Ujian Semester
Pemasaran Jasa
Oleh:
Ibna Kamelia F.A, S.E
100820101009
Dosen:
Dr. Deasy Wulandary. SE, M.Si
PASCA SARJANA
MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
Pemasaran Jasa
1. Pendahuluan
Banyak dari batas-batas tradisional sedang terkikis sebagai teknologi baru yang
menawarkan bentuk-bentuk inovatif dari pemasaran jasa keuangan memungkinkan
perusahaan baru untuk memasuki pasar keuangan. Dengan demikian, Lembaga keuangan
dipaksa untuk menghabiskan berat pada teknologi interaktif di milenium baru, tidak hanya
untuk mengurangi biaya yang berkaitan dengan kegiatan pemasaran tradisional, tetapi juga
untuk mempertahankan keunggulan kompetitif dalam pasar yang semakin kompetitif,
menyediakan jasa keuangan setiap saat, setiap tempat, dan menghemat waktu dan uang.
Sebaliknya, keterbatasan dilaporkan oleh karena penggunaan teknologi seperti gagal
teknologi, kegagalan proses, desain miskin dan pelanggan - kegagalan didorong.
2. Pengenalan
Akhir-akhir ini, perhatian para akademisi dan praktisi mengenai jasa sangat
intensif. Hal itu berkaitan dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa bidang
pekerjaan maupun bisnis akhir-akhir ini didominasi oleh jasa. Di Amerika Serikat,
misalnya, sektor jasa mencakup 75% dari produk domestik bruto dan sekitar 80%
dari semua pekerjaan (Najjar dan Bishu, 2006). Di Indonesia sendiri, sektor jasa
berkontribusi sekitar 48% terhadap perekonomian Indonesia dan merupakan sektor
terbesar dalam perekonomian nasional (Mari Pangestu, Jakarta, 27/2/2008, Kominfo
Newsroom). Menurut Dotching dan Oakland (1994),jasa merupakan unsur utama
keunggulan bersaing. Konsumen, bahkan yang membeli hard goods , jauh lebih
memperhatikan jasa daripada hanya spesifikasi teknis, dan bahwa dalam jangka
panjang persepsi konsumen atas perhatian dan responsiveness bahkan lebih penting
daripada komponen yang nyata dari suatu produk (Peters sebagaimana dikutip oleh
Dotching dan Oakland, 1994). Menurut Levitt (sebagaimana dikutip oleh Dotching
dan Oakland, 1994), diferensiasi produk mungkin dicapai melalui pendefinisian
kembali produk itu berdasarkan jasa dan hal tak nyata yang ditambahkan. Gronroos
(sebagaimana dikutip oleh Dotching dan Oakland, 1994) juga menyatakan bahwa
dalam industri yang sudah dewasa adalah sulit untuk menghasilkan barang yang
lebih baik sehingga pemanufaktur perlu menawarkan jasa (teknis, pemeliharaan,
pelatihan, konsultasi, dll.) kepada konsumennya untuk dapat bertahan terus atau
memperoleh keunggulan tambahan.
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pemasaran Jasa
Industri jasa pada saat ini merupakan sektor ekonomi yang sangat besar dan tumbuh sangat
pesat. Pertumbuhan tersebut selain diakibatkan oleh pertumbuhan jenis jasa yang sudah
ada sebelumnya, juga disebabkan oleh munculnya jenis jasa baru, sebagai akibat dari
tuntutan dan perkembangan teknologi. Dipandang dari konteks globalisasi, pesatnya
pertumbuhan bisnis jasa antar negara ditandai dengan meningkatnya intensitas pemasaran
lintas negara serta terjadinya aliansi berbagai penyedia jasa di dunia. Perkembangan
tersebut pada akhirnya mampu memberikan tekanan yang kuat terhadap perombakan
regulasi, khususnya pengenduran proteksi dan pemanfaatan teknologi baru yang secara
langsung akan berdampak kepada menguatnya kompetisi dalam industri (Lovelock, 2004 :
2). Kondisi ini secara langsung menghadapkan para pelaku bisnis kepada permasalahan
persaingan usaha yang semakin tinggi. Mereka dituntut untuk mampu mengidentifikasikan
bentuk persaingan yang akan dihadapi, menetapkan berbagai standar kinerjanya serta
mengenali secara baik para pesaingnya.
Dinamika yang terjadi pada sektor jasa terlihat dari perkembangan berbagai industri
seperti perbankan, asuransi, penerbangan, telekomunikasi, retail, konsultan dan pengacara.
Selain itu terlihat juga dari maraknya organisasi nirlaba seperti LSM, lembaga pemerintah,
rumah sakit, perguruan tinggi yang kini semakin menyadari perlunya peningkatan orientasi
kepada pelanggan atau konsumen. Perusahaan manufaktur kini juga telah menyadari
perlunya elemen jasa pada produknya sebagai upaya peningkatan competitive advantage
bisnisnya (Hurriyati, 2005: 41). Implikasi penting dari fenomena ini adalah semakin
tingginya tingkat persaingan, sehingga diperlukan manajemen pemasaran jasa yang
berbeda dibandingkan dengan pemasaran tradisional (barang).
Zeithaml and Bitner (2003 : 319) menyatakan bahwa pemasaran jasa adalah
mengenai janji janji, janji yang dibuat kepada pelanggan dan harus dijaga. Kerangka kerja
strategik diketahui sebagai service triangle (Gambar 2.1) yang memperkuat pentingnya
orang dalam perusahaan menjaga janji mereka dan sukses dalam membangun customer
relationship. Segitiga menggambarkan tiga kelompok yang saling berhubungan yang
bekerja bersama untuk mengembangkan, mempromosikan dan menyampaikan jasa. Ketiga
pemain utama ini diberi nama pada poin segitiga: perusahaan (SBU atau departemen atau
manajemen), pelanggan dan provider (pemberi jasa). Provider dapat pegawai perusahaan,
subkontraktor, atau pihak luar yang menyampaikan jasa perusahaan. Antara ketiga poin
segitiga ini, tiga tipe pemasaran harus dijalankan agar jasa dapat disampaikan dengan
sukses: pemasaran eksternal (external marketing), pemasaran interaktif (interactive
marketing), dan pemasaran internal (internal marketing).
Pada sisi kanan segitiga adalah usaha pemasaran eksternal yaitu membangun harapan
pelanggan dan membuat janji kepada pelanggan mengenai apa yang akan disampaikan.
Sesuatu atau seseorang yang mengkomunikasikan kepada pelanggan sebelum
menyampaikan jasa dapat dipandang sebagai bagian dari fungsi pemasaran eksternal.
Pemasaran eksternal yang merupakan permulaan dari pemasaran jasa adalah janji yang
dibuat harus ditepati.
Pada dasar segitiga adalah akhir dari pemasaran jasa yaitu pemasaran interaktif atau
real time marketing. Disini janji ditepati atau dilanggar oleh karyawan, subkontraktor atau
agen. Ini merupakan titik kritis. Apabila janji tidak ditepati pelanggan akan tidak puas dan
seringkali meninggalkan perusahaan. Sisi kiri segitiga menunjukkan peran kritis yang
dimainkan pemasaran internal. Ini merupakan kegiatan manajemen untuk membuat
provider memiliki kemampuan untuk menyampaikan janji janji yaitu perekrutan, pelatihan,
motivasi, pemberian imbalan, menyediakan peralatan dan teknologi. Apabila provider
tidak mampu dan tidak ingin memenuhi janji yang dibuat, perusahaan akan gagal, dan
segitiga jasa akan runtuh.
2.1.1.1. Pengertian Jasa
Kotler and Keller (2006 : 372) mengemukakan pengertian jasa (service) sebagai
berikut: A service is any act or performance that one party can offer to another that is
essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may
or may not be tied to a physical product. (Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang
ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak
menyebabkan perpindahan kepemilikan. Produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat pada
suatu produk fisik). Selanjutnya Stanton (2002 : 537) mengemukakan definisi jasa sebagai
berikut: Services are identifiable, intangible activities that are the main object of a
transaction designed to provide want-satisfaction to customers. By this definition we
exclude supplementary services that support the sale of goods or other services.
Zeithaml and Bitner (2003 : 3) mengemukakan definisi jasa sebagai berikut:
Include all economic activities whose output is not a physical product or
construction, is generally consumed at the time it is produced, and provided added value in
forms (such as convenience, amusement, timeliness, comfort, or health) that are essentially
intangible concerns of its first purchaser.
Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk
dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai
tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka jasa pada dasarnya adalah sesuatu yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. suatu yang tidak berwujud, tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen
2. proses produksi jasa dapat menggunakan atau tidak menggunakan bantuan suatu
produk fisik
3. jasa tidak mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan
4. terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.
2.1.1.2 Karakteristik Jasa
Menurut Zeithaml and Bitner (2003 : 20), jasa memiliki empat ciri utama yang
sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak berwujud. Hal ini menyebabkan konsumen tidak dapat melihat, mencium,
meraba, mendengar dan merasakan hasilnya sebelum mereka membelinya.
Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari informasi tentang
jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para penyedia dan penyalur jasa,
peralatan dan alat komunikasi yang digunakan serta harga produk jasa tersebut.
Beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk meningkatkan
kepercayaan calon konsumen, yaitu sebagai berikut: 1. Meningkatkan visualisasi
jasa yang tidak berwujud, 2. Menekankan pada manfaat yang diperoleh, 3.
Menciptakan suatu nama merek (brand name) bagi jasa, atau 4. Memakai nama
orang terkenal untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.
2. Tidak terpisahkan (inseparability). Jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya,
yaitu perusahaan jasa yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan dikonsumsi
pada saat bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan
berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut, sehingga
penjualan jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung dengan skala operasi
terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan dapat menggunakan strategi-
strategi, seperti bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat,
serta melatih pemberi jasa supaya mereka mampu membina kepercayaan
konsumen.
3. Bervariasi (variability). Jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah tergantung
siapa yang menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut dilakukan.
Ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa berdasarkan suatu standar.
Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat menggunakan tiga pendekatan
dalam pengendalian kualitasnya, yaitu sebagai berikut: a. Melakukan investasi
dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik. b. Melakukan standarisasi proses
produksi jasa. c. Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan
keluhan, survei pelanggan, dan comparison shopping, sehingga pelayanan yang
kurang baik dapat diketahui dan diperbaiki.
4. Mudah musnah (perishability). Jasa tidak dapat disimpan sehingga tidak dapat
dijual pada masa yang akan datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah suatu
masalah jika permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan
pelayanan sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka perusahaan akan
menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan persiapan pelayanannya.
Untuk itu perlu dilakukan perencanaan produk, penetapan harga, serta program
promosi yang tepat untuk mengantisipasi ketidaksesuaian antara permintaan dan
penawaran jasa.
2.2. Pengertian dan Tujuan Pemasaran Jasa Bank
Bagi dunia perbankan yang merupakan badan usaha yang berorientasi profit,
kegiatan pemasaran sudah merupakan suatu kebutuhan utama dan sudah merupakan suatu
keharusan untuk dijalankan. Tanpa kegiatan pemasaran jangan diharapkan kebutuhan dan
keinginan pelanggannya akan terpenuhi. Oleh karena itu, bagi dunia usaha apalagi seperti
usaha perbankan perlu mengemas kegiatan pemasarannya secara terpadu dan terus-
menerus melakukan riset pasar.
Pemasaran harus dikelola secara profesional, sehingga kebutuhan dan keinginan
pelanggan akan segera terpenuhi dan terpuaskan. Pengelolaan pemasaran bank yang
profesional inilah yang disebut dengan nama manajemen pemasaran bank. Kasmir (2004 :
63) menyatakan bahwa pemasaran bank adalah suatu proses untuk menciptakan dan
mempertukarkan produk atau jasa bank yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan nasabah dengan cara memberikan kepuasan.
Dari definisi ini beberapa pengertian yang perlu untuk diketahui adalah sebagai berikut:
1. Produk bank adalah jasa yang ditawarkan kepada nasabah untuk mendapatkan
perhatian, untuk dimiliki, digunakan atau dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan nasabah. Produk bank terdiri dari produk simpanan (giro, tabungan
dan deposito), pinjaman (kredit) atau jasajasa bank lainnya seperti transfer, kliring,
inkaso, safe deposit box, kartu kredit, letter of credit, bank garansi, traveller
cheque, bank draf, dan jasajasa bank lainnya.
2. Permintaan suatu keinginan manusia yang didukung oleh daya belinya. Artinya,
permintaan akan terjadi apabila konsumen memiliki sejumlah dana atau barang
pengganti untuk memperoleh barang yang lain. Besarnya permintaan nasabah
tergantung dari daya beli nasabah tersebut di samping harus didukung oleh minat
dan akses mendapatkannya.
3. Pertukaran adalah tindakan untuk memperoleh sesuatu barang yang diinginkan dari
seseorang dengan menawarkan sesuatu sebagai penggantinya.
4. Pasar adalah himpunan nasabah (pembeli nyata dan pembeli potensial) atas suatu
produk, baik barang maupun jasa. Pasar dapat diartikan pula sebagai tempat
penjual dan pembeli melakukan transaksi. Arti lainnya dapat pula berarti pasar
tidak memiliki tempat pertemuan, akan tetapi lewat alat-alat lain seperti telepon,
faks, internet.
5. Kebutuhan nasabah bank adalah suatu keadaan yang dirasakan tidak ada dalam diri
seseorang.
6. Keinginan nasabah bank adalah merupakan kebutuhan yang dibentuk oleh kultur
dan kepribadian individu.
Selanjutnya Kasmir (2005 : 66) menyatakan bahwa tujuan pemasaran bank secara
umum adalah untuk:
1. Memaksimumkan konsumsi atau dengan kata lain memudahkan dan merangsang
konsumsi, sehingga dapat menarik nasabah untuk membeli produk yang ditawarkan
bank secara berulang-ulang.
2. Memaksimumkan kepuasan pelanggan melalui berbagai pelayanan yang diinginkan
nasabah. Nasabah yang puas akan menjadi ujung tombak pemasaran selanjutnya,
karena kepuasan ini akan ditularkan kepada nasabah lainnya melalui ceritanya
(word of mouth).
3. Memaksimukan pilihan (ragam produk) dalam arti bank menyediakan berbagai
jenis produk bank sehingga nasabah memiliki beragam pilihan pula.
4. Memaksimumkan mutu hidup dengan memberikan berbagai kemudahan kepada
nasabah dan menciptakan iklim yang efisien.
2.3. Dimensi dan Atribut
Umumnya para penulis berpendapat bahwa kualitas jasa memiliki beberapa dimensi.
Sasser, Olsen, dan Wyckoff (1978 dalam PZB, 1985), misalnya, menyatakan bahwa
kualitas jasa terdiri dari dimensi material, fasilitas, dan personil. Pendapat lainnya
dikemukakan oleh Gronroos (1982 dalam PZB, 1985) bahwa kualitas jasa terdiri dari
dimensi teknis dan fungsional. Dimensi teknis kualitas jasa berkaitan dengan apa yang
secara aktual diterima konsumen dari jasa itu. Dimensi fungsional kualitas jasa berkaitan
dengan cara jasa diberikan.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Lehtinen dan Lehtinen (1982 dalam PZB, 1985)
bahwa kualitas jasa terdiri dari dimensi fisik, korporasi, dan interaksi. Dimensi fisik
berkaitan dengan aspek fisik jasa, seperti peralatan dan bangunan. Dimensi korporasi
berkaitan dengan citra atau profil perusahaan. Dimensi interaksi berkaitan dengan kualitas
hubungan antara pekerja kontak dan konsumen maupun antara konsumen dan konsumen.
Hal itu didasarkan pada premis dasar bahwa kualitas jasa diprediksi dalam interaksi antara
konsumen dan unsurunsur dalam organisasi jasa. Sejalan dengan itu, mereka juga
membedakan antara kualitas yang terkait dengan proses pemberian jasa dan kualitas
yang terkait dengan hasil jasa.
Hasil penelitian yang banyak dijadikan acuan mengenai dimensi kualitas jasa adalah
yang dilakukan oleh PZB (1985, 1988). Dari hasil penelitian-penelitian itu mereka
berkesimpulan bahwa kualitas jasa terdiri dari lima dimensi, yaitu tangibles, reliability,
responsiveness, assurance, dan empathy. Terkait dengan itu, PZB (1991: 430) juga
menyatakan bahwa The instrument has been designed to be applicable across a broad
spectrum of services. Itu berarti bahwa kelima dimensi itu berlaku dalam berbagai
konteks jasa lainnya.
Namun demikian, banyak penelitian menunjukkan bahwa kelima dimensi kualitas jasa
yang diidentifikasi melalui SERVQUAL maupun instruman lain yang hanya menyertakan
komponen P tidak menunjukkan struktur faktor yang konsisten. Dimensi yang dihasilkan
bervariasi, mulai dari satu dimensi (Cronin dan Taylor, 1991; Babakus dkk., 1993 dalam
Buttler, 1996) sampai dengan sembilan dimensi (Carman, 1990). Hasil-hasil penelitian
PZB (1988, 1991) juga sebenarnya tidak menunjukkan struktur faktor yang stabil,
termasuk mengenai kesesuaian antara atribut dengan dimensinya.
Seperti contoh kasus pada jurnal yang dilampirkan DIMENSI-DIMENSI
KUALITAS JASA PERBANKAN DI INDONESIA
3. Pembahasan
3.1. Dimensi dan Atribut
1. Sasser, Olsen, dan Wyckoff (1978 dalam PZB, 1985), menyatakan bahwa
kualitas jasa terdiri dari dimensi material, fasilitas, dan personil.
2. Gronroos (1982 dalam PZB, 1985) bahwa kualitas jasa terdiri dari dimensi
teknis dan fungsional.
3. Lehtinen dan Lehtinen (1982 dalam PZB, 1985) bahwa kualitas jasa terdiri
dari dimensi fisik, korporasi, dan interaksi.
Dari hasil penelitian-penelitian itu mereka berkesimpulan bahwa kualitas jasa terdiri
dari lima dimensi, yaitu:
1. Tangibles
2. Reliability
3. Responsiveness
4. Assurance
5. Empathy
3.2. Konteks jasa dan budya
Terkait dengan ketidakkonsistenan jumlah dimensi, struktur faktor, maupun atribut
yang dihasilkan lintas berbagai penelitian, Babakus dan Boller (1992) menyatakan
bahwa dimensi kualitas jasa bergantung pada jasa tertentu. Carman (1990) juga
menyatakan bahwa paling sedikit sebagian konsumen bersifat context-specific mengenai
dimensi yang digunakannya dalam menilai kualitas jasa. Babakus dkk. (1993 dalam Buttle,
1996) maupun Ennew, Reed, dan Binks (1993) juga menyarankan agar sifat jasa yang
diukur juga dipertimbangkan. Menurut Buttle (1996), pengukuran kualitas jasa dalam
konteks yang spesifik dengan menyertakan hanya empat hingga lima atribut sering tidak
memadai (Buttle, 1996).
3.3. Hasil Analisis dan Pembahasan
Tabel 3.3
Hasil analisis mengenai reliabilitas model pengukuran terdapat pada Tabel 3.4 Dapat
diketahui bahwa hanya indikator Q5 untuk dimensi Reliability yang memiliki koefisien
reliabilitas (R2) yang lebih kecil daripada 0.40, yaitu 0.37, sehingga dinyatakan tidak
reliabel. Indikator lainnya untuk tiap dimensi Sq memiliki koefisien reliabilitas yang lebih
besar daripada 0.40 sehingga dinyatakan reliabel.
Tabel 3.4
Hasil penghitungan koefisien reliabilitas tiap dimensi Sq terdapat pada Tabel 3.5
Dari tabel itu dapat diketahui bahwa kelima dimensi Sq tergolong reliabel karena masing-
masing dimensi memiliki koefisien reliabilitas (CR) yang lebih besar daripada 0.60.
Tabel 3.5
Penghitungan reliabilitas variabel laten Sq terdapat pada Tabel 3.6. Dari tabel itu
dapat diketahui bahwa Sq tergolong reliabel karena memiliki koefisien reliabilitas (CR =
0.92) yang lebih besar daripada 0.70
Tabel 3.6
Statistik validitas konvergen indikatorindikator dimensi Sq terdapat pada Tabel 3.7.
Dari tabel itu dapat diketahui bahwa semua indikator memiliki koefisien validitas yang
lebih besar daripada 0.20. Selain itu, tiap indikator juga memiliki nilai t yang lebih besar
daripada 1.96. Atas dasar itu dapat dinyatakan bahwa indikator-indikator tiap dimensi Sq
tergolong memiliki validitas konvergen yang signifikan.
Tabel 3.7
Penghitungan AVE untuk tiap dimensi Sq terdapat pada Tabel 3.8. Dari tabel itu
dapat diketahui bahwa kelima dimensi Sq memiliki AVE yang lebih besar daripada 0.50.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kelima dimensi memiliki validitas konvergen
yang baik .
Tabel 3.8
Informasi yang berkaitan dengan validitas diskriminan dimensi-dimensi Sq terdapat
pada Tabel 3.9. Dari tabel itu dapat diketahui bahwa tidak ada dimensi yang memiliki
AVE yang lebih besar daripada R2-nya. Jadi, validitas diskriminan semua dimensi tidak
teruji. Dengan pernyataan lain, variabilitas yang dapat diekstrak dari tiap dimensi lebih
kecil daripada variabilitas bersama antara dimensi itu dengan dimensi lainnya.
Tabel 3.9
Penghitungan koefisien reliabilitas variabel laten Sq terdapat pada Tabel 4. Dari
tabel itu dapat diketahui bahwa Sq memiliki AVE yang lebih besar daripada 0.50 sehingga
validitas konvergennya tergolong teruji.
Tabel 4
Perbedaan hasil-hasil penelitian di atasterkait dengan masalah validitas
diskriminanyang juga ditemukan dalam penelitian ini.Sebagaimana hasil penelitian ini,
validitaskonvergen service quality tergolong baiktetapi validitas diskriminan dimensi-
dimensiservice quality itu tidak tergolong baik. Hasilyang sama juga, sebenarnya,
ditemukanoleh PZB. Namun demikian, merekamenggunakan metode analisis
tertentusehingga hasil uji validitas diskriminannyamenjadi baik. Sebaliknya, penelitian
laintidak menggunakan metode tersebutsehingga diperoleh hasil yang berbeda,khususnya
mengenai validitas diskriminanmodel pengukurannya.
4. Kesimpulan
Dari 22 butir yang digunakan sebagai manifestasi variabel laten sq, satu butir yang
dimaksudkan sebagai manifestasi dimensi reliability tergolong tidak reliabel sehingga
harus ditiadakan. Dengan demikian, butir yang merupakan menifestasi sq adalah 21 butir,
yaitu 4 butir untuk dimensi reliability , 4 butir untuk dimensi assurance , 4 butir untuk
dimensi tangibles , 5 butir untuk dimensi empathy , dan 4 butir untuk dimensi
responsiveness . Reliabilitas tiap butir yang merupakan manifestasi sq tergolong reliabel.
Tiap dimensi maupun sq juga tergolong reliabel.
Validitas konvergen tiap butir maupun tiap dimensi yang merupakan menifestasi sq
tergolong baik. Sq termanifestasi dalam lima dimensi, yaitu reliability , assurance ,
tangibles , emphaty , dan responsoveness . Koefisien validitas konvergen tiap dimensi
tergolong baik, dan secara berurutan adalah 0.54, 0.68, 0.66, 0.60, dan 0.70. Validitas
diskriminan tiap dimensi yang merupakan manifestasi dari sq tidak teruji secara empiris.
Untuk penelitian yang akan datang dapat dieksplorasi atribut-atribut sq menurut
nasabah bank yang diteliti sehingga orisinalitasnya lebih terjamin. Selain itu, agar validitas
diskriminan yang teruji diperoleh seperti yang dihasilkan oleh PZB (1985, 1988), metode
analisis yang digunakan harus sama. Terkait dengan kerepresentativan subyek penelitian,
perlu diperluas dengan mencakup bank lain dan di berbagai daerah sehingga validitas
eksternal hasil penelitian yang diperoleh lebih terjamin.
Daftar Pustaka
1. http://pdfszone.com/pdf/jurnal-pemasaran-jasa-restoran.html
2. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal%20pemasaran%20jasa
&source=web&cd=1&sqi=2&ved=0CCcQFjAA&url=http%3A%2F%2Fdigil
ib.unsri.ac.id%2Fdownload%2FJurnal%2520MM%2520Vol%25203%2520N
o%25205%2520Artikel%25201%2520Diah%2520Natalisa.pdf&ei=A6zyTqHT
NLCUiQfinqzOAQ&usg=AFQjCNGCyu0P_AYkKohgscAVFYAkfYqluQ&sig2
=4rZErMR6byJ02zmhhEbP9Q&cad=rja
3. ebookkuliah.com/pemasaran-jasa-bab-06
4. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal%20pemasaran%20jasa
%20restoran&source=web&cd=5&ved=0CDgQFjAE&url=http%3A%2F%2
Fisjd.pdii.lipi.go.id%2Fadmin%2Fjurnal%2F7406969984.pdf&ei=SbPyTofiG
ceaiAfO9ai4AQ&usg=AFQjCNEn8FW0LeV7szHD5Tec14-
mdlSp6A&sig2=tFgvVGa1Lwc3u_d3ipD25g&cad=rja
5. eprints.undip.ac.id/6471/1/konsep_dasar_pemasaran_rumah_sakit_-
_septo_pawelas_arso.pdf
6. www.mm-ukrida.co.cc/sm-rct/uk-sm-89/eliza_rusli_uas.pdf
7. www.mm-ukrida.co.cc/sm-rct/uk-sm-89/heng_filipus_uas.pdf
8. jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/11073049.pdf
9. isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/11092030.pdf (telkom)
10. Angur, M. G., R. Nataraajan, and J. S. Jahera (1999), Service quaity in
the banking industry: an assessment in a developing economy, The
International Journal of Bank Marketing , 3, 116-23
11. Byrne, Barbara M. (1998). Structural equation modeling with LISREL,
PRELIS, and SIMPLIS: basic concepts, applications, and programming .
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers
12. Chin, W. (1998), Issues and opinions on structural equation modeling,
MIS Quarterly , Vol. 22 No. 1, pp. 7-16