bioetanol 3

25
BAB I PEMBAHASAN UMUM 1.1 Pendahuluan Perkembangan industri saat ini begitu pesat baik di Indonesia maupun di negara – negara berkembang lainnya, sehingga diperlukan sumber energi yang lebih besar dibandingkan dengan saat sebelumnya. Kemajuan di bidang industri membawa dampak pada pembangunan nasional di segala bidang dan diharapkan dapat memberikan devisa bagi negara, menambah lapangan pekerjaan dan mengurangi ketergantungan terhadap produk negara lain guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan energi dunia termasuk Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Lebih dari 80% kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh bahan bakar fosil yang berasal dari minyak bumi dan gas alam. Tingkat pertumbuhan pemakaian energi bahan bakar minyak (BBM) di negara Indonesia cukup tinggi yakni mencapai 5,6 % per tahun. Namun sangat disayangkan peningkatan konsumsi energi ini tidak disertai dengan produksi energi yang memadai. Saat ini, produksi bahan bakar sektor migas semakin menurun karena sumbernya yang semakin menipis di lapisan bumi. Kita tidak mungkin terus mengandalkan minyak bumi sebagai pasokan energi

Transcript of bioetanol 3

Page 1: bioetanol  3

BAB I

PEMBAHASAN UMUM

1.1 Pendahuluan

Perkembangan industri saat ini begitu pesat baik di Indonesia maupun di negara – negara

berkembang lainnya, sehingga diperlukan sumber energi yang lebih besar dibandingkan dengan

saat sebelumnya. Kemajuan di bidang industri membawa dampak pada pembangunan nasional di

segala bidang dan diharapkan dapat memberikan devisa bagi negara, menambah lapangan

pekerjaan dan mengurangi ketergantungan terhadap produk negara lain guna meningkatkan

kesejahteraan rakyat.

Kebutuhan energi dunia termasuk Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih dari 80% kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh bahan bakar fosil yang berasal dari

minyak bumi dan gas alam. Tingkat pertumbuhan pemakaian energi bahan bakar minyak (BBM)

di negara Indonesia cukup tinggi yakni mencapai 5,6 % per tahun. Namun sangat disayangkan

peningkatan konsumsi energi ini tidak disertai dengan produksi energi yang memadai. Saat ini,

produksi bahan bakar sektor migas semakin menurun karena sumbernya yang semakin menipis

di lapisan bumi. Kita tidak mungkin terus mengandalkan minyak bumi sebagai pasokan energi

karena minyak bumi adalah sumber energi yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable

resources) dan suatu saat akan habis.

Pengembangan bioetanol dari biomassa yang banyak mengandung lignoselulosa seperti

ampas tebu (bagasse) merupakan salah satu energi alternatif yang cukup berpotensi untuk

diterapkan di Indonesia. Selain karena sumber bahan bakunya yang melimpah di negara kita,

produksi bioetanol dari bagasse juga ramah lingkungan serta membutuhkan biaya yang relatif

murah. Bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar substitusi bensin dan sebagai bahan

campuran premium.

Page 2: bioetanol  3

Potensi bagasse di Indonesia menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia

(P3GI) tahun 2008, cukup besar dengan komposisi rata-rata hasil samping industri gula di

Indonesia terdiri dari limbah cair 52,9 persen, blotong 3,5 persen, ampas (bagasse) 32,0 persen,

tetes 4,5 persen dan gula 7,05 persen serta abu 0,1 persen. Bagasse (Saccharum officinarum L.)

mempunyai kadar serat kasar dan kadar lignin sangat tinggi, yaitu masing-masing sebesar 46,5%

dan 14%.

2. Sejarah Perkembangan

Etanol yang juga dikenal sebagai etil alkohol merupakan bahan kimia yang sudah

digunakan sejak 3000 Sebelum Masehi oleh masyarakat Babylonia. Mereka memanfaatkan

etanol sebagai bahan minuman beralkohol sebagai hasil dari fermentasi bir.

Keahlian memisahkan alkohol dari bahan-bahan terfermentasi telah dimiliki oleh orang

Mesir sejak zaman dahulu kala. Keahlian tersebut diturunkan kepada bangsa Arab yang dengan

tekun kemudian mempelajari dan menyempurnakannya (abad ke-7 sampai 12 Sesudah Masehi).

Rhases (860-960) berhasil menemukan suatu cara untuk memekatkan spirit of wine melalui

destilasi dengan menggunakan kapur atau abu. Dengan ditemukannya proses distilasi sekitar

abad 10-14 maka pemanfaatan etanol makin berkembang tidak hanya sebatas pada bahan

pembuat minuman beralkohol.

Sejak abad ke-17 manusia sudah memanfaatkan proses fermentasi alkohol untuk

memperoleh etanol, tetapi belum bisa mendapatkan etanol dengan kemurnian yang cukup tinggi.

Dengan ditemukannya mikroskop pada abad ke-19 maka mekanisme proses fermentasi yang

menggunakan mikroorganisme yang terdapat didalam ragi dapat dijelaskan secara ilmiah. Louis

Pasteur (1822–1895) memperkenalkan teori yang menerangkan bahwa mikroorganisme tersebut

dapat mengubah karbohidrat menjadi alkohol dengan reaksi :

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Page 3: bioetanol  3

Teknologi pembuatan bioetanol dari lignoselulosa telah ditemukan sejak tahun 1919.

Haugh K Moore menemukan cara pembuatan etil alkohol dari kayu. Proses yang digunakan

Moore sangat sederhana, bahan - bahan berkayu dimasukkan ke dalam tanki hidrolizer untuk

dilakukan pemanasan lalu dihidrolisis dengan menggunakan asam fosfat (H3PO4). Moore

melakukan hidolisis sebanyak 2 kali. Pada tahap pertama, Moore menghidrolisis sekitar 25 %

dari berat kering biomassa sedangkan pada tahap kedua sekitar 12 % - 15 % dari biomassa yang

tersisa.

2. Macam – Macam Proses Pembuatan

1. Proses Pembuatan Etanol

Menurut Kirk dan Othmer, proses pembuatan etanol terbagi dalam dua jenis yaitu:

a. Fermentasi

Metode ini menggunakan biomassa yang menggunakan monosakarida sebagai bahan bakunya,

yaitu :

Bahan-bahan yang mengandung gula atau disebut juga substansi sakarin yang rasanya

manis, misalnya gula tebu, gula bit, molase (tetes), macam-macam sari buah-buahan dan

lain-lain. Bahan baku jenis ini dapat secara langsung difermentasikan menjadi etanol.

Bahan yang mengandung pati, misalnya jagung, gandum, kentang, ubi kayu, onggok,

padi-padian, akar tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Bahan-bahan jenis ini harus

dihidrolisa dengan menggunakan enzim atau katalis asam terlebih dahulu agar dapat

menjadi yang dapat difermentasikan untuk menghasilkan etanol.

Bahan-bahan yang mengandung selulosa, misalnya kayu, ampas tebu, kulit kerang, waste

sulfite liquor pabrik pulp dan kertas. Untuk menghasilkan etanol, pertama yang harus

dilakukan adalah menghidrolisa selulosa dengan asam mineral untuk mendapatkan

monosakarida (gula), kemudian baru difermentasikan.

Page 4: bioetanol  3

b. Sintesa Etylen

Pembuatan etanol dengan cara ini menggunakan gas etilen yang terkandung di dalam gas alam

sebagai bahan bakunya. Jenis – jenis proses yang ada yaitu

Hidrasi katalitik secara langsung dari gas etilen.

Proses ini menghasilkan etanol sintesis dengan melalui beberapa tahapan proses. Mula –

mula etilen mengalami proses penyerapan (absorpsi) dengan etil hydrogen sulfat sehingga

terbentuk di etil sulfat. Kemudian etil hydrogen sulfat dihidrolisa dengan penyemprotan

campuran air dan stripping gas di bottom reactor sehingga terbentuk produk etanol. Etanol

yang terbentuk kemudian dipisahkan dari gas stripping di separator dan di dapat produk

ethanol.

Hidrasi katalitik tak langsung dari gas etilen.

Proses ini lebih dikenal dengan nama prose Shall. Reactor menggunakan katalis asam pospat

dengan sopportnya relite diatomite. Reaksi hidrasi etilen adalah eksotermis dengan P = 960

Psig dan T reaksi 570 oF serta dalam fase gas. Karena konversi etilen sangat rendah, maka

sebagian etilen di recycle di reactor.

Selain proses diatas, pembuatan etanol dari lignoselulosa juga dapat melalui proses

Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF). Proses SSF pertama kali ditemukan oleh

Takagi et al pada tahun 1977. SSF merupakan kombinasi antara hidrolisis menggunakan enzim

selulase dan ragi S. cerevisiae untuk fermentasi gula menjadi etanol secara simultan. Pada proses

SSF, hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam satu reaktor. Keuntungan dari proses ini adalah

polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi polisakarida karena

monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan menggunakan satu

reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan.

Page 5: bioetanol  3

1.3.2 Proses Pretreatment Lignoselulosa

Pengaruh pretreatment bahan lignoselulosa telah diakui sejak lama (McMillan, 1994).

Tujuan dari pretreatment adalah untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa, mengurangi

kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Pretreatment harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan untuk kemudian membentuk gula oleh

hidrolisis enzimatik;

menghindari degradasi atau hilangnya karbohidrat;

menghindari pembentukan produk sampingan inhibitor untuk hidrolisis berikutnya dan

proses fermentasi, dan

efektif biaya.

Proses fisika, fisika-kimia, kimia dan biologi telah digunakan untuk pretreatment dari

bahan lignoselulosa.

Pretreatment Fisika

1. Pemecahan secara mekanik (Mechanical Comminution)

Bahan-bahan limbah bisa dipecah dengan kombinasi pemotongan dan penggilingan untuk

mengurangi kristalinitas selulosa. Ukuran bahan biasanya 10-30 mm setelah dipotong dan 0.2-2

mm setelah penggilingan. Penggilingan getaran bola telah ditemukan agar lebih efektif dalam

meruntuhkan kristalinitas selulosa potongan pohon cemara dan aspen dan meningkatkan

kecernaan biomassa daripada penggilingan bola biasa (Millet dkk, 1976.). Kebutuhan daya

Page 6: bioetanol  3

penggerusan mekanis bahan pertanian tergantung pada ukuran partikel akhir dan karakteristik

limbah biomasa (Cadoche dan opez L, 1989).

2. Pyrolysis

Pirolisis juga telah digunakan untuk pretreatment dari bahan lignoselulosa. Ketika bahan

diperlakukan pada suhu lebih besar dari 300oC, selulosa cepat terurai untuk menghasilkan produk

gas dan sisa char (Kilzer dan Broido, 1965; Shafizadeh dan Bradbury, 1979). Dekomposisi ini

jauh lebih lambat dan produk volatil kurang terbentuk pada suhu yang lebih rendah. Hidrolisis

asam ringan (1 N H2SO4, 97oC, 2.5 h) dari pirolisis residu dari perlakuan awal telah

menghasilkan 80-85% konversi dari selulosa untuk mengurangi gula dengan lebih dari 50%

glukosa (Fan et al, 1987.). Proses ini dapat ditingkatkan dengan kehadiran oksigen (Shafizadeh

dan Bradbury, 1979). Ketika seng klorida atau natrium karbonat ditambahkan sebagai katalisator,

dekomposisi selulosa murni dapat terjadi pada suhu yang lebih rendah (Shafizadeh dan Lai,

1975).

Pretreatment Fisika-Kimia

1. Steam Explosion (autohydrolysis):

Ledakan uap adalah metode yang paling umum digunakan untuk pretreatment bahan

lignoselulosa (McMillan, 1994). Dalam metode ini, potongan biomassa diperlakukan dengan

tekanan tinggi uap jenuh dan kemudian tekanan jenuh berkurang secara cepat, yang membuat

bahan mengalami dekompresi eksplosif. Ledakan uap biasanya dimulai pada suhu 160-260oC

(tekanan yang sesuai 0.69-4.83 MPa) dalam beberapa detik untuk beberapa menit sebelum bahan

terkena tekanan atmosfer. Proses ini menyebabkan degradasi hemiselulosa dan transformasi

lignin karena suhu tinggi, sehingga meningkatkan potensi hidrolisis selulosa. Efisiensi 90%

hidrolisis enzimatik telah dicapai dalam 24 jam untuk pretreated potongan poplar oleh ledakan

uap, dibandingkan dengan hidrolisis hanya 15% dari potongan yang tidak diperlakukan (Grous et

al, 1986.). Faktor-faktor yang mempengaruhi pretreatment ledakan uap adalah waktu tinggal,

Page 7: bioetanol  3

temperatur, ukuran chip dan kadar air (Duff dan Murray, 1996). Solubilisasi hemiselulosa

optimal dan hidrolisis dapat dicapai dengan temperatur tinggi dan waktu tinggal pendek (270oC,

1 menit) atau suhu yang lebih rendah dan waktu tinggal yang lebih lama (190oC, 10 menit) (Duff

dan Murray, 1996). Studi terbaru menunjukkan bahwa suhu yang lebih rendah dan waktu tinggal

lebih lama lebih baik (Wright, 1998).

Penambahan H2SO4 (atau SO2) atau CO2 dalam ledakan uap dapat secara efektif

meningkatkan hidrolisis enzimatik, menurunkan produksi senyawa inhibitor, dan mengakibatkan

penghapusan hemiselulosa lebih lengkap (Morjanoff dan Gray, 1987). Kondisi optimal

pretreatment ledakan uap ampas tebu telah ditemukan menjadi sebagai berikut: 220oC; 30 detik

waktu tinggal, rasio air solid, 2 dan 1% H2SO4 (Morjanoff dan Gray, 1987). Produksi gula adalah

65,1 g sugar/100 g mulai bagas setelah pretreatment ledakan uap.

Kelebihan pretreatment ledakan uap termasuk kebutuhan energi rendah dibandingkan

dengan mechanical comminution dan tidak ada daur ulang atau biaya lingkungan. Metode

mekanik konvensional membutuhkan energi lebih 70% dari ledakan uap untuk mencapai

pengurangan ukuran yang sama (Holtzapple et al, 1989.). Ledakan uap diakui sebagai salah satu

proses pretreatment harga paling efektif untuk kayu keras dan residu pertanian, tetapi kurang

efektif untuk kayu lunak (Clark dan Mackie, 1987). Keterbatasan ledakan uap meliputi

kerusakan sebagian dari fraksi xilan, gangguan tidak lengkap dari matriks lignin-karbohidrat, dan

generasi senyawa yang mungkin menghambat mikroorganisme yang digunakan dalam proses

hilir (Mackie et al, 1985.). Karena pembentukan penurunan produk yang menghambat

pertumbuhan mikroba, hidrolisis enzimatik, dan fermentasi, pretreated biomassa perlu dicuci

dengan air untuk menghilangkan bahan penghambatan bersama dengan hemiselulosa larut dalam

air

(McMillan, 1994). Cucian air menurunkan hasil sakarifikasi keseluruhan karena penghapusan

gula larut, seperti yang dihasilkan oleh hidrolisis hemiselulosa. Biasanya, 20-25% dari bahan

kering awal dihilangkan dengan cucian air (Mes-Hartree et al, 1988.).

2. Ammonia fiber explosion (AFEX)

Page 8: bioetanol  3

AFEX adalah jenis lain pretreatment fisika-kimia di mana bahan lignoselulosa yang

terkena amoniak cair pada suhu dan tekanan tinggi dalam periode waktu, dan kemudian tekanan

cepat berkurang. Konsep AFEX mirip dengan ledakan uap. Dalam khas proses AFEX, dosis

amoniak cair 1-2 kg amoniak/ kg biomassa kering, suhu 90oC, dan waktu tinggal 30 menit.

Pretreatment AFEX secara signifikan dapat meningkatkan tingkat sakarifikasi dari berbagai

tanaman herbal dan rumput. Hal ini dapat digunakan untuk pretreatment bahan lignoselulosa,

termasuk alfalfa, jerami gandum, sekam gandum (Mes-Hartree et al, 1988.), Jerami barley,

brangkasan jagung, jerami padi (Vlasenko et al, 1997.), Limbah padat perkotaan , kayu lunak

koran, kenaf koran (Holtzapple et al, 1992a.), rumput pantai Bermuda, switchgrass (Reshamwala

et al., 1995), aspen chip (Tengerdy dan Nagy, 1988), dan ampas tebu (Holtzapple et al, 1991.).

Pretreatment AFEX tidak signifikan dibandingkan dengan melarutkan hemiselulosa untuk

pretreatment asam) dan ledakan uap katalis asam (Mes-Hartree et al, 1988;. Vlasenko et al,

1997.) Mes-Hartree et al.(1988) membandingkan perlakuan awal uap dan amonia untuk

hidrolisis enzimatik aspenwood, jerami gandum, sekam gandum, dan alfalfa batang, dan

menemukan bahwa ledakan uap hemiselulosa dilarutkan, sedangkan AFEX tidak. Komposisi

bahan setelah pretreatment AFEX pada dasarnya sama dengan bahan aslinya. Lebih dari 90%

hidrolisis selulosa dan hemiselulosa telah diperoleh setelah pretreatment AFEX rumput Bermuda

(sekitar 5% lignin) dan ampas tebu (Lignin 15%) (Holtzapple et al, 1991.). Namun, proses AFEX

tidak terlalu efektif untuk biomass dengan kandungan lignin tinggi seperti koran (18-30% lignin)

dan chip aspen (25% lignin). Hasil hidrolisis pretreated AFEX koran dan chip aspen dilaporkan

masing-masing hanya 40% dan di bawah 50%, (McMillan, 1994).

Untuk mengurangi biaya dan melindungi lingkungan, amonia harus didaur ulang setelah

pretreatment. Dalam proses pemulihan amonia, uap amonia superpanas dengan suhu sampai

200oC digunakan untuk menguapkan dan strip sisa amoniak dalam pretreated biomassa dan

amonia menguap kemudian ditarik dari sistem dengan pengontrol tekanan untuk pemulihan

(Holtzapple et al , 1992b.). Pretreatment amonia tidak menghasilkan inhibitor untuk proses

biologi hilir, sehingga cucian air tidak diperlukan (Dale et al, 1984;. Mes-Hartree et al, 1988.).

Pretreatment AFEX tidak memerlukan ukuran partikel kecil untuk kemanjuran (Holtzapple et al,

1990.).

3. CO2 explosion

Page 9: bioetanol  3

Mirip dengan pretreatment ledakan uap dan amonia, ledakan CO2 juga digunakan untuk

pretreatment dari bahan lignoselulosa. Hal ini diduga bahwa CO2 akan membentuk asam

karbonat dan meningkatkan laju hidrolisis. Dale dan Moreira (1982) menggunakan metode ini

untuk pretreat alfalfa (4 kg CO2/kg fiber pada tekanan 5,62 MPa) dan memperoleh 75% dari

glukosa teoritis dilepaskan selama 24 jam dari hidrolisis enzimatik. Hasilnya relatif rendah

dibandingkan dengan uap atau pretreatment ledakan amoniak, tapi tinggi dibandingkan dengan

hidrolisis enzimatik tanpa pretreatment. Zheng et al. (1998) dibandingkan ledakan CO2 dengan

uap dan ledakan amoniak untuk pretreatment dari campuran kertas daur ulang, ampas tebu, dan

sisa repulping kertas daur ulang, dan menemukan bahwa ledakan CO2 lebih hemat biaya daripada

ledakan amoniak dan tidak menyebabkan pembentukan senyawa inhibitor yang dapat terjadi

dalam ledakan uap.

Pretreatment Kimia

1. Ozonolysis

Ozon dapat digunakan untuk mendegradasi lignin dan hemiselulosa dalam bahan-bahan

lignoselulosa seperti jerami gandum (Ben-Ghedalia dan Miron, 1981), ampas tebu, hijau jerami,

kacang tanah, pinus (Neely, 1984), kapas jerami (Ben-Ghedalia dan Shefet, 1983), dan serbuk

gergaji poplar (Vidal dan Molinier, 1988). Degradasi itu pada dasarnya terbatas untuk lignin dan

hemiselulosa yang sedikit diserang, namun selulosa hampir tidak terpengaruh. Tingkat hidrolisis

enzimatik meningkat dengan faktor 5 berikut penghapusan 60% lignin dari jerami gandum di

pretreatment ozon (Vidal dan Molinier, 1988). Hasil hidrolisis enzimatis meningkat dari 0%

menjadi 57% sebagai persentase penurunan lignin dari 29% menjadi 8% setelah pretreatment

ozonolysis serbuk gergaji poplar (Vidal dan Molinier, 1988). Pretreatment ozonolysis memiliki

keuntungan sebagai berikut:

(1) efektif menghilangkan lignin,

(2) tidak menghasilkan residu beracun untuk proses hilir, dan

Page 10: bioetanol  3

(3) reaksi dilakukan pada suhu dan tekanan kamar (Vidal dan Molinier, 1988). Namun,

sejumlah besar ozon diperlukan, membuat proses menjadi mahal.

2. Acid hydrolysis

Konsentrat asam seperti H2SO4 dan HCl telah digunakan untuk memperlakukan bahan

lignoselulosa. Meskipun mereka adalah agen-agen yang kuat untuk hidrolisis selulosa, konsentrat

asam beracun, korosif dan berbahaya dan membutuhkan reaktor yang tahan terhadap korosi.

Selain itu, asam pekat harus pulih setelah hidrolisis untuk membuat proses layak secara ekonomi

(Sivers dan Zacchi, 1995).

Hidrolisis asam encer telah berhasil dikembangkan untuk pretreatment bahan lignoselulosa.

Pretreatment asam sulfat cair dapat mencapai laju reaksi yang tinggi dan secara signifikan

meningkatkan hidrolisis selulosa (Esteghlalian et al, 1997.). Pada suhu sedang, sakarifikasi

langsung didapat dari hasil yang rendah karena penguraian gula. Temperatur tinggi dalam

perlakuan asam encer adalah menguntungkan untuk hidrolisis selulosa (McMillan, 1994). Baru-

baru ini dikembangkan proses hidrolisis asam encer menggunakan kondisi kurang keras dan

mencapai xilan tinggi untuk hasil konversi xylose. Pencapaian xilan tinggi untuk hasil konversi

xylose yang diperlukan untuk mencapai proses ekonomi yang menguntungkan secara

keseluruhan karena harga xilan hingga sepertiga dari total karbohidrat dalam banyak bahan

lignoselulosa (Hinman et al, 1992.). Ada terutama dua jenis proses pretreatment asam encer:

suhu tinggi (T lebih besar dari 160oC), proses continuous- flow untuk memuat solid rendah (5-

10% [berat substrat / berat reaksi campuran]) (Brennan et al , 1986;... Converse et al, 1989), dan

suhu rendah (T kurang dari 160oC), proses batch untuk memuat solid tinggi (10-40%) (Cahela et

al, 1983; Esteghlalian et al, 1997. ). Meskipun pretreatment asam encer dapat secara signifikan

meningkatkan hidrolisis selulosa, biaya biasanya lebih tinggi daripada beberapa pretreatment

fisika-kimia proses seperti ledakan uap atau AFEX. Sebuah netralisasi pH diperlukan untuk

hidrolisis enzimatik hilir atau proses fermentasi.

3. Alkaline hydrolysis

Page 11: bioetanol  3

Beberapa basis juga dapat digunakan untuk pretreatment bahan lignoselulosa dan

pengaruh pretreatment basa tergantung pada kadar lignin bahan (Fan et al, 1987;. McMillan,

1994). Mekanisme hidrolisis basa diyakini rantai saponifikasi ester antarmolekul silang xilan

hemiselulosa dan komponen lainnya, misalnya, lignin dan hemiselulosa lainnya. Porositas bahan

lignoselulosa meningkat dengan penghapusan crosslinks (Tarkow dan Feist, 1969). Perlakuan

NaOH encer bahan lignoselulosa menyebabkan pembengkakan, menyebabkan peningkatan luas

permukaan internal, penurunan derajat polimerisasi, penurunan kristalinitas, pemisahan

hubungan struktural antara lignin dan karbohidrat, dan gangguan struktur lignin (Fan et al,

1987.). Kecernaan kayu keras NaOH-diperlakukan meningkat dari 14% menjadi 55% dengan

penurunan kadar lignin 24-55% menjadi 20%. Namun, tidak ada efek pretreatment NaOH encer

diamati untuk kayu lunak dengan kandungan lignin lebih besar dari 26% (Millet et al, 1976.).

Pretreatment NaOH encer juga efektif untuk hidrolisis sedotan dengan kandungan lignin yang

relatif rendah 10-18% (Bjerre et al., 1996). Chosdu et al. (1993) menggunakan kombinasi radiasi

dan NaOH 2% untuk pretreatment tangkai jagung, ubi kayu kulit dan kulit kacang. Hasil glukosa

tangkai jagung 20% dalam sampel tidak diperlakukan dibandingkan dengan 43% setelah

perawatan dengan electron balok iradiasi pada dosis 500 kGy dan 2% NaOH, tetapi

menghasilkan glukosa masing-masing dari kulit singkong, kulit kayu dan kacang tanah hanya

3,5% dan 2,5%.

Amonia juga digunakan untuk pretreatment untuk menghilangkan lignin. Iyer et al.

(1996) menggambarkan proses amonia perkolasi daur ulang (suhu, 170oC, konsentrasi amonia,

2.5-20%, waktu reaksi, 1 jam) untuk pretreatment tongkol jagung / brangkasan campuran dan

switchgrass. Efisiensi delignifikasi adalah 60-80% untuk tongkol jagung dan suhu 65-85% untuk

switchgrass.

4. Oxidative delignification

Page 12: bioetanol  3

Biodegradasi lignin bisa dikatalisis oleh enzim peroksidase dengan kehadiran H2O2

(Azzam, 1989). Pretreatment dari ampas tebu dengan hydrogen peroksida sangat meningkatkan

kepekaannya terhadap hidrolisis enzimatik. Sekitar 50% lignin dan hemiselulosa sebagian besar

dilarutkan dengan H2O2 2% pada 30°C dalam 8 jam, dan efisiensi 95% dari produksi glukosa

dari selulosa yang telah dicapai pada sakarifikasi berikutnya dengan selulase pada 45oC selama

24 jam (Azzam, 1989). Bjerre et al. (1996) digunakan oksidasi basah dan hidrolisis basa jerami

gandum (20 g jerami/l, 170oC, 5-10 menit), dan mencapai 85% hasil konversi selulosa menjadi

glukosa.

5. Organosolv process

Dalam proses organosolv, campuran organik atau pelarut organik cair dengan katalis

asam anorganik (HCl atau H2SO4) digunakan untuk memecahkan lignin internal dan rantai

hemiselulosa. Pelarut organik yang digunakan dalam proses ini termasuk metanol, etanol, aseton,

etilen glikol, glikol trietilen dan alkohol tetrahidrofurfuril (Chum et al, 1988;. Thring et al,

1990.). asam organik seperti asam oksalat, asetilsalisilat dan salisilat juga dapat digunakan

sebagai katalis dalam proses organosolv (Sarkanen, 1980). Pada suhu tinggi (di atas 185oC),

penambahan katalis yang tidak perlu untuk delignifikasi memuaskan (Sarkanen, 1980; Aziz dan

Sarkanen, 1989). Biasanya, hasil yang tinggi, xilosa dapat diperoleh dengan penambahan asam.

Pelarut yang digunakan dalam proses perlu dikeringkan dari reaktor, menguap, kental dan daur

ulang untuk mengurangi biaya. Penghapusan pelarut dari sistem ini diperlukan karena mungkin

pelarut untuk menghambat pertumbuhan organisme, hidrolisis enzimatik, dan fermentasi.

Biological pretreatment

Dalam proses pretreatment biologi, mikroorganisme seperti cokelat, putih dan jamur

busuk lunak digunakan untuk mendegradasi lignin dan hemiselulosa dalam bahan limbah

(Schurz, 1978). Cokelat membusuk terutama serangan selulosa, sedangkan putih dan lembut

membusuk serangan baik selulosa dan lignin. Jamur putih busuk adalah Basidiomycetes paling

Page 13: bioetanol  3

efektif untuk pretreatment biologi bahan lignoselulosa (Fan et al, 1987.). Hatakka (1983)

mempelajari pretreatment jerami gandum sebesar 19 jamur putih-membusuk dan menemukan

bahwa 35% dari jerami ini telah dikonversi untuk mengurangi gula oleh Pleurotus ostreatus

dalam lima minggu. Konversi serupa diperoleh di pretreatment dengan chrysosporium sordida 37

dan Pycnoporus cinnabarinus 115 dalam empat minggu. Untuk mencegah hilangnya selulosa,

sebuah-selulase kurang mutan pulverulentum Sporotrichum dikembangkan untuk degradasi

lignin dalam kayu chip (Ander dan Eriksson, 1977). Akin et al. (1995) juga melaporkan

Delignifikasi rumput Bermuda oleh jamur putih membusuk. Biodegradasi batang rumput

Bermuda ditingkatkan dengan 29-32% menggunakan subvermispora Ceriporiopsis dan 63-77%

menggunakan stercoreus Cyathus setelah 6 minggu.

Jamur putih-membusuk P. chrysosporium menghasilkan lignin penurunan enzim, lignin

peroksidase dan mangan tergantung peroksidase, selama metabolisme sekunder dalam

menanggapi pembatasan karbon atau nitrogen (Boominathan dan Reddy, 1992). Kedua enzim

telah ditemukan dalam filtrat ekstraselular jamur pelapuk putih, banyak untuk degradasi dinding

sel kayu (Kirk dan Farrell, 1987;. Waldner et al, 1988). Enzim lain termasuk polifenol oksidase,

laccases, enzim menghasilkan H2O2 dan kuinon-mengurangi enzim juga dapat mendegradasi

lignin (Blanchette, 1991). Kelebihan pretreatment biologi mencakup persyaratan energi yang

rendah dan kondisi lingkungan ringan. Namun, tingkat hidrolisis di sebagian besar proses

pretreatment biologi sangat rendah.

Kelebihan pretreatment proses delignifikasi H2SO4 encer dan alkali dibanding dengan

pretreatment yang lain adalah

1. Dapat menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain

2. Dapat mengubah struktur lignin

3. Dapat menghilangkan hemiselulosa dan lignin

4. Dapat meningkatkan luas permukaan yang diakses

Page 14: bioetanol  3

1.4 Sifat Fisika dan Kimia

1.4.1 Ethanol

Rumus molekul : C2H5OH

Berat molekul : 46,07 gr/mol

Wujud (25oC) : cair tidak berwarna

surface tension at 200C : 22.03 N/m

Cp(16-21 0C) : 2.415 J-1K-1

Heat Of Fusion : 4.64 KJ/mol

Heat of evaporation :

a. At 70 0C : 855.66 KJ/Kg

b. At 80 0C : 900.83 KJ/Kg

c. At 100 0C : 799.05 KJ/Kg

Heat of Combustion : 1370.82 KJ/mol

Thermal Conductivity 20 0C : 18 μW m-1 K –1

Dynamic Viscosity : 1.19 mPa.s

Flash Point : 13 0C

Explosion limit (amount of ethanol in mixture with air)

a. Lower, 3.5 % vol : 67 g/m3

b. Upper, 15% vol : 290 g/m3

Page 15: bioetanol  3

Auto ignitation : 425 0C

Heating Value

a. Upper : 29895 KJ/Kg

b. Lower : 29964 KJ/Kg

Maximum Exploison pres : 736 kN/m2

Normal boiling point, oC : 78.32

Critical temperature, oC : 243.1

Density , g/ml : 0.7893

Viskositas : 1,17 cP

Titik leleh : 112oC

Titik beku : -117,3oC

T kritis : 243,3oC

P kritis : 243,3oC

Mudah menguap

Dapat bercampur dengan air dengan segala perbandingan

Spesifikasi etanol yang dijual dipasaran :

1. Industrial etanol (96,5 vol %), digunakan sebagai bahan pelarut, bahan bakar dan juga

untuk membuat berbagai macam produk.

2. Denatured spirit (88 vol %), digunakan sebagai bahan pemanas dan untuk penerangan.

Page 16: bioetanol  3

3. Fine alcohol (96,0-96,5 vol %), digunakan oleh industri obat-obatan, kosmetik, dan

minuman beralkohol.

4. Absolute or anhydrous ethanol ( 99,7-99,8 vol %), digunakan oleh industri obat-obatan,

industri makanan, dan juga untuk membuat aerosol.

5. Motor fuel ethanol, digunakan untuk menaikkan bilangan oktan pada bahan bakar.

1.4.2 Selulosa

Rantai panjang polisakarida yang tersusun dari unit β – D glukosa terhidrolisis dengan

ikatan α, 1 – 4 glukosa.

Rumus empirisnya (C6H10O5)n

Berwarna Putih

Tidak larut dalam air dan pelarut organic netral

Relatif tahan dengan bahan kimia

Mudah menyerap air

Derajat polimerisasi berkisar 1000 – 5000

Molekul selulosa terdiri dari fraksi alpha, beta dan gamma

1.4.3 Glukosa

Rumus molekul : C6H12O6

Berat molekul : 180 gr/mol

Wujud (25oC) : Kristal

Page 17: bioetanol  3

Densitas : 1,544 gr/cm3

Cp (25 ⁰C) : 0,298 kal/groC

∆Hfo(25 ⁰C) : - 340,26 kkal

∆Gfo (25 ⁰C) : - 217,6 kkal

1.4.4 Air

Rumus Kimia : H2O

Berat Molekul : 18 kg/kmol

Wujud (25oC) : Cair tidak berwarna

Titik Beku : 273,15 oK (0 oC)

Titik Didih : 373,15 oK (100oC)

Temperatur Kritis : 647,3 oK

Tekanan Kritis : 220,5 bar

Densitas : 998 kg/m3

Hf298 : -242,0 kJ/mol

Panas Laten : 40.683 kJ/kmol

Kapasitas Panas : 75,4 J/mol.oK (liquid)

Cp = 32,243 + 1,923 . 10-3 T + 1,055 . 10-5 T2 - 3,596. 10-9 T3

(ToK) J/moloK (gas)

Page 18: bioetanol  3

Viskositas :

Log µ = (658,25) ((1/T) – (1/283,16)) (ToK) centipoise

Persamaan Antoine :

ln P* = 18,3036 – (3816,44 / (T – 46,13)) (ToK)