Pembuatan Briket dari cangkang Kakao dengan menggunakan perekat tapioka
ABSTRAK
Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang cukup besar termasuk limbah pertanian. Biomassa berupa limbah pertanian dapat digunakan secara langsung sebagai sumber energi panas atau bahan bakar. Salah satu biomassa dari limbah pertanian adalah cangkang kakao dan sampah organikyang diduga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biobriket. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh komposisi biobriket yang terdiri dari dari (1) komposisi campuran biomassa dengan variasi 50:50, 75:25,dan 90:10% dan (2) komposisi campuran biomassa dan perekat dengan variasi 90:10, 80:20 dan 70:30%. Bahan baku biomassa cangkang kakao dan sampah organik diperolehdari Desa Saree, Kabupaten Aceh Besar. Metode yang digunakan untuk membuat biobriket dari biomassa tersebut adalah menggunakan metode tanpa proses karbonisasi. Parameter uji untuk mengetahui kualitas briket yang dihasilkan adalah uji nilai kalor, uji kuat tekan dan ujiIndex Shatter.
Kata kunci: biomassa, sampah organik, cangkang kakao, biobriket
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terobosan terbaru untuk mencengah terjadinya krisis
energi bahan bakar perlu dilakukan mengingat kecendrungan
kebutuhan energi nasional akan terus meningkat, sedangkan
cadangan energi nasional dari bahan bakar minyak semakin
menipis. Salah satu terobosan baru dalam pemecahan
masalah ketergantungan energi dari bahan bakar minyak
adalah dengan pemanfaatkan dan pengembangan sumber energi
berbasiskan biomassa.
Biomassa merupakan sumber energi utama ketiga
terbesar di dunia, setelah minyak dan batu bara (Bapat
dkk, 1997). Sampai saat ini, biomassa masih merupakan
sumber energi bagi lebih dari separuh penduduk dunia dan
dapat memasok energi setara dengan 1250 juta ton minyak
atau sekitar 14% dari konsumsi energi dunia (Purohit
dkk, 2006). Oleh karena itu, pemanfaatan biomassa sebagai
bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil
merupakan salah satu pilihan pengembangan mekanisme
bersih (clean develoment mechanism, CDM) untuk mengurangi
emisi karbon ke atmosfer.
Indonesia khususnya Aceh mempunyai potensi energi
biomassa yang cukup besar termasuk limbah pertanian.
Biomassa dapat berupa sisa kayu, sampah organik, bongkol
jangung, jerami, cangkang sawit maupun sisa proses produk
pertanian. Menurut Widarto dan Suryanta (1995), biomassa
berupa limbah pertanian dapat digunakan secara langsung
sebagai sumber energi panas atau bahan bakar karena
biomassa tersebut mengandung energi yang dihasilkan dalam
proses fotosintesis saat tumbuhan tersebut masih hidup.
Bahan bakar yang akan dihasilkan dari biomassa ini adalah
bahan bakar yang berwujud padat dan berasal dari sisa-
sisa bahan organik yang telah mengalami proses pemampatan
dengan daya tekan tertentu dan dikenal dengan nama
biobriket.
Biomassa dari limbah pertanian, antara lain: sekam
padi, limbah perkebunan sawit (cangkang sawit, tandan
sawit, pelepah sawit, dan serabut), cangkang kakao,
cangkang kelapa, jerami, kayu, dan lain-lain. Dalam
penelitian ini, sumber energi biomassa yang diteliti
adalah biomassa dari cangkang kakao dan sampah organik.
Cangkang kakao merupakan limbah hasil perkebunan rakyat
yang belum termanfaatkan sepenuhnya, padahal cangkang
kakao merupakan biomasa yang memiliki potensi cukup besar
untuk menghasilkan energi pengganti minyak bumi yang
diolah menjadi briket dengan nilai kalor yang relatif
besar (4060 kal/gram) dan cocok digunakan sebagai
penganti bahan bakar skala rumah tangga. Sedangkan sampah
organik terdiri dari bahan-bahan yang dapat terurai
secara alamiah/biologis. Sampah organik yang terdapat di
alam dan masih belum terolah dengan maksimal dapat
menjadi pencemar lingkungan. Contoh sampah organik yang
dapat diolah antara lain daun-daunan yang kering, kulit
pisang, bongkol jagung, dan lain-lain.
Untuk menghasilkan bioenergi dari biomassa,
teknologi biobriket memberikan peranan yang cukup besar
terhadap tingkat kemudahan dalam penggunaan sumber energi
ini. Pembriketan biomassa adalah proses penggumpalan
butiran-butiran kecil dengan atau tanpa bahan perekat
dalam bentuk, ukuran, serta sifat-sifat tertentu yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu dan daya guna biomassa
sehingga tidak berasap dan berbau, juga mudah dipakai
(Rustina, 1987).
Syamsiro dan Harwin (2007) melakukan study pembuatan
briket dengan meninjau pengaruh temperatur udara preheat
terhadap pengurangan massa dan laju pembakaran.
Sedangkan Munir, dkk (2010) meneliti tentang
eksperimental karakteristik biobriket dengan bahan baku
dari limbah cangkang kakao yang terdapat di Sumatra Barat
dalam penelitian ini variable yang ditinjau merupakan
tekstur dan bentuk briket terhadap laju pembakaran.
Sebelumnya Subroto (2006) juga telah melakukan
penelitian karakteristik pembakaran biobriket campuran
batubara, ampas tebu, dan jerami dengan membandingkan
komposisi batubara untuk melihat pengaruh laju pembakaran
dan emisi polutan yang dihasilkan dari pembakaran.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan komposisi
biomassa mempunyai peranan penting dalam pembuatan
biobriket sama halnya dengan perbandingan komposisi
perekat yang akan dicampurkan dengan biomassa. Melihat
peranan perekat penting dalam pembuatan biobriket maka
perlu dilakukan penelitian untuk pengaruh komposisi
cangkang kakao dan komposisi perekat terhadap laju
pembakaran yang akan dihasilkan oleh biobriket
1.2. Perumusan Masalah Dari berbagai macam biomassa yang bisa dijadikan
biobriket seperti jerami, cangkang sawit, sampah, dan
lain-lain. Cangkang kakao dan sampah organik merupakan
biomassa yang belum luas penggunaannya sehingga
pemanfaatan biomassa tersebut untuk pembuatan biobriket
memberikan solusi untuk pengganti bahan bakar
alternatif. Dalam pembuatan biobriket komposisi biomassa
dan perekat diduga mempengaruhi laju pembakaran, nilai
kalor yang dihasilkan dan kekuatan dari biobriket yang
terbentuk. Dari uraian latar belakang di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, untuk
melihat pengaruh komposisi bahan baku terhadap
karakteristik biobriket yang dihasilkan dan pengaruh
komposisi perekat terhadap karakteristik biobriket yang
dihasilkan.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk
menghasilkan biobriket dengan pembakaran yang sempurna
dan tidak menghasilkan asap. Sedangkan secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh komposisi
biobriket berdasarkan campuran cangkang kakao dan sampah
organik juga melihat pengaruh komposisi perekat terhadap
karakteristik briket yang dihasilkan.
1.4. Manfaat PenelitianBerdasarkan tujuan penelitian diatas, maka
penelitian ini diharapkan dapat memberikan penyelesaian
dari pencemaran lingkungan dan pengganti bahan bakar
sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap minyak
bumi untuk keperluan rumah tangga maupun industri. Hasil
penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi
bukan saja kepada pengembangan ilmu dan teknologi, tetapi
juga dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat pedesaan
untuk memenuhi penyediaan kebutuhan energi sebagai
pengganti minyak tanah atau kayu bakar dan dapat
mengurangi limbah padat hasil pertanian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomassa
Biomassa merupakan produk fotosintesis, yakni butir-
butir hijau daun yang bekerja sebagai sel-sel surya,
menyerap energi matahari dan mengkonversikan karbon
dioksida dengan air menjadi suatu senyawa karbon,
hidrogen dan oksigen. Senyawa ini dapat dipandang sebagai
suatu penyerapan energi yang dapat dikonversi menjadi
suatu produk lain. Hasil konversi dari senyawa itu dapat
berbentuk arang atau karbon, alkohol kayu, dan sebagainya
(Kadir, 1982).
Biomassa merupakan segala jenis material organik
yang tersedia dalam bentuk terbarukan, dimana di dalamnya
termasuk tanaman dan limbah pertanian, kayu dan limbah
hasil hutan, limbah hewan, tanaman akuatik, dan limbah
domestik dan industri. Energi biomassa berarti energi
kimia yang disimpan di dalam bahan organik dan berasal
dari energi surya melalui fotosintesa. (Matsumura dkk,
2005).
Sumber biomassa yang banyak didapati berasal dari
limbah pertanian/perkebunan dan hutan, seperti jerami,
sekam padi, serbuk gergaji, tongkol jagung, ampas tebu,
cangkang kakao, sabut dan cangkang kelapa sawit. Hasil
limbah ini masih belum dimanfaatkan secara optimal dan
masih banyak dibuang begitu saja. Biomassa tersebut
sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan
bakar/sumber energi alternatif pengganti minyak tanah
untuk kebutuhan masyarakat pada umumnya (Saptoadi, 2006 ;
Kadir, 1982 ; Siemers, 2006 ; Supomo, 1978 dan Mahfud,
2006).
Khususnya dalam kasus pada limbah pertanian atau
energi tumbuhan, yang secara periodik mengalami masa
tumbuh dan pemanenan. Selama mengalami masa pertumbuhan
tumbuhan maka akan menyerap CO2 dari atmosfer untuk
fotosintesis, yang mana hal ini akan dilepaskan lagi
apabila biomassa ini mengalami pembakaran lagi (Wether et
al, 2000). Penggunaan biomassa sebagai sumber energi
semakin menarik perhatian dunia karena ramah lingkungan
(Coll dkk, 1998). Dalam kurun beberapa dekade terakhir,
propaganda penggunaan biomassa sebagai pengganti bahan
bakar fosil semakin gencar disuarakan, karena kelebihan-
kelebihannya. Paling tidak ada 2 (dua) keuntungan utama
yang diberikan oleh biomassa, yaitu yang pertama
ketersediaanya yang tidak terbatas dan terbarukan, dan
kedua penggunaannya tidak menimbulkan dampak terhadap
lingkungan (Nendel dkk., 1998). Selain itu, penggunaan
biomassa juga dapat mereduksi kandungan CO2 di atmosfer
(Gemtos dan Tsiricoglou, 1999). Dibandingkan dengan
sumber energi terbarukan lainnya seperti energi surya dan
tenaga angin, biomassa lebih murah dan mudah disimpan
untuk waktu yang lama (Scholz dan Berg, 1998).
Di Indonesia, kontribusi pasokan energi nasional
yang berasal dari biomassa relatif cukup besar yaitu
sekitar 21,5% sebanding pasokan gas alam, LPG dan LNG,
seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.1 (ESDM, 2004).
Akan tetapi perlu dicatat, bahwa komposisi biomassa yang
paling besar dalam angka 21,5% adalah kayu bakar dan
limbah kelapa sawit yang dibakar langsung, sedangkan
limbah biomassa pertanian seperti jerami dan sekam padi
yang jumlahnya melimpah belum memberikan kontribusi sama
sekali terhadap kebutuhan energi nasional.
Gambar 2.1. Pasokan energi utama Indonesia pada tahun
2003 (ESDM, 2004)
Apabila ketergantungan kita terhadap minyak bumi terus
berlanjut, dikhawatirkan Indonesia akan menghadapi masalah
energi yang serius, karena cadangan minyak bumi yang
semakin menurun sehingga kita menjadi net importer minyak
bumi. Dengan cadangan sebesar 8,6 miliar barel dan tingkat
produksi sekitar 400 juta barel per tahun maka rasio antara
cadangan dan produksi atau dengan kata lain cadangan minyak
bumi akan habis dalam waktu sekitar 22 tahun
(http://www.endonesia.com, 28/10/2009).
2.2. Cangkang Kakao
Pada perkebunan kakao masyarakat, limbah kulit kakao
selalu tersedia mengingat buah kakao pada perkebunan
rakyat dapat dipanen sepanjang tahun. Kini, daya serap
industri kakao domestik baru 27 persen. Terutama untuk
industri bahan makanan dan kosmetika. Kandungan gizi
kulit buah kakao terutama kandungan protein kasar yaitu
8,5 %.
(a)
(b)
Gambar 2.1. (a) buah kakao, (b) cangkang kakao
Salah satu pengolahan cangkang kakao yang telah
dilakukan yaitu membuat untuk makanan ternak. Kulit buah
kakao merupakan unsur pokok yang menjadi system pokok
pakan ternak (Roesmanto, 1991). Adapun kandungan gizi
kulit buak kakao dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kandungan Gizi Kulit Buah Kakao
Komponen
Smith dan
Adegbola
(1982)
Amirroenas(19
90)
Roesmanto(19
91)
• Bahan kering
(%)
• Protein kasar
84,00 –
90,00
6,00 –
91,33
6,00
0,90
90,40
6,00
0,90
(%)
• Lemak (%)
• Serat kasar
(%)
• Abu (%)
• BETN (%)
• Kalsium (%)
• Pospor (%)
10,00
0,50 – 1,50
19,00 –
28,00
10,00 –
13,80
50,00 –
55,60
-
-
40,33
14,80
34,26
-
-
31,50
16,40
-
0,67
0,10
Tabel 2.2. Kandungan Theobromin dalam Bagian Buah KakaoBagian Buah Kakao Kandungan theobromin (%)
- Kulit buah
- Kulit biji
- Biji
0,17 – 0,20
1,80 – 2,10
1,90 – 2,0
Sumber : Wong, dkk (1988) Dari buah kakao yang sering dimanfaatkan adalah biji
kakao, dan apabila pengolahannya kurang baik maka
harganya pun akan rendah, dengan memanfaatkam limbah
kulit buah kakao disamping dapat mengurangi limbah,
petani dapat meraih keuntungan yang lebih besar.
2.3. Sampah Organik
Murtadho dan Said (1997) mengklasifikasikan sampah
organik menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
1. Sampah organik yang mudah membusuk (garbage) yaitu
limbah padat semi basah berupa bahan-bahan organik yang
berasal dari sektor pertanian dan pangan termasuk dari
sampah pasar. Sampah ini mempunyai ciri mudah terurai
oleh mikroorganisme dan mudah membusuk, karena mempunyai
rantai kimia yang relatif pendek. Sampah ini akan
menjijikkan jika sudah membusuk apalagi bila terkena
genangan air sehingga masyarakat enggan menanganinya.
2. Sampah organik yang tak mudah membusuk (rubish) yaitu
limbah padat organik kerinyang sulit terurai oleh
mikroorganisme sehingga sulit membusuk. Hal ini karena
rantai kimia panjang dan kompleks yang dimilikinya,
contoh dari sampah ini adalah kertas dan selulosa.
Penggunaan sampah sebagai bahan untuk membuat
biobriket berangkat dari keprihatinan bahwa, semakin hari
jumlah produksi sampah semakin banyak, bahkan di kota
besar malah menimbulkan permasalahan yang berat dan
berkepanjangan, dan tentunya semua kota yang berkembang
akan menghadapi permasalahan ini. Upaya penggunaan sampah
sebagai briket tidak akan dapat menyelesaikan
permasalahan sampah secara keseluruhan dimana
penyelesaian permasalahan sampah harus diselesaikan
secara integralistik dari beberapa faktor, namun upaya
ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi produksi
sampah organik.
2.4. Perekat
Perekat adalah suatu bahan yang ditambahkan pada
komposisi zat utama untuk memperoleh sifat-sifat
tertentu, misalnya kekentalan (viskositas), ketahanan
(stabilitas) dan sebagainya. Beberapa jenis perekat yang
berfungsi menaikkan viskositas adalah Carboxy Menthyl
Cellulosa (CMC), gypsum, kanji, gliseral, clay, biji jarak/jatropha dan
sebagainya. Adapun penambahan perekat pada campuran
briket biomassa adalah selain bahan yang didapat itu
mudah dan terbarukan, juga bisa berfungsi untuk membantu
penyulutan awal dan sekaligus perekat terhadap
pembriketan biomassa.
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang
tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar atau
tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan
oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai
produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Amilum juga
tersimpan dalam bahan makanan cadangan yang permanen
untuk tanaman, dalam biji, jari – jari teras, kulit
batang dan akar tanaman menahun dan umbi. Amilum
merupakan 50 – 65 % berat kering biji gandum dan 80 %
bahan kering umbi kentang (Gunawan, 2004).
Banyak sekali bahan yang biasa digunakan untuk
perekat. Asalkan bahan tersebut memiliki sifat lengket
atau mampu merekatkan bahan lainnya. Tetapi perlu diingat
bahwa bahan yang digunakan sebagai perekat tersebut tidak
berbahaya untuk produksi. Beberapa bahan yang dapat dan
biasa digunakan sebagai perekat antara lain adalah :
a. Bahan organik : molasses dan tepung tapioca
b. Bahan mineral : bentonit, kaoline, kalsium untuk
semen, dan gypsum
c. Tanah liat juga bisa digunakan sebagai perekat
(Gunawan, 2004).
2.4.1. Tepung Tapioka
Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai
banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam
berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung,
kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi
tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan
tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih.
Ampas tapioka banyak dipakai sebagai campuran
makanan ternak. Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua
jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus.
Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran ubi
kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan
hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung
gumpalan lagi.
Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Warna Tepung; tepung tapioka yang baik berwarna
putih.
2. Kandungan Air; tepung harus dijemur sampai kering
benar sehingga kandungan airnya rendah.
3. Banyaknya serat dan kotoran; usahakan agar banyaknya
serat dan kayu yang digunakan harus yang umurnya kurang
dari 1 tahun karena serat dan zat kayunya masih sedikit
dan zat patinya masih banyak (Margono dkk, 1993).
2.5. Biobriket
Biobriket merupakan salah satu sumber energi
alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan
sebagian dari kegunaan minyak tanah. Biobriket merupakan
bahan bakar yang berwujud padat dan berasal dari sisa-
sisa bahan organik. Bahan baku pembuatan arang biobriket
pada umumnya berasal dari, tempurung kelapa, serbuk
gergaji, dan bungkil sisa pengepresan biji-bijian.
2.5.1. Jenis dan bentuk briket biomassa
Jenis briket yang dimasyarakatkan sampai saat ini
ada dua bentuk briket, yaitu:
a. bentuk bantal, jengkol dan telur; untuk mendapatkan
briket dalam bentuk ini diperlukan semacam mesin
pengepresan double roll.
b. bentuk sarang tawon; bentuknya bervariasi mulai dari
silinder, segi lima atau segi empat dan berlubang-lubang
untuk memudahkan sirkulasi udara pada saat pembakarannya
(Basyuni dkk, 1993, Indra, 1999, Najib, 1998).
2.5.2. Kriteria briket biomassa
Sebagai bahan bakar untuk rumah tangga dan industri
kecil, briket biomassa harus dapat memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1. Mudah dinyalakan
2. Tidak mengeluarkan asap yang berlebihan (smokeless)
3. Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun
secara fisik harus kuat atau tidak mudah pecah untuk
memudahkan dalam penanganan dan pengangkutan sampai
radius maksimum 200 km
4. Kedap air dan tidak berjamur atau tidak mengalami
degradasi jika disimpan dalam kurun waktu yang lama
5. Menunjukkan unjuk kerja pembakaran (waktu, laju
pembakaran dan suhu puncak pembakaran) yang baik
6. tidak berbau (oderless)
7. efisiensi pancaran panasnya tinggi,
8. teksturnya sebaiknya seragam,
9. kadar abu sebaiknya dibawah 8 %,
10. kadar zat terbang tidak kurang dari 3 % dan tidak lebih
besar dari 20 % (Indra, 1999; Najib, 1998; Stefano,
1993).
2.6. Proses Pembuatan Briket
a. Proses penggerusan
Ukuran yang dikehendaki dalam pembuatan briket adalah
lolos saringan dengan ukuran < 3 mm (Indra, 1999). Untuk
menghasilkan biomassa dengan ukuran yang dimaksud,
digunakan mesin penggerus dengan kapasitas dan distribusi
ukuran yang tepat seperti terlihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2. Alat penggerusan
b. Proses pencampuran dan pembuatan adonan
Proses pencampuran bahan baku biomassa ukuran < 3 mm
dengan bahan pengikat (suspensi biji jarak yang telah
digrinding dengan ukuran yang sama) dilakukan dengan
menggunakan mixer (Gambar 2.3) agar diperoleh kondisi
adonan yang homogen.
Gambar 2.3. Alat pengaduk (mixer)
c. Pembuatan briket dan pengepresan
Campuran biomassa yang telah diaduk sampai
homogen kemudian dibriket berbentuk selinder atau kubus.
Karena adanya perekat dalam campuran biomassa tersebut,
maka pembriketan hanya dibutuhkan tekanan pengepresan
yang rendah, yaitu 200 kg/cm3 (Suprapto, 2006). Meskipun
demikian, mengingat biomassa bersifat mudah meregang
(plastisitas tinggi), maka pada proses pembriketannya
tidak cukup hanya dengan menambahkan bahan pengikat,
namun juga memerlukan tekanan pengepresan yang tinggi,
sekitar 2 ton/cm2 (Permen ESDM, 2006). Selanjutnya tinggi
rendahnya kadar air dan kehalusan penggerusan biomassa
sangat berpengaruh terhadap tingkat pengepresan (Yaman
dkk, 2001). Bentuk alat pembriketan ditunjukkan oleh
Gambar 2.4
Gambar 2.4. Alat pembriketan
d. Pengeringan
Produk briket biomassa yang keluar dari mesin
pencetak masih mempunyai kandungan air yang tinggi. Untuk
mengurangi kandungan air tersebut sampai < 7,5 %, maka
cukup dikeringkan di udara terbuka untuk menguapkan
sebagian kandungan airnya. Pada proses pengeringan
biasanya digunakan alat pengering dengan sistem aliran
udara panas yang dihasilkan dari pembakaran biomassa yang
dialirkan ke dalam ruang pengering/oven dengan bantuan
blower (Najib dkk, 2005).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian akan ini dilakukan di Laboratorium
Sumber Daya dan Energi Jurusan Teknik Kimia dan
Laboratorium Produksi Jurusan Teknik Mesin Fakultas
Teknik. Penelitian ini akan dilakukan selama enam bulan
termasuk penyusunan laporan.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1. Alat
a. Crusherb. Ayakan (test sieve, ukuran 15, 25, 35, dan 50 mesh)c. Mixer
d. Alat pembriketan spesifikasi: elektrik punching press (capacity 0,5- 400 kN)
e. Tox Pressotechnikf. Termometerg. Stopwatchh. Timbangan digital Explorer Pro maksimum: 110 gram,
Pancii. Stop watchj. Gelas ukur.
3.2.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah cangkang kakao (diambil dari limbah perkebunan
Saree-Aceh Besar), tepung tapioka (komersial).
3.3. Variabel Penelitian
3.3.1. Variabel Tetap
- Ukuran partikel- Bentuk briket- Tekanan pengepresan3.3.2. Variabel Berubah
- Komposisi bahan baku (cangkang kakao dan sampah) - Komposisi perekat
3.4. Rancangan Percobaan
Variable yang ingin diteliti yaitu perbandingan
komposisi campuran biomassa terdiri dari 3 perbandingan
yaitu A1 = 50:50 %; A2 = 75:25%; A3 = 90:10%, sedangkan
untuk perbandingan campuran biomassa dengan perekat yaitu
B1 = 90:10 %; B2 = 80:20 %; dan B3 = 70:30 % kombinasi
perlakuan adalah 3 x 3 = 9 dengan ulangan 2 kali sehingga
diperoleh 18 satuan percobaan.
Tabel 3.1. Rancangan Percobaan PenelitianKomposisi Campuran
Biomassa (%) Komposisi Perekat (%)
CangkangKakao (%)
SampahOrganik(%)
10(B1)
20(B2)
30(B3)
50(A1)
50(A1)
A1 B1
A1 B1
A1 B2
A1 B2
A1 B3
A1 B3
75(A2)
25(A2)
A2 B1
A2 B1
A2 B2
A2 B2
A2 B3
A2 B3
90(A3)
10(A3)
A3 B1
A3 B1
A3 B2
A3 B2
A3 B3
A3 B3
3.5. Prosedur Penelitian3.5.1. Persiapan bahan baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian
diambil berupa cangkang kakao dan sampah organik. Untuk
mempermudah proses pengayakan bahan baku terlebih dahulu
dikeringkan dan sebagian dikarbonisasi seterusnya
dihancurkan dengan menggunakan crusher/mill. Hasil gilingan
diayak dengan menggunakan sieve vibrator sampai mencapai
ukuran yang telah ditentukan.
3.4.2. Prosedur Percobaan
Biomassa yang telah diayak sesuai dengan ukuran yang
ditentukan dicampurkan dengan tepung tapioka sebagai
perekat ukurannya juga disesuaikan dengan biomassa.
Campuran biomassa dan tepung tapioka yang telah
dihaluskan tersebut di campur secara merata dengan
menggunakan mixer. Campuran dari biomassa dan tepung
tapioka tersebut dimasukkan ke dalam alat pencetak dengan
tekanan pengepresan yang ditentukan. Secara skematis
prosedur percobaan ditunjukkan pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Proses Pembuatan Briket
3.5. Pengujian Biomassa3.5.1. Uji Kalor
Pengukuran nilai kalor pembakaran dilakukan pada
akir penelitian guna melihat nilai kalor yang terbaik
dari berbagai variasi yang dilakukan. Abu hasil
pembakaran briket tersebut digunakan untuk analisa kalor
menggunakan alat DSC – 60. Saat dilakukan uji nilai kalor
digunakan sampel reference berupa alumina silika.
3.5.2. Uji Kuat Tekan
Uji kuat tekan dilakukan untuk mengetahui kekuatan
dari biobriket yang dihasilkan untuk menahan beban
tertentu.
3.5.3. Uji Index Shatter
Pada percobaan uji index shatter digunakan
media air untuk merendam briket dengan volume sebesar 500
ml. Digunakan air dengan suhu kamar, selanjutnya ditunggu
sampai struktur briket perlahan – lahan hancur (Yaman,
2000).
3.6. Jadwal Kegiatan
Adapun jadwal pelaksanaan penelitian
pembuatan briket biomassa dilakukan ditunjukkan pada
tabel 3.2.
Tabel 3.2. Jadwal Penelitian
No Kegiatan Bulan ke-1 2 3 4 5
1 Pengadaan peralatan dan bahan
2 Setup alat penelitian/ Analisa sampel
3 Eksperimen4 Pengumpulan data
5 Pengolahan data/analisispenelitian
6 Pembuatan/penyusunan laporan
Top Related