pengembangan industri kecil pengolahan kakao di luwu raya
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of pengembangan industri kecil pengolahan kakao di luwu raya
i
PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN KAKAO DI LUWU RAYA
DEVELOPMENT OF SMALL SCALE COCOA PROCESSING INDUSTRY
AT LUWU RAYA
HARI PURWANTO
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
ii
PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN KAKAO DI LUWU RAYA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Disusun dan diajukan oleh
HARI PURWANTO
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
iii
TESIS
PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN KAKAO DI LUWU RAYA
Disusun dan diajukan oleh
HARI PURWANTO
Nomor Pokok P0204211518
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 26 Juli 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat,
Prof. Dr. Ir. Sitti Bulkis, MS Prof. Dr. Ir. Rahim Darma, MS Ketua Anggota
Ketua Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Dr. Ir. Roland A. Barkey Prof. Dr. Ir. Mursalim
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : Hari Purwanto
Nomor Pokok : P0204211518
Program Studi : Perencanaan Pengembangan Wilayah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Juli 2013
Yang menyatakan,
HARI PURWANTO
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas
berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis
ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar
Penulis menyadari bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam
penyelesaian tesis ini dan hanya karena bantuan dari berbagai pihak
maka penyusunan tesis ini dapat selesai tepat pada waktunya. Dari hati
yang paling dalam penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Prof. Dr. Ir. Sitti Bulkis, MS selaku Ketua Komisi Penasihat dan Prof. Dr.
Ir. Rahim Darma, MS selaku anggota Komisi Penasihat atas semua
bimbingan, arahan, dan motivasi yang diberikan dalam penulisan tesis
ini. Tim Komisi Penguji Dr. Ir. A. Nixia Tenriawaru, SP, M.Si., Dr. Muh.
Hatta Jamil, SP, MS., dan Dr. Ir. Djunaedi Muhidong, M.Sc yang telah
memberikan kritik dan saran demi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih
juga penulis disampaikan kepada:
1. Kepala Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Hanasuddin, para Asisten
Direktur beserta seluruh staf akademik yang telah membantu
kelancaran proses studi penulis di Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin.
vi
3. Kepala Pusat Studi Kebijakan Manajemen dan Perencanaan (PSKMP)
Universitas Hasanuddin beserta staf Pak Nur, Pak Nasir, Ibu
Marwah, Ibu Ning, Ibu Warni, Ibu Asma dan Ibu Risma atas segala
bantuan, fasilitas dan dorongan selama menjalani aktivitas di kampus.
4. Ketua Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah (PPW)
dan Ketua Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan Universitas
Hasanuddin.
5. Seluruh dosen pengajar yang telah membagi ilmu kepada penulis
mulai dari awal perkuliahan hingga selesai studi sehingga menambah
wawasan dan cara berfikir yang dapat menjadi bekal bagi penulis
kelak ketika menjalankan tugasnya.
6. Menteri Perindustrian yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk dapat melanjutkan studi.
7. Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk dapat melaksanakan tugas belajar ini.
8. Seluruh pegawai Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar
yang telah membantu penulis dalam memberikan tambahan data,
masukan dan saran dalam penyelesaian tugas akhir ini.
9. Seluruh keluarga terutama istri tercinta Dian Suwarni Saleh, SE yang
tak henti-hentinya memberikan semangat dan dorongan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan studinya.
10. Teman-teman seperjuangan MKSMP angkatan ix Pak Asep, Pak
Hadri, Pak Kris, Pak Adi, Pak Tahir, Pak Aan, Pak Agus, Pak Sa’di,
vii
Pak Achyar, Pak Endri, Pak Udin, Bu Astuna, Bu Yunita, Bu
Simpur, Bu Suci dan Bu Nina.
11. Semua pihak yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Makassar, Juli 2013
HARI PURWANTO
viii
ABSTRAK
HARI PURWANTO. Pengembangan Industri Kecil Pengolahan Kakao di Luwu Raya (dibimbing oleh Sitti Bulkis dan Rahim Darma)
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji bentuk pembinaan dan pengembangan oleh pemerintah terhadap industri kecil pengolahan kakao, (2) mengkaji permasalahan-permasalahan yang saat ini dihadapi oleh industri kecil pengolahan kakao, dan (3) untuk merumuskan alternatif kebijakan pembinaan dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya.
Metode penelitian bersifat deskriptif dilakukan di KUB Sibali Resoe Kab. Luwu Utara, KUB Madani Kota Palopo serta Koptan Bina Harapan Kab. Luwu. Pengambilan sampel dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) bentuk pembinaan dan pengembangan telah dilakukan oleh pemerintah adalah di bidang permodalan berupa bantuan peralatan dan dana, di bidang produksi berupa konsultasi teknis untuk peningkatan kualitas produk, di bidang sumber daya manusia berupa pelatihan dan studi banding untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan pegawai serta di bidang pemasaran berupa fasilitasi dalam pameran untuk pengenalan produk kepada masyarakat. (2) permasalahan yang dihadapi industri saat ini antara lain terbatasnya modal untuk peningkatan kapasitas produksi, peralatan yang belum efektif, kualitas produk yang belum maksimal, pengetahuan dan keterampilan pegawai yang masih kurang serta proses pemasaran yang belum lancar. (3) alternatif kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah untuk pembinaan dan pengembangan yaitu program penambahan atau penggantian peralatan, program pendampingan industri, program peningkatan kualitas sumber daya manusia, program pengembangan diversifikasi produk dan program fasilitasi pengembangan pasar Kata kunci: industri kecil, pengolahan kakao, kebijakan, pengembangan.
ix
ABSTRACT
HARI PURWANTO. Development of small scale cocoa processing industry at Luwu Raya (supervised by Sitti Bulkis and Rahim Darma)
This research aimed: (1) to examine the form of establishment and development by the government on the small scale cocoa processing industry, (2) to study the problem encountered by the small scale cocoa processing industry at the moment, and (3) to formulate the alternative policies the etablishment and development of the small scale cocoa processing industry at Luwu Raya.
This was a descriptive research conducted in KUB Sibali Resoe of North Luwu Regency, KUB Madani of Palopo City and Koptan Bina Harapan of Luwu Regency. Data were collected by an interview, observation and documentation. The data were analysed by using qualitative analysis.
The research indicated that (1) the forms of establishment and development carried out by the government are in the capital field in the forms of equipment and funds, in the production field in the forms of technical consultation for the product quality improvement, in the human resources field in the forms of training and comparative study for the staff’s knowledge and skill improvement and in the marketing field in the forms of the facilitation in promotion for the product introduction to the community. (2) the problems encountered by the industry at the moment, among other, are the capital limitation for the production capacity improvement, ineffective equipment, non maximal product quality, lack of staff’s knowledge and skill and not smooth marketing process. (3) the alternative policies which can be conducted by the government for the establishment and development are the equipment addition or replacement program, industry mentoring program, quality improvement program of the human resources, product diversification development program, and market development facilitation program.
Keywords: small scale industry, cocoa processing, policy, development.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………….
HALAMAN PENGAJUAN TESIS ………………………………….
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ………………………………..
PRAKATA ……………………………………………………………
ABSTRAK ……………………………………………………………
ABSTRACT ………………………………………………………….
DAFTAR ISI …………………………………………………………
DAFTAR TABEL …………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................
B. Rumusan Masalah .......................................................
C. Tujuan Penelitian .........................................................
D. Manfaat Penelitian .......................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu ............................
B. Definisi Industri dan Industri Pengolahan Kakao …….
C. Pengembangan Industri …………………………………
D. Industri Kecil ……………………………………………...
E. Bahan Baku …………….………………………………..
i
ii
iii
iv
v
viii
ix
x
xiii
xv
1
7
8
8
9
10
11
12
13
xi
F. Proses Produksi ...........................................................
G. Pemasaran ……………………………………....……...
H. Sumber Daya Manusia.................................................
I. Bentuk Pembinaan dan Pengembangan .....................
J. Kebijakan Pembangunan..............................................
K. Kerangka pemikiran ……………………………………..
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................
B. Peran Peneliti .............................................................
C. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................
D. Jenis dan Sumber Data ...............................................
E. Teknik Pengumpulan Data .........................................
F. Penentuan Informan ………........................................
G. Teknik Analisis Data ....................................................
H. Pengecekan ValiditasTemuan ...................................
I. Definisi Operasional ....................................................
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian..........................
B. Kondisi Umum Industri Pengolahan Kakao Nasional.
C. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Industri
Kakao .........................................................................
D. Pembinaan Dan Pengembangan Industri Pengolahan
Kakao Di Luwu Raya ..................................................
14
17
24
25
30
33
35
36
36
37
38
39
40
41
41
43
52
55
57
xii
E. Alternatif Kebijakan Pengembangan Industri Kakao Di
Luwu Raya .................................................................
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan................................................................
B. Saran ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
104
108
109
110
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Jenis dan sumber data penelitian
2. Jumlah produksi kakao di wilayah Luwu Raya
3. Daftar peralatan yang dimiliki KUB Sibali Resoe
4. Daftar peralatan yang dimiliki KUB Madani
5. Daftar bantuan permodalan untuk industri pengolahan kakao di Luwu Raya
6. Permasalahan Industri kecil di bidang
permodalan
7. Persyaratan mutu biji kakao sebagai bahan baku cokelat
8. Daftar jumlah rendemen produk hasil pengolahan kakao
9. Daftar produk yang dihasilkan oleh industri
pengolahan kakao di Luwu Raya
10. Daftar volume produksi industri pengolahan kakao di Luwu Raya
11. Daftar harga produk industri pengolahan kakao di Luwu Raya
12. Permasalahan Industri kecil di bidang produksi
13. Daftar kegiatan promosi yang diikuti oleh industri
pengolahan kakao di Luwu Raya
14. Permasalahan Industri kecil di bidang pemasaran
37
52
61
62
65
66
68
74
81
82
83
88
95
97
xiv
15. Daftar pegawai yang bekerja pada industri pengolahan kakao di Luwu Raya
16. Daftar kegiatan dalam rangka mendukung
pengembangan industri pengolahan kakao di Luwu Raya
17. Permasalahan Industri kecil di bidang sumber
daya manusia
99
100
104
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Konseptual penelitian
2. Tahapan proses pengolahan kakao menjadi produk setengah jadi
3. Tahapan proses pembuatan makanan cokelat
34
73
76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sulawesi Selatan merupakan produsen utama kakao Indonesia,
dengan kontribusi 20% dari 844.626 ton produksi kakao nasional pada
tahun 2010. Luwu Raya yang meliputi Kota Palopo, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara merupakan salah satu
sentra penghasil kakao terbesar di Sulawesi Selatan. Produksi Kakao
Sulawesi Selatan Tahun 2010 sebesar 172.083 ton dan diprediksi akan
mencapai 300.000 ton pada tahun 2013. Umumnya produksi kakao
Indonesia, sekitar 70% dari keseluruhan produksi diekspor dalam bentuk
biji, hal ini menyebabkan nilai tambah dari produk kakao tidak bisa
dinikmati oleh petani serta masyarakat yang ada di daerah penghasil
kakao. Selain itu dalam kurun waktu terakhir ini, permasalahan utama
yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya kualitas biji kakao Indonesia
karena sebagian kadar airnya masih tinggi, berjamur serta tidak
difermentasi.
Dengan adanya potensi produksi kakao yang cukup besar yang
dimiliki oleh wilayah Luwu Raya maka Departemen Perindustrian RI
melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah (Ditjen IKM)
memberikan bantuan mesin atau peralatan pengolahan kakao menjadi
2
berbagai produk cokelat kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten/Kota di wilayah Luwu Raya yang kemudian dikelola oleh
Kelompok Usaha Bersama (KUB) maupun kelompok Tani (KOPTAN) yang
ada di wilayah kerja masing-masing.
Industri kecil pengolahan kakao ini sebagian besar mulai
melakukan produksi pada tahun 2009. Dengan bantuan peralatan
pengolah kakao tersebut industry kecil ini telah mampu menghasilkan
produk setengah jadi hingga produk jadi berupa cokelat batangan dan
minuman cokelat instan. Dalam melakukan produksinya biji kakao yang
diproses untuk makanan dan minuman cokelat di industri ini adalah biji
kakao hasil fermentasi.
Dengan beroperasinya industri kecil ini diharapkan mampu
meningkatkan nilai tambah dari biji kakao. Nilai tambah ini akan diperoleh
dari dua sumber, pertama dari selisih positif dari harga biji kakao
fermentasi yang akan dinikmati langsung oleh petani kakao dan kedua
nilai tambah dari produk cokelat.
Disamping nilai tambah tersebut diatas, produk olahan cokelat dari
pengolahan kakao, baik produk setengah jadi berupa lemak kakao dan
bubuk kakao maupun berupa pasta dan pasta mix, akan mendorong
tumbuhnya wirausaha-wirausaha baru berupa IKM/IRT yang akan
memanfaatkan bahan tersebut sebagai bahan baku/subtitusi untuk
produksi penganan lokal/tradisional dan penganan modern berbasis
cokelat.
3
Pengembangan industri kakao di wilayah luwu raya ini memiliki
peluang yang cukup besar selain karena potensi produksi kakao yang
cukup besar di daerah ini, kebijakan pemerintah pusat melalui
Kementerian Perindustrian juga sangat mendukung program ini. Hal ini
tercermin dengan terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor: 97/M-IND/PER/8/2010 tanggal 30 Agustus 2010 Tentang Peta
Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Unggulan di Propinsi
Sulawesi Selatan. Dimana industri pengolahan kakao merupakan salah
satu industri unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di
Propinsi Sulawesi Selatan.
Industri kecil pengolahan kakao sebagai salah satu industri kecil
baru yang mengolah kakao menjadi produk cokelat tidak lepas dari
permasalahan perusahaan yang memerlukan proses penyelesaian.
Karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki umumnya industri kecil
belum mampu sepenuhnya menyelesaikan permasalahan yang mereka
hadapi, disinilah diperlukan pembinaan dari pemerintah. Untuk mencapai
hasil yang maksimal dalam proses pembinaan maka proses pembinaan ini
perlu disesuaikan dengan akar permasalahan perusahaan pada
khususnya dan permasalahan industri kakao pada umumnya agar tidak
terjadi tumpang tindih dalam program dan ketidakefektifan kebijakan
karena kurangnya pemahaman secara khusus tentang karakteristik dan
permasalahan industri kecil.
4
Kurang berkembangnya industri kecil di Indonesia telah
menimbulkan kesan bahwa berbagai program pembinaan yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap industri kecil selama ini tidak banyak
manfaatnya. Kurang berhasilnya kebijakan dan program pengembangan
industri kecil di Indonesia disebabkan antara lain oleh adanya tumpang
tindih dalam program dan populasi sasaran, pendekatan yang tidak
terkoordinasi dan tidak konsisten dalam pengembangan industri kecil,
serta kurangnya keterlibatan swasta dan beratnya peraturan yang
dibebankan pada industri kecil (Pardede, 2000).
Industri kecil di Indonesia memegang peranan sentral dan strategis
dalam pembangunan ekonomi kerakyatan dan penyerapan tenaga kerja
yang cukup besar. Jika industri kecil mendapat perhatian khusus dengan
pola pengembangan dan kebijakan yang terarah maka akan menjadi
tulang punggung (backbone) bangkitnya sektor riil di daerah.
Namun, tidak selaras dengan perannya yang begitu penting.
Permasalahan-permasalahan yang membelit industri kecil masih begitu
banyak. Seperti misalnya, permasalahan teknologi, permodalan,
manajemen, pemasaran, kesulitan dalam mengakses kredit perbankan
komersial dan masalah kualitas sumber daya manusia. Dari permasalahan
yang begitu kompleks tersebut, berakibat pada kinerja industri kecil
menjadi sangat kecil bila dibandingkan dengan kinerja industri besar.
Pemerintah sudah menunjukkan perhatian terhadap usaha kecil
dan industri kecil sejak lama, misalnya dengan pemberian bantuan bagi
5
usaha kecil padat karya pada tahun 1950-an. Program-program
pengembangan industri kecil paling banyak dilakukan oleh pemerintah
terutama berupa pemberian kredit bersubsidi dan penyediaan bantuan
teknis (Pardede, 2000).
Kebijakan pengembangan industri kecil dapat dilihat sebagai
bagian dari strategi industri yang mengarahkan dan mendorong kemajuan
industri kecil agar dapat mencapai suatu kondisi ideal tertentu yang
diinginkan dimasa depan. Dalam Wiratmadja (2011), kebijakan
operasional dalam menjalankan kebijakan umum dan pengembangan
industri disesuaikan dengan kondisi industri kecil dan menengah saat ini.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis industri kecil dan menengah, antara lain:
industri kecil dan menengah sudah mampu hidup mandiri dan
berkembang, industri kecil dan menengah belum ada tetapi dibutuhkan
dalam struktur industri yang efisien dan yang terakhir adalah industri kecil
dan menengah yang tidak punya potensi mandiri.
Kajian ini diharapkan dapat mengidentifikasi dan menganalisis
bentuk-bentuk program/kegiatan yang sudah dilakukan pemerintah dalam
rangka pembinaan dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao
dan permasalahan-permasalahan yang masih dihadapi oleh industri ini
serta merumuskan arahan kebijakan pengembangan dan pembinaan
industri ini berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh industri
tersebut. Dengan adanya rumusan kebijakan diharapkan sistem
pembinaan dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao dapat
6
berjalan secara konsisten, berkesinambungan serta tidak tumpang tindih
sehingga manfaatnya benar-benar bisa dirasakan oleh industri kecil itu
sendiri.
Untuk memperoleh tujuan tersebut diperlukan identifikasi dan
analisa yang mendalam tentang program/kegiatan yang sudah dilakukan
pemerintah dalam membantu operasional industri kecil ini dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh industri tersebut saat ini.
Hal ini agar kebijakan yang dihasilkan dapat sesuai dengan kondisi riil
yang dihadapi serta sesuai dengan karakteristik dari industri ini.
Permasalahan yang dihadapi bisa berupa masalah internal maupun
masalah eksternal perusahaan. Untuk dapat mengetahui masalah-
masalah tersebut maka diperlukan pengamatan langsung terhadap
kondisi operasional masing-masing industri ini serta penggalian informasi
kepada pimpinan dan karyawan perusahaan.
Dengan teridentifikasinya program-program atau kegiatan-kegiatan
yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk membantu pengembangan
industri kecil pengolahan kakao ini serta masalah-masalah yang dihadapi
diharapkan mampu dirumuskan arahan program/kebijakan dalam rangka
pembinaan dan pengembangan yang merupakan intervensi pemerintah
secara sengaja untuk mengembangkan industri kecil pengolahan kakao.
Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kemampuan
industri ini dalam mengatasi hambatan eksternal dan internal perusahaan
agar dapat berkembang dan hidup mandiri.
7
B. Rumusan Masalah
Sebagai Industri kecil yang baru berkembang industry pengolahan
kakao tidak lepas dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama
menjalankan usahanya sebagaimana industri-industri kecil pada
umumnya, seperti misalnya permasalahan bahan baku, teknologi,
permodalan, manajemen, pemasaran, kesulitan dalam mengakses kredit
perbankan komersial dan masalah sumber daya manusia. Karena
keterbatasan sumber daya yang dimiliki tidak semua permasalahan-
permasalahan ini bisa diatasi oleh perusahaan sehingga di sinilah peran
pemerintah dibutuhkan.
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka pertanyaan
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk pembinaan dan pengembangan pemerintah
terhadap industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya?
2. Bagaimana kondisi saat ini (existing) industri kecil pengolahan kakao di
Luwu Raya?
3. Bagaimana alternatif kebijakan pembinaan dan pengembangan
industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya?
C. Tujuan Penelitian
8
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji bentuk pembinaan dan pengembangan yang telah
diberikan pemerintah terhadap industri kecil pengolahan kakao di Luwu
Raya.
2. Untuk mengkaji kondisi dan permasalahan-permasalahan yang dialami
industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya.
3. Untuk merumuskan alternatif kebijakan pembinaan dan
pengembangan industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan
referensi bagi pihak-pihak yang berminat untuk melakukan penelitian
lain yang serupa.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan dan evaluasi bagi pemerintah dalam melakukan pembinaan
dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu tentang studi kelayakan pendirian usaha
pengolahan lemak dan bubuk kakao di Kabupaten Luwu Utara oleh
Ramlah (2007), memfokuskan penelitiannya pada studi kelayakan ditinjau
dari aspek pasar, aspek teknis dan aspek finansial. Hasilnya menunjukkan
bahwa usaha pengolahan lemak dan bubuk kakao layak didirikan di
Kabupaten Luwu Utara.
Penelitian yang lainnya adalah strategi pengembangan industri kakao
di Propinsi Sulawesi Selatan oleh Effendi (2009), memfokuskan
penelitiannya pada implementasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah
dalam mendukung pengembangan industri kakao di Sulawesi Selatan.
Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan pusat dan daerah sangat
mendukung pengembangan industri kakao di Sulawesi Selatan. Hal ini
ditandai dengan kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan kakao
sebagai produk unggulan Propinsi Sulawesi Selatan. Namun demikian
masih ada kebijakan pemerintah pusat yang belum berjalan seperti
kebijakan penerapan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) biji kakao
selain itu ada juga kebijakan daerah justru tidak mendukung
10
pengembangan industri kakao itu sendiri, seperti pungutan retribusi ke
industri.
Penelitian lainnya analisis prospek dan strategi pengembangan
perusahaan cokelat, studi kasus pada KUB Sibali Resoe Luwu Utara oleh
Handayani (2010), memfokuskan penelitiannya pada prospek
pengembangan dan menentukan strategi yang tepat dilakukan untuk
mengembangkan perusahaan cokelat KUB Sibali Resoe. Analisis yang
digunakan adalah metode analisis Matriks General Elektrik (General
Electric Matrix) yang menyertakan parameter faktor daya tarik industri
(Industrial Attractiveness Factor) dan faktor kekuatan bisnis (Bussiness
Strenght Factor) u8ntuk menyususnya. Hasilnya menunjukkan bahwa ke
depan perusahaan ini mempunyai prospek cerah dan strategi yang harus
dilakukan untuk pengembangan perusahaan adalah strategi pertumbuhan
berdasarkan segmen pasar, melakukan spesialisasi dan investasi selektif.
B. Definisi Industri dan Industri Pengolahan Kakao
Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan
mengubah barang dasar menjadi barang setengah jadi atau barang jadi,
atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi
nilainya. (Badan Pusat Statistik, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan kakao adalah industri yang
mengolah bahan baku cokelat berupa biji kakao menjadi produk-produk
yang mempunyai nilai tambah dalam bentuk barang jadi dan barang
11
setengah jadi yang dapat digunakan untuk dikonsumsi atau sebagai
bahan baku industri lain. (Rahmanu, 2009)
C. Pengembangan Industri
Proses industrialisasi dan pengembangan industri merupakan satu
jalur kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat
hidup yang lebih maju maupun taraf hidup yang lebih baik. Dengan kata
lain pengembangan industri ini merupakan satu fungsi dari tujuan pokok
kesejahteraan rakyat, bukan merupakan bagian yang mandiri untuk hanya
sekedar mencapai fisik saja.
Industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan
mutu sumber daya dan kemampuannya secara optimal memanfaatkan
sumber daya lain. Hal ini berarti pula sebagai suatu usaha untuk
meluaskan ruang lingkup kegiatan manusia. Dengan demikian dapat
diusahakan semakin besarnya nilai tambah pada kegiatan ekonomi dan
sekaligus semakin luasnya lapangan kerja produktif bagi penduduk yang
semakin bertambah.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa industri itu mempunyai
peranan sebagai leading sector. Leading sector berarti bahwa
pembangunan industri akan memacu dan mengangkat pembangunan
sektor-sektor lainnya seperti sektor pertanian dan sektor jasa.
Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan
sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku untuk industri.
Sektor jasa pun akan berkembang dengan adanya industrialisasi tersebut,
12
misalnya berdirinya lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga
pemasaran/periklanan dan sebagainya yang akhirnya akan memacu
lajunya pertumbuhan industri. Hal ini berarti keadaan meluasnya
perluasan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan
permintaan masyarakat (daya beli). Kenaikan pendapatan dan
peningkatan daya beli (permintaan) tersebut menunjukkan perekonomian
itu tumbuh dan sehat.
D. Industri Kecil
Menurut Tohar (2000). Industri kecil adalah kegiatan ekonomis
rakyat yang berskala kecil dan memenuhi criteria kekayaan bersih dan
hasil penjualan tahunan serta kepemilikannya sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Memiliki kekayaan bersih dan total aset paling banyak Rp. 200
juta
2. Memiliki hasil penjualan bersih pertahun paling besar Rp. 1 milyar
3. Milik warga negara Indonesia
4. Berdiri sendiri
5. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak
berbadan hukum termasuk koperasi.
Tohar (2000) menyatakan bahwa fungsi dan peran industri kecil
sangat besar dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Fungsi dan Peran
tersebut adalah meliputi penyediaan barang dan jasa, penyerapan tenaga
13
kerja, pemerataan pendapatan, sebagai nilai tambah bagi produk daerah
dan peningkatan taraf hidup masyarakan. Oleh karena itu pengembangan
industri kecil perlu terus dilakukan dalam upaya:
1. Meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat.
2. Meningkatkan kesempatan berusaha dan lapangan kerja.
3. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
4. Meningkatkan pemerataan pendapatan maupun pembangunan
regional.
5. Menuju pembangunan berkelanjutan.
E. Bahan Baku
Menurut Tohar (2000) kegiatan pengadaan bahan baku wajib
dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menjamin kelancaran proses
produksi. Berdasarkan tujuan pengadaannya, kegiatan pengadaan bahan
baku dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1. Pengadaan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan saat ini.
Adalah penyediaan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan
yang sangat mendesak atau untuk jangka waktu pendek
2. Pengadaan bahan baku untuk kebutuhan yang akan datang.
Adalah penyediaan bahan baku yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan di masa mendatang
3. Pengadaan bahan baku spekulatif.
14
Kegiatan pengadaan bahan baku tersebut dilakukan dengan
menerapkan metode manajemen persediaan
Menurut Handoko (1999) sistem persediaan bahan baku adalah
serangkaian kebijakan dan pengendalian yang memonitor tingkat
persediaan dan menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan
persediaan bahan baku harus diisi, dan berapa besar pesanan harus
dilakukan. Sistem ini bertujuan untuk menetapkan dan menjamin
tersedianya sumber daya yang tepat dalam kuantitas dan kualitas yang
tepat.
Pada tiap perusahaan persediaan bahan baku merupakan bagian
kekayaan lancar perusahaan, oleh karena itu tingkat persediaan bahan
baku di suatu perusahaan perlu diatur karena jika terlalu banyak bahan
baku yang didatangkan akan merusak persaingan dan keuntungan
usaha, akan tetapi jika bahan baku didatangkan dalam jumlah yang
sangat terbatas akan menggangu kelangsungan proses produksi suatu
perusahaan.
F. Proses Produksi
Proses produksi yaitu rangkaian proses yang dilakukan dalam suatu
industri yang bertujuan mengubah bahan baku menjadi barang jadi atau
setengah jadi agar mempunyai nilai tambah dengan standar yang
ditetapkan berdasarkan keinginan konsumen, dengan teknik produksi
yang seefisien mungkin, dan menggunakan sumber daya yang dimiliki
secara optimal (Ahyari, 2002).
15
Proses produksi memang tidak berhubungan langsung dengan
konsumen namun hambatan di bagian produksi dapat mengakibatkan
terhambatnya produk/jasa sampai di tangan konsumen yang akhirnya
menimbulkan kekecewaan atau citra yang buruk.
Proses produksi dalam suatu kegiatan usaha meliputi proses
perubahan dari bahan mentah menjadi barang jadi. Elemen-elemen yang
terlibat dalam proses produksi adalah bahan mentah, bahan setengah
jadi, barang jadi, mesin, peralatan, metode dan lain-lain.
Penentuan tipe produksi didasarkan pada faktor-faktor seperti: (1)
volume atau jumlah produk yang akan dihasilkan, (2) kualitas produk yang
diisyaratkan, (3) peralatan yang tersedia untuk melaksanakan proses.
Berdasarkan pertimbangan cermat mengenai faktor-faktor tersebut
ditetapkan tipe proses produksi yang paling cocok untuk setiap situasi
produksi. Macam tipe proses produksi dari berbagai industri dapat
dibedakan sebagai berikut (Yamit, 2002):
1. Proses produksi terus-menerus
Proses produksi terus-menerus adalah proses produksi barang
atas dasar aliran produk dari satu operasi ke operasi berikutnya
tanpa penumpukan disuatu titik dalam proses. Pada umumnya
industri yang cocok dengan tipe ini adalah yang memiliki
karakteristik yaitu output direncanakan dalam jumlah besar, variasi
atau jenis produk yang dihasilkan rendah dan produk bersifat
standar.
16
2. Proses produksi terputus-putus
Produk diproses dalam kumpulan produk bukan atas dasar
aliran terus-menerus dalam proses produk ini. Perusahaan yang
menggunakan tipe ini biasanya terdapat sekumpulan atau lebih
komponen yang akan diproses atau menunggu untuk diproses,
sehingga lebih banyak memerlukan persediaan barang dalam
proses.
3. Proses produksi campuran
Proses produksi ini merupakan penggabungan dari proses
produksi terus-menerus dan terputus-putus. Penggabungan ini
digunakan berdasarkan kenyataan bahwa setiap perusahaan
berusaha untuk memanfaatkan kapasitas secara penuh.
Untuk menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas,
diperlukan produk-produk dengan mutu baik sehingga daya simpan tinggi.
Terutama untuk produk-produk industri kecil yang mutunya relatif masih
rendah bila dibandingkan dengan produk-produk sejenis dari industri
besar atau menengah.
Masih rendahnya mutu produk yang dihasilkan oleh industri kecil
diantaranya disebabkan oleh teknologi proses pengolahan yang
diterapkan. Pada umumnya teknologi yang digunakan bersifat tradisional,
hal ini disebabkan oleh pengusaha industri kecil kurang banyak
17
mengetahui informasi mengenai teknologi produksi atau adanya
keterbatasan dalam permodalan untuk pengadaan peralatan.
Meski demikian, bukan berarti para pengusaha industri kecil boleh
mengabaikan mutu produk yang dihasilkan tetapi harus tetap diperhatikan
atau bahkan ditingkatkan kearah yang lebih baik.
G. Pemasaran
Pemasaran merupakan upaya mengatur strategi dan cara agar
konsumen mau mengeluarkan uang yang mereka miliki untuk
menggunakan produk atau jasa yang dimiliki sebuah perusahaan. Dengan
strategi pemasaran yang baik posisi perusahaan menjadi kuat dan patut
diperhitungkan dalam kegiatan ekonomi nasional yang akhirnya
membawa keuntungan bagi usaha tersebut.
Strategi pemasaran adalah suatu rencana yang didesain untuk
mempengaruhi pertukaran dalam mencapai tujuan organisasi. Biasanya
strategi pemasaran diarahkan untuk meningkatkan kemungkinan atau
frekuensi perilaku konsumen, seperti peningkatan penjualan produk
tertentu. Hal ini dicapai dengan mengembangkan dan menyajikan bauran
pemasaran yang diarahkan pada pasar sasaran yang dipilih. (Peter dan
Olson, 1999)
Dalam mengembangkan suatu bauran pemasaran, dapat
menggunakan suatu riset konsumen yang menjadi bagian dari riset
pemasaran. Memahami konsumen adalah penting dalam pengembangan
strategi pemasaran. Mengetahui perilaku konsumen dalam pembelian,
18
sikap terhadap produk, dan kepuasan konsumen merupakan salah satu
riset yang dapat digunakan dalam menyusun suatu bauran pemasaran.
Bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang
digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan
pemasarannya di pasar sasaran. Kotler (2005) mengklasifikasikan alat-
alat itu menjadi empat kelompok yang luas yang disebut sebagai empat P
pemasaran yaitu produk, harga, promosi, dan tempat.
a) Produk
Wibowo, Murdinah, dan Fawzya (2002) menyatakan bahwa
usaha kecil memiliki strategi tersendiri dengan membuat produk
yang khusus, unik, dan spesial agar tidak bersaing dengan usaha
besar. Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke
suatu pasar untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan konsumen
(Kotler, 2005). Produk yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa,
pengalaman, peristiwa, orang, tempat, properti, organisasi, dan
ide/gagasan. Sedangkan menurut Swastha (1995) produk adalah
suatu sifat yang kompleks baik dapat diraba maupun tidak dapat
diraba, termasuk bungkus, warna, harga, prestise perusahaan dan
pengecer, pelayanan perusahaan dan pengecer, yang diterima
oleh pembeli untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan. Inilah
yang dikenal dengan atribut-atribut produk.
Elemen dari strategi produk yang lain adalah nama merek,
pengemasan, dan pelabelan. Merek merupakan nama, istilah,
19
tanda, symbol, atau desain, atau kombinasi semuanya yang
dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seorang
atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dengan
barang atau jasa pesaing. Merek menjadi suatu tanda pengenal
bagi penjual atau pembuat. Merek dapat menyampaikan enam
tingkat pengertian yaitu atribut, manfaat, nilai, budaya,
kepribadian, dan pemakai.
Merek sangat penting bagi industri kecil dan menengah
karena dengan merek yang kuat, sebuah produk akan memiliki
nilai jual yang lebih baik dibandingkan produk tanpa merek. Merek
mencerminkan banyak keuntungan yang bisa didapat konsumen
dengan mengkonsumsi produk tersebut. Selain mencerminkan
keuntungan yang bisa didapat, merek juga memudahkan
konsumen dalam mengingat sebuah produk. Dengan nama dan
simbol yang mudah diingat, maka konsumen menjadi lebih tertarik
membuat preferensi atau pilihan ke produk kita.
Kotler (2005) menjelaskan bahwa pengemasan adalah
semua kegiatan merancang dan memproduksi wadah untuk
produk. Wadah ini yang disebut dengan kemasan produk.
Kemasan yang dirancang dengan baik dapat menciptakan
kenyamanan dan nilai promosi. Setelah mengemas, pemasar
biasanya memberikan label pada produknya. Pelabelan yang
sederhana hanya mencantumkan nama merek, namun ada
20
informasi tambahan yang diharuskan ada dalam label seperti izin
Departemen Kesehatan, logo halal, informasi kandungan gizi,
tanggal kadaluarsa, dan lain-lain.
b) Harga
Harga merupakan sejumlah uang yang tersedia dibayarkan
oleh konsumen untuk mendapatkan suatu produk. Harga
merupakan satu-satunya elemen bauran pemasaran yang
menghasilkan pendapatan dan paling fleksibel/dapat diubah
dengan cepat (Kotler, 2005). Penetapan harga dan persaingan
harga juga merupakan masalah utama yang dihadapi perusahaan.
Penetapan harga yang baik dapat memposisikan suatu produk di
benak konsumen. Sedangkan Kartajaya (2004) menyebutkan
harga sebagai ekspresi nilai, di mana nilai menyangkut kegunaan
dan kualitas produk, citra yang terbentuk melalui iklan dan
promosi, ketersediaan produk melalui jaringan distribusi dan
layanan yang menyertainya.
Menurut Griffin dan Ronald J. Ebert (2003), untuk
memperlancar strategi pemasaran maka diwajibkan memilih harga
jual yang paling sesuai sebagai tindakan penyeimbang. Namun
demikian, harga jual juga harus mendukung biaya lainnya seperti
biaya operasi, administrasi, riset organisasi, dan biaya pemasaran.
Penetapan harga yang berhasil berarti mencari harga yang
menguntungkan di antara kedua kebutuhan tersebut.
21
c) Promosi
Promosi merupakan suatu kegiatan untuk memperkenalkan
keunggulan, manfaat, dan lain-lain baik kepada konsumen
maupun kepada calon konsumen. Promosi secara tidak langsung
dapat membujuk dan merangsang konsumen untuk mengenal,
berminat, dan akhirnya sampai pada keputusan untuk membeli.
Menurut Kotler (2005), bauran promosi terdiri dari lima alat
promosi utama yaitu iklan, promosi penjualan, hubungan
masyarakat, tenaga penjualan, dan pemasaran langsung. Masing-
masing alat promosi mempunyai karakteristik dan biaya masing-
masing. Perusahaan dapat memilih kelima alat utama tersebut
atau dapat mengkombinasikan di antara kelimanya.
Kebanyakan industri kecil dan menengah tidak
mempromosikan iklannya di media massa, apalagi televisi, karena
dilihat dari skala ekonomis yang masih terbatas. Hal ini
menyebabkan cara yang banyak dilakukan untuk mempromosikan
produknya adalah dengan promosi dari mulut ke mulut.
Menurut Wibowo, Murdinah, dan Fawzya (2002), ada banyak
cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan kecil dalam
mempromosikan produknya yaitu dengan potongan harga,
penjualan kredit, pemberian contoh barang, melakukan pameran-
pameran, dan membuat iklan.
22
d) Saluran Distribusi
Selain strategi hal lain yang berpengaruh terhadap proses
pemasaran adalah saluran distribusi. Saluran distribusi adalah
lembaga-lembaga distributor atau lembaga-lembaga penyalur
yang mempunyai kegiatan untuk menyalurkan atau menyampaikan
barang-barang atau jasa-jasa dari produsen ke konsumen.
Fungsi utama saluran distribusi adalah menyalurkan barang
dari produsen ke konsumen, maka perusahaan dalam
melaksanakan dan menentukan saluran distribusi harus
melakukan pertimbangan yang baik.
Menurut Swastha dan Irawan (1997) terdapat berbagai
macam saluran distribusi barang konsumsi, diantaranya :
1. Produsen – Konsumen
Bentuk saluran distribusi ini merupakan yang paling
pendek dan sederhana karena tanpa menggunakan perantara.
Produsen dapat menjual barang yang dihasilkannya melalui
pos atau langsung mendatangi rumah konsumen (dari rumah
ke rumah). Oleh karena itu saluran ini disebut saluran
distribusi langsung.
2. Produsen – Pengecer – Konsumen
Seperti halnya dengan jenis saluran yang pertama
(Produsen - Konsumen), saluran ini juga disebut sebagai
saluran distribusi langsung. Disini, pengecer besar langsung
23
melakukan pembelian kepada produsen. Adapula beberapa
produsen yang mendirikan toko pengecer sehingga dapat
secara langsung melayani konsumen.
3. Produsen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen
Saluran distribusi ini banyak digunakan oleh produsen, dan
dinamakan saluran distribusi tradisional. Di sini, produsen
hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada
pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer.
Pembelian oleh pengecer dilayani pedagang besar, dan
pembelian oleh konsumen dilayani pengecer saja.
4. Produsen – Agen – Pengecer – Konsumen
Di sini, produsen memilih agen sebagai penyalurnya. Ia
menjalankan kegiatan perdagangan besar dalam saluran
distribusi yang ada. Sasaran penjualannya terutama ditujukan
kepada para pengecer besar.
5. Produsen – Agen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen
Dalam saluran distribusi, produsen sering menggunakan
agen sebagai perantara untuk menyalurkan barangnya
kepada pedagang besar yang kemudian menjualnya kepada
toko-toko kecil.
H. Sumber Daya Manusia (SDM)
24
Secara umum peran tenaga kerja dalam industri sangat penting.
Sebab sebagai sumber daya manusia (SDM) yang harus melakukan
sesuatu kegiatan di tempat kerja adalah sebagai penentu dari suatu
sistem kerja pada industri. Sedangkan mesin dan sejumlah komponen
lainnya hanya merupakan alat bantu yang memudahkan pekerjaan dalam
rangka pencapaian tujuan yakni suatu produk dari kegiatan tersebut
(Tukiman, 2010)
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa secara kualitas ada
perbedaan antara tenaga kerja yang satu dengan tenaga kerja lainnya.
Biasanya perbedaan inilah yang akan menjadikan tingkatan/status
pekerjaan seseorang pada suatu organisasi. Misalnya ada direksi,
manajer produksi, manajer pemasaran, kepala pabrik dan karyawan yang
masing-masing memiliki keahlian tertentu untuk mendukung tugas dan
tanggung jawab masing-masing.
Masalah penting yang dihadapi oleh industri kecil dalam hal sumber
daya manusia adalah masih rendahnya kualitas SDM yang dimiliki baik
ditinjau dari segi pendidikan maupun keterampilan. Sebagian besar usaha
kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang
turun temurun. Keterbatasan SDM industri kecil baik dari segi pendidikan
formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh
terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut
sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan
keterbatasan SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi
25
perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk
yang dihasilkannya.
I. Bentuk Pembinaan dan Pengembangan
Untuk mencapai pembangunan industri kecil yang semakin maju dan
mandiri dilakukan oleh semua pihak yang terkait baik di pusat maupun di
daerah dengan koordinasi yang baik sehingga efektifitas dan efisiensi
pembinaan dapat ditingkatkan untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Adapun bentuk-bentuk pembinaan dan pengembangan yang
dilakukan pemerintah diantaranya adalah:
1. Aspek Sumber Daya Manusia
Salah satu usaha yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk
membantu pengembangan industri kecil dibidang sumber daya
manusia adalah melalui kegiatan pelatihan. Pelatihan adalah
suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang
dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi, latihan membantu
karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan
penerapannya guna meningkatkan keterampilan, kecakapan dan
sikap yang diperlukan oleh organisasi dalam usaha mencapai
tujuannya (Mathis, 2002).
Tujuan pelatihan adalah agar para pegawai dapat menguasai
pengetahuan, keahlian dan perilaku yang ditekankan dalam
program-program pelatihan dan untuk diterapkan dalam aktivitas
26
sehari-hari para karyawan. Pelatihan juga mempunyai pengaruh
yang besar bagi pengembangan perusahaan.
Zurnali (2004) memaparkan beberapa manfaat pelatihan yang
diselenggarakan oleh perusahaan, yaitu:
a) Meningkatkan pengetahuan para karyawan atas budaya dan
para pesaing luar,
b) Membantu para karyawan yang mempunyai keahlian untuk
bekerja dengan teknologi baru,
c) Membantu para karyawan untuk memahami bagaimana
bekerja secara efektif dalam tim untuk menghasilkan jasa
dan produk yang berkualitas,
d) Memastikan bahwa budaya perusahaan menekankan pada
inovasi, kreativitas dan pembelajaran,
e) Menjamin keselamatan dengan memberikan cara-cara baru
bagi para karyawan untuk memberikan kontribusi bagi
perusahaan pada saat pekerjaan dan kepentingan mereka
berubah atau pada saat keahlian mereka menjadi absolut,
f) Mempersiapkan para karyawan untuk dapat menerima dan
bekerja secara lebih efektif satu sama lainnya, terutama
dengan kaum minoritas dan para wanita
2. Aspek Produksi Dan Pengolahan
27
Kendala utama industri kecil selain permodalan dan pasar
adalah teknologi. Teknologi merupakan aspek sangat penting
dalam industri kecil. Selama ini telah tersedia berbagai teknologi
pengolahan hasil perkebunan, tetapi penerapan teknologi
tersebut masih belum intensif terutama pada industri kecil
pengolah kakao. Tiba saatnya dilakukan upaya sungguh-sungguh
untuk mendorong peningkatan penerapan dan adopsi teknologi
dikalangan pelaku usaha, memberdayakan dan mengembangkan
industri kecil agar kompetitif, termasuk melalui pengembangan
sistem dukungan teknologi bagi industri kecil secara integratif.
Apabila adopsi teknologi pada kalangan industri kecil tidak segera
dilakukan, ada kemungkinan pasar yang selama ini digarap akan
digantikan produk impor yang lebih efisien dan murah.
Industri kecil di Indonesia masih menggunakan teknologi
sederhana. Kenyataan ini membuat produktivitas industri kecil
masih rendah. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa akses
dan informasi sumber teknologi masih kurang dan tidak merata
dan upaya penyebarluasannya kurang gencar. Untuk itu
diperlukan kehadiran lembaga yang mengkaji teknologi yang
ditawarkan oleh pasar kepada industri kecil agar teknologi yang
ada dapat dimanfaatkan secara optimum. Teknologi ini
hendaknya bersifat tepat guna dengan spesifikasi peralatan
sesuai dengan kebutuhan industri kecil. Instansi pemerintah, non
28
pemerintah dan perguruan tinggi berperan dalam
mengidentifikasi, menemukan dan menyebarluaskan serta
melakukan pembinaan teknis sehubungan dengan teknologi
baru ata teknologi tepat guna secara intensif sehingga
keterampilan tenaga kerja di industri kecil dapat ditingkatkan.
3. Aspek Pemasaran
Menurut Swastha dan Irawan (1997) promosi adalah arus
informasi atau persuasi satu atau dua arah yang dibuat untuk
mengarahkan seseorang atau organisasi kepada tindakan yang
menciptakan pertukaran dalam pemasaran.
Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar
industri kecil disebabkan karena umumnya industri kecil
merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang
sangat terbatas terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang
rendah oleh karena itu produk yang dihasilkan jumlahnya sangat
terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif.
Akibat kurangnya kemampuan promosi industri kecil, produk-
produk mereka yang semestinya memiliki potensi besar untuk
dikenal masyarakat luas itu, hanya pupuler di daerah saja dan
kalah bersaing dibandingkan produk sejenis, termasuk produk
impor. Untuk itu pemerintah perlu turun tangan dalam membantu
promosi industri kecil misalnya melalui pameran-pameran produk
29
unggulan industri kecil sehingga produk yang dihasilkan bisa
dikenal masyarakat luas. Selain itu perlu dikembangkan
kemitraan yang saling membantu antara industri kecil, atau antara
industri kecil dengan pengusaha besar di dalam maupun di luar
negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha.
Disamping itu juga untuk memperluas pangsa pasar dan
pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian industri
kecil akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku
bisnis lainnya.
4. Aspek Permodalan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk
mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan
industri kecil disebabkan karena pada umumnya industri kecil
merupakan usaha perseorangan atau perusahaan yang sifatnya
tertutup, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik yang
jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank
atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena
persayaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh
bank tidak bisa terpenuhi.
J. Kebijakan Pembangunan
30
Dalam jaman yang segalanya serba global, peranan pemerintah
untuk melakukan pembangunan merupakan kunci menuju masyarakat
yang lebih makmur. Kebijakan (wisdom) pada dasarnya adalah
merupakan keputusan pemerintah untuk menciptakan suatu kondisi
tertentu yang perlu dilaksanakan dalam rangka mendorong proses
pembangunan nasional atau daerah (Sjafrizal, 2009).
Kebijakan pembangunan pada dasarnya merupakan pengambilan
keputusan untuk mewujudkan kondisi yang mendorong dan mendukung
pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang telah ditentukan
semula dalam perencanaan. Kebijakan ini diperlukan agar program dan
kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan dapat diarahkan dan
diwujudkan sesuai dengan kebijakan yang telah diambil.
Sementara itu Dunn (2003) mengatakan bahwa kebijakan sebagai
ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode untuk
menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan yang
dipakai dalam memecahpersoalan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
berhubungan dengan kondisi masyarakat yang bersifat kompleks dan
tidak memungkinkan pemisahan satu aspek dengan aspek lain.
Pembangunan dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi,
sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi
menuju arah yang diinginkan.
Terkait dengan tersebut maka perumusan kebijakan pembangunan
perlu dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan berbagai aspek
31
penting seperti visi dan misi pembangunan, kondisi dan potensi daerah,
permasalahan pokok pembangunan dan proyeksi pembangunan kedepan.
Disamping itu, perumusan kebijakan pembangunan juga harus sesuai
atau tidak berlawanan dengan kondisi sosial budaya setempat agar
pelaksanaan kebijakan tersebut tidak mendapat tantangan dan reaksi
negatif dari masyarakat daerah yang bersangkutan. Baik buruknya suatu
kebijakan akan ditentukan dari seberapa jauh kebijakan tersebut dapat
dilaksanakan dan memberikan hasil (outcome) terhadap proses
pembangunan sebagaimana telah direncanakan semula dan diharapkan
oleh masyarakat.
Hal lain terkait dengan kebijakan pembangunan adalah program
dan kegiatan pembangunan. Program dan kegiatan pembangunan pada
dasarnya merupakan upaya konkrit dalam bentuk intervensi pemerintah
dengan menggunakan sejumlah sumberdaya, termasuk dana dan tenaga,
yang dilakukan dalam rangka melaksanakan kebijakan pembangunan
yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, program pembangunan tersebut
merupakan jabaran kongkrit dari strategi dan kebijakan yang mempunyai
tujuan dan sasaran tertentu dalam rangka mendorong proses
pembangunan. Program tersebut dapat dilakukan langsung oleh instansi
pemerintah terkait maupun oleh pihak swasta dan masyarakat umum atau
melalui kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.
Untuk memudahkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program dikemudian hari, untuk masing-masing program dan
32
kegiatan ditetapkan indikator dan target kinerja baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Target kualitatif digunakan bila pengukuran secara
kuantitatif tidak dimungkinkan atau data yang diperlukan tidak tersedia
sama sekali. Sedang indikator kinerja yang digunakan biasanya meliputi 6
aspek utama yaitu : masukan (input), proses (process), keluaran (output),
hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact) (Mahsun, 2006).
Sedang efektifitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau
akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan
keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan (Kamus besar bahasa
Indonesia, 2002). Selanjutnya efektifitas berarti berusaha untuk dapat
mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan sarana,
waktunya atau berusaha melalui aktifitas tertentu baik secara fisik maupun
nonfisik untuk memperoleh hasil maksimal baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.
Efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau kegiatan
yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan
yang diharapkan atau dikatakan spending wisely. Memperhatikan
pendapat para ahli di atas, bahwa konsep efektivitas merupakan suatu
konsep yang bersifat multidimensional, artinya dalam mendefinisikan
efektivitas berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu walaupun tujuan akhir
dari efektivitas adalah pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pencapaian
tujuan secara tepat, dengan demikian sebuah program atau kegiatan
33
dalam pelaksanaannya dapat dikatakan efektif bila berjalan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya.
K. Kerangka Pemikiran
Sulawesi Selatan merupakan produsen utama kakao Indonesia,
dengan kontribusi 20% dari 844.626 ton produksi kakao nasional pada
tahun 2010. Daerah penghasil utama kakao Sulawesi Selatan adalah
Wilayah Luwu Raya. Mayoritas kakao dari Sulawesi Selatan diekspor
sebagai bahan baku atau biji kering (70 persen) dan hanya 30 persen
yang diproses oleh industri lokal menjadi produk kakao. Produk olahan
kakao terdiri dari pasta kakao, bubuk dan lemak kakao.
Dengan adanya potensi produksi kakao yang cukup besar yang
dimiliki oleh Wilayah Luwu Raya maka Departemen Perindustrian RI
melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah (Ditjen IKM)
memberikan bantuan mesin atau peralatan pengolahan kakao menjadi
berbagai produk cokelat kepada masing-masing Kabupaten/Kota di
Wilayah Luwu raya yang kemudian dikelola oleh KUB Sibali Resoe.
Sebagai Industri kecil yang baru berkembang industri kecil
pengolahan kakao ini tidak lepas dari permasalahan-permasalahan yang
dihadapi selama menjalankan usahanya. Karena keterbatasan sumber
daya yang dimiliki tidak semua permasalahan-permasalahan ini bisa
diatasi oleh perusahaan sehingga di sinilah peran pemerintah dibutuhkan.
Sesuai dengan peraturan, pemerintah mempunyai tugas untuk melakukan
34
pembinaan dan pengembangan terhadap industri kecil agar permasalahan
yang dihadapi bisa teratasi sehingga industri kecil bisa berkembang dan
hidup mandiri
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Industri Pengolahan Kakao
Permodalan: a. Dana b. Peralatan
Pembinaan dan Pengembangan:
a. Permodalan b. Produksi c. SDM d. Pemasaran
Industri Kecil yang Mandiri dan Berkembang
Proses Produksi: a. Bahan Baku b. Kualitas produk c. Pengembangan
produk
Pemasaran: a. Pangsa pasar b. Promosi c. Kemasan d. Merek
SDM: a. Pendidikan b. Pengetahuan
produksi
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan salah satu ciri
mengutamakan uraian dalam bentuk verbal atau deskriptif. Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
dari pada generalisasi. (Sugiyono, 2010)
Penelitian ini menggunakan persfektif emik, yaitu mendeskripsikan
informasi apa adanya sesuai dengan yang diteliti untuk memahami
fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan, bukan
sekedar untuk menguji suatu hipotesa.
.Untuk mendeskripsikan secara mendalam terhadap realitas sosial
yang berkenaan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, digunakan
pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini temuan-temuan empiris
dapat dideskripsikan secara lebih rinci, lebih jelas terutama yang berkaitan
36
dengan program-program pemerintah dalam melakukan pembinaan dan
pengembangan industri kecil.
B. Peran Peneliti
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti berperan sebagai
instrumen utama atau instrumen kunci. Peneliti terjun sendiri ke lapangan
secara aktif, menelusuri dan menggali data-data yang mengarah pada
jawaban atas pertanyaan penelitian. Peneliti menggunakan instrumen
pendukung yakni wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan
studi dokumen.
Dalam melakukan wawancara keberadaan peneliti dalam
melaksanakan pengumpulan data diketahui dan dikenal oleh informan.
Peneliti membangun kedekatan untuk menggali dan mendapatkan data
secara akurat, komprehensif, sehingga mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitian. Peneliti juga melihat kondisi yang terjadi
dilapangan, mengamati aktifitas serta kondisi riil dengan didampingi
informan.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam penyusunan tesis ini diperlukan data yang relevan dengan
objek yang diteliti, dalam rangka pengumpulan data tersebut, maka
penulis akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data di Kelompok
Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe Masamba, KUB Madani Palopo dan
37
Kelompok Tani (KOPTAN) Bina Harapan Kab. Luwu. Adapun waktu
penelitian yang dibutuhkan dalam mengadakan penelitian ini adalah 2
bulan yaitu pada bulan September-Oktober 2012.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara mendalam serta
melalui pengamatan (observasi) secara langsung. Sedangkan data
sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelusuran dan
pengamatan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
pembinaan dan pengembangan industri.
Tabel 3.1 Jenis dan sumber data penelitian
Tujuan Konsep/Variable Jenis Data Sumber Data 1. Untuk mengkaji bentuk
pembinaan dan pengembangan pemerintah terhadap industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya
Program Kerja/kegiatan pembinaan dan pengembangan
Sekunder Primer
Dokumen : Laporan kegiatan
dari: Dinas Perindag Prop. SulSel, Dinas Perindag Kab./Kota Dan BBIHP Makassar
Informan: Industri kecil Dinas Perindag
kabupaten/Kota dan propinsi
2.Untuk mengkaji kondisi dan permasalahan-permasalahan yang dialami industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya.
Permodalan (Dana, Peralatan)
Proses produksi (bahan baku, kualitas produk, pengembangan
Primer Informan: Industri kecil
38
produk) Pemasaran (Pangsa
pasar, promosi, kemasan, merk)
SDM (pendidikan, pengetahuan produksi)
3. Untuk merumuskan alternatif kebijakan pembinaan dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya.
Program/kegiatan Sekunder Dokumen: Hasil analisis tujuan 1 dan 2
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik sebagai
berikut :
1. Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap
perusahaan pengolahan kakao yang dikelola Kelompok Usaha
Bersama (KUB) Sibali Resoe di Kab. Luwu Utara, KUB Madani di Kota
Palopo dan Kelompok Tani (KOPTAN) Bina Harapan di Kab. Luwu
yang menjadi objek penelitian.
Dengan pengamatan langsung ini peneliti akan melihat langsung
proses produksi perusahaan mulai dari bahan baku hingga menjadi
produk jadi. Peneliti akan menyusun data hasil observasi dalam bentuk
catatan lapangan untuk mencatat informasi yang didapat.
2. Wawancara mendalam (in depth interview), yaitu penulis
melakukan tanya jawab dengan pihak pimpinan industri kecil serta
pejabat pemerintah pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten/ Kota di Wilayah Luwu Raya serta Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan.
39
Teknik wawancara dilakukan dengan wawancara terstruktur dan
terbuka untuk memperoleh kelengkapan informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian. Wawancara dilakukan setelah sebelumnya disusun
pedoman wawancara agar selama proses wawancara dilakukan tidak
keluar dari tujuan penelitian dan lebih terarah. (Sugiyono, 2010)
Di dalam wawancara itu peneliti berupaya untuk menggali informasi
tentang kondisi sumber daya manusia (SDM) serta operasional
perusahaan mulai dari bahan baku, proses produksi, sampai proses
pemasaran produk.
Selain itu peneliti juga akan menggali informasi tentang bantuan-
bantuan yang pernah diperoleh perusahaan dari pemerintah baik itu
dalam bentuk modal, mesin/peralatan, pelatihan, konsultansi dan
bantuan lain dalam upaya pengembangan perusahaan.
3. Dokumentasi
Penulis melakukan pencatatan data perusahaan dan dokumen-
dokumen serta laporan-laporan kegiatan pada instansi pemerintah
yang terkait dengan penelitian ini khususnya Dinas Perindustrian Dan
Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Perindustrian Dan
Perdagangan Kabupaten/Kota di Wilayah Luwu Raya dan
Kementerian Perindustrian (Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Makassar).
F. Penentuan Informan
40
Dalam penelitian kualitatif ini, informan ditentukan sendiri oleh
peneliti secara purposive atau secara sengaja, yakni menentukan
informan-informan yang dapat memberikan informasi yang relevan dengan
tujuan penelitian.
Pemilihan informan didasarkan objek penelitian yang menguasi
masalah, memiliki data, dan bersedia memberikan data. Dalam penelitian
ini yang dipilih peneliti untuk menjadi informan adalah:
1. Pimpinan KUB Sibali Resoe Kab. Luwu Utara,
Bapak H. Baharuddin, S.Ag
2. Pimpinan KUB Madani Kota Palopo, Bapak Ir. Muh. Sahaka
3. Pimpinan Koptan Bina Harapan Kab. Luwu, Bapak Muh Natsir Rauf
4. Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Luwu Utara, Bapak Drs. Jasmani
5. Staf Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Palopo, Bapak Zulkifli, ST, M.Si
6. Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab.
Luwu, Bapak Drs. Mursalim Sappo
7. Pimpinan/Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi
Sulawesi Selatan
8. Pimpinan/Staf pada Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar
G. Teknik Analisis Data
41
Teknik analisa data yang dipergunakan adalah teknik analisa data
kualitatif, yaitu dengan menyajikan data yang dimulai dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber data yang terkumpul,
mempelajari data, menelaah, menyusunnya dalam satuan-satuan, yang
kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya, dan memeriksa
keabsahan data serta menafsirkannya dengan analisis sesuai dengan
kemampuan daya nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian
H. Pengecekan Validitas Temuan
Dalam pengujian keabsahan informasi/data-data yang didapatkan,
dilakukan melalui teknik triangulasi yaitu:
1. Teknik Klarifikasi, yaitu informasi yang masih diragukan dari
hasil wawancara akan diklarifikasi kembali dengan informan
lain.
2. Teknik konfirmasi, yaitu temuan yang didapatkan melalui
observasi dikonfirmasi kembali pada informan yang memahami
temuan tersebut.
3. Teknik wawancara kembali, yaitu dalam proses penulisan
ternyata masih ada informasi yang terlupakan atau memerlukan
informasi tambahan, maka akan dilakukan wawancara kembali.
Melalui teknik tersebut di atas, diharapkan informasi yang didapatkan
dapat memberikan informasi yang valid, aktual dan dapat dipercaya.
42
I. Definisi Operasional
Untuk memahami istilah dan menghindari kesalahpahaman dalam
penelitian ini, maka perlu kesamaan pengertian, yaitu :
1. Pembinaan dan pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh
pemerintah melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan
untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan industri kecil
agar menjadi industri yang tangguh dan mandiri serta dapat
berkembang menjadi industri menengah.
2. Industri pengolahan kakao adalah industri kecil yang mengolah bahan
baku biji kakao menjadi produk setengah jadi (lemak kakao, bubuk
kakao, pasta kakao) maupun produk jadi (makanan dan minuman
cokelat)
3. Bahan baku adalah bahan utama yang dibutuhkan industri
pengolahan kakao untuk membuat suatu produk yaitu biji kakao
fermentasi.
4. Produksi adalah kegiatan untuk mengolah bahan baku menjadi produk
baik produk jadi maupun produk setengah jadi.
5. Industri kecil yang mandiri dan berkembang adalah industri yang
memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan bertumpu pada
kepercayaan dan kemampuan sendiri tanpa tergantung pihak lain
serta telah berkembang menjadi industri menengah.
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
E. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Luwu Raya. Luwu Raya
merupakan wilayah yang berada di bagian paling utara dari Propinsi
Sulawesi Selatan. Wilayah Luwu Raya memiliki total luas wilayah sebesar
17.695,33 km2. Sebelum era otonomi daerah wilayah Luwu Raya
merupakan satu daerah administratif yaitu Kabupaten Dati II Luwu.
Setelah terbitnya undang-undang tentang pemerintah daerah pada tahun
1999 Kabupaten Dati II Luwu kemudian dimekarkan menjadi dua
Kabupaten yaitu Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara, kemudian
pada tahun 2002 Kota Palopo yang sebelumnya berstatus kota
administratif dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu berubah
menjadi kota otonom dan terakhir pada tahun 2003 Kabupaten Luwu
Utara dimekarkan lagi maka lahirlah Kabupaten Luwu Timur, sehingga
saat ini wilayah Luwu Raya terdiri dari empat kabupaten atau kota yaitu
Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten
Luwu Timur.
1. Kabupaten Luwu
Letak wilayah Kabupaten Luwu berada pada 2°.34'.45′' - 3°.30,30′'
Lintang Selatan dan 120°.21.15''′ - 121°.43,11′ Bujur Timur dari Kutub
44
Utara dengan patokan posisi Propinsi Sulawesi Selatan, dengan
demikian posisi Kabupaten Luwu berada pada bagian Utara dan Timur
Propinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten Luwu beribukota di Belopa berjarak sekitar kurang
lebih 326 km dari kota Makassar. Daerah Kabupaten Luwu terbagi dua
wilayah sebagai akibat dari pemekaran Kota Palopo; yaitu wilayah
Kabupaten Luwu bagian selatan yang terletak sebelah selatan Kota
Palopo dan wilayah yang terletak di sebelah utara Kota Palopo.
Karena kondisi daerah yang demikian maka dibentuklah sebuah Badan
Pengelola yang disebut Badan Pengelola Pembangunan Walmas (BPP
Walmas).
Wilayah Kabupaten Luwu berbatasan langsung dengan Kota Palopo
dan Kabupaten Luwu Utara di sebelah utara, berbatasan dengan
Kabupaten Wajo dan Sidenreng Rappang di sebelah selatan, berbatasan
dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang di sebelah
barat dan berbatasan dengan Teluk Bone di sebelah timur
Menurut ketinggian daerah sebagian besar wilayah Kabupaten
Luwu berada di ketinggian 100 m keatas. Luas wilayah yang berada diatas
100 m tercatat sekitar 71,70 persen, sisanya sekitar 28,30 persen wilayah
berada pada ketinggian 0 - 100 m.
Luas wilayah administrasi Kabupaten Luwu kurang lebih 3000,25
km2 terdiri dari 21 kecamatan yang dibagi habis menjadi 192
desa/kelurahan. Kecamatan Latimojong adalah kecamatan terluas di
45
Kabupaten Luwu, luas Kecamatan Latimojong tercatat sekitar 467,75 km2
atau sekitar 15,59 persen dari luas Kabupaten Luwu, menyusul kemudian
kecamatan Bassesangtempe dan Walenrang Utara dengan luas masing-
masing sekitar 301,00 km2 dan 259,77 km2 atau 10,03 persen dan 8,66
persen. Sedangkan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah
Kecamatan Belopa Utara dengan luas kurang lebih 34,73 km2 atau hanya
sekitar 1,16 persen.
Dari 192 desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Luwu 23
diantaranya di Kecamatan Bassesangtempe, sedangkan di Kecamatan
Walenrang Barat dan Suli Barat terdapat 5 desa/kelurahan, dan
selebihnya tersebar di 19 Kecamatan lainnya dengan jumlah rata-rata 7-
11 desa/ kelurahan per kecamatan
Jumlah penduduk tahun 2011 berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Kabupaten Luwu tercatat sebanyak 320.205 jiwa terdiri dari
156.997 jiwa laki-laki dan 163.208 jiwa perempuan.
2. Kota Palopo
Secara geografis Kota Palopo kurang lebih 375 Km dari Kota
Makassar ke arah utara dengan posisi antara 2o53’15’’-3o04’08’’ Lintang
Selatan dan 120o03’10’’- 120014’34’’ Bujur Timur. pada ketinggian 0
sampai 300 meter di atas permukaan laut. Kota Palopo yang merupakan
daerah otonom ketiga dari empat daerah otonom di Luwu Raya.
Kota Palopo di bagian sisi sebelah timur memanjang dari utara ke
selatan merupakan dataran rendah atau kawasan pantai seluas kurang
46
lebih 30% dari total keseluruhan, sedangkan lainnya bergunung dan
berbukit di bagian barat, memanjang dari utara ke selatan, dengan
ketinggian maksimum adalah 1000 meter di atas permukaan laut.
Kota Palopo sebagai sebuah daerah otonom hasil pemekaran dari
Kabupaten Luwu, dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu, Sebelah Timur dengan Teluk
Bone, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bua Kabupaten
Luwu dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tondon
Nanggala Kabupaten Tana Toraja.
Luas wilayah administrasi Kota Palopo sekitar 247,52 kilometer
persegi atau sama dengan 0,39% dari luas wilayah Propinsi Sulawesi
Selatan. Dengan potensi luas wilayah seperti itu, oleh Pemerintah Kota
Palopo telah membagi wilayah Kota Palopo menjadi 9 Kecamatan dan 48
Kelurahan.
Wilayah Kota Palopo sebagian besar merupakan dataran rendah
dengan keberadaannya diwilayah pesisir pantai. Sekitar 62,85% dari total
luas daerah Kota Palopo, menunjukkan bahwa yang merupakan daerah
dengan ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut, sekitar 24,76%
terletak pada ketinggian 501-1000 meter di atas permukaan laut, dan
selebihnya sekitar 12,39% yang terletak diatas ketinggian lebih dari 1000
meter di atas permukaan laut.
Kedudukan geografis Kota Palopo berada pada posisi strategis
sebagai titik simpul jalur transportasi darat dan laut poros Trans Sulawesi.
47
Pada posisi ini Kota Palopo menjadi slah satu jalur distribusi barang jalur
darat dari Makassar dan Pare-Pare menuju Kabupaten Luwu Utara,
Kabupaten Luwu Timur dan Propinsi Sulawesi Tengah, sedangkan pada
jalur transportasi laut Kota Palopo sudah menjadi salah satu pelabuhan
laut menuju kota-kota di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kondisi permukaan tanah kawasan perkotaan cenderung datar, linier
sepanjang jalur jalan Trans Sulawesi, dan sedikit menyebar pada arah
jalan kolektor dan jalan lingkungan di wilayah perkotaan, sedangkan
kawasan yang menjadi pusat kegiatan dan cukup padat adalah di sekitar
kawasan pasar (pusat perdagangan dan jasa), sekitar perkantoran, dan
sepanjang pesisir pantai, yang merupakan kawasan permukiman kumuh
yang basah dengan kondisi tanah genangan dan pasang-surut air laut.
Secara garis besar keadaan topografis Kota Palopo ini terdiri dari 3
variasi yaitu dataran renah sepanjang pantai, wilayah perbukitan
bergelombang dan datar di bagian tengah, dan wilayah perbukitan dan
pegunungan di bagian barat, selatan dan sebagian di bagian utara.
Jumlah penduduk tahun 2011 berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Kota Palopo sebanyak 149.419 jiwa terdiri dari 73.249 jiwa laki-
laki dan 76.170 jiwa perempuan.
3. Kabupaten Luwu Utara
Kabupaten Luwu Utara terletak antara 010 53’ 19” - 020 55’36”
Lintang Selatan dan 1190 47’ 46” – 1200 37’ 44” Bujur Timur, yang
berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara,
48
Kabupaten Luwu Timur di sebelah timur, Propinsi Sulawesi Barat dan
Kabupaten Tana Toraja di sebelah barat, dan Kabupaten Luwu dan Teluk
Bone di sebelah selatan.
Kabupaten Luwu Utara beribukota di Masamba berjarak kurang lebih
440 km dari Kota Makassar. Luas wilayah Kabupaten Luwu Utara tercatat
7.502,58 kilometer persegi yang secara administrasi Pemerintahan
Kabupaten Luwu Utara terbagi atas 11 kecamatan dengan 169 desa yang
semuanya merupakan desa definitif. Dari 169 desa tersebut 8 desa sudah
termasuk dalam klasifikasi daerah perkotaan atau sudah dalam bentuk
wilayah kelurahan. Kedelapan kelurahan tersebut adalah Kelurahan
Kappuna, Kelurahan Bone, Kelurahan Kasimbong, Kelurahan Baliase,
Kelurahan Marobo, Kelurahan Salassa, dan Kelurahan Bone-Bone.
Kecamatan Sukamaju merupakan kecamatan dengan jumlah desa
terbanyak, yaitu 25 desa dan 1 UPT. Sedangkan Kecamatan Rampi
adalah paling sedikit jumlah desanya, yaitu hanya 6 desa.
Di antara 11 kecamatan, Kecamatan Seko merupakan kecamatan
yang terluas dengan luas 2.109,19 km2 atau 28,11 % dari total wilayah
Kabupaten Luwu Utara, sekaligus merupakan kecamatan yang letaknya
paling jauh dari Ibukota Kabupaten Luwu Utara, yakni berjarak 198 Km.
Urutan kedua adalah Kecamatan Rampi (21 %) dan yang paling sempit
wilayahnya adalah Kecamatan Malangke Barat (1%).
49
Jumlah penduduk tahun 2010 berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Kabupaten Luwu Utara sebanyak 287.472 jiwa terdiri dari
144.860 jiwa laki-laki dan 142.612 jiwa perempuan.
4. Kabupaten Luwu Timur
Posisi Kabupaten Luwu Timur yang terletak antara 2o 03’ 00’’ - 3 o
03’ 25’’ LS dan 119o 28’ 56’’ - 121 o 47’ 27’’ BT, yang beribukota di Malili
yang berjarak kurang lebih 565 km dari Kota Makassar.
Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Poso-Provinsi Sulawesi
tengah di bagian Utara, Kabupaten Morowali- Provinsi Sulawesi Tengah di
bagian timur, Kabupaten Konawe dan kabupaten Kolaka Utara-Provinsi
Sulawesi Tenggara serta hamparan laut Teluk Bone di bagian selatan,
dan kabupaten Luwu Utara-Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah barat.
Kedudukannya yang berada pada jalur lintas Trans Sulawesi dan
wilayah perbatasan seperti ini, sesungguhnya membawa peluang dan
tantangan kepada daerah ini menjadi kawasan industri dan perdagangan
strategis di masa depan. Posisinya yang berada di relung pesisir Teluk
Bone, dapat menjadikan Kabupaten Luwu Timur sebagai pusat distribusi
dan akomodasi barang dan jasa, dengan membuka aksesbilitas dan
mengembangkan kerjasama fungsional dengan wilayah-wilayah sekitar,
terutama dengan daerah-daerah yang memiliki bahan baku dan komoditi
ekonomis karena sumber daya alam yang tersedia pada daerah dan
wilayah tersebut.
50
Luas wilayah Kabupaten Luwu Timur adalah 6.944,88 km2 atau
sekitar 10,82 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dan berada
diketinggian 0 – 1.230 m diatas permukaan laut (dpl). Curah hujan
berkisar antara 2.800 s/d 3.980 mm/tahun dengan distribusi bulanan yag
cukup merata. Dengan demikian, dari segi agroklimatologi, Kabupaten
Luwu Timur sangat potensial untuk pengembangan berbagai jenis
komoditas pertanian.
Jumlah penduduk tahun 2011 berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Kabupaten Luwu Timur sebanyak 266.532 jiwa terdiri dari
137.492 jiwa laki-laki dan 129.040 jiwa perempuan.
Potensi Produksi Kakao di Luwu Raya
Indonesia adalah penghasil kakao ketiga terbesar di dunia setelah
Ghana dan Pantai Gading dan terbesar di Asia Pasifik. Indonesia
memproduksi 14 persen dari kakao dunia. Permintaan dunia untuk
produk-produk kakao terus meningkat 2 – 4 persen setiap tahun atau
setara dengan 60.000 - 120.000 ton setiap tahun. Ini adalah pasar
potensial bagi semua negara-negara produsen termasuk Indonesia.
Produksi kakao didominasi oleh petani sekitar ± 400.000 orang dengan
area produksi sekitar 0,5-1 Ha.
Pusat-pusat produksi di Indonesia adalah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Beberapa
daerah di Jawa Tengah dan Timur juga dikembangkan sebagai produsen
51
kakao. Estimasi produksi nasional tahunan selama tiga tahun (2006 -
2010) adalah sekitar 800.000 ton, dan 75 persen dihasilkan dari Sulawesi.
Sulawesi Selatan sendiri hanya memproduksi sekitar 185.000 ton atau
sekitar 20 persen dari produksi Nasional.
Kontributor utama untuk produksi Sulawesi Selatan adalah petani
tradisional yang menghasilkan sekitar 183.000 ton (99,5 persen) dan
sisanya dihasilkan oleh perkebunan swasta sekitar 1.050 ton atau hanya
0,5 persen (Dinas Perkebunan, 2012). Namun, karena masalah yang
dihadapi petani kakao seperti hama dan penyakit, pohon-pohon tua dan
manajemen pertanian yang tidak tepat oleh petani, produksi pada tahun
2007 sampai pertengahan 2008 menurun. Produksi dalam periode ini
adalah sekitar 110.000 ton yang melibatkan lebih dari 279.000 petani.
Daerah yang sangat berpotensi di Sulawesi Selatan adalah wilayah Luwu
Raya meliputi Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu, Kota Palopo dan
Kabupaten Luwu Timur. Wilayah ini menyumbang sekitar 50% dari total
produksi kakao Sulawesi Selatan. Perkebunan kakao menjadi sumber
utama pendapatan bagi sebagian besar petani, dengan luas rata-rata satu
hektar setiap petani. Untuk Kabupaten lainnya kakao sebagai pendapatan
sampingan petani dengan luas rata-rata setengah hektar setiap petani.
Data produksi kakao di Wilayah Luwu Raya disajikan pada table 4.1.
Mayoritas kakao dari Sulawesi Selatan diekspor sebagai bahan baku
atau biji kering (70 persen) dan hanya 30 persen yang diproses oleh
52
industri lokal menjadi produk kakao. Produk olahan kakao terdiri dari pasta
kakao, bubuk dan lemak kakao.
Dalam rangka meningkatkan kualitas produk untuk ekspor, industri
pengolah juga harus mengimpor biji kakao yang difermentasi dengan
kualitas yang lebih baik daripada yang diproduksi secara lokal. Ini adalah
tantangan besar bagi produsen kakao dan instansi terkait untuk
meningkatkan kualitas bahan baku yang memenuhi standar untuk
pengolahan target ekspor.
Tabel. 4.1. Jumlah produksi kakao wilayah Luwu Raya (dalam Ton)
Kabupaten/Kota Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Kabupaten Luwu 19,790 19,485 26,996 29,830 31,980 Kabupaten Luwu Utara 23,817 20,175 31,667 33,900 40,602 Kabupaten Luwu Timur 18,366 13,572 19,229 19,939 25,175 Kota Palopo 1,285 1,350 2,177 2,369 2,750
Jumlah 63,258 54,582 80,069 86,038 100,507 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012
Dari tabel di atas terlihat bahwa produksi kakao di Luwu Raya setiap
tahun mengalami peningkatan jumlah produksi. Dengan adanya program-
program pemerintah yang intensif dilakukan untuk mendukung
peningkatan produktivitas kakao seperti program gernas kakao
diharapkan produksi ini akan terus meningkat setiap tahunnya.
F. Kondisi Umum Industri Pengolahan Kakao Nasional
Industri hilir pengolahan kakao nasional memiliki potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku biji kakao
53
yang cukup melimpah di dalam negeri. Selama ini Indonesia tercatat
sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading
dan Ghana. Pada tahun 2010 produksi biji kakao Indonesia mencapai
844.626 ton. Pengembangan industri hilir kakao nasional yang kini sedang
digalakkan pemerintah, Kementerian Perindustrian diharapkan mampu
meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang pada
gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah,
meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan mendongkrak perolehan
devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao.
Beberapa kebijakan yang kurang mendukung upaya pengembangan
industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional
kurang berkembang, antara lain adanya kebijakan pengenaan pajak
produk primer dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun
2000 tentang PPN atas komoditi primer. Dengan adanya PPN tentu akan
menambah biaya produksi industry pengolahan kakao yang ada, sehingga
industri pengolahan kakao nasional harus menambah biaya jika ingin
menggunakan biji kakao domestik. Selain itu kebijakan pemerintah yang
membebaskan pajak ekspor biji kakao hingga nol persen dinilai semakin
merugikan pihak industri pengolahan kakao, karena petani lebih tertarik
untuk mengekspor biji kakaonya ke luar negri dibandingkan untuk
memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao nasional, sehingga
industri pengolahan kakao tidak memperoleh bahan baku yang cukup.
54
Akibatnya, beberapa perusahaan pengolahan biji kakao tidak dapat
beroperasi.
Dalam rangka menumbuhkan kembali industri pengolahan kakao,
maka tahun 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN
melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan
Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini belum
serta merta menghidupkan industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi.
Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui
Program Gerakan Nasional Kakao pada tahun 2009 dan masih berlanjut
sampai sekarang.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan
pengenaan Bea Keluar Biji Kakao pada bulan April 2010 melalui PMK
Nomor: 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao.
Rangkaian kebijakan tersebut diambil pemerintah dalam rangka
menghidupkan kembali industri pengolahan kakao dalam negeri.
Keberhasilan kebijakan ini juga terlihat dari data ekspor biji kakao yang
menurun pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009. Sedangkan ekspor
biji kakao sampai dengan bulan Mei 2011 mencapai 97.265 ton, turun
dibandingkan dengan ekspor Januari-Mei 2010 sebesar 158.855 ton.
Sedangkan ekspor kakao olahannya meningkat pada periode Januari-Mei
55
2011 sebesar 55.651 ton dibandingkan Januari-Mei 2010 sebesar 35.508
ton. (Kementerian Perindustrian, 2012)
G. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Industri Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Dalam
kebijakan industri nasional kakao merupakan salah satu komoditas yang
menjadi prioritas yang didorong pengembangannya di dalam negeri
sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun
2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Peraturan Presiden tersebut
kemudian dijabarkan oleh Kementerian Perindustrian melalui Peraturan
Menteri Perindustrian RI Nomor 113/M-IND/PER/10/2009 tentang peta
panduan klaster industri prioritas berbasis agro tahun 2010 – 2014 salah
satunya adalah berisikan pengembangan klaster industri kakao. Industri
kakao Indonesia mempunyai peranan penting di dalam perolehan devisa
negara dan penyerapan tenaga kerja, karena memiliki keterkaitan yang
luas baik ke hulu (petani kakao) maupun ke hilirnya (intermediate
industry/grinders). Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2008 jumlah
industri pengolahan kakao di Indonesia sebanyak 16 (enam belas)
perusahaan dan yang masih berjalan 3 (tiga) perusahaan dengan tingkat
pemanfaatan kapasitas terpasang produk pengolahaan sekitar 61% dari
total kapasitas terpasang.
Beberapa sasaran yang hendak dicapai dari implementasi kebijakan
pengembangan industri kakao nasional diantaranya adalah (Direktorat
Jenderal Industri Agro Dan Kimia, 2009) :
56
A. Jangka Menengah (2010 – 2014)
1. Optimalisasi kapasitas terpasang industri kakao olahan di dalam
negeri dari 40 persen menjadi 80 persen;
2. Peningkatan Biji Kakao Fermentasi dari 20 persen menjadi 80
persen;
3. Peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk
industri dalam negeri;
4. Meningkatnya investasi di bidang industri kakao;
5. Pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri
kakao di dalam negeri;
6. Peningkatan ekspor produk kakao olahan rata-rata 16 persen per
tahun.
B. Jangka Panjang (2010 – 2025)
1. Terbangunnya sentra produksi baru di luar Sulawesi yaitu antara
lain di Sumatera Barat dan Lampung;
2. Dicapainya diversifikasi produk kakao olahan;
3. Berkembangnya industri pengolahan kakao secara terpadu di
Indonesia;
4. Pengembangan (modifikasi) teknologi pengolahan kakao;
5. Terjaminnya infrastruktur seperti peti kemas, energi listrik dan
transportasi.
Untuk mencapai sasaran – sasaran tersebut maka misi yang di
laksanakan dalam mengsukseskan program pengembangan industri
57
kakao adalah meningkatkan nilai tambah biji kakao, meningkatkan mutu
dan produktivitas biji kakao, meningkatkan utilisasi kapasitas terpasang,
meningkatkan ekspor produk coklat olahan serta meningkatkan
penguasaan teknologi dan mutu sumber daya manusia dengan indikator
pencapaian adalah tercapainya mutu biji kakao yang lebih baik dan telah
terfermentasi serta tercapainya diversifikasi produk kakao olahan.
H. Pembinaan Dan Pengembangan Industri Pengolahan Kakao di Luwu Raya
Luwu Raya merupakan sentra produksi kakao di Indonesia. Untuk
mengembangkan industri pengolahan kakao pemerintah melalui
Kementerian Perindustrian berupaya mengembangkan pusat pengolahan
kakao skala kecil dengan teknologi dalam negeri dan memanfaatkan
bahan baku lokal sebagai percontohan. Kebijakan ini ditunjukkan dengan
memberikan bantuan peralatan pengolahan kakao di wilayah Luwu Raya.
Saat ini di wilayah Luwu Raya terdapat tiga industri kecil yang
memiliki peralatan untuk mengolah kakao menjadi produk olahan. Yaitu di
Kabupaten Luwu dikelola oleh Kelompok Tani (Koptan) Bina Harapan
yang dipimpin oleh Bapak Natsir Rauf, di Kota Palopo dikelola oleh
Koperasi Usaha Bersama (KUB) Madani yang dipimpin oleh Bapak Ir.
Muh. Sahaka dan di Kabupaten Luwu Utara dikelola oleh Kelompok
Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe yang dipimpin oleh Bapak H.
Baharuddin, S.Ag. Untuk Kabupaten Luwu Timur saat ini juga sudah ada
58
bantuan paket peralatan pengolah kakao namun hingga saat ini peralatan
tersebut masih dikelola oleh Dinas Perindag dan belum diserahkan
pengelolaannya ke pihak ketiga seperti di kabupaten lain.
Dari ketiga industri pengolahan kakao yang ada di Luwu Raya saat
ini hanya dua yang sudah beroperasi yaitu KUB Madani di Palopo dan
KUB Sibali Resoe di Masamba, sedangkan Koptan Bina Harapan hingga
saat ini belum berproduksi.
1. Bidang Permodalan
Modal merupakan hal penting dalam suatu usaha. Demikian juga
dalam industri kecil dan menengah (IKM) ini, tanpa modal kegiatan
perusahaan seperti produksi tidak dapat berjalan. IKM merupakan
bentuk usaha dengan modal yang terbatas. Diperlukan peran serta
pihak luar (investor atau kreditor) untuk membantu IKM dalam hal
permodalan. Keterbatasan modal seringkali merupakan penghambat
perkembangan industri kecil. Industri kecil kesulitan untuk membuat
produk dengan jumlah yang lebih besar dan mutu yang lebih baik,
karena modal yang dimiliki terbatas atau bahkan industri tidak bisa
beroperasi karena tidak memiliki modal.
Untuk membantu pengembangan industri pengolahan kakao di
wilayah Luwu Raya pada tahun 2008 pemerintah pusat melalui
Kementerian Perindustrian memberikan bantuan peralatan pengolah
kakao menjadi produk cokelat. Peralatan yang diberikan ini sebanyak 3
paket masing-masing 1 paket untuk industri di Kabupaten Luwu Utara,
59
Kabupaten Luwu dan Kota Palopo. Dengan bantuan peralatan yang
diberikan, industri sudah mampu mengolah kakao mulai dari biji kakao
hingga menjadi produk setengah jadi (pasta kakao, bubuk kakao dan
lemak kakao) maupun produk jadi (makanan dan minumam cokelat)
walaupun kapasitas yang dihasilkan masih kecil (sekitar 5 kg/hari).
Seiring dengan uji coba proses produksi yang terus dilakukan
kemudian pada tahun 2010 industri-industri ini bisa menambah
kapasitas produksinya melalui adanya bantuan dana dari Pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan. Melalui bantuan dana dari pemerintah
propinsi ini KUB Sibali Resoe dan KUB Madani melakukan pembelian
peralatan / mesin untuk meningkatkan kapasitas produksinya, mereka
melakukan pembelian mesin untuk mengganti atau menambah mesin
yang sudah ada. Mesin-mesin yang dibeli antara lain mesin pres
hidrolik dan mesin ballmill horizontal yang dibeli dari pabrik di Jember.
Dengan pembelian alat baru ini kapasitas produksi dari KUB Sibali
Resoe dan KUB Madani bisa meningkat 2 kali lipat dari kapasitas
sebelumnya (menjadi 10 kg/hari). Sedangkan untuk Koptan Bina
Harapan bantuan dana dari pemerintah propinsi digunakan untuk
membangun gedung pabrik, membeli generator serta membeli
beberapa alat tambahan seperti mixer dan alat kemasan. Pada tahun
2011 KUB Sibali Resoe dan KUB Madani memperoleh bantuan dana
dari Kementerian Koperasi dan UMKM untuk membeli peralatan
tambahan. Dengan bantuan ini KUB Sibali Resoe memutuskan untuk
60
membeli alat baru yaitu mesin ballmill tipe vertikal yang dibeli dari
pabrik di Bandung dengan pertimbangan bahwa mesin ballmill tipe
horizontal yang sebelumnya dibeli kinerjanya kurang efektif dimana
selain kapasitasnya yang kecil juga dibutuhkan waktu yang cukup lama
dalam pengoperasiannya sekitar 2 sampai 3 hari, sedangkan KUB
Madani memilih membeli mesin ballmill tipe horizontal yang sama
dengan mesin yang sebelumnya pernah di beli sehingga KUB Madani
memiliki 2 buah mesin ballmill tipe horizontal. Dengan tambahan
peralatan yang baru di beli ini kapasitas produksi KUB Sibali Resoe
saat ini meningkat cukup besar yaitu sekitar 100-150 kg/hari
sedangkan kapasitas produksi KUB Madani saat ini sekitar 30 kg/hari.
Pembelian mesin ballmill inilah yang saat ini menjadikan kapasitas
produksi antara KUB Sibali Resoe dan KUB Madani berbeda.
Sehingga sampai saat ini industri kakao di Luwu Raya telah 2 kali
mengalami penambahan dan pengembangan peralatan hingga
kapasitasnya bisa bertambah besar dibandingkan dengan kapasitas
awal. Saat ini industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya telah
memiliki peralatan-peralatan yang cukup lengkap yang dapat
digunakan untuk mengolah biji kakao mulai dari biji kakao hingga
menjadi produk akhir. Daftar peralatan yang dimiliki oleh masing-
masing industri dapat dilihat pada tabel berikut ini:
61
Tabel 4.2. Daftar peralatan yang dimiliki oleh KUB Sibali Resoe
No. Jenis Mesin Kapasitas Kapasitas per hari Jumlah Keterangan
1 Pengering Biji 500 kg/batch
200 kg 2 Unit berfungsi baik, 2-3 hari/batch
2 Pembersih biji 250 kg/jam 2000 kg 1 Unit berfungsi baik 3 Sortir biji 250 kg/jam 2000 kg 1 Unit berfungsi baik 4 Penyangrai Biji 10 kg/30
mnt. 160 kg 1 Unit berfungsi baik
5 Pemisah Kulit Biji dgn Nibs
25 kg/jam 200 kg 1 Unit berfungsi baik
6 Pemasta Kasar 20 kg/jam 160 kg 1 Unit berfungsi baik 7 Pencampur
pasta 60 kg/jam 480 kg 2 Unit berfungsi baik
8 Refiner 25 kg/jam 200 kg 2 Unit tidak optimal, pasta masih kasar
9 Counching 10 kg/batch 5 kg 2 Unit tidak optimal, 1-2 hari/batch
10 Ball Mill Horisontal
60 kg/batch 20 kg 1 Unit tidak efektif, 2-3 hari/batch, masih kasar
11 Ball Mill 5 kg/batch 20 kg 1 Unit Berfungsi baik, 1,5-2 jam/batch
12 Ball Mill 200 kg/batch
800 kg 1 Unit Berfungsi baik, 2jam/batch
13 Pres Pemisah Lemak Vertikal
1 kg/batch 5 kg 2 Unit tidak optimals, lemak tersisa + 28 %
14 Pres pemisah Lemak Horizontal
1 kg/batch 5 kg 2 unit tidak optimals, lemak tersisa + 25 %
15 Pembubuk 10 kg/batch 40 kg 1 unit barfungsi baik, 1-2 jam/batch
16 Pengayak/Sieve 10 kg/batch 80 kg 1 unit tidak optimal, masih kasar
17 Pencampur bubuk
10 kg/batch 320 kg 1 unit berfungsi baik, 15 mnt/batch
18 Kemasan untuk bubuk
50 kg/jam 400 kg 1 unit Berfungsi baik, 15-250 gr/saschet
Sumber: KUB Sibali Resoe, 2012
62
Dari peralatan-peralatan yang dimiliki KUB Sibali Resoe diatas,
saat ini ada beberapa peralatan yang sudah tidak digunakan seperti
mesin refiner, mesin counching dan mesin ballmill horizontal, hal ini
disebabkan karena kerja dari mesin-mesin tersebut sudah bisa
digantikan oleh alat ballmill tipe vertikal yang telah dimiliki KUB Sibali
Resoe. Sedangkan untuk peralatan yang dimiliki oleh KUB madani
dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3. Daftar peralatan yang dimiliki oleh KUB Madani
No. Jenis Mesin Proses Kapasitas Kapasitas
per hari Jumlah Keterangan
1 Penyangrai Biji 10 kg/30 mnt
160 kg 1 Unit berfungsi baik
2 Pemisah Kulit Biji dgn Nibs
25 kg/jam 200 kg 1 Unit berfungsi baik
3 Pemasta Kasar 20 kg/jam 160 kg 1 Unit berfungsi baik 4 Counching 10 kg/batch 5 kg 2 Unit kurang
optimal, 1-2 hari/batch
5 Ball Mill Horisontal
5 kg/batch 1,5 kg 2 Unit kurang efektif, 2-3 hari/batch
6 Pres pemisah Lemak Horizontal
4 kg/jam 32 kg 2 unit belum optimals, lemak tersisa 25-30 %
8 Pengayak/Sieve 2 kg/jam 16 kg 2 unit belum optimal, masih kasar
9 Pencampur bubuk
10 kg/batch 320 kg 1 unit berfungsi baik, 15 mnt/batch
10 Kemasan untuk bubuk
50 kg/jam 400 kg 1 unit Berfungsi baik
11 Tempering 15 kg/batch 120 kg 2 Unit Berfungsi baik, 45-60 mnt/batch
Sumber: KUB Madani, 2012
63
Untuk membantu operasional industri pengolahan kakao di Luwu
Raya, selain bantuan peralatan dari pemerintah pusat maupun
pemerintah propinsi pemerintah juga memberikan bantuan berupa
daya untuk menjalankan proses produksi pabrik. Dari hasil wawancara
diperoleh data bahwa untuk membantu operasional KUB Sibali Resoe,
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara melalui Dinas Perindustrian Dan
Perdagangan telah menyalurkan bantuan modal berupa dana bergulir
sebesar 100 Juta rupiah. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Bidang
Industri Bapak Drs. Jasmani Pada tanggal 12 September 2012:
“Untuk membantu operasional KUB Sibali Resoe kami memberikan bantuan modal kerja sekitar Rp. 100 Juta, ini dalam bentuk dana bergulir artinya dana ini nantinya harus dikembalikan”
Sedangkan untuk industri di Kota Palopo KUB Madani, bantuan
modal untuk operasional diperoleh dari Kementerian Koperasi Dan
UMKM sebesar Rp. 100 Juta. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
dengan Staf Bidang Industri, Dinas Perindustrian Dan Perdagangan
Kota Palopo Bapak Zulkifli, ST, M.Si pada tanggal 11 September 2012:
“Untuk biaya operasional Alhamdulillah KUB Madani memperoleh bantuan dari Kementerian Koperasi dan UMKM kurang lebih sekitar Rp.100 juta rupiah sehingga bisa dipakai untuk dana operasional” Kondisi yang berbeda dialami oleh industri di Kabupaten Luwu
dimana hingga saat ini industri ini belum mampu melakukan produksi
karena tidak adanya modal kerja. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara yang dilakukan dengan pimpinan Koptan Bina Harapan
Bapak Natsir Rauf pada tanggal 10 September 2012:
64
“Hingga saat ini kami belum bisa beroperasi karena tidak adanya modal. Saya sudah mencoba meminta bantuan ke Dinas Perindustrian namun katanya belum ada anggarannya sehingga sampai saat ini saya masih menunggu adanya bantuan modal ini” Hal ini menggambarkan bahwa modal merupakan hal penting yang
harus diperhatikan untuk dapat menjalankan suatu industri terlebih lagi
apabila industri tersebut merupakan industri yang baru dibangun.
Selain modal dana untuk operasional bantuan-bantuan lain yang telah
diberikan pemerintah untuk industri ini antara lain adalah untuk industri
dikota Palopo KUB Madani bantuan berupa bangunan gedung untuk
pabrik yang berlokasi di kawasan industri Kota Palopo, subsidi biaya
listrik dan subsidi biaya pembuatan kemasan. Hal ini sesuai dengan
hasil wawancara dengan Staf Bidang Industri, Dinas Perindustrian Dan
Perdagangan Kota Palopo Bapak Zulkifli, ST, M.Si pada tanggal 11
September 2012:
“untuk membantu operasional KUB Madani pemerintah kota Palopo memberikan bantuan berupa bangunan gedung untuk pabrik. Bangunan ini berada di Kawasan Industri Palopo. Selain menyediakan gedung pemerintah juga mensubsidi pembayaran listriknya selain itu kami juga membantu mendesainkan kemasannya dan juga sekaligus mensubsidi biaya pembuatannya. Yang jelas kami sangat konsen untuk membantu industri ini agar bisa eksis” Untuk industri di Kabupaten Luwu Koptan Bina Harapan
pemerintah daerah juga telah memberikan bantuan berupa gedung
untuk pabrik, pemasangan/penyambungan jaringan listrik, penyediaan
sarana kelengkapan seperti gardu genset dan jaringan air. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian
65
dan Perdagangan Kabupaten Luwu Bapak Drs. Mursalim Sappo pada
tanggal 10 September 2012:
“untuk membantu Koptan Bina Harapan pemerintah daerah sudah membangunkan gedung untuk pabrik, terus melengkapinya dengan jaringan listrik, genset dan instalasi air selain itu kami juga membantu mendesainkan kemasan yang akan digunakan untuk membungkus produknya”
Tabel 4.4. Daftar bantuan permodalan untuk industri pengolahan kakao di Luwu Raya
No. Nama Industri Bentuk Bantuan Pemberi Bantuan
1 KUB Sibali Resoe Luwu Utara
Bantuan peralatan, bantuan dana operasional Rp. 100 Juta
Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UMKM, Dinas Perindag Kabupaten Luwu Utara dan Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel
2 KUB Madani Palopo
Bantuan peralatan, bantuan dana operasional Rp. 100 Juta, bantuan lahan dan gedung pabrik, bantuan subsidi listrik dan bantuan subsidi kemasan
Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UMKM, Dinas Perindag Kota Palopo dan Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel
3 Koptan Bina Harapan Luwu
Bantuan peralatan, bantuan lahan dan gedung pabrik, bantuan perlengkapan sarana pabrik (jaringan listrik dan air)
Kementerian Perindustrian, Dinas Perindag Kabupaten Luwu dan Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel
Sumber: Dinas Perindag Kabupaten/Kota, 2012
Dari peralatan-peralatan yang telah dimiliki saat ini industri
pengolahan kakao di Luwu Raya sudah mampu menghasilkan produk-
produk olahan kakao. Sehingga industri ini sangat mempunyai potensi
untuk menjadi industri pengolah kakao yang mapan dan berkembang
di masa yang akan datang. Dengan adanya inisiatif dan keinginan
66
yang kuat dari pengelola industri untuk memajukan industri ini menjadi
modal yang kuat untuk memajukan industri ini selain tentunya
pembinaan dari pemerintah yang masih perlu diberikan.
Salah satu masalah yang dihadapi industri kecil adalah masalah
permodalan. Lambannya akumulasi kapital di kalangan pengusaha
kecil merupakan salah satu penyebab lambannya laju perkembangan
usaha dan rendahnya surplus usaha. Oleh sebab itu dalam
pengembangan dan pembinaan industri kecil pemecahan dalam aspek
modal ini penting dan harus dilakukan.
Tabel 4.5. Permasalahan industri kecil di bidang permodalan
No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi
1. KUB Sibali Resoe - Keterbatasan dana untuk peningkatan kapasitas dan sarana produksi
2. KUB Madani - Keterbatasan dana untuk peningkatan kapasitas dan sarana produksi
3. Koptan Bina Harapan - Tidak ada dana untuk operasional produksi
- Peralatan yang belum lengkap Sumber: Data diolah, 2012
2. Bidang Produksi dan Pengolahan
Proses produksi pengolahan kakao, khususnya untuk mengolah
biji kakao menjadi produk setengah jadi atau produk antara seperti
pasta kakao, lemak kakao dan bubuk kakao relatif tergolong lebih rumit
dibandingkan dengan produk-produk olahan pangan lainnya. Proses
pengolahan kakao menjadi produk setengah jadi maupun menjadi
produk jadi memerlukan banyak tahapan proses, sehingga
67
keterampilan dan kemampuan tenaga kerja sangat diperlukan. Untuk
membantu meningkatkan keterampilan tenaga kerja yang terlibat di
industri ini pemerintah melalui instansi-instansi terkait telah banyak
melakukan upaya-upaya agar keterampilan dan pengetahuan tenaga
kerja meningkat diantaranya melalui pelatihan, konsultansi dan
kunjungan industri.
Bahan baku utama produk cokelat adalah biji kakao. Dari aspek
rasa dan aroma, makanan atau minuman cokelat akan sangat baik jika
biji kakao yang digunakan adalah biji kakao yang telah difermentasi
secara penuh karena produk kakao yang diolah dari biji kakao yang
telah difermentasi akan memiliki aroma yang khas dan rasa yang lebih
kuat dibandingkan dengan produk kakao yang dihasilkan dari biji
kakao non fermentasi. Sedangkan dari sisi kesehatan biji kakao harus
bebas jamur. Kontaminasi jamur pada biji kakao akan mengakibatkan
rasa tengik atau apek. Sedangkan dari aspek efisiensi produksi biji
kakao dengan ukuran seragam akan mudah diolah dan menghasilkan
mutu produk yang seragam juga. Kadar kulit, kadar kotoran dan kadar
air akan berpengaruh pada randemen hasil. Kadar air yang tinggi juga
akan menyebabkan waktu pengolahan tahap berikutnya akan
memakan waktu yang lama. Selain itu adanya kontaminasi benda
keras selain akan menyebabkan kendala pada saat pengolahan
berikutnya juga bisa mempengaruhi kualitas produk akhir yang
dihasilkan.
68
Tabel 4.6. Persyaratan mutu biji kakao sebagai bahan baku produk cokelat
Kriteria Mutu Syarat Kondisi di Pabrik
Tingkat fermentasi 5 hari 5 Hari
Kadar air 7 % >7 %
Kadar kulit 12 – 13 % 12 – 13 %
Kadar lemak 50 – 51 % 50 – 51 %
Ukuran biji Seragam Tidak Seragam
Kadar Kotoran:
Jamur Nihil Ada
Benda asing lunak Nihil Ada
Benda asing keras Nihil Ada
Sumber: Mulato, 2005 ; KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012
Luwu Raya merupakan produsen kakao utama di Sulawesi Selatan.
Tahun 2011 wilayah ini menghasilkan produksi kakao 100.507 ton.
Bahan baku yang melimpah merupakan salah satu aspek penting bagi
industri pengolahan kakao. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku industri pengolahan kakao tidak mengalami masalah. Hal
ini sesuai dengan pernyataan pimpinan KUB Sibali Resoe H.
Baharuddin pada tanggal 11 September 2012:
“Kalau kebutuhan bahan baku tidak ada masalah malah kelebihan sehingga dijual ke Makassar.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh pimpikan KUB Madani
Palopo Bapak Ir. Muhammad Sahaka pada tanggal 11 September
2012:
69
“Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kami tidak ada masalah, kami memesan bahan baku dari kelompok tani binaan di daerah Larompong Kabupaten Luwu, mengenai kualitas kami percaya karena disana ada teman yang menjadi koordinator di sana, jadi kita belinya tidak ke pedagang tapi langsung ke koordinator petaninya jadi kualitasnya bisa terjamin”
Pengadaan bahan baku bagi industri pengolahan kakao di daerah
ini memiliki cukup pendek rantai atau jaringan, yaitu hanya dari
kelompok petani atau koperasi. Pendeknya rantai suplai untuk industri
kecil memiliki dua keuntungan. Pertama, petani memiliki posisi yang
lebih baik dengan menjual produk pertanian mereka secara langsung
melalui kelompok tani dan koperasi yang dibentuk untuk kepentingan
petani. Kedua, harga bahan baku tidak berbeda atau tidak jauh
berbeda dari harga pertanian karena tidak ada pihak lain mengambil
keuntungan yang terlibat dalam rantai pasokan. Menurut industri,
harga berfluktuasi antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per kg.
Dalam rangka mendukung program pemerintah dalam mendorong
petani untuk melakukan fermentasi yang tepat di tingkat petani, industri
hanya menyerap biji kakao yang difermentasi. Oleh karena itu, petani
dianjurkan atau bahkan dipaksa untuk melakukan proses yang
diperlukan untuk menghasilkan biji kakao yang difermentasi. Salah
satu usaha yang dilakukan oleh industri pengolahan kakao agar para
petani mau memfermentasi kakaonya adalah dengan memberlakukan
perbedaan harga antara kakao fermentasi dengan kakao non
fermentasi dimana untuk kakao fermentasi harganya lebih tinggi dari
70
kakao non fermentasi perbedaan harga ini berkisar antara Rp. 2.000
sampai Rp. 5.000,- per kg. Hal ini sesuai dengan pernyataan pimpinan
KUB Sibali Resoe H. Baharuddin pada tanggal 11 September 2012
“Untuk memperoleh kakao yang fermentasi dulu kita bina petani, untuk pembeliannya dulu lewat kolektor tapi tidak efisien sehingga sekarang langsung dari petaninya. Jadi petaninya melapor ke kelompok terus datang ke gudang kita arahkan bahkan digudang petani kita kasih makan cokelat supaya ada motivasi untuk memperbaiki mutu kakaonya. Alhamdulillah selama satu tahun kita bina ini sekarang sudah bagus hasilnya. Petani sudah pintar karena kita juga kasih rangsangan kalau kualitasnya bagus dikasih harga lebih”.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh pimpikan KUB Madani
Palopo Bapak Ir. Muhammad Sahaka pada tanggal 10 September
2012:
“Untuk merangsang petani agar mau memfermentasi kakaonya biasanya kami memberikan harga lebih/harga premium untuk membeli kakao yang fermentasi”
Tidak adanya kendala dalam memperoleh bahan baku ini tidak
lepas dari masih terbatasnya kapasitas produksi perusahaan serta
besarnya potensi kakao yang dihasilkan di wilayah Luwu Raya.
Pemberian harga lebih dalam pembelian bahan baku biji kakao ini
tentu saja bisa merangsang para petani untuk melakukan fermentasi
terhadap kakao mereka. Namun demikian pemberian nilai lebih ini
tidak selamanya menguntungkan petani namun tergantung berapa
perbedaan harga yang diberikan. Hal ini disebabkan karena untuk
melakukan fermentasi petani membutuhkan peralatan tambahan
misalnya kotak fermentasi, waktu yang dibutuhkan juga lebih lama dan
71
tentu saja butuh tenaga tambahan untuk melakukannya, sehingga
tambahan harga yang tidak signifikan tentu saja akan merugikan
petani dan petani akan enggan untuk melakukan fermentasi.
Untuk melakukan penghitungan berapa perbedaan harga kakao
non fermentasi dengan kakao fermentasi sehingga petani dapat
memperoleh untung dapat dilakukan dengan mengetahui berapa
rendemen berat biji kakao yang difermentasi dan yang tidak
difermentasi. Dari hasil penelitian Satriawan, 2007 diperoleh data
bahwa rendemen berat biji kakao kering yang difermentasi adalah 33%
dari berat basah dan untuk kakao yang non fermentasi adalah 38%.
Dari data awal ini kita bisa menghitung berapa perbandingan
pendapatan yang diperoleh petani apabila mereka melakukan
fermentasi dan tidak melakukan fermentasi. Dengan mengambil contoh
misalnya seorang petani memiliki biji kakao basah dengan berat 100
kg, apabila petani tersebut tidak melakukan fermentasi maka kakao
kering yang akan dihasilkan adalah 38 kg (berat awal 100 kg dikalikan
rendemen kakao fermentasi 38%) dan apabila dijual dengan asumsi
harga kakao non fermentasi Rp. 20.000,- maka pendapatan yang
diperoleh petani Rp. 760.000,-. Apabila petani tersebut melakukan
fermentasi maka kakao kering yang dihasilkan beratnya adalah 33 kg
(berat awal 100 kg dikalikan rendemen kakao fermentasi 33%) dan
apabila di jual dengan asumsi harga kakao fermentasi Rp. 25.000
maka pendapatan petani tersebut adalah Rp. 825.000,-. Sehingga
72
dengan perbedaan harga Rp. 5.000,- antara kakao fermentasi dan non
fermentasi maka petani akan memperoleh untung apabila mereka
melakukan fermentasi. Dengan cara penghitungan yang sama maka
akan diperoleh data bahwa dengan perbedaan harga antara kakao
fermentasi dan non fermentasi Rp. 3000,- maka besarnya pendapatan
yang diperoleh petani nilainya akan sama Rp. 760.000,- baik mereka
melakukan fermentasi maupun tidak melakukan fermentasi. Dengan
kondisi tersebut tentu saja petani akan lebih memilih tidak melakukan
fermentasi karena waktu yang lebih cepat serta tenaga yang
dibutuhkan lebih sedikit. Oleh karena itu untuk dapat merangsang
petani agar mau melakukan fermentasi maka perbedaan harga kakao
antara yang fermentasi dan non fermentasi harus diatas Rp. 3000,- per
kg. Namun demikian perhitungan ini masih sangat sederhana yang
belum memperhitungkan lama waktu yang diperlukan untuk melakukan
fermentasi serta tenaga tambahan yang diperlukan untuk
melakukannya.
Biji kakao dapat diolah untuk menghasilkan berbagai produk
setengah jadi untuk diproses lebih lanjut . Di Sulawesi Selatan,
mayoritas produk-produk dari industri pengolahan besar adalah produk
setengah jadi yang kemudian diekspor ke produsen mancanegara
yang selanjutkan diproses menjadi produk akhir. Sedangkan untuk
industri kecil diproses lebih lanjut menjadi produk konsumsi akhir.
73
Biji kakao yang diproses untuk makanan dan minuman cokelat di
industri kecil adalah biji kakao hasil fermetasi. Secara garis besar
proses pengolahannya dapat digambarkan seperti pada gambar alur
kerja berikut.
Biji kakao fermentasi (w=10 kg)
Penyangraian (w=9,7 kg)
Pemisahan Kulit Biji Kulit Biji
Nibs (w=8,5 kg)
Pemasta Kasar
Lemak Kakao (w=2,6 kg)
Liqour/Pasta
Pengepresan (w=8,5 kg)
Bungkil Kakao
Penghalusan
Pengayakan
Bubuk Kakao (w=5,9 kg)
Gambar. 4.1. Tahapan proses pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi
74
Dalam pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi cokelat
terjadi penyusutan bobot pada setiap tahapan sehingga didapatkan
rendemen hasil dari masing-masing produk pasta, lemak, dan bubuk.
Rendemen hasil olahan biji kakao menjadi produk setengah jadi untuk
setiap tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Tabel 4.7. Daftar jumlah rendemen produk hasil pengolahan kakao
No. Uraian Proses Produk Dan Berat Produk Setelah
Proses
Keterangan
1. Bahan Baku Awal Biji kakao fermentasi: 10 kg
Asumsi berat awal bahan baku 10 kg dengan kadar air 7%
2. Penyangraian Biji kakao kering: 9,7 kg
Berat produk berkurang karena adanya penurunan kadar air sebesar 3 % akibat proses penyangraian
3. Pemisahan kulit biji Daging biji (nib): 8,5 kg
Berat produk berkurang akibat adanya kandungan kulit biji sebesar 12 % yang terbuang
4. Pemastaan Pasta kakao: 8,5 kg
5. Pengepresan
Lemak Kakao: 2,6 kg
Bubuk Kakao: 5,9 kg
Berat produk yang di press sebesar 8,5 kg
Sumber: Data Diolah, 2012
Dengan contoh misalnya biji kakao kering yang dipergunakan untuk
pengolahan produk setengah jadi cokelat sekitar 10 kg. Setelah
dilakukan penyangraian akan diperoleh 9,7 kg biji kakao sangrai,
berkurangnya berat biji kakao ini disebabkan karena adanya
75
penurunan kadar air sebesar 3% akibat dari proses penyangraian . Biji
kakao sangrai kemudian dipisahkan antara bagian daging biji (nib)
dengan kulitnya menggunakan mesin pengupas kulit (desheller). Dari
proses pemisahan ini akan diperoleh pecahan-pecahan nib yang
sebanyak 8,5 kg, sedangkan kulit yang terbuang sebanyak 12% dari
berat biji kakao (kadar kulit dalam biji kakao rata-rata adalah 12%
(Mulato, 2005)). Bagian nib ini yang akan digunakan untuk proses
pengolahan produk cokelat selanjutnya.
Sebagai bahan baku makanan/minuman cokelat, pecahan nib
harus dihancurkan sampai ukuran tertentu menjadi cairan kental yang
disebut pasta. Pasta cokelat yang dapat dihasilkan dari 8,5 kg nib
adalah sebanyak 8,5 kg (sekitar 85,00% dari berat biji kakao kering).
Dari pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut untuk mengeluarkan
lemak cokelat, yaitu dengan cara pengempaan atau pengepresan
dengan hasil samping berupa bungkil cokelat yang dapat diolah lebih
lanjut menjadi bubuk cokelat.
Dari 8,5 kg pasta cokelat dapat dihasilkan lemak cokelat sebanyak
2,6 kg (sekitar 26% dari berat biji kering kakao) dan 5,9 kg bungkil
cokelat. Dari proses penghalusan dan pengayakan bungkil, didapatkan
bubuk cokelat halus sebanyak 5,9 kg. Sedangkan untuk proses
pengolahan dari produk setengah jadi menjadi produk jadi bisa dilihat
pada gambar di bawah ini:
76
Alur proses pengolahan kakao dapat dijelaskan sebagai berikut:
No Proses Peralatan Penjelasan 1 Penyiapan
bahan baku Manual Pembelian dan penyiapan biji kakao yang
difermentasi dari kelompok tani dikumpulkan di ruangan khusus untuk ditimbang dan dipilah
Gambar. 4.2. Tahapan proses pembuatan makanan cokelat
Pasta kakao
Pencampuran Bahan (Mixer)
Penghalusan (Ball Mill)
Tempering (alat tempering/meja marmer)
Pencetakan
Susu
Produk Cokelat (candy / cokelat
blok)
Lemak Kakao
Gula Bahan lain
77
2 Penyortiran Mesin sortir/ manual
Penyortiran dilakukan untuk memilih biji kakao berdasarkan ukuran dan untuk menghilangkan biji yang tidak diinginkan serta untuk mendapatkan biji dengan kadar air yang sesuai. Kadar air diuji dengan tester khusus. Kadar air diharapkan sebelum pengolahan adalah sekitar 7 persen. Jika kadar air melebihi 7 persen maka pengeringan lanjutan diperlukan.
3 Penyangraian/ penggorengan
Mesin sangrai
Penggorengan dilakukan dengan alat penggoreng khusus biji kakao. Mesin sangrai yang digunakan di industri ini adalan mesin sangrai tipe silinder berputar dengan metode batch. Mesin ini menggunakan bahan bakar gas LPG dengan kapasitas mesin sebesar 10 kg dan 50 kg. Suhu penyangraian yang digunakan berkisar 140oC dengan waktu penyangraian berkisar 30-45 menit
4 Pemisahan kulit biji
Mesin pemisah kulit biji (Winnowing)
Pemisahan kulit biji bertujuan untuk memisahkan daging biji (nib) dengan kulit biji. Prosentase sisa kulit biji yang terikut dalam nib dan sia nib di dalam kulit dipersyaratkan masing-masing 1,5% dan 0,5% (Minifie, 1999). Pada industri ini pengupasan kulit ari masih perlu diteruskan dengan pembersihan secara manual, hal ini dilakukan karena masih adanya kulit biji yang tercampur dalam nib.
78
5 Pemastaan Mesin pemasta
Daging biji (nib) kakao digiling dengan mesin pemasta menjadi bentuk pasta cair kental. Tujuan dari pemastaan adalah untuk memecahkan nib agar dapat dihasilkan partikel dengan ukuran sekitar 20-30 mikron. Mesin pemasta yang digunakan dalam industri ini adalah mesin pemasta tipe screw press horizontal dengan kapasitas 20 kg/jam.
6 Pengepresan lemak
Mesin press lemak
Pengepresan bertujuan untuk memisahkan lemak kakao dari pasta kakao semaksimal mungkin. Kadar lemak di dalam kakao untuk wilayah Luwu Raya berkisar 50-53%. Sisa hasil pengepresan adalah bungkil padat yang masih mengandung lemak kakao. Bungkil merupakan bahan utama pembuatan bubuk cokelat untuk makanan atau minuman. Mesin kempa yang dioperasikan di KUB Sibali Resoe dan KUB Madani adalah mesin kempa tipe horizontal dengan kapasitas 4 kg/jam. Dari hasil analisis yang dilakukan kadar lemak pada bungkil masih sangat tinggi berkisar 25-30%, sehingga bubuk yang dihasilkan nantinya tidak bisa digunakan untuk bahan baku minuman cokelat. Saat ini dipasaran dikenal 3 tingkatan bubuk cokelat berdasarkan kadar lemaknya, yaitu kadar lemak rendah (10-12%), sedang (13-17%) dan lemak tinggi (>17 sampai 22%).
79
7 Penghalusan dan pengayakan bubuk
Mesin penghalus dan pengayak bubuk
Bungkil kakao hasil pengepresan kemudian dihaluskan dengan alat penghalus. Bubuk cokelat yang telah halus diayak untuk memperoleh ukuran partikel yang seragam dengan menggunakan mesin pengayak. Bubuk yang masih kasar dan tertinggal diayakan digiling lagi sampai halus, sedangkan bubuk halus yang lolos ayakan merupakan produk yang siap jual. Mesin ayakan yang digunakan di industri ini adalah mesin ayakan tipe getar dengan ukuran ayakan 120 mesh.
8 Pencampuran dan penghalusan adonan cokelat
Mesin pencampur dan penghalus cokelat (Ball Mill)
Untuk membuat makanan cokelat, adonan cokelat dibuat dari campuran pasta cokelat, lemak cokelat, gula, susu dan bahan lain sebagai penambah rasa seperti vanili dengan perbandingan tertentu. Adonan tersebut kemudian diaduk sampai rata sambil dihaluskan di dalam alat pencampur. Setelah itu adonan cokelat dihaluskan dengan mesin penghalus. Mesin penghalus yang digunakan di industri ini adalah mesin penghalus tipe ball mill. Untuk menghaluskan adonan KUB Madani menggunakan alat ball mill tipe horizontal dengan kapasitas 5 kg. Mesin ini dilengkapi dengan pemanas sehingga dapat berfungsi sekaligus sebagai alat conching. Yang menjadi kendala dalam pengoperasian mesin ini adalah lama proses penghalusannya membutuhkan waktu 2-3 hari. Sedangkan di KUB Sibali Resoe untuk menghaluskan adonan menggunakan ball mill tipe vertikal. KUB Sibali Resoe memiliki 2 unit ball mill tipe ini dengan kapasitas masing-masing 5 kg dan 200 kg per batch, dimana setiap batch rata-rata membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Mesin ini lebih efisien karena waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan ball mill tipe horizontal.
80
9 Tempering Mesin tempering atau meja marmer
Sebelum dicetak adonan cokelat siap cetak harus melewati proses tempering atau penyimpanan adonan dalam ruangan dengan perlakuan suhu tertentu. Tempering ini bertujuan memastikan lemak kakao terkristalisasi ke dalam bentuk yang stabil (Beckett, 2000). Tempering mencakup pelelehan massa cokelat, pendinginan ke suhu kristalisasi dan pemanasan ulang ke suhu 32-33oC untuk melelehkan sisa-sisa Kristal yang tidak stabil sehingga yang tersisa hanya yang stabil. Suhu pelelehan Kristal-kristal lemak sekitar 48oC (Mulato, 2005). Proses tempering di KUB Madani menggunakan mesin tempering dengan kapasitas 15 kg/batch, dimana setiap batch membutuhkan waktu 45-60 menit. Sedangkan di KUB Sibali Resoe proses tempering menggunakan mesin ball mill yang sudah dilengkapi pemanas dan pendingin yang prosesnya sudah menyatu dengan proses penghalusan adonan sebelumnya. Selain menggunakan mesin tempering, proses tempering kadang juga dilakukan dengan proses manual menggunakan meja marmer dengan memanfaatkan efek dingin dari marmer tersebut. Sedangkan untuk menaikkan suhu adonan digunakan air panas. Proses manual ini biasanya dilakukan apabila adonan yang di proses jumlahnya tidak terlalu banyak.
10 Pencetakan dan pengemasan
Setelah selesai proses tempering cokelat kemudian dicetak, setelah itu produk cokelat siap dikemas dan dipasarkan
Dalam melakukan produksi rata-rata kebutuhan bahan baku yang
dibutuhkan oleh KUB Madani dalam sebulan kurang lebih sekitar 200
kg biji kakao fermentasi. Sedangkan KUB Sibali Resoe membutuhkan
bahan baku biji kakao kurang lebih sekitar 5 ton per bulan. Harga
bahan baku biji kakao fermentasi di wilayah Luwu Raya rata-rata
81
sekitar 25.000,- per kg. Harga ini biasanya mengalami fluktuasi
tergantung nilai tukar rupiah.
Dengan peralatan yang ada saat ini produk-produk yang dihasilkan
KUB Sibali Resoe antara lain pasta kakao, bubuk kakao, lemak kakao,
permen cokelat /candy. Sedangkan KUB Madani saat ini sudah
memproduksi bubuk kakao, lemak kakao, permen cokelat/candy dan
minuman cokelat instan 3 in 1.
Tabel 4.8. Daftar produk yang dihasilkan industri pengolahan kakao di Luwu Raya
No. Nama Industri Produk 1 KUB Sibali Resoe
Luwu Utara Pasta kakao, makanan coklat /candy
2 KUB Madani Palopo Bubuk kakao, lemak kakao, makanan Coklat /candy, minuman cokelat 3 in 1
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012
Saat ini KUB Sibali Resoe tidak memproduksi bubuk kakao dan
lemak kakao, hal ini disebabkan karena kinerja alat pres lemak yang
mereka miliki masih belum efektif, dimana dengan alat pres yang
dimiliki bubuk kakao yang dihasilkan masih mengandung lemak yang
tinggi sekitar 25%. Dengan kondisi seperti ini KUB Sibali Resoe
memutuskan untuk tidak memproduksi dan menjual bubuk kakao.
Karena tidak memproduksi bubuk kakao KUB Sibali Resoe juga tidak
bisa memproduksi minuman cokelat, karena bahan baku utama dari
minuman cokelat adalah bubuk kakao. Untuk membuka peluang pasar
dan menarik minat konsumen industri pengolahan kakao di Luwu Raya
mencoba melakukan diversifikasi produk. Seperti yang dilakukan oleh
82
KUB Sibali Resoe mereka mencoba memproduksi coklat
batangan/candy yang diisi dengan buah kurma. Sedangkan KUB
Madani juga berusaha melakukan diversifikasi produk dengan
memproduksi dodol cokelat. Makanan ini menurut pimpinan KUB
Madani cukup diminati konsumen hanya saja yang menjadi kendala
adalah makanan ini cepat kadaluwarsa sehingga saat ini produksi ini
dihentikan. Menurut pimpinan KUB Madani hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan yang mereka miliki tentang proses pembuatan
makanan ini sehingga mereka berharap kepada pihak-pihak terkait
agar bisa membantu untuk mengatasi permasalahan ini.
Besarnya volume produksi dari KUB Sibali Resoe dan KUB Madani
dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.9. Daftar volume produksi pengolahan kakao di Luwu Raya
No. Nama Industri Jenis Produk Volume Produksi
1 KUB Sibali Resoe
Pasta Kakao 4500 kg/bulan
Permen cokelat/candy
500 kg/bulan
2 KUB Madani Bubuk Kakao 60 kg/bulan Lemak Kakao 30 kg/bulan Permen cokelat 60 kg/bulan Minuman Cokelat 50 kg/bulan
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012
Data produksi kakao dari industri pengolahan kakao di atas
merupakan data produksi rata-rata per bulan. Jumlah produksi kakao
ini bisa menurun ataupun meningkat tergantung dari banyaknya
83
permintaan yang masuk ke industri. Selain pengaruh banyaknya
permintaan jumlah produksi juga dipengaruhi oleh kapasitas dari mesin
yang dimiliki oleh masing-masing industri.
Tabel 4.10. Daftar harga produk hasil industri pengolahan kakao di Luwu Raya
No. Nama Produk Harga/kg 1 Pasta Kakao Rp. 40.000,- 2 Bubuk Kakao Rp. 60.000,- 3 Lemak Kakao Rp. 50.000,- 4 Permen Cokelat/Candy Rp. 90.000,- 5 Minuman cokelat Rp. 85.000,-
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012
Dari daftar harga di atas terlihat bahwa harga produk olahan kakao
jauh lebih tinggi dari pada harga bahan bakunya. Hal ini
mengindikasikan bahwa peluang untuk meningkatkan kesejahteraan
para pelaku usaha di bidang industri kakao sangat besar.
Dari perhitungan rendemen produk kakao dan harga dari bahan
baku serta produk jadi yang dihasilkan kita bisa menghitung nilai
tambah yang diperoleh dari proses pengolahan biji kakao ini. Dengan
asumsi harga bahan baku biji kakao fermentasi Rp. 25.000,- serta
harga produk sesuai dengan tabel 4.10 di atas maka kita bisa
menghitung berapa nilai tambah yang dihasilkan. Dari gambar 4.1
diperoleh data bahwa dengan bahan baku seberat 10 kg akan
dihasilkan produk lemak kakao seberat 2,6 kg dan bubuk kakao
seberat 5,9 kg. Apabila dihitung maka diperoleh hasil nilai harga bahan
baku yang dibutuhkan adalah Rp. 250.000,- (berat bahan baku 10 kg
84
dikali harga bahan baku Rp. 25.000,-). Nilai produk yang dihasilkan
adalah: lemak kakao Rp. 130.000,- (berat lemak yang dihasilkan 2,6 kg
dikali harga lemak kakao Rp. 50.000,-) dan harga bubuk kakao Rp.
354.000,- (berat bubuk kakao yang dihasilkan 5,9 kg dikali harga
bubuk kakao Rp. 60.000,-), sehingga nilai produk yang dihasilkan
adalah Rp. 484.000,-. Dari perhitungan ini bisa dilihat nilai tambah
yang diperoleh dari mengolah biji kakao menjadi produk setengah jadi
yaitu sebesar Rp. 234.000,- atau sebesar 93,6 % dari bahan baku.
Nilai tambah ini diperoleh baru dari hasil mengolah biji kakao menjadi
produk setengah jadi belum apabila produk ini diolah menjadi produk
jadi seperti candy / makanan cokelat tentu nilai tambah yang dihasilkan
akan lebih besar lagi mengingat harga produk jadi masih lebih tinggi
dibanding dengan produk setengah jadi.
Untuk membantu di bidang produksi dan pengolahan, Pemerintah
propinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan JICA dan Balai Besar
Industri Hasil Perkebunan telah memberikan bimbingan dan konsultasi
teknis. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2010 di dua pabrik
pengolahan kakao yaitu KUB Sibali Resoe di Luwu Utara dan KUB
Madani di Palopo oleh tim teknis dari Balai Besar Industri Hasil
Perkebunan. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
produk melalui optimalisasi keseluruhan proses produksi mulai dari
penyiapan bahan baku biji kakao hingga pencetakan produk akhir.
Melalui konsultasi teknis ini tim teknis memberikan memberikan
85
berbagai macam masukan dan saran berupa langkah-langkah yang
perlu dilakukan dalam jangka pendek tanpa melakukan perbaikan
maupun penggantian peralatan yang telah ada untuk meningkatkan
kualitas produk yang dihasilkan. Untuk menilai tingkat perbaikan
kualitas produk setelah adanya kegiatan konsultansi Pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan dan JICA mengirimkan tenaga ahli dari JICA
untuk mengecek tingkat perbaikan mutu produk yang dihasilkan. Hasil
penilaian menunjukkan bahwa salah satu pabrik yaitu KUB Sibali
Resoe telah mengikuti dengan baik semua langkah yang disarankan
oleh tim. Kegiatan ini dinilai telah memuaskan karena kualitas produk
yang dicapai dari hasil konsultasi terlihat lebih meningkat dibanding
dengan sebelum adanya program, meskipun peralatan yang tersedia
masih belum memadai. Peningkatan produk ini juga dibuktikan dengan
masuknya produk-produk KUB Sibali Resoe di beberapa minimarket
lokal yang ada di Luwu Utara. Tim Ahli JICA juga menilai bahwa
meskipun kualitas produk telah meningkat dan memiliki daya jual di
tingkat konsumen lokal namun produk ini belum bisa di pasarkan di
pengecer modern. Menurutnya masih ada proses yang perlu
dioptimalisasi lagi untuk mencapai produk yang dapat dijual. Selain
optimalisasi proses hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan
perbaikan/modifikasi atau penggantian beberapa peralatan yang ada
saat ini. Konsultansi teknis juga pernah diberikan kepada Koptan Bina
Harapan pada bulan September 2011, setelah dilakukan konsultasi
86
teknis saran dan masukan diberikan oleh tim konsultan kepada
pengelola Koptan Bina Harapan untuk ditindaklanjuti namun hingga
saat ini saran dan masukan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan alas
an peralatan yang tidak lengkap serta ketiadaan dana untuk
operasional.
Dalam menjalankan proses produksi industri pengolahan kakao
masih banyak mengalami kendala khususnya menyangkut fungsi
peralatan. Saat ini masih ada peralatan-peralatan yang tidak berfungsi
secara maksimal. Misalnya alat pengepres lemak, alat ini belum
mampu berfungsi secara baik akibatnya proses pengepresan lemak
tidak berjalan secara maksimal, hal ini mengakibatkan bubuk kakao
yang dihasilkan masih mengandung lemak yang cukup tinggi sekitar
25-28% yang berarti bahwa produk ini belum memenuhi standar yang
telah ditetapkan. Hal ini dihadapi oleh semua industri yang ada di Luwu
Raya baik KUB Sibali Resoe maupun KUB Madani. Akibat dari masih
tingginya lemak yang terkandung dalam bubuk kakao KUB Sibali
Resoe saat ini memutuskan untuk tidak memproduksi minuman cokelat
instan yang bahan baku utamanya adalah bubuk kakao.
Selain alat pres lemak alat lain yang belum berfungsi dengan baik
adalah alat pengayak bubuk. Alat ini tidak berfungsi dengan baik
karena lubang-lubang dari ayakan tersebut masih terlalu besar
akibatnya bubuk kakao yang dihasilkan masih belum halus sesuai
dengan persyaratan yang ada. Kendala peralatan lain yang dialami
87
KUB Madani adalah alat ballmill tipe horizontal, di mana alat ini tidak
efisien hal ini disebabkan karena pengoperasian alat ini membutuhkan
waktu yang lama yaitu sekitar 70 jam atau 3 hari dengan kapasitas
yang kecil sekitar 10 kg setiap kali beroperasi dan produk yang
dihasilkan juga masih sedikit kasar. Ketidak efisienan inilah yang
menyebabkan saat ini KUB Sibali Resoe tidak lagi menggunakan alat
ini, melainkan menggunakan ballmill tipe lain yang lebih efisien.
Selain masalah peralatan yang belum efektif masalah lain yang
dihadapi di bidang peralatan adalah masalah pemeliharaan
(maintenance). Dimana adanya kesulitan memperbaiki atau
memperoleh suku cadang bila ada peralatan yang mengalami
kerusakan. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh peralatan-
peralatan pengolahan kakao ini didatangkan dari luar daerah Sulawesi
dan merupakan alat hasil rakitan dan belum dijual secara luas
sehingga apabila ada bagian yang rusak harus memesan langsung ke
pabrik yang merakit alat tersebut. Hal ini tentu saja akan menghambat
proses produksi dari pabrik karena masih harus menunggu sampai
suku cadang alat tersebut tersedia. Selain harus menunggu industri
juga harus menyediakan dana lebih karena selain untuk biaya suku
cadang mereka juga harus membiayai teknisi dari produsen alat
karena pemasangan suku cadang tersebut harus dilakukan oleh
tenaga ahli khusus. Sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan
bantuan dalam hal pemeliharaan dan service jika terjadi gangguan
88
terhadap peralatan yang ada untuk menjamin keberlangsungan proses
produksi.
Tabel 4.11. Permasalahan yang dihadapi industri kecil di bidang produksi
No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi
1. KUB Sibali Resoe - Kualitas produk yang belum maksimal (kandungan lemak dalam bubuk kakao masih tinggi, bubuk kakao masih kasar)`
- Peralatan-peralatan yang kurang efektif (Alat pres lemak menghasilkan bubuk dengan kandungan lemak yang masih tinggi, Alat pengayak bubuk menghasilkan produk masih kasar)
2. KUB Madani - Kualitas produk yang belum maksimal (kandungan lemak dalam bubuk kakao masih tinggi, bubuk kakao masih kasar, produk makanan cokelat kurang lembut)
- Peralatan-peralatan yang kurang efektif (Alat pres lemak menghasilkan bubuk dengan kandungan lemak yang masih tinggi, Alat pengayak bubuk menghasilkan produk masih kasar, Ballmill kurang efisien karena operasinya membutuhkan waktu yang lama dengan kapasitas yang kecil serta hasil yang masih kasar)
3. Koptan Binan Harapan Belum Beroperasi
Sumber: Data diolah, 2012
89
Untuk melengkapi serta memperbaiki maupun mengganti
peralatan-peralatan yang kerjanya kurang efektif, industri kecil
mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk melakukannya. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh masing-
masing industri. Pemerintah daerah sulit untuk diharapkan bantuannya
karena keterbatasan dana APBD yang dimiliki sedangkan peralatan
yang dibutuhkan harganya rata-rata cukup mahal sehingga harapan ini
ditujukan kepada pemerintah pusat melalui dana APBN dari
Kementerian Perindustrian. Pemerintah daerah diharapkan dapat
memfasilitasi industri kecil untuk mengajukan permintaan bantuan ini.
Selain terbatasnya dana APBD kebijakan dari kepala daerah juga
berperan penting terhadap terpenuhinya permintaan bantuan tersebut.
Selama ini terkesan pemerintah daerah berfikir bahwa kebutuhan
peralatan/mesin untuk mengembangkan industri pengolahan kakao di
daerahnya adalah tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Perindustrian karena program ini awalnya adalah
program pemerintah pusat sehingga setiap ada permintaan bantuan
dari industri kecil selalu diarahkan ke pemerintah pusat. Hal ini tentu
saja akan menghambat perkembangan industri kecil itu sendiri karena
untuk meminta bantuan ke pemerintah pusat diperlukan proses
administrasi yang tidak mudah dan tentu saja akan membutuhkan
waktu yang lama untuk merealisasikannya. Untuk mengatasi hal ini
tentu dibutuhkan koordinasi lagi antara pemerintah daerah dan
90
pemerintah pusat untuk mencari solusi yang lebih memihak kepada
industri kecil, sehingga bisa lebih cepat berkembang sesuai dengan
yang diharapkan.
3. Bidang Pemasaran
Produk dari industri kecil berpotensi berkembang jika didukung oleh
kebijakan pemerintah yang tepat. Khususnya dalam hal promosi dan
pemasaran produk. Pemilik industri kecil bisa juga membawa produk
mereka kepada pembeli potensial di Makassar dan Jakarta. Potensi
pasar ini produk industri kecil kakao memiliki prospek yang cerah.
Persaingan tidak terjadi dengan industri besar karena industri besar
hanya memproduksi produk setengah jadi dan hasilnya di ekspor ke
mancanegara.
Sedangkan produk industri kecil dengan memproduksi sampai
produk akhir bisa diarahkan untuk pasar lokal. Dilain sisi permintaan
terhadap produk kakao masih menjanjikan untuk penyerapan pasar.
Segmen pasar konsumen lokal dan industri makanan sangat potensial
untuk menjadi target dari industri kecil. Pasar domestik bagi produk
kakao ada sampai batas tertentu, sebagian besar produk bisa
diarahkan kebeberapa produsen penganan besar seperti Ceres, dan
cokelat kecil untuk penganan, minuman cokelat, roti, biskuit, es krim.
Menurut informasi yang diberikan oleh kantor pemerintah, selain dari
keterampilan pekerja yang perlu diperbaiki, kendala utama lainnya
untuk industri skala kecil yang mungkin mempengaruhi kontinuitas
91
produksi adalah ketersediaan pasar. Industri sangat termotivasi jika
pasar ada dan harus didukung dan difasilitasi oleh pemerintah dalam
rangka memperoleh kepastian pasar untuk produk industri.
Selain itu, untuk mendukung pemasaran produk, semua
persyaratan untuk kualitas produk harus dipenuhi. Lisensi dan
pengakuan terkait kualitas produk dan kesesuaian harus dilakukan
oleh lembaga sertifikasi produk, izin Departemen Kesehatan (Depkes),
Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) serta sertifikat halal
adalah persyaratan dasar untuk suatu produk industri. Industri
tentunya perlu bantuan dari pemerintah maupun instansi lain, termasuk
dalam meningkatkan produk industri kecil kakao dalam hal kualitas,
rasa, kandungan gizi dan kemasan produk dan tampilan.
Untuk mempermudah promosi dan pengenalan kepada
masyarakat, saat ini seluruh industri pengolahan kakao yang ada di
wilayah Luwu Raya telah memiliki merk atau nama untuk produk yang
mereka hasilkan. Produk dari KUB Sibali Resoe Luwu Utara diberi
nama Calodo, produk dari KUB Madani Palopo diberi nama Madani
sedangkan produk dari Koptan Bina Harapan Luwu rencananya akan
diberi nama Sayang Cs. Selain nama produk untuk memenuhi
persyaratan pemasaran saat ini KUB Sibali Resoe juga telah
memperoleh sertifikat halal dari MUI serta sertifikat dari Badan
Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Sedangkan KUB Madani saat
ini juga telah memperoleh sertifikat halal dari MUI untuk produk-produk
92
yang mereka hasilkan selain itu KUB Madani juga telah memperoleh
izin produksi Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT) namun untuk
sertifikat dari Badan POM hingga saat ini KUB Madani belum
memperolehnya. Sementara itu Koptan Bina Harapan hingga saat ini
belum mengurus persyaratan-persyaratan tersebut, hal ini karena
kondisi perusahaan yang belum melakukan proses produksi.
Saat ini pangsa pasar untuk produk-produk yang dihasilkan oleh
industri pengolahan kakao di Luwu Raya sebagian besar masih berada
di wilayah lokal. Selain menjual produk langsung di lokasi pabrik dan
lokasi pemasaran khusus yang telah disediakan oleh pemerintah
daerah berupa pusat penjualan produk-produk unggulan daerah, KUB
Sibali Resoe juga telah bekerja sama dengan beberapa mini market
lokal yang ada di kota Masamba. Kerja sama ini terjalin berkat bantuan
dari Dinas Perindag Kabupaten Luwu Utara berkerja sama dengan
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan serta JICA. Selain menjual
produk akhir berupa permen cokelat saat ini KUB Sibali Resoe juga
telah bekerja sama dengan perusahaan cokelat lokal di Surabaya serta
Makassar untuk memasok pasta kakao untuk perusahaan di kota
tersebut. Pasta yang dipasok ini kemudian akan diolah oleh
perusahaan dikota tersebut untuk menjadi produk jadi seperti candy
atau makanan cokelat maupun produk lain sesuai dengan keinginan
dari perusahaan-perusahaan tersebut.
93
Sedangkan untuk KUB Madani proses pemasaran juga sebagian
besar masih bersifat lokal. Untuk mempermudah proses pemasaran
saat ini KUB Madani telah mendirikan rumah cokelat di Kota Palopo.
Dilokasi inilah seluruh produk yang dihasilkan KUB Madani dipasarkan.
Hal ini bertujuan agar masyarakat mudah mengingat dan mengenal
produk-produk KUB Madani. Karena selama ini masalah yang sering
dihadapi oleh KUB Madani adalah kurang terkenalnya produk yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penuturan pimpinan KUB Madani Ir.
Muhammad Sahaka pada tanggal 10 September 2012:
“Permasalahan pemasaran produk yang selama ini kami alami karena masyarakat belum mengenal produk kami, biasanya mereka baru tahu setelah mencoba produknya”
Untuk memperluas area pemasaran pengusaha banyak berharap
kepada pemerintah agar bisa membantu. Harapan ini dikemukakan
oleh pimpinan KUB Sibali Resoe H. Baharuddin pada tanggal 11
September 2012:
“Kedepan kami berharap agar pemerintah bisa membantu dalam proses pemasaran, saat ini kapasitas pabrik sudah lumayan meningkat dan kualitas produk juga sudah bagus jadi tinggal bagaimana bisa masuk pasar” Keterbatasan pemahaman tentang masalah pemasaran menjadi
kendala yang dialami oleh industri kecil. Untuk mengatasi hal ini
pemerintah perlu melakukan upaya-upaya nyata agar masalah ini bisa
teratasi sehingga proses produksi industri kecil bisa berjalan kontinyu
tanpa terhambat proses pemasaran produk yang mereka hasilkan.
94
Untuk pemasaran hasil produksi industri kecil secara umum
bantuan yang diberikan pemerintah berupa fasilitasi pengenalan
produk melalui pameran-pameran yang diikuti oleh pemerintah daerah
melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Pameran yang dikuti
berupa pameran ditingkat kabupaten, tingkat propinsi maupun tingkat
nasional. Selain dinas di kabupaten, instansi lain yang juga membantu
pemasaran adalah Dinas Perindag Propinsi Sulawesi Selatan dan
Balai Besar Industri Perkebunan Makassar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Bidang Industri Dinas
Perindag Kabupaten Luwu Utara Bapak Drs. Jasmani pada tanggal 12
September 2012:
“Kalau masalah pemasaran bantuan dinas dalam bentuk pameran kalau ada pameran-pameran itu kita bawa produknya. Di dinas propinsi juga begitu, kalau mereka akan mengikuti pameran baik di Makassar maupun di luar pulau biasanya mereka membawa produk-produk cokelat hasil produksi KUB Sibali Resoe untuk ikut dipamerkan ”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Staf Bidang Industri, Dinas
Perindustrian Dan Perdagangan Kota Palopo Bapak Zulkifli, ST, M.Si
pada tanggal 11 September 2012:
“Untuk pemasaran biasanya kami membantu dengan memperkenalkan produk-produk KUB Madani melalui pameran-pameran yang diikuti oleh dinas, selain itu kami biasanya juga memperkenalkan produk kepada tamu yang berkunjung/studi banding ke Kota Palopo”
Bantuan fasilitasi pasar juga telah dilakukan oleh pemerintah
propinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan JICA melalui proyek
kerjasama yang mereka jalin. Program fasilitasi pasar ini bertujuan
95
untuk menguji dan mempromosikan hasil dari uji coba pengembangan
produk baru atau produk yang baru dikembangkan melalui kegiatan
pengembangan produk, selain itu tujuan dari fasilitasi pasa ini juga
untuk memperoleh umpan balik secara langsung dari para
konsumen/pembeli untuk mempercepat proses pengembangan
produk. Kegiatan fasilitasi pasar ini dilakukan dengan memberikan
kesempatan kepada industri untuk ikut serta memperkenalkan produk
mereka dalam pameran maupun pekan raya serta kegiatan promosi
lainnya.
Tabel 4.12. Daftar kegiatan promosi yang diikuti oleh industri pengolahan kakao yang difasilitasi oleh pemerintah
No. Nama Kegiatan Produk Lokasi Tahun
1 Makassar Trade Expo Cokelat batangan, permen cokelat, minuman cokelat
Makassar 2010
2 In-Store Promotion di Pusat Perbelanjaan
Cokelat batangan, permen cokelat, minuman cokelat
Makassar 2010
3 Promosi Pada Rakornas KADIN
Cokelat batangan, permen cokelat
Makassar 2011
4 Batam National Expo Cokelat batangan, permen cokelat
Batam 2011
5 Pekan Raya Jakarta Cokelat batangan, permen cokelat
Jakarta 2011
6 Promosi Pada Mukernas Gapensi
Cokelat batangan, permen cokelat
Makassar 2011
7 Makassar Trade Expo Cokelat batangan, permen cokelat
Makassar 2011
8 Pameran Pagan Nusantara Cokelat batangan, permen cokelat
Denpasar 2011
9 Gebyar Produk Indonesia Cokelat batangan, permen cokelat, minuman cokelat
Makassar 2011
Sumber: Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel, 2012
Pameran-pameran di atas merupakan kegiatan promosi yang
difasilitasi dan sponsori oleh JICA bekerjasama dengan pemerintah
96
propinsi Sulawesi Selatan, kegiatan ini hanya diikuti oleh satu industri
yaitu KUB Sibali Resoe, hal ini disebabkan karena menurut tim JICA
hanya industri ini yang mengikuti saran-saran yang diberikan oleh tim
konsultan selama kegiatan konsultasi teknis hingga produk yang
dihasilkan KUB Sibali Resoe mengalami peningkatan kualitas sehingga
layak jual. Ajang promosi di atas juga dimanfaatkan oleh industri dan
tim konsultan untuk melihat perkembangan kualitas produk melalui
penilaian/feed back yang diberikan oleh konsumen selama kegiatan
promosi berlangsung. Hasil dari penilaian dan masukan konsumen
inilah yang akan dimanfaatkan oleh industri untuk meningkatkan
kualitas produk yang mereka hasilkan.
Selain promosi melalui pameran yang diikuti secara langsung oleh
industri, bantuan promosi produk juga dilakukan oleh Instansi
Pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah propinsi
melalui kegiatan-kegiatan pameran yang mereka ikuti. Biasanya ketika
instansi pemerintah ini mengikuti suatu kegiatan pameran mereka akan
membawa produk-produk dari industri pengolahan kakao untuk ikut
mereka perkenalkan kepada para pengunjung.
Jaringan pemasaran menjadi salah satu kendala yang selama ini
menjadi faktor penghambat bagi industri kecil untuk berkembang.
Upaya pengembangan jaringan pemasaran dapat dilakukan dengan
berbagai macam strategi misalnya kontak dengan berbagai pusat-
pusat informasi bisnis, asosiasi-asosiasi dagang maupun pendirian dan
97
pembentukan pusat-pusat data bisnis industri kecil. Selain jaringan
pemasaran, jaringan usaha juga menjadi salah satu kendala yang
dihadapi oleh industri kecil. Upaya pengembangan jaringan usaha ini
bisa dilakukan dengan berbagai macam pola jaringan misalnya dalam
bentuk jaringan sub kontrak maupun jaringan klaster. Pola jaringan
usaha melalui sub kontrak dapat dijadikan salah satu alternatif bagi
keberlangsungan industri kecil, meskipun pada umumnya industri kecil
tidak memiliki jaringan sub kontrak dan keterkaitan dengan industri-
industri besar sehingga eksistensinya menjadi sangat rentan.
Sedangkan pola pengembangan jaringan melalui sistem klaster
diharapkan menghasilkan produk oleh produsen yang berada di dalam
klaster bisnis sehingga mempunyai peluang untuk menjadi produk
yang mempunyai keunggulan kompetitif dan dapat bersaing di pasar
global. Karena keterbatasan pemahaman dan pengetahuan
pengusaha kecil maka peran pemerintah sangat diperlukan untuk
melakukan hal ini.
Tabel 4.13. Permasalahan yang dihadapi industri kecil dibidang pemasaran
No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi
1. KUB Sibali Resoe - Produk belum dikenal masyarakat
- Pangsa pasar terbatas di wilayah lokal
2. KUB Madani
3. Koptan Bina Harapan - Belum Beroperasi
Sumber: Data diolah, 2012
98
4. Bidang Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalan
kegiatan produksi. Pengolahan kakao dan cokelat merupakan proses
yang tidak mudah sehingga memerlukan keterampilan tersendiri yang
berbeda dari pengolahan produk-produk pangan dan holtikultura
lainnya. Karena industri ini masih relatif baru khususnya bagi industri
skala kecil sehingga tenaga-tenaga terampil dalam bidang ini juga
relatif masih sedikit.
Sebagian besar industri kecil dan menengah merupakan usaha
keluarga yang turun menurun dan tumbuh secara tradisional.
Keterbatasan sumber daya manusia baik itu dari pendidikan formal
maupun pengetahuan dan ketrampilannya sangat berpengaruh pada
kemampuan IKM untuk mengembangkan usahanya. Persoalan ini
nantinya akan berimbas pada sulitnya IKM untuk menyesuaikan
perkembangan teknologi untuk meningkatkan daya saing produk yang
dihasilkan.
Keterbatasan sumber daya manusia juga merupakan salah satu
kendala serius bagi banyak industri di Indonesia, terutama dalam
aspek-aspek kewirausahaan, manajemen, teknik produksi,
pengembangan produk, kontrol mutu, organisasi bisnis, akuntasi,
teknik pemasaran, dan penelitian pasar. Keterbatasan ini menghambat
usaha mikro di Indonesia untuk dapat bersaing di pasar domestik
maupun pasar internasional.
99
Masalah ini pula yang sekarang sedang dihadapi oleh seluruh
industri pengolahan kakao di Luwu Raya. Hal ini disebabkan karena
perekrutan pegawai untuk bekerja di industri belum berdasarkan latar
belakang pendidikan dan kompetensi yang dimiliki melainkan
berdasarkan kedekatan keluarga maupun kedekatan lokasi tempat
tinggal. Daftar pegawai berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat
dalam table berikut ini:
Tabel 4.14. Daftar pegawai yang bekerja pada industri pengolahan kakao di Luwu Raya berdasarkan tingkat pendidikan
No Pendidikan KUB Sibali Resoe KUB Madani 1 SD - - 2 SLTP - 2 3 SMU 7 2 4 D3 - 1 5 S1 1 2
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012
Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata pegawai yang berkerja
pada industri kakao di Luwu Raya memiliki pendidikan tingkat
menengah. Pegawai yang memiliki pendidikan tinggi rata-rata adalah
pimpinan dari industri tersebut. Hal inilah yang masih menjadi kendala
bagi pimpinan perusahaan dalam menjalankan usahanya.
Bagi pimpinan dan karyawan dari KUB Sibali Resoe, KUB Madani
dan Koptan Bina Harapan proses pengolahan kakao merupakan hal
yang benar-benar baru mereka ketahui, sehingga dengan adanya
bantuan peralatan pengolah kakao ini pemerintah harus aktif
membantu agar industri ini bisa berjalan. Sejak diberikannya bantuan
100
peralatan ini pemerintah daerah maupun pemerintah Propinsi telah
berupaya untuk memberikan bantuan untuk peningkatan kemampuan
dan keterampilan untuk para karyawan yang terlibat dalam industri
pengolahan kakao ini. Bantuan ini umumnya berupa pelatihan-
pelatihan maupun kunjungan/studi banding ke industri cokelat didaerah
lain.
Tabel 4.15. Daftar kegiatan dalam rangka mendukung pengembangan industri kakao di Luwu Raya
No. Nama Kegiatan Tahun Lokasi Jumlah Peserta
Pelaksana
1 Pelatihan Manajemen Dan Teknologi Pengolahan Diversifikasi Produk Cokelat
2009 Makassar 20 Orang Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
2 Pelatihan Manajemen Dan Teknologi Pengolahan Diversifikasi Produk Cokelat
2010 Makassar 20 Orang Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
3 Diklat Teknologi Pengolahan Diversifikasi Produk Cokelat
2011 Makassar 20 Orang Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
4 Pelatihan Teknologi Diversivikasi Produk Cokelat
2010 Luwu Utara 27 Orang Pemprov Sul-Sel Bekerjasama dengan JICA
5 Pelatihan Pengendalian Mutu Industri Pengolahan Cokelat
2010 Luwu Utara 27 Orang Pemprov Sul-Sel Bekerjasama dengan JICA
6 Studi Banding Ke Industri Cokelat
2010 Jakarta, Jawa Barat
9 Orang Pemprov Sul-Sel Bekerjasama dengan JICA
7 Pelatihan Pengolahan Makanan Ringan Dari Cokelat
2010 Luwu 25 Orang Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel
8 Pelatihan IKM Pengolahan Kakao
2011 Luwu Utara 25 Orang Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel
9 Pelatihan IKM Pengolahan Kakao
2012 Luwu Timur 25 Orang Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel
Sumber: Dinas Perindag Kabupaten/Kota, Dinas Perindag Propinsi dan Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar, 2012
101
Kegiatan pelatihan-pelatihan di atas umumnya diikuti oleh
karyawan dari industri kecil pengolahan kakao yang ada di Luwu Raya
yaitu karyawan KUB Sibali Resoe, karyawan KUB Madani dan
karyawan Koptan Bina Harapan dan ditambah beberapa orang dari
karyawan industri kecil lain yang berhubungan dengan industri
makanan dan minuman. Rata-rata materi dari pelatihan yang dilakukan
tersebut adalah mengenai pengolahan produk-produk cokelat menjadi
produk setengah jadi maupun produk jadi dan di tambah dengan
materi tambahan mengenai manajemen pemasaran, manajemen
keamanan pangan serta mengenai pengetahuan kemasan. Sedangkan
studi banding yang dilakukan ke daerah jawa ini difasilitasi oleh JICA
bekerjasama denga Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan diikuti oleh
pimpinan dari industri pengolahan kakao yang ada di Luwu Raya
ditambah dengan perwakilan dari Kadin, Dinas Perindag Propinsi
Sulawesi Selatan serta perwakilan dari JICA. Tujuan studi banding ini
adala ke beberapa industri pengolahan cokelat yang ada di Jawa Barat
memliki tujuan untuk menambah wawasan bagi pimpinan industri serta
mempelajari teknologi pengolahan serta metode pemasaran yang
diterapkan industri-industri di jawa untuk kemudian nantinya bisa
diadopsi oleh industri-industri pengolahan kakao yang ada di Luwu
Raya.
Melihat dari beberapa pelatihan yang telah dilakukan oleh
beberapa instansi yang ada di Sulawesi Selatan tersebut terkesan
102
kegiatan tersebut kurang ada koordinasi antar instansi terkait. Hal ini
terlihat dari jenis dan waktu pelatihan yang dilakukan, dimana
pelatihan yang sama dilakukan pada tahun dan peserta yang sama
oleh instansi yang berbeda sehingga pelatihan yang dilakukan
terkesan tumpang tindih dan berulang-ulang. Hal ini tentu
menimbulkan ketidakefektifan program, untuk itu ke depan agar
masalah ini tidak berulang diperlukan koordinasi antar instansi
pembina industri dalam melakukan suatu program. Koordinasi ini
tentunya harus dimulai dari proses perencanaan perencanaan,
pelaksanaan program hingga proses evaluasinya sehingga manfaat
setiap program bisa dirasakan industri secara maksimal.
Mengingat industri ini masih sangat baru, masih diperlukan
pelatihan terutama dalam hal peningkatan keterampilan dalam hal
pengoperasian peralatan pengolahan. Hal ini masih merupakan
kendala bagi industri ini dimana tenaga kerja yang mampu
mengoperasikan peralatan secara keseluruhan masih sangat terbatas.
Meskipun banyak pelatihan yang telah diberikan namun kemampuan
para pegawai dalam mempraktekkan hasil pelatihan masih belum
maksimal. Hal ini dikemukakan oleh pimpinan KUB Madani Ir. Muh.
Sahaka pada tanggal 10 September 2012:
“Pegawai kami rata-rata hanya memiliki pendidikan menengah sehingga keterampilan mereka masih kurang, khususnya yang bertugas dibagian operator mesin mereka hanya lulusan SMP, mereka harus selalu diarahkan sehingga kalau tidak ada yang mengarahkan saya belum berani melepas mereka untuk mengoperasikan mesin sendiri”
103
Sedangkan masalah yang dialami KUB Sibali Resoe menyangkut
sumberdaya manusia adalah masih kurangnya pegawai-pegawai yang
memiliki keterampilan khusus misalnya ahli permesinan, ahli listrik,
analis laboratorium maupun bagian pembukuan. Hal ini dikemukakan
oleh pimpinan KUB Sibali Resor H. baharuddin pada tanggal 11
September 2012:
“Karyawan masih kurang karena belum ada mekaniknya, ahli listriknya juga belum ada sehingga saya ini merangkap sebagai direktur,sekaligus sebagai mekanik juga. Nanti kita akan rekrut ahli mesin, ahli listrik, ahli laboratorium dan ahli pembukuan juga. Sekarang pembukuannya masih yang sederhana yang biasa saja catat yang masuk dan yang keluar saja”
Kurangnya pegawai yang mampu mengoperasikan peralatan/mesin
merupakan salah satu kendala yang dihadapi industri ini. Hal ini
mengakibatkan ketergantungan terhadap pegawai tersebut menjadi
sangat tinggi dan bisa mempengaruhi proses produksi. Hal ini dapat
diatasi dengan memberikan pelatihan dan pemagangan kepada lebih
banyak pegawai yang ada diindustri ini agar lebih banyak lagi tenaga
kerja yang kapabel untuk mengoperasikan seluruh peralatan yang ada
sehingga ketergantungan kepada seorang pegawai dapat teratasi.
Selain dengan usaha pelatihan dan pemagangan, usaha lain yang
bisa dilakukan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia di
sektor industri kecil adalah dengan sistem pendampingan.
Pendampingan industri kecil ini sangat perlu dan penting dilakukan.
Tugas utama pendamping ini adalah memfasilitasi proses belajar atau
104
refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan kemitraan usaha kecil
dengan usaha besar. Dengan adanya pendamping ini diharapkan
proses produksi bisa berjalan lancar serta kualitas produk sesuai
dengan yang diinginkan.
Tabel 4.16. Permasalahan yang dihadapi industri kecil di bidang sumber daya manusia (SDM)
No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi
1. KUB Sibali Resoe - Terbatasnya pengetahuan dan keterampilan pegawai
- Ketergantungan yang tinggi terhadap seorang pegawai dalam pengoperasian mesin
2. KUB Madani
3. Koptan Bina Harapan Belum Beroperasi
Sumber: Data diolah, 2012
I. Alternatif Kebijakan Pengembangan Industri Kecil Pengolahan
Kakao Berdasarkan hasil analisis di atas maka kebijakan/program yang
dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung pengembangan
industri pengolahan kakao di Luwu Raya antara lain:
1. Kebijakan Penambahan/Pengantian Peralatan/Mesin
Kebijakan ini bertujuan untuk melengkapi peralatan yang telah
ada ataupun untuk mengganti peralatan yang tidak berfungsi maupun
berfungsinya kurang maksimal. Hasil yang diharapkan dari program
ini adalah seluruh mesin dapat berfungsi dengan maksimal sehingga
proses produksi tidak mengalami hambatan serta produk-produk yang
dihasilkan dapat memenuhi standar yang telah ditentukan. Misalnya
bubuk kakao yang selama ini memiliki kandungan lemak yang masih
105
tinggi dapat berkurang sehingga memenuhi standar serta ukuran
bubuk kakao juga bisa lebih halus sehingga bisa memenuhi standar.
Instansi pemerintah yang diharapkan menjalankan program ini adalah
Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil
dan Menengah (Ditjen IKM) melalui usulan/fasilitasi dari Dinas
Perindag setempat maupun melalui Balai Besar Industri Hasil
Perkebunan.
2. Kebijakan Pendampingan Industri
Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan konsultasi maupun
bimbingan teknis mengenai proses produksi dan pengolahan kakao.
Hasil yang diharapkan dari kebijakan ini adalah proses produksi dan
pengolahan industri dapat berjalan dengan baik dan lancar sehingga
produk-produk yang dihasilkan dapat memenuhi standar baik dari segi
kuantitas maupun kualitasnya. Instansi yang diharapkan menjalankan
program ini adalah para Penyuluh Perindag dari Dinas Perindustrian
dan Perdagangan, para peneliti dari Balai Besar Industri Hasil
Perkebunan maupun peneliti dari Perguruan Tinggi.
3. Kebijakan Peningkatan Kualitas SDM Industri
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dari para pegawai maupun pelaku industri kecil lain yang
memiliki keterkaitan dengan industri kakao. Hasil yang diharapkan
dari kebijakan ini adalah selain pengetahuan dan keterampilan para
pegawai industri pengolahan kakao meningkat kegiatan ini juga
106
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan pelaku
industri lain dalam mengolah kakao sehingga industri-industri lain
yang terkait dengan produk kakao bisa tumbuh dan berkembang.
Misalnya industri kue maupun makanan tradisional skala rumah
tangga dapat membuat produk-produk baru dengan memanfaatkan
bahan hasil industri pengolahan kakao misalnya bubuk kakao maupun
pasta kakao. Instansi yang diharapkan menjalankan program ini
adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Besar Industri
Hasil Perkebunan maupun Balai Diklat Industri Makassar.
4. Kebijakan Pengembangan Diversifikasi Produk Kakao
Kebijakan ini bertujuan untuk memperoleh jenis produk baru
turunan dari olahan kakao yang berkualitas dan memenuhi standar.
Hasil yang diharapkan dari program ini adalah diperolehnya jenis
produk baru dari olahan kakao misalnya produk kakao yang
dipadukan dengan makanan tradisional sehingga produk ini bisa
langsung diterapkan untuk diproduksi oleh industri kecil, serta mampu
membuka peluang pasar baru. Instansi yang diharapkan menjalankan
program ini adalah lembaga-lembaga litbang pemerintah seperti Balai
Besar Industri Hasil Perkebunan dan Perguruan Tinggi.
5. Kebijakan Fasilitasi Pengembangan Pasar
Kebijakan ini bertujuan untuk memfasilitasi industri kecil
memperoleh peluang pasar baru. Hasil yang diharapkan dari program
ini adalah adanya pangsa pasar baru bagi industri pengolahan kakao.
107
Misalnya pemerintah memfasilitasi industri untuk bisa menjual
produknya melalui minimarket-minimarket yang saat ini banyak
berkembang di daerah ini. Instansi yang dirarapkan menjalankan
program ini adalah Dinas Perindag Daerah maupun Dinas Perindag
Propinsi Sulawesi Selatan.
108
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian sebagaimana
diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Pembinaan dan pengembangan yang sudah dilakukan pemerintah
dalam rangka pengembangan industri pengolahan kakao di Luwu
Raya antara lain: di bidang permodalan adanya bantuan peralatan,
bantuan dana untuk operasional perusahaan, bantuan gedung untuk
pabrik serta subsidi listrik. Di bidang produksi dan pengolahan bantuan
berupa konsultasi teknis untuk meningkatkan kualitas produk. Di
bidang sumber daya manusia berupa pelatihan pengolahan kakao,
pelatihan manajemen mutu serta pengetahuan tentang standardisasi
dan kunjungan/studi banding ke beberapa industri cokelat di pulau
jawa. Sedangkan di bidang pemasaran bantuan berupa fasilitasi dalam
pameran baik dalam skala lokal maupun dalam skala nasional.
2. Industri pengolahan kakao di Luwu Raya saat ini dihadapkan pada
berbagai permasalahan antara lain masalah pada proses produksi
meliputi peralatan yang belum efektif, peralatan yang belum efektif,
kualitas produk yang belum maksimal, pengetahuan dan keterampilan
109
pegawai yang masih kurang serta proses pemasaran yang belum
lancar..
3. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dalam
pengembangan industi pengolahan kakao di wilayah Luwu Raya
antara lain:
a. Kebijakan penambahan atau penggantian peralatan/mesin industri
b. Kebijakan pendampingan industri
c. Kebijakan peningkatan kualitas SDM industri
d. Kebinakan pengembangan diversifikasi produk
e. Kebijakan fasilitasi pengembangan pasar
B. Saran
1. Perlu adanya koordinasi antar instansi dalam melakukan kegiatan
pembinaan industri agar kegiatan tidak tumpang tindih serta perlu
adanya evaluasi kegiatan untuk mengetahui efektifitas kegiatan
tersebut.
2. Berdasarkan kondisi eksisting industri pengolahan kakao di Luwu Raya
pemerintah perlu lebih intens dalam melakukan pembinaan maupun
pendampingan.
3. Proses pelaksanaan kebijakan harus dilakukan secara komprehensip
agar hasil yang dicapai bisa maksimal
110
DAFTAR PUSTAKA
Ahyari, A. 2002, Manajemen Produksi - Perencanaan Sistem Produksi, Edisi keempat, BPFE UGM, Yogyakarta
Arsyad, L.1999, Ekonomi Pembangunan, Edisi keempat, Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta
Beckett, S.T, 2000, The Science of Chocolate, RSC Paterback, Combridge et all.
Direktorat Jenderal Industri Agro Dan Kimia. 2009, Roadmap Pengembangan Industri Kakao, Jakarta: Departemen Perindustrian
Dunn, W.N, 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gama University Press, Yogyakarta
Edi, S., Mulato, S. 2010, Teknologi Hilir Kakao Untuk Pengolahan Makanan Cokelat, Teknologi dan Manajemen Pengolahan Aneka Produk Cokelat, BBIHP, Makassar.
Effendi, A.H.R. 2009, Strategi Pengembangan Industri kakao Di Propinsi Sulawesi Selatan, Tesis tidak dipublikasikan. Makassar: Program Pascasarjana UNHAS
Goenadi, D.H, 2005, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Griffin, Ricky W. dan Ronald J. Ebert. 2003. Bisnis Edisi Keenam. PT. Prenhallindo, Jakarta.
Handayani, M. 2010. Analisis Prospek Dan Strategi Pengembangan Perusahaan Cokelat (studi kasus pada KUB Sibali Resoe Luwu Utara). Tesis tidak dipublikasikan. Makassar: Program Pascasarjana UNHAS.
Handoko, T. H. 1999, Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta
Kartajaya, H. 2004. Hermawan Kartajaya on Marketing. PT. Gramedia, Jakarta.
Kotler, P. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid I. Benyamin Molan, penerjemah. Jakarta: Indeks.
Kotler, P. 1997. Manajemen Pemasaran. Edisi Keenam. Penerbit PT. Prenhallindo. Jakarta
111
Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. BPFE Yogyakarta, Yogyakarta.
Mathis R.L dan Jackson J.H, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Salemba Empat, Jakarta.
Minifie, B. W, 1999. Chocolate, Cocoa and Confectionary: Science and Technology, AVI Pub, Westport Connecticut.
Mulato, S., Widiyatomo, S., Misnawi dan Sudaryanto, E., 2005. Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao, Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, Jember
Pardede, F.R. 2000, Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil di Indonesia, Tesis Magister Teknik dan Manajemen Industri ITB Bandung
Peter, J. Paul dan Jerry C. Olson. 1999. Consumer Behavior: Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. Damos Sihombing, penerjemah. Erlangga, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Jakarta
Rahmanu, R. 2009, Analisis Daya Saing Industri Pengolahan Dan Hasil Olahan Kakao Indonesia, Skripsi tidak dipublikasikan. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi IPB.
Ramlah, S. 2007, Studi Kelayakan Pendirian Usaha Pengolahan Kakao di Kabupaten Luwu Utara, Tesis tidak dipublikasikan. Makassar: Program Pascasarjana UNHAS.
Satriawan, I.K, 2007, Kajian Insentif Pengolahan Kakao Fermentasi Untuk Petani Dan Kelompok Tani, Jurnal Agrotekno Vol. 13 No. 2: 68-71
Sjafrizal. 2009. Teknik Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah. Baduose Media.
Sugiyono. 2010, Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta, Bandung.
Swastha dan Irawan 1997. Manajemen Pemasaran Modern, Liberty, Yogyakarta
Swastha, B. 1995. Pengantar Perusahaan Ekonomi Modern. Edisi Ketiga. Liberty, Yogyakarta.
Tohar, M. 2000, Membuka Usaha Kecil, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
112
Tukiman, 2005, Peran Dan Kualitas Tenaga Kerja Agro Industri Dan Dampaknya Dalam Bidang Kesehatan, e-jurnals Info Kesehatan Masyarakat Vol. 9 No. 2, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Jakarta
Wibowo, Murdinah, dan Fawzya. 2002. Pedoman Mengelola Perusahaan Kecil. Penebar Swadaya, Jakarta
Wiratmadja, I. 2011, Materi Diklat Sistem Industri 1: Manajemen Industri Kecil dan Menengah, Pusdiklat Industri, Kementerian Perindustrian, Jakarta
Yamit, Zulian. 2002. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa, Penerbit Ekonesia, Yogyakarta.
Zurnali, C. 2004, Pengaruh Pelatihan dan Motivasi Terhadap Perilaku Produktif Karyawan pada Divisi Long Distance PT Telkom Indonesia, Tbk, Tesis, Program Pasca Sarjana Unpad, Bandung