BAB I
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RS BUDHI ASIH
PERIODE 19 OKTOBER – 26 DESEMBER 2015
Ruang rawat : 702
Tanggal masuk RS : 29 Oktober 2015
1.1 Identitas Pasien
RM : 01.00.2x.xx
Nama : Ny.E
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 40 th
Alamat : Tegal parang IV no 9 Jakata Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Menikah
1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di ruang 702 lantai 7 RS
Budhi Asih pada 10 November 2015 pukul 17.30
Keluhan Utama :
Lemas sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke RS Budhi Asih pada tanggal 29 Oktober 2015 dengan keluhan badan
terasa lemas sejak 1 minggu SMRS . Pasien mengatakan sudah makan namum badan
selalu terasa lemas dan ingin pingsan. Pasien mengaku BAB berwarna hitam dengan
konsistensi yang padat frekkuensi 2x/hari, namun pasien tidak mengetahui pasti sejak
kapan BAB nya berarna hitam. Pasien mengaku ini pertama kalinya terjadi dan pasien
menyankal bahwa terdapat bintikbintik merah di tubuhnya, mudah memar atau terjadi
perdarahan seperti haid yang terlalu lama, mimisan. Pasien hanya mengaku nafsu
makannya menurun. Demam, Nyeri kepala, pusing berputar, mual muntah, serta keringat
dingin disangkal. Pasien juga tidak mengeluhkan gusi berdarah serta BAK dalam batas
normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal pernah terkena penyakit serupa sebelumnya. Riwayat tekanan
darah tinggi, kencing manis, alergi disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal bahwa di keluarganya ada yang mengalami hal serupa. Keluarga
tidak ada yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, dan alergi.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak dalam konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu yang lama
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien memiliki kebiasaan
minum jamu
Anamnesis menurut sistem :
Umum : Pasien sadar, tampak sakit sedang
Kulit : tidak ada keluhan
Kepala : Nyeri kepala (-)
Mata : Nyeri di sekitar bola mata (-), penglihatan double (-)
THT : Mimisan (-), batuk pilek (-), nyeri menelan (-)
Leher : Benjolan (-)
Thoraks : Batuk (-), sesak (-)
Abdomen : Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
Saluran kemih : BAK lancar, darah (-) BAB berwarna hitam (+)
Genital : Tidak ada keluhan
Ekstremitas : Tidak ada keluhan
1.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Tampak Sakit Sedang
Kesadaran Compos Mentis
Tanda Vital
TD : 110/80 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 35,8◦C
Status Generalis
Kepala Normochepal
Mata Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-),
pupil isokor (+/+), refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+)
Hidung Bentuk normal, sekret (-/-), pernapasan cuping hidung (-/-),
deviasi septum (-/-), hipertrofi konka (-/-)
Telinga Bentuk normal, nyeri tarik (-/-), nyeri tekan (-/-), sekret
(-/-), serumen (-/-)
Mulut Mukosa bibir merah muda, sianosis (-), pucat (+), oral
hygine baik, faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, dendritus
(-), uvula di tengah, coated tongue (-)
Leher Pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)
Thoraks Inspeksi
Bentuk dinding dada :
Efloresensi bermakna (-)
Simetris kanan/kiri saat inspirasi maupun ekspirasi
Retraksi sela iga (-)
Ictus cordis di ICS IV garis midklavikula sinistra
Palpasi
Paru : Vocal fremitus kanan/kiri sama kuat
Jantung : Ictus cordis teraba pada ICS IV 1 cm medial
garis midklavicularis sinistra
Perkusi
Paru kanan/kiri sonor
Batas paru - hepar : ICS VI garis midclavicularis
dextra, peranjakan pada ICS VII garis midclavicularis
dextra
Batas paru - jantung kanan : ICS II-ICS IV linea para
sternalis dextra
Batas paru - jantung kiri : ICS VI linea midclavicularis
sinistra
Batas paru - atas jantung : ICS II linea parasternalis
sinistra
Auskultasi
Paru : Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing
-/-
Jantung : S1&S2 irama regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi
Perut datar, sagging of the flanks (-)
Warna kulit sawo matang, tidak ada kemerahan,
efloresensi yang bermakna (-)
Auskultasi
Bising usus terdengar, 2x/menit
Perkusi :
Timpani pada keempat kuadran abdomen
Palpasi
Dinding perut supel
Nyeri tekan pada regio epigastrium (-), nyeri
hipokondrium sinsitra dan dextra, serta region
umbilical (-)
Tidak terdapat pembesaran hepar maupun lien
Genitalia Tidak dinilai
Ekstremitas Inspeksi
Warna kulit putih langsat, hematom bekas suntikan
pada kedua lengan (+)
Tidak terdapat deformitas pada ekstremitas atas dan
bawah
Oedem (-)
Palpasi
Akral teraba hangat
Oedem (-)
Nyeri tekan (-)
CRT < 2s
1.4 Pemeriksaan Penunjang
29 Oktober 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi Rutin
Leukosit 1.0* ribu/dL 3.8 – 10.6
Eritrosit 1.0 * juta/mcL 4.7 – 5.9
Hb 3.1* g/dL 13.2 – 17.3
Hematokrit 9 * % 40 – 52
Trombosit 11* ribu/mcL 150 – 440
MCV 87.0 fL 80 – 100
MCH 30.1 Pg 26 – 34
MCHC 34.7 g/dL 32 – 36
RDW 17.1 % <14
METABOLISME
KARBOHIDRAT
Glukosa darah sewaktu 131* mg/dl <110
ELEKTROLIT
Natrium 142 mmol/L 135-155
Kalium 4.3 mmol/L 3.6-5.5
Chlorida 110* mmol/L 98-109
KIMIA KLINIK
HATI
Bilirubin total 0.23 U/L <1
Bilirubin direk 0.06 U/L <0.3
Billirubin indirek 0.17 mg/dL <0.6
Protein total 6.2* g/dL 6.4-8.3
Albumin 3.7 g/dL 3.5-5-2
Globulin 2.5 g/Dl 1.8-3.5
HEMATOLOGI
Bei (Fe/Iron) 103 µg/dL 50-170
TIBC- Besi daya ikat total 383 µg/dL 240-400
SADT
Eritrosit : normositik normokrom
Leukosit : kurang (morfologi : normal)
Trombosit : kurang (morfologi : normal)
Morfologi : normal
Kesan : pansitopeni, limfositosis relatif
1.5 Ringkasan
Pasien datang ke RS Budhi Asih pada tanggal 29 Oktober 2015 dengan keluhan badan
terasa lemas sejak 1 minggu yang lalu smrs. Pasien mengatakan sudah makan namum
badan selalu terasa lemas dan ingin pingsan. Pasien mengaku BAB berwarna hitam
dengan konsistensi yang padat frekkuensi 2x/hari Pada pemeriksaan fisik ditemukan
hematom pada kedua lengan pasien bekas suntikan dan konjungtiva dan bibir yang
anemis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit 1000/dL eritrosit 1,0 juta/mcL
Hb 3.1g/dL t rombosit 11.000/mcL, Gula darah sewaktu 131 mg/dL, chlorida 110
mmol/L, protein total 6.2 g/dL.
1.6 Analisis Masalah
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang masalah pada
pasien ini adalah ITP. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan badan terasa lemas
sejak 1 minggu yang lalu dan pasien mengaku BAB berwarna hitam dengan konsistensi
yang padat frekkuensi 2x/hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hematom pada kedua
lengan pasien bekas suntikan dan konjungtiva dan bibir yang anemis. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan leukosit 1000/dL eritrosit 1,0 juta/mcL Hb 3.1g/dL t rombosit
11.000/mcL, Gula darah sewaktu 131 mg/dL, chlorida 110 mmol/L, protein total 6.2
g/dL.Rencana tatalaksana pada pasien ini adalah tirah baring, konsumsi makanan lunak,
banyak minum air putih, membersihkan gigi tidak menggunakan sikat, sempat di berikan
PRC 5 kantong darah dan pemasanggan NGT, saat ini pasien meggunakan obat-obatan
seperti kalbamin/12 jam, vit k 3x1, transamin 3x1, pumpicel 2x1, metil prednisolon
1x62,5mg, ulsaat syrup 4x1, lactulac 2x1 dan call cept 2x500 .
1.7 Follow Up
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/n.L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur dari trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.1
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan jumlah trombosit yang rendah dan perdarahan mukokutan.2
3.2 Epidemiologi
Perkiraan insiden adalah 100 kasus per 1 juta orang per tahun, dan sekitar setengah
dari kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak. Insiden PTI pada anak antara 4,0-5,3 per
100.000, PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28 % anak-anak
dengan PTI akut berkembang menjadi kronik 15-20%. Purpura Trombositopenia Idiopatik
(PTI) pada anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai
PTI dewasa yang khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak
per tahun.1,2
Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi pertahun
(5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) kronikpada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan
median rata-rata usia 40-45 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada
pasien PTI akut sedangkan pada PTI kronik adalah 2-3:1.1
Pasien PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gagal diterapi dengan
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena angka
trombosit di bawah normal atau ada perdarahan. Pasien PTI refrakter ditemukan kira-kira 25-
30 persen dari jumlah pasien PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian
terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.1
3.3 Patofisiologi
Sindrom PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yakni berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklir melalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama
mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein Ilb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang
dominan dengan mendemostrasikan bahwa elusi autoantibodi dari trombosit pasien PTI
berikatan dengan trombosit normal.1,3,5
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan perkiraan
ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima
transfuse plasma kaya IgG, dari seorang pasien PTI. Trombosit yang diselimuti oleh
autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah
berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian
besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit.
Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi
trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary), atau karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis),
kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal.1,2,3
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI
untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan kompleks glikoprotein
IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/X,
Ia/ITa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi
terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang
diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang
berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia.1,2
Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Ilb/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody yang berasal dari displai phage
menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen
dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Pasien PTI
dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah
reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel
T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh
protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang
bertahan lama tidak dapat dikethui dengan pasti.1,3
Kebanyakan pasien mempunyai antibody terhadap glikoprotein pada permukaan
trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa
dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum
terbentuk pada tahap ini. (1)
Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen
(makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses intenalisasi
dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein Ilb/IIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel penyaji antigen
yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan bantuan
kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang
berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD-4 positif antiglikoprotein 1b/IX antibody T-
cell clone I dan T cell clone II (5) Reseptor imunoglobulin sel-B yang mengenali platelet
antigen tambahan (B-cell clone 2) dengan demikian juga terdorong untuk berkembang biak
dan mensintesis antibodi anti-glikoprotein Ib / IX (hijau) Selain memperkuat produksi anti-
glikoprotein IIb / IIIA antibodi (oranye) oleh B-1 cell clone (6).1
Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara
langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitasi, klirens
dan produksi trombosit .1
Pada umumnya obat yang dipakai pada awal PTI menghambat terjadinya klirens anti
bodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada makrofag jaringan (1).
Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini namun mungkin pula
mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibody pada beberapa
pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi
kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan
trobopoietin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan
nonspesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel T (3). Antibodi
monoclonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi
molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T makrofag dan interaksi sel T dan sel B
yang terlibat dalam produksi antibody dan pertukaran klas (4). Immunoglobulin IV
mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi antibody. Antibody
monoclonal yang mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (5).
Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari dalam plasma (6). Transfusi
trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan (7).1,2,3,4,5
Genetik
PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, serta telah
diketahui adanya kecenderungan menghasilkan autoantibody pada anggota keluarga yang
sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 dihubungkan dengan
respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid, dan HLA-DRB1*1501
dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun
demikian, banyak penelitian gagal menunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan
kompleks HLA kelas I dan II.1
3.4 Manifestasi Klinik
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang
disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik.
Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan Ebstein barr.
Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial
terjadi kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun umumnya
terjadi bentuk yang kronis. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan teijadi
pada 90% pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6
bulan.1,2,3
PTI Kronik
Awitan PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan
sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki perjalanan klinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan
tampaknya remisi tidak lengkap.1,4,5
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya berat
dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan
antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT >50.000/µL maka
biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000 /µL terdapat luka memar/hematom, AT 10.000-
30.000/µL terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila ada luka,
AT <10.000/µl.1,3
Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang dikeluhkan
berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti hidung berdarah,
mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan gusi dan epistaksis sering
terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada
tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling
sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak
pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis.
Perdarahan intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan
trombositopenia berat.1,2,3,5
Pada pemeriksaan, pasien tampak normal, dan tidak ada temuan abnormal selain yang
berkaitan dengan pendarahan. Pembesaran limpa harus mengarah pada mempertanyakan
diagnosis. Tampak tanda-tanda perdarahan yang sering muncul seperti purpura, petechiae,
dan perdarahan bula di mulut. 3
3.5 Diagnosis
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta
tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk
sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat
menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena
trombosit yang rendah (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan perdarahan selaput
lendir yang lain). 1,2,3,5
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati. Selain
trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang lain. Megatrombosit
sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi oleh flow
sitometri berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak
sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah
satu diagnosis penting adalah pungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak
megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung trombosit.2,3,4
Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40 tahun,
pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau pasien yang
tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri
hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi
kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit
dihubungkan dengan antibodi secara uji langsung untuk mengukur trombosit yang berikatan
dengan antibodi yakni dengan Monoclonal-Antigen-Capture Assay, sensitivitasnya 45-66%,
spesifisitasnya 78-92% dan diperkirakan bernilai positif 80-83 %. Uji negatif tidak
menyingkirkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini
tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI. 2,3
3.6 Diagnosis Banding
Trombositopenia dapat dihasilkan baik oleh sumsum tulang yang berfungsi abnormal
atau kerusakan perifer. Meskipun sebagian besar gangguan sumsum tulang menghasilkan
kelainan di samping adanya trombositopenia, diagnosa seperti myelodysplasia baru dapat
dihilangkan hanya setelah dengan memeriksakan sumsum tulang. Sebagian besar penyebab
trombositopenia akibat kerusakan perifer dapat dikesampingkan oleh evaluasi awal. Kelainan
seperti DIC, trombotik trombositopenia purpura, sindrom hemolitik-uremic, hypersplenisme,
dan sepsis mudah dihilangkan oleh tidak adanya penyakit sistemik. Pasien harus ditanya
mengenai penggunaan narkoba, terutama sulfonamid, kina, thiazides, simetidin, emas, dan
heparin. Heparin sekarang merupakan penyebab paling umum obat yang menginduksi
trombositopenia pada pasien yang dirawat. Sistemik lupus erythematosus dan CLL
merupakan penyebab yang sering trombositopenia purpura sekunder, yang secara
hematologis identik dengan PTI.1,3,4,5
3.7 Penatalaksanaan
Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi menghindari
aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari pemakaian
obat-obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis. 1
Terapi Awal PTI (Standar)
Prednison
Prednison, terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1
bulan , kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT<30.000 mL,
AT>50.000/µL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila
peningkatan AT <30.000µL/ AT≤50.000/ µL terapi 10 hari. Respon menetap bila AT
menetap >50.000/mL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan
trombositopenia berat (AT <10.000/µL) setelah mendapat terapi prednisone perlu
dipertimbangkan untuk splenektomi.1
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-turut
digunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT <5000/mL meskipun telah mendapat
terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang progresif. Hampir 80%
pasien berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu pertimbangan biaya.
Gagal ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada pasien yang
mempunyai defisiensi IgA Kongenital.
Mekanisme kerja IglV pada PTI masih belum banyak diketahui namun meliputi
blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi. 1
Splenektomi
Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk PTI, dan kebanyakan
pasien dewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi. Terapi prednison dosis tinggi tidak
boleh berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari operasi. Splenektomi diindikasikan jika
pasien tidak merespon pada prednison awal atau memerlukan prednison dosis tinggi yang
tidak masuk akal untuk mempertahankan jumlah platelet yang memadai. Pasien lain mungkin
tidak toleran terhadap prednison atau mungkin hanya lebih memilih terapi bedah alternatif .
Splenektomi dapat dilakukan dengan aman bahkan dengan menghitung trombosit kurang dari
10.000 / MCL. 80 % pasien mendapatkan manfaat dari splenektomi baik dengan remisi
lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-25%.1,3
Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya
cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah penggunaan IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai
terapi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus.
Untuk memutuskan apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000 /µL sampai 50.000/µL
bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya
risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/µL perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau
setelah trauma pada beberapa pasien. Pada pasien PTI kronik dan AT <30.000/µl IglV atau
metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi.1,3
Terapi PTI Kronik Refrakter
Pasien refrakter (±25%-30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena
AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respons terapi yang
rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna terhadap penyakit ini dan terapinya serta
memiliki mortalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria
sebagai berikut: a). PTI menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan
splenektomi; c). AT <30.000/mL.1
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada beberapa
pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan relatif
kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. 1
Steroid Dosis Tinggi
Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral
dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus.
Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT
>100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon
dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. 1
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan
ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan
dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada
pasien PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis
diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan pasien PTI klinis
ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional. Pasien yang mendapat
terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan
mempunyai angka respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara pada
semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat. 1
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut, sering
dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping,
terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau
disubtitusi dengan anti-D intravena. 1
Anti-D Intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa.
Dosis anti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah
merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi
bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. 1
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin bernilai
ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat,
misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu. 1
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering
lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampai
dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4
bulan. 1
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainnya.
Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat
tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,
simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian
siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti
pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin
50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan
turunkan sampai dosis terkecil. 1
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus
diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis
yang serius. 1
Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau
kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan aktif
namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah penanganannya. Pada
umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa
mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan
terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-,
(ii) anti-CD20, (iii) Campath-1H, (iv) mikofonelat mofetil, (vi) terapi lainnya. 1
Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi dan
bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu antibodi
monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan 25 - 50%, dan
memiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.6
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya. perdarahan
aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi
lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal
pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-, protein A columns,
plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkemoendasikan. 6
Kesulitan utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana dan,
seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas selama beberapa
bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan peningkatan risiko infeksi menyulitkan
pengobatan dengan menggunakan obat yang imunosupresif. 6
Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan untuk ITP yang
refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin juga dapat sebagai alternatif
bagi pasien yang tidak dapat mentolerir terapi imunosupresif atau pada calon yang tidak
dapat menggunakan untuk itu. Tempat agen ini pada armamentarium dari terapi ITP,
bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh uji klinis lebih lanjut
dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman yang lebih baik dari kontribusi relatif
penghancuran platelet dan gangguan produksi trombosit pada masing-masing pasien dengan
ITP.6
3.8 Prognosis
Respons terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid. Pasien PTI dewasa
hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya
disebabkan oleh perdarahan intracranial yang berakibat fatal berkisar 2,2% untuk usia lebih
dari 40 tahun dan sampai 47,8% untuk usia lebih dari 60 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Purwanto Ibnu . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Ed : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.Purpura Trombositopenia idiopatik,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
2. Hoffbrand, A.V.2005. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC
3. Thrombocytopenic idiopatik purpura (ITP). (Online). (Available at 2 http://www.nejm.org .diakses 18 Juni 2012)
4. Idiopatik Trombositopeni Purpura. 2010. http://www.scribd.com/doc/32269892/Idiopatik-
trombositopenia-akut Diunduh 18 juni 2012.
5. Anonim. Idiopathic Trombocytopenic Purpura (ITP) http://emedicine.medscape.com/article/202158-overview Diunduh 18 juni 2011
6. http://referensikedokteran.blogspot.com/2012/03/referat-purpurae-trombositopenia.html