Bioetanol Rumput Laut

13
1 PRODUKSI BIOETANOL DARI SELULOSA ALGA MERAH DENGAN SISTEM FERMENTASI SIMULTAN MENGGUNAKAN BAKTERI Clostridium acetobutylicum Bioethanol Production From Red Algae Cellulose By Simultaneous Fermentation system Using Clostridium acetobutylicum Anita purnama sari, Ahyar Ahmad, Hanapi Usman [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuat bioetanol dari selulosa alga merah dan mengetahui nilai konversi selulosa dari Alga merah sebagai bahan untuk produksi bioetanol melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan dengan menggunakan bakteri Clostridium acetobutylicum. Optimasi fermentasi dilakukan dengan cara memvariasikan pH dan waktu fermentasi. Pada penelitian ini digunakan selulosa dari Alga merah jenis Gracillaria verrucosa dan Eucheuma cottonii yang difermentasi dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan. Selama fermentasi, proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa dan selanjutnya menjadi bioetanol berlangsung secara serempak menggunakan bakteri Clostridium acetobutylicum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum fermentasi diperoleh pada pH 6,0 dengan waktu fermentasi 10 hari. Nilai konversi selulosa alga merah adalah setiap 1 kilogram selulosa Gracillaria verrucosa menghasilkan 21,56 % bioetanol dengan kemurnian 17,04% dan satu kilogram Eucheuma cottonii menghasilkan 18,40% bioetanol dengan kemurnian 8,42% Kata Kunci : selulosa, alga merah fermentasi simultan Abstract This research aimed to produce bioethanol from red algae cellulose and to investigate a conversion value of cellulose of red algae as the material for bioethanol production through the processes of the simultaneous sacharification and fermentation by using Clostridium acetobutylicum. The optimalisation of fermentation with variation of pH and fermentation time. In this research, cellulose from red algae Gracillaria verrucosa, Eucheuma cottonii which fermented using Simultaneous Saccharification and fermentation methode. The cellulose hydrolisis process become glucose and then become bioethanol simultaneously using Clostridium acetobutylicum. The result show that the optimum conditions of the fermentation obtained on the pH 6,0 in 10 days of fermentation time. The conversion value of cellulose from red algae. In every kilogram cellulose Gracillaria verrucosa of its powder can produce 21,56% bioethanol with the purity level 17,04% and in every kilogram cellulose Eucheuma cottonii of its powder can produce 18,40% of bioethanol with the purity level 8,42%. Keywords : cellulose, red algae, simultaneous fermentation PENDAHULUAN Kebutuhan energi fosil seperti bensin atau solar kian hari kian meningkat. Hal ini menjelaskan bahwa kebutuhan energi masih tergantung pada ketersediaan energi fosil ini padahal ketersediaan energi fosil berbanding terbalik dengan kebutuhannya karena sifat energi fosil yang tidak terbarukan (shofnita, 2011). Persediaan minyak bumi dan batu bara sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk, selain itu bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi yang berakibat pada pemanasan global, oleh karena itu diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global Alga laut merupakan salah satu sumber energi yang terbarukan. Alga laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Potensi pengembangan bioetanol alga laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Bioetanol merupakan produk fermentasi yang dapat dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat (gula, pati, atau selulosa). Etanol adalah salah satu senyawa alkohol dengan rumus kimia C 2 H 5 OH

description

ok

Transcript of Bioetanol Rumput Laut

Page 1: Bioetanol Rumput Laut

1

PRODUKSI BIOETANOL DARI SELULOSA ALGA MERAH DENGAN SISTEM FERMENTASI SIMULTAN MENGGUNAKAN BAKTERI Clostridium acetobutylicum

Bioethanol Production From Red Algae Cellulose By Simultaneous Fermentation system

Using Clostridium acetobutylicum

Anita purnama sari, Ahyar Ahmad, Hanapi Usman [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuat bioetanol dari selulosa alga merah dan mengetahui nilai konversi selulosa dari Alga merah sebagai bahan untuk produksi bioetanol melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan dengan menggunakan bakteri Clostridium acetobutylicum. Optimasi fermentasi dilakukan dengan cara memvariasikan pH dan waktu fermentasi. Pada penelitian ini digunakan selulosa dari Alga merah jenis Gracillaria verrucosa dan Eucheuma cottonii yang difermentasi dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan. Selama fermentasi, proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa dan selanjutnya menjadi bioetanol berlangsung secara serempak menggunakan bakteri Clostridium acetobutylicum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum fermentasi diperoleh pada pH 6,0 dengan waktu fermentasi 10 hari. Nilai konversi selulosa alga merah adalah setiap 1 kilogram selulosa Gracillaria verrucosa menghasilkan 21,56 % bioetanol dengan kemurnian 17,04% dan satu kilogram Eucheuma cottonii menghasilkan 18,40% bioetanol dengan kemurnian 8,42% Kata Kunci : selulosa, alga merah fermentasi simultan Abstract This research aimed to produce bioethanol from red algae cellulose and to investigate a conversion value of cellulose of red algae as the material for bioethanol production through the processes of the simultaneous sacharification and fermentation by using Clostridium acetobutylicum. The optimalisation of fermentation with variation of pH and fermentation time. In this research, cellulose from red algae Gracillaria verrucosa, Eucheuma cottonii which fermented using Simultaneous Saccharification and fermentation methode. The cellulose hydrolisis process become glucose and then become bioethanol simultaneously using Clostridium acetobutylicum. The result show that the optimum conditions of the fermentation obtained on the pH 6,0 in 10 days of fermentation time. The conversion value of cellulose from red algae. In every kilogram cellulose Gracillaria verrucosa of its powder can produce 21,56% bioethanol with the purity level 17,04% and in every kilogram cellulose Eucheuma cottonii of its powder can produce 18,40% of bioethanol with the purity level 8,42%. Keywords : cellulose, red algae, simultaneous fermentation PENDAHULUAN

Kebutuhan energi fosil seperti bensin atau solar kian hari kian meningkat. Hal ini menjelaskan bahwa kebutuhan energi masih tergantung pada ketersediaan energi fosil ini padahal ketersediaan energi fosil berbanding terbalik dengan kebutuhannya karena sifat energi fosil yang tidak terbarukan (shofnita, 2011).

Persediaan minyak bumi dan batu bara sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk, selain itu bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi yang berakibat pada pemanasan global, oleh karena itu diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global

Alga laut merupakan salah satu sumber energi yang terbarukan. Alga laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Potensi pengembangan bioetanol alga laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu.

Bioetanol merupakan produk fermentasi yang dapat dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat (gula, pati, atau selulosa). Etanol adalah salah satu senyawa alkohol dengan rumus kimia C2H5OH

Page 2: Bioetanol Rumput Laut

2

yang berupa cairan, tidak berwarna, jernih mudah menguap, memiliki bau yang sangat halus dan rasa yang pedas.

Sifat fisika dari etanol adalah bersifat polar disebabkan karena gugus hidroksil (ROH). Seperti air etanol dapat membentuk ikatan hidrogen. Karena adanya ikatan hidrogen ini maka etanol memiliki titik didih yang lebih tinggi dari senyawa lain yang memiliki berat formula yang sama. Etanol juga memiliki nilai pH sebagai asam lemah. Etanol mudah menguap meskipun pada suhu rendah, mudah terbakar dan mendidih pada suhu 78oC (Triwisari DA. Dkk, 2009)

Selulosa merupakan polisakarida melimpah di bumi yang dapat diubah menjadi glukosa dengan cara hidrolisis (Groggins dalam Sari 2009). Teknologi produksi bioetanol dalam proses hidrolisis biasanya dilakukan dengan metode konvensional yaitu dengan menggunakan asam. Namun metode ini tidak ramah lingkungan karena dapat menimbulkan korosif disamping bahan kimia tersebut harganya relatif mahal.

Pengembangan teknologi bioproses dengan menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya merupakan suatu proses yang lebih ramah lingkungan. Pada penelitian ini menggunakan bakteri selulolitik untuk memproduksi enzim guna menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Bakteri yang digunakan adalah jenis Clostridium dimana bakteri ini merupakan jenis bakteri yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa ( Balusu et al, 2004; Demain et al, 2005; Riyanti, 2009).

Beberapa penelitian yang menggunakan bakteri jenis Clostridium untuk produksi beberapa pelarut antara lain : Ezeji T., et al (2006) memproduksi aseton, butanol dan etanol dari tepung jagung dengan kadar 14,28 g/L. Claasen et al ( 2000) memproduksi aseton, butanol dan etanol dari tepung jagung dengan kadar 14,28 g/L. dengan bakteri Clostidium dengan kadar 9,3 g/L. Napoli, et al (tanpa tahun) memproduksi etanol dengan kadar 0,03 g/Lh-1.

METODE PENELITIAN

Bahan-bahan Penelitian

Alga laut Gracillaria verrucos, Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, bakteri Clostridium acetobutylicum, ekstrak ragi, (NH4)2SO4, K2HP04, KH2P04, MgSO4. 7H20, MnSO4, NaCl, CaCl2 anhydrat, FeS04.7H20, Co(N03)2.6H20, H2O2 30%, etanol absolute, Sistein, Asparagin, Casein, ekstrak daging dan air suling.

Persiapan Bahan Baku

Alga laut dicuci bersih kemudian dikerinkan lalu di crusher hingga halus

Analisis Lignin Dan Selulosa Analisis selulosa dan lignin dilakukan dengan metode Chesson (Datta, 1981). Sebanyak 1 g (a) sampel

kering ditambahkan 150 mL akuades, direfluks pada suhu 100 oC dengan water bath selama 1 jam. Hasilnya disaring, residu dicuci dengan air panas (300 mL). Residu kemudian dikeringkan dengan oven sampai konstan kemudian ditimbang (b). Residu ditambahkan 150 mL H2SO4 1N kemudian direfluks dengan water bath selama 1 jam pada suhu 100 oC. Hasilnya disaring dan dicuci dengan akuades sampai netral (300 mL) lalu dikeringkan (c). Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO4 72% dan direndam pada suhu kamar selama 4 jam. Ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N dan direfluks pada water bath selama 1 jam pada pendingin balik. Residu disaring dan dicuci dengan akuades sampai netral (400 mL) kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC dan hasilnya ditimbang sampai bobot tetap (d), selanjutnya residu diabukan dan ditimbang (e). Perhitungan kadar selulosa dan kadar lignin sebagai berikut: Kadar selulosa = c - d x 100% ………..(1) a

Kadar lignin = d - e x 100% ………..(2) a

Proses Pretreatment

Percobaan pendahuluan dilakukan dengan proses pretreatment tepung alga laut menggunakan larutan NaOH 4 % dilakukan dengan cara perendaman selama 24 jam. Residu dan filtrat dipisahkan, lalu dicuci

Page 3: Bioetanol Rumput Laut

3

dengan akuades sampai netral kemudian dikeringkan di oven pada suhu 105 0C sampai berat konstan (Seligh et al, 2009).

Peremajaan bakteri dengan media agar miring Tabel 1 : Komposisi bahan untuk media agar miring

Bahan Jumlah (g) Tauge Glukosa Bacto agar Akuades

5,00 1,00 1,00

50 mL

Pembuatan media agar miring dilakuan dengan cara merebus tauge dengan 50 mL akuades hingga mendidih setelah itu disaring, kedalam air tauge kemudian ditambahkan glukosa dan bacto agar lalu dipanaskan sambil diaduk hingga larut. Disiapkan 10 buah tabung reaksi lalu dipipet masing-masing 5 mL larutan ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu disumbat dengan kapas dan aluminium foil. Disterilisasi pada suhu 121 oC selama 15 menit lalu didinginkan dalam keadaan miring (media agar miring). Biakan murni Clostridium acetobutylicum digoreskan secara zig-zag pada media agar miring dengan menggunakan ose bulat. Pengerjaan ini dilakukan dalam ent case lalu ditumbuhkan dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 7 hari

selama 15 menit lalu didinginkan dalam keadaan miring (media agar miring). Biakan murni bakteri Clostridium acetobutylicum digoreskan secara zig-zag pada media agar miring dengan menggunakan ose Pengerjaan ini dilakukan dalam lemari sterilisasi (ent case) lalu ditumbuhkan dalam incubator pada suhu 37 oC selama 7 hari. Pembuatan media fermentasi untuk penentuan kondisi optimum fermentasi Tabel 2 : Komposisi bahan untuk media fermentasi

Bahan

Jumlah (g) Media inokulum Media fermentasi

Tepung alga laut K2HPO4 KH2PO4

(NH4)2SO4 MgSO4.7H2O

MnSO4 CoCl2.6H2O FeSO4.7H2O

CaCl2 NaCl

Ekstrak ragi Asparagin

Sistein Casein

Ekstrak daging

3,000 0,112 0,112 0,300 0,003 0,0015 0,0015 0,0015 0,250 0,150 1,500 0,300 0,015 0,150 15 mL

3,000 0,112 0,112 0,300 0,003

0,0015 0,0015 0,0015 0,250 0,150 1,500 0,300 0,015 0,150 15 mL

(Lin, Y.Y., and Blaschek, H.P., 1983)

Kedalam beker gelas 250 mL untuk pembuatan media inokulum untuk pembuatan media fermentasi masing-masing ditambahkan tepung alga laut, dan 100 ml air untuk media inokulum dan media fermentasi, dipanaskan sambil diaduk hingga membentuk gel. Kedalam gel ditambahkan bahan-bahan diatas, diaduk hingga larut. Diatur larutan diatur hingga pH 5,0 dengan buffer fospat lalu encerkan hingga 150 mL. Untuk media fermentasi dibuat sebanyak 8 buah buah Erlenmeyer 250 mL. Erlenmeyer disumbat dengan kapas dan aluminium foil dan disterilisasi dalam otoklaf selama 15 menit pada suhu 121 oC. Erlenmeyer dipindahkan

Page 4: Bioetanol Rumput Laut

4

kedalam ruang steril, ditambahkan stok kultur murni bakteri Clostridium acetobutylicum ditutup kembali dengan kapas lalu difermentasi pada shaker incubator selama 2 hari untuk media inokulum. Kedalam tiap Erlenmeyer media fermentasi ditambahkan 15 mL media inokulum lalu difermentasikan dalam shaker inkubatorselama 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hari dengan kecepatan 150 rpm. Setelah 2 hari salah satu erlenmeyer pada media fermentasi diambil, disaring lalu didistilasi pada suhu 100 OC hingga diperoleh volume destilat 10 mL. Dibuat juga perlakuan pH 4,5; 5,0; 5,5; 6,0; dan 6,5 terhadap waktu fermentasi. Untuk produksi bioetanol dilakukan perlakuan media sesuai dengan kondisi optimum fermentasi yang diperoleh. Didestilasi pada 78 oC untuk memperoleh bioetanol murni. Destilat dikeringkan dengan Na2SO4 dan dianalisis dengan kromatografi gas.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan waktu optimum fermentasi.

Data hasil pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar bioetanol pada beberapa perlakuan pH 5,0 dapat dilihat pada Tabel 3. Sedang grafik penentuan waktu optimum fermentasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Dari grafik dapat diketahui untuk semua perlakuan pH pada hari ke-2 sampai hari ke-6 peningkatan kadar bioetanol sangat lambat. Pada tahap ini terjadi fase lag yakni fase dimana mikroba masih menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sehingga aktivitas mikroba belum optimum. Selama fase ini massa sel bertambah sangat sedikit tanpa disertai penambahan densitas jumlah sel oleh karena itu laju pertumbuhan sel bisa saja sama dengan nol. Lama fase lag pada bakteri sangat bervariasi, tergantung pada komposisi media, pH, suhu, aerasi, jumlah sel pada inokulum awal dan sifat fisiologis mikroorganisme pada media sebelumnya. Ketika sel telah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru maka sel mulai membelah hingga mencapai populasi yang maksimum. Fase ini disebut fase logaritma atau fase eksponensial. Fase eksponensial ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang cepat. Setiap sel dalam populasi membelah menjadi dua sel. Variasi derajat pertumbuhan bakteri pada fase eksponensial ini sangat dipengaruhi oleh sifat genetik yang diturunkannya. Selain itu, derajat pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kadar nutrien dalam media, suhu inkubasi, kondisi pH dan aerasi. Pada penelitian ini fase ini terjadi pada hari ke-8 dan kari ke-10 yang ditandai dengan peningkatan kadar bioetanol. Pada hari ke-8 dan ke-10 mulai terjadi reproduksi seluler, dimana perlahan-lahan konsentrasi biomassa meningkat disertai dengan penambahan jumlah sel. Pada saat ini laju pertumbuhan atau reproduksi seluler mencapai titik maksimum, maka terjadi pertumbuhan secara ekponensial. Selama fase ekponensial, laju pertumbuhan sel meningkat sebanding dengan konsentrasi sel pada saat itu. Pada hari ke-12, bakteri mengalami fase stasioner yang menunjukkan bakteri sudah tidak bekerja lagi secara optimal. Fase stasioner terjadi pada saat laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju kematiannya, sehingga jumlah bakteri keseluruhan tetap.

Tabel 3 : Pengaruh waktu terhadap kadar bioetanol

Alga laut Hari ke-

Indeks Bias Kadar bioetanol (%)

G.verrucosa 2 4 6 8

10 12 14

1,3314 1,3318 1,3321 1,3325 1,3331 1,3319 1,3316

1,59 2,80 3,46 4,35 6,45 3,02 2,30

E.cottonii

2 4 6 8

10 12 14

1,3312 1,3316 1,3320 1,3325 1,3333 1,3323 1,3319

1,46 2,35 3,24 4,35 6,13 3,91 3,02

Page 5: Bioetanol Rumput Laut

5

Keseimbangan jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi karena adanya pengurangan derajat pembelahan sel. Fase tersebut disebabkan kadar glukosa dan nutrien yang semakin berkurang, terjadi akumulasi produk toksik sehingga mengganggu pembelahan sel, serta terjadinya produk samping dari fermentasi yang tidak terkait dengan pertumbuhan dan produktivitas bakteri, sehingga pada hari enzim yang dihasilkan semakin berkurang dan kadar bioetanol yang kecil.

Gambar 1. Grafik penentuan waktu optimum fermentasi alga laut Gracillaria verrucosa pada pH 5,0

Gambar 2. Grafik penentuan waktu optimum fermentasi alga laut Eucheuma cottonii pada pH 5,0

Jika dilihat dari waktu inkubasinya, pada hari ke-14 konsentrasi bioetanol yang dihasilkan sudah turun dan cenderung konstan. Pada tahap ini bakteri telah mengalami fase kematian yang ditandai dengan peningkatan laju kematian yang melampaui laju pertumbuhan, sehingga secara keseluruhan terjadi penurunan populasi bakteri. Hal ini terjadi pada semua variasi waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa waktu optimum dari kinerja bakteri Clostridium acetobutylicum pada proses fermentasi bioetanol dengan bahan alga laut adalah 10 hari.

a. Penentuan pH Optimum Fermentasi Pada penelitian ini divariasikan kondisi pH yaitu sebesar 4,5 – 6,5. Derajat keasaman yang diinginkan

diperoleh dengan menambahkan buffer asetat dan buffer posfat, Penambahan buffer disini dimaksudkan agar

1.59

2.813.46

4.35

6.45

3.022.35

11.5

22.5

33.5

44.5

55.5

66.5

7

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Kada

r Eta

nol (

%)

Waktu fermentasi (hari)

1.466

2.35

3.24

4.35

6.13

3.91

3.02

11.5

22.5

33.5

44.5

55.5

66.5

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Kada

r eta

nol (

%)

Waktu fermentasi (Hari)

Page 6: Bioetanol Rumput Laut

6

kondisi pH sesuai dengan besaran pH yang diinginkan. Hasil yang diperoleh dengan perlakuan variasi pH dan waktu terhadap kadar bioetanol dapat dilihat pada Tabel 4.

Sedang grafik perlakuan pH dan waktu terhadap kadar bioetanol dapat dilihat pada gambar 2. Dari gambar diketahui bahwa konsentrasi bioetanol paling tinggi dihasilkan pada perlakuan pH 6,0 yaitu sebesar 7,68 % untuk G. verrucosa, 7,24% untuk E.cottonii dan 7,02% untuk E.spinosum sedangkan untuk pH 5,0 – 5,5 menghasilkan kadar bioetanol yang lebih rendah yaitu sebesar 6 % sampai 1,91 %.

Tabel. 4: Pengaruh pH fermentasi tehadap kadar bioetanol

Alga Laut

pH Indeks Bias Kadar Bioetanol (%)

G. verrucosa

4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5

1,3317 1,3319 1,3331 1,3335 1,3340 1,3325

2,52 3,02 5,68 6,57 7,68 4,35

E. cottonii

4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5

1,3314 1,3316 1,3333 1,3335 1,3338 1,3330

1,91 2,35 3,91 6,57 7,24 5,46

Gambar 3. Grafik penentuan pH optimum fermentasi alga laut Gracillaria verrucosa pada waktu fermentasi 10 hari

2.573.02

5.686.57

7.68

4.35

22.5

33.5

44.5

55.5

66.5

77.5

8

4 4.5 5 5.5 6 6.5 7

Kada

r eta

nol (

%)

pH

Page 7: Bioetanol Rumput Laut

7

Gambar 4. Grafik penentuan pH optimum fermentasi alga laut Eucheuma cottonii pada waktu fermentasi 10 hari

Begitu pula dengan pH 6,5 juga menghasilkan kadar bioetanol yang rendah yaitu sebesar 4 – 5%.

Perubahan pH bisa terjadi karena fermentasi tidak hanya menghasilkan etanol tetapi juga menghasilkan senyawa-senyawa lain seperti asam asetat, asam butirat dan asam formiat. Asam asetat dapat dihasilkan oleh kontaminan yang hidup bersama bakteri yaitu acetobacter. Lactobacillus juga dapat ikut mengkontaminasi dan mengubah glukosa menjadi asam laktat sehingga mengurangi yield etanol dan menghambat pertumbuhan mikroba. Namun ada juga kemungkinan glukosa yang telah terhidrolisis telah habis terfermentasi menjadi produk lain karena sudah tidak ada lagi monosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis polisakarida. Hal ini bisa disebabkan oleh inhibitor-inhibitor yang ada sdalam biomassa antara lain lignin, asam lemah, turunan senyawa fenolik.

Tinggi rendahnya kadar bioetanol pada proses fermentasi dapat disebabkan oleh aktifitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH, karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH. Perubahan pH atau pH yang tidak sesuai akan menyebabkan daerah katalitik dan konformasi enzim berubah. Selain itu perubahan pH juga menyebabkan denaturasi enzim serta mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim (Meryandini, et al, 2009). Bakteri Clostridium acetobutylicum dapat berkembang dengan baik pada pH 6,0 oleh karena itu konsentrasi bioetanol yang dihasilkan lebih tinggi dari perlakuan pH yang lain.

Penentuan kadar bioetanol

Setelah di destilasi diperoleh bioetanol sebanyak 12,5 mL untuk jenis Gracillaria verrucosa dan 10 mL untuk Eucheuma cottonii Kemudian setelah dikeringkan dengan silika gel dan CaCO3 diperoleh bioetanol sebanyak 8,2 mL untuk Gracillaria verrucosa dan 7,0 mL untuk Eucheuma cottonii.

1.911

3.24

6.57 6.8 7.02

5.24

11.5

22.5

33.5

44.5

55.5

66.5

77.5

4 4.5 5 5.5 6 6.5 7

Kada

r eta

nol (

%)

pH

Page 8: Bioetanol Rumput Laut

8

Gambar 5 . Data analisis sampel bioetanol Gracillaria verrucosa dengan GC 2010 sebelum pemurnian

Page 9: Bioetanol Rumput Laut

9

Gambar 6 . Data analisis sampel bioetanol E. cottonii dengan GC 2010 sebelum pemurnian

Untuk menentukan kadar sampel dengan alat GC dilakukan dengan cara membandingkan luas area antara larutan standar dengan luas area sampel. Penunjukan area pada alat ini sebagai berikut: Area standar etanol absolut = 226873158 Area bioetanol Gracillaria verrucosa = 8554183 Area bioetanol Eucheuma cottoni = 3479942 Kadar etanol yang diperoleh untuk

a. G.verrucosa = ଼ହହସଵ଼ଷଶଶ଼ଷଵହ଼

% 3,77 = %100 ݔ

b. E.cottonii = ଷସଽଽସଶଶଶ଼ଷଵହ଼

%1,533 = %100ݔ Kadar bioetanol yang diperoleh sangat rendah, hal ini dimungkinkan karena bioetanol yang diperoleh

masih belum murni karena masih adanya zat pengotor atau masih mengandung air. Pengotor ini dapat disebabkan oleh adanya produk samping yang terbentuk berupa asam asetat atau asam organik lain yang terbentuk dari etanol yang mengalami reaksi lebih lanjut, bisa juga oleh injektor yang tidak bersih

Page 10: Bioetanol Rumput Laut

10

Gambar 7. Data analisis sampel bioetanol Gracilaria verrucosa dengan GC 2010 setelah pemurnian

Setelah pemurnian dengan silika gel dan CaCO3 kadar bioetanol yang diperoleh meningkat menjadi 17,04%

Page 11: Bioetanol Rumput Laut

11

Gambar 8 . Data analisis sampel bioetanol Eucheuma cottonii dengan GC 2010 setelah pemurnian

Setelah pemurnian dengan silika gel dan CaCO3 kadar bioetanol yang diperoleh meningkat menjadi 8,42%

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kondisi optimum fermentasi bioetanol dari Gracillaria verrucosa, Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum dengan menggunakan bakteri clostridium acetobutylicum adalah pada pH 6,0 dengan waktu fermentasi 10 hari

2. Bioetanol paling banyak dihasilkan oleh alga laut jenis Gracillaria verrucosa. 3. Nilai konversi alga laut Gracillaria verrucosa adalah setiap satu kilogram selulosa menghasilkan 215,63

gram bioetanol dengan kemurnian 17,04% dan untuk satu kilogram jenis alga laut Eucheuma cottonii menghasilkan bioetanol sebanyak 184,09 gram dengan kemurnian 8,42%

S a r a n

1. Masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut tentang metode penghilangan lignin dari alga laut agar diperoleh selulosa yang benar-benar murni

2. Masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut tentang metode pemurnian bioetanol yang diperoleh agar hasil lebih maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anindyawati, T. 2009. Prospek Enzim dan Limbah Lignoselulosa untuk Produksi Bioetanol. Pusat Penelitian

Bioteknologi – LIPI. Bandung.

Page 12: Bioetanol Rumput Laut

12

Anggadiredja, J., Irawati, S. dan Kusmiyati. 2006. Rumputn Laut :Pembudidayaan Pengolahan, dan Pemasaran Komoditas perikanan Potensial. Jakarta : Penebar Swadaya

Arora S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta : Kanisius Atmadja. 2007. Apa Rumput Laut Sebenarnya?, Semarang : Divisi Penelitian dan Pengembangan Alga Laut

UNDIP, www. algalaut.org. Diakses pada 2 September 2010 Dale, M. C. Tanpa tahun. Enzymatic Simultaneous Saccharification And Fermentation (SSF) OF Biomass To

Ethanol In A Pilot 130 Liter Multistage Continuous Reactor Separator (http://www. nrbp.org/papers/049.pdf, diakses 6 November 2009).

Datta, R. 1981. Acidogenic fermentation of lignocellulose-acid yield and conversion of components.

Biotechnology and Bioengineering 23 (9): 2167-2170. Demain, A.L., Newcomb, M. and Wu, J. H. D. 2005. Cellulase, Clostridia, and Ethanol, Microbiologi And

Molecular Biology Reviews, 69(1): 124–154 (Online), (http://mmbr.asm.org/cgi/reprint/69/1/124, Diakses 16 Februari 2010).

Didu, N. 2010. Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batats L) Secara Fed Batch dengan

Menggunakan Saccharomyces cereviseae. Tesis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.. Gozan¸ M., Samsuri, M., Siti, F., Bambang dan Nasikin, M., 2007. Sakarifikasi Dan Fermentasi Bagas

Menjadi Etanol Menggunakan Enzim Selulase Dan Enzim Sellobiase, (Online), (http://www. journal.eng.ui.ac.id/data/6._Misri_G_._.pdf, diakses 12 November 2009).

Lin, Y.Y and Blaschek, H.P., 1983. Butanol Production by a Butanol Tolerant Strain of Clostridium

acetobutylicum in Extruded Corn Broth, Applied and Environmental Microbiology, p. 966-973 Vol. 45, No. 3.

Meryandini, A., Widosari, W,. Maranatha, B., Sunarti, T.C., Rachmania, N.,dan Satria, H., 2009. Isolasi

Bakteri Selulolitik Dan Karakterisasi Enzimnya (Online) (http://www.journal.ui.ac.id/.../07Edit1_AnjaMeryIsolasi%20BakteriLayout_new.pdf, diakses 12 November 2009).

Napoli, F., Marzocchella, G.OA, Russo, M.E., P. (tanpa Salatino, P. (Tanpa tahun). Production Of Butanol In

A Continuous Packed Bed Reactor Of Clostridium Acetobutylicum. P.le V. Tecchio, 80 – 80125 Napoli, Italy.

Oh, S.E., Zuo, Y., Zhang, H., Guiltinan, M.J., Logan, B.E., and Regan, J.M., 2009. Hydrogen production by

Clostridium acetobutylicum ATCC 824 and megaplasmid-deficient mutant M5 evaluated using a large headspace volume technique, ScienceDirect, International Journal Of Hydogen Energy 34 www.elsevier.com/locate/he, diakses tanggal 28 April 2010.

Riyanti, E.I. 2009. Biomassa Sebagai Bahan Baku Bioetanol. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Ruso, Sakius. 2011. Pembuatan Bioetanol Dari Batang Rumput Gajah (Pennisetum purpureum schumach)

Dengan Sistem Fermentasi Simultan Menggunakan Bakteri Clostridium acetobutylicum. Jurusan Kimia Fakultas MIPA, UNHAS, Makassar.

Page 13: Bioetanol Rumput Laut

13

Selig, M.J., Todd B. Vinzant, T.B., Himmel, M.E. and Decker, S.R., 2009. The Effect of Lignin Removal by Alkaline Peroxide Pretreatment on the Susceptibility of Corn Stover to Purified Cellulolytic and Xylanolytic Enzymes, Appl Biochem Biotechnol. DOI 10.1007/s12010-008-8511-x.

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan makanan Dan Pertanian,

Penerbit Liberty, Yogyakarta. Syarifuddin, N.A. 2007. Nilai Gizi Rumput Laut Sebelum Dan Setelah Ensilase Pada Berbagai Umur

Pemotongan (Online). Nilai Gizi Alga Laut Sebelum dan Setelah Ensilase (http://images.andinursyam.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R5ztTQoKCtMAAFCzsFw1pdf, diakses 15 Maret 2010).

Tamrin. 2007. Produksi Etanol dari Jerami Padi Dengan Menggunakan Rumen Sapi Dan Ragi. Tesis tidak

diterbitkan. Makassar : Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Wyman, C.E. 1999. Biomass Ethanol : Technical Progress, Opportunities, and Commercial Challenges.

Annual Review of Energy and the Environment, November 1999, Vol. 24, Pages 189-226 (doi: 10.1146/ annurev energy.24.1.189).