Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

25
TINJAUAN PUSTAKA RINITIS ALERGIKA Tinjauan Pustaka Penyakit Terbanyak di Puskesmas Setia Budi DISUSUN OLEH : HASMAWATI 2005730028 FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Transcript of Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

Page 1: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

TINJAUAN PUSTAKA

RINITIS ALERGIKA

Tinjauan Pustaka Penyakit Terbanyak di Puskesmas Setia Budi

DISUSUN OLEH :

HASMAWATI

2005730028

FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2009

KATA PENGANTAR

Page 2: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena

berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan

tinjauan pustaka yang berjudul Rinitis alergika Rinitis alergika merupakan salah

satu penyakit yang termasuk dalam lingkup data penyakit saluran napas bagian

atas atas lainnya pada pencatatan diagnosis sesuai ICD 9. Penyakit lain pada

saluran napas bagian atas menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan

Setiabudi tahun 2006.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dokter pembimbing

baik dari fakultas maupun dari puskesmas kecamatan Setia Budi dan rekan-rekan

yang telah membantu penulis dalam pembuatan tinjauan pustaka ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tinjauan pustaka ini masih

banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun

sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan tinjauan pustaka

selanjutnya.

Jakarta, 2009

Penulis,

i

Page 3: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………. i

DAFTAR ISI …………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………… 1

1.2 Tujuan ……………………………………………………. 1

BAB II TEORI

2.1 Definisi …………………………………………………… 2

2.2 Etiologi …………………………………………………… 2

2.3 Patogenesis ………………………………………………... 2

2.4 Faktor Resiko ……………………………………………… 6

2.5 Kriteria Diagnosa …………………………………………. 6

2.6 Penatalaksanaan …………………………………………… 8

2.7 Komplikasi ………………………………………………… 13

2.8 Prognosa …………………………………………………… 13

DAFTAR PUSTAKA

BAB I ii

Page 4: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis alergika merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam

lingkup data penyakit saluran napas bagian atas atas lainnya pada pencatatan

diagnosis sesuai ICD 09. Penyakit lain pada saluran napas bagian atas

menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan Setiabudi tahun 2006.

Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema

atopic. Sutau penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergi

memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka yang mederita asma;

namun, 56 hingga 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.

Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini 2.

Prevalensi rhinitis alergika pada berbagai studi epidemiology range-nya

3% - 19 %. Studi menunjukkan rhinitis alergi musiman (hay fever) ditemukan

sekitar 10 – 20 % dari populasi yang ada. Sebuah studi menunjukkan bahwa

prevalensi anak usia 6 tahun yang terdiagnosa rhinitis alergi mencaoai 42%.

Secara keseluruhan, rhinitis alergi mengenai 20-40juta individu di US dalam

setahun 3.

1.2 Tujuan

Setelah menyelesaikan pembuatan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat

mengetahui dan menjelaskan tentang rhinitis alergika mulai dari patogenesis,

gejala klinis, kriteria diagnosis, hingga tindakan penatalaksanaan yang tepat.

BAB II

1

Page 5: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

TEORI

2.1 Definisi

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai Ig E1.

2.2 Etiologi

Rinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan

ulangan dengan alergen spesifik tersebut 1.

2.3 Patogenesis

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate

Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung

sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahna dan Late Phase Allergic

Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak langsung pertama dengan alergen atau tahap sensitasi,

makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

Cell/ APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa

hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan

bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC

kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada

sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti

interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th

2

Page 6: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL

13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E

(IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E

dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini

menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang

sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spasifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin.

Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain

prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LT C4),

bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5,

IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor) dll. Inilah

yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) 1.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga

akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf

vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adheesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini

tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai

puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan

mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada

sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah

3

Page 7: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic

Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik (alergen), iritasi oleh factor

non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,

perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Bila dilihat pada gambaran mikroskopik, akan tampak adanya dilatasi

pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk

mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interselular dan penebalan membrane

basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan

submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus

menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan

yang ireversibel, yaitu terjasi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa,

sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas1 :

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,

misalnya tungau debu rumah, (D. pteronyssinus, D.farinae,

4

Page 8: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

B.tropicalis)I, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucingm anjing),

rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk melalui saluran cerna, berupa makanan,

misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan

kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit dengan jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga

member gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma

bronchial dan rhinitis alergi.

Klasifikasi Rinitis alergika

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu

atau kurang dari 4 minggu

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergika dibagi

menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,

bersantai, berolah raga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang

mengganggu.

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut

diatas.

5

Page 9: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 3:

1. Riwayat keluarga yang atopi

2. Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun

3. Sosioekonomi menengah keatas

4. Paparan terhadap alergen dalam ruangan (binatang dan debu)

5. Skin prick test positif

2.5 Kriteria Diagnosa

Membedakan rhinitis alergi dengan jenis rhinitis yang lain dapat menjadi susah

karena kriteria diagnosis terhadap berbagai bentuk dari rhinitis tidak begitu jelas,

penentuan diagnosis yang tepat sangat diperlukan karena terapi yang efektif bagi

rhinitis alergi (misalkan antihistamin dan korticosteroid nasal) kemungkinan

kurang efektif terhadap tipe rhinitis yang lain 4

Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala

rhinitis alergika yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin meruppakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau

bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lainnya adalah keluar

ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat dan mata gatal, yang

kadang-kadang dosertai dengan banyak airmata (lakrimasi). Sering kali gejala

yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan

tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan

oleh pasien. Evaluasi yang baik meliputi onset dan lamanya gejala, adanya

keterkaitan dengan musim atau waktu tertentu, respon terhadap pengobatan,

terpapar dengan alergen, dan keterkaitan dengan lingkungan 1,3.

5

6

Page 10: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

Anamnesis yang dianjurkan untuk mendiagnosis rhinitis 3 :

- Gejala : durasi, waktu timbulnya efek setelah pajanan, efek terhadap

kehidupan sehari-hari,

- Faktor Pencetus

- Lingkungan ; rumah, tempat kerja, sekolah, dan lain lain

- Riwayat alergi yang lain ( asma, eksema, konjungtivitis)

- Riwayat pengobatan, trauma, dan terapi yang sedang dijalani saat ini

- Riwayat makanan

- Riwayat keluarga, termasuk penyakit alergi

- Gejala sistem lain

7

Page 11: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pada nasal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan riwayat

rhinitis, termasuk pemeriksaan saluran nasal, sekresi, septum, aliran udara, dan

menentukan apakah terdapat polyp nasi atau tidak.

Pada rinoskopi anterior, tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat

atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Jika gejala persisten, mukosa

inferior akan tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya

bayangan gelapdidaerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder

akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu anak-

anak akan tampak sering menggosok-gosok hidung (allergic salute), karena gatal

dengan punggung tangan. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan

membentuk garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut

(allergic crease). Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,

sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi. Dinding posterior

faring tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambar peta.

Pemeriksaan penunjang

In vitro1 :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergika juga menderita asma bronchial

atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada

bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih

bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RATS (Radio Immuno Sorbent

Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent assay Test). Pemeriksaan

sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna

8

Page 12: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin

disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan

adnya infeksi bakteri.

In vivo 2:

Alergen dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point titration/SET), SET

dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini dilakukan adalah

Intracutaneus provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku

emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena

itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah

berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis

makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis

makanan.

2.6 Penatalaksanaan

Eliminasi alergen

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Pasien yang peka terhadap debu harus

hidup dalam lingkungan sebersih mungkin. Setiap ruangan harus sungguh-

sungguh dijaga bebas dari benda-benda pengumpul debu seperti karpet dan

gorden. Pasien yang peka terhadap kapang harus menghindari tidur di tempat

yang lembab seperti, kamar tidur di lanatai bawah tanah. Jendela harus ditutup

pada malam hari, karena udara malam sering kali mengandung kapang. Pasien

yang peka terhadap asap harus menghindari ruangan penuh asap, serta

menghindarkan beberapa makanan yang terkait dengan timbulnya gejala.

9

Page 13: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara

inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis

alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral.

◦ Anti histamin

Generasi pertama

CTM

Dws : 4 – 12 mg hs or 2 - 12 mg BID

Anak : 2 thn: 4 - 12 mg hs or 2 - 12 mg BID

6 -11 thn : 2 - 8 mg q d - BID, 12 mg/d max

2 -5 thn : 2 - 6 mg q d - BID

Generasi kedua

Fexofonadine : Dws :60mg bd atau 180mg 1kali

sehari, anak >12 thn 60mg 2x/hari , 6-11thn 30mg

2x/hari

Cetirizine : Dws : 5-10mg 1x/hari , anak >6 thn 5 –

10mg 1X/hari, 2-5thn : 2,5 atau 5 mg 1kali/hari

◦ Dekongestan

Pseudoefedrin :

D : 30-60 mg 4 – 6 jam sekali

Anak : 6 – 11 thn : 30mg 4 – 6 jam sekali

10

Page 14: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

2 – 5 thn : 15 mg 4 – 6 jam sekali

◦ Nasal dekongestan :

Mometasone :

◦ D : 4 semprot sebagai dosis single, anak 3-11thn : 2

semprot sebagai dosis single

Kombinasi antihistamin-dekongestan

Kombinasi antihistamin dengan dekongestan banyak digunakan. Kombinasi

loratadine atau fexofenadin dengan pseudoefedrine banyak tersedia dan

memberikan efek yang lebih baik dibandingkan pemberian antihistamin secara

tersendiri.

Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid topikal memiliki efek melalui mekanisme multipel,

yaitu vasokontriksi dan mengurangi edema, menekan produksi sitokin dan

menghambat influks sel radang. Preparat ini merupakan terapi yang paling efektif

pada rinitis alergi terutama derajat berat. Yang termasuk pada golongan

kortikosteroid topikal ini yaitu budesonid, beklometason, flunisolid, flutikason,

mometaso furoat dan triamnicolon asetonid. Tidak didapatkan efek samping

sistemik yang signifikan pada dewasa, tetapi pada anak dilaporkan terdapat

hambatan pertumbuhan pada pemakaian beclomethasone intranasal. Efek samping

lokal yang timbul berupa kering dan iritasi pada mukosa hidung serta epistaksis

ringan. Dalam pemakaiannya, harus diberitahukan kepada pasien agar dalam

menyemprotkan obat tidak mengarah ke septum karena dapat terjadi erosi mukosa

yang akhirnya menimbulkan perforasi septum.

Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung

yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau

metiprednisolon.

11

Page 15: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

Ipratropium Bromida

Ipratropium bromida intranasal dalam bentuk larutan 0,03% merupakan

suatu agen antikolinergik yang cukup efektif dalammengurangi sekresi hidung,

tetapi tidak signifikan terhadap gejala hidung yang lain. Pemberian preparat ini

sangatt membantu bila rinore tidak dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal

dan/atau antihistamin. Selain itu, dapat pula diberikan pada pasien yang

mengalami rinore akut dengan sebab yang jelas sebagai profilaksis. Efek samping

yang sering timbul yaitu iritasi hidung, timbulnya krusta dan epistaksis ringan.2,4

Sodium Kromoglikat

Sediaan sodium kromoglikat intranasal sudah tersebar penggunaannya

dalam terapi rinitis alergi. Biasanya kurang efektif bila dibandingkan dengan

antihistamin atau kortikosteroid. Pemberian optimal 4-6 kali sehari. Idealnya, obat

ini diberikan sebelum gejala mayor timbul karena cara kerjanya sebagai

stabilisator sel mast. Jika diberikan 4 kali sehari, obat ini sama efektif dengan

antihistamin dalam mengurangi bersin, rinore dan gatal pada hidung. Selain itu,

dapat juga digunakan sebagai profilaksis akut sebelum terpapar dengan alergen

yang sudah diketahui.

Leukotriene Modifier

Golongan obat ini merupakan antagonis reseptor leukotrien. Pengaruhnya

terhadap gejala rinitis yaitu dengan dihambatnya produksi leukotrien dapat

mengurangi gejala, terutama sumbatan hidung, karena diduga leukotrien berperan

dalam menyebabkan sumbatan hidung pada rinitis alergi. Akan tetapi, obat ini

bukan merupakan pilihan utama untuk rinitis.

Imunoterapi

Imunoterapi alergen sangat efektif dalam mengendalikan gejala rinitis

alergi yang berat. Penelitian-penelitian pada dekade terakhir ini mengemukakan

bahwa imunoterapi alergen menyebabkan toleransi terhadap limfosit T alergen

12

Page 16: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

spesifik dengan adanya penurunan pengeluaran mediator dan inflamasi jaringan.

Pemberian imunoterapi dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan :

(1) tidak responsif terhadap kombinasi pengendalian lingkungan dan medikasi

(2) mengalami efek samping medikasi yang cukup berat

(3) mengalami gejala sepanjang tahun yang memerlukan terapi setiap hari, atau

(4) menginginkan pengendalian jangka panjang terhadap gejala alergi.

2.7 Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah 1:

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu factor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip

hidung.

2. Otitis media efusi yang residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

2.8 Prognosa

Gejala rhinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus ( terutama

pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, system imun menjadi kurang

sensitive terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang

menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktu

yang lama. Beberapa kasus rhinitis alergi yang parah membutuhkan imunoteraoy

atau tindakan operatif untuk pada jaringan di dalam hidung atau sinus 5.

13

Page 17: Tinjauan Pustaka Rinitis Alergi Hasma

DAFTAR PUSTAKA

1 Irawati Nina, dkk. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2007:

hlm. 128

2 Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT

Edisi6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997: hlm.210

3 Mark S Dykewicz, MD, et al. Diagnosis and Management of Rhinitis: Complete

Guidelines of the Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma and

Immunology. Annals of allergy, asthma, & immunology. Volume 81, november

(part II), 1998 : hlm. 478

4 Agency for Healthcare Research and Quality. Evidence report/technology

assessment No. 54. Management of allergic and nonallergic rhinitis. May 2002.

Didapat dari : http://www.ahrq.gov/clinic/tp/rhintp.htm . Diunduh 17 Januari

2009

5 David M. Quillen, M.D , et al, Diagnosing Rhinitis: Allergic vs. Nonallergic.

Didapat dari : http://www.aafp.org/afp/20060501/1583.htm . Diunduh 17 Januari

2009

6 Allergic Rhinitis, Medline plus, Update Date: 10/30/2006. Didapat dari :

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.Diunduh 17 Januari

2009