bioetanol jagung
-
Upload
dewinta-cute -
Category
Documents
-
view
3.009 -
download
2
Transcript of bioetanol jagung
1
PENDAHULUAN
Produksi minyak bumi dunia diperkirakan akan turun hingga 20 billion
barrels pada tahun 2050. Menurunnya ketersediaan sumber energi bahan
bakar minyak bumi menimbulkan adanya usaha-usaha untuk mencari sumber
energi alternatif. Sumber energi alternatif yang dicari harus dapat
diperbaharui dan ramah lingkungan. Salah satu bentuk energi alternatif yang
ditawarkan adalah etanol. Peranan penting etanol sebagai bahan bakar
transportasi yang bersih dan aman telah ditingkatkan sebagai antisipasi
kekurangan bahan bakar fosil serta mengurangi tingkat pencemaran udara
yang disebabkan oleh pemakaian bahan bakar fosil (Moniruzzaman et al.,
1997; Sun dan Cheng, 2002).
Meningkatnya penggunaan etanol sebagai sumber energi akan
meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini teknologi
proses pembuatan etanol yang telah mantap adalah dengan teknologi starch-
based (Sun and Cheng, 2002) maka dikhawatirkan akan terjadi kompetisi
antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan untuk sumber
energi (Sun and Cheng, 2002). Selain itu, untuk menggantikan semua
kebutuhan bahan bakar minyak dunia saat ini diperlukan luas tanah, lahan
pertanian, hutan, dan lain-lain yang tak terbatas. Bahkan saat ini di berbagai
negara sudah menunjukkan krisis pangan sehingga perlu dicari sumber
bahan baku pembuatan etanol lain. Sumber bahan baku potensial yang
ketersediaannya melimpah, berharga murah, belum banyak dimanfaatkan
dan mengandung gula sederhana yang dapat diubah menjadi etanol adalah
bahan-bahan lignosellulosa (Ho et al, 1998). Bahkan dalam beberapa dekade
terakhir, menjadi penelitian yang menarik untuk mengetahui potensi dari
lignoselulosa dalam memproduksi etanol. (Curreli et al., 1997; Gaspar et al.,
2005).
2
Bahan-bahan lignoselulosa umumnya terdiri dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah karbohidrat yang paling melimpah
dan mudah diperbaharui. Selulosa merupakan polimer rantai lurus glukosa
yang tersusun atas unit-unit D-glukosa yang bergabung dengan ikatan
konfigurasi -1,4 glikosida. Dengan enzim selulase, selulosa dihidrolisis
menjadi bentuk molekul-molekul sakarida yang lebih kecil. Selulase tersusun
dari campuran kompleks protein enzim dengan spesitifitas berbeda-beda
dalam menghidrolisis ikatan glikosidik. Hidrolisis alami selulosa menjadi
glukosa tergantung pada sinergisme dari tiga enzim dalam sistem selulosa
yaitu β-1,4-endoglukanase (EC 3.2.1.4), β-1,4-eksoglukanase (EC 3.2.1.91)
dan selobiase (EC 3.2.1.21) (Tolan dan Foody, 1999). Dari penelitian
sebelumnya, telah diketahui bahwa selulase diproduksi oleh Trichoderma
reesei ZU-02 dengan cara fermentasi keadaan padat (solid-state
fermentation) (Xia dan Cen, 1999). Diketahui bahwa selulase dari T. reesei
mengandung sedikit atau miskin enzim selobiase, dan dengan demikian
membatasi perubahan selobiosa menjadi glukosa (Shen dan Xia, 2004).
Penumpukan selobiosa akan menyebabkan inhibisi umpan balik untuk reaksi
selulase. Enzim selulase akan terinhibisi akibat penumpukan selobiosa pada
produk akhir dan menyebabkan pembentukan glukosa menurun pada produk
akhir (Duff and Murray, 1996; Wen et al., 2004). Oleh karena itu perlu
adanya penambahan enzim selobiase untuk meningkatkan produksi etanol
pada hidrolisis selulosa tersebut. Adanya lignin pada lignoselulosa dapat
mengganggu proses hidrolisis sehingga perlu dilakukan perlakuan awal
terhadap bahan-bahan lignoselulosa.
Sumber selulosa yang dapat dijadikan etanol dapat berasal dari
limbah-limbah pertanian. Di Indonesia, dalam jumlah besar, limbah-limbah
pertanian seperti tongkol jagung dihasilkan per tahunnya, dan sering kali
menyebabkan pencemaran lingkungan. Tongkol jagung sebagai limbah
3
pertanian yang banyak mengandung selulosa belum banyak dimanfaatkan
secara optimal dalam memproduksi etanol. Untuk mengetahui sejauh mana
produksi etanol yang dihasilkan oleh tongkol jagung sebagai biomassa
lignoselulosa maka perlu diadakan suatu penelitian mengenai produksi etanol
dari tongkol jagung.
Pada makalah ini dipelajari hidrolisis selulosa dari tongkol jagung
dengan menggunakan enzim selulase dari Trichoderma reesei ZU-02 serta
adanya penambahan enzim selobiase dari Aspergillus niger ZU-07.
Selanjutnya fermentasi dari hasil hidrolisis tersebut menjadi etanol dilakukan
dengan menggunakan Saccharomyches cerevisiae 316.
4
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1. Tongkol jagung dan karakteristik lignoselulosa
Jagung adalah salah satu tanaman dari sektor pertanian yang
cukup banyak dikonsumsi oleh berbagai masyarakat di dunia. Tanaman
jagung terdiri dari banyak bagian, diantaranya kulit buah jagung, jerami
jagung, tongkol jagung, dan biji jagung. Biji jagung dan kulit jagung
digunakan untuk pangan dan pakan makanan ternak sedangkan sisanya
terbuang menjadi limbah. Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai
ekonomi, bahkan mungkin bernilai negatif karena memerlukan biaya
penanganan. Limbah pertanian yang tidak tertangani akan menimbulkan
pencemaran lingkungan. Namun hal ini dapat diatasi dengan mengolah
limbah jagung menjadi suatu bahan bakar yang ramah lingkungan yaitu
bioetanol. Pengolahan limbah jagung menjadi bioetanol ini dikarenakan
sebagian besar limbah jagung adalah bahan berlignoselulosa yang dapat
diolah menjadi suatu bioetanol.
Salah satu limbah jagung yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol adalah tongkol jagung. Tongkol jagung
merupakan salah satu dari biomassa lignoselulosa. Biomassa
lignoselulosa merupakan substrat yang kompleks karena terdiri dari
campuran polimer karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), lignin dan
senyawa-senyawa yang larut dalam air (abu). Kadang-kadang disebutkan
holoselulosa, istilah ini digunakan untuk menyebutkan total karbohidrat
yang dikandung di dalam biomassa dan meliputi selulosa dan
hemiselulosa.
5
Perbedaan tongkol jagung dari jenis yang berbeda akan
menyebabkan perbedaan komposisi selulosanya. Tabel 1 menunjukkan
komposisi lignoselulosa tongkol jagung. Pada sumber lain, tongkol jagung
disebutkan mempunyai kandungan selulosa 40%, hemiselulosa 36%,
lignin 16% dan lainnya 6% (Alfarizy, 2009).
Tabel 1. Komposisi lignoselulosa tongkol jagung
Komponen Lignoselulosa Tongkol Jagung
Lignin (%) 23,74
Selulosa (%) 65,96
Hemiselulosa (%) 10,82
Sumber: Richana dkk. (2006).
Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu
selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Komposisi lignoselulosa dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a. Selulosa
Selulosa sangat erat berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin
dalam lignoselulosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun
dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman
tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002).
Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan -1,4 glukosida
dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu
dimer dari glukosa. Selulosa terdiri atas 15-14.000 unit molekul glukosa
Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan
6
hidrogen dan gaya van der Waals (Coughlan, 1989). Panjang molekul
selulosa ditentukan oleh jumlah unit glukan di dalam polimer, disebut
dengan derajat polimerisasi. Derajat polimerasi (DP) selulosa tergantung
pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 2000 – 27000 unit
glukan. Selulosa terdiri dari daerah kristalin dan daerah amorf (non-
kristalin) yang membentuk suatu struktur dengan kekuatan tegangan
tinggi, yang pada umumnya tahan terhadap hidrolisis enzimatik terutama
pada daerah kristalin. Selulosa tidak larut dalam air dingin maupun air
panas serta asam panas dan alkali panas.
Ikatan -1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi
monomer glukosa dengan cara hidrolisis asam atau enzimatis.
Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi etanol.
Berikut struktur selulosa ditunjukkan dalam gambar 1.
Gambar 1. Struktur selulosa
(sumber:http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html)
7
b. Hemiselulosa
Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula.
Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa,
hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula
penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon 5 (C-5) dan 6
(C-6), misalnya: xylosa, mannose, glukosa, galaktosa, arabinosa, dan
sejumlah kecil ramnosa, asam glukoroat, asam metal glukoronat, dan
asam galaturonat. Xylosa adalah salah satu gula C-5 dan merupakan gula
terbanyak kedua di di biosfer setelah glukosa. Kandungan hemiselulosa di
dalam biomassa lignoselulosa berkisar antara 11% hingga 37 % (berat
kering biomassa). Berikut struktur gula penyusun hemiselulosa yang
ditunjukkan oleh gambar 2.
Gambar 2. Beberapa gula penyusun hemiselulosa (sumber:
http://isroi.wordpress.com/2008/11/23/karakteristik-lignoselulosa/)
8
Struktur hemiselulosa dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan
komposisi rantai utamanya yaitu (1) D- xilan yaitu 1-4 xilosa; (2) D-
manan yaitu (1–4) -D-mannosa; (3) D-xiloglukan dan (4) D-galaktan yaitu
1-3 -D-galaktosa. Hemiselulosa mudah disubtitusi dengan berbagai
karbohidrat lain atau residu non karbohidrat. Karena berbagai rantai
cabang yang tidak seragam menyebabkan senyawa ini secara parsial
larut air. Perbedaan selulosa dengan hemiselulosa yaitu hemiselulosa
mempunyai derajat polimerisasi rendah (50 – 200 unit) dan mudah larut
dalam alkali, tetapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa
sebaliknya.
c. Lignin
Lignin adalah zat yang bersama-sama dengan selulosa adalah
salah satu sel yang terdapat dalam kayu. Lignin merupakan suatu
makromolekul kompleks, suatu polimer aromatik alami yang bercabang –
cabang dan mempunyai struktur tiga dimensi yang terbuat dari fenil
propanoid yang saling terhubung dengan ikatan yang bervariasi. Lignin
membentuk matriks yang mengelilingi selulosa dan hemiselulosa,
penyedia kekuatan pohon dan pelindung dari biodegradasi. Lignin sangat
resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun
kimia.
Pada biomassa lignoselulosa hanya selulosa dan hemiselulosa
yang bisa diolah menjadi monosakarida untuk pembuatan etanol. Adanya
lignin pada produksi bioetanol dapat mengganggu proses hidrolisis
enzimatis dalam mengubah selulosa menjadi glukosa. Lignin mempersulit
kerja enzim dalam mengakses keberadaan selulosa. Lignin harus
dipisahkan dari selulosa dengan pretreatment atau perlakuan awal
terhadap bahan baku.
9
2. Enzim
Enzim adalah suatu katalisator biologis yang dihasilkan oleh
sel-sel hidup dan dapat membantu mempercepat bermacam-macam
reaksi biokimia (Ristiati, 2000). Enzim Enzim-enzim sering juga disebut
sebagai molekul yang bekerja atas karakter dan fungsinya masing-
masing.
Hal yang utama dalam teori mengenai mekanisme kerja enzim
adalah konsep bentuk teraktifkan substrat yang terjadi setelah
pembentukan kompleks enzim-substrat yang reaktif. Aktivasi
memungkinkan substrat diubah oleh kerja enzim. Terjadinya aktivasi
molekul substrat ini disebabkan oleh afinitas kimiawi substrat yang tinggi
terhadap daerah-daerah tertentu pada permukaan enzim yang disebut
situs aktif. Ketegangan atau distorsi yang dihasilkan pada beberapa ikatan
pada molekul substrat membuatnya labil (tidak mantap), dan karenanya
mengalami perubahan sebgaimana ditentukan oleh enzim yang
bersangkutan. Molekul-molekul yang telah mengalami perubahan itu tidak
lagi mempunyai afinitas terhadap situs-situs aktif tersebut dan karenanya
dilepaskan. Enzimnya kemudian bebas untuk bergabung lagi dengan
substrat berikutnya dan demikianlah proses tersebut berulang.
Fungsi utama suatu enzim ialah mengurangi energi aktivasi
pada suatu reaksi kimiawi. Yang dimaksud dengan energi aktivasi adalah
jumlah energi yang dibutuhkan untuk membawa suatu substansi ke situs
reaktifnya. Enzim bergabung dengan substrat membentuk suatu status
transisi yang membutuhkan energi aktivasi lebih kecil untuk
berlangsungnya reaksi kimiawi tersebut. (Pelczar, 1986, 318). Reaksi
umumnya ialah:
10
Dimana:
E : enzim
S : substrat
ES: kompleks enzim-substrat
P : produk
Enzim tersusun atas protein dan bagian non protein. Protein
penyusun enzim dapat berupa protein sederhana atau protein yang terikat
pada gugusan non protein. Banyak enzim yang hanya terdiri protein saja,
misal tripsin. Dialisis enzim dapat memisahkan bagian-bagian protein,
yaitu bagian protein yang disebut apoenzim dan bagian nonprotein yang
berupa koenzim, gugus prostetis dan kofaktor ion logam. Masing-masing
bagian tersebut apabila terpisah menjadi tidak aktif. Apoenzim apabila
bergabung dengan bagian nonprotein disebut holoenzim yang bersifat
aktif sebagai biokatalisator. Koenzim dan gugus prostetik berfungsi sama.
Koenzim adalah bagian yang terikat secara lemah pada apoenzim
(protein). Gugus prostetik adalah bagian yang terikat dengan kuat pada
apoenzim. Koenzim berfungsi menentukan jenis reaksi kimia yang
dikatalisis enzim. Ion logam merupakan komponen yang sangat penting,
diperlukan untuk memantapkan struktur protein dengan adanya interaksi
antar muatan (Sadikin, 2002)
Sistem klasifikasi internasional membagi enzim sesuai dengan
fungsinya sebagai berikut :
a. Oksidoreduktase, merupakan reaksi-reaksi redoks dan bereaksi
pada gugus hidroksil alkohol, gugus keton, ikatan-ikatan rangkap
ikatan C-N dan sebagainya.
b. Transferase, mentransfer gugus-gugus fungsional seperti gugus C1,
aldehid, keton dan glikosil.
11
c. Hidrolase, memecah secara hidrolisir ester, glikosida, peptida dan
sebagianya
d. Liase, mempengaruhi adisi pada ikatan-ikatan rangkap
e. Isomerase, mengkatalisasi reaksi-reaksi isomerase
f. Ligase, mempengaruhi pembentukan ikatan-ikatan baru selama
pemecahan ATP.
Enzim-enzim juga diproduksi di dalam sel-sel tetapi mereka dapat
pula bekerja di luar sel, dan dapat dipisahkan dari sel-sel tanpa
kehilangan reaktivitasnya. Tergantung pada tempat reaksinya, enzim-
enzim dibagi menjadi endo-enzim, yang bereaksi di dalam sel dan
mengendalikan proses metabolisme internal, dan ekso-enzim, dikeluarkan
oleh sel untuk mendegradasi substrat yang tidak larut menjadi produk-
produk yang larut yang dapat berdifusi melalui selaput sel.
Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai biokatalis dalam
sel hidup. Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah (1) dapat
meningkatkan produk beribu kali lebih tinggi; (2) bekerja pada pH yang
relatif netral dan suhu yang relatif rendah; dan (3) bersifat spesifik dan
selektif terhadap subtrat tertentu. Enzim dapat diisolasi dari hewan,
tumbuhan dan mikroorganisme (Wirahadikusumah, 1986).
Protein adalah bagian utama enzim yang dihasilkan sel, maka
semua hal yang dapat mempengaruhi protein dan sel akan berpengaruh
terhadap reaksi enzimatik. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas
enzim adalah sebagai berikut:
1. Substrat (reaktan)
Kecepatan reaksi enzimatik umumnya dipengaruhi kadar substrat.
Penambahan kadar substrat sampai jumlah tertentu dengan jumlah
12
enzim yang tetap, akan mempercepat reaksi enzimatik sampai
mencapai maksimum. Penambahan substrat selanjutnya tidak akan
menambah kecepatan reaksi.
Kecepatan reaksi enzimatik juga dipengaruhi kadar enzim, jumlah
enzim yang terikat substrat (ES) dan konstanta Michaelis (Km). Km
menggambarkan kesetimbangan disosiasi kompleks ES menjadi
enzim dan substrat. Nilai Km kecil berarti enzim mempunyai afinitas
tinggi terhadap substrat maka kompleks ES sangat mantap, sehingga
kesetimbangan reaksi kearah kompleks ES. Apabila nilai Km besar
berarti enzim mempunyai afinitas rendah terhadap substrat, sehingga
kesetimbangan reaksi kearah E + S.
2. Suhu
Seperti reaksi kimia pada umumnya, maka reaksi enzimatik
dipengaruhi oleh suhu. Kenaikan suhu sampai kondisi optimum yaitu
kondisi dimana reaksi menghasilkan laju reaksi yang maksimum akan
menghasilkan suhu optimum untuk reaksi enzimatik tersebut. Suhu
optimum enzim berkisar 37-40° C. Protein akan mengalami kerusakan
(terdenaturasi) pada suhu diatas 50° C.
3. Keasaman (pH)
pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Daya katalisis enzim
menjadi rendah pada pH rendah maupun tinggi, karena terjadinya
denaturasi protein enzim. Enzim mempunyai gugus aktif yang
bermuatan positif (+) dan negatif (-). Aktivitas enzim akan optimum
kalau terdapat keseimbangan antara kedua muatannya. Pada
keadaan masam muatannya cenderung positif, dan pada keadaan
basis muatannya cenderung negatif sehingga aktivitas enzimnya
menjadi berkurang atau bahkan menjadi tidak aktif. pH optimum untuk
13
masing-masing enzim tidak selalu sama. Sebagai contoh amilase
jamur mempunyai pH optimum 5,0, dan selulase mempunyai pH
optimum 4,8.
4. inhibisi (penghambat)
Inhibitor enzim adalah zat atau senyawa yang dapat menghambat
enzim dengan beberapa cara penghambatan sebagai berikut:
a. Inhibisi kompetitif
Penghambatan disebabkan oleh senyawa tertentu yang
mempunyai struktur mirip dengan substrat saat reaksi enzimatik
akan terjadi. Misalnya asam malonat dapat menghambat enzim
dehidrogenase suksinat pada pembentukan asam fumarat dari
suksinat. Struktur asam suksinat mirip dengan asam malonat. Dalam
reaksi ini asam malonat bersaing dengan asam suksinat (substrat)
untuk dapat bergabung dengan bagian aktif protein enzim
dehidrogenase. Penghambatan oleh inhibitor dapat dikurangi dengan
menambah jumlah substrat sampai berlebihan. Daya
penghambatannya dipengaruhi oleh kadar penghambat, kadar
substrat dan aktivitas relatif antara penghambat dan substrat.
b. Inhibisi non kompetitif
Pada penghambatan nonkompetitif tidak terjadi persaingan
antara zat penghambat dengan substrat. Misalnya enzim sitokrom
oksidase dihambat oleh CO (karbon monoksida) dengan mengikat
Fe yang merupakan gugusan aktif enzim tersebut. Zat-zat kimia
tertentu mempunyai afinitas yang tinggi terhadap ion logam
penyusun enzim. Senyawa-senyawa seperti sianida, sulfida, natrium
azida, dan karbon monoksida adalah senyawa penghambat untuk
enzim yang mengandung Fe, yaitu dengan terjadinya reaksi antara
14
senyawa-senyawa tersebut dengan ion Fe yang menyebabkan
enzim menjadi tidak aktif. Merkuri (Hg) dan perak (Ag) merupakan
penghambat enzim yang mengandung gugusan sulfhidril (-SH).
Penghambatan nonkompetitif tidak dapat dikurangi dengan
penambahan jumlah substrat, oleh karena daya penghambatannya
dipengaruhi oleh kadar penghambat dan afinitas penghambat
terhadap enzim.
c. inhibisi umpan balik (feed back inhibitor)
Penghambatan/inhibisi umpan balik disebabkan oleh hasil akhir
suatu rangkaian reaksi enzimatik yang menghambat aktifitas enzim
pada reaksi pertama. Hasil akhir reaksi juga mempengaruhi
pembentukan enzim, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan: A,B,C,D: substrat enzim a,b,c,d
X: hasil akhir reaksi enzimatik yang menghambat sintesis enzim a.
(Sumarsih, 2008).
Pada banyak organisme, inhibitor dapat merupakan bagian dari
mekanisme umpan balik. Jika enzim memproduksi terlalu banyak
produk, produk tersebut dapat berperan sebagai inhibitor bagi enzim
tersebut. Hal ini akan menyebabkan produksi produk melambat atau
berhenti. Bentuk umpan balik ini adalah umpan balik negatif. Enzim
memiliki bentuk regulasi seperti ini sering kali multimerik dan
mempunyai tapak ikat alosterik. Kurva substrat/kelajuan enzim ini tidak
berbentuk hiperbola melainkan berbentuk S.
15
Sebagai contoh, inhibisi umpan balik yang terjadi pada hidrolisis
selulosa dengan enzim kompleks selulase. Adanya penumpukan
selobiosa pada produk akhir yang disebabkan terbatasnya jumlah
enzim selobiase sehingga menyebabkan inhibisi umpan balik bagi
enzim endoglukanase dan eksoglukanase sehingga kedua enzim
tersebut tidak bekerja secara optimal. Kerja endoglukanase dan
eksoglukanase yang terhambat dapat menyebabkan produk akhir
melambat atau berhenti. Sehingga dihasilkan yield glukosa yang lebih
sedikit dari yang diharapkan.
3. Hidrolisis Enzimatik Selulosa
Dewasa ini, enzim adalah senyawa yang umum digunakan dalam
proses produksi, salah satunya adalah produk hidrolisis. Enzim yang
digunakan pada umumnya berasal dari enzim yang diisolasi dari bakteri.
Penggunaan enzim dalam proses produksi dapat meningkatkan efisiensi
yang kemudian akan meningkatkan jumlah produksi.
Salah satu enzim yang diisolasi dari mikroorganisme adalah enzim
selulase. Enzim selulase merupakan suatu enzim kompleks terdiri dari 3
komponen besar yaitu:
Enzim-enzim endo-β-1,4-glukanase atau disebut komponen Cx.
Enzim ini mempengaruhi secara serentak ikatan β-1,4 di dalam
makromolekul dan menghasilkan potongan-potongan besar
berbentuk rantai dengan ujung-ujung bebas. Endoglukanase yang
sering disebut karboksimetilselulosa (CM)-selulase, berperan
dalam memulai serangan acak pada sisi internal daerah amorf dari
serat selulosa sehingga sisi yang terbuka dapat diserang oleh
16
selobiohidrolase. Enzim ini dapat memutuskan ikatan selulosa
secara random menghasilkan glukosa dan selooligosakarida.
Enzim ekso-β-1,4-glukanase atau sering disebut komponen C1.
Eksoglukanase memotong ujung-ujung rantai individu selulosa.
Ekso-1,4--glukanase atau selobiohidrolase menyerang bagian luar
non-reducing end dari selulosa sehingga dihasilkan selobiosa
sebagai struktur utamanya. Ekso-1,4--glukanase adalah
komponen utama dari sistem selulase fungi yakni sekitar 40-70%
dari total protein selulase dan mampu menghidrolisis daerah
kristalin sehingga menghasilkan selobiosa dari ujung pereduksi dan
non pereduksi. Ekso-1,4--glukanase memisahkan mono- dan
dimer dari ujung rantai glukosa.
Enzim-enzim selobiose atau β-glukosidase menghidrolisis
selobiosa dengan membentuk glukosa dan dalam beberapa kasus
mengubah selooligosakarida menjadi glukosa. Gambar 3
menunjukkan struktur selulosa serta gambar 4 menunjukkan
tahapan enzim selulase dalam menghidrolisis selulosa (selulolisis)
Gambar 3. Struktur selulosa dengan ujung-ujung pereduksi dan non
pereduksi
17
Gambar 4. Skema tahapan dalam selulolisis
(sumber: fao.org, 2005)
Secara keseluruhan terdapat tiga jenis reaksi yang dikatalisis oleh
selulase :
1) Memotong interaksi nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang
ada dalam struktur kristal selulosa oleh enzim endo-selulase,
18
2) Hidrolisis serat selulosa menjadi sakarida yang lebih sederhana
oleh ekso-selulase, dan
3) Hidrolisis disakarida dan tetrasakarida menjadi glukosa oleh enzim
β-glukosidase. Ketiga reaksi tersebut dijelaskan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Mekanisme keseluruhan kerja enzim selulase
Beberapa mikroorganisme yang menghasilkan selulase antara lain
fungi (Aspergillus niger, A. fumigatus, A. aculeatus, Acremonium
cellulolyticus, Fusarium solani, Irpex lacteus, Penicillium funmiculosum,
Phanerochaete, Chrysosporium, Schizophyllum commune, Sclerotium
rolfsii, Sporotrichum cellulophillum, Talaromyces emersonii, Thielavia
terrestris, Trichoderma koningii, T. reesii dan T. viride). Selain itu bakteri
Clostridium thermocellum, Ruminococcus albus, Streptomyces sp. serta
Actinomycetes seperti Streptomyces sp. dan Thermomonospora curvata
dapat juga memproduksi enzim selulase.
19
Genus Trichoderma dan Aspergillus menghasilkan selulase dan
enzim kasar yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut diproduksi
secara komersial. Mikroorganisme dari genus Trichoderma menghasilkan
sejumlah besar endo--glukanase dan ekso-β-glukanase, tapi hanya
sedikit menghasilkan -glukosidase. Sedangkan Aspergillus memproduksi
endo- -glukanase dan -glukosidase dalam jumlah besar, tapi sedikit
menghasilkan ekso--glukanase (Fao, 2005). β-glukosidase adalah enzim
glukosidase yang memutuskan ikatan β(1-4) glikosida antara 2 glukosa
atau molekul pengganti glukosa yang lain seperti selobiosa atau dikatakan
enzim selobiase.
Trichoderma reesei adalah jamur mesofilik yang termasuk dalam
jenis jamur berbentuk filamen. Trichoderma reesei memiliki kemampuan
mensekresikan sejumlah besar enzim selulolitik, seperti selulase dan
hemiselulase. Komponen utama dari sistem selulase Trichoderma reesei
adalah kedua jenis enzim selobiohidrolasenya, yaitu CBHI dan CBHII,
yang berjumlah total 80% dari total protein selulase yang dihasilkan (Lynd
et al, 2002). Aplikasi selulase sangat terpakai di dunia industri, dimana
enzim ini dapat mengkonversi materi biomassa suatu tumbuhan seperti
selulosa menjadi bioproduk yang berguna seperti gula (glukosa) dan
bioethanol.
20
Gambar 6. Trichoderma reesei (sumber: wikipedia, 2007)
Bakteri lain penghasil selulase adalah Aspergillus niger. Aspergillus
niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo
Eurotiales, sub-klas Plectomycetidae, klas Ascomycetes, sub-divisi
Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Pelczar dkk, 1986). Aspergillus
niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, dipak secara
padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini
mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya bersepta, spora yang bersifat
seksual dan tumbuh memanjang di alas stigma, mempunyai sifat aerobik,
sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup.
Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan
maksimum pada suhu 35 °C - 37 °C. Derajat keasaman untuk
pertumbuhannya adalah 2 - 8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada
kondisi keasaman atau pH yang rendah (Fardiaz, 1989). Keuntungan
fermentasi substrat menggunakan kapang adalah pertumbuhan kapang
dapat toleran terhadap keadaan pH. Aspergillus niger dapat tumbuh
dengan cepat, diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi
asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase,
pektinase, amiloglukosidase dan selulase. .
Gambar 7. Aspergillus niger (Wikipedia, 2005)
21
Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung
dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat. Molekul sederhana
yang terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul
yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel.
Pemecahan kompleks dapat dilakukan dengan menghasilkan beberapa
enzim ekstraseluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh
Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur
sel dan mobilitas sel.
Hidrolisis enzimatik selulosa merupakan proses pemecahan
struktur selulosa menjadi satuan-satuan monomernya yaitu glukosa
dengan bantuan enzim. Hidrolisis dengan enzim menghasilkan % hasil
yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan asam.
Hidrolisis selulosa secara enzimatik lebih baik dibandingkan secara
kimiawi (mengggunakan asam). Hidrolisis menggunakan asam memiliki
beberapa permasalahan, yaitu hasil rendemen etanol yang kecil,
memakan biaya produksi yang besar karena menggunakan bahan kimia
yang mahal, menimbulkan masalah korosi dan bersifat kurang ramah
lingkungan. Hidrolisa selulosa secara enzimatis memiliki beberapa
keuntungan, yakni konversi lebih tinggi, menghasilkan produk samping
yang minimal, kebutuhan energi lebih rendah dan kondisi operasi yang
relatif lebih rendah. Proses enzimatis merupakan proses bersih
lingkungan (Gozan, 2007).
Tahapan hidrolisis dapat dilakukan dengan batch kultur hidrolisis
yaitu hidrolisis secara kontinyu tanpa penambahan substrat selama
hidrolisis berlangsung. Sedangkan fed batch hidrolisis adalah hidrolisis
dengan penambahan substrat dalam interval tertentu selama proses
hidrolisis berlangsung. selama fermentasi dalam interval tertentu (Nur
Hidayat, 2006).
22
4. Fermentasi
Arti fermentasi pada bidang biokimia dihubungkan dengan
pembangkitan energi oleh katabolisme senyawa organik. Sedangkan
pada bidang mikrobiologi industri, fermentasi mempunyai arti yang lebih
luas, yang menggambarkan setiap proses untuk menghasilkan produk
dari pembiakan mikroorganisme.
Menurut Saono (1974) fermentasi adalah segala macam proses
metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk
melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga
terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu, dan menyebabkan terjadinya perubahan
sifat bahan tersebut (Winarno dkk., 1980). Selanjutnya Shurleff dan
Aoyagi (1979) menyatakan bahwa proses fermentasi adalah suatu
aktivitas mikroorganisme terhadap senyawa molekul organik komplek
seperti protein, karbohidrat, dan lemak yang mengubah senyawa-
senyawa tersebut menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, mudah
larut dan kecernaannya tinggi .
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba
penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai (Winarno, dkk.
1980). Fermentasi menurut Sungguh (1993) adalah proses penguraian
unsur organik kompleks terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi
melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang biasanya
terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas.
23
Bahan baku energi yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme
ialah glukosa.
Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam
fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman
beralkohol lainnya.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula
yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa
(C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi
akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan
oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan.
Persamaan reaksi kimia dari fermentasi adalah sebagai berikut:
C6H12O6 (gula) → 2C2H5OH (alkohol) + 2CO2 (karbon dioksida) + 2 ATP
Reaksi ini merupakan dasar dari pembuatan tape, brem, anggur
minuman lain-lain. (Fessenden and Fessenden, 1982). Pada proses ini
glukosa difermentasikan dengan enzim zimase invertase yang dihasilkan
oleh Sacharomyces cereviseae. Fungsi enzim zimase adalah untuk
memecah polisakarida (pati) yang masih terdapat dalam proses hidrolisis
untuk diubah menjadi monosakarida (glukosa). Sedangkan enzim
invertase selanjutnya mengubah monosakarida menjadi alkohol dengan
proses fermentasi. Pada awal fermentasi masih diperlukan oksigen untuk
pertumbuhan dan perkembangan Sacharomyces cereviseae, tetapi
kemudian tidak dibutuhkan lagi karena kondisi proses yang
diperlukan adalah anaerob.
Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua
yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi
medium cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau
24
tersuspensi di dalam fase cair (Hardjo et al., 1989). Fermentasi medium
padat atau solid state fermentation (SSF) merupakan fermentasi yang
berlangsung dalam substrat terlarut namun mengandung air yang cukup
sekalipun tidak mengalir bebas. Keuntungan penggunaan medium padat
antara lain:
1) tidak memerlukan tambahan lain kecuali air,
2) persiapan inokulum lebih sederhana,
3) dapat menghasilkan produk dengan kepekatan tinggi,
4) kontrol terhadap kontaminan lebih mudah,
5) kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah,
6) produktifitas tinggi,
7) aerasi optimum,
8) tidak diperlukan kontrol terhadap pH maupun suhu yang teliti (Hardjo
dkk., 1989).
5. Pretreatment/perlakuan awal Lignoselulosa
Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan
teknologi biokonversi dalam skala komersial (Mosier, et al., 2005).
Pretreatment merupakan tahapan yang banyak memakan biaya dan
berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai contoh
pretreatment yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan
dalam proses hidrolisis. Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang
diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%,
sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil
25
teoritis. Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur
lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang
memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Sellulosa secara
alami diikat oleh hemisellulosa dan dilindungi oleh lignin dalam bahan-
bahan lignoselulosa. Adanya senyawa pengikat lignin inilah yang
menyebabkan bahan-bahan lignosellulosa sulit untuk dihidrolisa
(Iranmahboob et al., 2002). Tujuan pretreatment secara skematis
ditunjukkan pada Gambar 8.
Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment
telah dipelajari melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Menurut (Sun &
Cheng, 2002) pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:
1) meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula
pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik; 2) menghindari
degradasi atau kehilangan karbohidrat; 3) menghindari pembentukan
produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi,
4) biaya yang dibutuhkan ekonomis.
Gambar 8. Skema tujuan pretreatment biomassa lignoselulosa
26
(Mosier, et al., 2005)
Pretreatment pada bahan-bahan lignoselulosa dapat dilakukan
menggunakan mechanical pretreatment dan chemical pretretment.
Mechanical pretreatment bertujuan untuk memecah/memperkecil ukuran
dari limbah lignoselulosa. Pemecahan dilakukan hingga berukuran partikel-
partikel. Mechanical pretreatment dapat meningkatkan ketercernaan dari
selulosa dan hemiselulosa pada biomassa lignoselulosa.
Sedangkan untuk pretreatment kimiawi, penggunaan H2SO4
0.5% optimal untuk pretreatment dari limbah-limbah sayuran. Konsentrasi
H2SO4 yang lebih tinggi lagi (sampai 2.5 M) menunjukkan bahwa tidak
hanya dapat menghidrolisis selulosa dan hemiselulosa, tetapi juga mampu
memisahkan lignin dan komponen senyawa organik lainnya yang terdapat
dalam limbah lignoselulosa (Mtui, 2009). Selanjutnya dihasilkan residu
selulosa yang kemudian mengalami tahapan hidrolisis secara enzimatik.
B. Eksperimen
1. Bahan
Bahan baku berbasis selulosa yang digunakan adalah tongkol
jagung yang telah dikeringkan dan diayak menjadi partikel-partikel
berukuran diameter 2mm. Mikroorganisme yang digunakan adalah T.
reesei ZU-02 (asli dari ATCC 56764) digunakan untuk produksi
selulase. A. niger ZU-07 (didapatkan dari The laboratory of Renewable
Resource Engineering, Purdue University) digunakan untuk produksi
selobiase. Saccharomyces cerevisiae 316 (disimpan oleh The
Laboratory of Biochemical Engineering, Zhejiang University)
digunakan untuk fermentasi etanol. Media pertumbuhan yang
digunakan untuk menumbuhkan strain S. cerevisiae terbuat dari 30
27
glukosa 30 g l-1, pepton 5 g l-1, ekstrak ragi 3 g l-1. Kemudian digunakan
3 g l-1 ekstrak ragi dan 0.25 g l-1 (NH4)2HPO4, sebagai media fermentasi
etanol.
2. Prosedur Penelitian
a. Perlakuan awal (pretreatment)
Bahan dikeringkan dan diayak menjadi butiran partikel
berdiameter 2 mm. Kemudian ditambahkan H2SO4 1% dengan
perbandingan solid-liquid 1:6. Campuran tersebut dipanaskan pada
suhu 108°C dan dibiarkan selama 3 jam kemudian disaring. Residu
selulosa dicuci dengan air pada pH 4.8 dan dikeringkan. Residu
selulosa tersebut mengandung komposisi: selulosa 59.4%,
hemiselulosa 6.5%, lignin 22.2% dan lainnya 11.9%.
b. Produksi selulase
Selulase diproduksi dengan fermentasi substrat padat (solid-
state fermentation) berdasarkan pada metode Xia (Xia and Chen,
1999). Mula-mula spora T. reesei ZU-02 diinokulasi ke dalam media
pertumbuhan dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 48 jam dibawah
kondisi aerobik. Untuk proses solid-state fermentation, 10% cairan
media pertumbuhan diinokulasi ke dalam media padat (tebal 5 cm)
dengan spora T. reesei yang telah ditumbuhkan pada labu erlenmeyer
1000 mL dan dikultur di dalam inkubator pada suhu 28-30° C selama 7
hari. Setiap gram koji kering (produk dari solid state fermentation)
mengandung aktivitas kertas saring (filter paper activity) sebesar 146
IU per FPU dan aktivitas selobiase sebesar 12 IU per CBU.
c. Produksi selobiase
28
Selobiase diproduksi berdasarkan metode Shen (Shen and Xia,
2004) . Media padat diinokulasi dengan suspensi spora A. Niger ZU-07
dan dikultur pada suhu 30°C selama 3 hari. Produk koji dengan solid
state fermentation mengandung 376 CBU g-1 koji kering dan tidak
terdeteksi adanya aktivitas kertas saring (FPU).
d. Hidrolisis enzimatik dari residu selulosa
Hidrolisis batch enzimatik
Hidrolisis enzimatik dari residu selulosa tongkol jagung
dilakukan secara batch. Proses batch ditunjukkan dengan
menggunakan labu Erlenmeyer 250 mL, yang mengandung
campuran 100 mL air murni dan substrat padat, dimana sebagai
substrat adalah residu selulosa. Selulase dari T. reesei ZU-02 dan
selobiase dari A. niger ZU-07 digunakan untuk hidrolisis enzimatik.
pH dan temperatur yang digunakan, secara berurutan adalah 4.8
dan 50°C. Labu diinkubasi dengan menggunakan orbital shaker
pada kecepatan 160 rpm. Waktu inkubasi diatur selama 48 jam.
Hidrolisis fed-batch enzimatik
Hidrolisis fed batch enzimatik dilaksanakan pada pH 4.8 dan
suhu 50°C dalam reaktor 5L dengan volume kerja 3L. Percobaan
atau eksperimen ini dimulai dengan jumlah substrat awal sebesar
100 g l-1 substrat yang mengandung muatan enzim sebesar 20
FPU g-1 substrat dan 6.5 CBU g-1 substrat. Residu selulosa
ditambahkan dua kali pada jam ke-6 dan ke-12 untuk mendapatkan
konsentrasi akhir substrat 200 g l-1, dengan menambahkan
sejumlah enzim selulase dan selobiase (muatan/jumlah enzim 10
FPU g-1 fed substrat dan 6.5 CBU g-1 fed substrat). Waktu hidrolisis
total diatur selama 60 jam.
29
e. Fermentasi etanol dari hasil hidrolisis selulosa
Inokulum disiapkan dengan memasukkan biakan sel S.
cerevisiae 316 ke dalam labu 250 mL yang mengandung 50 mL media
pertumbuhan (glukosa 30 g l-1, pepton 5 g l-1, ekstrak ragi 3 g l-1) dan
diinkubasi pada suhu 30°C selama 24 jam. Sel dipanen dengan
sentrifugasi dengan kecepatan 4800 rpm selama 5 menit, disuspensi
di dalam air steril dan digunakan untuk inokulasi media fermentasi.
Hasil hidrolisis selulosa (produk dari hidrolisis selulosa) yang
didapatkan dari hidrolisis fed-batch, ditambahkan dengan 3 g l-1
ekstrak ragi dan 0.25 g l-1 (NH4)2HPO4, dimana keduanya digunakan
sebagai media fermentasi. Fermentasi etanol dilaksanakan pada suhu
30°C di bawah kondisi anaerob, dengan 0.5 mL suspensi sel
diinokulasi ke dalam labu 100 mL dengan volume kerja 50 mL.
f. Metode analisis
Enzim dari koji diekstrak dengan air dengan perbandingan
volume 50 kali dengan enzim pada temperatur ruangan selama 6 jam
dan kemudian disaring. Ekstrak enzim disentrifugasi pada kecepatan
4000 rpm selama 10 menit dan supernatan nya digunakan untuk
pengujian enzim. Aktivitas kertas saring dan aktivitas selobiase
ditetapkan berdasarkan Standard International Union of Pure and
Applied Chemistry (IUPAC) prosedur (Ghose, 1987). Aktivitas kertas
saring diuji dengan menginkubasi campuran reaksi yang mengandung
selembar (strip) kertas saring Whatman no. 1 (1 x 6 cm) kemudian
dicelupkan ke dalam 1 mL Buffer sitrat 0.05 M dan 0.5 mL larutan
enzim cair pada suhu 50°C selama 30 menit. Satu unit aktivitas kertas
saring (FPU) diartikan sebagai jumlah enzim yang membentuk 1 µmol
glukosa (glukosa sebagai gula pereduksi) per menit dibawah kondisi
30
pengujian. Aktivitas selobiase diuji pada campuran reaksi yang
mengandung 1 mL dari 15 mM larutan selobiosa (disiapkan dalam
Buffer sitrat 0.05 M; pH 4.8) dan 1 mL larutan enzim cair pada suhu
50°C selama 30 menit. Satu unit aktivitas selobiase (CBU) adalah
jumlah enzim yang membentuk 2 µmol glukosa per menit dari
selobiosa.
Gula pereduksi diuji dengan menggunakan metode asam 3,5-
dinitrosalisilat (DNS) (Ghose, 1987). Glukosa, xilosa, selobiosa,
arabinosa, etanol dan gliserol dianalisis dengan HPLC (Syltech model
500 pump, USA) dengan kolom asam organik (TRANSGENOMIC
ICSep ICE-COREGEL 87H3 Column) dan sebagai fasa geraknya
adalah air dengan laju alir 0.5 mL/menit. Temperatur kolom diatur pada
suhu 60°C. Eluat dideteksi oleh detektor refractive index (Spectra-
Physics 6040 XR RI detector).
Hasil hidrolisis enzimatik dihitung di bawah ini:
Hasil hidrolisis (%) = Pemecahan gula x 0.9 x 100/ polisakarida dalam
substrat.
C. Diskusi
1. Hidrolisis batch enzimatik dari residu selulosa
a. Pengaruh konsentrasi substrat
Pengaruh konsentrasi substrat pada hidrolisis enzimatik telah
ditetapkan pada rasio yang tetap antara selulase terhadap substrat
dari T. reesei ZU-02 (aktivitas selulase) adalah 20 FPU g-1 substrat dan
1.64 CBU g-1 substrat. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 9,
konsentrasi gula pereduksi dan % hasil hidrolisis ditunjukkan dengan
kecenderungan variasi yang berlawanan, contohnya dengan
31
meningkatnya konsentrasi substrat, konsentrasi gula pereduksi
meningkat akan tetapi % hasil hidrolisisnya menurun.
Gambar 9. pengaruh konsentrasi substrat pada hidrolisis enzimatik dari
selulase T.reseei ZU-02 pada rasio tetap (20 FPU g-1 substrat; 1.64 CBU g-1
substrat)
Hal ini dikarenakan terbentuknya produk akhir inhibisi umpan
balik yang disebabkan oleh konsentrasi gula pereduksi yang tinggi
(Wen dkk., 2004). Dengan memasukkan konsentrasi gula pereduksi
dan % hasil hidrolisis ke dalam perhitungan, maka diperoleh
konsentrasi substrat optimal adalah 100 g l-1.
b. Pengaruh takaran selulase
Jika dilihat dari segi biaya, kontribusi dari selulase sangat
signifikan untuk biaya total proses konversi biomassa, sehingga untuk
mengefesienkan biaya maka takaran selulase harus diminimalkan
sebanyak mungkin. Pengaruh takaran selulase ini ditunjukkan dengan
proses hidrolisis dengan penggunaan substrat sebesar 100 g l-1
substrat dan adanya perbedaan takaran T. reesei ZU-02 selulase
32
(ditunjukkan sebagai FPU g-1 substrat) pada pH 4.8 dan suhu 50°C
dan hasilnya ditunjukkan pada gambar 10.
Konsentrasi gula pereduksi dan % hasil hidrolisis memiliki
kecenderungan variasi yang sama, bahwa adanya peningkatan secara
tajam antara keduanya dengan variasi takaran selulase dari 10 sampai
20 FPU g-1 substrat dan melandai dari 20 sampai 30 FPU g-1 substrat.
Gambar 10. Pengaruh takaran selulase dari T. reesei ZU-02 pada hidrolisis
enzimatik (dalam FPU g-1 substrat).
c. Pengaruh waktu hidrolisis dengan enzim selulase dari T. reesei ZU-
02
100 g l-1 residu selulosa dihidrolisis dengan selulase dari T.
reesei ZU-02 (20 FPU g-1 substrat; 1.64 CBU g-1 substrat) pada pH 4.8
dan 50°C selama 60 jam. Glukosa, xilosa, arabinosa, dan selobiosa
dihasilkan selama hidrolisis dan dianalisa dengan HPLC dengan
selang interval 12 jam. Konsentrasi gula pereduksi mencapai 49.4 g l-1
dan % hasil hidrolisis yang diperoleh adalah 67.5% selama 48 jam
(Tabel 2). Xilosa dan arabinosa dideteksi keluar dalam hidrolisa, yang
menunjukkan hadirnya xylanase dalam T. reesei ZU-02 selulase.
33
-1,4-endoglukanase dan β-1,4-eksoglukanase dalam selulase
menghidrolisis rantai selulosa dan hasilnya dalam bentuk selobiosa,
dimana pemecahan lebih lanjut menjadi glukosa dilakukan oleh
selobiase. Glukosa dihasilkan dalam jumlah yang banyak karena
keberadaan selobiase yang rendah dalam T. reesei ZU-02 selulase.
Penumpukan selobiosa menyebabkan inhibisi umpan balik untuk
aktivitas β-1,4-endoglukanase dan β-1,4-eksoglukanase,
menghasilkan % hasil hidrolisis yang rendah.
Tabel 2. Pengaruh waktu hidrolisis dengan enzim selulase dari T. reesei ZU-
02 (20 FPU g-1 substrat; 1.64 CBU g-1 substrat)
Waktu (h)
Konsentrasi gula dalam hidrolisat (g l-1) Gula pereduksi
(g l-1)
% Hasil HidrolisisSelobiosa Glukosa Xylosa Arabinosa
12 3.7 9.0 1.7 0.5 16.9 23.1
24 7.4 16.2 3.9 0.7 30.8 42.1
36 8.6 24.0 5.4 0.7 41.2 56.3
48 11.7 26.9 6.7 0.9 49.4 67.5
60 12.2 28.1 6.9 0.9 51.1 69.8
d). Hidrolisis antara T. reesei ZU-02 selulase dengan A. niger ZU07
selobiase
Untuk melemahkan inhibisi umpan balik yang disebabkan oleh
penumpukan selobiosa, selobiase yang dihasilkan oleh A. niger ZU-07
ditambahkan ke dalam sistem untuk meningkatkan aktivitas total
selobiase. Untuk memberikan takaran selulosa mencapai 20 FPU g-1
substrat, konsentrasi gula pereduksi dan % hasil hidrolisis ditingkatkan
34
dengan meningkatkan aktivitas selobiase sampai 6.5 CBU g-1 substrat.
Tabel pengaruh waktu hidrolisis sinergis antara T. reesei ZU-02
selulase dengan A. niger ZU-07 selobiase dapat dilihat pada tabel 3.
Dari tabel tersebut dapat dengan mudah diketahui konsentrasi
selobiosa yang diperoleh pada level rendah selama keseluruhan
proses hidrolisis. Dapat disimpulkan bahwa selobiosa yang terbentuk
selama proses hidrolisis cepat terhidrolisis menjadi glukosa karena
peningkatan aktivitas selobiase pada sistem hidrolisis. Sehingga
inhibisi umpan balik yang disebabkan penumpukan selobiosa menurun
drastis, dimana dihasilkan konsentrasi gula pereduksi dan % hasil
hidrolisis yang lebih tinggi. Pada waktu hidrolisis selama 48 jam, %
hasil hidrolisis meningkat sampai 83.9% dan konsentrasi gula
pereduksi mencapai 61.4 g l-1.
Tabel 3. Pengaruh waktu hidrolisis antara selulase dari T. reesei ZU-02 dan
selobiase dari A. niger ZU-07 (20 FPU g-1 substrat; 6.5 CBU g-1 substrat)
Waktu (h)
Konsentrasi gula dalam hidrolisat (g l-1) Gula pereduksi
(g l-1)
% Hasil HidrolisisSelobiosa Glukosa Xylosa Arabinosa
12 0.4 18.8 2.3 0.7 24.3 33.2
24 0.6 34.1 4.7 0.8 42.3 57.8
36 0.7 43.7 6.2 0.8 53.7 73.4
48 0.9 50.1 6.9 1.0 61.4 83.9
60 0.9 51.2 6.8 1.0 62.2 84.9
2. Hidrolisis fed-batch dengan selulase dan selobiase
35
Pada produksi etanol dari bahan lignoselulosa, konsentrasi
etanol dalam fermentasi harus setinggi mungkin untuk meminimalkan
konsumsi energi pada penguapan dan destilasi (Wingren dkk., 2003),
dimana memerlukan konsentrasi gula yang tinggi dalam hidrolisis.
Peningkatan konsentrasi substrat pada batch hidrolisis membantu
untuk mendapatkan konsentrasi gula yang tinggi, tetapi juga sering
menyebabkan masalah dalam proses pengadukan (mixing) dan
transfer panas yang disebabkan sifat reologika dari suspensi serat
yang sangat rapat (Rudolf dkk., 2005).
Sementara dalam proses fed-batch hydrolysis, beberapa
masalah dapat dihindari secara efektif karena adanya penambahan
substrat secara bertahap, dan viskositas campuran reaksi dapat dijaga
pada level rendah. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi substrat
meningkat menjadi 200 g l-1 dalam proses fed-batch dan konsentrasi
gula pereduksi mencapai 116.3 g l-1 dengan % hasil hidrolisis 79.5%
setelah 60 jam reaksi (Gambar 11).
Gambar 11. Pengaruh waktu fed-batch hidrolisis antara selulase dari T. reesei
ZU-02 dan selobiase dari A. niger ZU-07.
36
Pada grafik diatas konsentrasi gula pereduksi pada hasil
hidrolisis mencapai 95.3 g l-1 dan produksi gula ini dilanjutkan untuk
fermentasi etanol oleh S. cerevisiae. Pada penambahan substrat,
takaran selulase dikurangi menjadi 15 FPU g-1 substrat dalam proses
fed-batch. Kelebihan fed batch hidrolisis dibandingkan batch hidrolisis
adalah waktu reaksi lebih cepat dan produktivitasnya lebih bagus.
3. Fermentasi dari hidrolisis selulosa
Residu selulosa yang kaya akan glukosa yang diperoleh dari
fed-batch hydrolysis kemudian ditambah dengan ekstrak ragi dan
(NH4)2HPO4, yang keduanya digunakan sebagai media fermentasi
untuk fermentasi etanol. Hasilnya mengindikasikan bahwa S.
ceresevisiae 316 dapat dengan mudah mengfermentasikan glukosa
menjadi etanol tetapi tidak dapat memetabolis xylosa disebabkan tidak
adanya xilosa reduktase dan xilitol dehidrogenase (gambar 12).
Gambar 12. Fermentasi hasil hidrolisis selulosa dari fed batch hidrolisis
menggunakan S. cerevisiae 316
37
Sebanyak 95.3% g l-1 glukosa difermentasikan menjadi 45.7%
g l-1 etanol selama 18 jam. Hasil ini ekivalen untuk 94% berdasarkan
hasil teoritis (berdasarkan hasil teoritis 0.51 g etanol/g glukosa)
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini dilakukan hidrolisis selulosa secara enzimatik
terhadap tongkol jagung yang merupakan salah satu biomassa
lignoselulosa. Hidrolisis dilakukan dengan adanya sinergisme antara
enzim selulase dari Trichoderma reesei ZU-02 dengan enzim selobiase
dari Aspergillus niger ZU-07, dan diperoleh % hasil hidrolisis yang lebih
tinggi yaitu dari 67.5% menjadi 83.9%. Selanjutnya, tahap akhir dari
penelitian ini diperoleh etanol yaitu tahapan fermentasi dengan mengubah
glukosa sebesar 95.3 g l-1 menjadi etanol sebesar 45.7 g l-1.
38
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Ming, Liming Xia, ang Pijian Xue. 2007. Enzymatic Hydrolysis of Corncob and Ethanol Production from Cellulosic Hydrolysate. Journal International Biodeterioration & Biodegradation. 59: 85-89.
Coughlan, M. P. 1989. Enzyme System for Lignocellulose Degradation. Elsevier Applied Science. London and New York
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fessenden, Ralp J. Dan Joan S. Fessenden. 1986. Kimia Organik, Edisi III Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Gozan, Misri, Samsuri, M., 2007. Sakarifikasi Dan Fermentasi Bagas Menjadi Ethanol Menggunakan Enzim Selulase Dan Enzim Sellobiase. Jurnal Teknologi, Edisi No. 3, Tahun Xxi, 209−215.
Hardjo, S., N.S. Indrasti, B. Tajuddin. 1989. Biokonveksi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan clan Gizi IPB.
http://alfarizy29.blogspot.com/2009_07_01_archive.html
http://isroi.wordpress.com/2008/11/23/karakteristik-lignoselulosa/
http://sumarsih07.files.wordpress.com/2008/11/iv-enzim-mikroba.pdf
39
http://www.fao.org/docrep/w7241e/w7241e08.htm 2005
http://www.lsbu.ac.uk/water/hycel.html
http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html
Iranmahboob, J., Nadim, F., Monemi, S., 2002. Optimizing acid-hydrlysis: a critical step for production of ethanol from mixed wood chips. Biomass and Bioenergy, 22: 401 – 404.
Lynd L, Weimer P J, Van Zyl W H & Pretorious I S. 2002. Microbial Cellulose utilization: Fundamental and Biotechnology, Microbiol Mol biol Rev. 66:506-557.
Mtui G. 2009. Recent advances in pretreatment of lignocellulosic wastes and production of value added products. African Journal of Biotechnology. 8 (8): 1398-141.
Nur Hidayat, dkk. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: ANDI
Pelczar, Michael J. dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI-Press.
Richana, N., P. Lestina, dan T.T. Irawadi. 2004. Karakterisasi lignoselulosa dari limbah tanaman pangan dan pemanfaatannya untuk pertumbuhan bakteri RXA III-5 penghasil xilanase. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23(3):171-176.
Ristiati, Ni Putu. 2000. Pengantar Mikrobiologi Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sadikin, Mohammad. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta: Widya Medika.
Winarno,F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia.