun. 1988;23:253–66.

41

Page 34: BAB II Pedsos

Departemen Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pengunaan KMS2012. Available at

http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/Pedoman-Penggunaan-

KMS_SK-Menkes.pdf. [diakses pada 21 Agustus 2015].

Dewey D, Kaplan BJ.  Subtyping Of Development Motor Deficits. Journal of

Development Neuropsychology. 2009;10:265-84.

Dhamayanti Meita, Herlina Murfariza. Skrining gangguan kognitif dan bahasa dengan

menggunakan capute scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic and

Auditory Milestone Scale-Cat/Clams). Sari Pediatri. 2009;11(3):189-98).

Frankenburg WK, et al. 1990. Denver II Technical Manual. Denver: Denver

Developmental Materials, pp. 1-20.

Gunawan N. 2004. Pedoman deteksi dini tumbuh kembangbalita. Jakarta: Depkes RI,

pp. 1-120.

French R, Jansma P. 2012. Special Physical Education. Columbus: Charles E. Merrill

Publihing Company.

Hawari D. 2003. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa [Skripsi]. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Edisi 1.

Jakarta: Sagung Seto.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Keterlambatan Perkembangan Pada Anak. Available

athttp://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/mengenal-keterlambatan-

perkembangan-umum-pada-anak.html [diakses tanggal 21 Agustus 2015].

Jongmans MJ, Mercuri E, Dubowitz LMS, Henderson SE. Perseptual Motor

Difficulties And Their Concomitants In Six-Year-Old Children Born Prematurely.

Journal of Human Movement Science. 2005; 17:629-53.

Jonhston MV. Clinical disorder of brain plasticity. Brain dev, 2004;26:73-80.

Judarwanto Widodo. 2008. Keterlambatan bicara-speech delay. Available at:

http://www.keterlambatan-bicara.blogspot.com.

Kadesjo B, Gillberg C. Developmental Coordination Disorder In Swedish 7 Year-Old

Children. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry.

2011; 20:32-9.

42

Page 35: BAB II Pedsos

Kaplan, et al. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatris Klinis Jilid 2.

Jakarta: Binarupa Aksara.

Klinik Tumbuh Kembang Anak RS. Dr. Kariadi. 2007. Studi pendahuluan disfasia

perkembangan. Semarang.Leung KA, Kao PC. Evaluation and management of the

child with speech delay. Am Fam Phys, 1999;59:32-45.

Lutan R. 2005. Teori Belajar Keterampilan Motorik: Konsep dan Penerapan [Tesis].

Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Leung AK, Robson WL. Otitis media in infants and children. Drug Protocol.

1990;5:29–35.

Makum, AH. 2001. Gangguan perkembangan berbahasa. Buku ajar ilmu kesehatan

anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI, pp; 56-69.

Mundkur N. Neuroplasticity in children. Indian J Pediatr, 2005;72:855-7.

Oka Lely. 2008. Jika anak terlambat bicara. Available at : www.balipost.com

Owens RE. 2001. Language Development an Introduction, 5th edition. New York:

Allyn and Bacon.

Patacy, C. 2010. Motor Skills Disorder. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/915251. [diakses pada 21 Agustus 2015].

Schlieper A, Kisilevsky H, Mattingly S, Yorke L. Mild conductive hearing loss and

language development: a one year follow-up study. J Dev Behav Pediatr.

1985;6:65–8.

Shonkoff JP. 1996. Language delay: late talking to communication disorder. In:

Rudolph AM, Hoffman JI, Rudolph CD, editors. Rudolph's pediatrics. London:

Prentice-Hall, pp:124–8.

Silva PA, Williams SM, McGee R. A longitudinal study of children with

developmental language delay at age three; later intelligence , reading and

behavior problems. Dev Med Child Neurol, 1987;29;630-640.

Simkin Z, Conti G. Evidence of reading difficulty in subgroups of children with

specific language impairment. Child language teaching and therapy,

2006;22:315-31.

43

Page 36: BAB II Pedsos

Smith C, Hill J. 1999. Language development and disorders of communication and

oral motor function. Pediatric Rehabilitation. Philadelphia: Hanley and Belfus, pp.

57-79.

Vincer MJ, Cake H, Graven M, Dodds L, McHugh S, Fraboni T. A population-based

study to determine the performance of the cognitive adaptive test/clinical

linguistic and auditory milestone scale to predict the mental developmental index

at 18 months on the bayley scales of infant development-II in very preterm

infants. Pediatrics, 2005 ;116:864-7.

Virginia W, Meredith G. 1997. Gangguan bicara dan bahasa. Buku ajar penyakit

telinga, hidung, tenggorok. Jakarta : EGC, pp ; 397-410.

Webster RI. The clinical spectrum of developmental language impairment in school

aged children: language, cognitive and motor findings. Pediatrics,

2006;118:1541-9.

44