Post on 27-Apr-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Penulis hendak menulis penelitian ini dikarenakan terdapat masalah yang
berkaitan dengan pengupahan yang diberikan Pemerintah terhadap suatu
perjanjian kerja sama antara Fasilitator dengan Pemerintah. Bahwa yang
dimaksud perjanjian kerja yang dilakukan oleh Pemerintah dengan pekerja
Fasilitator dirasa kurang memberikan perlindungan dan kepastian hukum, karena
tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian menurut Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Jenis perjanjian kerja yang berlaku terhadapnya adalah
perjanjian kerja individu, yaitu pihak yang terkait adalah Pemerintah dan pekerja
perorangan saja. Dan penyelesaian masalah menurut Undang-Undang
Ketenagakerjaan tidak dimungkinkan terhadapnya.
Senyatanya bahwa dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan
yang beraneka ragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia
dituntut untuk bekerja. Baik bekerja yang diusahakan sendiri maupun bekerja
pada orang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri maksudnya bekerja atas
modal dan tanggungjawab sendiri, sedangkan bekerja pada orang lain maksudnya
bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan
mengutusnya karena pekerjaan harus tunduk dan patuh pada orang lain sehingga
menimbulkan suatu hubungan kerja antara si pemberi kerja dan penerima kerja
yang dituangkan dalam suatu perjanjian kerja.1
1 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesembilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1989, hlmn., 51.
2
Pada hakekatnya, dalam pergaulan hidup terjadi peristiwa dimana seorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal, maka timbullah suatu perjanjian. Dalam bentuknya, perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis. Dari perjanjian tertulis tersebut timbullah semua
hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang lazim disebut dengan
perikatan.2 Sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Subekti:
“Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa
saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.”3
Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam
perjanjian yang mereka adakan. Guna mewujudkan suatu perjanjian yang telah
disepakati bersama, para pihak yang terikat dalam perjanjian harus melaksanakan
isi perjanjian sebagaimanamestinya. Dengan dilaksanakannya prestasi dalam
perjanjian, maka apa yang diharapkan sebagai maksud dan tujuan diadakannya
perjanjian akan tercipta dengan baik tanpa adanya pihak yang dirugikan yang
dapat menuntut atas kerugian yang dideritanya.4
Demikian juga dalam bidang pekerjaan, orang melakukan perjanjian kerja
sehingga menimbulkan perikatan. Setiap hubungan kerja yang tercipta, baik
formal maupun informal, pada dasarnya selalu didahului dengan adanya
perjanjian kerja. Untuk pekerjaan informal, perjanjian kerja antara pemberi
pekerjaan dengan penerima pekerjaan biasanya dilakukan secara lisan, sedangkan
pekerjaan-pekerjaan yang formal, seperti di pabrik atau perusahaan, perjanjian
kerja pada umumnya dibuat secara tertulis. Pada dasarnya baik tertulis maupun
2 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2007, hlmn., 9.
3 Ibid.
4 Ibid.
3
tidak tertulis, perjanjian kerja tersebut sama-sama mempunyai kekuatan yang
mengikat kedua belah pihak.5
Menurut Penulis, umum diketahui bahwa dalam perjanjian kerja, kedudukan
para pihak sering tidak seimbang. Dengan adanya kedudukan yang tidak
seimbang tersebut ternyata membawa konsekuensi. Pada perjanjian untuk waktu
tertentu, kedudukan majikan dan karyawan tidak pernah seimbang. Ada kalanya
majikan lebih kuat daripada karyawan, sehingga karyawan berada dalam kategori
golongan lemah. Sebaliknya apabila karyawan mempunyai dedikasi dan
profesionalisme dalam bidangnya, maka akan lebih kuat dibanding majikan dalam
hal pengupahan.
Pembangunan bidang ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembagian
sumber daya manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
pembangunan nasional. Sebagai pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-
Undang Dasar 1945, pembangunan bidang ketenagakerjaan diarahkan pada
peningkatan harkat, martabat, dan kemampuan manusia serta kepercayaan diri
sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik materiil
maupun spiritual.6
Dalam hal perjanjian kerja, diatur dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 Angka 14 disebutkan,
“Bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak, sehingga menimbulkan suatu hubungan kerja”. Kemudian
5 Ibid.
6 Lihat bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
4
dalam Pasal 1 Nomor 15 disebutkan bahwa, “Hubungan kerja adalah hubungan
pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah”. Dengan demikian, agar dapat disebut perjanjian
kerja harus dipenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu adanya orang di bawah pimpinan orang
lain, penunaian pekerjaan, dan adanya upah.7
Berdasarkan uraian di atas, dalam kenyataannya masih timbul berbagai
masalah-masalah sehingga tidak terciptanya hubungan kerja yang baik yang
berdasar pada Pancasila dan UUD 1945, terutama dalam hubungannya dengan
perlindungan terhadap pekerja. Meskipun pekerja merupakan faktor yang sangat
penting dalam suatu perusahaan, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa posisi
pekerja dimarginalkan dan lemah dalam berhadapan dengan pengusaha. Dalam
kasus-kasus yang berkaitan dengan hubungan industrial, seringkali perjuangan
pekerja kandas di tengah jalan karena dilakukan secara individu. Akhirnya pekerja
sebagai pribadi memilih untuk diam dalam memperjuangkan hak-haknya daripada
gagal dan berakibat lebih buruk seperti pemutusan hubungan kerja bagi mereka.
Hal ini pulalah yang sedang terjadi di salah satu wilayah yang Penulis teliti
yaitu tentang keterlambatan upah pekerja, khususnya pada pelaksanaan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan yang selanjutnya dikenal
dengan PNPM Mandiri Perdesaan, dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah pada
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah yang beralamat
di Jalan Menteri Supeno No.17 Semarang, yang dimana di sisi lain Pemerintah
sebagai regulator atau pembuat kebijakan mempunyai kepentingan untuk
menciptakan hubungan industrial dalam rangka mencari keseimbangan antara
7 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlmn., 7.
5
kepentingan pekerja, pengusaha dan pemerintah. Mengenai hal tersebut, tindakan
yang dilakukan pemerintah sebagai pemberi pekerjaan terkait dengan
keterlambatan upah, menurut Penulis dapat dikategorikan tindakan wanprestasi.
Adapun konsep wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan
kewajiban (prestasi) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara Pejabat Pembuat Komitmen dan Fasilitator PNPM. Wanprestasi dapat
berupa: Pertama, tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
Kedua, melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimanamestinya.
Ketiga, melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. Dan keempat,
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.8
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk
mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu
perjanjian antara kedua belah pihak. Dari perjanjian tersebut maka muncul
kewajiban para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian (prestasi). Prestasi
tersebut dapat dituntut apabila tidak dipenuhi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata,
prestasi terbagi dalam 3 macam:
1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam Pasal
1237 KUHPerdata).
2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (pretasi jenis
ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPerdata).
3. Prestasi untuk tidak melakukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
(prestasi jenis ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPerdata).
8 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlmn., 58.
6
Alasan teknis yang menarik Penulis untuk melakukan penelitian terhadap
isu tersebut adalah Penulis mempunyai kemudahan memperoleh bahan hukum
dalam penelitian. Sedangkan alasan yuridis yang menarik Penulis melakukan
penelitian ini karena terdapat keterlambatan sistem pembayaran upah dalam
program PNPM Mandiri Perdesaan yang terdapat problematika tarik-menarik
kepentingan antara pemberi kerja dengan pekerja, serta mengandung pertanyaan-
pertanyaan mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja fasilitator,
sehubungan dengan perlindungan upah dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh
terhadap keterlambatan sistem pembayaran tersebut.
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka Penulis mengajukan judul
skripsi: “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA FASILITATOR
DALAM PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN”.
Perlu diketahui, sejak tahun 2007 Pemerintah Indonesia telah melaksanakan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari
PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri
Wilayah Khusus dan Desa Tertinggal. Pada masa otonomi daerah sekarang ini,
tentunya program-program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan oleh
pemerintah pusat melalui lintas departemen atau kementerian seyogyanya harus
lebih banyak ditunjang oleh pemerintah daerah, karena pemerintah daerah yang
lebih mengetahui secara pasti besarnya angka kemiskinan dalam masyarakat di
wilayahnya, sehingga tujuan dari program nasional tersebut dapat terarah secara
efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.9
9 PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah, baca dalam situs: www.pnpm-jateng.org/,
dikunjungi pada tanggal 29 Mei 2013 pukul 10.46.
7
Demikian halnya Pemerintah Kabupaten/Kota Jawa Tengah juga
mendapatkan program PNPM sejak tahun 2007. Adanya program tersebut secara
kasat mata memang telah banyak melakukan perubahan-perubahan, terutama
dalam upaya peningkatan infrastruktur masyarakat dan pembangunan ekonomi
masyarakat. Dengan adanya hal tersebut, tolok ukur keberhasilan memang
diperlukan, terutama tujuan dari PNPM adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Terlaksananya program yang ada dalam PNPM merupakan sinergi
dari beberapa aspek, salah satunya adalah pelaku PNPM di tingkat kecamatan,
yang didalamnya ada Fasilitator, baik Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Teknik,
dan Unit Pelaksana Kegiatan (UPK).10
Untuk tercapainya tujuan dari suatu program tersebut dibutuhkan tenaga ahli
untuk mempermudah penyelesaian dalam pelaksanaan-pelaksanaannya, dengan
kata lain tenaga-tenaga itulah yang disebut tenaga Fasilitator. Dengan pengertian
bahwa seorang Fasilitator adalah orang yang mempunyai keahlian dalam
memberikan bantuan teknis (keterampilan, informasi, dan hal lain yang berkaitan
dengan bidang pendidikannya) pada masyarakat yang mengarah pada tujuan dari
program-program yang telah dibuat oleh pemerintah. Singkatnya, tugas Fasilitator
adalah membantu suatu kelompok untuk meningkatkan efektifitas dengan cara
memperbaiki proses dan struktur. Proses mengacu pada bagaimana kelompok
bekerja, misalnya bagaimana mereka berkomunikasi, bagaimana membuat
keputusan, ataupun mengelola konflik. Sementara, struktur mengacu pada proses
yang stabil dan berulang seperti pembagian peran dalam kelompok.11
10
Ibid. 11
Ibid
8
Perselisihan yang terjadi terhadap pekerja/buruh dalam program PNPM
Mandiri Perdesaan mengenai keterlambatan upah yang mengacu pada sistem
pembayarannya adalah merupakan perselisihan hak, yaitu perselisihan yang
timbul karena tidak terpenuhinya hak, yang berakibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
atau perjanjian kerja.
Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (2) mengenai Balas Jasa dan Cara
Pembayaran, dalam Surat Perjanjian Kerja menyebutkan bahwa pekerja Fasilitator
akan menerima gaji di setiap bulannya pada tanggal 1-10 (satu sampai dengan
sepuluh).12
Upah sebagai hak pekerja yang seharusnya diberikan kepada pekerja
dalam hal ini tidak terpenuhi. Dalam kasus yang sedang terjadi ini, terjadi
keterlambatan upah berbulan-bulan yang mengakibatkan suatu kondisi kerja yang
tidak harmonis, menurunnya produktifitas pekerja sehingga tidak tercapainya
kesejahteraan bagi para pekerja. Keterlambatan upah pekerja diakibatkan karena
sedang dilakukannya revisi DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) berkenaan
dengan kebijakan penghematan/pemotongan anggaran belanja Tahun Anggaran
2013.13
Dalam melaksanakan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan serta peranan yang sangat signifikan dalam aktifitas perekonomian
12
SURAT PERJANJIAN KERJA FASILITATOR TEKNIK KECAMATAN Nomor:
414.2/03.0598/PNPM MPd.2013 yang dibuat oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa Provinsi Jawa Tengah selaku Kuasa Pengguna Anggaran pada Program Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa bertindak untuk dan atas nama Satuan Kerja Perangkat Daerah
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah dengan pekerja Fasilitator
sebagai tenaga pembantu pelaksanaan PNPM. 13
SURAT EDARAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
Nomor 900/4281/PMD, perihal Keterlambatan Honorarium, Tunjangan, dan Biaya Operasional
Fasilitator.
9
nasional, yaitu meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan masyarakat. Di
Indonesia, tenaga kerja sebagai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan
merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup melimpah. Pekerja merupakan
komponen perusahaan yang bisa dianggap cukup lemah dalam menentukan
mekanisme hubungan kerja dengan perusahaan, hal ini diakibatkan oleh tidak
sebandingnya jumlah pencari kerja dengan pemberi pekerjaan, baik dalam bentuk
perseorangan atau organisasi ekonomi. Indikasi ini bisa dilihat pada masih
tingginya jumlah pengangguran di Indonesia serta rendahnya atau minimnya
kesempatan kerja yang disediakan. Pada sisi lain seperti yang dikemukakan
Satjipto Rahardjo bahwa untuk menggambarkan masyarakat Indonesia tidak ada
yang lebih bagus dan tepat selain dengan mengatakan bahwa masyarakat itu
sedang berubah secara cepat dan cukup mendasar. Dengan hal tersebut mengingat
seiring peran serta pekerja semakin meningkat, dan dengan itu maka perlindungan
terhadap pekerja harus semakin ditingkatkan baik mengenai upah, kesejahteraan,
dan harkatnya sebagai manusia.14
Secara yuridis Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke IV, yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, selanjutnya Pasal 88
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
perlindungan bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian Pasal 6
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan
14
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses
dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Jurnal Hukum, No. 7 Vol. 4 Tahun 1997, hlmn., 2.
10
kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja atau buruh tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Berbicara mengenai ketenagakerjaan tersebut, tentunya ada pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya yang akan menimbulkan terselenggaranya hubungan
industrial, yaitu antara pekerja/buruh, pengusaha/pemberi kerja, dan pemerintah.
Dengan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, pemberi kerja adalah orang
perseorangan, persekutuan, badan hukum atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Kewajiban pengusaha yang utama dari akibat yang timbul dalam suatu
perjanjian kerja adalah membayar upah. Dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yang berisi
kewajiban utama dari pengusaha dalam perjanjian kerja menyebutkan bahwa upah
harus dibayarkan langsung kepada pekerja/buruh pada waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut, Pasal 17 dalam Peraturan
Pemerintah tersebut, bahwa jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya
dilakukan seminggu sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekali dan
selanjutnya diatur pada Bagian Kedua Bab X Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai Pengupahan dan Mekanisme
Pembayaran Upah, yang tertuang dalam perjanjian kerja yang didasarkan atas
kesepakatan antara penerima kerja dan pemberi pekerjaan.
Pada dasarnya hak untuk menerima upah bagi pekerja timbul pada saat
adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, dan berakhir pada saat
11
hubungan kerja tersebut putus. Dalam ketentuan di atas, termuat prinsip
pengupahan pada Pasal 93 ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu “upah
tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan”, hal tersebut dikenal
dengan asas “no work no pay”. Ketentuan ini berlaku untuk semua golongan
pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja yang bersangkutan tidak dapat melakukan
pekerjaan disebabkan oleh sakit, melaksanakan atau melangsungkan pernikahan,
mengkhitankan anaknya, melahirkan atau gugur kandungan, menjalankan ibadah
yang diperintahkan oleh agamanya, menjalankan tugas perusahaan, dan lain-lain
sebagainya.15
Terkait dengan terselenggaranya hubungan industrial yang baik, peran serta
atau campur tangan pemerintah sangat diperlukan dalam memainkan tugas dan
fungsinya sebagai regulator yang bertindak membuat perundang-undangan
sebagai alat untuk mengontrol sistem hubungan industrial. Dengan pengertian,
peran pemerintah diharapkan dapat melaksanakan tiga fungsi, yaitu sebagai
pelindung (protector), pembimbing (guide), dan penengah (arbitrator).16
Dalam kenyataannya yang terjadi di lapangan dan yang kebetulan menjadi
topik penelitian Penulis, masalah-masalah yang berkaitan dengan perselisihan
perburuhan sangat banyak. Sebagai contoh adalah perselisihan perburuhan yang
terjadi pada pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan khususnya di wilayah Jawa Tengah.
Hal lain yang menimbulkan permasalahan sebagaimana yang dialami oleh
pihak dalam program PNPM dalam hal ini adalah Fasilitator, adalah banyaknya
terjadi pelanggaran dalam penerapan sistem perjanjian kerja, dimana banyak
15
Adrian Sutedi, HUKUM PERBURUHAN, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlmn., 145. 16
Ibid. Hlmn., 39.
12
terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan aturan perjanjian kerja, atau dengan
kata lain perjanjian kerja yang dilaksanakan tidak sesuai atau bahkan tidak
mengacu kepada aturan perjanjian kerja yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam prakteknya di lapangan, selain penerapan perjanjian kerja yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem perjanjian kerja yang dilaksanakan juga
sangat merugikan pekerja. Sebagai contoh adalah pembayaran upah yang
terlambat berbulan-bulan yang terjadi hampir di setiap awal tahun anggaran.
Namun demikian, apa yang terjadi pada Fasilitator PNPM, yang upahnya
terlambat berbulan-bulan sampai yang pada tahun sebelumnya juga pernah terjadi
hal yang serupa tidak ada sanksi hukum atas pelanggaran tersebut. Kerugian lain
dalam penerapan sistem perjanjian kerja yang dialami Fasilitator PNPM adalah,
selain tidak memberikan kepastian terhadap hubungan kerja, adapun juga upah
kerja yang diberikan terlambat tanpa ada konsekuensi yang jelas, karena status
pekerja hanya sebagai pegawai yang dikontrak dalam jangka waktu tertentu.17
Dari keadaan tersebut tentunya pihak yang paling dirugikan adalah tenaga
kerja atau pekerja atau buruh yang bekerja dengan sistem perjanjian kerja
tersebut. Karena selain perlindungan dan syarat kerja yang diberikan sangat jauh
dari ketentuan yang seharusnya dan sewajarnya diberikan, juga terdapatnya
perbedaan yang sangat jauh pada perlindungan yang diberikan jika dibandingkan
dengan pekerja/tenaga kerja yang dipekerjakan dengan sistem perjanjian kerja.
Lemahnya posisi Fasilitator PNPM tersebut menyebabkan pekerja tidak
17
Hasil wawancara dengan salah satu pekerja Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan
dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi
Jawa Tengah. Hari Jumat pukul 12.00 WIB tanggal 14 Juni 2013.
13
melakukan upaya hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga
kejadian tersebut menjadi terulang dari tahun ke tahun.18
Beberapa upaya telah dilakukan oleh para pekerja, terbukti dengan
terbentuknya asosiasi pekerja antar pekerja Fasilitator yang didasarkan oleh
kesadaran kaum pekerja untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang diabaikan,
akan tetapi dalam upaya-upaya tersebut tidak menemui hasil yang diinginkan.19
Perselisihan yang timbul menimbulkan ketidakpastian bagaimana perlindungan
terhadap pekerja, karena dengan adanya Surat Edaran perihal keterlambatan gaji
tersebut, para pekerja secara tidak langsung harus menerima keputusan tersebut.
Hal yang demikian tidak mencerminkan suatu hubungan industrial yang baik yang
berdasar hukum atau undang-undang, karena tidak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam hukum perikatan yang didasarkan atas kesepakatan para pihak,
akan tetapi merujuk pada keputusan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah yang
dalam hal ini adalah yang memberi pekerjaan.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan perjanjian kerja yang seharusnya
diberlakukan terhadap Fasilitator PNPM, terkait dengan rumusan
perjanjian kerja yang terdapat dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Fasilitator PNPM?
18
Ibid. Hari Jumat pukul 13.00 WIB tanggal 14 Juni 2013. 19
Ibid. Hari Senin pukul 16.00 WIB tanggal 5 Agustus 2013.
14
3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:
1. Mengetahui ketentuan-ketentuan perjanjian kerja yang seharusnya
diberlakukan terhadap Fasilitator PNPM, terkait dengan rumusan
perjanjian kerja yang terdapat dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
2. Mengetahui perlindungan hukum terhadap Fasilitator PNPM.
4. MANFAAT PENELITIAN
Penulisan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan bagi
perkembangan hukum ketenagakerjaan, khususnya mengenai
perlindungan hukum terhadap pekerja Fasilitator terkait dengan
pengupahan.
2. Secara Praktis
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan akademisi di bidang
ilmu hukum khususnya mengenai pengupahan dan perlindungan
hukum terhadap Fasilitator PNPM.
5. METODE PENELITIAN
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan titik
tolak penelitian analisis terhadap perjanjian kerja yang didalamnya mengatur
mengenai pemberian upah yang membuka peluang terjadinya praktik
15
pengesampingan hak Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan. Berbeda dengan
penelitian sosial, pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah-kaedah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum. Sedangkan penelitian ini adalah penelitian hukum. Penulis
hendak meneliti perjanjian kerja antara fasilitator PNPM dengan pemerintah, dan
mengujinya berdasarkan batu uji UU Ketenagakerjaan, terkait kasus mengenai
keterlambatan pembayaran upah berulang-ulang yang dilakukan Pemerintah
kepada Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan, serta hendak menggunakan hasil
analisisnya sebagai bahan masukan dalam eksplanasi hukum.20
b. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif,
maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan
perundang-undangan dilakukan untuk dijadikan batu uji (dalam hal ini adalah
ranah hukum perjanjian) supaya perjanjian kerja yang dibuat antara para pihak
dalam suatu hubungan kerja mengacu pada konsep atau aturan yang terdapat
dalam undang-undang, dalam hal ini KUHPerdata ataupun Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep
perjanjian kerja, sehingga diharapkan dalam praktek di lapangan tidak lagi
memungkinkan ada pemahaman yang ambigu dan kabur sehingga menjadi celah
bagi pihak yang beriktikad buruk dengan memanipulasi suatu perjanjian kerja.
20
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia
Publishing, 2013, Malang, hlmn., 321-322.
16
c. Bahan Hukum
Yang pertama, bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari
aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, dan aturan lain di bawah undang-undang.21
Adapun bahan-bahan yang mampu menjawab rumusan permasalahan tersebut
adalah Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Lalu, yang kedua, bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
diperoleh dari buku teks, pendapat para sarjana, serta kasus-kasus hukum, terkait
dengan pembahasan tentang perjanjian kerja.
Dan yang terakhir, bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap badan hukum primer
dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.22
d. Unit Analisis
Adapun unit analisis penelitian ini adalah perjanjian kerja antara Pemerintah
dengan Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan.
e. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun badan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan
dan aturan perundang-undangan dimaksud Penulis uraikan dan hubungkan
sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna
21
Ibid., hlmn., 390-393. 22
Ibid.
17
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat pola kecenderungan
dan modus operandi pihak yang melakukan praktik pengesampingan hak atas
ketepatan pembayaran upah sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan
pertimbangan hukum yang berguna dalam penyusunan perjanjian kerja yang
mengatur tentang pemberian dan cara pengupahan dalam suatu hubungan kerja
secara tepat.
6. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara garis besar Penulis akan menulis skripsi ini dalam 3 bab, yang akan
disebutkan sebagai berikut:
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian orientasi tentang penelitian yang meliputi hakikat
permasalahan yang dituangkan dalam latar belakang masalah,
perumusan masalah secara tegas, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2. BAB II PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian pembahasan dan analisis terhadap permasalahan
penelitian mengenai apakah maksud dari perlindungan hukum,
kaedah-kaedah atau ketentuan-ketentuan yang seharusnya dalam
perjanjian kerja, hakekat para pihak dalam perjanjian kerja PNPM
Mandiri Perdesaan, pembahasan tentang kontrak dalam perjanjian.
3. BAB III PENUTUP
18
Bab ini berisi pernyataan tentang kesimpulan hasil pembahasan pada
bab pembahasan, dan saran Penulis.