pharingotonsilitis kronik eksaserbasi akut dengan rinitis alergi

download pharingotonsilitis kronik eksaserbasi akut dengan rinitis alergi

of 22

description

kk

Transcript of pharingotonsilitis kronik eksaserbasi akut dengan rinitis alergi

BAB I: PENDAHULUANFaringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai dinding posterior yang disertai inflamasi tonsil.1,2Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%).3

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA1. ANATOMIa. FARINGUntuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.4NasofaringNasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius. Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting: Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah. Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller. Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole. Koana posterior rongga hidung. Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus. Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri faringeal asenden. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan bagian lateral atap nasofaring. Ostium dari sinus-sinus sphenoid.4 Batas-batas nasofaring: Superior: basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior: bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior: koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os vomer Posterior: vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa bagian atas Lateral: mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller.4

OrofaringMerupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini.4LaringofaringDaerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring.4

Gambar 1. Faring

2. TONSILTonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.4

Gambar 2. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs).4

Tonsila PalatinaTonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.4

Gambar 3. Tonsil Palatina

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :1. Anterior : arcus palatoglossus2. Posterior : arcus palatopharyngeus3. Superior : palatum mole4. Inferior : 1/3 posterior lidah5. Medial : ruang orofaring6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.4

Gambar 4. Anatomi normal Tonsil PalatinaInfeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.4

3. TONSILITIS KRONISa. DefinisiTonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan.3 b. EtiologiEtiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Pada pendera tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela.3,4Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. Coli.3c. Faktor PredisposisiBeberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu rangsangan kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah), alergi (iritasi kronis dari allergen), keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1

d. PatogenesisAdanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.3Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil.1,3e. Manifestasi KlinisPada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.1f. Pemeriksaan Fisik1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju,3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil,

Gambar 5. TonsilitisTanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan.3Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :T0 : Tonsil masuk di dalam fossaT1: 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring.3

g. Pemeriksaan penunjang Mikrobiologi Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.3h. Penatalaksanaan1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis).2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.3Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan, serta kecenderungan neoplasma. The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi adalah sebagai berikut :1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat, 2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial, 3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale, 4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan, 5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan, 6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus hemolitikus, 7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan, 8. Otitis media efusi / otitis media supuratif.1

3. Faringitis kronika. Etiologi Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan lainnya. Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada keadaan terjadinya obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau pada keadaan yang bersamaan dengan sinusitis kronikb. GejalaGejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya viscous mucus.Beberapa pasien juga mengeluhkan batuk kering dan sensasi adanya benda asing di faring(7).

Gambar 5. Faringitis Kronikc. DiagnosisPada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat adanya hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring (hipertrofi). Mukosa faring juga bisa tampak halus, dan mengkilat pada beberapa kasus (atrofi).5Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan nafas di hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain seperti deviasi septum atau hiperplasi konka.5

d. PenatalaksanaanPada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan melakukan kaustik faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simtomatis diberikan obat kumur atau tablet hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.1

BAB III: LAPORAN KASUSI. IDENTITAS PASIENNama: Ny. Lusiana LUsia: 24 tahunJenis kelamin: Laki-lakiAgama: IslamStatus perkahwinan: MenikahSuku bangsa: JawaPekerjaan: Ibu rumah tanggaPendidikan: -Alamat: Gudang bandung,Jakarta baratII. ANAMNESADiambil secara: auto anamnesa dari pasien pada 24 Juli 2014 jam 10.00 pagi di Poli THT BPJS RS Tarakan.Keluhan utama: sakit tenggorokan sejak 1 minggu yang laluKeluhan tambahan: batuk berdahak warna putih, demam sejak sakit tenggorokan dan sulit untuk menelan makanan dan mengorok saat tidur.riwayat penyakit sekarang: os datang ke poli THT RS Tarakan dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu. Sakit tenggorokan disertai dengan batuk berdahak berwarna putih, sulit untuk menelan dan agak sulit untuk bernapas. Os diberitahu suami yang dia sering mengorok saat lagi tidur. OS mengaku keadaan seperti ini sering kambuh dan sudah dialami OS sejak usia 4 tahun dan tidak pernah sembuh. Keluhan ini sering kambuh jika pasien makan makanan yang dingin ataupun makanan yang berminyak. Os juga mengaku sering mengalami demam dengan disertai dendritus (warna putih seperti nasi) yang melekat di dinding tonsil.Selaian itu,OS juga mengaku dia sering pilek terutama pada waktu pagi yang dipicu dengan cuaca dingin. Mata os akan berasa gatal dengan secret yang keluar daripada hidung berwarna jernih. Os juga mengaku hidung sering tersumbat di kedua sisi atau sebelah sisi.Riwayat penyakit dahuluTidak ada kerana keluhan pasien ini yang sering kambuh.Riwayat penyakit keluargaDi dalam keluarga pasien, ibu pasien mempunyai rhinitis alergi. Riwayat penyakit paru, hipertensi dan diabetes mellitus disangkal pasien.PEMERIKSAAN FISIKStatus presensKeadaan umum: tampak sakit sedangKesedaran: compos mentisStatus gizi: cukupNadi: 84x/ menitTekanan darah: 110/70 mmHgSuhu: 36,5o CFrekuensi pernafasan: 22x/ menitKepala dan leherKepala: normosefaliWajah: simetrisLeher anterior: KGB tidak teraba membesarLeher posterior: KGB tidak teraba membesarLain-lain: pembesaran kelenjar tiroid (-)TELINGAKANANKIRI

Bentuk daun telingaNormalNormal

Kelaianan congenitalTidak adaTidak ada

Radang, tumorTidak adaTidak ada

Nyeri tekan tragusTidak adaTidak ada

Penarikan daun telingaTidak adaTidak ada

Kelainan pre, infra, retroaurikulerAbses (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-), benjolan (-)Abses (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-), benjolan (-)

Region mastoidAbses (-), nyeri tekan (-)Abses (-), nyeri tekan (-)

Liang telingaLapang, furunkel (-), jaringan granulasi (-), serumen (-), secret (-)Lapang, furunkel (-), jaringan granulasi (-), serumen (-), secret (-)

Membrane timpaniRetraksi (-), bulging (-), hiperemi (-), edema (-), cone of light (+)

Retraksi (-), bulging (-), hiperemi (-), edema (-), cone of light (+)

TES PENALAKANANKIRI

RINNEPositifPositif

WEBERSama dirasakan kanan dan kiriSama dirasakan kanan dan kiri

SWABACHSama dengan pemeriksaSama dengan pemeriksa

HIDUNG

Pemeriksaan HidungHidung kananHidung kiri

Hidung luarBentuk (normal), hiperemi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)Bentuk (normal), hiperemi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anterior

Vestibulum nasiNormal, ulkus (-)Normal, ulkus (-)

Cavum nasiBentuk (normal), mukosa pucat (-), hiperemia (-) Bentuk (normal), mukosa pucat (-), hiperemia (-)

Meatus nasi mediaMukosa normal, sekret (+), massa berwara putih mengkilat (-). Mukosa normal, sekret (+) berwarna bening, massa berwara putih mengkilat (-).

Konka nasi inferiorEdema (+), warna livid,mukosa hiperemi (-)Edema (+), warna livid,mukosa hiperemi (-)

Septum nasiDeviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-)Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-)

RHINOPHARYNXKoana: tidak dilakukanSeptum nasi posterior: tidak dilakukanMuara tuba eustachius: tidak dilakukanTuba eustachius: tidak dilakukanTorus tubarius : tidak dilakukanPost nasal drip: tidak dilakukanPEMERIKSAAN TRANSILUMINASISinus frontalis kanan:Sinus frontalis kiriSinus maksilaris kananSinus maksilaris kiri:TENGGOROKFARINGDinding faring:hiperemis (+), granul (-), post nasal drip (-)Arcus : hiperemis (+)Tonsil: T3-T3 , hiperemis (+), kripta melebar(+) kanan dan kiri, dendrites (+) kanan dan kiriUvula: berada di garis tengah, hiperemis (-), udem (-)Gigi: gigi bolong di geraham bawah kananLARING:Epiglotis: tidak dilakukanPlica aryepiglotis: tidak dilakukanArytenoids: tidak dilakukanVentricular band: tidak dilakukanPita suara: tidak dilakukanRima glotidis: tidak dilakukanCincin trakea: tidak dilakukanSinus piriformis: tidak dilakukanKalenjar limfe submandibula dan cervical: tidak membesarRESUMEDari anamnesa, didapatkan keluhan seperti nyeri tenggorakan, batuk dengan dahak berwarna putih, sulit menelan (disfagia) dan sulit bernafas (apneu) jika amandel membesar. Amandel sering membesar dengan disertai demam dan warna putih (dendrite) di celah kripta tonsil. Pasien mengaku dia sering mengorok saat tidur. Selain dari amandel yang membesar, pasien sering pilek terutama pada waktu pagi dan suhu dingin. Hidung berasa gatal dan mudah tersumbat.Dari pemeriksaan didapatkan:Hidung:Konka inferior berwarna livid (ungu), edema (+) dengan secret encer di konka inferior dan meatus inferior kanan dan kiri.Tenggorok:Didapatkan dinding posterior faring hiperemis, tonsil membesar T3-T3. Tidak ada post nasal drip. Arcus faring terlihat hiperemis.Didapatkan juga gigi berlubang di geraham kanan bawah.WORKING DIAGNOSISPharyngo tonsillitis kronis eksakerbasi akut dengan rhinitis alergi.DIAGNOSA BANDINGTumor tonsilAbses peritonsilarPEMERIKSAAN PENUNJANGKultur swab tenggorokanPROGNOSISDubia ad bonamPENATALAKSANAANMedika-mentosa1. AntihistaminAntihistamin oral merupakan senyawa kimia yang dapat melawan kerja histamine dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor histamine. Generasi antihistamin H1 antara lain adalah loratadin, terfenadin dan astemizol.2. DekongestanDekongestan merupakan agen simpatomatik yang bertindak pada reseptor dalam mukosa nasal yang menyebabkan pembuluh darah mengecil. Selain itu juga dapat mengurangi pembengkakan mukosa hidung dan melegakan pernafasan. Dekongestan apabila dikombinasi dengan antihistamin sangat efektif melegakan tanda-tanda rhinitis terutama bila hidung tersumbat. Obat dekongestan yang biasa digunakan antara lain pseudoefedrin dan efedrin. Obat dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan antihistamin H1 lokal atau peroral. Contohnya obat Rhinofed.3. AntibioticYang dapat digunakan adalah cefadroxil yaitu antibiotic golongan sefalosporin generasi 1. Cefadroxil kapsul 500mg 3x1 selama 5 hari.4. Antiseptic kumurDapat diberikan betadine kumur 100ml untuk antiseptic rongga mulut untuk membersihkan rongga mulut dari kuman5. MukolitikDiberikan ambroxol 3x30 mg. ambroxol adalah sejenis mukolitik yang dapat mengencerkan mucus yang pekat.

Non medika-mentosaTonsilektomiDianjurkan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995:1 Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan pertumbuhan orofasial. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan gangguan berbicara, dan cor pulmonale. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan. Napas yang berbau Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus B hemoliticus. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan Otitis media efusa/ otitis media supuratif.Kontraindikasi untuk tonsilektomi bila ada beberapa criteria dibawah, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan resiko. Criteria tersebut adalah:1 Infeksi saluran napas atas yang berulang Infeksi kronis atau sistemis Demam yang tidak tahu asalnya Pembesaran tonsil dengan tanpa gejala obstruktif Rhinitis alergi Asma Tonus otot lemah Sinusitis

BAB III:PEMBAHASAN

Keluhan nyeri tenggorokan serta nyeri saat menelan menunjukkan adanya kelainan atau proses peradangan didaerah sekitar tenggorokan (nasofaring, orofaring, atau laringofaring). Pada pasien ini setelah dilakukan pemeriksaan pada tenggorokan didapatkan pembesaran tonsil yaitu T3-T3, kemudian tampak tonsil hiperemi, kripta melebar dan terisi detritus, arkus anterior dan posterior hiperemi, selain itu tampak bagian dinding posterior faring serta palatum durum mengalami hiperemis. Hal ini mengarahkan diagnosa pada tonsilofaringitis karena didapatkan kelainan pada bagian tonsil dan faring pasien. Keluhan lain yang ditemukan pada pasien yaitu adanya rasa mengganjal ditenggorokannya, kemungkinan hal ini terjadi karena obstruksi yang disebabkan oleh pembesaran tonsil akibat peradangan berulang. Pasien ini juga mengaku dia sering mengorok saat lagi tidur yang turut menggambarkan adanya gejala obstruksi dari tonsil yang membesar.Melihat dari riwayat pasien yang pernah mengalami keluhan serupa sejak dulu (umur 4 tahun), dan ukuran tonsil yang mencapai T3-T3 dengan pelebaran kripta serta adanya detritus menunjukkan bahwa peradangan ini sering berulang sehingga menjadi kronik dan kini mengalami serangan akut.Pasien juga mengeluhkan adanya bersin dan pilek berulang, serta rasa gatal dan panas diarea hidung dan mata yang dialami pasien setiap terpapar debu, dingin, serta setiap pagi dan malam hari. Dilihat dari gejala yang dikeluhakan pasien diagnosa yang mungkin pada pasien ini ialah rinitis alergi, karena didapatkan gejala-gejala seseorang yang mengalami alergi setelah mengalami paparan dengan alergen tertentu. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan konka inferior kanan dan kiri yang berwarna livid dan udem menunjukkan adanya proses alergi pada hidung pasien.Terapi yang diberikan pada pasien ini ialah antibiotik cefadroxil selama 10-14 hari yang merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama, hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada tonsilitis kronis yang biasanya terjadi karena terapi yang tidak adekuat, sehingga cefadroksil dipilih karena memiliki aktivitas kerja terhadap beberapa bakteri penyebab tonsilofaringitis selain itu efektif terhadap bakteri penghasil penisilinase. Pasien juga diberikan obat mukolitik untuk membantu pengeluaran dahak. Untuk rinitis alergi, diberikan terapi berupa cetrizin yaitu obat AH-1 generasi 2 yang tidak menyebabkan kantuk pada pasien yang merupakan pelajar sehingga tidak mengganggu waktu bekerja pasien. Pasien juga direncanakan untuk terapi pembedahan yaitu tonsilektomi karena sering mengalami serangan akut yang berulang, selain itu pada pasien juga didapatkan rinitis alergi yang sering menyebabkan adanya sumbatan jalan napas sehingga dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya eksaserbasi dari faringitis kronis. Namun, rhinitis alergi pasien harus diobati sebelum dilakukan tonsilektomi.

DAFTAR PUSTAKA1. Rusmarjono, Efiaty A. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid. Buku Ajar Telinga, Hidung dan Tenggorok. Edisi 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-255.2. Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok. RSUD Saras Husada, Purworejo. Available at : http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penatalaksanaan+Faringitis+Kronik (Accessed : August 1th 2014).3. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : August 1th 2014).4. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271

5. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic Otorhinolaryngology. New York. Thieme, 2006: p. 119

21 | FK UKRIDA Departmen THT tarakan