STATUS PASIEN
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Kawin
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat :
Tanggal masuk : 11 September 2013
II. ANAMNESA
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke RSUD 45 Kuningan tanggal 11 September 2013 dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah. Nyeri perut dirasakan os sejak 4 hari yang lalu.
Nyeri dirasakan os terus menerus dan kadang menjalar ke pinggang kanan. Os
mengaku tidak ada perubahan posisi yang dapat meringankan dan memperberat
nyeri yang dirasakan os.
Os mengaku seminggu yang lalu merasakan nyeri di ulu hati dan
berpindah ke perut kanan bawah. Tetapi nyeri tersebut hilang timbul, os
merasakan nyeri lagi setelah 4 hari belakangan ini dan nyerinya terus menerus. Os
juga merasakan demam 4 hari ini. Mual dan muntah disangkal oleh os sekalipun
nafsu makan os menurun.
BAK lancar, berwarna kuning, tidak disertai nyeri dan tidak berpasir. BAB
lancar, tidak mencret, tidak berlendir, dan tidak ada darah yang keluar.
Os memiliki riwayat sakit seperti ini sejak sebulan lalu, nyeri berpindah
dari ulu hati ke perut kanan bawah. Nyeri sekarang merupakn nyeri ke dua kalinya
dan tidak hilang selama 4 hari maka os berobat ke IGD RSUD 45 Kuningan.
Os pernah berobat ke dokter, nyeri menghilang tetapi kambuh lagi. Os
tidak tahu nama obatnya apa.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan seperti Os
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Dalam sebulan ini os mengalami serangan yang sama selama 2 kali.
Riwayat Pemakaian Obat
Os pernah berobat ke dokter, nyeri menghilang tetapi kambuh lagi. Os
tidak tahu nama obatnya apa.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kesadaran umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
A. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
HR : 60 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37,4 ‘C
B. Pemeriksaan Fisik Umum
a. Kepala-leher
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
edema palpebra -/-
Leher : Pembesaran KGB (-), TVJ = R-2 H2o
b. Thorax
Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak tampak jejas (-)
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, iktus kordis teraba (+)
ICS V midclavicula sinistra
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, suara tambahan (-)
c. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), darm contour (-), steifung (-), hiperemis (-),
jejas (-), tampak benjolan (-)
Auskultasi : BU (+) N
Palpasi : Defans muskular (-), nyeri tekan McBurney (+), nyeri
lepas (+), hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak teraba
d. Ekstremitas
Atas : deformitas -/-, edema -/-, akral hangat
Bawah : deformitas -/-, edema -/-, akral hangat
Status Lokalis
Abdomen- Regio inguinalis dextra
Inspeksi : Benjolan ki (-)
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan Mc. Burey (+), soepel, defence muscular (-),
massa teraba (-). Nyeri lepas (+),
Perkusi : Timpani, nyeri ketok tegio inguinalis dextra (+)
Pemeriksaan tambahan :
Rovsing sign ( + )
Blumberg sign ( )
Psoas sign (-)
Obturator (+)
III. USULAN PEMERIKSAAN
- Laboratorium darah lengkap (Hb, leukosit, LED, trombosit, glukosa sewaktu,
ureum, kreatinin)
- USG
Hasil pemeriksaan darah rutin
Hb : 15,1
Leukosit : 4200
LED : 12
Trombosit : 204000
Glukosa sewaktu : 78
Ureum : 27
Kreatinin : 0,65
IV. DIAGNOSA BANDING
Appendisitis kronik eksaserbasi akut
Diverticulitis
Nefrolitiasis
V. DIAGNOSA KERJA
Appendisitis kronis eksaserbasi akut
VI. PENATALAKSANAAN
Appendektomi
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan
memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius.
Apendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari kemampuan
dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. (1)
Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan
tertinggi diantara kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat.
Walaupun demikian, diagnosa serta keputusan bedah masih cukup sulit di
tegakkan. Pada beberapa keadaan Apendisitis akut agak sulit didiagnosis,
misalnya pada fase awal dari gejala Apendisitis akut dan tandanya masih sangat
samar apalagi bila sudah diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang
cermat dan teliti resiko kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita
kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat
wanita sering timbul gangguan organ lain dengan gejala yang serupa dengan
Apendisitis akut. (1)
Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan
laboratoium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis
Apendisitis akut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut untuk
memudahkan dokter dalam mendiagnosa dan mengambil keputusan. (1,2)
PEMBAHASAN
Anatomi Apperndiks
Gambar 1. Anatomi appendiks
Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan
tanpa fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum
dengan panjang yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan
diameter sekitar 0,5- 0,8 cm. Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut
yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu
ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian
ujung dari protuberans caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya
apendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial ekat Plica ileocaecalis. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Hampir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh
peritoneum dan mesoapendiks (mesenter dari appendiks) yang merupakan lipatan
peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang appendiks dan berakhir di ujung
appendiks.(1)
Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan
caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks.
Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal maupun
retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu
juga terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah
pelvic minor), subcaecal ( dibawah caecum) 2,26% retroileal (dibelakang usus
halus) 0,4%, retrokolika, dan pre-ileal. (1)
Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di
sepanjang masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang
merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri apendikular
yang memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri
asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan
ke vena mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.
Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus
yang mengikuti a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n. Thorakalis X.(1) 5
Definisi Apendisitis (4)
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau
yang di kenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus
medical emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling
sering ditemui. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi
membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba
histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis. Penelitian Collin
(1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor
obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%,
fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.
Epidemiologi Apendisitis (5)
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada
lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus appendiks neonatal
dan prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak
50% meninggal akibat apendisitis.
Etiologi Apendisitis (4) (6)
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan
oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :
Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui
pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya : 40% pada kasus
apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut gangrenosa
tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.
Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan
E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi
mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai
spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :
Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman
flora kolon biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut.
Penggunaan laksatif yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek
merubah suasan flora usus dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang
merupakan permulaan dari proses inflamasi. Pemberian laksatif pada
penderita apendisitis akan merangsang peristaltik dan merupakan
predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.
Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan
letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.
Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai
resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun
saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola
makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang,
yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah
serat, memiliki resiko appendisitis yang lebih tinggi.
Klasifikasi/tipe appendisitis (6) (7)
Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda
berhubungan dengan apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan
prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut :
Appendisitis akut
Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,
dan demam ringan. Pada appendisitis cataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Apada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.
Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.
Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang
persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Secara histologi, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
Patofisiologi Apendisitis (4) (6)
Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian
diikuti oleh infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu
hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking,
perlengketan.
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang
tertimbun dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan
ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada
mukosa, stadium ini disebut Appendisitis Akut Ringan. Tekanan yang meninggi,
edema dan disertai inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga
menyebabkan trombosis yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen
appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen
appendiks cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan
membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini
disebut Appendisitis Akut Purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah
arteri juga terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai
vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut
Appendisitis Gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena
tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi,
mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini
disebut Appendisitis Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum
dan abses sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti
tersebut di atas, karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan
cara “Walling Off” oleh omentum, lengkung usus halus, caecum, colon, dan
peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon yang melekat erat.
Keadaan ini disebut Appendisitis Infiltrate.
Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang
membengkak dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan
sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa
sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau
kondisi penderita yang kurang baik, sehingga appendikular infiltrate dibagi
menjadi dua :
a. Appendikuler infiltrate mobile
b. Appendikuler infiltrate fixed
Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga
akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna
akan terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan
keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses
setelah 2-3 hari.
Patofisiologi Appendisitis
Manifestasi Klinis Apendisitis (7)
Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena
tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium atau sekitar umbilicus karena appendix dan usus halus mempunyai
persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan
menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Apabila terjadi inflamasi
(>6 jam) akan terjadi nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi
rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam,
terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung
oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul
pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan
mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m. psoas mayor yang
menegang dari dorsal.
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala
dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.
Mual-muntah biasanya pada fase awal
Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus. Timbul
beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.
Nafsu makan menurun (anoreksia)
Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal in
tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan.
Obstipasi dan diare pada anak-anak.
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri
dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada letak
appendix pelvikal yang merangsang daerah rektum.
Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi bila
suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Diagnosis Apendisitis (8)
Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :
Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
Muntah oleh karena nyeri visceral
Demam
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis
lokal yaitu:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc
Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.
Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks
letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri
pinggang.
Perkusi
Nyeri ketuk (+)
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Pemeriksaan khusus/tanda khusus
Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan
peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic pain)
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada
kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut
kanan bawah.
Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, psoas sign
(+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi ringan
( 10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear
(PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini
biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis
tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/ mm3 meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.
Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis
adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap
infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat
pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya,
pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifitasnya
hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe
dari infeksi bakteri.
Foto polos abdomen
Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan
dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram
mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut dapat
terlihat abnormal “gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan
fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid
level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan
bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos
umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi
usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah
sesuatu yang rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri
abdomen yang akut.
USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis
appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif,
tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil
karena tidak mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks
diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi
untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya noncompressible appendiks
sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith,
interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa
periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan pericecal
loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan struktur dinding appendiks)
atau abses, lemak pericecal menonjol, dan kehilangan keliling dari layer
submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada
pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel, divertikulitis
cecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul, dan endometriosis.
Sedangkan false (-) didapatkan pada appendiks.
Scoring Appendisitis
Skor Alvarado (9)
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap
jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu :
radang akut dan bukan radang akut.
Keterangan Alvarado score :
Interpretasi dari Modified Alvarado Score :
1 – 4 sangat mungkin bukan appendisitis akut
5 – 7 sangat mungkin appendisitis akut
8 – 10 pasti appendisitis akut
Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1 – 4 : observasi
5 – 7 : antibiotik
8 – 10 : operasi dini
Komplikasi Appendisitis
Apendikular infiltrat : infiltrat atau massa yang terbentuk akibat mikro
atau makro perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar.
Apendikular abses : abses yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum,
usus halus atau usus besar.
Perforasi : gejalanya ialah nyeri berat dan demam >38,3 0C
Peritonitis : peritonitis lokal dihasilkan dari perforasi gangren appendiks,
yang kemudian dapat menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Gejalanya
ialah : peningkatan kekakuan oto abdomen, distensi abdominal dan demam
tinggi.
Ileus
Penatalaksanaan Apendisitis
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendiktomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis
akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito.
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :
o Puasakan
o Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
o Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.
o Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomi.
Terapi Non-Operatif
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna
untuk appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi.
Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post operasi.
Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan
anaerob.
Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
Indikasi Appendiktomi :
Appendisitis akut
Appendisitis kronik
Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
Apendisitis perforata
Prognosis Appendisitis
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika
pecah pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau
aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan
dengan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi
dan usia tua.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. http://medchrome.com/basic-science/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in Juni,23,2013.
2. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England : Oxford;2011. H 36.
3. urDocter. Anatomy and physiology of Appendix. Http://healthycase.com/articles/surgery/19-anatomy-and-physiology-of-appendix. Accessed in Juni,23,2013.
4. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47 in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400
5. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the United States. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in Juni,23,2013.
6. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills.
7. Annonymmous. Appendicits Type. http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-types.htm. Accessed in Juni,23,2013.
8. Old JL. Imaging for Suspected Appendicitis. Available at : http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15. Accessed in Juni,23,2013.
9. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in women. Available at : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580. Accessed in Juni,23,2013.
10. Dudley H.A.F. apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi 11. Gajah Mada Unv Press. 1992. Hal 441-452
11. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed in Juni,23,2013.
Top Related