BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kekurangan
atau resisten insulin yang kronis, diabetes mellitus ditandai
dengan gangguan metabolism karbohidrat, protein dan lemak.
Peranan insulin di tubuh adalah untuk mengangkut glukosa ke
dalam sel untuk bahan bakar atau simpanan glikogen. Insulin
juga merangsang sintesis protein dan penyimpanan asam lemak
bebas dalam jaringan adiposa. Kekurangan insulin menghambat
kemampuan tubuh untuk mengakses nutrient yang penting untuk
bahan dasar dan simpanan. Karena insiden diabetes selalu
meningkat seiring pertambahan usia, profesional perawatan
kesehatan yang merawat lansia harus memiliki pemahaman yang
lengkap mengenai penyakit umum ini.
Pendapat umum menyatakan bahwa pada usia lanjut kita
hanya berhadapan dengan diabetes tipe 2. Memang sebagian besar
benar demikian, tetapi kini ada tendensi lain karena DM tipe 1
di usia lanjut bertambah, ditambah pula dengan insulin
requiring cases, LADA. Diabetes dapat terjadi dalam bentuk
utama: tipe 1, diabetes mellitus yang bergantung pada insulin,
dan yang lebih prevalen adalah tipe 2 yang merupakan diabetes
mellitus yang tidak bergantung pada insulin. Pada lansia
diabetes tipe 2 terhitung 90% kasus di Indonesia.
The Congressionally-Established Diabetes Research Working
Group (1999) melaporkan bahwa walaupun kematian karena
penyakit-penyakit kanker, stroke, dan kardiovaskular cenderung
berkurang sejak 1988, angka kematian karena diabetes naik1
sekitar 30 persen. Usia harapan hidup orang-orang yang
menderita diabetes rata-rata 15 tahun lebih pendek dari.
Prevalensi diabetes mellitus di dunia semakin meningkat
sehingga dianggap sebagai wabah, dimana pada tahun 2000
diperkirakan jumlah penduduk dunia yang menderita DM sebanyak
150 juta jiwa dan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 300
juta jiwa. Angka prevalensi yang sangat meningkat ini
diperkirakan terjadi di Negara yang sedang berkembang seperti
Cina dan India termasuk Indonesia. Sebaliknya di Negara yang
maju, prevalensi DM tidak begitu meningkat. Peningkatan yang
luar biasa di Negara sedang berkembang di duga akibat
perubahan pola hidup (Sanusi Harsinen, 2004).
Hasil survey yang dilakukan badan kesehatan dunia WHO,
Indonesia menempati urutan ke-4 jumlah penderita diabetes
terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat,
dengan prevalensi 8,6 % dari total penduduk. Diperkirakan pada
tahun 1995 terdapat 4,5 juta pengidap DM dan pada tahun 2025
diperkirakan menjadi meningkat 12.4 juta penderita. Sedangkan
data yang telah dihimpun Depkes, jumlah pasien yang rawat inap
maupun rawat jalan di RS menempati urutan pertama dari seluruh
penyakit endokrin (Depkes RI, 2006).
DM disebut sebagai penyakit kronis sebab DM dapat
menimbulkan perubahan yang permanen bagi kehidupan seseorang.
Penyakit kronis tersebut memiliki implikasi yang luas bagi
lansia maupun keluarganya, terutama munculnya keluhan yang
menyertai, penurunan kemandirian lansia dalam melakukan
aktivitas keseharian, dan menurunnya partisipasi sosial
2
lansia. Sehingga secara otomatis akan mempengaruhi kualitas
hidup lansia yang menderita DM.
Perawat komunitas sejak awal dapat berperan dalam
meminimalisasi perubahan potensial pada sistem tubuh pasien.
Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat
mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku
pasien. Salah satu peran yang penting guna mendorong
masyarakat terutama lansia adalah agar lansia dan keluarga
mampu memahami kondisi lansia diabetisi sehingga dapat
melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care).
Untuk menjadikan lansia yang sehat dan sejahtera
membutuhkan dukungan semua pihak. Untuk itu masyarakat harus
mempersiapkan diri hidup berdampingan dengan para lansia.
Namun masyarakat urban memerlukan perhatian khusus,
keterbatasan waktu dan kesempatan bercengkerama memungkinkan
perhatian terhadap lansia berkurang.
Selain situasi juga kondisi yang mendukung, umumnya lansia
memiliki banyak keterbatasan. Terlebih kesehatan yang mulai
turun, kemampuan yang terbatas dan penyakit khas orang-orang
tua. Diabetes melitus (DM) misalnya menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan lansia.
Tujuan penanganan DM pada lanjut usia tidak jauh berbeda
dengan orang dewasa umumnya yaitu untuk mencegah terjadinya
dekompensasi metabolik akut dan menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian akibat komplikasi. Satu hal yang tidak boleh
diabaikan, yaitu walaupun pencapaian kualitas hidup yang lebih
baik merupakan tujuan utama penanganan DM pada lanjut usia,
3
namun pemberiaan obat-obatan secara agresif dan non prosedural
adalah tidak benar.
Berdasarkan banyaknya persentasi tersebut di atas maka
sangat penting untuk dibahas mengenai masalah gangguan system
endokrin pada lansia, khususnya yang sering terjadi yaitu
diabetes mellitus tipe 2. Sehingga ketika profesi di
masyarakat nanti kelompok mampu member informasi kepada lansia
dan keluarga yang menderita diabetes mellitus.
2. TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah adalah :
1. Mengetahui angka kejadian DM tipe 2 di Indonesia
2. Memahami system endokrin dan proses menua system endokrin
3. Memahami penyebab, tanda dan gejala serta dampak DM tipe
2
4. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia yang
terkena DM tipe 2
5. Mampu memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka
kejadian DM tipe 2
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sistem Endokrin
Kelenjar endokrin mencakup kelenjar hipofisis
(pituitari), tiroid, paran tetiroid, adrenal, pulau
langerhans, ovarium dan testis. Semua kelenjar ini meng
ekskresikan produknya langsung ke dalam darah, berbeda dengan
kelenjar eksokrin misalnya kelenjar keringat yang
mensekresikan produknya lewat saluran permukaan epithelia.
Hipotalamus berfungsi sebagai penghubung antara system saraf
dan system endokrin. 5
Gambar 1. Kelenjar endokrin utama pada
manusia
Zat-zat kimia yang disekresikan oleh kelenjar endokrin
disebut hormone. Hormone membantu mengatur fungsi organ agar
bekerja secara terkoordinasi dengan system saraf. System
regulasi ganda ini, dimana kerja cepat system saraf diimbangi
oleh kerja hormone yang lebih lambat, memungkinkan
pengendalian berbagai fungsi tubuh secara cepat dalam bereaksi
tehadap perubahan di dalam dan luar tubuh.
Organ anatomis tertentu adalah tempat dimana kelenjar
endokrin biasa ditemukan. Kelenjar endokrin tersusun dari sel-
sel sekretorik yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil
(asinus). Meskipun tidak terdapat duktus, kelenjar endokrin
memiliki suplai darah yang kaya sehingga zat-zat kimia yang
diproduksinya dapat langsung memasuki aliran darah dengan
cepat.
2. Proses Menua pada sistem endokrin
Hampir semua proses produksi dan pengeluaran hormon
dipengaruhi oleh enzim, dan enzim ini dipengaruhi oleh proses
menua. Berdasarkan klirens hormone yang melambat (ingatlah
bahwa semua proses sintesis, perubahan dari non-aktif menjadi6
aktif, transfor bahan, masuknya hormone lewat reseptor
membrane; semuanya ini membutuhkan enzim yang terganggu pada
usia lanjut) dapat ditemukan kadar hormone naik meskipun tidak
diikuti gejala ataupun tanda klinik.
Sama dengan sel lain, kelenjar endokrin dapat mengalami
kerusakan yang bersifat age related cell loss, fibrosis, infiltrasi
limfosit, dan sebaginya. Perubahan karena usia pada reseptor
hormon, kerusakan permeabilitassel dan sebagainya, dapat
menyebabkan perubahan respon inti sel terhadap kompleks
hormone-reseptor.
Semua jenis penyakit hormonal dapat terjadi pada usia
lanjut namun bentuk disfungsi ini tidak se khas seperti pada
orang muda atau dewasa. Dan justru hal inilah yang harus kita
kenali.
Pada manusia, defisiensi GH(growth hormon) pada proses
menua akan ditandai dengan penurunan sintesis protein,
penurunan lean body mass dan bone mass dan kenaika presentasi lemak
tubuh. Sekresi GH, kadar IGF 1 dan IGFBP 3 menurun dengan
usia. Bagaimana hubungannya secara pasti belum diketahui.
Pemberian GH pada usia lanjut dengan IGF 1 rendah akan
meninggikan kadar IGF 1, retensi nitrogen, lean body mass,
mengurangi lemak tubuh tetapi tidak mempengaruhi densitas
tulang. Untuk waktu sekarang pemberian GH jangka pendek hanya
dianjurkan pada usia lanjutyang menderita penyakit katabolic,
salah makan, kebakaran, cachexia dan sebagainya.
3. Diabetes Melitus Tipe 2
7
Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih
resisten terhadap insulin, yang mengurangi kemampuan lansia
untuk memetabolisme glukosa. Selain itu, pelepasan insulin
dari sel beta pancreas berkurang dan melambat. Hasil dari
kombinasi proses ini adalah hiperglikemia. Pada pasien lansia,
konsentrasi glukosa yang mendadak dapat meningkatkan dan lebih
memperpanjang hiperglikemia.
Diabetes terjadi hampir satu dari lima orang yang berusia 65
tahun atau lebih. Karena gejalanya samar, para peneliti
percaya lebih banyak pasien lansia yang menderita diabetes
mellitus tipe 2 yang tidak terdiagnosis. Selain itu, lebihari
40% individu pada usia ini memiliki beberapa bentuk
intoleransi glukosa.
Diabetes tipe 2 pada lansia disebabkan oleh sekresi insulin
yang tidak normal, resistensi terhadap kerja insulin pada
jaringan target, dan kegagalan glukoneogenesis hepatik.
Penyebab utama hiperglikemia pada lansia adalah peningkatan
resistensi insulin pada jaringan perifer. Meskipun jumlah
reseptor insulin sebenarnya sedikit menurun seiring
pertambahan usia, resistensi dipercaya terjadi setelah insulin
berikatan dengan reseptor tersebut. Selain itu, sel-sel beta
pada pulau Langerhans kurang sensitif terhadap kadar glukosa
yang tinggi, yang memperlambat produksi insulin. Beberapa
lansia juga tidak mampu untuk menghambat produksi glukosa di
hati.
4. Patofisiologi DM tipe 2
8
Pada diabetes tipe II (Diabetes Melitus Tidak Tergantung
Insulin – NIDDM) terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi
insulin pada diabetes mellitus tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus
tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe II, namun masih
terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.
Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes
mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe II
yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik
(HHNK).
9
Diabetes mellitus tipe II paling sering terjadi pada
penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan
obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes
mellitus tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika
gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat
ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi
vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat
tinggi).
Untuk sebagian besar pasien ( 75%), penyakit diabetes
mellitus tipe II yang dideritanya ditemukan secara tidak
sengaja (misalnya pada saat pasien menjalani pemeriksaan
laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak
terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun adalah
bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya kelainan
mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin
sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.
5. Komplikasi dan dampak DM tipe 2
Hipoglikemia adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada
penderita diabetes yang diobati dengan insulin atau obat-
obatan antidabetik oral. Hal ini mungkin disebabkan oleh
pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak
adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan.
Lansia lebih sensitif terhadap kadar glukosa darah yang rendah
dibandingkan individu dewasa yang lebih muda. Gejala
hipoglikemia lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat
10
dan dapat tidak disadari hingga sampai pada kondisi mengancam
jiwa.
Ada dua komplikasi metabolic lain pada diabetes:
ketoasidosis diabetic, yang ditandai dengan hiperglikemia
berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis
diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes tipe 1,
tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang terkena
diabetes tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang
ekstrim. Sindroma nonketonik hiperglikemik hiperosmolar
(HHNS), juga dikenal sebagai koma hiperosmolar yaitu
komplikasi metabolic akut yang paling umum terlihat pada
pasien yang menderita diabetes. Sebagaisuatu kedaruratan
medis, HHNS ditandai dengan hiperglikemia berat (kadar glukosa
di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas ( diatas 280 mOSm/L), dan
dehidrasi berat akibat dieresis osmotic. Tanda dan gejala
mencakup kejang dan hemiparesis (yang sering kali keliru
diagnosis menjadi cedera serebrovaskular) dan kerusakan pada
tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
Individu yang menderita diabetes melitus juga beresiko lebih
besar mengalami berbagai penyakit kronis yang terjadi hampir
pada semua sitem tubuh. Pada populasi lansia, komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler meningkat karena efek penuaan
kardiovaskuler yang sudah ada. Komplikasi kronis yang paling
umum mencakup neuropati perifer dan otonom, penyakit vaskuler
perifer, penyakit kardiovaskuler dan dermopati diabetic.
Neuropati perifer biasanya terjadi di tangan dan kaki serta
dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkina lesi kulit.
Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagagai cara,
11
yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung
yang menyebabkanperasaan mual dan penuh setelah makan), diare
noktural, impotensi dan hipotensi ortostatik.
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insdien
hipertensi 10 kali lipat dari yang ditemukan pada lansia yang
tida menderita diabetes. Hasil ini lebuh meningkatkan resiko
serangan iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri koroner, dan MCI, aterosklerosis serebral,
terjadinya retinopati dan neuropati orogresif, kerusakan
kognitif, serta depresi system saraf pusat.
Hiperglikemia merusak resistensi lansia tehadap infeksi
karena kandungan glukosa epidermis dan urin mendorong
pertumbuhan bakteri. Hal ini menyebabkan lansia rentan
terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.
6. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala dari pasien diabetes mellitus yaitu:
- Penurunan berat badan dan kelelahan (tanda dan gejala
klasik pada pasien lansia)
- Kehilangan selera makan
- Inkotinesia
- Penurunan penglihatan
- Konfusi atau derajat delirium
- Konstipasi atau kembung pada abdomen (akibat
hipotonusitas lambung)
- Retinopati atau pembentukan katarak
- Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki, akibat
kerusakan sirkulasi perifer; kemungkinan kondisi kulit
12
kronis, seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung
sembuh; turgor kulit buruk dan membran mukosa kering
akibat dehidrasi.
- Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflex
dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas
- Hipotensi ortostatik
NB: lansia mungkin tidak mengalami polidipsi (tanda dibetes
pada dewasa muda) karena fungsi mekanisme haus lansia kurang
efektif.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Kadar glukosa serum puasa dan pemeriksaan toleransi
glukosa memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan
tetapi, pada lansia pemeriksaan glukosa serum posprandial
2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih
membantu menegakka diagnosis karena lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal, tetapi
mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan.
Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari ketiga
kriteria berikut ini terpenuhi:
1. Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih
tinggi
2. Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih
tinggi
3. Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per
oral 200 mg/dl atau lebih tinggi.
Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi (hemoglobin A atau
HbA1C), yang menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum
dalam tiga bulan sebelumnya, biasanya dilakukan untuk13
memantau keefektifan terapai antidiabetik. Pemeriksaan
ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah
ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal.
Fruktosamina serum, yang menggambarkan kadar glukosa
serum rata-rata selama 2-3 minggu sebelumnya, merupakan
indikator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan.
8. Penanganan
Pasien yang menderita diabetes tipe 1 membutuhkan
penggantian insulin dan pemantauan kadar glukosa serum dan
diet serta regimen latihan yang ketat. Pasien yang menderita
diabetes tipe 2 dapat memerlukan obat antidiabetik oral untuk
merangsang produksi insulin endogen, meningkatkan sensitifitas
insulin di tingkat seluler, menekan glukoneogenis hepatik, dan
memperlambat absorpsi karbohidrat di GI. Untuk beberapa
pasien, kadar glukosa darah dapat dikontrol dengan diet dan
perubahan gaya hidup saja.
Terdapat berbagai golongan obat untuk diabetes tipe 2 yang
dapat membantu. Obat-obatan ini mencakup generasi kedua
sulfonil urea (seperti: gliburida dan glipizida), inhibitor
alfa glikosida (seperti karbosa dan maglitol), biguanida
(seperti metformin), glitazon (seperti rosiglitazon) dan
meglinitida (repaglinida).
Ahli gizi dapat menyusun diet khusus untuk memenuhi
kebutuhan setiap pasien. Diet tersebut hrus memenuhi panduan
nutrisi, mengontrol kadar glukosa darah, dan mempertahankan
berat badan yang sesuai.
14
Olahraga merupakan sarana yang penting dalam menangani
diabetes tipe 2. Aktifitas fisik meningkatkan sensitifitas
insulin, memperbaiki toleransi glukosa, dan meningkatkan
pengendalian berat badan. Penelitian juga menunjukkan bahwa
olahraga sedang dapat memperlambat atau mencegah awitan
diabetes tipe 2 pada kelompok resiko tinggi. Ketika anda
merencanakan program olahraga untuk lansia, pastikan tingkat
latihan fisik sesuai dengan tingkat kesehatannya. Olehraga
yang dipilih untuk lansia mencakup berjalan, berenang, dan
bersepeda.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA
DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE2
1. Pengkajian
Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya?
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya,
mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum
obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang
dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus
otot menurun.
Sirkulasi
15
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas,
kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang
penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
Integritas Ego
Stress, ansietas
Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ),
diare
Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan
berat badan, haus, penggunaan diuretik.
Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada
otot, parestesia,gangguan penglihatan.
Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya
infeksi / tidak)
Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit
2. MASALAH KEPERAWATAN
A. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
B. Kekurangan volume cairan
C. Gangguan integritas kulit
D. Resiko terjadi injury
16
3. DIAGNOSA
Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia,
mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis
osmotik.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
status metabolik (neuropati perifer).
Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi
penglihatan.
4. PERENCANAAN/ INTERVENSI KEPERAWATAN
Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia,
mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang
tepat
Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang
biasanya
Intervensi :
a. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan
indikasi.
b. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan
bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan
pasien.
17
c. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen /
perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum
sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai
dengan indikasi.
d. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan
(nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien
sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
e. Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini
sesuai dengan indikasi.
f. Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan
tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi
cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
g. Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
h. Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
i. Kolaborasi dengan ahli diet.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis
osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh
tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor
kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat
secara individu dan kadar elektrolit dalam batas
normal.
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD
ortostatik
18
b. Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
c. Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan
otot bantu nafas
d. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit
dan membran mukosa
e. Pantau masukan dan pengeluaran
f. Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit
2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi
jantung
g. Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi
lambung.
h. Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema,
peningkatan BB, nadi tidak teratur
i. Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin
dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan
laboratorium (Ht, BUN, Na, K).
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau
menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan
tidak terinfeksi
Intervensi :
a. Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna,
edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
b. Kaji tanda vital
19
c. Kaji adanya nyeri
d. Lakukan perawatan luka
e. Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
f. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi
penglihatan.
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa
mengalami injury
Intervensi :
a. Hindarkan lantai yang licin
b. Gunakan bed yang rendah
c. Orientasikan klien dengan ruangan
d. Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
e. Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
Perbedaan Spesifik Asuhan Keperawatan pada Lansia di
Komunitas dan di Klinis
Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Untuk penatalaksanaannya perlu memperhatikan 4 pilar utama
yaitu:
1. Penyuluhan
Penyuluhan ditujukan pada penderita DM, keluarga ,
pendamping / orang yang merawat penderita sehari-hari.
Penyuluhan bagi pasien DM tidak hanya dilakukan oleh dokter
yang menghimbau tetapi juga oleh segenap jajaran yang terkait
seperti perawat penyuluh, ahli gizi, pekerjaan sosial.
20
Penyuluhan pada lansia tidak mudah apalagi bagi penderita
yang sudah terdapat gangguan pendengaran, kesukaran bicara,
demensia, aktivitas fisik sudah sangat menurun. Penyuluhan
dapat diberikan kepada individu atau dalam grup-grup kecil
sehingga lebih efektif.
Penyuluhan Pasien
Pasien dengan penyakit diabetes sangat penting untuk
mendapatkan penyuluhan tidak hanya dari perawat namun dari
semua tenaga medis yang berhubungan dengan regimen pengobatan
dan terapi, diantaranya:
Ajarkan pasien mengenai proses penyakit, dan tekankan
pentingnya mengikuti rencana terapi yang sudah
dprogramkan dengan baik. Sesuaikan penyuluhan perawat
dengan kebutuhan dan kemampuan pasien. Diskusikan
mengenai diet, pengobatan (temasuk teknik pemberian),
olah raga, teknik pemantauan, hygiene, dan bagaimana
mencegah, mengenali, serta mengatasi hipoglikemia dan
hiperglikemia.
Motivasi pasien untuk mengikuti semua pertemuan dengan
dokter dan pemeriksaan laboratorium serta mempertahankan
glukosa darah normal. Jelaskan bahwa lansia masih dapat
melakukan aktifitas yang disenangi, termasuk rekreasi.
Jelaskan kepada lansia dan keluarganya, bagaimana cara
pengontrolan gula darah. Beritahu mengenai alat bantu
yang yang dapat membuat kepatuhan lebih mudah seperti
kaca pembesar yang melekat pada spuit dan lapisan serta
pegangan antilicin untuk lansia yang menderita kelemahan
pada tangan.
21
Instruksikan perawatan kaki pasien. Beri tahu untuk
mencuci kakinya setiap hari dengan hati-hati, keringkan
celah diantara jemari kakinya, dan inspeksi apakah ada
kapalan, emerahan, bengkak, memar dan luka lecet pada
kulit. Anjurkan pasien untuk melaporkan apabila ada
perubahan pada kulit
Anjurkan lansia untuk memakai sepatu yang nyaman dan
tidak sempit.
Jelaskan tanda dan gejala neuropati diabetic dan tekankan
mengenai perlunya tindakan kewaspadaan karena penurunan
sensasi dapat menyebabkan cedera.
Motivasi pasien untuk melakukan pemeriksaan mata setiap
tahun untuk deteksi dini neuropati diabetic.
Anjurkan pasien dan keluarga cara memantau diet pasien
ddan menggunakan daftar perubahan makanan. Pastikan
daftar perubahan tersebut berisi makanan yang sesuai
dengan budaya pasien. Tunjukkan pada mereka cara membaca
label di supermarket untuk mengidentifikasi kandungan
lemak, karbohidrat, protein dan gula.
Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan monitor
glukosa di rumah jika diprogramkan. Kemudian minta mereka
mendemonstrasikan kembali prosedur tersebut. Rencanakan
agar perawat kunjungan rumah memeriksa kemampuan pasien
setelah pemulangan.
Anjurkan pasien dan keluarga mengunjungi Yayasan Diabetes
Indonesia untuk mendapatkan tambahan informasi.
2. Perencanaan Makan
22
Perencanaan makan pada lansia dikaitkan dengan tujuan
mencapai berat badan ideal basal metabolismo index antara 22-
25 pada laki-laki dan 18-24 pada wanita termasuk diet bila
komplikasi-komplikasi sudah ada, pemberian serat yang cukup
23-25 gram perhari, pemberian vitamin dan mineral yang cukup.
Makanan terbagi dalam 3 porsi : makan besar pagi 20%, siang
30% dan sore 25% ditambah makan ringan total 10-15%. Komposisi
makanan seimbang yang dianjurkan yaitu karbohidrat 60-70%,
protein 10-15% dan lemak 20-25%. Jumlah kalori tentu
disesuaikan yaitu kebutuhan basal 24-35 kalori / KGB ditambah
aktivitas penderita 10-30 % dari kalori basal.
3. Latihan Jasmani
Manfaat latihan jasmani pada lansia:
Dapat meningkatkan sensitivitas insulin
Memperbaiki kesegaran kardiovascular
Memperkuat otot dan tulang
Mengurangi obesitas
Memperbaiki kadar gula darah
Mengurangi kebutuhan obat
Memperbaiki problem psikososial
4. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Saat ini dikenal obat OHO yaitu:
Golongan sulphoniluria (generasi 1,2,3) misalnya
Daonil,DiamicronAmaryl
23
Golongan biguanid, misalnya glucophage
Golongan alphaglukosidase inhibitor misalnya Glucobay
Thiazolidiones ,pioglitazone (Actos), rosiglitazone
(Avandia)
Glinid repaglinid, misalnya Novonorm
Incretin/penghambat enzim DPP-4, sitagliptin (Januvia),
vidagliptin (Galvus)
Obat insulin efek pendek, efek menengah dan efek panjang dan
insulin campuran saat ini jarang dipakai karena adanya insiden
insulin hipoglikemia yang tinggi pada lansia.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prevalensi diabetes mellitus di dunia semakin
meningkat sehingga dianggap sebagai wabah. Angka
prevalensi yang sangat meningkat ini diperkirakan
terjadi di Negara yang sedang berkembang seperti Cina
dan India termasuk Indonesia.
24
Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi
lebih resisten terhadap insulin, yang mengurangi
kemampuan lansia untuk memetabolisme glukosa. Selain
itu, pelepasan insulin dari sel beta pancreas berkurang
dan melambat. Hasil dari kombinasi proses ini adalah
hiperglikemia. Pada pasien lansia, konsentrasi glukosa
yang mendadak dapat meningkatkan dan lebih
memperpanjang hiperglikemia.
Diabetes terjadi hampir satu dari lima orang yang
berusia 65 tahun atau lebih. Karena gejalanya samar,
para peneliti percaya lebih banyak pasien lansia yang
menderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
terdiagnosis. Selain itu, lebihari 40% individu pada
usia ini memiliki beberapa bentuk intoleransi glukosa.
3.2 Saran
Kelompok berharap setelah mendapatkan pemaparan dan
memahami DM yang terjadi pada lansia, kelompok dan
rekan lainnya mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan
sesuai dengan evidence based yang sudah di tampilkan
dan mampu menerapkan sedini mungkin pencegahan
terjadinya DM pada lansia yang belum menderirta DM atau
mengurangi angka kematian.
25
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahVolume 2. Jakarta: EGC
Darmojo, B & Hadi Martono.(2000). Buku Ajar Geriatri Edisi ke-2.Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Depkes RI, 2006. Penderita Diabetes Indonesia Urutan ke-4 didunia. Diakses dari www. Depkes.go.id. Pada tanggal 20Maret 2010.
Palestin, B. 2007. Pendidikan Kesehatan dalam PengelolaanDiabetes secara Mandiri bagi Diabetesi Dewasa. Diaksesdari : http://bondankomunitas.blogspot.com/. Pada tanggal: 13 April 2010.
Sanusi Harsien, 2004. Tinjauan Medis DM Akibatnya padaKematian, Makassar
Stockslager, J L. (2007). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi2. Jakarta: EGC
Ulfahsyam(2009). Asuhan Keperawat an pada klien dengan Diabetes Mellitus.Diakses dari http://ilmukeperawatan.net/. Pada tanggal 10Maret 2010.
26