bioetanol jagung

54
1 PENDAHULUAN Produksi minyak bumi dunia diperkirakan akan turun hingga 20 billion barrels pada tahun 2050. Menurunnya ketersediaan sumber energi bahan bakar minyak bumi menimbulkan adanya usaha-usaha untuk mencari sumber energi alternatif. Sumber energi alternatif yang dicari harus dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Salah satu bentuk energi alternatif yang ditawarkan adalah etanol. Peranan penting etanol sebagai bahan bakar transportasi yang bersih dan aman telah ditingkatkan sebagai antisipasi kekurangan bahan bakar fosil serta mengurangi tingkat pencemaran udara yang disebabkan oleh pemakaian bahan bakar fosil (Moniruzzaman et al., 1997; Sun dan Cheng, 2002). Meningkatnya penggunaan etanol sebagai sumber energi akan meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini teknologi proses pembuatan etanol yang telah mantap adalah dengan teknologi starch-based (Sun and Cheng, 2002) maka dikhawatirkan akan terjadi kompetisi antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan untuk sumber energi (Sun and Cheng, 2002). Selain itu, untuk menggantikan semua kebutuhan bahan bakar minyak dunia saat ini diperlukan luas tanah, lahan pertanian, hutan,

Transcript of bioetanol jagung

Page 1: bioetanol jagung

1

PENDAHULUAN

Produksi minyak bumi dunia diperkirakan akan turun hingga 20 billion

barrels pada tahun 2050. Menurunnya ketersediaan sumber energi bahan

bakar minyak bumi menimbulkan adanya usaha-usaha untuk mencari sumber

energi alternatif. Sumber energi alternatif yang dicari harus dapat

diperbaharui dan ramah lingkungan. Salah satu bentuk energi alternatif yang

ditawarkan adalah etanol. Peranan penting etanol sebagai bahan bakar

transportasi yang bersih dan aman telah ditingkatkan sebagai antisipasi

kekurangan bahan bakar fosil serta mengurangi tingkat pencemaran udara

yang disebabkan oleh pemakaian bahan bakar fosil (Moniruzzaman et al.,

1997; Sun dan Cheng, 2002).

Meningkatnya penggunaan etanol sebagai sumber energi akan

meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini teknologi

proses pembuatan etanol yang telah mantap adalah dengan teknologi starch-

based (Sun and Cheng, 2002) maka dikhawatirkan akan terjadi kompetisi

antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan untuk sumber

energi (Sun and Cheng, 2002). Selain itu, untuk menggantikan semua

kebutuhan bahan bakar minyak dunia saat ini diperlukan luas tanah, lahan

pertanian, hutan, dan lain-lain yang tak terbatas. Bahkan saat ini di berbagai

negara sudah menunjukkan krisis pangan sehingga perlu dicari sumber

bahan baku pembuatan etanol lain. Sumber bahan baku potensial yang

ketersediaannya melimpah, berharga murah, belum banyak dimanfaatkan

dan mengandung gula sederhana yang dapat diubah menjadi etanol adalah

bahan-bahan lignosellulosa (Ho et al, 1998). Bahkan dalam beberapa dekade

terakhir, menjadi penelitian yang menarik untuk mengetahui potensi dari

lignoselulosa dalam memproduksi etanol. (Curreli et al., 1997; Gaspar et al.,

2005).

Page 2: bioetanol jagung

2

Bahan-bahan lignoselulosa umumnya terdiri dari selulosa,

hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah karbohidrat yang paling melimpah

dan mudah diperbaharui. Selulosa merupakan polimer rantai lurus glukosa

yang tersusun atas unit-unit D-glukosa yang bergabung dengan ikatan

konfigurasi -1,4 glikosida. Dengan enzim selulase, selulosa dihidrolisis

menjadi bentuk molekul-molekul sakarida yang lebih kecil. Selulase tersusun

dari campuran kompleks protein enzim dengan spesitifitas berbeda-beda

dalam menghidrolisis ikatan glikosidik. Hidrolisis alami selulosa menjadi

glukosa tergantung pada sinergisme dari tiga enzim dalam sistem selulosa

yaitu β-1,4-endoglukanase (EC 3.2.1.4), β-1,4-eksoglukanase (EC 3.2.1.91)

dan selobiase (EC 3.2.1.21) (Tolan dan Foody, 1999). Dari penelitian

sebelumnya, telah diketahui bahwa selulase diproduksi oleh Trichoderma

reesei ZU-02 dengan cara fermentasi keadaan padat (solid-state

fermentation) (Xia dan Cen, 1999). Diketahui bahwa selulase dari T. reesei

mengandung sedikit atau miskin enzim selobiase, dan dengan demikian

membatasi perubahan selobiosa menjadi glukosa (Shen dan Xia, 2004).

Penumpukan selobiosa akan menyebabkan inhibisi umpan balik untuk reaksi

selulase. Enzim selulase akan terinhibisi akibat penumpukan selobiosa pada

produk akhir dan menyebabkan pembentukan glukosa menurun pada produk

akhir (Duff and Murray, 1996; Wen et al., 2004). Oleh karena itu perlu

adanya penambahan enzim selobiase untuk meningkatkan produksi etanol

pada hidrolisis selulosa tersebut. Adanya lignin pada lignoselulosa dapat

mengganggu proses hidrolisis sehingga perlu dilakukan perlakuan awal

terhadap bahan-bahan lignoselulosa.

Sumber selulosa yang dapat dijadikan etanol dapat berasal dari

limbah-limbah pertanian. Di Indonesia, dalam jumlah besar, limbah-limbah

pertanian seperti tongkol jagung dihasilkan per tahunnya, dan sering kali

menyebabkan pencemaran lingkungan. Tongkol jagung sebagai limbah

Page 3: bioetanol jagung

3

pertanian yang banyak mengandung selulosa belum banyak dimanfaatkan

secara optimal dalam memproduksi etanol. Untuk mengetahui sejauh mana

produksi etanol yang dihasilkan oleh tongkol jagung sebagai biomassa

lignoselulosa maka perlu diadakan suatu penelitian mengenai produksi etanol

dari tongkol jagung.

Pada makalah ini dipelajari hidrolisis selulosa dari tongkol jagung

dengan menggunakan enzim selulase dari Trichoderma reesei ZU-02 serta

adanya penambahan enzim selobiase dari Aspergillus niger ZU-07.

Selanjutnya fermentasi dari hasil hidrolisis tersebut menjadi etanol dilakukan

dengan menggunakan Saccharomyches cerevisiae 316.

Page 4: bioetanol jagung

4

PEMBAHASAN

A. Kajian Teori

1. Tongkol jagung dan karakteristik lignoselulosa

Jagung adalah salah satu tanaman dari sektor pertanian yang

cukup banyak dikonsumsi oleh berbagai masyarakat di dunia. Tanaman

jagung terdiri dari banyak bagian, diantaranya kulit buah jagung, jerami

jagung, tongkol jagung, dan biji jagung. Biji jagung dan kulit jagung

digunakan untuk pangan dan pakan makanan ternak sedangkan sisanya

terbuang menjadi limbah. Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai

ekonomi, bahkan mungkin bernilai negatif karena memerlukan biaya

penanganan. Limbah pertanian yang tidak tertangani akan menimbulkan

pencemaran lingkungan. Namun hal ini dapat diatasi dengan mengolah

limbah jagung menjadi suatu bahan bakar yang ramah lingkungan yaitu

bioetanol. Pengolahan limbah jagung menjadi bioetanol ini dikarenakan

sebagian besar limbah jagung adalah bahan berlignoselulosa yang dapat

diolah menjadi suatu bioetanol.

Salah satu limbah jagung yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

baku pembuatan bioetanol adalah tongkol jagung. Tongkol jagung

merupakan salah satu dari biomassa lignoselulosa. Biomassa

lignoselulosa merupakan substrat yang kompleks karena terdiri dari

campuran polimer karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), lignin dan

senyawa-senyawa yang larut dalam air (abu). Kadang-kadang disebutkan

holoselulosa, istilah ini digunakan untuk menyebutkan total karbohidrat

yang dikandung di dalam biomassa dan meliputi selulosa dan

hemiselulosa.

Page 5: bioetanol jagung

5

Perbedaan tongkol jagung dari jenis yang berbeda akan

menyebabkan perbedaan komposisi selulosanya. Tabel 1 menunjukkan

komposisi lignoselulosa tongkol jagung. Pada sumber lain, tongkol jagung

disebutkan mempunyai kandungan selulosa 40%, hemiselulosa 36%,

lignin 16% dan lainnya 6% (Alfarizy, 2009).

Tabel 1. Komposisi lignoselulosa tongkol jagung

Komponen Lignoselulosa Tongkol Jagung

Lignin (%) 23,74

Selulosa (%) 65,96

Hemiselulosa (%) 10,82

Sumber: Richana dkk. (2006).

Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu

selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Komposisi lignoselulosa dapat

dijelaskan sebagai berikut.

a. Selulosa

Selulosa sangat erat berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin

dalam lignoselulosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun

dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman

tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002).

Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan -1,4 glukosida

dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu

dimer dari glukosa. Selulosa terdiri atas 15-14.000 unit molekul glukosa

Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan

Page 6: bioetanol jagung

6

hidrogen dan gaya van der Waals (Coughlan, 1989). Panjang molekul

selulosa ditentukan oleh jumlah unit glukan di dalam polimer, disebut

dengan derajat polimerisasi. Derajat polimerasi (DP) selulosa tergantung

pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 2000 – 27000 unit

glukan. Selulosa terdiri dari daerah kristalin dan daerah amorf (non-

kristalin) yang membentuk suatu struktur dengan kekuatan tegangan

tinggi, yang pada umumnya tahan terhadap hidrolisis enzimatik terutama

pada daerah kristalin. Selulosa tidak larut dalam air dingin maupun air

panas serta asam panas dan alkali panas.

Ikatan -1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi

monomer glukosa dengan cara hidrolisis asam atau enzimatis.

Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi etanol.

Berikut struktur selulosa ditunjukkan dalam gambar 1.

Gambar 1. Struktur selulosa

(sumber:http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html)

Page 7: bioetanol jagung

7

b. Hemiselulosa

Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula.

Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa,

hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula

penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon 5 (C-5) dan 6

(C-6), misalnya: xylosa, mannose, glukosa, galaktosa, arabinosa, dan

sejumlah kecil ramnosa, asam glukoroat, asam metal glukoronat, dan

asam galaturonat. Xylosa adalah salah satu gula C-5 dan merupakan gula

terbanyak kedua di di biosfer setelah glukosa. Kandungan hemiselulosa di

dalam biomassa lignoselulosa berkisar antara 11% hingga 37 % (berat

kering biomassa). Berikut struktur gula penyusun hemiselulosa yang

ditunjukkan oleh gambar 2.

Gambar 2. Beberapa gula penyusun hemiselulosa (sumber:

http://isroi.wordpress.com/2008/11/23/karakteristik-lignoselulosa/)

Page 8: bioetanol jagung

8

Struktur hemiselulosa dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan

komposisi rantai utamanya yaitu (1) D- xilan yaitu 1-4 xilosa; (2) D-

manan yaitu (1–4) -D-mannosa; (3) D-xiloglukan dan (4) D-galaktan yaitu

1-3 -D-galaktosa. Hemiselulosa mudah disubtitusi dengan berbagai

karbohidrat lain atau residu non karbohidrat. Karena berbagai rantai

cabang yang tidak seragam menyebabkan senyawa ini secara parsial

larut air. Perbedaan selulosa dengan hemiselulosa yaitu hemiselulosa

mempunyai derajat polimerisasi rendah (50 – 200 unit) dan mudah larut

dalam alkali, tetapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa

sebaliknya.

c. Lignin

Lignin adalah zat yang bersama-sama dengan selulosa adalah

salah satu sel yang terdapat dalam kayu. Lignin merupakan suatu

makromolekul kompleks, suatu polimer aromatik alami yang bercabang –

cabang dan mempunyai struktur tiga dimensi yang terbuat dari fenil

propanoid yang saling terhubung dengan ikatan yang bervariasi. Lignin

membentuk matriks yang mengelilingi selulosa dan hemiselulosa,

penyedia kekuatan pohon dan pelindung dari biodegradasi. Lignin sangat

resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun

kimia.

Pada biomassa lignoselulosa hanya selulosa dan hemiselulosa

yang bisa diolah menjadi monosakarida untuk pembuatan etanol. Adanya

lignin pada produksi bioetanol dapat mengganggu proses hidrolisis

enzimatis dalam mengubah selulosa menjadi glukosa. Lignin mempersulit

kerja enzim dalam mengakses keberadaan selulosa. Lignin harus

dipisahkan dari selulosa dengan pretreatment atau perlakuan awal

terhadap bahan baku.

Page 9: bioetanol jagung

9

2. Enzim

Enzim adalah suatu katalisator biologis yang dihasilkan oleh

sel-sel hidup dan dapat membantu mempercepat bermacam-macam

reaksi biokimia (Ristiati, 2000). Enzim Enzim-enzim sering juga disebut

sebagai molekul yang bekerja atas karakter dan fungsinya masing-

masing.

Hal yang utama dalam teori mengenai mekanisme kerja enzim

adalah konsep bentuk teraktifkan substrat yang terjadi setelah

pembentukan kompleks enzim-substrat yang reaktif. Aktivasi

memungkinkan substrat diubah oleh kerja enzim. Terjadinya aktivasi

molekul substrat ini disebabkan oleh afinitas kimiawi substrat yang tinggi

terhadap daerah-daerah tertentu pada permukaan enzim yang disebut

situs aktif. Ketegangan atau distorsi yang dihasilkan pada beberapa ikatan

pada molekul substrat membuatnya labil (tidak mantap), dan karenanya

mengalami perubahan sebgaimana ditentukan oleh enzim yang

bersangkutan. Molekul-molekul yang telah mengalami perubahan itu tidak

lagi mempunyai afinitas terhadap situs-situs aktif tersebut dan karenanya

dilepaskan. Enzimnya kemudian bebas untuk bergabung lagi dengan

substrat berikutnya dan demikianlah proses tersebut berulang.

Fungsi utama suatu enzim ialah mengurangi energi aktivasi

pada suatu reaksi kimiawi. Yang dimaksud dengan energi aktivasi adalah

jumlah energi yang dibutuhkan untuk membawa suatu substansi ke situs

reaktifnya. Enzim bergabung dengan substrat membentuk suatu status

transisi yang membutuhkan energi aktivasi lebih kecil untuk

berlangsungnya reaksi kimiawi tersebut. (Pelczar, 1986, 318). Reaksi

umumnya ialah:

Page 10: bioetanol jagung

10

Dimana:

E : enzim

S : substrat

ES: kompleks enzim-substrat

P : produk

Enzim tersusun atas protein dan bagian non protein. Protein

penyusun enzim dapat berupa protein sederhana atau protein yang terikat

pada gugusan non protein. Banyak enzim yang hanya terdiri protein saja,

misal tripsin. Dialisis enzim dapat memisahkan bagian-bagian protein,

yaitu bagian protein yang disebut apoenzim dan bagian nonprotein yang

berupa koenzim, gugus prostetis dan kofaktor ion logam. Masing-masing

bagian tersebut apabila terpisah menjadi tidak aktif. Apoenzim apabila

bergabung dengan bagian nonprotein disebut holoenzim yang bersifat

aktif sebagai biokatalisator. Koenzim dan gugus prostetik berfungsi sama.

Koenzim adalah bagian yang terikat secara lemah pada apoenzim

(protein). Gugus prostetik adalah bagian yang terikat dengan kuat pada

apoenzim. Koenzim berfungsi menentukan jenis reaksi kimia yang

dikatalisis enzim. Ion logam merupakan komponen yang sangat penting,

diperlukan untuk memantapkan struktur protein dengan adanya interaksi

antar muatan (Sadikin, 2002)

Sistem klasifikasi internasional membagi enzim sesuai dengan

fungsinya sebagai berikut :

a. Oksidoreduktase, merupakan reaksi-reaksi redoks dan bereaksi

pada gugus hidroksil alkohol, gugus keton, ikatan-ikatan rangkap

ikatan C-N dan sebagainya.

b. Transferase, mentransfer gugus-gugus fungsional seperti gugus C1,

aldehid, keton dan glikosil.

Page 11: bioetanol jagung

11

c. Hidrolase, memecah secara hidrolisir ester, glikosida, peptida dan

sebagianya

d. Liase, mempengaruhi adisi pada ikatan-ikatan rangkap

e. Isomerase, mengkatalisasi reaksi-reaksi isomerase

f. Ligase, mempengaruhi pembentukan ikatan-ikatan baru selama

pemecahan ATP.

Enzim-enzim juga diproduksi di dalam sel-sel tetapi mereka dapat

pula bekerja di luar sel, dan dapat dipisahkan dari sel-sel tanpa

kehilangan reaktivitasnya. Tergantung pada tempat reaksinya, enzim-

enzim dibagi menjadi endo-enzim, yang bereaksi di dalam sel dan

mengendalikan proses metabolisme internal, dan ekso-enzim, dikeluarkan

oleh sel untuk mendegradasi substrat yang tidak larut menjadi produk-

produk yang larut yang dapat berdifusi melalui selaput sel.

Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai biokatalis dalam

sel hidup. Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah (1) dapat

meningkatkan produk beribu kali lebih tinggi; (2) bekerja pada pH yang

relatif netral dan suhu yang relatif rendah; dan (3) bersifat spesifik dan

selektif terhadap subtrat tertentu. Enzim dapat diisolasi dari hewan,

tumbuhan dan mikroorganisme (Wirahadikusumah, 1986).

Protein adalah bagian utama enzim yang dihasilkan sel, maka

semua hal yang dapat mempengaruhi protein dan sel akan berpengaruh

terhadap reaksi enzimatik. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas

enzim adalah sebagai berikut:

1. Substrat (reaktan)

Kecepatan reaksi enzimatik umumnya dipengaruhi kadar substrat.

Penambahan kadar substrat sampai jumlah tertentu dengan jumlah

Page 12: bioetanol jagung

12

enzim yang tetap, akan mempercepat reaksi enzimatik sampai

mencapai maksimum. Penambahan substrat selanjutnya tidak akan

menambah kecepatan reaksi.

Kecepatan reaksi enzimatik juga dipengaruhi kadar enzim, jumlah

enzim yang terikat substrat (ES) dan konstanta Michaelis (Km). Km

menggambarkan kesetimbangan disosiasi kompleks ES menjadi

enzim dan substrat. Nilai Km kecil berarti enzim mempunyai afinitas

tinggi terhadap substrat maka kompleks ES sangat mantap, sehingga

kesetimbangan reaksi kearah kompleks ES. Apabila nilai Km besar

berarti enzim mempunyai afinitas rendah terhadap substrat, sehingga

kesetimbangan reaksi kearah E + S.

2. Suhu

Seperti reaksi kimia pada umumnya, maka reaksi enzimatik

dipengaruhi oleh suhu. Kenaikan suhu sampai kondisi optimum yaitu

kondisi dimana reaksi menghasilkan laju reaksi yang maksimum akan

menghasilkan suhu optimum untuk reaksi enzimatik tersebut. Suhu

optimum enzim berkisar 37-40° C. Protein akan mengalami kerusakan

(terdenaturasi) pada suhu diatas 50° C.

3. Keasaman (pH)

pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Daya katalisis enzim

menjadi rendah pada pH rendah maupun tinggi, karena terjadinya

denaturasi protein enzim. Enzim mempunyai gugus aktif yang

bermuatan positif (+) dan negatif (-). Aktivitas enzim akan optimum

kalau terdapat keseimbangan antara kedua muatannya. Pada

keadaan masam muatannya cenderung positif, dan pada keadaan

basis muatannya cenderung negatif sehingga aktivitas enzimnya

menjadi berkurang atau bahkan menjadi tidak aktif. pH optimum untuk

Page 13: bioetanol jagung

13

masing-masing enzim tidak selalu sama. Sebagai contoh amilase

jamur mempunyai pH optimum 5,0, dan selulase mempunyai pH

optimum 4,8.

4. inhibisi (penghambat)

Inhibitor enzim adalah zat atau senyawa yang dapat menghambat

enzim dengan beberapa cara penghambatan sebagai berikut:

a. Inhibisi kompetitif

Penghambatan disebabkan oleh senyawa tertentu yang

mempunyai struktur mirip dengan substrat saat reaksi enzimatik

akan terjadi. Misalnya asam malonat dapat menghambat enzim

dehidrogenase suksinat pada pembentukan asam fumarat dari

suksinat. Struktur asam suksinat mirip dengan asam malonat. Dalam

reaksi ini asam malonat bersaing dengan asam suksinat (substrat)

untuk dapat bergabung dengan bagian aktif protein enzim

dehidrogenase. Penghambatan oleh inhibitor dapat dikurangi dengan

menambah jumlah substrat sampai berlebihan. Daya

penghambatannya dipengaruhi oleh kadar penghambat, kadar

substrat dan aktivitas relatif antara penghambat dan substrat.

b. Inhibisi non kompetitif

Pada penghambatan nonkompetitif tidak terjadi persaingan

antara zat penghambat dengan substrat. Misalnya enzim sitokrom

oksidase dihambat oleh CO (karbon monoksida) dengan mengikat

Fe yang merupakan gugusan aktif enzim tersebut. Zat-zat kimia

tertentu mempunyai afinitas yang tinggi terhadap ion logam

penyusun enzim. Senyawa-senyawa seperti sianida, sulfida, natrium

azida, dan karbon monoksida adalah senyawa penghambat untuk

enzim yang mengandung Fe, yaitu dengan terjadinya reaksi antara

Page 14: bioetanol jagung

14

senyawa-senyawa tersebut dengan ion Fe yang menyebabkan

enzim menjadi tidak aktif. Merkuri (Hg) dan perak (Ag) merupakan

penghambat enzim yang mengandung gugusan sulfhidril (-SH).

Penghambatan nonkompetitif tidak dapat dikurangi dengan

penambahan jumlah substrat, oleh karena daya penghambatannya

dipengaruhi oleh kadar penghambat dan afinitas penghambat

terhadap enzim.

c. inhibisi umpan balik (feed back inhibitor)

Penghambatan/inhibisi umpan balik disebabkan oleh hasil akhir

suatu rangkaian reaksi enzimatik yang menghambat aktifitas enzim

pada reaksi pertama. Hasil akhir reaksi juga mempengaruhi

pembentukan enzim, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan: A,B,C,D: substrat enzim a,b,c,d

X: hasil akhir reaksi enzimatik yang menghambat sintesis enzim a.

(Sumarsih, 2008).

Pada banyak organisme, inhibitor dapat merupakan bagian dari

mekanisme umpan balik. Jika enzim memproduksi terlalu banyak

produk, produk tersebut dapat berperan sebagai inhibitor bagi enzim

tersebut. Hal ini akan menyebabkan produksi produk melambat atau

berhenti. Bentuk umpan balik ini adalah umpan balik negatif. Enzim

memiliki bentuk regulasi seperti ini sering kali multimerik dan

mempunyai tapak ikat alosterik. Kurva substrat/kelajuan enzim ini tidak

berbentuk hiperbola melainkan berbentuk S.

Page 15: bioetanol jagung

15

Sebagai contoh, inhibisi umpan balik yang terjadi pada hidrolisis

selulosa dengan enzim kompleks selulase. Adanya penumpukan

selobiosa pada produk akhir yang disebabkan terbatasnya jumlah

enzim selobiase sehingga menyebabkan inhibisi umpan balik bagi

enzim endoglukanase dan eksoglukanase sehingga kedua enzim

tersebut tidak bekerja secara optimal. Kerja endoglukanase dan

eksoglukanase yang terhambat dapat menyebabkan produk akhir

melambat atau berhenti. Sehingga dihasilkan yield glukosa yang lebih

sedikit dari yang diharapkan.

3. Hidrolisis Enzimatik Selulosa

Dewasa ini, enzim adalah senyawa yang umum digunakan dalam

proses produksi, salah satunya adalah produk hidrolisis. Enzim yang

digunakan pada umumnya berasal dari enzim yang diisolasi dari bakteri.

Penggunaan enzim dalam proses produksi dapat meningkatkan efisiensi

yang kemudian akan meningkatkan jumlah produksi.

Salah satu enzim yang diisolasi dari mikroorganisme adalah enzim

selulase. Enzim selulase merupakan suatu enzim kompleks terdiri dari 3

komponen besar yaitu:

Enzim-enzim endo-β-1,4-glukanase atau disebut komponen Cx.

Enzim ini mempengaruhi secara serentak ikatan β-1,4 di dalam

makromolekul dan menghasilkan potongan-potongan besar

berbentuk rantai dengan ujung-ujung bebas. Endoglukanase yang

sering disebut karboksimetilselulosa (CM)-selulase, berperan

dalam memulai serangan acak pada sisi internal daerah amorf dari

serat selulosa sehingga sisi yang terbuka dapat diserang oleh

Page 16: bioetanol jagung

16

selobiohidrolase. Enzim ini dapat memutuskan ikatan selulosa

secara random menghasilkan glukosa dan selooligosakarida.

Enzim ekso-β-1,4-glukanase atau sering disebut komponen C1.

Eksoglukanase memotong ujung-ujung rantai individu selulosa.

Ekso-1,4--glukanase atau selobiohidrolase menyerang bagian luar

non-reducing end dari selulosa sehingga dihasilkan selobiosa

sebagai struktur utamanya. Ekso-1,4--glukanase adalah

komponen utama dari sistem selulase fungi yakni sekitar 40-70%

dari total protein selulase dan mampu menghidrolisis daerah

kristalin sehingga menghasilkan selobiosa dari ujung pereduksi dan

non pereduksi. Ekso-1,4--glukanase memisahkan mono- dan

dimer dari ujung rantai glukosa.

Enzim-enzim selobiose atau β-glukosidase menghidrolisis

selobiosa dengan membentuk glukosa dan dalam beberapa kasus

mengubah selooligosakarida menjadi glukosa. Gambar 3

menunjukkan struktur selulosa serta gambar 4 menunjukkan

tahapan enzim selulase dalam menghidrolisis selulosa (selulolisis)

Gambar 3. Struktur selulosa dengan ujung-ujung pereduksi dan non

pereduksi

Page 17: bioetanol jagung

17

Gambar 4. Skema tahapan dalam selulolisis

(sumber: fao.org, 2005)

Secara keseluruhan terdapat tiga jenis reaksi yang dikatalisis oleh

selulase :

1) Memotong interaksi nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang

ada dalam struktur kristal selulosa oleh enzim endo-selulase,

Page 18: bioetanol jagung

18

2) Hidrolisis serat selulosa menjadi sakarida yang lebih sederhana

oleh ekso-selulase, dan

3) Hidrolisis disakarida dan tetrasakarida menjadi glukosa oleh enzim

β-glukosidase. Ketiga reaksi tersebut dijelaskan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Mekanisme keseluruhan kerja enzim selulase

Beberapa mikroorganisme yang menghasilkan selulase antara lain

fungi (Aspergillus niger, A. fumigatus, A. aculeatus, Acremonium

cellulolyticus, Fusarium solani, Irpex lacteus, Penicillium funmiculosum,

Phanerochaete, Chrysosporium, Schizophyllum commune, Sclerotium

rolfsii, Sporotrichum cellulophillum, Talaromyces emersonii, Thielavia

terrestris, Trichoderma koningii, T. reesii dan T. viride). Selain itu bakteri

Clostridium thermocellum, Ruminococcus albus, Streptomyces sp. serta

Actinomycetes seperti Streptomyces sp. dan Thermomonospora curvata

dapat juga memproduksi enzim selulase.

Page 19: bioetanol jagung

19

Genus Trichoderma dan Aspergillus menghasilkan selulase dan

enzim kasar yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut diproduksi

secara komersial. Mikroorganisme dari genus Trichoderma menghasilkan

sejumlah besar endo--glukanase dan ekso-β-glukanase, tapi hanya

sedikit menghasilkan -glukosidase. Sedangkan Aspergillus memproduksi

endo- -glukanase dan -glukosidase dalam jumlah besar, tapi sedikit

menghasilkan ekso--glukanase (Fao, 2005). β-glukosidase adalah enzim

glukosidase yang memutuskan ikatan β(1-4) glikosida antara 2 glukosa

atau molekul pengganti glukosa yang lain seperti selobiosa atau dikatakan

enzim selobiase.

Trichoderma reesei adalah jamur mesofilik yang termasuk dalam

jenis jamur berbentuk filamen. Trichoderma reesei memiliki kemampuan

mensekresikan sejumlah besar enzim selulolitik, seperti selulase dan

hemiselulase. Komponen utama dari sistem selulase Trichoderma reesei

adalah kedua jenis enzim selobiohidrolasenya, yaitu CBHI dan CBHII,

yang berjumlah total 80% dari total protein selulase yang dihasilkan (Lynd

et al, 2002). Aplikasi selulase sangat terpakai di dunia industri, dimana

enzim ini dapat mengkonversi materi biomassa suatu tumbuhan seperti

selulosa menjadi bioproduk yang berguna seperti gula (glukosa) dan

bioethanol.

Page 20: bioetanol jagung

20

Gambar 6. Trichoderma reesei (sumber: wikipedia, 2007)

Bakteri lain penghasil selulase adalah Aspergillus niger. Aspergillus

niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo

Eurotiales, sub-klas Plectomycetidae, klas Ascomycetes, sub-divisi

Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Pelczar dkk, 1986). Aspergillus

niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, dipak secara

padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini

mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya bersepta, spora yang bersifat

seksual dan tumbuh memanjang di alas stigma, mempunyai sifat aerobik,

sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup.

Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan

maksimum pada suhu 35 °C - 37 °C. Derajat keasaman untuk

pertumbuhannya adalah 2 - 8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada

kondisi keasaman atau pH yang rendah (Fardiaz, 1989). Keuntungan

fermentasi substrat menggunakan kapang adalah pertumbuhan kapang

dapat toleran terhadap keadaan pH. Aspergillus niger dapat tumbuh

dengan cepat, diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi

asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase,

pektinase, amiloglukosidase dan selulase. .

Gambar 7. Aspergillus niger (Wikipedia, 2005)

Page 21: bioetanol jagung

21

Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung

dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat. Molekul sederhana

yang terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul

yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel.

Pemecahan kompleks dapat dilakukan dengan menghasilkan beberapa

enzim ekstraseluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh

Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur

sel dan mobilitas sel.

Hidrolisis enzimatik selulosa merupakan proses pemecahan

struktur selulosa menjadi satuan-satuan monomernya yaitu glukosa

dengan bantuan enzim. Hidrolisis dengan enzim menghasilkan % hasil

yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan asam.

Hidrolisis selulosa secara enzimatik lebih baik dibandingkan secara

kimiawi (mengggunakan asam). Hidrolisis menggunakan asam memiliki

beberapa permasalahan, yaitu hasil rendemen etanol yang kecil,

memakan biaya produksi yang besar karena menggunakan bahan kimia

yang mahal, menimbulkan masalah korosi dan bersifat kurang ramah

lingkungan. Hidrolisa selulosa secara enzimatis memiliki beberapa

keuntungan, yakni konversi lebih tinggi, menghasilkan produk samping

yang minimal, kebutuhan energi lebih rendah dan kondisi operasi yang

relatif lebih rendah. Proses enzimatis merupakan proses bersih

lingkungan (Gozan, 2007).

Tahapan hidrolisis dapat dilakukan dengan batch kultur hidrolisis

yaitu hidrolisis secara kontinyu tanpa penambahan substrat selama

hidrolisis berlangsung. Sedangkan fed batch hidrolisis adalah hidrolisis

dengan penambahan substrat dalam interval tertentu selama proses

hidrolisis berlangsung. selama fermentasi dalam interval tertentu (Nur

Hidayat, 2006).

Page 22: bioetanol jagung

22

4. Fermentasi

Arti fermentasi pada bidang biokimia dihubungkan dengan

pembangkitan energi oleh katabolisme senyawa organik. Sedangkan

pada bidang mikrobiologi industri, fermentasi mempunyai arti yang lebih

luas, yang menggambarkan setiap proses untuk menghasilkan produk

dari pembiakan mikroorganisme.

Menurut Saono (1974) fermentasi adalah segala macam proses

metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk

melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga

terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan

menghasilkan produk tertentu, dan menyebabkan terjadinya perubahan

sifat bahan tersebut (Winarno dkk., 1980). Selanjutnya Shurleff dan

Aoyagi (1979) menyatakan bahwa proses fermentasi adalah suatu

aktivitas mikroorganisme terhadap senyawa molekul organik komplek

seperti protein, karbohidrat, dan lemak yang mengubah senyawa-

senyawa tersebut menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, mudah

larut dan kecernaannya tinggi .

Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba

penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai (Winarno, dkk.

1980). Fermentasi menurut Sungguh (1993) adalah proses penguraian

unsur organik kompleks terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi

melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang biasanya

terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas.

Page 23: bioetanol jagung

23

Bahan baku energi yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme

ialah glukosa.

Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam

fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman

beralkohol lainnya.

Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula

yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa

(C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi

akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan

oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan.

Persamaan reaksi kimia dari fermentasi adalah sebagai berikut:

C6H12O6 (gula) → 2C2H5OH (alkohol) + 2CO2 (karbon dioksida) + 2 ATP

Reaksi ini merupakan dasar dari pembuatan tape, brem, anggur

minuman lain-lain. (Fessenden and Fessenden, 1982). Pada proses ini

glukosa difermentasikan dengan enzim zimase invertase yang dihasilkan

oleh Sacharomyces cereviseae. Fungsi enzim zimase adalah untuk

memecah polisakarida (pati) yang masih terdapat dalam proses hidrolisis

untuk diubah menjadi monosakarida (glukosa). Sedangkan enzim

invertase selanjutnya mengubah monosakarida menjadi alkohol dengan

proses fermentasi. Pada awal fermentasi masih diperlukan oksigen untuk

pertumbuhan dan perkembangan Sacharomyces cereviseae, tetapi

kemudian tidak dibutuhkan lagi karena kondisi proses yang

diperlukan adalah anaerob.

Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua

yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi

medium cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau

Page 24: bioetanol jagung

24

tersuspensi di dalam fase cair (Hardjo et al., 1989). Fermentasi medium

padat atau solid state fermentation (SSF) merupakan fermentasi yang

berlangsung dalam substrat terlarut namun mengandung air yang cukup

sekalipun tidak mengalir bebas. Keuntungan penggunaan medium padat

antara lain:

1) tidak memerlukan tambahan lain kecuali air,

2) persiapan inokulum lebih sederhana,

3) dapat menghasilkan produk dengan kepekatan tinggi,

4) kontrol terhadap kontaminan lebih mudah,

5) kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah,

6) produktifitas tinggi,

7) aerasi optimum,

8) tidak diperlukan kontrol terhadap pH maupun suhu yang teliti (Hardjo

dkk., 1989).

5. Pretreatment/perlakuan awal Lignoselulosa

Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk

mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan

teknologi biokonversi dalam skala komersial (Mosier, et al., 2005).

Pretreatment merupakan tahapan yang banyak memakan biaya dan

berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai contoh

pretreatment yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan

dalam proses hidrolisis. Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang

diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%,

sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil

Page 25: bioetanol jagung

25

teoritis. Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur

lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang

memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Sellulosa secara

alami diikat oleh hemisellulosa dan dilindungi oleh lignin dalam bahan-

bahan lignoselulosa. Adanya senyawa pengikat lignin inilah yang

menyebabkan bahan-bahan lignosellulosa sulit untuk dihidrolisa

(Iranmahboob et al., 2002). Tujuan pretreatment secara skematis

ditunjukkan pada Gambar 8.

Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment

telah dipelajari melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Menurut (Sun &

Cheng, 2002) pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:

1) meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula

pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik; 2) menghindari

degradasi atau kehilangan karbohidrat; 3) menghindari pembentukan

produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi,

4) biaya yang dibutuhkan ekonomis.

Gambar 8. Skema tujuan pretreatment biomassa lignoselulosa

Page 26: bioetanol jagung

26

(Mosier, et al., 2005)

Pretreatment pada bahan-bahan lignoselulosa dapat dilakukan

menggunakan mechanical pretreatment dan chemical pretretment.

Mechanical pretreatment bertujuan untuk memecah/memperkecil ukuran

dari limbah lignoselulosa. Pemecahan dilakukan hingga berukuran partikel-

partikel. Mechanical pretreatment dapat meningkatkan ketercernaan dari

selulosa dan hemiselulosa pada biomassa lignoselulosa.

Sedangkan untuk pretreatment kimiawi, penggunaan H2SO4

0.5% optimal untuk pretreatment dari limbah-limbah sayuran. Konsentrasi

H2SO4 yang lebih tinggi lagi (sampai 2.5 M) menunjukkan bahwa tidak

hanya dapat menghidrolisis selulosa dan hemiselulosa, tetapi juga mampu

memisahkan lignin dan komponen senyawa organik lainnya yang terdapat

dalam limbah lignoselulosa (Mtui, 2009). Selanjutnya dihasilkan residu

selulosa yang kemudian mengalami tahapan hidrolisis secara enzimatik.

B. Eksperimen

1. Bahan

Bahan baku berbasis selulosa yang digunakan adalah tongkol

jagung yang telah dikeringkan dan diayak menjadi partikel-partikel

berukuran diameter 2mm. Mikroorganisme yang digunakan adalah T.

reesei ZU-02 (asli dari ATCC 56764) digunakan untuk produksi

selulase. A. niger ZU-07 (didapatkan dari The laboratory of Renewable

Resource Engineering, Purdue University) digunakan untuk produksi

selobiase. Saccharomyces cerevisiae 316 (disimpan oleh The

Laboratory of Biochemical Engineering, Zhejiang University)

digunakan untuk fermentasi etanol. Media pertumbuhan yang

digunakan untuk menumbuhkan strain S. cerevisiae terbuat dari 30

Page 27: bioetanol jagung

27

glukosa 30 g l-1, pepton 5 g l-1, ekstrak ragi 3 g l-1. Kemudian digunakan

3 g l-1 ekstrak ragi dan 0.25 g l-1 (NH4)2HPO4, sebagai media fermentasi

etanol.

2. Prosedur Penelitian

a. Perlakuan awal (pretreatment)

Bahan dikeringkan dan diayak menjadi butiran partikel

berdiameter 2 mm. Kemudian ditambahkan H2SO4 1% dengan

perbandingan solid-liquid 1:6. Campuran tersebut dipanaskan pada

suhu 108°C dan dibiarkan selama 3 jam kemudian disaring. Residu

selulosa dicuci dengan air pada pH 4.8 dan dikeringkan. Residu

selulosa tersebut mengandung komposisi: selulosa 59.4%,

hemiselulosa 6.5%, lignin 22.2% dan lainnya 11.9%.

b. Produksi selulase

Selulase diproduksi dengan fermentasi substrat padat (solid-

state fermentation) berdasarkan pada metode Xia (Xia and Chen,

1999). Mula-mula spora T. reesei ZU-02 diinokulasi ke dalam media

pertumbuhan dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 48 jam dibawah

kondisi aerobik. Untuk proses solid-state fermentation, 10% cairan

media pertumbuhan diinokulasi ke dalam media padat (tebal 5 cm)

dengan spora T. reesei yang telah ditumbuhkan pada labu erlenmeyer

1000 mL dan dikultur di dalam inkubator pada suhu 28-30° C selama 7

hari. Setiap gram koji kering (produk dari solid state fermentation)

mengandung aktivitas kertas saring (filter paper activity) sebesar 146

IU per FPU dan aktivitas selobiase sebesar 12 IU per CBU.

c. Produksi selobiase

Page 28: bioetanol jagung

28

Selobiase diproduksi berdasarkan metode Shen (Shen and Xia,

2004) . Media padat diinokulasi dengan suspensi spora A. Niger ZU-07

dan dikultur pada suhu 30°C selama 3 hari. Produk koji dengan solid

state fermentation mengandung 376 CBU g-1 koji kering dan tidak

terdeteksi adanya aktivitas kertas saring (FPU).

d. Hidrolisis enzimatik dari residu selulosa

Hidrolisis batch enzimatik

Hidrolisis enzimatik dari residu selulosa tongkol jagung

dilakukan secara batch. Proses batch ditunjukkan dengan

menggunakan labu Erlenmeyer 250 mL, yang mengandung

campuran 100 mL air murni dan substrat padat, dimana sebagai

substrat adalah residu selulosa. Selulase dari T. reesei ZU-02 dan

selobiase dari A. niger ZU-07 digunakan untuk hidrolisis enzimatik.

pH dan temperatur yang digunakan, secara berurutan adalah 4.8

dan 50°C. Labu diinkubasi dengan menggunakan orbital shaker

pada kecepatan 160 rpm. Waktu inkubasi diatur selama 48 jam.

Hidrolisis fed-batch enzimatik

Hidrolisis fed batch enzimatik dilaksanakan pada pH 4.8 dan

suhu 50°C dalam reaktor 5L dengan volume kerja 3L. Percobaan

atau eksperimen ini dimulai dengan jumlah substrat awal sebesar

100 g l-1 substrat yang mengandung muatan enzim sebesar 20

FPU g-1 substrat dan 6.5 CBU g-1 substrat. Residu selulosa

ditambahkan dua kali pada jam ke-6 dan ke-12 untuk mendapatkan

konsentrasi akhir substrat 200 g l-1, dengan menambahkan

sejumlah enzim selulase dan selobiase (muatan/jumlah enzim 10

FPU g-1 fed substrat dan 6.5 CBU g-1 fed substrat). Waktu hidrolisis

total diatur selama 60 jam.

Page 29: bioetanol jagung

29

e. Fermentasi etanol dari hasil hidrolisis selulosa

Inokulum disiapkan dengan memasukkan biakan sel S.

cerevisiae 316 ke dalam labu 250 mL yang mengandung 50 mL media

pertumbuhan (glukosa 30 g l-1, pepton 5 g l-1, ekstrak ragi 3 g l-1) dan

diinkubasi pada suhu 30°C selama 24 jam. Sel dipanen dengan

sentrifugasi dengan kecepatan 4800 rpm selama 5 menit, disuspensi

di dalam air steril dan digunakan untuk inokulasi media fermentasi.

Hasil hidrolisis selulosa (produk dari hidrolisis selulosa) yang

didapatkan dari hidrolisis fed-batch, ditambahkan dengan 3 g l-1

ekstrak ragi dan 0.25 g l-1 (NH4)2HPO4, dimana keduanya digunakan

sebagai media fermentasi. Fermentasi etanol dilaksanakan pada suhu

30°C di bawah kondisi anaerob, dengan 0.5 mL suspensi sel

diinokulasi ke dalam labu 100 mL dengan volume kerja 50 mL.

f. Metode analisis

Enzim dari koji diekstrak dengan air dengan perbandingan

volume 50 kali dengan enzim pada temperatur ruangan selama 6 jam

dan kemudian disaring. Ekstrak enzim disentrifugasi pada kecepatan

4000 rpm selama 10 menit dan supernatan nya digunakan untuk

pengujian enzim. Aktivitas kertas saring dan aktivitas selobiase

ditetapkan berdasarkan Standard International Union of Pure and

Applied Chemistry (IUPAC) prosedur (Ghose, 1987). Aktivitas kertas

saring diuji dengan menginkubasi campuran reaksi yang mengandung

selembar (strip) kertas saring Whatman no. 1 (1 x 6 cm) kemudian

dicelupkan ke dalam 1 mL Buffer sitrat 0.05 M dan 0.5 mL larutan

enzim cair pada suhu 50°C selama 30 menit. Satu unit aktivitas kertas

saring (FPU) diartikan sebagai jumlah enzim yang membentuk 1 µmol

glukosa (glukosa sebagai gula pereduksi) per menit dibawah kondisi

Page 30: bioetanol jagung

30

pengujian. Aktivitas selobiase diuji pada campuran reaksi yang

mengandung 1 mL dari 15 mM larutan selobiosa (disiapkan dalam

Buffer sitrat 0.05 M; pH 4.8) dan 1 mL larutan enzim cair pada suhu

50°C selama 30 menit. Satu unit aktivitas selobiase (CBU) adalah

jumlah enzim yang membentuk 2 µmol glukosa per menit dari

selobiosa.

Gula pereduksi diuji dengan menggunakan metode asam 3,5-

dinitrosalisilat (DNS) (Ghose, 1987). Glukosa, xilosa, selobiosa,

arabinosa, etanol dan gliserol dianalisis dengan HPLC (Syltech model

500 pump, USA) dengan kolom asam organik (TRANSGENOMIC

ICSep ICE-COREGEL 87H3 Column) dan sebagai fasa geraknya

adalah air dengan laju alir 0.5 mL/menit. Temperatur kolom diatur pada

suhu 60°C. Eluat dideteksi oleh detektor refractive index (Spectra-

Physics 6040 XR RI detector).

Hasil hidrolisis enzimatik dihitung di bawah ini:

Hasil hidrolisis (%) = Pemecahan gula x 0.9 x 100/ polisakarida dalam

substrat.

C. Diskusi

1. Hidrolisis batch enzimatik dari residu selulosa

a. Pengaruh konsentrasi substrat

Pengaruh konsentrasi substrat pada hidrolisis enzimatik telah

ditetapkan pada rasio yang tetap antara selulase terhadap substrat

dari T. reesei ZU-02 (aktivitas selulase) adalah 20 FPU g-1 substrat dan

1.64 CBU g-1 substrat. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 9,

konsentrasi gula pereduksi dan % hasil hidrolisis ditunjukkan dengan

kecenderungan variasi yang berlawanan, contohnya dengan

Page 31: bioetanol jagung

31

meningkatnya konsentrasi substrat, konsentrasi gula pereduksi

meningkat akan tetapi % hasil hidrolisisnya menurun.

Gambar 9. pengaruh konsentrasi substrat pada hidrolisis enzimatik dari

selulase T.reseei ZU-02 pada rasio tetap (20 FPU g-1 substrat; 1.64 CBU g-1

substrat)

Hal ini dikarenakan terbentuknya produk akhir inhibisi umpan

balik yang disebabkan oleh konsentrasi gula pereduksi yang tinggi

(Wen dkk., 2004). Dengan memasukkan konsentrasi gula pereduksi

dan % hasil hidrolisis ke dalam perhitungan, maka diperoleh

konsentrasi substrat optimal adalah 100 g l-1.

b. Pengaruh takaran selulase

Jika dilihat dari segi biaya, kontribusi dari selulase sangat

signifikan untuk biaya total proses konversi biomassa, sehingga untuk

mengefesienkan biaya maka takaran selulase harus diminimalkan

sebanyak mungkin. Pengaruh takaran selulase ini ditunjukkan dengan

proses hidrolisis dengan penggunaan substrat sebesar 100 g l-1

substrat dan adanya perbedaan takaran T. reesei ZU-02 selulase

Page 32: bioetanol jagung

32

(ditunjukkan sebagai FPU g-1 substrat) pada pH 4.8 dan suhu 50°C

dan hasilnya ditunjukkan pada gambar 10.

Konsentrasi gula pereduksi dan % hasil hidrolisis memiliki

kecenderungan variasi yang sama, bahwa adanya peningkatan secara

tajam antara keduanya dengan variasi takaran selulase dari 10 sampai

20 FPU g-1 substrat dan melandai dari 20 sampai 30 FPU g-1 substrat.

Gambar 10. Pengaruh takaran selulase dari T. reesei ZU-02 pada hidrolisis

enzimatik (dalam FPU g-1 substrat).

c. Pengaruh waktu hidrolisis dengan enzim selulase dari T. reesei ZU-

02

100 g l-1 residu selulosa dihidrolisis dengan selulase dari T.

reesei ZU-02 (20 FPU g-1 substrat; 1.64 CBU g-1 substrat) pada pH 4.8

dan 50°C selama 60 jam. Glukosa, xilosa, arabinosa, dan selobiosa

dihasilkan selama hidrolisis dan dianalisa dengan HPLC dengan

selang interval 12 jam. Konsentrasi gula pereduksi mencapai 49.4 g l-1

dan % hasil hidrolisis yang diperoleh adalah 67.5% selama 48 jam

(Tabel 2). Xilosa dan arabinosa dideteksi keluar dalam hidrolisa, yang

menunjukkan hadirnya xylanase dalam T. reesei ZU-02 selulase.

Page 33: bioetanol jagung

33

-1,4-endoglukanase dan β-1,4-eksoglukanase dalam selulase

menghidrolisis rantai selulosa dan hasilnya dalam bentuk selobiosa,

dimana pemecahan lebih lanjut menjadi glukosa dilakukan oleh

selobiase. Glukosa dihasilkan dalam jumlah yang banyak karena

keberadaan selobiase yang rendah dalam T. reesei ZU-02 selulase.

Penumpukan selobiosa menyebabkan inhibisi umpan balik untuk

aktivitas β-1,4-endoglukanase dan β-1,4-eksoglukanase,

menghasilkan % hasil hidrolisis yang rendah.

Tabel 2. Pengaruh waktu hidrolisis dengan enzim selulase dari T. reesei ZU-

02 (20 FPU g-1 substrat; 1.64 CBU g-1 substrat)

Waktu (h)

Konsentrasi gula dalam hidrolisat (g l-1) Gula pereduksi

(g l-1)

% Hasil HidrolisisSelobiosa Glukosa Xylosa Arabinosa

12 3.7 9.0 1.7 0.5 16.9 23.1

24 7.4 16.2 3.9 0.7 30.8 42.1

36 8.6 24.0 5.4 0.7 41.2 56.3

48 11.7 26.9 6.7 0.9 49.4 67.5

60 12.2 28.1 6.9 0.9 51.1 69.8

d). Hidrolisis antara T. reesei ZU-02 selulase dengan A. niger ZU07

selobiase

Untuk melemahkan inhibisi umpan balik yang disebabkan oleh

penumpukan selobiosa, selobiase yang dihasilkan oleh A. niger ZU-07

ditambahkan ke dalam sistem untuk meningkatkan aktivitas total

selobiase. Untuk memberikan takaran selulosa mencapai 20 FPU g-1

substrat, konsentrasi gula pereduksi dan % hasil hidrolisis ditingkatkan

Page 34: bioetanol jagung

34

dengan meningkatkan aktivitas selobiase sampai 6.5 CBU g-1 substrat.

Tabel pengaruh waktu hidrolisis sinergis antara T. reesei ZU-02

selulase dengan A. niger ZU-07 selobiase dapat dilihat pada tabel 3.

Dari tabel tersebut dapat dengan mudah diketahui konsentrasi

selobiosa yang diperoleh pada level rendah selama keseluruhan

proses hidrolisis. Dapat disimpulkan bahwa selobiosa yang terbentuk

selama proses hidrolisis cepat terhidrolisis menjadi glukosa karena

peningkatan aktivitas selobiase pada sistem hidrolisis. Sehingga

inhibisi umpan balik yang disebabkan penumpukan selobiosa menurun

drastis, dimana dihasilkan konsentrasi gula pereduksi dan % hasil

hidrolisis yang lebih tinggi. Pada waktu hidrolisis selama 48 jam, %

hasil hidrolisis meningkat sampai 83.9% dan konsentrasi gula

pereduksi mencapai 61.4 g l-1.

Tabel 3. Pengaruh waktu hidrolisis antara selulase dari T. reesei ZU-02 dan

selobiase dari A. niger ZU-07 (20 FPU g-1 substrat; 6.5 CBU g-1 substrat)

Waktu (h)

Konsentrasi gula dalam hidrolisat (g l-1) Gula pereduksi

(g l-1)

% Hasil HidrolisisSelobiosa Glukosa Xylosa Arabinosa

12 0.4 18.8 2.3 0.7 24.3 33.2

24 0.6 34.1 4.7 0.8 42.3 57.8

36 0.7 43.7 6.2 0.8 53.7 73.4

48 0.9 50.1 6.9 1.0 61.4 83.9

60 0.9 51.2 6.8 1.0 62.2 84.9

2. Hidrolisis fed-batch dengan selulase dan selobiase

Page 35: bioetanol jagung

35

Pada produksi etanol dari bahan lignoselulosa, konsentrasi

etanol dalam fermentasi harus setinggi mungkin untuk meminimalkan

konsumsi energi pada penguapan dan destilasi (Wingren dkk., 2003),

dimana memerlukan konsentrasi gula yang tinggi dalam hidrolisis.

Peningkatan konsentrasi substrat pada batch hidrolisis membantu

untuk mendapatkan konsentrasi gula yang tinggi, tetapi juga sering

menyebabkan masalah dalam proses pengadukan (mixing) dan

transfer panas yang disebabkan sifat reologika dari suspensi serat

yang sangat rapat (Rudolf dkk., 2005).

Sementara dalam proses fed-batch hydrolysis, beberapa

masalah dapat dihindari secara efektif karena adanya penambahan

substrat secara bertahap, dan viskositas campuran reaksi dapat dijaga

pada level rendah. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi substrat

meningkat menjadi 200 g l-1 dalam proses fed-batch dan konsentrasi

gula pereduksi mencapai 116.3 g l-1 dengan % hasil hidrolisis 79.5%

setelah 60 jam reaksi (Gambar 11).

Gambar 11. Pengaruh waktu fed-batch hidrolisis antara selulase dari T. reesei

ZU-02 dan selobiase dari A. niger ZU-07.

Page 36: bioetanol jagung

36

Pada grafik diatas konsentrasi gula pereduksi pada hasil

hidrolisis mencapai 95.3 g l-1 dan produksi gula ini dilanjutkan untuk

fermentasi etanol oleh S. cerevisiae. Pada penambahan substrat,

takaran selulase dikurangi menjadi 15 FPU g-1 substrat dalam proses

fed-batch. Kelebihan fed batch hidrolisis dibandingkan batch hidrolisis

adalah waktu reaksi lebih cepat dan produktivitasnya lebih bagus.

3. Fermentasi dari hidrolisis selulosa

Residu selulosa yang kaya akan glukosa yang diperoleh dari

fed-batch hydrolysis kemudian ditambah dengan ekstrak ragi dan

(NH4)2HPO4, yang keduanya digunakan sebagai media fermentasi

untuk fermentasi etanol. Hasilnya mengindikasikan bahwa S.

ceresevisiae 316 dapat dengan mudah mengfermentasikan glukosa

menjadi etanol tetapi tidak dapat memetabolis xylosa disebabkan tidak

adanya xilosa reduktase dan xilitol dehidrogenase (gambar 12).

Gambar 12. Fermentasi hasil hidrolisis selulosa dari fed batch hidrolisis

menggunakan S. cerevisiae 316

Page 37: bioetanol jagung

37

Sebanyak 95.3% g l-1 glukosa difermentasikan menjadi 45.7%

g l-1 etanol selama 18 jam. Hasil ini ekivalen untuk 94% berdasarkan

hasil teoritis (berdasarkan hasil teoritis 0.51 g etanol/g glukosa)

KESIMPULAN

Dalam penelitian ini dilakukan hidrolisis selulosa secara enzimatik

terhadap tongkol jagung yang merupakan salah satu biomassa

lignoselulosa. Hidrolisis dilakukan dengan adanya sinergisme antara

enzim selulase dari Trichoderma reesei ZU-02 dengan enzim selobiase

dari Aspergillus niger ZU-07, dan diperoleh % hasil hidrolisis yang lebih

tinggi yaitu dari 67.5% menjadi 83.9%. Selanjutnya, tahap akhir dari

penelitian ini diperoleh etanol yaitu tahapan fermentasi dengan mengubah

glukosa sebesar 95.3 g l-1 menjadi etanol sebesar 45.7 g l-1.

Page 38: bioetanol jagung

38

DAFTAR PUSTAKA

Chen, Ming, Liming Xia, ang Pijian Xue. 2007. Enzymatic Hydrolysis of Corncob and Ethanol Production from Cellulosic Hydrolysate. Journal International Biodeterioration & Biodegradation. 59: 85-89.

Coughlan, M. P. 1989. Enzyme System for Lignocellulose Degradation. Elsevier Applied Science. London and New York

Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fessenden, Ralp J. Dan Joan S. Fessenden. 1986. Kimia Organik, Edisi III Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gozan, Misri, Samsuri, M., 2007. Sakarifikasi Dan Fermentasi Bagas Menjadi Ethanol Menggunakan Enzim Selulase Dan Enzim Sellobiase. Jurnal Teknologi, Edisi No. 3, Tahun Xxi, 209−215.

Hardjo, S., N.S. Indrasti, B. Tajuddin. 1989. Biokonveksi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan clan Gizi IPB.

http://alfarizy29.blogspot.com/2009_07_01_archive.html

http://isroi.wordpress.com/2008/11/23/karakteristik-lignoselulosa/

http://sumarsih07.files.wordpress.com/2008/11/iv-enzim-mikroba.pdf

Page 39: bioetanol jagung

39

http://www.fao.org/docrep/w7241e/w7241e08.htm 2005

http://www.lsbu.ac.uk/water/hycel.html

http://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html

Iranmahboob, J., Nadim, F., Monemi, S., 2002. Optimizing acid-hydrlysis: a critical step for production of ethanol from mixed wood chips. Biomass and Bioenergy, 22: 401 – 404.

Lynd L, Weimer P J, Van Zyl W H & Pretorious I S. 2002. Microbial Cellulose utilization: Fundamental and Biotechnology, Microbiol Mol biol Rev. 66:506-557.

Mtui G. 2009. Recent advances in pretreatment of lignocellulosic wastes and production of value added products. African Journal of Biotechnology. 8 (8): 1398-141.

Nur Hidayat, dkk. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: ANDI

Pelczar, Michael J. dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI-Press.

Richana, N., P. Lestina, dan T.T. Irawadi. 2004. Karakterisasi lignoselulosa dari limbah tanaman pangan dan pemanfaatannya untuk pertumbuhan bakteri RXA III-5 penghasil xilanase. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23(3):171-176.

Ristiati, Ni Putu. 2000. Pengantar Mikrobiologi Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Sadikin, Mohammad. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta: Widya Medika.

Winarno,F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia.