Rinitis alergi dan sinusitis
-
Upload
fathul-yasin -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
description
Transcript of Rinitis alergi dan sinusitis
BAB I
STATUS PASIEN THT
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. N Pekerjaan : Pelajar
Umur : 17 tahun Alamat : Jl. Kampung Sumur
Jenis Kelamin : Laki-laki Tgl. Datang : 3 Februari 2014
Agama : Islam No. RM : xxxxx
ANAMNESIS
Autoanamnesis
1. Keluhan Utama
Sering Pilek sejak umur 4 tahun
2. Keluhan Tambahan
Batuk, demam, sakit kepala, bersin, hidung tersumbat dan gatal
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pilek dirasakan terus menerus sejak umur 4 tahun, disertai hidung tersumbat terutama
bila menunduk. Sering bersin lebih dari 5x terutama dipagi hari. Hidung sering gatal.
Demam, Batuk, Sakit kepala baru dirasakan 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam tinggi saat malam, sekarang sudah mendingan. Sakit kepala sampai membuat
terbangun 3-4x saat tidur. Batuk disertai dahak berwarna kuning. nyeri tenggorokan
(-), napas berbau (-), nyeri saat menelan (-), sakit gigi (-), gigi berlubang (-), tidur
mendengkur (-), keluar cairan dari telinga (-), gangguan pendengaran (-), telinga
berdenging (-), sesak napas (-).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah sakit paru-paru saat berumur 3 tahun
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
6. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah meminum obat panadol namun tidak sembuh.
7. Riwayat Alergi
Alergi terhadap bumbu masakan, cuaca dingin, debu. Alergi terhadap obat-obatan
disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : Tidak diperiksa
Nadi : 80 x/menit, kuat, reguler
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu : 37,5 C
A. Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-/-), massa (-/-), scar (-/-)
Abdomen : Supel, massa (-), scar (-)
Ekstremitas : Deformitas (-), edema (-)
Kulit : Scar (-)
B. Status Pemeriksaan Lokalis THT
Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dextra Sinistra
Preaurikula Kelainan kongenitalRadangTumorTraumaNyeri tekan
-----
-----
Aurikula Kelainan kongenitalRadangTumorTraumaNyeri tarik
-----
-----
Retroaurikula EdemaHiperemisNyeri tekanRadangTumorSikatriks
------
------
CanalisAcustikusExterna
Kelainan kongenitalKulitSekretSerumenEdemaJaringan granulasiMassaCholesteatoma
-Tenang------
-Tenang------
MembranaTimpani
IntakReflek cahayaPerforasiGambar
++-
++-
Tes PenalaInterpretasi pada AurisDextra Sinistra
Tes Rhinne Tidak dilakukan Tidak dilakukanTes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukanTes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Keadaan LuarWarna, bentuk dan ukuran
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Rhinoskopi anterior
MukosaSekretConcha inferiorSeptumPolip/tumorPasase udara
Livid+Eutrofi
Livid+Eutrofi
Hiperemis dan Septum Deviasi ke kiri
-+
-+
Tenggorok
Bagian Kelainan Keterangan
Mulut
Mukosa mulutLidahPalatum molleGigi geligiUvula Halitosis
LembabBersihTenangCaries (-)Simetris-
Tonsil
MukosaBesarKriptaDetritus
Hiperemis (-)T1Tidak melebar-/-
Faring MukosaGranulaPost nasal drip
Hiperemis (-)--
Laring
EpiglotisGlotisAritenoidPita suara
Tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Rontgen Sinus 3 posisi
RESUME
Anamnesis:
Tn. N merasakan pilek terus menerus sejak umur 4 tahun, disertai hidung
tersumbat terutama bila menunduk. Sering bersin lebih dari 5x terutama dipagi hari.
Hidung sering gatal. Demam, Batuk, Sakit kepala baru dirasakan 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam tinggi saat malam, sekarang sudah mendingan. Sakit kepala sampai
membuat terbangun 3-4x saat tidur. Batuk disertai dahak berwarna kuning. Pasien sudah
meminum obat panadol namun tidak sembuh. Pasien alergi terhadap bumbu masakan,
cuaca dingin, debu.
Pemeriksaan fisik:
TTV dalam batas normal
Rinoskopi anterior : Mucosa : Livid. Septum Hiperemis dan deviasi kekiri
DIAGNOSIS
Sinusitis e.c rinitis alergi
PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
- Tirah baring
- Banyak minum air putih
- Makan-makanan bergizi
Medikamentosa
- Obat tetes hidung 1-2x pada masing-masing lubang hidung
- Ampisilin 500mg 3x1 selama 5 hari
Pembedahan
Pasien tidak responsif dengan terapi medikamentosa yang maksimal rujuk ke
dokter spesialis THT untuk dilakukan pembedahan
PROGNOSIS
• Quo ad vitam : ad bonam
• Quo ad fungsionam : ad bonam
• Quo ad sanactionam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung
perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar
atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta
fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu
diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge)
2) dorsum nasi
3) puncak hidung
4) ala nasi
5) kolumela
6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1) tulang hidung (os nasalis)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal
Nares anterior
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor,
3) beberapa pasang kartilago alar minor dan
4) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung dan
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
KOM merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi,
dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid
anterior dan frontal.
Infundibulum ethmoid
Perkembangan infundibulum mendahului sinus. Dibentuk oleh struktur yang
kompleks. Dinding anterior dibentuk oleh processus uncinatus, dinding medial dibentuk
oleh processus frontalis os maxila dan lamina papyracea. Infundibulum etmoid adalah
terowongan tiga dimensi yang menghubungkan ostium natural sinus maksilaris dengan
meatus medius melalui hiatus semilunaris.
Batas-batas infundibulum etmoid
Batas medial : prosesus unsinatus dan hiatus semilunaris
Batas lateral : lamina papirasea
Batas anterior : pertemuan antara prosesus unsinatus dengan lamina papiracea
Batas posterior: permukaan anterior bulla etmoid
Batas superior : bervariasi tergantung dari perlekatan prosesus unsinatus
Prosesus uncinatus
Merupakan sebuah lamina yang melengkung pada os etmoid, yang menjorok
kebawah dan kebelakang dan dibentuk oleh bagian kecil dari dinding medial sinus
maxilaris, dan dihubungkan dengan processus etmoid dari konka nasal inferior.
Resesus frontalis
Merupakan ruang antara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang menuju ke
aliran sinus. Bagian anterior dibatasi oleh sel ager nasi, superior oleh sinus frontalis,
medial oleh konka medial dan bagian lateral oleh lamina papyracea.
Bula ethmoid
` Terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral/ inferiornya, dan tepi
superior procesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid
anterior terbesar. Arteri etmoid anterior menyilang terhadap atap sel ini. Bulla etmoid
merupakan salah satu sel etmoid anterior yang paling konstan dan paling besar. Di
superior, dinding anterior bulla etmoid dapat meluas sampai ke basis kranii dan
membentuk batas posterior dari resesus frontalis. Bila bulla etmoid tidak mencapai
basis kranii, maka akan terbentuk resesus suprabullar antara basis kranii dengan
permukaan superior dari bulla. Di posterior, bulla bertautan langsung dengan lamina
basalis atau terdapat ruang antara bulla dan lamina basalis yang disebut resesus
retrobullar.
Sel-sel ethmoid anterior
Sel dibagian anterior menuju lamella basal. Pengalirannya ke meatus medial
melalui infundibulum etmoid. Termasuk sel ager nasi, bulla etmoid dan sel-sel
anterior lainnya.
Hiatus semilunaris
Hiatus semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit terletak antara posterior
tepi bebas prosesus unsinatus dengan dinding anterior bulla etmoid.
Ostium sinus maksilaris
Ostium naturalis sinus maksilaris mengalirkan sekretnya ke dalam
infundibulum. Ostium ini terletak di dinding medial sinus maksilaris sedikit ditepi
bawah lantai orbita. Van Alyea melaporkan bahwa 10% ostium maksilaris berada di
1/3 superior, 25% berada di 1/3 tengah dan 65% berada di 1/3 bawah dari
infundibulum. Ostium aksesoris sinus maksilaris ditemukan pada 20% - 25% kasus.
Ostium naturalis sinus maksilaris berbentuk bulat sedangkan ostium aksesoris
biasanya berbentuk elips dan berada di posterior ostium naturalis.
Sel agger nasi
Sel ager nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel etmoid
anterior. Terletak agak ke anterior dari perlekatan anterosuperior konka media dan
anterior dari resesus frontal. Sel ager nasi yang membesar dapat meluas ke sinus
frontal dan menyebabkan penyempitan resesus frontal.
Batas-batas sel agger nasi
Batas anterior : prosesus frontal os maksila
Batas superior : resesus frontalis
Batas anteroleteral : os nasalis
Batas inferomedial : prosesus uncinatus
Batas inferolateral : os lakrimalis
Kompleks ostiomeatal merupakan istilah yang digunakan oleh ahli bedah
kepala leher untuk menunjukkan daerah yang dibatasi oleh turbinate tengah pada
bagian medial, lamina papyracea pada bagian lateral, dan lamella basalis pada bagian
superior dan posterior. Batas inferior dan anterior dari kompleks osteomeatal ini
terbuka.
Isi dari ruang ini adalah sel agger nasi, resesus nasofrontal (reses frontal),
infundibulum, bula ethmoidalis dan kelompok anterior sel udara ethmoidal.
Kompleks ini terdiri dari area anatomi yang sempit, yaitu:
1. Beberapa struktur tulang (turbinate tengah, prosessus uncinatus, bulla
ethmoidalis)
2. Ruang udara (resessus frontal, infundibulum ethmoidal, meatus media)
3. Ostium dari sinus ethmoidal, maksila dan frontal anterior.
Pada area ini, permukaan mukosanya sangat dekat, kadang-kadang bahkan dapat
terjadi kontak antar mukosa yang menyebabkan penumpukan sekresi. Silia dengan
gerakan menyapunya dapat mendorong sekret hidung. Jika mukosa yang melapisi
daerah ini menjadi meradang dan bengkak, pembersihan mukosiliar dapat terhambat,
yang akhirnya menghalangi sinus-sinus di kepala.
Beberapa penulis membagi kompleks osteomeatal menjadi bagian anterior dan
posterior. Kompleks osteomeatal klasik digambarkan sebagai kompleks osteomeatal
anterior, sedangkan ruang di belakang lamella basalis yang mengandung sel-sel
ethmoidal posterior disebut sebagai kompleks ethmoidal posterior, sehingga
mengakui pentingnya lamella basalis sebagai landasan anatomi pada sistem ethmoidal
posterior. Oleh karena itu kompleks osteomeatal anterior dan posterior memiliki
sistem drainase yang terpisah. Jadi, ketika penyakit ini terbatas pada kompartemen
anterior dari kompleks osteomeatal, sel-sel ethmoid dapat dibuka dan jaringan yang
sakit dapat dibuang sejauh lamella basalis, meninggalkan lamella basalis tanpa
gangguan serta meminimalkan risiko selama operasi.
Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna
membersihkan KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran
drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus,
meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan
itu sering dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di
tenggorokan dikenal dengan nama post-nasal drip.
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara
saluran dari sinus maksilaris, sinus frontal, sinus sphenoid dan sinus etmoid. Daerah
ini rumit dan sempit, dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,
bula etmoid, sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris.
Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna
membersihkan KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran
drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus,
meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan
itu sering dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di
tenggorokan dikenal dengan nama post-nasal drip.
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari
a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung
n.olfaktoirus.
• Hanya 5 % yang digunakan untuk menghidu
• Mebrana olfaktoria terletak pd celah sempit pada bagian superior rongga hidung
• Luas permukaan membran 10 cm² ~ panjang 170 cm²
• Celah olfaktorius perempuan > laki-laki, berhubungan dengan pigmentasi
• Membran olfaktoria terdiri dari 3 lapis : lapisan penunjang, lapisan sel-sel reseptor,
dan lapisan sel basal
Sinus Paranasal
• Sinus maksila kanan dan kiri
• Sinus frontal kanan dan kiri,
• Sinus ethmoid kanan dan kiri
• Sinus sfenoid kanan dan kiri
Frontal
sinussfenoi
d sinusEthmoid
sinusMaxil
a sinus
Frontal
sinus
sfenoid
sinus
Ethmoid
sinusMaxil
a sinus
B. Fisiologi Hidung
1. Sebagai Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai Penyaring Dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra Penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat.
• Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi 250 ml/sec
• Inspirasi dalam molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius
sensasi bau tercium
• zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang
berada pada permukaan membrane.
5. Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.
Fungsi Sinus Paranasal
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati
pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran
udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa
hidung.
Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ
yang dilindungi.
Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak
ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat
rendah.
Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis.
C. Rhinitis Alergi
a. Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on
Asthma) 2001, merupakan kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
b. Etiologi
Faktor genetik dan herediter .
Tersering :
Alergen inhalan pada dewasa
Alergen ingestan pada anak-anak.
Alergen adalah antigen yang menginduksi dan bereaksi dgn antibodi IgE
• Inhalan : Masuk bersama udara pernapasan
• Ingestan : Masuk ke saluran cerna
• Injektan : Masuk melalui suntikan/tusukan
• Kontaktan : Masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa
c. Epidemiologi
Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan
berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir.
Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi
berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis alergi timbul pada usia
muda (remaja dan dewasa muda). Dalam suatu penelitian di Medan, dari 31
penderita rinitis alergi, ditemukan perempuan lebih banyak daripada laki-laki
dengan perbandingan 1.58 : 1 .
Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 12.946 orang pasien
berumur 5-62 tahun yang datang ke poliklinik sub bagian Alergi Imunologi
bagian THT FKUI/RSCM selama tahun 1992, ditemui penderita rinitis alergi
sejumlah 147 orang, atau berkisar 1,14%. Gejala yang paling banyak adalah
bersin-bersin/gatal hidung (89,80%), rinore (87,07%) dan obstruksi hidung
(76,19%). Kelompok umur 1-10 tahun berjumlah paling sedikit (3,40%)
kemudian meningkat dengan bertambahnya umur, dan selanjutnya menurun
setelah berumur 40 tahun, dengan frekuensi terbanyak pada kelompok umur
21-30 tahun (37,41%) (Rusmono, 1993).
d. Patofisiologi
Reaksi alergi dibagi 2, yaitu rekasi alergi fase cepat dan reaksi alergi
fase lambat. Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya. Sedangkan rekasi alergi fase lambat berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam. Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji
akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13.
IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi immunoglobulin
E (Ig E). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit atau basofil sehingga ke dua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik
dan terjadi degranulasi dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain histamine juga dikeluarkan
prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4, bradikinin, PAF, sitokin.
Inilah yang disebut rekasi alergi tipe cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rhinore.
Gejala lain hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
e. Gejala klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali
setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung
melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute),
pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk
edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata
(allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau
otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga
mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit
tidur.
f. Diagnosis Rhinitis Alergi
- Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja.
- Pemeriksaan rhinoskopi anterior
Tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
secret encer yang banyak
- Pemeriksaan naso endoskopi
- Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemugkinan alergi inhalan. Jika basofil mungkin disebbakan
alergi makanan sedangkkan jika ditemukannya sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.
- Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hasil yang didapat bisa normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit.
- Uji kulit allergen penyebab dapat dicari secara invivo
Ada beberapa cara yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (SET), uji cukit dan uji gores. Kedalaman kulit yang dicapai pada
kedua uji kulit sama. Uji SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan
menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga dapat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan.Diagnosa biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi.Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5
hari. Karena itu dalam uji provokasi, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari selanjutnya diamati reaksinya.
g. Penatalaksanaan
- Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya dan eliminasi.
- Simtomatis
1. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1 yang
bekerja pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat kombinasi dengan
dekongestan secara peroral atau tanpa kombinasi. Antihistamin dibagi
2 kelompok yaitu generasi ke-1 bersifat lipofilik yang menembus
sawar darah otak dan plasenta sehingga mempunyai efek kolinergik,
sedangkan generasi ke-2 bersifat lipofobik sehingga sulit menembus
sawar darah otak.
Preparat agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal.
Namun pemakaian topikal hanya untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi obat
lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal. Kortikosteroid
topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa
hidung, mencegah pengeluaran protein, sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.
2. Operatif
Tindakan konkotomi perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25%.
- Imunoterapi
Desensitisasi dan hiposensitisasi cara pengobatan ini dilakukan pada alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
h. Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ;
1. Polip Hidung
2. Otitis Media yang sering residif
3. Sinus paranasal
D. Sinusitis
a. Definisi
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter
sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan
di seluruh dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasl.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Penyebab utamanya adalah salesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering
terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang
dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat dengan akar
gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis
dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke
orbita dan intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang
sulit diobati.
b. Etiologi dan Faktor Predisposis
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,
kelainan imunologi, dyskinesia silia seperti pada sidroma Kartagener, dan di
luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan
adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher
posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.
c. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam KOM. Mucus
juga mengandung substansi antimicrobial daan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernapasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative
didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula
serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Secret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan
memerlukan terapi antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia, dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar
sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan
tindakan operasi.
d. klasifikasi
Consensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut
dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Consensus
tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut
antara 4 minggu sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan
lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis
kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada
sinusitis akut adalah Streptococcus pneumonia (20-40%), Hemophylus
influenzae (20-40%), dan Moraaxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.
catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi
umumnya bakteri yang ada lebih condong kea rah bakteri gram negative dan
anaerob.
Sinusitis Dentogen
Merupakan, salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Dasar sinus maksila prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas,
sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar
gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi apical akar gigi
atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus,
atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik
yang mengenai satu sisi dengan ingus purulent dan napas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu
dilakukan irigasi sinus maksila.
e. Gejala klinik
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan
lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
ditempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri
diantara atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri
di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis
sfenoid, nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan
telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal
drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini, yaitu sakit kepala kronik
post-nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat
sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis
(sino-bronkitis), bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan asma yang
meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.
f. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih
tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
etmoid posterior dan sfenoid).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering
ada pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan.
Foto polos posisi Waters, PA, dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan
mukosa.
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan
sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan
operasi sinus.
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil secret dari meatus superior/medius, untuk mendapat antibiotic
yang tepat guna. Lebih baik lagi jika diambil secret yang keluar dari pungsi
sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk
terapi.
g. Terapi
Tujuan terapi sinusitis adalaha 1) mempercepat penyembuhan; 2)
mencegah komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip
pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi
sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotic dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotic yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan sefalosporin generasi ke-
2. Pada sinusitis, antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis
sudah hilang.
Pada sinusitis kronis diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman
gram negative dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topical, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih
kental. Bila ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan
alergi yang berat.
Tindakan Operasi
Badan Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
h. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotic. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intracranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata. Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema subperiostal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernous.
Kelainan intracranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak, dan thrombosis sinus kavernous.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:
Osteomyelitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis
sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru. Seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial
yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta, 1997
Guyton, AC, Hall, JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan, ed. 9,
1997, Jakarta: EGC
Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta, 2004
Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates, Jakarta,
1994.
Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher edisi 7, FK UI, 2012.
Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga
Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media Aesculapius FK-UI
2000