Bunga Rampai
Penginderaan Jauh Indonesia
2012
Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132
ISBN 978-602-19911-2-1
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012
Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh,
Institut Teknologi Bandung
Gedung Labtek IX-C, lt. 3
Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132
http://crs.itb.ac.id
email: [email protected]
Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Yayusman
Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil
Cetakan Pertama : April 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 ii
Kata Pengantar
Isu-isu mengenai lingkungan, pangan, kependudukan, dan berbagai isu lain yang
berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia selalu penting untuk
dipelajari secara seksama. Kebutuhan tersebut semakin menyadarkan betapa
pentingnya informasi spasial yang dapat diperoleh dengan mudah, cepat, dan
akurat untuk membangun suatu sistem pengambilan keputusan yang tepat dan
efisien.
Penginderaan jauh yang merupakan teknologi berbasis geospasial dengan
kemampuan memberi informasi mengenai gambaran di permukaan bumi dapat
mempermudah manusia dalam mengambil keputusan terhadap berbagai
fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar. Teknologi penginderaan jauh yang
semakin berkembang dengan diluncurkannya berbagai jenis satelit dan sensor
memungkinkan semakin banyak aplikasi-aplikasi yang dapat didukung.
Buku dengan judul “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012” ini
ditujukan sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan
penginderaan jauh. Beragam karya ilmiah mengenai aplikasi dalam berbagai
bidang baik lingkungan, pertanian, perikanan, dan bencana alam menjadi bagian
dalam buku ini.
Harapan redaksi agar buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun sumber pengetahuan baru di bidang penginderaan jauh.
Tentunya partisispasi dari para peneliti dan penulis lain juga dinantikan agar
semakin banyak inovasi dan penyampaian ilmu pengetahuan mengenai
penginderaan jauh khususnya di Indonesia di masa yang akan datang.
Tim Redaksi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 iv
Daftar Isi
Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas Padi dengan Pendekatan Integrasi
Teknologi Hyperspectral Remote Sensing, Algoritma Genetika dan Model
Pertumbuhan Ekonomi Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier: .................... 1
Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Area Frame dengan Citra Satelit
Multisensor .......................................................................................................... 23
Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi Terakibat Organisme Pengganggu
Tumbuhan Wereng Batang Coklat (WBC) ......................................................... 39
Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah dari Citra Resolusi Tinggi
Menggunakan Metode Object Based Image Analysis ......................................... 57
Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Tanaman
Industri ................................................................................................................ 75
Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah Potensi Air Permukaan Berbasis
Data Spasial ....................................................................................................... 103
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi Penangkapan Ikan di Indonesia ... 123
Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Salam,
Magelang, Jawa Tengah .................................................................................... 137
Pembentukan Model dan Parameter untuk Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan
Data Light Detection and Ranging (Lidar) ........................................................ 149
Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR Menggunakan Citra
Alos Palsar ......................................................................................................... 167
Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok Karbon ....... 183
1
Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas
Padi dengan Pendekatan Integrasi Teknologi
Hyperspectral Remote Sensing, Algoritma
Genetika dan Model Pertumbuhan Ekonomi
Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier:
-Sistem untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan
Nasional-
Muhamad Sadly, S. Mulyono, A. Sulaiman
2 Muhammad Sadly, dkk.
Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas Padi dengan
Pendekatan Integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing,
Algoritma Genetika dan Model Pertumbuhan Ekonomi
Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier: -Sistem untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional-
Muhamad Sadly, S. Mulyono & A. Sulaiman
Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA),
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Gedung II BPPT, lantai 19, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340
Telp. : (021) 3169700; Fax: (021) 3169720
Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]
Abstrak
Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam
membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield
Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.
Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma
Genetika (GA) dan model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika
nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode
konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode
konvensional adalah, perhitungan produktifitas padi masih dilakukan secara
manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di
dalam implementasinya. Model yang dikembangkan di sini dinamakan “Model
prediksi HyperSRI”. Model pertumbuhan berdasarkan dinamika nonlinier akan
tergantung terhadap parameter dan kondisi awal. Ketepatan penentuan kedua
parameter tadi akan menetukan hasil model untuk prediksi jangka panjang.
Penentuan tersebut dilakukan berdasarkan teknologi remote sensing hyperspectral
dengan studi khusus daerah kabupaten Karawang. Genetic algorithms based new
sequence principal component regression (GA-NSPCR) yang dikombinasikan
dengan algoritma genetika yang digunakan untuk membangun model prediksi
sekaligus untuk pemilihan fitur (band) yang optimal dari data penginderaan jauh
hiperspektral. Model pertumbuhan ekonomi diturunkan dan dilakukan analisis
standard berdasarkan kondisi kestabilan dan diselesaikan secara numerik. Dengan
usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih akurat
dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Kegunaan dari
hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi
distribusi pertumbuhan padi (paddy growth stage distribution) dan prediksi
produktivitas padi (Yield prediction) yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses.
Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah pengembangan model
integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan
Algoritma Genetika (GA) dan model pertumbuhan ekonomi pertanian
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 3
berdasarkan dinamika nonlinear untuk aplikasi dalam pengembangan sistem
prediksi produktivitas padi yang mempunyai konsep Maju, Menguntungkan,
Sejahtera dan Lestari. Model yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent
decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara
ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna
mengenai informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi
yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya,
perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini
akan divalidasi dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi
Jawa Barat.
Kata Kunci : dinamika nonlinier, model pertumbuhan ekonomi, pertanian,
hiperspektral, penginderaan jauh, algoritma genetika
Abstract
In this research proposed a new approach in the development of rice yield
prediction system to support National Food Security Program. Hyperspectral
remote sensing technology is integrated with Genetic Algorithm and agriculture
economic growth model based on nonlinear dynamic decided as a new
approach in order to improve the existing conventional method. The main
problem of a conventional method is the estimation of rice productivity using
manual system and the result obtained is not optimal and impractical in its
implementation. Model developed called “HyperSRI Prediction model”.
Agriculture economic growth model based on nonlinear dynamic depend on the
initial parameter and condition. The suitable of both parameters are important
factor for long term prediction. The deciding of parameters are based on
hyperspectral remote sensing technique in Karawang District, West Java.
Genetic algorithm based New Sequence Principle Component Regression (GA-
NSPCR) combined with Genetic Algorithm is used to build the prediction model
and also for optimal feature selection (optimal band selection) from
hyperspectral data. Economic growth model based on stability condition and
finalized by numerical approach. This model can provide the rice yield prediction
model more accurate than conventional method. Also, HyperSRI Prediction
Model is capable of providing technology solutions to address these issues in the
conventional method. The benefit of this research can give data and information
related to the paddy growth stage distribution and yield prediction easily
accessible, fast and accurate. This model having having the concept: advanced,
profitable, prosperity and sustainable. Model developed is indicated by the
characteristics as intelligent decision support system, cost minimizing objective
function and economic beneficial. Furthermore, this system can provide
appropriate information of paddy growth stage distribution and yield prediction
easily accessible, fast and accurate and also this model can help the agriculture
society to increase their income, local economic, country foreign exchange from
4 Muhammad Sadly, dkk.
fishery industry sector. The model will be validated and implemented in several
regions in Indonesia, for example in the paddy field of Karawang District, West
Java.
Keywords: nonlinear dynamic, economic growth model, agriculture,
hyperspectral, remote sensing, genetic algorithm
1. PENDAHULUAN
Salah satu produk pertanian dalam hal ini beras merupakan makanan pokok bagi
sebagian besar negara Asia, termasuk Indonesia. Sebagai makanan pokok,
pemenuhan kebutuhan beras bagi penduduk Indonesia mendapat perhatian khusus,
karena hal ini menyangkut masalah stabilitas sosial, ekonomi dan politik. Segala
daya upaya harus disiapkan oleh pemerintah dari semua lini terkait secara sinergi
untuk mengupayakan stabilitas pemenuhan kebutuhan pokok akan pangan, mulai
dari kebijakan pemerintah, payung hukum, kontrol sarana produksi pertanian di
pasar, asistensi teknik, teknik estimasi produksi, distribusi panen, sampai pada
kontrol harga jual di pasar. Sebagai negara agraris, luas daratan Indonesia hanya
sepertiga dari total luas wilayah, sedangkan sisanya merupakan lautan. Luas
daratan itu harus dibagi lagi untuk berbagai peruntukan, seperti hutan lindung,
hutan produksi, permukiman, pasar, kawasan industri, fasilitas infrastruktur, dan
lain-lain. Kebutuhan lahan untuk permukiman, sekolah, pasar, dan fasilitas
infrastruktur terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk yang kini
telah mencapai sekitar 234.2 juta jiwa dan bertambah dengan laju 1,3% per tahun.
Menurut Badan Pusat Statistik (Prihtiyani, dkk., 2011), kebutuhan beras
penduduk Indonesia per kapita telah direvisi menjadi sebesar 113 kg per tahun,
yang berarti kebutuhan beras nasional mencapai sekitar 27 juta ton beras pada
tahun 2011.
Dari sekitar 21 juta hektar luas keseluruhan lahan pertanian Indonesia, 7,7 juta
hektar merupakan lahan sawah padi (Tetanel). Di sisi lain, kemampuan
produksi rerata lahan padi di Indonesia adalah 4,6 ton per hektar. Itu berarti
kemampuan produksi padi untuk sekali tanam adalah 35,42 juta ton gabah kering
giling atau setara dengan 21,25 juta ton beras. Bila diasumsikan secara pesimis
rata-rata penanaman padi yang berhasil dilakukan dalam setahun adalah 1,5 kali
tanam untuk setiap sentra produksi pertanian, maka produksi beras total Indonesia
hampir mencapai 32 juta ton beras. Hal ini sangat memungkinkan Indonesia
memiliki surplus beras sebesar 5 juta ton beras yang dapat digunakan sebagian
untuk stok ketahanan pangan dan sebagian untuk keperluan ekspor. Akan tetapi
ironisnya nilai impor beras semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Masalah utama yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah kesimpangsiuran dan
ketidakjelasan informasi stok beras Indonesia, di mana masing-masing pihak
memiliki data yang saling berbeda, seperti Badan Pusat Statistik (BPS),
Kementerian Pertanian, dan Badan Urusan Logistik (BULOG). Dalam konteks
ketahanan pangan, ketidaktersediaan informasi terkini tentang persedian beras
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 5
nasional serta tidak adanya sistem estimasi prediksi produksi padi nasional yang
cepat, tepat, dan handal, sudah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan
rupiah setiap tahun yang hanya untuk impor beras. Melalui pemanfaatan remote
sensing, perlu untuk dilakukan penelitian untuk membangun suatu model prediksi
produksi beras di sentra produksi pertanian Indonesia yang cepat, tepat (lebih
akurat), handal, serta mudah digunakan pada tingkat operasional.
Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam
membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield
Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.
Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma
Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika
nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode
konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode
konvensional adalah, perhitungan produktifitas padi masih dilakukan secara
manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di
dalam implementasinya. Model yang dikembangkan di sini dinamakan “Model
prediksi HyperSRI” (Nakariyakul dkk., 2003; Valls dkk., 2005; Mulyono dkk.,
2012)
Dalam perencanaan pembangunan diperlukan prediksi secara tepat tentang
produksi beras beberapa tahun kedepan. Prediksi ini dilakukan dengan
memperhitungkan beberapa faktor yang pada dasarnya faktor-faktor tersebut
saling terkait satu sama lain. Pemahaman secara terintegrasi faktor-faktor tersebut
hanya dapat dilakukan melalui suatu model dinamika. Model dinamika tersebut
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial sehingga analisis sistem
persamaan diferensial menjadi suatu keharusan. Tetapi tiga dasawarsa ini telah
berkembang bahwa model ekonomi dibangun oleh sistem persamaan diferensial
yang tak linier dimana belum ada solusi analitik yang general sehingga analisis
sistem yang bersangkutan masih sangat terbuka. Ada banyak cara untuk
menganalisis sistem ini. Pada dasarnya secara numerik kita bisa mencari solusi
sistem persamaan diferensial ini tetapi ini merupakan pekerjaan brute force jika
kita tidak dapat mengenali sistem secara baik. Hal yang sangat menarik adalah
bahwa solusi sangat tergantung dari parameter yang terkandung dalam persamaan
dan kondisi awal. Penentuan kondisi awal inilah dapat diperoleh secara tepat
dengan menggunakan teknologi remote sensing hyperspectral (Vaiphasa dkk.,
2004).
Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih
akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Model
yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent decision support system, cost
minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem
ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi
pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat
dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa
6 Muhammad Sadly, dkk.
negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini akan di validasi dan
diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
2. PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI HYPERSRI: METODOLOGI
DAN HASIL
Metodologi yang akan dijabarkan berikut ini disusun secara hierarki sedemikian
rupa agar didapatkan hasil kajian yang komprehensif, sistematik dari hulu yang
berisi mengenai pengembangan metode baru di dalam membangun model
prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield Prediction) dalam rangka
mendukung program ketahanan pangan nasional. Teknologi Hyperspectral
Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model
pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear dipilih sebagai
pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini
masih digunakan. Adapun detil metodologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.1 Monitoring dan Prediksi Produktivitas Padi dengan Penginderaan Jauh
Hyperspectral dan Genetic Algorithm
Teknologi penginderaan jauh (Remote sensing technology) adalah teknologi
untuk mengumpulkan informasi tentang permukaan bumi berdasarkan perekaman
energi cahaya pantul dan pancaran cahaya objek dengan menggunakan sensor
yang dipasang pada wahana satelit di luar angkasa. Dengan kemampuannya
mengumpulkan informasi dalam cakupan area yang sangat luas dan cepat, maka
membuat teknologi ini cepat berkembang dan mudah diaplikasikan untuk
keperluan analisis dengan berbagai macam aplikasi.
Di awal perkembangannya, teknologi ini masih menggunakan beberapa sensor
(multispectral remote sensing) terutama untuk mendeteksi cahaya tampak (visible
light) dan cahaya dekat infra merah (near infrared) untuk pemantauan vegetasi
secara umum. Karena tuntutan kebutuhan akan pengamatan objek lain di
permukaan bumi yang lebih rinci, maka diperlukan sensor yang mampu
mendeteksi cahaya dengan jangkauan yang lebih luas dan dengan resolusi
spektral yang sangat tinggi. Teknologi penginderaan jauh hiperspektral
(Hyperspectral Remote Sensing) yang merupakan pengembangan terbaru dari
teknologi penginderaan jauh memiliki beberapa keuntungan nyata dibandingkan
dengan teknologi sebelumnya yaitu penginderaan jauh multispektral
(Multispectral Remote Sensing). Sensor remote sensing generasi baru ini
memiliki spectral band hingga ratusan buah dengan lebar pita (bandwidth) relatif
sempit berkisar 5-10 nm. Dengan demikian membuat teknologi ini
memungkinkan untuk dipelajari secara lebih rinci untuk pemantauan vegetasi
pada umumnya, serta lebih spesifik untuk memantau pertumbuhan dan
perkembangan kondisi tanaman padi. Teknologi ini memiliki potensi untuk
memberikan informasi tentang tanaman pertanian secara kuantitatif dan cepat,
tanpa merusak tanaman itu sendiri dalam area jangkauan yang sangat luas. Hal ini
terjadi karena hyperspectral menyediakan informasi spektral yang mencirikan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 7
unik dan mengidentifikasi bahan kimia, kelembaban, dan sifat fisik dari bagian-
bagian konstituen dari suatu obyek masukan (Nakariyakul , 2003). Data
hyperspectral juga telah berhasil digunakan untuk melakukan klasifikasi seperti:
internal-almond yang rusak dari yang normal (Casasent, dkk., 2000), diskriminasi
spesies mangrove tropis (Valphasa, dkk., 2004). Di satu sisi remote sensing
hyperspectral, dengan memanfaatkan dimensi yang tinggi ini (high spectral
resolution) terbuka peluang untuk menganalisa suatu objek dengan lebih rinci
lagi. Tetapi di sisi lain, hal ini juga akan menimbulkan permasalahan-
permasalahan tersendiri dalam analisa. Salah satunya adalah diperlukannya
metode baru yang efektif untuk memproses data dengan dimensi yang tinggi,
yang sangat bergantung pada kemampuan dari memori dan kecepatan prosesor
komputer. Selain itu untuk meningkatkan kestabilan numerik maupun algoritma
diperlukan metode pemilihan fitur (feature selection) yang efektif.
Genetic algorithms based new sequence principal component regression (GA-
NSPCR) adalah metode regresi komponen utama yang dikombinasikan dengan
algoritma genetika yang digunakan untuk membangun model prediksi sekaligus
untuk pemilihan fitur (band) yang optimal dari data penginderaan jauh
hiperspektral. Prediktor (variabel bebas) yang digunakan adalah nilai band
spektral dari sekumpulan sampel data hipersepktral yang jumlahnya hingga
ratusan band, yang disusun ke dalam bentuk matriks (spectral matrix). GA
berfungsi untuk menentukan kromosom terbaik dengan teknik mutasi maupun
perkawinan silang antar generasi, yang dievaluasi menggunakan regresi
komponen utama. Agar dapat dianalisis menggunakan GA, terlebih dahulu
seluruh band spektral ini dirubah ke dalam bentuk kromoson biner [0,1]. Dengan
melalui sejumlah iterasi generasi, maka akan diperoleh kromoson yang terbaik,
yaitu yang menunjukan jumlah band yang sedikit dan memiliki nilai galat yang
kecil. Skema proses GA-NSPCR diperlihatkan pada Gambar 1. Sejalan dengan
proses GA di atas, spectral matrix yang telah terbentuk ditransformasikan ke
dalam ruang orthogonal untuk mendapatkan komponen utama (PC). Seluruh PC
yang terbentuk dievaluasi tingkat korelasinya terhadap nilai sampel produktifitas
padi (yield) secara linear sederhana (simple linear regression), dan disusun ulang
yang dimulai dari nilai korelasi yang tertinggi. Dari susunan PC yang telah
tersusun ulang tersebut, dipilih sebanyak 80% dari seluruh PC yang digunakan ke
dalam analisis regresi linear ganda (multiple linear regression) untuk keperluan
kalibrasi model menggunakan dataset sampel pelatihan (training dataset). Hasil
kalibrasi model ini selanjutnya diuji kembali menggunakan dataset sampel
pengujian (testing dataset), hingga diperoleh model prediksi terbaik. Model
prediksi yang diperoleh dari GA-NSPCR selanjutnya diimplementasikan ke
dalam citra hyperspectral HyMap untuk mengetahui peta sebaran prediksi
produksi padi.
8 Muhammad Sadly, dkk.
Gambar 1. Skema proses GA-NSPCR (S. Mulyono dkk.,2012)
Citra HyMap ini merupakan hasil airborne campaign di sekitar Kabupaten
Karawang pada 14 Juli 2011, kerja sama antara Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dengan Earth Remote Sensing Data Analysis Center
(ERSDAC) Jepang. Wilayah pengamatan mencakup 10 kecamatan, tetapi hanya
ada 2 kecamatan yang tercakup secara penuh batas administrasi, sedangkan 8
kecamatan lainnya hanya tercakup sebagian. Hasil prediksi ini kemudian
dibandingkan dengan data ubinan Desember tahun 2011 yang tersedia di Kantor
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Karawang. Sedangkan, Peta distribusi
prediksi yield padi untuk kecamatan di Kabupaten Karawang diperlihatkan pada
Gambar 2 sampai dengan 4.
Gambar 2. Peta distribusi prediksi yield padi untuk kecamatan (a) Lemahabang dan (b)
Talagasari
(a) (b)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 9
Gambar 3. Peta distribusi prediksi yield padi untuk sebagian kecamatan (a) Banyusari
dan (b) Cikampek
Gambar 4. Peta distribusi prediksi yield padi untuk sebagian kecamatan (a)
Cilamayakulon dan (b) Klari
2.2 Model Pertumbuhan Ekonomi Pertanian Dengan Dinamika Nonlinier
Apabila kita ingin mengetahui pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu
wilayah, indikator umum yang dapat digunakan adalah Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah
dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam suatu
negara untuk waktu satu tahun (Perko, 1991; Martono, 2011). Ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung PDRB suatu Negara atau
wilayah, yaitu melalui pendekatan pendapatan, pendekatan pengeluaran, dan
pendekatan produksi. Selama ini perhitungan nilai PDRB yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) adalah PDRB dengan pendekatan produksi yang
(a) (b)
(a) (b)
10 Muhammad Sadly, dkk.
dibentuk dari sembilan sektor atau lapangan usaha, yaitu: ( 1) Pertanian, (2)
Pertambangan dan Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air
Bersih, (5) Konstruksi/Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7)
Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan,
dan (9) Jasa-Jasa. Kesembilan sektor pembentuk PDRB tersebut merupakan
faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional
maupun daerah. Dalam penerapannya ke skala Kabupaten misalnya maka yang
dilakukan adalah perhitungan sektor yang dominan. Sebagai contoh untuk
kabupaten Karawang sektor dominan adalah pertanian (dengan komoditi terutama
beras) dan industri. Dengan memasukkan faktor jasa lingkungan maka bersama-
sama dengan PDRB atau disebut PDRBD maka kita mempunyai tiga fungsi
ekonomi. Dinamika yang dibangun oleh ke tiga fungsi tersebut akan membentuk
persamaan diferensial dengan tiga fungsi yang tak diketahui dan umumnya
dengan semakin meningkatnya kompleksitas maka fungsi akan semakin banyak
(Alayarna dkk., 2004).
Telah dikemukakan di atas bahwa untuk studi kasus di kabupten Karawang maka
sektor yang dominan adalah pertanian dan industri. Sektor pertanian
menghasilkan produk yang sangat bagus di mana 60% digunakan untuk konsumsi
atau pemenuhan kebutuhan di dalam dan sisanya 40% dijual keluar sehingga akan
memberikan dampak pada pendapatan domestik bruto daerah (PDBD). Variabel
atau fungsi ekonomi yang akan dibahas umumnya adalah total capital (K(t)), rate
of interest (r(t)) dan harga komoditi pertanian (pa(t)). Pembangunan model
dimulai dengan mendifinisikan parameter atau fungsi yang memerikan dinamika
system yaitu K(t), r(t), dan pa(t) yang menyatakan berturut-turut total modal
(capital), rata-rata interest dan harga dari komoditas pertanian. Indeks a
menyatakan pertanian (agriculture) dan indeks i menyatakan industri. Huruf L
dan N berturut-turut menyatakan total luas lahan dan kekuatan buruh (labor
force). Nj(t) dan Kj(t) adalah labor force dan stock modal yang dilakukan oleh
sektor ke j yaitu j=a,i. La(t) tataguna lahan dari sector pertanian, S(t) total
saving, Lh(t) adalah land use untuk housing, Fj(t) adalah output dan Cj(t)
konsumsi produksi. Sedangkan wj(t) dan R(t) adalah (rente upah) wage rate dan
rente.
Setelah parameter dan fungsi didefinisikan maka tibalah saatnya membangun
model. Pada dasarnya model bisa apa saja tetapi umumnya sudah ada studi
sebelumnya dan jika dirasa kurang akan dilakukan modifikasi. Studi terdahulu
tidaklah salah karena berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang terjadi
tetapi dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada maka diperlukan
modifikasi atau inovasi terhadap teori atau model terdahulu. Dalam penyusunan
model perlu dilakukan asumsi-asumsi untuk memudahkan penyusunan model dan
reabilitas di lapangan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa proses produksi
masing-masing sektor diperikan dalam fungsi produksi. Sebagai contoh produksi
pertanian merupakan kombinasi dari modal, pekerja/buruh (labor force) dan
lahan. Secara matematis fungsi produksi sektor pertanian dinyatakan sebagai
berikut (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 11
(1)
dimana ma ≥ 0, α+β+ς=1, dengan parameter diatas adalah konstanta positif.
Suku H adalah input tenaga kerja (petani) yang berkualitas. Parameter ma/β
mengukur bagaimana keefektifan sektor pertanian dalam penggunaan modal
manusia. Kondisi marginal untuk sector pertanian diberikan oleh (Alayarna, dkk.,
2004; Zhang, dkk., 2005),
(2)
Sedangkan sektor industri yang dinyatakan dalam fungsi produksi industry
diberikan dalam (Alayarna dkk., 2004; Zhang dkk., 2005),
(3)
dimana mi ≥ 0, α+β+ς=1, dengan parameter diatas adalah konstanta positif.
Dua input yaitu mesin dan kekuatan buruh dimasukkan pada perhitungan sebagai
produksi industri Dalam kasus ini perubahan lahan untuk industry diabaikan yang
berarti industry tetap dan tidak mengalami perluasan daerah. Kondisi marginal
sektor industri diberikan oleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
(4)
Persamaan (1) dan (3) menyatakan kelakuan produksi dari sektor pertanian dan
industri Asumsikan bahwa lahan milik petani yang berarti bahwa pendapatan dari
lahan akan di bagi diantara populasi. Asumsikan lagi bahwa marketnya homogen
di setiap urban land dan rural land. Total revenue diberikan oleh R(t)L dan
jika Y(t) menyatakan income dari household (rumah tangga) maka netto income
terdiri dari tiga bagian yaitu income upah (wage income), interest payment dan
revenue dari yang punya lahan yaitu ditulis (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk.,
2005),
(5)
Asumsikan bahwa utility level U(t) dari masing-masing household bergantung
pada tingkat konsumsi dari komoditas industri dan pertanian masing-masing
diberi simbol Ci(t) dan Ca(t) sedangkan kondisi housing Lh(t) dan saving S(t)
maka fungsi utilitas dinyatakan sebagai (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk.,
2005), ,
(6)
aaaa LNHKtFa
a
qm
a
ii
im
i
iii NHNtF
a
aa
a
aaa
a
aaa
L
FpR
N
Fpw
K
Fpr
;;
i
ii
i
ii
N
Fw
K
Fr
;
RLwNrKtY
10,,, SLCCtU hia
12 Muhammad Sadly, dkk.
Masing-masing parameter menyatakan kecenderungan untuk mengkonsumsi
pertanian yang bagus, komoditas industry dan housing sedangkan yang terakhir
menyatakan kecenderungan untuk tetap kaya. Kendala budget untuk households
diberikan oleh(Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
(7)
Dimana RL menyatakan payment for housing. Dengan metode prinsip pengali
Lagrange atau maximum diperoleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
(8)
Dimana persamaan ini menyatakan akumulasi kapital dari households. Lebih
lanjut diasumsikan bahwa kapital, buruh, dan lahan full employed yaitu (Alayarna,
dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
(9)
Dan produk industry semua terkonsumsi dan terinvestasi yang dinyatakan oleh
(Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
(10)
Dan keseimbangan antara permintaan dan suplai untuk produk pertanian
direpresentasikan oleh Ca=Fa.
Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah human capital (H).
Dalam ekonomi kabupaten Karawang maka faktor politik yang dianggap dapat
menentukan pertumbuhan ekonomi adalah keterbukaan. Bagaimanapun juga
interaksi dengan kabupaten lain terutama Jakarta dan pembangunan pesat dari
sektor industri akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Faktor ini akan
memberikan tekanan pada perubahan lahan dari pertanian ke sektor pendukung
industry dan lainnya. Meskipun pemerintah daerah telah menetapkan peraturan
daerah tentang perubahan kawasan pertanian menjadi kawasan lainnya maka
bukan tidak mungkin perubahan lahan pertanian akan tetap terjadi. Dalam upaya
memahami optimalisasi lahan pertanian yang ada maka dinamika lahan tetap
perlu dilakukan di mana lahan akan dikenai dua gaya utama yaitu gaya pengerak
dan gaya pendorong atau gaya internal dan eksternal. Peningkatan faktor
eksternal ini akan berkecenderungan mengurangi luas lahan(Zhang, 2005).
Dalam bahasa matematik faktor ekspansi dinyatakan oleh eksponensial
pertumbuhan dan factor pengurang akibat umpan balik dinyatakan dalam bentuk
nonlinier. Maka jika perubahan luas lahan kita nyatakan dalam variabel (L) maka
dinamika perubahan lahan akan mempunyai bentuk metematis sebagai berikut,
(11)
KYSRLCCp hiaa
KHKYtKtKtYdt
dK ,ˆ
LLLNNNKKK ahaiai
ii FKKSC
HKqLLTdt
dLaax
a ,3
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 13
dimana Tx adalah parameter adjustment yang positif Suku eLa menyatakan
kekuatan internal dan suku La3 menyatakan kekuatan eksternal. Jadi secara fisis
menyatakan bahwa suku eLa memberikan kualitas pertanian dan keuntungan
sector pertanian meningkat sedangkan suku La3 akan melawan ketertarikan orang
untuk menjadi petani akibat factor eksternal yaitu industry dan lainnya. Secara
umum jika kondisi kehidupan meningkat maka human capital akan naik maka
masyarakat akan lebih terbuka sehingga efek eksternal makin kuat. Kecepatan
adjustment merupakan aspek yang paling sulit ditentukan karena terpengaruh
psikologi masyarakat yang umumnya sulit dikuantisasi. Fungsi q(K,H)
menyatakan efek K dan H pada luas lahan pertanian. Pada umumnya parameter
ini positif tetapi tidak ada yang menjamin bahwa akan terus positif.
Berdasarkan hipotesa tadi maka dinamika human kapital diperikan oleh
(Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
(12)
di mana konstanta yang muncul adalah parameter yang umumnya positif. Suku
δH manyatakan depresiasi dari human capital. Suku pertama dari persamaan (12)
menyatakan bahwa jika system ekonomi menjadi lebih terbuka maka human
capital akan naik. Tetapi efek interaksi dengan factor eksternal pada akumulasi
human capital akan berkecenderungan untuk deklinasi jika human capital
masyarakat telah sangat tinggi. Suku kedua menyatakan learning by doing dari
sector pertanian dan suku ketiga menyatakan learning by doing dari sector
industry (Zhang, dkk., 2005).
Sejauh ini maka fungsi atau variable yang menyusun system ekonomi ini ada
delapan belas (17) yaitu K(t), H(t), Ka(t), Ki(t), Na(t), Ni(t), Lh(t), La(t), Fa(t), Ca(t),
Ci(t), S(t), U(t), r(t), w(t) dan pa(t). Fungsi-fungsi tersebut saling berinteraksi satu
sama lain sehingga akan membentuk system persamaan diferensial biasa
terkopling dan nonlinier yang rumit. Dengan kata lain sangat sulit untuk
mengekspresikan semua variable ekonomi secara lengkap. Dalam analisis
biasanya peneliti hanya melihat beberap variabel saja , misalnya variable K,La
dan H saja yang memerikan capital household, lahan pertanian dan human
capital. Secara matematis untuk merubah delapan belas variabel menjadi tiga
variabel digunakan lemma. Berikut adalah lemma tersebut (Zhang dkk., 2005).
Lemma. Untuk sembarang fungsi K(t) > 0, H(t) >0 dan X(t)> 0 pada suatu titik
di suatu saat, variable lain di dalam system secara unik ditentukan sebagai fungsi
dari K(t) dan H(t) melalui prosedur berikut ini: Ω(t) akan diwakili oleh Ka(t) dan
Ki(t) diwakili oleh Na(t) dan Ni(t) diwakili oleh Lh(t), Fa(t) menjadi pa(t)
sedangkan Fi(t) diwakili oleh r(t) dan w(t) sedangkan Ca(t) diwakili S(t) dan
Ci(t) diwakili U(t). Karena itu persamaan untuk K(t), H(t) dan X(t) memenuhi
system persamaan diferensial berikut (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),
H
NH
FN
NH
FN
bH
aLT
dt
dHh
iiiaaaah
ia
1
14 Muhammad Sadly, dkk.
(13)
di mana ada relasi yang dbangun oleh lemma tersebut yaitu (Zhang dkk., 2005),
(14)
dengan
iiia 11 ,
Ini adalah menyerupai persamaan keadaan di dalam system termodinamika.
Dengan lemma tersebut maka kita digaransi bahwa dengan hanya mengetahui
variabel tersebut maka semua system ekonomi yang diperikan oleh delapan belas
variebel tersebut dapat ditentukan. Jadi sistem ekonomi kita yang rumit tadi
sudah diperikan secara lengkap oleh persamaan-(13).
3. ANALISIS DAN DISKUSI
Analisis hasil citra satelit dengan sensor hyperspectral dan perbandingannya
dengan data di lapangan untuk kasus Kabupaten Karawang di sarikan dalam
Tabel-1.
Dari Tabel 1 diketahui bahwa Kecamatan Lemahabang dan Talagasari yang
tercakup secara penuh pada citra HyMap dapat memberikan hasil prediksi dengan
akurasi di atas 90%. Sedangkan untuk kecamatan lain yang tidak tercakup secara
penuh pada citra HyMap memberikan hasil dengan akurasi yang masih beragam
antara 65,86% sampai dengan 95,46%. Selain karena daerah cakupan yang tidak
penuh, hal ini disebabkan oleh faktor kondisi perawanan pada citra masih cukup
dominan, sehingga mempengaruhi hasil prediksi panen padi khususnya di
Kecamatan Cilamayakulon dan Tempuran.
HNH
FN
NH
FN
bH
aLT
dt
dH
HKqLLTdt
dL
KHKYdt
dK
hiiiaaaa
h
aaxa
ia
1
,
,ˆ
3
01),,ˆ(2211
ij
KY
K
KY
KHHKYf iimj
K
KY
KYK
KY
YKK ii
aa
1111
;
NNN
Y
KY
N
Naii
aa
i
;
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 15
Tabel 1. Rekapitulasi prediksi panen di 10 Kecamatan Karawang
No SubDistrict Total Production
[Ton]/
Harvested Area
[Ton/Ha]
Yield
[Ton/Ha]
Data from
Dinas
[Ton/Ha]
Accuration
1 Lemahabang 27,553 / 4,142 6.65 6.14 91.73%
2 Talagasari 22,881 / 3,409 6.71 6.64 98.95%
3 Banyusari 6,068 / 986 6.15 6.47 95.00%
4 Cikampek 9,183 / 1,893 4.85 6.31 76.89%
5 Cilamaya Kulon 14,909 / 2,089 7.14 5.64 73.49%
6 Klari 27,094 / 4,875 5.56 6.06 91.76%
7 Majalaya 6,679 / 1,218 5.48 6.64 82.53%
8 Rawamerta 17,464 / 2,827 6.18 6.47 95.46%
9 Tempuran 21,962 / 2,946 7.46 5.56 65.85%
10 Tirtamulya 16,918 / 3,532 4.79 6.14 77.99%
Total 170711 /27917
rata-rata 72.34%
Langkah pertama dalam menganalisis system dinamik adalah melihat kondisi
setimbangnya (equilibrium condition). Kondisi kesetimbangan umumnya dicapai
dengan mencari solusi steady dari persamaan-(13) yaitu,
(15)
Karena jumlah parameter lebih banyak dari jumlah persamaan maka solusi tak
akan diperoleh. Salah satu cara adalah menspesifikasi parameter. Misalkan kita
spesifikasi parameter b=0 maka persamaan-(14) menjadi,
(16)
dari persamaan tersebut maka titik kesetimbangan dapat ditentukan. Dengan
mengunakan persamaan keadaan yaitu Y=K/λ maka luas lahan akan mempunyai
tiga kemungkinan solusi keseimbangan. Sebagai contoh jika q(K,H)= υ1K + υ2H
maka titik keseimbangan dicapai dengan luas lahan La=±√ε/θ dan La= (υ1K +
υ2H)/ √ε/θ. Maka fungsi produksi Fa dan Fi akan stabil pada kondisi lahan
pertanian tetap. Jika perubahan lahan lambat maka akan diperoleh persamaan,
01
0,
0,ˆ
3
HNH
FN
NH
FN
bH
aL
HKqLL
KHKY
hiiiaaaa
aa
ia
0
0,
0,ˆ
3
HNH
FN
NH
FNaL
HKqLL
KHKY
hiiiaaa
a
aa
ia
16 Muhammad Sadly, dkk.
Suku eLa dan γ2 menyatakan kekuatan internal: Kualitas dan
keuntungan sector pertanian , suku La3 menyatakan kekuatan eksternal:
industry dan lainnya. Jika γ > 2.35 sistem runtuh
Gambar 5. Diagram bifurkasi system diatas
Persamaan (13) dapat dikerjakan dengan pengetahuan funsi q(K,H). Jika kita
mengambil bentuk fungsi tersebut adalah,
(17)
Yang menyatakan bahwa perubahan luas lahan dipengaruhi oleh kapital (K)
diperoleh persamaan dinamika,
(18)
Persamaan tersebut dipecahkan menggunakan metode numerik yaitu
menggunakan skema Runge-Kutta yang sudah digunakan secara luas dalam code
Matlab ode45. Hasil plot dengan syarat awal (0.5, 0.3, 0.5) seta asumsi
pertumbuhan faktor industri linier dinyatakan dalam Gambar 6.
N
KHKq ),(
HNH
FN
NH
FN
bH
aLT
dt
dH
N
KLLT
dt
dL
KRLwNrKdt
dK
hiiiaaaa
h
aaxa
a
ia
1
1
3
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 17
Gambar 6. Hasil simulasi persamaan-13 dalam Matlab dengan syarat awal (0.5, 0.3, 0.5)
dan koefisien atau parameter persamaan lamb=0.2; r=0.1; w=0.5; del=0.03; eps=0.8;
teta=0.35; nu=0.5; Tx=0.09; Th=0.07; a=0.9; ta=0.2; ti=0.5; epsa=0.6; epsi=0.45;
Na=1; Ni=1; Fa=1; R=1; N=2; b=0.7; delh=del*eps; a) faktor pertumbuhan industri
linier b) dengan memasukkan faktor teknologi, c). pertumbuhan industry eksponensial, d)
ada insentif terhadap lahan pertanian
Pada Gambar 6, Terlihat bahwa dengan asumsi pertumbuhan industri linier maka
luas lahan dan modal akan mencapai kondisi tunak tetapi produksi masih bisa
tumbuh. Jika memasukkan efek teknologi yang dimodelkan dengan hadirnya
suku e^(0.05*t) di faktor pertumbuhan pertanian maka terlihat bahwa
pertumbuhan dapat meningkat dua kali lipat pada saat modal dan luas lahan
dalam kondisi tunak. Pembangunan pertanian bersifat menggunakan teknologi
padat tenaga kerja dan secara relatif menggunakan sedikit kapital, meskipun ada
investasi pada pembuatan jalan, saluran dan fasilitas pengairan, serta
pengembangan teknologinya. Kenaikan produktivitas sektor pertanian
memungkinkan penggunaan tenaga kerja lebih sedikit untuk menghasilkan
kuantitas output bahan makanan yang sama. Dengan demikian sebagian dari
tenaga kerja dapat dipindahkan ke sektor industri tanpa menurunkan output sektor
pertanian. Di samping itu pembangunan atau kenaikkan produktivitas dan output
total sektor pertanian akan menaikan pendapatan di sektor tersebut. Jadi
perubahan yang terjadi pada sektor tenaga kerja dapat diatasi dengan teknologi
pertanian atau mekanisasi pertanian.
(a) (b)
(c) (d)
18 Muhammad Sadly, dkk.
4. KEUNGGULAN DAN MANFAAT MODEL PREDIKSI HyperSRI
Keunggulan utama dari sistem prediksi yang dikembangkan dalam kegiatan ini
adalah mampu memberikan solusi teknologi untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan pada metode konvensional (yang merupakan salah satu peran
BPPT). Keunikan dari system prediksi yang dikembangkan ditunjukkan dengan
ciri-ciri sebagai sistim pendukung keputusan secara cerdas (intelligent decision
support system), fungsi obyektif meminimumkan biaya (cost minimizing objective
function), bermanfaat secara ekonomi, serta mempunyai konsep Maju,
Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Lebih lanjut, prediksi tidak sepenuhnya
tergantung pada pengalaman dan pengetahuan operator. Dapat membantu
pengguna/user di dalam menyusun perencanaan strategis di bidang pertanian,
khususnya dalam program ketahanan pangan nasional. Dapat memberikan data
dan informasi distribusi pertumbuhan tanaman padi dan prediksi produktivitas
padi yang cepat, akurat, dan relatif mudah untuk diakses. Sistem ini dapat
digunakan untuk Pemerintah dan instansi swasta dalam mengelola dan menyusun
rencana strategis sumberdaya pertanian di Indonesia.
Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih
akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan.
Kegunaan dari hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan
informasi distribusi pertumbuhan padi (paddy growth stage distribution) dan
prediksi produktivitas padi (Yield prediction) yang cepat, akurat, dan mudah
untuk diakses. Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah
pengembangan model integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing
diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model pertumbuhan
ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear untuk aplikasi dalam
pengembangan Sistem prediksi pproduktivitas padi yang mempunyai konsep
Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Model yang dikembangkan
memiliki ciri: intelligent decision support system, cost minimizing objective
function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat
menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi
pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat
dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa
negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini akan di validasi dan
diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
5. KESIMPULAN
Dalam riset ini telah diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam
membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield
Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.
Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma
Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 19
nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode
konvensional yang saat ini masih digunakan. Model yang dikembangkan disini
dinamakan “Model prediksi HyperSRI”. Model prediksi produksi panen padi
dengan metode GA-NSPCR telah diimplementasikan pada citra hyperspectral
HyMap untuk menghasilkan peta distribusi yield tanaman padi dengan akurasi
yang cukup tinggi. Sedangkan citra yang mengadung faktor perawanan yang
cukup dominan, perlu dilakukan perlakuan khusus terlebih dahulu agar tidak
mempengaruhi hasil prediksi.
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa berdasarkan data dari inderaja
menunjukkan bahwa modal dan luas lahan akan mencapai kondisi tunak dimana
pertumbuhan produksi masih dapat tumbuh. Dengan memasukkan faktor
teknologi maka meskipun modal dan luas lahan berada dalam kondisi tunak tetapi
pertumbuhan faktor produksi dapat naik beberapa kali lipat. Model ini masih
dapat dikembangkan untuk memasukkan beberapa faktor dengan cara melakukan
perubahan di lemma. Penentuan parameter yang sesuai masih perlu dilakukan
untuk penyempurnaan model dinamika tesebut. Analisis kestabilan struktural
berdasarkan teori cathastrope sedang dilakukan. Lebih lanjut, hasil riset ini sangat
bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi distribusi pertumbuhan padi
(paddy growth stage distribution) dan prediksi produktivitas padi (Yield
prediction) yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses.
Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai
informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang
mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian
daerah dan devisa negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini telah divalidasi
dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
DAFTAR REFERENSI
Prihtiyani E., A. Mulyadi, 2011. Konsumsi Beras Turun 25,7 Kg Per Kapita, Harian
Kompas.
Tetanel Y., Kedaulatan Pangan dan Nasib Pertanian Indonesia, Fakultas Pertanian
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Khudori, 2007. Impor dan Statistik Beras, Koran Tempo.
Ruslan K., 2012. Menyoal Nilai Impor Beras Indonesia yang Telah Mencapai 7 Triliun
Hingga Juli 2011, Kompasiana.
Jingfeng H., T. Shuchuan, O. A.Ismail, Wang Renchao, 2002. Rice yield estimation using
remote sensing and simulation model, Journal of Zhejiang University Science, 3 (4):
461-466
Nakariyakul S., 2003. Hyperspectral Feature Selection for Detection of Chicken Skin
Tumors, Electrical and Computer Engineering, Carnegie Mellon University,
Pittsburgh.
Casasent D., and X. W. Chen, 2000. Waveband selection for hyperspectral data: optimal
feature selection, Proc. SPIE, vol. 4203, pp. 27-36.
20 Muhammad Sadly, dkk.
Vaiphasa Ch., and S. Ongsomwang, 2004. Hyperspectral Data for Tropical Mangrove
Species Discrimination, Proceedings of the 25th
ACRS Conference: p. 22-28.
Casasent D., and X.W. Chen, 2004. Aflatoxin detection in whole corn kernels using
hyperspectral methods, Proc. SPIE 5271, 275; doi:10.1117/12.516135.
Camps-Valls G., and L. Bruzzone, 2005. Kernel Based Method for Hyperspectral Image
Classification, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 43, no.
6.
Mulyono S., Student Member, IEEE, M. I. Fanany, Member IEEE, T. Basaruddin, 2012.
Genetic Algorithm Based New Sequence of Principal Component Regression (GA-
NSPCR) for Feature Selection and Yield Prediction Using Hyperspectral Remote
Sensing Data, International Geoscience and Remote Sensing Symposium, IEEE
2012. Proceedings. IGARSS.
Chambers D., and J.T Guo, 2009. Natural Resources and Economic Growth: Some theory
and evidence” , Annals of Economic and Finance , 10-2, 376-389.
Fauzy A., 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan” Penerbit Gramedia,
Jakarta.
Gilmore D., 1981. Catastrophe Theory for Scientist and Engineers” , Dover Publication,
New York.
Marcouiller D.W., and S.C. Deller, 2009. Natural Resources Stocks, Flows and Regional
Economic Change: seeing the forest and the trees” , Annals of Economic and
Finance , 10-2, 376-389.
Perko L., 1991. Differential Equation and Dynamical Systems” , Springer Verlag, Berlin.
Martono W., 2011. private communication.
Alayarna T., and D. F. Larson , 2004. Rural Development and Agricultural Growth in
Indonesia, the Philiphines and Thailand “Asia Pacific Press, Canbera.
Zhang, Wei-Bin, 2005. Differential Equation, Bifurcation and Chaos in Economic”
World Scientific , Singapore.
BIOGRAFI PENULIS
Dr. Muhamad Sadly
Dr. Muhamad Sadly lahir di Makassar (Sulawesi Selatan)
pada 14 Desember 1963. Menamatkan SD, SMP dan
SMA di Kota Makassar. Pendidikan Tinggi diawali di
Universitas Indonesia Jurusan Teknik Elektro dan meraih
gelar Insinyur UI tahun 1988. Meraih Master of
Engineering (M.Eng.) dari Department of Information and
Computer Sciences, Faculty of Engineering, Chiba
University, Japan pada Tahun 1996 dengan riset
pengembangan algoritma/model untuk aplikasi bidang
penginderaan jauh. Memperoleh gelar Doktor pada tahun 2000 dari, Graduate
School of Science and Technology, Chiba University, Japan. Pada Bulan Maret
1989 diterima bekerja di Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Alam (sekarang
Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam/PTSDA), Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Pada Tahun 2004-2009 penulis menjabat sebagai
Kepala Bidang Teknologi Pemodelan Sistem SDA pada Pusat Teknologi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 21
Inventarisasi SDA (PTISDA), BPPT. Kemudian, pada tanggal 7 Agustus 2009,
dilantik sebagai Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam
(PTISDA), BPPT. Penulis juga aktif pada beberapa organisasi profesi, baik skala
nasional maupun skala internasional. Berbagai jejaring kerjasama luar negeri
(International Networking) bidang R & D dalam Penginderaan jauh telah
dibangun, diantaranya dengan Jepang, Belgy, U.S.A, dan Taiwan. Puluhan karya
ilmiah telah di publikasikan, baik pada publikasi skala nasional maupun pada
skala internasional. Penghargaan yang ia peroleh, antara lain: Piagam Satya
Karya Satya X dan XX Tahun 1999 dan 2009; Sebagai Peneliti Utama (PU) pada
Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Bidang Kelautan untuk
Mendukung Kemandirian Agribisnis Budidaya Perikanan, dengan tema riset
Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Identifikasi Ekosistem Terumbu Karang Dan
Kesuburan Perairan di Kepulauan Bangka (2000-2001); Riset Unggulan Terpadu
IX (RUT-IX), Bidang Informasi dan Mikroelektronika tentang “Perancangan
Stasiun Bumi Penerima Data Satelit NOAA-AVHRR Dan Aplikasinya di
Indonesia” (2002-2003). Sebagai Peneliti Utama Program Insentif Ristek (2007);
Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI “SATYALANCANA WIRA
KARYA Tahun 2008; Masuk dalam “101 Indonesia Innovations pada tahun
2009”, Salah satu Inventor dan pemegang hak cipta (copyright) Perangkat Lunak
“SIKBES-IKAN”.
Sidik Mulyono
Sidik Mulyono, Perekayasa Muda pada Pusat Teknologi
Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) – Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Meraih S1
( B.Eng.) dari College of Science and Technology, Nihon
University, Japan dalam bidang Teknik Mesin pada tahun
1991. Meraih Master of Engineering (M.Eng.) dalam
bidang Mechanical Engineering dari Collage of Science and
Technology, Nihon University, Japan pada bulan Maret
1993.
Riset interes: Pengembangan model berbasis statistic dan non parametric untuk
aplikasi pada penginderaan jauh, khususnya pada bidang pertanian. Saat ini, Sidik
Mulyono sedang melakukan riset S3 di Fakulitas Ilmu Komputer Universitas
Indonesia dengan focus pada pengembangan model prediksi berbasis teknologi
penginderaan jauh jenis hiperspektral untuk melakukan prediksi produksi beras.
Paper sudah banyak d publikasi dalam bentuk jurnal maupun prosiding skala
nasional maupun internasional. Sebagai Chief Engineer (CE) pada project of
Hyperspectral Remote Sensing Technology for mapping the Agricultural
production centers, BPPT, 2011-2012.
22 Muhammad Sadly, dkk.
Albert Sulaiman
Albert Sulaiman, Perekayasa muda di Pusat Teknologi
Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA)- Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Meraih S1
(Insinyur) dalam bidang sains atmosfir dan laut – Institut
Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1994. Kemudian,
meraih M.Sc dalam fisika terori (Theoretical Physics) -
Universitas Indonesia pada tahun 2005. Saat ini Albert
Sulaiman sedang mempersiapkan disertasi S3 dalam Fisika
Teori, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan akan meraih
Doktor pada tahun 2012. Riset interes : ,pengembangan model matematika,
seperti: nonlinear dynamical system, path integral, nonlinear wave, quantum
dissipative system, statistical mechanics, advection-dispersion modeling, digital
signal and image processing in natural phenomena. Hasil penelitiannya sudah
banyak dipublikasi dalam beberapa jurnal internasional, diantaranya:
international journal such as Physical Review, Physica D, Physica Scripta,
International Journal of Modern Physics, Journal of Computational and
Theoretical Nanoscience etc. A Sulaiman juga interes dalam bidang observasi
laut menggunakan kapal riset dan observasi wilayah pesisir dan lautan. Ditengah
kesibukan melakukan riset, Albert Sulaiman juga tidak lupa mengembangkan
hobbinya bermain musik yang sudah ditekuninya sejak lama.
23
Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis
Area Frame dengan Citra Satelit
Multisensor
La Ode Syamsul Iman, Diar Shiddiq, Bambang H.Trisasongko
Mahmud H. Raimadoya, Ernan Rustiadi, Baba Barus
24 La Ode Syamsul Iman, dkk.
Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Area Frame dengan
Citra Satelit Multisensor
La Ode Syamsul Iman
1,2), Diar Shiddiq
1,2), Bambang H.Trisasongko
1,2,3),
Mahmud H. Raimadoya1,2,4)
, Ernan Rustiadi1,2,3)
, Baba Barus1,2,3)
1)
Tim Bimas-21, Institut Pertanian Bogor, 2)
P4W, Divisi Sistem Informasi Wilayah LPPM IPB, 3)
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lingkungan,Fakultas Pertanian IPB, 4)
Depertemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB
Kampus IPB Dramaga, Jalan Meranti, 16144 Jawa Barat
Email: 1)
Abstrak
Padi merupakan komoditas pertanian yang menjadi isu nasional dan tolok ukur
ketahanan pangan. Dukungan basis data sawah dan padi yang baik akan sangat
diperlukan untuk prediksi ketahanan pangan secara akurat dengan proses
pemantauan dan pemutakhiran data yang terpantau secara kontinyu sebagai kunci
penting dalam melakukan estimasi. Sistem estimasi produksi padi yang ada saat
ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, penyempurnaan metode dengan teknologi
terbaru terus dilakukan. Sesuai dengan perkembangannya, sistem estimasi
produksi dahulu berbasis tabel (list frame) dimana memiliki banyak kelemahan,
sehingga telah mulai ditinggalkan. Pilihan lain yang diketahui lebih baik dan
dapat ditelusuri (di-verifikasi) dengan mudah adalah basis spasial (area frame)
dengan memanfaatkan tekonologi penginderaan jauh multi sensor (optik dan
radar), dimana pendekatan ini cukup representatif terhadap kondisi bio-fisik
wilayah di Indonesia dengan tingkat ketelitian baik. Pemutakhiran data sawah
merupakan faktor kunci melalui pendekatan pemanfaatan teknologi penginderaan
jauh dan survei lapangan. Kombinasi teknik dan prosedur baku pengukuran data
(training set dan sampling test) merupakan poin utama proses validasi data dan
estimasi produksi dengan menggunakan citra multisensor. Tujuan penelitian ini
mengidentifikasi fase pertumbuhan tanaman padi, dan aktual petak sawah baku
di pantai utara Jawa. Hasil awal menunjukkan data MODIS deret waktu mampu
menyajikan informasi dasar bagi akuisisi data dan analisis lanjutan pada skala
yang lebih detil dan data SAR polarisasi ganda Envisat ASAR menunjukkan
informasi yang bermanfaat untuk fase pertumbuhan padi dan fase bera berair
yang mengindikasikan dimulainya periode baru penanaman padi.
Kata Kunci : fase pertumbuhan, SAR, MODIS, area frame
1. LATAR BELAKANG
Sistem estimasi produksi padi yang ada sekarang sudah dimulai sejak tahun
1970an, sehingga dirasakan perlu dilakukan upaya penyempurnaan metode
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 25
dengan teknologi terbaru. Sesuai dengan kondisi pada saat dikembangkan,
sistem estimasi produksi dilakukan berbasis tabel (list frame). Sistem ini telah
diketahui memiliki banyak kelemahan. Pilihan lain yang diketahui lebih baik dan
dapat ditelusuri (diverifikasi) dengan mudah adalah dengan basis spasial (area
frame). Pendekatan ini menjadi terobosan dalam pengamatan luas areal pada
lahan pertanian termasuk lahan sawah. Upaya penyempurnaan lahan sawah baku
di Pulau Jawa kontinyu dilakukan oleh Kementerian Pertanian.
Pemutakhiran data sawah dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah
satu pendekatan yang umum dilakukan adalah dengan survei lapangan.
Pendekatan ini memiliki keunggulan tingkat kepercayaan tinggi. Namun
demikian, luas lahan yang sangat besar dan tersebar di berbagai lokasi akan
sangat menyulitkan, terutama pada wilayah non sentra produksi. Pendekatan lain
yang dapat mendukung kegiatan pemutakhiran adalah dengan memanfaatkan
data penginderaan jauh.
Dalam lingkup penelitian, berbagai data penginderaan jauh telah banyak dikaji.
Pemetaan lahan sawah merupakan salah satu komponen yang dominan menjadi
pusat perhatian, menggunakan berbagai sensor dan teknologi analisis citra.
Memanfaatkan Landsat TM/ETM data (resolusi spasial 30 meter), Panuju, et al.,
2007a menunjukkan kinerja metode klasifikasi Decision Trees yang cukup
konsisten pada dua lokasi pengamatan yang memiliki struktur kepemilikan lahan
yang relatif berbeda. Dengan data yang sama, pendekatan klasifikasi tak
terbimbing (unsupervised classification) juga telah diujicobakan (Panuju, et al.,
2007b). Pada kajian tersebut, dua metode kontemporer ditelaah, yaitu
Expectation Maximization dan Kohonen Networks, yang dibandingkan dengan
metode yang telah mapan yaitu K-Means.
Untuk berbagai kasus di Indonesia, masalah dinamika atmosfer seperti haze,
awan dan kejadian lain yang dipengaruhi kegiatan manusia merupakan kendala
yang sangat besar bagi aplikasi data penginderaan jauh untuk pertanian.
Kejadian ini mengakibatkan ketidaktersediaan data, sehingga berakibat
lemahnya sistem inventarisasi sumberdaya. Untuk berbagai kasus tersebut,
penggunaan data Synthetic Aperture Radar (SAR) yang mampu meminimalkan
interaksi dengan atmosfer sangat disarankan. Kendala tersebut dapat pula
diminimalkan dengan penggunaan data multi-temporal.
Pemanfaatan data SAR untuk aplikasi pertanian lahan sawah telah dimulai di
Indonesia. Raimadoya, et al.,2007 menggunakan citra Envisat ASAR Wide
Swath Mode (polarisasi tunggal) multi-temporal untuk mengidentifikasi
dinamika penanaman padi. Citra yang memiliki resolusi medium tersebut secara
makro mampu menunjukkan wilayah yang aktif. Wilayah penanaman yang tidak
aktif (memiliki hamburan balik radar yang relatif sama pada waktu yang
berbeda) yang ditunjukkan dengan warna abu-abu (greyscale). Beberapa
penelitian terkait pernah dilakukan oleh Wu, et al., 2011 dimana koefisien
hamburan balik masih menjadi sarana yang baik dalam mempelajari estimasi
biomasa tanaman padi, dan polarisasi HV menjadi penanda yang paling baik
26 La Ode Syamsul Iman, dkk.
pada korelasi dengan umur tanaman. Penelitian yang sama juga dilakukan Li, et
al., 2010 dimana polarisasi HH memiliki kemampuan lebih baik dalam
memisahkan kelas. Kombinasi polarisasi HH dan HV merupakan kombinasi
dual-pol yang sangat bermanfaat. Zhao, 2011 menekankan pentingnya data deret
waktu dalam pemetaan padi. Pemetaan padi terlalu ambigu untuk dapat
disimpulkan dari data yang terbatas seri waktunya. Dalam penelitian yang
dilakukan Yang, 2012 menunjukkan bahwa C-band dengan polarisasi VV sulit
diimplementasikan dalam pemantauan padi. Sehingga dengan polarisasi HV
merupakan pilihan terbaik untuk keperluan pemantauan tersebut. Penelitian yang
dilakukan Kim, 2012 dengan menggunakan Radar Vegetation Index untuk
kelembaban tanaman pada berbagai frekuensi, menunjukkan bahwa L-band
merupakan estimator terpenting untuk identifikasi kelembaban tanaman
Penelitian-penelitian di atas memusatkan perhatian pada usaha pemetaan lahan
sawah dengan teknologi SAR dan pemanfaatan data deret waktu. Perkembangan
teknologi tersebut telah dirasakan cukup maju dan berhasil, guna untuk
pemetaan pada berbagai tingkat skala informasi yang diinginkan. Namun
demikian, usaha untuk memetakan dengan skala yang lebih detil perlu
diupayakan. Selain hal tersebut, inventarisasi padi juga membutuhkan informasi
temporal perkembangan padi. Upaya tersebut perlu dikaji untuk menyediakan
informasi peluang hasil panen. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi fase
pertumbuhan tanaman padi, dan aktual petak sawah baku di pantai utara Jawa.
2. METODE
2.1 Lokasi
Lokasi kegiatan dipilih untuk memantau wilayah produksi padi baik dengan
status sentra maupun non-sentra. Status wilayah sentra padi akan menjadi lokasi
utama kegiatan (Gambar 1). Wilayah penelitian berlokasi di pantai utara Jawa
yang ditunjukan dengan warna keemasan dan ploting sampling berwarna merah.
Gambar 1. Lokasi kegiatan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 27
2.2 Pembangunan Basis Data Dasar
Petak sawah aktual menjadi wadah informasi spasial utama yang terekam, saat
waktu awal tanam, dan panen. Basis data dasar dibangun dengan skema
feature_id unik dari sumber data resmi pemerintah berbasis wilayah. Informasi
petak sawah aktual berbasis wilayah administrasi desa, menjadi faktor kunci
identifikasi posisi petak sawah yang berbatasan antar wilayah desa dilakukan
melalui survey lapangan.
Secara spasial unit lahan terkecil yang akan digunakan adalah unit peta petak
sawah. Masing-masing unit petak sawah ini akan diberi identitas yang unik
dengan susunan identitas mengikuti format berikut ini:
ID_DESA+F_ID
Dimana
ID_DESA : kode desa berdasarkan tatanama dari BPS
F_ID : feature id yaitu id unik yang secara otomatis dibuat oleh
perangkat lunak SIG ketika proses pemasukan data/dijitasi
2.3 Citra Synthetic Aperture Radar (SAR)
Dengan definisi sasaran yang ingin dicapai di atas, kegiatan ini akan
memanfaatkan dua jenis sensor utama yaitu SAR (aktif) dan MODIS (pasif).
SAR, utamanya pada data non ScanSAR, akan dimanfaatkan untuk melakukan
karakterisasi padi pada beberapa variasi polarisasi. Data ini juga akan
dimanfaatkan untuk memetakan fase pertumbuhan padi, utamanya pada fase
awal tanam dan panen. Pendekatan dari penelitian ini adalah polarisasi ganda
berbasis hamburan balik (sigma-nought) yang diturunkan dari data Single Look
Complex (SLC).
Pemantauan dan ekstraksi informasi status pertumbuhan padi dapat dilakukan
dengan pendekatan tak terbimbing dimana teknik penggerombolan seperti K-
means dan ISODATA. Pendekatan klasifikasi terbimbing dengan Decision Tree
(DT) dari beberapa penelitian menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan beberapa metode Bayesian. Ujicoba beberapa jenis algoritma DT antara
lain: QUEST (Loh and Shih, 1997; Lim, et al., 2000), CRUISE (Kim and Loh,
2001; Kim and Loh, 2003). Uji kemampuan klasifikasi menggunakan data
training. Kombinasi data training dan testing ditetapkan 1:1 secara presisi yang
diharapkan bias karena data imbalance dapat direduksi seminimal mungkin.
Citra hasil klasifikasi akan diuji menggunakan matrik akurasi dan nilai Kappa.
2.4 Citra MODIS Deret Waktu
Kedua jenis data (polarisasi ganda dan/atau penuh) resolusi tinggi ini akan
ditelaah untuk menghasilkan data liputan sawah pada fase awal tanam dan
menjelang panen. Selanjutnya data yang diekstrak akan diintegrasikan dengan
data petak lahan sawah delineasi citra optik resolusi tinggi.
28 La Ode Syamsul Iman, dkk.
Mengingat liputan wilayah yang luas dengan keterbatasan citra SAR resolusi
tinggi, maka perlu diupayakan telaah data deret waktu, baik dari citra MODIS
maupun ScanSAR, sebagai bentuk pemantauan rutin serta menunjang estimasi
produktivitas sawah secara makro. Dengan demikian, early warning yang dapat
diinformasikan oleh analisis deret waktu dapat segera ditindaklanjuti dengan
akuisisi citra pada tingkat kedetilan lebih tinggi serta ekstraksi informasi.
Data MODIS diperoleh dari situs US Geological Survey dengan liputan yang
cukup luas (ukuran piksel 250m-1km). Kendala awan menjadi faktor yang
diperhatikan mengingat sifatnya yang pasif dengan panjang gelombang tampak
dan infra merah, walaupun telah diupayakan direduksi melalui berbagai teknik
seperti Maximum Value Composite atau teknik lain (Prachmayandini, 2012).
Beberapa penelitian terkait pemanfaatan data MODIS sesuai untuk masa tanam
musim kemarau (Panuju, et al., 2009; Prachmayandini, 2012). Untuk musim
hujan, analisis data deret waktu sepenuhnya perlu mengandalkan pada data SAR
C-band.
2.5 Survei lapangan
Pengamatan lapangan dilakukan untuk pengumpulan data acuan dasar bagi
analisis data penginderaan jauh. Basis data survei lapangan adalah peta petak
sawah baku aktual, delineasi citra optik resolusi tinggi (IKONOS dan
QuickBird). Unit analisis petak sawah dijadikan landasan pengamatan sewaktu
survei.
3. HASIL DAN DISKUSI
3.1 Fenologi Padi Dari Analisis Deret Waktu
Kurun waktu 2004-2010 data MODIS yang dianalisis menunjukkan kualitas
yang cukup baik di Indramayu dan Subang. Hasil analisis EVI deret waktu
lokasi Indramayu sedikitnya missing data akibat gangguan awan sehingga
persoalan awan dapat dikurangi dengan melakukan time averaging data 16
harian.
Pada Gambar 2 (a), menunjukkan kesamaan pola dari dua lokasi pengamatan di
bagian barat (SW1) dan bagian timur (SW2) Indramayu. Secara umum,
mengindikasikan bahwa wilayah Indramayu dikenal 2 waktu tanam yang
memanfaatkan musim penghujan. Indikasi lain bahwa pemberaan dilakukan
masyarakat pada waktu musim kemarau,dimana petani diketahui mengelola
usaha bata merah di areal sawah selama musim kemarau. Sementara untuk lokasi
Subang (b), menunjukan adanya variasi penanaman di wilayah barat (SW4) dan
timur (SW3), dimana penciri yang menarik adalah masa bera yang lebih singkat
dibandingkan lokasi di Indramayu. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi di
Wilayah Subang, dinamisme penanaman yang lebih tinggi. Kedua lokasi
memiliki pola penanaman 2 kali setahun pada awal seri (sekitar 2004-2008)
seperti halnya Indramayu (IP200). Namun demikian, pada akhir data seri (sekitar
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 29
tahun 2010), terdapat usaha untuk melakukan pola tanam yang lebih intensif
(IP250) khususnya lokasi di wilayah Subang.
(a)
(b) Gambar 2. data deret waktu lokasi pengamatan Indramayu : SW1;biru dan SW2; merah
(a) dan lokasi pengamatan Subang : SW3;biru dan SW4; merah (b)
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
2004
001
2004
097
2004
193
2004
289
2005
017
2005
113
2005
209
2005
305
2006
033
2006
129
2006
225
2006
321
2007
049
2007
145
2007
241
2007
337
2008
065
2008
161
2008
257
2008
353
2009
081
2009
177
2009
273
2010
001
2010
097
2010
193
2010
289
SW1
SW2
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
2004
001
2004
097
2004
193
2004
289
2005
017
2005
113
2005
209
2005
305
2006
033
2006
129
2006
225
2006
321
2007
049
2007
145
2007
241
2007
337
2008
065
2008
161
2008
257
2008
353
2009
081
2009
177
2009
273
2010
001
2010
097
2010
193
2010
289
SW3
SW4
Exponential / Simple (SW1)
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000
ID
SW
1
SW1 Exponential(SW1)
30 La Ode Syamsul Iman, dkk.
Gambar 3. Perbandingan data awal dan hasil penghalusan (kiri) dan sebaran residunya
(kanan)
Kondisi diatas diperkuat dengan kuantifikasi hasil analisis yang menguatkan
dugaan bahwa pada lokasi pengamatan di Indramayu (SW1) dan (SW2),
memiliki pola tanam yang seragam dengan memanfaatkan musim (seasonal).
Sementara, hasil residual memberikan pola yang relatif berbeda antara SW3 dan
SW4 di wilayah Subang. Hal ini memberi petunjuk bahwa kuantifikasi
seasonality perlu dilakukan untuk waktu mendatang sebagai upaya
penyempurnaan model. Karakteristik pola perubahan hasil analisis dari masing-
masing lokasi pengamatan seperti pada Gambar 3.
Exponential / Simple (SW2)
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000
ID
SW
2
SW2 Exponential(SW2)
Exponential / Simple (SW3)
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000
ID
SW
3
SW3 Exponential(SW3)
Exponential / Simple (SW4)
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000
ID
SW
4
SW4 Exponential(SW4)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 31
3.2 Pemetaan Padi dengan Data SAR Polarisasi Ganda
Hamburan balik sigma nought dari data Envisat ASAR, diproses dari data hasil
rekaman 3 April 2012 dan 15 Maret 2012, sesaat sebelum satelit Envisat tidak
merespon kontrol dari stasiun bumi. Kedua scene tersebut merupakan dua dari
scene-scene terakhir Envisat ASAR sebelum dinyatakan tidak beroperasi. Kedua
data dipesan dalam bentuk Image mode yang telah diproyeksikan ke bumi
(ground range) dimana modus datanya baku, yang hanya memiliki informasi
pantulan balik tanpa informasi beda fase.
Konfigurasi menghasilkan citra dengan geometri yang cukup baik khusus daerah
dataran rendah dengan variasi topografi yang kecil sampai menengah. Pada
lokasi penelitian, koreksi geometri dilakukan dengan 4 titik (di wilayah Pantura)
dengan RMS total 0,49.
Gambar 4. Citra komposit polarisasi ganda
32 La Ode Syamsul Iman, dkk.
Pencirian obyek pertanian utama dilakukan dengan mengambil contoh. Di
wilayah Subang, beberapa komoditas pertanian dominan adalah sebagai berikut:
padi, tebu, karet, kelapa sawit dan tambak (bercampur mangrove). Hasil
pengambilan contoh (sampling) disajikan pada gambar berikut.
Gambar 5. Diagram backscatter polarisasi HV-HH (testing) dan data sampling lapangan
Pada Gambar 5, terlihat bahwa terdapat dua pola besar yang ditentukan oleh
vegetasi penutup yaitu vegetasi berkayu dan tidak berkayu. Vegetasi berkayu,
dalam hal ini karet, sawit dan mangrove, memiliki ciri hamburan balik yang
mirip dan cenderung tidak dapat dipisahkan dengan mudah pada kombinasi
polarisasi HH dan HV. Hal ini umumnya ditentukan oleh keterbatasan daya
tembus kanopi dari sinyal C-band. Pada polarisasi HV, rentang hamburan balik
vegetasi berkayu berkisar antara -10 sampai sekitar -17dB. Sementara itu, hasil
pengambilan contoh menunjukkan bahwa kisaran vegetasi berkayu pada
polarisasi HH berada antara -5 sampai -12.
Vegetasi semusim, seperti padi, memiliki penciri yang berbeda dengan vegetasi
berkayu. Namun demikian,nampak bahwa vegetasi semusim memiliki tegakan
tinggi seperti tebu, yang masih sulit dibedakan dengan vegetasi berkayu. Tipe
kelas pengamatan akan memiliki pola berbeda pada areal persawahan dengan
fase tanam bera basah atau awal musim tanam baru. Pada kondisi tersebut, C-
band dapat mengidentifikasi kelas dengan sangat baik.
-25
-20
-15
-10
-5
-25 -20 -15 -10 -5
HV
HH
Tebu
Karet
Sawit
Sawah-Veg
Sawah-Air
Tambak-Mgv
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 33
Dari matriks Transformed Divergence menunjukan bahwa keterpisahan
(separability) antar kelas yang dihasilkan mampu dibedakan untuk seluruh kanal
yang ditetapkan (dalam hal ini dua kanal yaitu polarisasi HH dan HV). Hasil
analisis Transformed Divergence disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Matriks Transformed Divergence
Tebu Karet Sawit Sawah Sawah-Air Tambak-
Mangrove
Tebu 0.18137282 0.17568103 1.11188270 1.99169169 0.79374790
Karet 0.14704504 1.41279125 1.99586233 1.08640000
Sawit 1.43145963 1.99993053 1.45509887
Sawah 1.93828028 1.12941338
Sawah-Air 1.80573546
Tambak-
Mangrove
Sesuai dengan pemahaman yang dibangun pada analisis kualitatif (diagram
pencar), terlihat bahwa sawah berair merupakan satu-satunya kelas yang dapat
dipisahkan dengan sempurna. Wilayah penanaman padi ditunjukkan oleh warna
jingga muda (fase vegetatif). Warna hitam menunjukkan fase siap tanam.
Gambar 5. Diagram pencar HV-HH pada Citra Envisat ASAR.
34 La Ode Syamsul Iman, dkk.
4 KESIMPULAN
Petak sawah baku menjadi wadah spasial dalam proses pemantauan produksi
padi secara permanen antar waktu.
Data MODIS deret waktu mampu menyajikan informasi dasar bagi akuisisi data
dan analisis lanjutan pada skala yang lebih detil. Pada kedua lokasi terdapat pola
tanam yang kurang lebih seragam yaitu 2 kali tanam per tahun dengan masa bera
yang cukup panjang yang disebabkan oleh efektifitas dam dan/atau jaringan
irigasi yang menurun. Penelitian lanjutan dengan data MODIS deret waktu dapat
dilakukan dengan menambahkan data sekunder untuk deret waktu pengamatan
curah hujan dan data pengairan di lokasi penelitian.
Pemanfaatan data SAR polarisasi ganda Envisat ASAR menunjukkan informasi
yang bermanfaat untuk fase pertumbuhan padi. Fase bera berair yang
mengindikasikan dimulainya periode baru penanaman padi dapat diidentifikasi
dengan baik mengingat sifat hamburannya yang cenderung spekular.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian, Kementerian Pertanian atas kerjasama dan dukungan data citra satelit
IKONOS serta blok sawah baku (Pusdatin Kementan), Fakultas Pertanian IPB
dan Tim KKP IPB. Tak lupa pula kami sampaikan ucapan terimakasih kepada
Reyna dan Tia pada studio Sistem Informasi Wilayah P4W IPB atas dukungan
analisis.
DAFTAR REFERENSI
Kim Y., Jackson T., Bindlish R., Lee H., Hong S. 2012. Radar Vegetation Index for
stimating the Vegetation Water Content of Rice and Soybean. IEEE Geoscience and
Remote sensing Letters Vol.9 No.4 July 2012. p.564-568. doi :
10.1109/LGRS.2011.2174772
Kim, H., W-Y. Loh. 2001. Classification trees with unbiased multiway splits. Journal of
the American Statistical Association Vol.96: p.589-604
Kim, H., W-Y. Loh. 2003. Classification trees with bivariate linear discriminant node
models. Journal of Computational and Graphical Statistics Vol.12: p.512-530.
Li K., Shao Y., Zhang F. 2010. Paddy Rice Identification using Polarimetric SAR data in
Southern China. International Conference on Multimedia Technology (ICMT),
2010. p.1-4. doi : 10.1109/ICMULT.2010.5631077
Lim, T-S., W-Y. Loh, Y-S. Shih. 2000. A comparison of prediction accuracy, complexity,
and training time of thirty-three old and new classification algorithms. Machine
Learning Vol.40: p.203-228.
Loh, W-Y., Y-S. Shih. 1997. Split selection methods for classification trees. Statistica
Sinica Vol.7: p.815-840.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 35
Panuju, D.R., B.H. Trisasongko, B. Susetyo, M.A. Raimadoya, B.G. Lees. 2010.
Historical fire detection of tropical forest from NDVI time-series data: Case study
on Jambi, Indonesia. ITB Journal of Science 42A(Vol.1): p.47-64.
Panuju, D.R., B.H. Trisasongko. 2012. Seasonal pattern of vegetative cover from NDVI
time-series. In: Tropical Forests (Eds. P Sudharsana, M Nageshwara-Rao, JR
Soneji). p. 255-268. Intech, Rijeka, Croatia. ISBN 979-953-307-651-4.
Panuju, D.R., E. Rustiadi, I. Carolita, B.H. Trisasongko, Susanto. 2007a. On the decision
tree analysis for coastal agriculture monitoring. Proceedings Geomarine Research
Forum, Bogor, 2007.
Panuju, D.R., F. Heidina, B.H. Trisasongko, B. Tjahjono, A. Kasno, A.H.A. Syafril.
2009. Variasi nilai indeks vegetasi MODIS pada siklus pertumbuhan padi. Jurnal
Ilmiah Geomatika 15(2): 9-16.
Panuju, D.R., I. Carolita, B.H. Trisasongko, Susanto, E. Rustiadi. 2007b. Performance of
three clustering algorithms for paddy field mapping. Proceedings Indonesian
Remote Sensing Society Symposium, Banda Aceh, 2007.
Prachmayandini, P. 2012. Potensi citra MODIS sebagai salah satu input perhitungan
evapotranspirasi dengan metode Blaney-Criddle (Studi kasus: DAS Cimadur,
Banten). Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian
Bogor.
Raimadoya, M.A., B.H. Trisasongko, Nurwadjedi. 2007. Eksplorasi citra radar untuk
intelijen ketahanan pangan. Indonesian Geospatial Technology Exhibition. Jakarta,
Indonesia.
Wu F., Wang C., Zhang H., Zhang B.,Tang Y. 2011. Rice Crop Monitoring in South
China With RADARSAT-2 Quad-Polarization SAR Data. IEEE Geoscience and
Remote sensing Letters Vol.8 No.2 March 2011. p.196-200. doi
10.1109/LGRS.2010.2055830
Yang S., Zhao X., Li B.,Hua G. 2012. Interpreting RADARSAT-2 Quad-Polarization
SAR Signatures From Rice Paddy Based on Experiments. IEEE Geoscience and
Remote sensing Letters Vol.8 No.2 March 2011. p.65-69. doi :
10.1109/LGRS.2011.2160613.
Zhao X., Yang S., Shen S., Li B. 2011. Assessment of ENVISAT ASAR Data for Rice
Monitoring Based on Three Years Experiments. International Conference on
Remote Sensing, Environment and Transportation Engineering (RSETE). p.136-139.
doi : 10.1109/RSETE.2011.5964234.
BIOGRAFI PENULIS UTAMA
La Ode Syamsul Iman
La Ode Syamsul Iman dilahirkan di Buton 3 Januari 1974.
Pendidikan Master Sain, Geografi bidang minat sumberdaya
fisik, dan lingkungan pesisir diperoleh pada tahun 2008 di
Universitas Indonesia. Saat ini aktif sebagai Peneliti di Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W),
Divisi Sistem Informasi Wilayah LPPM IPB. Minat
penelitian utama pada aplikasi data penginderaan jauh untuk
geografi fisik terapan.
36 La Ode Syamsul Iman, dkk.
BIOGRAFI PENULIS PENDAMPING
Diar Shiddiq
Diar Shiddiq dilahirkan di Kuningan, 28 Februari 1970.
Pendidikan Master Sain program studi ilmu parencanaan
pembangunan wilayah dan pedesaan diperoleh pada tahun
2011 di Institut Pertanian Bogor. Saat ini aktif sebagai
Peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah (P4W), Divisi Sistem Informasi
Wilayah LPPM IPB. Minat penelitian utama pada aplikasi
sistem infomasi geografi untuk perencanaan wilayah.
Bambang H. Trisasongko
Bambang H. Trisasongko lahir di Malang, 3 September
1970, Pendidikan Master of Science, Geografi, University
of New South Wales, Australia. Dosen Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, (Penginderaan Jauh dan
Informasi Spasial), Fakultas Pertanian dan peneliti P4W
IPB. Minat penelitian utama pada penginderaan jauh (radar
polarimetri) dan analisis spasial (sumberdaya air).
Mahmud H Raimadoya
Mahmud H Raimadoya, Pendidikan Master of Science,
Soil sciences, Ghent State Univmersity, Belgia. Dosen
Teknik Sipil dan Lingkungan (Teknik Geomatika),
Fakultas Teknologi Pertanian dan peneliti senior P4W IPB.
Minat penelitian utama pada penginderaan jauh (radar
interferometri) dan fotogrametri.
Ernan Rustiadi
Ernan Rustiadi lahir di Bandung, 11 Oktober 1965.
Pendidikan Doktor (Ph.D), Regional planning, Kyoto
University, Japan. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, (Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah). Dekan Fakultas Pertanian dan peneliti P4W IPB.
Minat penelitian utama pada perencanaan wilayah, dan
analisis spasial.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 37
Baba Barus
Baba Barus lahir di Berastagi 01 Januari 1961. Pendidikan
Doktor (Ph.D), Geografi, University of Portsmouth, UK.
Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
(Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial), Fakultas
Pertanian dan peneliti P4W IPB. Minat penelitian utama
pada sistem informasi geografi, perencanaan lingkungan,
dan studi bencana.
38 La Ode Syamsul Iman, dkk.
39
Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi
Terakibat Organisme Pengganggu Tumbuhan
Wereng Batang Coklat (WBC)
Hartanto Sanjaya, Fauziah AlHasanah
40 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi Terakibat Organisme
Pengganggu Tumbuhan Wereng Batang Coklat (WBC)
Hartanto Sanjaya
*), Fauziah AlHasanah
**)
Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Kedeputian Teknologi Pengembangan
Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Email: *)
[email protected]; **)
fauziah.alhasanah @bppt.go.id
Abstrak
Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens Stal, merupakan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT) utama pada tanaman padi di Indonesia. Serangan
dari WBC terjadi hampir pada setiap musim tanam di lumbung padi nasional.
Gejala serangan yang terjadi pada tanaman padi dapat digolongkan menjadi
beberapa kelas yang menjelaskan kondisi tanaman padi tersebut. Kelas ini antara
lain merepresentasikan kondisi fisik dari daun padi yang terserang oleh WBC
tersebut.
Perekaman spektral terkait dengan kondisi daun padi oleh spektrometer dapat
membedakan stadia dan kelas serangan pada suatu varietas padi. Hal ini dapat
digunakan untuk membangun spectral library (pustaka spektral) untuk
kepentingan lebih lanjut. Penggunaan light source pada konfigurasi peralatan
perekaman dapat meningkatkan efektifitas dan akurasi dari pengukuran spektral
dibandingkan hanya dengan mengandalkan sinar matahari sebagai sumber cahaya.
Sampel yang direkam berjumlah lebih dari 50 buah daun untuk setiap kategori
yang telah ditentukan. Grafik nilai rerata sampel dapat menjadi acuan dalam
membangun pustaka spektral. Referensi yang baik dari perekaman ini dapat
membantu memetakan sebaran serangan WBC pada hamparan tanaman padi
dengan pengolahan citra satelit baik data multispektral maupun hiperspektral.
Kata Kunci: wereng batang coklat, spektral, spektrometer, daun padi, organisme
pengganggu tumbuhan.
Abstract
The Rice Brown Planthopper (WBC), Nilaparvata lugens Stal, is a plant pest in
the main rice crop in Indonesia. The attack of the WBC occurred in almost every
season in the national granary. Symptoms that occur in rice plants can be
classified into several classes that describe the condition of the rice plant. This
class represents, among others, the physical condition of the rice leaf is affected
by the WBC.
Spectral recording conditions associated with rice leaf by the spectrometer can
distinguish stadia and an attack on a class of rice varieties. It can be used to build
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 41
a spectral library (spectral library) for further interest. The use of light source on
the configuration of the recording equipment can improve the effectiveness and
accuracy of spectral measurements compared to only relies on sunlight as a light
source.
The recorded sample of more than 50 pieces of leaves for each category that have
been determined. Graph the mean of samples may be a reference in building a
spectral library. A good reference of this recording can help map the distribution
of WBC attack on a stretch of rice plants with both data processing multispectral
and hyperspectral satellite imagery.
Keywords: rice brown planthopper, spectral, spectrometer, paddy leafs, pest.
1. PENDAHULUAN
Wereng merupakan kata yang sangat populer bagi petani maupun nonpetani pada
beberapa tahun lalu. Keberadaan wereng yang telah dianggap sebagai hama
pengganggu tanaman padi terjadi di sentra-sentra produksi padi utama Indonesia,
yaitu di daerah pantai Utara Provinsi Jawa Barat, dan beberapa sentra padi di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Serangga penghisap cairan tumbuhan ini adalah anggota dari ordo Hemiptera dan
subordo Fulgoromorpha. Beberapa wereng penting yang dikenal adalah: wereng
hijau (Nephotettix spp.) yang juga dikenal sebagai penyebar virus tungro, wereng
punggung putih (Sogatella furcifera), dan wereng coklat (Nilaparvata lugens).
Genus Nilaparvata diketahui ada 14 spesies, dan yang terdapat di Indonesia yang
diketahui sampai saat ini adalah N. lugens (Stal). Wereng batang coklat (WBC),
Nilaparvata lugens Stal (Delphacidae, Homoptera), sampai saat ini masih
dianggap sebagai hama utama pada tanaman padi, karena kerusakan yang
diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan pada
tanaman padi terjadi dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung adalah saat mana WBC menghisap cairan dari batang tanaman
padi hingga tanaman tersebut mati. Dan secara tidak langsung adalah saat WBC
menjadi vektor penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa yang juga
menyerang tanaman padi (Subroto, 1992).
Populasi WBC dalam tiap rumpun sangat menentukan tingkat serangan pada
tanaman tersebut. Keberadaan populasi yang besar (diatas 20 ekor per rumpun)
sudah dapat dikatakan sebagai hama pada tanaman padi. Serangan WBC dapat
membuat tanaman padi menjadi kekurangan nutrisi karena dihisap oleh WBC
melalui bagian batang. Akibat yang dapat diderita oleh tanaman padi ini adalah
kekeringan dan berakhir pada kematian tanaman tersebut.
Tanaman padi yang terserang oleh WBC dapat diketahui secara langsung dari
kondisi daunnya yang menguning khas. Perubahan warna, dan kemudian bentuk
atau struktur, pada daun tanaman padi menjadi perhatian utama dalam
mengamati sebaran serangan WBC pada hamparan tanaman padi.
42 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Untuk pengamatan pada hamparan yang luas maka teknologi remote sensing
(penginderaan jauh) merupakan salah satu teknologi unggulan yang dapat
digunakan dalam mengetahui sebaran serangan WBC ini.
Tanaman padi sebagai salah satu sumberdaya alam hayati dan merupakan salah
satu sumber pangan negeri kita menduduki posisi penting sebagai obyek
pengamatan. Pengamatan tanaman padi dari suatu ketinggian, melalui teknologi
citra (image) berwahana satelit ataupun pesawat terbang, memerlukan suatu
referensi untuk memadukan suatu pemahaman dijital. Referensi dalam
pengolahan citra dijital antara lain berupa nilai pantulan (reflection) dari suatu
obyek pengamatan.
Daun tanaman padi yang terserang oleh WBC adalah obyek pengamatan yang
penting dalam mengetahui kondisi kesehatan tanaman tersebut. Daun adalah
tempat tanaman berfotosintesis, sehingga kesehatannya akan sangat
mempengaruhi hasil fotosintesis terutama untuk mendukung pemasakan dari
bulir padi. Kegagalan pasokan nutrisi dari akar menuju daun akan berpengaruh
pada kemampuan produksi dan juga kehidupan dari tanaman padi tersebut.
Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan faktor pembatas produksi
tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.
Organisme pengganggu tumbuhan secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu
hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik,
dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan
penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh
cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematode dan tumbuhan tingkat
tinggi (Wiyono, 2007).
Perubahan fisiologis pada daun padi, baik dari sisi warna ataupun struktur daun,
dapat dideteksi atau diamati dengan melihat nilai pantulan cahaya pada
permukaan daun tersebut. Nilai pantulan dari daun terdampak oleh serangan
WBC direkam dengan menggunakan spektrometer (atau sering juga dikenal
dengan spectrophotometer). Dalam pengukuran nilai pantulan ini diperlukan
kehati-hatian yang cukup tinggi mengingat kondisi obyek dan lingkungan yang
ada, terkait dengan kebenaran prosedur pengukuran yang akan berakibat pada
konsistensi hasil pengukuran.
Penginderaan jarak jauh bekerja berdasarkan kenyataan bahwa OPT atau gejala
kerusakan tanaman inang sasaran dapat dibedakan dalam kenampakannya dengan
vegetasi di sekitarnya. Gambaran vegetasi ditangkap dengan sensor, seperti
kamera khusus atau radar, dan gambaran tersebut kemudian diproses dengan
program komputer. Program dapat menghasilkan peta tipe vegetasi saat itu dan
melakukan penghitungan seperti presentase area yang terinfeksi oleh suatu
spesies OPT. Penginderaan jarak jauh telah digunakan untuk mendeteksi dan
memantau kerusakan yang disebabkan oleh serangga OPT dan penyakit tanaman,
serta keberadaan dan penyebaran spesies tanaman invasif (Greenfield, 2001).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 43
Untuk kepentingan referensi dalam pengolahan citra remote sensing maka
diperlukan pengukuran obyek di lapangan secara langsung. Hasil dari
pengukuran inilah yang dapat dijadikan spectral library sebagai acuan banyak
proses dalam image processing berikutnya.
Tiap obyek di permukaan bumi masing-masing mempunyai penanda spektral
(spectral signature) dan panjang gelombang di alam mempunyai spektrum yang
lebih lebar dari panjang gelombang sinar tampak yang dapat dilihat oleh mata
manusia. Sehingga obyek tersebut sangat mungkin memiliki informasi yang lebih
dari pada yang dapat dilihat oleh mata manusia.
Gambar 1. Kurva nilai reflektan spektral secara umum untuk berbagai
material yang terdapat di muka bumi.
(Sumber gambar: http://www.rsacl.co.uk/rs.html)
Spektral yang direkam dengan baik oleh spektrometer pencitraan memiliki
manfaat untuk pendekatan kontekstual metode analisis citra. Hal ini
memungkinkan untuk mendeteksi jauh lebih baik perubahan halus antara
permukaan tanah berbagai komponen struktural dan vegetasi campuran kompleks
dari permukaan. Sejauh ini pendekatan kontekstual tidak diberi banyak perhatian
oleh peneliti meskipun hasil mereka menarik terutama dengan ketersediaan
resolusi tinggi spasial dan ketersediaan resolusi tinggi spektral (van Der Meer,
2001).
Penggunaan teknologi penginderaan jauh menjadikan pemantauan menjadi lebih
cepat. Penginderaan jauh adalah alat yang berguna untuk survei penyakit untuk
tanaman pertanian, perkebunan dan hutan karena medan yang sulit. Hal ini
sangat lebih berguna untuk tanaman tumbuh di hamparan yang lebih besar, yaitu
gandum, padi, tanaman perkebunan pisang dan lainnya (Hatfield, 1990 dalam
Chaube, 2005).
44 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
2. METODE
Perekaman spektral daun padi pada tanaman padi yang terserang oleh WBC
dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Tahap persiapan referensi/pustaka,
b. Tahap persiapan peralatan
c. Penentuan lokasi perekaman
d. Survey perekaman spektral, dan
e. Pemrosesan data rekaman
Tahapan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahap persiapan referensi/pustaka
Studi pustaka sangat perlu dilakukan untuk memperkuat persiapan materi.
Berbagai landasan pengetahuan perlu diketahui dari beberapa artikel
keilmuan dan juga jurnal. Beberapa pengukuran telah dilakukan oleh
beberapa pihak, sehingga dapat dijadikan masukan yang baik untuk
pelaksanaan di lapangan. Terdapat dua kelompok referensi utama yang
harus disiapkan.
Pertama adalah referensi mengenai obyek yang akan direkam, dalam hal ini
adalah hal yang terkait dengan wereng batang coklat dan akibat yang
ditimbulkan oleh serangan WBC tersebut pada tanaman padi. Kelompok
referensi berikutnya adalah mengenai peralatan yang digunakan, metode
pengukuran, dan pemrosesan data yang didapat untuk menghasilkan pustaka
spektral dari obyek tersebut.
b. Tahap persiapan peralatan
Peralatan yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah sensor cahaya dengan
kemampuan khusus. Pada umumnya alat yang digunakan dikenal dengan
nama spectrophotometer (atau sering disebut sebagai spektrometer).
Spektrometer mempunyai kemampuan perekaman untuk panjang gelombang
tertentu sesuai dengan tipe alat. Secara umum, yang dapat diukur oleh
spektrometer adalah intensity (intensitas), absorbance (serapan),
transmission (transmisi), reflection (pantulan), dan relative irradiance.
Dalam prosesnya, terkait dengan perekaman spektral daun padi ini hanya
digunakan kemampuan proses reflection.
Pada kegiatan ini perekaman nilai spektral dilakukan dengan menggunakan
spektrometer OceanOptics tipe USB4000 FL yang dilengkapi dengan light
source tipe PX-2. Probe digunakan dengan fiber optic sebagai penghubung
antara spektrometer, probe, dan light source.
Sesuai dengan tipe dari spektrometer, yaitu tipe florescence maka sensor
yang dipergunakan ini mempunyai kemampuan rekam panjang gelombang
dalam rentang efektif 200 sampai dengan 1100 nanometer. Sehingga dalam
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 45
prosesnya penting diperhatikan mengenai target panjang gelombang terekam
dan hal ini terkait pada obyek terekam yang akan dianalisis selanjutnya.
Perekaman spektral daun tanaman padi memerlukan sumber energi cahaya
sebagai sumber dari gelombang yang akan dipantulkan oleh obyek. Untuk
itu maka light source digunakan sebagai sumber pencahayaannya.
Gambar 2. Perangkat yang digunakan dalam pengukuran: Spectrometer
OceanOptics tipe USB4000 FL dan light source OceanOptics tipe PX-2.
c. Penentuan lokasi perekaman
Lokasi perekaman direncanakan sedemikian rupa untuk memperbesar
tingkat keberhasilan kegiatan.
Hal-hal yang dipertimbangkan antara lain adalah:
- Merupakan daerah serangan WBC dengan tingkat keparahan tinggi. Hal
ini untuk memudahkan pencarian dan pengambilan sampel daun padi
terakibat.
- Lokasi dengan hamparan yang terdiri dari beberapa stadia tanaman padi
yang akan direkam. Keberadaan stadia padi yang sesuai dengan sasaran
akan memudahkan dan mempercepat proses perekaman.
- Lokasi adalah tempat yang memudahkan untuk diakses. Kemudahan
akses perlu dipertimbangkan mengingat keterbatasan peralatan yang
memerlukan catu daya yang diperoleh dari kendaraan atau catu daya
khusus. Lokasi yang relatif berdekatan juga akan memaksimalkan
penggunaan waktu yang efektif.
46 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Gambar 3. Hamparan sawah yang terserang oleh wereng batang coklat di
Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Gambar
direkam pada Juli 2012.
d. Survey perekaman spektral
Proses perekaman di lapangan yang telah teridentifikasi dengan baik,
sebagaimana yang telah diterangkan pada (c) diatas, akan sangat menunjang
proses perekaman spektral ini.
Perekaman spektral dengan menggunakan sumber pencahayaan (light
source) sendiri mempunyai konsekuensi tersedianya catu daya mandiri
untuk peralatan tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan
menggunakan/membawa catu daya power bank atau dengan memanfaatkan
sumberdaya dari kendaraan yang dipergunakan survey pada kegiatan.
Obyek perekaman, yang berupa daun tanaman padi terakibat WBC, dipilih
pada serangan berintensitas tertinggi dan pada kondisi khusus pada daun
tersebut. Intensitas serangan pada daun adalah terkait dengan luasan bagian
daun yang telah terserang dan beberapa kondisi lain seperti sebagian besar
permukaan daun telah berwarna kekuningan.
Kelas pada gejala serangan WBC ini dikenal sebagai skor yang terdiri dari:
Skor-1: Sebagian daun pertama menguning, belum terjadi kelayuan
tanaman; telah ditemukan populasi; ada sedikit embun jelaga.
Skor-3: Sebagian daun pertama dan ke-2 menguning; daun agak layu;
banyak ditemukan embun jelaga,
Skor-5: Sebagian besar daun menguning; daun bagian bawah layu;
tanaman agak kerdil; embun jelaga sangat banyak,
Skor-7: Daun mengeriting dan hampir semua layu; tanaman sangat
kerdil, dan
Skor-9: Layu sempurna; tanaman mati
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 47
Sedangkan stadia yang diperhatikan adalah:
S1: Stadia-1, tanam sampai dengan anakan maksimum (<40 hari setelah
tanam)
S2: Stadia-2, primordia sampai dengan pengisian malai (40 – 60 hst)
S3: Stadia-3, masak susu sampai dengan pemasakan (60 – 90 hst)
S4: Stadia-4, panen (90 – 110 hst)
Pada perekaman spektral daun tanaman padi terdampak WBC ini dibagi
dalam pengelompokan sebagai berikut:
1. Daun tanaman sehat pada stadia-1, 2 dan 3.
2. Daun tanaman stadia-1 pada skor-5 dan skor-9
3. Daun tanaman stadia-2 pada skor-5 dan skor-9
4. Daun tanaman stadia-3 pada skor-5 dan skor-9
Kondisi daun yang akan dijadikan sampel terakibat serangan WBC dipilih
dengan memerhatikan hal berikut:
a. Lebar daun paling kecil adalah satu cm.
b. Area yang direkam adalah yang terlihat pada sampel sepenuh dari lebar
daun, dan mempunyai radius minimal satu cm.
Dua hal diatas adalah agar area yang terwakili sesuai dengan luasan area
yang direkam oleh sensor spektrometer. Hal ini juga terkait dengan jarak
permukaan daun ke lensa probe.
Jarak dari lensa ke permukaan obyek yang akan direkam disesuaikan dengan
hitungan matematis, yaitu memerhatikan bukaan sudut lensa probe yang
digunakan (window), dan lebar minimal sampel daun yang akan diukur.
Dengan jarak yang tepat maka dapat dimaksimalkan perekaman khusus pada
muka daun yang terserang saja.
Gambar 4. Contoh perhitungan: jika window pada lensa probe mempunyai sudut
30 derajat, dan asumsi lebar daun minimal adalah 1 cm, maka jarak antara
obyek dan probe adalah 1,87 cm.
48 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat proses perekaman ini adalah
sebagai berikut:
a. Perekaman didahului oleh penentuan referensi putih, yaitu untuk
menentukan pantulan dengan nilai tertinggi yang dapat diterima sensor
pada saat itu, dan referensi gelap atau nilai terendah yang dapat direkam
sensor. Kedua nilai ini akan menjadi acuan nilai tertinggi dan terendah
nilai pantulan oleh perangkat lunak pengendali sensor.
b. Potongan sampel daun diletakkan pada posisi yang telah ditentukan
dengan tepat dan peletakan probe sesuai jarak yang telah dihitung.
Ketepatan ini sangat berpengaruh pada grafik reflektansi yang tergambar
secara langsung di komputer. Luasan permukaan yang terekam sesuai
dengan perhitungan awal terkait sudut bukaan lensa probe dan jarak
lensa probe ke permukaan daun.
c. Hasil rekaman disimpan dengan penamaan file dengan aturan tertentu,
agar memudahkan dalam pemilahan dan pengolahan hasil akhir.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada perekaman spektral daun tanaman padi kali ini dilakukan pada tanaman
padi varietas Sunggal. Lokasi hamparan adalah di Kabupaten Sukoharjo dan
Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Perekaman dilakukan pada
beberapa stadia tanaman padi Sunggal dalam beberapa kondisi.
Gambar 5. Berbagai dampak serangan
WBC pada tanaman padi.
Gambar 6. Populasi WBC pada rumpun
tanaman padi.
Pada masing-masing stadia direkam untuk kondisi daun sehat, daun yang
terakibat khusus (skor-5), dan daun yang telah kering keseluruhan (skor-9).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 49
Gambar 7. Varietas Sunggal pada stadia-2
skor-5.
Gambar 8. Varietas Sunggal pada stadia-2
skor-9
Perekaman spektral dilakukan sesuai dengan prosedur pengoperasian alat dan
prosedur survey lapangan. Keduanya telah mengalami pembaruan dari beberapa
survey yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan konfigurasi
peralatan yang sama.
Gambar 9. Pengukuran di lapangan siap
dilaksanakan.
Gambar 10. Perekaman spektral daun
sehat.
Sampel spektral dari daun padi yang terekam oleh perangkat lunak SpectraSuite
dalam format binary. Untuk itu semua sampel harus dikonversi kedalam format
text (ASCII) agar dapat diolah oleh perangkat lunak lainnya dengan mudah.
Berhubung tipe spektrometer yang digunakan hanya efektif pada rentang nilai
tertentu, yaitu 400 sampai dengan 900 nanometer, maka nilai dibawah 400 dan
diatas 900 nanometer dapat diabaikan.
Jumlah sampel yang didapat untuk masing-masing obyek dikelompokkan sesuai
penggolongannya. Tiap golongan sampel kemudian direrata untuk mendapatkan
gambaran keterwakilan dari sampel yang direkam.
50 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Jumlah sampel yang direkam adalah sebagai berikut:
Stadia Sehat Skor-5 Skor-9
1 61 52 60
2 63 60 59
3 60 61 55
Data yang telah dalam format text dapat dibaca dan ditampilkan dalam bentuk
grafik. Hal ini dapat dilakukan dengan perangkat lunak spreadsheet. Grafik
ditampilkan dengan menempatkan data nilai reflektan pada sumbu ordinat dan
nilai panjang gelombang pada sumbu axis. Pemotongan nilai maksimum dan
minimum dilakukan sesuai dengan kemampuan optimal sensor spektrometer
yang digunakan seperti yang telah disebutkan di atas.
Hasil penggabungan nilai reflektan dari stadia-1 varietas Sunggal dan daun dalam
kondisi sehat adalah sebagai berikut:
Gambar 11. Grafik reflektan gabungan dari semua sampel untuk kondisi daun sehat
varietas Sunggal pada stadia-1.
Kurva dari hasil pemilahan pada kelas tertentu kemudian ditampilkan dalam
bentuk grafik untuk mendapat gambaran lebih baik mengenai perbedaan yang
terdapat pada rentang yang sama. Tidak semua proses mendapatkan hasil yang
baik dikarenakan banyak kondisi yang dapat saling mempengaruhi. Tetapi
dengan melakukan pererataan hasil akan mengurangi random noise dari nilai
reflektan terekam.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 51
Gambar 12. Grafik dari nilai rerata sampel untuk kondisi daun sehat pada stadia-1,
stadia-2, dan stadia-3 varietas Sunggal.
Dari Gambar 12 di atas kita dapat lihat bahwa kurva yang mewakili nilai
reflektan stadia-1 (biru), stadia-2 (merah), dan stadia-3 (hijau) mempunyai
perbedaan nilai. Perbedaan terlihat jelas pada panjang gelombang 400 sampai
dengan 500 nm dimana ini masuk dalam daerah serapan Caroten dan Klorofil.
Klorofil pada masing-masing stadia mempunyai kandungan yang berbeda-beda.
Pada daerah 700 – 100 nm adalah daerah infra merah dekat (NIR) yang masuk
pada rentang panjang gelombang yang menandakan atau terkait dengan struktur
daun. Pada rentang ini kita juga melihat ada perbedaan untuk masing-masing
stadia.
Gambar 13. Grafik dari nilai rerata sampel pada stadia-2 untuk kondisi sehat, skor-5
dan skor-9 varietas Sunggal.
52 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Pada satu stadia yang sama, yaitu stadia-2, kita dapat melihat kurva dari masing-
masing kondisi sehat, skor-5 dan skor-9. Untuk kondisi sehat maka kurva
memperlihatkan serapan pada rentang panjang gelombang biru dan hijau untuk
kemudian memiliki nilai reflektansi yang tinggi saat memasuki rentang merah ke
infra merah dekat (NIR). Pada kondisi daun padi yang memiliki skor-5 dengan
kondisi daun sebagian besar menguning masih memiliki sedikit kandungan
klorofil dan pada rentang panjang gelombang merah ke infa merah dekat kurva
menunjukan struktur sel yang memiliki pola berbeda dengan daun sehat dimana
di panjang gelombang 800 nm terjadi penyerapan dan di pantulkan kembali di
panjang gelombang 850 nm. Kurva yang ditunjukkan pada kondisi daun padi
yang memiliki skor-9 memiliki pola yang sudah sangat berbeda dengan kurva
sebelumnya, pola kurva linear terlihat pada panjang gelombang biru dan hijau.
Hal ini dapat diartikan bahwa kandungan klorofil dalam daun sudah tidak ada
karena daun padi sudah mengalami layu sempurna.
Gambar 14. Grafik dari nilai rerata sampel pada stadia-1, 2, dan 3 pada kondisi skor-5
untuk varietas Sunggal.
Untuk kondisi skor-5 pada stadia-1 (biru), stadia-2 (merah) dan stadia-3 (hijau)
tampak pada Gambar 14. Dari kurva yang terbentuk terlihat bahwa pada kondisi
skor yang sama maka pada tiap stadia mempunyai kurva yang berbeda. Hal ini
juga terkait dengan kondisi stadia dari tanaman padi tersebut.
Perekaman spektral daun padi terdampak serangan WBC ini dilakukan dengan
mengutamakan pada prosedur perekaman dengan berbagai kondisi khusus dari
obyek seperti yang telah dijelaskan di atas, pada bagian metode. Perbedaan
kondisi ini dikelaskan sesuai dengan gejala yang menyertai daun tanaman padi
tersebut.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 53
4. KESIMPULAN
Perbedaan kurva dari berbagai kondisi sampel yang telah disebutkan di atas
menandakan ada keunikan untuk masing-masing kondisi obyek yang direkam.
Perbedaan stadia dari daun tanaman padi untuk varietas yang sama, walau
tampak sama oleh penglihatan mata, ternyata mempunyai grafik yang berbeda.
Untuk kondisi serangan WBC terlihat adanya perbedaan untuk skor yang berbeda
pada stadia yang sama, dan juga untuk stadia berbeda walaupun pada
penggolongan skor yang sama. Hasil rerata dari sampel yang diproses
membuktikan adanya perbedaan untuk tiap kategori yang telah ditentukan.
Perbedaan stadia pada kondisi tanaman yang sehat tetap dapat terlihat perbedaan
kurva reflektansinya. Demikian juga pada kondisi tanaman yang terdampak
serangan WBC pada skor tertentu.
Perbedaan grafik untuk kondisi unik pada daun terdampak serangan WBC ini
dapat digunakan untuk menjadi bagian dari referensi spektral pada proses
pemrosesan citra dijital. Data ini dapat juga dipergunakan sebagai analisis
subpiksel jika ingin mengetahui lebih tajam mengenai kondisi serangan OPT
WBC pada satu unit luasan terkecil dari citra pada satu hamparan sawah.
Hasil perekaman spektral daun tanaman padi yang terdampak serangan WBC ini
dapat menjadi masukan dalam pembangunan pustaka spektral. Pustaka spektral
yang baik akan dapat digunakan sebagai acuan dalam memroses citra satelit yang
terkait dengan deteksi sebaran serangan WBC pada tanaman padi. Pustaka
spektral sangat menentukan dalam analisis dijital dalam pemrosesan citra satelit.
Prosedur yang handal dan komprehensif dapat menjadi acuan dalam
menghasilkan pustaka spektral yang baik.
Penggunaan peralatan dengan memerhatikan konfigurasi dan penggunaan yang
tepat dapat mempercepat pengambilan sampel yang mana jumlah sampel sangat
penting untuk pengayaan analisis. Penguasaan pengoperasian spektrometer dan
pendukungnya, baik perangkat lunak ataupun keras, sangat penting untuk
mengatasi hambatan yang sangat mungkin terjadi. Kehati-hatian dalam
mengoperasikan peralatan di lapangan sangat diperlukan dilakukan.
DAFTAR REFERENSI
Afifah, Lisa Nisfi dan Hartanto Sanjaya, 2010. Aplikasi Metoda Linear Spectral
Unmixing Citra Hyperspectral untuk Pengamatan Sebaran OPT BLB Tanaman
Padi (Studi Kasus Subang). Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN: Jakarta.
Chaube, H.S., and V. S. Pundhir, 2005, Crop Diseases and Their Management, Prentice-
Hall of India, New Delhi.
Ferwerda, J.G. et al., 2002, Field Spectrometry of Leaves for Nutrient Assessment,
Department of Natural Resources, ITC: Enschede, The Netherland.
Freek D. van der Meer dan Steven M. de Jong, 2001, Imaging Spectrometry, Basic
Principles and Prospective Applications, Kluwer Academic Publisher, New York
USA.
54 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah
Greenfield, P.H. 2001. Remote Sensing for invasive species and plant health monitoring.
Detecting and monitoring invasive species. Proceedings of Plant Health Conference
2000, 24 -25 October, Raleight, North Carolina, USA.
Jensen, John R. 1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing
Persective, 2nd Ed. Prentice Hall: New Jersey.
Kusmayadi, Ayi. et. al., 1992, Population Characteristics of The Rice Brown Planthopper,
Nilaparvata Lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) in West Java, Indonesia.
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman
Pangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Lusch, David P., 1999, Introduction to Enviromental Remote Sensing, Basic Science and
Remote Sensing Inisiative, Department of Geography, Michigan State University
USA.
OceanOptics. 2007. SpectraSuite Spectrometer Operating Software, Installation
Installation and Operation Manual, OceanOptics Inc.
OceanOptics. 2007. USB4000 Fiber Optic Spectrometer, Installation and Operation
Manual, OceanOptics Inc.
Sims, Daniel A., dan John A. Gamon, 2002, Relationships Between Leaf Pigment
Content and Spectral Reflectance Across A Wide Range of Species, Leaf Structures
and Developmental Stages, Remote Sensing of Environment, Elsevier, USA.
Subroto, SW Gaib. et. al. 1992. Taksonomi dan Bioekologi Wereng Batang Coklat
Nilaparvata lugens Stall. Wereng Batang Coklat. Laporan Akhir Kerjasama Teknis
Indonesia – Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Direktorat
Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan,
Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman,
KEHATI.
BIOGRAFI PENULIS
Hartanto Sanjaya
Hartanto Sanjaya dilahirkan di kota Tanjungkarang,
Lampung, pada tahun 1969. Menyelesaikan strata-1 di
Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Teknologi Bandung pada tahun 1995. Strata-2 pada
spesialisasi Sustainable Agriculture, program Natural
Resources Management, di ITC (Geo-information
Science and Earth Observation) Belanda pada tahun
2003.
Aktif di kepengurusan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) Pusat
pada beberapa periode. Mengajar di beberapa perguruan tinggi sebagai dosen S1
dan S2 pada matakuliah pilihan dan sebagai dosen pembimbing skripsi dan thesis.
Dari tahun 1996 hingga saat ini sebagai perekayasa di Pusat Teknologi
Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 55
Teknologi (BPPT). Bidang pendalaman adalah pengolahan citra dijital
multispektral dan hiperspektral untuk aplikasi manajemen daerah aliran sungai
dan pemetaan sumberdaya alam. Saat ini banyak ditugaskan pada kajian
mengenai sebaran organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada tanaman padi
khususnya dalam pembangunan spectral library daun tanaman padi terakibat
OPT, dan pemodelan dinamik peramalan sebaran OPT tanaman padi dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Fauziah AlHasanah
Fauziah AlHasanah dilahirkan di Jakarta pada tahun 1980.
Menyelesaikan Sarjana Pendidikan di Jurusan Geografi
Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2003. Pendidikan
master diselesaikan di Jurusan Pengelolaan Sumberdaya
Lingkungan pada Institut Pertanian Bogor tahun 2006.
Staf perekayasa di Pusat Teknologi Inventarisasi
Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Bidang pendalaman
adalah pemetaan pertanian terkait dengan prediksi
produksi padi dan banyak mendalami kajian mengenai
perekaman spektral dan pembangunan spectral library daun tanaman padi ber-
OPT. Permodelan dinamis peramalan sebaran OPT juga didalami dengan
menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis.
57
Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah
dari Citra Resolusi Tinggi Menggunakan
Metode Object Based Image Analysis
(Studi Kasus di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, Indonesia)
Achmad Ramadhani Wasil, Soni Darmawan, Ketut Wikantika
58 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah dari Citra Resolusi
Tinggi Menggunakan Metode Object Based Image Analysis (Studi Kasus di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, Indonesia)
Achmad Ramadhani Wasil
1, Soni Darmawan
2, Ketut Wikantika
3
1,2,3Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung 1,2,3
Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi
Bandung
Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.
Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702
E-mail: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Perhitungan produksi padi di Indonesia telah dilaksanakan oleh tiga instansi;
BULOG, BPS, Kementrian Pertanian, dengan metodenya masing-masing dengan
menggunakan pendekatan luas lahan sawah, jumlah bibit, maupun laporan mantri
tani. Perbedaan metode pada setiap instansi memberikan informasi yang berbeda
pula bagi pengguna informasi. Namun dari berbagai metode tersebut belum ada
metode perhitungan produksi padi berbasiskan teknologi spasial. Penginderaan
jauh dapat dimanfaatkan sebagai alternatif metode yang lebih baik dimana
perhitungan produksi padi dilakukan dengan mengidentifikasi lahan baku sawah
dan mengklasifikasi jenisnya dengan menggunakan citra dan metode OBIA
(Object Based Image Analysis) sebagai metode klasifikasi lahan sawah. Dalam
proses klasifikasi, metode OBIA memandang objek tidak hanya berdasarkan nilai
piksel per piksel citra namun juga berdasarkan bentuk, luasan, tekstur, serta
relasional objek sekitarnya. Berdasarkan penelitian ini didapatkan metode OBIA
terbukti dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi lahan baku sawah menurut
karakteristik fase padi yang dimilikinya secara tepat dan relatif cepat.
Selanjutnya proses perhitungan luas sawah dapat diestimasi dari hasil klasifikasi
citra.
Kata kunci: Identfikasi, OBIA, Lahan Sawan, Fase pertumbugan padi.
Abstract
The calculation of existing land of food is very important to estimate the national
food security. In this case remote sensing can be used as better alternative
method in the paddy field identification. The study focuses on paddy field
identification using very high resolution imagery, Quickbird imagery acquired in
2008, and applying OBIA (Object Based Image Analysis) as a method for
analysis of paddy field in Rancaekek, Bandung, Indonesia. To identify an object,
this method not only analyse the value of a pixel but also to consider the
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 59
neighbour pixels. By the application of OBIA method in identifying wetland that
it considers many parameters such as land form (shape), soil characteristics
(spectral), land texture, and the relationship between wetland and other objects
around them. The study found that OBIA method can be used to identify fields of
raw land, generating a clear delineation of fields and also classified wetland
according to the characteristics of paddy growth phase (water phase, vegetative,
generative, and harvest phases) with accurate. Finally, the calculation of paddy
field can be estimated from the results of image classification.
Keywords: Identification, OBIA, Paddy field, Paddy growth phase.
1. PENDAHULUAN
Sejalan dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk, lahan sawah di Jawa yang
merupakan lumbung beras nasional cenderung menyusut dari waktu ke waktu.
Isa (2006) mengemukakan bahwa laju konversi lahan pertanian ke non- pertanian
merupakan masalah utama yang dihadapi sektor pertanian. Fenomena konversi
lahan sawah menjadi daerah non-pertanian ini mendorong Departemen Pertanian
mengambil kebijakan untuk penetapan lahan baku sawah agar kelangsungan
produksi pangan (padi) tidak terganggu.
Tanaman padi (Oryza sativa) sebagai salah satu komoditi sawah, termasuk
kelompok tanaman pangan yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, lebih dari 50% produksi padi nasional
berasal dari areal sawah di Pulau Jawa. Sehingga apabila terjadi penurunan
tingkat produksi dan produktivitas padi di Jawa secara drastis, maka dapat
mempengaruhi ketersediaan beras nasional dan akan berdampak negatif terhadap
sektor-sektor lainnya.
Dalam era globalisasi informasi untuk mendukung program ketahanan pangan,
dituntut kecepatan dan ketepatan informasi sumberdaya pertanian yang lebih
kuantitatif. Untuk itu diperlukan sarana pengumpul data dan informasi sistem
produksi pertanian yang lebih akurat dalam waktu yang secepat mungkin.
Teknologi penginderaan jauh memberikan informasi mengenai suatu objek di
permukaan bumi menggunakan sensor tanpa mendekati secara langsung objek
tersebut. Penginderaan jauh mengambil peran dalam mengidentifikasi suatu
objek dengan lebih spesifik sehingga objek tersebut dapat dikenali dan dibedakan
dengan objek lainnya. Diidentifikasi semua objek pada permukaan bumi
kemudian disegmentasikan dan diklasifikasikan menjadi objek-objek yang
berbeda. Sawah dideskripsikan sebagai lahan usahatani yang secara fisik
permukaan tanahnya rata, dibatasi pematang, dapat ditanami padi, palawija/
tanaman pangan lainnya (Departemen Pertanian, 2010). Sedangkan luas baku
sawah merupakan suatu lahan yang tersedia untuk ditanami padi atau jenis
tanaman lainnya yaitu luas area pertanian yang hanya digunakan sebagai area
tanam (tidak termasuk di dalamnya lahan-lahan yang berupa kebun, jalan,
permukiman, halaman bukit, dsb). Lahan baku sawah beserta karakteristiknya
60 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
memiliki paramater yang unik yang dapat membedakannya dengan objek lainnya.
Parameter inilah yang dijadikan acuan pada metode object based image analysis.
Terdapat beberapa metode pengklasifikasian pada teknologi penginderaan jauh
yaitu metode pixel based dan metode object based image analysis. Metode pixel
based merupakan teknik klasifikasi citra dengan parameter pertimbangan nilai
piksel (digital number) suatu citra. Teknik ini membedakan antara satu objek
dengan objek lainnya berdasarkan nilai intensitas kecerahan pada setiap piksel
citra. Sedangkan metode object based image analysis tidak hanya menggunakan
parameter pertimbangan berupa nilai intensitasi kecerahan per piksel citra namun
juga menambahkan parameter-parameter lainnya seperti bentuk (shape), spektral
(tekstur dan piksel), dan juga relasional (relation).
Untuk mengidentifikasi suatu objek, metode object based image analysis tidak
hanya melihat nilai dari satu piksel tetapi melihat secara keseluruhan objek
tersebut dengan memperhatikan kondisi piksel ketetanggaannya. Diharapkan
dengan penerapan metode object based image analysis pada pengidentifikasian
lahan sawah dilakukan klasifikasi berdasarkan parameter bentuk lahan (shape),
karakteristik tanah (spectral), dan hubungan antar sekitar lahan sawah (relation)
sehingga didapatkan luas lahan sawah yang mendekati nilai sebenarnya di
lapangan.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi objek berupa lahan sawah dari citra
beresolusi tinggi (Quickbird) kemudian ditentukan batas lahan sawah (delineasi)
sehingga luas baku sawah dapat ditentukan. Identifikasi dan klasifikasi
menggunakan metode object based image analysis.
2. DATA AND WILAYAH STUDI
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Quickbird wilayah
Desa Sukamanah, Kecamatan Rancaekek, Bandung Selatan tanggal 13 Agustus
2008. Citra tersebut telah mengacu pada datum geodetik WGS 84 dengan sistem
koordinat Universal Transverse Mercator dan sistem proyeksi TM-6 o
. Data citra
yang diperoleh terdiri atas 3 band visible light (merah, hijau, biru).
Gambar 1. Daerah Penelitian, Desa Sukamanah, Rancaekek Bandung Selatan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 61
Daerah Peneletian (Gambar 1) yang dilakukan pada studi kasus ini adalah daerah
Bandung Selatan yang memiliki luas 640, 7239 Ha dengan koordinat geodetik
dari 6o 58’ 57. 02411” LS, 107
o. 42’ 7.1083” BT sampai 6
o 59’ 56.9914” LS, 107
o
44’ 1.8613” BT. Daerah penelitian tidak hanya didominasi oleh lahan
persawahan namun terdapat beberapa pepohonan, permukiman, sungai dan lahan
kosong.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan menggunakan alur metode seperti yang dapat dilihat
dari Gambar 2. Dalam aplikasi metode Object Based Image Analysis untuk
mengidentifikasi lahan sawah terdapat tiga tahapan penting yaitu, pra pengolahan
citra, Object Based Segmentation, Object Based Classification.
Gambar 2. Flowchart Penelitian
3.1 Pra Pengolahan Citra
Data citra yang didapatkan dari satelit tidak dapat langsung digunakan untuk
proses segmentasi dan analisis karena masih mengandung kesalahan geometri
yang bersifat sistematis. Pra pengolahan citra adalah langkah dasar pengolahan
citra agar citra tersebut terbebas dari kesalahan sistematis dan mempunyai bentuk
yang sedekat mungkin dengan bentuk aslinya permukaan bumi. Dalam penelitian
ini pra pengolahan citra meliputi koreksi geometrik, pemotongan citra, dan
peningkatan kualitas citra.
62 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
3.1.1. Koreksi Geometrik
Data pada penelitian ini merupakan data citra Quickbird wilayah Bandung
Selatan. Data citra yang diperoleh telah dilakukan proses koreksi geometri oleh
penyelenggara citra Quickbird tersebut yakni DigitalGlobe. Citra yang diperoleh
sudah memiliki proyeksi peta dan juga sudah terdifinisi pada koordinat sistem
yang unik. Proyeksi peta yang digunakan adalah TM-6 o dengan sistem koordinat
Universal Transvere Mercator. Karena citra sudah terkoreksi dari kesalahan
geometri citra maka tidak dilakukan kembali proses koreksi geometrik pada
penelitian ini.
3.1.2. Pemotongan Citra Berdasarkan Wilayah Studi
Data citra meliputi wilayah Kota Bandung bagian selatan (Gambar 3) di mana
kawasan tersebut didominasi oleh lahan persawahan. Diperlukan pemotongan
data citra agar mendapatkan batas area penelitian. Pemotongan dilakukan pada
citra yang telah terkoreksi geometrik. Pemotongan citra dilakukan pada batas
wilayah 6o 58’ 57. 02411” LS, 107
o. 42’ 7.1083” BT sampai 6
o 59’ 56.9914” LS,
107o 44’ 1.8613” BT. Gambar 3 menunjukkan daerah penelitian hasil
pemotongan.
Gambar 3. Citra Satelit Quickbird Daerah Bandung Selatan
3.1.3 Peningkatan Kualitas Citra
Peningkatan kualitas citra adalah suatu proses untuk mengubah sebuah citra
menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara
yang biasa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis,
pemfilteran, dan lainnya. Tujuan utama dari peningkatan kualitas citra adalah
memproses citra sehingga citra yang dihasilkan lebih baik daripada citra aslinya
untuk aplikasi tertentu (Sutoyo, et al., 2009).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 63
Peningkatan kualitas citra yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses
peregangan kontras (contrass strecthing) (Lillesand & Kiefer Ralph, 1994).
Penajaman dengan perentangan kontras memperluas daerah tingkat keabuan/
nilai piksel sehingga nilai tersebut dapat digambarkan dalam daerah tingkat
keabuan yang penuh (Purwadhi, 2001). Hal ini dilakukan untuk mengatur kontras
dari keseluruhan citra sehingga didapatkan citra yang lebih baik.
Gambar 4. Data Setelah Dilakukan Penajaman Citra Menggunakan Histogram
Strecthing
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa tingkat kecerahan daerah tidak merata, di
sebelah barat terlihat lebih gelap dan di sebelah timur terlihat lebih cerah. Hal ini
dimungkinkan disebabkan oleh kabut, awan, atau intensitas pencahayaan
matahari yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kualitas
citra dengan peregangan histogram (histogram strech) dengan nilai rentang 3σ
(standar deviasi). Setelah itu dapat dilihat pada citra kajian hasil peregangan
(Gambar 3.3), didapat visualisasi yang lebih baik sehingga jalan setapak pada
perbatasan petak sawah lebih terlihat.
3.2 Object Based Segmentation
Setelah dilakukan pra pengolahan citra untuk mengkoreksi kesalahan geometri
dan radiometri citra kemudian dilakukan segmentasi. Segmentasi merupakan
proses pembuatan poligon (image object) pada citra. Pembuatan poligon
didasarkan pada parameter yang menentukan ukuran dan keragaman poligon
yang terbentuk. Segmentasi terdiri dari 5 paramater, yaitu:
1. Scale Parameter
2. Color
3. Shape
4. Smooth
5. Compact
64 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Parameter paling utama adalah scale parameter yang menentukan seberapa
banyak jumlah piksel minimal yang dapat membentuk satu poligon, color
mendefinisikan jumlah poligon berdasarkan heterogenitas warna, shape
mendefinisikan julah poligon berdasarkan heterogenitas bentuk. Parameter color
dan shape bersifat saling berkebalikan, sehingga color ditambah shape harus
sama dengan satu. Semakin besar nilai color semakin peka poligon yang terbuat
berdasarkan perbedaan nilai warna/rona. Sebaliknya, semakin besar nilai shape,
semakin kecil nilai color, maka poligon yang terbuat akan mempertahakan
bentuk dibanding membuat keragaman warna.
Dalam segmentasi ditentukan nilai kelima parameter di atas untuk mendapatkan
segmentasi terbaik sesuai dengan yang diharapkan. Satu set segmentasi disebut
satu level data. Level data yang baik diindikasikan dengan terbentuknya image
object yang sesuai dengan citra sehingga segmentasi yang terbentuk berbasiskan
objek. Pada beberapa kasus segmentasi seringkali tidak hanya dibutuhkan satu
level data untuk mendeskripsikan suatu objek sehingga diperlukan beberapa level
data untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi.
Pada penelitian ini dilakukan eksperimen kombinasi parameter segmentasi yang
meliputi scale parameter 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 dan kombinasi persentase
parameter yang lain. Diambil sebagai sampel percobaan yaitu nilai tengah
(moderate) dari setiap scale parameter. Gambar 5 merupakan skema percobaan
yang dilakukan untuk mendapatkan segmentasi terbaik untuk lahan sawah.
Gambar 5. Skema Percobaan Penentuan Segmentasi Terbaik
Penamaan level data berdasarkan nilai scale parameter yang diikuti abjad
sebagai keterangan persentase parameter segmentasi, yaitu sebagai berikut :
- abjad a, 10% color's percentage , 90% smooth
- abjad b, 50% color's percentage, 50 % smooth
- abjad c, 90% color's percentage, 10% smooth
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 65
Dari setiap level data menghasilkan segmentasi yang berbeda-beda. Perbedaan
segmentasi ini memang diperlukan untuk mengidentifikasi objek sesuai
karakteristiknya. Sebagai contoh, untuk segmentasi atap bangunan lebih baik
menggunakan coarse segmentation (> level 50) karena dapat terbentuk dengan
jelas poligon atap rumah sedangkan untuk segmentasi hutan lebih baik
menggunakan fine segmentation (level 5, 10, 20, 30) karena unsur-unsur poligon
kecil sebagai penyusun utama objek hutan.
3.3 Object Based Classification
Klasifikasi dilakukan setelah data citra tersegmentasi. Klasifikasi bertujuan untuk
menidentifikasi suatu objek sehingga menjadi objek unik yang berbeda dengan
objek lainnya. Pengklasifikasian menggunakan metode OBIA berbasis pada
karakteristik objek yang akan diklasifikasikan. Lahan sawah sebagai objek utama
penelitian dideskripsikan berdasarkan karakteristiknya, mulai dari bentuk, ukuran
luasan, nilai digital number lahan sawah, serta relasi lahan sawah dengan objek
sekitarnya, seperti sungai, bangunan, pepohonan, maupun dengan lahan sawah
lainnya.
3.3.1. Nilai Layer (Layer Value)
Yaitu parameter yang mendeskripsikan objek berdasarkan nilai digital number
citra objek tersebut. Nilai piksel dapat dilihar dari tingkat kecerahan, nilai piksel
setiap bandnya, ataupun perbedaan/ selisih nilai piksel pada setiap bandnya.
Layer value tersusun dari beberapa parameter yaitu brightness value, mean red,
mean green, mean blue, dan maxx difference.
3.3.2. Bentuk (Shape)
Parameter ini mendeskripsikan objek berdasarkan bentuknya. Shape terdiri dari
parameter penyusun yang sangat banyak, diantaranya:
- area, yaitu nilai luas area
- width, panjang area
- length, lebar area
- length/ width, rasio antara nilai panjang dan lebar area
- border length, panjang garis batas area
- density, kepadatan area yang tebentuk
- shape index, tingkat kompleksitas bentuk area
- compactness, tingkat kesatuan area
- roundness, tingkat kemulusan batas area
3.3.3. Relasi (Relational)
Parameter ini mendeskripsikan hubungan antara objek yang akan diklasifikasikan
dengan objek sekitarnya. Hubungan ini dapat bermacam- macam, diantaranya:
- existence of , yaitu keharusan mendeteksi kehadiran objek tertentu di sekitar
objek kajian.
- near of, yaitu hubungan keterdekatan antara objek tertentu dengan objek kajian.
66 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
- distance to, yaitu jarak antara objek tertentu dengan objek kajian.
- number of, yaitu hubungan jumlah objek tertentu yang berdekatan dengan objek
kajian.
Parameter-parameter tersebut didefinisikan dalam satu segmen tertentu, selain itu
hubungan relasional juga dapat mendeskripsikan hubungan antar objek
terklasifikasi pada level data yang berbeda. Gambar 6 menunjukkan hubungan
relasional antara objek kajian pada level 40, dengan objek tertentu pada level 50
(super object) maupun dengan level 10 (sub level).
Gambar 6. Hubungan antara Objek Penelitian dengan Objek Terklasifikasi pada Level
yang Berbeda
Penentuan nilai setiap parameter dilakukan dengan mengambil sampel objek
klasifikasi dan dibandingkan secara statistik setiap parameter yang akan
digunakan. Perbandingan statistik ini digunakan agar didapat nilai batas
(threshold) dari setiap parameter sehingga suatu objek dapat terbedakan dengan
objek lainnya. Parameter klasifikasi di atas dapat digunakan dengan cara
mengkombinasikan semua parameter. Kombinasi paramater-paramater
tersebutlah yang menjadi representasi model dari karakteristik objek di dunia
nyata. Kombinasi parameter tersebut disebut rule set.
Tabel 1. Tahapan Fase Pertumbuhan Padi
No Fase Deskripsi Penampakan pada Citra
1 Fase awal
pertumbuhan
Lahan sawah digenangi
oleh air
Lahan padi tampak berwarna
biru
2 Fase pertumbuhan
vegetatif
Semakin lebatnya daun
tanaman padi
Lahan padi tampak berwarna
hijau
3 Fase pertumbuhan
generatif
Tanaman padi digantikan
butir-butir padi
Lahan padi tampak berwarna
kuning pucat
4 Fase Panen Lahan dibiarkan kososng
(tidak ada tanaman)
Lahan padi tampak berwarna
coklat kemerahan
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000.
Untuk mengklasifikasi lahan sawah dilihat dari karakteristik spektralnya, dimana
lahan sawah yang ditanami padi memiliki penampakan yang berbeda-beda sesuai
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 67
dengan fase hidupnya. Tabel 1 menunjukkan tahap fase kehidupan padi.
4. HASIL
Pada penelitian ini, citra kajian dibagi menjadi dua bagian membujur, bagian kiri
(barat) dijadikan wilayah kajian dalam penentuan kombinasi segmentasi terbaik
bagi setiap objek dan juga penentuan paramaeter klasifikasi bagi setiap objek.
Setelah setiap objek dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan dengan baik
kemudian semua parameter yang terbentuk diuji coba ke bagian citra kanan
(timur). Hipotesis hasil yang diharapkan adalah parameter yang telah terbentuk di
citra kiri akan memberikan hasil yang baik pada bagian kanan citra sehingga
teridentifikasi objek sejelas pada citra kiri.
4.1. Segmentasi Terbaik
Setelah dilakukan eksperimen segmentasi didapatkan segmentasi terbaik untuk
setiap objek. Segmentasi level 50b merupakan segmentasi terbaik bagi lahan
sawah dan sungai (Gambar 7a), level 40b digunakan untuk pepohonan dan
klasifikasi fase padi (Gambar 7b), dan level 10b merupakan segmentasi terbaik
untuk identifikasi pematang sawah (Gambar 7c).
Gambar 7. (a) Level data 50b terbaik untuk lahan padi dan sunga, (b) Level data 40b
terbaik untuk pepogonan dan fase padi, (c) Level data 10b terbaik untuk pematang sawah.
( a ) ( b )
( c )
68 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
4.2. Klasifiksai Terbaik
Penentuan parameter klasifikasi didasari pada sifat fisis objek yang akan
diklasifikasikan. Berdasarkan hal tersebut didapatkan parameter- parameter yang
menjadi representasi terbaik sifat masing-masing objek, yaitu:
a. Parameter Pepohonan
- length/width < 2.5
- mean green < 333
- mean green > 286
- shape index >= 1.6
- distance to pohon <15
b. Parameter Sungai
- area < 1900
- brightness <241
- existance of sungai [1] = 1
- length/width >= 2.8
- main direction >=60
- shape index >1.5
- width > 8.2
- not pohon
c. Parameter Lahan Sawah
- area >=250
- distance to sawah <3
- number of sawah [1] >= 0
- shape index <= 2.1
d. Parameter Pematang Sawah
- area < 60
- border to jalan <=2
- length/width >= 2.6
- number of jalan [1] <=2
- not pohon
- not sungai
e. Parameter Fase Air
- brightness < 232
- brightness > 209
f. Paramater Fase Vegetatif
- area > 700
- brightness <= 250
- brightness > 232
- distance to fase vegetasi
[1] <= 35
- existance of fase vegetasi
[1] = 1
- mean red <= 185
- not fase air
g. Parameter Fase Panen (Bera)
- brightness <= 309
- brightness > 244
- existance of fase bera [1]
=1
- length/ width <= 3
- not area < 300
- not fase air
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 69
Gambar 8. (a) Klasifikasi pematang sawah, (b) Klasifikasi lahan sawah, (c) Klasifiksi
sawah fase air, (e) Klasifikasi sawah fase vegetatif, (f) Klasifikasi sawah fase panen
4.3 Hasil Akhir
Sesuai dengan metodologi di awal yaitu penerapan segmentasi dan klasfikasi
yang dibagi menjadi dua bagian sama besar, bagian kiri menjadi bagian uji coba
mencari parameter yang tepat dan bagian kanan menjadi hasil percobaan
parameter yang didapatkan. Berikut hasil identifikasi menggunakan parameter
yang didapatkan pada citra bagian kanan:
( a ) ( b ) ( c )
( d ) ( e ) ( f )
70 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Gambar 9. Hasil Klasifikasi Gabungan pada Bagian Kanan Daerah Kajian
4.3.1. Hasil Klasifikasi Seluruhnya
Parameter yand didapatkan kemudian digunakan pada seluruh (bagian kanan dan
kiri) citra kajian. Hasil identifikasi tersebut digambarkan dalam peta berikut:
Gambar 10. Peta Klasifikasi Lahan Sawah Desa Sukamanah
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 71
4.3.2. Validasi Data
Validasi data dilakukan dengan membandingkan hasil klasifikasi lahan sawah
menggunakan OBIA dengan hasil pengukuran di lapangan (terestris
measurement). Dari seluruh area penelitian diambil sampel lahan sawah untuk
pengukuran luas area.
Tiga sampel area diambil dimana ketiga area tersebut memiliki bentuk yang
berbeda-beda. Area pertama merupakan lahan gabungan dari beberapa lahan
sawah segi empat. Area kedua merupakan gabungan dari tiga lahan sawah yang
membentuk bangun trapesium. Area ketiga merupakan lahan yang memiliki
bentuk yang tidak beraturan. Ketiga area tersebut dipilih karena keberagaman
bentuk dan juga akses ke daerah tersebut.
Setelah pengukuran terestris dengan menggunakan metode tachimetri, kemudian
hasilnya dibandingkan dengan hasil klasifikasi menggunakan metode OBIA.
Perbandingan luas ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan antara Hasil Klasifikasi OBIA dan Pengukuran Lapangan.
No Bidang Luas Area (m2) Selisih (m
2)
1 Field Area-1 27069.3010 1524.7811
2 OBIA Area-1 25544.5199
3 Field Area-2 4739.9600 509.2400
4 OBIA Area-2 4230.7200
5 Field Area-3 38815.8980 1204.2222
6 OBIA Area-3 40020.1202
Dilakukan juga pengambilan sampel titik di lapangan untuk memvalidasi hasil
klasifikasi menggunakan OBIA. Validasi tersebut dituangkan dalam bentuk
confusion matrix berikut:
Table 3. Validasi Data dalam Confusion Matrix
CLASSIFIED IN
SATELLLITE
IMAGE AS :
GROUND TRUTH No.
classified
pixels
User
Accuracy rice
field trees river buildings road
RICE FIELD 20 5 0 2 0 27 74.10%
TREES 0 17 0 1 0 18 94.40%
RIVER 0 0 4 0 0 4 100%
BUILDINGS 0 0 0 21 0 21 100%
ROAD 0 2 0 0 2 4 50%
Ground truth pixels 20 24 4 24 2 74
Producer Accuracy 100% 70.80% 100% 87.50% 100%
72 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Overall accuracy =
5. ANALISIS
Dari penelitian yang dilakukan terdapat beberapa poin analisis terkait hasil yang
didapatkan, diantaranya:
1. Segmentasi harus dilakukan pada kombinasi yang berbeda (beberapa level
data) untuk mendapatkan objek yang diinginkan.
2. Klasifikasi objek meggunakan parameter- parameter sifat bersifat general
dan sangat ditentukan oleh hasil segmentasi sehingga terdapat objek yang
bukan anggota klasifikasi ikut masuk ataupun objek yang sebenarnya
merupakan anggota namun tidak masuk dalam klasifikasi.
3. Pada saat klasifikasi didapatkan masih ada beberapa wilayah sawah yang
tidak terklasifikasikan karena tidak memenuhi dengan semua kriteria yang
ditentukan. Sulit untuk mencari parameter yang dapat melingkupi objek
kajian dan bersifat generalisir.
4. Masih diperlukan manual editing dalam penentuan klasifikasi wilayah
yang tidak dapat digeneralisir. Manual editing juga diperlukan dalam
penentuan patokan klasifikasi awal sebagai anti objek dari objek lainnya.
5. Estimasi luas baku sawah dapat dilakukan dengan menghitung luas baku
sawah yang sudah terklasifikasi. Luas yang didapat merupakan estimasi
kasar dari luas baku sawah yang berfungsi untuk prediksi hitungan cepat.
Agar didapatkan luas lahan sawah yang lebih presisi perlu dilakukan
survey lapangan untuk validasi data.
DAFTAR REFERENSI
D., S., Lopez, A., C., L., Hinton, S., & J., W. , 2009. Object-based classification of
residential land use within Accra, Ghana based on Quickbird satellite data.
International Jurnal Remote Sensing
Desclee, B., Bogaert, P., & Defourny, P., 2004. Object-based method for automatic forest
change detection. UCL, Department of Enviromental Sciences and Land Use
Planning.
Kamagata, N., Hara, K., Mori, M., Akamatsu, Y., Li, Y., & Yoshinobu, H. (2006). A New
Method Of Vegetation Mapping By Object-Based Classification Using High
Resolution Satellite Data. Commision VII, WG VIII/11 .
L, W., Sousa, W., & Gong, P., 2004. Integration of object-based and pixel-based
classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. University California,
Texas State University, University Drive.
Lillesand, M. T., & Kiefer Ralph, W., 1994. Remote Sensing and Image Interpretation
(Third Edition ed.). New York: John Wiley & Son, Inc.
Nasional, Badan Standardisasi., 2010. Klasifikasi Penutup Lahan SNI 7645. Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 73
Purwadhi, F. S. , 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Gramedia Widisarana
Indonesia.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat., 2000. Estimasi Produks Padi Sawah Melalui
Analisis Citra Satelit. Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan
dan Agroklimat .
Wahyunto, Hikmatullah., 2006. Menduga Produksi Padi dengan Teknologi Citra Satelit.
Wahyunto, Widagdo, & Heryanto, B., 2006. Pendugaan Produktivitas Tanaman Padi
Sawah Melalui Analisis Citra Satelit. Informatika Pertanian , 15.
BIOGRAFI PENULIS
Achmad Ramadhani Wasil
Achmad Ramadhani Wasil lahir di Bandung pada tanggal 8
April 1990, menyelesaikan sarjana di Institut Teknologi
Bandung di Jurusan Teknik Geodesi Geomatika pada tahun
2012. Penelitian yang dilakukan fokus kepada pengolahan
citra satelit dengan metode object based image analysis.
Bidang pendalaman adalah estimasi dan identifikasi lahan
baku sawah terkait dengan produksi padi dan ketahanan
pangan daerah. Aktif sebagai asisten riset dalam bidang
penginderaan jauh dan di kegiatan mitigasi bencana, baik
penelitian juga kegiatan praktis. Kini melanjutkan studi sebagai master candidate
bidang Geomatika di Institut Teknologi Bandung.
Soni Darmawan
Soni Darmawan lahir di Bandung pada 12 Januari 1976.
Menyelesaikan pendidikan sarjana di Teknik Geodesi dan
Geomatika ITB pada tahun 1999, kemudian melanjutkan
pendidikan master di bidang teknologi informasi spasial dan
doktor di bidang penginderaan jauh pada universitas yang
sama. Program riset juga pernah dilakukan dalam Japan
International Research Center for Agricultural Sciences
(JIRCAS) Program di Tsukuba tahun 2007-2008 dan
Sandwich like Program 2009-2010 di Chiba University,
Jepang. Hingga saat ini aktif melakukan penelitian di bidang penginderaan jauh
di Pusat Penginderaan Jauh dan Kelompok Keahlian Inderaja dan Sains
Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
Bandung.
74 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.
Ketut Wikantika
Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember
1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di
kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di
Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar
insinyur diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di
Teknik Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil
meraih gelar Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba
University, Jepang dalam bidang image informatics dan
memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang
penginderaan jauh dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat
ini telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan
Geomatika, ITB, dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat
Penginderaan Jauh ITB. Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah
sebagai guru besar ITB dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan.
Beberapa karya ilmiah di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan
baik secara nasional maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun
telah dilakukan dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut
Wikantika juga aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi
Kartografi Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan
Surveyor Indonesia.
75
Model Analisis Citra Penginderaan Jauh
untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Industri
Eddi Nugroho
76 Eddi Nugroho
Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan
Hutan Tanaman Industri
Eddi Nugroho
Sinarmas Forestry,
Plaza BII Menara II Lt. 19, Jl. M.H. Thamrin Kav. 51, Jakarta 10340
Email: [email protected]
Abstrak
Aplikasi Penginderaan Jauh dalam bidang kehutanan telah secara luas
dilaksanakan karena memanfaatkan kemampuannya untuk mendapatkan
informasi pada areal yang tak mudah dijangkau dan untuk memantau perubahan
liputan hutan yang dinamis. Spesies pohon cepat tumbuh yang ditanam untuk
menghara industri bubur kertas misalnya, dapat dimonitor dengan menggunakan
analisis citra multi tingkat guna mendukung pengambilan keputusan dalam tiap
tingkat manajemen. Pengelolaan hutan tanaman industri dengan terus-menerus
melaksanakan rotasi penanaman dan pemanenan dapat menggunakan citra
penginderaan jauh multi resolusi secara serial. Hal ini memerlukan suatu model
analisis untuk mendayagunakan Citra Penginderaan Jauh pada pengelolaan hutan
tanaman dengan sistem silvikultur tertentu. Pada kajian ini digunakan Citra
Penginderaan Jauh dengan resolusi menengah seperti Citra Landsat yang
diperoleh secara serial dengan selang waktu dua tahunan dan citra resolusi tinggi
seperti Airborne RADAR dengan selang waktu lima tahunan. Analisis
multitemporal antara citra resolusi menengah dilakukan dengan menghitung rasio
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), sedangkan pendetilan
informasi dari citra resolusi menengah ke citra resolusi tinggi dilakukan dengan
digitasi manual pada data GIS yang bersifat hirarkikal. Pada data GIS ini pula
ditambahkan informasi lain berupa hasil inventarisasi hutan di lapangan, yang
ketika dikombinasikan dengan data Penginderaan Jauh dapat digunakan untuk
mendukung pengelolaan hutan tanaman yang berkesinambungan.
Kata kunci: model analisis citra, konsep multi citra, NDVI, rotasi hutan tanaman,
basisdata secara hirarki
Abstract
Remote sensing application on forestry is extensively carried out by taking
advantage on its capability to deliver information of remote area and to monitor
forest cover dynamic change. Fast growing species for instance, those are
planted for supplying pulp industry can be monitored timely by using multi image
analysis in order to support decision making in every management level.
Industrial plantation forest management implementing planting and harvesting
alternately should utilize multi resolution remote sensing images in serial time.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 77
This will require analysis model to apply this kind of imageries in this specific
silviculture system. In this study, medium resolution imagery is Landsat image
which is acquired every two year and the higher resolution one is Airborne
RADAR image which is recorded every five year. Multi temporal analysis
between serial medium resolution images is done by determining the difference
between their NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), and this will be
particularized by the higher resolution by manual digitization on hierarchical
database in GIS. In this spatial database, plantation forest data upcoming from
field inventory is appended to be combined with remotely sensed data to support
a sustainable plantation forest management.
Keywords: image analysis model, multi image concept, NDVI, plantation forest
rotation, hierarchical database.
1. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan
kawasan hutan yang berpotensi rendah atau bahkan telah rusak dengan cara
melakukan penanaman jenis tumbuhan hutan untuk menghara bahan baku suatu
industri. Kecuali hutan tanaman di Pulau Jawa yang telah dibangun sejak
sebelum kemerdekaan, kebanyakan hutan tanaman industri di luar Pulau Jawa
dibangun setelah tahun 1990-an untuk memasok kayu bulat kecil (chipwood)
sebagai bahan baku industri bubur kertas (pulp). Sampai akhir tahun 2008, Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)
secara definitif telah diterbitkan untuk areal seluas 7.154.832 ha di 18 provinsi
(Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan, 2009) yang
sebagian besar memang terkait dengan industri pulp.
Tabel 1. Perkembangan pembangunan hutan tanaman dan produknya 2004 -2008
Tahun Luas Penanaman Hutan
(ha)
Produksi
Chipwood
(m3)
Produksi Pulp
(ton)
2004 131.914 316.673 2.593.926
2005 153.125 352.078 988.192
2006 231.953 556.967 3.370.600
2007 334.838 1.103.506 4.881.966
2008 291.984 278.320 4.784.733
Sumber: Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan, 2009
Dengan menerapkan teknik silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB),
lahan dibersihkan untuk ditanami dengan tanaman hutan komersial seperti pinus,
Eucalyptus, Acacia, jati, karet dan sebagainya. Tentunya ada perlakuan seperti
pemupukan, pembebasan gulma, pemangkasan dan penjarangan guna
mempercepat tumbuh dan memperbaiki kualitas produk kayunya. Semua
78 Eddi Nugroho
kegiatan tersebut memberi dampak yang tidak kecil secara ekonomis, sosial serta
lingkungan baik dalam lingkup daerah maupun secara nasional bahkan
internasional.
Salah satu kunci keberhasilan pembangunan hutan tanaman industri dalam
mencapai tingkat produktivitas tinggi yang berkelanjutan adalah efektifnya
perencanaan dan pemantauan setiap kegiatan operasional. Mengingat luasnya
areal hutan yang biasanya tak mudah dijangkau serta perubahan liputan lahan
yang dinamis, maka Penginderaan Jauh menjadi perangkat yang penting karena
kemampuannya memberikan informasi secara serentak dan dapat dilakukan
secara konsisten dari waktu ke waktu. Karena kemampuan tersebut, pemotretan
dari udara maupun pencitraan dari satelit telah lama digunakan dalam bidang
kehutanan. Penginderaan Jauh dapat mendeteksi, identifikasi, klasifikasi,
evaluasi dan pengukuran bermacam tipe liputan hutan dan perubahannya secara
kualitatif dan kuantitatif (Hussin and Bijker, 2000). Rotasi tebang dan tanam
memerlukan pemantauan yang cepat dan akurat, yang hasilnya dapat disajikan
untuk para pengambil keputusan dan para pemangku kepentingan seperti
manajemen perusahaan pemegang ijin, pemerintah, kontraktor, konsumen dan
masyarakat umum termasuk LSM.
Pemanfaatan citra secara multi temporal dengan resolusi citra yang juga berbeda-
beda akan menjadi model aplikasi yang disesuaikan dengan spesifikasi
pengelolaan hutan tanaman. Untuk mendeteksi dinamika hutan berupa kompetisi
tumbuhan, dapat digunakan pencitraan dengan kamera resolusi tinggi dan
menerapkan beberapa metode ekstraksi data seperti klasifikasi spektral, analisis
tekstur and deteksi garis (Pouliot, D.A., D.J. King, and D.G. Pitt., 2006). Adanya
kebutuhan informasi sesuai tingkatan managerial berimplikasi pada kebutuhan
berbagai resolusi citra. Analisis citra multi resolusi ini dikombinasikan dengan
analisis multi temporal guna mendukung kebutuhan untuk monitoring dinamika
kondisi hutan tanaman. Contoh otomatisasi analisis multi temporal tetapi hanya
dengan satu resolusi spasial untuk mendeteksi penebangan dan penanaman hutan
ditunjukkan oleh Nunes, A. dan M. Caetano (2006) yang hasilnya langsung
ditampilkan dengan aplikasi WEB oleh Portuguese Geographic Institute.
Berbagai metode di atas dapat diadaptasi untuk memperoleh informasi geospatial
hutan dan dapat digunakan sebagai masukan pada aplikasi selanjutnya yaitu GIS
(Sistem Informasi Geografis) khususnya dalam hal pengaliran data yang bersifat
sangat dinamis karena rotasi penanaman hutan yang berkesinambungan.
2. ASPEK SPASIAL PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Karena lamanya waktu tunggu hingga masak tebang untuk dipanen kayunya,
areal hutan yang diperlukan untuk memasok suatu industri harus cukup luas
sehingga ada kesempatan untuk melakukan pengaturan hasil. Tanaman Acacia
crassicarpa misalnya, baru akan siap dipanen setelah berumur antara 4 sampai 7
tahun, karena itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku serat kayu pada suatu
pabrik bubur kertas berkapasitas produksi sedang, taruhlah 1 juta ton pulp per
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 79
tahun, diperlukan luasan minimum lahan hutan 300.000 ha. Selain besarnya
luasan lahan, juga persebaran atau distribusi tegakan hutan merupakan aspek
spasial yang penting dan menentukan dalam pengelolaan hutan. Beberapa
kegiatan pengelolaan hutan tanaman yang mempunyai kaitan erat dengan aspek
spasial adalah (1) penetapan areal kerja, (2) inventarisasi hutan, (3) klasifikasi
unit lahan, (4) perencanaan dan pemantauan kegiatan silvikultur dan (5)
conservation management plan. Dokumentasi dari kegiatan beraspek spasial ini
sangat penting untuk menperoleh sertifikasi dari berbagai lembaga dan untuk
proses perijinan dari pemerintah.
2.1. Penetapan Areal Kerja
Setelah areal konsesi diperoleh, studi kelayakan dan studi AMDAL dilakukan
untuk mengetahui keberlangsungan dan memperkirakan dampak yang
ditimbulkan dengan dibangunnya hutan tanaman industri. Kedua kegiatan ini pun
sudah beraspek spasial, oleh sebab itu diperlukan adanya Peta Areal Kerja yang
menunjukkan letak dan kondisi umum areal konsesi tersebut. Peta ini bersumber
dari Peta Rupabumi atau Peta Topografi yang tersedia dengan skala 1:50.000,
dan berdasarkan Peta Areal Kerja ini mulai disusun suatu perencanaan
operasional budidaya (silvikultur) hutan tanaman.
Sementara itu di lapangan dilakukan pemancangan batas areal melalui
pengukuran secara manual. Trayek pengukuran direncanakan berdasarkan
kesepakatan dengan pemilik konsesi yang berbatasan atau jika tidak ada konsesi
lain di sebelahnya, maka penataan batas dilakukan sendiri, semuanya di bawah
koordinasi Departemen kehutanan. Dalam prakteknya, penataan batas dilakukan
secara bertahap karena belum adanya akses jalan atau karena lamanya
pencapaian kesepakatan antar berbagai pihak. Citra Penginderaan Jauh berperan
dalam pemetaan areal kerja dan penataan batas adalah dengan:
a. penentuan titik ikat pengukuran batas konsesi dengan mengidentifikasi
obyek alam seperti misalnya percabangan sungai.
b. penggambaran kenampakan alami dan buatan seperti sungai, jalan, kanal
dan adanya desa atau permukiman.
Penetapan dan pengukuhan areal kerja menjadi hal yang penting karena
menjamin kepastian hukum dalam mengelola hutan tanaman industri yang proses
usahanya berjangka panjang. Pemetaan daerah konflik seperti tumpang tindih
kepemilikan, adanya perambahan hutan dan pembalakan liar juga penting pada
fase ini.
2.2. Inventarisasi Hutan
Informasi pokok yang diperlukan bagi pengelolaan hutan tentulah tentang
kondisi hutan itu sendiri. Sisa tegakan hutan alam yang masih ada serta hutan
tanaman yang telah terbangun menjadi obyek utama kegiatan inventarisasi ini.
Informasi ini dapat diperoleh dari data Penginderaan Jauh ataupun dengan
melakukan survei lapangan. Penggunaan Citra Satelit Landsat hasil perekaman
minimal dua tahun sekali sudah menjadi kewajiban pemegang konsesi hutan
80 Eddi Nugroho
yang dikaitkan dengan berbagai macam perijinan dari Departemen Kehutanan.
Pada tahun 1990-an, selain Citra Landsat, potret udara skala 1:20.000 juga
diwajibkan bagi pemegang konsesi untuk menyusun rencana jangka panjangnya,
namun sekarang penggunaan selain Citra Landsat bukan merupakan kewajiban
lagi. Teknik penggunaan berbagai Citra Penginderaan Jauh akan ditelaah lebih
detil dalam bab-bab selanjutnya pada tulisan ini.
Survei lapangan untuk mengetahui kondisi hutan yang dilaksanakan secara rutin
dan yang diwajibkan oleh pemerintah paling tidak ada tiga jenis survei yaitu
Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB), inventarisasi tegakan sebelum
penebangan (risalah hutan) dan pembuatan petak ukur permanen. Meskipun
demikian, bagi keperluan operasional pengelolaan hutan, ada banyak lagi
kegiatan survei hutan dilakukan. Tabel 2. di bawah ini menampilkan berbagai
kegiatan survei bagi pengelolaan hutan tanaman.
Tabel 2. Survei hutan bagi pengelolaan hutan tanaman industri
No Jenis Survei Tata Waktu dan
Cakupan Areal Tujuan Metode
1 Inventarisasi
Hutan
Menyeluruh
Berkala (IHMB)
Tiap 10 tahun.
Keseluruhan
konsesi.
Mengetahui
keseluruhan kondisi
dan potensi hutan
Systematic
sampling w/
random start
2 Inventarisasi
Tegakan
Sebelum
Penebangan
(Risalah Hutan)
1 tahun sebelum
pemanenan.
Dalam blok kerja
tahunan.
Estimasi produksi
(yield)
Grid sampling
dengan
intensitas 5%
3 Mid Rotation
Inventory
3 @ 4 tahun setelah
penanaman.
Dalam blok
tanaman seumur.
Mengukur
pertumbuhan
(growth) dan
mengetahui kondisi
tanaman
Grid sampling
dengan
intensitas 1%
4 Petak Ukur
Permanen
(Permanent
Sample Plot)
Setiap tahun dalam
satu rotasi tanam.
Satu plot untuk
setiap kelas
kesesuaian.
Mengukur
pertumbuhan
(growth)
Stratified
sampling
5 Pengukuran
Luas
Penanaman
Segera setelah
penanaman
setiap petak tanam
Mengetahui
kemajuan luas
penanaman
Pengukuran
terestris atau
GPS kinematic
6 Plantation
Assessment
3 bulan, 6 bulan
dan 1 tahun setelah
penanaman.
Dalam blok kerja
tahunan.
Mengetahui kualitas
penanaman dan
persentase tanaman
yang hidup
Grid sampling
dengan
intensitas 1%
7 Survei ekologi Sesuai kebutuhan.
Areal konservasi.
Identifikasi dan
pemantauan hutan
bernilai konservasi
Purposive
Sampling
(transek)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 81
2.3. Klasifikasi Unit Lahan
Pada dasarnya setiap jengkal lahan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda
baik dalam fisiografi, morfologi, ekologi maupun kondisi tanahnya. Di
samping itu, terdapat juga kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk
mendukung operasional pengelolaan hutan tanaman, seperti misalnya
pembangunan sistem kanal untuk transportasi produksi di lahan rawa. Semuanya
ini memerlukan pengaturan penggunaan areal secara spasial yang efektif dengan
melakukan klasifikasi unit lahan.
2.3.1. Delineasi Areal Kerja
Klasifikasi unit lahan yang wajib dilakukan oleh pengelola ialah membuat
delineasi areal untuk mengidentifikasi fungsi produksi dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial dan keseimbangan lingkungan. Untuk areal yang
teridentifikasi sebagai hutan alam bekas tebangan, maka akan dilanjutkan dengan
delineasi mikro seperti nampak dalam Tabel 3. di bawah ini.
Tabel 3. Kondisi liputan lahan yang didelineasi secara makro dan mikro
1. Areal hutan alam bekas tebangan
A Areal hutan alam yang harus dipertahankan
B Areal hutan alam yang dipertahankan untuk diusahakan dengan sistem
silvikultur bukan THPB
C Areal hutan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan
tanaman dengan sistem silvikultur THPB
2. Areal yang telah ditanami
3. Areal tanah kosong, alang-alang
4. Sarana dan prasarana
5. Permukiman, ladang, kebun, areal pinjam pakai Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008.
Ada kriteria tertentu dalam mendelineasi hutan alam menjadi tiga bagian yaitu
pada intinya dengan mempertimbangkan kerentanannya jika pada areal berhutan
tersebut dilakukan suatu sistem silvikultur atau budidaya. Berdasarkan delineasi
mikro ini, dapat dilakukan penataan ruang lebih lanjut.
2.3.2. Penataan Ruang Hutan Tanaman Industri
Pola pemanfaatan lahan berupa alokasi peruntukan ruang di dalam suatu konsesi
hutan tanaman industri ditata dengan memperhatikan aspek kepastian lahan,
sumberdaya hutan, kontinuitas produksi hasil hutan, konservasi, sosial ekonomi
dan institusi. Dasar dari penataan ruang adalah hasil delineasi mikro seperti yang
telah diuraikan di atas. Tabel 4. di bawah ini menunjukkan alokasi peruntukan
dan persentase luasnya.
82 Eddi Nugroho
Tabel 4. Alokasi peruntukan lahan dalam penataan ruang hutan tanaman industri
No Peruntukan Keterangan % luas
1. Areal tanaman
pokok
Tanaman komersial untuk tujuan
produksi 70%
2. Areal tanaman
unggulan
Tanaman jenis asli yang mempunyai
nilai tinggi 10%
3. Areal tanaman
kehidupan
Tanaman yang menghasilkan hasil
hutan bukan kayu untuk dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar
5%
4. Areal
konservasi
Areal yang dilindungi tetap sebagai
hutan alam 10%
5. Areal sarana
dan prasarana
Infrastruktur pengusahaan HTI: jalan,
kanal, camp 5%
Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95
Peruntukan berupa areal konservasi dalam penataan ruang adalah areal hutan
alam yang harus dipertahankan sesuai hasil delineasi mikro. Ada beberapa
kriteria yang digunakan dalam menentukan areal tersebut di antaranya:
a. Kawasan hutan yang mempunyai kombinasi kelerengan, jenis tanah dan
intensitas curah hujan dengan agregat skoring lebih besar 175.
b. Kawasan hutan dengan kelerengan lebih besar 40% dan atau dengan
kelerengan lebih besar 15% untuk jenis tanah tertentu yang sangat peka
erosi.
c. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih
dari 3 meter.
d. Kawasan hutan dengan radius atau jarak tertentu sampai dengan 500 meter
dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air, 100 meter dari tepi sungai, 50
meter dari tepi anak sungai, 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang dan 130
kali selisih pasang tertinggi dan terendah dari tepi pantai.
e. Kawasan penyangga hutan lindung atau kawasan konservasi.
f. Kawasan pelestarian plasma nutfah.
g. Kawasan perlindungan satwa liar.
h. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan serta
i. Kawasan rawan bencana.
2.3.3. Penataan Areal Kerja
Guna mempermudah pengaturan hasil yang berkesinambungan, maka dilakukan
pembagian blok-blok kerja tahunan, misalnya untuk tanaman hutan dengan daur
produksi enam tahunan, maka luas efektif areal tanaman pokok akan dibagi enam.
Gambar 1.(i) di bawah ini menunjukkan contoh pembagian blok kerja tahunan
menjadi enam blok setelah dikurangi areal yang dialokasikan untuk Areal
Konservasi, Tanaman Unggulan dan Tanaman Kehidupan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 83
Gambar 1. (i) Contoh pembagian blok kerja tahunan dan (ii) kompartemen atau petak
tanaman
Tiap blok kerja tahunan terdiri dari beberapa kompartemen atau petak tanaman
yang merupakan suatu unit manajemen terkecil yang mempunyai suatu
keseragaman dalam karakteristik lahannya. Petak tanaman ini mempunyai luas
optimum 25 hektare dengan pertimbangan bahwa pengerjaan pemanenan dan
penanaman dapat diselesaikan dalam waktu paling lama dua bulan. Contoh petak
tanaman dapat dilihat pada Gambar 1.(ii) di atas. Dikatakan bahwa petak sebagai
unit manajemen terkecil karena tanaman dalam satu petak akan dikenai perlakuan
yang sama, sehingga dalam satu petak terdapat hanya satu tegakan hutan yang
seumur dan seragam spesiesnya. Idealnya, kompartemenisasi ini bersifat
permanen dan tidak berubah pada rotasi tanam berikutnya, akan tetapi pada
kenyataannya petak-petak ini sering berubah, terutama jika batas petak yang
berupa jalan itu mengalami pergeseran.
2.3.4. Kesesuaian Lahan
Pada dasarnya, ekosistem hutan dapat berkembang secara alami di daerah
beriklim tropika basah seperti di Indonesia, karena itu kesuburan tanah bukan
suatu hal yang menentukan bagi hutan. Akan tetapi, dalam konteks hutan
tanaman, agar memberikan tingkat produktivitas yang tinggi, kesesuaian lahan
akan tanaman komoditi tertentu tetaplah penting. Telah lama dikenal konsep
bonita yang menggambarkan kemampuan produksi suatu tempat tumbuh jenis
pohon tertentu, berdasarkan karakteristik lahan dan pertumbuhan pohon dominan
pada berbagai tingkat umur (Arief, 2001). Karena itulah bagi pembangunan areal
yang relatif baru, jenis dan karakteristik tanah dapat diteliti untuk dapat
menentukan kesesuaian lahan terhadap varietas pohon tertentu.
(ii) (i)
Keterangan
84 Eddi Nugroho
Karakteristik tanah dan faktor lain seperti iklim dapat dievaluasi untuk
memprediksi produktivitas hutan tanaman. Faktor-faktor seperti ini dapat
direpresentasikan secara spasial dalam bentuk peta, yang nantinya akan
diperkaya dengan data pertumbuhan tanaman itu sendiri untuk memprediksi
tingkat produktivitas tiap unit karakteristik lahan. Peta site matching yang
diperlukan bagi pembangunan hutan tanaman memuat informasi sebagai berikut:
a. jenis tanah
b. spesies pohon yang sesuai
c. rekomendasi pemupukan dan perlakuan khusus lainnya
d. perkiraan produksi kayu
2.4. Transportasi Produk
Aksesibilitas ke seluruh areal tertanam sangat penting untuk dibangun, karena
akan mempermudah terlaksananya semua kegiatan mulai dari penyiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan dan perlindungan hutan, serta terutama untuk
mengangkut produk kayu hasil panenan. Jika pada areal lahan kering,
aksesibilitas menggunakan sarana jalan, maka pada areal rawa-rawa, aksesibilitas
menggunakan rel lori atau kanal. Peranan data spasial dan data Penginderaan
Jauh dalam menunjang transportasi adalah:
a. Membuat rencana pembangunan infrastruktur jalan atau kanal atau sering
disebut Pembukaan Wilayah Hutan yaitu dengan menyiapkan trase jalan,
desain jalan dan rencana jembatan.
b. Menentukan lokasi tempat penumpukan kayu, pos faktur dan camp produksi.
c. Pemilihan rute terpendek dengan melakukan analisis jaringan transportasi
dan menghitung panjang jalan untuk penganggaran biaya pengangkutan
maupun biaya perawatan infrastruktur.
2.5. Pengaturan Tata Air
Bagi hutan tanaman yang dibangun di areal rawa atau rawa gambut,
diperlukan pengaturan tata air (water management) dengan membuat sistem parit
drainase dan jaringan kanal. Pada intinya, jaringan drainase dan kanal untuk
mengatur elevasi muka air tanah dengan mengendalikan air di kanal primer
yang dilengkapi dengan pintu air atau dibangun dam overflow. Jika lahan gambut
dikeringkan tanpa diatur, maka lahan akan mengalami pemadatan dan penurunan
(subsidence) bahkan gambut tidak akan dapat terisi oleh air lagi yang akan
menjadi mudah terbakar pada musim kemarau. Konsep pengaturan tata air
tersebut adalah:
a. Elevasi muka air tanah dipertahankan pada kedalaman sekitar 80 cm
sehingga ada tempat bagi pertumbuhan perakaran. Untuk mengendalikan
penurunan tanah dan peroses pematangan gambut, muka air tanah dapat
dinaikkan secara perlahan sampai kedalaman 30 cm pada akhir rotasi
sebelum dipanen.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 85
b. Sebelum musim kemarau setiap tahunnya, muka air tanah dibiarkan setinggi
mungkin yaitu sekitar 10 – 30 cm di bawah permukaan tanah untuk
mencegah kebakaran. Pada akhir musim kemarau diharapkan muka air tanah
akan turun maksimal menajdi 80 cm lagi.
Pada areal yang luas, tentu tidak semua kanal atau parit itu dapat dihubungkan
menjadi satu jaringan terbuka, tetapi harus dibagi dalam zona-zona tertentu
tergantung pada keseragaman tinggi muka airnya. Dengan asumsi bahwa tinggi
muka air tanah mengikuti kontur tanahnya, maka pengukuran topografi dengan
ketelitian tinggi pada areal tersebut harus dilakukan terlebih dahulu agar zonasi
jaringan kanal dapat direncanakan dengan baik.
Transportasi produk kayu di areal rawa memerlukan kanal-kanal dengan
spesifikasi yang lebih lebar daripada jaringan parit yang hanya berfungsi untuk
mengeringkan lahan, spesifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. di bawah ini.
Tabel 5. Spesifikasi infrastruktur kanal transportasi dan parit pengering.
Lebar
permukaan Lebar dasar Kedalaman
Kanal Utama 12 m 9 m 3 m
Kanal Cabang 7 m 4 m 3 m
Parit Kolektor 3 m 2 m 2 m
Parit Pengering 1 m 1 m 1 m
2.6. Rencana Pengelolaan Lingkungan
Untuk mengelola area konservasi, mempertahankan keanekaragaman hayati serta
bentuk komitmen perusahaan dalam melindungi lingkungan, maka dibuatlah
Conservation Management Plan. Sebagai dasar utama penyusunan rencana ini
adalah delineasi unit lahan dan penataan ruang yang telah dilakukan terlebih
dahulu serta rekomendasi AMDAL. Di samping itu dilakukan juga survei ekologi
untuk mengidentifikasi dan memantau hutan bernilai konservasi, yaitu dengan
membuat transek berupa jalur pengamatan dengan meletakkan plot ukur di
sepanjang jalur. Penempatan jalur dilakukan secara purposive yaitu di areal
konservasi dan Tanaman Unggulan. Dimensi plot ukur adalah 10 m x 10 m.
Flora dan fauna yang ada diamati untuk mengetahui kekayaan jenis-jenis
tumbuhan dan hewan yang ada.
Di dalam Conservation Management Plan disusunlah rencana kegiatan yang
akan dilakukan di antaranya: pemancangan tugu batas dan papan nama areal
konservasi, penyuluhan kepada masyarakat dan kontraktor akan pentingnya
perlindungan lingkungan serta melakukan penanaman pengayaan dengan jenis
tumbuhan unggulan setempat. Perlindungan hutan dari kebakaran juga dilakukan
dengan penempatan menara pengawas dan kolam penampungan air, serta
membentuk regu pemadam kebakaran hutan. Sebagai aset perusahaan, semua
kegiatan itu dipetakan dan semua fasilitas diberi nomor identifikasi dalam
basisdata spasial.
86 Eddi Nugroho
3. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG
PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
BERKELANJUTAN
Pada tahun 1990-an, pengguna Citra Satelit Landsat dari Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN) didominasi oleh bidang kehutanan bahkan
pernah mencapai lebih dari 60% dari seluruh pengguna. Hal ini mungkin ada
kaitannya dengan kewajiban para perusahaan kehutanan di Indonesia untuk
menggunakan Citra Landsat. Bahkan proyek pemotretan udara terbesar ada di
bidang kehutanan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia meliputi seluruh kawasan Hutan Produksi seluas 64 juta Ha. Seiring
dengan menurunnya jumlah konsesi hutan alam, menurun pula persentase
pengguna Citra Landsat dari sektor kehutanan. Meskipun demikian, aplikasi
Citra Penginderaan Jauh di bidang kehutanan tetap berkembang, apalagi setelah
pengelolaan hutan alam bergeser menjadi pengelolaan hutan tanaman industri
yang menuntut ketelitian lebih tinggi sehingga membuka peluang digunakannya
Citra Penginderaan Jauh dengan resolusi lebih tinggi dari pada resolusi Citra
Landsat.
Secara umum, pengembangan teknologi Penginderaan Jauh pun masih cukup
pesat dengan diluncurkannya berbagai satelit pencitraan yang lebih tinggi
resolusinya, di lain pihak makin aplikatifnya teknologi RADAR dan LIDAR
memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan teknologi ini. Di
samping itu, pengembangan beberapa sistem kamera dan scanner yang lebih
praktis juga tersedia di pasaran membuka peluang makin bervariasinya teknologi
yang digunakan untuk bidang pengelolaan hutan tanaman ini. Dalam uraian
mengenai aspek spasial dalam pengelolaan hutan tanaman di atas, telah
disampaikan begitu banyak kegiatan yang dapat dilakukan dengan menerapkan
teknologi Penginderaan Jauh. Hussin dan Bijker (2000) membuat matriks tentang
peluang penerapan Penginderaan Jauh untuk pengelolaan hutan secara umum
seperti tertuang dalam Tabel 6. di bawah ini:
Tabel 6. Peluang Penerapan Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan.
No Jenis / Sub Aplikasi Resolusi Frekuensi Biaya Pembatasan
1. Pemotretan Udara - Pankromatik
- Berwarna
- Inframerah Berwarna Semu
- Inframerah Hitam Putih
+++*)
+++
+++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
--
---
---
---
--
--
--
--
2. Scanning dari Udara - Multispektral
- Hyperspektral
+++
+++
++
++
++
++
-
--
--
--
3. Citra Satelit ++ + + - -
4. RADAR dari Udara ++ ++ ++ - -
5. RADAR dari Satelit + + + - --**)
6. LIDAR/Laser dari Udara + ++ ++ -- --
7. Videografi + ++ ++ -- --
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 87
*) Tanda (+ )dan (–) serta banyaknya tanda tersebut menunjukkan banyaknya peluang
**) Satelit RADAR yang ada saat itu
Sumber: Hussin dan Bijker (2000)
Berdasarkan pengalaman dalam penerapan Penginderaan Jauh untuk pengelolaan
hutan tanaman serta melihat tersedianya teknologi terbaru yang ada di pasaran,
maka ada beberapa catatan setelah mencermati Tabel 6. di atas, yaitu sebagai
berikut:
a. Peluang penggunaan potret udara konvensional seperti pada Tabel 6. nomor
1 akan semakin berkurang. Sebagai pengganti potret udara tersebut, pesaing
yang potensial adalah scanner multispektral seperti pada Tabel 6. nomor 2
yang sekarang tersedia dalam format digital di pasaran yang dapat
langsung diperoses menghasilkan Digital Elevation Model (DEM).
b. Scanner hyperspektral dinyatakan mempunyai peluang yang tinggi
meskipun biaya dan pembatasnya pun juga tinggi, namun dalam prakteknya
peluang penerapannya rendah karena keunggulan digunakannya
hyperspektral seperti untuk mendeteksi penyakit dan sebagainya tidak
terlalu signifikan diterapkan di areal hutan tropis.
c. Dalam Tabel 6. nomor 3 di atas, Citra Satelit dikatakan memiliki peluang
penerapan yang rendah, padahal menurut pengalaman justru Citra Satelit
memiliki peluang penerapan yang paling besar, selain karena biayanya jauh
lebih murah, juga karena tersedia banyak macam dan resolusi di pasaran
dengan kualitas yang konsisten. Untuk daerah tropis seperti di Indonesia ini,
memang ada kendala besar yaitu banyaknya liputan awan, dan pada
kenyataannya dari Citra Satelit masih sulit untuk diperoleh DEM.
d. Perkembangan terakhir adalah meningkatnya peluang RADAR dan LIDAR
dari wahana udara. Resolusi RADAR/LIDAR yang tersedia di pasaran
semakin tinggi, aspek geometrinya juga sudah tidak ada masalah lagi.
Demikian juga produk Digital Surface Model (DSM) dan atau DEM yang
berasal dari pengukuran interferometri RADAR/LIDAR ini mempunyai
akurasi elevasi yang sangat tinggi sudah mencapai ketelitian hingga sub-
meter.
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya peluang penggunaan
Penginderaan Jauh secara umum menurut Hussin dan Bijker (2000) adalah
karena para ahli kehutanan berpikir konservatif dan ada keengganan untuk
meninggalkan metode lama. Alasan lain adalah karena kurangnya
pengetahuan akan penerapan teknologi ini secara khsusus. Dalam konteks
Indonesia, menurut hemat penulis, tenaga surveyor, forest cruiser dan pengawas
lapangan relatif banyak jumlahnya dan dengan biaya survei yang relatif rendah
dibandingkan dengan di negara seperti Canada atau Finlandia sehingga
penerapan Penginderaan Jauh memiliki prioritas rendah.
88 Eddi Nugroho
3.1. Hirarki Tingkat Kedetilan Informasi Spasial
Berdasarkan jenjang pengambilan keputusan dan jangka waktu pelaksanaannya,
perencanaan pengelolaan hutan tanaman dapat dibagi setidaknya dalam tiga
tingkatan yaitu Rencana Strategis berjangka panjang, Rencana Managerial
berjangka menengah dan Rencana Operasional berjangka pendek. Semakin
pendek termin rencana akan semakin detil kegiatan yang direncanakan karena
merupakan penjabaran dari termin rencana yang lebih panjang tersebut, demikian
pula akan semakin sempit ruang lingkupnya, seperti nampak dalam Tabel 7.a. di
bawah ini:
Tabel 7.a. Tingkat perencanaan dan contoh dokumen formal.
Tabel 7.b. Skala peta dan sumber data Penginderaan Jauh
Data dan informasi spasial dalam wujud peta untuk mendukung tiap tingkatan
perencanaan juga memiliki jenjang tingkat kedetilan informasi yang dinyatakan
dalam skala peta. Tabel 7.b. menunjukkan tingkatan skala peta untuk mendukung
tingkatan kegiatan perencanaan, misalnya peta skala detil 1: 5.000 untuk
mendukung Rencana Operasional berjangka pendek.
Tingkat kedetilan peta ini ada hubungannya dengan data Penginderaan Jauh
sebagai penyedia informasi, sedangkan tingkat kedetilan informasi pada data
Penginderaan Jauh tergantung dari resolusi atau tingkat akurasi dan kelengkapan
informasi yang dapat disadap. Ketinggian wahana pembawa sensor, kepekaan
detektor pada sistem optik atau lebar impulse pada sistem RADAR akan
mempengaruhi resolusi spasial citra yang dihasilkan. Seringkali resolusi spasial
No. Perencanaan (Termin) Contoh Dokumen
1. Rencana Strategis
(Jangka Panjang)
Business Plan, Studi Kelayakan, AMDAL
dan Rencana Karya Usaha (RKU)
2. Rencana Managerial
(Jangka Menengah)
Rencana Karya Sepuluh Tahunan,
Rencana Karya Tahunan dan
Conservation Management Plan
3. Rencana Operasional
(Jangka Pendek)
Surat Perintah Kerja Tanam/Tebang,
Rencana Rasionalisasi/Modifikasi Petak
Tanam.
No. Pemetaan Contoh Citra Penginderaan Jauh
1. Tinjau
< Skala 1:50.000
Resolusi lebih kecil dari 25 m
- Citra Landsat ETM
- Citra Envisat
2. Semi Detil
Skala 1:50.000
Skala 1:20.000
Resolusi antara 10 – 25 m
- Citra SPOT 4, SPOT 5 XS
- Citra Terra ASTER
- Potret Udara Skala 1:20.000
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 89
citra diidentikkan dengan ukuran pixel, makin kecil ukuran pixel berarti makin
tinggi resolusinya dan akan menghasilkan gambar yang lebih tajam.
3.2. Pemenuhan Kebutuhan Informasi Melalui Penginderaan Jauh
Energi elektromagnetik sebagai media dalam Sistem Penginderaan Jauh akan
dipantulkan oleh obyek permukaan bumi dan akan direkam oleh sensor sehingga
nantinya akan dapat ditafsirkan menjadi data dan informasi beraspek spasial.
Informasi penutup lahan dan vegetasi adalah informasi yang dapat langsung
diperoleh dari Citra Penginderaan Jauh. Tingkat kedetilan dan kelengkapan
informasi penutup lahan ini jika dikaitkan dengan tingkat skala peta, maka akan
diperlukan tiga tingkat hirarki informasi. Tabel 8. dan Tabel 9. di bawah ini
menunjukkan tiga orde atau tingkat kedetilan informasi yang dapat dipadankan
dengan tiga tingkat skala peta seperti tersebut dalam Tabel 7.b.
Tabel 8. Informasi penutup lahan tingkat tinjau dan tingkat semi detil.
Penutup lahan tingkat tinjau dapat diperoleh dari Citra Landsat atau Citra Envisat,
sedangkan penutup lahan tingkat semi detil dapat diperoleh dari Citra SPOT 5
atau Citra Terra ASTER. Peta untuk studi kelayakan, delineasi makro dan
AMDAL memuat informasi penutupan lahan tingkat tinjau, sedangkan informasi
penutupan tingkat semi detil diperlukan untuk membuat Rencana Karya Usaha
Sepuluh Tahunan dan Conservation Management Plan.
Penutup Lahan
Tingkat Tinjau Tipe Lahan
Penutup Lahan Tingkat Semi
Detil
Bervegetasi
1. Hutan primer
2. Hutan sekunder
3. Hutan tanaman
4. Vegetasi bukan
hutan
1. Lahan basah
2. Lahan basah
(payau)
3. Lahan kering
4. Lahan transisi
(ecotone)
Hutan alam:
- Potensi tinggi
- Potensi rendah
Hutan Tanaman:
- Rincian spesies
Vegetasi Bukan Hutan:
- Semak
- Belukar
- Ladang/Lahan Pertanian
- Perkebunan
Tak Bervegetasi
5. Lahan terbuka
6. Tubuh perairan
7. Lain-lain
Areal Tak Bervegetasi: Lain-
lain
- Permukiman/Kampung
- Infrastruktur
(Jalan/Kanal/Camp)
- Tambang Gambut
90 Eddi Nugroho
Gambar 2. (i) Citra Landsat resolusi 30 m dan (ii) Citra SPOT 5 resolusi 10 m
Tingkat kedetilan berbeda dapat jelas terlihat pada gambar di atas. Gambar 2.(i)
adalah Citra Landsat 7 ETM+ yang direkam 3 bulan setelah Citra SPOT 5 daerah
yang sama seperti terlihat pada Gambar 2.(ii). Tanda panah huruf (a) pada Citra
SPOT 5 menunjukkan adanya jalan yang tidak terlihat pada Citra Landsat. Areal
pada huruf (b) nampak tanaman baru yang pada Citra Landsat rekaman 3 bulan
sesudahnya terlihat telah lebih berkembang tajuknya. Pada areal huruf (c),
nampak bahwa areal tersebut sedang mengalami pembukaan, sedangkan pada
huruf (d), terlihat areal hutan tanaman.
Tabel 9. Informasi penutup lahan tingkat detil
Penutup Lahan Tingkat Detil
1. Hutan alam - Biomass
- Potensi tegakan
2. Hutan tanaman
- Umur tanaman
- Luas area tertanam netto
- Potensi tegakan
3. Infrastruktur:
- Spesifikasi infrastruktur
- Progress pembangunan:
Panjang jalan/kanal
Informasi penutup lahan tingkat ketiga yang paling detil seperti dalam Tabel 9.
digunakan untuk perencanaan operasional seperti rencana pemanenan atau
penanaman dalam suatu petak, perawatan infrastruktur dan sebagainya. Pada
kenyataannya di lapangan, informasi seperti ini diperoleh dengan cara survei
yang di antaranya memang sudah menjadi kewajiban pemegang konsesi,
sehingga dalam hal ini Penginderaan Jauh lebih berperan untuk membuat
stratifikasi atau sebagai alat konfirmasi saja.
(i)
(ii) (i)
c c
a a
b b
d d
© SPOT Image © LAPAN
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 91
Gambar 3. (i) Citra IKONOS resolusi 1 m, (ii) Citra RADAR orthorectified resolusi 1.25
m dan (iii) Potret udara format kecil
Pada contoh Gambar 3. di atas, nampak citra dengan resolusi tinggi yang
memberikan tingkat kedetilan yang tinggi. Citra IKONOS pada Gambar 3.(i)
memberikan gambaran stratifikasi tajuk yang nampak jelas, sedangkan Citra
RADAR pada Gambar 3.(ii) menunjukkan sempadan sungai yang dibiarkan tetap
bervegetasi hutan alam dan sisi kanan maupun kiri sudah dibangun hutan
tanaman. Pada Gambar 3.(iii) nampak jelas perbedaan stratifikasi tanaman
Acacia mangium (a dan b) akibat tingkat umur yang berbeda.
3.3. Penerapan Penginderaan Jauh Konsep Multi
Mengingat pengelolaan hutan tanaman memiliki rotasi panen dan
penanaman yang sangat dinamis dan berjangka waktu yang panjang, maka
pemantauan terhadap kegiatan operasional sangatlah penting dan dalam hal
inilah teknologi Penginderaan Jauh berperanan besar. Berjenjangnya tingkat
kedetilan informasi yang dapat disajikan oleh Citra Penginderaan Jauh,
menyebabkan perlunya mengatur pola urutan waktu pemanfaatan citra multi
resolusi. Memang untuk Citra Landsat sudah ada ketentuan dari pemerintah agar
mengadakannya paling tidak dua tahun sekali. Untuk Citra Penginderaan Jauh
lain yang sifatnya tidak wajib, tentu disesuaikan dengan kegiatan operasional di
lapangan. Diagram di bawah ini menunjukkan pola urutan pemanfaatan Citra
Penginderaan Jauh untuk pengelolaan hutan tanaman industri.
Pada Gambar 4. di bawah, nampak adanya kombinasi citra secara multi temporal
dan multi resolusi. Selain pengadaan Citra Landsat setiap dua tahun sekali yang
memang sudah ada ketentuan dari pemerintah, jadwal pengadaan citra lainnya
tentu tidak harus seketat pola urutan seperti dalam gambar di atas. Jika ada
permasalahan yang membutuhkan penyelesaian segera seperti misalnya terjadi
water logging atau ada klaim areal oleh masyarakat dan sebagainya tentu
pengadaan citra resolusi tinggi dapat disesuaikan waktunya. Airborne imaging
yang digunakan dapat berupa potret udara, potret udara format kecil, atau Citra
RADAR atau bahkan kombinasi tergantung kebutuhan serta dana yang disiapkan.
(i)
© GeoEye
a
b
© Intermap Inc.
(ii) (iii)
92 Eddi Nugroho
Demikian pula, airborne imaging atau citra resolusi tinggi tidak harus mencakup
seluruh areal, tetapi dapat saja areal-areal yang karena alasan tertentu mempunyai
prioritas tinggi.
Gambar 4. Pola urutan waktu pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh multi resolusi.
Hasil penafsiran citra resolusi lebih tinggi yang menghasilkan informasi lebih
detil pada tahap berikutnya akan digeneralisasi untuk diperbaharui dengan citra
dengan resolusi lebih rendah, kemudian citra dengan resolusi rendah tersebut
akan dimutakhirkan lagi menggunakan citra yang lebih tinggi resolusinya dengan
cara mendetilkan informasi. Demikian siklus ini berlangsung terus dan tentunya
sangat didukung oleh adanya basisdata relasional yang dapat menjaga konsistensi
isi informasi.
4. ANALISIS CITRA UNTUK MENGEKSTRAKSI INFORMASI
VEGETASI
Informasi dari Citra Penginderaan Jauh dapat diperoleh dengan cara
menginterpretasinya yaitu dengan mengidentifikasi obyek dan menganalisis
keberadaan obyek tersebut baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Teknik
interpretasi yang sudah umum dilakukan adalah dengan mengidentifikasi obyek
berdasarkan pada unsur kunci interpretasi yaitu: rona/warna, tekstur, bayangan,
bentuk, pola, ukuran, tinggi obyek, situs dan asosiasi obyek terhadap obyek lain
(Lillesand dan Kiefer, 2000). Ketentuan pemanfaatan Citra Landsat yang ada
pada beberapa peraturan yang diwajibkan oleh Kementerian Kehutanan adalah
dengan melakukan interpretasi secara visual. Akan tetapi jika ada alternatif
metode lain tentu tidak ada salahnya kalau diterapkan dalam mengekstraksi
informasi yang diperlukan bagi pengelolaan hutan tanaman.
4.1. Kajian Spektral untuk Mengungkap Kondisi Vegetasi
Dengan makin berkembangnya perekaman Citra Penginderaan Jauh secara digital,
makin berkembang pula teknik pengolahan citra secara digital. Respon spektral
atau pantulan balik media energi setelah berinteraksi dengan obyek di permukaan
bumi diterima oleh sensor, dikodifikasi dan disimpan secara digital sehingga
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 93
membuka peluang penggunaan teknologi komputer untuk membantu
pengolahannya. Pendekatan statistik dan operasi matematika dapat
diimplementasikan terhadap data digital untuk mendukung penyadapan informasi.
Berikut ini beberapa kajian terhadap nilai spektral yang berkaitan dengan
penyadapan informasi vegetasi dari Citra Penginderaan Jauh.
a. Penampilan citra sangat mendukung interpretasi baik secara visual maupun
secara digital. Citra multispektral terdiri dari beberapa band yang masing-
masing menggunakan spektrum tertentu, padahal untuk menampilkan citra
di layar komputer hanya dibutuhkan tiga band spektral saja untuk
membangun komposisi Red-Green-Blue (RGB). Kementerian Kehutanan
membakukan tampilan Citra Landsat menggunakan band 5 pada layer Red,
band 4 pada layer Green dan band 2 pada layer Blue atau dikenal dengan
istilah komposit RGB band 542, sehingga menunjukkan warna natural.
Namun sebetulnya, ada cara tersendiri untuk menilai kombinasi tiga band
yang paling optimum memberikan informasi ketika ditampilkan yaitu
dengan rumus yang dikembangkan oleh Chavez et al. (dalam Qaid dan
Basavarajappa, 2008):
∑
∑
(1)
Keterangan:
OIF : Optimum Index Factor
StDi : Simpangan baku pada band spektral i
Abs : Nilai Absolut
rij : Koefisien korelasi band spektral i dan band spektral j
Nilai tertinggi OIF menunjukkan kombinasi band dengan variasi warna yang
paling banyak sehingga memberikan informasi yang beragam. Jika
kombinasi band tersebut dipasang dengan urutan berbeda-beda pada layer
RGB, maka jumlah variasi warna tidak akan berbeda meskipun tampilan
warnanya berbeda. Perhitungan OIF Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra
SPOT 5 yang mencakup areal bervegetasi khususnya hutan tanaman
ditunjukkan pada Tabel 10. di bawah ini:
Tabel 10. Hasil perhitungan OIF Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra SPOT 5 di
areal berhutan.
Citra Landsat 7 ETM+ Citra SPOT 5
Kombinasi
Band
OIF Ranking Kombinasi
Band
OIF Ranking
1 4 5 51,045 1 1 2 4 65,354 1
3 4 5 44,392 2 1 3 4 58,592 2
4 5 7 42,356 3 1 2 3 41,278 3
1 4 7 41,594 4 2 3 4 24,059 4
2 4 5 40,463 5 Keterangan: Citra SPOT 5 format DIMAP: band1=HI3, band2=HI2, band3=HI1,
band4=HI4
94 Eddi Nugroho
Pada Tabel 10. di atas, nampak bahwa kombinasi band 145 pada Citra
Landsat memiliki nilai OIF yang paling tinggi, disusul dengan kombinasi
band 345, sedangkan pada Citra SPOT 5, kombinasi 124 memiliki nilai OIF
paling tinggi.
Gambar 5. (i) Citra Landsat RGB 541, (ii) RGB 543 dan (iii) Citra SPOT 5 RGB
412
b. Interpretasi secara digital melibatkan pengkategorian nilai-nilai pixel untuk
dipadankan dengan satu bentuk penutup lahan. Jika menggunakan citra
multispektral, maka analisis statistik secara multivariat dapat dilakukan
yaitu dengan memandang setiap band spektral sebagai suatu variabel. Untuk
mengelola hutan tanaman industri, kebutuhan informasi yang utama ialah
mengetahui umur tanaman dan spesies tanaman. Salah satu cara untuk
mengetahui kemampuan Citra Penginderaan Jauh dalam membedakan
kategori penutup lahan adalah dengan uji separabilitas menggunakan
formula indeks divergence D dan Transformed Divergence TD (Swain and
Davis, 1978) :
Dij = ½ tr (( Ci – Cj )( Ci-1
– Cj-1
)) + ½ tr (( Ci-1
– Cj-1
)( μi – μj )( μi – μj)T) (2)
TDij = 2 x (1 – exp( -Dij / 8)) (3)
Keterangan:
i dan j = dua kelas penutup lahan yang dibandingkan
Ci = matriks kovarians kelas i
μi = vektor rerata kelas i
tr = trace matriks yaitu penjumlahan diagonal utama
T = tranposisi matriks
exp = exponen bilangan natural
Nilai Transformed Divergence TDij berkisar antara 0 sampai 2, dengan
nilai 0 berarti kedua kelas penutup lahan tidak terpisah sama sekali dan nilai
2 berarti kedua kelas penutup lahan dapat dibedakan secara sempurna
berdasarkan warnanya. Nilai TDij untuk tanaman Acacia crassicarpa yang
berumur satu tahun hingga enam tahun pada empat band Citra SPOT 5
adalah sebagai berikut:
(i) (ii) (iii)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 95
Tabel 11. Hasil perhitungan TDij umur tanaman Acacia crassicarpa pada Citra
SPOT 5
1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun
2 tahun 1,048372
3 tahun 1,234581 1,606488
4 tahun 1,262882 1,892219 0,520285
5 tahun 1,271929 1,611638 0,711986 1,893177
6 tahun 1,270920 1,885007 1,581844 0,965311 0,823878
Menurut Tabel 11. di atas, hampir semua kelas umur tanaman tidak terpisah
sempurna jika dideteksi menggunakan Citra SPOT 5, artinya masih ada
percampuran nilai spektral. Hanya tanaman umur 2 tahun dan umur 6
tahun serta umur 4 tahun dan 5 tahun yang dapat dibedakan cukup baik.
Kesimpulannya, umur tanaman tidak dapat dideteksi secara memuaskan
hanya dari warnanya saja, tapi juga harus dari unsur kunci interpretasi lain
terutama tekstur dan bentuknya.
Uji separabilitas terhadap nilai spektral Citra SPOT 5 untuk mendeteksi
spesies tanaman yaitu Eucalytus spp., Acacia mangium dan Acacia
crassicarpa menghasilkan nilai TDij yang lebih rendah lagi. Akan tetapi jika
menggunakan Citra Satelit IKONOS yang mempunyai resolusi spasial lebih
baik yaitu 4 meter serta resolusi radiometrik 11 bit, tanaman Eucalyptus spp.
dapat dideteksi dengan baik, terpisah dari tanaman A. mangium dan A.
crassicarpa. Akan tetapi jenis tanaman A. mangium dan A. crassicarpa
ternyata masih belum juga dapat dibedakan. Masih harus dikaji lebih jauh
bagaimana kumpulan tajuk tanaman Eucalyptus spp. memberikan nilai
spektral yang berbeda dengan tanaman Acacia. Hasil perhitungan TDij
selengkapnya tercantum dalam Tabel 12. dan Tabel 13. di bawah ini.
Tabel 12. Hasil perhitungan TDij spesies tanaman pada Citra SPOT 5
Eucalyptus A. mangium A. crassicarpa Hutan Alam
A. mangium 0,310830
A. crassicarpa 0,528890 0,657693
Hutan Alam 0,9693781 0,609888 1,044744
Semak Belukar 1,576735 1,926445 1,877221 1,986601
Tabel 13. Hasil perhitungan TDij spesies tanaman pada Citra IKONOS
Eucalyptus A. mangium A. crassicarpa Hutan Alam
A. mangium 1,999999
A. crassicarpa 1,999999 0,8190602
Hutan Alam 1,999999 1,408939 1,718923
Semak Belukar 2,000000 1,866752 1,817654 1,967929
96 Eddi Nugroho
Gambar 6. (i) Citra IKONOS dan (ii) Hasil klasifikasinya pada areal hutan
tanaman
c. Salah satu pendekatan kuantitatif untuk memperoleh informasi keberadaan,
kuantitas dan fenomena vegetasi adalah dengan menggunakan Indeks
Vegetasi. Formula Indeks Vegetasi melibatkan band yang menggunakan
spektrum infra merah dekat (NIR dengan panjang gelombang/λ = 0,7 – 1,2
μm ) dan spektrum merah (R dengan λ = 0,6 – 0,7 μm). Formula ini pertama
kali dikembangkan oleh Rouse, Haas, Schell dan Deering pada tahun 1970-
an karena adanya kenyataan bahwa spektrum merah diserap dengan kuat
oleh klorofil a dan b pada dedaunan hijau, dengan maksimum penyerapan
pada panjang gelombang 0,69 μm, sedangkan dinding sel daun
memantulkan spektrum infra merah dekat secara kuat pada panjang
gelombang 0,85 μm (Glenn, E.P., et al. 2008). Rumusan yang paling umum
dari Indeks Vegetasi ialah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index):
NDVI = (ρNIR – ρR) / (ρNIR + ρR) (4)
ρNIR : nilai pantulan pada spektrum infra merah dekat
ρR : nilai pantulan pada spektrum merah
Formula turunan Indeks Vegetasi sudah cukup banyak dikembangkan, tetapi
intinya ialah berkaitan dengan kegiatan fotosintesis pada skala kanopi atau
ekosistem yaitu fenologi, produktivitas primer dan net carbon fixation, dan
Indeks Vegetasi ini merepresentasikan sifat gabungan dari fraksi penutup
vegetasi dan LAI (leaf area index/indeks penutupan tajuk) (Glenn, E.P., et al.
2008) serta digunakan untuk pemetaan kandungan biomass atas permukaan
(AGB: Above Ground Biomass) (Murdiyarso, D., et al. 2004). Dalam tataran
praktis pada pengelolaan hutan tanaman industri, misalnya untuk menduga
produktivitas kayu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari
(i) (ii)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 97
korelasi antara NDVI dengan atribut tajuk vegetasi yang dideteksi,
kemudian mencari konversi antara atribut tersebut dengan volume atau
tonase kayu. Untuk masing-masing jenis tanaman komersial pun akan
mempunyai nilai korelasi yang berbeda-beda sebagai contoh struktur tajuk
pohon Eucalyptus sangat berbeda dengan pohon Acacia. Akan tetapi jika
hanya menggunakan Citra Landsat ETM+, obyek hutan dan tanaman
industri seperti karet, Acacia dan kelapa sawit mempunyai rentang nilai
yang tumpang tindih sehingga keempat liputan vegetasi tersebut sulit
dibedakan secara langsung (Molidena, E. dan A.R. Asy-syakur, 2012).
d. Jika untuk menduga produktivitas hutan tanaman masih memerlukan
penelitian lebih lanjut, maka Indeks Vegetasi sudah banyak digunakan untuk
menaikkan nilai separabilitas pada klasifikasi digital, yaitu dengan
menambahkan Indeks Vegetasi sebagai sebuah band artificial pada Citra
Satelit. Hal praktis lain yang sudah banyak dilakukan dengan menggunakan
Indeks Vegetasi ialah untuk memantau dan mendeteksi perubahan penutup
vegetasi. Citra Satelit yang meliput areal yang sama secara periodik
dikalibrasi terlebih dahulu sebelum dihitung nilai NDVI-nya kemudian nilai-
nilai tersebut dibandingkan dengan cara menghitung rasio atau selisih antara
kedua nilai NDVI, maka akan didapatkan satu data digital yang berisi
perubahan liputan vegetasi yang dengan mudah dapat dipetakan. Nilai rasio
pada sekitar 1 berarti tak ada perubahan penutup vegetasi, perubahan liputan
terjadi pada kaki-kaki histogram. Secara teoritis, histogram data rasio Indeks
Vegetasi adalah seperti dalam Gambar 7. di bawah ini:
0 1
reforestasi
clearing
Fre
ku
ensi
threshold
Rasio NDVI
(i)
98 Eddi Nugroho
Gambar 7. (i) Histogram rasio NDVI (ii), Citra Landsat 7 ETM+ rekaman tahun 2007,
(iii) rekaman tahun 2009 dan (iv) Rasio NDVI setelah diiris pada nilai tertentu.
4.2. Simulasi Data Elevasi dari Interferometri RADAR/LIDAR
Salah satu trend baru di pasaran data Penginderaan Jauh adalah data DSM
(Digital Surface Model) atau DEM (Digital Elevation Model) dari hasil
pengukuran interferometri RADAR atau LIDAR. Resolusi vertikal yang
ditawarkan pun sudah cukup tinggi, mencapai ketelitian decimeter. Pada data
DSM, nilai pixel merepresentasikan ketinggian permukaan (surface), termasuk
bangunan dan vegetasi, sedangkan pada DEM, data ketinggian sudah dikoreksi
menjadi ketinggian tanah, sehingga pada areal berhutan, nilai pixel DSM
dikurangi nilai pixel DEM menghasilkan nilai ketinggian pohon. Simulasi
tegakan hutan secara rinci dapat dibuat dari data hasil pengukuran interferometri
ini.
Pengembangan penerapan DSM/DEM untuk berbagai bidang aplikasi memang
sangat menjanjikan, meskipun demikian data DSM/DEM dengan resolusi
vertikal antara 3 – 10 meter pun memiliki nilai guna yang sangat tinggi dalam
pengelolaan hutan tanaman. Pembuatan Peta Kelas Lereng skala 1:10.000 serta
perencanaan infrastruktur jalan sudah dapat dilakukan dengan menganalisis data
DSM/DEM dengan resolusi vertikal seperti tersebut di atas. Akan tetapi,
pembuatan zonasi untuk pengaturan tata air pada sistem kanal dan beberapa hal
teknis ketelitian tinggi tetap membutuhkan data DEM dengan ketelitian
decimeter.
4.3. Teknik Interpretasi Citra Multi Resolusi dan Multi Temporal
Mengingat masih adanya keterbatasan metode interpretasi secara digital, maka
bagaimanapun juga kombinasi dengan metode visual tetap menjadi pilihan yang
terbaik. Hasil analisis separabilitas beberapa informasi penting seperti umur
tanaman dan spesies tanaman tidak dapat diperoleh hanya dari nilai spektralnya
saja, padahal secara visual terlihat ada unsur interpretasi lain yang dapat
digunakan seperti tekstur yang berbeda dan adanya bayangan di sela-sela tajuk
pohon yang dapat menjadi indikasi bagi pembedaannya. Hasil pengolahan secara
digital seperti Indeks Vegetasi dan klasifikasi nilai spektral dapat dikonversi
reforestasi
clearing
(ii) (iii) (iv)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 99
menjadi data vektor untuk diedit lagi nantinya, atau dapat juga Indeks Vegetasi
dan hasil klasifikasi digital ditampilkan di layar komputer sebagai latar belakang
(backdrop) mendukung interpretasi secara visual/manual.
Agar interpretasi citra selalu konsisten walaupun pada resolusi yang berbeda dan
dari waktu ke waktu, maka perlu didesain basisdata yang sifatnya hirarkikal.
Artinya, ketika mendapatkan informasi yang lebih detil dari citra dengan resolusi
lebih tinggi, maka informasi ini merupakan perincian dari hasil interpretasi citra
sebelumnya yang lebih kasar. Sebaliknya, ketika mendapatkan informasi yang
kurang detil dari citra dengan resolusi yang lebih kasar, maka informasi ini
akan merupakan generalisasi. Untuk ini ada beberapa asumsi yang harus dipatuhi
seperti misalnya citra yang lebih baru akan mengubah isi informasi yang sudah
ada sebelumnya tanpa mempertimbangkan resolusinya. Pada informasi yang
berubah drastis inilah akan dilaksanakan pekerjaan lapangan berupa observasi
secara sampling.
5. PENUTUP
Setelah menginventarisasi kebutuhan data spasial bagi pengelolaan hutan
tanaman dan mengetahui kemampuan Citra Penginderaan Jauh untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, maka perlu disiapkan pembakuan dan praktek (standards
and practices) untuk mendukung pelaksanaannya. Di samping itu, data yang
dihasilkan harus dapat menjadi acuan bagi pekerjaan dalam skala operasional.
Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti sehubungan dengan penerapan teknologi
Penginderaan Jauh dalam pengelolaan hutan tanaman industri ialah:
a. Implementasi Sistem Informasi Geografis (GIS): agar data yang diperoleh
dari berbagai sumber, baik dari aplikasi teknologi Penginderaan Jauh
maupun survei lapangan dapat diintegrasikan. Basisdata spasial yang
dibangun disimpan dalam suatu media tetap yang tunggal sehingga selalu
konsisten. Dalam skala korporasi, perlu dibangun suatu jaringan penampilan,
pemasukan (input) dan transaksional data spasial, salah satu yang paling
populer ialah dengan menerapkan GIS berbasiskan Web. Data atribut
disimpan dalam suatu RDBMS dan dapat digunakan oleh sistem Enterprise
Resource Planning (ERP) yang digunakan.
b. Pola penerapan konsep multi: seiring dengan bergulirnya rotasi hutan
tanaman industri, secara periodik diupayakan pengadaan Citra Penginderaan
Jauh secara multi resolusi (lihat Gambar 4. di atas). Waktu pengadaan citra
dengan suatu resolusi spasial tertentu boleh tidak terlalu ketat, kecuali Citra
Landsat yang sudah ditentukan oleh pemerintah dan suatu saat nanti harus
dicari alternatif penggantinya jika program Landsat tidak diteruskan oleh
NASA/USGS.
Masih banyak kesempatan pengembangan aplikasi Penginderaan Jauh bagi
pengelolaan hutan tanaman industri, terutama karena perkembangan
teknologi baru seperti misalnya scanner hiperspektral yang portabel,
100 Eddi Nugroho
teknologi RADAR dan LIDAR yang terus berkembang dan sebagainya.
Sementara teknologi lama yang sangat efektif dan terbukti berguna seperti
potret udara format kecil berbiaya murah tidak banyak diulas dalam tulisan
ini karena keterbatasan penerapan oleh penulis. Kemungkinan
pengembangan lainnya ialah aplikasi pendugaan potensi hutan berdasarkan
biomass yang sebenarnya sudah banyak diteliti, serta standarisasi
penghitungan Indeks Luas Daun dari Citra Penginderaan Jauh yang nantinya
akan banyak digunakan dalam perdagangan karbon sebagai produk samping
pengelolaan hutan.
DAFTAR REFERENSI
Akingbogun, A., O Kosoko, and D.K. Aborisade. 2012. “Remote Sensing and GIS
Application for Forest Reserve Degradation Prediction and Monitoring”. FIG
Young Surveyors Conference: “ Knowing to Create the Future”. Rome, Italy, 4-5
May 2012.
Arief, Arifin. 2001. “Hutan dan Kehutanan”. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius.
Bruzzone, L., Fabio Roli, and Sebastiano B. Serpico. 1995. “An Extension of Jeffreys-
Matusita Distance to Multiclass Cases for Feature Selection”. IEEE Transaction
on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 33 No. 6: 1316 - 1321.
Davis, L.S., and K.N. Johnson. 1987. “Forest Management Third Edition”. New York,
USA: McGraw-Hill Book Company.
Glenn, E.P., A.R. Huete, P.L. Nagler, S.G. Nelson. 2008. “Relationship between
Remotely-sensed Vegetation Indices, Canopy Attribute and Plant Physiological
Processes: What Vegetation Indices Can and Cannot Tell Us about the Landscape.”
www.mdpi.org/sensors
Hussin, Y.A. and W. Bijker. 2000. “Inventory of Remote Sensing Application in Forestry
for Sustainable Management”. Amsterdam: International Archives of
Photogrammetry and Remote Sensing. Vol XXXIII Part B.7
Keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK 04/VII-PW/2005 tentang:
“Prosedur Pemeriksaan Peta Hasil Penafsiran Citra Landsat Kawasan Hutan
yang Akan Dilepaskan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan”.
Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Badan Planologi Kehutanan.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95 Tanggal 6 Februari 1995 tentang:
“Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri”. Jakarta: Departemen
Kehutanan Republik Indonesia.
Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 2000. “Remote Sensing and Image Interpretation”.
New York, USA: John Wiley & Sons, Inc.
Molidena, E. dan A.R. Asy-syakur. 2012. “Karakteristik Pola Spektral Vegetasi Hutan
dan Tanaman Industri Berdasarkan Data Penginderaan Jauh”. Pertemuan Ilmiah
Tahunan MAPIN XIX “Geospasial dalam Pembangunan Ruang yang Berkualitas”.
Makasar, 7 Juni 2012
Murdiyarso, D., U. Rosalina, K. Hairiah, L. Muslihat, I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya.
2004. “Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut”.
Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor. Indonesia:
Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.9/VI/BPHA/2009
Tanggal 21 Agustus 2009 tentang: “Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 101
dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi”.
Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2008 Tanggal 6 Februari 2008
tentang: “Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman”. Jakarta: Departemen Kehutanan
Republik Indonesia.
Pouliot, D.A., D.J. King, and D.G. Pitt. 2006. “Automated Assessment of Hardwood and
Shrub Competition in Regenerating Forest using Leaf-Off Airborne Imagery”.
Remote Sensing of Environment 102 (2006): 223 – 236
Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan. 2009. “Statistik
Kehutanan Indonesia 2008”. Jakarta: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
Sunarto, K, and Wasrin, U. R. 1992. “Vegetation Mapping of Baturaja and Its
Surroundings Using SPOT Imagery”. Yogyakarta, Indonesia: The International
Conference on Geography in the Asean Region, 2nd prosiding, Yogyakarta, 31
Ags – 3 Sep 1992.
Susilo, B. 2004. Perbandingan antara Integrasi Penginderaan Jauh Fotografis dan Sistem
Informasi Geografis dengan Pemetaan Pemetaan Bonita untuk Pemetaan
Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jati. Studi Kasus di Bagian Hutan Karangsono
KPH Telawa Jawa Tengah dalam: Danoedoro, P. (ed). “Sains Informasi
Geografis: dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan
Spasial”. Yogyakarta, Indonesia: Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh
Fakultas Geografi UGM.
Swain, P.H., and S.M. Davis. 1978. “Remote Sensing: The Quantitative Approach”. New
York, USA: McGraw-Hill Book Company.
Nunes, A., and M. Caetano. 2006. “Forest Monitoring with Remote Sensing: a Web
Applicator for the Common User”. Nevada, USA: ASPRS 2006 Annual
Conference.
Qaid, A.M. and H.T. Basavarajappa. 2008. “Application of Optimum Index Factor
Technique to Landsat-7 Data for Geological Mapping of North East of Hajjah,
Yemen”. American-Eurasian Journal of Scientific Research 3 (1): 84-91
102 Eddi Nugroho
BIOGRAFI PENULIS:
Eddi Nugroho
Eddi Nugroho lahir di Purwokerto pada tanggal 10 Juni
1962, menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Geografi
Jurusan Geografi Teknik Program Studi Penginderaan Jauh,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1988.
Dari tahun 1989 hingga tahun 1999 bekerja sebagai analis
citra penginderaan jauh di PT. Kayu Lapis Indonesia, lalu
selama 1 tahun bekerja di PT. Smart Tbk.. Selanjutnya
bekerja sebagai konsultan yang menangani berbagai
aplikasi geomatika seperti inventarisasi sumberdaya alam dan penataan ruang di
PT. Waindo SpecTerra sampai tahun 2006. Setelah itu hingga sekarang bekerja
di sektor kehutanan yang menangani hutan tanaman untuk industri bubur kertas
di Sinarmas Forestry.
Pengalaman mengajar dan memberikan training di bidang pengolahan citra
penginderaan jauh dan aplikasinya diperoleh sewaktu bekerja di BTIC (Biotrop
Training and Information Centre) dan menjadi asisten praktikum pada Program
Master of Science in Information Technology Institut Pertanian Bogor di Bogor
dari tahun 2000 hingga 2006.
103
Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah
Potensi Air Permukaan Berbasis Data
Spasial
Ika Puspita Sari, Boedi Tjahjono, Komarsa Gandasasmita,
Bambang H. Trisasongko
104 Ika Puspita Sari, dkk.
Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah Potensi Air
Permukaan Berbasis Data Spasial
Ika Puspita Sari, Boedi Tjahjono, Komarsa Gandasasmita,
Bambang H. Trisasongko
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Jalan Meranti, Bogor 16680.
Email: [email protected]
Abstrak
Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World
Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh
kelemahan dalam pengelolaan air. Kajian tentang air dan pemanfaatannya sangat
terkait dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Faktor topografi
mempunyai peranan penting dalam menentukan pola spasial terhadap areal-areal
jenuh air. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pola
sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan adalah Topographic Wetness
Index (TWI). Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimadur merupakan salah satu DAS
utama di Kabupaten Lebak, Banten yang turut berkontribusi dalam kejadian-
kejadian banjir. Kajian mengenai TWI di DAS Cimadur menjadi cukup penting
karena dapat menunjukkan sebaran titik-titik dugaan konsentrasi air yang dapat
digunakan untuk menentukan daerah-daerah yang berpotensi tergenang atau
daerah-daerah yang berpotensi untuk menyimpan air di DAS tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis bentuk lahan,
penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data
penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM),
(2) Melakukan analisis Topographic Wetness Index (TWI) untuk mengetahui
pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan, dan (3) Melakukan analisis
ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan
kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit analisis untuk penentuan daerah
yang potensial menyimpan air.
Hasil analisis ekologi bentanglahan menunjukkan bahwa DAS Cimadur
didominasi oleh bentuklahan pegunungan denudasional vulkanik Tersier (DV1
dan DV2) seluas 10.046 Ha, penggunaan lahan kebun campuran seluas 8.952 Ha,
kemiringan lereng 15-30% (curam) seluas 8.534 Ha, dan kelas TWI sedang (=
kelas 2) seluas 20.987 Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi
daerah penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi
menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau
penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah penelitian
cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk diloloskan namun
pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk mengalami kekeringan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 105
Kata kunci: Banten, Bentuklahan, Cimadur, Daerah Aliran Sungai, Ekologi
Bentanglahan, Topographic Wetness Index.
Abstract
Indonesia was predicted would have water crisis in 2025 in the World Water
Forum II in the Hague in March 2000. Most of the cause has been by the
weaknesses in water management. Study of water and its high demand has been
associated with shapes and physical characteristics of an area. Topographic
factors play an important role in determining spatial pattern water resources. In
this research, Topographic Wetness Index (TWI) is implemented to determine
spatial pattern of surface water saturation zone. Cimadur watershed was
selected as one of main watersheds in Lebak, Banten which has been
contributing on flood hazard. Study on TWI in Cimadur watershed has became
important because it could show distribution points containing concentration of
water and therefore useful for determining potential inundation as well as areas
potentially storing water in the watershed.
This research aims to: (1) Identify types of landform, land use, and slopes using
remote sensing data (Google Earth imagery, ALOS AVNIR-2 imagery, and SRTM
imagery), (2) Conduct analysis of TWI to obtain the distribution of spatial
pattern of surface water saturation zones, and (3) Conduct an analysis of the
landscape ecology (landform, land use, slope, and grade TWI) using landform as
unit of analysis for determination of potential water storage.
Landscape ecological analysis shows that Cimadur watershed is dominated by
Tertiary denudational volcanic landforms (DV1 and DV2), which covers 10.046
Ha, mixed-use garden covers 8.952 Ha, the slope of 15-30% (steep) covers 8.534
Ha, and middle TWI class (= grade 2) covers 20.987 Ha. It shows that ecological
conditions in test site are still at safe water saving, however, the area is fairly
vulnerable to climate change or land cover/land use change. These are due to
dynamics of water flow in the area during rainy and dry seasons.
Keywords: Banten, Cimadur, Landform, Landscape Ecology, Topographic
Wetness Index, Watershed.
1. PENDAHULUAN
Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dan mutlak diperlukan
bagi kehidupan manusia di muka bumi. Tingkat pemanfaatan sumberdaya air dari
waktu ke waktu mengalami peningkatan, seiring dengan pertumbuhan penduduk
yang terus meningkat setiap tahunnya.
Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World
Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh
kelemahan dalam pengelolaan air (Sosiawan dan Subagyono, 2007).
Pemanfaatan air secara nasional telah mencapai sekitar 80 miliar m3/tahun,
106 Ika Puspita Sari, dkk.
dimana pemanfaatan tertinggi berada di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 60% (Suara
Pembaruan, 2006). Tingkat pemanfaatan air yang tinggi ini tidak diimbangi
dengan pengelolaan air yang baik, sehingga menyebabkan meningkatnya potensi
kekurangan air, terutama air bersih. Hal ini diperburuk dengan pencemaran air
permukaan oleh kegiatan industri dan pertanian di berbagai wilayah.
Kajian tentang air dan pemanfaatannya sesungguhnya sangat terkait dengan
bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Menurut Grabs et al. (2009),
topografi berperan penting dalam menentukan pola spasial area jenuh air. Pola ini
dapat menjadi kunci untuk memahami proses-proses hidrologi yang terjadi dalam
sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun demikian, kajian proses hidrologi
yang terkait dengan topografi masih belum banyak dilakukan.
Data turunan yang umum digunakan untuk memahami proses hidrologi yang
terkait dengan topografi adalah kemiringan dan aspek lereng. Topographic
Wetness Index (TWI) merupakan salah satu data turunan yang dihasilkan dari
data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi
akumulasi aliran dan kelerengan. Dengan demikian TWI bermanfaat untuk
menilai kondisi kebasahan suatu lahan di dalam suatu DAS dengan asumsi
bahwa tinggi muka air tanah mengikuti gradien permukaannya.
Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang
banyak mengalami bencana banjir di antara kabupaten-kabupaten lain, seperti
Pandeglang, Serang, Cilegon, dan Tangerang. DAS Cimadur merupakan salah
satu DAS utama di Kabupaten Lebak yang turut berkontribusi terhadap kejadian-
kejadian banjir. DAS merupakan suatu sistem hidrologis, sehingga kejadian-
kejadian banjir atau permasalahan hidrologis lainnya dapat ditelaah melalui
analisis bentanglahan dan kondisi ekologis yang terjadi secara aktual di dalam
DAS. Dalam kaitannya dengan analisis ekologi bentanglahan (landscape
ecology), telaah TWI dapat dimanfaatkan untuk identifikasi terhadap titik-titik
dugaan konsentrasi air yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah
yang berpotensi tergenang atau berpotensi untuk menyimpan air di dalam DAS
tersebut. Berkaitan dengan itu, maka metode TWI diharapkan dapat memberikan
hasil untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan di
DAS Cimadur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis bentuklahan,
penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data
penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM),
menganalisis TWI untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air
permukaan, serta menganalisis ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan
lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit
analisis untuk penentuan daerah yang potensial menyimpan air.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 107
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian dan Data
DAS Cimadur, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah
penelitian. DAS tersebut mengalir dari kompleks Gunung Salak-Halimun ke
Samudera Hindia. DAS tersebut memiliki potensi banjir bandang yang cukup
besar, namun sangat jarang diteliti oleh masyarakat ilmiah.
Data yang digunakan adalah data spasial berupa kontur dan jaringan sungai yang
diperoleh dari peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) digital skala 1:25.000,
peta geologi digital skala 1:100.000, citra Google Earth tahun 2011, citra ALOS
AVNIR-2 tahun 2009, dan citra SRTM tahun 2000. Adapun peralatan yang
digunakan adalah GPS, kamera digital, seperangkat komputer dengan perangkat
lunak Sistem Informasi Geografis (SIG).
2.2 Analisis Data Pendahuluan
Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan data, baik yang
berasal dari penelitian sebelumnya maupun data penunjang untuk memahami
metode yang telah berkembang berkaitan dengan penelitian ini.
2.2.1 Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur
Peta batas DAS Cimadur dibuat dengan mempertimbangkan garis-garis kontur
dan sungai utama serta anak-anak sungainya yang mengalir pada wilayah DAS
Cimadur. Melalui pola-pola garis kontur, diperhatikan batas-batas topografi yang
terdapat di sekitar sungai utama tersebut. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan
definisi DAS yang merupakan suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi
oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air
hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai
dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau (Asdak, 2010).
Peta batas dari tiap sub-DAS yang ada di dalam DAS Cimadur juga dibuat
dengan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap order sungai yang mengalir
di DAS tersebut, yaitu dimulai dari order 3, 4, dan seterusnya hingga order
terbesar untuk Sungai Cimadur. Klasifikasi order sungai yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu pada klasifikasi Strahler. Selanjutnya, peta batas sub-DAS
yang dihasilkan digunakan untuk analisis hubungan antara order sungai dan kelas
TWI.
2.2.2 Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur
Peta penggunaan lahan dibuat dengan melakukan interpretasi visual dan digitasi
terhadap citra Google Earth, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 berfungsi sebagai
citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan. Hasil
klasifikasi yang dilakukan dari digitasi citra tersebut kemudian dicek di lapang
agar memberikan ketepatan antara kenampakan yang ada pada citra dan kondisi
yang sebenarnya di lapangan.
108 Ika Puspita Sari, dkk.
2.2.3 Pembuatan Peta Bentuklahan DAS Cimadur
Peta bentuklahan (landform) DAS Cimadur dibuat melalui interpretasi secara
visual pada citra (SRTM) dimana perangkat lunak SIG digunakan untuk
menampilkan citra secara 3 dimensi, sehingga morfologi permukaan bumi dapat
terlihat dengan jelas agar interpretasi bentuklahan bisa lebih mudah. Sebelum
memulai identifikasi bentuklahan, hal yang harus diperhatikan adalah melihat
keadaan di sekitar wilayah penelitian, baik dari aspek morfologi, morfogenesis,
morfokronologi, maupun litologinya. Kondisi morfologi wilayah penelitian yang
tampak pada citra, kemudian didelineasi sesuai dengan bentuk morfologi
termasuk kerapatan kontur, serta kondisi geologi yang menyusun wilayah
penelitian. Klasifikasi umum bentuklahan ditentukan berdasarkan kriteria
geomorfologi yang dikemukakan oleh van Zuidam (1985).
2.2.4 Pembuatan Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur
Peta kemiringan lereng DAS Cimadur dibuat berdasarkan peta kontur digital RBI
skala 1:25.000 yang dikonversi ke TIN (Triangulated Irregular Network). TIN
adalah struktur data vektor tiga dimensi yang mempresentasikan permukaan
bumi dengan membangun jejaring segitiga. Selanjutnya, data TIN dikonversi ke
data raster. Data yang dihasilkan dari proses ini adalah data elevasi digital dalam
format raster yang berisi sel-sel dengan ukuran tertentu dimana setiap nilai sel
menunjukkan angka ketinggian. Setelah itu, dilakukan konversi dari data
ketinggian menjadi data kemiringan lereng yang ada pada menu 3D Analyst. Data
yang dihasilkan dari proses ini adalah data dalam format raster yang belum
diklasifikasi. Peta kemiringan lereng biasanya dinyatakan dalam interval kelas,
sehingga langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi kelas lereng.
2.3 Tahap Pengecekan Lapang
Tahap pengecekan lapang dilakukan 2 kali, yakni di bulan Februari dan Juli
tahun 2011. Pada tahap ini dilakukan pengambilan beberapa lokasi piksel/titik
(x,y) untuk menentukan daerah kajian penelitian dengan menggunakan perangkat
GPS. Pengamatan lapang difokuskan pada observasi terhadap jenis-jenis
bentuklahan dan obyek-obyek di atasnya, yakni penggunaan lahan dan lereng.
2.4 Analisis Data Lanjutan
2.4.1 Analisis Topographic Wetness Index (TWI) DAS Cimadur
Analisis TWI dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 dengan
tools tambahan Terrain Analysis. Data dasar untuk analisis TWI adalah Peta
kontur digital RBI skala 1:25.000. Peta ini kemudian dipotong dengan peta batas
DAS Cimadur dan diubah menjadi titik-titik ketinggian untuk selanjutnya
dilakukan interpolasi. Interpolasi merupakan proses estimasi nilai pada wilayah
yang tidak diukur, sehingga dapat dihasilkan sebaran nilai pada seluruh wilayah.
Dalam penelitian ini digunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted
(IDW). Metode IDW merupakan metode deterministik yang sederhana dengan
mempertimbangkan titik di sekitarnya. Asumsi dari metode ini adalah bahwa
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 109
nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang
lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linier sesuai dengan jaraknya
terhadap data sampel. Dalam proses ini data yang dihasilkan merupakan data
baru dalam bentuk grid (raster), sehingga data ini dapat digunakan untuk analisis
TWI.
Data dalam bentuk grid ini menghasilkan 9 data TWI yang bersifat kontinu
(continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan
interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas TWI rendah (= kelas 1)
dengan selang kelas nilai <5, kelas TWI sedang (= kelas 2) dengan selang kelas
nilai 5-10, dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dengan selang kelas nilai >10. Sistem
pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa referensi awal mengingat
terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan. Pengkelasan ini digunakan untuk
memudahkan mengetahui titik-titik dugaan konsentrasi air. Langkah selanjutnya
adalah dengan melakukan delineasi masing-masing kelas TWI yang sudah
diklasifikasi agar keluaran akhir yang dihasilkan berbentuk data vektor.
2.4.2 Analisis Ekologi Bentanglahan DAS Cimadur
Analisis ekologi bentanglahan dimulai dengan melihat hubungan antara
komponen-komponen bentanglahan, seperti penggunaan lahan, kemiringan
lereng, dan kelas TWI yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuklahan
sebagai unit analisisnya untuk menentukan daerah yang berpotensi menyimpan
air. Analisis dilakukan dengan metode tumpangtindih (overlay) dengan perangkat
lunak SIG.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Geomorfologi
Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi
yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses geomorfologis
endogen dan eksogen seperti proses-proses tektonik, vulkanisme, dan
denudasional mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Hal
ini dapat merujuk pada jenis batuan yang menyusun daerah penelitian dan
kenampakan morfologi yang ada secara aktual.
Dalam analisis morfologi terdapat dua aspek, yakni aspek morfografi dan
morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif dari suatu bentuklahan yang
ada di permukaan bumi, sedangkan morfometri merupakan aspek kuantitatif dari
suatu bentuklahan, seperti kemiringan lereng. Morfografi daerah penelitian terdiri
atas dataran, perbukitan, pegunungan, tebing, dan lembah sungai seperti tersaji
pada citra SRTM (Gambar 1.a), sedangkan gambaran morfometrinya disajikan
dalam bentuk peta kemiringan lereng (Gambar 1.b).
110 Ika Puspita Sari, dkk.
(a)
(b)
Gambar 1. Citra SRTM (resolusi 90 m) (a), Peta Kemiringan Lereng (b) di DAS Cimadur
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 111
Secara spasial (Gambar 1.a) morfologi dataran di daerah penelitian lebih banyak
tersebar di bagian Utara daripada di Selatan DAS, hal ini sangat menarik karena
terletak di daerah hulu yang seharusnya lebih banyak mempunyai lereng yang
curam. Jika dilihat lebih detail morfologinya, pada daerah ini dijumpai suatu
cekungan dengan bentuk melingkar, berdiameter 8000 meter dan dibatasi oleh
tebing, tersusun oleh endapan abu dan batuapung. Seperti diketahui bahwa
endapan abu-batu apung (ignimbrite) merupakan hasil letusan vulkanik tipe
Plinian atau letusan besar yang seringkali menghasilkan kaldera seperti kaldera
Bromo-Tengger, kaldera Tambora, kaldera Sunda-Tangkuban Perahu dan
sebagainya. Kaldera adalah kawah besar berdiameter lebih dari 2000 meter
sebagai hasil proses runtuhan tubuh puncak gunungapi akibat kekosongan dapur
magma, sehingga secara morfologis kaldera dibatasi oleh dinding yang terjal
berbentuk melingkar. Berdasarkan karakteristik kaldera ini, maka dapat diduga
bahwa bentuklahan tebing berbentuk hampir melingkar atau berbentuk huruf “U”
ini dapat diinterpretasikan sebagai tebing kaldera dari hasil letusan gunungapi
pada zaman Tersier. Hipotesis ini diperkuat oleh adanya endapan abu-batuapung
di sekitarnya atau di tengah kaldera yang membentuk morfologi dataran. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kompleks pegunungan di wilayah ini
dahulunya merupakan suatu kompleks gunungapi meskipun pada saat sekarang
morfologi vulkanik seperti bentuk-bentuk kerucut sudah tidak ditemui lagi akibat
adanya proses eksogenik denudasional yang telah berjalan sejak jaman Tersier
dan juga terhentinya aktivitas vulkanik di wilayah ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka morfologi perbukitan yang terletak di bagian
tengah DAS diperkirakan merupakan bagian lereng bawah dari kompleks
gunungapi dimaksud, sedangkan perbukitan struktural berbatuan sedimen
merupakan batuan dasar (basement rock) dari tubuh-tubuh gunungapi yang
tumbuh di atasnya pada zaman Tersier tersebut.
Untuk morfologi dataran di bagian Selatan luasannya relatif sangat kecil berupa
bentuklahan hasil proses fluvial (deposisi) dan merupakan bentuklahan termuda
yang terbentuk pada zaman Kuarter dibandingkan umur morfologi-morfologi lain
yang telah disebutkan sebelumnya.
Berdasarkan Gambar 1.b di atas, terlihat bahwa kemiringan lereng 0-3% (datar)
dan 3-8% (landai) tersebar di bagian Utara dan sedikit di bagian Selatan DAS,
kemiringan lereng 8-15% (agak curam) tersebar juga sedikit di bagian Utara dan
Selatan DAS, sedangkan kemiringan lereng 15-30% (curam) tersebar hampir di
seluruh wilayah DAS, dan kemiringan lereng >30% (sangat curam) tersebar di
bagian tengah dan sedikit di bagian Utara DAS. Melihat persebaran kelas lereng
ini dan luasannya (Tabel 1) memastikan bahwa daerah penelitian terletak di
daerah atas (upland areas) yang berupa perbukitan dan pegunungan, sehingga
cukup wajar jika proses denudasi menjadi lebih dominan. Oleh karena itu dari
sisi morfogenesis, nama-nama bentuklahan sebagian besar akan berupa
bentuklahan denudasional vulkanik dan sebagian yang lain berupa denudasional
struktural dan fluvial.
112 Ika Puspita Sari, dkk.
Tabel 1. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur
No Kemiringan
Lereng
Keterangan Luas Area
Ha %
1 0-3% Datar 1822 8,67
2 3-8% Landai 3359 15,98
3 8-15% Agak curam 2640 12,56
4 15-30% Curam 8534 40,59
5 >30% Sangat curam 4667 22,20
Luas Total 21022 100
Bentuklahan asal proses denudasional vulkanik tersebar dari bagian tengah ke
hulu daerah penelitian, sedangkan bentuklahan asal proses denudasional
struktural tersebar di bagian Selatan daerah penelitian, seperti perbukitan lipatan
yang telah mengalami erosi lanjut, hal ini dicirikan dengan batuan-batuan yang
menyusun bentuklahan tersebut, yang terdiri dari batupasir, konglomerat,
batukapur, dan batulempung (Formasi Cimanceuri). Batupasir dan konglomerat
umumnya lebih resisten terhadap erosi sehingga menghasilkan bentuklahan igir-
igir perbukitan, sedangkan batukapur sebagian berbentuk igir-igir atau bukit
namun sebagian yang lain terlarut membentuk lembah/cekungan. Sedangkan
batulempung karena lebih lunak maka cenderung membentuk morfologi lembah-
lembah. Bentuklahan asal proses fluvial terdapat di bagian Selatan daerah
penelitian, memiliki relief datar dengan batuan penyusun utama Aluvium, dan
menempati elevasi terendah (0-300 m dpl) sebagai wilayah yang lebih
didominasi oleh proses-proses deposisi.
Morfokronologi daerah penelitian di bagian Utara tersusun oleh batuan vulkanik
yang terbentuk pada zaman Tersier: Miosen-Pliosen, di bagian tengah disusun
oleh batuan vulkanik dan sedimen Tersier lebih tua: Eosen-Miosen, sedangkan di
bagian selatan mempunyai batuan penyusun Kuarter: Holosen sebagai hasil
proses pengendapan sungai. Dengan demikian, berdasarkan morfokronologinya
dapat disimpulkan bahwa secara umum morfokronologi bentuklahan di daerah
penelitian mempunyai umur lebih muda ke arah Utara. Jenis batuan induk di
daerah penelitian menurut Peta Geologi digital (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung) skala 1:100.000 terdiri dari 11 Formasi,
yakni: Formasi Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv),
Anggota Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj),
Formasi Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping
(Tmtl), Anggota Konglomerat (Teb), dan Aluvial (Qa).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 113
3.2 Identifikasi Bentuklahan
Berdasarkan hasil analisis geomorfologi yang telah dikemukakan di atas dan
hasil interpretasi citra, maka bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian dapat
diklasifikasikan menjadi 8 macam, yakni: Lembah Sungai (F), Pegunungan
denudasional vulkanik Tersier muda (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik
Tersier tua (DV2), Perbukitan denudasional vulkanik Tersier tua (DV3), Tebing
denudasional vulkanik Tersier muda (DV4), Dataran vulkanik bermaterial tufa
Tersier muda (DV5), Perbukitan denudasional struktural Tersier muda (DS1),
dan Perbukitan denudasional struktural Tersier tua (DS2) seperti yang disajikan
pada Gambar 2.a, sedangkan untuk kenampakan bentuklahan di Citra SRTM
dapat dilihat pada Gambar 2.b dengan luas dari masing-masing bentuklahan pada
Tabel 2.
(a)
114 Ika Puspita Sari, dkk.
(b)
Gambar 2. Gambaran dan interpretasi bentuklahan dari citra SRTM (a), Peta
Bentuklahan SRTM (b) di DAS Cimadur
Tabel 2. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur
No Simbol Bentuklahan Luas Area
Ha %
1 F Lembah sungai 61 0,29
2 DV1 Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda 5837 27,76
3 DV2 Pegunungan denudasional vulkanik Tersier tua 4209 20,02
4 DV3 Perbukitan denudasional vulkanik Tersier tua 2641 12,56
5 DV4 Tebing denudasional vulkanik Tersier muda 3941 18,75
6 DV5 Dataran vulkanik bermaterial tufa Tersier muda 1406 6,69
7 DS1 Perbukitan denudasional struktural Tersier muda 1334 6,35
8 DS2 Perbukitan denudasional struktural Tersier tua 1593 7,58
Luas Total 21022 100
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 115
Dalam Tabel 2. terlihat bahwa bentuklahan Pegunungan vulkanik denudasional
muda (DV1) dan tua (DV2) merupakan bentuklahan yang mempunyai luasan
terbesar di daerah penelitian, dengan luasan masing-masing 5.837 Ha dan 4.209
Ha. Hal ini sangat wajar disebabkan daerah penelitian sebelumnya merupakan
kawasan kompleks gunungapi. Adapun bentuklahan Lembah sungai (F)
merupakan bentuklahan dengan luasan terendah, yakni 61 Ha karena terbentuk
setelah proses denudasi berlangsung.
3.3 Identifikasi Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil interpretasi citra GeoEye dari Google Earth dan citra ALOS
AVNIR-2, penggunaan lahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi
6 macam, yakni: sawah, permukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan,
dan tanah terbuka, serta selebihnya adalah sungai. Peta penggunaan lahan yang
dihasilkan disajikan pada Gambar 3, sedangkan luasan masing-masing dapat
dilihat dalam Tabel 3.
Gambar 3. Peta Penggunaan Lahan di DAS Cimadur
116 Ika Puspita Sari, dkk.
Tabel 3. Luas masing-masing penggunaan lahan di DAS Cimadur
No Simbol Penggunaan Lahan Luas Area
Ha %
1 Su Sungai 90 0,43
2 H Hutan 7284 34,65
3 Kc Kebun campuran 8952 42,58
4 P Pemukiman 221 1,05
5 Sa Sawah 3691 17,56
6 Se Semak/tegalan 744 3,54
7 Tb Tanah terbuka 40 0,19
Luas Total 21022 100
Berdasarkan Tabel 3. di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan kebun
campuran merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di DAS Cimadur
dengan total luas sebesar 8.952 Ha. Fenomena ini dapat dipahami mengingat
penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala terhadap morfologi,
sehingga dapat berkembang pada berbagai bentuklahan dan kemiringan lereng,
dan akses jalan yang ada di daerah penelitian memungkinkan manusia untuk
mengintervensi lahan. Sebaliknya penggunaan lahan tanah terbuka merupakan
penggunaan lahan terkecil atau sebesar 40 Ha, dikarenakan sebagian kawasan
DAS Cimadur masuk ke dalam kawasan Taman Nasional yang dilindungi oleh
Pemerintah.
3.4 Analisis TWI
Analisis TWI dalam penelitian ini menghasilkan data TWI yang bersifat kontinu
(continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan
interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas 1 atau nilai TWI rendah
(<5), kelas 2 atau nilai TWI sedang (antara 5 hingga 10), dan kelas 3 atau nilai
TWI tinggi (>10). Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada
referensi awal. Hal ini disebabkan masih sangat terbatasnya acuan baku yang
dapat digunakan untuk reklasifikasi. Adapun reklasifikasi ini sendiri
dimaksudkan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan yang mempunyai
konsentrasi air di permukaan lahan. Dalam hal ini kelas TWI rendah (= kelas 1)
menggambarkan suatu wilayah dengan potensi simpanan air yang rendah,
sehingga dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk
menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas TWI tinggi (= kelas 3),
menggambarkan suatu wilayah dengan potensi simpanan air yang tinggi,
sehingga dapat diasumsikan bahwa wilayah ini memiliki peluang tinggi untuk
terjadinya genangan air ditinjau dari variasi topografi lokal. Adapun untuk kelas
TWI sedang (= kelas 2) menggambarkan suatu potensi yang berada di antaranya,
atau mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang sedang
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 117
atau dapat diasumsikan memiliki potensi yang masih dapat diharapkan untuk
menyimpan air.
Pada Gambar 4.a terlihat bahwa kelas TWI tinggi (= kelas 3) tersebar di bagian
Utara dan Selatan DAS meskipun relatif kecil. Hal ini disebabkan pada DAS
bagian Utara didominasi oleh bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa
Tersier muda (DV5) dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar), sedangkan
pada DAS bagian Selatan didominasi oleh bentuklahan Perbukitan denudasional
struktural Tersier muda (DS1) dengan kemiringan lereng dominan 8-15% (agak
curam). Kelas TWI rendah (= kelas 1) memiliki penyebaran sangat sedikit juga,
yakni di DAS bagian tengah, tepatnya pada bentuklahan Pegunungan
denudasional vulkanik Tersier muda (DV1) dengan kemiringan lereng dominan
15-30% (curam). Adapun kelas TWI sedang (= kelas 2) merupakan kelas yang
paling mendominasi daerah penelitian, terutama di atas bentuklahan Pegunungan
denudasional vulkanik Tersier muda (DV1) dengan kemiringan lereng 15-30%
(curam).
(a)
118 Ika Puspita Sari, dkk.
(b)
Gambar 4. Peta Kelas TWI (a), Peta Hasil Tumpang-tindih Kelas TWI dan Order Sungai
(b) di DAS Cimadur
Mengingat bahwa ketersediaan air sangat erat kaitannya dengan aliran
permukaan (sungai), maka keterkaitan kelas TWI perlu dikaji hubungannya
dengan order sungai. Dalam tulisan ini klasifikasi order sungai akan mengacu
pada metode klasifikasi Strahler. Hasil klasifikasi order sungai DAS Cimadur
dengan metode Strahler menunjukkan bahwa order sungai tertinggi dari Sungai
Cimadur adalah order 6, sedangkan dalam penelitian ini order 3 ditetapkan
sebagai order terendah (untuk penyederhanaan) karena banyaknya order-order
yang lebih kecil di dalam DAS Cimadur. Seperti disebutkan di atas, order 6
ditetapkan sebagai order tertinggi, artinya bahwa aliran sungai yang mengalir
pada order 6 merupakan aliran sungai terbesar di dalam DAS Cimadur. Dalam
Gambar 4.b terlihat bahwa kelas TWI yang paling dominan adalah kelas TWI
sedang (= kelas 2) di semua order sungai mulai dari order 3, 4, 5, dan 6. Kelas
TWI tinggi (= kelas 3) menyebar di bagian Utara dan Selatan DAS dengan order
sungai yang paling dominan adalah order 3. Selanjutnya, untuk kelas TWI rendah
(= kelas 1) sedikit sekali penyebarannya, hanya dibeberapa titik di bagian tengah
DAS yang dapat dijumpai pada order sungai 3 dan 4. Tabel 4 menunjukkan total
panjang segmen sungai yang berada dalam kelas TWI dan order sungai yang
telah diklasifikasi.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 119
Tabel 4. Klasifikasi kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen sungai di
DAS Cimadur
No Kelas TWI Order sungai Total panjang segmen sungai
(m)
1 1 3 38,9
2 4 13,3
3 2 3 336.806,2
4 4 251.612,1
5 5 297.179,4
6 6 235.917,1
7 3 3 2.478,5
8 4 1.987,4
9 5 1.011,4
10 6 1.711,7
Berdasarkan pada Tabel 4 terlihat bahwa kelas TWI rendah (= kelas 1) dengan
order sungai 3 mempunyai total panjang segmen yang lebih besar dibandingkan
dengan order 4, yakni sepanjang 38,9 m. Hal ini juga terjadi pada kelas TWI
sedang (= kelas 2) dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dimana pada order sungai 3
mempunyai total panjang segmen lebih besar dibandingkan order 4, 5, dan 6,
berturut-turut 336.806,2 m dan 2.478,5 m. Hal ini mengindikasikan bahwa sub-
DAS sungai-sungai order 3 perlu mendapat perhatian khusus dalam pengelolaan,
karena sub-DAS sungai-sungai order 3 ini berpotensi cukup tinggi untuk dapat
menahan atau menyimpan air.
3.5 Analisis Ekologi Bentanglahan
Salah satu yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan
antara unsur lahan dan unsur kehidupan yang berada di atasnya yang saling
terkait dan ketergantungan sehingga membentuk suatu sistem kehidupan yang
mempunyai karakteristik tertentu. Kondisi lahan dalam hal ini lebih ditekankan
pada unit geomorfologi yang direpresentasikan dalam bentuklahannya,
sedangkan kehidupan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada aktivitas manusia
di atas lahan yang dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan yang dihasilkan.
Dalam konsep ekologi bentanglahan pada penelitian ini, semua bentuk aktivitas
dan parameter yang berada di suatu bentanglahan, seperti: penggunaan lahan,
kemiringan lereng, dan kelas TWI, dianalisis berlandaskan pada bentuklahan
sebagai unit analisisnya sehingga diharapkan dapat memberikan informasi
tentang karakteristik dan persebaran wilayah-wilayah yang mempunyai potensi
untuk menyimpan air.
Berdasarkan analisis ekologi bentanglahan ini DAS Cimadur yang yang
didominasi oleh bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda
120 Ika Puspita Sari, dkk.
(DV1), penggunaan lahan kebun campuran, dan kemiringan lereng 15-30%
(curam) ternyata mempunyai TWI dominan kelas sedang (= kelas 2). Hal ini
menyiratkan bahwa wilayah DAS Cimadur yang dicerminkan oleh kondisi
bentanglahan saat ini memiliki potensi aman untuk ekologi bentanglahan DAS,
meskipun kapasitas untuk menahan/menyimpan airnya berdasarkan karakteristik
bentuklahan sesungguhnya rendah dikarenakan bentanglahan tersusun oleh
bentuklahan-bentuklahan pegunungan mempunyai kemiringan lereng yang curam,
dan bermaterial vulkanik, sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk
diloloskan dan saat musim kemarau rentan terhadap kekeringan.
4. KESIMPULAN
1. Geomorfologi daerah penelitian didominasi oleh morfologi pegunungan
dengan total luas 10.046 Ha atau 47,78% berbatuan vulkanik tua (Tersier).
Dengan morfologi ini maka dinamika hidrologi atau pergerakan air
(permukaan dan bawah tanah) di daerah penelitan menjadi sangat besar
akibat besarnya nilai elevasi bentuklahan, kemiringan lereng, dan gravitasi
bumi.
2. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di
daerah penelitian dengan total luas 8.952 Ha atau 42,58% dan persebarannya
melintas di seluruh bentuklahan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa
intervensi manusia terhadap bentuklahan cukup dominan. Sehingga kegiatan
manusia di daerah penelitian yang terkait perubahan penggunaan lahan perlu
mendapat pengawasan yang baik agar tidak merusak kondisi ekologi yang
sudah ada.
3. TWI kelas sedang sangat dominan di daerah penelitian (total luas 20.987 Ha
atau 99,83%), dimana persebarannya melintas di berbagai bentuklahan dan
berbagai sub-DAS order sungai. Namun demikian wilayah sub-DAS order 3
di daerah penelitian terindikasi berpotensi menyimpan air paling besar
sehingga perlu mendapat perhatian/pengelolaan tersendiri agar fungsi sub-
DAS lebih optimal dalam menyimpan air dan untuk menjaga ekologi DAS.
4. Ekologi bentanglahan daerah penelitian didominasi oleh bentuklahan
Pegunungan denudasional vulkanik Tersier (VD1 dan VD2), penggunaan
lahan kebun campuran, kemiringan lereng 15-30% (curam), dan kelas TWI
sedang (= kelas 2). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi daerah
penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi
menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau
penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah
penelitian cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk
diloloskan namun pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk
mengalami kekeringan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 121
DAFTAR REFERENSI
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Grabs T, Seibert J, Bishop K, Laudon H. 2009. Modeling spatial patterns of saturated
areas: A comparison of the topographic wetness index and a dynamic distributed
model. Journal of Hydrology 373, 15-23.
Sosiawan H, Subagyono K. 2007. Pembagian Air Secara Proporsional untuk
Keberlanjutan Pemanfaatan Air. Jurnal Sumberdaya Lahan 1, 17-18.
Suara Pembaruan. 2006. Benarkah Indonesia krisis air tawar? tanggal terbit 27 Februari
2006). www.suara pembaruan.com. [8 Januari 2012].
Zuidam R A V. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. Netherlands: Smith Publisher Hague.
BIOGRAFI PENULIS
Ika Puspita Sari
Ika Puspita Sari, alumnus Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan (DITSL), Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, tahun 2012.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai asisten
praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis
Lanskap, Sistem Informasi Geografis dan Kartografi,
Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, serta Pengantar
Ilmu Tanah.
Bambang H. Trisasongko
Bambang H. Trisasongko merupakan staf pengajar di
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB,
sejak tahun 2009. Bidang minat yang ditekuni adalah
aplikasi penginderaan jauh aktif untuk pertanian dan
lingkungan.
122 Ika Puspita Sari, dkk.
Boedi Tjahjono
Boedi Tjahjono menjadi staf pengajar (1989) di Bagian
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian-IPB.
Menekuni bidang geomorfologi, kebencanaan alam, dan
aplikasi penginderaan jauh untuk geomorfologi.
Komarsa Gandasasmita
Komarsa Gandasasmita merupakan staf pengajar di Bagian
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan-IPB, sejak tahun 1976.
Bidang minat yang ditekuni penginderaan jauh dan GIS
serta permodelan sumberdaya alam.
123
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi
Penangkapan Ikan di Indonesia
(Studi Kasus Kabupaten Indramayu)
Dinarika Jatisworo, Ari Murdimanto
124 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi Penangkapan Ikan
di Indonesia (Studi Kasus Kabupaten Indramayu)
Dinarika Jatisworo, Ari Murdimanto
Balai Penelitian dan Observasi Laut
Jl. Baru Perancak, Perancak, Negara, Bali
Email: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Luas perairan negara Indonesia sebesar 5,8 juta km2, namun PDB dari sektor
perikanan sekitar 3,2%. Untuk meningkatkan produksi yang efektif dan efisien,
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui BPOL menerbitkan PPDPI, yang
disusun berdasarkan data penginderaan jauh berupa citra suhu permukaan laut,
konsentrasi klorofil-a, dan tinggi muka air laut. PPDPI yang dihasilkan
didistribusikan melalui website, surat elektronik, faksimili, dan layanan pesan
singkat. Nelayan Kabupaten Indramayu yang telah menggunakan PPDPI
memperoleh omzet tidak kurang dari 200 juta rupiah sehingga bisa menambah
satu unit kapal. Untuk meningkatkan akurasi PPDPI, BPOL meminta kepada
pelabuhan perikanan dan pengguna untuk mengirim data respon balik tangkapan
ikan berdasarkan koordinat lintang-bujur.
Kata kunci: PPDPI, penginderaan jauh, suhu permukaan laut, konsentrasi
klorofil-a
Abstract
Indonesia ocean area is 5,8 million km2, while GDP is about 3,2% from fisheries
sector. To increase effectiveness and efficiency, Ministry of Fisheries and Marine
Affairs, through BPOL, produce PPDPI, which is based on remote sensing data
such as sea surface temperature, chlorophyll-a concentration, and sea surface
height. PPDPI distributed via website, email, fax, and short-message-service.
Fisherman in Regency of Indramayu using PPDPI get a turnover no-less-than
200 million rupiahs, so that he can add one unit of ship. To increase PPDPI
accuracy, BPOL ask fish-ports and users to send fish catchment feedback data
based on latitude-longitude coordinate.
Keywords: PPDPI, remote sensing, sea surfae temperature, chlorophyll-a
concentration
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 125
1. LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara bahari memiliki luas wilayah perairan sekitar 3,1 juta
km2 atau sekitar 70% dari seluruh wilayah Nusantara. Dengan diundangkannya
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) maka luas perairan tersebut menjadi 5,8 juta km2
dibandingkan dengan luas seluruh daratan yang hanya 1,8 juta km2. Kepulauan
Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau dengan total panjang garis pantai
sekitar 81.000 km. Pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumber daya kelautan
tidak saja akan mempengaruhi perekonomian bangsa Indonesia di masa
mendatang, akan tetapi juga mampu meningkatkan kebutuhan akan bahan
makanan dan bahan baku, posisi dan pengaruhnya terhadap negara sekitar,
ketahanan nasional, dan kualitas lingkungan hidup negara secara
keseluruhan. Untuk banyak negara, kekayaan dan keanekaragaman hayati laut
Indonesia dianggap sebagai sumber bahan baku makanan yang sangat penting
seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang dan rumput laut
(http://www.dishidros.go.id/hidrografi/174-side-scan-sonar-teknologi-
penginderaan-bawah-laut.html, akses 26 Juli 2012).
Dari karakteristik wilayah perairan Indonesia seperti disebut di atas, Indonesia
memiliki tantangan yang perlu mendapat perhatian serius, di antaranya adalah (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.18/MEN/2011):
a. Dengan luas laut 5,8 juta km2, PDB perikanan baru sekitar 3,2%;
b. Potensi sumberdaya perikanan tangkap 6,4 juta ton/tahun, tetapi nelayan
masih miskin;
c. Produksi perikanan tangkap di laut sekitar 4,7 juta ton/tahun dari jumlah
yang diperbolehkan maksimum 5,2 juta ton/tahun, sehingga tersisa 0,5 juta
ton/tahun; dan
d. Jumlah nelayan (laut dan perairan umum) sebesar 2.755.794 orang, tetapi
lebih dari 50%-nya (1.466.666 nelayan) berstatus sambilan utama dan
sambilan tambahan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui UPT Balai Riset dan Observasi
Kelautan (pada 2012 nomenklaturnya menjadi Balai Penelitian dan Observasi
Laut) melakukan pengumpulan data oseanografi dari data satelit maupun data
yang dapat mendukung kegiatan para nelayan dan masyarakat pesisir dalam
memanfaatkan hasil perikanan (Jatisworo, 2010). Hal ini juga tercantum dalam
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 34 tahun 2011 mengenai
organisasi dan tata kerja Balai Penelitian dan Observasi Laut, dimana salah satu
fungsinya adalah “pelaksanaan penelitian dan observasi sumber daya laut di
bidang fisika dan kimia kelautan, daerah potensial penangkapan ikan,
perubahan iklim, serta pengkajian teknologi kelautan”
(http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi, akses 26 Juli 2012).
Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) merupakan salah satu produk
nyata Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) untuk masyarakat nelayan di
Indonesia. PPDPI telah dibuat dan didistribusikan sejak tahun 2000, saat itu
126 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
masih dilakukan langsung oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Dari awal
diproduksi hingga saat ini, PPDPI terus mengalami perkembangan dan perbaikan.
Pembuatan PPDPI didasarkan pada informasi sebaran konsentrasi klorofil-a,
suhu permukaan laut, dan anomali tinggi permukaan air laut dari citra satelit.
Saat ini ada 3 jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL, yaitu PPDPI Nasional, Laut
Sawu, dan Pelabuhan Perikanan (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi,
akses 26 Juli 2012).
Dihasilkannya Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan bertujuan untuk
memudahkan nelayan dalam navigasi menuju lokasi yang diperkirakan memiliki
potensi ikan, sehingga paradigma nelayan yang awalnya “mencari ikan” berganti
menjadi “menangkap ikan”. Hal ini akan berkaitan dengan manfaat yang
diharapkan dari dihasilkannya PPDPI, yakni membantu meningkatkan hasil
tangkapan para nelayan dan membuat kegiatan penangkapan menjadi lebih
efektif dan efisien. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan saat ini dapat
diakses melalui beberapa media, yakni website BPOL, surat elektronik, faksimili,
dan pesan singkat melalui telepon seluler.
Di Asia-Pasifik, tidak hanya Indonesia yang memanfaatkan teknologi
penginderaan jauh untuk penangkapan ikan dan mengembangkannya. India
melalui INCOIS (Indian National Centre for Ocean Information Services) telah
menyediakan Potential Fishing Zone (PFZ) Advisories untuk dimanfaatkan oleh
komunitas nelayan di India dengan memanfaatkan data suhu permukaan laut dan
sebaran klorofil-a (http://www.incois.gov.in/Incois/marine_fisheries_main.jsp,
akses pada 3 Oktober 2012).
Di Cina, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk penangkapan ikan telah
dimulai sejak tahun 1983 dengan dikirimkannya data suhu permukaan laut ke
perusahaan perikanan (Shinxing, 1992). Bahkan, pada 2002, Cina telah
meluncurkan satelit HY-1A yang dapat diaplikasikan untuk informasi perikanan
(Yan, 2004). Bagi nelayan komersial, khususnya penangkapan tuna, informasi
suhu permukaan laut dianggap sangat berharga. Di Jepang, data suhu permukaan
laut tidak hanya diakuisisi oleh kapal untuk riset, namun juga oleh kapal
penangkap ikan dan didistribusikan melalui radio faksimili (Yamanaka, 1982).
Selain itu, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk perikanan mulai mengarah
ke penangkapan yang berkelanjutan (Saitoh et al, 2011).
Selain Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang dihasilkan Balai Penelitian
dan Observasi Laut yang berada dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan,
di Indonesia ada dua produk yang serupa, yakni SIKBES-FG (Sistem Informasi
Knowledge-based Expert System Fishing Ground) yang dihasilkan oleh Pusat
Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam yang berada dibawah Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan ZPPI (Zona Potensi
Penangkapan Ikan) yang dihasilkan oleh Balai Penginderaan Jauh Pare-pare yang
berada dibawah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
(Wikantika dan Fajri, 2012).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 127
2. TUJUAN DAN MANFAAT
2.1 Tujuan
Tersedianya Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan untuk wilayah perairan
nasional, pelabuhan, dan pesisir yang dapat diakses dengan mudah dan
dimanfaatkan oleh nelayan untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan yang
lebih efektif dan efisien.
2.2 Manfaat
Membantu meningkatkan hasil tangkapan para nelayan dan membuat kegiatan
penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien.
3. METODE
3.1 Metode Penentuan Daerah Potensi Ikan
Daerah prakiraan potensi ikan ditentukan berdasarkan parameter suhu permukaan
laut, klorofil-a, dan tinggi muka airlaut. Lebih jelas mengenai parameter yang
digunakan, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter yang Digunakan
Parameter Data Sumber
Suhu permukaan laut Citra Aqua MODIS Level 2 dan 3 Oceancolor
Konsentrasi klorofil-a Citra Aqua MODIS Level 2 dan 3 Oceancolor
Tinggi muka airlaut Jason/TOPEX CCAR
Sumber: Jatisworo, 2010
3.1.1. Suhu Permukaan Laut
Kondisi suhu air laut akan mempengaruhi metabolisme dan perilaku ikan.
Suhu yang terlalu ekstrim baik dingin maupun panas akan membuat ikan
bergerak secara dinamis di tempat-tempat yang cocok dengan kondisi
tubuhnya. Suhu air laut juga sangat berpengaruh pada siklus rantai
makanan yang terdapat di laut.
3.1.2. Konsentrasi Klorofil-a
Konsentrasi klorofil-a di perairan laut dapat menjadi indikator bagi
keberadaan ikan-ikan pelagis. Hal ini terkait dengan siklus rantai
makanan dimana klorofil-a dianggap sebagai produsen. Kandungan
klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada
suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk
produktivitas perairan.
3.1.3. Tinggi Muka Air Laut
Data tinggi muka air laut digabungkan dengan data suhu permukaan laut
dan konsentrasi klorofil-a untuk mendapatkan daerah front, di mana pada
daerah front merupakan daerah lautan dengan pertemuan massa air yang
berbeda dan dapat menjadi perangkap ikan karena daerah ini memiliki
pergerakan air yang sangat cepat dan ombak yang besar.
128 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Selain ketiga data utama di atas, dalam PPDPI juga memuat informasi arah dan
kecepatan angin di permukaan laut serta tinggi gelombang laut. Informasi ini
berfungsi sebagai panduan keselamatan bagi para nelayan.
Gambar 1. Proses Pengolahan PPDPI (Jatisworo, 2010)
Upwelling diidentifikasi melalui interpretasi data suhu permukaan laut dengan
asumsi upwelling ditandai dengan adanya daerah perairan dengan suhu rendah
yang dikelilingi suhu lebih tinggi di sekitarnya (Robinson, 2010). Daerah front
diperoleh melalui interpretasi data tinggi muka air laut dengan asumsi daerah
front berasosiasi dengan arus yang kuat dan perbedaan tinggi muka laut
(Jatisworo, 2010). Kedua parameter tersebut kemudian di-overlay dengan data
konsentrasi klorofil-a, dengan asumsi tingkat konsentrasi klorofil-a yang
mendukung adanya ikan adalah 0,2 – 1 mg/m3. Jika di suatu daerah terbentuk
upwelling dan front tanpa ada konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut
diperkirakan bukan daerah potensi ikan. Jika di suatu daerah terbentuk upwelling
atau front dengan adanya konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut
diperkirakan daerah potensi ikan. Jika di suatu daerah terbentuk upwelling dan
front serta ada konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut diperkirakan daerah
tangkapan ikan. Lebih rinci mengenai metode penentuan daerah tangkapan ikan,
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode Penentuan Daerah Tangkapan Ikan
Perkiraan Upwelling Front Konsentrasi Klorofil-a
(0,2 – 1 mg/m3)
Daerah Tangkapan Ikan v v v
Daerah Potensi Ikan v x v
Daerah Potensi Ikan x v v
Bukan Daerah Potensi Ikan v v x
Bukan Daerah Potensi Ikan v x x
Bukan Daerah Potensi Ikan x v x
Bukan Daerah Potensi Ikan x x x
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 129
Data gelombang dan angin dari BMKG digunakan untuk menampilkan informasi
arah dan kecepatan angin serta tinggi gelombang laut yang dimaksudkan sebagai
panduan keselamatan bagi nelayan. Data respon balik dikirimkan setiap bulannya
dari pihak pelabuhan yang menerima PPDPI digunakan untuk lebih
meningkatkan akurasi penentuan daerah tangkapan ikan.
3.2 Metode Distribusi PPDPI
Ketiga jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL dapat diakses melalui website di
http://www.bpol.litbang.kkp.go.id. Selain itu, media surat elektronik dan
pengiriman faksimili juga digunakan untuk pendistribusian PPDPI. Saat ini,
bekerjasama dengan Pusdatin, BPOL sedang mengembangkan distribusi PPDPI
melalui media layanan pesan singkat, sehingga mudah diakses kapan saja oleh
para nelayan.
4. HASIL DAN DISKUSI
Balai Penelitian dan Observasi Laut menghasilkan Peta Prakiraan Daerah
Penangkapan Ikan yang meliput seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ada 3 jenis peta yang dihasilkan, yakni PPDPI Nasional, Laut Sawu,
dan Pelabuhan Perikanan (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi, akses 26
Juli 2012).
Periode penerbitan PPDPI Nasional adalah tiga kali dalam seminggu, yakni
setiap Senin, Rabu, dan Jum’at. PPDPI Nasional meliput wilayah-wilayah yang
pembagiannya berdasarkan pulau-pulau besar di Indonesia, yakni Sumatera;
Sulawesi; Maluku dan Papua; Kalimantan; dan Jawa, Bali, Nusa Tenggara.
.
130 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 131
Gambar 2. Liputan Wilayah PDPPI Nasional
(http://www.bpol.litbang.kkp.go.id, akses 2 Juni 2012)
Untuk jenis PPDPI Pelabuhan Perikanan, wilayah yang diliput adalah PPN
Kejawanan, PPN Pemangkat, PPN Pengambengan dan PPP Muncar, PPN
Ternate dan Bitung, PPS Belawan, PPS Cilacap, PPN Ambon, PPN Pelabuhan
Ratu, PPN Sungai Liat, PPP Tamperan (Pacitan), serta wilayah perairan Bali
Utara dan Bali Timur. Sedangkan dalam rangka mendukung kegiatan
IPTEKMAS pada Juni 2009, BPOL mulai menerbitkan PPDPI untuk wilayah
perairan Laut Sawu. PPDPI Pelabuhan Perikanan dan Laut Sawu diterbitkan
setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu.
Semua jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL dapat diakses melalui website
http://www.bpol.litbang.kkp.go.id. Pengiriman melalui faksimili dan surat
elektronik dapat dilakukan jika ada permintaan khusus, baik dari instansi maupun
perusahaan penangkapan ikan dan nelayan, kepada BPOL. Akses informasi
melalui layanan pesan singkat sedang dalam tahap pengembangan oleh BPOL
dan Pusdatin, namun untuk saat ini dapat digunakan dengan cara ketik IKAN dan
kirim ke nomor 0878 8632 0200. Informasi yang diterima melalui layanan pesan
singkat adalah informasi daerah potensi ikan dari PPDPI Nasional.
Manfaat langsung PPDPI telah dapat dirasakan oleh nelayan yang menggunakan.
Cerita sukses mengenai pemanfaatan PPDPI dapat dilihat pada pemaparan yang
diakses dari website BPOL berikut ini:
Cerita sukses pemanfaatan Peta Potensi Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI)
kembali terdengar santer dari Kabupaten Indramayu. Sebelumnya pemanfaatan
PPDPI mengantarkan Bapak Haji Cartisa menjadi pengusaha penangkapan ikan
yang sangat mapan dengan armada kapal berjumlah lebih dari 30 unit dengan
kapasitas masing-masing kapal lebih dari 30 GT. Kini PPDPI kembali
mengulang suksesnya mengantarkan seorang nelayan menjadi pengusaha yang
berkembang pesat. Adalah bapak Rusmadi, seorang nelayan yang pada dua tahun
132 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
belakangan mengalami perkembangan sangat pesat. Berawal dari ketertarikannya
terhadap kesuksesan Haji Cartisa, Rusmadi yang saat itu hanya memiliki kapal
kecil dengan kapasitas dibawah 30 GT berusaha mencari tahu rahasia dibalik
usaha Haji Cartisa. Hal inilah yang mengantarkan Rusmadi untuk mengikuti
langkah dan teknik penangkapan ikan memanfaatkan PPDPI yang diproduksi dan
dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Observasi Laut.
Rusmadi sangat meyakini akurasi PPDPI yang dikirimkan oleh BPOL dua kali
seminggu melalui internet, dan kemudian didistribusikan oleh Dinas Kelautan
dan Perikanan Indramayu melalui SMS Center. Dengan masa hari layar kapal ±
45 hari dalam sekali trip, maka informasi PPDPI menjadi sangat berharga bagi
para punggawa kapal yang sedang di tengah laut. Dengan panduan lokasi daerah
potensial penangkapan ikan tersebut, maka biaya operasional kapal dan waktu
tempuh menuju lokasi penangkapan menjadi sangat efektif dan efisien. Kondisi
inilah yang oleh Rusmadi diyakini menjadi musim panen ikan sepanjang tahun
tanpa ada musim paceklik. Dengan omzet perolehan ikan yang tidak kurang dari
200 juta rupiah setiap mendarat, maka usaha penangkapan ikan Rusmadi
meningkat pesat, sehingga saat ini sudah bisa menambah 1 unit kapal tangkap.
Bisa dibayangkan berapa penghasilan bersih Rusmadi jika biaya operasional
sekali layar adalah 45 juta.
Rusmadi menuturkan bahwa dengan kondisi usahanya yang demikian
menjanjikan, maka dirinya berani berharap banyak untuk bisa memberikan
pendidikan yang lebih baik kepada anaknya sampai memperoleh jenjang
pendidikan yang tinggi. Rusmadi juga sudah merencanakan untuk menunaikan
ibadah Haji sebagai kewajiban dan ungkapan rasa sukur atas rejeki yang
diterimanya.
Sebagai informasi, operasional PPDPI di Kabupaten Indramayu sudah berjalan
dengan cukup sistematis. Distribusi PPDPI dilakukan dengan berbagai cara yang
memudahkan nelayan untuk mendapatkan lokasi potensial penangkapan ikan
dengan tepat waktu. Setiap harinya seorang operator akan mengunduh informasi
PPDPI dari website BPOL di http://www.bpol.litbang.kkp.go.id kemudian
memasukan tabel lokasi potensial tersebut ke SMS center. Informasi selanjutnya
akan disebarkan melalui SMS secara otomatis kepada pengguna yang telah
terdaftar. Sebagai pendukung, informasi juga ditampilkan sebagai running text
melalui papan pengumuman yang dipasang di tempat tempat strategis baik
di halaman kantor dinas maupun di pelabuhan-pelabuhan perikanan.
Secara swadaya kelompok nelayan rutin mengadakan pertemuan untuk
membahas dan mengkomunikasikan pemanfaatan PPDPI kepada kelompoknya
maupun kepada kelompok lain. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Indramayu pun turut mendukung dengan mengadakan talkshow di sebuah stasiun
radio untuk mengabarkan kesuksesan penggunaan PPDPI tersebut.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 133
Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Indramayu menyampaikan agar
program PPDPI ini bisa terus berjalan dan berkembang sehingga memberikan
manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat. Disampaikan juga agar
Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa memberikan dukungan yang lebih
banyak terhadap operasionalnya.
Gambar 3. Running-text Informasi Daerah Penangkapan Ikan di Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Indramayu (foto oleh Denny Wijaya Kusuma)
Cerita sukses ini telah sampai ke Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip
Sutardjo. Pada 25 Februari 2012 di Pelabuhan Pendaratan Ikan Eretan Wetan,
Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, beliau meresmikan SMS
Centre Informasi Daerah Penangkapan Ikan (IDPI). Informasi pada IDPI adalah
informasi PPDPI yang dikembangkan dan didistribusikan oleh BPOL serta
diinformasikan sebanyak tiga kali dalam seminggu.
Berikut alur distribusi PPDPI di Indramayu (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id,
akses 26 Juli 2012, dengan perubahan) :
- Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu mengunduh PPDPI
melalui website BPOL;
- Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu memiliki Laboratorium
IDPI (Informasi Daerah Penangkapan Ikan), dengan operator khusus yang
akan mendistribusikan Informasi PPDPI tersebut kepada nelayan;
- Operator IDPI bertugas menkonversi posisi lintang dan bujur lokasi potensi
ikan dari PPDPI;
- Lokasi potensi ikan tersebut kemudian dikirimkan operator melalui SMS
Center dan running-text IDPI.
134 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
Sebagai validasi hasil prakiraan daerah potensi ikan, BPOL meminta kepada
beberapa pelabuhan perikanan untuk mengirimkan data respon balik. Data yang
diminta adalah data hasil tangkapan nelayan berbasis koordinat lintang dan bujur.
Diharapkan dengan adanya data respon balik, BPOL dapat meningkatkan validasi
PPDPI di masa mendatang.
Gambar 4. Contoh Tabel Respon Balik Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (Tim
Penyusun, 2010)
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pemaparan pada sub-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan dan saran
sebagai berikut:
5.1. Kesimpulan
a. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) dihasilkan oleh Balai
Penelitian dan Observasi Laut (BPOL);
b. PPDPI meliput seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. PPDPI dapat diakses setiap hari melalui website
http://www.bpol.litbang.kkp.go.id;
d. PPDPI dapat diperoleh melalui surat elektronik dan faksimili jika ada
permintaan khusus dari pengguna kepada BPOL;
e. Akses informasi PPDPI melalui layanan pesan singkat masih dalam
tahap pengembangan oleh BPOL dan Pusdatin, namun saat ini sudah
dapat diakses melalui nomor (sementara) 0815 8966 008;
f. Nelayan sangat antusias untuk memanfaatkan PPDPI karena sudah
mengetahui manfaatnya bagi efektifitas dan efisiensi penangkapan ikan;
g. Nelayan di Kabupaten Indramayu yang memanfaatkan PPDPI meningkat
pendapatannya dalam sekali melaut.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 135
5.2. Saran
a. PPDPI membutuhkan respon balik dari para pengguna untuk
meningkatkan akurasi prakiraan daerah potensi ikan yang dihasilkan;
b. Integrasi lembaga pemerintah penghasil peta prakiraan daerah potensi
ikan diperlukan dalam pengembangan PPDPI, baik dari segi akurasi dan
sistem yang digunakan.
DAFTAR REFERENSI
Balai Penelitian dan Observasi Laut. Akses pada 26 Juli 2012 dari
http://www.bpol.litbang.kkp.go.id.
Dishidros. 2011. SIDE SCAN SONAR Teknologi Penginderaan Bawah Laut. Akses pada
26 Juli 2012 dari http://www.dishidros.go.id/hidrografi/174-side-scan-sonar-
teknologi-penginderaan-bawah-laut.html.
Indian National Centre for Ocean Information Services. Akses pada 3 Oktober 2012
http://www.incois.gov.in/Incois/marine_fisheries_main.jsp
Jatisworo, Dinarika et al. 2010. Laporan Kegiatan Operasional: Operasionalisasi
Stasiun Bumi Penerima Dara Satelit Oseanografi. Jembrana: Balai Riset dan
Observasi Kelautan.
Jatisworo, Dinarika. 2010. The Album Map of Potential Fsihing Ground Prediction –
Bilingual Edition. Jembrana: Balai Riset dan Observasi Kelautan.
MODIS Web. Akses pada 2 Oktober 2012 dari http://www.modis.gsfc.nasa.gov.
Realino, et al. 2007. Pola Kesuburan Perairan Indonesia. Jembrana: Balai Riset dan
Observasi Kelautan.
Robinson, Ian S. 2010. Discovering the Ocean from Space: The unique applications of
satellite oceanography. Chichester: Springer.
Saitoh, Sei-Ichi et al. 2011. Some Operational Uses of Satellite Remote Sensing and
Marine GIS for Sustainable Fisheries and Aquaculture. Japan.
Shixing, Han. 1992. Remote Sensing in China Fisheries. China.
Wikantika K. dan Fajri L., editor. 2012. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia –
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan
Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing, dan GIS Model. Bandung:
Pusat Penginderaan Jauh ITB.
Yamanaka, Ichiro. 1982. Application of Satellite Remote Sensing to Fishery Studies in
Japan. Japan.
Yan, Jihui. 2004. China’s HY-1A Ocean Satellite and Its Application. China.
136 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto
BIOGRAFI PENULIS
Dinarika Jatisworo
Lahir pada 16 Mei 1985 di Solo, putri dari pasangan Edhi
Sumaryoto dan Lina Chabibi ini besar di Yogyakarta.
Menamatkan SD, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada
2003 diterima di Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh,
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Lulus dengan
predikat cumlaude pada tahun 2008, dengan skripsi
mengenai transportasi daerah perkotaan Yogyakarta. Pada
2009 mulai bekerja di Balai Penelitian dan Observasi Laut.
Pada 2010 mulai menjabat sebagai Koordinator
Operasional Stasiun Bumi dan PPDPI.
Ari Murdimanto
Lahir di Jakarta pada 23 Februari 1986. Menamatkan SD,
SMP, dan SMA di Tangerang. Pada 2003 diterima di
Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada. Lulus pada 2008
dengan skripsi mengenai tingkat kemacetan rute Trans
Jogja. Pada 2009 sampai 2010 bekerja di konsultan
lingkungan Sekala sebagai RS/GIS officer dan terlibat
dalam pemetaan partisipatif di Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat. Sejak 2011 mulai bekerja di Balai
Penelitian dan Observasi Laut sebagai operator stasiun
bumi dan PPDPI.
137
Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir
Lahar di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa
Tengah
Rosalina Kumalawati, Seftiawan S. Rijal, Rijanta, Junun Sartohadi,
Rimawan Pradiptyo
138 Rosalina Kumalawati, dkk.
Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di
Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah
Rosalina Kumalawati
1, Seftiawan S. Rijal
2, Rijanta
3, Junun Sartohadi
4, Rimawan
Pradiptyo5
1Kandidat Doktor Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2Mahasiswa Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
3Promotor, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
4Co-Promotor, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
5Co-Promotor, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Abstrak
Kecamatan Salam merupakan kecamatan yang paling parah terkena banjir lahar
pasca erupsi Gunungapi Merapi 2010. Sebanyak empat desa terkena banjir lahar
di Kecamatan ini yaitu Sirahan (45,76%), Jumoyo (32,77%), Seloboro (13,56%)
dan Gulon (7,91%).
Di antara kerusakan yang diakibatkan oleh banjir lahar adalah kerusakan
permukiman. Integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat
digunakan untuk melakukan pemetaan kerusakan permukiman dan menentukan
tingkat risiko permukiman akibat banjir lahar yang terjadi. Hasil penelitian
menunjukkan sebanyak 275 rumah rusak akibat banjir lahar di Jumoyo, 226
rumah di Gulon, 69 rumah di Seloboro dan 861 rumah di Sirahan.
Kata Kunci : Risiko, Erupsi, Banjir Lahar, Permukiman
Abstract
Salam Sub-District is the most destructed sub-district due to lahar flood from the
Merapi Volcano eruption. There are four villages on this sub-district flooded by
lahar flood, i.e. Sirahan (45,76 %), Jumoyo (32,77 %), Seloboro (13,56 %) and
Gulon (7,91 %).
Among the damage due to lahar flood is settlement damage. The integration of
remote sensing and geographic information system can be used for settlement
damage mapping and decide the risk level of settlement damage due to lahar
flood. This research result showing there are 275 houses was destructed due to
lahar flood in Jumoyo, 226 houses in Gulon, 69 houses in Seloboro and 861
houses in Sirahan.
Keywords : Risk, Eruption, Lahar Flood, Settlement
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 139
1. PENDAHULUAN
Gunungapi Merapi mengalami erupsi pada tahun 2010 dengan VEI 4 atau setara
dengan erupsi yang pernah terjadi pada tahun 1822. Jumlah material piroklastik
yang dihasilkan pun mencapai angka 150 Juta m3, atau 30 kali lipat dari jumlah
material piroklastik yang dikeluarkan Gunungapi Merapi pada tahun 2006.
Di antara bahaya gunungapi yang terus mengancam pasca erupsi adalah bahaya
sekunder yaitu lahar. Pada akhir tahun 2011, banjir lahar yang mengalir melalui
Kali Putih meluap hingga merusak permukiman. Kerusakan permukiman yang
paling parah terjadi di Kecamatan Salam, terutama Desa Sirahan. Tabel 1
menyajikan tingkat kerusakan permukiman yang diakibatkan oleh banjir lahar
yang berasal dari Kali Putih.
Banjir lahar bukan saja terjadi hanya pada saat Gunungapi Merapi mengalami
erupsi, walaupun Jitousono et al (1995) dan Shimokawa et al (1995) dalam
Lavigne (2000) telah memprediksikan bahwa banjir lahar sangat mungkin
berulang dalam kurun waktu per 4 tahun pada skala erupsi kecil dan menengah,
akan tetapi Volcanological Survey of Indonesia (1995) dalam Lavigne (1999)
menyatakan bahwa banjir lahar dapat terjadi hanya karena curah hujan sebesar 40
mm dalam kurun waktu 2 jam. Dengan demikian, diperlukanlah sebuah kegiatan
pemetaan pada daerah bahaya banjir lahar guna mengurangi risiko yang
ditimbulkan pada element at risk. Penelitian ini melakukan pemetaan risiko
bangunan permukiman sebagai element at risk dengan memperhatikan kondisi
topografi, cross section, dan tracking area banjir lahar. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui luas luapan banjir lahar di masing –
masing desa dan untuk mengetahui tingkat risiko permukiman yang terkena
banjir lahar.
Tabel 1. Tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar yang melalui Kali Putih
Sumber : BNPB (2011)
Kecamatan Desa
Rumah
Roboh /
Hanyut
Rusak
Berat
Rusak
Sedang
Rusak
Ringan
Salam
Gulon - 4 - -
Sucen - 4 - -
Jumoyo 54 36 5 -
Seloboro - 2 7 2
Sirahan 11 58 - -
Ngluwar Blongkeng - 6 - -
Mungkid Ngrajek 5 2 50 -
Muntilan
Adikarto 13 12 - -
Tamanagung 2 11 - -
Gondosuli 2 - - -
Jumlah 87 135 62 2
140 Rosalina Kumalawati, dkk.
2. METODE
2.1 Interpretasi citra
Penelitian ini menggunakan citra IKONOS multispektral yang memiliki resolusi
spasial 4 meter. Citra IKONOS ini direkam pada tahun 2010 sebelum erupsi
terjadi, sehingga citra ini tidak digunakan untuk melakukan interpretasi bangunan
permukiman yang terkena banjir lahar melainkan citra ini digunakan untuk
interpretasi bangunan permukiman yang masih utuh sebelum terkena banjir lahar.
Bangunan permukiman memiliki kunci interpretasi antara lain : bentuk, bayangan,
ukuran, pola dan situs. Interpretasi dilakukan on screen seperti yang terdapat
pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Interpretasi citra
2.2 Survey lapangan
Survey lapangan yang dilakukan meliputi cross section dan tracking area luapan
banjir lahar. Pada perhitungan cross section, maka dapat diketahui bahwa luas
penampang sungai akan mempengaruhi volume maksimum yang dapat
ditampung oleh sungai tersebut, dimana hal ini akan berpengaruh pada kondisi
banjir lahar yang dapat meluap atau tidak. Semakin besar luas penampang sungai
maka semakin kecil potensi luapan lahar dan sebaliknya, semakin kecil luas
penampamg maka semakin besar potensi luapan lahar. Ilustrasi cross section
terdapat pada gambar 2.
Gambar 2. Cross Section
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 141
Tracking area luapan banjir lahar dilakukan dengan menggunakan GPS.
Tracking dilakukan mulai dari Desa Jumoyo, di mana banjir lahar Kali Putih
mulai meluap pada desa tersebut, hingga berhenti di Kali Blongkeng. Setelah itu,
hasil tracking diubah ke dalam struktur data poligon agar dapat di-overlay
sehingga luas luapan banjir lahar dan jumlah permukiman yang rusak dapat
diketahui.
2.3 Sistem Informasi Geografis
Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan
overlay dan layout peta. Overlay yang dilakukan antara lain terhadap hasil
tracking area luapan banjir lahar dan hasil interpretasi bangunan permukiman.
Teknik ini dapat memudahkan kita untuk mengetahui bangunan mana saja yang
terkena banjir lahar. Gambar 3. menampilkan teknik overlay hasil tracking dan
hasil interpretasi bangunan.
Gambar 3. Overlay
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tracking area yang dilakukan, banjir lahar yang meluap di
Kecamatan Salam mencapai 1,7 Km2. Desa yang paling parah terdampak banjir
lahar adalah Desa Sirahan yakni mencapai 0,81 Km2 sedangkan desa yang paling
sedikit terkena banjir lahar adalah Desa Gulon yakni 0,14 Km2. Desa Sirahan
terkena banjir lahar paling parah disebabkan Kali Putih yang dilalui banjir lahar
mengalir di tengah desa tersebut. Selain itu, penampang sungai yang berada pada
desa ini sempit dan tinggi tebing pun rendah, kondisi topografi yang demikian
sangat mendukung untuk terjadinya luapan banjir lahar. Tabel 2 menunjukkan
luas area desa yang terkena banjir lahar dan gambar 4 memperlihatkan peta banjir
lahar.
142 Rosalina Kumalawati, dkk.
Ga
mb
ar 4
. Peta
lua
pa
n b
an
jir lah
ar
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 143
Tabel 2. Luas area yang terkena banjir lahar
No Kecamatan Desa Luas Area
(Km2)
Persentase
(%)
1
Salam
Gulon 0.14 7,91
2 Jumoyo 0.58 32,77
3 Seloboro 0.24 13,56
4 Sirahan 0.81 45,76
Jumlah 1.77 100
Desa Sirahan sebagai desa yang paling parah terkena luapan banjir lahar, juga
menjadi desa dengan tingkat bahaya permukiman paling tinggi (sebanyak 861
rumah) dan tingkat tidak berbahaya paling rendah (sebanyak 80 rumah). Hal ini
menandakan sebagian besar Desa Sirahan sudah terkena bahaya dari banjir lahar.
Desa Gulon adalah desa dengan tingkat terdampak banjir lahar paling rendah,
demikian pula dengan kondisi bahaya permukiman akibat banjir lahar, Desa
Gulon adalah desa dengan tingkat permukiman tidak berbahaya paling tinggi
yakni sebanyak 3022 rumah. Hal ini diakibatkan oleh letak Kali Putih yang
berada di perbatasan Desa Gulon dengan Desa Jumoyo dan Desa Seloboro, tidak
seperti desa lainnya, dimana Kali Putih berada di tengah desa tersebut. Tabel 3
menampilkan tingkat bahaya permukiman akibat banjir lahar dan gambar 5
menampilkan peta bahaya permukiman akibat banjir lahar.
Tabel 3. Tingkat bahaya permukiman
No Kecamatan Desa Tingkat bahaya permukiman
Tinggi Sedang Rendah Tidak Berbahaya
1
Salam
Gulon 226 112 173 3022
2 Jumoyo 275 411 748 1822
3 Sirahan 861 391 14 80
4 Seloboro 69 307 120 287
Jumlah 1431 1221 1055 5211
144 Rosalina Kumalawati, dkk.
Gambar 5. Peta bahaya permukiman akibat banjir lahar
Banjir lahar mengalir menuju kondisi topografi yang lebih rendah. Hal ini
menjadi salah satu parameter yang diperhatikan dalam pembuatan peta
kerentanan. Selain itu, jarak rumah terhadap sungai juga menjadi salah satu
masukan dalam pembuatan peta tersebut. Risiko diasumsikan sebagai bahaya
dikali kerentanan. Penelitian ini melakukan pembuatan peta bahaya dan peta
kerentanan terlebih dahulu untuk kemudian dapat menentukan peta risiko
permukiman terhadap banjir lahar. Tabel di bawah ini menampilkan kondisi
rumah yang rawan banjir lahar dan berisiko terhadap banjir lahar.
Tabel 4. Tingkat kerentanan permukiman
No. Kecamatan Desa Tingkat Kerentanan Permukiman
Tinggi Sedang Rendah
1
Salam
Gulon 269 2545 719
2 Jumoyo 402 1284 1570
3 Sirahan 926 414 6
4 Seloboro 194 543 46
Total 1791 4786 2341
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 145
Gambar 6. Peta kerentanan permukiman akibat banjir lahar
Tabel 5. Tingkat risiko permukiman
No. Kecamatan Desa Tingkat Risiko Permukiman
Tinggi Sedang Rendah Tidak Berisiko
1
Salam
Gulon 269 69 173 3022
2 Jumoyo 433 253 748 1822
3 Sirahan 926 326 14 80
4 Seloboro 194 182 120 287
Total 1822 830 1055 5211
146 Rosalina Kumalawati, dkk.
Gambar 7. Peta risiko permukiman akibat banjir lahar
4. KESIMPULAN
1. Desa Sirahan adalah desa yang dikenai banjir lahar terparah sekaligus
memiliki permukiman dengan tingkat risiko paling tinggi sebesar 926
rumah.
2. Pemetaan risiko permukiman akibat banjir lahar dapat dilakukan dengan
membuat peta bahaya dan kerentanan dengan parameter kondisi
topografi, jarak rumah terhadap sungai dan luas luapan banjir lahar.
DAFTAR REFERENSI
BNPB. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar.
http://geospasial.bnpb.go.id/. Diakses pada 17/01/2011.
Lavigne, F., J.C. Thouret, B. Voight, H. Suwa, and A. Sumaryono. 2000. Lahars at
Merapi Volcano, Central Java : an Overview. Journal of Volcanology and
Geothermal Research Vol. 100 : 423 – 456.
Lavigne, Franck. 1999. Lahar Hazard Micro-Zonation and Risk Assessment in
Yogyakarta City. Indonesia. GeoJournal Volume 49. Hal : 173 – 183.
Rosalina, K., Afrinia, L.P., Seftiawan, S.R.. 2012. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar
Pasca Erupsi Gunung Api Merapi 2010 Di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Seminar Nasional Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sumintadiredja, Prihadi. 2000. Catatan Kuliah Volkanologi. Bandung : ITB.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 147
Thouret, J.C., F. Lavigne, K. Kelfoun, S. Bronto. 2000. Toward a Revised Hazard
Assessment at Merapi Volcano, Central Java. Journal of Volcanology and
Geothermal Research Vol. 100 : 479 – 502.
Wahyono, Sri Agus. 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan
Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
BIOGRAFI PENULIS
Rosalina Kumalawati
Rosalina Kumalawati lahir pada 4 Mei 1981. Menamatkan
pendidikan dasar hingga menengah di Bantul pada tahun
1999. Mengawali pendidikan tinggi S1 di UGM, Fakultas
Geografi, Program Studi Perencanaan Pengembangan
Wilayah, pada tahun 1999-2003. Pendidikan jenjang S2 di
UGM, Fakultas Geografi, Program Studi Geografi Fisik,
pada tahun 2003-2005. Semasa kuliah pernah aktif di
beberapa organisasi kemahasiswaan. Kini sedang
melanjutkan kuliah jenjang S3 di UGM, Fakultas Geografi,
Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah, pada tahun 2010 sampai
sekarang. Bekerja Sebagai Dosen di program Studi Geografi, FKIP UNLAM
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Aktif mengikuti seminar baik nasional
maupun international. Aktif juga menulis paper pada seminar geospasial yang
diadakan oleh UMS, UNS, seminar TIK yang diadakan UDINUS Semarang dan
International Conference – ACIKITA Foundation.
Junun Sartohadi
Junun Sartohadi menamatkan pendidikan dasar hingga
menengah di Yogyakarta pada tahun 1986. Pendidikan
jenjang S1 ditempuhnya di UGM, Fakultas Geografi,
Program Studi Geomorfologi Sumberdaya Lahan, pada
tahun 1991. Master of Science bidang Geoinformasi
diperolehnya dari Asian Institute of Technology, Bangkok-
Thailand pada tahun 1997. Pendidikan jenjang S3 bidang
Geografi Tanah ditempuhnya dari Leopold Franzens
University of Innsbruck-Austria pada tahun 2001. Guru
besar bidang geografi tanah disandangnya sejak 2009 dari Fakultas Geografi
UGM tempatnya bekerja saat ini.
148 Rosalina Kumalawati, dkk.
Seftiawan S. Rijal
Seftiawan S. Rijal, lahir pada 2 September 1990 di
Balikpapan. Mengawali pendidikan tinggi pada Program
Diploma III SIG dan PJ Fakultas Geografi UGM. Semasa
kuliah pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan.
Kini sedang melanjutkan kuliah jenjang sarjana di Program
Extensi Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Aktif menulis paper pada seminar geospasial
yang diadakan oleh UMS, UNS, seminar TIK yang
diadakan UDINUS Semarang dan International Conference
– ACIKITA Foundation.
R. Rijanta
R. Rijanta memulai jenjang pendidikan tinggi S1 di
Fakultas Geografi UGM pada tahun 1981 hingga 1986
dengan keahlian pada bidang Population Geography. S2
ditempuhnya di International Institute for Aerospace Survey
and Earth Sciences (ITC), Department of Integrated Survey
for Resource Development, Enschede, The Netherlands
dengan keahlian dibidang Survey Integration for Resource
Development pada tahun 1988 – 1990. Sedangkan gelar
Doktor untuk keahlian Rural Geography diraihnya dari
Fakultas Geografi UGM dan Department of Human Geography of Developing
Countries, Faculty of Geographical Sciences, Utrecht University-The Netherlands
pada tahun 1998 hingga 2006. Telah menyandang Guru besar bidang Rural
Geography dan Rural Development sejak 2008 dari Fakultas Geografi UGM.
Rimawan Pradiptyo
Rimawan Pradiptyo memulai pendidikan strata 1 di
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, kemudian MSc dan
PhD dalam bidang Ekonomi diraihnya pada University of
York, UK. Ia mempunyai keahlian pada riset terkait Crime
Economics, Game Theory, Experimental Economics,
Economic Evaluation dan Industrial Economics. Mengajar
pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM sejak 1994 dan
menjadi Deputy of Research di P2EB FEB UGM.
149
Pembentukan Model dan Parameter untuk
Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan Data
Light Detection and Ranging (Lidar)
(Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit, Sumatra Selatan)
Priske Kandia, Agung Budi Hartono, Ketut Wikantika
150 Priske Kandia, dkk.
Pembentukan Model dan Parameter untuk Estimasi Kelapa
Sawit Menggunakan Data Light Detection and Ranging (Lidar)
(Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit, Sumatra Selatan)
Priske Kandia, Agung Budi Hartono, Ketut Wikantika
Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi
Bandung
Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung
Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.
Email: [email protected]
Abstrak
Salah satu teknologi penginderaan jauh yang tengah berkembang sangat pesat
ialah LiDAR, pemanfaatan data LiDAR semakin banyak dikembangkan salah
satunya yakni pada bidang perkebunan dan kehutanan. Teknologi LiDAR dapat
menawarkan proses pengukuran yang sangat cepat untuk area yang luas dan
menghasilkan ketelitian yang bervariasi. Indonesia sebagai penghasil kelapa
sawit terbesar di dunia perlu mengembangkan suatu metode yang secara efektif
dapat memberikan informasi detail struktur pohon kelapa sawit yang dapat
digunakan untuk manajemen dan monitoring perkebunan. Di dalam Tugas Akhir
ini akan dikaji mengenai proses pengolahan data point clouds LiDAR hingga
dibentuk DTM (Digital Terrain Model), DSM (Digital Surface Model) dan CHM
(Canopy Height Model) yang akan digunakan untuk membentuk model dan
parameter kelapa sawit untuk mendeteksi individu pohon kelapa sawit dalam
suatu area penelitian. Pendeteksian individu pohon secara otomatis tersebut akan
menghasilkan estimasi jumlah pohon dalam suatu area, serta dilengkapi dengan
informasi tinggi dan lebar diameter kanopi tiap individu pohon yang terdeteksi.
Dari hasil penelitian area studi penelitian pada perkebunan kelapa sawit seluas 20
Ha, di Kabupaten Prabumulih, Sumatra Selatan, didapat hasil sejumlah 2618
pohon yang berhasil terdeteksi secara otomatis. Kemudian setelah dilakukan
validasi pada beberapa sample tile pada area penelitian didapat keakurasian
sebesar 93%, dengan estimasi besar kesalahan sebesar 7% untuk area seluas ± 20
Ha. Standar deviasi yang dihasilkan untuk tinggi sebesar 0.150 meter dan untuk
lebar diameter kanopi pohon sebesar 0.790 meter. Penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk dijadikan masukan untuk pemanfaatan teknologi penginderaan
jauh khususnya LiDAR dalam upaya-upaya manajemen dan identifikasi
perkebunan di Indonesia.
Kata kunci: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, model dan
paremeter pendeteksian pohon, jumlah pohon kelapa sawit.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 151
Abstract
One of the remote sensing technology that is currently growing very rapidly is
LiDAR, LiDAR data utilization is being more developed in lots of fields, one of
them is for plantation and forestry application. LiDAR technology can offer a
very fast measurement process and produce varying accuracy for large area.
Indonesia as the largest oil palm producer in the world needs to develop a
method which can effectively provide detailed structural information of oil palm
trees that can be used for plantation and forestry monitoring and management.
This final project would assess on the data processing LiDAR, point clouds to be
formed as DTM (Digital Terrain Model), DSM (Digital Surface Model) and
CHM (Canopy Height Model). CHM will be used to establish model and
parameter of oil palm trees to detect individual oil palm trees in a study area.
Automatic detection of individual oil palm trees would provide the estimates
amount of trees in study area complete with the height and diameter canopy
width informations of each individual detected trees. This research showed that
in the oil palm tree plantation area of 20 hectares, in Kabupaten Prabumulih,
South Sumatra, a number of 2618 trees successfully detected automatically. After
validation process on some tile samples in the study area of ± 20 Ha was
obtained accuracy of 93% and 7% of error estimation. The height standard
deviation is 0.150 meters and the width canopy standard deviatiom is 0.790
meters. This study hopefully can be an input that is useful for the utilization of
remote sensing technology especially LiDAR for plantation management and
forestry monitoring in Indonesia.
Keywords: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, model and
parameter for trees detection, counting the amount of oil palm trees.
1. PENDAHULUAN
Penggunaan teknologi penginderaan jauh kini semakin berkembang sangat pesat
salah satunya yakni LiDAR (Light Detection and Ranging). LiDAR
merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat
menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan tanah
dalam posisi horizontal dan vertikal, (Soetaat). LiDAR dapat melakukan
pemetaan skala besar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Namun pada kenyataannya, aplikasi LiDAR untuk manajemen hutan dan
analisis kehutanan lebih lanjut masih jarang dilakukan terutama di Indonesia,
LiDAR lebih sering digunakan untuk keperluan rona awal atau pemantauan
lahan topografi suatu wilayah tambang (Comarthy, 2012).
Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia memiliki
area kelapa sawit diperkirakan seluas 8,4 juta hektar pada tahun 2012. Produksi
minyak sawit di Indonesia mencapai 24 juta ton dan 60% dari hasil produksi
tersebut telah diekspor ke negara lain, (Laporan World Growth, 2011).
152 Priske Kandia, dkk.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dikaji mengenai salah satu aplikasi
LiDAR dalam bidang kehutanan atau perkebunan yakni membuat model dan
parameter pohon kelapa sawit untuk mendeteksi setiap individu pohon kelapa
sawit dalam suatu area studi. Sehingga dapat diestimasikan jumlah pohon kelapa
sawit pada sebaran area tertentu, dilengkapi dengan informasi struktur morfologi
berupa tinggi dan lebar kanopi setiap individu kelapa sawit yang terdeteksi.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai metode
perhitungan jumlah pohon kelapa sawit yang efektif dan efisien serta dapat
dijadikan sebagai masukan untuk pemanfaatan teknologi penginderaan jauh
khususnya LiDAR dalam upaya-upaya manajemen dan pelestarian hutan di
Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini terdapat
dalam Gambar 1.
Gambar 1. Skema metodologi penelitian
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 153
2. METODE
Tahap awal terdiri dari studi literatur mengenai prinsip, sistem dan aplikasi
LiDAR dalam bidang kehutanan, serta proses pengolahan data LiDAR dan
mengenai struktur morfologi kelapa sawit khususnya mengenai stuktur
morfologi kelapa sawit seperti lebar diameter kanopi dan tinggi pohon kelapa
sawit relatif terhadap umur. Karena akan digunakan sebagai parameter yang
dibutuhkan untuk pendeteksian setiap individu pohon kelapa sawit.
Pengolahan data LiDAR yang diawali dengan proses klasifikasi data point
clouds yang berjumlah jutaan titik tersebut harus dikelompokan ke dalam kelas-
kelas sesuai kebutuhan. Kemudian proses selanjutnya rasterisasi yakni metode
untuk mendapatkan nilai pikselnya yang dapat menggambarkan ketinggian titik
tersebut.
Point cloud pada kelas ground akan diolah menjadi DTM dan point cloud pada
kelas high vegetation pada point highest hit Z akan diolah menjadi DSM. CHM
didapat dari proses pengurangan nilai piksel pada raster antara DSM dan DTM,
sehingga diperoleh Canopy Height Model (CHM) yakni perbedaan tinggi antara
permukaan kanopi pohon dan permukaan tanah, yaitu ketinggian pohon.
Selanjutnya proses pendeteksian kelapa sawit, hasil statistik berupa sebaran
ketinggian pohon tersebut dapat digunakan sebagai parameter untuk melakukan
pendeteksian setiap individu pohon kelapa sawit.
3. DATA DAN PENGOLAHAN DATA
3.1 Data
Dalam Tugas Akhir ini data yang digunakan didapat dari PT McElhanney
Indonesia. Data tersebut diakuisisi pada tanggal 8-9 Juli 2011, menggunakan alat
Leica ALS60 diintegrasikan dengan IMU dan Antenna GPS L1/L2 Novatel. Area
tersebut merupakan area perkebunan kelapa sawit yang berada di daerah
Kabupaten Prabumulih, Provinsi Sumatra Selatan, seluas ± 20 Ha dengan total
point clouds sejumlah 600.245 titik dalam kelas yang belum terklasifikasi
(default). Data tersebut telah tergeoreferensi dalam TM WGS 1984. Serta
dilengkapi dengan orthophoto true colour .menggunakan kamera digital Leica
RCD105 Digital Frame Camera for ALS dengan resolusi 39 Mega Pixels yang
sudah direferensikan ke TM WGS84.
154 Priske Kandia, dkk.
Gambar 2. Area studi penelitian
3.2 Pengolahan Data
Proses pengolahan data terbagi dalam beberapa tahap yakni:
3.2.1 Proses Pengolahan Data LiDAR
Proses pengolahan LiDAR dilakukan dalam perangkat lunak Bentley
Microstation TerraSolid yang memiliki ekstensi Terra Scan, Terra Photo dan
Terra Model. Tahap pengolahan data LiDAR yang pertama dilakukan ialah:
1. Tiling
Proses pembagian data tersebut dalam grid yang lebih kecil agar software
dapat lebih mudah memproses jutaan titik.
2. Klasifikasi Ground Points
Proses klasifikasi dilakukan untuk memisahkan antara point cloud hasil
pemantulan dari suatu jenis objek dengan jenis objek lainnya, maupun
dengan hasil pemantulan dari permukaan tanah (Sithole,2005).
Dalam makalah ini, point clouds akan terbagi menjadi 4 kelas yakni ground,
low vegetation, medium vegetation dan high vegetation. Tahapan klasifikasi
dilakukan melalui dua metode klasifikasi, yaitu secara semi-otomatis dan
manual.
a. Klasifikasi Semi-otomatis
Dalam klasifikasi semi otomatis terdapat proses penentuan batas-batas
parameter pada area studi yang diperlukan dan harus ditentukan sendiri
oleh pengguna. Tahap klasifikasi yang pertama adalah ground filtering.
Pada tahap ini dilakukan pemisahan antara ground point dengan titik-titik
lainnya. Klasifikasi ini merupakan bagian yang penting karena DTM
yang akurat hanya dapat diperoleh apabila titik-titik lainnya telah
dihilangkan dari ground points.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 155
Untuk mengidentifikasi ground points ke dalam kelasnya, sangatlah
penting untuk memahami karakteristik fisik dari ground points yang
terklasifikasikan dalam beberapa parameter dalam perangkat lunak
Bentley Microstation Terrasolid, yakni :
Maximum building size :
Ukuran panjang atau lebar terbesar dari semua bangunan yang ada
pada area survey. Namun, pada area studi tidak terdapat bangunan
apapun.
Terrain angle :
Batas kecuraman dari sudut kemiringan terbesar yang diperbolehkan
bagi dua buah titik yang berketetanggaan untuk dapat dianggap
sebagai satu kelas permukaan tanah pada proses pengidentifikasian.
Iteration angle :
Sudut maksimum antar titik atau perubahan sudut kemiringan
maksimum antara dua iterasi selama analisis permukaan tanah.
Biasanya antara 4 o -10
o.
Iteration distance:
Jarak maksimum antara dua titik yang akan diklasifikasikan, tegak
lurus dengan model permukaan tanah yang sudah ada. Disebut juga
jarak maksimum antar dua titik. Biasanya antara 0,5 meter - 1,5 meter.
Parameter klasifikasi ground points terdapat pada tabel 1.
Tabel 1. Parameter klasifikasi point cloud kelas ground
Parameter tersebut didapat dari beberapa literatur (Meng, 2010) serta uji
statistik trial and error. Ilustrasi parameter diatas ditunjukan pada
gambar 3 di bawah ini:
Gambar 3. Ilustrasi parameter klasifikasi kelas ground
Terrain Angle 77o
Itteration Angle 8o
Itteration
Distance 1,5 m
Max Building Size 26 m
156 Priske Kandia, dkk.
Proses klasifikasi diawali dengan membentuk model awal permukaan
tanah di mana titik inisial berupa titik-titik dengan elevasi terendah dan
berdasarkan jarak sesuai parameter maximum building size.
Setelah itu dilakukan uji kesesuaian titik-titik yang berada pada model
permukaan tanah yang sudah ada terhadap ketiga parameter lainnya.
Apabila memenuhi, maka titik tersebut akan dimasukkan ke dalam kelas
permukaan tanah atau ground point.
b. Klasifikasi Manual
Klasifikasi dengan cara manual dilakukan untuk memeriksa data point
cloud hasil klasifikasi dari proses automatic classification. Sering kali
terjadi kesalahan klasifikasi (misclassified).
Karena itu, diperlukan pengecekan dan klasifikasi secara manual untuk
memastikan semua data berada pada kelas yang sesuai dengan melakukan
visualisasi tampak samping (cross section atau side seeing).
c. Klasifikasi Low, Medium, High Vegetation
Parameter tinggi vegetasi rendah, sedang dan tinggi relatif dari ground
ditunjukkan pada Tabel 2. Parameter di bawah ini hasil uji statistik trial
dan error serta studi referensi mengenai parameter tinggi klasifikasi
vegetasi.
Tabel 2. Parameter tinggi klasifikasi kelas vegetasi
3. Rasterisasi DTM dan DSM
Selanjutnya kelas-kelas point cloud tersebut akan di-generate untuk
diperoleh raster dua dimensi dari DTM dan DSM. Point clouds kelas
ground akan menjadi Digital Terrain Model (DTM). Sedangkan kelas DSM
akan dibentuk dari high vegetation (point cloud kanopi pohon yang
memiliki tinggi terbesar dari permukaan tanah).
4. Mengekstrak Canopy Height Model (CHM)
CHM didapat dari proses pengurangan nilai piksel pada raster (raster DSM
yang dikurangi oleh raster DTM). CHM yang didefinisikan sebagai sebaran
perbedaan tinggi antara permukaan kanopi pohon dan permukaan tanah,
yaitu ketinggian pohon.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 157
Hasil statistik dari ketinggian pohon tersebut dapat digunakan sebagai
parameter untuk melakukan pendeteksian dan perhitungan jumlah kelapa
sawit.
3.2.2 Proses Pendeteksian Pohon
Tahap proses pendeteksian pohon secara otomatis terdiri dari beberapa tahap
yakni:
1. Penentuan Parameter Identifikasi Pohon
Dalam proses pendeteksian pohon oleh perangkat lunak Terrasolid terdapat
beberapa parameter yang harus ditentukan yakni:
Minimum Height (tinggi minimal satu pohon) : 3 meter
Maximum Height (tinggi maksimal suatu pohon) : 16 meter.
Width Variation (variasi lebar kanopi pohon) : 10 % - 30%
Parameter tersebur didapat dari hasil CHM (Canopy Height Model) pada
proses pengolahan data LiDAR. Dalam proses ini, data point clouds akan
dilihat berdasarkan range tinggi minimum dan maksimumnya, apakah
sebaran point clouds tersebut terkategorikan sebagai suatu pohon.
2. Pembentukan sampel model individu pohon
Pembentukan model individu pohon kelapa sawit tersebut dibentuk dari
pengambilan sampel satu individu pohon pada data point cloud-nya. Pada
Gambar 4 (kiri) ditunjukkan hasil cross section point cloud satu individu
pohon, setelah itu dibuat pemodelan satu bentuk kelapa sawit mengikuti
sebaran point cloud yang membentuk pohon tersebut.
Setelah di-generate maka bentuk tersebut akan direfleksikan secara otomatis
hingga membentuk satu model bentuk pohon (kanan).
Gambar 4. Point cloud dan sampel model individu pohon
3.2.3 Proses Validasi Hasil Pendeteksian Pohon
Hasil pendeteksian pohon secara otomatis tersebut akan divalidasi dalam
beberapa proses yakni:
158 Priske Kandia, dkk.
1. Estimasi range jumlah pohon kelapa sawit pada area seluas 20 ha. Biasanya
kelapa sawit ditanam dengan jarak tanam 9x9x9 meter, sehingga dalam 1 ha
terdapat 130-145 pohon, (Badan Pusat Statistik Sawit, 2012). Dari total ±
20 Ha dan dengan total lahan kosong seluas ± 0,67 Ha. Maka total jumlah
pohon diestimasikan berada pada range: 2512 – 2764 pohon sawit.
2. Tiling
Membagi orthophoto tersebut menjadi 20 tiles yaitu 5 kolom secara
horizontal dan 4 baris secara vertical.
3. Export & Convert
Export hasil deteksi pohon (otomatis) dan convert shapefilenya yang berupa
titik centroid & poligon setiap individu pohon yang terdeteksi secara
otomatis.
Membuat Titik Validasi
Titik validasi berupa titik centroid dan poligon yang tersebar merata pada
kanan-kiri (atas & bawah) dan tengah.
4. Deteksi Visual
Mendeteksi secara visual apakah pada sebaran poligon titik validasi tadi
terdapat juga poligon hasil deteksi otomatis.
5. Bandingkan
Lebar Kanopi dan Tinggi Pohon
Setiap individu pohon yang berhasil terdeteksi memiliki informasi tinggi
dan perimeter (keliling pohon) yang dapat dihitung diameternya dari
rumus keliling lingkaran.
Jumlah pohon dalam beberapa sampel tiles
Bandingkan jumlah pohon dari hasil deteksi otomatis dan manual pada
tiga jenis tile yang karakteristik pohonnya rapat sekali, cukup rapat dan
teratur, renggang sekali juga terdapat lahan kosong.
4. PEMBAHASAN
4.1 Analisis Hasil Proses Pengolahan Data LiDAR
Setelah seluruh point clouds terklasifikasi ke dalam kelas yang sesuai. Tabel 3
merupakan hasil statistik klasifikasi kelas point clouds:
Tabel 3. Hasil statistik klasifikasi point clouds
Class Description Points
1 Default 0
2 Ground 136.420
3 Low Vegetation 10.274
4 Medium Vegetation 8.100
5 High Vegetation 445.451
6 Building 0
Total points 600.245
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 159
Parameter proses pengklasifikasian point clouds harus tepat (sesuai dengan
karakteristik lahan area penelitian) dan juga dengan melakukan uji statistik dan
trial error. Ketika input parameter telah memberikan hasil statistik yang terbaik,
maka perlu dilakukan pengecekan point clouds dengan draw section dan mem-
brush manual sehingga point terklasifikasi dengan baik. Hasil DTM dihasilkan
terdapat pada gambar sebagai berikut:
Gambar 5. Hasil Digital Terrain Model
Gambar 6. Hasil Digital Surface Model
Gambar 7. Hasil Canopy Height Model
Tinggi rata-rata sebaran pohon yang ditunjukkan pada CHM yakni 12,5 meter,
dengan nilai range antara -0,5676 meter hingga 17,8 meter dan tinggi minimum 3
meter. Ketika mengekstrak CHM terdapat tinggi pohon yang minus, dilihat dari
Digital Terrain Model (DTM)
Legend
Digital Surface Model (DSM)
Canopy Height Model (CHM)
Legend
160 Priske Kandia, dkk.
value pixel raster terdapat 226 value dalam jumlah value 204683 yakni hanya
sebesar 0,1%. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh low points pada data
LiDAR. Low points disebut juga noise (kesalahan/gangguan) pada LiDAR,
seharusya dihilangkan pada proses pengklasifikasian titik. Faktor lainnya
mungkin dikarenakan ketika proses pengklasifikasian titik ground dan vegetasi
lainnya masih belum sempurna.
4.2 Analisis Hasil Proses Pendeteksian Pohon
Hasil dari pendeteksian pohon secara otomatis terdeteksi jumlah pohon
sebanyak 2.618 pohon pada luasan area kurang lebih 20 hektar. Berdasarkan
referensi Badan Pusat Statistik Sawit, dalam 20 Ha diestimasikan berada pada
range: 2512 – 2764 pohon sawit. Sehingga 2618 dinyatakan telah masuk dalam
range.
Hasil deteksi pohon kelapa sawit secara otomatis merupakan poligon pohon,
setiap individu dari poligon pohon kelapa sawit yang berhasil terdeteksi masing-
masing memiliki identitas (ID) dari setiap poligon, elevasi (mengacu pada MSL)
serta tinggi dari masing-masing pohon.
Gambar 8. Hasil deteksi otomatis poligon pohon kelapa sawit
Analisis dari hasil pendeteksian pohon tersebut yakni:
Parameter pendeteksian pohon harus tepat dan sesuai dengan sebaran tinggi
pohon pada area tersebut.
Pemodelan sampel bentuk individu pohon harus mewakili sebaran pohon
pada area tersebut. Apabila terlalu lebar, maka sedikit sekali pohon yang
akan terdeteksi. Bentuk harus disesuaikan dengan hasil point cloud yang
membentuk satu pohon.
4.3 Analisis Hasil Proses Validasi Pendeteksian Pohon
Hasil validasi menunjukkan terdapat 93 pohon yang terdeteksi pada total 100
pohon hasil digitasi manual di area yang sama. Terdapat 7 pohon yang
seharusnya terdeteksi namun tidak berhasil terdeteksi. Standar deviasi untuk
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 161
tinggi sebesar 0,150 meter dan standar deviasi untuk lebar kanopi sebesar
0,790 meter.
Dari keseluruhan data hasil validasi terdapat selisih lebar kanopi yang terbesar
dan terkecil sebesar 2,299 meter dan -5,1E-06 meter. Perbedaan lebar kanopi
tersebut disebabkan karena tegakan pohon yang terlalu rapat membuat proses
delineasi menjadi kurang tepat karena kanopi antar pohon saling tumpang tindih.
Kemudian karena proses validasi menggunakan orthophoto maka terdapat efek
distorsi kamera pada foto yang letaknya jauh dari pusat eksposur kamera.
Semakin menjauhi pusat eksposur maka semakin besar distorsi kamera yang
terjadi pada orthophoto. Validasi lainnya yang dilakukan yakni analisis jumlah
pohon pada 3 sample tile yang diasumsikan rapat sekali, cukup rapat (renggang)
dan renggang serta terdapat lahan kosong.
Tile 3 diasumsikan memiliki sebaran pohon kelapa sawit yang cenderung
rapat sekali. Hasil uji validasi:
Hasil deteksi otomatis: 130 pohon
Hasil deteksi manual: 134 pohon
Perbedaan jumlah pohon: 4 pohon.
Persentase kesalahan: 2,99 %
Gambar 9. Tile 3 (rapat sekali)
Tile 14 diasumsikan memiliki sebaran pohon kelapa sawit yang cenderung cukup
rapat dan juga memiliki jarak spasi antar pohon (renggang). Hasil uji validasi:
Hasil deteksi otomatis: 118 pohon
Hasil deteksi manual: 117 pohon
Perbedaan jumlah pohon: 1 pohon.
Persentase kesalahan: 0,86 %.
162 Priske Kandia, dkk.
Gambar 10. Tile 14 cukup rapat & memiliki spasi
Tile 16 diasumsikan memiliki sebaran pohon yang renggang juga terdapat lahan
kosong. Hasil uji validasi:
Hasil deteksi otomatis: 103 pohon
Hasil deteksi manual: 108 pohon
Perbedaan jumlah pohon: 5 pohon.
Persentase kesalahan: 4,63 %.
Gambar 11. Tile 16 (renggang dan ada lahan kosong)
Selain itu sebaran point clouds yang merata pada area penelitian akan
mempengaruhi hasil pendeteksian pohon. Semakin rapat point clouds maka
semakin baik hasil delineasi pohon yang dihasilkan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 163
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini ialah:
1. Penentuan model bentuk dan parameter untuk mengestimasi jumlah kelapa
sawit dalam penelitian ini dapat digunakan untuk estimasi jumlah kelapa
sawit dengan akurasi yang cukup baik yakni 93 % untuk area seluas 20
hektar. Dengan standar deviasi untuk tinggi sebesar 0,150 meter dan standar
deviasi untuk lebar kanopi sebesar 0,790 meter. Referensi menyatakan bahwa
perbedaan hasil perhitungan pohon secara manual (survei lapangan) dan
otomatis (hasil digitasi citra) pada perkebunan tidak boleh melebihi 2 %
dari total jumlah area yang sangat luas.
2. Ketelitian output produk LiDAR (DTM, DSM dan CHM) sangat bergantung
pada proses pengklasifikasian titik point cloud ke dalam kelasnya. Kesalahan
pengklasifikasian titik (point labeling error) dipengaruhi oleh beberapa
faktor di antaranya ialah:
Parameter klasifikasi pada metode automatic classification. Semakin tepat
parameter klasifikasi yang digunakan yakni semakin sesuai dengan
sebaran area point cloud pada terrain area maka hasil statistik dari
klasifikasi point akan semakin baik dan tepat.
Uji statistik trial & error,
Dengan melakukan uji statistik trial and error maka beberapa parameter
akan diuji dan dilihat mana yang member
ikan hasil yang terbaik.
Inspeksi manual pada metode semi automatic classification
Apabila tahap klasifikasi point cloud tersebut telah dilakukan dengan baik
maka hasil generate DTM dan DSM nya pun akan lebih baik. Sehingga akan
menghasilkan CHM yang lebih baik pula.
5.2 Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya ialah:
1. Metode penelitian ini akan dapat memberikan hasil yang lebih baik lagi
apabila kelapa sawit yang diteliti masih berumur muda yakni 3-5 tahun.
Karena kanopi antar pohon belum terlalu rapat (tumpang tindih). Sehingga
hasilnya akan memberikan keakuratan yang lebih teliti lagi karena pelapah
pohon masih pendek dan belum merambah ke pepohonan lain.
2. Selain itu, menurut referensi jumlah point density yang ideal untuk studi
penelitian atau aplikasi data LiDAR pada bidang kehutanan dan perkebunan
ialah 4-10 points/sqm. (Cormarty, 2012). Sedangkan kerapatan point cloud
dari data yang digunakan dalam peneltian ini sebanyak 2-3 points/sqm, hal
ini menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan data LiDAR tersebut
164 Priske Kandia, dkk.
khususnya dalam bidang perkebunan. Karena rimbunnya dedaunan dari
pepohonan pada kawasan kehutanan dan perkebunan menyebabkan pulsa
laser tidak dapat meng-cover elevasi ground dengan sempurna apabila
kerapatan titiknya hanya sebanyak 2-3 points/sqm.
DAFTAR REFERENSI
Abidin, H. Z. (2001). Geodesi Satelit. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Aldred A. dan Bonner M. 1985. Application of Airborne Lasers to Forest Surveys.
Canada: Canadian Forestry Service, Petawawa National Forestry Centre, Information
Report.
Alif, Teguh Fayakun. (2010). Airborne LIDAR Bathymetry. Bogor : Bakosurtanal.
Barbara, K., Ursula, Heyder, H., & Weinacker. (2006). Detection of Individual Tree
Crowns in Airborne Lidar Data.American Society for Photogrammetry and Remote
Sensing.
BC-CARMS. (2006) LiDAR – Overview of Technology Applications . Victoria, BC.
Burtch, Robert. (2001) Lidar Principles and Applications. Big Rapids.
Esri. 2010. Lidar Analysis in ArcGIS 9.3.1 for Forestry Applications. New York, USA :
Esri.
Kelley, Beth. (2010) Lidar monitors environmental changes [Online] // SPIE.
http://spie.org/x41688.xml.
Lohani, Bharat. 1996. Airborne Altimetric LIDAR: Principle, Data Coleection,
Processing. India : Departement of Civil Engineering.
Meng, X., Currit, N., & Zhao, K. (2010). Ground Filtering Algorithms for Airborne
LiDAR Data: A Review of Critical Issues. San Marcos, USA.
M.Z.A., Rahman & Gorte, B. Individual tree detection based on densities of high points
of high resolution airborne lidar. the Netherland : Delft University of Technology,
2629 HS.
Tittmann, P., Shafii, S., & Hartsough, B. Tree detection and delineation from LiDAR
point clouds using RANSAC. Young, James. (2008) LiDAR Trends and Development.
Colorado.
Yayusman, Lissa Fajri. (2011). Pengukuran Parameter Struktural Hutan menggunakan
Data Light Detection and Ranging. Tugas Akhir. Bandung: Teknik Geodesi dan
Geomatika. Institut Teknologi Bandung
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 165
BIOGRAFI PENULIS
Priske Kandia
Priske Kandia dilahirkan di Bandung pada 30 September
1991. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 3 Bandung
dan kemudian memperoleh gelar Sarjana Teknik dari
Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung.
Saat ini Priske aktif bekerja sebagai salah satu data
processor di Asean Geos Sdn Bhd, Kuala Lumpur.
Agung Budi Harto
Agung Budi Harto dilahirkan pada tanggal 22 Agustus 1967
di Malang. Memperoleh gelar Insinyur dari Teknik Geodesi
pada tahun 1991. Kemudian melanjutkan program Master
dan Doktor di Chiba University pada bidang Geoscience.
Semenjak tahun 1995 hingga saat ini aktif mengajar di
Teknik Geodesi dan Geomatika ITB. Berbagai hasil karya
penelitian pun telah banyak dipublikasikan khususnya
terkait dengan bidang penginderaan jauh hidrologi,
fotogrametri, dan Sains Informasi Geografis. Hingga saat
ini Agung Budi Harto juga aktif dalam berbagai organisasi yang berkaitan
dengan bidang penelitian tersebut, di antaranya Ikatan Surveyor Indonesia,
Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia serta Pusat Penginderaan Jauh ITB.
Ketut Wikantika
Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17
Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK
hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali
pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada
tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah
menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi.
Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master
of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang
dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar
Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh
dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif
mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB,
166 Priske Kandia, dkk.
dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB.
Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB
dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah
di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional
maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan
dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga
aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi
Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor
Indonesia.
167
Perhitungan Biomassa dengan Metode
Polarimetrik SAR Menggunakan Citra Alos
Palsar
Rohullah Ragajaya, Firman Hadi, Ketut Wikantika
168 Rohullah Ragajaya, dkk.
Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR
Menggunakan Citra Alos Palsar
Rohullah Ragajaya
1, Firman Hadi
2, Ketut Wikantika
3
1,3Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung. 1,2,3
Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi
Bandung
Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.
Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702
Email: [email protected]
Abstrak
Mengingat pentingnya perhitungan jumlah biomassa pada suatu hutan untuk
menganalisis perubahan iklim serta kelestarian alam, maka diharapkan ada
metode perhitungan jumlah biomassa secara cepat, hemat, efektif dan efisien baik
tenaga, biaya, dan waktu. Mengetahui jumlah biomassa pada hutan juga bisa
digunakan sebagai referensi untuk mengambil kebijakan-kebijakan terkait
dengan isu-isu tentang global warming dan climate change. Dalam realisasinya,
sebenarnya ada banyak metode yang digunakan untuk menghitung dan
mengestimasi jumlah biomassa, namun dalam metode-metode tersebut ada
beberapa kelebihan dan kekurangan. Metode perhitungan biomassa yang biasa
digunakan adalah metode secara perhitungan langsung ke lapangan (in situ),
namun metode perhitungan biomassa seperti ini memiliki banyak kekurangan,
diantaranya yaitu memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang sangat lama
apabila perhitungan biomassa tersebut dilakukan dihutan yang sangat luas. Oleh
karena itu diperlukan metode perhitungan biomassa lain yang bisa dilakukan
untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut. Metode yang akan digunakan
tersebut adalah metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan satelit Radar
yang saat ini teknologinya sedang mengalami perkembangan yang pesat. Untuk
melakukan perhitungan biomassa dengan menggunakan metode ini, diperlukan
data polarimetrik SAR (Synthetic Aperture Radar). Hasil dalam penelitian ini
menunjukkan bahawa metode perhitungan biomassa dengan menggunakan
metode polarimetrik SAR ini dapat mengesetimasi jumlah biomassa pada hutan,
perkebunan, dan daerah tutupan lahan lainnya.
Kata Kunci : Penginderaan Jauh, Biomassa, Polarimetrik SAR
Abstract
Given the importance of the calculation of the amount of biomass on the forest
for analyzing climate change and environmental sustainability, it is expected that
no method of calculation of the amount of biomass in a timely, efficient, effective
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 169
and efficient good effort, cost, and time. Knowing the amount of forest biomass
can also be used as a reference for taking policies related to issues of global
warming and climate change. In fact there are many methods used to calculate
and estimate the amount of biomass, but in these methods there are some
advantages and disadvantages. Biomass calculation method is commonly used
the method of direct calculation on the field (in situ), but the method of
calculation of biomass as it has many disadvantages, among which were
expensive and a very long time if the calculation is done the forest biomass is a
very broad. Therefore we need another method of calculation of biomass that can
be done to cover the shortfall. The method to be used is a method of remote
sensing using satellite radar technology that is currently undergoing rapid
development. To doing these calculation of biomass by using this method,
polarimetric SAR (Synthetic Aperture Radar) data are needed. The results in this
study shows that the method of calculation of the biomass by using polarimetric
SAR can estimate amount of biomass in forests, plantations and other land cover
areas.
Keywords : Remote sensing, Biomass, Polarimetric SAR
1. PENDAHULUAN
Isu tentang pemanasan global akhir-akhir ini sedang banyak diperbincangkan di
dunia. Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya suhu rata-rata permukaan
muka bumi yang disebabkan oleh semakin banyaknya gas-gas rumah kaca yang
dihasilkan secara alami dan dari aktivitas manusia. Salah satu di antara gas-gas
rumah kaca tersebut adalah karbondioksida. Dengan meningkatnya perindustrian
dan transportasi mengakibatkan meningkatnya pula penggunaan bahan bakar
fosil sehingga kadar karbondioksida di atmosfer semakin bertambah. Untuk
mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer salah satu caranya adalah dengan
mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi
pohon dihutan. Hal ini dikarenakan pepohonan dapat menyimpan karbon di
dalam tubuhnya melalui berbagai proses pada tumbuhan, salah satunya adalah
proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis tersebut, karbondioksida disimpan
sebagai materi organik dalam biomassa tumbuhan. Perhitungan biomassa
merupakan salah satu proses penting yang harus dilakukan untuk mengamati dan
mempelajari adanya perubahan iklim akibat meningkatnya jumlah
karbondioksida.
Perhitungan biomassa ini bisa dilakukan secara konvensional dengan pengukuran
lapangan, namun metode konvensional ini memiliki banyak kekurangan, di
antaranya yaitu area pengukuran yang sangat luas sehingga membutuhkan biaya,
waktu, dan tenaga yang cukup besar sehingga kurang efektif dan efisien. Salah
satu metode yang efektif dan efisien yang bisa digunakan adalah dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh. Dan yang akan dibahas pada
makalah ini adalah perhitungan atau estimasi biomassa dengan menggunakan
170 Rohullah Ragajaya, dkk.
teknologi penginderaan jauh dengan memanfaatkan citra radar dari satelit ALOS
PALSAR.
2. WILAYAH STUDI
Penelitian ini dilakukan di daerah kabupaten Subang di bagian utara Provinsi
Jawa Barat yang mempunyai letak geografis pada posisi 6° 12’ 41” LS - 6° 48’
21” LS dan 107° 31’ 51” BT - 107° 55’ 16” BT. Kabupaten Subang ini
mempunyai batas-batas wilayah yaitu disebelah utara berbatasan dengan Laut
Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Bandung, sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Indramayu, dan di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Karawang. Luas wilayah Kabupaten Subang sekitar 205176 ha. Namun, karena
data citra satelit hanya mencakup sebagian dari wilayah Kabupaten Subang,
maka luas area penelitian ini sebesar 188035,02 ha.
Gambar 1. Daerah Penelitian, Kabupaten Subang, Jawa Barat
(Sumber: http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id)
Secara umum wilayah Kabupaten Subang memiliki iklim tropis dengan curah
hujan rata-rata per tahun 2352 mm. Dengan iklim yang demikian serta ditunjang
oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai, menjadikan sebagian
besar tanah di Kabupaten Subang digunakan untuk hutan, pertanian, perkebunan,
dan tambak. Secara umum wilayah kabupaten Subang terbagi menjadi tiga
bagian wilayah, yaitu wilayah selatan, wilayah tengah, dan wilayah utara.
Sebagian besar wilayah kabupaten Subang bagian selatan berupa daerah
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 171
perkebunan, hutan, dan lokasi pariwisata. Pada bagian tengah wilayah kabupaten
Subang ini berkembang perkebunan karet, tebu dan buah-buahan dibidang
pertanian dan pabrik-pabrik dibidang industri, selain perumahan dan pusat
pemerintahan serta instalasi militer. Kemudian pada bagian utara wilayah
kabupaten Subang berupa sawah berpengairan teknis dan tambak serta pantai.
3. DATA YANG DIGUNAKAN
Pada penelitian ini digunakan data sebagai berikut :
Citra ALOS-PALSAR yang dicitrakan pada tanggal 25 Maret 2007, dengan
jumlah piksel row 18432 dan column 1248 yang mempunyai resolusi 21
meter. Citra ini adalah citra yang diambil di sekitar kabupaten Subang, Jawa
Barat.
Peta DEM (Digital Elevation Model) yang didapatkan dari SRTM, yang
mengacu pada datum geodetik WGS 1984 dengan sistem proyeksi UTM
(Universal Transverse Mercator) zona 48 bumi bagian selatan. Resolusi
pada peta DEM ini adalah 90 meter.
4. METODE
Data citra ALOS PALSAR yang dipakai adalah citra dengan mode PLR
(Polarimetric) yang bersifat quad-polarization. Data citra ini masih bersifat SLC
(Single Look Complex) sehingga harus dilakukan beberapa pra-pengolahan citra.
4.1 Proses Multilook dan Filtering
Proses multilook ini berfungsi untuk mengubah data citra yang masih bersifat
SLC (Single Look Complex) menjadi data citra yang sudah ter-multilook. Citra
radar SLC (Single Look Complex) masih terlihat “strecth”, oleh karena itu
melalui proses multilook inilah citra tersebut di extract dan di”mampatkan”
sehingga nampak terlihat lebih “padat”.
Setelah dilakukan proses multilook pada citra radar, langkah selanjutnya adalah
melakukan proses filtering. Proses filtering ini dilakukan untuk mengurangi
secara signifikan kesalahan-kesalahan yang terjadi akibat gangguan pada saat
pengambilan citra, gangguan-gangguan ini dapat mempengaruhi kenampakan
pada citra sebagai piksel-piksel yang terang atau gelap. Secara fisik hal ini dapat
dilihat pada citra yaitu kenampakan adanya titik-titik buram atau titik-titik putih
terang. Titik-titik buram atau titik-titik putih terang pada piksel tersebut dikenal
sebagai speckle noise
172 Rohullah Ragajaya, dkk.
Gambar 2. Citra Radar yang sudah
multilook
Gambar 3. Citra Radar yang sudah
dilakukan proses filtering
4.2 Geocoding
Proses geocoding adalah proses untuk menghubungkan data yang belum
mempunyai sistem koordinat dengan data yang sudah mempunyai sistem
koordinat (misalnya sistem koordinat geografis) atau secara lebih sederhananya
adalah proses penentuan proyeksi peta dan datumnya. Sebagai data yang belum
mempunyai sistem koordinat di sini adalah citra radar ALOS PALSAR, karena
data ini hanya mempunyai ukuran-ukuran piksel saja. Sedangkan data yang
digunakan untuk proses geocoding dan yang sudah mempunyai sistem koordinat,
digunakan data DEM (Digital Elevation Model). Data DEM ini menggunakan
sistem proyeksi UTM dengan datum WGS ’84.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 173
Gambar 4. Hasil proses geocoding pada citra radar
Metode resampling yang digunakan untuk melakukan proses geocoding adalah
nearest neighbor. Metode resampling adalah teknik atau model matematik yang
digunakan untuk membuat versi baru dari gambar atau image dengan lebar
dan/atau tinggi yang berbeda. Metode resampling nearest neighbor adalah
metode resampling yang paling sederhana, metode ini hanya menghitung nilai
piksel yang baru sebagai nilai dari piksel yang terdekat pada gambar asli (Sachs,
2001). Keuntungan dalam penerapan metode nearest neighbor adalah nilai
kecerahan pada masing-masing piksel yang terdapat pada citra output/ keluaran
akan sama pada citra aslinya, karena metode ini tidak membuat nilai intensitas
yang baru yang dapat mengubah informasi yang ada pada citra input/ masukan,
sehingga informasi yang terdapat pada citra masukan dan keluaran akan tetap
sama (Novresiandi, 2011).
4.3 Polarimetric Decomposition
Hamburan balik radar ini banyak dipengaruhi oleh karakteristik permukaan,
misalnya permukaan pada objek pada permukaan bumi. Selanjutnya menurut
Freeman dan Durlen (1998), terdapat tiga mekanisme scattering dasar yaitu
surface scattering (single bounce), double bounce scattering, volume (canopy)
scattering. Untuk mendapatkan citra radar sesuai dengan karakteristik scattering
dasar tadi, dilakukan proses polarimetric decomposition. Dalam kaitannya untuk
melakukan perhitungan atau estimasi biomassa, diperlukan dua jenis mekanisme
scattering dasar yaitu surface scattering (single bounce) dan volume (canopy)
scattering.
174 Rohullah Ragajaya, dkk.
A
B Gambar 5. (A) Citra dengan mekanisme surface scattering dan (B) Citra dengan
mekanisme volume (canopy) scattering
4.4 Menghitung nilai µ
Menurut Shane R. Cloude nilai µ adalah nilai rasio dari surface scattering dan
volume (canopy) scattering. Untuk mendapatkan nilai µ ini adalah dengan
melakukan perhitungan bandmath menggunakan software ENVI 4.8 pada citra
surface scattering dan citra volume (canopy) scattering. Nilai piksel pada kedua
citra tersebut kita rasiokan sehingga menghasilkan satu citra radar baru. Dalam
kaitannya dengan penelitian tugas akhir ini citra tersebut diberi nama citra µ.
Citra µ yang didapatkan bisa dilihat pada gambar 6 sebagai berikut :
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 175
Gambar 6. Visualisasi hasil citra µ
Nilai µ yang didapatkan dari citra yang akan diolah mempunyai rentang nilai
Digital Number (DN) dari 0 sampai dengan 186,3347. Apabila rona pada citra µ
semakin gelap maka nilai DN µ-nya mendekati nilai 0, sedangkan apabila rona
pada citra µ semakin terang maka nilai DN µ-nya akan semakin besar. Warna
yang semakin gelap pada citra µ menunjukkan banyak terdapat vegetasi pada
daerah tersebut, sedangkan warna yang semakin terang pada citra µ menunjukkan
jarang atau tidak terdapat vegetasi pada daerah tersebut.
4.5 Pengklasifikasian landcover pada citra µ
Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengklasifikasian pada beberapa landcover
yaitu daerah hutan, daerah perkebunan, daerah pemukiman, dan daerah perairan.
Tujuan pemilihan beberapa landcover tersebut agar bisa dilakukan perbandingan
hasil perhitungan jumlah biomassa pada area yang banyak terdapat vegetasi
(hutan), area yang cukup banyak terdapat vegetasi (perkebunan), dan area yang
jarang/ tidak ada vegetasi (pemukiman/ perairan). untuk mengetahui atau
mengklasifikasi landcover misalnya daerah hutan atau daerah perkebunan pada
citra radar tidak bisa dilakukan secara langsung visual. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut maka digunakanlah citra/ image dari Google
Earth untuk mengklasifikasi. Citra dari Google Earth bisa memberikan citra
visual yang lebih jelas dibandingkan dengan citra dari radar. Berikut adalah
tampilan citra wilayah kabupaten Subang pada Google Earth :
176 Rohullah Ragajaya, dkk.
Gambar 7. Citra wilayah kabupaten Subang dari Google Earth
Tampak pada gambar di atas citra Google Earth, secara visual lebih jelas dan
lebih terlihat asli pada objek yang ada di permukaan bumi. Pada Google Earth
tersebut, satelit yang digunakan adalah satelit GeoEye yang diambil tahun 2012.
Apabila dilakukan zoom akan lebih nampak jelas landcover pada wilayah
tersebut. Pada Gambar 8 dapat dilihat tampilan contoh gambar landcover hutan,
perkebunan, dan pemukiman yang telah dilakukan zooming.
Apabila sudah dilakukan klasifikasi berdasarkan landcover, maka langkah
berikutnya adalah mencari nilai koordinat pada citra Google Earth. Dalam
pencarian nilai koordinat tersebut, pada penelitian ini diambil nilai koordinat
tengah dalam plot area landcover yang sudah dibuat. Selanjutnya dengan nilai
koordinat yang sudah didapat dari citra Google Earth, nilai koordinat ini
digunakan untuk mencari daerah landcover hutan, perkebunan, pemukiman, dan
perairan pada citra radar.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 177
A
B
C
Gambar 8. (A) Daerah hutan; (B) daerah perkebunan; (C) daerah pemukiman
Dari masing-masing landcover yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, dan
perairan dibuat enam plot area di mana dalam masing-masing plot area dibagi
lagi menjadi tiga ROI (Region of Interest). Pada Gambar 8 menunjukkan
pengambilan plot area pada daerah hutan yang berjumlah enam plot area. Pada
masing-masing plot area tersebut dibuat tiga ROI, dimana dalam satu ROI
memliki ukuran 3x3 piksel. Pada masing-masing ROI inilah dihitung nilai DN µ-
nya yang kemudian dihitung jumlah biomassanya dengan menggunakan WCM
(Water Cloud Model).
178 Rohullah Ragajaya, dkk.
4.6 Perhitungan Biomassa
Untuk melakukan perhitungan biomassa, digunakan suatu model perhitungan
yang disebut sebagai WCM (Water Cloud Model). Melalui penurunan hitungan
secara matematis yang mengacu pada model tersebut oleh Shane R. Cloude,
didapatkan persamaan matematis untuk menghitung stem volume, yaitu :
(
) (1)
Keterangan :
V = stem volume
β = konstanta two-way transmissivity (0,004)
R = perbandingan koefisien backscatter (0,5)
µ = nilai rasio dari surface scattering dan volume (canopy) scattering
Setelah didapatkan nilai V (stem volume) maka nilai ini kemudian dikonversi
menjadi nilai biomassa. Menurut Askne J. dan M. Santoro, et al (2003) e.g. for
Boreal Forest, hubungan biomassa dan stem volume adalah sebagai berikut :
Biomassa = 60% x stem volume (2)
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan biomassa dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung
biomassa pada beberapa landcover area yaitu landcover hutan, perkebunan,
pemukiman, dan perairan. Dengan demikian bisa dilakukan perbandingan jumlah
biomassa antara jumlah biomassa di daerah yang mempunyai banyak vegetasi/
tumbuhan dan biomassa di daerah yang mempunyai sejumlah kecil vegetasi/
tumbuhan. Proses pengambilan sampel biomassa dilakukan pada masing-masing
area yaitu area hutan, perekebunan, pemukiman, serta perairan. Dalam setiap area
diambil enam sampel lagi dan tiap sampel area dibagi menjadi tiga ROI (Region
of Interest).
Setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan biomassa didapatkan hasil
yaitu pada area hutan primer jumlah total biomassanya sebesar 2815,33 ton,
dengan nilai µ rata-rata adalah 0,0545565.
Pada area hutan jarang jumlah total biomassanya sebesar 563,21 ton dengan nilai
µ rata-rata sebesar 0,846707778. Pada area perkebunan jumlah total biomassanya
sebesar 316,96 ton, dengan nilai µ rata-rata adalah 1,6796577. Pada area
pemukiman jumlah total biomassa yang didapatkan adalah sebesar 68,8 ton,
dengan nilai µ rata-rata adalah 8,340408944, sedangkan pada area perairan
jumlah total biomassanya adalah sebesar 21,65 ton dengan nilai µ rata-rata
adalah 26,91395028.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 179
Dari hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa jumlah total biomassa pada
area hutan primer memiliki jumlah total biomassa yang paling besar, sedangkan
jumlah total biomassa yang paling kecil adalah pada area pemukiman dan
perairan. Hal ini terjadi karena pada area pemukiman/ perairan tidak banyak
terdapat vegetasi/ tumbuhan yang mengandung biomassa. Selain itu, dalam
pengolahan data yang sudah dilakukan, hasil dari nilai µ berbeda cukup
signifikan antar landcover. Nilai rata-rata µ pada area hutan memiliki nilai rata-
rata yang paling rendah dibandingkan nilai rata-rata µ pada landcover
pemukiman dan landcover perairan. Perairan memiliki jumlah total biomassa
yang paling kecil, tetapi area perairan memiliki nilai rata-rata µ yang paling besar.
Semakin kecil nilai µ maka jumlah biomassanya akan semakin besar, sebaliknya
semakin besar nilai µ maka jumlah biomassanya akan semakin kecil.
Gambar 9. Grafik perbandingan nilai µ dan jumlah biomassa
6. Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa didapatkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Jumlah biomassa untuk daerah landcover hutan sebesar 2815,33 ton, untuk
daerah landcover perkebunan sebesar 316,96 ton, untuk daerah landcover
pemukiman sebesar 68,80 ton, dan untuk daerah landcover perairan sebesar
21,65 ton.
2. Selain dengan menggunakan sistem penginderaan jauh pasif, perhitungan
biomassa juga dapat dilakukan dengan sistem penginderaan jauh aktif (Radar).
3. Perhitungan biomassa dengan teknologi penginderaan jauh bisa dilakukan
dengan cepat tanpa harus datang langsung ke lapangan (in situ).
4. Perhitungan biomassa dapat dilakukan dengan menggunakan citra ALOS
PALSAR dengan mode PLR (polarimetric).
180 Rohullah Ragajaya, dkk.
5. Metode POLSAR (Polarimetric Synthetic Apperture Radar) bisa digunakan
untuk melakukan perhitungan biomassa.
6. Jumlah nilai biomassa dapat didapatkan dengan menggunakan persamaan
matematis yang mengacu pada WCM (Water Cloud Model).
7. Nilai µ dan nilai biomassa berbanding terbalik. Semakin tinggi nilai µ jumlah
biomassa akan semakin kecil, sebaliknya semakin kecil nilai µ jumlah
biomassa akan semakin besar.
8. Hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding
untuk perhitungan biomassa dengan menggunakan metode atau cara-cara
yang lain.
DAFTAR REFERENSI
Askne Jan, et al. 2003. Multitemporal Repeat-Pass SAR Interferometry of Boreal Forests.
IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, vol.41, No.7.
Cloude, Shane.R. 2011. Biomass from Radar: From Backscatter to POLInSAR. AEL
Consultants. Scotland, UK.
Dandun Sutaryo. 2009. Perhitungan Biomassa. Bogor: Wetlands International Indonesia
Programme.
Freeman and Durden. 1998. A three-component scattering model for polarimetric SAR
data. IEEE Transactions Geoscience and Remote Sensing, vol.36, no.3.
Kumar, Shashi. 2009. Retrieval of Forest parameters from Envisat ASAR data for
biomass inventory in Dudhwa National Park, U.P., India. Thesis. International
Institute for geo-information Science and Earth Observation Enschede, The
Netherlands& Indian Institute of Remote Sensing.
Katmoko Ari, dkk. 2005. Klasifikasi Data Polarimetrik Radar Dengan Menggunakan
Metode Dekomposisi Cloude&Pottier. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh-LAPAN.
I. Hajnsek, E. Pottier, S.R. Cloude. 2003. Inversion of Surface Parameters From
Polarimetric SAR. IEEE Transactions on Geoscience And Remote Sensing. Vol.41,
No.4.
Jing-Yun fang, et al. 1998. Forest Biomass of China: An Estimate Based on the Biomass-
Volume Relationship. Ecological Applications, vol.8, issue 4.
Muukkonen,P. 2005. Estimating biomass for Boreal Forest using ASTER satellite data
combined with standwise forest inventory data. Remote Sensing of Environment.
Novresiandi, Dandy Aditya. 2011. Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di
Cekungan Bandung. Tugas Akhir. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
POLSARPRO v.4.0 Tutorial software. European Space Agency.
Rignot, Eric. 1998. Effect of Faraday Rotation on L-Band Interferometry and
Polarimetric Synthetic-Aperture Radar Data. Jet Propulsion Laboratory, California
Institute of Technology.
Riska, Ahsana. 2011. Pendugaan Biomassa Atas Permukaan Pada tegakan Pinus
Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m. Skripsi.
Bogor: Intitut Pertanian Bogor.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 181
Sandra Brown, Andrew J. R. Gillespie, Ariel E. Lugo. 1989. Biomass Estimation
Methods for Tropical Forests with Application to Forest Inventory Data. Forest
Science, vol.35, no.4.
Syarif, Risa D. 2011. Penyusunan Model Pendugaan dan Pemetaan Biomassa
Permukaan pada Tegakan Jati Menggunkan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m
dan 12,5 m. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
T. Mette, K.P. Papathanassiou, R. Zimmermann. Forest Biomass Estimation using
Polarimetrik SAR Interferometry. Germany: Institute for Radio Frecuency
Technology and Radar System.
T. Svoray, M. Shoshany. 2002. SAR-based estimation of areal aboveground biomass
(AAB) of herbaceous vegetation in the semi-arid zone: a modifiaction of the water-
cloud model. International Journal of Remote Sensing. Vol.23, No.19, 4089-4100.
BIOGRAFI PENULIS
Rohullah Ragajaya
Rohullah Ragajaaya dilahirkan pada tanggal 19 September
1989 di Kediri, Jawa Timur. Sekarang sudah menyelesaikam
kuliah dari ITB di jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika,
dan menunggu untuk wisuda bulan Oktober 2012 nanti. Saat
ini masih aktif membantu penelitian di Pusat Penginderaan
Jauh (Center for Remote Sensing) pada program studi
Teknik Geodesi dan Geomatika ITB.
Firman Hadi
Fiman Hadi dilahirkan di Bogor pada 21 Desember 1975. Memperoleh gelar
doktor dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung.
Beliau memperoleh gelar Sarjana di bidang biologi spesialisasi ekologi di
Universitas Padjajaran. Saat ini beliau aktif sebagi trainer pelatihan software
open source yang berhubungan dengan penginderaan jauh misalnya Radar.
Beliau juga masih aktif sebagai peneliti di bidang Environmental Remote Sensing
di Pusat Penginderaan Jauh (Center for Remote Sensing), Institut Teknologi
Bandung.
182 Rohullah Ragajaya, dkk.
Ketut Wikantika
Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17
Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK
hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali
pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada
tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah
menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi.
Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master
of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang
dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar
Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh
dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif
mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB,
dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB.
Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB
dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah
di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional
maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan
dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga
aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi
Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor
Indonesia.
183
Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi
untuk Pendugaan Stok Karbon
Muhammad Ilham, Firman Hadi, Ketut Wikantika
184 Muhammad Ilham, dkk.
Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok
Karbon
Muhammad Ilham
1, Firman Hadi
2, Ketut Wikantika
3
1,3Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung. 1,2,3
Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi
Bandung
Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.
Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam penelitian ini dilakukan pendugaan cadangan karbon dengan pendekatan
indeks vegetasi menggunakan Citra Satelit LANDSAT 5 TM yang mencakup
sebagian wilayah Jawa Barat, Indonesia. Citra satelit yang digunakan direkam
pada tangal 2 Juli 2005 dengan pengukuran data cadangan karbon yang
dilakukan dari bulan Juli 2008 – Agustus 2008. Cadangan karbon di dekati
dengan persamaan multiregresi persamaan linier dan exponential. Hasil
perhitungan dari persamaan linier berupa Y=102.135*WI-295.647*NDVI-23
dengan R-square adalah 0.78 dan hasil perhitungan persamaan exponential
berupa
Y = 0.192*( dengan nilai
korelasi (R2)-nya adalah 0.865. Hasil studi juga menunjukan bahwa dengan
mengkombinasikan beberapa variabel (multivariabel) indeks vegetasi dengan
persamaan linier, menghasilkan peningkatan nilai korelasi yang cukup signifikan
jika dibandingkan dengan pengestimasian cadangan cadangan karbon
menggunakan satu variabel indeks vegetasi.
Kata Kunci: Cadangan Karbon, Multiregresi, Indeks Vegetasi, LANDSAT 5
TM
Abstract
The research purpose is creating mathematical model to estimate the amount of
carbon stock. In this research, the estimation of carbon stock has been done with
regression method which involve vegetation index (as independent variable)
using LANDSAT 5 TM images as raw satellite data located in a part of West
Java, Indonesia. The satellite data was taken on July, 2, 2005 and the field data
of carbon stock (as sample) was collected on July 2008 – August 2008. The
amount of Carbon stock was approached by two methods of multiple regressions
which are linearly and exponentially.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 185
On linearly regression, the output is Y = 102.256(WI) -295.556(NDVI)-21.35
with R-square value of 0.78, and exponential regression, the output is Y = 0.192
* ( with R-square value of 0.82.
Study result, has shown that the combination of using more than one
independent variable (multiple regression) can create a better mathematic model
compared to just using only one independent variable (single regression). The
increasing R-square value, indicate this result.
Keywords: Carbon Stock, Multiple Regression, Vegetation Index, LANDSAT 5
TM
1. PENDAHULUAN
Dalam upaya menekan laju pemanasan Global, terdapat beberapa alternatif yang
bisa dilakukan. Salah satunya adalah mengoptimalkan fungsi ekosistem hutan
sebagai penyerap gas CO2.
Hutan berperan penting dalam menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya
dalam ekosistem hutan. Konversi lahan, deforestasi, degradasi hutan, dan
reforestasi dapat mengubah jenis penutupan lahan dan berkonskuensi mengubah
komposisi biomasa terestrial (Peichl dan Arain, 2007; Sierra et al., 2007).
Pendugaan cadangan karbon yang tersimpan pada suatu vegetasi, bisa dilakukan
melalui beberapa cara seperti pengukuran langsung di lapangan, dan metode
remote sensing. Walaupun pengukuran langsung di lapangan bisa memberikan
hasil yang lebih teliti, metode remote sensing dapat mencakup wilayah yang
lebih luas, dengan ketilitian yang cukup baik. Karena itu untuk keperluan praktis,
pendugaan cadangan karbon dengan metode remote sensing efektif dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model estimasi cadangan karbon
dengan pendekatan multiregresi indeks vegetasi dengan citra satelit LANDSAT 5
TM sebagai informasi awal bagi pemegang pengambil keputusan setempat
dalam kegiatan perdagangan karbon (carbon trading).
2. METODE PENELITIAN
Pendugaan cadangan karbon dilakukan dengan melakukan multiregresi antara
data stok karbon pengukuran lapangan dengan nilai index vegetasi yang didapat
dari pengukuran remote sensing. Terlebih dahulu dilakukan eliminasi nilai yang
dianggap sebagai outlier, dan berbagai koreksi pada data citra satelit. Kedua
proses tersebut bertujuan untuk mendapatkan hubungan index vegetasi dengan
cadangan karbon yang berkorelasi dengan baik.
Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 5 TM yang merupakan satelit
ke-5 dari program observasi bumi dari luar angkasa ( Earth Resources
Observation Satellites Program ) yang dilakukan NASA sejak tahun 1966.
186 Muhammad Ilham, dkk.
Landsat 5 TM diluncurkan pada 1 Maret, 1984, dengan tujuan utama membuat
arsip dari penampakan muka bumi secara menyeluruh. Satelit ini memiliki 7
band dengan resolusi spasial 30 meter (kecuali Band 6 yang memiliki resolusi
spasial 120 m).
Gambar 1. Metode Penelitian
3. STOK KARBON PENGUKURAN LAPANGAN
Stok karbon didefinisikan sebagai jumlah karbon absolut yang tersimpan dalam
biomassa pada waktu tertentu (IPCC, 2003) Mengukur stok karbon meliputi stok
karbon di atas tanah (Aboveground biomass ) dan karbon tanah. Perhitungan stok
karbon pada penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh sehingga
hanya dapat memantau stok karbon di atas tanah.
Pada dasarnya cadangan karbon diestimasi dari besarnya biomasa suatu pohon,
yaitu sebesar 46% dari jumlah biomassa (Hairiah dan Rahayu, 2007). Biomassa
pohon diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik sebagai berikut
(Brown, 1997) :
B = 0,118 D 2,53
(1)
di mana :
B = Biomassa di atas tanah (kg)
D = diameter batang setinggi dada (π)
π = 3.14155927
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 187
Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46% (Hairiah dan
Rahayu, 2007), oleh karena itu estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung
sebagai berikut:
Karbon tersimpan (C ton/ha) = Berat kering biomassa atau nekromassa (ton/ha) x 0,46
Dalam pendugaan cadangan karbon pada tegakan pohon, dibuat plot pengukuran
yang dibagi berdasarkan besarnya diameter pohon. Untuk pohon dengan diameter
> 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 20 x 100 m2 (disebut sebagai
plot besar), sementara untuk pohon dengan diameter 5 – 30 cm pengukuran
dilakukan pada plot berukuran 5 x 40 m2 yang terletak di dalam plot besar
(Gambar 2).
Gambar 2. Plotting Area (Sumber : Hairiah dan Rahayu , 2007)
Data cadangan karbon pengukuran lapangan diukur pada agustus 2008 oleh Pusat
Infrastruktur data Spasial (PIDS). Area penelitian dilakukan di beberapa provinsi
di Jawa Barat meliputi Ciwidey, Bandung, Sukabumi, and Banjaran seperti
ditunjukan pada gambar 3.
Gambar 3. Area Penelitian
188 Muhammad Ilham, dkk.
Table 1. Nilai Sampel Stok Karbon
No Land Use Lokasi Cadangan Karbon
di Atas Tanah (ton)
1 Hutan Ciwidey 221.09
2 Hutan Sukabumi (Situ Gunung) 272.84
3 Hutan Sukabumi (Gunung Salak) 537.11
4 Sektor Pertambangan Bandung 0.61
5 Perkebunan Ciwidey 84.08
6 Perkebunan Sukabumi 15.69
7 Ladang Ciwidey 0.37
8 Ladang Ciwidey 0.83
9 Ladang Ciwidey 1.74
10 Padang Rumput Sukabumi 9.92
11 Padang Rumput Sukabumi 3
12 Permukiman Sukabumi 31.64
13 Perkebunan Ciwidey 364.05
14 Sawah Banjaran 6.28
15 Sawah Sukabumi 2.73
16 Semak Belukar Bandung 6.88
17 Semak Belukar Sukabumi 2.54
18 Tanah Kosong Banjaran 2.14
3.1 Reduksi Outlier
Outlier adalah data pengamatan dengan nilai yang berada jauh dari pengamatan-
pengamatan yang lainnnya. Secara umum outliers dapat dikelompokan ke dalam
4 penyebab,yaitu :
1. Kesalahan prosedur
2. Kejadian diluar kebiasaan dengan penjelasan
3. Kejadian diluar kebiasaan tanpa penjelasan
4. Tidak diluar kebiasaan tapi dengan kombinasi yang unik
Outlier di evaluasi dengan cara Labeling Rule. Metode Labeling rule membatasi
data dalam 2 rentang yaitu Upper dan Lower, yang ditentukan dengan
perhitungan sebagai berikut (Tukey, J. W., 1977):
Upper = Q3+( Q3 – Q1 )*g
Lower = Q1-( Q3 – Q1 )*g
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 189
Dimana
Q1 = Percentile 75 dari data
Q3 = Percentile 25 dari data
g = 2.2
Gambar 4. Distribusi nilai sampel Stok Karbon
Dari persamaan (2), ditentukan batas Outlier berupa 264.348 ton. itu perlu
dilakukan eliminasi 3 data Outlier yaitu data stok karbon bernilai 272.84 ton,
537.11 ton, dan 364.05 ton.
3.2 Koreksi Geometrik
Kesalahan geometrik terjadi karena adanya kondisi tidak ideal pada sebuah
sensor ketika merekam objek dilapangan. Akibatnya ukuran, posisi dan bentuk
citra menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dibutuhkan
bantuan titik control tanah ( Ground Control Point ) sebagai titk sekutu (titik
yang diketaui koordinatnya pada sistem referensi yang juga teridentifikasi pada
citra) untuk melakukan proses transformasi koordinat pada citra Landsat 5 TM.
Proses transformasi ini akan menggunakan model transformasi affine-2D.
Transformasi Affline 2D digunakan sebagai persamaan matematika untuk
mentransformasikan nilai-nilai koordinat dari suatu sistem koordinat dua dimensi
ke sistem koordinat dua dimensi lainya. Pada penelitian ini digunakan datum
WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 bumi bagian selatan sebagai
sistem koordinat acuan.
190 Muhammad Ilham, dkk.
Titik GCP yang digunakan sebanyak 11 titik yang tersebar di sekeliling area
penelitian. Objek yang digunakan sebagai titik GCP adalah perpotongan jalan
dan perpotongan sungai. Setelah itu dihitung penyimpangan koordinat titik hasil
transformasi dengan koordinat titik pada peta atau citra referensi yang
direpresentasikan dengan harga standar deviasi untuk mengetahui tingkat
kepresisian hasil plot data-data GCP pada citra.
Untuk validasi ketelitian dari koreksi geometrik yang kita lakukan, dibutuhkan
titik Independent Check Point (ICP) yang diletakan secara merata didalam
kawasan cakupan GCP pada citra yang dikoresi. Titik ICP yang digunakan
sebanyak 6 titik. Objek yang digunakan sebagai titik GCP dan ICP adalah
perpotongan jalan dan perpotongan sungai. Tingkat ketelitian dari ICP dapat
ditentukan dengan menghitung nilai RMSEICP-nya.
Persamaan untuk perhitungan nilai standar deviasi ditunjukan pad persamaan
berikut:
√∑ ̂
(4)
√∑ ̂
(5)
√
(6)
Dari hasil koreksi geometrik didapatkan ketelitian GCP berupa 0.47 dan ICP
berupa 0.5 dimana nilai – nilai standar deviasi GCP dan RMSEICP yang
dihitung memenuhi kriteria koreksi geometrik, dimana secara umum nilai-nilai
tersebut harus lebih kecil dari 1 pixel (Purwadhi & Santojo, 2008), sehingga citra
yang digunakan dianggap sudah mewakili kondisi geometris wilayah penelitian.
3.3 Koreksi Radiometrik
Pada saat gelombang elegtromagnetik dari sebuah sensor melintasi atmosfer,
dapat terjadi beberapa fenomena yang menyebabkan gangguan pada proses
perekaman citra seperti hamburan dan serapan (dimana fenomena ini
menyebabkan citra tampak lebih cerah karena efek hamburan, dan lebih gelap
karena efek serapan). Kondisi ini menyebabkan nilai yang terekam oleh citra
satelit, bukan merupakan nilai sebenarnya (Sri Hartanti. 1994).
Oleh karena perbedaan informasi itu, harus dilakukan suatu koreksi yakni dengan
mengubah nilai digital setiap piksel (DN) ke nilai reflektan untuk setiap piksel
pada citra satelit agar dapat dibaca dengan jelas dan di-interpretasikan sesuai
kegunaan citra yang dipakai (Gao, 2009).
Koreksi radiometrik merubah nilai DN ke nilai reflektansi berdasarkan
persamaan berikut:
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 191
(7)
Dimana L adalah nilai radiansi setiap piksel dalam (W m-2
sr-1
m-1
), λ
adalah band spektral, DNMIN = 1, DNMAX = 255, LMIN dan LMAX
adalah nilai radiansi untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX. Dan DN
merupakan nilai digital untuk setiap piksel pada citra satelit. citra satelit. Nilai
radiansi diubah menjadi nilai reflektansi dengan persamaan berikut:
(8)
Dimana ρ adalah nilai reflektansi pada lapisan atas atmosfir untuk setiap piksel
pada citra, Lλ adalah nilai radiansi diperoleh dari persamaan 2.7, Esunλ adalah
konstanta radiansi exoatmosferik matahari, θs adalah sudut zenith matahari
dalam derajat, π sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit
astronomi (UA).
3.4 Eliminasi daerah Laut
Salah satu sumber error dari proses pengolahan citra satelit adalah adanya daerah
lautan pada citra. Hal ini menyebabkan eror dikarenakan nilai digital number
yang ada pada daerah yang di tutupi oleh laut menjadi sangat rendah, dimana
nilai digital number ini tidak dibutuhkan karena penelitian terfokus di daerah
daratan. Karena itu perlu dilakukan proses penghilangan daerah laut dengan cara
dijitasi daerah yang diliputi laut sehingga hanya menyisakan daerah daratan.
Gambar 5. Eliminasi daerah Laut; (a) Daerah laut di-ikutsertakan pada Landsat 5-TM
(b) Citra Landsat-5 TM tanpa daerah laut
a b
192 Muhammad Ilham, dkk.
Eliminasi daerah laut juga diperlukan untuk kepentingan koreksi radiometrik
dimana pada proses tersebut, menggunakan informasi nilai DN pada
perhitunganya. Jika daerah laut diikutsertakan, menyebabkan adanya nilai DN
yang terlalu rendah sehingga hasil yang didapatkan tidak mencapai tingkat
akurasi yang baik.
3.5 Vegetation Index
Indeks Vegetasi merupakan proses pengolahan citra satelit dengan
mengkombinasikan dua atau lebih band spectral, sehingga mampu
menggambarkan kondisi vegetasi di wilayah tersebut.
Suatu Vegtasi dikatakan subur, jika mengandung clorophil (Zat hijau daun)
dalam jumlah besar sehingga aktif berfotosintesis atau dengan kata lain, aktif
menyerap karbon. Sebuah satelit remote sensing, bisa mendeteksi seberapa
optimal suatu tumbuhan menyerap karbon, dikarenakan adanya perbedaan
karakteristik suatu tumbuhan dalam menyerap dan memantulkan spectrum
gelombang tertentu (NIR dan RED) pada gelombang yang dipancarkan oleh
sensor satelit.
Ada 5 pendekatan index vegetasi yang digunakan dalam pendekatan perhitungan
cadangan karbon yaitu : Simple Ratio (SR), Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), Modified Soil Adjusted
Vegetation Index 2 (MSAVI 2), Green Vegetation Index (GVI).
3.6 Water Band Index
Water Band Index adalah Index yang menggambarkan kadar air pada suatu
wilayah. Water Index digunakan dalam penelitian ini, untuk mengakomodasi
pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu tumbuhan terhadap citra yang
terekam. Jumlah air yang meningkat secara drastis menyerap gelombang NIR
dan MID Infrared yang mengakibatkan citra tampak lebih gelap (Environmental
Protection Agency). Water Index digunakan untuk mengakomodasi pengaruh
kadar air yang terdapat pada suatu vegetasi, terhadap citra yang terekam. Aspek
ini menjadi penting karena semakin tinggi kadar air pada suatu vegetasi,
mengindikasikan kondisi vegetasi yang lebih sehat (Penuelas, Serrano, & R.Save,
1995).
Digunakan 2 pendekatan water band index pada perhitungan cadangan karbon
yaitu : Water Index (WI), dan Normalized Difference Water Index (NDWI).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 193
Table 3 Persamaan Index Vegetasi
Vegetation
Index Persamaan Referensi
SR (Band 4/Band 3) Tucker, 1979
NDVI (Band 4-Band 3)/(Band 4+Band 3) Tucker, 1979
SAVI 1.5(Band 4-Band 3)/(Band 4+Band 3+0.5) Qi et al., 1994
Msavi-2 (2Band4+1-[(2Band3+1)2-8(Band4-Band3)]
0.5)/2 Qi et al., 1994
GVI
-(0.2848b1)-(0.2435b2)-(0.5436b3)+(0.7243b4)
+(0.0084b5)-(0.1800b7)
Kauth and
Thomas (1976)
WI (Band 4/Band 5) Serrano et all,
2000
NDWI (Band 4-Band 5)/(Band 4+Band 5) Serrano et all,
2000
a b
c d
194 Muhammad Ilham, dkk.
Gambar 6 Visualisasi Indeks Vegetasi; (a) SR; (b) NDVI; (c) SAVI; (d) MSAVI-2; (e)
GVI; (f) WI; (g) NDWI
3.7 Multiregresi
Analisis regresi merupakan analisis yang mempelajari bagaimana membangun
sebuah model fungsional dari data untuk dapat menjelaskan ataupun meramalkan
suatu fenomena alami atas dasar fenomena yang lain (Soemartini, 2007).
Regresi digunakan untuk memodelkan hubungan antara variable terikat
(Dependent Variabel) dengan variabel bebas (Independent Variabel). Variabel
bebas (atau variabel tidak bergantung atau independent atau predictor atau X)
merupakan variabel yang berubah-ubah tanpa adanya pengaruh variabel atau
variabel-variabel yang lain.
Ada tujuh variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu indeks
vegetasi SR, NDVI, SAVI, MSAVI-2, GVI, WI, dan NDWI. Sedangkan sebagai
variabel terikat dugunakan data Stok karbon hasil pengukuran langsung di
lapangan.
e f
g
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 195
Hubungan linear lebih dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan
linear ditunjukan pada persamaan berikut:
Y = a + b1x1 + b2x2 ……bnxn (9)
Y = e(b0 + b1*X1+
b2*X2+... + bn*Xn)
(10)
Dimana :
x, x1, x2……..xk = variabel-variabel
a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel
Untuk keperluan evaluasi seberapa baik korelasi antara variabel-variabel yang
digunakan, dihitung koefisien determinasi (R-square atau R2). Nilai R
2 memiliki
rentang dari 0 sampai 1. Semakin mendekati 1 nilai sebuah R2 dari model
matematika hasil perhitungan regresi, semakin baik kualitas model tersebut. R2
bernilai 0 artinya variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan untuk
persamaan regresi tidak saling berkorelasi. Pada persamaan (11) ditunjukan
persamaan umum perhitungan nilai R2 adalah (Anto, Dajan, 1991):
R2 =
1 1 2 2
2
b x y b x y
y
(11)
Dimana :
x, x1, x2……..xk = variabel-variabel
a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel
3.7.1 Multiregresi linear
Multiregresi linear dilakukan dengan metode Stepwise dimana metode ini
menghasilkan kombinasi terbaik dari variabel-variabel bebas (Indeks Vegetasi)
yang akan digunakan. Regresi Stepwise adalah salah satu metode untuk
mendapatkan model terbaik dari sebuah analisis regresi. Metode regresi Stepwise
secara langsung men-seleksi variabel-variabel dengan kombinasi terbaik untuk
dijadikan model matematika. Tabel 4 menunjukan hasil dari proses multiregresi
linear dengan metode stepwise.
Table 4 Output dari regresi Stepwise
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .770a 0.593 0.562 38.46
2 .883b 0.78 0.743 29.44
a. Predictors: (Constant), wi
b. Predictors: (Constant), wi, ndvi
196 Muhammad Ilham, dkk.
3.7.2 Multiregresi Exponensial
Pada pendekatan multiregresi eksponential, pemilihan variabel bebas berdasarkan
pada tiga indeks vegetasi dengan koefisien determinasi hubungan regresi
exponential tunggal yang terbesar seperti ditunjukan pada tabel 5.
Table 5. R-square regresi eksponensial tunggal
No Variabel R-square (single exponential regression)
1 SR 0.426
2 NDVI 0.301
3 SAVI 0.285
4 Msavi-2 0.367
5 GVI 0.351
6 WI 0.514
7 NDWI 0.458
Berdasarkan tabel 5, dipilih index vegetasi SR, WI, dan NDWI sebagai variabel
bebas untuk dilakukan proses Multiregresi Eksponensial
4. HASIL DAN ANALISIS
Hasil penelitian tugas akhir ini berupa 2 model matematika pendugaan stok
karbon sebagai berikut:
Table 6 Model Matematika Pendugaan Stok Karbon
Model Persamaan Variabel
bebas R
2
I y = 102.135 WI -295.647 NDVI -23.072 2 0.78
II y = 0.192 * ( 3 0.865
Model matematika I merupakan model yang dibentuk dari persamaan
multiregresi linear menggunakan metode stepwise dengan indeks vegetasi WI
dan NDVI. Model matematika II merupakan model yang dibentuk dari
persamaan multiregresi exponential indeks vegetasi SR, WI, dan NDVI yang
dipilih berdasarkan besarnya nilai korelasi hubungan exponential-nya terhadap
data stok karbon pengamatan lapangan.
Pengujian persamaan regresi dilakukan dengan menghitung nilai estimasi stok
karbon dari model matematika yang dihasilkan dan dihitung nilai RMSe-nya
dengan membandingkan terhadap stok karbon hasil pengukuran lapangan. Tabel
8 menunjukan nilai RMSe tiap-tiap model, dimana nilai RMSe tersebut bisa
dijadikan parameter ketelitian dari model matematika yang dihasilkan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 197
Table 7 Pengujian Model Matematika Pendugaan Stok Karbon
No Stok Karbon
(ton)
Nilai Prediksi dari Model I
(ton)
Nilai Prediksi dari Model II
(ton)
1 221.09 192.42 219.31
2 15.69 22.09 2.38
3 0.83 7.10 4.59
4 1.74 -11.36 2.69
5 9.92 21.31 3.41
6 3 6.93 2.14
7 31.64 35.62 8.99
8 6.28 0.78 4.06
9 2.73 8.57 1.78
10 2.54 9.52 13.42
11 2.14 1.70 1.78
Table 8 Model RMSE
Model RMSe R-square
I 36.72 0.78
II 17.38 0.865
Dari nilai RMSe pada tabel 8, menunjukan bahwa Model II yang dihitung
berdasarkan persamaan multiregresi eksponensial, memiliki nilai R2
yang
lebih besar dengan nilai RMSe yang lebih kecil dibandingkan Model I.
Hal ini menunjukan bahwa Model II, memiliki tingkat akurasi yang lebih
baik dalam pendugaan stok karbon.
5. KESIMPULAN
1. Pada regresi linear tunggal, Index vegetasi yang paling mendekati untuk
mengestimasi cadangan karbon adalah Water Index dengan nilai R2 =
0.59
2. Kombinasi dari berbagai index vegetasi untuk membentuk suatu persamaan
multiregresi dapat meningkatkan tingkat korelasi.
3. Water Index memiliki pengaruh yang cukup besar pada pendugaan stok
karbon
4. Persamaan linier yang bisa digunakan untuk mengestimasi cadangan karbon
adalah dengan menggunakan index vegetasi NDVI dan WI yaitu Cadangan
Karbon = 102.135 WI -295.647 NDVI -23.072 dengan R2 =0.78
5. Persamaan ekspoensial yang bisa digunakan untuk mengestimasi cadangan
karbon adalah menggunakan index vegetasi SR, WI, dan NDWI yaitu :
Cadangan Karbon = 0.192 * (
dengan nilai R2 =
0.865.
198 Muhammad Ilham, dkk.
DAFTAR REFERENSI
Asner, G. P. (2009). Measuring Carbon Emissions from Tropical Deforestation : An
Overview. Environmental Defense Fund , 4.
Baral, S. (2011). Mapping Carbon Stock Using High Resolution Satellite Images in
Subtropical Forest of Nepal. Enschede, The Netherlands.
Environmental Protection Agency . (Queensland). Water Body Mapping Using the
Normalised Difference Water Index (NDWI). Queensland Government.
Environmental Protection Agency, U. S. (2007). Frequently Asked Question about global
warming and climate change : Back to Basic. The Intergovernmental Panel on
Climate Change's (IPCC) Fourth Assessment Report, (p. 2).
Fardani, I. (2012). Pendugaan Cadangan Karbon dengan Multivariabel Index Vegetasi
dari Citra Satelit ALOS AVNIR -2 ( Studi Kasus : Taman Nasional Merubetiri,
Jawa Timur ). Bandung: ITB.
Gao, B. (1995). Normalized Difference Water Index for Remote Sensing of Vegetation
Liquid Water from Spaceuvyg. Proceedings of SPIE 2480 , 225-236.
IPCC, I. P. (2003). Expert Meeting Report. Science Statement on Current Scientific
Understanding of the Processes Affecting Terrestrial Carbon Stocks and Human
Influences upon Them (p. 19). Geneva: IPCC.
Krisnawati, H., & Imanudin, R. (2011). Carbon stock estimation of aboveground pool
based on forest inventory (permanent sample plot) data: a case study in peat swamp
forest in Jambi. Bogor, Indonesia: Research and Development Centre for
Conservation and Rehabilitation, Forestry Research and Development Agency
(FORDA).
Kurniawan, D. Y. (2011). Potensi Simpanan Karbon Hutan Tanaman Jati. Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan , 151.
Lillesand, T. M., & Kiefer, R. W. (1997). Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra.
terjemahan Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Mason, Anthony K. (1996). Cost Estimation Predictive Modelling (Regression versus
Neurak Network) : The Engineering Economist
Penuelas, J. F., Serrano, C. B., & R.Save. (1995). The Reflectance at the 950-970 Region
as an Indicator of Plant Water Status. International Journal of Remote Sensing ,
1887-1905.
Pusat Infrastruktur Data Spasial. (2008). Pembuatan Peta Untuk Provinsi Jawa Barat.
Bandung: Kementerian Lingkungan Hidup dan ITB.
Soedomo, A. S., & Sudarman. (2004). Sistem dan Transformasi Koordinat. Bandung:
Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut
Teknologi Bandung.
Solomon, S. D. (2007). Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge
University Press.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 199
Subekti Rahayu, B. L. Pendugaan Cadangan Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada
Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Cadangan Karbon di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur: Monitoring Secara
Spasial dan Pemodelan .
Sulistyawati, E., Ulumuddin, Y. I., Hakim, D. M., Harto, A. B., & Ramdhan, M. (2006).
Estimation of Carbon Stock at Landscape Level using Remote Sensing : a Case
Study in Mount Papandayan. Environmental Technology and Management
Conference . Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Tukey, J. (1977). Exploratory Data Analysis. Reading: Addison-Wesley.
BIOGRAFI PENULIS
Muhammad lham
Lahir di Jakarta, 4 Desember 1988, Muhammad Ilham
menyelsaikan pendidikan terakhir di tingkat perguruan
tinggi pada oktober 2012 di Institut Teknologi Bandung
jurusan teknik Geodesi dan Geomatika. Sebagai mahasiswa,
penulis memiliki skill dan pengalaman untuk melakukan
pengolahan data citra Remote Sensing. Saat ini, penulis
terlibat dalam penelitian terkait kandungan cadangan
karbon yang tersimpan pada biomasa tumbuhan.
Firman Hadi
Fiman Hadi dilahirkan di Bogor pada 21 Desember 1975. Memperoleh gelar
doktor dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung.
Beliau memperoleh gelar Sarjana di bidang biologi spesialisasi ekologi di
Universitas Padjajaran. Saat ini beliau aktif sebagi trainer pelatihan software
open source yang berhubungan dengan penginderaan jauh misalnya Radar.
Beliau juga masih aktif sebagai peneliti di Pusat Penginderaan Jauh (Center for
Remote Sensing) Institut Teknologi Bandung.
Ketut Wikantika
Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17
Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK
hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali
pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada
tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah
menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi.
Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master
of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang
dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar
Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh
200 Muhammad Ilham, dkk.
dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif
mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB,
dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB.
Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB
dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah
di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional
maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan
dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga
aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi
Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor
Indonesia.
201