7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pendinginan pada Mesin Pendingin
Proses pendinginan merupakan proses pengambilan
kalor/panas suatu ruang atau benda untuk menurunkan
suhunya dengan jalan memindahkan kalor yang terkandung
dalam ruangan atau benda tersebut. Sehingga, proses
pendinginan merupakan rangkaian proses pindah panas.
Proses pindah panas dapat terjadi secara konveksi,
konduksi maupun radiasi. Konveksi adalah pindah panas
yang terjadi karena adanya gaya gerak dari luar yang
dinamakan dengan konveksi bebas. Konduksi adalah
pertukaran melalui kontak langsung antara molekul yang
berbeda temperaturnya. Radiasi merupakan perpindahan
panas melalui gelombang elektromagnetik yang
dipancarkan oleh getaran atom dan sub atom pada
permukaan suatu benda. Semua sistem pendingin melakukan
pertukaran kalor dengan cara melepaskan ke udara
melalui kontak langsung dengan air. Dalam proses ini
berlangsung kombinasi antara perpindahan kalor dengan
massa dengan konsep perbedaan potensial entalpi
(Stoecker WF dan Jones JW, 1992).
Perkembangan teknologi pendinginan sangat
dipengaruhi oleh dua permasalahan besar pada pemakaian
refrigerant yang berdampak pada lingkungan yaitu
8
menipisnya lapisan ozon dan pemanasan global. Sifat
merusak ozon yang dimiliki oleh refrigerant CFCs (Chloro
Fluoro Carbons) dan HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons)
merupakan jenis refrigerant yang pada tahun 2030 harus
dihapuskan sesuai dengan kesepakatan Protokol Montreal
tahun 1987 dan Protokol Kyoto tahun 1997. Pemakaian
refrigerant yang tidak ramah lingkungan ini mendorong
peneliti untuk mencari beberapa refrigerant alternatif
yaitu melakukan pergantian refrigerant dengan karbon aktif
dan methanol. Beberapa kendala didalam pemakaian
refrigerant ini karena methanol bersifat toxic dan mudah
terbakar. (Bayu, 2008)
Perkembangan lain dari sistem pendingin selain
permasalahan pemakaian refrigerant adalah penggunaan
energi. Sehingga para peneliti berusaha memunculkan
sistem pendingin alternatif yang tidak mengandung
permasalahan serupa di atas. Teknologi pendingin
alternatif diantaranya adalah refrigerasi sistem
absorpsi dan adsorpsi padatan (solid adsorption).
Keunggulan dari sistem absorpsi dan adsorpsi padatan
adalah tidak menggunakan refigeran yang merusak lapisan
ozon dan menimbukan pemanasan global serta untuk
pelepasan refrigerant dapat menggunakan panas buangan
sinar matahari, dan juga bisa menggunakan biomassa
(Bayu, 2008).
1. Prinsip Kerja Sistem Pendingin Adsorpsi
9
Pendingin adsorpsi merupakan pendingin yang
menggunakan sistem adsorpsi pada prosesnya di dalam
generator. Adsorpsi adalah peristiwa fisik atau
kimia pada permukaan yang dipengaruhi oleh suatu
reaksi kimia antara adsorben dan adsorbat. Adsorben
adalah padatan atau cairan yang mengadsorpsi. Jadi
proses adsorpsi dapat terjadi antar padatan dengan
padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan
cairan dengan padatan (Ketaren, 1986).
Sedangkan menurut Setyaningsih (1995),
adsorpsi adalah proses terjadinya perpindahan massa
adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat)
ke permukaan adsorben. Adsorpsi terjadi karena
adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat
dengan tempat-tempat aktif di permukaan adsorben.
Adsorpsi merupakan peristiwa terjadinya perubahan
kepekatan dari molekul, ion, atau atom antara
permukaan dua fase (padat dan cair).
Cheremisinoff dan Ellerburch (1978) menyatakan
bahwa ada dua metode adsorpsi yaitu adsorpsi secara
fisik (phyisisorption) dan adsorpsi secara kimia
(chemisorptions). Adsorpsi secara fisik terjadi karena
perbedaan energi atau gaya tarik menarik elektrik
(gaya Van der Waals) sehingga molekul-molekul
adsorbat secara fisik terikat pda molekul adsorben.
Jenis adsorpsi ini umumnya adalah lapisan ganda
10
(multilayer) dalam hal ini tiap lapisan molekul
terbentuk di atas lapisan-lapisan yang proporsional
dengan konsentrasi kontaminan. Makin besar
konsentrasi kontaminan dalam suatu larutan, maka
makin banyak lapisan molekul yang terbentuk pada
adsorben. Adsorpsi fisik ini dapat bersifat balik
(irreversible) karena pada pembentukannya diperlukan
energi pengaktifan sehingga untuk melepaskannya
diperlukan pula energi yang besarnya relative sama
dengan energi pembentukannya.
Prinsip kerja sistem pendingin adsorpsi dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Skema Sistem Pendinginan Adsorpsi
(Oerthel, 1997)
Komponen pendingin sistem adsorpsi terdiri
dari kondensor, katup, evaporator, dan ruang
penyerapan (generator) sebagai kompresor termal.
11
Kompresor termal bekerja dalam dua fase yaitu fase
satu siklus operasi dan refrigerant diuapkan pada
tekanan dan suhu rendah di evaporator, sehingga
menyebabkan kondensat refrigerant dalam evaporator
berekspansi dan menguap dengan mengambil panas
sekelilingnya sehingga menghasilkan efek
refregerasi. Uap refregerasi yang terjadi mengalir
ke dalam unit generator – adsorben untuk diadsoprsi
dengan mengeluarkan panas sekelilingnya sambil
didinginkan di generator untuk diserap oleh adsorben
pada generator dibawah kondisi isobarik.
Setelah proses adsorpsi selesai, kemudian
diikuti dengan pemanasan secara isoterik dan
desorpsi secara isobarik dalam generator. Proses ini
terjadi karena pemanasan dilakukan di unit generator
menyebabkan refrigerant yang ada didalamnya terpisah
dari zat penyerapnya dan mengalir menuju kondensor.
Uap refrigerant tersebut kemudian terkondensasi di unit
kondensor karena pendinginan dari sekelilingnya yang
suhunya rendah. Dengan dua proses ini adsorpsi dan
desorpsi refrigerant telah mengalami kompresi. Tekanan
akhir dari siklus kedua bagian ini ditandai dengan
penguapan pada kondensor yang ditentukan dengan
menggunakan suhu air dingin.
Fungsi dari bagian-bagian mesin pendingin
adsorbsi adalah sebagai berikut :
12
a. Generator
Generator berfungsi ganda, yaitu tempat
terjadinya proses desorpsi dan adsorpsi, dimana
pada saat proses desorpsi terjadi pemisahan
refrigerant (methanol) dengan adsrober (karbon
aktif) dan pada proses adsorbsi terjadi
pengikatan kembali refrigerant (methanol) oleh
adsorben (karbon aktif).
b. Katup
Katup ini berfungsi untuk pemisah antar beberapa
unit. Pada mesin pendingin ini terdapat empat
katup yang saling menghubungkan antara unit satu
dengan yang lain. Katup 1 menghubungkan antara
generator dengan kondensor, katup 2 menghubungkan
kondensor dan receiver, katup 3 menghubungkan
receiver dengan evaporator untuk menyalurkan
methanol hasil kondensasi ke ruang evaporator.
Katup 4 menghubungkan antara evaporator dan
generator. Selain itu dengan adanya katup ini
dapat mencegah refrigerant yang telah
terkondensasi di kondensor kembali lagi ke
generator
c. Kondensor
Kondensor ini berfungsi sebagai tempat kondensasi
refrigeran pada saat proses desorpsi. Kondensor
dibuat miring untuk memudahkan methanol mengembun
13
jatuh tertampung ke receiver karena pengaruh gaya
gravitasi. Pada kondensor terdapat koil pendingin
yang digunakan untuk membantu mengembunkan
refrigerant
d. Evaporator
Evaporator berfungsi untuk tempat penampungan
dari kondensat yang terbentuk, setelah sebelumnya
ditampung dalam receiver. Pada unit ini terjadi
proses evaporasi dimana refrigerant akan menyerap
panas dari heat exchanger agar dapat berekspansi
kembali ke generator.
2. Siklus Ideal Sistem Pendingin Adsorpsi
Media kerja dari sistem refrigerasi adsorpsi
terdiri dari dua zat yaitu adsorbent, penyerap yang
berbentuk padat, dan refrigerant yang diserap adsorbent
dalam fasa uap. Siklus refrigerasi dari sistem ini
terdiri dari dua proses utama, yaitu proses
refrigerasi (adsorpsi) dan proses regenerasi. Pada
saat proses refrigerasi uap refrigerant digenerator
diserap oleh adsorben, karena generator terhubung
dengan evaporator, uap yang ada di evaporator akan
bergerak ke generator karena konsentrasinya lebih
tinggi daripada uap di generator. Pengurangan
konsentrasi uap di evaporator menyebabkan refrigerant
14
cair di evaporator menguap dengan menarik kalor dari
lingkungannya, yang mengakibatkan terjadi
pendinginan. Sedangkan pada proses regenerasi kalor
diberikan pada adsorben (generator) sehingga
temperaturnya naik dan mengakibatkan uap refrigeran
yang telah diserap dilepaskan kembali dari adsorben-
adsorben tersebut, uap refrigeran ini selanjutnya
didinginkan supaya mencair, kemudian refrigeran cair
ditampung di evaporator. Pasangan media kerja bisa
bermacammacam, diantaranya Karbon aktif – Metanol,
karbon aktif – amonia, CaCl – amonia, atau Silicagel
– Air. Sistem adsorpsi dengan menggunakan pasangan
media kerja karbon aktif – metanol dan CaCl – amonia
dapat digunakan untuk pembuatan es, karena
temperatur kerjanya bisa berada di bawah 0 oC. Untuk
pembuatan es pasangan karbon aktif – metanol lebih
banyak digunakan. Pasangan silicagel–air digunakan
untuk pengkondisian udara yang mempunyai temperature
kerja di atas 0oC (Pridasawas, 2006).
Menurut Ibrahim dkk, 2009, penggambaran siklus
ideal pendinginan sistem adsorpsi dapat dijelaskan
dengan menggunakan konsep kalor laten pada proses
pendinginan yang memenuhi persamaan (1).
qlaten=qst ∫Wmax
Wmin
dW(1)
15
Dengan qst adalah panas adsorbsi Clausius-
Clapeyron yang ditunjukkan oleh persamaan (2).
qst(W)=−R∂¿¿ (2)
Berdasarkan persamaan (1) dan persamaan (2),
siklus pendinginan juga dapat digambarkan dalam
Diagram Clapeyron seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Diagram Clapeyron IdealGaris isotherm 6-3 menunjukkan proses adsorpsi
dengan kapasitas penyerapan q meningkat dari kanan
ke kiri pada adsorben. Bersamaan tahap ini terjadi
efek refrigerasi yang terjadi di evaporator dengan
temperature air pendingin adsorben T3. Garis 1-2
menunjukkan tekanan uap jenuh untuk adsorbat murni.
Lalu adsorben yang ada di dalam adsorben dipanaskan
16
(pre-heated) sehingga tekanannya meningkat dari
tekanan evaporator ke tekanan kondensor (titik 4).
Kemudian pada tekanan kondensasi konstan adsorben
terus dipanaskan sampai pada titik 5 dengan
temperature T5, selama tahap ini adsorbat dalam
adsorben menguap/terdesorpsi. Kapasitas adsorbat
dalam adsorben berkurang dari kiri ke kanan (4-5)
dan adsorbat yang terdesorpsi akan menjadi cair
melalui proses kondensasi di kondensor. Garis 5-6
adalah proses pendinginan (pre-cooled) adsorben
sehingga tekanan adsorben turun dari tekanan
kondensasi ke tekanan evaporasi pada temperature T6.
Dari titik 6 adsorben terus didinginkan sampai
mencapai temperature T3. Garis 6-3 menunjukkan
proses adsorpsi pada tekanan konstan.
Rasio antara efek refrigerasi yang dihasilkan
pada saat adsorpsi terhadap kalor yang diberikan
untuk menaikkan temperature dan desorpsi adsorbat
pada adsorben adalah coefficient of performance (COP).
17
Gambar 2.3. Pengaruh Perbedaan Temperatur pada Diagram Clapeyron Ideal
Untuk variasi temperatur pada saat terjadi
desorpsi dapat dilihat seperti pada gambar 2.3 bahwa
apabila temperature yang digunakan untuk memanaskan
adsorben ditingkatkan dari Tdes1 menjadi Tdes12 maka
terdapat perubahan yaitu terjadinya peningkatan
kapastas adsorpsi ∆q, dan apabila temperature Tdes13
diturunkan menjadi Tdes1 maka ∆q mengecil.
Peningkatan ∆q dengan meningkatnya temperature yang
masuk menunjukkan penigkatan kapasitas pendinginan.
Sedangkan COP akan ikut meningkat seiring
dengan meningkatnya termperatur inlet (suhu ketika
adsorbat masuk dalan adsorben) pada adsorben
kemudian pada saat temperatur mencapai puncak
tertentu COP akan mencapai nilai tertinggi dan
18
kemudian mengalami penurunan kembali walaupun
temperatur inlet terus meningkat.
B. Pemilihan Fluida Kerja Mesin Pendingin Adsorpsi
(solid adsorption)
Mesin pendingin tipe adsorpsi, fluida kerja yang
digunakan merupakan kombinasi dari dua macam zat yang
berfungsi sebagai adsorbat dan adsorben. Proses
adsorpsi melibatkan pemisahan suatu zat dari cairan dan
pengakumulasiannya pada permukaan zat padat. Zat yang
menguap dari fasa cair disebut adsorbat, sedangkan yang
menyerap adsorbat disebut adsorben.
Saat ini, tiga jenis kerja adsorabate dan
adsorben, masing-masing, yang dipilih berpasangan untuk
digunakan dalam teknologi pendinginan tenaga surya
dengan adsorpsi berbentuk padat: Amonia, Methanol dan
Air untuk adsorbat dan karbon aktif, silika gel dan
zeolit-untuk adsorben. Pemilihan setiap pasang adsorbat
adsorben / tergantung pada karakteristik yang
diinginkan, termasuk afinitas satu sama lain.
Karakteristik ini berkisar dari sifat termodinamika dan
kimia dari sifat fisiknya dan bahkan untuk biaya atau
ketersediaannya.
Untuk aplikasi pendingin, adsorben harus memiliki
kapasitas serap tinggi pada suhu kamar dan tekanan
rendah dan kapasitas kecil adsorpsi pada suhu dan
19
tekanan tinggi. Efek pendinginan atau suhu yang dicapai
dalam evaporator, tergantung pada kapasitas serap pada
tekanan kecil. Ini adalah sifat yang memungkinkan
adsorben, pada suhu yang diberikan, untuk
mempertahankan uap dari cairan pada suhu yang lebih
rendah.
Aspek penting dalam memilih adsorben adalah dari
katalisis reaksi yang memisahkan adsorbat itu. Sebagai
contoh, adsorpsi metanol dengan zeolit di dibatasi
untuk temperatur maksimum 100 οC. Pada jumlah yang
lebih tinggi, zeolit merupakan katalis untuk metanol,
air dan reaksi dimetil eter, menghasilkan proses
penyumbatan adsorpsi. Untuk pasangan karbon aktif-
metanol, reaksi katalis hanya akan terjadi di atas 150οC, yang sangat cocok untuk aplikasi pendingin tenaga
matahari. Dengan demikian kita dapat meringkas
pertimbangan yang mempengaruhi pilihan dari adsorben
yang cocok sebagai berikut:
a. Pori-pori Bahan yang harus menyerap adsorbat
dalam jumlah besar dalam kondisi suhu rendah
untuk menghasilkan COP (Coefficient of Performance)
yang baik.
b. Desorpsi sebagian besar adsorbat bila terkena
energi panas.
c. Memiliki panas laten yang tinggi di bandingkan
dengan panas biasanya
20
d. Tidak ada penurunan umur atau penggunaan,
sehingga proses reversibilitas adsorpsi untuk
siklus mampu berlangsung lama.
e. Tidak beracun dan non-korosif.
f. Biaya rendah dan tersedia secara luas.
g. Konduktivitas termal yang baik.
Pilihan dari adsorbat, atau fluida kerja, akan
tergantung pada kondisi utama :
a. Panas laten penguapan, yang harus tinggi ;
b. Dimensi molekul, yang harus cukup kecil untuk
mempermudah adsorpsi.
c. Tidak beracun, non-korosif dan tidak mudah
terbakar.
d. Tekanan saturasi rendah (sedikit di atas
atmosfer) di suhu operasi normal.
Sebuah survei dari adsorbate yang banyak dipilih
menunjukkan bahwa metanol dan air beroperasi pada
tekanan saturasi subatmospheric di operasi suhu yang
dibutuhkan, tapi masuknya udara segera menghasilkan
kerusakan sistem. Amonia tidak memiliki masalah ini
karena kebocoran dapat ditoleransi selama beberapa
waktu, tetapi tekanan jenuhnya dari 13 bar pada
temperatur 35 οC dengan proses kondensasi yang cukup
tinggi. Dalam penggunaan metanol, dengan titik didih
normal 65 οC, tekanan saturasi rendah dapat diguanakan
untuk mendeteksi kebocoran. Amonia, metanol dan air,
21
semua memiliki panas laten yang relatif tinggi dengan
nilai masing-masing 1368 kJ/kg, 1.102 kJ/kg dan 2.258
kJ/kg dan volumenya rendah (E.E. Anyanwu, 2001). Amonia
bersifat racun dan korosif, sedangkan air dan metanol
tidak, tapi masalah dengan alkohol adalah bahwa metanol
mudah terbakar. Air memiliki panas yang paling stabil
dengan adsorben, diikuti oleh metanol dan amonia dalam
urutan itu. Namun, air tidak dapat digunakan untuk
pembekuan karena suhu air beku adalah 0 οC. Hal ini
membuat metanol baik sebagai adsorbat untuk dipasangkan
dengan adsorben yang stabil seperti karbon aktif.
1. Karbon Aktif
Karbon aktif adalah karbon yang telah
mengalami proses aktivasi untuk meningkatkan luas
permukaan melalui pembukaan pori-pori sehingga daya
adsorpsinya dapat ditingkatkan (Roy, 2008). Definisi
lain mengatakan karbon aktif adalah karbon yang
sudah diaktifkan, sehingga pori-porinya terbuka dan
permukaannya bertambah luas sekitar 300 s/d 2000
m2/g. Permukaan karbon aktif yang semakin luas ini
menyebabkan daya adsorpsinya terhadap gas atau
cairan semakin tinggi (Kirk dan Othmer, 1964).
Sedangkan menurut Sudrajat dan Salim (1994), arang
aktif adalah arang yang konfigurasi atom karbonnya
dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain, serta
rongga atau pori dibersihkan dari senyawa lain atau
22
kotoran sehingga permukaan dan pusat aktif menjadi
luas atau daya adsorpsi terhadap cairan gas akan
meningkat.
Guerrero, dkk (1970) menyatakan bahwa
pembuatan karbon aktif dilakukan dua tahap. Tahap
pertama adalah pembentukan karbon yang bersifat
amorfporous pada suhu rendah. Tahap kedua adalah
proses pengaktifan karbon untuk menghilangkan
hidrokarbon yang melapisis permukaan karbon sehingga
meningkatkan porositas karbon. Menurut Cheremisinoff
dan Ellerburch (1978), pada kedua proses tersebut
terjadi tahap-tahap sebagai berikut :
a. Dehidrasi yaitu proses menghilangkan air
b. Karbonisasi yaitu proses penguraian selulosa
organic menjadi unsur karbon, serta
mengeluarkan senyawa-senyawa non-karbon
c. Aktivasi yaitu proses pembentukan dan
penyusunan karbon sehingga pori-porinya
menjadi lebih besar
Karbon aktif adalah padatan amorf yang
mempunyai luas permukaan dan jumlah pori yang
sangat banyak (Baker dkk, 1997). Karbon aktif
berbentuk Kristal mikro, karbon non grafit, yang
pori-porinya telah mengalami proses pengembangan
kemampuan untuk menyerap gas dan uap dari campuran
23
gas dan zat-zat yang tidak terlarut atau
terdispersi dalam cairan (Roy, 1985). Tiap-tiap
Kristal, biasanya terdiri dari 3 atau lapisan atom
karbon dengan sekitar 20 – 30 atom karbon
heksagonal pada tiap lapisannya (Jankowska dkk,
1991).
Hartoyo (1974) mengemukakan bahwa sifat fisik
karbon aktif dibagi dua macam :
a. Sifatnya keras dan massa jenis tinggi, sesuai
untuk bahan adsorpsi gas
b. Sifatnya lunak dan massa jenis rendah, sesuai
untuk bahan adsorpsi cairan
Karbon aktif adalah karbon/arang halus yang
berwarna hitam, tidak berbau, tidak mempunyai rasa,
higroskopis, tidak terlarut dalam air, basa, asam,
dan pelarut organik. Karbon aktif tidak
terdekomposisi atau bereaksi setelah digunakan.
Karbon aktif berbentuk amorf, yang terdiri dari
unsure karbon. Karbon ini terdiri dari pelat-pelat
dasar yang atom karbonnya terikat secara kovalen
dalam suatu kisi heksagonal mirip dengan grafit.
Pelat-pelat ini terkumpul satu sama lain membentuk
Kristal-kristal dengan susunan tidak beraturan dan
jarak antar pelatnya acak (Hasler, 1974).
Distribusi ukuran pori merupakan parameter
yang penting dalam hal kemampuan daya serap arang
24
aktif terhadap molekul yang ukurannya bervariasi.
Disamping distribusi pori, bentuk pori merupakan
parameter yang khusus untuk daya serap karbon atif
yang terjadi. Pengaruh dan ukuran pori-pori untuk
penyerapan fasa cair dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Pengaruh Ukuran Pori pada Penyerapan Fasa Cair (Beukens dkk, 1985)
Keterangan :
1) Daerah yang memungkinkan pelarut dan
bahan yang akan diserap dapat masuk
2) Daerah yang memungkinkan pelarut dan
bahan yang lebih kecil yang akan diserap
dapat masuk
25
3) Daerah yang hanya dimasuki pelarut2. Metanol
Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol,
wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia
dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk
alkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer"
ia berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap,
tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan
bau yang khas (berbau lebih ringan daripada
etanol). metanol digunakan sebagai bahan pendingin
anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan
additif bagi etanol industri. Metanol diproduksi
secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh
bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol
(dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa
hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh
oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi
karbon dioksida dan air. Reaksi kimia metanol yang
terbakar di udara dan membentuk karbon dioksida dan
air adalah sebagai berikut:
2 CH3OH + 3 O2 → 2 CO2 + 4 H2O
(3)
Dalam mesin pendingin berbasis adsorpsi,
terjadinya suatu proses pendinginan diperlukan
26
suatu bahan yang mudah dirubah bentuknya dari gas
menjadi cair atau sebaliknya untuk mengambil panas
dari evaporator dan membuangnya di kondensor.
Karakteristik termodinamika refrigerant antara lain
meliputi temperature penguapan, tekanan penguapan,
temperatur pengembunan. Untuk keperluan suatu jenis
pendinginan (misal untuk pendinginan udara atau
pengawet beku) diperlukan refrigeran dengan
karakteristik termodinamika yang tepat. Adapun
syarat-syarat untuk refrigerant adalah :
a. Tidak dapat terbakar atau meledak bila
tercampur dengan udara, pelumas dan
sebagainya.
b. Tidak menyebabkan korosi terhadap bahan logam
yang dipakai pada sistem mesin pendingin.
c. Mempunyai titik didih dan kondensasi yang
rendah.
d. Perbedaan antara tekanan penguapan dan
tekanan penguapan (kondensasi) harus sekecil
mungkin.
e. Mempunyai panas laten penguapan yang besar,
agar panas yang diserap evaporator yang
sebesar-besarnya.
f. Konduktivitas thermal yang tinggi.
27
Metanol dipilih karena memiliki
karakteristik termodinamika yang tepat dan memiliki
beberapa kelebihan sebagai berikut :
a. Pada tekanan atmosfir metanol berbentuk
cairan yang ringan, mudah menguap
dibandingkan dengan air meskipun pada tekanan
1 atm.
b. Sangat efisien.
c. Tidak korosif terhadap besi atau baja.
d. Dapat digunakan sistem absorpsi dan kompresi.
C. Proses Pendinginan pada Mesin Pendingin Tenaga Surya
dengan Karbon Aktif-Metanol sebagai Adsorbent Pair
Proses pendinginan pada mesin pendingin tenaga
surya terjadi dalam dua fase, yaitu pada siang hari dan
malam hari.
28
Gambar 2.5. Skema Proses Pendinginan pada Sistem Pendingin tenaga Surya (Nolwenn Le Pierre dkk, 2005)
Saat siang hari, pada generator terjadi
penguapan, uap tersebut menuju kondensor (mengembun)
lalu terkumpul di evaporator. Produksi es terjadi saat
malam hari (Li dan Sumathy, 1999; Dieng dan Wang,
2001). Karena tekanan dan suhu di generator lebih
rendah dari evaporator, metanol di evaporator mengambil
kalor dari lingkungannya untuk menguap menuju adsorben
yang terletak pada Generator. Karena penyerapan kalor
lingkungan oleh Metanol di evaporator, terjadilah es
dari air yang berada di lingkungan evaporator.
Unjuk kerja mesin pendingin adsorpsi sangat
dipengaruhi oleh besarnya perpindahan kalor maupun
perpindahan massa. Dalam merancang sebuah adsorben
sangatlah penting untuk memilih konfigurasinya karena
adanya pertimbangan-pertimbangan batas dari perpindahan
massa. Secara umum peningkatan perpindahan massa akan
mengakibatkan menurunnya kemampuan transfer kalor.
Sehingga perlu dicari sebuah nilai optimum dari
keduanya yang merupakan kompromi antara kedua faktor
tersebut agar diperoleh unjuk kerja terbaik.
Berbagai perbaikan unjuk kerja mesin adsorpsi
telah dilakukan dalam skala laboratorium, misalnya
mesin adsorbsi dalam skala besar yang menghasilkan es
29
serta dikembalikan melalui proses mass recovery akan
meningkatkan kapasitas pendinginannya sebesar 7% s/d
11% serta melalui proses heat recovery akan menurunkan
input energi sebesar 20% s/d 30%. Penggunaan multi
adsorben juga telah dilakukan yang dilaporkan dapat
meningkatkan COP sebesar 35% dari sistem standar.
Dalam pemanfaatan pasangan Karbon aktif dengan
Methanol untuk pendingin tenaga surya, karbon aktif
mengalami proses adsorpsi dan desorpsi. Oleh karena
adsorben yang digunakan adalah adsorben tunggal, maka
proses adsorpsi dan desorpsi berjalan secara bergantian
/ intermitten (Nurkholis, 2008). Maksudnya, siklusnya
tidak bersambung melainkan terputus dimana setengah
siklus pertama adalah proses desorpsi dan setengah
siklus berikutnya adalah proses adsorpsi yang
menghasilkan efek pendinginan. Proses adsorpsi terjadi
ketika adsorben didinginkan oleh temperatur lingkungan
sehingga adsorben melepas kalor ke lingkungan. Proses
adsorpsi terjadi di adsorben sedangkan proses evaporasi
adsorbat berlangsung di evaporator, efek pendinginan
berlangsung keetika kalor yang diperlukan untuk
evaporasi adsorbat diambil dari ruang yang akan
didinginkan (Khalif, 2008).
30
Gambar 2.6. Proses AdsorpsiPada proses adsorpsi ini metanol yang terdapat
dalam evaporator akan diserap oleh karbon aktif. Pada
kondisi awal, sistem memiliki tekanan dan temperatur
rendah dan adsorben memiliki konsentrasi yang tinggi.
Sehingga refrigeran akan mengalir ke dalam adsorben,
pada saat mengalirnya refrigeran maka tekanan dan
temperaturnya akan turun seiring dengan waktu yang ada.
Menurunnya tekanan dan temperatur dalam evaporator
inilah nantinya yang akan membuat lingkungan sistem
menjadi dingin (Nurkholis, 2008).
31
Gambar 2.7. Proses Desorpsi
Ketika proses adsorpsi sudah mengalami titik
jenuh, maka proses berikutnya adalah proses desorpsi
yakni mengalirnya air panas ke dalam adsorben yang
mengakibatkan naiknya tekanan sistem. Refrigeran yang
keluar dari adsorben akan terkondensasi masuk ke dalam
kondenser. Pada kondenser, refrigeran akan didinginkan
kembali menggunakan air dingin dan kemudian akan
dialirkan kembai ke evaporator untuk digunakan kembali
(Nurkholis, 2008). Pada siklus regenerasi atau
desorpsi, adsorben dipanaskan dengan memberi panas yang
bersumber dari panas matahari atau gas buang kendaraan
bermotor sehingga temperatur adsorben naik, yang
menyebabkan adsorbat dalam adsorben terdesorpsi/menguap
yang kemudian oleh kondensor adsorbat dikondensasikan
menjadi cair. Adsorbat yang terkondensasi di kondensor
dialirkan ke evaporator yang kemudian diikuti kembali
dengan siklus adsorpsi (Khalif, 2008).
D. COP (Coefficient Of Performance)
Parameter-parameter yang sering digunakan untuk
menggambarkan performa kerja dari Solar Ice Maker adalah
COP, SCP (specific cooling performance) dan efisiensi
termodinamika yang merupakan rasio dari COP dengan
Carnot COP (Dieng dan Wang, 2001). Menurut Li dkk.
W Q1
Q2
Q1
Q2
T2
T1
T1
Tg
32
(2004a), performa dari Solar Ice Maker diwakili oleh Qref
(massa es yang diperoleh) dan COP.
COP merupakan perbandingan antara panas
lingkungan yang diserap oleh evaporator (Qevp) dengan
panas yang dihasilkan dari generator (Qgen). COP akan
meningkat jika konduktifitas termal dari adsorbent
meningkat karena penyebaran panas semakin merata pada
adsorbent. Hal itu juga berefek pada singkatnya waktu
yang diperlukan pada tiap siklusnya. Selain itu
peningkatan kapasitas serap adsorbent juga dapat
meningkatkan kapasitas refrigerasi (proses pendinginan)
sehingga es yang terbentuk akan semakin banyak
(Sumathy, 2008).
ξpanas mesin carnot COPcarnot
Gambar 2.8. Efisiensi Sistem Carnot
Mesin pendingin yang efektif adalah mesin
pendingin yang memindahkan energi dalam jumlah besar
dari reservoir yang dingin dengan usaha sekecil mungkin
(Serway, 2003). Jadi COP mesin pendingin dapat
dirumuskan dalam persamaan (7) berikut :
33
COPcarnot=|Qcarnot|
W
(4)
COPcarnot=Q2
Q1−Q2
(5)
COPcarnot=T2
T1−T2
(6)ξpanas mesin carnot=
Tg−T1Tg
(7) ηcarnot=ξpanas mesin carnot⋅COPcarnot (8)
T2 adalah suhu dari evaporator, T1 adalah suhu
lingkungan, Tg adalah suhu generator, ηcarnot adalah
efisiensi mesin carnot. Ekspansi isothermal berlangsung
pada suhu T1. Selama ekspansi berlangsung gas menyerap
energi sebesar Q2 dari generator. Kemudian pada suhu
sebesar T2, energi sebesar Q2 dilepaskan kembali menuju
generator yang bersuhu T1. Besar usaha yang dilakukan
pada proses transfer panas dari proses irreversible
generator ke evaporator adalah sebesar W.
Karbon aktif-metanol merupakan salah satu
pasangan adsorben yang sering digunakan karena jumlah
adsorpsi yang besar dan panas adsorpsinya rendah
sekitar 1800-2000kJ/kg. Karakteristik dari pasangan
adsorben itulah yang sangat menguntungkan untuk
34
meningkatkan COP dari mesin pendingin. Temperatur
desorpsi untuk karbon aktif-metanol sekitar 100 oC.
Menurut Hu (1998), temperatur lebih dari 120 oC harus
dihindari karena metanol akan terdekomposisi menjadi
bentuk lain.
Selain itu, pasangan ini memiliki kerugian jika
dioperasikan di bawah tekanan 1 atm. Keadaan vakum
membutuhkan pembangunan mesin yang kompleks dan
mengurangi reliabilitas dari sistem, selain itu udara
yang masuk ke dalam sistem dapat menurunkan performa
dari mesin.
E. Analisis Efisiensi Mesin Pendingin Tenaga Surya
dengan Karbon Aktif – Metanol sebagai Adsorbent Pair
1. Pengaruh Desain Generator (Adsorbent Bed) Terhadap
Efisiensi Sistem Mesin Pendingin
Generator adalah bagian paling penting dalam
mesin pendingin adsorpsi. Karakteristik dari
generator sangat berpengaruh dalam efisiensi mesin
pendingin. Posisi dari generator juga harus
diperhatikan. Generator harus diletakkan dekat
dengan evaporator agar uap methanol tetap dalam
tekanan yang tinggi. Selain itu, posisi generator
yang dekat dengan evaporator juga akan mempengaruhi
kecepatan distribusi uap dari methanol (Watheq,
2008)
35
Terdapat dua macam generator yang dapat
diaplikasikan pada sistem pendingin tenaga surya
yaitu generator dengan Flat Plate Collector dan generator
dengan Evacuated Tube Collector (Santo, 2010)
a. Generator dengan Flat Plate Collector
Gambar 2.9. Generator dengan Flat Plate Collector (Santo, 2010)
Generator ini terdiri dari kotak yang
terbuat dari kaca dan sekat dalam kotak yang
terbuat dari logam untuk mempercepat transfer
panas panas dari radiasi sinar matahari ke
adsorben dan adsorbate. Adsorben (Karbon Aktif)
dan Adsorbate (Methanol) terletak di bawah pelat
logam. Pelat logam yang berwarna gelap dalam
generator ini digunakan agar dapat menyerap
radiasi panas dari sinar matahari. Radiasi panas
diserap oleh pelat logam sehingga proses
penguapan methanol dapat berlangsung dengan baik.
b. Generator dengan Evacuated Tube Collector
36
Gambar 2.10. Generator dengan Evacuated Tube Collector (Santo, 2010)
Generator ini terdiri dari tabung yang
terbuat dari kaca. Di dalam tabung terdapat
adsorben (Karbon Aktif) dan adsorbat (Metanol).
Ruang vakum yang ada di dalam tabung mengurangi
kemungkinan hilangnya panas dari proses konveksi
dan konduksi dan memberikan suhu yang tinggi
sehingga tabung ini mampu mentransfer panas lebih
banyak dibandingkan dengan desain pada generator
dengan Flat Plate Collector.
Perbedaan dari generator dengan flat plate
collector dan generator evacuated tube collector disajikan
dalam tabel 2.1.
37
Tabel 2.1. Perbedaan Generator dengan Flat PlateCollector dan Generator dengan EvacuatedTube Collector
Faktor
Pembeda
Generator
dengan Flat Plate
Collector
Generator dengan
Evacuated Tube
Collector
Harga Murah Mahal Suhu yang
dihasilkan
selama
proses
radiasi
Rendah Tinggi
Kebutuhan
permukaan
kolektor
untuk
dipasangka
n pada
mesin
pendingin
yang
memiliki
tenaga
yang sama
COP
Membutuhkan
permukaan
kolektor yang
lebih banyak
daripada
Generator
dengan Evacuated
Tube Collector
Lebih rendah
daripada
Evacuated Tube
Membutuhkan
permukaan
kolektor yang
lebih sedikit
daripada
Generator dengan
Flat Plate Collector
(Santo, 2010)
Lebih tinggi
daripada Flat Plate
Collector (Li dkk,
38
Collector (Zhou
dkk, 2012)
2002)
Dari penelitian Santo (2010) dapat disimpulkan
bahwa Generator dengan Evacuated Tube Collector akan
menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi daripada
Generator dengan Flat Plate Collector karena generator
dengan Evacuated Tube Collector mampu menghasilkan suhu
yang tinggi selama proses radiasi, sehingga proses
evaporasi/penguapan methanol dari karbon aktif
berlangsung lebih baik dan efisiensi mesin pendingin
semakin baik. Hasil penelitian Zhou dkk, 2012, telah
membuktikan bahwa COP yang dapat dihasilkan dari
Generator dengan Evacuated Tube Collector adalah sebesar
0,215. Dalam penelitiannya, Zhou dkk menggunakan
vacuum emptying method dengan menggunakan pompa vakum
untuk mengosongkan udara yang berada pada tabung
solar cooling (generator). Hal ini menyebakan COP yang
dihasilkan lebih tinggi daripada COP yang dihasilkan
dalam hasil penelitian Li dkk, 2002, yang
menggunakan Generator dengan Flat Plate Colector yang
menghasilkan COP sebesar 0,113.
2. Pengaruh Kepadatan Adsorben (Karbon Aktif) terhadap
Penyerapan Adsorbate (Metanol)
39
Khattab dkk (2012), dalam penelitiannya
tentang tabung mesin pendingin adsorbsi dengan
karbon aktif dan methanol sebagai pasangan adsorbent
pair membuktikan bahwa karbon aktif yang lebih padat
dapat menyerap methanol lebih banyak.Hal ini
dibuktikan dengan percobaan yang sudah dilakukan
Khattab. Sistem pendingin yang dirancang terdiri
dari empat tabung berisi karbon aktif dan methanol
sebagai generator yang disambungkan dengan kondensor
dan evaporator. Generator diletakkan pada sebuah
kotak yang terbuat dari kayu yang terisolasi
(vakum). Percobaan dilakukan sebanyak dua kali yaitu
dengan menggunakan tabung A dan Tabung B. Tabung B
mengandung karbon aktif yang lebih padat daripada
tabung B. Masing-masing tabung diisi dengan methanol
dengan jumlah yang sama. Ketika proses adsorbsi
terjadi, methanol teradsorbsi ke dalam karbon aktif.
Hasilnya menunjukkan bahwa suhu dalam evaporator
yang menggunakan tabung B besarnya dibawah 0oC. Hal
ini terjadi karena porositas karbon aktif pada
tabung B yang lebih padat lebih baik daripada
porositas karbon aktif di tabung A. Kesimpulan dari
percobaan Khattab yang pertama dalah bahwa porositas
karbon aktif mempengaruhi banyaknya methanol yang
masuk ke dalam kabon aktif (adsorben). Pada Tabel
40
2.1 perbedaan sifat fisis antara adsorben (karbon
aktif) yang berupa padatan dan taburan.
Tabel 2.2. Perbedaan Sifat Fisis antaraPadatan Adsorben (Karbon Aktif) danButiran Adsorben (Karbon Aktif),(Watheq, 2008)
Sifat Fisis Butiran
Karbon
Aktif
Padatan
Karbon
Aktif Kepadatan 460 kg/m3 600 kg/m3
Konduktivitas
Panas Rata-
rata
0,11 W/m K 0,30 W/m K
Kapasitas
Kalor jenis
0,93 kJ/kg
K
0,93 kJ/kg K
Dari Tabel 2.2 dapat disimpulkan bahwa
kepadatan karbon aktif dapat mempengaruhi
konduktivitas panas karbon aktif. Semakin padat
karbon aktif, maka konduktivitas panasnya juga akan
semakin baik.
Wang (2002) dalam penelitiannya juga
membuktikan bahwa kepadatan Karbon Aktif juga akan
memepengaruhi performa suatu mesin pendingin. Hal
ini dapat dibuktikan dari Gambar 2.11.
41
Gambar 2.11. Pengaruh Kepadatan Karbon AktifTerhadap COP Solar Cooling (Wang dkk,2002)
Gambar 2.11 diatas menunjukkan bahwa semakin
padat Karbon Aktif sebagai, maka COP (Coefficient Of
Performance) yang dihasilkan akan semakin baik
(semikin tinggi COP mesin pendingin, semakin baik
pula kemampuannya/performanya).
3. Pengaruh Waktu Pendinginan Terhadap Es yang
Dihasilkan
Karbon aktif pada tabung B pada hasil
percobaan Khattab dkk, 2012, selanjutnya digunakan
untuk sistem pendingin tenaga surya yang
dioperasikan selama tiga hari pada siang hari dan
malam hari di musim yang berbeda-beda. Gambar 2.12
di bawah ini menunjukkan performa mesin pendingin
pada musim dingin di yang dihasilkan ketika siang
hari dan malam hari berturut-turut :
42
Gambar 2.12. Suhu Adsorben dan Suhu Air Dingin Selama Proses Desorpsi (Khattab, 2012)
Gambar 2.12 di atas menunjukkan bahwa suhu
penyerapaan (adsorbsi) maksimal terjadi pada siang
hari.
Gambar 2.13. Suhu Adsorben dan Suhu AirDingin Selama Proses Desorpsi(Musim Dingin, Cuaca Berawan),(Khattab, 2012)
Gambar 2.13 menunjukkan bahwa suhu penyerapan
maksimal (adsorbsi) maksimal terjadi pada siang hari
juga namun cuacanya berawan. Air dingin yang
dihasilkan sebanyak 4 kg/m2 dan es sudah terbentuk
dalam evaporator.
43
Gambar 2.14. Suhu Adsorben dan Suhu Air Dingin Selama Proses Desorpsi (Musim Dingin, Cuaca Panas), (Khattab, 2012)
Gambar 2.14 menunjukkan bahwa suhu penyerapan
maksimal (adsorbsi) maksimal terjadi pada siang hari
juga, namun saat cuacanya panas. Air dingin yang
dihasilkan sebanyak 9 kg/m2 dan es tidak terbentuk
dalam evaporator.
Dari ketiga gambar di atas, dapat disimpulkan
bahwa performa mesin pendingin ketika musim dingin
antara lain :
a. Pada saat cuaca panas di musim dingin, jumlah
methanol yang terserap akan maksimum dan akan
memenuhi evaporator
b. Pada saat cuaca berawan di musim dingin,
jumlah methanol yang terserap hanya sebagian
c. Suhu air mencapai di bawah nol derajat dan es
terbentuk ketika cuaca berawan maupun cuaca
panas. Tetapi jumlah es yang terbentuk
berbeda, yaitu 7 kg/m2 dan 4 kg/m2)
44
d. Kenikan jumlah air dingin sebanyak 9 kg/m2
terjadi ketika suhu 3-4 oC, namun es tidak
terbentuk.
e. Ketika musim dingin, operasi sistem tergantung
pada jumlah panas yang terdesorpsi
Hasil percobaan selama musim semi ditunjukkan
pada Gambar 2.13. Musim semi di Mesir ditandai
dengan adanya gelombang udara panas dan gelombang
udara dingin. Hasil percobaan pada cuaca yang panas
ditunjukkan pada Gambar 2.13. Air yang dingin
ditempatkan di sekeliling evaporator ketika akhir
proses desorpsi (ketika absorber masih panas). Dari
percobaan yang dilakukan, dihasilkan 7 kg/m2 air
dingin, namun es tidak terbentuk. Meskipun proses
desorpsi efisien pada siang hari, proses adsorpsi
tidak dapat menghasilkan es. Dapat disimpulkan bahwa
pendinginan selama malam hari dalam cuaca yang panas
sensitive untuk suhu kamar dan suhu absorber selama
malam hari.
45
Gambar 2.15. Suhu Adsorben dan Suhu Air DinginSelama Proses Desorpsi (Musim Semi,Cuaca Panas, Es Tidak Terbentuk),(Khattab, 2012)
Dari percobaan selanjutnya masih di Musim Semi
dan cuacanya panas. Proses pendinginan lebih baik
dimulai ketika tengah malam setelah penampang
adsorbsi mencapai suhu kamar. Saat musim panas,
pendinginan dimulai ketika tengah malam agar proses
desorpsi efisien. Gambar 2.14 menunjukkan proses
pendinginan pada jumlah air yang berbeda-beda selama
musim panas. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar
2.13, jumlah air menurun, suhu air juga menurun.
Pada kondisi ini, es mulai terbentuk.
Gambar 2.16. Suhu Air Dingin Selama ProsesAdsorpsi Pada Musim Panas denganJumlah Air yang Berbeda-beda (Khattab,2012)
Kesimpulan dari percobaan Khattab dkk (2012)
adalah performa tabung yang berisi karbon-aktif dan
methanol sebagai adsorbent pair akan menghasilkan
46
proses pendinginan yang efektif ketika proses
dilakukan di cuaca yang cerah ketika musim semi dan
musim musim panas, sebanyak 7 kg/m2 es bisa
terbentuk. Sedangkan proses pendinginan yang
dilakukan ketika cuaca berawan di Musim Semi, hanya
akan menghasilkan 4 kg/m2 es.
4. Pengaruh Hambatan Penghantar Panas terhadap COP Solar
Cooling
Generator yang berisi methanol dan karbon
aktif dapat dibuat dari logam. Logam akan menerima
radiasi panas dari sinar matahari untuk memanaskan
adsorbent pair (karbon aktif dan methanol). Ketika
adsorbent pair mulai dipanaskan, maka adsorbate berupa
methanol akan lepas dari adsorben. Dalam hal ini,
hambatan panas suatu penghantar (dalam hal ini
berupa logam) akan berpengaruh pada pemanasan karbon
aktif dan methanol. Gambar 2.17 berikut menjelaskan
pengaruh hambatan panas suatu penghantar pada
generator dan COP (Coefficient Of Performance) yang
dihasilkan pada mesin pendingin (Wang, 2002).
47
Gambar 2.17. Grafik Pengaruh Hambatan PanasPenghantar terhadap COP SolarCooling (Wang dkk, 2002)
Gambar 2.17 menunjukkan bahwa semakin besar
hambatan panas suatu penghantar, maka COP yang
dihasilkan akan semakin sedikit. Dari Gambar 2.17
ini juga dapat disimpulkan bahwa semakin besar
hambatan panas suatu penghantar, maka
performa/kemampuan mesin pendingin tenaga surya
(solar cooling) akan semakin menurun karena COP solar
cooling juga semakin menurun.
5. Pengaruh Konduktivitas Termal dari Adsorben (Karbon
Aktif)
Adsorben yang tepat untuk proses adsorpsi
adalah adsorben yang memiliki pori-pori yang dapat
menyerap refrigeran. Di lain sisi, konduktivitas
termal dari adsorben sangat rendah. Karbon aktif
memiliki konduktivitas termal kurang dari 1 W/m K.
48
Pengaruh konduktivitas termal beberapa adsorban
terhadap COP solar cooling ditunjukkan pada Gambar
2.16.
Gambar 2.18. Grafik Pengaruh KonduktiitasTermal Beberapa Adsorben terhadapCOP Solar Cooling (Wang dkk, 2002)
Gambar 2.18 menunjukkan bahwa semakin besar
konduktivitas termal suatu adsorben maka COP Solar
Cooling semakin besar. Dari Gambar 2.18 juga dapat
disimpulkan bahwa semakin besar konduktivitas termal
suatu adsorben maka semakin baik performa/kemampuan
solar cooling.
F. Kelebihan dan kekurangan pemanfaatan Karbon Aktif
– Metanol sebagai Adsorbent Pair pada Mesin
Pendingin Tenaga Surya
Kelebihan dan kekurangan pemanfaatan Karbon
Aktif – Metanol sebagai Adsorbent Pair pada Mesin
49
Pendingin Tenaga Surya dapat dilihat dalam Tabel
2.3.
Tabel 2.3. Kelebihan dan Kekurangan PemanfaatanKarbon Aktif – Metanol sebagai AdsorbentPair pada Mesin Pendingin Tenaga Surya(Watheq, 2008)
Kelebihan Kekurangan Membutuhkan sedikit
perawatan
Tingginya berat
adsorben tidak cocok
untuk digunakan pada
kapasitas generator
yang besar Tidak ada bagian
adsorben yang
bergerak
Kondiktivitas termal
adsorben yang rendah
mengakibatkan masalah
jangka panjang,
karena konduktivitas
termal adsorben akan
menurun dari hari ke
50
hari COP tidak terlalu
rendah
Sangat sensitif dalam
suhu yang rendah
terutama ketika
temperature menurun
selama malam hari Kolektor panas surya
yang digunakan lebih
murah dibandingkan
sel photovoltaic
Sistem ini intermiten
/ berselang, artinya
waktu yang baik untuk
mendapatkan COP yang
tinggi adalah siang
hari, pada malam hari
COP yang didapatkan
rendah Biaya perawatan mesin
mahal Tidak mengakibatkan
efek rum ah kaca yang
berpengaruh pada
global warming
Mesin belum bisa
digunakan secara
maksimal dalam skala
kecil (skala
laboratorium)