Post on 16-Feb-2016
description
LAPORAN PRAKTIKUMMIKROBIOLOGI INDUSTRI
Oleh :
Kelompok 3
Nama Anggota Kelompok:
1. Imas Nitisari H3113051
2. Linda Cahya Nugraheni H3113058
3. Moh Lutfhi Imawan H3113062
4. Nyoman Fitria Ditha M. H3113072
5. Riris Khalydazia Indra F. H3113080
6. Stevani Paramitha Dewi H3113089
7. Yuliana Dyah Kusuma W. H3113092
PROGRAM D-III TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
ACARA IV
FERMENTASI ALKOHOL
A. Tujuan
Tujuan praktikum acara IV Fermentasi Alkohol ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan wine.
2. Mahasiswa dapat mengetahui mikroba yang berperan dalam pembuatan
wine.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kadar alkohol yang terdapat pada wine yang
berasal dari beberapa bahan yang berbeda.
4. Mahasiswa dapat mengetahui berat jenis yang terdapat pada wine yang
berasal dari beberapa bahan yang berbeda.
B. Tinjauan Pustaka
1.Tinjauan Bahan
Sari buah adalah cairan yang dihasilkan dari penghancuran buah segar
yang matang. Pada prinsipnya dikenal dua macam sari buah, yaitu sari buah
encer, yang diperoleh dari pengepresan daging buah, dilanjutkan dengan
penambahan air, penambahan atau tanpa penambahan gula, dan sari buah
pekat yaitu cairan yang dihasilkan dari pengepresan daging buah dan
dilanjutkan dengan proses pemekatan. Pembuatan sari buah pisang selama
ini, dilakukan secara mekanis dengan penambahan air, menghasilkan sari
buah pisang yang tidak jernih (cloudy juice) dan masih beraroma langu.
Pada usaha percobaan pembuatan sari buah pisang cara enzimatik dengan
bantuan ragi, diharapkan dapat menghasilkan sari buah pisang yang jernih
(clear juice), dapat tanpa penambahan air, dan beraroma normal pisang
(Triyono, 2010).
Tetes merupakan sisa dari proses pengkristalan gula pasir yang masih
mengandung gula dan asam-asam organik sehingga merupakan bahan baku
yang baik untuk pembuatan etanol. Dibandingkan bahan baku lain, tetes
mempunyai keunggulan yaitu selain harganya murah juga mengandung 50%
gula sederhana yang dapat difermentasi langsung oleh yeast menjadi etanol
tanpa pretreatment. Saccharomyces cerevisiae pembentuk flok merupakan
yeast yang mampu membentuk flok atau gumpalan sel yang mengendap
secara cepat dalam medium pertumbuhannya, yang berperan penting dalam
produksi bioetanol karena mempermudah proses purifikasi yaitu
meniadakan proses sentrifugasi sehingga dapat menurunkan biaya produksi
(Wardani, 2013).
Mikroorganisme yang banyak digunakan dalam proses fermentasi
alkohol adalah Sacharomyces cerevisiae yang dapat berproduksi tinggi,
tahan atau toleran terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar
gula yang tinggi dan tetap melakukan aktivitasnya pada suhu 4 – 32oC.
Saccharomyces Cereviciae Hansen menghasilkan kadar alkohol 5,79-
11.58%, Saccharomyces cereviceae Hansen Rasse XII menghasilkan kadar
alkohol 8,68%, Saccharomyces cereviceae Hansen Rasse M menghasilkan
kadar alkohol 10,61%, Schizosaccharomyces pombe menghasilkan kadar
alkohol 8,68%. Ciri khas Sacharomyces cereviceae adalah reproduksinya
yang vegetatif disebut Budding atau penyembulan (Santi, 2008).
Saccharomyces cereviseae lebih banyak digunakan untuk
memproduksi alkohol secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan
jamur. Hal ini disebabkan karena Saccharomyces cereviseae dapat
memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi pada
kadar alkohol yang tinggi. Kadar alkohol yang dihasilkan sebesar 8-20%
pada kondisi optimum. Saccharomyces cereviseae yang bersifat stabil, tidak
berbahaya atau menimbulkan racun, mudah di dapat dan malah mudah
dalam pemeliharaan. Bakteri tidak banyak digunakan untuk memproduksi
alkohol secara komersial, karena kebanyakan bakteri tidak dapat tahan pada
kadar alkohol yang tinggi (Sudarmadji K., 1989).
Suhu optimum untuk kebanyakan varitas khamir anggur adalah sekitar
26 - 29ºC. Pada suhu lebih dari 29ºC aktivitas khamir menurun dan berhenti
pada suhu sekitar 37ºC. Dalam rangka mempertahankan hidupnya sel
Saccharomyces cerevisiae menghasilkan enzim tertentu yaitu kelompok
enzim invertase yang berfungsi untuk memecah disakarida menjadi glukosa
atau gula reduksi sehingga kadar gula reduksi di dalam media fermentasi
bertambah. Peningkatan kadar gula reduksi ini menyebabkan peningkatan
konsentrasi etanol (Wignyanto, 2001).
Menurut Triyono (2010), kandungan gula reduksi pada varietas pisang
mempunyai kadar gula reduksi yang bervariasi. Kadar gula reduksi dari
hasil ekstraksi pisang adalah antara 16% - 28%. Menurut Yusman (2012),
kadar gula sari anggur adalah 17,88 % sedangkan Destriyani (2014), dalam
batang tebu terkandung sukrosa berkisar 8–16%. Menurut Chayati (2010),
buah naga biasanya dikonsumsi dalam bentuk buah segar sebagai
penghilang dahaga, karena buah naga mengandung kadar air tinggi sekitar
90 % dari berat buah. Rasanya cukup manis karena mengandung kadar gula
mencapai 13-18 briks. Menurut Wardani (2013), tetes mempunyai
keunggulan yaitu selain harganya murah juga mengandung 50% gula
sederhana yang dapat difermentasi langsung oleh yeast menjadi etanol tanpa
pretreatment. Air kelapa tua memiliki kadar gula 3%, sedangkan air kelapa
muda sekitar 5%.
2.Tinjauan Teori
Bioetanol dapat dibuat dari bahan yang mengandung gula
sederhana, pati, maupun bahan berserat melalui proses fermentasi. Masing-
masing bahan berbeda cara pengolahannya untuk bisa dijadikan bioetanol.
Produksi bioetanol dengan menggunakan bahan berpati harus diawali
dengan proses pemecahan pati menjadi gula sederhana atau glukosa melalui
metode hidrolisis asam atau enzimatis (Azizah, 2012).
Menurut Gumbira (1987) dalam Yusrin (2010), fermentasi adalah
proses perubahan senyawa-senyawa kompleks dari suatu bahan yang
mengandung karbohidrat menjadi senyawa sederhana dengan disertai bau
yang spesifik atau khusus, oleh aktivitas mikroba halofilik. Sedangkan
pengertian lain dari fermentasi adalah proses penguraian gula menjadi
alkohol dan karbondioksida yang disebabkan oleh aktivitas sel-sel khamir
yang tumbuh dan berkanbang baik dengan cairan. Fermentasi dapat terjadi
karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada subtrat yang
sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan bahan
pangan, misalnya aroma alkohol dan asam pada peuyeum (tape).
Minuman anggur atau wine pada dasarnya merupakan minuman hasil
fermentasi buah-buahan. Tetapi sebagian besar masyarakat konsumen baik
di negara-negara lainnya menetapkan secara ketat difinisi Wine, merupakan
minuman hasil fermentasi sari buah anggur. Minuman anggur yang dibuat
dari buah-buahan lain selain buah anggur fruit wine. Karakteristik dan mutu
wine ditentukan oleh komposisi bahan baku, proses fermentasi, dan
perubahan-perubahan yang terjadi baik alami atau disengaja dalam periode
setelah fermentasi selesai. Proses fermentasi yang berlangsung lambat dan
lama suhu yang rendah akan menghasilkan wine dengan flavor yang lebih
pahit daripada proses fermentasi cepat pada suhu yang lebih tinggi. Tetapi
jika suhu terlalu tinggi dapat menghasilkan khamir wine dan merupakan
kondisi yang sesuai bagi mikroorganisme lain. Misalnya bakteri
Lactobacillus akan tumbuh dan menimbalkan kerusakan pada wine
(Koswara, 2009).
Sebagian besar anggur merah diperdagangkan di pasar menggunakan
fermentasi malolactic. Penyimpangan selama fermentasi malolactic pH
harus tinggi. Hal ini memberikan kontribusi untuk menghasilkan anggur
dengan stabil keasaman dan nilai-nilai amina biogenik. Semua
Saccharomyces non diproduksi mengurangi tingkat etanol. Kombinasi
Lachancea thermotolerans dan dipilih Schizosaccharomyces pombe
menghasilkan anggur stabil dari sudut pandang asam malat pandang tanpa
kebutuhan melakukan fermentasi malolactic (Benito, 2015).
Menurut Elevitri dan Putra (2006), substrat pertumbuhan ditambahkan
100 gr gula pasir yang disiapkan didalam gelas beaker. Setelah semua bahan
dimasukkan, kemudian dihomogenkan terlebih dahulu dengan magnetic
stirrer kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu
121oC selama 15 menit. Substrat ditunggu hingga dingin. Setelah dingin,
sampai kira-kira mencapai suhu 30-33oC, 50 gram fermipan dimasukkan ke
dalam substrat, selanjutnya diinkubasi pada suhu 30oC selama 8 jam.
Asam organik adalah komponen esensial untuk rasa di dalam
minuman beralkohol seperti wine dan sake. Ketika khamir S. cerevisiae
melakukan fermentasi, antara lain asam malat, suksinat, dan piruvat,
Saccharomyces cerevisiae dapat memanfaatkan asam monokarboksilat
rantai-pendek sebagai sumber karbon dan energi. Tahap pertama untuk
katabolisme karbon tersebut adalah transpor melalui membran. Piruvat
adalah senyawa kunci dalam glikolisis dan fermentasi alkohol pada S.
cerevisiae. Transpor piruvat secara efisien pada S.cerevisiae hanya dapat
dilakukan oleh monokarboksilat permease. Fermentasi alkohol adalah suatu
proses feedback inhibition. Sel-sel khamir dibatasi oleh toleransi terhadap
etanol, suhu dan tekanan osmotik dalam medium, maka pertumbuhan sel
khamir akan terhambat, sehingga akhirnya sel mati. Meningkatnya
konsentrasi etanol di dalam medium juga menyebabkan struktur membrane
sel berubah (Gandjar, 2006).
Proses fermentasi membutuhkan ragi untuk mengubah gula menjadi
alkohol, dan seorang pembuat wine bisa memilih untuk menggunakan ragi
hasil pembiakan (cultures yeast), yang bisa menonjolkan rasa atau aroma
tertentu, atau ragi alami (native yeast). Setelah ragi melakukan fermentasi,
ragi akan mati dan menumpuk di dasar tangki dan menghasilkan endapan
yang disebut lees. Kontak yang lebih lama antara wine dan lees akan
memberikan karakter rasa yang lebih creamy dan kompleksitas aroma
tambahan. Proses fermentasi untuk white wine bisa dilakukan di dalam oak
barrel akan memberi nuansa rasa yang berbeda, biasanya lebih kaya creamy
dan lebih kompleks. Sedangkan fermentasi dalam tangki stainless steel
bertujuan menjaga karakter buah wine tersebut (Yohan, 2007).
Fermentasi alkohol dimulai dengan proses glikolisis. Itu senyawa
glukosa dipecah menjadi asam piruvat melalui Jalur Embden-Meyerhof.
Asam piruvat kemudian diubah untuk asetaldehida dan karbon dioksida oleh
mikroba. Akhirnya, ini asetaldehida dikonversi menjadi etanol.
Keberhasilan fermentasi alkohol tergantung pada tiga faktor penting seperti
kualitas mikroba dan bahan baku serta kondisi proses fermentasi
(Kismunarto, 2012).
Peragian yang diuntungkan dapat dihubungkan ke konsentrasi gula,
ph, total nitrogen, pertumbuhan ragi, dan hasil sel biomassa adalah kritis
untuk aktivitas peragian yang optimal. Gula, nitrogen dan vitamin menjadi
hal penting besar oleh pembuat wine. Mikrobiologi anggur, pertumbuhan
ragi dapat dihambat oleh konsentrasi gula dan akumulasi ethanol yang
tinggi di dalam sel. Diketahui bahwa dengan mengubah kondisi-kondisi
yang perihal nutrisi adalah mungkin untuk meningkatkan hasil ethanol
seperti halnya pertumbuhan ragi pada konsentrasi ethanol yang tinggi
(Siler, 1996).
Ragi memainkan peran penting dalam fermentasi anggur, yang dapat
sangat mempengaruhi kualitas dan rasa produk akhir. Suhu adalah variabel
yang secara langsung mempengaruhi tingkat pertumbuhan mikroorganisme
Sangat mungkin bahwa awal konsentrasi glukosa dan fruktosa (gula buah
anggur utama) akan selektif mempengaruhi spesies dan strain ragi hadir
selama fermentasi. Karena perubahan iklim, glukosa dan fruktosa yang
meningkatkan konsentrasi mereka dalam anggur sementara keasaman
menurun, mempengaruhi kualitas anggur (Lopez, 2009).
Agbogbo dkk. (2007) dalam Wardani dkk. (2013) menyatakan bahwa
penambahan inokulum dengan konsentrasi yang rendah mengakibatkan laju
fermentasi menjadi lambat, tetapi dapat menghasilkan etanol yang lebih
tinggi karena setelah sel memperbanyak diri, sel akan mengkonversi gula
menjadi etanol secara perlahan. Maka selama fermentasi tidak akan terjadi
akumulasi etanol yang bisa menjadi racun bagi sel tersebut dan sel masih
tetap bisa menghasilkan etanol hingga akhir fermentasi. Mukhtar dkk.
(2010) dalam Wardani dkk. (2013) menyatakan bahwa dalam pembuatan
etanol, inokulasi yeast yang terlalu tinggi menyebabkan proses melemah
lebih cepat dan menurunkan viabilitas sel setelah fase pertumbuhan. Kondisi
pertumbuhan dan metabolisme pada populasi sel yang tinggi tidak
diharapkan karena mengganggu akses nutrisi, keterbatasan ruang, dan
interaksi antar sel.
Fermentasi bioetanol dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:
a. Substrat. Pada umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik
terutama glukosa dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam proses
fermentasi bioetanol.
b. Suhu. Suhu optimum bagi pertumbuhan Saccharomyces cereviseae dan
aktivitasinya adalah 25-35˚C. Suhu memegang peranan penting, karena
secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas Saccharomyces cereviseae
dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar bioetanol yang
dihasilkan.
c. Nutrisi. Selain sumber karbon, Saccharomyces cereviseae juga
memerlukan sumber nitrogen, vitamin dan mineral dalam
pertumbuhannya. Pada umumnya sebagian besar Saccharomyces
cereviseae memerlukan vitamin seperti biotin dan thiamin yang diperlukan
untuk pertumbuhannya. Beberapa mineral juga harus ada untuk
pertumbuhan Saccharomyces cereviseae seperti phospat, kalium, sulfur,
dan sejumlah kecil senyawa besi dan tembaga.
d. pH. pH pada proses fermentasi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kehidupan Saccharomyces cereviseae. Saccharomyces
cereviseae dapat tumbuh dengan baik pada kondisi pH 4 – 6.
e. Konsentrasi substrat. Konsentrasi substrat yang terlalu sedikit akan
mengakibatkan produktivitas menurun karena menjadi lelah dan keadaan
ini memperbesar terjadinya kontaminasi. Peningkatan konsentrasi substrat
akan mempercepat terjadinya fermentasi terutama bila digunakan substrat
berkadar tinggi. Tetapi jika konsentrasi substrat berlebihan akan
mengakibatkan hilangnya kemampuan bakteri untuk hidup sehingga
tingkat kematian bakteri sangat tinggi.
f. Waktu fermentasi. Waktu fermentasi yang biasa dilakukan 3-14 hari. Jika
waktunya terlalu cepat Saccharomyces cereviseae masih dalam masa
pertumbuhan sehingga alkohol yang dihasilkan dalam jumlah sedikit dan
jika terlalu lama Saccharomyces cereviseae akan mati maka alkohol yang
dihasilkan tidak maksimal (Fatimah, 2013).
Respirasi terhenti dalam keadaan tanpa oksigen karena proses
pengangkutan elektron yang dirangkaikan dengan fosforilasi bersifat
oksidasi melalui rantai pernafasan yang menggunakan molekul oksigen
sebagai penerima elektron terakhir tidak berjalan. Akibatnya jalan
metabolisme lingkar asam trikarboksilat (daur Krebs) akan terhenti pula
sehingga piruvat tidak lagi masuk ke dalam daur Krebs melainkan dialihkan
pemakaiannya yaitu diubah menjadi etanol (Wirahadikusumah 1985).
Menurut Sudarmadji K., (1989), fermentasi bioethanol dapat
didefenisikan sebagai proses penguraian gula menjadi bioethanol dan
karbondioksida yang disebabkan enzim yang dihasilkan oleh massa sel
mikroba. Perubahan yang terjadi selama proses fermentasi adalah perubahan
glukosa menjadi bioethanol oleh sel-sel Saccharomyces cereviseae.
C6H12O6 + Saccharomyces cereviseae C2H5OH + 2CO2
Glukosa enzim zimosa etanol karbondioksida
Reaksi yang terjadi pada proses produksi etanol secara sederhana dibagi
menjadi dua tahap yaitu (1) pemecahan komponen polisakarida menjadi
komponen monosakarida(pemecahan sempurna) dan komponen oligosakarida
yang dapat dilakukan secara enzimatis maupun secara kimiawi. Proses
pemecahan tahap pertama ditunjukkan pada persamaan reaksi 1.
H2O + (C6H10O5)n n C6H12O6 + n H2O …….(1)
(2) pengubahan komponen monomer glukosa menjadi etanol yang dilakukan
dengan bantuan agen mikroba. Mikroba pengubah monomer glukosa menjadi
etanol yang paling efektif adalah jenis khamir spesies S. cerevisiae. Proses
konversi monomer glukosa menjadi senyawa etanol ditunjukkan pada
persamaan reaksi 2.
(C6H12O6)n 2 C2H5OH + 2 CO2 ……………...(2)
Secara biokimia, proses pembentukan etanol didahului dengan proses
glikolisis yaitu proses perubahan satu molekul glukosa menjadi dua molekul
piruvat. Proses glikolisis secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu.
1. Proses pemakaian energi. Di dalam tahap persiapan ini, glukosa
mengalami proses fosforilasi dan pemecahan menjadi dua molekul triosa
yaitu gliseraldehid-3-fosfat. Proses ini mengkonsumsi 2 ATP.
2. Proses pembentukan energi. Dua molekul gliseraldehid-3-fosfat akan
dikonversi menjadi piruvat yang disertai dengan pembentukan 4 ATP.
Dasar bagi penurunan tingkat fermentasi tidak sepenuhnya dipahami.
Kenaikan tingkat fermentasi alkohol dengan penambahan yang dipilih ragi
strain untuk keharusan yang bisa mengakibatkan tidak efektif sehingga gula
sisa juga dimanfaatkan oleh kontaminasi mikroorganisme mampu
melaksanakan jalur metabolisme tidak diharapkan. Seperti contoh, dalam
kondisi, beberapa heterofermentative laktat bakteri asam strain bisa secara
signifikan meningkatkan volatil keasaman mendorong kerugian yang luar
biasa dari kualitas minuman beralkohol. Meskipun sejumlah besar referensi,
memberikan banyak informasi tentang aspek yang berbeda dari fermentasi
alkohol, tersedia dalam literatur, masih sulit untuk mengidentifikasi
kemungkinan penyebab perlambatan atau fermentasi terjebak bahkan jika
perubahan beberapa parameter komposisi (ex: D-glukosa/rasio D-fruktosa,
gliserin diproduksi/heksosa dikonversi) atau akumulasi yang tidak biasa
intermediet gula katabolisme dapat diasumsikan sebagai sinyal yang valid
kemungkinan penyimpangan dari Saccharomyces jalur metabolik
(Zinnai et all., 2013).
Putri dan Sukandar (2008) dalam Azizah (2012) menyatakan prosedur
pengujian kadar alkohol dilakukan dengan metode piknometer pertama-
tama sampel sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam labu destilasi Kjeldahl
kemudian ditambahkan dengan aquades sebanyak 100ml. Selanjutnya
didestilasi pada suhu 80oC. Destilat ditampung di dalam erlenmeyer hingga
volume 50ml. Destilat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam piknometer
yang telah ditimbang sebelumnya. Destilat dimasukkan hingga memenuhi
piknometer. Kelebihan destilat pada puncak pipa kapiler dibersihkan.
Piknometer yang berisi destilat ditimbang dan beratnya dicatat. Prosedur
yang sama dilakukan pada aquades sebagai pembanding. Berat jenis alkohol
dihitung dari (berat piknometer + destilat) dikurangi berat piknometer
kosong kemudian dibagi (berat piknometer+ aquades) dikurangi berat
piknometer kosong. Hasil penghitungan berat jenis alkohol kemudian
dikonversikan dengan menggunakan tabel konversi BJ alkohol.
C. Metodologi
1.Alat
a. Botol plastik
b. Gelas beaker 100 ml
c. Kapas
d. Kertas label
e. Lakban
f. Pengaduk kaca
g. Piknometer
h. Refraktometer
i. Selang plastik
j. Timbangan analitik
2.Bahan
a. Air
b. Air Kelapa
c. Fermipan
d. Sari Buah Anggur
e. Sari Buah Naga
f. Sari Buah Pisang
g. Sari Nira (tetes tebu)
h. Sari Tebu
3.Cara Kerja
Gambar 4.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Wine
Buah naga/pisang/anggur
Penyortasian
Pencucian
Ambil sari buah ± 500 ml
(+) 1 liter air
Penghancuran
Pemanasan selama 15 menit dengan suhu 90oC
Pemasukan ke dalam botol sambil disaring
Pendinginan pada suhu kamar
Penambahan kultur
Penutupan botol dengan kapas
Wine
Inkubasi selama 7 hari
Penghitungan berat jenis dan kadar alkohol
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Fermentasi Alkohol pada Shift 1
Kel Jenis SubstratJumlah Substrat
(ml)
Berat Fermipan
(gr)
BJgr/ml
Kadar Alkohol(%)
1 Sari Buah Naga 500 2,5 1,015 Sangat sedikit2 Sari Buah Pisang 500 2,5 0,998 Sangat sedikit3 Sari Buah Anggur 500 2,5 1,02 Sangat sedikit4 Sari Tebu 500 2,5 1,03 105 Sari Nira (tetes tebu) 500 2,5 1,433 Sangat sedikit6 Air Kelapa 500 2,5 1,024 Sangat sedikit
Sumber: Laporan Sementara
Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Fermentasi Alkohol pada Shift 2
Kel Jenis SubstratJumlah Substrat
(ml)
Berat Fermipan
(gr)BJ Kadar Alkohol
(%)
1 Sari Buah Naga 500 2,5 0,903 Sangat sedikit2 Sari Buah Pisang 500 2,5 1,019 Sangat sedikit3 Sari Buah Anggur 500 2,5 1,019 Sangat sedikit4 Sari Tebu 500 2,5 1,029 115 Sari Nira (tetes tebu) 500 2,5 1,026 66 Air Kelapa 500 2,5 1,015 0,5
Sumber: Laporan Sementara
Menurut Kartika, B. (1992), alkohol merupakan bahan alami yang
dihasilkan dari proses fermentasi yang banyak ditemui dalam produk bir,
anggur, spirtus dan sebagainya. Sebutan alkohol biasanya diartikan sebagai
etil alkohol (CH3CH2OH), mempunyai densitas 0,78508 g/ml pada suhu 25oC,
titik didih 78,4oC, berat molekul 46, tidak berwarna dan mempunyai bau serta
rasa yang spesifik. Alkohol dapat dibuat dari berbagai macam bahan dasar
diantaranya bahan berpati, bahan berselulosa/berserat dan bahan bergula.
Pada praktikum fermentasi alkohol terdapat beberapa langkah kerja dan
perlakuan mulai dari persiapan sampel hingga pengujian etanol dengan
piknometri dan refraktometri. Langkah pertama yaitu persiapan
sampel/substrat. Substrat adalah media pertumbuhan Saccharomyces
cerevisiae, berbentuk cair yang di dalamnya mengandung nutrisi untuk
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Substrat terdiri dari buah naga, buah
pisang, buah anggur, sari tebu, sari tetes tebu, air kelapa sebanyak 200 gr
disiapkan untuk di sortasi kemudian dilakukan pencucian. Kemudian
dilakukan penghancuran dengan penambahan air 1 liter menjadi sari buah ±
500cc, substrat di pasteurisasi pada suhu 95oC selama 15 menit. Setelah itu,
pemasukan dalam botol plastik 600 ml.
Langkah kerja selanjutnya penyiapan starter, starter yang digunakan
adalah ragi roti dengan merk Fermipan yang ditumbuhkan dalam substrat
pertumbuhan. Starter disiapkan dalam gelas beaker diencerkan dengan substrat
10 ml. Setelah semua bahan dicampur kemudian dihomogenkan.
Langkah kerja selanjutnya adalah proses fermentasi. Sejumlah 2,5 gr
starter diinokulasikan ke dalam substrat fermentasi dalam keadaan yang
aseptis. Setelah itu dialirkan selang bening ke dalam botol berisi air kemudian
ditutup dengan kapas. Maka proses selanjutnya adalah melakukan fermentasi
substrat yang telah diinokulasi dengan starter. Proses fermentasi dilakukan di
dalam ruangan laboratorium ITP dengan suhu ruangan 30oC. Proses
fermentasi dilaksanakan selama 7 hari. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk pencapaian fermentasi yang optimal dan pencapaian rasa, warna dan
bau yang enak yang sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah proses
fermentasi maka didapatkan hasil berupa wine. Setelah fermentasi didapatkan
wine lalu dilakukan pengujian kadar alkohol dengan refraktometri dan berat
jenis dengan piknometri. Pengujian piknometer dilakukan dengan cara
menimbang piknometri kosong dan dicatat hasilnya. Kemudian piknometer
diisi dengan wine hasil fermentasi dan dicatat hasilnya. Setelah didapat hasil
beratnya dilakukan perhitungan menggunakan rumus berat jenis yaitu massa
dibagi volume. Massa didapat dari berat pikno+isi dikurangi berat pikno
kosong. Pengujian kadar alkohol dengan menggunakan refraktometer dengan
cara membersihkan refraktometer dengan aquades kemudian dituangi wine
selanjutnya ditera di angka berapa refraktometer menunjukkan.
Substrat merupakan bahan baku fermentasi yang mengandung nutrien-
nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba untuk tumbuh maupun menghasilkan
produk fermentasi. Nutrient yang paling dibutuhkan oleh mikroba baik untuk
tumbuh maupun untuk menghasilkan produk fermentasi adalah karbohidrat.
Karbohidrat merupakan sumber karbon yang berfungsi sebagai penghasil
energi bagi mikroba, sedangkan nutrient lain seperti protein dibutuhkan dalam
jumlah lebih sedikit daripada karbohidrat. Substrat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah Sari Buah Naga, Sari Buah Pisang, Sari Buah Anggur,
Sari Tebu, Sari Nira (tetes tebu), Air Kelapa. Semua bahan tersebut
mengandung karbohidrat dari jenis fruktosa, dan sukrosa. Gula-gula tersebut
kemudian akan dikonversi menjadi bioetanol dengan bantuan Saccharomyces
cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae dapat mengkonversi gula menjadi etanol
karena adanya enzim invertase dan zimase. Dengan adanya enzim enzim ini
Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan untuk mengkonversi baik
gula dari kelompok monosakarida maupun dari kelompok disakarida. Jika
gula yang tersedia dalam substrat merupakan gula disakarida maka enzim
invertase akan bekerja menghidrolisis disakarida menjadi monosakarida
tersebut menjadi alkohol dan CO2.
Menurut Fatimah (2013), fermentasi bioetanol dipengaruhi oleh faktor-
faktor antara lain:
a) Substrat. Pada umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik
terutama glukosa dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam proses
fermentasi bioetanol.
b) Suhu. Suhu optimum bagi pertumbuhan Saccharomyces cereviseae dan
aktivitasinya adalah 25-35˚C. Suhu memegang peranan penting, karena
secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas Saccharomyces cereviseae
dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar bioetanol yang
dihasilkan.
c) Nutrisi. Selain sumber karbon, Saccharomyces cereviseae juga
memerlukan sumber nitrogen, vitamin dan mineral dalam
pertumbuhannya. Pada umumnya sebagian besar Saccharomyces
cereviseae memerlukan vitamin seperti biotin dan thiamin yang diperlukan
untuk pertumbuhannya. Beberapa mineral juga harus ada untuk
pertumbuhan Saccharomyces cereviseae seperti phospat, kalium, sulfur,
dan sejumlah kecil senyawa besi dan tembaga.
d) pH. pH pada proses fermentasi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kehidupan Saccharomyces cereviseae. Saccharomyces
cereviseae dapat tumbuh dengan baik pada kondisi pH 4 – 6.
e) Konsentrasi substrat. Konsentrasi substrat yang terlalu sedikit akan
mengakibatkan produktivitas menurun karena menjadi lelah dan keadaan
ini memperbesar terjadinya kontaminasi. Peningkatan konsentrasi substrat
akan mempercepat terjadinya fermentasi terutama bila digunakan substrat
berkadar tinggi. Tetapi jika konsentrasi substrat berlebihan akan
mengakibatkan hilangnya kemampuan bakteri untuk hidup sehingga
tingkat kematian bakteri sangat tinggi.
f) Waktu fermentasi. Waktu fermentasi yang biasa dilakukan 3-14 hari. Jika
waktunya terlalu cepat Saccharomyces cereviseae masih dalam masa
pertumbuhan sehingga alkohol yang dihasilkan dalam jumlah sedikit dan
jika terlalu lama Saccharomyces cereviseae akan mati maka alkohol yang
dihasilkan tidak maksimal.
Berdasarkan Tabel 4.1 hasil pengamatan fermentasi alkohol pada shift 1
didapat hasil kadar alkohol yang berbeda beda. Pada substrat menggunakan
sari buah naga dengan jumlah substrat 500 ml ditambahkan fermipan 2,5 gr
menghasilkan kadar alkohol sangat sedikit dan berat jenisnya 1,015 g/ml. Pada
substrat menggunakan sari buah pisang dengan jumlah substrat 500 ml
ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan kadar alkohol sangat sedikit dan
berat jenisnya 0,998 g/ml. Pada substrat menggunakan sari buah anggur
dengan jumlah substrat 500 ml ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan
kadar alkohol sangat sedikit dan berat jenisnya 1,02 g/ml. Pada substrat
menggunakan sari tebu dengan jumlah substrat 500 ml ditambahkan fermipan
2,5 gr menghasilkan kadar alkohol 10 % dan berat jenisnya 1,03 g/ml. Pada
substrat menggunakan sari nira (tetes tebu) dengan jumlah substrat 500 ml
ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan kadar alkohol sangat sedikit dan
berat jenisnya 1,433 g/ml. Pada substrat menggunakan air kelapa dengan
jumlah substrat 500 ml ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan kadar
alkohol sangat sedikit dan berat jenisnya 1,024 g/ml. Urutan kadar alkohol
tertinggi ke terendah adalah sari tebu kadar alkoholnya 10%, dan sari buah
naga, sari buah pisang, sari anggur, sari nira (tetes tebu), air kelapa kadar
alkoholnya sangat sedikit.
Berdasarkan Tabel 4.2 hasil pengamatan fermentasi alkohol pada shift
2 didapat hasil kadar alkohol yang berbeda beda. Pada substrat menggunakan
sari buah naga dengan jumlah substrat 500 ml ditambahkan fermipan 2,5 gr
menghasilkan kadar alkohol sangat sedikit dan berat jenisnya 0,903 g/ml. Pada
substrat menggunakan sari buah pisang dengan jumlah substrat 500 ml
ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan kadar alkohol sangat sedikit dan
berat jenisnya 1,019 g/ml. Pada substrat menggunakan sari buah anggur
dengan jumlah substrat 500 ml ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan
kadar alkohol sangat sedikit dan berat jenisnya 1,019 g/ml. Pada substrat
menggunakan sari tebu dengan jumlah substrat 500 ml ditambahkan fermipan
2,5 gr menghasilkan kadar alkohol 11% dan berat jenisnya 1,029 g/ml. Pada
substrat menggunakan sari nira (tetes tebu) dengan jumlah substrat 500 ml
ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan kadar alkohol 6% dan berat
jenisnya 1,026 g/ml. Pada substrat menggunakan air kelapa dengan jumlah
substrat 500 ml ditambahkan fermipan 2,5 gr menghasilkan kadar alkohol
0,5% dan berat jenisnya 1,015 g/ml. Pada shift 2 urutan kadar alkohol dari
yang tertinggi ke terrendah adalah 11%, 6%, 0,5%, sangat sedikit dengan
menggunakan substrat sari tebu, sari nira (tetes tebu), air kelapa, sari buah
anggur, sari buah pisang, sari buah naga.
Faktor yang mempengaruhi hasil kadar alkohol saat praktikum adalah
jenis substrat, lama waktu fermentasi, suhu, prosedur praktikum. Pada
umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik terutama glukosa
dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi bioetanol.
Substrat yang digunakan dalam praktikum adalah sari buah, air kelapa, sari
nira, sari tebu. Sari buah mengandung gula yaitu fruktosa sedangkan air
kelapa, sari tebu dan tetes tebu mengandung glukosa. Fermentasi dilakukan
selama 7 hari menghasilkan kadar alkohol yang sedikit. Suhu fermentasi
alkohol yaitu suhu ruang. Azizah (2012) menyatakan prosedur fermentasi
bioetanol adalah mulai dari penyiapan substrat dengan ditambah gula,
penyiapan starter yang dihomogenkan kemudian di sterilisasi setelah dingin di
inkubasi pada suhu 30oC selama 8 jam. Setelah itu inokulasi starter, kemudian
proses fermentasi selama 60 jam. Prosedur praktikum tidak sesuai dengan
teori Azizah (2012). Prosedur yang tidak sesuai akan menghasilkan wine yang
tidak sesuai teori.
Pada praktikum fermentasi alkohol ditambahkan starter berupa
fermipan. Ragi roti merupakan khamir Sacharomyces cereviceae. Menurut
Muldjiono dkk., (1978) dalam Santi (2008), organisme yang disebut khamir
adalah termasuk subdivisi thallopyta dan digolongkan dalam tiga famili yaitu
Sacharomyces cereviceae, Sporabolomy cereviceae, Cryptocceae. Ciri khas
organisme ini adalah reproduksinya yang vegetatif disebut Budding atau
penyembulan. Sifat-sifat umum yang dimiliki Sacharomyces cereviceae
adalah bersel satu bentuk coccus atau rod, khamir mesofilik yaitu yang tahan
terhadap suhu 30-35oC, anaerobik, tidak berspolurasi, tidak berflagella, tahan
terhadap asam pada pH 4-5. Azizah (2012), menyatakan Saccharomyces
cerevisiae memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan mikroorganisme
lain yang dapat memproduksi bioetanol. Kelebihan tersebut antara lain lebih
mudah beradaptasi dengan lingkungan, lebih tahan terhadap kadar alkohol
tinggi, dan lebih mudah didapat. Menurut Fardiaz (1992), Saccharomyces
cerevisiae akan tumbuh optimal dalam kisaran suhu 20-30oC.
Menurut Sudarmadji K., (1989), fermentasi bioethanol dapat
didefenisikan sebagai proses penguraian gula menjadi bioethanol dan
karbondioksida yang disebabkan enzim yang dihasilkan oleh massa sel
mikroba. Perubahan yang terjadi selama proses fermentasi adalah perubahan
glukosa menjadi bioethanol oleh sel-sel Saccharomyces cereviseae.
C6H12O6 + Saccharomyces cereviseae C2H5OH + 2CO2
Glukosa enzim zimosa etanol karbondioksida
Reaksi yang terjadi pada proses produksi etanol secara sederhana dibagi
menjadi dua tahap yaitu (1) pemecahan komponen polisakarida menjadi
komponen monosakarida(pemecahan sempurna) dan komponen oligosakarida
yang dapat dilakukan secara enzimatis maupun secara kimiawi. Proses
pemecahan tahap pertama ditunjukkan pada persamaan reaksi 1.
H2O + (C6H10O5)n n C6H12O6 + n H2O …….(1)
(2) pengubahan komponen monomer glukosa menjadi etanol yang dilakukan
dengan bantuan agen mikroba. Mikroba pengubah monomer glukosa menjadi
etanol yang paling efektif adalah jenis khamir spesies S. cerevisiae. Proses
konversi monomer glukosa menjadi senyawa etanol ditunjukkan pada
persamaan reaksi 2.
(C6H12O6)n 2 C2H5OH + 2 CO2 ……………...(2)
Secara biokimia, proses pembentukan etanol didahului dengan proses
glikolisis yaitu proses perubahan satu molekul glukosa menjadi dua molekul
piruvat. Proses glikolisis secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu.
3. Proses pemakaian energi. Di dalam tahap persiapan ini, glukosa
mengalami proses fosforilasi dan pemecahan menjadi dua molekul triosa
yaitu gliseraldehid-3-fosfat. Proses ini mengkonsumsi 2 ATP.
4. Proses pembentukan energi. Dua molekul gliseraldehid-3-fosfat akan
dikonversi menjadi piruvat yang disertai dengan pembentukan 4 ATP.
Respirasi terhenti dalam keadaan tanpa oksigen karena proses
pengangkutan elektron yang dirangkaikan dengan fosforilasi bersifat oksidasi
melalui rantai pernafasan yang menggunakan molekul oksigen sebagai
penerima elektron terakhir tidak berjalan. Akibatnya jalan metabolisme
lingkar asam trikarboksilat (daur Krebs) akan terhenti pula sehingga piruvat
tidak lagi masuk ke dalam daur Krebs melainkan dialihkan pemakaiannya
yaitu diubah menjadi etanol (Wirahadikusumah 1985). Khamir memproduksi
etanol dan CO2 melalui dua reaksi yang berturutan:
1. Proses dekarboksilasi piruvat menjadi asetaldehid dan CO2 dengan katalis
piruvat dekarboksilase (enzim ini tidak ada di binatang). Proses
dekarboksilasi merupakan reaksi yang tidak reversibel, membutuhkan ion
Mg2+ dan koenzim tiamin pirofosfat. Reaksi berlangsung melalui beberapa
senyawa antara yang terikat secara kovalen pada koenzim.
2. Reduksi asetaldehid menjadi etanol oleh NADH dengan dikatalisis oleh
alkohol dehidrogenase, dengan demikian pembentukan NAD+ akan
digunakan di dalam proses reaksi GADPH glikolisis (Voet et al. 2006).
Proses konversi glukosa menjadi etanol secara skematik disajikan pada
Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Proses konversi glukosa menjadi etanol (Voet et al, 2006).
Gambar 4.3 Desain sistem fermentasi etanol secara anaerobik (Najafpour &
Lim, 2002).
Botol berisi air dihubungkan oleh selang plastik bening ke sampel
berfungsi sebagai indikator proses fermentasi berjalan atau tidak dengan
terbentuknya gelembung-gelembung CO2 di botol berisi air. Maka dapat
disimpulkan bahwa adanya gelembung udara yang ditemukan pada botol
berisi air air menunjukkan bahwa pada proses fermentasi yang dilakukan oleh
sel-sel ragi terhadap glukosa menghasilkan gas CO2 dan alkohol. Gas yang
dihasilkan pada proses fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae
dapat menghambat aktivitas dari Saccharomyces cerevisiae itu sendiri
sehingga kadar alkoholnya menurun. Semakin lama proses fermentasi maka
gas CO2 yang terbentuk juga akan semakin banyak. Kondisi ini tidak baik
untuk pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dan juga untuk proses
fermentasi bioetanol. Desain proses fermentasi alkohol lebih lengkap dapat
dilihat pada Gambar 3.
Pada praktikum fermentasi alkohol, dilakukan enam perlakuan yang
berbeda, yaitu dengan menggunakan bahan baku sari buah naga, sari buah
pisang, sari buah anggur, sari tebu, sari nira (tetes tebu), air kelapa. Dari hasil
perhitungan berat jenis etonol yang sudah dilakukan, didapatkan hasil yang
berbeda pada tiap perlakuan. Menurut Triyono (2010), kandungan gula
reduksi pada varietas pisang mempunyai kadar gula reduksi yang bervariasi.
Kadar gula reduksi dari hasil ekstraksi pisang adalah antara 16% - 28%.
Menurut Taufik (2012), kadar gula sari anggur adalah 17,88 % sedangkan
Destriyani (2014), dalam batang tebu terkandung sukrosa berkisar 8–16%.
Menurut Chayati (2010), buah naga biasanya dikonsumsi dalam bentuk buah
segar sebagai penghilang dahaga, karena buah naga mengandung kadar air
tinggi sekitar 90 % dari berat buah. Rasanya cukup manis karena mengandung
kadar gula mencapai 13-18 briks. Menurut Wardani (2013), tetes mempunyai
keunggulan yaitu selain harganya murah juga mengandung 50% gula
sederhana yang dapat difermentasi langsung oleh yeast menjadi etanol tanpa
pretreatment. Air kelapa tua memiliki kadar gula 3%, sedangkan air kelapa
muda sekitar 5%. Menurut teori tetes tebu mempunyai kadar gula yang paling
tinggi yaitu 50% gula sederhana, dan kadar gula paling rendah yaitu air kelapa
5%.
Konsentrasi gula yang digunakan untuk fermentasi diantara 10–18
walaupun dapat pula dipergunakan kosentrasi selain itu. Apabila dipergunakan
kosentrasi gala terlalu tinggi hal ini dapat menurunkan pertumbuhan ragi,
sehingga waktu fermentasi akan lebih lama dan ada kemungkinan adanya gula
tidak ekonomis. Kosentrasi gula yang sering kali dipergunakan adalah 12%
atau sedikit lebih tinggi. (Prescott and Dunn, 1959). Perbedaan kadar gula
selain disebabkan lama fermentasi juga dapat disebabkan oleh substrat yang
tersedia selama proses fermentasi sehingga aktivitas mikroorganisme untuk
menguraikan pati menjadi gula akan berbeda. Jika gula yang tersedia dalam
substrat merupakan gula disakarida maka enzim invertase akan bekerja
menghidrolisis disakarida menjadi monosakarida tersebut menjadi alkohol dan
CO2. Semakin banyak kadar gula awal maka kadar alkohol yang dihasilkan
selama fermentasi semakin banyak. Urutan kadar alkohol dari tertinggi ke
terendah yaitu sari tebu 11%, sari nira (tetes tebu) 6%, air kelapa 0,5%, sari
buah anggur, sari buah pisang, sari buah naga sangat sedikit kadar alkoholnya.
Berdasarkan teori kadar gula awal paling banyak adalah tetes tebu memiliki
50% gula sederhana, akan tetapi hasil praktikum menunjukkan hasil kadar
alkohol tertinggi adalah sari tebu. Hasil tersebut tidak sesuai teori.
Pada shift 1 pada sampel dengan perlakuan menggunakan bahan baku
sari buah naga nilai berat jenisnya sebesar 1,015, pada sampel sari buah pisang
nilai berat jenisnya 0,998. Pada sampel sari buah anggur nilai berat jenisnya
1,02 sedangkan nilai berat jenis sari tebu 1,03. Pada sampel sari nira (tetes
tebu) nilai berat jenisnya 1,433 sedangkan nilai berat jenis air kelapa 1,024.
Pada shift 2 pada sampel dengan perlakuan menggunakan bahan baku sari
buah naga nilai berat jenisnya sebesar 0,903, pada sampel sari buah pisang
nilai berat jenisnya 1,019. Pada sampel sari buah anggur nilai berat jenisnya
1,019 sedangkan nilai berat jenis sari tebu 1,029. Pada sampel sari nira (tetes
tebu) nilai berat jenisnya 1,026 sedangkan nilai berat jenis air kelapa 1,015.
Menurut Kartika (1992), alkohol mempunyai densitas 0,78508 g/ml pada suhu
25oC, sedangkan hasil praktikum menunjukkan lebih dari 0,785 g/ml hasil
tersebut tidak sesuai dengan teori. Berat jenis larutan etanol dapat diukur
dengan piknometer. Berat jenis larutan etanol semakin kecil, maka kadar
etanol di dalam larutan tersebut semakin besar. Hal ini dikarenakan etanol
mempunyai berat jenis lebih kecil daripada air sehingga semakin kecil berat
jenis larutan berarti jumlah/ kadar etanol semakin banyak (Martin, 1983).
Berdasarkan tabel 4.1 dan tabel 4.2 hasil berat jenis wine terendah adalah
substrat sari buah naga yaitu 0,903 g/ml menghasilkan kadar alkohol yang
sangat sedikit sedangkan substrat sari tebu berat jenisnya 1,029 g/ml
menghasilkan kadar alkohol 11%. Hasil tersebut tidak sesuai teori, semakin
kecil berat jenis bahan maka kadar etanol yang dihasilkan semakin besar.
Hasil yang didapatkan pada saat praktikum kebanyakan menghasilkan
kadar alkohol yang sangat sedikit dikarenakan lamanya fermentasi yang
kurang, prosedur yang kurang tepat yaitu pada saat penyiapan substrat tidak
ditambahkan gula dan pada saat penyiapan starter tidak dihomogenkan dengan
alat magnetic stirrer. Menurut Elevitri dan Putra (2006), substrat pertumbuhan
ditambahkan 100 gr gula pasir yang disiapkan didalam gelas beaker. Setelah
semua bahan dimasukkan, kemudian dihomogenkan terlebih dahulu dengan
magnetic stirrer kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada
suhu 121oC selama 15 menit. Substrat ditunggu hingga dingin. Setelah dingin,
sampai kira-kira mencapai suhu 30-33oC, 50 gram fermipan dimasukkan ke
dalam substrat, selanjutnya diinkubasi pada suhu 30oC selama 8 jam.
Menurut Kartika (1992), alkohol mempunyai densitas 0,78508 g/ml
pada suhu 25oC, sedangkan hasil praktikum menunjukkan lebih dari 0,785
g/ml hasil tersebut tidak sesuai dengan teori. Hal tersebut dikarenakan
prosedur pengukuran berat jenis hasil fermentasi tidak sesuai teori. Putri dan
Sukandar (2008) dalam Azizah (2012) menyatakan prosedur pengujian kadar
alkohol dilakukan dengan metode piknometer pertama-tama sampel sebanyak
100 ml dimasukkan ke dalam labu destilasi Kjeldahl kemudian ditambahkan
dengan aquades sebanyak 100ml. Selanjutnya didestilasi pada suhu 80oC.
Destilat ditampung di dalam erlenmeyer hingga volume 50ml. Destilat
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam piknometer yang telah ditimbang
sebelumnya. Destilat dimasukkan hingga memenuhi piknometer. Kelebihan
destilat pada puncak pipa kapiler dibersihkan. Piknometer yang berisi destilat
ditimbang dan beratnya dicatat. Prosedur yang sama dilakukan pada aquades
sebagai pembanding. Berat jenis alkohol dihitung dari (berat piknometer +
destilat) dikurangi berat piknometer kosong kemudian dibagi (berat
piknometer+ aquades) dikurangi berat piknometer kosong. Hasil penghitungan
berat jenis alkohol kemudian dikonversikan dengan menggunakan tabel
konversi BJ alkohol.
E. Kesimpulan
Dari hasil praktikum acara IV ”Fermentasi Alkohol” dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
a. Langkah kerja pembuatan wine adalah penyiapan bahan substrat dibuat
sari buah, dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90oC, pendinginan,
setelah dingin dimasukkan dalam botol, lalu penyiapan starter dengan cara
pengenceran fermipan, lalu penambahan kultur ke botol, setelah itu
penutupan botol dengan kapas yang sebelumnya dialirkan ke botol air
dengan selang, kemudian diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang.
b. Pada praktikum fermentasi alkohol ditambahkan starter berupa fermipan.
Ragi roti merupakan khamir Sacharomyces cereviceae.
c. Menurut teori alkohol mempunyai densitas 0,78508 g/ml sedangkan hasil
praktikum pada shift 1 dan 2 berat jenisnya melebihi 0,78508 g/ml.
d. Urutan kadar alkohol dari tertinggi ke terendah yaitu sari tebu 11%, sari
nira (tetes tebu) 6%, air kelapa 0,5%, sari buah anggur, sari buah pisang,
sari buah naga sangat sedikit kadar alkoholnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agbogbo, F.K., Kelly, G.C., Smith, M.T., Wenger, K. dan Jeffries, T.W. (2007). The effect of initial cell concentration on xylose fermentation by Pichia stipitis. Journal of Applied Biochemistry and Biotechnology 41: 2331-2336.
Azizah, N. A.N Al-Baarri, S. Mulyani. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan. Vol. 1 No. 2 : 72-76.
Benito, Angel, Fernando Calderon, Felipe Palomero and Santiago Benito. 2015. Combine Use of Selected Schizosaccharomyces pombe andLachancea thermotolerans Yeast Strains as an Alternative to theTraditional Malolactic Fermentation in Red Wine Production. Journal molecules ISSN 1420-3049.
Chayati, Ichda, Nani Ratnaningsih, dan Titin Hera Widi H. 2010. Teknologi Pengolahan Buah Naga dan Diversifikasi Produk Olahannya sebagai Upaya Peningkatan Jiwa Kewirausahaan di SMK Agriindustri. Artikel Jurnal Inotek.
Destriyani, Leny, Tamrin dan M. Zen Kadir. 2014. Pengaruh Umur Simpan Air Tebu terhadap Tingkat Kemanisan Tebu (Saccharum ofiicinarum). Jurnal Teknik Pertanian Lampung Vol.3, No. 2: 119- 126.
Elevri, P. A. dan S. R. Putra. 2006. Produksi etanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang diamobilisasi dengan agar batang. Akta Kamindo 1(2): 105-114.
Fatimah, Febrina Lia G dan Lina Rahmasari G. 2013. Kinetika Reaksi Fermentasi Alkohol Dari Buah Salak. Jurnal Teknik Kimia USU 2 (2) :17-18.
Gandjar, Indrawati. 2006. Mikologi: Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Gumbira Said, E. 1987. Bio Industri Penerapan Teknologi dan Fermentasi. Jakarta : Mediyatama Sarana.
Kismunarto, Muhammad. 2012. Fed-batch Alcoholic Fermentation of Palm Juice (Arenga pinnata Merr) : Influence of the Feeding Rate on Yeast, Yield and Productivity. International Journal of Engineering and Technology Volume 2 No. 5
Koswara, Sutrisno. 2009. Produk Fermentasi Buah (Anggur, Cider Dan Vinegar). eBookPangan.
Lopez, F. Noe A., Sandi Orlic, Amparo Querol, Eladio Barrio. 2009. Effects of temperature, pH and sugar concentration on the growth parameters of Saccharomyces cerevisiae, S. kudriavzevii and their interspecific hybrid. International Journal of Food Microbiology 131: 120–127
Muldjiono dkk, 1978. Laporan Penelitian Mutu Minyak & Nilai Gizi BijiJambu Mete Kalimantan Selatan, Balai Penelitian Banjar Baru, Banjar Baru.
Santi, Sintha Soraya. 2008. Pembuatan Alkohol dengan Proses Fermentasi Buah Jambu Mete Oleh Khamir Sacharomices cerevesiae. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik 8 (2) : 104-111
Siler, C. E., and J.R. Morris. 1996. High Alcohol Fermentation of Grape Juice Concentrate VI-98. Proceedings 4th Symp Cool Clim Vitic & Enol, page 97-99.
Sudarmadji, S. dan Rahayu, K. 1989. Mikrobiologi Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Triyono, agus. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ragi terhadap Karakteristik Sari Buah dari Beberapa Varietas Pisang (Musa paradisiaca L.). Prosiding seminar Nasional Teknik Kimia. Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. ISSN 1693-4393. Yogyakarta.
Wardani, Agustin K., Fenty N. E. Pertiwi. 2013. Produksi Etanol dari Tetes Tebu Oleh Saccharomyces cerevisiae Pembentuk Flok (Nrrl – Y 265). Jurnal Agritech 33 (2) : 131-136.
Wignyanto, Suharjono, dan Novita. 2001. Pengaruh Konsentrasi Gula Reduksi Sari Hati Nanas dan Inokulum Saccharomyces Cerevisiae pada Fermentasi Etanol. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 2, No. 1.
Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia. Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Yohan, Handoyo. 2007. Rahasia Wine. Gramedia. Jakarta
Yusman, Taufik, Hervelly, dan Karyudi. 2012. Kajian Pengambilan Sari Buah Strawberry (Fragaria spp), Blackberry (Rubus fruticosus), Anggur Merah (Vitis vinifera) dengan Metode Pengepresan dan Penghancuran terhadap Karakteristik Sari Buah. Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung
Zinnai, Angela, Francesca Venturi, Chiara Sanmartin and Gianpaolo. 2013. Andrich The Kinetics of Alcoholic Fermentation by Two Yeast Strains in High Sugar Concentration Media. Journal Bioproces Biotechniq, 3 (3).
LAMPIRAN PERHITUNGAN
Diketahui= massa pikno kosong: 17,251 gr
Massa pikno+isi : 42,679 gr
Volume : 25 ml
Ditanya = BJ?
Jawab=
gr/mL
LAMPIRAN DOKUMENTASI
Gambar 4.4 Hasil Fermentasi shift 1 Gambar 4.5 Hasil Fermentasi Sari Buah Pisang shift 2
Gambar 4.6 Hasil Fermentasi Sari Nira shift 2