MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU...

18
41 BAB III MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJE Pada bab tiga ini berisi tentang hasil data penelitian terhadap Mangantar dalam masyarakat Suku Lauje yang meliputi asal-usul dan pemaknaan Mangantar dan deskripsi pelaksanaan proses Mangantar sebagai konseling prapernikahan. 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tolitoli Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Tolitoli sebelumnya bernama Kabupaten Buol Tolitoli, Pada tahun 2000 berdasarkan Undang-undang No.51 Tahun 1999 kemudian Kabupaten Tolitoli dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tolitoli sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Buol sebagai kabupaten hasil pemekaran. Menurut legenda, kata Tolitoli berasa dari kata Totolu, yang artinya “tiga”. Bila kita melihat peta pulau Sulawesi, maka daerah kabupaten Tolitoli tampak memanjang dari timur ke barat. Letaknya di sebelah utara garis katulistiwa, dalam koordinat 0.20 0 - 1 0 20’ lintang utara dan 120 0 -122 0 20’ bujur timur serta memiliki luas wilayah 4.079,6 km 2 , terdiri dari 73 esa, 5 kelurahan dan 10 kecamatan serta mempunyai batas-batas sebagai berikut : sebelah utara dengan Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Kabupaten Buol, sebelah selatan dengan Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong dan sebelah barat dengan selat Makassar yang memisahkan Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Iklim Kabupaten Tolitoli dipengaruhi oleh dua musim secara tetap, yaitu musim barat yang basah dan musim utara yang kering. Angin barat bertiup antara bulan Oktober sampai bulan Maret dan pada periode ini Kabupaten

Transcript of MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU...

Page 1: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

41

BAB III

MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJE

Pada bab tiga ini berisi tentang hasil data penelitian terhadap Mangantar dalam

masyarakat Suku Lauje yang meliputi asal-usul dan pemaknaan Mangantar dan deskripsi

pelaksanaan proses Mangantar sebagai konseling prapernikahan.

3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tolitoli

Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi

Tengah. Kabupaten Tolitoli sebelumnya bernama Kabupaten Buol Tolitoli, Pada tahun 2000

berdasarkan Undang-undang No.51 Tahun 1999 kemudian Kabupaten Tolitoli dimekarkan

menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tolitoli sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Buol

sebagai kabupaten hasil pemekaran.

Menurut legenda, kata Tolitoli berasa dari kata Totolu, yang artinya “tiga”. Bila kita

melihat peta pulau Sulawesi, maka daerah kabupaten Tolitoli tampak memanjang dari timur ke

barat. Letaknya di sebelah utara garis katulistiwa, dalam koordinat 0.200- 1

020’ lintang utara dan

1200-122

020’ bujur timur serta memiliki luas wilayah 4.079,6 km

2, terdiri dari 73 esa, 5

kelurahan dan 10 kecamatan serta mempunyai batas-batas sebagai berikut : sebelah utara dengan

Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Kabupaten Buol, sebelah selatan dengan Kabupaten

Donggala dan Parigi Moutong dan sebelah barat dengan selat Makassar yang memisahkan

Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Iklim Kabupaten Tolitoli dipengaruhi oleh dua

musim secara tetap, yaitu musim barat yang basah dan musim utara yang kering. Angin

barat bertiup antara bulan Oktober sampai bulan Maret dan pada periode ini Kabupaten

Page 2: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

42

Tolitoli ditandai dengan musim penghujan. Angin utara bertiup antara bulan April sampai bulan

September, yang pada periode ini di Kabupaten Tolitoli terjadi musim kemarau.1

Gambar (1) Peta Kabupaten Tolitoli

Sumber : Internet

Penduduk yang mendiami kabupaten Tolitoli terdiri dari berbagai suku yaitu, penduduk

asli: suku Tolitoli, suku Dampal, suku Lauje dan suku Dondo. Suku pendatang : suku Bugis,

suku Minahasa, suku Sangir, suku Kaili, suku Gorontalo, suku Poso, suku Toraja, suku Bali,

Cina dan Arab.2 Masing-masing suku memiliki ciri khas budaya mereka sendiri, misalnya

bahasa, tarian, alat musik, pakaian, dll.

3.2 Gambaran Umum Suku Lauje

Lauje adalah sebuah kata yang tidak asing lagi bagi masyarakat di Kabupaten Tolitoli dan

Kabupaten Parigi Moutong. Kata Lauje diartikan “tidak ada.” Lauje digambarkan sebagai sebuah

suku yang masih primitif dan tinggal di hutan pada masa itu dengan cara hidup bergerombol,

memiliki pemahaman animisme dan sangat sulit ditemui oleh orang yang bukan sesama suku

Lauje. Suku Lauje memiliki populasi terbanyak di Kabupaten Parigi Moutong. Populasi ini

tersebar dibeberapa desa yang ada di Palasa, antara lain: Koja, Banbasiang dan Tongko’u. Ada

1 Catalog: Kabupaten Tolitoli Dalam Angka 2017, (Tolitoli: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli, 2017), 5-7. 2 A.J.Diamanti, Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 74.

Page 3: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

43

juga yang tinggal di bagian Tomini, antara lain: Pogolimpangatang, Punsung E’yang dan Silipoi.

Pusat pemukiman terbesar bagi suku Lauje adalah Labani, Osom dan Afu-afu, yang ditempuh

melewati 8 anak sungai dan sebuah danau dari lembah Palasa (Pantai Timur) untuk bisa

mencapai daerah tersebut. Untuk mencapai perbatasan antara Parigi Mountong (Pantai Barat)

dan Tolitoli/Dondo (Pantai Timur) harus melalui tanjakan yang tinggi demi mencapai sebuah

puncak gunung yang disebut “Balansatu’u”3

Awal abad 20, orang Lauje memutuskan untuk menetap di wilayah Dondo Kabupaten

Tolitoli. Mereka tinggal di sekitar pegunungan Balansatu’u, Sinungkud, Punsung Pado dan

Punsung Dondo. Perpindahan ini diakibatkan karena kurangnya lahan pertanian yang ada di

tempat asal mereka, sehingga mereka mulai mencari lahan yang baru untuk dijadikan tempat

mereka bekerja untuk masa depan. Mereka menetap dan mulai menanam tanaman seperti jagung,

sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi, dan ubi.

Pekerjaan itu dilakukan dengan cara berpindah-pindah tempat, karena bila sudah ada

hasil panen, mereka harus membuka lahan yang baru lagi untuk kembali menanam. Sebagai

wujud dari rasa syukur mereka atas hasil panen yang mereka dapatkan, dilakukanlah upacara

adat yang disebut “Manalasa”. Selain itu ada juga adat-adat lain yang dilakukan dalam

masyarakat suku Lauje, antara lain: buka hutan (Momongi), mulai menanam (Momula), melamar

(Mangantar), menikah (Mokabing), potong gigi (Mogasa), naik ayunan (Molongkung) dan

semua adat dilakukan secara gotong royong (Medunduluan).4

Masyarakat suku Lauje tinggal di dua wilayah kecamatan yang meliputi beberapa desa,

yaitu: Desa Malala, Desa Anggasan, Desa Ogowele, Desa Luok Manipi (Kec. Dondo), dan Desa

3 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje), Kinapasan 15 Agustus 2017. 4 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

Page 4: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

44

Bangkir (Kec. Dampal Selatan). Dari beberapa desa inilah terdiri dusun antara lain Ta’udan (Km

7), Jongin, Bambanong dan Kinapasan. Jumlah masyarakat suku Lauje secara keseluruhan

hampir mencapai 2.000 lebih jiwa dan 1.000 keluarga.

Dalam penelitian ini saya berfokus pada masyarakat suku Lauje yang ada di dusun

Kinapasan yang memiliki jarak tempuh dari kota Tolitoli ke dusun Kinapasan kira-kira 117 Km

dengan memakai kendaraan roda dua maupun roda empat dengan waktu yang ditempuh dua jam

perjalanan. Penduduk di dusun Kinapasan berjumlah 391 jiwa dengan 110 KK. Masyarakat suku

Lauje di hampir semua tempat menjalani kehidupan dengan bertani dan mengelola hasil hutan

yaitu rotan, damar, kayu gaharu,dll. Sebagian masyarakat suku Lauje yang ada di dusun

Kinapasan masih tinggal di gunung yang mereka sering sebut dengan wilayah kolom 2 atau

Wuyule.

Proses migrasi suku Lauje dari kabupaten Parigi Moutong ke kabupaten Tolitoli di abad

20 sekitar tahun 1920-1930 membawa dampak tersendiri pada tatanan kehidupan selanjutnya.

Daerah dengan lahan yang baru membuat suku ini betah untuk tinggal di lokasi itu. Hutan

dibabat, tanah diolah secara tradisional, hidup dengan keterbatasan, diatur secara adat oleh

kepala adat/tomogulang dengan batasan-batasan hukum adat yang berlaku serta tidak dicemarkan

oleh hukum adat manapun. Masyarakat suku Lauje masih hidup secara primitive serta tinggal di

hutan dengan mengandalkan alam semesta yang memberikan jaminan demi kelangsungan

kehidupan. Pekerjaan berburu binatang hutan (Mo Gubas/Mo Ngongko) dan mencari pohon enau

atau rumbia demi mendapatkan sagu (Mo Nya’ul) sebagai teman lauk dari hasil buru serta

membuat rumah/tempat tinggal dari kayu bulat berdiameter 12 dengan panjang 6 meter.

Page 5: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

45

Rumah tersebut dibangun dengan cara ditancapkan ke tanah, diikat dengan rotan serta

beratapkan daun rotan, lantai dan dinding dari kulit kayu. Rumah tersebut tidak ada sekat yang

memisahkan seperti rumah-rumah modern sekarang ini, serta mereka masih hidup dengan adat

budaya yang tidak pernah tergantikan. Hidup dengan pola lama selama sekian waktu dan tiba-

tiba muncul pola hidup baru membuat mereka merasa sangat asing. Pola hidup baru mereka

kenal dengan istilah “Mesusuyang Kai siopu” yang artinya berdoa kepada Tuhan. Selama ini

masyarakat suku Lauje percaya dan menyembah kepada para leluhur-leluhur yang mereka yakini

sebagai pemberi hidup dan yang menjaga mereka. Namun, seiring berjalannya waktu agama

Kristen mulai masuk dan hampir sebagian masyarakat suku Lauje sudah memeluk agama

Kristen, tetapi tidak meninggalkan sepenuhnya agama suku mereka.5

Dalam masyarakat suku Lauje ada istilah “Medunduluan” yang artinya gotong royong.

“Medunduluan” ini terlihat pada kegiatan-kegiatan masyarakat seperti menanam padi, kerja di

kebun, panen jagung, dll. “Medunduluan” dilakukan tidak hanya oleh laki-laki, tetapi perempuan

pun terlibat. Dalam pelaksanaan adat Mangantar masyarakat mempersiapkan dengan

“Medunduluan’ atau bergotong royong. Atas dasar itulah, maka menurut penulis, Medunduluan

bisa dijadikan landasan filosofis.

3.3. Asal-Usul dan Pemaknaan Mangantar

Dalam masyarakat suku Lauje dikenal dengan beberapa adat, salah satunya adalah

Mangantar/ maso minta, yang artinya melamar/mengikat. Mangantar dipahami oleh masyarakat

suku Lauje sebagai pengikat untuk mengikat pasangan yang saling mencintai dan nantinya akan

berlanjut sampai kepada proses pernikahan. Sebelum Mangantar dilakukan, ada tahap yang

harus dilewati yaitu peminangan (Mo nyabi) dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan

5 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

Page 6: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

46

dengan membawa sebungkus gula putih dan sebungkus kopi kepada pihak perempuan.

Sebungkus gula dan ini merupakan simbol dari pinangan dan ketika menyerahkannya ada

kalimat yang diucapkan “wiame arancana mae mongantar’e onjo labia nopeteuea’e ono gula

manu kopi” yang artinya saya datang ke tempat ini membawa gula dan kopi ada rencana untuk

melamar anak perempuan bapak dan ibu.

Dari penyerahan sebungkus gula dan kopi ada harapan dari pihak laki-laki agar pihak

perempuan bisa menerima pinangan tersebut. Pihak laki-laki harus bersabar karena butuh waktu

tiga hari untuk pihak perempuan menjawab pinangan. Apabila gula dan kopi tidak dikembalikan,

itu artinya pinangan diterima, tetapi jika gula dan kopi dikembalikan, artinya pinangan ditolak.

Mengapa gula dan kopi ? Karena menurut masyarakat suku Lauje gula dan kopi dianggap

sebagai sesuatu yang penting di dalam rumah tangga. Ibaratnya, ketika ada orang yang bertamu

di rumah mereka, maka harus diberikan kopi untuk diminum bersama. Ada juga yang

menganggap bahwa ketika kita menginap disalah satu keluarga, kita pun harus membawa gula

dan kopi untuk dinikmati bersama dengan keluarga. Jadi bisa dikatakan bahwa gula dan kopi

sebagai pengantar dalam sebuah rencana. Bila pinangan diterima, maka secara langsung

perempuan tersebut sudah menjadi milik dari laki-laki yang meminangnya dan keduanya harus

menjaga hubungan mereka dengan setia sampai pada proses pernikahan.

Dalam proses Mangantar ada barang-barang hantaran yang dibawa oleh pihak laki-laki.

barang-barang tersebut terdiri dari, (Sangil), sarung (Naus), anting-anting (Nganganti), kalung

(Rante), sisir (Sasalau), bedak (Pupur), peniti (Paniti), cermin (Pandangan), baju(Kabaya),

benang (Gapas), lipstik (Pabale), jarum (Osigi), dan gelang (Gonge). Penyerahan hantaran,

barang-barang yang diberikan mengikuti perkembangan jaman.

Page 7: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

47

Gambar (2) Barang-barang hantaran dalam proses Mangantar

Sumber : Dokumentasi pribadi

Pada jaman dulu barang hantaran hanya berupa piring (Sangil), sarung (Naus) dan peniti

(Paniti). Sedangkan pada jaman modern, kalung (Rante), sisir (Sasalau), bedak (Pupur), cermin

(Pandangan), baju(Kabaya), benang (Gapas), lipstik (Pabale), gelang (Gonge), sendal, jepitan

rambut, cincin, handbody, sabun, dan shampo. Barang-barang tersebut memiliki makna

tersendiri, misalnya piring, sarung, dan peneti.

Orang Lauje yang hidup jaman dulu hanya memiliki ketiga barang tersebut dan menurut

mereka piring dapat disimbolkan sebagai keperluan rumah tangga untuk makan dan juga

dianggap sebagai kekuatan untuk membangun rumah tangga. “Kalo bicara soal adat, maka

harus lepas piring. Karena piring itu dianggap barang yang keras jadi supaya itu rumah tangga

juga punya kekuatan yang keras rupa piring”6 Kemudian sarung disimbolkan sebagai pengganti

dari pakaian mereka, karena pada jaman dulu belum ada pakaian yang menutupi tubuh mereka

secara keseluruhan. Sedangkan peneti dianggap sebagai pengait pada sarung yang mereka pakai.

Untuk barang-barang hantaran jaman sekarang bisa dikatakan cukup lengkap karena mengikuti

kebutuhan mereka yang hidup di jaman modern.

6 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

Page 8: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

48

Masyarakat suku Lauje memaknai tradisi Mangantar sebagai sesuatu yang sakral, yang

tidak bisa lagi dinodai oleh apapun juga. Mangantar artinya perempuan telah diikat oleh laki-

laki, maka dari itu wajib untuk perempuan menjaga pergaulannya dengan teman laki-laki lain

dan laki-laki wajib untuk membiayai perempuan yang telah dilamarnya. Mangantar dimaknai

melalui tindakan bergaul so musti jaga jarak, tau diri jo kalo so orang punya, musti setia deng

so musti datang-datang baku bantu di rumah laki-laki ataupun perempuan7 artinya, baik laki-

laki maupun perempuan harus menjaga jarak bergaul dengan siapapun dan menyadari bahwa

mereka sudah dimiliki oleh orang lain, maka harus setia terhadap pasangan serta menjaga

silaturahmi dengan orang tua.

Bukan hanya kedua pihak yang memaknai arti dari Mangantar itu sendiri, masyarakat

pun ikut memaknainya dengan mendidik, mengingatkan dan mendukung pasangan yang sudah

melakukan adat Mangantar. “Masyarakat ikut mendukung apalagi kalo keluarga so kase tau

kalo dorang pe anak so dilamar. Biar Cuma mo bantu liat-liat akan tu anak, ditegur kalo so

talewat batas bergaul”8 artinya, masyarakat ikut membantu mengawasi dan memberi teguran

apabila pergaulan dari perempuan ataupun laki-laki dianggap berlebihan. Masyarakat menyadari

bahwa ini merupakan bertanggung jawab bersama dalam menjaga hubungan pasangan yang telah

melakukan adat Mangantar. Karena bagi mereka ketika telah melakukan adat, maka itu tidak

bisa dilanggar.

3.4. Pelaksanaan Mangantar

Setelah dilakukan pinangan oleh laki-laki yang awali dengan mengantar sebungkus gula

dan sebungkus kopi dan pinangan tersebut diterima oleh pihak perempuan, maka

7 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

8 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)

Page 9: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

49

dilaksanakanlah adat Mangantar yaitu, keluarga pihak laki-laki dan kepala adat melakukan

pertemuan di rumah pihak perempuan dan sekaligus menyerahkan hantaran perlu diketahui

bahwa hantaran menurut masyarakat suku Lauje bukanlah sesutau yang memberatkan.

Menurut pemahaman masyarakat suku Lauje jika perempuan sudah di Mangantar, maka

perempuan tersebut sudah menjadi tanggung jawab dari laki-laki dan laki-laki harus membiayai

(Mo ngongkose) perempuan beserta keluarganya dengan memberikan uang, beras, sayur, ikan

serta kebutuhan lainnya. Hal tersebut berjalan terus sampai tiba saatnya mereka menikah.

Dalam pelaksanaan Mangantar terjadi percakapan antara ketua adat dan keluarga dari

kedua pihak, yaitu berisi balasan pantun yang intinya menanyakan apakah perempuan tersebut

sebelumnya sudah pernah menikah atau belum. Kemudian percakapan yang membahas tiga hal,

yang pertama tentang sejarah atau silsilah keluarga. Hal tersebut dianggap penting oleh

masyarakat suku Lauje karena menghindari adanya pernikahan satu darah. Percakapan

berikutnya membahas tentang Moar/mahar atau persyaratan untuk memasuki pernikahan seperti

piring, parang, harus memotong ayam dua ekor setelah itu dibakar. Moar dalam masyarakat suku

Lauje dianggap sebagai pengganti dari surat nikah. Yang terakhir pembicaraan yang berisi

nasehat-nasehat bagi kedua calon yang akan menikah untuk mempersiapkan mereka dalam

kehidupan berumah tangga. Selain itu ada juga pembicaraan mengenai uang yang akan dipakai

untuk proses Mokabing, bagi masyarakat suku Lauje uang yang harus dikeluarkan sebesar Rp.

10.000.000. Pembicaraan tentang uang ini di luar dari pembicaraan adat.9 Mokabing merupakan

tradisi pernikahan adat suku Lauje yang dilakukan setelah tradisi Mangantar dan sesudah

penyerahan mo’ar.

9 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje), 16 Agustus 2017.

Page 10: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

50

Gambar (3) Percakapan antara pihak laki-laki dan perempuan

Dalam proses Mangantar yang melibatkan juga Kepala Suku dan Kepala adat Lauje Sumber : Dokumentasi pribadi

Ketika menjalani proses Mangantar entah dalam waktu yang lama atau cepat, ada salah

satu dari mereka yang berkhianat, maka batal semua proses pernikahan mereka. Bila kesalahan

itu dilakukan oleh perempuan, maka harus mengembalikan dua kali lipat dari biaya lamaran dan

biaya-biaya yang selama ini dikeluarkan oleh laki-laki. Bila sebaliknya, maka lamaran dan biaya-

biaya yang sudah diberikan tidak dapat dikembalikan.

Tradisi Mangantar belum ada hukum adat, berbeda jika sudah menikah ada hukum adat

yang mengatur untuk masalah seperti itu. Adat Mangantar merupakan adat yang diyakini

sebagai pengikat antara laki-laki dan perempuan, dengan adat Mangantar mendorong pihak laki-

laki untuk bekerja lebih keras demi mengumpukan dana menuju pernikahan dan juga untuk

membiaya perempuan yang sudah diikat. Setelah laki-laki dan perempuan berhasil melewati

proses Mangantar, maka mereka bisa menuju ke jenjang pernikahan. Oleh karena itu sebelum

menikah (Mokabing) dilakukan “sorong Mo’ar (mahar) oleh kedua belah pihak, yang

dilaksanakan pada malam hari sebelum adat pernikahan (Mokabing).

Page 11: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

51

Sorong Mo’ar dilakukan saling berhadap-hadapan antara ketua suku dari kedua pihak.10

Mahar yang diserahkan berupa piring 1 lusin, baki 2 buah (yang besar dan sedang/kecil), parang

dan ayam 2 ekor (yang satu dari pihak perempuan dan yang satu dari pihak laki). Mahar

dilakukan sebagai arti bahwa laki-laki mampu membangun kehidupan rumah tangga. Mahar

tidak dapat digunakan oleh keluarga yang baru terbentuk, tetapi harus digunakan oleh pihak

keluarga perempuan. Alasannya karena menurut kepercayaan jaman dulu jika laki-laki

menggunakan piring yang sudah diberikan kepada perempuan, maka akan berdampak pada

keturunan mereka. Misalnya, anak terlahir cacat, anak sakit-sakitan atau anak selalu menangis.11

Pada pagi hari tepatnya jam 06.00, kedua mempelai yang akan menikah menjalani proses

nikah ada (Mokabing), dimana mereka harus berdiri menghadap matahari sambil menginjak

parang (Mongupage Piging). Ini berarti agar kehidupan rumah tangga nantinya keras seperti

parang dan mengapa harus menghadap matahari agar nantinya kehidupan rumah tangga mereka

bercahaya seperti matahari. Kemudian, kepala adat mengambil dua ekor ayam jantan dan betina

yang telah dipersiapkan serta disembelih di depan pengantin laki-laki dan perempuan.

Jika ayam jantan yang pertama mati, maka itu berarti pengantin laki-laki yang akan lebih

dahulu mati. Demikian juga sebaliknya, jika ayam betina yang pertama mati, maka penganti

perempuan yang akan mati. Namun itu merupakan pemahaman jaman dulu dan sudah tidak

berlaku hingga sekarang ini. Akan tetapi, ritual tersebut masih sering dilakukan. Memotong

ayam memberi arti bahwa pernikahan mereka telah resmi secara adat suku Lauje. Parang yang

dipakai menyembelih ayam diletakan (ditindis) pada dahi kedua mempelai dengan tujuan agar

kedua mempelai menjalani kehidupan keras seperti parang.

10

Kepala suku berbeda dengan ketua adat, kalau ketua adat mereka yang dipilih atas dasar sudah menguasai ritual-

ritual adat yang ada di suku Lauje. Sedangkan kepala suku adalah mereka yang dituakan dalam masyarakat suku Lauje. 11

Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje).

Page 12: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

52

Sesudah adat dilakukan, kedua mempelai kembali ke ruang khusus untuk mendapatkan

nasihat dari kepala adat dan ketua adat. Nasehat yang diberikan adalah “mulai kawin ini dorang

itu harus saling menghargai antar laki-laki dan perempuan supaya dorang bisa bersatu deng

bisa saling bekerjasama, bagaimana suami istri dapat saling mencintai dan menghargai, saling

mendukung satu dengan yang lain. Biasanya kita kalau tidak saling mencintai perempuan ke

barat laki-laki ke timur berarti kita tidak bisa bakudapa” artinya ketika sah menjadi suami dan

istri, maka laki-laki dan perempuan harus saling mencintai, menghargai, dan saling mendukung

agar mereka dapat bekerjasama. Kalau tidak saling mencintai, maka tidak akan ada kecocokan.12

Ketika proses peminangan, proses Mangantar, proses Mokabing selesai dilakukan, maka

ada proses terakhir yang harus dilewati oleh pasangan suami dan istri yaitu “Mongkologe

Alopa”, yang artinya potong nasi bungkus atau ketupat. Pemotongan nasi bungkus ini dilakukan

pada dua hari setelah proses Mokabing (nikah adat), dimana kedua mempelai mendatangi orang

tua mereka masing-masing dan makan minum bersama dengan potongan nasi bungkus yang akan

diberikan oleh kedua mempelai kepada pihak mertua dengan cara disuap. Adat ini menandakan

bahwa baik laki-laki ataupun perempuan harus menghormati dan merawat orang tua mereka.

3.5. Pemahaman Masyarakat Suku Lauje tentang Mangantar

Dalam menjalani sebuah hubungan tentunya ada harapan yang ingin dicapai, tidak hanya

sekedar berpacaran, tetapi berkeinginan untuk bisa sampai ke jenjang yang lebih serius yaitu

pernikahan. Melangkah ke pernikahan pastinya ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh

pasangan, salah satunya ialah tahap lamaran. Pada tahap lamaran biasanya pasangan merasa

sudah saling memiliki satu dengan yang lainnya, sehingga berusaha dengan bekerja keras

12

Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje).

Page 13: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

53

mengumpulkan segala sesuatu demi bisa mencapai sebuah pernikahan. Masing-masing orang

memiliki pemahaman tersendiri mengenai lamaran, demikian halnya dengan masyarakat suku

Lauje.

Ada yang memahami lamaran atau Mangantar dengan ungkapan “kalo sudah dilamar

berarti so tidak mau lagi suka dengan laki-laki lain karena sudah diikat”13

artinya, ketika sudah

dilamar, perempuan tidak bisa lagi berhubungan dengan laki-laki lain. Ada juga pemahaman

bahwa “biasa kalopun dia sudah berhubungan ada kalanya orang tua tidak setuju, makanya itu

dilakukan Mangantar kalau memang dia mungkin mau sama saya tapi keluarganya tidak mau

makanya diantar itu untuk dilihat kepastiannya”14

yang berarti, biasanya ketika kita sudah

berhubungan dengan perempuan, ada orang tua yang tidak setuju. Oleh karena itu, melalui

Mangantar, maka bisa diperoleh sebuah kepastian akan hubungan selanjutnya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya Mangantar, misalnya karena saling

suka dan ada juga karena dijodohkan. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan pemahaman tentang

Mangantar, “ kalo sudah satu tahun kita melamar baru kita dikawin rugi, sa pikir kalo sudah

dikawin so cukup, jadi tidak usah Mangantar. Tidak perlu ada Mangantar langsung kawin saja,

karena so dianggap suami istri”15

artinya, tidak perlu adanya Mangantar, karena rugi jika kita

sudah melamar tetapi tidak dinikahi, lebih baik langsung dinikahi dan langsung dianggap sebagai

suami istri.

Menurut mereka yang telah melakukan tradisi Mangantar, ada manfaat dan keuntungan

yang mereka dapatkan dari tradisi ini, misalnya“so ada yang membantu, kan so diongkos toh

13

Wawancara dengan ibu. Wati Sulumini, 17 Agustus 2017. 14

Wawancara dengan Bpk. Taji Najadi, 17 Agustus 2017. 15

Wawancara dengan Bpk. Samaia Sabol, 17 Agustus 2017.

Page 14: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

54

setiap satu bulan ada lagi yang dikase, uang beras”16

artinya, ketika sudah dilamar maka sudah

ada yang membantu membiayai kehidupan sehari-hari. “So Mangantar berarti orang tau so ada

ikatan, so harus kerja keras kumpul modal untuk kawin, begitu juga musti siap mental”17

artinya, melalui Mangantar orang lain bisa melihat atau mengetahui bahwa sudah ada ikatan

dengan seseorang dan juga bisa lebih mempersiapkan diri baik mental maupun finansial untuk

menikah. Ada juga pendapat lainnya, “so Mangantar jadi harus lebih dewasa, tau jaga diri

dengan harus mandiri karna kita sudah dilamar”18

artinya, karena sudah dilamar seharusnya

kita lebih dewasa, tahu menjaga diri dan harus mandiri. Setiap keuntungan, pasti ada kerugian

yang dirasakan dari tradisi Mangantar, misalnya “so tidak bebas bergaul”19

artinya, sudah tidak

ada kebebasan untuk bergaul.

Dalam Mangantar, ada beberapa perempuan yang bersedia dilamar diusia yang bisa

dikatakan muda (belasan tahun), ada juga yang dilamar diusia yang sudah matang, kebanyakan

itu orang tua jaman dulu. Pada jaman dulu tradisi Mangantar, biasanya karena perjodohan dari

kedua orang tua, usia tidak menjadi sebuah persoalan, asalkan kedua pasangan sudah bisa kerja.

Berbeda halnya dengan jaman sekarang, dimana seharusnya telah ada aturan yang melarang anak

yang masih di bawah umur untuk menikah, tetapi akibat dari salah pergaulan maka secara

terpaksa harus dinikahkan. Pada saat melakukan penelitian, penulis menemukan contoh kasus,

yaitu ada seorang anak perempuan yang terkena dampak dari pergaulan bebas, yang

mengharuskan anak perempuan dan orang tuanya menanggung malu karena anak tersebut dalam

keadaan hamil di luar nikah dan pasangannya berasal dari agama yang berbeda. Ini merupakan

sesuatu yang berat bagi keluarga juga kepala suku yang bertanggung jawab dalam masyarakat

16

Wawancara dengan ibu. Windo, 17 Agustus 2017. 17

Wawancara dengan Bpk. Tommy Pasaribu, 18 Agustus 2017. 18

Wawancara dengan ibu. Nuriyanti, 18 Agustus 2017. 19

Wawancara dengan ibu Santi, 18 Agustus 2017.

Page 15: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

55

suku Lauje. Kemudian, setelah mereka bergumul dengan masalah ini, maka ada seorang laki-laki

yang bersedia bertanggung jawab menikahi perempuan tersebut. Proses adat pun berlangsung

dari Mangantar sampai dengan proses yang terakhir, yaitu Mongkologe Alopa atau potong nasi

bungkus.

Menurut hasil wawancara ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa anak

perempuan maupun laki-laki dalam masyarakat suku Lauje mau untuk melakukan tradisi

Mangantar, yaitu:

a. Orang tua. Menurut orang tua, jika anaknya sudah tidak memiliki niat untuk

melanjutkan sekolah, maka jalan yang diambil adalah dengan menikahkan anaknya.

b. Pergaulan. Anak-anak jaman sekarang ini sudah mengenal dan terjerumus ke dalam

pergaulan bebas, bahkan mereka berani menjalin hubungan yang sudah di luar batas,

sehingga berdampak negatif (hamil di luar nikah) dan akhirnya menanggung malu.

c. Tempat tinggal. Keadaan rumah sebagian masyarakat suku Lauje yang tidak ada sekat

untuk memisahakan kamar orang tua dan anak, sehingga orang tua dan anak-anak

tidur dalam satu ruangan, mengakibatkan ketika orang tuanya melakukan hubungan

suami istri, maka anak-anak pun melihat dan menimbulkan rasa penasaran dalam diri

mereka untuk mencoba.

Page 16: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

56

.

Gambar (4) Tempat tinggal masyarakat suku Lauje Sumber : Dokumentasi pribadi

d. Perjodohan. Pada jaman dahulu, orang tua sering menjodohkan anaknya dengan

alasan, bila anak-anak sudah bisa bekerja maka mereka sudah direstui untuk menikah.

Dalam situasi menghadapi permasalahan seperti ini, masyarakat tetap membantu dan

mendukung setiap proses yang dijalani oleh pasangan tersebut. Tidak sedikit pun dari mereka

yang menjauhi, karena bagi mereka anak perempuan tersebut telah mendapatkan kepastian dan

pertanggung jawaban.

Dari beberapa pendapat tentang pemahaman mereka berkaitan dengan Mangantar, bisa

disimpulkan bahwa Mangantar menjadi tradisi yang sangat penting dalam masyarakat suku

Lauje khususnya di dusun Kinapasan, selain karena tuntutan adat bisa juga dipahami sebagai

proses untuk mencari kepastian dari hubungan yang dijalani, juga sebagai pengikat dalam sebuah

hubungan. Ini terlihat dengan adanya manfaat yang bisa mereka rasakan, baik itu untuk laki-laki,

maupun untuk perempuan. Mangantar menjadikan mereka lebih dewasa dalam berpikir dan

bertindak, mereka lebih mandiri, lebih bekerja keras untuk mengumpulkan uang menuju ke

pernikahan.

Page 17: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

57

Selain itu, ada keuntungan yang bisa dirasakan oleh kaum perempuan, dimana mereka

bisa terbantu melalui pembiayaan oleh kaum laki-laki karena sudah dianggap telah menjadi

sebuah tanggung jawab. Kalau kerugian yang dirasakan tidak hanya kaum laki-laki, tetapi kaum

perempuan pun merasakan ketidakbebasan dalam bergaul. Mereka mulai merasa sudah ada

batasan-batasan untuk bergaul dengan lawan jenis. Pemahaman lainnya adalah pada jaman dulu

apabila sudah dilakukan tradisi Mangantar, itu berarti perempuan sudah menjadi milik laki-laki

yang melamarnya dan harus dibiayai semua yang menjadi kebutuhan perempuan dan

keluarganya serta secara tidak langsung pasangan ini bisa tinggal dalam satu rumah karena telah

dianggap sebagai suami istri.

Dalam proses Mangantar, ada pasangan yang berkhianat maka secara tidak langsung

semua proses menuju pernikahan batal. Bila laki-laki yang berkhianat, bukan berasal dari suku

Lauje, maka bagi laki-laki yang di luar dari suku Lauje harus tetap mengikuti adat budaya suku

Lauje. Jika perempuan yang berasal dari luar suku Lauje harus tetap menerima pemberian

ongkos dari pihak laki-laki. Tradisi ini sebenarnya tidak mengikat khusus untuk pasangan di luar

suku Lauje, asalkan ada kesepakatan bersama dengan orang tua.

3.6. Rangkuman

Dari isi penulisan bab III, penulis menemukan beberapa hal yang penting, yaitu :

a. Dari pembahasan mengenai asal-usul Mangantar, melahirkan sebuah landasan filosofis

yaitu Medunduluan (gotong royong), landasan filosofis ini juga didasarkan dari falsafah

hidup orang Lauje yaitu Medunduluan. Alasannya karena masyarakat suku Lauje sangat

menjunjung tinggi nilai gotong royong dalam kehidupan mereka. Dengan bergotong

royong mereka dapat saling membantu dan mendukung, sehingga dalam mengerjakan

Page 18: MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan

58

apapun semuanya terasa ringan. Misalnya, menanam padi, kerja dikebun, panen jagung,

dll. Hingga pada saat Mokabing mereka mempersiapkan secara gotong royong.

b. Dalam pemaknaan dan pelaksanaan Mangantar, ada nilai-nilai spiritual yang bisa penulis

temukan, antara lain: pengorbanan, tanggung jawab, kerjasama, komitmen, dan

menyatukan keluarga.