BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang...

12
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menurut Sulasman kebudayaan mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 1 Pendapat ini menggambarkan bahwa dalam setiap masyarakat pada suatu tempat atau daerah tertentu pasti memiliki budaya yang mencakup beberapa hal di atas dan masing- masing dari budaya itu memiliki keunikannya tersendiri, sehingga itulah yang membedakan budaya dari satu daerah dengan daerah lainnya. Kebudayaan merupakan ciri dalam suatu masyarakat, karena dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai yang dianut untuk melakukan interaksi sosial kepada masyarakat lainnya. Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa masyarakat adalah kelompok terbesar dari makhluk- makhluk manusia yang hidup terjaring dalam suatu kebudayaan dan merasakan kebudayaan itu. 2 Bisa dikatakan bahwa individu atau masyarakat yang hidup bersama dalam satu komunitas tentu memiliki kebudayaan yang mengakar dari satu generasi ke generasi selanjutnya karena kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. 3 Sekalipun sebagai masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat yang hakikat yang berlaku secara umum bagi semua orang. 4 Walaupun kita berbeda budaya, tetapi dalam setiap budaya, ada nilai-nilai yang bisa kita petik dan kita jadikan sebagai pegangan dalam menjalani relasi dengan sesama. 1 H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 17. 2 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Djakarta: Penerbit Universitas, 1959), 100 3 H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan, 29. 4 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: Alfabeta, 2013), 33.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Menurut Sulasman kebudayaan mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral,

hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota

masyarakat.1 Pendapat ini menggambarkan bahwa dalam setiap masyarakat pada suatu tempat

atau daerah tertentu pasti memiliki budaya yang mencakup beberapa hal di atas dan masing-

masing dari budaya itu memiliki keunikannya tersendiri, sehingga itulah yang membedakan

budaya dari satu daerah dengan daerah lainnya.

Kebudayaan merupakan ciri dalam suatu masyarakat, karena dalam kebudayaan terdapat

nilai-nilai yang dianut untuk melakukan interaksi sosial kepada masyarakat lainnya.

Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa masyarakat adalah kelompok terbesar dari makhluk-

makhluk manusia yang hidup terjaring dalam suatu kebudayaan dan merasakan kebudayaan itu.2

Bisa dikatakan bahwa individu atau masyarakat yang hidup bersama dalam satu komunitas tentu

memiliki kebudayaan yang mengakar dari satu generasi ke generasi selanjutnya karena

kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.3 Sekalipun sebagai masyarakat

mempunyai kebudayaan yang berbeda, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat yang hakikat

yang berlaku secara umum bagi semua orang.4 Walaupun kita berbeda budaya, tetapi dalam

setiap budaya, ada nilai-nilai yang bisa kita petik dan kita jadikan sebagai pegangan dalam

menjalani relasi dengan sesama.

1H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 17. 2 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Djakarta: Penerbit Universitas, 1959), 100 3H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan, 29. 4 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: Alfabeta, 2013), 33.

2

Kebudayaan memiliki empat unsur penting yang dikemukakan oleh Melville J. Herskovits yaitu,

alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.5 Dalam penelitian ini

penulis lebih memfokuskan pada unsur keluarga yang akan dikaji dari perspektif konseling

prapernikahan berbasis budaya. Kehidupan keluarga adalah kehidupan yang nyata dan bukan

sekedar ilusi-ilusi sentimental.6 Membentuk sebuah keluarga bukanlah sesuatu yang mudah,

keluarga dituntun untuk berupaya secara terus-menerus melewati setiap kegagalan dan cobaan

yang menerpa kehidupan keluarga. Sebelum memasuki kehidupan keluarga melalui sebuah

pernikahan, kedua calon mempelai akan melewati tahap-tahap yang disebut dengan

prapernikahan. Dalam arti umum, pernikahan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara

pria dan wanita, atau atas dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap

dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan.7 Dalam mencapai tujuan tersebut,

tentunya dibutuhkan komitmen dari keduanya, karena jika hanya satu saja, maka tujuan tidak

akan tercapai. Oleh karena itu, dibutuhkan konseling prapernikahan terlebih dahulu dan

kemudian dilanjutkan dengan konseling pernikahan.

Berbicara mengenai konseling pernikahan, tentunya berkaitan erat dengan konseling

prapernikahan.8 Ibaratnya kita mau menolong seseorang mengatasi kesulitan-kesulitan sebelum

kesulitan itu timbul. Bila masing-masing pasangan mengharapkan hidup bahagia dalam

pernikahan, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah mencari dan meletakkan dasar

yang kokoh bagi kehidupan keluarga yang akan dibentuk melalui konseling prapernikahan.

Konseling prapernikahan merupakan konseling yang menitikberatkan perhatian pada hal-hal atau

permasalahan seputar hubungan antar pribadi seorang pria dan wanita dalam tahap-tahap

5H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan, 38. 6 Marjorie L. Thomson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 16. 7Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Kanisius,

2007), 17. 8 J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 23.

3

sebelum menjadi suami dan istri.9 Melalui konseling ini, mereka dibantu untuk menilai hubungan

mereka serta memperkenalkan mereka kepada cara-cara bagaimana mengusahakan pernikahan

yang bahagia dan berhasil. Untuk mencapai pernikahan yang bahagia dan berhasil tentunya ada

faktor-faktor yang mendasarinya, antara lain: penyesuaian diri, empati, kemampuan untuk

memecahkan masalah, kesanggupan memberi dan menerima cinta, kestabilan emosi, kemiripan

latar belakang keluarga, kesamaan antar pasangan dan komunikasi.10

Tak dapat dipungkiri banyak calon suami/istri yang memasuki pernikahan dengan

masalah-masalah besar ataupun dalam suatu situasi hubungan yang memiliki potensi

menimbulkan masalah yang dapat merusak dan menghancurkan pernikahan mereka bila tidak

diatasi terlebih dahulu.11

Mereka cenderung mengabaikan, meremehkan atau bahkan mungkin

tidak menyadari adanya masalah atau potensi timbulnya masalah tersebut. Oleh karena itu,

konseling prapernikahan ini penting dilakukan dengan beberapa tujuan.12

Pertama, mendeteksi

dan menyadarkan calon suami/istri tentang adanya masalah dan situasi yang mungkin dapat

menghancurkan pernikahan mereka kelak. Kedua, mengajarkan kepada pasangan tentang makna

suatu upacara pernikahan, sehingga mereka dapat mengerti arti janji nikah yang akan mereka

ucapkan dan komitmen yang akan mereka pikul sepanjang pernikahan mereka.

Perlu ditekankan bahwa konseling prapernikahan bukanlah suatu penghalang atau

rintangan terakhir yang harus dilalui sebelum mereka menikah, tetapi justru dapat memberikan

banyak manfaat bagi mereka. Manfaat tersebut antara lain,13

membantu mereka untuk

mengembangkan potensi-potensi positif yang ada dalam diri mereka dan mengurangi hal-hal

9 J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 28. 10J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 36-39. 11 Jonathan A. Trisna, Konseling Pra-Nikah, (Jakarta: Institut Theologia dan Keguruan Indonesia, 2002), 2. 12 Jonathan A. Trisna, Konseling Pra-Nikah, 2-3. 13 Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia,

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 7-9.

4

negatif, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari dalam kehidupan pernikahan mereka.

Kedua, membantu mereka untuk memiliki pandangan ke depan yang lebih terarah. Saat mereka

merasakan jatuh cinta, kebanyakan mereka tidak memikirkan apa yang akan terjadi ke depan,

mereka fokus pada apa yang terjadi saat ini.

Oleh sebab itu, dengan adanya konseling prapernikahan mereka dapat membicarakan apa

yang akan terjadi dalam hubungan mereka kedepan sebelum memasuki kehidupan pernikahan,

sehingga mereka lebih siap menghadapi berbagai kesalahpahaman ke depannya. Ketiga,

mengulas isu finansial dengan lebih terarah. Isu finansial ini merupakan hal penting yang perlu

didiskusikan oleh pasangan sebelum menikah. Keempat, mengasah kemampuan pasangan untuk

berkomunikasi. Hubungan yang sehat beranjak dari komunikasi yang baik, sebab komunikasi

adalah salah satu faktor kunci dalam keberhasilan dan stabilitas pernikahan.14

Kelima,

meningkatkan kepuasan pernikahan. Konseling prapernikahan membantu pasangan

mengkomunikasikan juga mengidentifikasi kekhawatiran mereka, hasrat, keyakinan, nilai,

mimpi-mimpi, kebutuhan dan beban hidup lainnya yang kebanyakan dihindari atau diabaikan.

Keenam, membantu mereka untuk mampu memiliki kemampuan menyelesaikan setiap konflik

yang ada.

Dari beberapa penelitian berkaitan dengan konseling prapernikahan, baik di Barat

maupun di Indonesia pada jaman sekarang ini, lebih terlihat bentuk bimbingan yang terstruktur

dan formal. Dalam agama Katolik contohnya, ada kursus yang harus diikuti oleh pasangan yang

akan menikah.15

Melalui kursus tersebut, mereka dipersiapkan untuk lebih memahami pernikahan

14 Farnaz Farnam, Minoo Pakgohar, Mandana Mir-mohammadali, Effect of Pre-Marriage Counseling on Marital

Satisfaction of Iranian Newlywed Couples: A Randomized Controlled Trial (Iran: 2011), 10. 15 Tim Pusat Pendampingan Keluarga, “Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Kanisius,

2007), 13.

5

Katolik sebagai syarat wajib sebelum menikah untuk lebih memantapkan niat memasuki jenjang

pernikahan.

Selain agama Katolik, ada pemahaman lain dari Jill Duba Sauerheber and James Robert

Bitter, yang mengatakan bahwa pasangan yang akan menikah harus mengikuti bimbingan

prapernikahan yang bentuknya semacam lokakarya untuk mereka lebih merefleksikan hubungan

mereka dan menerapkan berbagai keterampilan tentang bagaimana membangun hubungan serta

mengembangkan spiritualitas dalam memasuki kehidupan pernikahan.16

Dari segi waktu

bimbingan prapernikahan ini biasanya dilaksanakan satu minggu sebelum menikah.

Dari ketiga pendapat di atas, maka bisa disimpulkan bahwa bimbingan prapernikahan

menjadi sesuatu yang wajib diikuti oleh pasangan untuk dipersiapkan, baik secara pemahaman

dasar, maupun kiat-kiat dalam membentuk satu keluarga. Bila melihat kenyataan yang terjadi di

lapangan, kadang berbeda jauh, misalnya di gereja bimbingan prapernikahan atau yang sering

disebut penggembalaan nikah bagi calon pengantin. Proses penggembalaan dilakukan dua atau

satu hari menjelang hari pernikahan dan materi yang diberikan hanya berdasarkan Alkitab atau

buku-buku pedoman lainnya. Menurut penulis, ini bukan sebuah konseling prapernikahan yang

efektif. Karena konseling prapernikahan membutuhkan waktu yang lama untuk mempersiapkan

pasangan memasuki kehidupan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga.

Dalam budaya masyarakat suku Lauje, Mangantar merupakan tradisi yang sudah

tertanam dan terus menerus dilakukan, sekalipun telah mengalami perkembangan jaman. Ketika

ada seorang laki-laki dan perempuan yang akan menikah, mereka wajib untuk melakukan tradisi

ini. Menurut pemahaman suku Lauje, pasangan tidak bisa menikah jika belum diadakan adat

16 Jill Duba Sauerheber & James Robert Bitter, An Adlerian Approach ¡n Premarital Counseling with

Religious Couples, The journal of Individual Psychology, Vol. 69, No. 4, Winter 2013.

6

lamaran. Setiap ritual yang dilakukan dalam Mangantar, tanpa kita sadari disitulah proses

konseling prapernikahan sedang berlangsung. Proses ini tidak menggunakan materi dalam

bentuk buku atau apapun itu, karena semua ritual memiliki makna yang bisa dijadikan pegangan

ketika memasuki kehidupan pernikahan.

Jika penulis melihat dari konteks budaya, ada perbedaan yang ditemukan oleh penulis,

misalnya dalam budaya suku Lauje. Konseling prapernikahan dalam masyarakat suku Lauje

sudah terlihat mulai dari tahap peminangan sampai dengan tahap Mangantar (melamar) dengan

selisih waktu yang cukup lama. Mereka sangat menghargai tradisi Mangantar dan menganggap

bahwa setiap ritual ada nilai-nilai spiritual yang bisa dipetik untuk dijadikan sebagai bekal

memasuki kehidupan pernikahan. Tidak hanya itu saja, dalam proses konseling prapernikahan

melalui tradisi Mangantar ada barang-barang hantaran yang bisa dijadikan sebagai media

konseling. Dari barang-barang hantaran itu, sudah terlihat bagaimana mereka dipersiapkan untuk

membentuk satu keluarga. Di Indonesia, bukan hanya suku Lauje, tetapi suku-suku lain juga

punya tradisi yang sama seperti suku Lauje. Misalnya suku Minahasa yang biasa disebut Maso

minta, suku Jawa, yang dikenal dengan tradisi Midodareni dan suku Bugis yang dikenal dengan

tradisi Botting.

Dalam menjalin kehidupan, manusia tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai yang

terkandung di setiap budaya. Oleh sebab itu, pada penelitian ini penulis mengangkat Mangantar.

Mangantar adalah istilah untuk proses lamaran adat Suku Lauje. Suku Lauje adalah masyarakat

asli Tolitoli yang mendiami wilayah kecamatan Dondo. Mereka biasa disebut sebagai "Ogo

Ongga Onggasan" atau "Anggasan" yang artinya "bunyi air yang deras." Nama tersebut diambil

karena di wilayah ini terdapat sebuah sungai yang membatasi pemukiman penduduk antara 2

dusun, yaitu dusun Kubir dan dusun Jongin. Dahulu sungai tersebut airnya sangat deras sehingga

7

dari kejauhan terdengar gemuruh air dari sungai ini. Tempat tinggal orang Lauje bermacam-

macam, ada yang tinggal dekat dengan sungai desa Luokmanipi dan ada juga yang masih tinggal

di hutan. Kehidupan sebagian besar orang Lauje ada yang sudah berbaur dengan masyarakat

sekitar, tetapi ada juga sebagian masih hidup dan tinggal di gunung wilayah Teluk Tomini,

Pantai Timur, Kabupaten Parigi Moutong.17

Terselenggaranya suatu pernikahan didahului oleh beberapa tahap, yaitu pelamaran yang

disebut Mangantar, penerimaan lamaran, penyerahan mas kawin, dan pernikahan. Lamaran dari

pihak pria kepada pihak wanita disampaikan dengan cara mengirim utusan yang membawa

piring batu (tolang). Bila pinangan diterima, pihak pria menyiapkan 11 barang pinangan sebagai

tanda pengikat kepada pihak perempuan, yaitu sehelai sarung batik (bate'), baju kebaya (kabaya),

sepasang gelang (gonge), sepasang anting-anting (anti-anti), jarum (siji'), satu gulung benang

jahit (gapase), sisir (sasalau), satu untai peniti (paniti), sebuah cermin (pandangan) dan bedak

(pupure). Barang lamaran ini diantar oleh kepala adat pihak pria bersama ayah dan saudara

sekandung calon mempelai itu disertai dengan saling berbalasan pantun. Penerimaan lamaran

(tinarimane) oleh pihak wanita ditutup dengan makan bersama. Penyerahan mas kawin

dilaksanakan setelah dua atau tiga hari lamaran diterima. Dalam penyerahan mas kawin ada

percakapan dari kepala adat, orang tua dan kedua calon mempelai. Percakapan tersebut

membahas 3 hal, yang pertama tentang sejarah atau silsilah keluarga. Hal tersebut dianggap

penting oleh masyarakat suku Lauje karena menghindari adanya pernikahan satu darah.

Percakapan berikutnya membahas tentang Moar atau persyaratan untuk memasuki pernikahan

seperti piring, parang, harus memotong ayam 2 ekor setelah itu dibakar. Moar dalam masyarakat

suku Lauje dianggap sebagai pengganti dari surat nikah. Percakapan yang terakhir berisi nasehat-

17

Wawancara via telepon dengan Bpk. Thei (Kepala Suku Lauje), Salatiga 6 Februari 2017.

8

nasehat dari kepala suku dan orang tua yang berkaitan dengan kesiapan mereka memasuki

kehidupan rumah tangga.18

Penyerahan mas kawin biasanya dilaksanakan pada malam hari, dan hanya boleh dihadiri

oleh pria yang telah menikah. Penyerahan mas kawin merupakan inti upacara adat. Mas kawin

itu terdiri atas empat tumpukan barang, yaitu satu buah piring batu (sampilubibi) sebagai

pembuka kata dan satu piring batu (asasala) sebagai pembersih dosa. Mas kawin yang

sebenarnya (tolang), terdiri atas 12, 10, atau 7 piring baru, sesuai dengan derajat sang gadis, dan

pedang yang berisi empat buah piring batu.19

Berdasarkan proses Mangantar di atas terkait

dengan konseling perlu adanya komunikasi yang tidak hanya melihat perjumpaan fisik dengan

orang lain, tetapi juga hubungan yang bisa saling menerima, menghargai dan saling mengakui

keunikan setiap individu maupun memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.20

Itulah yang membuat Mangantar bisa menjadi jawaban sebagai suatu pendekatan konseling

berbasis budaya dalam menjawab masalah-masalah yang terkait dengan hubungan dan kesatuan

budaya.

Konseling berbasis budaya adalah proses konseling yang terjadi antara konselor dan

konseli dengan mengedepankan nilai-nilai budaya juga mengkolaborasi nilai-nilai konseling.

Menurut saya, proses konseling dengan perpaduan nilai-nilai budaya akan menjadi keunikan

tersendiri dan mudah menjadi sebuah metode dalam menyelesaikan sebuah masalah dalam

budaya tertentu. Konselor dalam proses konseling ini perlu menyadari dan peka akan nilai-nilai

yang berlaku secara umum di dalam masyarakat. Selain itu, diperlukan kesamaan dalam

18Wawancara via telepon dengan Bpk. Thei (Kepala Suku Lauje). 19Wawancara via telepon dengan Bpk. Thei (Kepala Suku Lauje), Salatiga 6 Februari 2017. 20 J.D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 17.

9

pandangan, sehingga itu dapat menjadi langkah awal bagi konselor untuk melakukan konseling

berbasis budaya.

Pemahaman tentang konseling berbasis budaya dilandasi dari munculnya teori

pendekatan multikultural yang menurut Falicov adalah sensitivitas terhadap berbagai cara yang

memungkinkan fungsi kultur dan interaksi, terleburkan menjadi kepedulian tentang kultural

orang lain.21

Sependapat dengan itu, maka nilai-nilai budaya dalam suku Lauje bisa dijadikan

sebagai acuan untuk melakukan konseling berbasis budaya. Berdasarkan uraian di atas penulis

tertarik melakukan penelitian dengan judul :

“MANGANTAR”

Menjembatani Proses Lamaran Menuju Pernikahan Dalam Masyarakat Suku Lauje Sebagai

Pendekatan Pendampingan Prapernikahan

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah bagaimana

Mangantar menjembatani proses lamaran menuju pernikahan dalam masyarakat suku Lauje

sebagai pendekatan pendampingan prapernikahan? Rumusan masalah tersebut dibagi ke dalam

tiga pokok penelitian. Pertama, bagaimana asal-usul dan pemaknaan Mangantar dikaji dari

perspektif konseling multikultural dan pastoral budaya? kedua, bagaimana pelaksanaan proses

Mangantar dikaji dari perspektif Pastoral budaya dan konseling prapernikahan? ketiga,

bagaimana konsep dan praktik Mangantar menjadi media pendampingan prapernikahan?

Fokus penelitian yang telah dipaparkan di atas dimaksudkan untuk mencapai tujuan

penelitian. Adapun tujuan penelitian adalah pertama, mengkaji asal-usul dan pemaknaan

Mangantar dari perspektif konseling multikultural dan pastoral budaya. Kedua mengkaji

21 John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2006), 275.

10

pelaksanaan proses Mangantar dari perspektif pastoral dan konseling prapernikahan. Ketiga,

mengembangkan konsep dan praktek Mangantar menjadi media dan pendampingan

prapernikahan berbasis budaya bagi masyarakat Suku Lauje.

3. Manfaat Penelitian

Selain mencapai tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, melalui penelitian ini

penulis berharap dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat Kabupaten Tolitoli, terlebih

khusus bagi masyarakat Kecamatan Dondo dan Jemaat GPIBT Petra Kinapasan. Kontribusi ini

berguna untuk memperkaya dan menambah pemahaman tentang suku Lauje dan Mangantar bagi

masyarakat suku Lauje sebagai pendekatan pendampingan berbasis budaya yang dapat dijadikan

acuan dalam pelayanan pastoral gereja. Kemudian melalui penelitian ini, penulis mengharapkan

dapat memberikan pengaruh kepada Program Studi Pascasarjana Sosiologi-Agama Universitas

Kristen Satya Wacana agar lebih memperhatikan dan memperdayakan nilai-nilai kearifan lokal

sebagai instrumen pastoral bagi masyarakat. Selanjutnya, melalui penelitian ini sebagai penulis

berharap berguna bagi diri penulis sebagai calon pelayan Gereja kedepannya. Dengan penelitian

yang dilakukan oleh penulis kiranya dapat memberikan motivasi untuk mengembangkan potensi

dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat melalui kompetensi akademis dalam bidang ilmu

sosiologi agama dan konseling pastoral.

4. Metode Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian deskriptif-analitis yakni

penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk

memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia, melakukan interpretasi dan

11

menganalisis secara mendalam dan memberikan rekomendasi bagi keperluan masa yang akan

datang.22

Dalam penelitian yang dideskripsikan dan dianalisis ini adalah Mangantar dari

perspektif konseling prapernikahan berbasis budaya. Jenis penelitian ini ialah penelitian

kualitatif, yakni suatu metode untuk menangkap dan memberikan gambaran terhadap fenomena

tertentu dalam kehidupan manusia, mengeksplorasi dan memberikan penjelasan dari fenomena

yang diteliti tersebut.23

Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Observasi dalam hal ini

penulis mengamati kehidupan masyarakat suku Lauje, khususnya dalam acara lamaran atau

Mangantar.24

Teknik berikutnya adalah wawancara yang bertujuan untuk mencoba mendapatkan

keterangan secara lisan dari beberapa responden, melalui percakapan.Wawancara ini bermaksud

untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta

pendirian-pendirian mereka.25

Dalam pengambilan data, dipakai beberapa orang untuk menjadi

sumber data atau informan kunci, dalam hal ini Tokoh-tokoh adat dan Kepala suku Lauje. Jika

data yang diberikan belum lengkap, maka penulis mencari data tambahan melalui orang lain.

Sumber data atau informan yang dipakai adalah beberapa masyarakat Suku Lauje yang telah

melakukan tradisi Mangantar.

5. Rencana Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab. Bab satu berisi tentang pendahuluan yang

menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metodologi penelitian, lokasi penelitian dan sistematikan penulisan. Bab dua berisi tentang

22 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 89. 23 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), 8. 24 W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), 116. 25 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,(Jakarta: Gramedia, 1981), 162.

12

konseling multikultural, pastoral budaya dan konseling prapernikahan yang meliputi

pemahaman, karakteristik, dan tujuan. Bab tiga berisi tentang hasil penelitian yang meliputi

deskripsi asal-usul dan pemaknaan Mangantar dikaji dari konseling multikultural, deskripsi

pelaksanaan proses Mangantar dikaji dari konseling prapernikahan serta mengembangkan

konsep dan praktik Mangantar menjadi media pendampingan prapernikahan berbasis budaya

bagi masyarakat suku Lauje. Bab empat berisi tentang pembahasan dan analisa yang meliputi

kajian asal-usul dan pemaknaan Mangantar, kajian pelaksanaan proses Mangantar dan analisa

mengembangkan Mangantar sebagai suatu pendekatan pendampingan prapernikahan berbasis

budaya bagi masyarakat suku Lauje. Bab lima berisi tentang Mangantar sebagai pendampingan

prapernikahan, yang meliputi landasan filosofis, nilai-nilai spiritual dan desain pendekatan

pendampingan prapernikahan Mangantar. Bab enam berisi tentang penutup yang terdiri dari

kesimpulan berupa temuan-temuan terhadap hasil penelitian dan saran terkait dengan kontribusi-

kontribusi untuk penelitian lanjutan.