Post on 29-Nov-2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Pustaka
II.1.1 Klasifikasi Ikan Toman dan Ikan Gabus
Klasifikasi ikan toman dan ikan gabus adalah sebagai berikut (Courtenay,
2004) ( Saanin, 1984) :
Ikan Toman
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Channidae
Genus : Channa
Spesies : Channa micropeltes
Ikan Gabus
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Channidae
Genus : Channa
Spesies : Channa striata Bloch
Gambar 1. Ikan Toman
6
Gambar 2. Ikan gabus
7
II.1.2 Deskripsi Ikan Toman
Ikan toman (Channa micropeltes/ Ophiocephalus micropeltes) dan ikan
gabus (channa striata/ophiocephalus striata) adalah ikan dari famili channadiae.
Suku ikan air tawar ini hidup di kawasan tropis afrika, asia selatan, asia tenggara
dan asia timur. Semua jenis toman adalah predator yang memangsa cacing, katak,
anak-anak ikan, udang, ketam, dan sebaginya. Oleh karena itu toman digolongkan
sebagai ikan karnivora Budi daya ikan toman dan gabus sudah lama dimulai di
kalimantan, yaitu sekitar tahun 1973 (Asmawi, 1986; Kordi, 2010).
Tubuh ikan toman bulat panjang, semakin ke belakang semakin pipih.
Terdapat garis warna oranye dari moncong sampai ke sirip ekor bagian atas dan
bawahnya dibatasi oleh garis berwarna hitam yang kemudian terputus menjadi
bintik-bintik yang tidak beraturan pada ikan dewasa yang kemudian menghilang.
Vomer dan palatine mempunyai deretan gigi-gigi kecil dan sederet gigi bentuk
taring yang tajam (Kottelat, et al., 1993).
Toman hidup di perairan tawar hingga payau. Ikan ini mampu hidup pada
perairan yang minim oksigen karena mampu mengambil oksigen langsung dari
udara. Toman merupakan ikan karnivora yang mempunyai nilai ekonomis relatif
tinngi. Benih ikan toman diperoleh dari perairan umum seperti rawa rawa yang
agak dalam, waduk, danau, maupun sungai. Musim benih toman sepanjang tahun.
Anak-anak ikan toman seukuran jari kelingking biasanya masih dijaga oleh
induknya, selalu bergerombol sehingga mudah ditangkap. Di perairan umum,
toman memijah pada musim hujan dengan membuat sarang di tepi perairan
(Kordi, 2010).
8
Di Sungai Kapuas Kalimantan Barat, terdapat tempat pemancingan untuk
ikan toman, khususnya di daerah Taman Nasional Danau Sentarum. Dalam
beberapa tahun belakangan, spesies ini telah dibudidayakan menggunakan
keramba kayu. Ikan toman diberi pakan berupa ikan-ikan kecil hingga bobotnya
mencapai 0,8-1,5 kg agar siap dijual di pasar. Budidaya ikan toman di dalam
keramba memberikan pemasukan cukup besar bagi warga di sekitaran Taman
Nasional Danau Sentarum . Hal ini ditakutkan akan menyebabkan berkurangnya
populasi ikan toman di alam liar setempat untuk tujuan budidaya, dan
diperkirakan sekitar 4.000 ton ikan sungai ditangkap setiap tahunnya sebagai
pakan ikan toman (Courtenay, 2004).
II.1.3. Deskripsi Ikan Gabus
Ikan gabus memiliki bentuk tubuh hampir bulat panjang, makin ke
belakang semakin gepeng. Punggungnya cembung, perutnya rata, sirip punggung
lebih panjang dari sirip dubur, sirip yang pertama disokong oleh 38-45 jari-jari
lunak, sirip yang disebut belakangan disokong oleh 23-27 jari-jari sirip dada lebar
dengan ujung membulat disokong oleh 15-17 jari-jari lunak. Gurat sisi ada 52-57
keping, panjang tubuhnya dapat mencapai 100 cm (Djuhanda, 1981).
Kottelat et al (1993), menyebutkan bahwa ikan gabus mempunyai warna
gelap dan seluruh tubuhnya ditutupi dengan sisik. Di bagian dadanya kulit
tubuhnya berwarna putih.
Ikan Gabus (Channa striata) yang di sebut snake head ini tergolong ikan
buas dengan makanan berupa zooplankton, katak, kepiting dan lain-lain. Selain itu
makanan tambahan dapat diberikan cincangan daging ikan-ikan yang tidak
9
memiliki nilai ekonomis atau sisa-sisa penyiangan. Ikan gabus hidup di perairan
tawar dengan pH 4,5 sampai 6 dan tidak begitu dalam, ada juga yang hidup di air
payau. Tubuhnya hampir bulat panjang, makin kebelakang makin pipih dan di
tutupi oleh sisik yang berwarna hitam dengan sedikit belang pada bagian
punggung sedangkan perutnya berwarna putih (Kordi, 2010).
II.1.4. Komponen Bioaktif Ikan Gabus
Ikan gabus merupakan jenis ikan yang sudah banyak dimanfaatkan dan
diolah oleh masyarakat untuk dibuat tepung ikan sebagai pakan ternak. Namun,
sejalan dengan perkembangan teknologi, ikan gabus tidak hanya digunakan dalam
pembuatan pakan ternak. Saat ini ikan gabus juga digunakan dalam dunia
kedokteran sebagai penyembuh luka pasca operasi dan luka bakar dengan cara
mengambil ekstrak ikan tersebut. Serum albumin merupakan komponen yang
diproduksi dari darah manusia yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka, baik
luka bakar maupun luka pasca operasi. Akan tetapi harga serum albumin mahal,
sehingga pasien harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Dengan
ditemukannya albumin pada ikan gabus diharapkan dapat menjadi alternatif obat
untuk mempercepat penyembuhan luka sehingga membantu mengurangi biaya
pasien untuk mendapatkan serum albumin tersebut (Saleh et al., 1985).
Komponen bioaktif ikan gabus selain albumin juga terdapat mineral yang
berupa seng. Fungsi lain dari seng adalah berperan dalam sistem kekebalan tubuh
dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi, selain itu
seng juga berperan dalam berbagai fungsi organ, misalnya keutuhan penglihatan
10
yang merupakan interaksi metabolisme antara seng dan vitamin A. Seng juga
bertindak sebagai kofaktor dalam banyak enzim metabolik serta epitelisasi dan
kekuatannya.
Ikan gabus yang diekstrak menggunakan ekstraktor vakum pada suhu 35ºC
selama 12,5 menit merupakan perlakuan terbaik dalam ekstraksi albumin ikan
gabus untuk mendapatkan senyawa asam amino. Asam-asam amino seperti
triptofan, arginin, trisin, fenilalanin, glutamin, alanin, treonin, dan prolin dapat
merangsang proses sintesa albumin. Albumin pada manusia terutama
mengandung asam aspartat dan glutamat dan sangat sedikit triptofan. Profil asam
amino albumin ikan gabus disajikan dalam tabel berikut ini (Puspitasari, 2007).
Tabel 1. Profil Asam Amino Ekstrak Ikan Gabus
Jenis Asam Amino
Kadar (µg/mg)
Fenilalanin 0,132Isoleusin 0,098Leusin 0,169Valin 0,127
Treonin 0,084Lisin 0,197
Histidin 0,062Aspartat 0,072Glutamat 0,286Alanin 0,15Prolin 0,082Serin 0,081Glisin 0,14Sistein 0,017Tirosin 0,025Arginin 0,109
NH3 0,026II.1.5. Metode Ekstraksi Minyak Ikan
11
Minyak ikan diperoleh dengan cara ekstraksi. Ekstraksi minyak adalah
suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan. Cara ekstraksi yang
biasa dilakukan, yaitu metode ekstraksi dengan aseton, metode ekstraksi dengan
hidrolisa, metode Dry Rendering, metode Wet Rendering dan ekstraksi dengan
silase. Dry Rendering merupakan cara pemisahan minyak dengan menggunakan
pemanasan bahan tanpa penambahan air selama proses berlangsung. Pemanasan
dilakukan pada suhu 105-110oC, sedangkan pada ekstraksi dengan silase
merupakan metode pemisahan minyak ikan dengan cara penambahan asam pada
daging ikan sehingga terjadi proses fermentasi yang menghasilkan minyak ikan.
Pada umumnya ekstraksi minyak ikan dilakukan metode Wet Rendering, yaitu
proses yang umumnya digunakan untuk membuat tepung ikan. Tahap proses ini
meliputi kombinasi pemasakan dan pengeringan dengan menggunakan uap panas
pada keadaan hampa. Pengadukkan secara lambat dilakukan selama pengeringan
tepung ikan dan dilakukan pengepresan untuk memisahkan tepung dan minyak
ikan. Tahapan-tahapan pemurnian minyak ikan, yaitu penyaringan, degumming,
netralisasi, pemisahan sabun, pemucatan dan deodorisasi. Tujuan dari pemurnian
minyak ikan adalah untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna
yang tidak menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum
dikonsumsi dan digunakan sebagai bahan mentah dalam industri.
Kualitas minyak ikan yang dihasilkan pada proses pemurnian tergantung
pada cara penyimpanan dan penanganan ikan sebelum dimurnikan. Pada tahap
penyaringan, minyak ikan yang diperoleh sebagai hasil samping pengolahan
tepung ikan atau ikan kaleng disaring terlebih dahulu dengan penyaring kawat
12
untuk memisahkan kotoran-kotoran visual seperti sisa daging dan gumpalan
protein. Degumming merupakan proses pemisahan getah dan lendir yang terdiri
dari fosfatida, protein, residu karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah
asam lemak bebas dalam minyak. Degumming dilakukan dengan penambahan
NaCl 8% ke dalam minyak ikan pada suhu 60oC selama 15 menit. Proses
netralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan alkali atau pereaksi lainnya
untuk membebaskan asam lemak bebas dengan membentuk sabun dan
mengkoagulasikan bahan-bahan yang tidak diinginkan. Pemisahan sabun
dilakukan dengan cara menambahkan air panas secukupnya pada minyak ikan
sambil diaduk dan setelah itu didiamkan hingga minyak dan air terpisah. Tahap
selanjutnya yaitu pemucatan yang dilakukan dengan penambahan adsorben,
umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap dan alat
penghampa udara. Minyak dipanaskan pada suhu 105oC selam 1 jam. Adsorben
ditambahkan saat minyak mencapai suhu 70-80oC sebanyak 1-1,5% dari berat
minyak. Tahap terakhir ialah deodorisasi yang dilakukan dengan cara memompa
minyak ke dalam ketel deodorisasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada
suhu 200-250oC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah
(kurang lebih 10 mmHg), sambil dialiri uap panas selama 4-6 jam untuk
mengangkut senyawa yang dapat menguap (Ketaren, 1986).
II.1.5. Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira
15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan
13
bagian dari kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan
sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada
lokasi tubuh (Djuanda, 2007). Kulit menutupi permukaan lebih dari 20.000 cm2
dan mempunyai bermacam-macam fungsi dan kegunaan. Kulit berfungsi sebagai
pembatas terhadap serangan fisika dan kimia. Beberapa bahan seperti ion nikel,
gas mostar, serta minyak damar dari rhus toksikodendron, umumnya dikenal
sebagai racun ivy, dapat menembus pembatas tersebut, sedangkan umumnya zat
lain tidak dapat menembus kulit dengan mudah. Kulit berfungsi sebagai termostat
dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula dalam mengatur tekanan
darah (Lachman et al., 1994).
Gambar 3. Struktur Kulit Manusia
14
Secara anatomi, kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada
umumnya kulit dibagi dalam tiga lapisan jaringan, yaitu epidermis, dermis, dan
lapisan lemak di bawah kulit (Lachman et al., 1994). Pada permukaan kulit ada
lapisan dari bahan yang diemulsikan terdiri dari campuran kompleks dari cairan
berlemak, keringat dan lapisan tanduk yang dapat terkelupas, yang terakhir dari
lapisan sel epidermis yang telah mati yang disebut “lapisan tanduk” atau “stratum
corneum” dan letaknya langsung di bawah lapisan yang diemulsikan. Di bawah
lapisan tanduk secara teratur ada “lapisan penghalang” epidermis yang hidup atau
stratum germinativum, dan dermis atau kulit sesungguhnya. Dari anatomi kulit
dapat diketahui cara absorpsi bahan luar kulit ke posisi di bawah kulit (Ansel,
1989).
II.1.5.1 Absorpsi Perkutan
Absorpsi bahan dari luar kulit ke posisi di bawah kulit tercakup masuk ke
dalam aliran darah, disebut sebagai absorpsi perkutan. Pada umumnya, absorpsi
perkutan dari bahan obat ada pada preparat dermatologi seperti cairan, gel, salep,
krim atau pasta tidak hanya bergantung pada sifat kimia dan fisika dari bahan obat
saja, tapi juga pada sifat apabila dimasukkan dalam pembawa farmasetika dan
pada kondisi dari kulit. Selain itu pembawa farmasetika tidak dapat lebih jauh
menembus kulit, atau membawa bahan obat melalui kulit, terhadap kadar dan
tingkat penembus kulit, pembawa tidak mempengaruhi laju dan derajat penetrasi
zat obat, dan derajat serta laju variasi penetrasi dengan berbedanya obat dan
berbedanya pembawa. Oleh karena itu untuk absorpsi perkutan dan efektivitas
15
terapeutik, tiap kombinasi obat-pembawa, harus diuji secara sendiri-sendiri
(Ansel, 1989).
Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk
menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis.
Daerah yang terkena umumnya epidermis dan dermis, sedangkan obat-obat
topikal tertentu seperti emoliens, antimikroba, dan deodoran terutama bekerja
pada permukaan kulit saja. Hal ini memerlukan penetrasi difusi dari kulit atau
absorpsi perkutan (Lachman et al., 1994).
II.1.5.2 Rute Penetrasi Kulit Oleh Obat
Bila suatu sistem obat digunakan secara topikal, maka obat akan keluar
dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan jaringan kulit. Ada tiga jalan masuk
yang utama: melalui daerah kantung rambut, melalui kelenjar keringat, atau
melalui stratum corneum yang terletak diantara kelenjar keringat dan kantung
rambut. Hanya ada beberapa fakta yang kurang meyakinkan bahwa kelenjar
keringat mempunyai peranan yang berarti pada permeabilitas kulit. Bahan-bahan
dapat memasuki pembuluh-pembuluh dan bahkan kelenjar-kelenjar, tetapi
tampaknya tidak ada penetrasi dari daerah ini ke dermis (Lachman et al., 1994).
Obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian topikal
melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat atau kelenjar lemak atau antara
sel-sel dari selaput tanduk. Sebenarnya bahan obat yang dipakai mudah memasuki
kulit yang rusak atau pecah-pecah, akan tetapi sesungguhnya penetrasi semacam
itu bukan absorpsi perkutan yang benar (Ansel, 1989).
16
Absorpsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi
langsung obat melalui stratum corneum 10-15 µm (Ansel, 1989). Stratum
corneum terdiri dari kurang lebih 40% protein (pada umumnya keratin) dan 40%
air dan sisanya berupa lemak terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas,
kolesterol dan fosfat lemak. Kandungan lemak dipekatkan dalam fase
ekstraselular stratum corneum dan begitu jauh akan membentuk membran yang
mengelilingi sel. Komponen lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara
langsung bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum
corneum. Bila molekul obat melalui stratum corneum kemudian dapat terus
melalui jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis apabila obat
mencapai lapisan pembuluh kulit maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke
dalam sirkulasi umum (Ansel, 1989).
Stratum corneum sebagai jaringan keratin berfungsi sebagai membran
buatan yang semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi
pasif. Jadi, jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada
konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau airnya.
Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air,
merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga
melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan dari obat adalah sifat
obat itu sendiri, sifat pembawa, kondisi kulit dan adanya uap air. Walaupun sukar
untuk diambil suatu kesimpulan yang dapat diberlakukan pada kemungkinan yang
17
dihasilkan oleh kombinasi obat, pembawa dan kondisi kulit, tetapi dapat
disimpulkan sebagai berikut (Ansel, 1989):
a. Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus bersatu pada
permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup.
b. Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat
yang diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode
waktu, bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam
suatu pembawa.
c. Semakin banyak obat diserap dengan cara absorpsi perkutan apabila bahan
obat dipakai pada permukaan yang lebih luas.
d. Bahan obat harus mempunyai suatu daya tarik fisiologi yang lebih besar
pada kulit daripada terhadap pembawa, supaya obat dapat meninggalkan
pembawa menuju kulit.
e. Beberapa derajat kelarutan bahan obat baik dalam minyak dan air dipandang
penting untuk efektivitas absorpsi perkutan. Pentingnya kelarutan obat
dalam air ditunjukkan oleh adanya konsentrasi pada daerah absorpsi dan
koefisien partisi sangat mempengaruhi jumlah yang dipindahkan melalui
tempat absorpsi. Zat terlarut dengan bobot molekul di bawah 800 sampai
100 dengan kelarutan yang sesuai dalam minyak mineral dan air (>1
mg/mL) dapat meresap ke dalam kulit.
f. Absorpsi obat nampaknya ditingkatkan dari pembawa yang dapat dengan
mudah menyebar di permukaan kulit, sesudah dicampur dengan cairan
18
berlemak, dan membawa obat untuk berhubungan dengan jaringan sel untuk
diabsorpsi.
g. Pembawa yang meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya
cenderung baik bagi absorpsi pelarut obat. Pembawa yang bersifat lemak
bekerja sebagai penghalang uap air sehingga keringat tidak dapat menembus
kulit, dan tertahan pada kulit sehingga umumnya menghasilkan hidrasi dari
kulit di daerah pembawa.
h. Hidrasi dari kulit merupakan fakta yang paling penting dalam absorpsi
perkutan. Hidrasi stratum corneum tampaknya meningkatkan derajat
lintasan dari semua obat yang mempenetrasi kulit. Peningkatan absorpsi
mungkin disebabkan melunaknya jaringan dan akibat pengaruh “bunga
karang” dengan penambahan ukuran pori-pori yang memungkinkan arus
bahan lebih besar, besar dan kecil dapat melaluinya.
i. Hidrasi kulit bukan saja dipengaruhi oleh jenis pembawa (misalnya bersifat
lemak) tetapi juga oleh ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya ketika
pemakaian obat. Pada umumnya, pemakaian pembungkus yang tidak
menutup seperti pembawa yang bercampur dengan air, akan mempengaruhi
efek pelembab dari kulit melalui penghalang penguapan keringat dan oleh
karena itu mempengaruhi absorpsi. Pembungkus yang menutup lebih efektif
daripada anyaman jarang dari pembungkus yang tidak menutup.
j. Pada umumnya, menggosokkan atau mengoleskan waktu pemakaian pada
kulit akan meningkatkan jumlah obat yang diabsorpsi dan semakin lama
mengoleskan dengan digosok-gosok, semakin banyak pula obat diabsorpsi.
19
k. Absorpsi perkutan nampaknya lebih besar apabila obat dipakai pada kulit
dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal. Jadi, tempat
pemakaian mungkin bersangkut-paut dengan derajat absorpsi, dengan
absorpsi dari kulit yang ada penebalannya, atau tempat yang tebal seperti
telapak tangan dan kaki secara komparatif lebih lambat.
l. Pada umumnya, semakin lama waktu pemakaian obat menempel pada
kulit, semakin banyak kemungkinan absorpsi. Bagaimanapun juga
perubahan dalam hidrasi kulit sewaktu pemakaian atau penjenuhan kulit
oleh obat, akan menghambat tambahan absorpsi.
Ketentuan umum ini dalam hal absorpsi perkutan dipakai pada kulit yang
sehat, luka pada kulit atau dalam keadaan dimensi yang berbeda-beda maka akan
terjadi perbedaan dalam absorpsi obat. Jelas sekali kulit yang telah dipotong
secara dirusak atau pecah, akan memungkinkan obat atau bahan asing lainnya
mendapat jalan langsung ke jaringan sub kutan (Ansel, 1989).
II.1.6. Konsep Luka dan Perawatan Luka
II.1.6.1 Pengertian
Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer,
2000). Menurut Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, luka adalah
sebuah cedera pada jaringan yang mengganggu proses selular normal, luka dapat
juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas/kesatuan jaringan
tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan.
20
II.1.6.2 Klasifikasi Luka
Luka dibedakan berdasarkan (Mansjoer, 2000):
a. Berdasarkan penyebab
1) Ekskoriasi atau luka lecet
2) Vulnus scisum atau luka sayat
3) Vulnus laseratum atau luka robek
4) Vulnus punctum atau luka tusuk
5) Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang
6) Vulnus combotio atau luka bakar
b. Berdasarkan ada/tidaknya kehilangan jaringan
1) Ekskoriasi
2) Skin avulsion
3) Skin loss
c. Berdasarkan derajat kontaminasi
1) Luka bersih
a) Luka sayat elektif
b) Steril, potensial terinfeksi
c) Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus
elimentarius, traktus genitourinarius
2) Luka bersih tercemar
a) Luka sayat elektif
b) Potensi terinfeksi: spillage minimal, flora normal
21
c) Kontak dengan orofaring, respiratorius, elimentarius dan
genitourinarius
d) Proses penyembuhan lebih lama
3) Luka tercemar
a) Potensi terinfeksi: spillage dari traktus elimentarius, kandung
empedu, traktus genito urinarius, urine
b) Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka, luka penetrasi.
4) Luka kotor
a) Akibat proses pembedahan yang sangat terkontaminasi
b) Perforasi visera, abses, trauma lama
II.1.6.3 Tipe Penyembuhan Luka
Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini
dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang (Mansjoer, 2000;
Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, 2004).
a. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu
penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka
biasanya dengan jahitan.
b. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka
yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan
oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar.
Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini
biasanya tetap terbuka.
22
c. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang
dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement.
Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini
merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir.
II.1.6.4 Fase Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi
dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu
kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan (Mansjoer,2000 ; Indonesia
Enterostomal Therapy Nurse Association , 2004).
a. Fase Inflamasi
Tahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari.
Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi
bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan
proses penyembuhan lanjutan.
b. Fase Proliferasi
Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast
(sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase
proliferasi.
c. Fase Maturasi
Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung
sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam
fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan
23
jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi
vaskularitas luka.
II.1.6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis
karena merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling
berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses
regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula oleh faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik (Indonesia Enterostomal Therapy Nurse
Association, 2004).
a. Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh
dalam proses penyembuhan meliputi: usia, status nutrisi dan hidrasi,
oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit penyerta
(hipertensi, DM, Arthereosclerosis).
b. Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat
berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi: pengobatan,
radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan.
II.1.6.6 Komplikasi Penyembuhan Luka
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang
berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak
adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi
dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi. (Indonesia
Enterostomal Therapy Nurse Association, 2004).
24
II.1.7. Penyembuhan Kulit yang Terluka
Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks namun sistematik.
Dalam proses penyembuhan luka, dapat diamati tahapan-tahapan perbaikan sel
kulit yang rusak menjadi seperti semula. Darah sangat berperan dalam proses
penyembuhan luka, karena unsur penyusun darah dapat menghentikan pendarahan
bila terjadi luka. Pada manusia normal, bila mengalami luka, maka darah yang
keluar dari luka tersebut secara otomatis akan membeku. Keping darah atau
trombosit, yang merupakan unsur penyusun darah, sangat berperan dalam proses
pembekuan darah (Mansjoer, 2000).
Pada saat terjadi luka, trombosit yang berada di tempat terjadinya luka
mengeluarkan suatu zat berupa asam lemak yang kemudian beberapa asam lemak
diubah menjadi thromboxane. Thromboxane dan protrombin bereaksi di dalam
darah merangsang trombosit. Selanjutnya, enzim-enzim pembantu proses
penyembuhan luka mengumpulkan protein yang disebut fibrinogen. Dalam waktu
singkat, terbentuklah benang-benang yang membentuk jaring pada tempat
keluarnya darah. Sementara itu, trombosit terperangkap dalam jaring yang di
bentuk oleh benang fibrin dan mengumpul. Trombosit yang bereaksi dengan
udara luar akan mengeras dan mengalami penandukan sehingga membentuk
keropeng. Di bawah keropeng atau lapisan pelindung, sel-sel baru sedang
dibentuk. Ketika luka telah sembuh dan sel-sel yang rusak telah selesai
diperbaruhi, keropeng tersebut akan mengelupas dan jatuh (Soewolo, et al.,
2003).
25
Adapun mekanisme penyembuhan luka adalah sebagai berikut:
1. Luka mengeluarkan darah.
2. Thromboxane dan protrombin bereaksi di dalam darah merangsang
trombosit.
3. Akibat reaksi kimia, terbentuklah jalinan benang-benang fibrin yang
membentuk jaring lapisan pelindung.
4. Trombosit terperangkap dalam jaring yang di bentuk oleh benang fibrin
yang kemudian mengeras.
5. Lapisan sel-sel paling atas akhirnya mati, dan mengalami penandukan
sehingga membentuk keropeng.
6. Di bawah keropeng, atau lapisan pelindung, sel-sel baru sedang dibentuk.
Ketika sel-sel yang rusak telah selesai diperbaharui, keropeng tersebut
akan mengelupas dan jatuh.
26
Gambar 4. Trombosit yang Terperangkap Dalam Benang Fibrin
Gambar 5. Mekanisme Penutupan Luka