MAKALAH PRESENTASI KASUS LANGSUNG
EPILEPSI
Disusun oleh:
Miftahul Jannah (10810300060)
Dosen Pembimbing
dr. Arfan, Sp.S
KEPANITRAAN KLINIK
SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan laporan kasus departemen
neurologi yang berjudul “EPILEPSI” terselesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Arfan Sp.S, selaku pembimbing
penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian laporan kasus ini
serta semua pihak yang membantu dalam proses penulisan presentasi kasus
dipersiapkan ini.
Penulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan salah satu kasus nyeri kepala
primer, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung
penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Jakarta, januari 2012
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIENNo RM : 00031697Nama : Tn. N Usia : 46 TahunJenis Kelamin : Laki-lakiTempat tanggal lahir : Jakarta, 15 april 1965 Pekerjaan : Pegawai swastaPendidikan terakhir : Tamat akademi universitasStatus pernikahan : Belum MenikahSuku : BetawiAlamat : Jl.kebayoran lama Agama : IslamTanggal Kunjungan RS : 25 Januari 2012
II. ANAMNESISTanggal 25 Januari 2012 pasien masuk Poli Saraf & dilakukan anamnesis pukul 12.25 WIB
Keluhan Utama : -
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang kontrol dengan Riwayat kejang.
Tanggal 22 januari 2012, pasien kejang sebanyak 2 kali. Yang pertama
jam 6 sore selama 15 menit dan yang ke dua jam 9 malam selama 20 menit.
Diantara kejang pertama dan kedua tidak ada penurunan kesadaran.
Keadaan sebelum bangkitan merasa saya sudah pernah mengalami ini
(dejavu), saat bangkitan mata pasien mendelik keatas, kelojotan dan berbusa
gigit lidah dan pingsan 3 menit lalu sadar lagi dan tidak lupa.
Penyakit yang menyertai seperti pusing, demam, mual, serta muntah
proyektil disangkal. Pandangan ganda(-), bicara pelo (-), kesemutan (-),
kelemahan tiba-tiba (-), fotofobia (-), fonofobia (-) polifagia(-), polidispi(-),
poliuri (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pertama kali kejang umur 2 tahun dengan keadaan yang sama seperti
sekarang, tapi baru kontrol mulai SMA (1981) dengan obat CPZ 3 kali 200 ,
luminal 3 kali 100 dan asam folat 1 kali sehari. Setiap bulan pasien mengalami
bangkitan 1-2 kali. Terakhir control bulan desember dengan tanpa bangkitan.
Pasien lahir di bidan, spontan, langsung menangis. Diabetes mellitus,
trauma, hipertensi disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga tidak ada yang mengalami hal yang sama. Diabetes mellitus ,
hipertensi didangkal
Riwayat Kebiasaan/ Sosial:
Pasien belum menikah, bekerja sebagai pegawai swasta.
III. PEMERIKSAAN FISIKKeadaan umumKesadaran : Compos Mentis GCS : E4M5V6
Keadaan Umum : Tampak sakit ringanStatus gizi : BaikTanda Vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit,regular,isi cukup Suhu : 36,5o C Pernafasan :19x/menit regular
Keadaan LokalTrauma Stigmata : -
Perdarahan perifer : Capillary refill time < 2 detikPulsasi arteri karotis : cukup, regular –equal kanan kiriKGB : tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)Columna Vertebralis : Lurus ditengah, tidak ada nyeri tekan
Kepala : Rambut hitam tidak mudah dicabut; Jejas (-)nyeri Tekan perikranial (+)
Mata : Conjungtiva anemis (-) / (-) Sklera Ikterik (-) / (-) RCL (+) / (+) RCTL (+) / (+)
Pupil Bulat Isokhor
THTTelinga :Deformitas (-)/ (-): serumen minimalHidung : Pernafasan cuping hidung ( - ): Deformitas (-)Tenggorokan :T1/T1 Tidak hiperemis
Gigi & Mulut : Oral trusth ( - )Leher : Tiroid tidak teraba, JVP 5-2 cmH20
Penggunaan otot pernafasan tambahan m. sternokleidomastoideus (-): pembesaran KGB (- ) nyeri tekan (-)
Paru Inspeksi : gerakan nafas simetris dalam statis & dinamis
Palpasi : Nyeri tekan (-), emphysema subkutis (-) vocal fremitus sama pada lapang paru
dextra et sinistraPerkusi : Sonor pada kedua lapang paruAuskultasi : Suara nafas lapang paru dextra et sinistra
vesikuler; Tidak ada suara nafas tambahan Ronkhi ataupun wheezing pada kedua lapang paru
JantungInspeksi : Ictus Cordis tidak terlihatPalpasi : teraba Ictus ordis pada 2 jari medial MCL ICS
5 sinistra Perkusi : Pinggang jantung ICS III PSL sinistra
: Batas kanan ICS 4 PSL dextra: Batas Kiri 2 jari medial MCL ICS 5
sinistra Auskultasi : BJ I & II regular, Murmur (-), Gallop (-)
AbdomenInspeksi : datar, tidak tampak buncit.Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defanse muscular (-
), hepatoslenomegali (-)Perkusi : Timpani Auskultasi : BU (+) normal
Punggung :deformitas (-), gibus (-)Genitalia Eksterna : tidak diperiksaEkstremitas : perfusi baik, akral hangat +/+,edem pitting
-/-, sianosis -/-,clubbing finger -/-Kelenjar Getah Bening : Tidak ada kelainan
Status NeulologisGCS : E4M5V6
TRM : Kaku kuduk (-) Brudzinski I (- / -): Laseque >70o/>70o : Kernig >135o/>135o Brudzinski II (- / - )
Saraf KranialisN.I - Olfaktori : baik N.II - Optikus
Acies Visus : kesan baik Dextra et Sinistra
Visus Campus : kesan baik Dextra et Sinistra
Lihat warna : kesan baik Dextra et Sinistra
Funduskopi : tidak diperiksa
N. III (oculomotor) ,IV (tokhlearis) dan VI (absusen)
Kedudukan bola mata : Ortophori Dextra et Sinistra
Pergerakan bola mata : Baik ke segala arah
Eksoftalmus : Dextra et Sinistra -/-
Nistagmus : Dextra et Sinistra -/-
Pupil bulat, isokor, Ø 2mm/2mm RCL +/+ RCTL +/+
Akomodasi : Dextra et Sinistra +/+
Konvergensi : Dextra et Sinistra +/+
N. V (trigeminus)
Cab. Motorik
Gerakan Rahang : Dextra et Sinistra baik
Menggigit : Dextra et Sinistra baik
Cab. Sensorik
Opthalmicus : Dextra et Sinistra baik
Maksilaris : Dextra et Sinistra baik
Mandibularis : Dextra et Sinistra baik
Reflek
Corneal reflex : Dextra et Sinistra +/+
Jaw refleks : Dextra et Sinistra -/-
N. VII (fasialis)
Motorik orbitofrontal: baik
Motorik orbikularis: baik
Pengecap lidah : baik
N.VIII (vestobulochoclear)
Vestibular : Dextra et Sinistra baik
Koklear : Dextra et Sinistra baik
N. IX (glosofaringeus), X (vagus)
Motorik : Dextra et Sinistra baik
Sensorik : Dextra et Sinistra baik
N. XI (Aksesorius)
Mengangkat bahu : baik
Menoleh : baik
N. XII (Hipoglosus)
Pergerakkan lidah : baik
Atrofi :-
Fasikulasi : -
Tremor : -
Trofi :EutrofiTonus : NormotonusSistem Motorik : Ekstremitas : Atas 5555 | 5555
: Bawah 5555 | 5555Sistem Sensorik
Propioseptif : Dextra et Sinistra baik Eksteroseptif : Dextra et Sinistra baik
Fungsi OtonomMiksi : Baik Defekasi : BaikSekresi Keringat : Baik
Reflek FisiologisBiseps : +2 |+ 2Triseps : +2 |+ 2Radius : +2 |+ 2Patella : +2 |+ 2Achiles : +2 |+ 2
Reflek PatologiHoffman tromer : - | -
Babinski : - | -Chaddok : - | -Oppenhein : - | -Schafer : - | -Gonda : - | -Rossolimo : - | -Mendel-Bechterew : - | -Klonus Patella : - | -Klonus Achiles : - | -
Gerakan InvolunterTremor : - | -Khorea : - | -Atetose : - | -Mioklonik : - | -Tik : - | -
Fungsi SerebelarAtaksia : - | -Disdiadokinesis : - | -Jari-jari : - | -Jari-hidung : - | -Tumit-lutut : - | -Fenomena Rebound : - | -Hipotoni : - | -
Fungsi LuhurAstereognosia : - | -Apraksia : - | -Afasia : - | -
Keadaan PsikisInteligensia :BaikTanda regresi : -Demensia : -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG (-)Gelombang spike di temporo oksipital
V. RESUMEPasien datang kontrol dengan Riwayat kejang.
Tanggal 22 januari 2012, pasien kejang sebanyak 2 kali. Yang pertama
jam 6 sore selama 15 menit dan yang ke dua jam 9 malam selama 20 menit.
Diantara kejang pertama dan kedua tidak ada penurunan kesadaran. Keadaan
sebelum bangkitan merasa saya sudah pernah mengalami ini (dejavu), saat
bangkitan mata pasien mendelik keatas, kelojotan dan berbusa gigit lidah dan
pingsan 3 menit lalu sadar lagi dan tidak lupa.
Pertama kali kejang umur 2 tahun dengan keadaan yang sama seperti
sekarang, tapi baru kontrol mulai SMA (1981) dengan obat CPZ 3 kali 200 ,
luminal 3 kali 100 dan asam folat 1 kali sehari. Setiap bulan pasien mengalami
bangkitan 1-2 kali. Terakhir control bulan desember dengan tanpa bangkitan.
Pasien lahir di bidan, spontan, langsung menangis. Diabetes mellitus,
trauma, hipertensi disangkal. Tidak ada dari keluarga pasin yang mengeluhkan
hal yang sama.
Pasien belum menikah, bekerja sebagai pegawai swasta. Gelombang spike di temporo oksipital
VI. DIAGNOSIS Diagnosis Klinis : riwayat kejang berulang Diagnosis Etiologis : idiopatikDiagnosis Topis : kortek
VII. TATALAKSANAFarmakologi
• CPZ 3X1 • Luminal 3x1 • Asam folat 1x 1
Non-Farmakologi• Hindari pemicu bangkitan • Minum obat teratur
VIII. PROGNOSISQuo Ad Vitam : BonamQuo Ad Functionam : BonamQuo Ad Sanationam : dubia ad Bonam
BAB I
Pendahuluan
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau
penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum
terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi
medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun
keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi
masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. 2
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama dengan
permasalahan yang komplek. Epilepsi memiliki beban sakit yang
signifikan,terutama dinegara-negara berkembang dimana menunjukkan bahwa
tingkat cedera dan kematian lebih tinggi pada penyandang epilepsy dibanding
populasi normal. Epilepsi juga dihubungjan dengan konsekuensi psikososial yang
lebih berat bagi para panyandangnya.Stigma sosial yang melekat pada epilepsi
juga menghambat panyandangnya untuk terlibat dalam kegiatan olahraga ,
pekerjaan, pendidikan dan pernikahan.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. 3 Oleh
karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi
epilepsi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5
Sedangkan status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit
atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua
serangan kejang.5
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus). 9
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang
muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik
jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.
Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak.1 Insiden epilepsi di negara
maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang
mencapai100/100,000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per
tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20%
lainnya ditemukan pada usia lanjut.2,3
Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik
abnormal sebagai pencetus serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron
kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah
ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran
ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter.
Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya
ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang
berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta
mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11
1) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil
2) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
kelainan neurodegeneratif.
3) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League
Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik, tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. Absens
B. Mioklonik
C. Tonik
D. Atonik
E. Klonik
F. Tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.13
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
2.6 GEJALA
Kejang parsial simplek, seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan
mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks, serangan yang mengenai bagian otak
yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar
sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal), merupakan tipe kejang yang paling
sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau
kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik
atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan
perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan
kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang,
berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada
saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat
pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah
serangan semacam ini.14
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
a) Pola / bentuk serangan
b) Lama serangan
c) Gejala sebelum, selama dan paska serangan
d) Frekueensi serangan
e) Faktor pencetus
f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g) Usia saat serangan terjadinya pertama
h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.7.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
2.7.3 Pemeriksaan penunjang
a) Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold
standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung
oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama
di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b) Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal
ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan
untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan
tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus
kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
VIII. TERAPI
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:
OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat
minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+,
Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.
Epilepsi yang merupakan penyakit saraf kronik kejang masih tetap
merupakan problem medik dan sosial. Masalah medic yang disebabkan oleh
gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan fisik dan mental
dalam hal gangguan kognitif.
Dilain pihak obat-obat antiepilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan
kognitif. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah
penting mengingat efek obat yang bertujua untuk menginhibisi bangkitan listrik
tapi juga bisa berefek pada gangguan memori. Levetirasetam salah satu obat
antiepilepsi mempunyai keistimewaan dalam hal ikatan dengan protein SVA2 di
presinaptik. Selain itu sampai sekarang ini belum ditemukan efek gangguan
kognitif dan dapat digunakan pada penderita epilepsy yang mengidap penyakit
termasuk ansietas dan depresi.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok
inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai
sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium),
klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin
(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital
(Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat
(Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996).10
Protokol penanggulangan terhadap status epilepsy dimulai dari terapi
benzodiazepine yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin
bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok
loncatan listrik.11
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai
efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang.12-14 Melihat banyaknya efek samping dari
obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu
mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap
jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel.6
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut.15,16 Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).17 Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.18
Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan
pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti
pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak
berinteraksi dengan obat CNS lainnya.19-21 Salah satu andalan dari levetirasetam
yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan
levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan
bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang
mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein
SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.22
Sedangkan jika pasien sedang mengalami serangan sikap kita adalah
jangan panik , Biarkan serangan berlalu karena serangan akan berhenti dengan
sendirinya , amankan penderita dari lingkungan yang membahayakan penderita,
longgarkan pakaian yang ketat, posisi kepala dimiringkan (bila kejang sudah
berhenti), serta bila serangan berkepanjangan: kirim ke RS
Nama obat Dosis/kgBB ESO
Fenobarbital 2-5 mg/kgBB/Hari Mengantuk
Difenilhidantoin [DFH]
(Phenitoin,Dilantin)
4-10mg/kgBB 1-2dd Sedasi, nistagmus,
ataksia
Karbamazepin (Tegretol,
temporol)
400-1600mg/kgBB /hari Efek psikotropik
Diazepam
(valium,stesolid)-status
epilepsi
Penghentian pemberian OAE
Pada OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas
serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai
dari satu OAE yang bukan utama
VIII. ASPEK SOSIAL
Cenderung dikucilkan dari lingkungan, cenderung ditolak untuk sekolah
Sulit mencari pekerjaan, merupakan aib bagi keluarga, menurunkan rasa percaya
diri sertalebih mudah mengalami cedera
Mengenai kesempatan bekerja pada dasarnya tidak ada larangan untuk
bekerja bagi penderita epilepsi hanya pekerjaan disesuaikan dengan jenis
serangan dan penderita harus paham tentang penyakit yang dideritanya. Satu lagi
yaitu dukungan positip dari keluarga dan lingkungan kerja
Menikah adalah hak azasi manusia, perhatian lebih khusus pada penderita
perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui), Suami-isteri harus selaras,
keputusan pahit adalah menunda kehamilan
Mengenai mengemudi ada prasyarat yang harus dipenuhi penderita. Yaitu
sifatnya sangat terbatas. Lebih aman apabila penderita tidak mengemudi
kendaraan (bermotor). Penderita harus memahami kondisinya sendiri secara jujur
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.
In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press. 2005. p119-127.
2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
3. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical
development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
4. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing
Ltd. 2005
5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
6. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
7. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
8. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
9. Jan Sudir Purba Epilepsi :permasalahan di reseptor atau neotransmiter.Departemen Neurologi/RSCM, FK UI Jakarta
10. Gilman,Godman. Dasar farmakologi terapi. edisi 10 jilid 1. EGC : Jakarta . 2008
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh
cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau
juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel
secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan
ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa
juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak.
Disisi lain epilepsi juga akan bisa
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa
menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.1 Dari sudut
pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan
sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau
AMPA di post-sinaptik.6 Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai patologi
terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi
terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi.7 Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan
epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal
natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis
yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari
resepot nikotinik subunit alfa 4.9 Berbicara mengenai kanal ion
maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion
yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik
yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi
kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada
penderita epilepsi.
Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter
tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter
seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai
inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai
sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi,
asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.6
Top Related