bab 2 ku

32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Klasifikasi Ikan Toman dan Ikan Gabus Klasifikasi ikan toman dan ikan gabus adalah sebagai berikut (Courtenay, 2004) ( Saanin, 1984) : Ikan Toman Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Channidae Genus : Channa Spesies : Channa micropeltes Ikan Gabus Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Channidae Genus : Channa Spesies : Channa striata Bloch 6

Transcript of bab 2 ku

Page 1: bab 2 ku

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Pustaka

II.1.1 Klasifikasi Ikan Toman dan Ikan Gabus

Klasifikasi ikan toman dan ikan gabus adalah sebagai berikut (Courtenay,

2004) ( Saanin, 1984) :

Ikan Toman

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Channidae

Genus : Channa

Spesies : Channa micropeltes

Ikan Gabus

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Channidae

Genus : Channa

Spesies : Channa striata Bloch

Gambar 1. Ikan Toman

6

Gambar 2. Ikan gabus

Page 2: bab 2 ku

7

II.1.2 Deskripsi Ikan Toman

Ikan toman (Channa micropeltes/ Ophiocephalus micropeltes) dan ikan

gabus (channa striata/ophiocephalus striata) adalah ikan dari famili channadiae.

Suku ikan air tawar ini hidup di kawasan tropis afrika, asia selatan, asia tenggara

dan asia timur. Semua jenis toman adalah predator yang memangsa cacing, katak,

anak-anak ikan, udang, ketam, dan sebaginya. Oleh karena itu toman digolongkan

sebagai ikan karnivora Budi daya ikan toman dan gabus sudah lama dimulai di

kalimantan, yaitu sekitar tahun 1973 (Asmawi, 1986; Kordi, 2010).

Tubuh ikan toman bulat panjang, semakin ke belakang semakin pipih.

Terdapat garis warna oranye dari moncong sampai ke sirip ekor bagian atas dan

bawahnya dibatasi oleh garis berwarna hitam yang kemudian terputus menjadi

bintik-bintik yang tidak beraturan pada ikan dewasa yang kemudian menghilang.

Vomer dan palatine mempunyai deretan gigi-gigi kecil dan sederet gigi bentuk

taring yang tajam (Kottelat, et al., 1993).

Toman hidup di perairan tawar hingga payau. Ikan ini mampu hidup pada

perairan yang minim oksigen karena mampu mengambil oksigen langsung dari

udara. Toman merupakan ikan karnivora yang mempunyai nilai ekonomis relatif

tinngi. Benih ikan toman diperoleh dari perairan umum seperti rawa rawa yang

agak dalam, waduk, danau, maupun sungai. Musim benih toman sepanjang tahun.

Anak-anak ikan toman seukuran jari kelingking biasanya masih dijaga oleh

induknya, selalu bergerombol sehingga mudah ditangkap. Di perairan umum,

toman memijah pada musim hujan dengan membuat sarang di tepi perairan

(Kordi, 2010).

Page 3: bab 2 ku

8

Di Sungai Kapuas Kalimantan Barat, terdapat tempat pemancingan untuk

ikan toman, khususnya di daerah Taman Nasional Danau Sentarum. Dalam

beberapa tahun belakangan, spesies ini telah dibudidayakan menggunakan

keramba kayu. Ikan toman diberi pakan berupa ikan-ikan kecil hingga bobotnya

mencapai 0,8-1,5 kg agar siap dijual di pasar. Budidaya ikan toman di dalam

keramba memberikan pemasukan cukup besar bagi warga di sekitaran Taman

Nasional Danau Sentarum . Hal ini ditakutkan akan menyebabkan berkurangnya

populasi ikan toman di alam liar setempat untuk tujuan budidaya, dan

diperkirakan sekitar 4.000 ton ikan sungai ditangkap setiap tahunnya sebagai

pakan ikan toman (Courtenay, 2004).

II.1.3. Deskripsi Ikan Gabus

Ikan gabus memiliki bentuk tubuh hampir bulat panjang, makin ke

belakang semakin gepeng. Punggungnya cembung, perutnya rata, sirip punggung

lebih panjang dari sirip dubur, sirip yang pertama disokong oleh 38-45 jari-jari

lunak, sirip yang disebut belakangan disokong oleh 23-27 jari-jari sirip dada lebar

dengan ujung membulat disokong oleh 15-17 jari-jari lunak. Gurat sisi ada 52-57

keping, panjang tubuhnya dapat mencapai 100 cm (Djuhanda, 1981).

Kottelat et al (1993), menyebutkan bahwa ikan gabus mempunyai warna

gelap dan seluruh tubuhnya ditutupi dengan sisik. Di bagian dadanya kulit

tubuhnya berwarna putih.

Ikan Gabus (Channa striata) yang di sebut snake head ini tergolong ikan

buas dengan makanan berupa zooplankton, katak, kepiting dan lain-lain. Selain itu

makanan tambahan dapat diberikan cincangan daging ikan-ikan yang tidak

Page 4: bab 2 ku

9

memiliki nilai ekonomis atau sisa-sisa penyiangan. Ikan gabus hidup di perairan

tawar dengan pH 4,5 sampai 6 dan tidak begitu dalam, ada juga yang hidup di air

payau. Tubuhnya hampir bulat panjang, makin kebelakang makin pipih dan di

tutupi oleh sisik yang berwarna hitam dengan sedikit belang pada bagian

punggung sedangkan perutnya berwarna putih (Kordi, 2010).

II.1.4. Komponen Bioaktif Ikan Gabus

Ikan gabus merupakan jenis ikan yang sudah banyak dimanfaatkan dan

diolah oleh masyarakat untuk dibuat tepung ikan sebagai pakan ternak. Namun,

sejalan dengan perkembangan teknologi, ikan gabus tidak hanya digunakan dalam

pembuatan pakan ternak. Saat ini ikan gabus juga digunakan dalam dunia

kedokteran sebagai penyembuh luka pasca operasi dan luka bakar dengan cara

mengambil ekstrak ikan tersebut. Serum albumin merupakan komponen yang

diproduksi dari darah manusia yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka, baik

luka bakar maupun luka pasca operasi. Akan tetapi harga serum albumin mahal,

sehingga pasien harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Dengan

ditemukannya albumin pada ikan gabus diharapkan dapat menjadi alternatif obat

untuk mempercepat penyembuhan luka sehingga membantu mengurangi biaya

pasien untuk mendapatkan serum albumin tersebut (Saleh et al., 1985).

Komponen bioaktif ikan gabus selain albumin juga terdapat mineral yang

berupa seng. Fungsi lain dari seng adalah berperan dalam sistem kekebalan tubuh

dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi, selain itu

seng juga berperan dalam berbagai fungsi organ, misalnya keutuhan penglihatan

Page 5: bab 2 ku

10

yang merupakan interaksi metabolisme antara seng dan vitamin A. Seng juga

bertindak sebagai kofaktor dalam banyak enzim metabolik serta epitelisasi dan

kekuatannya.

Ikan gabus yang diekstrak menggunakan ekstraktor vakum pada suhu 35ºC

selama 12,5 menit merupakan perlakuan terbaik dalam ekstraksi albumin ikan

gabus untuk mendapatkan senyawa asam amino. Asam-asam amino seperti

triptofan, arginin, trisin, fenilalanin, glutamin, alanin, treonin, dan prolin dapat

merangsang proses sintesa albumin. Albumin pada manusia terutama

mengandung asam aspartat dan glutamat dan sangat sedikit triptofan. Profil asam

amino albumin ikan gabus disajikan dalam tabel berikut ini (Puspitasari, 2007).

Tabel 1. Profil Asam Amino Ekstrak Ikan Gabus

Jenis Asam Amino

Kadar (µg/mg)

Fenilalanin 0,132Isoleusin 0,098Leusin 0,169Valin 0,127

Treonin 0,084Lisin 0,197

Histidin 0,062Aspartat 0,072Glutamat 0,286Alanin 0,15Prolin 0,082Serin 0,081Glisin 0,14Sistein 0,017Tirosin 0,025Arginin 0,109

NH3 0,026II.1.5. Metode Ekstraksi Minyak Ikan

Page 6: bab 2 ku

11

Minyak ikan diperoleh dengan cara ekstraksi. Ekstraksi minyak adalah

suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan. Cara ekstraksi yang

biasa dilakukan, yaitu metode ekstraksi dengan aseton, metode ekstraksi dengan

hidrolisa, metode Dry Rendering, metode Wet Rendering dan ekstraksi dengan

silase. Dry Rendering merupakan cara pemisahan minyak dengan menggunakan

pemanasan bahan tanpa penambahan air selama proses berlangsung. Pemanasan

dilakukan pada suhu 105-110oC, sedangkan pada ekstraksi dengan silase

merupakan metode pemisahan minyak ikan dengan cara penambahan asam pada

daging ikan sehingga terjadi proses fermentasi yang menghasilkan minyak ikan.

Pada umumnya ekstraksi minyak ikan dilakukan metode Wet Rendering, yaitu

proses yang umumnya digunakan untuk membuat tepung ikan. Tahap proses ini

meliputi kombinasi pemasakan dan pengeringan dengan menggunakan uap panas

pada keadaan hampa. Pengadukkan secara lambat dilakukan selama pengeringan

tepung ikan dan dilakukan pengepresan untuk memisahkan tepung dan minyak

ikan. Tahapan-tahapan pemurnian minyak ikan, yaitu penyaringan, degumming,

netralisasi, pemisahan sabun, pemucatan dan deodorisasi. Tujuan dari pemurnian

minyak ikan adalah untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna

yang tidak menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum

dikonsumsi dan digunakan sebagai bahan mentah dalam industri.

Kualitas minyak ikan yang dihasilkan pada proses pemurnian tergantung

pada cara penyimpanan dan penanganan ikan sebelum dimurnikan. Pada tahap

penyaringan, minyak ikan yang diperoleh sebagai hasil samping pengolahan

tepung ikan atau ikan kaleng disaring terlebih dahulu dengan penyaring kawat

Page 7: bab 2 ku

12

untuk memisahkan kotoran-kotoran visual seperti sisa daging dan gumpalan

protein. Degumming merupakan proses pemisahan getah dan lendir yang terdiri

dari fosfatida, protein, residu karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah

asam lemak bebas dalam minyak. Degumming dilakukan dengan penambahan

NaCl 8% ke dalam minyak ikan pada suhu 60oC selama 15 menit. Proses

netralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan alkali atau pereaksi lainnya

untuk membebaskan asam lemak bebas dengan membentuk sabun dan

mengkoagulasikan bahan-bahan yang tidak diinginkan. Pemisahan sabun

dilakukan dengan cara menambahkan air panas secukupnya pada minyak ikan

sambil diaduk dan setelah itu didiamkan hingga minyak dan air terpisah. Tahap

selanjutnya yaitu pemucatan yang dilakukan dengan penambahan adsorben,

umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap dan alat

penghampa udara. Minyak dipanaskan pada suhu 105oC selam 1 jam. Adsorben

ditambahkan saat minyak mencapai suhu 70-80oC sebanyak 1-1,5% dari berat

minyak. Tahap terakhir ialah deodorisasi yang dilakukan dengan cara memompa

minyak ke dalam ketel deodorisasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada

suhu 200-250oC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah

(kurang lebih 10 mmHg), sambil dialiri uap panas selama 4-6 jam untuk

mengangkut senyawa yang dapat menguap (Ketaren, 1986).

II.1.5. Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira

15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan

Page 8: bab 2 ku

13

bagian dari kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan

sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada

lokasi tubuh (Djuanda, 2007). Kulit menutupi permukaan lebih dari 20.000 cm2

dan mempunyai bermacam-macam fungsi dan kegunaan. Kulit berfungsi sebagai

pembatas terhadap serangan fisika dan kimia. Beberapa bahan seperti ion nikel,

gas mostar, serta minyak damar dari rhus toksikodendron, umumnya dikenal

sebagai racun ivy, dapat menembus pembatas tersebut, sedangkan umumnya zat

lain tidak dapat menembus kulit dengan mudah. Kulit berfungsi sebagai termostat

dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan

mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula dalam mengatur tekanan

darah (Lachman et al., 1994).

Gambar 3. Struktur Kulit Manusia

Page 9: bab 2 ku

14

Secara anatomi, kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada

umumnya kulit dibagi dalam tiga lapisan jaringan, yaitu epidermis, dermis, dan

lapisan lemak di bawah kulit (Lachman et al., 1994). Pada permukaan kulit ada

lapisan dari bahan yang diemulsikan terdiri dari campuran kompleks dari cairan

berlemak, keringat dan lapisan tanduk yang dapat terkelupas, yang terakhir dari

lapisan sel epidermis yang telah mati yang disebut “lapisan tanduk” atau “stratum

corneum” dan letaknya langsung di bawah lapisan yang diemulsikan. Di bawah

lapisan tanduk secara teratur ada “lapisan penghalang” epidermis yang hidup atau

stratum germinativum, dan dermis atau kulit sesungguhnya. Dari anatomi kulit

dapat diketahui cara absorpsi bahan luar kulit ke posisi di bawah kulit (Ansel,

1989).

II.1.5.1 Absorpsi Perkutan

Absorpsi bahan dari luar kulit ke posisi di bawah kulit tercakup masuk ke

dalam aliran darah, disebut sebagai absorpsi perkutan. Pada umumnya, absorpsi

perkutan dari bahan obat ada pada preparat dermatologi seperti cairan, gel, salep,

krim atau pasta tidak hanya bergantung pada sifat kimia dan fisika dari bahan obat

saja, tapi juga pada sifat apabila dimasukkan dalam pembawa farmasetika dan

pada kondisi dari kulit. Selain itu pembawa farmasetika tidak dapat lebih jauh

menembus kulit, atau membawa bahan obat melalui kulit, terhadap kadar dan

tingkat penembus kulit, pembawa tidak mempengaruhi laju dan derajat penetrasi

zat obat, dan derajat serta laju variasi penetrasi dengan berbedanya obat dan

berbedanya pembawa. Oleh karena itu untuk absorpsi perkutan dan efektivitas

Page 10: bab 2 ku

15

terapeutik, tiap kombinasi obat-pembawa, harus diuji secara sendiri-sendiri

(Ansel, 1989).

Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk

menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis.

Daerah yang terkena umumnya epidermis dan dermis, sedangkan obat-obat

topikal tertentu seperti emoliens, antimikroba, dan deodoran terutama bekerja

pada permukaan kulit saja. Hal ini memerlukan penetrasi difusi dari kulit atau

absorpsi perkutan (Lachman et al., 1994).

II.1.5.2 Rute Penetrasi Kulit Oleh Obat

Bila suatu sistem obat digunakan secara topikal, maka obat akan keluar

dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan jaringan kulit. Ada tiga jalan masuk

yang utama: melalui daerah kantung rambut, melalui kelenjar keringat, atau

melalui stratum corneum yang terletak diantara kelenjar keringat dan kantung

rambut. Hanya ada beberapa fakta yang kurang meyakinkan bahwa kelenjar

keringat mempunyai peranan yang berarti pada permeabilitas kulit. Bahan-bahan

dapat memasuki pembuluh-pembuluh dan bahkan kelenjar-kelenjar, tetapi

tampaknya tidak ada penetrasi dari daerah ini ke dermis (Lachman et al., 1994).

Obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian topikal

melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat atau kelenjar lemak atau antara

sel-sel dari selaput tanduk. Sebenarnya bahan obat yang dipakai mudah memasuki

kulit yang rusak atau pecah-pecah, akan tetapi sesungguhnya penetrasi semacam

itu bukan absorpsi perkutan yang benar (Ansel, 1989).

Page 11: bab 2 ku

16

Absorpsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi

langsung obat melalui stratum corneum 10-15 µm (Ansel, 1989). Stratum

corneum terdiri dari kurang lebih 40% protein (pada umumnya keratin) dan 40%

air dan sisanya berupa lemak terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas,

kolesterol dan fosfat lemak. Kandungan lemak dipekatkan dalam fase

ekstraselular stratum corneum dan begitu jauh akan membentuk membran yang

mengelilingi sel. Komponen lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara

langsung bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum

corneum. Bila molekul obat melalui stratum corneum kemudian dapat terus

melalui jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis apabila obat

mencapai lapisan pembuluh kulit maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke

dalam sirkulasi umum (Ansel, 1989).

Stratum corneum sebagai jaringan keratin berfungsi sebagai membran

buatan yang semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi

pasif. Jadi, jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada

konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau airnya.

Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air,

merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga

melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan dari obat adalah sifat

obat itu sendiri, sifat pembawa, kondisi kulit dan adanya uap air. Walaupun sukar

untuk diambil suatu kesimpulan yang dapat diberlakukan pada kemungkinan yang

Page 12: bab 2 ku

17

dihasilkan oleh kombinasi obat, pembawa dan kondisi kulit, tetapi dapat

disimpulkan sebagai berikut (Ansel, 1989):

a. Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus bersatu pada

permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup.

b. Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat

yang diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode

waktu, bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam

suatu pembawa.

c. Semakin banyak obat diserap dengan cara absorpsi perkutan apabila bahan

obat dipakai pada permukaan yang lebih luas.

d. Bahan obat harus mempunyai suatu daya tarik fisiologi yang lebih besar

pada kulit daripada terhadap pembawa, supaya obat dapat meninggalkan

pembawa menuju kulit.

e. Beberapa derajat kelarutan bahan obat baik dalam minyak dan air dipandang

penting untuk efektivitas absorpsi perkutan. Pentingnya kelarutan obat

dalam air ditunjukkan oleh adanya konsentrasi pada daerah absorpsi dan

koefisien partisi sangat mempengaruhi jumlah yang dipindahkan melalui

tempat absorpsi. Zat terlarut dengan bobot molekul di bawah 800 sampai

100 dengan kelarutan yang sesuai dalam minyak mineral dan air (>1

mg/mL) dapat meresap ke dalam kulit.

f. Absorpsi obat nampaknya ditingkatkan dari pembawa yang dapat dengan

mudah menyebar di permukaan kulit, sesudah dicampur dengan cairan

Page 13: bab 2 ku

18

berlemak, dan membawa obat untuk berhubungan dengan jaringan sel untuk

diabsorpsi.

g. Pembawa yang meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya

cenderung baik bagi absorpsi pelarut obat. Pembawa yang bersifat lemak

bekerja sebagai penghalang uap air sehingga keringat tidak dapat menembus

kulit, dan tertahan pada kulit sehingga umumnya menghasilkan hidrasi dari

kulit di daerah pembawa.

h. Hidrasi dari kulit merupakan fakta yang paling penting dalam absorpsi

perkutan. Hidrasi stratum corneum tampaknya meningkatkan derajat

lintasan dari semua obat yang mempenetrasi kulit. Peningkatan absorpsi

mungkin disebabkan melunaknya jaringan dan akibat pengaruh “bunga

karang” dengan penambahan ukuran pori-pori yang memungkinkan arus

bahan lebih besar, besar dan kecil dapat melaluinya.

i. Hidrasi kulit bukan saja dipengaruhi oleh jenis pembawa (misalnya bersifat

lemak) tetapi juga oleh ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya ketika

pemakaian obat. Pada umumnya, pemakaian pembungkus yang tidak

menutup seperti pembawa yang bercampur dengan air, akan mempengaruhi

efek pelembab dari kulit melalui penghalang penguapan keringat dan oleh

karena itu mempengaruhi absorpsi. Pembungkus yang menutup lebih efektif

daripada anyaman jarang dari pembungkus yang tidak menutup.

j. Pada umumnya, menggosokkan atau mengoleskan waktu pemakaian pada

kulit akan meningkatkan jumlah obat yang diabsorpsi dan semakin lama

mengoleskan dengan digosok-gosok, semakin banyak pula obat diabsorpsi.

Page 14: bab 2 ku

19

k. Absorpsi perkutan nampaknya lebih besar apabila obat dipakai pada kulit

dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal. Jadi, tempat

pemakaian mungkin bersangkut-paut dengan derajat absorpsi, dengan

absorpsi dari kulit yang ada penebalannya, atau tempat yang tebal seperti

telapak tangan dan kaki secara komparatif lebih lambat.

l. Pada umumnya, semakin lama waktu pemakaian obat menempel pada

kulit, semakin banyak kemungkinan absorpsi. Bagaimanapun juga

perubahan dalam hidrasi kulit sewaktu pemakaian atau penjenuhan kulit

oleh obat, akan menghambat tambahan absorpsi.

Ketentuan umum ini dalam hal absorpsi perkutan dipakai pada kulit yang

sehat, luka pada kulit atau dalam keadaan dimensi yang berbeda-beda maka akan

terjadi perbedaan dalam absorpsi obat. Jelas sekali kulit yang telah dipotong

secara dirusak atau pecah, akan memungkinkan obat atau bahan asing lainnya

mendapat jalan langsung ke jaringan sub kutan (Ansel, 1989).

II.1.6. Konsep Luka dan Perawatan Luka

II.1.6.1 Pengertian

Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer,

2000). Menurut Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, luka adalah

sebuah cedera pada jaringan yang mengganggu proses selular normal, luka dapat

juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas/kesatuan jaringan

tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan.

Page 15: bab 2 ku

20

II.1.6.2 Klasifikasi Luka

Luka dibedakan berdasarkan (Mansjoer, 2000):

a. Berdasarkan penyebab

1) Ekskoriasi atau luka lecet

2) Vulnus scisum atau luka sayat

3) Vulnus laseratum atau luka robek

4) Vulnus punctum atau luka tusuk

5) Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang

6) Vulnus combotio atau luka bakar

b. Berdasarkan ada/tidaknya kehilangan jaringan

1) Ekskoriasi

2) Skin avulsion

3) Skin loss

c. Berdasarkan derajat kontaminasi

1) Luka bersih

a) Luka sayat elektif

b) Steril, potensial terinfeksi

c) Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus

elimentarius, traktus genitourinarius

2) Luka bersih tercemar

a) Luka sayat elektif

b) Potensi terinfeksi: spillage minimal, flora normal

Page 16: bab 2 ku

21

c) Kontak dengan orofaring, respiratorius, elimentarius dan

genitourinarius

d) Proses penyembuhan lebih lama

3) Luka tercemar

a) Potensi terinfeksi: spillage dari traktus elimentarius, kandung

empedu, traktus genito urinarius, urine

b) Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka, luka penetrasi.

4) Luka kotor

a) Akibat proses pembedahan yang sangat terkontaminasi

b) Perforasi visera, abses, trauma lama

II.1.6.3 Tipe Penyembuhan Luka

Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini

dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang (Mansjoer, 2000;

Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association, 2004).

a. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu

penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka

biasanya dengan jahitan.

b. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka

yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan

oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar.

Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini

biasanya tetap terbuka.

Page 17: bab 2 ku

22

c. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang

dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement.

Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini

merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir.

II.1.6.4 Fase Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi

dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu

kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan (Mansjoer,2000 ; Indonesia

Enterostomal Therapy Nurse Association , 2004).

a. Fase Inflamasi

Tahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari.

Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi

bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan

proses penyembuhan lanjutan.

b. Fase Proliferasi

Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast

(sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase

proliferasi.

c. Fase Maturasi

Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung

sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam

fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan

Page 18: bab 2 ku

23

jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi

vaskularitas luka.

II.1.6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis

karena merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling

berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses

regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula oleh faktor

intrinsik dan faktor ekstrinsik (Indonesia Enterostomal Therapy Nurse

Association, 2004).

a. Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh

dalam proses penyembuhan meliputi: usia, status nutrisi dan hidrasi,

oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit penyerta

(hipertensi, DM, Arthereosclerosis).

b. Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat

berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi: pengobatan,

radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan.

II.1.6.6 Komplikasi Penyembuhan Luka

Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang

berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak

adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi

dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi. (Indonesia

Enterostomal Therapy Nurse Association, 2004).

Page 19: bab 2 ku

24

II.1.7. Penyembuhan Kulit yang Terluka

Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks namun sistematik.

Dalam proses penyembuhan luka, dapat diamati tahapan-tahapan perbaikan sel

kulit yang rusak menjadi seperti semula. Darah sangat berperan dalam proses

penyembuhan luka, karena unsur penyusun darah dapat menghentikan pendarahan

bila terjadi luka. Pada manusia normal, bila mengalami luka, maka darah yang

keluar dari luka tersebut secara otomatis akan membeku. Keping darah atau

trombosit, yang merupakan unsur penyusun darah, sangat berperan dalam proses

pembekuan darah (Mansjoer, 2000).

Pada saat terjadi luka, trombosit yang berada di tempat terjadinya luka

mengeluarkan suatu zat berupa asam lemak yang kemudian beberapa asam lemak

diubah menjadi thromboxane. Thromboxane dan protrombin bereaksi di dalam

darah merangsang trombosit. Selanjutnya, enzim-enzim pembantu proses

penyembuhan luka mengumpulkan protein yang disebut fibrinogen. Dalam waktu

singkat, terbentuklah benang-benang yang membentuk jaring pada tempat

keluarnya darah. Sementara itu, trombosit terperangkap dalam jaring yang di

bentuk oleh benang fibrin dan mengumpul. Trombosit yang bereaksi dengan

udara luar akan mengeras dan mengalami penandukan sehingga membentuk

keropeng. Di bawah keropeng atau lapisan pelindung, sel-sel baru sedang

dibentuk. Ketika luka telah sembuh dan sel-sel yang rusak telah selesai

diperbaruhi, keropeng tersebut akan mengelupas dan jatuh (Soewolo, et al.,

2003).

Page 20: bab 2 ku

25

Adapun mekanisme penyembuhan luka adalah sebagai berikut:

1. Luka mengeluarkan darah.

2. Thromboxane dan protrombin bereaksi di dalam darah merangsang

trombosit.

3. Akibat reaksi kimia, terbentuklah jalinan benang-benang fibrin yang

membentuk jaring lapisan pelindung.

4. Trombosit terperangkap dalam jaring yang di bentuk oleh benang fibrin

yang kemudian mengeras.

5. Lapisan sel-sel paling atas akhirnya mati, dan mengalami penandukan

sehingga membentuk keropeng.

6. Di bawah keropeng, atau lapisan pelindung, sel-sel baru sedang dibentuk.

Ketika sel-sel yang rusak telah selesai diperbaharui, keropeng tersebut

akan mengelupas dan jatuh.

Page 21: bab 2 ku

26

Gambar 4. Trombosit yang Terperangkap Dalam Benang Fibrin

Gambar 5. Mekanisme Penutupan Luka