Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
description
Transcript of Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
ISBN 978-602-19911-3-8
Bunga Rampai
Penginderaan Jauh Indonesia
2013
Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132
ISBN 978-602-19911-3-8
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh,
Institut Teknologi Bandung
Gedung Labtek IX-C, lt. 3
Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132
http://crs.itb.ac.id
email: [email protected]
Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Yayusman
Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil, Nur Fajar Trihantoro
Cetakan Pertama : April 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 ii
Kata Pengantar
Indonesia telah banyak dihadapkan dengan berbagai bencana alam,
kependudukan, sosial-ekonomi, dan berbagai masalah lain yang sesungguhnya
secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan lingkungan. Berbagai
penelitian dari banyak cabang ilmu pengetahuan dan teknologi telah dikerahkan
dalam rangka mengatasi isu-isu tersebut. Salah satu upaya yang sangat vital ialah
pendekatan dari segi informasi geospasial yang cepat dan akurat untuk membantu
dalam proses perencanaan pembangunan, monitoring, dan pengambilan
keputusan.
Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi berbasis geospasial dengan
keunggulan yang dapat memberi informasi mengenai gambaran di permukaan
bumi. Teknologi ini telah cukup dikenal dengan kemampuan yang dapat
memudahkan manusia untuk dapat melakukan analisis spasial terhadap fenomena
yang terjadi pada lingkungan sekitar.
Buku berjudul “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013” ini ditujukan
sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penginderaan
jauh. Beragam karya ilmiah mengenai aplikasi dalam berbagai bidang baik
lingkungan, pertanian, perikanan, dan bencana alam menjadi bagian dalam buku
ini.
Harapan redaksi agar buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun sumber pengetahuan baru di bidang penginderaan jauh.
Partisispasi dari para peneliti dan penulis lain juga terus dinantikan agar semakin
banyak inovasi dan penyampaian ilmu pengetahuan mengenai penginderaan jauh
di masa yang akan datang.
Tim Redaksi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 iv
Daftar Isi
Kata Pengantar ....................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia Berdasarkan Data
Satelit TRMM (1998-2011) ................................................................................... 1
Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dalam
Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah Hujan Coupled
Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data
Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan .............................. 23
Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano, Mahalano, dan
Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM ....................................................... 37
Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi PRONA dengan
Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra Landsat-TM dan Aster ..................... 63
Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat TM/ETM+
Multi-temporal (2000-2009) ................................................................................ 81
Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta Topografi .............. 96
Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 Berbasis Fuzzy Logic ...... 114
Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat
Menggunakan Data SAR ................................................................................... 137
Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis Sistem
Informasi Geografis (SIG) ................................................................................. 154
1
Karakteristik Pola Curah Hujan di
Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit
TRMM (1998-2011)
Parwati Sofan
2 Parwati Sofan.
Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia
Berdasarkan Data Satelit TRMM (1998-2011)
Parwati Sofan
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Jl. LAPAN No.70 Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710
E-mail: [email protected]
Abstrak
Karakteristik utama dari variabilitas curah hujan Indonesia pada skala tahunan
didominasi oleh monsun Asia-Australia (AA). Pada skala waktu tahunan,
distribusi curah hujan bergerak sejalan dengan zona suhu musiman maksimum.
Dalam tulisan ini, beberapa karakteristik hujan di Indonesia dianalisis
menggunakan data curah hujan berdasarkan data satelit Tropical Rainfall
Measuring Mission (TRMM) periode 1998 - 2011 pada resolusi 0.25 x 0.25.
Secara spasial nilai rata-rata curah hujan setiap pixel diinterpolasi dengan metode
Inverse Distance Weighted (IDW). Selanjutnya dilakukan pengkelasan curah
hujan berdasarkan acuan BMKG sehingga diperoleh wilayah-wilayah di
Indonesia yang memiliki Intensitas curah hujan sangat tinggi, tinggi, menengah,
dan rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa curah hujan sangat tinggi (> 401
mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua
Barat. Curah hujan kategori tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian
wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu),
Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan)
terdapat di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah
Indonesia termasuk dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan).
Selain itu juga dilakukan pengkelasan pola hujan (Monsun, Ekuatorial, Lokal)
terhadap 32 provinsi di Indonesia, dimana pola hujan monsun memiliki hujan
maksimum pada periode Desember-Januari-Februari (DJF), sedangkan pola hujan
ekuatorial memiliki puncak hujan pada bulan Maret dan Oktober, dan pola hujan
lokal memiliki hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA). Hasil
korelasi data TRMM dengan data curah hujan BMKG (r 0.8) menunjukkan
bahwa data TRMM mampu dengan baik merepresentasikan kondisi curah hujan
di wilayah Indonesia.
Kata Kunci: TRMM, klasifikasi curah hujan, pola hujan, analisis korelasi
Abstract
The most striking characteristic of the Indonesian rainfall variability at the
annual scale is dominated by the Asian-Australian (AA) monsoon. On the yearly
time scale, the rainfall moves in association with the zone of maximum seasonal
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 3
temperatures. In this paper, some characteristics of monsoon over Indonesia are
investigated using the spaced-based rainfall data of the Tropical Rainfall
Measuring Mission (TRMM) for the period 1998 – 2011 at a 0.25 x 0.25 resolution. The Inverse Distance Weighted (IDW) method was used to interpolate
the rainfall in each pixel. Further more, we used the BMKG classification to
clasify the monthly average of rainfall using spasial analysis in Indonesia. The
result shows that the very high rainfall class (> 401 mm/month) occurs in Central
Papua, East Papua, West Papua. The high rainfall class (301-400 mm/month)
occurs in Central Kalimantan, West Kalimantan, South Sulawesi (Luwu), West
Sumatera, and North Sumatera. The low rainfall class (0-100 mm/month) occurs
in Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. The rest of Indonesia region exist in the
middle rainfall class (101 – 300 mm/month). We also clasify the type of rainfall
pattern (Monsun, Equatorial, Local) for 32 provinces in Indonesia. The
monsun type has maximum rainfall in Desember-Januari-Februari (DJF)
period, while the equatorial type has rainfall peak in March and October. The
local type has maximum rainfall in Juni-Juli-Agustus (JJA) period. The
correlation between rainfall from TRMM and rain gauge stations in Indonesia
show good correlation ((r 0.8). It shows that the TRMM data can represent the
local rainfall condition in Indonesia.
Keywords: TRMM, rainfall classification, rainfall type, correlation analysis.
1. PENDAHULUAN
Intertropical Convergence Zone (ITCZ) merupakan zona tekanan rendah yang
berada di dekat ekuator dimana dua angin pasat yang berasal dari belahan bumi
utara dan selatan berkonvergensi. Pada zona ini terjadi peningkatan konveksi,
keawanan dan presipitasi yang membentuk sirkulasi meridional Hadley. Interaksi
antara darat dan laut menyebabkan adanya zonasi pemanasan yang
memutarbalikkan sirkulasi barat-timur atau dikenal sebagai sirkulasi Walker
dimana udara diangkat naik oleh adanya pemanasan di suatu lintang dan
dialihkan ke lintang yang lain. Tiga wilayah yang menjadi pusat konvergensi dari
sirkulasi Walker berada di Indonesia, Afrika Tengah dan Daratan Amazon.
Dalam analisis iklim global, stuktur, posisi, dan migrasi ITCZ sangat penting
diketahui, sedangkan dalam skala lokal iklim suatu wilayah dapat dianalisis
berdasarkan interaksi antara udara dan laut (Waliser dan Gautier, 1933; Zhang,
1993, Roswintiarti, 199).
Kondisi iklim di Indonesia pada skala waktu tahunan mengikuti pergerakan ITCZ
yang bergerak berdasarkan zona suhu maksimum pada suatu musim. ITCZ akan
mencapai posisi terjauh di selatan pada periode Januari-Februari, kemudian
bergerak ke utara pada Maret-April dan Mei-Juni, dan mencapai posisi terjauh di
utara pada periode Juli-Agustus. Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ke
selatan pada periode September-Oktober dan November-Desember. Pergerakan
ITCZ lebih dominan melewati wilayah daratan termasuk wilayah Indonesia pada
4 Parwati Sofan.
saat bergerak dari Samudera Hindia menuju Laut Pasifik Barat, dan dominan
melewati lautan dari Laut Pasifik sebelah timur hingga Laut Atlantik (Hastenrath,
1990). Pergerakan posisi ITCZ ini jelas sangat berpengaruh terhadap kondisi
curah hujan di Indonesia.
Selain ITCZ, karakteristik dan variabilitas curah hujan di Indonesia secara
tahunan juga dipengaruhi oleh Asian-Australian (AA) monsoon. AA monsoon
merupakan kunci utama dari sistem iklim bumi yang berpengaruh terhadap
kehidupan manusia lebih dari 60% populasi di wilayah tropic (Word Bank Atlas,
2003). Monsoon pada saat winter (northeast monsoon) umumnya bersirkulasi
mulai dari bulan November hingga Februari yang ditandai dengan pergerakan
angin pasat utara melewati Pasifik Barat dan Asia Tenggara mulai dari lintang
20N menuju ke ekuator. Selanjutnya menuju ke selatan melewati ekuator
melalui Pulau Jawa, Australia bagian utara dan Pasifik bagian barat daya. Pada
periode monsoon ini, pemanasan utama terdapat di Australia bagian utara dan
Pasifik barat di ekuator, sedangkan sumber pendinginan berpusat di daratan Asia.
Hujan lebat yang berasosiasi dengan pelepasan panas hasil kondensasi berada
diantara lintang 5S dan 15S mulai dari Samudera Hindia hingga Laut Pasifik
bagian barat (Gambar 1 sebelah kanan). Sementara itu, pada monsoon summer
(southwest monsoon) umumnya terjadi pada periode Juni hingga September
ketika angin pasat bergerak dari Samudera Hindia menuju Asia. Sumber
pemanasan utama terdapat di Daratan Tibet, sedangkan sumber pendinginan
terletak di Samudera Hindia bagian selatan. Hujan lebat terjadi di wilayah India
dan negara tetangga di sekitarnya, serta di China bagian selatan dan tengah.
Meskipun demikian sumber uap air berasal dari wilayah ekuator di Indonesia
(Gambar 1 sebelah kiri).
Gambar 1. Sirkulasi AA Monsoon pada saat musim northeast moonson (kanan) dan
southwest monsoon (kiri) (Sumber: Geogonline G3a Climatic hazard. 2013, 2013)
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pentingnya kita memiliki
informasi iklim di wilayah Indonesia yang terkait dengan siklus AA Monsoon
dan zona konvergensi ITCZ. Penyediaan informasi iklim tidak hanya berdasarkan
hasil pengukuran di stasiun iklim, namun kini telah berkembang pesat melalui
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 5
satelit penginderaan jauh. Melalui kapasitasnya yang mampu meliput wilayah
yang luas dalam periode yang panjang, data satelit mampu mengestimasi
konveksi di wilayah tropis. Kini estimasi hujan bukan hanya berdasarkan
kapabilitas spektrum radiasi inframerah dan radiasi sinar tampak, namun
diintegrasikan dengan sensor microwave yang mampu mengestimasi kadar uap
air dalam awan dan intensitas curah hujan. Pada tanggal 28 November 1997
Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) telah diluncurkan pada
pada ketinggian 403 km, dan dapat memantau dan mempelajari curah hujan di
wilayah tropik (50LU – 50LS) sebanyak 16 kali sehari setiap 92.5 menit
(Gambar 2). TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan Japan
Aerospace Exploration Agency (JAXA). Jenis sensor TRMM dapat dilihat pada
Tabel 1.
Gambar 2. Karakteristik sensor-sensor yang dibawa satelit TRMM
(Sumber : trmm.gsfc.nasa.gov)
Data TRMM tersedia dalam berbagai produk dengan resolusi spasial dan
temporal yang berbeda-beda. Masing-masing produk dihasilkan dari sensor
berbeda. Contoh beberapa produk data TRMM dapat dilihat pada Tabel 2. Produk
data TRMM dapat diakses melalui website Goddard Space Flight Center NASA
(GSFC NASA) di http://trmm.gsfc.nasa.gov serta website Earth Observation
Research Center JAXA (EORC) di http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm.
6 Parwati Sofan.
Berbagai penelitian, validasi, serta aplikasi data TRMM telah banyak dilakukan
(Mori et al. 2004, Wolff et al. 2005, Ichikawa and Yasunari 2006).
Tabel 1. Jenis sensor TRMM
Jenis Sensor Resolusi
spasial
Lebar
sapuan Kemampuan
Precipitation Radar (PR) 5 km 247 km menyediakan profil vertikal
hujan/salju dari permukaan
hingga ketinggian 20 km
mendeteksi intensitas hujan
ringan (sampai 0.7mm/jam)
mendeteksi intensitas hujan
lebat
TRMM Microwave
Imager (TMI)
5.1 km 878 km menghitung kandungan uap air
dalam atmosfer dan awan
menghitung intensitas curah
hujan
Visible and Infrared
Scanner (VISR)
2 km 720 km Mengetahui kondisi keawanan
Lightning Imaging
Sensor (LIS)
4 km 600 km Mengetahui penyebaran dan
variabilitas awan
Cloud and Earth Radiant
Energy Sensor (CERES)
25 km seluruh
bumi
Mengetahui penyebaran dan
variabilitas awan
Produk data TRMM setiap 3 jam adalah TRMM 3B42. Data TRMM 3B42 ini
merupakan hasil kombinasi data estimasi curah hujan dari satelit TRMM dan dari
satelit lain baik dengan sensor microwave maupun inframerah. TRMM 3B42
memberikan informasi setiap 3 jam dengan arsip data sejak 01-01-1998. Cakupan
wilayah datanya meliputi Latitude: 50°S - 50°N; Longitude:180°W - 180°E,
dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°; dan jumlah pixel baris = 400, pixel kolom
= 1440. Contoh data dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Produk TRMM 3B42 pada 20-03-2012 jam 21.00 UTC (Sumber :
trmm.gsfc.nasa.gov)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 7
Tabel 2. Contoh produk data TRMM yang tersedia
Jenis Deskripsi Resolusi
Periode Spasial Temporal
3A11 Khusus curah hujan di atas
lautan, diperoleh dari sensor
PR.
5.0 x 5.0 bulanan Desember
1997 -
sekarang
3A25 Curah hujan di atas daratan
dan lautan, diperoleh dari
sensor PR.
5.0 x 5.0
dan
0.5 x 0.5
bulanan Desember
1997 -
sekarang
3A26 Curah hujan di atas daratan
dan lautan, diperoleh dari
sensor PR.
5.0 x 5.0 bulanan Desember
1997 -
sekarang
3A31 Curah hujan di atas daratan
dan lautan, diperoleh dari
sensor PR dan TMI.
5.0 x 5.0 bulanan Desember
1997 -
sekarang
3A46 Curah hujan di atas daratan
dan lautan, diperoleh dari
sensor SSM/I*.
1.0 x 1.0 bulanan Januari 1998
-sekarang
3B42 Curah hujan di atas daratan
dan lautan, diperoleh dari
sensor-sensor TRMM dan
lainnya (SSM/I, AMSR-E**
,
AMSU-B***
).
0.25 x
0.25
setiap 3 jam Desember
1997 -
sekarang
3B46 Curah hujan di atas daratan
dan lautan, diperoleh dari
gabungan data 3B42 dan
raingauge.
0.25 x
0.25
setiap 3 jam Januari 1998
- sekarang
*SSM/I: Special Sensor Microwave Imager (satelit Defense Meteorological Satellite
Program) **
AMSR-E: Advanced Microwave Scanning Radiometer - Earth Observing System
(satelit Aqua) ***
AMSU-B: Advanced Microwave Sounding Unit – B (satelit NOAA)
Produk data TRMM bulanan yang telah dikalibrasi dengan data curah hujan
global dari stasiun pengukur curah hujan adalah TRMM 3B43. Data TRMM
3B43 merupakan kombinasi antara data estimasi curah hujan dari satelit TRMM
dan curah hujan dari satelit lain, serta data curah hujan global dari stasiun
pengukur hujan (CAMS global data). Data TRMM diproduksi oleh NOAA
Climate Prediction Center, sedangkan data curah hujan global dari stasiun
pengukur hujan diproduksi oleh Global Precipitation Climatology Center (GPCC).
Saat ini data TRMM 3B43 tersedia sejak 01-01-1998 hingga Juni 2011, tim
NOAA CPC sedang melakukan kalibrasi terhadap data TRMM 3B43 untuk
memperbaiki tingkat akurasi. Cakupan TRMM 3B43 meliputi wilayah Lintang:
50°S - 50°N; Bujur:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°dan
jumlah pixel baris = 400, pixel kolom = 1440. Verifikasi data TRMM 3B43 di
Indonesia telah dilakukan oleh Roswintiarti et al, 2009; 2010 yang menunjukkan
8 Parwati Sofan.
bahwa ada korelasi yang cukup tinggi (r > 0.8) antara data curah hujan TRMM
dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan di beberapa wilayah di
Indonesia yaitu Jawa Barat (Indramayu, Bandung), Bali, Palangkaraya, dan
Maros (Sulawesi Selatan).
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik spasial dan temporal curah
hujan berdasarkan data TRMM di wilayah di Indonesia- terkait dengan AA
Monsoon dan ITCZ dalam kurun waktu 14 tahun (1998-2011).
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan adalah data TRMM versi 3B43.6 yang mempunyai resolusi
spasial 0.25 x 0.25 dan resolusi temporal bulanan selama 1998 – 2011 (198
bulan). Lokasi studi berada pada wilayah 92.50E – 141.25E; 8.00N – 12.0S
dengan dimensi pixel 80 x 195 setiap 0.25 derajat (Gambar 4).
Gambar 4. Studi area penelitian
Analisis statistik yang dilakukan adalah nilai rata-rata curah hujan jangka panjang
dan musiman (x), standard deviasi (s), nilai rata-rata musiman, dan trend curah
hujan di wilayah daratan dan lautan secara regional dan lokal. Jumlah data yang
digunakan (n) adalah 198 bulan. Berikut adalah formula rata-rata (mean) dan
standar deviasi (Steel and Torrie, 1993) yang dikalkulasi untuk setiap grid data
spasial yang terdiri dari 80 baris dan 195 kolom pixel.
(1)
(2)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 9
Selanjutnya pada analisis spasial dilakukan interpolasi terhadap nilai rata-rata
bulanan dengan menggunakan metode Inverse Distance Weighted (IDW) yang
mengestimasi nilai suatu sel dengan analisis rata-rata terhadap nilai titik sample
tetangga terdekat di setiap sel. Rumus umum IDW adalah sebagai berikut
(Bonham-Carter, 1994).
(3)
dimana z0 merupakan nilai yang diduga dan zi merupakan sekumpulan nilai
penduga. Nilai pembobot dalam teknik IDW umumnya dihitung dengan rumus
umum berikut:
(4)
dimana di0 merupakan jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga.
Pembobotan nilai dengan melibatkan kuadrat jarak bukanlah ketetapan yang
mutlak. Beberapa varian dari penetapan nilai pembobot ini antara lain dengan
teknik eksponensial dan teknik decay. Interpolasi IDW tersedia baik pada
perangkat lunak ArcView maupun ArcGIS (Trisasongko et al, 2008).
Ekstraksi nilai curah hujan rata-rata juga dilakukan berdasarkan batas
administrasi yang bersumber dari hasil pemetaan Bakosurtanal tahun 2000,
dimana Indonesia dibagi menjadi 32 provinsi. Hasil ekstraksi diplot dalam grafik
untuk melihat pola hujan pada masing-masing provinsi di Indonesia.
Analisis timeseries dan korelasi dilakukan terhadap data TRMM dengan data
curah hujan dari stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG). Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
data TRMM dapat merepresentasikan nilai curah hujan aktual di lapangan.
Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut (Steel and
Torrie, 1993):
x, y = Cov (x,y) / (x, y) (5)
dimana -1 ≤ x, y ≤ 1, dan
(6)
dalam hal ini x = data TRMM, y = data curah hujan BMKG, = koefisien
korelasi (atau biasa ditulis dalam notasi huruf kecil r), n = jumlah data, i= data
ke-i, x y = nilai rata-rata (mean) dari x dan y.
10 Parwati Sofan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Nilai Statistik Klimatologi Curah Hujan dari Data TRMM
Berdasarkan klasifikasi curah hujan bulanan dari BMKG yang membagi kelas
hujan menjadi 4 kelas, yaitu kelas rendah (0-100 mm/bulan), kelas menengah
(101-300 mm/bulan), kelas tinggi (301-400 mm/bulan), dan kelas sangat tinggi (>
401 mm/bulan), maka dilakukan klasifikasi curah hujan rata-rata bulanan periode
tahun 1998-2011 dari data TRMM. Hasil analisis curah hujan rata-rata bulanan
di wilayah Indonesia secara spasial diperoleh bahwa curah hujan sangat tinggi
terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah
hujan kategori tinggi terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Selebihnya wilayah Indonesia sebagian besar curah hujannya berada dalam
kategori menengah (101-300 mm/bulan), kecuali di wilayah Maluku, Bali, dan
Nusa Tenggara yang termasuk dalam curah hujan kategori rendah (0 – 100
mm/bulan) (Gambar 5).
Gambar 5. Rata-rata curah hujan berdasarkan data TRMM 1998-2011.
Analisis rata-rata curah hujan bulanan dari Januari hingga Desember dapat dilihat
pada Gambar 6, dimana dapat dilihat bahwa pada periode bulan Januari-Februari
ketika ITCZ berada paling jauh di selatan, Curah hujan sangat tinggi (> 401
mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) umumnya masih mendominasi
sebagian wilayah Indonesia dengan maksimum curah hujan berada pada
Sumatera bagian selatan, P. Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah,
Sulawesi bagian selatan dan tengah, serta sebagian Papua. Pada bulan Maret-
April saat ITCZ menuju ke ekuator dari posisinya di selatan, curah hujan sangat
tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) masih mendominasi
sebagian besar wilayah Indonesia dan mempunyai maksimum curah hujan di
wilayah Papua, Sulawesi Tengah, Sumatera bagian selatan, sebagian P. Jawa,
sebagian Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 11
Sementara pada bulan Mei-Juni dimana ITCZ bergerak ke utara ekuator, curah
hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) sudah
mulai berkurang dan hanya nampak di sebagian Sulawesi, Maluku dan Papua.
Pada periode ini nampak curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) berada di wilayah
Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian Jawa Timur. Pada posisi terjauh di utara
ekuator (Juli – Agustus), ITCZ telah menyebabkan berkurangnya curah hujan
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan sangat tinggi (> 401
mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) hanya nampak di sebagian kecil
Papua Barat dan Papua Tengah, sedangkan curah hujan rendah (0-100 mm/bulan)
telah meluas meliputi wilayah Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Sulawesi bagian
selatan.
Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ekuator dan ke bagian selatan ekuator
pada periode September - Oktober dan November - Desember yang
mengimplikasikan adanya peningkatan curah hujan di wilayah Sumatera bagian
utara dan barat, Kalimantan bagian barat, serta Papua. Pada periode bulan
Oktober curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) mulai berkurang dan hanya
nampak di wilayah Nusa Tenggara. Selanjutnya memasuki bulan November
curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan)
kembali mendominasi wilayah Indonesia dan puncaknya pada bulan Desember di
mana curah hujan maksimum banyak terdapat di wilayah Indonesia (Gambar 6).
3.2 Pola Hujan Bulanan di Wilayah Indonesia
Berdasarkan acuan yang digunakan oleh BMKG, curah hujan di wilayah
Indonesia pada umumnya dibagi menjadi 3, yaitu: pola hujan Monsoon, pola
hujan Ekuatorial, dan pola hujan Lokal. Hasil analisis pola curah hujan bulanan
dari data TRMM periode tahun 1998-2011 yang diekstraksi berdasarkan batas
provinsi di Indonesia (32 provinsi) dari peta Bakosurtanal tahun 2000 dapat
dilihat pada Gambar 7-9.
Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa wilayah provinsi yang memilki pola hujan
Monsun adalah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada
pola hujan ini memiliki perbedaan jelas antara periode musim kemarau, tipe
hujan memiliki pola unimodal dengan puncak musim hujan pada bulan
Desember-Januari-Februari (DJF), dan musim kemarau pada bulan Juni-Juli-
Agustus (JJA). Berdasarkan analisis periode tahun 1998-2011, pada pola hujan
monsun periode DJF nilai rata-rata maksimum curah hujannya sekitar 306
mm/bulan, sedangkan nilai rata-rata minimumnya adalah 49 mm/bulan yang
terjadi pada periode JJA.
12 Parwati Sofan.
Gambar 6. Curah hujan bulanan (Januari-Desember) rata-rata periode tahun 1998-2011
berdasarkan data TRMM.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 13
Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan
(Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 7) khususnya untuk
wilayah yang memiliki pola hujan monsun menunjukkan bahwa umumnya
standar deviasi pada musim kemarau atau pada bulan-bulan yang memiliki curah
hujan rendah (JJA) bernilai lebih rendah dibandingkan pada musim hujan (DJF).
Nilai standar deviasi yang dirata-rata pada wilayah provinsi dengan pola hujan
monsun memiliki nilai minimum pada bulan Agustus yaitu sebesar 35 mm/bulan,
sedangkan pada musim hujan memiliki nilai standar deviasi yang maksimum
pada bulan Desember (80 mm/bulan). Hal ini menunjukkan bahwa pada musim
kemarau variasi nilai curah hujannya kecil, sedangkan pada musim hujan variasi
nilai curah hujannya besar dimana terjadi nilai maksimum curah hujan dalam
periode tersebut.
Pada Gambar 8 ditunjukkan pola hujan Ekuatorial yang dimiliki oleh wilayah
Provinsi Bangka Belitung, gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, dan Riau. Pada pola hujan ekuatorial wilayahnya memiliki
distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan dan hampir
sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Puncak hujan umumnya
terjadi pada bulan Maret atau Oktober.
Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan
(Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 8) khususnya untuk
wilayah yang memiliki pola hujan ekuatorial menunjukkan bahwa nilai standar
deviasi tertinggi terdapat pada bulan Maret (77 mm/bulan) dan Oktober (89
mm/bulan) yang merupakan puncak musim hujan. Sebaliknya pada musim
kemarau atau pada saat curah hujan minimum mempunyai nilai standar deviasi
yang rendah, yaitu Januari (61 mm/bulan), Mei (56 mm/bulan), dan November
(62 mm/bulan).
14 Parwati Sofan.
Gambar 7. Pola hujan monsoon di wilayah Indonesia periode tahun 1998-2011 TRMM
(nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standard deviasi ditunjukkan oleh
grafik garis)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 15
Gambar 8. Beberapa contoh pola hujan ekuatorial yang dianalisis dari data TRMM
periode 1998-2011 (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai stadard deviasi
ditunjukkan oleh grafik garis)
Pada Gambar 9 ditunjukkan pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua
Barat, Papua Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Pola hujan
ini memiliki ciri bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan) dimana puncak
hujannya berada dalam bulan JJA. Berdasarkan analisis nilai standar deviasi pada
pola hujan lokal, umumnya nilai standar deviasi tertinggi terdapat pada periode
bulan JJA dengan nilai maksimum 96 mm/bulan (Agustus). Sedangkan nilai
16 Parwati Sofan.
standar deviasi terendah terdapat pada bulan Februari dan November dengan
kisaran antara 49 – 50 mm/bulan.
Gambar 9. Contoh pola hujan lokal yang dianalisis dari data TRMM periode 1998-2011
(nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standar deviasi ditunjukkan oleh
grafik garis)
3.3 Validasi dengan Data Lapangan
Analisis timeseries dan korelasi dilakukan antara data curah hujan dari TRMM
dan data stasiun klimatologi BMKG. Periode data yang digunakan untuk validasi
adalah 1998 – 2007 di wilayah Indramayu dan Bali, Palangkaraya, Bandung,
Aceh dan Maros (Sulawesi Selatan). Gambar 10 menunjukkan hasil analisis
korelasi dimana nilai koefisien korelasi (r) di wilayah kajian mencapai lebih dari
0.8. Oleh karenanya data TRMM dapat merepresentasikan kondisi curah hujan
lokal di sebagian besar wilayah Indonesia.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 17
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 910
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.807
Indramayu - West Java (1998 - 2004)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
600
700
1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.779
Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
1998 1999 2000
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.807
Aceh (1998 - 2000)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 910
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.881
Bali (1998 - 2005)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
600
1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Rain
fall
(mm
/mo
nth
)
r = 0.838
Bandung - West Java (1998 - 2006)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
-100
100
300
500
700
900
1100
1300
1500
1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Rain
fall
(mm
/mo
nth
)
r = 0.940
Maros - South Sulawesi (1998 - 2007)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
18 Parwati Sofan.
Gambar 10. Grafik timeseries antara TRMM dan curah hujan stasiun di Indramayu,
Palangkaraya, Aceh, Bali, Bandung, dan Maros periode tahun 1998 - 2007
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 910
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.807
Indramayu - West Java (1998 - 2004)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
600
700
1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.779
Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
1998 1999 2000
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.807
Aceh (1998 - 2000)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
6001 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Rain
fall
(mm
/mo
nth
) r = 0.881
Bali (1998 - 2005)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
0
100
200
300
400
500
600
1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Rain
fall
(mm
/mo
nth
)
r = 0.838
Bandung - West Java (1998 - 2006)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
-100
100
300
500
700
900
1100
1300
1500
1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5 7 9
11 1 3 5
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Rain
fall
(mm
/mo
nth
)
r = 0.940
Maros - South Sulawesi (1998 - 2007)
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 19
4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis bulanan data curah hujan dari TRMM periode tahun 1998 –
2011 (198 bulan) diketahui bahwa:
Rata-rata curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) terdapat di sebagian
wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori
tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Kalimantan
Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan
Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) terdapat di wilayah
Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah Indonesia termasuk
dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan).
Wilayah provinsi yang memilki pola hujan Monsun adalah Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Banten, Bali,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Pola hujan Ekuatorial dimiliki oleh wilayah Provinsi Bangka Belitung,
gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, dan Riau.
Pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua Barat, Papua Tengah,
Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah.
Curah hujan maksimum pada pola hujan monsun terjadi pada periode
Desember-Januari-Februari (DJF), pola hujan ekuatorial memiliki puncak
hujan pada bulan Maret dan Oktober, sedangkan pola hujan lokal memiliki
hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA).
DAFTAR REFERENSI
Bonham-Carter GF. 1994. Geographic inforation systems for geoscientists. Pergamon,
Kidlington, UK. 398p.
Geogonline G3a Climatic hazard. 2013. Tropical Region - Summary Explanatory
Descriptions of Main Climate Types. http://www.geogonline.org.uk/g3a_ki3.2.htm.
Disunting pada tanggal 10 September 2013
Hastenrath, S. 1990. The relationship of highly reflective clouds to tropical climate
anomalies. J.Climate, 3, 353-365.
Ichikawa, Hiroki, Tetsuzo Yasunari, 2006: Time–Space Characteristics of Diurnal
Rainfall over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. J.
Climate, 19, 1238–1260. Shige et al. 2007.
Mori, S., H. Jun-Ichi, Y.I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai,
H. Hashiguchi, T. Sribimawati, 2004: Diurnal land–sea rainfall peak migration over
Sumatra Island, Indonesian Maritime Continent, observed by TRMM satellite and
intensive rawinsonde soundings. Mon. Wea. Rev, 132, 2021–2039.
20 Parwati Sofan.
Roswintiarti, O. 1999. Statistical Analysis and Numerical Simulations of the Intertropical
Convergence Zone during Normal and ENSO Years. Dissertation. Marine, Earth and
Atmospheric Sciences. North Carolina State University.
Roswintiarti, O., S. Parwati, A. Zubaidah. 2009. Pemanfaatan Data TRMM dalam
Mendukung Pemantauan dan Prediksi Curah Hujan Di Indonesia. Berita Inderaja
Volume VIII, No. 14, Juli.
Roswintiarti, O., dan P. Sofan. 2010. The Relationship between the Indonesian and Indian
Monsoon Based on TRMM Rainfall Data. Proceedings of the International
Symposium on Equatorial Monsoon System. Jakarta, July 28-29, 2010. BMKG.
Steel, R. G. D.. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Trisasongko, B.H, DR Panuju, Harimurti, AF Ramly, H Subroto. 2008. Kajian
spasialkesetimbangan air pada skala DAS. Publikasi Teknis DATIN, Kementrian
Negara Lingkungan Hidup. Jakarta
TRMM Background. http://trmm.gsfc.nasa.gov. Disunting pada 10 Agustus 2013.
Waliser, D. E., and C. Gautier, 1993: A satellite-derived climatology of the ITCZ.
J.Climate, 6, 2162-2174.
Wolff, David B., D. A. Marks, E. Amitai, D. S. Silberstein, B. L. Fisher, A. Tokay, J.
Wang, J. L. Pippitt, 2005: Ground Validation for the Tropical Rainfall Measuring
Mission (TRMM). J. Atmos. Oceanic Technol., 22, 365–380.
Word Bank Atlas, 2003. Atlas Of Global Development. World Bank.
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Informasi_Hujan_Bulanan.bmkg
Zhang, C., 1993: Large-scale variability of atmospheric deep convection in relation to sea
surface temperature in the tropics. J. Climate, 6, 1898-1913.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 21
BIOGRAFI PENULIS
Parwati Sofan, S.Si., M.Sc.
Penulis menyelesaikan studi S1 pada Program Studi
Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi
FMIPA-IPB tahun 1999. Sejak tahun 2002 bekerja di
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai
peneliti bidang lingkungan dan mitigasi bencana alam.
Tahun 2008 penulis menyelesaikan Program Master pada
program studi Remote Sensing and GIS Applications di
International School of Beihang University of
Aeronautics and Astronautic (BUAA), di Beijing-China.
Penelitian yang sudah dilakukan antara lain adalah
aplikasi data satelit penginderaan jauh untuk analisis cuaca dan iklim, bencana
alam (kekeringan, banjir, kebakaran hutan, letusan gunung berapi), pertanian
(pertumbuhan padi, produktivitas padi). Penulis aktif menuliskan papernya baik
pada jurnal nasional maupun internasional. Pada tahun 2011, penulis diberi
kesempatan oleh Asia-Pacific Space Cooperation Organization (APCSO) untuk
mengajar pada Training Course on Environment and Disaster Monitoring
Through Space Technology baik materi maupun praktek pengolahan data dengan
tema “Space Applications – Drought” yang dilaksanakan di Dhaka,
Bangladesh tanggal 26-30 November 2011. Penulis juga pernah menjadi
Technical Suporter periode tahun 2009-2011 pada kegiatan Voluntary Project :
Space Applications for Environment (SAFE) Prototype on Potential Drought
Monitoring bersama dengan Universitas Tokyo dan Geo-Informatics Center,
Asian Institute of Technology, (GIC-AIT) yang dikoordinasi oleh JAXA.
23
Pemanfaatan Data Tropical Rainfall
Measuring Mission (TRMM) dalam Verifikasi
Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah
Hujan Coupled Model Intercomparison
Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data
Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan
Syaraf Tiruan
Jalu Tejo Nugroho, Safwan Hadi, Bayong Tjasyono, The Houw Liong
24 Jalu Tejo Nugroho, dkk.
Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission
(TRMM) dalam Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran
Model Curah Hujan Coupled Model Intercomparison Project
Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data Sinar Kosmik di Indonesia
Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan
Jalu Tejo Nugroho
1, Safwan Hadi
1, Bayong Tjasyono
1, dan The Houw Liong
2
1Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB
2Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB
E-mail: [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan penelitian untuk meningkatkan akurasi keluaran model curah
hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di wilayah
Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring Mission
(TRMM) sebagai verifikator. Hasil simulasi jaringan syaraf tiruan (JST) dua
masukan, yaitu data CMIP3 dan data sinar kosmik pada wilayah dengan klaster II
terbukti meningkatkan koefisien korelasi (R) data latih dan data uji masing-
masing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan simulasi dengan satu masukan.
Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada sebelumnya tentang pengaruh sinar
kosmik yang intensitasnya di atmosfer bumi dimodulasi oleh aktivitas matahari
pada curah hujan di wilayah Indonesia. Mekanisme yang melatarbelakangi
hubungan tersebut adalah kelistrikan global di atmosfer yang mempengaruhi inti
kondensasi awan di lapisan troposfer.
Kata kunci: model curah hujan CMIP3, Tropical Rainfall Measuring Mission
(TRMM), sinar kosmik, jaringan syaraf tiruan (JST)
Abstract
In this study we have successfully to improve the accuracy of rainfall global
model namely Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) in
Indonesia region by using Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) data as
verification. The addition of cosmic rays parameter as an input of artificial
neural network (ANN) have increased the correlation coefficient (R) of training
and testing data up to 31.8% and 5.6% respectively for cluster II region. This
result supports the previous study about effects of solar activity on rainfall in
Indonesia region. The mechanism underlying this relationship is global
electricity in the atmosphere that affect cloud condensation nuclei in the
troposphere.
Keywords: CMIP3 model, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), cosmic
rays, artificial neural network (ANN)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 25
1. PENDAHULUAN
Sistem iklim di permukaan bumi saling berinteraksi satu sama lain sehingga
menyebabkan mekanismenya menjadi sangat kompleks dan sulit dipahami. Untuk
mengatasi tuntutan ini para ahli menciptakan model numerik dari sistem bumi
yang mengacu pada model kesetimbangan energi yang telah berevolusi selama
beberapa dekade terakhir. Pada dasarnya, model iklim berusaha untuk mereplika
proses sistem iklim di bumi (sebagai contoh termodinamika, dinamika fluida, dan
proses ekosistem) yang memungkinkan kita untuk bereksperimen dengan
parameter-parameter sistem dan menarik kesimpulan tentang bagaimana sumber
yang berbeda menciptakan sifat/karakter yang berbeda. Dalam hal ini dikenal
istilah model sirkulasi global yang mengintegrasikan beberapa model yang telah
ada sebelumnya, seperti model atmosfer, dinamika awan, permukaan tanah, serta
model-model lainnya. Salah satu model iklim yang telah banyak digunakan
adalah World Climate Research Programme (WCRP) Coupled Model
Intercomparisan Project Phase 3 (CMIP3) oleh Meehl et al. (2007) yang berbasis
pada proyeksi iklim yang digunakan oleh Intergovermental Panel on Climate
Change (IPCC). Salah satu dari model iklim global untuk curah hujan tersebut
adalah CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B yang merupakan model downscaled
menggunakan metode bias-correction/spatial.
Untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan di daerah tropis satelit
Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) merupakan wahana yang tepat.
Ichikawa dan Yasunari (2006) menggunakan data TRMM untuk mengetahui
karakteristik ruang dan waktu dari siklus diurnal curah hujan di Kalimantan.
Mereka menyimpulkan bahwa komponen baratan (timuran) troposfer bawah
berhubungan dengan periode konveksi aktif (tidak aktif) di atas pulau yang
berkaitan dengan gangguan atmosfer intramusiman yang diakibatkan oleh
Madden Julian Osillation (MJO). Meneghini et al. (2004) dengan menggunakan
metode Surface Reference Technique (SRT) dan metode Hitschfeld–Bordan telah
meneliti profil curah hujan global menggunakan data TRMM dari sensor PR.
Dari perhitungan selama dua minggu diperoleh bahwa 90% estimasi kejadian
hujan di sepanjang lautan masih berada dalam rentang nilai yang dapat ditoleransi.
Siklus harian curah hujan dan variasi regional di Sumatera, Indonesia juga telah
diteliti oleh Mori et al. (2004) menggunakan data TRMM dari sensor yang sama.
Dengan kemampuan sensor dalam mendeteksi hujan secara langsung terlepas dari
kondisi permukaan dan awan mereka mengemukakan bahwa curah hujan
konvektif banyak mendominasi wilayah Sumatera pada waktu lokal 15.00
sampai
dengan 20.00
.
As-syakur dan Prasetia (2010) menyebutkan adanya tingkat korelasi yang sedang
sampai kuat antara data satelit TRMM dengan data obserasi dari Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Indonesia. Data satelit
tersebut dapat memberikan informasi sebaran spasial temporal curah hujan di
Indonesia. Data curah hujan TRMM juga dapat dijadikan untuk memverifikasi
26 Jalu Tejo Nugroho, dkk.
keluaran model curah hujan global. Satiadi (2009) membandingkan antara curah
hujan konvektif hasil simulasi model sirkulasi umum atmosfer dengan data
TRMM. Hasil perbandingan menunjukkan pola distribusi yang secara umum
mengikuti pola data TRMM. Analisis validasi yang dilakukan oleh As-syakur et
al. (2011) di wilayah Bali menunjukkan bahwa data TRMM memiliki korelasi
yang sangat baik dengan data pengukuran pada rentang waktu bulanan
dibandingkan dengan data harian selama kurun waktu 1998 sampai dengan 2002.
Data TRMM di wilayah ini diketahui memiliki nilai yang lebih rendah (under
estimated) dibandingkan dengan data pengukuran.
Aktivitas matahari dalam berbagai literatur telah terbukti ikut berperan pada
variabilitas iklim di permukaan bumi, termasuk di dalamnya curah hujan. Sinar
kosmik telah diketahui berkorelasi negatif dengan aktivitas matahari yang
dikarakterisasi oleh bilangan bintik matahari (sunspot). Pada saat aktivitas
matahari maksimum maka intensitas sinar kosmik yang mencapai permukaan
bumi akan menjadi minimum dan sebaliknya. Secara umum dikatakan apabila
fluks sinar kosmik yang mencapai atmosfer bumi maksimum maka tutupan awan
di atmosfer pun menjadi maksimum yang dapat berdampak pada peningkatan
intensitas curah hujan di bumi oleh Svensmark dan Friis-Christensen (1997) serta
Gernowo (2009).
Menurut Rosenfeld (2006) dan Tinsley et al. (2007), mekanisme antara intensitas
sinar kosmik yang masuk ke atmosfer bumi dengan variabilitas curah hujan di
permukaan bumi adalah melalui kelistrikan global di atmosfer melalui proses
ionisasi, dimana ionisasi oleh sinar kosmik menjadikan atmosfer sebagai plasma
penghantar listrik sehingga arus listrik melewati ionosfer menuju atmosfer bawah
yang pada akhirnya mempengaruhi inti kondensasi awan. Konsentrasi droplet inti
kondensasi awan ini akan mengontrol reflektivitas awan dan efisiensi curah hujan
pada awan rendah (Carslaw et al, 2002).
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memanfaatkan data TRMM
sebagai verifikator dalam peningkatan akurasi keluaran model curah hujan di
wilayah Indonesia dengan melibatkan faktor sinar kosmik sebagai masukan
(input) jaringan syaraf tiruan.
2. DATA DAN METODE PENELITIAN
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data bulanan TRMM tipe 3B43
yang dapat diperoleh dari http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/ TRMM mulai dari bulan
Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 dengan resolusi 0,25o x 0,25
o
dan dalam satuan mm/jam. Data sinar kosmik bersumber dari observatorium
Beijing, Cina diunduh dari: ftp.ngdc.noaa.gov/ dalam satuan hourly counting rate,
mulai dari bulan Januari 1993 s.d Juni 2010. Data keluaran model iklim untuk
curah hujan yang digunakan bersumber dari www.engr.scu.edu/ dan yang dipilih
adalah data CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B. Data tersebut merupakan data bulanan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 27
grid global tiap 0,5o x 0,5
o berturut-turut untuk lintang dan bujur. Data yang
dipergunakan dalam penelitian dipilih untuk wilayah Indonesia dengan posisi
bujur dan lintang masing-masing adalah 95,25oBT-141,75
oBT dan 9,75
oLU-
11,75oLS dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Metode penelitian yang digunakan adalah jaringan syaraf tiruan (JST) propagasi
mundur (backpropagation) yang terdiri atas satu neuron pada lapisan masukan
dan satu neuron pada lapisan keluaran. Mengacu pada Kusumadewi (2004),
arsitektur jaringan menggunakan dua lapisan tersembunyi, masing-masing
dengan sepuluh neuron pada lapisan tersembunyi pertama dengan fungsi aktivasi
tansig dan lima neuron pada lapisan tersembunyi kedua dengan fungsi aktivasi
logsig. Pada lapisan keluaran digunakan fungsi aktivasi purelin. Sebelum
dilakukan proses propagasi mundur terlebih dulu dilakukan proses preprocessing
dan propagasi maju (feedfordward propagation).
Dengan asumsi data masukan (data keluaran model curah hujan dan sinar
kosmik) disimpan pada matriks p dan target (data curah hujan observasi) pada
matriks t, maka:
[pn, meanp, stdp, tn, meant, stdt] = prestd (P,T) (1)
dimana pn dan tn masing-masing adalah matriks masukan dan keluaran yang
ternormalisasi, meanp dan meant berturut-turut adalah rata-rata (mean) pada
matriks masukan (p) dan keluaran (t), stdp dan stdt adalah deviasi standar pada
matriks masukan (p) dan keluaran (t), dan prestd adalah fungsi untuk mengubah
data ke bentuk normal dengan rata-rata = 0 dan deviasi standar = 1. Tahap
selanjutnya dibangun jaringan dengan metode pembelajaran traingdm:
net = newff(minmax(pn), [10 5 1], {'tansig' 'logsig' 'purelin'}, 'traingdm') (2)
dengan newff adalah fungsi yang digunakan untuk membangun jaringan
backpropagation, minmax(pn) adalah fungsi untuk menentukan skala masukan
dan keluaran, serta traingdm adalah fungsi untuk menghitung gradien serta
memperbaiki nilai bobot pada setiap pengoperasian data masukan. Proses
pembelajaran dilakukan dengan perintah:
net = train(net, pn, tn) (3)
Selanjutnya dilakukan pengujian (simulasi) terhadap data-data yang ikut dilatih:
an = sim(net, pn) (4)
dengan an adalah vektor yang digunakan untuk menyimpan hasil simulasi
jaringan. Selanjutnya keluaran jaringan dan target dianalisis dengan regresi linear
yang menghasilkan persamaan garis serta koefisien korelasi dengan
menggunakan fungsi postreg.
28 Jalu Tejo Nugroho, dkk.
[m, a, r] = postreg(a, T) (5)
dimana m, a, dan r berturut-turut adalah gradien hasil regresi linear, titik
perpotongan dengan sumbu-y, dan koefisien korelasi antara keluaran jaringan
dengan target.
Pengelompokan wilayah yang menjadi lingkup penelitian ini dilakukan
menggunakan metode pengklasteran samar (fuzzy clustering). Teknik ini dapat
menentukan klaster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada
bentuk normal Euclidian untuk jarak antar vektor. Fuzzy c-means (FCM) adalah
suatu teknik pengklasteran data dimana keberadaan tiap-tiap titik data dalam
suatu klaster ditentukan oleh derajat keanggotaan. Konsep dasar FCM adalah
menentukan pusat klaster, yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap
klaster. Dengan cara memperbaiki pusat klaster dan derajat keanggotaan tiap-tiap
titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat klaster akan
bergerak menuju lokasi yang tepat.
Mengacu pada Kusumadewi (2006), masukan data X yang akan diklaster dapat
dinyatakan sebagai matriks berukuran n x m yang dituliskan dengan: Xij = data
sampel ke-i (i = 1,2,3,..., n), atribut ke-j (j = 1,2,3,..., m), dengan n adalah jumlah
sampel data dan m adalah atribut tiap data. Langkah selanjutnya adalah
menentukan jumlah cluster (c), pangkat (w), maksimum iterasi (MaxIter), galat
terkecil yang diharapkan (), fungsi obyektif awal (Po= 0), dan iterasi awal (t =1).
Bilangan random μik, dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c dibangkitkan sebagai
elemen-elemen matriks partisi awal U. Jumlah setiap kolom (atribut) dihitung
menggunakan persamaan:
Q𝑗 = ∑ 𝜇𝑖𝑘𝑐𝑘=1 (6)
dengan j = 1,2,...,m. Pusat cluster ke- k: Vkj dapat dihitung sebagai berikut:
𝑉𝑘𝑗 = ∑ ((𝜇𝑖𝑘)𝑤 ∗ 𝑋𝑖𝑗)𝑛
𝑖=1
∑ 𝑛𝑖=1 (𝜇𝑖𝑘)𝑤
(7)
dengan k = 1,2,...,c dan j = 1,2,...,m. Tahap selanjutnya adalah menghitung fungsi
obyektif pada iterasi ke-t, Pt:
P𝑡 = ∑ ∑ ([∑ (𝑋𝑖𝑗 − 𝑉𝑖𝑗)2𝑚
𝑗=1 ] (𝜇𝑖𝑘)2)𝑐𝑘=1
𝑛𝑖=1 (8)
serta perubahan matriks partisi:
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 29
𝜇𝑖𝑘 = [∑ (𝑋𝑖𝑗−𝑉𝑘𝑗)
2𝑚𝑗=1 ]
−1𝑤−1
∑ [∑ (𝑋𝑖𝑗−𝑉𝑘𝑗)2𝑚
𝑗=1 ]
−1𝑤−1𝑐
𝑘=1
(9)
dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c. Kondisi berhenti tercapai jika (|Pt – Pt-1| < ξ)
atau (t>MaxIter). Jika tidak maka: t = t + 1, yang berarti mengulang langkah-
langkah sebelumnya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap pertama penelitian ini adalah mengaplikasikan metode pengklasteran
untuk mengklasifikasikan daerah di Indonesia berdasarkan kesesuaian data yang
dianalisis, yaitu data keluaran model curah hujan serta data TRMM dengan
jumlah klaster yang dipilih sebanyak tiga klaster. Gambar 1 merupakan hasil
pengklasteran data bulanan keluaran model curah hujan tahun 2000 sementara
Gambar 2 adalah hasil pengklasteran data bulanan TRMM untuk tahun yang
sama. Pemilihan tahun 2000 dalam penentuan klaster dengan pertimbangan
bahwa tahun tersebut bersesuaian dengan kondisi aktif matahari yang merupakan
puncak siklus ke- 23 aktivitas matahari. Diharapkan agar pada saat identifikasi
pengaruh masukan parameter aktivitas matahari di dalam jaringan syaraf tiruan
(JST) guna peningkatan akurasi keluaran model curah hujan akan dapat diperoleh
hasil yang maksimal.
Perhitungan koefisien korelasi statistik (R) antara data keluaran model curah
hujan dengan data TRMM dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan
Desember 2010 untuk masing-masing klaster telah dilakukan. Tabel 1 memuat
nilai R tertinggi yang diperoleh pada daerah dengan klaster II, baik untuk data
TRMM maupun data keluaran model curah hujan. Gambar 3 menunjukkan plot
dari kedua data tersebut.
Langkah yang selanjutnya dilakukan adalah mengaplikasikan metode JST untuk
merekonstruksi serta memprediksi data keluaran model curah hujan dengan
menjadikan data TRMM sebagai data untuk mengecek akurasinya. Pemilihan
klaster serta rentang waktu data yang akan diuji mengacu pada data yang
mempunyai nilai korelasi linear tertinggi antara data keluaran model curah hujan
dengan data TRMM, yaitu klaster II data keluaran model curah hujan dengan
klaster II data TRMM untuk keseluruhan bulan.
30 Jalu Tejo Nugroho, dkk.
Gambar 1. Hasil pengklasteran data keluaran model curah hujan tahun 2000. Klaster I,
II, dan III, masing-masing ditandai dengan area berwarna biru tua (I), biru muda (II),
dan coklat (III).
Gambar 2. Hasil pengklasteran data TRMM tahun 2000. Klaster I, II, dan III, masing-
masing ditandai dengan area berwarna coklat (I), hijau (II), dan biru (III).
Tabel 1. Nilai Koefisien korelasi data keluaran model curah hujan dan data
TRMM untuk keseluruhan bulan Januari 1998 sampai Desember 2010
untuk setiap klaster
TRMM
Klaster I Klaster II Klaster III
Mo
del
CH
Klaster I 0.05 0.16 0.12
Klaster II -0.20 0.57 0.04
Klaster III -0.21 0.40 -0.06
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 31
y = 0.0244x - 0.0086 R² = 0.3275
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 4 8 12 16
TRM
M (
mm
/jam
)
Keluaran Model Curah Hujan (mm/hari)
Gambar 3. Plot persamaan linear dan koefisien korelasi antara data keluaran model
curah hujan dengan data TRMM untuk keseluruhan bulan mulai dari Januari 1998
sampai dengan Desember 2010
Data yang menjadi masukan pada proses simulasi menggunakan JST dengan satu
masukan adalah data bulanan keluaran model curah hujan, mulai dari Januari
1998 sampai dengan Juni 2010. Data yang menjadi target yaitu data TRMM
dengan rentang yang sama. Jumlah data yang digunakan sebanyak 150 data, 100
data pertama merupakan data pelatihan dan sisanya menjadi data pengujian. Nilai
optimum R antara data pengujian dengan data target sebesar 0,58 yang tercapai
pada saat epoch 12000. Gambar 4 merupakan plot persamaan linier serta R antara
data pengujian dengan data target hasil simulasi JST dengan satu masukan.
Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan
dalam Gambar 5.
Untuk meningkatkan akurasi data keluaran model curah hujan yang menjadi input
jaringan terhadap data TRMM sebagai data acuan secara hipotesis dapat
dilakukan dengan memperhitungkan parameter lain yang telah terbukti secara
fisis ikut berkontribusi pada variabilitas curah hujan sebagai input tambahan.
Peningkatan akurasi tersebut ditandai dengan adanya peningkatan nilai koefisien
korelasi antara data pengujian dengan data target.
Berdasarkan perhitungan R antara data bilangan bintik matahari dengan data
TRMM klaster II diperoleh hasil korelasi yang negatif sebesar 0,05. Sementara R
antara data sinar kosmik dengan data TRMM klaster II sebesar 0,39. Dari
perhitungan ini maka parameter aktivitas matahari yang dimasukkan sebagai
masukan tambahan pada arsitektur JST adalah sinar kosmik. Data yang menjadi
masukan JST dengan dua masukan adalah data bulanan keluaran model curah
hujan serta data sinar kosmik sementara yang menjadi target yaitu data TRMM.
Interval data dimulai dari Januari 1998 sampai dengan Juni 2010. Dengan
demikian, arsitektur yang yang dibangun terdiri atas dua neuron pada lapisan
32 Jalu Tejo Nugroho, dkk.
Gambar 4. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk
satu masukan
Gambar 5. Rekonstruksi data pengujian terhadap data target pada jaringan dengan satu
masukan
input dan satu neuron pada lapisan keluaran. Dari simulasi diperoleh nilai optimal
R antara data pelatihan dengan data target sebesar 0,87 dan untuk data pengujian
dengan data target sebesar 0,62 yang tercapai pada saat epoch 12000. Gambar 6
merupakan plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target
sementara plot data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan
dalam Gambar 7.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 33
Gambar 6. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk
dua masukan dengan nilai epoch optimal 12000.
Gambar 7 Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk dua input pada nilai
epoch optimal 12000
Diperoleh hasil bahwa nilai R jaringan dengan dua masukan (yaitu data keluaran
model curah hujan dan data sinar kosmik), baik untuk data pelatihan maupun
untuk data pengujian mengalami peningkatan terhadap data target (yaitu data
TRMM) dibandingkan pada jaringan dengan hanya satu masukan saja (data
keluaran model curah hujan saja). Tabel 2 menampilkan persentase kenaikan nilai
R terhadap penambahan masukan JST. R11, R12, R21, dan R22 berturut-turut
menyatakan R data pelatihan terhadap data target untuk satu masukan, data
pelatihan terhadap data target untuk dua masukan, data pengujian terhadap data
34 Jalu Tejo Nugroho, dkk.
target untuk satu masukan, dan data pelatihan terhadap data target untuk dua
masukan.
Tabel 2. Persentase kenaikan nilai koefisien korelasi (∆R) terhadap
penambahan input pada epoch optimal
R11 R12 R21 R22
0,66 0,87 0,587 0,62
% ∆R 31,8% 5,6%
Dari Tabel 2 di atas terlihat adanya peningkatan nilai R, baik untuk data latih
maupun data uji pada hasil simulasi JST dengan dua masukan dibandingkan
terhadap JST dengan satu masukan. Dengan penambahan masukan berupa
parameter sinar kosmik pada simulasi JST telah dapat meningkatkan akurasi
keluaran model curah hujan untuk wilayah Indonesia dengan klaster II dengan
menggunakan data TRMM sebagai verifikator hasil prediksi yang diperoleh.
Hasil penelitian ini dapat melengkapi bukti-bukti sebelumnya tentang pengaruh
sinar kosmik pada variabilitas curah hujan di berbagai wilayah di permukaan
bumi. Zherebtsov et al. (2005) mengatakan bahwa tingkat dan korelasi antara
intensitas sinar kosmik dan keawanan global bergantung pada posisi lintang,
karakter permukaan (daratan atau lautan) serta karakteristik tutupan awan.
4. KESIMPULAN
Dengan penambahan faktor yang ikut berkontribusi terhadap variabilitas curah
hujan di permukan yaitu sinar kosmik telah dapat meningkatkan akurasi keluaran
model curah hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di
wilayah Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring
Mission (TRMM) sebagai verifikator. Peningkatan akurasi yang diperoleh
ditunjukkan dengan peningkatan nilai koefisien korelasi (R) simulasi
menggunakan metode jaringan syaraf tiruan (JST) baik antara data latih maupun
data uji yang dibandingkan terhadap data acuannya.
Dari metode pengklasteran diperoleh nilai R optimal antara data TRMM dengan
data CMIP3 sebesar 0,57 untuk wilayah dengan klaster II. Hasil simulasi JST
dengan dua masukan menunjukkan adanya peningkatan nilai R, baik untuk data
latih dan data uji masing-masing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan dengan
hasil simulasi satu masukan. Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada
sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik yang intensitasnya dimodulasi oleh
aktivitas matahari pada curah hujan di wilayah Indonesia.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 35
DAFTAR REFERENSI
As-syakur, A.R., dan R. Prasetia, 2010. Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama
Maret Sampai Juni 2010 di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite
Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan, Prosiding
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, pp. 505-516, Universitas Udayana
As-syakur, A.R., Tanaka, T., Prasetia, R., Swardika, I.K., dan Kasa, I.W., 2011,
Comparison of TRMM multisatellite precipitation analysis (TMPA) products and
daily-monthly gauge data over Bali, International Journal of Remote Sensing, Vol.
32, No. 24, 8969–8982
Carslaw, K. S., Harison R. G., dan Kirkby J., 2002, Cosmic Rays, Clouds, and Climate,
Science, 298, 1732-1737
Didi Satiadi, 2009, Perbandingan Curah Hujan Hasil Simulasi Model Sirkulasi Umum
Atmosfer dengan Data Observasi Satelit TRMM, Majalah Sains dan Teknologi
Dirgantara Vol. 4 No. 1, hal. 31-40
Gernowo R., 2009, Dinamika Atmosfer Curah Hujan Ekstrim dan Evaluasi Awal
Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Statis di DKI Jakarta (Disertasi), Institut
Teknologi Bandung
Ichikawa H. And T. Yasunari, 2006. Time – Space Characteristics of Diurnal Rainfall
over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. Journal of
Climate: Vol. 19, No. 7, pp. 1238-1260
Kusumadewi, S., 2004, Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan
Excel Link, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta
Kusumadewi, S., 2006, Multi-Attribute Decision Making (FMADM), Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta
Meehl, G. A., C. Covey, T. Delworth, M. Latif, B. McAvaney, J. F. B. Mitchell, R. J.
Stouffer, and K. E. Taylor: The WCRP CMIP3 multi-model dataset: A new era in
climate change research, Bulletin of the American Meteorological Society, 88, 1383-
1394, 2007.
Meneghini, R., J. A. Jones, T. Iguchi, K. Okamoto and J. Kwiatkowski, 2004. A Hybrid
Surface Reference Technique and Its Application to the TRMM Precipitation Radar.
Journal of Atmospheric and Oceanic Technology: Vol. 21, No. 11, pp. 1645-1658
Mori S., H. Jun-Ichi, Y. I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai,
H. Hashiguchi, and T. Sribimawati, 2004. Diurnal Land-Sea Rainfall Peak
Migration over Sumatera Island, Indonesian Maritime Continent, Observed by
TRMM Satellite and Insentive Rawinsonde, Soundings. Monthly Weather Review:
Vol. 132, No. 8, pp. 2021-2039
Rosenfeld, D., 2006. Aerosol-cloud interactions control of earth radiation and latent heat
release budgets, Space Sci. Rev., 125, 149-157
Svensmark, H. dan Friis-Christensen, 1997, Variation of cosmic ray flux and global cloud
coverage - a missing link in solar-climate relationships, J. Atmos. Solar Terr. Phys.
59, p. 1225-1232
Tinsley B. A., G.B. Burns, Limin Zhou, 2007. The role of the global electric circuit in
solar and internal forcing of clouds and climate, Advances in Space Research 40, pp.
1126–1139
Zherebtsov G.A., Kovalenko V.A., Molodykh S.I., 2005, The physical mechanism of the
solar variability influence on electrical and climatic characteristics of the
troposphere, Advances in Space Research, Volume 35, Issue 8, pp. 1472–1479
36 Jalu Tejo Nugroho, dkk.
BIOGRAFI PENULIS
Jalu Tejo Nugroho
Jalu Tejo Nugroho lahir di Jakarta (39) bekerja pada
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional. Saat ini sedang
menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian Institut Teknologi Bandung. Penulis
memperoleh gelar sarjana dan master di Departemen
Fisika, Universitas Indonesia.
Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan
Danau Matano, Mahalano, dan Towuti
Menggunakan Data Landsat-7 ETM
Nana Suwargana
38 Nana Suwargana
Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano,
Mahalano, dan Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM
Nana Suwargana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
Email: [email protected]
Abstrak
Penerapan teknologi penginderaan jauh untuk mengkaji kualitas perairan Danau
melalui pendeteksian zat-zat organik maupun anorganik yang terlarut dalam
perairan seperti, kecerahan, klorofil-a dan muatan padatan terlarut telah banyak
dilakukan. Cahaya (radiance) berbentuk gelombang elektomagnetik yang
dipantulkan (reflected) oleh permukaan air Danau dapat dideteksi (detected) oleh
sensor citra satelit, yang kemudian dapat dihasilkan data konsentrasi klorofil-a.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji konsentrasi klorofil-a di Danau Matano,
Mahalano dan Towuti di Sulawesi Selatan dengan data satelit Landsat-7 ETM.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisis dan
membandingkan penurunan dari algoritma yang dikembangkan oleh Wibowo et.al
(1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995). Analisis dilakukan melalui
regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data Landsat-7 ETM dari ketiga
algoritma tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa: a). Konsentrasi klorofil-a
mempunyai nilai relatif tinggi dengan algoritma Wouthuyzen (1991) jika
dibandingkan dengan algoritma Wibowo et.al (1994) dan algoritma Mayo et.al
(1995) nilainya lebih rendah, namun ketiganya memiliki kemiripan pola; b).
Hasil penurunan regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data
Landsat-7 ETM dari model Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995) diperoleh
bentuk fungsi baru (WoutMayo) y = 0,0704 x +0,1658 dengan koefesien
determinasi (R)=1, algoritma ini cukup signifikan untuk dilakukan penelitian
berkelanjutan; c). Sebaran klorofil-a yang diperoleh melalui perhitungan
persamaan algoritma WoutMayo dan Mayo et.al (1995) nampak keduanya
menunjukkan pola kesetaraan yang sama.
Kata kunci : klorofil-a, citra Landsat-7 ETM, regresi, pantulan.
Abstract
Application of remote sensing technology to assess water quality of the lake
through the detection of organic substances and inorganic dissolved in water
such as, brightness, chlorophyll-a and dissolved solids loads have been carried
out. Electromagnetic wave-shaped light reflected by the surface of the lake water
can be detected by the sensor of satellite image, which can then be generated
chlorophyll-a concentration data. The purpose of this study is to assess the
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 39
concentration of chlorophyll-a in Lake Matano, Mahalano and Towuti in South
Sulawesi with satellite data of Landsat-7 ETM. The method used in this study is
by analyzing and comparing the decline of the algorithm developed by Wibowo
et.al (1994), Wouthuyzen (1991), and the Mayo et.al (1995). The analysis was
performed through a regression between reflectance calculation canals Landsat-
7 ETM of the three algorithms. The analysis showed that: a).The concentration of
chlorophyll-a have a relatively high value of the algorithm Wouthuyzen (1991 )
when compared with the algorithm Wibowo et.al (1994) and Mayo algorithm
et.al (1995) the value is lower, but all three have similar pattern b). Results of
regression between the decrease in reflectance calculations canals Landsat-7
ETM Wouthuyzen model (1991) and Mayo et.al (1995) obtained a new function
form (WoutMayo) y = 0.0704 x +0.1658 with a coefficient of determination
(R)=1, this algorithm is quite significant for ongoing research, c). Distribution of
chlorophyll-a is obtained by calculating the equation algorithm and Mayo
WoutMayo et.al (1995) both appear to show the same pattern of equality.
Keywords : chlorophyll -a , Landsat -7 ETM , regression , reflection.
1. PENDAHULUAN
Parameter yang sangat menentukan produktivitas perairan baik di perairan laut
maupun perairan air tawar (Danau) biasanya adalah klorofil-a. Tinggi dan
rendahnya sebaran konsentrasi klorofil-a berkaitan langsung dengan kondisi
perairan itu sendiri. Beberapa parameter fisika-kimia yang mempengaruhi
sebaran klorofil-a adalah intensitas cahaya dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan
silikat). Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan Danau
sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui
limpasan air sungai. Oleh karena itu ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya
matahari di suatu perairan sangat mempengaruhi konsentrasi klorofil-a. Apabila
nutrien dan intensitas cahaya matahari tersedia cukup, maka konsentrasi klorofil-
a akan tinggi begitu pula sebaliknya. Perairan di daerah tropis umumnya memiliki
konsentrasi klorofil-a yang rendah karena keterbatasan nutrien dan kuatnya
stratifikasi kolom perairan sebagai akibat pemanasan permukaan perairan yang
terjadi sepanjang tahun. Sebaran fitoplankton dapat diestimasi dari kandungan
klorofilnya melalui teknologi penginderaan jauh yaitu melalui data satelit Landsat.
Data satelit Landsat-7 ETM bisa memberikan informasi data perairan berdasarkan
sinar pantulan yang terdeteksi oleh sensor satelit Landsat-7 ETM.
Model pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kegiatan deteksi
klorofil-a telah dipublikasikan dalam banyak paper seperti: Wibowo et.al (1994)
dalam Halida et.al (2010); Wouthuyzen (1991) dalam Pentury. R. et al (2009);
Mayo et.al (1995); Brezonik et al. (2002); Kneubühler M. et al. (2007) ; Griffin.
C. G. (2010); Sebastiá M.T. et al. (2012); Zhang. Y. (2010); Luoheng Han.
(2002); Jamadar. B. (2013). Brezonik et al. (2002) telah membuat model
pemetaan klorofil-a dan kecerahan perairan Danau menggunakan data Landsat-7
40 Nana Suwargana
ETM, dan telah menerapkan model tersebut secara operasional untuk memantau
kondisi beberapa Danau di Amerika, demikian juga algorithma dari Wibowo
et.al (1994) yang dipakai dalam Nuriya.H (2010) telah melakukan penelitian
untuk medeteksi klorofil-a secara operasional untuk wilayah selat Madura.
Selain itu, juga Mayo et.al (2010) telah membuat model deteksi klorofil-a
menggunakan data Landsat-7 ETM, dan telah menerapkan model tersebut secara
operasional di Danau Kinneret. Tel-Aviv, Israel, demikian juga Wouthuyzen
(1991) yang dikembangkan oleh Pentury. R. et al .(2009) telah melakukan
penelitian untuk deteksi dan pemetaan klorofil-a secara operasional di Teluk
Kayeli, Kabupaten Buru Provinsi Maluku.
Metode pemantauan kualitas air Danau untuk deteksi klorofil-a di Indonesia
masih banyak menggunakan pengukuran langsung di lapangan atau analisa
laboratorium dari pada memanfaatkan teknologi satelit penginderan jauh. Model
pemanfaatan teknologi satelit penginderan jauh, telah banyak pula model
algorithma yang dipublikasikan untuk menentukan ekstraksi klorofil-a baik
melalui jurnal nasional maupun jurnal internasional. Untuk daerah-daerah di
Indonesia terutama untuk kajian Danau yang menjadi periotas perlu dikaji dengan
menggunakan data Landsat-7 ETM. Hal tersebut perlu dilakukan studi
pembanding dari hasil penurunan algorithma-algorithma tersebut apabila ingin
mendapatkan profil klorofil-a untuk suatu perairan yang lebih luas dari pada
pengukuran klorofil-a dengan metode dilapangan yang harus menggunakan
banyak titik sampel. Tentu saja untuk melakukannya diperlukan waktu yang
relatif lama dalam mengumpulkan sampel dan dana yang cukup besar dalam
menganalisis dan pengumpulan datanya. Oleh karena itu, teknologi pengukuran
klorofil-a menggunakan metode penginderaan jauh banyak berbagai kemudahan
dalam melakukan penelitian untuk mengkaji kualitas perairan air tawar
khususnya perairan Danau. Salah satunya memudahkan penelitian adalah
mudah dilakukan di daerah cakupan yang luas. Selanjutnya dengan menggunakan
analisis Land Satellite (Landsat) dapat didapatkan profil sebaran klorofil-a secara
real time. Sebagai contoh aplikasi penginderaan jauh untuk pendeteksian,
pemantauan dan inventarisasi terhadap klorofil-a, suhu permukaan air, kekeruhan
dan lain sebagainya memiliki banyak kelebihan dibanding dengan cara
konvensional.
Dari kesemua algorithma-algorithma yang telah diturunkan oleh para peneliti,
dalam penelitan ini telah dilakukan kajian menggunakan data Landsat-7 ETM.
Dalam penelitian disini dicoba melakukan studi banding dari model algorithma:
Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995). Sedangkan
untuk algorithma-algorithma yang lainnya akan dilakukan untuk tahun penelitian
berikutnya. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian estimasi konsentrasi
klorofil-a di perairan Danau Matano, Mahalano dan Towuti di Sulawesi Selatan
dengan menggunakan data penginderaan jauh citra satelit Landsat-7 ETM. Metoda
penelitian yang dilakukan adalah menurunkan dan menganalisis algorithma yang
telah dikembangkan oleh Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 41
et.al (1995) serta melakukan studi banding dari ketiga penurunan algorithma
tersebut dengan membuat persamaan regresi antara perhitungan reflektansi
kanal-kanal data Landsat-7 ETM. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh
pihak-pihak terkait sebagai alternatif pengganti metode pengukuran lapangan.
Pengukuran lapangan hanya digunakan untuk pembangunan metode dan
verifikasi hasil. Serta untuk mendukung model pembuatan peta sebarannya.
2. METODOLOGI 2.1 Data dan Lokasi Penelitian
Data yang digunakan adalah Citra Landsat-7 ETM dengan posisi citra pada
path/row: 113/062. Data set citra yang diakuisisi tanggal 17 Oktober 1997
mencakup didalamnya perairan Danau Matano, Danau Mahalano, dan Danau
Towuti yang terletak di Kecamatan Nuha, Sorowaka, Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi Selatan. Data set citra Landsat-7 ETM (daerah kajian) tersusun oleh
kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 dengan resolusi spasial 30 meter lihat Tabel 1.
Tabel 1. Saluran spektral yang digunakan dalam sistem data Landsat-7
ETM dan karakteristiknya
Kanal
Panjang
Gelombang
(µm)
Resolusi
Spasial
(m)
Karakteristik
1 (biru) 0,45-0,51 30 Penetrasi maksimum pada air
berguna untuk pemetaan batimetri
perairan dangkal
2 (hijau) 0,52-0,60 30 Berfungsi untuk mengindera
puncak pantulan vegetasi.
3 (merah) 0,63-0,69 30 Berfungsi untuk membedakan
absorbsi klorofil dan tipe vegetasi.
4 (Inframerah
dekat)
0,75-0,90 30 Untuk menentukan kandungan
biomas, tipe vegetasi, pemetaan
garis pantai.
5 (Infra-merah
tengah I)
1,55-1,75 30 Menunjukkan kandungan
kelembaban tanah dan kekontrasan
tipe vegetasi.
6 (Infra-merah
thermal)
10,4 – 12,5 30 Untuk mendeteksi gejala alas yang
berhubungan dengan panas.
7 (Infra-merah
tengah II.)
2,09-2,35 30 Rasio antara kanal 5 dan 7 untuk
pemetaan perubahan batuan secara
hidrotermal dan sensitive terhadap
kandungan kelembaban vegetasi
8
(Pankromatik)
0,52-0,90 15 Bermanfaat untuk identifikasi
obyek lebih detail.
Sumber: Landsat-7 ETM: Eros Data Center (1995).
42 Nana Suwargana
Data sekunder yang digunakan dlm penelitian ini adalah peta letak topografis
dan profil danau Matano, danau Mahalona dan danau Towuti. Contoh data
sekunder peta topografis yang digunakan diperlihatkan pada (Gambar 1) dan
profil danau Matano diperlihatkan pada (Gambar 2).
Secara geografis lokasi kajian untuk Danau Matano terletak pada
koordinat : 2° 29' 45" LU 121° 20' 35"BT, Danau Mahalona terletak pada
koordinat : 2° 29' 7" LU 121° 20' 03" BT, dan Danau Towuti terletak pada
koordinat : 2° 45′ 0″ LU 121° 30′ 0″ BT ditunjukkan pada (Gambar 1). Luas
Danau Matano berkisar 16.408 hektar dengan sumbu memanjang 28 km pada
arah timur barat (limnologi.lipi.go.id). Posisi dasar Danau ini sangat khas karena
letaknya lebih rendah dari permukaan laut memiliki kedalaman berkisar 595
meter dengan letak dasar danaunya berada pada 203 meter di bawah permukaan
laut (Gambar 2). Danau Matano merupakan Danau terdalam di Asia Tenggara
bahkan terdalam kedelapan di dunia. Pembentukan Danau Matano bukan
merupakan pembentukan dari beberapa anak sungai, tetapi terbentuk karena dari
ribuan mata air yang muncul akibat gerakan tektonik; lipatan dan patahan kerak
bumi yang terjadi di sekitar daerah litosfir yang membutuhkan waktu lama
untuk terisi oleh air dan membentuk danau sekitar 4 juta tahun yang lalu
(limnologi.lipi.go.id). Sehingga danau ini tidak akan pernah mengalami
kekeringan dan airnya sangat jernih. Karena kejernihannya maka kecerahan air
yang mencapai berkisar 23 meter sehingga sangat menggoda untuk olahraga
snorkling dan diving. Di Danau Matano juga terdapat berbagai jenis flora dan
fauna endemik yang masih terjaga dengan baik. Flora dan fauna endemik adalah
makhluk hidup yang hanya ditemui di suatu tempat dan tidak ditemukan di
tempat yang lain. Sedangkan Danau Mahalona dan Danau Towuti terbentuk
dibagian selatan Danau Matano. Kedalaman Danau Mahalona berkisar 60 meter
dengan luas 2.440 hektar dan Danau Towuti mempunyai kedalaman berkisar 200
meter dengan luas 56.108 hektar. Pergerakan arus air yang mengalir dari Danau
Matano dialirkan melalui sungai Larona ke Danau Mahalona kemudian ke Danau
Towuti dan selanjutnya menuju muara melalui sungai Malili dan berakhir di Laut
Bone. Sungai inilah yang menjadi penggerak PLTA Larona dan PLTA
Balambano dan PLTA Karebbe.
Topografis dan kondisi penutup lahan di danau Matano sebagaian pemanfaatan
lahan dominan sekitar perairan Danau adalah hutan alam yang berada di bagian
timur, utara dan barat danau. Penutup lahan Danau. Permukiman yang
pemanfaatannya berada di bagian selatan terutama di Solosa yang secara
mengelompok. Lahan ladang terdapat disekitar permukiman karena merupakan
bagian mata pencaharian pendudk di sekitar Danau. Terdapat pula keberadaan
lahan tebuka yang pemanfaatannya berada disebelah timur Danau.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 43
Gambar 1. Peta Letak Topografi Danau Matano, Mahalano, dan Towuti. Garis kuning
menunjukkan sistem sungai yang menghubungkan masing-masing danau dan menjadi
satu sebelum bermuara ke Teluk Bone. Garis putih menunjukkan sungai penyuplai air
(river inlet). Dari peta topografi di atas terlihat bahwa seluruh danau dikelilingi oleh
bukit-bukit dengan ketinggian 500-700 m. (Sumber: http://upload.wikimedia.org)
Gambar 2. Frofil Danau Matano kedalamannya lebih rendah dari permukaan laut
memiliki kedalaman berkisar 595 meter dengan letak dasar Danaunya berada pada 203
meter di bawah permukaan laut. (Sumber: limnologi.lipi.go.id)
44 Nana Suwargana
2.2 Metode
Pengolahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan estimasi
konsentrasi klorofil-a berbasiskan data Landsat-7 ETM. Tahapan metode
penelitian pertama yaitu menganalisis dan membandingkan penurunan dari
algorithma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) dari
citra Landsat-7 ETM, kedua menentukan persamaan regresi dari hubungan
antara reflektansi kanal-kanal ETM dari perhitungan algoritma Wibowo et.al
(1994) terhadap reflektansi kanal-kanal ETM dari perhitungan algoritma
Wouthuyzen (1991), atau Mayo et.al (1995) dan sebaliknya. Tahapan pengolahan
meliputi pengolahan awal serta ekstraksi klorofil-a.
2.2.1 Pengolahan awal ( Pre-processing )
Pengolahan citra dilakukan dengan software ERDAS ER Mapper Versi 7.2.
Sebelum melakukan pengolahan dan analisis citra, terlebih dahulu dilakukan koreksi
geometrik citra dengan tujuan agar citra dapat mempunyai koordinat yang sama
dengan koordinat peta yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal. Kemudian dilakukan
overlay antara kanal (membuat citra gabungan/citra RGB) dan penajaman serta
analisisa visual dengan tujuan untuk mengidentifikasi obyek air Danau. Setelah
melakukan koreksi geometrik dilakukan koreksi radiometrik, dan koreksi
atmosfir.
Koreksi geometrik dilakukan dengan metode registrasi (image to image). Citra
acuannya adalah citra georefernsi yang telah terkoreksi dengan koordinat peta
dari Bakosurtanal. Penyamaan posisi ini dimaksudkan agar posisi piksel citra
original menjadi sama dengan citra terkoreksi. Jadi proses registrasi citra ke citra
disini melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah terkoreksi.
Transfomasi kiordinat pada citra menggunakan model polynomial. Pada
persamaan poliminal dengan orde-t, maka jumlah minimal GCP (Ground Control
Point) yang diperlukan (n) mengikuti (persamaan 1).
𝑛 =(𝑡+1)(𝑡+2)
2 (1)
Dimana; n = jumlah GCP yang dibutuhkan
t = orde persamaan yang diterapkan
Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan Root Mean Square Error/RMSE
(persamaan 2) dan Standard Deviation/STD (persamaan 3) hasil transformasi
koordinat sehingga dapat diketahui kepresisian datanya. Minimal besarnya nilai
RMSE yang dapat diterima adalah sebesar 0.5 piksel. Formula RMSE dan STD:
(2)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 45
(3)
Dengan:
x', y' = koordinat citra hasil koreksi
(x,y)origin = koordinat GCP pada bidang referensi
n = jumlah GCP
Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai
dengan yang seharusnya, biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer
sebagai kesalahan utama. Pada koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai piksel
terendah pada suatu kerangka liputan (scene) seharusnya nol, sesuai dengan bit-
coding sensor. Apabila nilai terendah piksel pada kerangka liputan tersebut bukan
nol, maka nilai penambah (offset) tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan
atmosfer. Fungsi dari koreksi radiometrik adalah untuk menghilangkan kesalahan
radiometrik (radiometric error) yang disebabkan oleh aspek eksternal berupa
gangguan atmosfer pada saat proses perekaman. Biasanya gangguan atmosfer ini
dapat berupa serapan, hamburan, dan pantulan yang menyebabkan nilai piksel
pada citra hasil perekaman tidak sesuai dengan nilai piksel obyek sebenarnya di
lapangan. Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan
interpretasi terutama jika interpretasi dilakukan secara dijital yang mendasarkan
pada nilai piksel. Sehingga, koreksi radiometrik ini sangat penting untuk
dilakukan agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan. Koreksi
radiometrik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah
penyesuaian regresi, penyesuaian histogram, dan kalibrasi bayangan. Proses
koreksi dilakukan dengan merubah nilai dijital piksel menjadi nilai radian (radiasi
dari objek ke sensor). Persamaan konversi DN (Nilai Dijital) ke Radian
diperlihatkan pada (persamaan 4) pada (Gambar 3) dan setelah dimasukan slope
ke persamaan 4, diperoleh koreksi radiometrik (persamaan 5).
Gambar 3. Konversi DN ke Radian
46 Nana Suwargana
Bentuk konversi DN ke Radian adalah :
L= G x DN+B (4)
Dimana:
DN =Nilai dijital
G = Gradien (kanal gain)
L = Radian di atas atmosfir
B = Titik potong (kanal offset)
Untuk koreksi radiansi citra Landsat:
L=[(Lmax – Lmin)/255] x DN + Lmin (5)
Dimana:
Lmax = radian maksimum pada kanal (1-7)
Lmin = radian minimum pada kanal (1-7)
Koreksi atmosfir menggunakan model 6s (Second Simulation of a Satellite Signal
in the Solar Spectrum) yang diunduh dari (http://6s.ltdri.org/). Model 6s
menghitung nilai global transmittance dan total scattering transmitannce
berdasarkan informasi kondisi atmosfer pada saat data direkam. Nilai koefisien
yang dihasilkan model 6s dapat digunakan untuk menghitung nilai reflectance
perairan yang telah bebas dari pengaruh kondisi atmosfir. Tahap terakhir
melakukan normalisasi antar waktu sehingga perbedaan nilai spektral pada data
yang berlainan waktu dan berlainan sensor dapat dikurangi atau dihilangkan. Cara
melakukan koreksi atmosfir adalah memasukan website : http://www.6s.ltdri.org
kemudian siapkan header file dari data Landsat-7 ETM dimana input yang
dimasukan diantaranya : jenis sensor, tanggal dan waktu perekaman, latitude dan
longitude pada titik pusat citra, dan visibility dari atmosfir.
Dengan memasukan input data Landsat-7 ETM ke model 6S dan mengunduh
http://6s.ltdri.org/ diperoleh parameter-parameter koreksi atmosfir acr
(Atmopheric Correction Result) :
**************************************************************************
atmospheric correction result
-----------------------------
input apparent reflectance : 0.000
measured radiance [w/m2/sr/mic] : 0.000
atmospherically corrected reflectance
Lambertian case : -0.10217
BRDF case : -0.10217
coefficients xa xb xc : 0.00246 0.10054 0.15892
y=xa*(measured radiance)-xb; acr=y/(1 +xc*y)
**************************************************************************
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 47
Dari output atmospheric correction (arc) diperoleh persamaan sebagai berikut:
y = xa(radiasi yang diukur)-xb = (xa*L)-xb (6)
dan koreksi atmosfir:
arc = y/(1+xc*y) (7)
Dimana:
xa, xb,xc = coefesien koreksi atmosfir
L = Koreksi radiometrik citra Landsat (kanal 1-7).
2.2.2 Ekstraksi informasi klorofil-a
Klorofil-a yang terdeteksi oleh citra pada dasarnya merupakan pigmen yang
terkandung dalam tubuh fitoplankton yang merupakan produsen primer di
dalam perairan. Informasi klorofil-a tersebut dapat dianalisis berdasarkan sinar
pantulan (reflectance) yang terdeteksi oleh sensor. Hubungan radiansi spektral
kanal tunggal dari tubuh air dengan konsentrasi klorofil-a sangat rendah, sehingga
untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a dapat digunakan ratio kanal biru (range:
0,45 – 0,51 µm) dan kanal hijau (range: 0,52 – 0,60 µm). Seperti yang
dikembangkan oleh Wouthuyzen (1991) dalam Pentury. R. et al (2009)
menggunakan kanal biru (range:0,45 – 0,51 µm) dan kanal hijau (range:0,52–
0,60 µm), Mayo et.al (1995) pengembangannya mengunakan kanal biru
(range:0,45 – 0,51 µm), kanal hijau (range:0,52 – 0,60 µm) dan kanal infra
merah (range:0,63-0,69 µm). Bahkan beberapa peneliti lainnya seperti Wibowo
et.al (1994) dalam Halida et.al (2010) menggunakan kanal infra merah (range:
0,63 – 0,69 µm), kanal infra merah dekat (range:0,75 – 0,90 µm) dan kanal
Infra-merah tengah I (range:1,55- 1,75 µm); Kneubühler M. et al. (2007)
menggunakan ratio kanal biru, kanal merah dan kanal hijau yaitu model :
([0.45,0.52 µm]-[0.63.69 µm])/[0.52,0.60 µm]; Griffin. C. G. (2010)
menggunakan kanal 1-4 yaitu, (biru: 0.45-0.52 µm, hijau: 0.52-0.60 µm, merah:
0.63-0.69 µm, infra merah dekat: 0.67-0.90 µm); Zhang. Y. (2010);
menggunakan ratio kanal maksimum, yang dihitung sebagai maksimum dari ratio
reflektasi tiga kanal pada panjang gelombang 0.443, 0.490, 0.520, dan 0.564 µm
(ρ0.443/ρ0.565, ρ0.490/ρ0.565, ρ0.520/ρ0.565) dapat digunakan untuk estimasi
klorofil-a; Luoheng Han. (2002) melakukan pendekatan model dengan kanal
biru 0.45-0.52 µm, hijau 0.52-0.60 µm, merah 0.6-0.69 µm dan infra merah dekat
0.76-0.90 µm; Sebastiá M.T.et al. (2012) melakukan pendekatan sama dengan
model Luoheng Han. (2002) menggunakan kanal biru: 0.45-0.52 µm, kanal
hijau : 0.52-0.60 µm kanal merah: 0.6-0.69 µm, infra merah dekat: 0.76-0.90 µm;
dan Jamadar.B.(2013) menggunakan ratio antara kanal hijau (0.50-0.60 μm) dan
kanal merah (0.60- 0.70 μm) atau sebaliknya dan rasio antara kanal biru (0,40-
0,50 mm) dan kanal merah atau sebaliknya.
48 Nana Suwargana
Algorithma-algorithma yang digunakan untuk menentukan estimasi konsentrasi
klorofil-a dengan kajian data Landsat-7 ETM adalah melakukan studi banding
dari model algoritma: Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al
(1995). Sedangkan untuk algorithma-algorithma yang lainnya akan dilakukan
untuk tahun penelitian berikutnya. Untuk menentukan hubungan antara radiansi
spektral dari tubuh air dengan kandungan klorofil-a yang diturunkan Wibowo et.al
(1994) dalam Halida et.al (2010) menyatakan bahwa kanal infra merah (TM3),
kanal infra merah dekat (TM4) dan kanal Infra-merah tengah I (TM5) dari citra
satelit Landsat-7 ETM dapat digunakan untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a di
perairan. Algoritma yang diturunkan adalah pada (persamaan 8).
C = 0.2812 x (𝑇𝑀4+𝑇𝑀5
𝑇𝑀3)
3.497
(8)
Di mana :
C = konsentrasi klorofil-a (mg/l)
TM3 : kanal 3
TM4 : kanal 4
TM5 : kanal 5
Sedangkan dari pemaparan peneliti lainnya seperti Wouthuyzen et.al (1991)
dalam Pentury et al (2009) menyatakan bahwa kandungan konsentrasi klorofil-
a dapat dideteksi melalui citra satelit Landsat-7 ETM dengan menggunakan kanal
biru (TM1) dan kanal hijau (TM2). Algoritma yang diturunkan adalah pada
(persamaan 9).
Chl= 10.359(TM2/TM1)-2.355 (9)
Di mana:
TM1 = kanal 1
TM2= kanal 2
yang telah terkoreksi atmosfir (dijelaskan pada persamaan 7)
Kemudian pemaparan lainnya yang dikemukakan oleh Mayo et.al (1995) telah
melakukan penelitian di Danau Kinneret Israel, menyatakan bahwa pendeteksian
klorofil-a dapat menggunakan kanal biru, kanal hijau dan kanal infra merah.
Hasil penurunan regresinya diperoleh bahwa hubungan antara reflektansi kanal-
kanal ETM yang disimulasikan terhadap pengukuran klorofil yang
sebenarnya (langsung dilangan/ground truth) dengan satuannya dalam miligram
per meter kubik. Algorithma yang diturunkan adalah pada (persamaan 10).
Chl = 0.164{[TM1)-(TM3)]/(TM2)}-0.98
(10)
Di mana :
TM1 = kanal 1
TM2 = kanal 2
TM3 = kanal 3
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 49
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karena pada penelitian ini tidak ada pengambilan data klorofil di lapangan
(ground truth) yang sama dengan waktu akuisisi dari citra Landsat-7 ETM, maka
peta sebaran konsentrasi klorofil-a langsung didapatkan dengan mengaplikasikan
model-model dari pendekatan algoritma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen
(1991) dan Mayo et.al (1995). Sebelum pembuatan peta sebaran klorofil terlebih
dahulu dilakukan pembuatan citra warna gabungan RGB. Pada citra Landsat-7 ETM
dibuat citra gabungan RGB 421 (Gambar 4) kemudian dipertajam (enhancement)
sehingga dapat memperlihatkan ciri obyek yang lebih jelas dari kondisi air dan
penutup lahan disekitarnya (Gambar 5) disertai dengan titik-titik lokasi
pengamatan. Air Danau ditunjukkan dengan rona keruh (biru muda) hingga cerah
(biru tua), sedangkan tutupan lahan disekitarnya didominasi tutupan bervegetasi
(hutan dan tanaman campuran lain-lain yang ditunjukkan denga rona warna merah),
tutupan lahan lainnya adalah lahan terbuka, permukiman dan lain-lain.
Berdasarkan data statistik citra Landsat-7 ETM yang setelah didelineasi batas-batas
Danaunya maka dapat diketahui luasan masing-masing Danau. Luas Danau Matano
berkisar 16.188,48 Hektar, Danau Mahalano berkisar 2.276,20 Hektar dan Danau
Towuti berkisar 55.087,34 Hektar.
Gambar 4. Citra Landsat-7 ETM Gabungan RGB 421
Citra hasil olahan konsentrasi klorofil-a yang diturunkan dari model algorithma
Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) yang
diterapkan pada perairan Danau Matano, Mahalano, Towuti di Kecamatan Nuha,
Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan menampilkan citra dalam bentuk Color
50 Nana Suwargana
Mode Pseudocolor dan Color Table Pseudocolor. Citra hasil penerapan ketiga
algorithma tersebut memperlihatkan penampakan obyek yang mirip sama antara
model yang satu dengan lainnya. Penampakan konsentrasi klorofil-a ditampilkan
dengan warna rona biru muda hingga biru tua, namun apabila dihitung
berdasarkan algorithma dari ketiga model besaran nilai angka dijital antara satu citra
dengan citra yang lainnya tidak sama dan bervariasi. Perbedaan nilai angka digital
dari ketiga algorithma tersebut dapat ditampilkan lebih jelas dalam kedalam bentuk
histogram dan sebaran klorofil-a (Gambar 6-a,b,c) serta hasil klasifikasi kedalam
bentuk peta sebaran klorofil-a yang ditampilkan pada (Gambar 6-d,e,f).
Gambar 5. Citra Satelit Landsat-TM RGB 421 Danau Matano, Danau Mahalano dan
Danau Towuti, Aquisisi Tanggal 17 Oktober 1997 dan lokasi titik-titik pengamatan.
Danau Matano 15 titik lokasi, Danau Mahalona 6 titik lokasi dan Danau Towuti 20 titik
lokasi.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 51
(a) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Wibowo et.al (1994).
(b) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Wouthuyzen (1991)
(c) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Mayo et.al(1995)
52 Nana Suwargana
(d) Klasifikasi Peta Sebaran
Klorofil-a Algorithma Wibowo et.al
(1994).
(e) Klasifikasi Peta Sebaran Klorofil-a
Algorithma Wouthuyzen (1991)
(f) Klasifikasi Peta Sebaran Klorofil-a Algorithma Mayo et.al(1995)
Gambar 6. Model sebaran konsentrasi klorofil-a dari penurunan algorithma Wibowo
et.al (1994), Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995).
Untuk mengetahui apakah penurunan algorithma hasil olahan citra dari ketiga
peneliti tersebut mempunyai nilai konsentrasi klorofil-a yang setara antara satu
sama dengan yang lainnya, maka berdasarkan statistik dapat dihitung nilai
konsentrasi klorofil-a yang diperoleh dari piksel-piksel angka dijital citra
Landsat-7 ETM terebut. Pengambilan sampel dilakukan dengan mencatat nilai
angka dijital pada setiap titik-titik lokasi pengamatan terhadap kanal-kanal :
TM1, TM2, TM3, TM4, TM5, TM6 dan TM7. Pengambilan angka dijital pada
lokasi titik-titik sampel pengamatan ditampilkan pada Tabel 2. Pengambilan
sampel nilai angka dijital pada Danau Matano diambil 15 titik lokasi pengamatan,
pada Danau Matano 6 titik lokasi pengamatan, dan pada Danau Towuti sebanyak
20 lokasi titik pengamatan, ditampilkan pada (Gambar 5).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 53
Hasil penghitungan penurunan algorithma dari ketiga peneliti diperoleh nilai
konsentrasi klorofil-a untuk setiap titik-titik lokasi pengamatan dengan satuannya
dalam mg/l, lihat Tabel 3. Berikut ini contoh hasil olahan citra dari model
algoritma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995)
dijelaskan sebagai berikut:
Algoritma Wibowo et.al (1994):
Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma Wibowo et.al
(1994) menghasilkan kisaran nilai klorofil-a bervariasi antara 0.4879 – 0.7221
mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara
0.479 – 0.541 mg/l, lihat (Gambar 6a) dan rata-rata = 0.5858 mg/l, StDev =
0.0585 lihat (Tabel 3). Dengan mengklasifikasikan (unsupervised
classification) citra hasil dari penurunan algorithma Wibowo (1994) diperoleh
peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada (Gambar 6d). Hasil klasifikasinya
dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.4879 mg/l), kelas 3 (0.5464 mg/l),
kelas 4 (0.6050 mg/l), kelas 5 (0.6636 mg/l), kelas 6 (0.7221 mg/l).
Algoritma Wouthuyzen (1991):
Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma Wouthuyzen
(1991) di perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti) menghasilkan kisaran
nilai klorofil-a bervariasi antara 1.1343 – 1.1649 mg/l, dengan frekwensi tertinggi
didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara 1.157 – 1.179 mg/l, lihat
(Gambar 6b) dan rata-rata = 1.2879 mg/l, StDev = 0.1092 lihat (Tabel 3). Hasil
klasifikasi (unsupervised classification) citra hasil dari penurunan algoritma
Wouthuyzen (1991) diperoleh peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada
(Gambar 6e). Klasifikasi dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (1.1343
mg/l), kelas 3 (1.2644 mg/l), kelas 4 (1.3946 mg/l), kelas 5 (1.5247 mg/l), kelas 6
(1.6549 mg/l).
Algoritma Mayo et.al (1995):
Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma di perairan
Danau (Matano, Mahalona dan Towuti) menghasilkan kisaran nilai klorofil-a
bervariasi antara 0.2456 – 0.2823 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi
oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.247 – 0.249 mg/l, lihat (Gambar 6c) dan
rata-rata = 0.2564 mg/l, StDev = 0.0076, lihat (Tabel 3). Hasil klasifikasi
(unsupervised classification) citra hasil dari penurunan algoritma Mayo et.al
(1995) diperoleh peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada (Gambar 6f).
Klasifikasi dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.2456 mg/l), kelas 3
(0.2547 mg/l), kelas 4 (0.2639 mg/l), kelas 5 (0.2731 mg/l), kelas 6 (0.2822 mg/l).
54 Nana Suwargana
Tabel 2. Nilai angka dijital dilokasi titik-titik pengamatan pada citra
Landsat-TM setiap kanal: TM1, TM2, TM3, TM4, TM5, TM6, dan TM7 di
Lokasi Danau Matano(Mt), Danau Mahalano(Mh) dan Danau Towuti(Tw)
Pengamatan
Koordinat Nilai Angka Digital
Latitude Longitude TM
1
TM
2
TM
3
TM
4
TM
5
TM
7
Mt1 2:26:16.33S 121:13:0.31E 89 31 26 21 12 6
Mt2 2:25:47.22S 121:17:10.1E 89 31 25 21 10 5
Mt3 2:27:30.81S 121:21:47.5E 90 32 26 19 10 5
Mt4 2:29:35.92S 121:25:29.83E 86 29 24 19 10 6
Mt5 2:31:49.19S 121:31:49.19E 88 31 26 21 10 4
Mt6 2:33:17.78S 121:26:14.06E 86 30 23 19 8 5
Mt7 2:31:17.37S 121:22:27.42E 93 35 28 20 11 6
Mt8 2:30:2.96S 121:19:31.87E 90 31 26 21 11 6
Mt9 2:28:33.23S 121:16:36.74E 87 31 24 19 9 6
Mt10 2:26:56.94S 121:15:11.78E 89 31 25 16 10 5
Mt11 2:27:39.53S 121:17:39.65E 90 32 25 16 11 6
Mt12 2:28:33.83S 121:19:23.4E 90 31 26 16 11 7
Mt13 2:29:4.63S 121:21:44.26E 92 32 27 17 11 6
Mt14 2:29:47.55S 121:23:31.16E 91 31 26 16 10 6
Mt15 2:31:2.26S 121:25:3.96E 88 31 25 16 8 7
Mh1 2:36:37.35S 121:28:52.51E 94 34 27 21 11 5
Mh2 2:55:4.85S 121:28:13.02E 92 33 27 23 11 6
Mh3 2:33:52.46S 121:30:18.28E 90 32 24 22 10 5
Mh4 2:36:41.76S 121:30:47.07E 93 36 31 20 10 3
Mh5 2:34:42.91S 121:29:44.27E 95 34 26 20 11 4
Mh6 2:35:48.31S 121:29:19.45E 93 32 26 18 9 5
Tw1 2:41:41.5S 121:25:37.25E 94 33 27 20 11 7
Tw2 2:40:6.31S 121:30:57.71E 94 33 26 17 11 6
Tw3 2:39:35.18S 121:35:7.78E 91 31 25 20 10 6
Tw4 2:39:28.84S 121:38:15.32E 92 31 26 21 10 4
Tw5 2:41:29.41S 121:39:33.33E 92 31 25 16 8 5
Tw6 2:44:54.8S 121:36:15.14E 89 31 25 15 9 6
Tw7 2:50:16.77S 121:33:35.86E 92 32 27 20 10 5
Tw8 2:52:31.46S 121:31:2.0E 95 32 26 19 10 5
Tw9 2:55:14.92S 121:28:3.34E 96 34 27 20 9 6
Tw10 2:55:59.06S 121:23:32.78E 95 34 28 21 9 6
Tw11 2:53:11.44S 121:23:31.3E 94 34 27 23 11 6
Tw12 2:49:13.3S 121:25:45.77E 96 35 28 20 10 6
Tw13 2:44:1.73S 121:26:57.81E 94 34 27 20 8 5
Tw14 2:42:46.04S 121:30:27.57E 94 32 26 16 10 6
Tw15 2:42:42.4S 121:34:25.89E 91 31 25 15 9 6
Tw16 2:48:55.32S 121:30:14.08E 94 32 27 16 9 6
Tw17 2:51:11.35S 121:28:11.48E 94 33 27 17 10 6
Tw18 2:53:11.66S 121:26:4.98E 96 34 28 18 11 5
Tw19 2:46:56.82S 121:22:11.08E 96 35 28 22 11 7
Tw20 2:43:36.22S 121:19:12.95E 90 32 27 24 13 5
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 55
Tabel 3. Konsentrasi klorofil-a di setiap titik-titik lokasi pengamatan
diperairan Danau Matano (Mt), Mahalona (MH), dan Towuti (Tw)
Pengamatan Konsentrasi Klorofil mg/l
Wibowo Wouthuyzen Mayo WoutMayo
Mt1 0.668851 1.253191 0.253977 0.19032135
Mt2 0.653447 1.253191 0.253977 0.19032135
Mt3 0.587778 1.3282 0.2592568 0.19083111
Mt4 0.63676 1.138151 0.2458795 0.18953953
Mt5 0.628315 1.294193 0.2568631 0.1906
Mt6 0.618621 1.258605 0.2543581 0.19035814
Mt7 0.583435 1.543548 0.274415 0.19229462
Mt8 0.648583 1.2131 0.251155 0.19004889
Mt9 0.614802 1.336138 0.2598156 0.19088506
Mt10 0.548052 1.253191 0.253977 0.19032135
Mt11 0.569131 1.3282 0.2592568 0.19083111
Mt12 0.547242 1.2131 0.251155 0.19004889
Mt13 0.546491 1.24813 0.2536208 0.19028696
Mt14 0.526974 1.17389 0.2483951 0.18978242
Mt15 0.505895 1.294193 0.2568631 0.1906
Mh1 0.624561 1.391872 0.2637386 0.19126383
Mh2 0.663596 1.360728 0.2615464 0.19105217
Mh3 0.702631 1.3282 0.2592568 0.19083111
Mh4 0.509974 1.654935 0.2822554 0.19305161
Mh5 0.628315 1.352432 0.2609625 0.19099579
Mh6 0.547242 1.209387 0.2508937 0.19002366
Tw1 0.605044 1.28167 0.2559816 0.19051489
Tw2 0.56751 1.28167 0.2559816 0.19051489
Tw3 0.632368 1.17389 0.2483951 0.18978242
Tw4 0.628315 1.135533 0.2456951 0.18952174
Tw5 0.505895 1.135533 0.2456951 0.18952174
Tw6 0.505895 1.253191 0.253977 0.19032135
Tw7 0.585526 1.24813 0.2536208 0.19028696
Tw8 0.587778 1.134347 0.2456117 0.18951368
Tw9 0.566009 1.313813 0.2582441 0.19073333
Tw10 0.564615 1.352432 0.2609625 0.19099579
Tw11 0.663596 1.391872 0.2637386 0.19126383
Tw12 0.564615 1.421719 0.2658395 0.19146667
Tw13 0.546491 1.391872 0.2637386 0.19126383
Tw14 0.526974 1.171468 0.2482246 0.18976596
Tw15 0.505895 1.17389 0.2483951 0.18978242
Tw16 0.487938 1.171468 0.2482246 0.18976596
Tw17 0.526974 1.28167 0.2559816 0.19051489
56 Nana Suwargana
Pengamatan Konsentrasi Klorofil mg/l
Wibowo Wouthuyzen Mayo WoutMayo
Tw18 0.545794 1.313813 0.2582441 0.19073333
Tw19 0.621076 1.421719 0.2658395 0.19146667
Tw20 0.722149 1.3282 0.2592568 0.19083111
Minimum 0.487938 1.134347 0.2456117 0.18951368
Maksimum 0.722149 1.654935 0.2822554 0.19305161
Rata-rata 0.585882 1.287914 0.2564211 0.19055733
Stdev 0.058574 0.109207 0.007687 0.00074217
Bila dilihat pada Tabel 3 ternyata nilai konsentrasi klorofil-a di ketiga Danau
nampak bervariasi. Nilai konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan algorithma
Wouthuyzen (1991) relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan algorithma
Wibowo et.al (1994) dan algorithma Mayo et.al (1995), namun apabila dilihat
dari kenampakan spektral dari ketiga citra hasil olahan memiliki kemiripan pola.
Pola penampakan spektral yang setelah diklasifikasikan kedalam bentuk peta
sebaran klorofil-a ditampilkan pada Gambar 6 d, e, f. Konsentrasi tinggi dominan
diperlihatkan pada perairan Danau Matano tersebar di pinggiran Danau dengan
ditunjukkan warna hijau muda dan agak kekuning-kuningan menurun berangsur-
angsur hingga biru muda ke arah tengah Danau. Di perairan Danau Mahalona
dominan rata-rata tinggi ditunjukkan dengan warna hijau muda dan di perairan
Danau Towuti dominan konsentrasinya rendah ditunjukkan dengan warna biru
muda, namun dipinggiran Danau dan ke arah outlet dominan tinggi ditunjukkan
dengan warna hijau muda dan kuning.
Ketidaksamaan nilai angka dijital dari pola sebaran klorofil-a yang diperoleh
melalui hasil perhitungan ketiga metode ini disebabkan karena tiap metode
menggunakan kanal yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan nilai
konsentrasi klorofil-a yang berbeda pula (Gambar 7a). Dalam perbedaan nilai ini,
kemudian dibuat simulasi reflektansi kanal-kanal ETM dari ketiga model
algoritma tersebut. Simulasi reflektansi kanal-kanal ETM dilakukan dengan
pengambilan sampel (angka dijital) pada objek titik-titik pengamatan dan
diantara ketiga algorithma tersebut kemudian dibuat persamaan regresinya.
(Gambar 7b) memperlihatkan regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi
kanal-kanal ETM dari model Wibowo et.al dan Wouthuyzen yang
menghasilkan fungsi y = 0,1844 x +1,1799 dan koefesien determinasi (R2) =
0,0098. Selanjutnya (Gambar 7c) memperlihatkan regresi antara perhitungan
reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM model Wouthuyzen (1991) dan Mayo
et.al (1995) yang menghasilkan fungsi y = 0,0704 x +0,1658 dan koefesien
determinasi (R2) = 1. Kemudian (Gambar 7d) memperlihatkan regresi antara
perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM dari model Mayo et.al
(1995) dan Wibowo et.al (1994) yang menghasilkan fungsi y = 0,7536 x +0,3926
dan koefesien determinasi (R2) = 0,0098.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 57
(a) Nilai Klorofil-a: Wibowo et.al,
Wouthuyzen dan Mayo et.al
(b) Regresi antara Wibowo et.al dan
Wouthuyzen
(c) Regresi antara Wouthuyzen dan Mayo
et.al
(d) Regresi antara Mayo et.al dan
Wibowo et.al
Gambar 7. Hasil pengukuran konsentrasi klorofil-a dan bentuk regresi antara
perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal Landsat-7 ETM dari model algoritma
Wibowo et.al, Wouthuyzen, dan Mayo et.al.
Dari ketiga persamaan regresi yang ditampilkan kita dapat memilih persamaan-
persamaan yang relatif setara dengan ketiga model yang dihasilkan, sehingga
persamaan tersebut mempunyai nilai yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk
penelitian yang berkelanjutan. Apabila dicermati ternyata hasil penurunan
algoritma dengan cara menurunkan persamaan regresi antara perhitungan
reflektansi ke simulasi kanal-kanal Landsat-7 ETM yang paling baik adalah
regresi antara perhitungan model Wouthuyzen dan Mayo t.al dengan perolehan
fungsinya, yaitu: y = 0,0704 x + 0,1658 dengan koefesien determinasinya (R2) =
1. Kedua persamaan algorithma dari Wouthuyzen dan Mayo et.al menunjukkan
hasil yang cukup signifikan karena mempunyai koefesiannya R2=1 sehingga
keduanya setara dan dapat dipakai untuk ekstraksi informasi konsentrasi
klorofil-a yang berkelanjutan. Oleh karena itu, persamaan regresi tersebut bisa
kita pakai untuk ekstraksi informasi klorofil-a berkelanjutan yang mana kita sebut
persamaan baru tersebut adalah ”WoutMayo” (Wouthuyzen dan Mayo et.al) :
y = 0.1844x + 1.1799 R² = 0.0098
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
0 0.2 0.4 0.6 0.8
Wo
uth
u
Wibowo
Persamaan Regresi
Wibowo vs Wouthu
y = 0.0704x + 0.1658 R² = 1
0.24
0.25
0.26
0.27
0.28
0.29
0 0.5 1 1.5 2
May
o
Wouthu
Persamaan Regresi
Wouthu vs Mayo
y = 0.7536x + 0.3926 R² = 0.0098
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0.24 0.26 0.28 0.3
Wib
ow
o
Mayo
Persamaan Regresi
Mayo vs Wibowo
58 Nana Suwargana
Y=0,0704 (TM2/TM1) + 0,1658 (11)
Di mana: TM1 = kanal biru,
TM2 = kanal hijau yang telah terkoreksi atmosfir (telah dijelaskan
pada pengolahan awal).
Hasil perhitungan nilai onsentrasi klorofil-a untuk ketiga model Wouthuyzen, Mayo
dan WoutMayo pengalami perbedaan. Konsentrasi Wouthuyzen nampak lebih
tinggi dari pada Mayo dan WoutMayo (Gambar 8a). Ini disebabkan karena
komposisi kanal untuk algorithma Wouthuyzen menggunakan dua kanal biru
dan hijau yaitu ratio kanal TM1 dan TM2, sedangkan Mayo dan WoutMayo
menggunakan input tiga kanal biru, hijau dan merah yaitu ratio kanal TM1,
TM2 dan TM3.
(a) Nilai Klorofil-a Wouthuyzen, Mayo
dan WoutMayo
(b) Regresi antara Mayo dan
WoutMayo
(c) Histogram Konsentransi Klorofil-a
Perhitungan WoutMayo
(d) Peta Sebaran Klorofil-a Hasil
Klasifikasi Metode WoutMayo
Gambar 8. Hasil pengukuran konsentrasi klorofil-a dari WoutMayo, (b). bentuk regresi
antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM dari model algoritma Mayo
dan WoutMayo, (c). Histogram konsentrasi klorofil-a WoutMayo, dan (d).Peta sebaran
klorofil-a hasil klasifikasi WoutMayo
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
D1
D4
D7
D10
D13 B
1
B4
M1
M4
M7
M10
M13
M16
M19
Klo
rofi
l mg/
l
Pengukuran Konsentrasi Klorofil
Wouthu Mayo WoutMayo
y = 0.0965x + 0.1658 R² = 1
0.189
0.1895
0.19
0.1905
0.191
0.1915
0.192
0.1925
0.193
0.1935
0.24 0.26 0.28 0.3
Wo
utM
ayo
Mayo
Persamaan Regresi Mayo vs WoutMayo
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 59
Kemudian pola sebaran klorofil-a yang diperoleh dari algorithma WoutMayo dan
Mayo et.al (1995) nampak setara, artinya kedua model algorithma dari hasil
penurunannya membentuk suatu garis yang parallel (Gambar 8a) dan kalau
dilihat dari titik-titik lokasi pengamatan dari kedua model algorithma tersebut
diperoleh suatu persamaan regresi yang membentuk suatu persamaan garis lurus
dengan nilai persamaan y=0,0965x + 0,1658 dan nilai koefesien determinasinya
R2=1 diperlihatkan pada (Gambar 8.b).
Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algoritma WoutMayo
menghasilkan kisaran nilai klorofil-a yang bervariasi antara 0.1895 – 0.1930 mg/l,
dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara
0.1896 – 0.1899 mg/l dan rata-rata 0.1905 mg/l, StDev = 0.0007. Seluruh
frekwensi konsentrasi klorofil-a ditampilkan dalam bentuk histogram (Gambar
8c). Hasil klasifikasi dibuat menjadi 6 kelas, yakni kelas 1(nilai nol), kelas 2
(0.1895 mg/l), kelas 3 (0.1903 mg/l), kelas 4 (0.1913 mg/l), kelas 5 (0.1922 mg/l),
kelas 6 (0.1931 mg/l) ditunjukkan pada (Gambar 8d).
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Konsentrasi klorofil-a di perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti)
dengan menggunakan tiga model algoritma nilainya bervariasi. Konsentrasi
klorofil-a yang relatif tinggi diperoleh dengan menggunakan algorithma
Wouthuyzen (1991) jika dibandingkan dengan algoritma Wibowo et.al
(1994) dan algoritma Mayo et.al (1995). Ini disebabkan karena komposisi
band untuk algorithma Wouthuyzen menggunakan dua kanal yaitu ratio
kanal TM1 dan TM2, sedangkan Mayo dan WoutMayo menggunakan input
ratio kanal TM1, TM2 dan TM3. Namun ketiganya memiliki kemiripan
pola dimana konsentrasi klorofil-a yang tinggi dihasilkan pada perairan
sekitar pinggiran danau dan disekitar outlet. Konsentrasi akan menurun
berangsur-angsur dari inlet ke tengah danau.
2. Hasil menurunkan persamaan regresi dari model Wouthuyzen (1991)
dan Mayo et.al (1995) diperoleh bentuk persamaan regresi baru
WoutMayo Y = 0,0704 X +0,1658 dengan koefesien determinasi (R2)
= 1. Dari persamaan algoritma ini menunjukkan hasil yang cukup
signifikan dan setara untuk dipakai mengekstraksi informasi konsentrasi
klorofil-a berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan referensi dari model
Wibowo,Wouthuyzen dan Mayo, dapat dibuat model WoutMayo dengan
tujuan utama adalah untuk mengembangkan model lain dari deteksi dan
ekstraksi informasi konsentrasi klorofil-a di perairan danau menggunakan
data satelit penginderaan jauh.
60 Nana Suwargana
3. Sebaran klorofil-a yang diperoleh melalui hasil perhitungan metode
WoutMayo dan metode Mayo et.al (1995) nampak menunjukkan pola
kesetaraan yang sama dengan nilai keduanya paralel. Estimasi kandungan
klorofil-a menggunakan algoritma WoutMayo diperoleh kisaran nilai
klorofil-a antara 0.1895 – 0.1930 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi
oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.1896 – 0.1899 mg/l dan rata-rata
0.1905 mg/l. Hasil pengkelasan algoritma WouthMayo dikelaskan menjadi:
kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.1895 mg/l), kelas 3 (0.1903 mg/l), kelas 4 (0.1913
mg/l), kelas 5 (0.1922 mg/l), kelas 6 (0.1931 mg/l).
Disarankan agar penelitian lanjutan dengan melakukan uji lapangan untuk
menghasilkan algoritma klorofil-a yang valid khusus untuk perairan Danau
(Matano, Mahalona dan Towuti), mengingat belum adanya algoritmma yang
dikembangkan untuk perairan tersebut dengan menggunakan data penginderaan
jauh. Kemudian diharapkan dapat dijadikan masukan untuk membuat kebijakan
pengelolaan danau berkelanjutan (Memanfaatkan Danau dengan memperhatikan
kelestariannya).
DAFTAR REFERENSI
Balasaheb Jamadar., Purandara, B.K. “Review on Study of Lake Water Using Multi Sensor
Remote Sensing Data”. Department of PG Studies-Visveswaraiah Technological
University Belgaum, Karnataka India 2 Scientists, Regional Centre, National
Institute of Hydrology, Hanuman Nagar, Belgaum, Karnataka, India-590 00. IOSR
Journal of Mechanical and Civil Engineering (IOSR-JMCE) e-ISSN: 2278-1684,p-
ISSN: 2320-334X, Volume 6, Issue 5 (May. - Jun. 2013), PP 50-52
www.iosrjournals.org
Brezonik et al. (2002), Satellite and GIS Tools to Assess Lake Quality”, Water Resources
Center, University of Minnesota.
Butler, MJA,M.C Moucot,V Barale and Le Blanc 1988. The Aplication of Remote
Sensing Technology to Marine Fisheries An Introductory manual FAO. New York.
165p.
Claire G. Griffin. ”Remote sensing of chlorophyll-a in texas estuary” CE 394K.3. GIS in
Water Resources.Fall 2010.
Halida et.al (2010). Pengukuran Konsentrasi Klorofil-a dengan Pengolahan Citra
Landsatm ETM-7 dan Uji Laboratorium di Perairan Selat Madeura Bagian Barat.
Jurnal Kelautan, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : 1907-9931
Mayo.M, Gitelson.A, Yacobi.Y.Z and Ben-Avraham.Z (1995).Chlorophyll
Distribution in Lake Kinneret Determined from Landsat Thematic Mapper Data.
Departemen of Geophysics and Planetary Sciences. Tel-Aviv University. Israel.
INT.J.REMOTE SENSING, 1995, VOL. 16.No1 I.175-182. Internotionoi Journal of
Remote Sensing 12,2045-2063.
Kneubuhler.M. et.al (2007).Mapping Chlorophyll-a in Lake Kivu with Remote Sensing
Methods. Remote Sensing Laboratories (RSL), University of Zürich,
Winterthurerstrasse 190, 8057 Zürich, Switzerland. Proc. ‘Envisat Symposium 2007’,
Montreux, Switzerland 23–27 April 2007 (ESA SP-636, July 2007)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 61
Luoheng Han.. “Mapping Chlorophyll Using Landsat ETM+ Data”. Department of
Geography University of Alabama. (2002).
O’ Relly, J. E., S. Maritorena, B.G. Mitchell, D.A. Siegel, K.L. Carder. S.A. Garver, M
Kahru, and C. Mc Clain , 1998, “ Ocean Color Algorithm for Sea Wifs” J.
Ceophysical Res. 103. 24, 937 – 24, 953.
Pentury.R dan Waas.H.J.D. Penentuan Konsentrasi Klorofil-a Perairan Teluk Kayeli
Pulau Buru Menggunakan Metode Inderaja. Jurusan Manajemen Sumberdaya
Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Pattimura . Jurnal TRITON
Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009.hal 60-66.
Risdianto R .K. 1995. Algorithm Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan
Data Landsat-TM Untuk Barat. Skripsi Fakultas Perikanan IPB 106
hal.Pemetaan Horizontal Produktivitas Primer di Perairan Selatan Jawa
Sebastiá1, M.T, J. Estornell2, M. Rodilla1, J. Martí1 and S. Falco1. “Estimation of
Chlorophyll-a A Quickbird “.Revista de Teledetección (2012) 37, 23-33. The
Valencian Gulf (Mediterranean Sea) Spain (2012).
Yuanzhi Zhang1, Hui Lin, Chuqun Chen, Liding Chen, Bing Zhang and Anatoly A
Gitelson. ”Estimation of Chlorophyll-a Concentration in Estuarine Waters:
Case Study of The Pearl River Estuary, South China Sea“. Enviromental Research
Letters . Environ. Res. Lett. 6 (2011) 024016.(9pp). Published 1 June 201.
62 Nana Suwargana
BIOGRAFI PENULIS
Drs. Nana Suwargana, M.Si.
Drs. Nana Suwargana, M.Si. dilahirkan di Banjar pada
tanggal 09 Maret 1955. Peneliti Madya bidang
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh LAPAN. Gelar
Magister penulis diperoleh dari pendidikan Ilmu Tanah,
Pascasarjana, IPB (2002). Gelar sarjana diraih tahun
1982 di bidang Fisika, Unpad. Gelar spesialis dari Post
Graduate Course: Training “Digitale Verabetung von
Satellitendaten” im Rahmen des Overseses Felowship
Programe, DLR Jerman (1988).
Penelitian yang dilakukan banyak berkaitan dengan penginderaan jauh,
pemantauan dan inventarisasi Sumber Daya Wilayah Pesisir Laut dan Sumber
Wilayah Perairan Darat. Organisasi profesi yang menaungi aktivitasnya adalah
Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Tulisan ilmiahnya antara
lain: Pemantauan Perubahan Tutupan Lahan Pulau Rambut dan Pulau Untung
Jawa di Kepulauan Seribu, Analisis Perubahan Penutup Lahan di Pulau
Karimun Propinsi Kepulauan Riau, Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan
Pesisir Pantai Indah Kapuk Menggunakan Data Satelit Landsat dan Ikonos,
Dampak Musim Hujan Terhadap Pola Sebaran TSM di Danau Limboto
Gorontalo Menggunakan Data Landsat-TM, dan Pemantauan Luas Rawa Pening
Periode 1992, 2001, dan 2006 Berbasis Data Landsat-TM dan Ikonos.
Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian
di Tanah Lokasi PRONA dengan Metode
Klasifikasi Kontekstual dari Citra
Landsat-TM dan Aster
Ardhi Arnanto, Westi Utami
64 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi
PRONA dengan Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra
Landsat-TM dan Aster
Ardhi Arnanto
1, Westi Utami
2
1) Plt. Kepala Laboratorium Sistem Informasi Geografi dan Sistem Informasi
Pertanahan STPN 2)
Staf STPN dan Mahasiswa Magister Manajemen Bencana SPS UGM,
Badan Pertanahan Nasional RI
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta 55293 No. Telp. : 0274 587239; No Fax : 0274 587138
Email : 1)
Abstrak
Pertambahan penduduk yang terjadi akibat pembangunan yang pesat di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya menyebabkan perbedaan kepentingan terhadap lahan,
terutama kepentingan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kepentingan non
pertanian. Hal ini membawa konsekuensi alih fungsi lahan pertanian wilayah peri
urban khususnya di Kabupaten Bantul yang terjadi cukup intensif. Berdasarkan
data tahun 2007 luasan sawah di Bantul 16.123 ha sedangkan pada tahun 2009
menjadi 16.046 ha. Hanya kurun waktu 2 tahun telah terjadi alih fungsi lahan
persawahan seluas 77 ha (BPN RI, 2010). Kompetisi lahan yang memang tidak
berimbang memerlukan pengawasan dan pengaturan agar masing-masing
kepentingan dapat berjalan secara berkelanjutan (sustainable). Pelaksanaan
pengawasan yang kurang baik menyebabkan kepentingan untuk mempertahankan
lahan yang menghasilkan pangan menjadi terabaikan. Akibatnya, potensi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat mungkin terjadi.
Pendaftaran tanah pertanian menjadi salahsatu instrumen penting dalam
administrasi lahan dan dapat dijadikan sebagai alat pengawasan alih fungsi lahan.
Dalam hal ini kebijakan Pemerintah melalui BPN telah memberikan insentif
terhadap lahan pertanian melalui program nasional sertifikasi tanah pertanian
(PRONA). Pelaksanaan pengawasan akan berjalan efektif jika didukung
ketersediaan data spasial yang cepat dan lengkap. Perkembangan teknologi
pemetaan memungkinkan untuk mendapatkan data tersebut, yaitu dengan
teknologi penginderaan jauh. Penelitian ini menggunakan sebuah pendekatan
ekstraksi data citra digital dengan metode contextual and multisource
classification untuk mendapatkan data penggunaan lahan dengan cepat dan
lengkap yang diharapkan dapat mengetahui tingkat ketelitian klasifikasi
penggunaan lahannya. Klasifikasi penggunaan lahan didapatkan dengan
mengekstraksi 2 citra digital multitemporal, yaitu citra digital Landsat TM tahun
1996 dan ASTER tahun 2007. Perhitungan uji ketelitian klasifikasi dilakukan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 65
dengan matrik uji ketelitian untuk mendapatkan nilai ketelitian klasifikasi yang
digunakan sebagai dasar kelayakan pemanfaatan data tersebut. Hasil dari
penelitian ini adalah identifikasi alih fungsi lahan pertanian yang didapatkan
dengan menumpang tindihkan peta penggunaan lahan hasil klasifikasi, yaitu peta
penggunaan lahan tahun 1996 dan peta penggunaan lahan tahun 2007.
Kata kunci: Identifikasi, Lahan Pertanian, PRONA, Contextual and
Multisourcce Classification
Abstract
The consequence of increasing activities in urban area requires more space to
support the activities. Urban area that cannot accomodate its activities, leads the
development of new settlement and infrastructure using land in the peri-urban
areas. Population growth caused by rapid development in Yogyakarta and the
surrounding area makes the differences in interest of the land, especially interest
to agricultural and non-agricultural land. As a consequence, this leads to
intensive agricultural land use change in Bantul District peri-urban areas. The
data shows that agricultural areas in Bantul was 16,123 ha in 2007 and was
16,046 ha in 2009, where agricultural areas changed 77 ha (BPN RI, 2010). A
lack of proportion on the land competition betwen agricultural and non-
agricultural sector needs monitoring and regulation to accommodate all interests
fulfilled sustainably. An undeveloped monitoring, will cause the preservation of
food producing area decreased, and consequently it will lead to the declining of
food security. Agricultural land administration/registration will become one of
the important instruments to monitor landuse change. In this sense, Indonesian
Government’s policy via BPN gives an insentif to the people who have
agricultural land through the national program on land administration, called
PRONA. Monitoring can be implemented efectively if it is supported by the
availability of a quick and complete system to provide the spatial data. The
development of mapping technology gives opportunity to provide data that we
need quickly and completely using remote sensing technology. This research
applied contextual and multisource classification to extract quickly land use
information from digital satelite image which is expected to determine the level of
land use classification accuracy. Land use classification was obtained by
extracting 2 multitemporal digital images, Landsat TM that recorded in 1996 and
ASTER that recorded in 2007. Classification accuracy test calculated by
accuracy test matrix to obtain a classification accuracy values were used as the
basis of the feasibility data. The research results is identification of agriculture
land use changes that obtained by overlaying betwen land use maps in 1996 and
land use map in 2007.
Keywords: Identification, Agricultural land, PRONA, Contextual and
Multisource Classification
66 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
1. PENDAHULUAN
Kondisi infrastruktur perkotaan yang relatif lebih baik dari daerah perdesaan
mendorong berbagai kegiatan ekonomi tumbuh di daerah ini. Pusat perkantoran,
perdagangan, industri, maupun jasa tumbuh dengan pesat. Kesempatan kerja yang
tercipta menjadi magnet bagi penduduk dari luar kota untuk mendapatkan
pekerjaan di daerah perkotaan. Hal ini membawa permasalahan demografi di
daerah perkotaan yaitu pertumbuhan penduduk perkotaan menjadi
tinggi.Kondisitersebut tentu sajamembawa dampak negatif bagi perkotaan,
munculnya permukiman kumuh tidak akan terhindarkan lagi karena kebutuhan
ruang yang tidak terpenuhi. Keberadaan lingkungan kumuh membawa beberapa
aspek negatif terhadap lingkungan kota, baik aspek spasial, lingkungan biotik,
lingkungan abiotik, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, dan lingkungan
budaya. Bertambahnya jumlah penduduk juga memicu meningkatnya kegiatan
penduduk karena tuntutan kehidupan masyarakat.
Keterbatasan ruang menyebabkan kebutuhan ruang harus dipenuhi oleh daerah-
daerah yang ada di pinggiran kota (peri urban). Hal ini menyebabkan alih fungsi
lahan-lahan pertanian menjadi non pertanian di wilayah tersebut terjadi secara
intensif. Menurut data Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)
tahun 2007, lahan pertanian di Pulau Jawa masih sekitar 4,1 juta hektar, namun
berdasarkan audit lahan yang dilakukan Kementan tahun 2010, didapatkan data
yang sudah berubah drastis menjadi 3,5 juta hektar.
Yogyakarta sebagai salahsatu kota di Pulau Jawa juga mengalami permasalahan
alih fungsi lahan pertanian. Kota dengan basis ekonomi bertumpu pada
pendidikan dan pariwisata tumbuh dengan pesat seiring peningkatan infrastruktur.
Di kota pendidikan ini terdapat 2872 institusi pendidikan dari tingkat sekolah
dasar hingga perguruan tinggi (BPS, 2010). Sebagai daerah tujuan pariwisata
kedua di Indonesia setelah Bali dengan obyek wisata 23 tempat baik berupa
wisata alam, wisata pendidikan maupun wisata budaya, Yogyakarta mempunyai
magnet tersendiri bagi wisatawan asing maupun domestik sehingga setiap tahun
jumlah pengunjung selalu meningkat (Profil Kota Yogyakarta, 2006).
Peningkatan aktivitas ini tentu membawa konsekuensi kebutuhan ruang untuk
mendukung kegiatan tersebut. Ruang di dalam kota yang sudah tidak mampu
menampung menyebabkan pembangunan permukiman dan sarana kegiatan baru
mengambil lahan pada daerah yang masih kosong di pinggiran kota (peri urban).
Pertambahan penduduk yang terjadi akibat pembangunan yang pesat di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya menyebabkan perbedaan kepentingan terhadap lahan,
terutama kepentingan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kepentingan non
pertanian. Hal ini membawa konsekuensi alih fungsi lahan pertanian wilayah peri
urban. Trend perluasan kebutuhan ruang kota terjadi ke arah utara yaitu Sleman
dan ke selatan yaitu Kabupaten Bantul. Alih Fungsi lahan yang terjadi di Bantul
cukup intensif, kurang lebih 38 Ha/Th (BPN RI, 2010). Adanya kebijakan yang
menjadikan kawasan ring road selatan sebagai kawasan perkembangan kota
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 67
menuju sektor perdagangan dan jasa, tentu sangat berpengaruh terhadap kawasan
peri urban.
Berdasarkan data yang ada tingkat produksi pangan cenderung berkurang akibat
laju alih fungsi lahan sawah. Hal ini ditunjukkan pada tahun 2004 hingga 2006
produksi padi mengalami penurunan dari produksi 154.443 ton pada tahun 2004
menjadi 145.106 ton pada tahun 2006 (BPS, 2006). Dampak lebih lanjut dari alih
fungsi lahan ke non pertanian akan mengancam persediaan bahan pangan di
wilayah Bantul, lebihdari setengah luas wilayah Kabupaten Bantul merupakan
kawasan budidaya pertanian dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi dengan
didukung irigasi teknis pada sebagian besar areal persawahan yang ada.
Pengendalian alih fungsi lahan secara teoritis dapat dilakukan dengan
memberikan insentif yang besar kepada petani agar mereka tidak menjual atau
mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Pendekatan ini membutuhkan dana yang
sangat besar karena perbandingan landrent untuk penggunaan pertanian dan non
pertanian sekitar 1 : 500 dan 1 : 622 untuk kawasan industri dan kawasan
perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Model pendekatan seperti ini tidak
digunakan di Indonesia, pendekatan pengendalian yang digunakan baru sebatas
pendekatan hukum (law enforcement), termasuk peraturan mengenai pelaksanaan
sertifikasi lahan-lahan pertanian.
Kebutuhan data spasial sebagai sarana administrasi, pengawasan (monitoring),
dan pengendalian dapat memanfaatkan kemajuan teknologi pemetaan yang telah
berkembang dengan pesat. Data yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan
masa lalu dengan aktual oleh masyarakat dapat diperoleh dengan relatif cepat dan
lengkap melalui pengolahan data digital penginderaan jauh. Pemanfaatan citra
satelit untuk pengelolaan sumberdaya alam sudah banyak dilakukan di Indonesia.
Citra Landsat TM (Thematic Mapper) dan ASTER merupakan salahsatu citra
multispekstral yang biasa digunakan di Indonesia dalam kegiatan pemetaan
penggunaan lahan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi digital
penginderaan jauh memberikan keuntungan dalam memperoleh data secara cepat
dan efisien. Projo Danoedoro di tahun 2003 memanfaatkan citra Landsat TM dan
peta topografi skala 1 : 50.000 untuk memetakan penggunaan tanah di daerah
Unggaran, Kabupaten Semarang. Informasi morfologi lahan digunakan sebagai
data tambahan dalam mengklasifikasi penggunaan lahan sehingga diharapkan
dapat memberikan informasi penggunaan lahan yang lebih akurat. Pemanfaatan
data citra resolusi besar (hight resolution) juga semakin sering digunakan untuk
pemetaan penggunaan lahan skala besar, baik itu dalam tingkatan penelitian
maupun praktisi. Penelitian yang dilakukan oleh Melania Swetika Rini pada
tahun 2010 memanfaatkan data citra quickbird untuk memetakan penggunaan
lahan perkotaan di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta.
Beberapa penelitian tersebut menjadi salahsatu referensi dalam penelitian ini
untuk mengembangkan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh digital dalam
68 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
bidang pertanahan, terutama mengetahui ketelitian hasil klasifikasi kontekstual
untuk menghasilkan informasi penggunaan lahan. Hasil klasifikasi ini diharapkan
mampu menjadi salah satu sumber data untuk menganalisis alih fungsi lahan
pertanian di daerah-daerah yang pernah menjadi lokasi PRONA.
2. METODE
2.1. Area Studi
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan
Kota Yogyakarta dan menjadi daerah perkembangan kota (urban sprawl). Secara
geografis Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44' 04" hingga 08° 00' 27"
Lintang Selatan dan 110° 12' 34" hingga 110° 31' 08" Bujur Timur. Luas wilayah
Kabupaten Bantul 516,13 km2, sekitar 15,90% dari luas wilayah Propinsi DIY.
Secara administratif Kabupaten Bantul dibagi dalam 17 kecamatan terdiri dari 75
desa yang dibagi lagi dalam 933 pedukuhan. Selopamioro yang terletak di
Kecamatan Imogiri merupakan desa terluas di Kabupaten Bantul dengan luas
20,80 km2 atau sekitar 4,03% dari luas Kabupaten Bantul.
Secara fisik, Kabupaten Bantul dibatasi oleh dua sungai besar, yaitu sungai Oyo
di sebelah timur dan sungai Progo di sebelah barat yang membatasi, peta dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Bantul
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 69
2.2. Data Satelit
Citra Landsat TM mempunyai tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk
memaksimalkan kemampuan analisis objek (terutama vegetasi) dalam berbagai
bidang terapan. Citra Landsat TM dirancang dengan resolusi spasial 30 meter
kecuali untuk saluran inframerah termal sebesar 120 meter. Namun sejak tahun
2004 sensor Landsat TM mengalami gangguan sehingga data yang dihasilkan
tidak sempurna, timbul baris-baris data yang hilang (strip line). Di bawah ini
disajikan tujuh saluran spektral citra Landsat TM beserta kemampuan analisisnya
(John R. Jensen, 1996).
Tabel 1. Citra Landsat TM dan Kemampuan Analisisnya
SALURAN KEMAMPUAN ANALISIS
Saluran satu
(0,45 μm – 0,52 μm)
Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air dan mendukung
analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi.
Saluran dua
(0,52 μm – 0,60 μm)
Mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau
yang terletak diantara dua saluran spektral serapan khlorofil.
Respon pada saluran ini menekankan pada hasil pembedaan
vegetasi dan penilaian kesuburan.
Saluran tiga
(0,63 μm – 0,69 μm)
Merupakan saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi.
Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan khlorofil
dan memperkuat kontras antara kenampakkan vegetasi dan
bukan vegetsi juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi.
Saluran empat
(0,76 μm – 0,90 μm)
Saluran yang peka terhadap vegetasi sehingga membantu
identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman
– tanah dan tanaman – air.
Saluran lima (1,55
μm – 1,75 μm)
Saluran yang penting untuk penentuan jenis tanaman, kondisi
air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah.
Saluran tujuh (2,08
μm – 2,35 μm) Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan.
Saluran enam
(10,40 μm – 12,50
μm)
Saluran inframerah termal yang dikenal bermanfaat untuk
klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisah
kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang
berhubungan dengan panas.
Sumber : John R. Jensen, 1996
Sensor ASTER dikembangkan untuk monitoring permukaan bumi oleh Ministry
of Economy, Trade and Industry, Jepang, yang diluncurkan oleh platform
Amerika yang bernama TERRA, diluncurkan pada Desember 1999 mengelilingi
bumi dengan orbit polar, selaras matahari (sunsyncronous), dengan ketinggian
705 km di atas ekuator setiap jam 10.30 pagi. Lintasan selama 99 menit dengan
pengulangan waktu rekaman pada tempat yang sama setiap 16 hari. Sejak
diluncurkan sensor ini telah mengobservasi permukaan bumi dengan skala global
sebanyak 500 ribu citra (60 km x 60 km per citra). Sensor ini mengobservasi
permukaan bumi dari ketinggian 705 km dengan frekuensi band : Visible dan
Near Infrared - VNIR (tiga band + satu band arah belakang (backward) untuk
data stereoskopik dengan resolusi spatial 15 m), Short Wave Infrared - SWIR
70 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
(enam band dengan resolusi spatial 30 m) dan Thermal Infrared - TIR (lima band
dengan resolusi spatial 90m), total berjumlah 14 band. Sensor ASTER beroperasi
atas kerjasama NASA dan ERSDAC. Sensor ASTER merupakan peningkatan
dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1 (Abrams, M.,
et. al., 1999). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Sensor ASTER
Sumber : Abrams, M., et. al., 1999.
2.3. Klasifikasi Pendekatan Kontekstual
Teknik klasifikasi digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah contextual
and multisource classification, yaitu salah satu teknik ekstraksi data dalam
penelitian penginderaan jauh digital. Metode ini mendasarkan pada beberapa
sumber data sebagai dasar pengklasifikasian penggunaan lahan pada data citra
digital, mencakup klasifikasi multispektral sebagai teknik ekstraksi data tutupan
lahan (landcover). Pengklasifikasian kembali hasil ektraksi dengan klasifikasi
multispektral dibantu dengan data tambahan (ancillary data) sehingga
mendapatkan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi multispektral dengan
metode supervised mencakup langkah pemilihan ROI (region of interest),
perhitungan algoritma klasifikasi, dan pengklusteran nilai piksel. Data yang akan
dicari adalah unit-unit penggunaan lahan sesuai dengan tahun perekaman.
Algoritma maximum likelihood digunakan dalam klasifikasi multispektral ini
karena algoritma ini dipandang sebagai algoritma yang paling bagus (Danoedoro,
1996). Teknik klasifikasi multispektral ini dipandang hanya mampu
mengklasifikasikan tutupan lahan, sehingga harus dibutuhkan variabel lain untuk
bisa mengklasifikasikan penggunaan lahan dengan data citra digital.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 71
Pengunaan lahan sangat dipengaruhi oleh kondisi morfologi dari suatu wilayah,
seperti bentuk lahan, kelerengan, dan ketinggian (Danoedoro, 2003). Penelitian
ini menggunakan data tambahan kemiringan lereng sebagai dasar
pengklasifikasian kembali tutupan lahan menjadi penggunaan lahan. Beberapa
lokasi sering menunjukkan kenampakan tutupan lahan tanah terbuka, hal ini
ditunjukkan dengan nilai spektral yang sama namun satu obyek adalah
persawahan yang sedang bera dan obyek yang lain memang benar-benar obyek
tanah terbuka. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh keterbatasan respon
spektral sebagai data tunggal untuk menentukan penggunaan lahan dapat
dikurangi dengan adanya data tambahan yang secara kontekstual mempengaruhi
penggunaan lahan di wilayah tersebut, seperti kondisi morfologi.
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
72 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
Data morfologi, dalam hal ini adalah data kelerengan membantu dalam
mengklasifikasikan kembali tutupan lahan yang sama tersebut menjadi kelas
penggunaan lahan yang berbeda.
2.4 Uji Ketelitian Interpretasi
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan untuk keperluan uji ketelitian
interpretasi citra digital adalah proporsional purposive sampling. Teknik ini
digunakan untuk memperoleh sampel yang proporsional untuk masing-masing
unit penggunaan lahan. Pengambilan proporsi masing-masing unit penggunaan
lahan didasarkan pada tingkat kesulitan klasifikasi digital dan luasannya yang
dapat diketahui setelah dilakukan klasifikasi citra secara digital. Lokasi
pengambilan sampel ditentukan secara purposive (bertujuan), yaitu pada lokasi-
lokasi yang mudah dijangkau untuk memudahkan pengambilan sampel.
Tabel 3.Perhitungan Jumlah Sampel Uji Ketelitian
No Kategori
(Bobot)
Penggunaan
Lahan
Jumlah
PL x
Bobot
Persentase
Sampel
Persentase PL
per Kategori
Jumlah
Sampel
1 Mudah
(1)
Hutan
1 x 2 = 2
2
15× 100%
= 13,33 %= 𝟏𝟑 %
229,36
388,25× 100 %
= 𝟓𝟗%
5
Kebun
158,90
388,25× 100 %
= 𝟒𝟏%
3
2 Sedang
(2)
Persawahan
2 x 2 = 4
4
15× 100%
= 26,66 %= 𝟐𝟕 %
2695,23
2834,55× 100 % = 𝟗𝟓%
15
Pertanian
Tanah Kering
Semusim
139,32
2834,55× 100 % = 𝟓%
1
3 Sulit
(3)
Permukiman
Perdesaan
3 x 3 = 9
9
15× 100%
= 𝟔𝟎 %
2992,64
5716,69× 100 % = 𝟓𝟐%
19
Permukiman
Perkotaan
2484,30
5716,69× 100 % = 𝟒𝟑%
16
Tanah
Terbuka
239,75
5716,69× 100 % = 𝟒%
2
Jumlah 15 100 % 60
Keterangan: PL = Penggunaan Lahan
PS = Persentase Sampel
PPK = Persentase Penggunaan Lahan per Kategori
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑃𝐿 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙(60) × 𝑃𝑆 × 𝑃𝑃𝐾
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 73
Perhitungan persentase proporsi sampel pada tiap kategori tingkat kesulitan
klasifikasi citra digital dilakukan dengan memberikan bobot sesuai dengan
tingkat kesulitannya. Kategori mudah diberi bobot 1, kategori sedang diberi bobot
2, dan kategori sulit diberi bobot 3. Nilai bobot tingkat kesulitan akan dikalikan
dengan jumlah penggunaan lahan yang termasuk dalam setiap kategori. Proporsi
jumlah sampel pada tiap penggunaan lahan mempertimbangkan persentase luasan
penggunaan lahan tersebut pada masing-masing kategori. Tabel 3 merincikan
perhitungan mengenai pembagian sampel secara proporsional.
Setelah diketahui proporsi jumlah sampel untuk masing-masing bentuk
penggunaan lahan selanjutnya untuk menentukan unit penggunaan lahan yang
akan dijadikan sampel dilakukan dengan cara purposive (bertujuan). Tujuan yang
dimaksud adalah memudahkan pemilihan titik sampel yang akan dicek di
lapangan. Pertimbangannya adalah objek-objek yang mempunyai klasifikasi
penggunaan lahan yang sama dan dipilih objek yang mudah dijangkau
(akesibilitasnya baik). Pertimbangan aksesibilitas digunakan dalam penentuan
lokasi-lokasi pengambilan sampel, sedangkan distribusi sampel pada di wilayah
peri urban mempertimbangkan tingkat keterwakilan dari masing-masing zona
wilayah peri urban. Hal ini dimaksudkan agar setiap sampel memenuhi
keterwakilan karakteritik dari zona wilayah peri urban.
Pengambilan sampel dilapangan menggunakan metode area sampling karena data
hasil klasifikasi merupakan data piksel. Luas wilayah satu lokasi sampel minimal
seluas 1 piksel sesuai dengan resolusi spasialnya. Resolusi spasial citra Landsat
TM adalah 30 m maka minimal luas pengambilan sampelnya 900 m2
dan
resolusi spasial citra ASTER adalah 15 m maka minimal luas pengambilan
sampelnya 225 m2. Hasil pengukuran seluruh sampel dianalisis confusion matrix
calculation dengan menumpangsusunkan peta sampel dan citra hasil klasifikasi.
Hasil tumpangsusun tersebut akan didapatkan data matrik jumlah kesesuaian
klasifikasi piksel dengan data sampel lapangan sehingga didapatkan prosentase
kesesuaian yang disebut dengan nilai tingkat ketelitian interpretasi.
Uji ketelitian hasil klasifikasi citra Landsat TM tahun 1996 menunjukan bahwa
ketelitian hasil interpretasi mempunyai tingkat ketelitian 89,57% (lihat tabel 4).
Berdasarkan pendapat Jensen (1996) suatu hasil interpretasi dapat digunakan
keperluan analisis jika tingkat ketelitiannya mencapai minimal 85%, ini berarti
hasil klasifikasi citra Landsat TM dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria,
sehingga dapat diterima ketelitiannya.
Uji ketelitian hasil klasifikasi citra ASTER tahun 2007 menunjukan bahwa
ketelitian hasil interpretasi mempunyai tingkat ketelitian 92,20% (lihat tabel 5).
Hal ini berarti data hasil dari klasifikasi digital citra ASTER dapat digunakan
untuk analisis lebih lanjut. Ketelitian klasifikasi pada citra ASTER mempunyai
nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan ketelitian klasifikasi yang
dihasilkan oleh citra Landsat TM, hal ini disebabkan oleh (1) citra ASTER
mempunyai resolusi spasial lebih baik dari pada citra Landsat TM yaitu 15 m, (2)
74 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
citra ASTER tersebut direkam pada tahun 2007 sehingga lebih mendekati kondisi
aktual dilapangan.
Tabel 4. Matrik Uji Ketelitian Klasifikasi Citra Landsat TM Tahun 1996
PENGGUNAAN
LAHAN
Hasil Cek Lapangan (piksel) Jumlah
Ketelitian
(%) TT PPk PPd PTKS P K H
Co
nte
xtu
al
an
d M
ult
isou
rce
Cla
ssif
ica
tio
n(p
ikse
l) TT 95 8 0 4 0 0 0 107 88,79
PPk 2 49 1 0 2 0 0 54 90,74
PPd 0 5 90 5 1 0 0 101 89,11
PTKS 2 0 0 10 0 0 0 12 83,33
P 0 2 1 1 42 0 0 46 91,30
K 0 0 0 0 0 4 0 4 100,00
H 0 0 0 0 0 0 2 2 100,00
JUMLAH 99 64 92 20 45 4 2 326 89,57
Keterangan:TT (Tanah Terbuka), PPk (Permukiman Perkotaan), PPd (Permukiman
Perdesaan), PTKS (Pertanian Tanah Kering Semusim), P (Persawahan), K (Kebun), dan
H (Hutan)
Tabel 5. Matrik Uji Ketelitian Klasifikasi Citra ASTER Tahun 2007
PENGGUNAAN
LAHAN
Hasil Cek Lapangan (piksel) Jumlah
Ketelitian
(%) TT PPk PPd PTKS P K H
Co
nte
xtu
al
an
d M
ult
isou
rce
Cla
ssif
ica
tio
n (
pik
sel)
TT 386 26 1 0 0 0 0 413 93,46
PPk 22 219 0 0 0 0 0 241 90,87
PPd 0 10 254 9 1 0 0 274 92,70
PTKS 0 0 2 26 0 0 0 28 92,86
P 0 0 11 0 169 0 0 180 93,89
K 0 0 0 7 0 44 0 51 86,27
H 6 0 1 1 0 0 48 56 85,71
JUMLAH 414 255 269 43 170 44 48 1243 92,20
Keterangan: TT (Tanah Terbuka), PPk (Permukiman Perkotaan), PPd (Permukiman
Perdesaan), PTKS (Pertanian Tanah Kering Semusim), P (Persawahan), K (Kebun), dan
H (Hutan)
3. ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI TANAH LOKASI PRONA
Percepatan pendaftaran tanah melalui prona/prodamerupakan salahsatu upaya
pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, berperan secara jelas untuk
terciptanya tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan, menjamin
keberlanjutan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara untuk
meminimalkan perkara, sengketa dan konflik pertanahan. Pemerintah Kabupaten
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 75
Bantul melaksanakan beberapa program percepatan pendaftaran tanah melalui
prona/proda di beberapa desa yang termasuk dalam wilayah peri urban, seperti
Bangunharjo, Potorono, Tamanan, Singosaren, dan Wirokerten. Luas sertifikasi
prona/proda di wilayah desa Bangunharjo 103529,37 m2, Potorono seluas
318456,64 m2, Singosaren seluas 490440,50 m
2, Tamanan seluas 652592,42 m
2,
dan Wirokerten seluas 488659,85 m2, seperti yang terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Peta Lokasi Prona di Kabupaten Bantul
Penggunaan lahan yang disertifikasi melalui program prona/proda pada umumnya
adalah permukiman perdesaan dan persawahan yang mengelompok pada satu
lokasi. Dinamika wilayah peri urban akibat pengaruh Kota Yogyakarta
membawa konsekuensi terhadap penggunaan lahan selama tahun 1996–2007
mengalami perubahan. Permukiman perdesaan di setiap desa mengalami
perkembangan menjadi permukiman perkotaan, hal ini berarti terjadi proses
densifikasi permukiman perdesaan sehingga menjadi permukiman perkotaan.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa proses densifikasi banyak dilakukan oleh
individu terjadi akibat jual beli tanah dan proses pemecahan waris. Proses alih
fungsi lahan pertanian berupa lahan persawahan juga banyak terjadi, persawahan
dialihfungsikan menjadi permukiman perdesaan dan permukiman perkotaan.
Proses alih fungsi lahan persawahan menjadi pemukiman pada umumnya
dilakukan oleh para pengembang.
Upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul salahsatunya melalui
76 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
program sertifikasi lahan pertanian. Pemberian sertifikat hak atas tanah kepada
penduduk diikuti dengan syarat bahwa tanah tersebut minimal 5 tahun tidak akan
dialihfungsikan untuk peruntukan non pertanian. Hal ini diharapkan akan mampu
menekan alih fungsi lahan pertanian di wilayah ini. Data mengenai luas lahan
pertanian dan luas alih fungsi lahan pertanian pada tanah-tanah yang telah
diberikan sertifikat hak atas tanah dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian Bersertifikat Hak Atas Tanah
Berdasarkan Citra Tahun 2011
Desa Luas Lahan Pertanian
Bersertifikat
Luas Alih Fungsi
Lahan Th 1996 - 2007
Bangunharjo 88184,88 4596,66
Potorono 120267,28 12401,28
Potorono 19658,82 141,49
Singosaren 297498,18 79242,53
Tamanan 107136,95 0,00
Tamanan 415607,74 204735,83
Wirokerten 318428,83 10660,98
Wirokerten 39906,22 26567,75
Data tersebut menunjukkan bahwa luas alih fungsi lahan pertanian mengikuti luas
tanah pertanian yang telah diberikan sertifikat hak atas tanah. Setiap kenaikan
luasan dari lahan pertanian yang telah diberikan sertifikat hak atas tanah maka
diikuti juga dengan kenaikan luas alih fungsi lahan pertanian. Hal ini berarti
kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang positif. Hal ini didasarkan
kebutuhan akan lahan non pertanian yang semakin besar untuk menunjang
aktifitas Kota Yogyakarta, sehingga seberapapun luas ketersediaan lahan
pertanian yang dapat dengan mudah dialihfungsikan menjadi non pertanian tetap
akan diserap oleh pasar.
Alih fungsi lahan pertanian dalam hal ini persawahan menjadi permukiman
perdesaan pada umumnya dilakukan oleh perseorangan, hanya beberapa yang
dilakukan oleh pengembang, terutama pengembang-pengembang kecil yang
membangun perumahan kecil dekat dengan lokasi permukiman perdesaan yang
sudah ada terlebih dahulu.Alih fungsi lahan pertanian untuk permukiman
perkotaan menunjukkan kecenderungan terjadi pada lahan yang telah bersertifikat,
ditunjukkan dengan kejadian tersebut terjadi sebesar 20,09 % dari luas
keseluruhan lahan pertanian bersertifikat. Hal ini banyak dilakukan oleh
pengembang perumahan yang membutuhkan proses perizinan untuk
mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi non pertanian. Pengembang
perumahan akan lebih memilih lahan-lahan yang memiliki sertifikat hak atas
tanah, baik itu sertifikat hak milik atau hak guna bangunan karena diperlukan
dalam proses perijinan alih fungsi.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 77
Kesadaran masyarakat terhadap hukum yang masih relatih rendah menyebabkan
sertifikasi tanah pertanian menjadi tidak mempunyai pengaruh signifikan, hal ini
ditunjukkan dengan kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mengurus
ijin mendirikan bangunan (IMB), padahal hal ini menjadi instrumen penting
dalam pengawasan dan pengendalian pendirian bangunan. Faktor ekonomi
menjadi faktor lain dalam masalah alih fungsi lahan pertanian, hal ini bisa dilihat
dari landrent lahan pertanian dan land value (nilai lahan) dari lahan pertanian
yang telah disertifikasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa landrent lahan
pertanian jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan landrent lahan non pertanian,
sehingga secara ekonomis penggunaan lahan non pertanian jauh lebih ekonomis,
hal ini menjadi salah satu pendorong masyarakat untuk mengalihfungsikan lahan
pertanian. Nilai lahan yang telah mempunyai sertifikat memiliki nilai lahan yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai lahan yang belum mempunyai
sertifikat, dalam beberapa temuan dilapangan juga memperlihatkan bahwa
pengembang lebih menyukai lahan yang bersertifikat karena fungsi sertifikat
yang dapat diagunkan untuk memperoleh kredit dari bank. Ketiadaan instrumen
insentif bagi masyarakat yang mempertahankan lahannya untuk pertanian
semakin membuat penggunaan lahan pertanian tidak mempu bersaing dengan
penggunaan lahan non pertanian. Fakta-fakta di lapangan yang ditemui
menunjukkan bahwa nilai pajak bumi dan bangunan (PBB) antara lahan yang
digunakan untuk persawaahan dan permukiman pada daerah-daerah strategis
adalah sama, sehingga nilai pajak akan semakin memberatkan pemilik lahan yang
digunakan untuk pertanian. Faktor-faktor tersebut yang dapat menjelaskan bahwa
status lahan tidak mampu secara signifikan mengurangi penyusutan lahan
pertanian menjadi non pertanian.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas dapat ditarik sejumlah kesimpulan
sebagai berikut, analisis uji ketelitian menunjukkan bahwa tingkat ketelitian hasil
klasifikasi digital dengan metode contextual and multisource classification pada
citra digital Landsat TM tahun 1996 dan citra ASTER tahun 2007 untuk
pemetaan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kabupaten Bantul masing-
masing adalah 89,57% dan 92,20%. Hal ini berarti bahwa data hasil klasifikasi
digital ini layak untuk digunakan analisis selanjutnya yang menggunakan data
tersebut.
Dinamika penggunaan lahan yang terjadi selama 11 tahun sebagai konsekuensi
dari meningkatnya aktivitas kota membuat alih fungsi lahan pertanian terjadi
tidak terkendali. Desa Wirokerten terjadi alih fungsi seluas 468796,70 m2
(1,64 %), Desa Bangunharjo seluas 1138634,73 m2 (2,60 %), Desa Bangunjiwo
seluas 7635987,14 m2(4,87 %), Desa Banguntapan seluas 673285,45 m
2(3,81 %),
Desa Baturetno seluas 1655201,00 m2
(4,17%), Desa Ngestiharjo seluas
695608,49 (4,16 %), Desa Panggungharjo seluas 688208,74m2(2,46 %), Desa
Potorono seluas 652639,29m2
(2,19%), Desa Singosaren seluas
78 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
81621,51m2(2,04 %), Desa Tamanan seluas 1040672,23m
2(4,84 %), Desa
Tamantirto seluas 2899965,04m2(5,33 %), dan Desa Tirtonirmolo seluas
620169,85m2(3,15 %). Data alih fungsi lahan pertanian dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian di Lokasi PRONA/PRODA
Berdasarkan Citra Tahun 2011
DESA
Kelas Penggunaan
Lahan
Luas (m2) Luas Total
(m2)
Persentase
Alih Fungsi
Lahan
Pertanian
(%)
Tahun
1996 Tahun 2007
Bangunharjo Pertanian Non Pertanian 1138634,73
3988679,69 2,60 Pertanian Pertanian 2850044,96
Bangunjiwo
Pertanian Kehutanan 1698873,23
14261948,80 4,87 Pertanian Non Pertanian 7635987,14
Pertanian Pertanian 4927088,43
Banguntapan Pertanian Non Pertanian 673285,45
1607811,58 3,81 Pertanian Pertanian 934526,13
Baturetno Pertanian Non Pertanian 1655201,00
3605602,82 4,17 Pertanian Pertanian 1950401,82
Ngestiharjo Pertanian Non Pertanian 695608,49
1519715,05 4,16 Pertanian Pertanian 824106,56
Panggungharjo Pertanian Non Pertanian 688208,74
2541902,65 2,46 Pertanian Pertanian 1853693,91
Potorono Pertanian Non Pertanian 652639,29
2709212,05 2,19 Pertanian Pertanian 2056572,76
Singosaren Pertanian Non Pertanian 81621,51
363099,13 2,04 Pertanian Pertanian 281477,62
Tamanan Pertanian Non Pertanian 1040672,23
1956053,40 4,84 Pertanian Pertanian 915381,17
Tamantirto
Pertanian Kehutanan 25972,58
4943532,10 5,33 Pertanian Non Pertanian 2899965,04
Pertanian Pertanian 2017594,48
Tirtonirmolo
Pertanian Kehutanan 2118,20
1787045,89 3,15 Pertanian Non Pertanian 620169,85
Pertanian Pertanian 1164757,84
Wirokerten Pertanian Non Pertanian 468796,70
2596961,55 1,64 Pertanian Pertanian 2128164,85
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 79
DAFTAR REFERENSI Abrams, M., & Hook, S., 2000, ASTER User Handbook Version 2. Pasadena : EROS
Data Centre.
Anonim, 2009. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, Diperoleh dari www.setneg.go.id, diakses tanggal
27 Desember 2010.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2006. Database Profil Daerah Kabupaten
Bantul Tahun 2006. Laporan. Bantul : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Badan Pertanahan Nasional RI, 2008. Penggunaan Tanah di Indonesia. Laporan Tahunan.
Jakarta : Badan Pertanahan Nasional RI
Badan Pusat Statistik, 2004. Bantul Dalam Angka 2004. Bantul : Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bantul.
Badan Pusat Statistik, 2006. Bantul Dalam Angka 2006. Bantul : Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bantul.
Badan Pusat Statistik, 2010. Bantul Dalam Angka 2010. Bantul : Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bantul.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, 2010. Audit
Lahan Pertanian, Diperoleh dari http://psp.deptan.go.id/index.php/page/lahan_audit,
diakses tanggal 27 Desember 2010.
Hadi Sabari Yunus, 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
I Gde Nyoman G., & Soeradji, 2007. Pendaftaran Tanah Pertama Kali. Yogyakarta :
STPN Press
Jensen, J.R., 1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing Perspecstive.
New Jersey : Prentice Hall.
Melania Swestika Rini, 2010. Penyusunan Neraca Perubahan Penggunaan Lahan
Berdasarkan Pedoman Baku di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta Dengan
Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Skripsi.
Program Pendidikan Geografi UNY.
Nasoetion, L. dan J. Winoto, 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding
Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”:
Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64 - 82. Bogor : Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.
Projo Danoedoro, 1996. Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya Dalam Bidang
Penginderaan Jauh. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
______________, 2003. Multisource Classification for Landuse Mapping Based on
Spectral, Textural, and Terrain Information Using Landsat Thematic Mapper
Imagery : A Case Study of Semarang - Ungaran Area, Central Java. Indonesian
Juranal of Geography Vol.35 No. 2. Page 81 – 106.
Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan, 2010. Penggunaan Tanah Kabupaten Bantul
Tahun 2007 – 2009, Laporan Tahunan. Bantul : Kantor Pertanahan Kabupaten
Bantul.
80 Ardhi Arnanto dan Westi Utami
BIOGRAFI PENULIS
Ardhi Arnanto
Lahir di Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 1980.
Pendidikan SD, SMP, dan STM Jurusan Geologi
Pertambangan di selesaikan di Yogyakarta. Pendidikan
tinggi diawali dengan menyelesaikan Program Diploma
III Penginderaan Jauh dan SIG Fakultas Geografi UGM,
dilanjutkan Program Sarjana di Prodi Pendidikan
Geografi UNY. Saat ini bekerja di Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional sebagai Kepala Laboratorium
SIG/SIP.
Westi Utami
Lahir di Bantul pada tanggal 16 Juli 1983, Pendidikan
SD, SMP, SMA di Bantul. Gelar Sarjana diperoleh pada
Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas
Geografi UGM pada tahun 2005, saat ini sedang
menyelesaikan Program Master pada Program Studi
Magister Manajemen Bencana UGM. Penulis adalah
Staf pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum
dengan Landsat TM/ETM+ Multi-temporal
(2000-2009)
Bambang Trisakti
82 Bambang Trisakti
Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat
TM/ETM+ Multitemporal (2000-2009)
Bambang Trisakti
Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
e-mail : [email protected]
Abstrak
Informasi spasial nilai minimum dan dan maksimum dari indek kehijauan
vegetasi (NDVI) sangat diperlukan sebagai data masukan untuk pendugaan laju
erosi tanah. Informasi spasial NDVI pada daerah tangkapan air (DTA)
membutuhkan citra satelit dengan resolusi spasial menengah, seperti citra Landsat.
Tetapi tutupan awan/haze dan perbedaan pencahayaan karena topografi dapat
mengakibatkan tidak akuratnya NDVI. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat
informasi spasial NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau Kerinci
menggunakan 19 citra Landsat TM/ETM+ periode 2000-2009. Data yang
digunakan adalah perekaman bulan berbeda yang mewakili musim kemarau dan
hujan. Standardisasi data dengan melakukan koreksi geometri matahari dan
koreksi terrain menggunakan metode C-correction. Proses berikutnya adalah
menghilangkan awan/haze dan bayangan pada setiap citra, konversi ke NDVI,
pemotongan citra dan penggabungan data, serta perhitungan NDVI maksimum
dan minimum. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk melihat perubahan NDVI.
Hasil memperlihatkan bahwa kondisi topografi, awan dan bayangan
mempengaruhi NDVI, terutama dalam menentukan NDVI minimum. Karena itu
standardisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting
mendapatkan NDVI yang konsisten dan akurat. Perubahan NDVI tinggi terjadi
pada penutup lahan yang dinamis (sawah), sedangkan perubahan NDVI rendah
terjadi pada penutup lahan yang statis (hutan dan tubuh air).
Kata Kunci: NDVI, standardisasi, Landsat TM/ETM+, topografi, penghilangan
awan/bayangan
Abstract
Spatial information of minimum and maximum Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI) are needed as input data to estimate soil erosion rate. Spatial
information of NDVI in water catchment area (DTA) needs middle resolution of
satellite image such as Landsat image. Cloud/haze cover and lightening
difference due to topography can cause inconsistency of NDVI, therefore NDVI
extraction process should consider those factors. The purpose of the research is
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 83
to produce spatial information of minimum and maximum NDVI in Danau
Kerinci catchment area using 19 images of Landsat TM/ETM+ along 2000-2009
periods. Those data were recorded in different months that represented rain and
dry season. Standardization of data was conducted by doing sun geometry
correction, terrain correction using C correction method. The next procedures
were cloud and shadow removal for each image, NDVI extraction, cropping and
layer stacking, and then minimum and maximum NDVI calculation. Further
analysis was conducted to observe the NDVI change in catchment area. The
results show that topographic condition and cloud/shadow cover give significant
effect to NDVI, especially for determining minimum NDVI. Therefore data
standardization and cloud/shadow removal become important to be done to get
consistent and accurate NDVI. High change of NDVI occurred in dynamic land
use (paddy field), otherwise low change of NDVI occurred in static land use
(forest and water body).
Keywords: NDVI, standardization, Landsat TM/ETM+, topography,
cloud/shadow removal
1. PENDAHULUAN
Konversi lahan menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan di bagian hulu Daerah Tangkapan Air (DTA), yang selanjutnya
mengakibatkan berubahnya siklus hidrologi di DTA tersebut. Bila hujan turun
pada tanah yang terbuka, maka air akan masuk ke dalam tanah yang memiliki
kesuburan tinggi. Dengan tidak adanya pohon yang menahan air hujan agar
meresap ke dalam tanah, maka aliran air permukaan akan meningkat. Aliran air
permukaan yang besar dan cepat akan mengikis lapisan permukaan tanah yang
subur sehingga menyebabkan hilangnya kesuburan tanah. Sehingga dampak yang
terjadi adalah meningkatnya erosi tanah pada musim hujan dan kurangnya air
pada musim kemarau karena rendahnya resapan air ke dalam tanah (Nurdin,
2011).
Permasalahan di DTA berakibat pada turunnya kualitas danau seperti:
pendangkalan dan penyempitan danau, penyebaran eceng gondok dan turunnya
kualitas air. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pencegahan agar kerusakan
DTA tidak berlanjut terus, serta upaya pemulihan kualitas danau sehingga danau-
danau tersebut dapat tetap lestari. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah
telah menggulirkan program nasional penyelamatan danau 2010-2014 yang
diprioritaskan kepada 15 danau yang telah mengalami kerusakan (KLH, 2011).
Program tersebut telah ditindak lanjuti dengan diadakannya Konferensi Danau I
di Bali pada tahun 2009 dan Konferensi Danau II di Semarang pada Tahun 2011,
yang menghasilkan kesepakatan antara 9 Kementerian dan penegasan kembali
untuk pemulihan 15 danau prioritas.
Berdasarkan pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau (KLH, 2008) dijelaskan
bahwa status ekosistem danau ditentukan oleh beberapa faktor, yang salah
84 Bambang Trisakti
satunya adalah erosi lahan. Erosi merupakan suatu proses hilangnya lapisan tanah,
baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995). Tingkat erosi
yang tinggi dan melebihi batas toleransi mengakibatkan DTA suatu danau diberi
status mengalami kerusakan. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)
adalah metode pendugaan laju erosi tanah yang cukup populer dan sangat baik
diterapkan di daerah yang faktor utama penyebab erosi adalah hujan dan aliran
permukaan (As-syakur, 2008), tetapi metode USLE membutuhkan beberapa
masukan data pengukuran lapangan yang belum tentu tersedia untuk setiap
wilayah Indonesia. Metode pendugaan lain berbasis data satelit penginderaan
jauh, yang membutuhkan informasi spasial kemiringan lereng dan data
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk wilayah kajian (Hazarika
dan Honda, 2001). Data NDVI yang dibutuhkan untuk pendugaan laju erosi tanah
adalah NDVI minimum dan maksimum pada suatu wilayah selama periode
tertentu.
NDVI adalah indeks vegetasi yang paling popular digunakan dan dapat
mengambarkan kondisi tingkat kehijauan, kesehatan dan kerapatan vegetasi.
NDVI dikembangkan oleh Rouse et al. (1974), berbasis kepada perbedaan nilai
pantulan band inframerah dengan band merah. Tumbuhan hijau akan menyerap
gelombang pada spektrum merah untuk proses fotosintesis, dan memantulkan
gelombang pada spektrum inframerah. Parameter indek vegetasi sebaiknya
memenuhi syarat (Jensen, 2000): (a) Memaksimalkan sensitifitas dari parameter
biofisik tanaman, (b) Menormalkan pengaruh dari luar seperti: sudut matahari,
sudut pandang sensor, atmosfir dan waktu perekaman, (c) menormalkan pengaruh
dari dalam seperti: variasi dari jenis kanopi dan tanah, kondisi topografi, jenis
tanaman, (d) dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur
seperti biomassa atau Leaf Area Index (LAI) yang dapat dijadikan alat validasi
dan kontrol kualitas informasi.
Walaupun NDVI diharapkan dapat terlepas dari pengaruh dari faktor luar dan
faktor dalam, tetapi pada kenyataannya pengaruh faktor-faktor tersebut
mempengaruhi nilai dijital piksel secara berbeda untuk setiap band. Oleh karena
itu NDVI yang berbasis pada selisih band tidak akan terlepas sepenuhnya dari
pengaruh tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai dijital piksel adalah
pengaruh tutupan awan/haze, bayangan dan beda pencahayaan karena perbedaan
kondisi topografi permukaan bumi. Faktor yang paling berpengaruh untuk
wilayah Indonesia adalah faktor tutupan awan, karena Indonesia terletak di
wilayah tropis yang merupakan wilayah pembentukan awan.
Kegiatan ini bertujuan untuk untuk membuat informasi spasial NDVI minimum
dan maksimum di DTA Danau Kerinci menggunakan citra multi temporal
Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Proses standardisasi data
dilakukan dengan melakukan koreksi geometri matahari dan terrain, kemudian
melakukan penghilangan awan/haze dan bayangan awan dengan menggunakan
kombinasi band. Diharapkan proses standardisasi data dan penghilangan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 85
awan/haze dan bayangan dapat mempertahankan konsistensi nilai NDVI sehingga
dapat digunakan untuk mendukung pendugaan laju erosi tanah yang akurat.
2. METODOLOGI
2.1 Lokasi dan Data
Lokasi kajian adalah daerah tangkapan air Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci,
Provinsi Jambi, Indonesia (Gambar 1). Danau Kerinci merupakan salah satu dari
15 danau yang termasuk dalam program pengelolaan danau prioritas tahun 2010-
2014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian
Pengembangan), KLH. Ekosistem sekitar Danau Kerinci mempunyai
permasalahan dengan terjadinya kerusakan DAS karena konversi lahan yang
mengakibatkan tingginya laju erosi tanah di wilayah DTA. Wilayah ini
mempunyai kondisi topografi yang bervariasi dan dikelilingi oleh pegunungan
bukit barisan, dengan penutup lahan yang utama terdiri dari pertanian,
perkebunan, hutan dan ladang/tegalan.
Data penginderaan jauh satelit yang digunakan adalah data Landsat TM/ETM
selama periode 2000-2009, dan data Digital Elevation Model (DEM) SRTM X-C
band. Kedua jenis data mempunyai resolusi spasial yang sama yaitu 30 m. Data
Landsat TM/ETM+ diperoleh dari program Indonesia National Carbon
Accounting System (INCAS), kondisi data sudah terkoreksi geometri matahari
(konversi nilai dijital ke reflektansi) dan sebagian sudah terkoreksi terrain. Dari
data yang diterima dilakukan evaluasi tingkat penutup awan, untuk selanjutnya
dipilih 19 data dengan tingkat penutup awan yang relatif rendah untuk digunakan.
Data yang dipilih juga memperhatikan keterwakilan bulan-bulan pada musim
hujan dan musim kemarau. Data yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 1.
Gambar 1. Lokasi daerah kajian di Kabupaten Kerinci (Kiri), dan daerah tangkapan air
Danau Kerinci (Kanan)
86 Bambang Trisakti
Tabel 1. Data Landsat yang digunakan
No. Jenis data Tanggal Perekaman
1. Landsat TM 22 Januari 2000
2. Landsat TM 5 Mei 2000
3. Landsat TM 13 Mei 2000
4. Landsat TM 3 Juli 2001
5. Landsat TM 11 Juli 2001
6. Landsat ETM+ 24 Maret 2002
7. Landsat ETM+ 28 Juni 2002
8. Landsat ETM+ 15 Agustus 2002
9. Landsat TM 6 Januari 2003
10. Landsat ETM+ 17 Juni 2004
11. Landsat TM 13 September 2004
12. Landsat TM 27 Mei 2005
13. Landsat TM 30 Mei 2006
14. Landsat TM 1 Juli 2006
15. Landsat ETM+ 11 September 2006
16. Landsat TM 1 Mei 2007
17. Landsat TM 19 Mei 2008
18. Landsat TM 20 April 2009
19. Landsat TM 22 Mei 2009
2.2 Metodologi Penelitian
Sebagian data masih belum dilakukan koreksi terrain, sehingga tahap pertama
adalah melakukan koreksi terrain dengan menggunakan algoritma C correction
(Wu et al., 2004) seperti pada persamaan 1. Detil penjelasan mengenai koreksi
terrain dan cara memperoleh nilai C dapat dilihat pada hasil penelitian
sebelumnya (Trisakti et al., 2009).
LH = LT (Cos sz + C)/(Cos i +C) (1)
Dimana:
LH : Reflektansi yang sudah dikoreksi (pada permukaan datar)
LT : Reflektansi belum dikoreksi (pada permukaan miring karena
kondisi topografi)
sz : Sudut zenith matahari
i : Sudut normal piksel yang dibentuk dari arah normal piksel dan
arah matahari
c : Koefisien pembatas yang merupakan rasio antara titik potong dan
gradient (b/m) dari persamaan regresi LT = m Cos I + b
Selanjutnya melakukan penghilangan awan/haze (cloud removal) dan bayangan
awan untuk data Landsat. Penghilangan awan dilakukan dengan menggunakan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 87
metode penghilangan awan secara bertahap menggunakan band biru (band 1) dan
band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut:
if X4 > Acloud-thres then P = piksel awan,
if X1 > Bcloud-thres then P = piksel awan,
Selain itu adalah piksel non awan,
dimana:
X1 = Band 1
X4 = Band 4
Acloud-thres = Nilai batas awan band 4
Bcloud-thres = Nilai batas awan band 1
Sedangkan untuk penghilangan bayangan awan digunakan metode penghilangan
bayangan secara bertahap menggunakan band albedo (penjumlahan band visible)
dan band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut:
if X1+X2+X3 < Acloud-thres then P = piksel bayangan,
if X4 < Bcloud-thres then P = piksel bayangan,
Selain itu adalah piksel non awan,
dimana:
X1, X2, X3 = Band 1, Band 2 dan Band 3
X4 = Band 4
Acloud-thres = Nilai batas bayangan band albedo
Bcloud-thres = Nilai batas bayangan band 4
Nilai batas awan dan bayangan ditentukan dengan melakukan perbandingan
visual antara hasil citra penerapan algoritma penghilangan awan dan bayangan
dengan citra Landsat komposit RGB 542. Bila hasil masking awan dan bayangan
belum sesuai maka dilakukan iterasi sehingga diperoleh batas yang paling
optimal. Setelah itu tahap berikutnya adalah mengubah piksel non awan menjadi
nilai NDVI dengan persamaan umum dari NDVI.
NDVI = (X4-X3)/(X4+X3) (2)
dimana :
X3, X4 = Band 3 dan band 4
Konversi NDVI dilakukan untuk seluruh data (19 data), selanjutnya melakukan
kroping dengan batas DTA yang diturunkan dengan data DEM menggunakan
metode akumulasi aliran. Selanjutnya menggabung seluruh data NDVI dan
menghitung sebaran nilai maksimal (Max-NDVI) dan nilai minimum (Min-
NDVI) dari seluruh data selama periode 2000-2009. Tahap terakhir adalah
menentukan perubahan NDVI (NDVI ) dengan menghitung selisih antara nilai
maksimum dan nilai minimum NDVI untuk setiap piksel, kemudian membagi
88 Bambang Trisakti
menjadi tiga kelas yaitu perubahan NDVI rendah, perubahan NDVI menengah
dan perubahan NDVI tinggi untuk daerah tangkapan air Danau Kerinci.
NDVI Max = f (i1, i2, …, in)
NDVI Min = f (i1, i2, …, in)
NDVI = NDVI Max – NDVI Min (3)
dimana:
i1, i2, …, in = layer NDVI ke 1 sampai dengan layer NDVI ke n (n=19)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh terrain, awan, dan bayangan awan pada nilai NDVI
Nilai NDVI diekstrak secara dijital dengan menggunakan kombinasi band 3
(merah) dan band 4 (inframerah), dimana band ini dipengaruhi oleh kondisi
keawanan (awan, haze dan bayangan) dan topografi permukaan bumi. Gambar 2
memperlihatkan Landsat dengan kondisi topografi di wilayah kajian yang
berbukit dan hasil NDVI yang diturunkan dari data tersebut. Kondisi topografi
yang bervariasi mengakibatkan terjadinya perbedaan pencahayaan matahari
terhadap permukaan bumi. Bagian yang menghadap matahari akan memperoleh
intensitas pencahayaan yang tinggi sehingga mempunyai nilai piksel yang juga
tinggi (terang), sedangkan bagian yang membelakangi matahari akan memperoleh
intensitas pencahayaan yang rendah sehingga mempunyai nilai yang lebih rendah
(gelap). Berkurangnya intensitas pencahayaan pada bagian yang membelakangi
matahari, lebih mempengaruhi nilai spektral pada band dengan panjang
gelombang lebih panjang (band 4) dibandingkan band dengan panjang gelombang
Citra Landsat RGB 542
Nilai NDVI
Gambar 2. Citra Landsat (Kiri) dan Nilai NDVI dari citra Landsat (Kanan)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 89
yang lebih pendek (band 2). Oleh karena itu permukaan yang membelakangi
matahari mempunyai nilai NDVI yang rendah seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 2, khususnya dalam kotak hitam.
Pengaruh awan sangat berdampak terhadap objek di permukaan bumi, awan tebal
akan memblok gelombang elektromagnetik yang datang dan memantulkan
kembali ke atmosfir. Sedangkan awan tipis (haze) hanya memblok sebagian
gelombang elektromagnetik yang datang ke permukaan bumi, sehingga
mengakibatkan berkurangnya intensitas cahaya pada daerah yang dipengaruhi
haze. Pengurangan intensitas cahaya juga terjadi pada daerah yang menjadi
proyeksi awan pada permukaan bumi (daerah bayangan awan atau haze).
Pengurangan intensitas cahaya mempengaruhi nilai NDVI seperti diperlihatkan
pada Gambar 3. Nilai NDVI menjadi sangat rendah pada daerah yang ditutupi
oleh awan dan haze. Berdasarkan hal yang dijelaskan tersebut maka penurunan
NDVI perlu melakukan proses standardisasi data dan penghilangan awan, haze
dan bayangan.
Awan dan bayangan
Awan tipis (haze)
Bayangan
NDVI karena awan
NDVI karena haze
NDVI karena bayangan
Gambar 3. Pengaruh awan, haze dan bayangan pada nilai NDVI
90 Bambang Trisakti
3.2 Standardisasi data dan penurunan NDVI
Standardisasi data dilakukan dengan melakukan koreksi radiometrik (koreksi
geometri matahari dan koreksi terrain), serta penghilangan awan dan bayangan.
Gambar 4 memperlihatkan data sebelum dan setelah dilakukan proses koreksi
terrain. Setelah mengalami proses koreksi terrain, penampakan data dalam
bentuk 3 dimensi berubah menjadi bentuk datar 2 dimensi, dan perwarnaan yang
lebih gelap dari bagian yang membelakangi matahari menjadi lebih terang
sehingga mendekati pewarnaan dari bagian yang menghadap matahari. Analisis
secara dijital memperlihatkan bahwa nilai-nilai dari band pada objek yang
membelakangi matahari bertambah, dan nilai-nilai dari band pada objek yang
menghadap matahari berkurang mendekati nilai-nilai band pada objek yang pada
bagian datar.
Hasil penghilangan awan dan bayangan diperlihatkan pada Gambar 5. Dengan
menggunakan metode penghilangan secara bertahap menggunakan kombinasi
band, maka awan dan bayangan dapat dihilangkan dengan cukup baik.
Permasalahannya yang masih menyulitkan dalam proses penghilangan awan dan
bayangan adalah perlunya melakukan iterasi untuk mendapatkan nilai batas yang
optimal, dan nilai tersebut bisa berubah pada data yang berbeda. Sehingga apabila
nilai batas tidak optimal, maka akan mengakibatkan tidak optimalnya nilai NDVI
(NDVI lebih rendah dari semestinya). Setelah data terstandardisasi, maka
dilakukan penurunkan nilai NDVI untuk untuk setiap data pada Tabel 1. Gambar
6 memperlihatkan contoh data NDVI untuk DTA Danau Kerinci pada tanggal
perekaman berbeda selama periode 2000-2009.
Data belum terkoreksi terrain
Data terkoreksi terrain
Gambar 4. Hasil koreksi terrain pada data Landsat
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 91
Awan dan bayangan pada citra
Penghilangan awan dan bayangan
Gambar 5. Hasil penghilangan awan dan bayangan pada data Landsat
11 juli 2001
27 Mei 2005
22Mei 2009
Gambar 6. Nilai NDVI pada data Landsat yang telah dikoreksi
3.3 Perubahan NDVI di DTA Danau Kerinci
Seluruh informasi spasial NDVI untuk DTA Danau Kerinci kemudian disusun
dan dihitung nilai NDVI maksimum dan minimum untuk setiap piksel. Hasil
NDVI minimum dan NDVI maksimum di DTA Danau Kerinci diperlihatkan
pada Gambar 7. NDVI minimum memperlihatkan nilai NDVI terendah
sepanjang periode 2000-2009, tidak menutup kemungkinan nilai rendah tersebut
diakibatkan oleh pengaruh haze, bayangan atau kondisi topografi. Tetapi
berdasarkan hasil evaluasi secara visual, standardisasi data yang dilakukan telah
mengurangi pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga diharapkan NDVI yang
dihasilkan lebih konsisten dan akurat. Nilai NDVI minimum terpantau pada air
danau, sawah (dalam fase air) di dataran rendah, dan daerah lahan terbuka di
0.1 0.9 0.1 0.9 0.1 0.9
92 Bambang Trisakti
bagian hulu DTA (puncak Gunung Kerinci). Sedangkan Nilai NDVI maksimum
sepanjang periode 2000-2009 teridentifikasi di daerah hutan pada bagian
perbukitan. Nilai NDVI maksimum pada area sawah di bagian tengah DTA
adalah kondisi sawah dalam fase vegetatif.
(a)
(b)
(c)
Keterangan:
a) NDVI Minimum 200-2009
b) NDVI Maksimum 2000-2009
c) Perubahan NDVI 2000-2009
Legenda
Nilai NDVI
Gambar 7. NDVI minimum, NDVI maksimum dan perubahan NDVI selama periode 2000-
2009
0.2 0.9
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 93
Analisis perubahan nilai NDVI di DTA Danau Kerinci dilakukan dengan
mengurangi NDVI maksimum dengan NDVI minimum. Besarnya selisih NDVI
yang diperoleh kemudian dibagi menjadi tiga bagian dan dikelaskan menjadi
kelas perubahan NDVI rendah, kelas perubahan NDVI sedang dan kelas
perubahan NDVI tinggi. Kelas perubahan NDVI tinggi dan NDVI sedang
teridentifikasi di daerah sawah, ladang dan perkebunan yang mempunyai
perubahan tingkat kehijauan yang tinggi. Yaitu kehijauan vegetasi saat masa
penanaman atau masa setelah panen yang didominasi oleh tanah (NDVI rendah)
dengan kehijauan vegetasi saat fase vegetasi yang didominasi oleh tutupan daun
yang rapat (NDVI tinggi). Sedangkan kelas perubahan NDVI rendah terpantau
pada hutan, air danau, permukiman, semak belukar yang tingkat kehijauannya
relatif tetap (cenderung sama).
4. KESIMPULAN
Pada kegiatan ini dilakukan pembuatan NDVI maksimum dan minimum untuk
wilayah DAS Danau Kerinci dengan menggunakan data Landsat TM/ETM+
selama periode 2000-2009. Hasil memperlihatkan bahwa,
Kondisi topografi, tutupan awan, haze dan bayangan sangat mempengaruhi
NDVI, terutama dalam menentukan NDVI minimum. Karena itu
standardisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting
mendapatkan NDVI yang konsisten untuk menghasilkan pendugaan laju
erosi tanah yang akurat
Standardisasi yang perlu dilakukan adalah koreksi terrain untuk
penghilangan pengaruh perbedaan pencahayaan karena topografi dan
penghilangan awan/haze dan bayangan.
Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang
dinamis seperti sawah, sedangkan perubahan NDVI rendah terjadi pada
penutup/penggunaan lahan yang statis seperti hutan dan tubuh air.
REFERENSI As-syakur, A.R. 2008, Prediksi Erosi Dengan Menggunakan Metode USLE Dan Sistem
Informasi Geogra_s (SIG) Berbasis Piksel Di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan.
PIT MAPIN XVII:Bandung.
Foth, H.D. 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Hazarika, M.K. dan Honda, K. 1999. Estimation of Soil Erosion Using Remote Sensing
and GIS, Its Valuation and Economic Implications on Agricultural Production.
Proceeding, The 10th
International Soil Conservation Organization Meeting held
May 24-29, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion
Research Laboratory.
Jensen, J.R. 2000. Remote Sensing of The Environment an Earth Resource Perspective.
PP.361. Published by Pearson Education Inc. First Indian Reprint, 2003.
KLH. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014. Kementerian Lingkungan
Hidup.
94 Bambang Trisakti
KLH. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau. Kementerian Lingkungan Hidup.
Nurdin, Ali. http:// www.salmaghaliza.blogspot.com. Keseimbangan Ekosistem. 10
November 2011.Rouse, J.W. Haas, R.H. Schell, J.A. dan Deering, D.W. 1974.
Monitoring Vegetation System in The Great Plains with ERTS. Proceeding, Third
Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium. Greenbelt: NASA SP-351.
3010-317.
Trisakti, B. Kartasasmita, M. Kustiyo dan Kartika T. 2009. Kajian Koreksi Terrain pada
Citra Landsat Thematic Mapper. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra
Digital. Vol.6.
Wu, X. Furby, S. dan Wallace, J. 2004. An Approach for Terrain Illumination Correction.
Proceeding, The 12th
Australasian Remote Sensing and Photogrametry Association
Conference, held in Fremantle, Western Australia 18-22 October 2004.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 95
BIOGRAFI PENULIS
Bambang Trisakti
Penulis bernama Bambang Trisakti, lahir di Jakarta pada
tanggal 1 Oktober 1972. Penulis menyelesaikan
pendidikan pada bidang Natural Science di Universitas
Okayama Jepang pada tahun 2002. Selanjutnya mulai
tahun 2002 sampai sekarang, penulis aktif sebagai staf
peneliti di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional. Saat ini jabatan fungsional
adalah peneliti Madya. Penulis telah melakukan kegiatan
penelitian pemanfaatan data satelit inderaja untuk
berbagai sektor, seperti sektor kehutanan, sumber daya
air, pesisir dan lautan serta kebencanaan. Bidang yang
diminati adalah image processing.
Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM,
dan Peta Topografi
Atriyon Julzarika, Bambang Trisakti, dan Ahmad Sutanto
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 97
Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta
Topografi
Atriyon Julzarika, Bambang Trisakti, dan Ahmad Sutanto
Penelitian Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Digital Elevation Model (DEM) dapat dihasilkan dari peta topografi,
Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) atau citra stereo optik. Masing-
masing DEM memiliki kelebihan dan kelemahan berkaitan dengan kedetilan
informasi, cakupan wilayah dan tingkat akurasi. Pada penelitian ini dilakukan
penggabungan data DEM yang berbeda (DEM dari peta topografi, DEM SRTM
dan DEM dari ALOS PRISM) untuk mendapatkan DEM dengan kedetilan
informasi dan tingkat akurasi yang lebih baik. Penggabungan DEM dilakukan
dengan 2 metode, yaitu: DEM Integration dan DEM fusion. DEM integration
dilakukan dengan menentukan Height Error Map (HEM) pada DEM,
menghilangkan daerah error pada batas tertentu, mengisi void dengan titik
ketinggian dari DEM berbeda dan melakukan interpolasi untuk membentuk DEM
baru. Sedangkan, DEM fusion dilakukan dengan menggabungkan 2 DEM
menggunakan bobot yang dihitung dari HEM setiap DEM. Perbaikan kualitas dan
tingkat Akurasi dari DEM dievaluasi menggunakan perubahan HEM, analisis
jumlah bull eyes, serta pengujian dengan data pengukuran lapangan
menggunakan GPS Geodetik. Hasil memperlihatkan bahwa pada penggabungan
DEM topografi dan DEM SRTM, Metode DEM integration mampu memperbaiki
HEM dan meningkatkan akurasi vertikal DEM. Sedangkan pada penggabungan
DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM, DEM fusion mampu memperbaiki bull
eyes dan meningkatkan akurasi vertikal DEM.
Kata kunci: DEM integration, DEM fusion, Height Error Map, Bull eyes,
akurasi
Abstract
Digital Elevation Model (DEM) can be generated based on topographic map,
Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) or stereoscopic image. Each
DEM has advantages and disadvantages related to information detail, coverage
area and accuracy level. This research focused on DEM combination using
different DEM sources (DEM from topographic map, DEM SRTM, and DEM
from ALOS PRISM) for obtaining new DEM with better information detail and
accuracy. DEM combination was conducted using 2 methods: DEM Integration
and DEM fusion. DEM integration was done by determining Height Error Map
98 Atriyon Julzarika, dkk.
(HEM) of DEM, remove error area using threshold, filling the void using height
points from other DEM, and doing co-krigging interpolation. DEM fusion was
done by combining two DEMs using weight factors calculated from HEM of each
DEM. Quality and accuracy improvement were evaluated by analyzing HEM
change, bull eyes, and vertical accuracy assessment using height data measured
in the field. The results show that DEM integration method reduced HEM and
improved the vertical accuracy of DEM for combination between DEM from
topographic map and SRTM. On other hand, DEM fusion reduced the bull eyes
number and improved the vertical accuracy of DEM for combination between
DEM from ALOS PRISM and SRTM.
Keywords: DEM integration, DEM fusion, Height Error Map, Bull eyes,
accuracy
1. LATAR BELAKANG
Digital Elevation Model (DEM) adalah model digital dari ketinggian (topografi)
suatu wilayah permukaan bumi, setiap pikselnya mempunyai informasi titik
koordinat (XY) dan ketinggian (Z). Pembuatan DEM dapat dilakukan dengan
metode Interpolasi titik tinggi (dari peta topografi atau hasil pengukuran
lapangan), dan menghitung ketinggian secara langsung berbasis citra stereo optik
atau Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) (Trisakti et al., 2006).
Saat ini, Data DEM yang umum digunakan dan mudah diperoleh adalah data
DEM yang berasal peta topografi, DEM Shutlle Radar Topography Mission
(SRTM) dan DEM yang diturunkan dari citra stereo optik (seperti: DEM dari data
ASTER atau ALOS PRISM). Masing-masing DEM memiliki kelebihan dan
kelemahan yang berbeda-beda terkait dengan kedetilan informasi, tingkat akurasi
data, cakupan perekaman data, dan hilangnya data karena tutupan awan. Sebagai
contoh data DEM SRTM memiliki akurasi vertikal yang baik (Tabel 1) tapi
mempunyai resolusi spasial kurang detil (30 m untuk X band dan 90 m untuk C
band). selain itu data DEM berbasis InSAR dapat memiliki error yang
disebabkan oleh layover, shadow dan atmosferic effect (temporal decorrelation)
(Karkee et al., 2006).
Peta topografi merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari
berbagai skala, tetapi saat ini skala yang detil (1:10.000 atau 1:25.000) bahkan
skala menengah (1:50.000) belum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Selain
itu kontur ketinggian kurang rapat di wilayah datar sehingga mengakibatkan
hilangnya informasi topografi antara 2 garis kontur. Sedangkan DEM dari citra
stereo ALOS PRISM merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan DEM
dengan resolusi spasial tinggi (2.5-10 m) dan akurasi tinggi (2-6 m) (Tabel 1),
tetapi cakupan DEM tersebut sempit (lokal) dan adanya bull eyes (error lokal)
yang terjadi bila pada saat pembuatannya distribusi dan jumlah GCP tidak
mencukupi atau adanya tutupan awan (Trisakti et al, 2010).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 99
Table 1. Akurasi DEM SRTM dan DEM dari stereo ALOS PRISM
Tahun Sensor satelit Referensi Akurasi (m)
2005 SRTM X- band Gesch D. 3 – 5 m
2006 SRTM X band Yastikh et al. 5.6
2006 SRTM C band Yastikh et al. 9.6 m
2006 ALOS PRISM JAXA < 6.5 m
2008 ALOS PRISM Bignone & Umakawa 2 – 5 m
2008 ALOS PRISM Schneider et al. 4 m
2010 ALOS PRISM Geo Image 5 m
2010 ALOS PRISM Trisakti et al. < 5 m
Dewasa ini, pembangunan di setiap wilayah membutuhkan DEM yang akurat
untuk memenuhi kebutuhan peta topografi wilayah. Selain itu banyaknya
kejadian bencana di Indonesia, mengakibatkan DEM yang detil dan akurat
menjadi data vital untuk memetakan daerah rawan bencana. Oleh karena itu,
perlu dilakukan suatu upaya untuk menghasilkan data DEM dengan akurasi dan
kedetilan yang lebih baik dari DEM yang digunakan saat ini. Salah satu cara
adalah melakukan penggabungan DEM untuk menghasilkan DEM yang lebih
baik dari DEM pembentuknya. Hoja et al. (2006) melaporkan bahwa
penggabungan antara DEM SPOT 5 dan SRTM dapat mengurangi bull eyes
sehingga meningkatkan akurasi DEM yang dihasilkan. Beberapa metode
penggabungan adalah DEM integration, DEM fusion (Hoja and d’Angelo, 2010),
dan Spatial Fequency Domain menggunakan Fast Fourier Transform (FFT)
(Honikel (1998); Karkee et al.( 2006)). Metode-metode tersebut digunakan untuk
menggabungkan antara DEM dari citra optik (SPOT dan ASTER) dan citra SAR
(SRTM) untuk wilayah kajian masing-masing, sementara penggabungan DEM
untuk perbaikan kualitas DEM dari peta topografi dan citra stereo ALOS PRISM,
khususnya untuk wilayah Indonesia, dengan menggunakan model Geoid 2008
masih jarang dilakukan.
Kegiatan ini bertujuan untuk menkaji metode penggabungan data DEM yang
berbeda (DEM dari peta topografi, DEM SRTM dan DEM dari ALOS PRISM)
untuk mendapatkan DEM dengan kedetilan informasi dan tingkat akurasi yang
lebih baik dibandingkan DEM awal, selanjutnya tingkat akurasi dari DEM yang
dihasilkan dievaluasi dengan menggunakan perubahan HEM, perubahan jumlah
bull eyes serta pengujian dengan data pengukuran lapangan menggunakan GPS
Geodetik.
2. METODOLOGI
2.1 Lokasi Kajian
Lokasi kajian yaitu: Kabupaten Enrekang dan sekitarnya di Provinsi Sulawesi
Selatan dengan ketinggian wilayah berkisar dari 0-2000 m, dan Kabupaten Sragen
100 Atriyon Julzarika, dkk.
dan sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah dengan ketinggian wilayah berkisar dari 50
– 500 m (Gambar 1). Wilayah kajian di dalam kotak kuning.
Pemilihan lokasi-lokasi tersebut dilakukan dengan pertimbangan:
Wilayah-wilayah ini mempunyai kondisi topografi yang bervariasi sehingga
dapat mewakili lingkungan bertopografi rendah sampai lingkungan
bertopografi tinggi.
Ketersediaan data yang lengkap (DEM SRTM, peta topografi, Citra stereo
dan GCP )
(a)
(b)
Gambar 1. Lokasi kajian pembuatan DEM: (a) Kab. Enrekang dan (b) Kab. Sragen
Enrekang
Sragen
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 101
2.2 Data yang Digunakan
- Data SRTM X (resolusi 30 m) atau C (resolusi 90 m) band untuk wilayah
Enrekang dan Sragen.
- Peta topografi 1 : 50.000 (Peta Rupa Bumi) untuk wilayah Enrekang
- DEM dari citra stereo PRISM resolusi 10 m untuk wilayah Sragen
- Data GCP (XYZ) pengukuran lapangan wilayah Enrekang dan Sragen
2.3 Metode Penelitian
Alur kegiatan (flowchart) penelitian diperlihatkan pada Gambar 2, dimana
proses dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:
1. Penyiapan data DEM yang akan digabung, yang meliputi:
Pembuatan DEM
Standarisasi Model Elipsoid-Geoid 2008
Co-registrasi dan koreksi ketinggian
2. Penggabungan data DEM menggunakan 3 model penggabungan, yaitu:
DEM fusion
DEM integration
3. Verifikasi hasil penggabungan data DEM, dengan menggunakan
Perubahan Height Error Map
Deteksi bull eyes
GCP pengukuran Lapangan
Gambar 2. Flowchart proses penggabungan DEM
Pembuatan DEM Stereo PRISM danPeta topografi
DEM SRTM
DEM Integrasi
DEM stereo, DEM topo
Verifikasi hasilKualitas up?
GCP Pengukuran,Height ErrorJumlah Bull eyes
DEM gabungan
Koreksi Geoid (Model EGM 2008)
DEM Fusion
Co-registrasi dan koreksi ketinggian (mean dan std deviasi)
Metode terbaik untuk wilayah kajian
Tidak
Ya
102 Atriyon Julzarika, dkk.
Standarisasi model elipsoid-geoid diperlukan untuk menyamakan titik acuan dari
seluruh DEM yang akan digabung. Pada umumnya model geoid yang digunakan
saat ini adalah model elipsoid-geoid 1996 (EGM 96), tetapi model ini
diperbaharui dengan model elipsoid-geoid 2008 (EGM 2008). Pada penelitian ini,
DEM berbasis EGM 96 dikembalikan sistem elipsoid kemudian dirubah ke EGM
2008.
Ko-registrasi dilakukan untuk menyamakan posisi horisontal kedua DEM, proses
ini dilakukan dengan mencari titik kontrol pada objek dengan kenampakan sama
di kedua DEM (menggunakan penampakan 3D dengan sudut matahari dan azimut
yang sama). Titik kontrol sekitar 10 titik kontrol yang terletak menyebar di
seluruh wilayah, kemudian melakukan koreksi dengan model transformasi linear
dan model resampling Nearest Neighbor. Koreksi (Normalisasi) ketinggian
dilakukan untuk menyamakan range ketinggian antara 2 DEM, dengan cara
mempersamakan nilai mean dan variance dari kedua DEM.
Penggabungan DEM dengan metode DEM integrasi dilakukan dengan
menurunkan Height Error Map DEM yang ingin diperbaiki. Selanjutnya
dilakukan deteksi dan penghilangan error dengan menggunakan metode
threshold standar deviasi >2σ. Bagian error yang dihilangkan akan diisi dengan
titik tinggi yang diekstrak dari DEM, selanjutnya dilakukan proses intepolasi Co-
Krigging sehingga menghasilkan DEM gabungan. Sedangkan, DEM fusion
mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh Hoja et al. (2006), walaupun
terdapat perbedaan dalam pembuatan HEM. Penggabungan DEM dilakukan
dengan menurunkan HEM dari ke dua DEM yang akan digabung, selanjutnya
dilakukan penggabungan dengan mempertimbangkan besar error setiap piksel
dari kedua DEM. Penggabungan dilakukan dengan menggunakan model
pembobotan menggunakan Persamaan (1).
(1)
Dimana,
pi = 1/ai , ai > 0
hi : Ketinggian DEM (1,2)
ai : Tingkat akurasi DEM, error DEM (1,2)
Tahap terakhir melakukan pengujian dengan cara:
1. Perbandingan HEM sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan.
2. Perbandingan jumlah bull eyes sebelum dan sesudah dilakukan
penggabungan.
3. Pengujian tingkat akurasi dengan menggunakan data pengukuran
lapangan menggunakan GPS geodetik
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 103
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Penggabungan DEM Topografi dan DEM SRTM
Gambar 3 memperlihatkan DEM dari peta topografi dan DEM SRTM yang telah
dikoreksi (Koreksi Geoid, Coregistrasi dan koreksi ketinggian) siap untuk
digabungkan. Berdasarkan gambar 3, diketahui bahwa walaupun DEM SRTM
mempunyai resolusi yang rendah (kurang detil) tetapi DEM SRTM mempunyai
pola topografi yang lebih dapat diterima (realistis) di wilayah datar dibandingkan
DEM dari peta topografi. Pada penelitian ini kami tidak membedakan antara
DSM dan DTM, dengan kata lain kondisi kedua DEM diasumsikan sama.
Berdasarkan alasan di atas, maka DEM SRTM digunakan untuk memperbaiki
kesalahan yang terjadi pada DEM peta topografi.
Gambar 3. DEM yang akan digabungkan
3.1.1 Hasil Penggabungan DEM dengan DEM Integration
Gambar 4 memperlihatkan hasil dari setiap tahapan proses penggabungan
DEM dengan metode DEM Integrasi. Berdasarkan HEM terlihat bahwa daerah
dengan topografi rendah di bagian kiri bawah mempunyai error tinggi sedangkan
daerah bertopografi tinggi mempunyai error rendah (4a). Selanjutnya error
dihilangkan dengan treshold (>2), dan diisi dengan titik tinggi dari DEM SRTM
(4b). Hasil penggabungan (pengisian) titik tinggi berbasis HEM dapat menutupi
seluruh kekurangan titik, dengan kata lain titik rapat dan menutupi seluruh daerah
(4c). Selanjutnya pembuatan DEM gabungan dengan metode interpolasi Co-
Krigging sehingga dihasilkan DEM gabungan (4d) dan HEM DEM gabungan
(4e). Hasil DEM gabungan mempunyai pola topografi yang lebih realistis dan
0 2200m 0 2200m
(a) DEM dari peta
topografi - Resolusi spasial
25m
(b) DEM SRTM – Resolusi
spasial 90 m
104 Atriyon Julzarika, dkk.
relatif mirip dengan DEM SRTM tetapi mempunyai kedetilan informasi yang
sama detilnya dengan DEM peta topografi (resolusi spasial 25 m). Hasil analisis
HEM sebelum dan sesudah proses penggabungan memperlihatkan adanya
pengurangan error yang cukup signifikan.
(a) Height Error Map DEM
topografi
(b) Error <2 (merah error)
(c) Pengisian void dengan titik
tinggi DEM pengisi
(d) DEM gabungan dengan
metode DEM Integrasi
(e) Height Error Map DEM
gabungan
Keterangan Height Error
Keterangan Error
Keterangan DEM
Gambar 4. Hasil dari setiap tahapan proses penggabungan DEM dengan metode DEM
Integrasi
0 100
Error Non Error
0 2200
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 105
3.1.2 Hasil Penggabungan DEM dengan DEM Fusion
Gambar 5 memperlihatkan DEM hasil penggabungan dengan metode DEM
fusion dan HEM dari hasil DEM gabungan. Hasil memperlihatkan bahwa DEM
gabungan (5a) mempunyai pola topografi yang baik di seluruh wilayah dan
mempunyai resolusi yang detil (25 m). Selain itu, perbandingan antara HEM hasil
penggabungan dengan metode DEM fusion (5b) dengan HEM sebelum
pengggabungan (4a) memperlihatkan bahwa sebagian error dapat diturunkan
sehingga distribusi menjadi lebih rendah.
(a) DEM gabungan dengan DEM fusion
(b) HEM dari DEM gabungan
Gambar 5. Hasil DEM dan HEM dengan metode DEM Integrasi
3.1.3 Pengujian Hasil DEM Gabungan
Gambar 6 memperlihatkan perbandingan nilai error (>2) antara DEM SRTM,
DEM peta topografi, DEM hasil fusion dan DEM hasil integration. Hasil
memperlihatkan bahwa DEM SRTM mempunyai error sebesar 18.4%, DEM RBI
mempunyai error sebesar 8%, DEM hasil fusion sebesar 5.8 % dan DEM hasil
integration sebesar 2%.
Selanjutnya dilakukan pengujian akurasi vertikal dengan membandingkan
ketinggian pada DEM gabungan dengan ketinggian hasil pengukuran lapangan
dengan menggunakan GPS Geodetik. Hasil diperlihatkan pada Tabel 2. DEM
gabungan dengan metode DEM integration dapat menurunkan error dan
meningkatkan akurasi vertikal cukup signifikan dibandingkan DEM
pembentuknya.
106 Atriyon Julzarika, dkk.
Gambar 6. Distribusi 99% histogram dari HEM, dan Error > 2 untuk setiap DEM
Table 2. Hasil pengujian akurasi vertikal dari DEM gabungan
DEM Akurasi (m)
DEM peta topografi 14.5
DEM SRTM 19.6
DEM fusion 14.8
DEM integration 12.6
3.2 Hasil Penggabungan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM
Gambar 7 memperlihatkan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM yang telah
dikoreksi (Koreksi Geoid, co-registrasi dan koreksi ketinggian) siap untuk
digabungkan. Berdasarkan gambar 6, diketahui bahwa DEM ALOS mempunyai
tingkat kedetilan yang tinggi (teramati adanya alur sungai yang sangat jelas).
Tetapi DEM ini mempunyai permasalahan dengan bull eyes (anomali ketinggian),
dengan adanya pit (lubang) dan spire (puncak) yang cukup banyak dan tersebar
pada seluruh bagian citra, terutama di bagian tengah yang mempunyai topografi
yang relatif datar seperti diperlihatkan pada Gambar 8. Sedangkan DEM SRTM
mempunyai kedetilan yang lebih rendah, tapi mempunyai bull eyes (pit/spire)
yang sangat sedikit, bahkan tidak dideteksi adanya bull eyes di wilayah datar.
DEM INTEGRASIDEM FUSION
DEM RBIDEM SRTM
4 30 3 19
3 15 3 12
2 2
2 2
18.4%
8 %
5.8 %
2 %
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 107
(a) DEM ALOS PRISM – Resolusi spasial
10 m
(b) DEM SRTM – Resolusi Spasial 30 m
Gambar 7. DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM yang akan digabungkan
(a)Sebaran bull eyes DEM ALOS spasial 10 m
Spire setting radius: 150m, height: 12m
Pits setting radius : 150m, depth: 12 m
Hasil (Pits (merah): 3687, Spires (hijau): 201)
0 500m 0 500m
108 Atriyon Julzarika, dkk.
(b) Sebaran bull eyes DEM SRTM
Spire setting radius: 250m, height: 12m
Pits setting radius : 250m, depth: 12 m
Hasil (Pits (merah): 9, Spires (hijau): 7)
Gambar 8. Sebaran bull eyes pada DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM
3.2.1 Hasil Penggabungan DEM
Gambar 9 memperlihatkan DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes
menggunakan DEM Integration. Perbandingan terhadap HEM memperlihatkan
bahwa besar error pada DEM gabungan mengalami pengurangan, demikian juga
perbandingan terhadap jumlah bull eyes sebelum dan sesudah penggabungan
memperlihatkan adanya pengurangan, walaupun secara statistik pengurangan
yang terjadi tidak terlalu besar.
Gambar 10 memperlihatkan DEM gabungan, HEM dan jumlah bull eyes yang
dibuat dengan metode DEM fusion. Hasil pengamatan visual terlihat bahwa HEM
sedikit berkurang, sedangkan jumlah bull eyes mengalami penurunan yang cukup
signifikan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 109
(a) DEM gabungan spasial 10 m
0 22 m
(b) HEM DEM gabungan
(c) Sebaran bull eyes DEM gabungan Spire setting radius: 250m, height: 12m
Pits setting radius : 250m, depth: 12 m
Hasil (Pits (merah): 2648, Spires (hijau): 97) Gambar 9. DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes pada DEM Integration
110 Atriyon Julzarika, dkk.
(a) DEM gabungan spasial 10 m
0 22 m
(b) HEM DEM gabungan
(c) Sebaran bull eyes DEM gabungan Spire setting radius: 150m, height: 12m
Pits setting radius : 150m, depth: 12 m
Hasil (Pits (merah): 1673, Spires (hijau): 60) Gambar 10. DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes pada DEM fusion
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 111
3.2.2 Pengujian Hasil DEM Gabungan
Pengujian dilakukan dengan melakukan deteksi jumlah bull eyes sebelum dan
sesudah penggabungan. Hasil rangkuman jumlah bull eyes (pit dan spire)
diperlihatkan bahwa DEM gabungan dengan metode fusion dapat mengurangi
sampai 70% dari jumlah bull eyes DEM awal, sementara DEM gabungan dengan
metode integration hanya mengurangi sampai 30%.
Akurasi vertikal DEM gabungan diuji dengan membandingkannya dengan
ketinggian hasil pengukuran lapangan, hasil diperlihatkan pada Tabel 3.
Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa DEM gabungan dengan metode
fusion dan DEM integration mempunyai akurasi vertikal yang lebih baik
dibandingkan dengan DEM awal (DEM ALOS PRISM), dimana akurasi vertikal
terbaik diperoleh dari DEM gabungan menggunakan metode DEM fusion.
Table 3. Hasil pengujian akurasi vertikal dari DEM gabungan
DEM Akurasi (m)
DEM ALOS PRISM 7.6
DEM Integration 7.4
DEM Fusion 7.3
4. KESIMPULAN
Pengembangan metode penggabungan data DEM yang berbeda dengan
menggunakan metode DEM integration dan DEM fusion telah dilakukan,
beberapa kesimpulan yang diperoleh adalah:
1. Tahap penyiapan data yang meliputi penyamaan model referensi tinggi dan
normalisasi data DEM, dari sumber DEM yang berbeda, perlu dilakukan
untuk mendapatkan DEM gabungan dengan kualitas yang baik.
2. Pada penggabungan DEM dari peta topografi dan DEM SRTM, Metode
DEM integration merupakan pilihan terbaik untuk menghasilkan DEM
gabungan yang detil dan akurat. Karena DEM integration dapat mengisi
kekurangan informasi di wilayah datar sehingga memperbaiki HEM dan
meningkatkan akurasi vertikal DEM gabungan.
3. Pada penggabungan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM, metode DEM
fusion dapat memperbaiki bull eyes secara menyeluruh, sehingga
meningkatkan akurasi vertikal dari DEM gabungan.
DAFTAR REFERENSI Bignone F. and Umakawa H., 2008, Assessment of ALOS PRISM Digital Elevation Model
Extraction ove Japan, The International Archives of the Photogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII, Beijing, 2008
112 Atriyon Julzarika, dkk.
Gesch D., 2005, Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM Data of the
United States: Implications for Topographic Change Detection, SRTM Data
Validation and Applications Workshop
Hoja D. and d’Angelo P, 2010, Analysis Of Dem Combination Methods Using High
Resolution Optical Stereo Imagery And Interferometric SAR Data, International
Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science,
Volume XXXVIII, Part 1, Calgary, Canada, 2010
Hoja D., Reinartz P. and Schroeder M., 2006, Comparison Of Dem Generation And
Combination Methods Using High Resolution Optical Stereo Imagery And
Interferometric SAR Data, International Archives of the Photogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVI, Part 1, Paris, France,
2006
Honikel M. 1998, “Fusion of Optical and Radar Digital Elevation Models in the Spatial
Fequency Domain”, Workshop ESTEC, 21-23 Oktober 1998
JAXA, 2006, The 2nd ALOS Research Announcement: Calibration and Validation,
Utilization Research, and Scientific Research, Earth Observation Research Center
Japan Aerospace Exploration Agency, Japan
Schneider M., Lehner M., Muller R. And Reinartz P., 2008, Stereo Evaluation of
ALOS/PRISM Data on ESA-AO Test Sites – First DLR Results, ALOS Symposium,
Rhodos, 2008
Trisakti B. and Pradana F.A., 2006, “Application of ASTER stereoscopic Image for
developing topography updating model”, Research Report 2006, Remote Sensing
Application and Development Center, LAPAN.
Trisakti B. dkk, 2010, Pengembangan Metode Ekstraksi Dem (Digital Elevation Model)
Dari Data ALOS PRISM, Laporan Akhir Program Insentif Riset Dasar, Pusbangja,
LAPAN, 2010
Yastikh et al., 2006, Accuracy and Morphological Analyses of GTOPO30 and SRTM X-C
band DEMS in the Test Area Istambul, ISPRS Workshop, Ankara.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 113
BIOGRAFI PENULIS
Bambang Trisakti
Penulis bernama Bambang Trisakti, lahir di Jakarta pada
tanggal 1 Oktober 1972. Penulis menyelesaikan
pendidikan pada bidang Natural Science di Universitas
Okayama Jepang pada tahun 2002. Selanjutnya mulai
tahun 2002 sampai sekarang, penulis aktif sebagai staf
peneliti di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional. Saat ini jabatan fungsional
adalah peneliti Madya. Penulis telah melakukan kegiatan
penelitian pemanfaatan data satelit inderaja untuk
berbagai sektor, seperti sektor kehutanan, sumber daya
air, pesisir dan lautan serta kebencanaan. Bidang yang
diminati adalah image processing.
Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat
TM5 berbasis Fuzzy Logic
(Studi Kasus Wilayah Gunung Endut, Provinsi Banten)
Faris Pramadhani, Rokhmatuloh, Supriatna
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 115
Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 berbasis
Fuzzy Logic (Studi KasusWilayah Gunung Endut, Provinsi Banten)
Faris Pramadhani, Rokhmatuloh, Supriatna
Departemen Geografi, FMIPA Universitas Indonesia
Kampus UI, Depok 16424
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Berdasarkan fisiografi Pulau Jawa (Bemmelen, 1949), Gunung Endut termasuk
dalam jajaran zona gunungapi kuarter, di mana aktivitas vulkanisme dan
magmatisme menandakan daerah ini merupakan daerah potensial panas bumi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lokasi sistem panas bumi di Gunung
Endut berdasarkan kondisi fisik wilayah yang dikenali menggunakan data citra
satelit Landsat TM-5 dan data-data geologi. Dalam penelitian ini, wilayah
prospek panas bumi diintegrasi dalam sistem kepakaran mesin yaitu Fuzzy Logic.
Model ini mengintegrasikan nilai variabel penciri kehadiran sistem panas bumi
di permukaan, seperti struktur kelurusan, endapan hidrotermal dan satuan
morfologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa prospek panas bumi di Gunung
Endut terletak di sebelah barat dari kerucut Gunung Endut itu sendiri dengan luas
wilayah prospek sebesar 17,5 km2. Wilayah ini ditandai oleh kemunculan air
panas Cikawah dan Handeleum serta bentukan morfologi sungai stream offset.
Hasil penelitian memiliki keselarasan cukup baikdengan hasil delineasi
pengukuran geofisika pada penelitian sebelumnya oleh Badan Geologi pada
tahun 2006. Satuan morfologi merupakan variabel yang paling tinggi
mempengaruhi hasil delineasi wilayah prospek, ditunjukkan oleh koefisien
korelasi regresi sebesar 0,5. Berdasarkan delineasi prospek dan karakteristik fisik
wilayahnya, Gunung Endut merupakan Lapangan Panas Bumi dengan Sistem
Vulkano-Tektonik (kerucut vulkanik-graben).
Kata kunci: Fuzzy Logic, Gunung Endut, panas bumi, penginderaan jauh,
Wayang Windu
Abstract
Based on physiographic of Java Island (Bemmelen, 1949), Mount Endut is
included in the ranks of the volcanic zones quarter, where volcanism and
magmatism indicate this area is a geothermal potential location. This study aims
to determine the location of the geothermal system at Mount Endut based on the
physical condition of the area which identified using Landsat TM-5 sattellite
image and geological data. In this study, geothermal prospect areas were
116 Faris Pramadhani, dkk.
delineated using Fuzzy Logic engine system. This model integrates the value of
the variable identifier for geothermal systems such as lienament structures,
hydrothermal alteration and morphological units. The results showed that the
geothermal prospects in Mount Endut located on the west of the Gunung Endut
with the prospect of about 17.5 km2. This region is characterized by the
appearance of hot water in Cikawah and Handeuleum river and streamoffset
morpholgic feature. The results have a pretty good aggrement with the results of
the delineation of geophysical measurements in previous studies by the
Geological Survey in 2006. Morphological unit is the highest variable affecting
outcome of prospect regions which indicated by the regression of correlation
coefficient about 0.5. Based on physical characteristics of the region and the
prospect area, Mount Endut is a Geothermal Field with Volcano-tectonic
(volcanic cone-graben) system.
Keywords: Fuzzy Logic, geothermal, Mount Endut, remote sensing, Wayang-
Windu
1. PENDAHULUAN
Energi panas bumi merupakan alternatif energi terbarukan yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan. Di Indonesia, sebagian besar energi panas bumi
yang telah dimanfaatkan selama ini merupakan energi yang diekstrak dari sistem
konvektif hidrotermal. Namun, potensi panas bumi dari satu lapangan ke
lapangan panas bumi lainnya tidak selalu sama. Lokasi sumber panas, sirkulasi
fluida, dan jalur patahan sebagai komponen utama sistem panas bumi bergantung
pula pada bagaimana karakteristik fisik wilayahnya. Dengan mengetahui
keterkaitan antara sistem panas bumi dan karakteristik fisik suatu wilayah, dapat
diketahui pula implikasinya terhadap potensi panas bumi yang muncul di wilayah
tersebut (Utami Pri & Soetoto, 2001).
Kehadiran struktur kedalaman lokal yang berkaitan dengan panas bumi dapat
tercemin terhadap ekspresi struktur geologi di permukaan, seperti kelurusan –
kelurusan topografi dan bentukan struktur melingkar. Di samping itu, sistem
rekahan dan patahan di lapangan panas bumi sebagai media penetrasi fluida naik
ke atas pada umumnya ditandai dengan deposit mineral di permukaan yang
berhubungan dengan manifestasi dan gejala alterasi batuan (umumnya lempung).
Data mengenai manifestasi ini dapat berguna dalam tahap prospeksi untuk
mengenali dimana terdapat sistem panas bumi pada suatu wilayah (Saptadji,
2002).
Kriteria geologi ataupun ekspresi gejala panas bumi di permukaan dapat
diidentifikasi lewat aplikasi penginderaan jauh dan diintegrasikan menggunakan
model SIG (Sistem Informasi Geografis). Penilaian permeabilitas batuan
(patahan/rekahan) dalam suatu lapangan panas bumi dapat diukur menggunakan
metode Fault and Fracture Density (Soengkono, 1999). Sementara kaitannya
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 117
dengan ciri panas bumi lain di permukaan, seperti batuan alterasi/endapan
hidrotermal dapat dikenali lewat metode Defoliant Tehnique menggunakan sensor
citra inframerah (Utami & Soetoto, 2001).
Penelitian ini mengambil studi kasus yaitu Gunung Endut, Kabupaten Lebak,
Propinsi Banten. Daerah ini memiliki sejarah aktifitas vulkanisme pada zaman
Kuarter. Kehadiran gunungapi kuarter di daerah penelitian adalah penanda bahwa
daerah ini merupakan daerah potensial panas bumi(Saepulloh, 2012).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aplikasi penginderaan
jauh dan sistem Fuzzy Logic dapat memetakan prospek panas bumi di daerah
penelitian dan mengetahui pengaruh karakteristik fisik wilayah terhadap potensi
panas bumi di daerah penelitian.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Panas Bumi di Indonesia
Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga
lempeng besar (Eurasia, Hindia–Australia, dan Pasifik) menjadikannya
memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Subduksi antar lempeng benua
dan samudra menghasilkan suatu proses peleburan magma dalam bentuk
partial melting batuan mantel dan magma mengalami diferensiasi pada saat
perjalanan ke permukaan. Proses tersebut membentuk kantong–kantong magma
yang berperan dalam pembentukan jalur gunungapi yang dikenal sebagai
lingkaran api (ring of fire). Munculnya rentetan gunung api Pasifik di sebagian
wilayah Indonesia beserta aktivitas tektoniknya, dapat dijadikan sebagai model
konseptual pembentukan sistem panas bumi di Indonesia (Kasbani, 2010).
Berdasarkan kriteria tatanan geologinya, sistem panas bumi konvektif hidrotermal
di Indonesia dibagi dalam 3 kategori utama (Badan Geologi, 2008, dalam
Kasbani, 2010) :
(a) Sistem Vulkanik. Sistem panas bumi vulkanik berasosiasi dengan aktifitas
vulkanik kuarter. Fluida panas bumi pada sistem ini menerima panas dari
intrusi magma dengan panas yang tertinggi (≤370oC) dibanding dengan tipe
sistem panas bumi lainnya.
(b) Sistem Vulkano – Tektonik. Sistem ini adalah sistem panas bumi yang
berasosisasi antara struktur graben (tektonik) dan kerucut vulkanik, umumnya
ditemukan di daerah Sumatera pada jalur sistem sesar sumatera
(Sesar Semangko) dan memiliki reservoar menengah (50 – 100 MW) sampai
tinggi (>100 MW).
(c) Sistem Tektonik. Sistem panas bumi yang tidak berkaitan langsung
dengan vulkanisme dan umumnya berada di luar jalur vulkanik
Kuarter (Kasbani, 2010), dimana gaya tektonik menyebabkan regangan pada
118 Faris Pramadhani, dkk.
lapisan bumi dan menyebabkan material panas (heat source) dapat muncul di
kedalaman dangkal (Ballard, 2000).
2.2 Geomorfologi Lapangan Panas Bumi Vulkanik
Studi geomorfologi pada suatu lapangan panas bumi umumnya mempunyai dua
tujuan utama. Pertama, bermaksud mengorganisasikan secara sistematik
pemerian bentang alam dalam suatu skema pengelompokan. Kedua, bermaksud
untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dari
pengelompokan, guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam tata
lingkungan bentang alam yang normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai (Bloom, 1979., dalam Mardiana, 2007). Setidaknya terdapat dua bentukan
menyimpang di lapangan vulkanik yang berhubungan dengan kepanasbumian,
yaitu struktur melingkar yang menandakan adanya sector collapse atau deformasi
vulkanik dan struktur kelurusan yang menandakan adanya pergeseran posisi
batuan.
2.3 Peran Penginderaan Jauh dalam Eksplorasi Panas Bumi
Penginderaan jauh dapat membantu pemetaan geologi permukaan, khususnya
dalam memetakan struktur geologi, daerah manifestasi panas, dan pelamparan
batuan teralterasi (Utami dan Soetoto, 2001). Di samping dapat membantu
menentukan strategi ground survey (baik geokimia maupun geofisika), dan
membantu pemilihan lokasi pemboran eksplorasi.
Struktur geologi perlu dipetakan dan diketahui karakteristiknya karena struktur
tersebut mengontrol permeabilitas reservoar panas bumi (Soengkono, 1999). Foto
udara banyak dipakai untuk membantu memetakan struktur geologi, seperti yang
telah dilakukan di Taupo, Selandia Baru (Soengkono, 1999), dan Islandia Selatan
(Khodayar et al., 2010).
Saepulloh, et al (2010) menyebutkan bahwa citra ASTER yang memiliki resolusi
spasial 15-30 m untuk band VNIR-SWIR dapat mengenali daerah panas bumi di
Pulau Bacan, Maluku Utara. Mereka memetakan sebaran mineral kaolinite, illite
dan alunite melalui metode Spectral Angle Mapper (SAM). Berikutnya, Wibowo
(2006) melakukan pengenalan daerah panas bumi lewat pemetaan daerah alterasi
lempung dan oksida besi di Jawa Barat menggunakan sensor citra Landsat TM.
Hasilnya menunjukan adanya korelasi antara kejadian panas bumi dan sebaran
alterasi di permukaan dalam jarak tertentu.
2.4 Fuzzy Logic
Konsep Fuzzy Logic diperkenalkan pertama kali oleh Wilkinson pada tahun 1963
dan Zadeh pada tahun 1965 (Zadeh, 1993). Konsep Fuzzy Logic merupakan
pengembangan dari logika Boolean/Klasik, dimana logika Boolean menyatakan
bahwa segala hal diekspresikan dalam istilah binari (seperti : 0 atau 1, hitam atau
putih, ya atau tidak).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 119
Fuzzy Linear merupakan salah satu fungsi dalam Fuzzy Logic yang hanya
mentransformasikan nilai maksimum dan minimun dari input awal menjadi garis
linear 0 sampai 1 (Gambar 1). Fuzzy Large merupakan fungsi yang mengubah
nilai berurutan, yaitu semakin besar
maka nilai fuzzy mendekati 1. Sedangkan Fuzzy Small merupakan fungsi
kebalikan dari fungsi Large.
Gambar 1. Grafik Fungsi Fuzzy Linear (Zadeh, 1993)
2.5. Fisik Wilayah Gunung Endut
Gunung Endut terletak di Kecamatan Lebakgedong, Ciparay, Leuwidamar, Sajira,
Sobang dan Muncang, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Dimensi penelitian ini
mencakup keseluruhan tubuh Gunung Endut menuju ke lereng barat. Dalam
fisiografi skala regional, Gunung Endut berada pada jajaran pertemuan 3
Fisiografi, yaitu antara Zona Bogor, Punggungan dan Kubah dalam Zona Depresi
dan Zona Gunungapi Kuarter, di mana merupakan perbukitan lipatan yang
tersedimentasi dan terpatahkan di laut dalam pada zaman Tersier dan membentuk
Antiklinorium kemudian tertindih oleh gunungapi kuarter yang lebih muda (Van
Bemmelen, 1949).
Ketinggian di Gunung Endut berkisar kurang lebih antara 70 sampai 1.500 mdpl.
Berdasarkan klasifikasi Sandy (1985), wilayah ketinggian di Daerah Gunung
Endut terbagi dalam 3 klasifikasi, yaitu wilayah pertengahan (>500 mdpl),
wilayah pegunungan (500-1000 mdpl) dan wilayah pegunungan tinggi (1000-
1500 mdpl).Kemiringan lereng bervariasi dengan kisaran antara 0 – 50 %. Daerah
dengan kemiringan lereng curam (30 -50%) berada di bagian barat Gunung Endut
dan sekeliling G. Pilar di barat laut daerah penelitian. Kemudian kemiringan
lereng antara 0 - 15% dan 15 – 30% menempati sebagian besar daerah
penelitian, terutama di bagian tengah dan selatan.
Berdasarkan rujukan Peta Geologi Sistematik skala 1:50.000 hasil laporan
Penyelidikan Terpadu PSDG (Kusnadi et al, 2006), Batuan di Daerah Gunung
Endut dikelompokkan menjadi 12 satuan. Urutan dari tua ke muda adalah
Formasi Badui (Tmd), Anggota Batugamping (Tmb), Anggota Batupasir (Tmbp),
Dasit (Tda), Intrusi Andesit (Ta), Batuan Gunungapi Pra-Endut (Tve), Batuan
120 Faris Pramadhani, dkk.
Gunungapi Pilangranal (Tvp), Diorit (Td), Granodiorit (Tgr), Batuan Gunungapi
Pilar (Qvpi), Batuan Gunungapi Endut (Qve) dan Aluvium (Qal).
Gambar 2. Fisiografi Jawa Barat dan Penampang Topografi Gunung Endut
3. METODOLOGI PENELITIAN
Wilayah prospek panas bumi diukur dengan menyusun variabel-variabel penciri
utama sistem panas bumi dalam satu model spasial Fuzzy Logic. Didalamnya
meliputi tahap delineasi wilayah berdasarkan hasil integrasi variabel penciri
sistem panas bumi, yaitu tingkat permeabilitas batuan, morfologi struktural dan
sebaran batuan alterasi.
Pengaruh karakteristik fisik terhadap potensi panas bumi di masing-masing
daerah penelitian dikaji melalui konsep korelasi. Dua hal yang dikorelasikan
adalah variabel fisik dengan area prospek panas bumi. Variabel fisik yang
digunakan adalah struktur geologi, litologi dan geomorfologi. Dengan
mengetahui keterkaitan keduanya, maka dapat diketahui variabel penciri yang
paling mempengaruhi prospek panas bumi di masing-masing daerah penelitian.
Secara garis besar, metodologi penelitian meliputi tahap pekerjaan, yang terdiri
dari:
1) Pengumpulan dan pemasukkan data yang digunakan sebagai variabel.
2) Pembuatan model yang didasarkan pada studi empiris dan penentuan kriteria
umum untuk mengenali gejala sistem panas bumi di masing-masing daerah
penelitian. Termasuk validasi hasil model prediksi dengan data lapangan.
3) Korelasi antara potensi panas bumi dengan karakteristik fisik wilayah di
masing-masing daerah penelitian.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dan peta Geologi
Sistematik skala 1: 50.000, data DEM (Digital Elevation Model) yang di ektstrak
Gunung
Endut
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 121
dari kontur Peta Rupa Bumi skala 1 : 25.000, data citra Landsat TM-5 tahun 1999,
dan data ground truth diperoleh dari Laporan hasil penyelidikan terpadu panas
bumi Gunung Endut milik Badan Geologi - Pusat Sumber Daya Geologi
Bandung tahun 2006. Pengolahan data dilakukan melalui beberapa perangkat
lunak pengolah citra satelit, data spasial, dan non-spasial diantaranya ENVI 4.7,
Global Mapper 14.0, PCI Geomatica 12, dan ArcGIS 9.3.
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian antara lain :
1) Morfologi bentukan asal struktural
antara lain : a) Morfologi Tapal Kuda (sector collapse), b) Kawah atau sisa
kawah, berhubungan dengan eksplosi, c) Kaldera, d) Graben/Horst.
Satuan morfologi diperoleh menggunakan analisis tumpang tindih peta. Data peta
yang termasuk dalam parameter ini adalah bentuk medan dengan bentukan asal.
Bentuk medan diperoleh dari penampalan peta ketinggian dan kemiringan lereng.
Klasifikasi bentuk medan yang digunakan mengacu pada Dessaunets (1977).
Sedangkan bentukan asal diperoleh melalui interpretasi data dan peta geologi.
Data geologi meliputi informasi garis patahan/sesar, komposisi, umur, dan
sebaran batuan penyusun. Peta klasifikasi satuan geomorfologi mengacu pada
klasifikasi menurut Brahmantyo & Bandono (1999), yaitu berdasarkan pemerian
bentukan asal, struktur, dan proses.
2) Batuan Alterasi
Sebaran Batuan Alterasi merupakan parameter yang mewakili variabel Zona
Pengaruh Proses Hidrotermal. Sebaran ini berhubungan dengan keberadaan
Proses Hidrotermal di kedalaman. Karena pada kenyataannya, sirkulasi
hidrotermal sering kali memunculkan batuan alterasi di permukaan akibat adanya
pelamparan panas.
Pengolahan sebaran alterasi dilakukan menggunakan metode Defoliant atau
Directed Principal Component (DPC)Analysis. DPC di kalkulasi menggunakan
syarat tertentu. Band rasio untuk objek kajian harus secara teoritis tinggi (yaitu,
lebih besar dari 1) di salah satu input gambar lainnya dan secara teoritis rendah
(yaitu, kurang dari 1) dalam gambar input lainnya. Hasil DPC yaitu berupa nilai
hubungan dari input dua band rasio. Warna terang dan gelap dalam hasil
luaran gambar menunjukkan ada tidaknya mineral lempung (clay).
3) Permeabilitas Batuan
a. Kerapatan Patahan dan Rekahan
Patahan dan rekahan ditinjau dari kelurusan-kelurusan yang nampak sebagai
struktur topografi (topographic lineament). Struktur topografi ini
berhubungan dengan adanya pengsesaran dan perekahan batuan di
kedalaman.
b. Kerapatan Titik Perpotongan Struktur (Patahan dan Rekahan)
122 Faris Pramadhani, dkk.
Parameter ini menggambarkan zona bukaan struktur (jog) dari hasil
perpotongan kelurusan yang memiliki anomali kerapatan tinggi sebagai
media potensial bagi fluida panasbumi muncul ke permukaan. Titik
Perpotongan Struktur ditarik dari struktur topografi yang berpotongan
dengan patahan regional.
Pengolahan struktur dilakukan melalui metode FFD, yang diperkenalkan oleh
Soengkono pada tahun 1999. Tujuan dari analisis ini adalah untuk memperoleh
densitas kelurusan. Selanjutnya dibuat peta kontur nilai densitas kelurusan yang
diasumsikan bahwa pada densitas tinggi berasosiasi dengan pusat pergerakan
fluida panas bumi atau zona permeabel.
Untuk memperoleh wilayah prospek panas bumi pada masing-masing daerah
penelitian dilakukan proses tumpang tindih peta yang menginformasikan derajat
kehadiran variabel panas bumi dengan menggunakan model Fuzzy Logic. Proses
ini menggabungkan variabel-variabel kriteria fisik wilayah dan manifestasi
sebagai indikator panas bumi.Operator Fuzzy yang digunakan dalam analisis ini
adalah operator Fuzzy Gamma dan Fuzzy SUM.
Gambar 3. Skema Pengolahan Model Fuzzy
Hasil wilayah prospek (predicitive) berdasarkan karakteristik fisik di verifikasi
dengan jangkuan manifestasi, dimana menurut Saptadji (2002), lokasi panas bumi
umumnya berjarak 3 km dari manifestasinya. Sehingga berdasarkan gabungan
kriteria fisik wilayah dan manifestasi dapat didelineasi wilayah prospek panas
bumi (predictive). Angka ~0 untuk wilayah non prospek dan > 0,7 untuk wilayah
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 123
prospek. Wilayah dengan nilai Fuzzy > 0,7 didasarkan pada batas nilai Gamma
0,7 yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah skema Fuzzy yang
digunakan dalam tahap analisis wilayah prospek (Gambar 3).
Untuk pengujian akurasi model Wilayah Prospek, dilakukan tahap validasi antara
hasil Model Prediksi Fuzzy Logic dengan data Ground Truth, yaitu hasil delineasi
pengukuran geofisika menggunakan analisis Kappa. Analisis Kappa dilakukan
dengan menampalkan sampel pengukuran hasil pengukuran Fuzzy dengan
pengukuran geofisika. Sampel diambil tiap grid dengan ukuran 1 x 1 km. Nilai
Kappa akan menunjukkan tingkat keselarasan (aggrement) dan prosentase total
akurasi dari kedua hasil pengukuran. Skema analisis wilayah prospek secara garis
besar ditunjukkan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Skema Analisis Wilayah Prospek
Manifestasi
Upflow
Peta Geologi sistematik
skala 1 : 100.000 LANDSAT TM-5
Kerapatan Patahan
dan Rekahan
Perpotongan
Struktur
Peta RBI
Daerah Penelitian I dan II
Wilayah
Ketinggian dan
Kemiringan
Lereng
DPC
Ratio 2 gabungan
PCA band
SWIR/VNIR
Sebaran Alterasi
Lempung
Stratigrafi
Patahan Regional
FFD (Fault
And Fracture
Density)
Bentuk Medan
dan Pola Aliran
Sungai
Satuan Morfologi
Fuzzy Logic
System
Wilayah
Prospek Panas
Bumi
Data Sekunder:
Validasi Model Prospek
- Lokasi Sumur Eksisting
- Pengukuran MT Resistivity
- Lokasi Mata Airpanas
Overlay
Gunung Endut
124 Faris Pramadhani, dkk.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Geomorfologi
a. Morfologi Gunungapi
Morfologi ini ditandai dengan bentukan medan pegunungan dimana
ketinggiannya berada di atas bagian morfologi lain di sekitarnya. Pada daerah ini
hanya terdapat satu morfologi puncak yang masih terlihat utuh sebagai kerucut
gunung api, yaitu Puncak Gunung Endut (Gambar 5), ditandai dengan vegetasi
lebat dan erosi kuat. Komposisi batuan adalah breksi dan lava Gunungapi Endut.
Gambar 5. Morfologi Gunung Endut
Bentuk aktivitas magma lainnya adalah Deretan Kubah Intrusi dengan berbagai
komposisi, yaitu Andesit, Dasit, Granodiorit dan Diorit (mengandung kuarsa).
Deretan Kubah Intrusi ini tersingkap di permukaan akibat terjadinya pengerosian
intensif sedimen atau batuan vulkanik yang mengisi di atasnya. Dan akibat erosi
tersebut, batuan di atas tertransportasi menjadi debris dan menyisakan batuan
beku intrusi dangkal yang relatif lebih resisten terhadap erosi. Deretan Kubah
Intrusi andesit berumur Miosen ini sekaligus menandakan bahwa terdapat pula
gejala intrusi dangkal di dalam permukaan saat ini, yang mungkin masih
mengalami proses pemanasan dari dapur magma (jika jalurnya belum terputus)
dan menjadi sumber panas (heat source) bagi sistem panas bumi yang ada.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 125
b. Morfologi sesar
Di Gunung Endut morfologi bentukan asal struktural yang terbentuk bersifat
struktur kelurusan (sesar). Morfologi ini mengisi bagian tengah ke barat daya
daerah penelitian. Bagian morfologi ini menandakan terjadinya deformasi
struktural akibat pengsesaran (tektonisme). Anggota Unit Morfologi yang masuk
dalam Gejala Patahan adalah Punggungan Struktural Pilar-Endut, Lembah
Struktural Pilar-Endut, Gawir Sesar dan Kelurusan Struktur Sesar.
Gambar 6. Horst/Graben Daerah Gunung Endut
4.2 Permeabilitas Batuan
4.2.1 Fault And Fracture Density ( FFD )
Dari modelling DEM, kemudian dilakukan transformasi menjadi mode Hillshade
Image melalui delapan arah inklinasi cahaya berbeda, yaitu arah Timur (0°),
Timur Laut (45°), Utara (90°), Barat Laut (135°), Barat (180°), Barat Daya
(225°), Selatan (270°) dan Tenggara (315°). Delapan arah cahaya ini kemudian
dibentuk menjadi 2 image berbeda menggunakan analisis overlay. Dari 2
tampilan hasil overlay tersebut, kemudian ditentukan image terbaik yang
berhubungan dengan arah patahan utama setelah di analisis menggunakan tren
Diagram Roset. Setelah mendapatkan image pilihan, kemudian dapat ditarik
kelurusan-kelurusan yang diasumsikan merupakan struktur geologi lewat
perbedaan kontras rona. Kelurusan-kelurusan inilah yang mengontrol tinggi-
rendahnya kerapatan.
126 Faris Pramadhani, dkk.
Gambar 7. Hillshade image sudut inklinasi cahaya 00, 45
0, 90
0, 135
0dan ekstraksi
kelurusan
Penarikan kelurusan diekstrak menggunakan software PCI Geomatica
menggunakan mode Automatice Line Extraction (ALE). Hasil tren arah
menunjukan arah kelurusan permukaan signifikan dengan arah patahan utama di
daerah penelitian, yaitu sesar mendatar berarah Barat Daya – Timur Laut.
Struktur dominan berarah Barat Daya – Timur Laut merupakan struktur yang
mengikuti Pola Meratus, dimana merupakan struktur awal penunjaman lempeng
Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda (Kusnadi et al, 2006).
Gambar 8. FFD Gunung Endut
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 127
Hasil FFD di Daerah Gunung Endut menunjukan nilai kerapatan dengan kisaran
0,5 – 7,4 km/km2. Sebaran nilai FFD tinggi terkonsentrasi di kaki barat Gunung
Endut dan menjauh ke barat daya daerah penelitian mengikuti arah aliran sungai.
Diasumsikan bahwa daerah nilai FFD > 5 km/km2 adalah zona patahan dan
rekahan intensif. Dalam zona ini terdapat sesar mendatar (strike slip fault) yang
ditandai dari kenampakan jaringan sungai yang mengalami pembelokan tegak
lurus aliran asal/stream offset.
4.2.2 Kerapatan Titik Perpotongan Struktur
Di daerah Gunung Endut, titik lokasi perpotongan struktur berada di kaki Gunung
Endut yang bentuk medannya relatif bergelombang landai sampai terjal, dengan
nilai kerapatan sebesar 26/km2. Pada lokasi tertentu memperlihatkan bidang
morfologi Graben dan Horst, dimana terdapat bidang sesar sejajar bertemu
dengan sesar dari arah lain dan saling berpotongan membentuk sesar kompleks di
zona tersebut.
Gambar 9. Perpotongan Struktur Gunung endut
4.3 Sebaran Endapan Hidrotermal (Alterasi)
Berdasarkan kolom respon spektral USGS library yang disebandingkan dengan
panjang gelombang masing-masing saluran citra Landsat TM-5, didapatkan
variasi kurva pantulan vegetasi dan lempung yang digunakan untuk masukan
(loading) DPC. Dari rumus Defoliant, maka dua input rasio yang dipilih di
masing-masing daerah penelitian adalah 4/5 dan 5/7. Pada rasio 4/5, nilai vegetasi
secara teoritis akan tinggi sedangkan nilai lempung (kaolinit) akan rendah pada
rasio tersebut. Pada rasio yang berbeda yaitu 5/7, nilai lempung (kaolinit) secara
teoritis akan tinggi.
Pusat Perpotongan
Struktur
U
128 Faris Pramadhani, dkk.
Tabel 1. Statistik PCA alterasi lempung (clay)
Eigen vector 4/5 5/7 Eigenvalue Eigenvalue (%)
DPC 1 +0.397648 +0.917538 1.341606 92.65701931
DPC 2 +0.917538 -0.397648 0.106321 7.342980689
Hasil komputasi statistik eigenvalue DPC menunjukkan nilai kontras negatif (-
0,397648) dan positif (+0,917538) serta eigenvalue sebesar 7,34 % pada loading
DPC 2. Kondisi ini menjelaskan bahwa sebaran alterasi lempung dapat dikenali
pada loading ini. Sebaran berada pada nilai negatif dan ditandai dengan rona
gelap pada citra luaran (Gambar 10). Di daerah Gunung Endut, sebaran alterasi
lempung berada di kaki kerucut Gunung Endut sebelah timur sampai timur laut
mengikuti arah aliran sungai di lereng kerucut Endut.
Gambar 10. Citra loading DPC 2 menunjukan sebaran alterasi lempung dalam rona
gelap
4.4 Wilayah Prospek Panas Bumi
Operator Fuzzy yang digunakan dalam analisis ini adalah operator Fuzzy Gamma
dan Fuzzy SUM. Berikut ini adalah gambar hasil tumpang susun data kriteria
fisik yang telah difuzzifikasi (Gambar 11).
Di Daerah Gunung Endut wilayah prospek terkonsentrasi di barat Daerah
Penelitian dengan luas sebesar 17,57 km2. Relatif berada di barat dari kaki
Gunung Endut mengisi sekitar aliran sungai Cikawah dan sungai Handeleum.
Konsentrasi berikutnya nampak di utara kaki Gunung Endut. Terdapat pula dua
kosentrasi tidak dominan di utara Gunung Barebangeun. Konsentrasi ini mengisi
sekitar aliran sungai.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 129
Gambar 11. Fuzzy Sets Wilayah Prospek Panas Bumi, berturut-turut (A) FFD, (B)
Perpotongan Struktur (C) Batuan Alterasi, dan (D) Morfologi bentukan asal struktural.
Gambar 12. Peta Wilayah Prospek Gunung Endut
Hasil Analisis Kappa memperlihatkan bahwa sebanyak 149 sampel kedua hasil
pengukuran menunjukan keselarasan (agreement) dalam menyatakan titik non-
prospek dari total 150 titik sampel non prospek hasil pengukuran Fuzzy.
Kemudian sebanyak 7 sampel kedua hasil pengukuran menunjukan keselarasan
130 Faris Pramadhani, dkk.
(agreement) dalam menyatakan titik prospek dari total 19 titik sampel prospek
hasil pengukuran Fuzzy. Tingkat akurasi keselarasan dari kedua pengukuran
sebesar 64 % dan nilai Kappa termasuk dalam kelas cukup (0,484). Sehingga,
berdasarkan hasil ekstraksi titik mata airpanas dan analisis Kappa, delineasi
prospek panas bumi menggunakan model prediksi Fuzzy cukup akurat untuk
dijadikan Wilayah Prospek Panas Bumi di Daerah Gunung Endut.
Gambar 13. Analisis Kappa Wilayah Prospek
Tabel 2. Hasil Analisis Kappa
Fuzzy MT Resistivity Row
Total 0 1
0 149 1 150
1 12 7 19
Column Total 161 8 169
Kappa Accuraccy 0.484
(%) 90.0233
4.5 Pengaruh Karakteristik Fisik Wilayah Terhadap Potensi Panas Bumi
Morfologi Graben dan Horst merupakan variabel yang paling mempengaruhi
tingkat prospek panas bumi di daerah penelitian, dimana ditunjukkan oleh nilai
koefisien regresi sebesar 0,5813 (Tabel 3).
Interpretasi keselarasan (Landies and Koch 1997, dalam Carranza 2002):
Kappa <0,4 : buruk Kappa 0,6 – 0.75 : memuaskan
Kappa 0,4 – 0,6 : cukup Kappa >0,75 : istimewa
Keterangan :
0 = Non Prospek;
1 = Prospek
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 131
Tabel 3. Korelasi Regresi Wilayah Prospek dengan variabel masukan
Regression Statistics
Multiple R 0.89637351
R Square 0.80348547
Adjusted R Square 0.799454402
Standard Error 0.175090806
Observations 200
Coeffi-
cients
Std.
Error t Stat P-value
Lower
95%
Upper
95%
Lower
95,0%
Upper
95,0%
Intercept -0.428 0.1136 -3.769 0.0002 -0.6520 -0.2041 -0.6520 -0.2041
FFD 0.0597 0.0131 4.5712 0.0000 0.0339 0.0854 0.0339 0.0854
Perp.
Struktur 0.0054 0.0035 1.5375 0.1258 -0.0015 0.0123 -0.0015 0.0123
Morfologi 0.5813 0.0337 17.271 0.0000 0.5150 0.6477 0.5150 0.6477
Alterasi 0.2800 0.1232 2.2722 0.0242 0.0370 0.5230 0.0370 0.5230
Sumber panas bumi di Daerah Gunung Endut saat ini berasal dari intrusi batuan
beku 500 m dari bawah permukaan yang ditandai dengan anomali tahanan jenis
tinggi (Kusnadi et al, 2006). Intrusi tersebut ditandai pula dengan adanya
kawasan perbukitan dan kubah Intrusi Batuan Beku di selatan daerah penelitian.
Jika kubah dan perbukitan ini terbentuk pada zaman tersier, maka telah terjadi
perlipatan yang sangat kuat hingga tersingkapnya morfologi tersebut saat ini.
Perlipatan yang sangat kuat ini telah didiskusikan pula oleh Van Bemmelen
(1949) pada pembagian Zona Fisiografi Jawa Bagian Barat, dimana Daerah
Gunung Endut termasuk dalam Zona pertemuan Antiklinorium Bogor, Kubah
Bayah dan Zona Gunungapi Kuarter Jawa. Gaya perlipatan yang sangat kuat di
mana melebihi tingkat elastistas batuan menimbulkan ketidakseimbangan posisi
batuan yang berujung pada aktivitas pengsesaran atau morfologi bentukan
struktural saat ini.
Di Daerah Gunung Endut, kelurusan struktur di dominasi oleh tren berarah barat
daya – timur laut dan barat laut - tenggara. Sesar mendatar barat daya – timur laut
ini mengontrol pemunculan morfologi Graben dan Mata Airpanas Cikawah. Di
sisi lain, inflasi atau deflasi vulkanisme Gunungapi Endut pada kala Pleistosen
menyebabkan sesar di barat daerah penelitian semakin kompleks dan membentuk
reservoar panas bumi saat ini.
Adanya perselingan morfologi kerucut Gunungapi kuarter dan morfolgi Graben
berbatuan Tersier-Kuarter ini mendukung keberadaan sesar kompleks disana,
dimana terjadi potong-memotong antara sesar lama berarah Barat Daya – Timur
Laut dengan sesar baru berarah Barat Laut – Tenggara. Maka, berdasarkan
karakteristik fisik wilayah dengan kondisi suhu reservoar kelas sedang (1800-
2200C) dan potensi sedang (50 – 100 MWe), Lapangan Panasbumi Gunung Endut
merupakan lapangan dengan Sistem Vulkano-Tektonik atau Kerucut Vulkanik-
Graben.
132 Faris Pramadhani, dkk.
Gambar 14. Model Konseptual Sederhana Sistem Panasbumi Vulkano-Tektonik
(Kerucut Vulkanik-Graben) Gunung Endut
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Wilayah prospek panas bumi di Gunung Endut dapat dikenali menggunakan
kompilasi data-data penginderaan jauh dan geologi. Potensi tersebut berada di
luar kerucut Gunung Endut, yaitu berada di sekitar aliran Sungai Cikawah dan
Handeuleum dengan luas 17,57 km2. Analisis Kappa menunjukkan wilayah
prospek hasil penelitian memiliki tingkat keselarasaan yang cukup baik (0,484)
setelah disebandingkan dengan data pengukuran geofisika.
Morfologi bentukan asal struktural merupakan variabel yang paling
mempengaruhi nilai prospek panas bumi dalam sistem Fuzzy, di mana
berdasarkan korelasi regresi berganda, koefisien morfologi berada pada nilai
tertinggi, yaitu 0,5813. Tingginya pengaruh morfologi dalam delineasi prospek
dipengaruhi oleh pola keruangan yang cenderung in-situ dalam satu luasan ruang
yang tinggi dan mengelompok (clustered). Sedangkan FFD, perpotongan struktur
dan batuan alterasi cenderung tinggi dalam ruang yang acak (random), meskipun
berkontribusi dalam tingginya nilai Fuzzy dalam wilayah prospek.
5.2 Saran
Selain untuk kebutuhan analisis karakteristik fisik wilayah pada tahap eksplorasi
panas bumi, aplikasi penginderaan jauh dapat pula digunakan untuk membantu
mengidentifikasi anomali suhu permukaan yang berkaitan dengan kehadiran
manifestasi permukaan seperti fumarole, kolam lumpur, kawah atau mata air
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 133
panas. Namun aplikasi ini membutuhkan perangkat sensor termal dengan resolusi
spasial dan spektral yang detail. Karena sampai saat ini, sensor termal LANDSAT
TM yang memiliki resolusi spasial 90 m x 90 m belum cukup membantu dalam
pemetaan sebaran anomali panas tersebut.
Delineasi alterasi lempung (clay) dengan teknik penginderaan jauh, akan lebih
baik menggunakan citra ASTER jika dibandingkan dengan citra LANDSAT TM,
karena citra ASTER memiliki jumlah salurannya yang lebih banyak dibandingkan
LANDSAT Thematic Mapper sehingga lebih peka terhadap refleksi lempung.
Data hasil identifikasi penginderaan jauh, geokimia dan pendekatan alat lapangan
seperti MT Resistivity, Gravity, dll dapat dikolaborasi menggunakan Metode
Fuzzy Logic untuk memantapkan penentuan lokasi titik bor di daerah-daerah yang
terindikasi memiliki potensi dan sistem panas bumi.
DAFTAR REFERENSI
Badan Standardisasi Nasional. (1999). Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di
Indonesia.
Ballard, D., Robert. (Ed.). (2000). Encyclopedia of Volcanoes. New York: Academic
Press.
Badan Geologi Kementrian ESDM. (2006). Peta Kompilasi Daerah Panas Bumi Gunung
Endut Kabupaten Lebak Banten. http://pertambangan-geologi.blogspot.com
Bemmelen, R.W., van. (1949). The Geology of Indonesia (Vol 2). The Hague.
Bogie, I., Shanti, R.A.S, & Dwiyogarani, M. (2010). Volcanic Landforms that
Mark the Successfully Developed Geothermal Systems of Java,
Indonesia Identified from ASTER Satellite Imagery. Proceedings World
Geothermal Congress, Bali.
Brahmantyo, B., & Bandono. (1999). Geomorpholigical Information in Spatial Planning
of Indonesia Region. Proceedings of Indonesian Association of Geologist, Jakarta.
Bronto, S. (2010). Geologi Gunungapi Purba. Bandung: Badan Geologi ESDM.
Carranza, E.J.M. (2002). Geologically-Constrained Fuzzy Mineral Potential Mapping,
Examples from the Philippines. ITC Publication No. 86.
Giggenbach, W.F. (1988). Chemical Techniques in Geothermal Exploration.
New Zealand: Chemistry Division, DSIR, Private Bag.
Gupta, H., dan Sukanta, R. (2007). Geothermal Energy: An Alternative Resource For The
21st Century. United Kingdom: Oxford.
Kasbani. (2010). Tipe Sistem Panas Bumi di Indonesia dan Estimasi Potensi Energinya.
Bandung: Badan Geologi, ESDM.
Khodayar, M., Sveinbjorn, B., & Hjalti, F. (2010). Effect of Tectonics and Earthquakes
on Geothermal Activity Near Plate Boundaries: A Case Study From South Iceland,
Journal Geothermics, 39, 207-219. Elsevier. http://www.sciencedirect.com
Kusnadi, D., Alanda, I., Yuanno, R., Suhanto, & Edi, S. (2006). Penyelidikan Terpadu
Panasbumi Daerah Gunung Endut Kabupaten Lebak, Banten. Prosiding
Pemaparan Hasil Kegiatan lapangan dan Non Lapangan, Pusat Sumber Daya
Geologi, Bandung.
134 Faris Pramadhani, dkk.
Mardiana, U. (2007). Manifestasi Panasbumi Berdasarkan Nilai Tahanan Jenis Batuan :
Studi Kasus Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat.
Laboratorium Geofisika, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Noor, D. (2012). Pengantar Geologi. Universitas Pakuan, Fakultas Teknik.
Pannekoek, A.J. (1989). Garis Besar Geomorfologi Pulau Jawa.
Pusat Sumber Daya Geologi. (2006). Data Analisis Contoh Air Geokimia Daerah Panas
Bumi G. Endut, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. (Tidak dipublikasikan).
Saepulloh, A., Minoru, U., Prihadi, S., & Suryantini. (2012). Spatial Priority Assesment
of Geothermal Potentials Using Multi-sensor Remote Sensing Data and
Applications. Proceedings Geothermal Workshop ITB, Bandung.
Saptadji, N.M. (2002). Teknik Panasbumi. Bandung: Departemen Teknik Perminyakan-
Institut Teknologi Bandung.
Soengkono, S. (1999). Assessment of Faults and Fractures at The Mokai Geothermal
Field, Taupo Volcanic Zone, New Zealand. Auckland, Geothermal Institute.
Sugiono, S.R.A., & Ali, A.R. (2012). Fault and Fracture Assessment at Wayang-Windu
Geothermal Field, Indonesia. Proceedings 1st ITB Geothermal Workshop, Institut
Teknologi Bandung.
U.S. Department of Energy. (2010). Exploration 1976 – 2006 : A History of Geothermal
Energy Research and Development in the United States. Geothermal Technologies
Program.
Utami, Pri., & Soetoto. (2001). Peran Citra Penginderaan Jauh Dalam Pengembangan
Sumberdaya Panasbumi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Wibowo, H. (2006). Spatial Data Analysis and Integration for Regional-Scale
Geothermal Prospectivity Mapping, West Java, Indonesia. Msc Thesis.
International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation,
Enschede, The Netherlands.
Zadeh, L.A. (1993). Fuzzy sets Information Control. California: University of California,
Department of Electrical Engineering.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 135
BIOGRAFI PENULIS
Faris Pramadhani
Faris Pramadhani lahir di Cirebon pada 19 Februari 1992.
Penulis memiliki minat khusus dalam dunia GIS dan
Remote Sensing sejak duduk di semester 3 di pendidikan
tinggi Universitas Indonesia dan menuntaskan gelar
sarjana sains pada bidang Geografi pada Januari 2014.
Penulis pernah duduk sebagai GIS support analyst untuk
memetakan Banjir Jakarta pada tahun 2013 bersama
World Bank dan BPBD Jakarta. Menjadi salah satu
mahasiswa peneliti dalam bidang tehnologi rekayasa yang
diadakan DIKTI tahun 2013 untuk judul "Aplikasi D-
InSAR untuk Mendeteksi Land Subsidence di Kota Surabaya" dan "ALOS
PALSAR D-InSAR untuk Estimasi Volume Material Vulkanik Akibat Letusan
Gunung Semeru 2006 – 2009. Sampai saat ini, penulis aktif menjadi pembicara
dan intruktur dalam berbagai pelatihan GIS dan Remote Sensing.
Rokhmatuloh
Rokhmatuloh dilahirkan di Tangerang, Baten pada tahun
1971. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di
bidang Geografi di Universitas Indonesia tahun 1996, Ia
memulai karirnya sebagai dosen di Departemen Geografi
dalam bidang penginderaan jauh dan interpretasi foto
udara.
Setelah enam tahun mengajar, ia memperoleh kesempatan
untuk melanjutkan studinya di Universitas Chiba, melalui
dukungan Monbukagakusho, Jepang. Selama studinya ini
ia bergabung dengan Center of Environmental Remote
Sensing (CEReS), serta aktif berpartisipasi dalam konferensi lokal dan
internasional. Kemudian gelar Ph.D juga diperolehnya dari universitas yang sama.
Riset yang dilakukannya meliputi radar speckle noise filtering, percent tree cover
and global land cover mapping, dan ground truth selection.
Saat ini Rokhmatuloh aktif sebagai pengajar khususnya di bidang aplikasi
penginderaan jauh dan SIG untuk mitigasi bencana, pengembangan daerah,
managemen lingkungan, dan interpretasi citra digital.
136 Faris Pramadhani, dkk.
Supriatna
Supriatna lahir di Sukabumi, pada 14 Maret 1967. ia
menyelesaikan program sarjana dari Departemen Geografi,
Fakultas MIPA, Universitas Indonesia pada tahun 1992,
dan memperoleh gelar Master dari Program Sistem
Informasi Spasial-Geodesi, FTSP, Institut Teknologi
Bandung enam tahun kemudian. Selain itu, berbagai
program tambahan juga diikutinya, seperti GIS course with
software Caris, oleh PT Mitra Teknokorpora pada tahun
1993, Remote Sensing course and GIS in Land resources
evaluation, di Fakultas Geografi, UGM, pada 1994-1995,
dan juga GIS course with software Genasis, oleh PT. Multimatra Prakarsa pada
1995.
Berbagai riset ilmiah telah dipublikasikan, seperti "Kualitas Air Tanah di Desa
Sukmajaya, Depok" hasil kerja sama dengan pusat riset UI dan Senat Fakultas
MIPA UI, dan riset berjudul "Kualitas Lingkungan di Grogol Petamburan"
dengan Kelompok Studi Geografi (KSG), Fakultas MIPA, UI pada tahun 1989,
serta riset seputar konservasi magrove di Kawasan Pantai Paojepe, Siwa, Kab.
Wajo, Sulawesi Selatan pada 1999 yang merupakan riset hasil kerja sama dengan
Antropologi, FISIP-UI, Biologi LIPI, Demografi, FE-UI, dan Geografi, FMIPA-
UI.
Supriatna juga bergabung dengan berbagai organisasi seperti Ikatan Geografi
Indonesia (IGI), Asosiasi Kartografi Indonesia (AKI), dand Masyarakat
Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Saat ini ia aktif sebagai pengajar di
bidang Kartografi Digital dan SIG, dan juga menjabat sebagai Wakil Dekan
Fakultas MIPA, UI.
Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah
Karst Kecamatan Cipatat Menggunakan Data
SAR
Dimas Ade Prasetyo, Ketut Wikantika, Asep Saepuloh
138 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan
Cipatat Menggunakan Data SAR
Dimas Ade Prasetyo
1, Ketut Wikantika
2, Asep Saepuloh
3
1Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung
2Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Institut
Teknologi Bandung 3Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung
Email : [email protected]
Abstrak
Daerah karst merupakan daerah gamping yang memiliki manfaat di berbagai
aspek kehidupan sehingga adanya informasi mengenai permukaan tanah di
wilayah karst tersebut sudah merupakan suatu keharusan. Penelitian ini bertujuan
untuk melakukan karakterisisasi permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan
Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Dengan adanya teknologi penginderaan jauh,
proses karakterisasi tersebut menjadi lebih cepat dan dapat menghemat biaya
survei geologi. Metode yang dilakukan adalah dengan mengklasifikasikan citra
fusi dan citra kerapatan kelurusan di Kecamatan Cipatat dengan menggunakan
metode region growing. Citra kerapatan kelurusan didapat dari hasil penarikan
kelurusan (linear features) pada dua frame citra ALOS PALSAR dengan mode
ascending dan descending, sedangkan citra fusi Kecamatan Cipatat merupakan
penggabungan dari 2 band data ALOS AVNIR-2 dengan 1 band data ALOS
PALSAR polarimetric. Dengan metode region growing, maka akan dihasilkan
zona-zona karakteristik permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan Cipatat.
Kata Kunci : Karst, Karakterisasi, Permukaan Tanah, Kerapatan Kelurusan,
Citra Fusi, AVNIR-2, ALOS, Metode Region Growing.
Abstract
Karst area are limestone areas which can be used for various benefits hence
knowledge upon land surface of karst area is a necessity. The purpose of this
research is to characterize land surface of karst area in Cipatat Subdistrict in the
western Bandung District. The time and cost spent in geological surveys when
characterizing the karst area can be reduced with the technology of remote
sensing. The method used in this research is by classifying fusion image and
linear features density image of Cipatat Subdistrict using region growing method
classification. Linear features density image were obtained from linear features
of two frame images of ALOS PALSAR ascending and descending mode, while
the fusion images of Cipatat Subdistrict were joint images from double band data
ALOS AVNIR-2 with single band data ALOS PALSAR polarimetric. The result of
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 139
the region grown method classification are shown as different class
characteristics of land surface of the Cipatat Subdistrict.
Keywords : Karst, Characterization, Land Surface, Linear Features Density,
Fusion Image, AVNIR-2, ALOS, Region Growing Method.
1. PENDAHULUAN
Wilayah karst merupakan wilayah gamping yang telah mengalami proses
pelarutan dengan ciri-ciri berupa perbukitan gersang, kering, panas, dan berwarna
putih (Ford dan Williams, 1989). Salah satu daerah yang memiliki wilayah karst
luas di Pulau Jawa ini adalah Kecamatan Cipatat.
Keberadaan karst di Kecamatan Cipatat merupakan suatu keuntungan tersendiri
karena memiliki nilai strategis dan ekonomis, antara lain sebagai sumber air bagi
penduduk, bahan baku semen, bahan baku pestisida, dan lain-lain. Oleh karena itu,
adanya informasi karateristik mengenai permukaan tanah di wilayah karst ini
sudah semestinya menjadi suatu keharusan.
Karakterisasi permukaan tanah sebenarnya dapat dilakukan langsung di lapangan
dengan survei geologi. Namun, pada kenyataannya kegiatan survei geologi
membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang banyak. Dengan adanya teknologi
penginderaan jauh, seperti data SAR (Synthetic Aperture Radar) ini sangat
membantu dalam proses karakterisasi permukaan tanah. Penginderaan jauh
memberikan informasi mengenai suatu objek di permukaan bumi tanpa harus
mendekati secara langsung objek tersebut.
2. WILAYAH STUDI
Gambar 1. Wilayah Studi
140 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Wilayah studi pada penelitian ini adalah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung
Barat, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Cipatat memiliki 12 kelurahan.
Kecamatan Cipatat merupakan wilayah karst karena sebagian besar wilayahnya
berupa perbukitan gersang, kering, panas, dan berwarna putih. Wilayah
Kecamatan Cipatat dapat dilihat pada Gambar 1.
3. METODE PENELITIAN
Secara umum, metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini ditunjukkan
oleh gambar 2.
Gambar 2. Metode Penelitian
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 141
3.1 Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data SAR (Synthetic Aperture
Radar) yang merupakan hasil akuisisi satelit ALOS (Advanced Land Observing
Satellite) dari sensor PALSAR (Phase Array type L-band Synthetic Aperture
Radar), yaitu berupa 1 frame citra hasil akuisisi mode ascending pada tanggal 9
September 2010 dan 1 frame citra hasil akuisisi mode descending pada tanggal 5
Januari 2011. Citra ascending dan descending yang digunakan ditunjukkan oleh
gambar 3.
Gambar 3. Citra Ascending (kiri) dan Citra Descending (kanan)
Data lain yang digunakan adalah citra fusi Kecamatan Cipatat. Citra fusi ini
merupakan hasil penggabungan antara data citra optis dan data citra SAR. Citra
fusi ini terdiri dari 3 band, dengan komposisi 2 band dari citra ALOS AVNIR-2
dan 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric (Marcella, 2013). Citra fusi
Kecamatan Cipatat ditunjukkan oleh gambar 4.
Selain itu, juga digunakan peta Peta Geologi Lembah Cianjur, Jawa, karya
Sudjatmiko tahun 1972. Peta geologi menampilkan sumber informasi dasar dari
jenis-jenis batuan (litologi), ketebalan, kedudukan satuan batuan (jurus dan
kemiringan), susunan atau urutan satuan batuan, struktur sesar, perlipatan dan
kekar serta proses-proses yang pernah terjadi di daerah ini. Peta Geologi Lembah
Cianjur ditunjukkan oleh gambar 5.
142 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Gambar 4. Citra Fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013)
Gambar 5. Wilayah Kecamatan Cipatat pada Peta Geologi Lembah Cianjur, Jawa
3.2 Metode
3.2.1 Pra-pengolahan Citra
Tahap pra-pengolahan yang dilakukan meliputi koreksi geometrik, speckle noise
filtering, dan pemotongan citra (masking). Koreksi geometrik dilakukan agar citra
ALOS PALSAR ascending dan descending memiliki datum dan sistem proyeksi
peta yang sama dengan citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013). Metode
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 143
yang digunakan adalah image registration (image to image) menggunakan titik
kontrol tanah atau GCP (Ground Control Point) sebanyak 10 titik dan titik ICP
(Independent Check Point) sebanyak 5 titik pada masing-masing citra ascending
dan descending. Dari proses image registration yang dilakukan, didapatkan nilai
RMSE dari GCP pada citra ascending sebesar 0,121197 pixel dan pada citra
descending sebesar 0,164934 pixel. Sedangkan nilai RMSE dari ICP pada citra
ascending sebesar 0,147894 pixel dan pada citra descending sebesar 0,221719
pixel.l. Dari nilai RMSE yang didapatkan, maka koreksi geometrik metode image
registration yang dilakukan telah memenuhi persyaratan standar kesalahan yaitu
di bawah 0.5 pixel (Ekadinata, 2013).
Proses speckel noise filtering dilakukan dengan untuk mengurangi kesalahan-
kesalahan yang timbul akibat gangguan pada saat pengambilan citra karena
gangguan-gangguan tersebut mempengaruhi kenampakan pada citra sebagai
piksel yang terang atau gelap (Ragajaya, 2012). Metode yang dipakai adalah
adaptive filters bit errors dengan filter size 3x3, sigma factor 3, dan tolerance 5.
Setelah proses filtering, citra terlihat lebih halus karena speckle noise telah
berkurang.
Setelah melewati proses koreksi geometrik dan speckel noise filtering, maka akan
didapat citra yang telah terkoreksi. Tahap selanjutnya adalah pemotongan citra
(masking). Pemotongan citra (masking) dilakukan dengan menampalkan
(overlay) citra dengan batas administrasi Kecamatan Cipatat. Hasil akhir dari
proses pra-pengolahan data ditunjukkan oleh gambar 6.
Gambar 6. Hasil Akhir Tahap Pra-Pengolahan Data. Citra Ascending (kiri) dan Citra
Descending (kanan)
3.2.2 Penarikan Kelurusan (Linear Features)
Kelurusan berkaitan dengan fenomena yang bersifat linear pada suatu obyek
permukaan bumi. Fenomena kelurusan merupakan refleksi bidang
144 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
ketidakmenerusan pada batuan, seperti rekahan, kekar, dan sesar (Singhal dan
Gupta, 1999).
Kelurusan morfologi yang tampak pada citra dapat terlihat pada beberapa
kenampakan, seperti pada jalur pegunungan, dataran, deretan gunung api, sungai-
sungai, memanjangnya tepi danau, garis pantai, palung, dan sebagainya (Modul
Kuliah Geomorfologi). Semua kelurusan yang tampak pada citra ascending dan
descending tersebut kemudian ditarik kelurusannya seperti yang ditunjukkan oleh
gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Kelurusan pada Citra Ascending Ditandai dengan Garis Merah
Gambar 8. Kelurusan pada Citra Descending Ditandai dengan Garis Kuning
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 145
Dari citra ascending dan descending di atas, jumlah kelurusan yang dapat ditarik
adalah sebanyak 978 kelurusan. Persebaran posisi kelurusan dari kedua citra
tersebut ditunjukkan oleh gambar 9.
Gambar 9. Posisi Persebaran Kelurusan. Kelurusan pada Citra Ascending (Merah) dan
pada Citra Descending (Kuning)
Sebanyak 978 kelurusan yang sudah ditarik (gambar 10 kiri), kemudian diukur
arahnya dengan cara menghimpitkan titik pusat masing-masing kelurusan pada
titik pusat lingkaran diagram mawar (gambar 10 kanan). Setelah titik pusat
kelurusan dan titik pusat lingkaran diagram mawar berhimpit, maka akan dapat
terlihat arah atau jurus suatu kelurusan.
Gambar 10. Persebaran Posisi Kelurusan (kiri) dan Lingkaran Diagram Mawar (kanan)
146 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Setelah semua kelurusan diketahui arahnya, kemudian dibuat diagram mawar
kelurusan Kecamatan Cipatat. Diagram mawar kelurusan Kecamatan Cipatat
ditunjukkan pada gambar 11.
Gambar 11. Diagram Mawar Kelurusan Kecamatan Cipatat. Arah Umum Kelurusan
Ditunjukkan oleh Garis Berwarna Merah
Dari diagram mawar di atas, dapat dilihat bahwa arah umum kelurusan di wilayah
Kecamatan Cipatat berada pada rentang 1°-10° atau 181°-190° dan rentang 151°-
160° atau 331°-340° karena kedua rentang sudut tersebut memiliki frekuensi
paling besar.
3.2.3 Pembuatan Citra Kerapatan Kelurusan (Linear Features Density Image)
Setelah mengukur arah umum kelurusan, maka tahap selanjutnya adalah
menghitung kerapatan kelurusan. Penghitungan kerapatan kelurusan ini bertujuan
untuk mengetahui konsentrasi dan pola penyebaran kelurusan-kelurusan
morfologi (Kim, 2003).
Penghitungan kerapatan kelurusan dimulai dengan pembuatan grid pada daerah
penelitian dengan interval yang tetap. Pada penelitian ini, ukuran grid yang
digunakan sebesar 10x10, sehingga akan menghasilkan 100 kotak kecil yang
memiliki luas yang sama. Grid yang dimaksud ditunjukkan pada gambar 12.
Dalam penghitungan kerapatan kelurusan ini, penulis mencetak grid kelurusan
dengan panjang 206 milimeter dan lebar 184 milimeter pada kertas. Dengan
demikian, maka tiap 1 kotak kecil pada grid akan memiliki panjang 20,6
milimeter dan lebar 18,4 milimeter. Luas tiap 1 kotak kecil pada grid adalah
379,04 milimeter².
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 147
Gambar 12. Grid Kelurusan
Selanjutnya akan dilakukan penghitungan nilai % kerapatan kelurusan (% D)
pada setiap kotak kecil pada grid. Untuk menghitung nilai % kerapatan kelurusan
tersebut digunakan rumus sebagai berikut (Saepuloh et al., 2013 ):
% 𝐷 =𝑃
𝐿𝑥 100 % (1)
Dimana,
% D = % kerapatan kelurusan 1 kotak kecil pada grid
P = Jumlah panjang kelurusan dalam 1 kotak grid (satuan milimeter)
L = Luas 1 kotak grid (= 379,04 milimeter²)
Dari rumus di atas, maka akan didapatkan nilai % kerapatan kelurusan setiap
kotak kecil pada grid. Nilai % kerapatan kelurusan yang didapat memiliki rentang
antara 0 - 43,121693 seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1.
Tabel 1. Nilai % Kerapatan Kelurusan pada Grid
148 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Nilai % kerapatan kelurusan di atas kemudian disimpan ke dalam format ASCII
(*.txt) sehingga setiap pixel akan akan menyimpan satu nilai % kerapatan
kelurusan. Setelah itu, akan ditampilkan sebagai citra kerapatan kelurusan. Pada
tahap pengolahan selanjutnya, citra kerapatan kelurusan akan digabungkan (layer
stacking) dengan citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013). Oleh karena itu,
header dari citra kerapatan kelurusan ini harus disamakan dengan header dari
citra fusi Kecamatan Cipatat terlebih dahulu.
Gambar 13. Citra Kerapatan Kelurusan
Citra kerapatan kelurusan memiliki 1 band tunggal (grayscale). Rentang nilai
dalam band ini juga sudah normal karena sudah sesuai dengan rentang nilai
kerapatan kelurusan yang sebenarnya, yaitu antara 0 – 43,121693.
3.2.4 Penggabungan Band (Layer Stacking)
Penggabungan band (layer stacking) merupakan tahap menggabungkan dua data
citra yang sudah memiliki datum dan sistem koordinat yang sama. Pada
penelitian ini, layer stacking dilakukan dengan menggabungkan band dari citra
kerapatan kelurusan dengan band dari citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella,
2013).
Hasil dari tahap layer stacking akan menghasilkan citra fusi Kecamatan Cipatat
terbaru yang terdiri dari 4 band, yaitu 2 band ALOS AVNIR-2, 1 band ALOS
PALSAR polarimetric, dan 1 band kerapatan kelurusan. 2 band dari citra optis
ALOS AVNIR-2 dan 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric
Karena dalam citra fusi Kecamatan Cipatat terdapat 4 band, maka perlu
dilakukan pengaturan komposisi band terlebih dahulu, sehingga akan
menghasilkan 3 band RGB citra fusi Kecamatan Cipatat dengan komposisi
sabagai berikut:
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 149
1. R-band adalah gabungan dari 2 band dari citra ALOS AVNIR-2 (R+G
band ALOS AVNIR-2).
2. G-band adalah 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric (B-band
ALOS PALSAR polarimetric.
3. B-band adalah 1 band dari citra kerapatan kelurusan.
Citra fusi Kecamatan Cipatat hasil dari tahap penggabungan band (layer
stacking) dan pengaturan komposisi band ditunjukkan oleh gambar 13.
Gambar 13. Citra Fusi Kecamatan Cipatat Hasil Layer Stacking
Citra fusi Kecamatan Cipatat hasil layer stacking memiliki rentang nilai band
yang bervariasi. Untuk nilai R-band adalah 0 - 255, nilai G-band adalah 0 - 255,
dan nilai B-band adalah 0 - 43,121693.
3.2.5 Klasifikasi Citra Fusi
Pada citra penginderaan jauh, nilai respon spektral yang didapat akan sangat
beragam. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya nilai piksel pada tiap band citra
sehingga dibutuhkan metode yang dapat memudahkan untuk menganalisis dan
menginterpretasikan citra. Pada umumnya, klasifikasi citra satelit digunakan
untuk mendapatkan informasi karakteristik permukaan tanah dengan menerapkan
algoritma klasifikasi.
Pada penelitian ini, klasifikasi dilakukan dengan cara membuat zona-zona pada
citra fusi Kecamatan Cipatat. Pembuatan zona ini dilakukan dengan dua tahap.
Tahap pertama adalah pembuatan zona secara manual berdasarkan kenampakan
visual, yaitu pembuatan zona dilakukan berdasarkan penglihatan mata. Parameter
yang digunakan adalah warna (rona) atau nilai kecerahan pada setiap piksel citra
fusi Kecamatan Cipatat. Dengan proses tahap pertama ini, penulis dapat membagi
citra fusi Kecamatan Cipatat menjadi 7 zona seperti yang terlihat pada gambar 14.
150 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Gambar 14. Citra Fusi Kecamatan Cipatat (7 Zona) Hasil Layer Stacking
Tahap kedua adalah pembuatan zona dengan menggunakan metode region
growing. Region growing merupakan salah satu metode sederhana dalam proses
segmentasi citra yang berdasarkan region.
Prinsip metode region growing ini mulanya ialah penentuan sekumpulan seed
point. Kemudian diinisialisasikan suatu region awal dari seed tersebut. Region ini
akan terus berkembang dari seed point menjadi point-point yang saling
berdekatan tergantung pada kriteria yang dibuat seperti yang ditunjukkan oleh
gambar 15.
Gambar 15. Ilustrasi Metode Region Growing
Dalam penelitian ini, kriteria yang dibuat untuk membatasi perkembangan region
adalah dengan batas zona yang sudah dibuat berdasarkan pembuatan zona secara
visual seperti yang ditunjukkan oleh gambar 16.
Gambar 16. Contoh Proses Perkembangan Seed Point Sesuai dengan Batas Zona
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 151
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil akhir penelitian ini berupa peta karakteristik permukaan tanah di wilayah
karst Kecamatan Cipatat. Peta tersebut menampilkan tujuh zona. Setiap zona
diberikan warna yang berbeda-beda seperti yang ditunjukkan oleh gambar 17.
Gambar 17. Peta Karakteristik Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat
Dari klasifikasi metode region growing, didapat data statistik untuk setiap zona
seperti yang ditampilkan oleh tabel 2. Statistik tersebut menampilkan informasi
rincian nilai rentang maximum, minimum, dan mean pada setiap band. Selain itu,
juga dilengkapi dengan informasi litologi pada masing-masing zona. Informasi
litologi tersebut didapatkan dengan mengacu pada legenda Peta Geologi Lembah
Cianjur.
Tabel 2. Statistik Zona Karakteristik Permukaan Tanah
152 Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Dari hasil penelitian (Marcella, 2013) telah dijelaskan bahwa setiap band pada
citra fusi akan menunjukkan karakteristik tertentu. Untuk R-band AVNIR-2
menunjukkan kerapatan vegetasi dan perbedaan ketinggian. Untuk G-band ALOS
PALSAR polarimetric menunjukkan kekasaran obyek. Sedangkan, untuk B-band
kerapatan kelurusan hasil dari penelitian ini mengidentifikasikan pada keberadaan
struktur geologi.
Dengan meninjau R-band AVNIR 2, dapat dilihat bahwa zona 4 dan 6 memiliki
nilai mean yang tinggi dibandingkan dengan zona lainnya, yang berarti zona 4
dan 6 memiliki nilai kerapatan vegetasi dan perbedaan ketinggian yang tinggi
dibandingkan dengan zona lainnya. Litologi zona 4 dan 6 didominasi oleh batuan
breksi, lahar, lava, batupasir, dan serpih. Menurut informasi dari peta geologi,
batuan-batuan tersebut merupakan batuan hasil dari gunung api tua.
Dengan meninjau G-band ALOS PALSAR, dapat dilihat bahwa zona 6 memiliki
nilai mean tertinggi dan zona 3 memiliki nilai mean terendah. Zona 6 memiliki
litologi berupa breksi, lahar, lava, batupasir, serpih. Sedangkan, zona 3 memiliki
litologi berupa batupasir, batu gamping, batu lanau.
Dengan meninjau B-band kerapatan kelurusan, dapat dilihat bahwa zona 2, 3, 6,
dan 7 memiliki nilai mean yang tinggi. Hal ini berarti mengindentifikasikan
bahwa zona tersebut memiliki struktur geologi yang banyak jika dibandingkan
dengan zona lainnya. Struktur geologi tersebut bisa berupa patahan (sesar),
lipatan, maupun struktur kecil lainnya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa
didapat yaitu:
Hasil penelitian ini memberikan karakteristik permukaan tanah di wilayah
karst Kecamatan Cipatat dengan membaginya menjadi tujuh zona dan
disertai dengan nilai statistik pada masing-masing band RGB serta informasi
litologi pada masing-masing zonanya.
Dengan menggunakan data SAR dalam hal ini citra ALOS PALSAR
ascending dan ascending, proses penarikan kelurusan pada citra dapat
dilakukan dengan relatif mudah.
Dengan melakukan proses penggabungan band (layer stacking) antara fusi
hasil hasil penelitian (Marcella, 2013) dan citra kerapatan kelurusan hasil
penelitian ini, maka akan didapat citra fusi terbaru yang menampilkan warna
(rona) atau nilai piksel yang lebih beragam. Oleh karena itu, zona yang
terklasifikasi menjadi lebih banyak daripada hasil klasifikasi hanya dengan
menggunakan citra fusi hasil penelitian (Marcella, 2013) saja.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 153
5.2 Saran
Berdasarkan pengerjaan penelitian ini, didapatkan beberapa saran, yaitu:
Sebaiknya menggunakan peta geologi yang terkini agar informasi geologi
yang diperoleh sesuai dengan keadaan lapangan terkini.
Sebaiknya perlu mempelajari karakteristik litologi terlebih dahulu secara
mendalam sehingga dapat memberikan informasi karakteristik permukaan
tanah yang lebih baik.
DAFTAR REFERENSI
Choo, A. L., Chan, Y. K., dan Koo, V. C. (2011). Geometric Correction on SAR Imagery.
Progress in Electromagnetic Research Symposium Proceedings. Kuala Lumpur:
Multimedia University.
Ekadinata, A. (2008). Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan
Berbasis Sumber Daya Alam. World Agroforestry Centre, Bogor.
Ensiklopedia ITT Telkom. Diambil dari http://digilib.ittelkom.ac.id/
Ford, D and William, P. (2007). Karst Hidrogeology and Geomorphology, John Wiley &
Sons Ltd. The Atrium Gate, Chicester West Sussex, England
Gupta, R. P. (1991). Remote Sensing Geologi. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, New
York.
Kim, Gyoo-Bum. (2003). Construction of a Lineament Density Map with ArcView and
Avenue. Korea Water Resources Corporation, South Korea.
Marcella, Manda. (2013). Identifikasi Tutupan Lahan Wilayah Karst Kecamatan Cipatat
dengan Data ALOS PALSAR dan AVNIR : Kajian Perspektif Sosial,
Kependudukan, dan Ekonomi. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Modul Kuliah Geologi Dinamik. Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung.
Modul Kuliah Geologi Struktur. Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung.
Modul Kuliah Geomorfologi. Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung.
Prihanggo, Maundri. (2013). Identifikasi Genangan Air dengan Memanfaatkan Citra
Quickbird dan ALOS PALSAR: Studi Kasus Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten
Bandung. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Purwadhi, S. H. dan Sanjoto, T. B. (2008). Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas Negeri Semarang.
Ragajaya, R. (2012). Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR
Menggunakan Citra ALOS PALSAR. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Saepuloh, A., Urai, M., Meilano, I., dan Sumintadireja, P. (2013). Automatic Extraction
and Validation of Linear Features Density From ALOS PALSAR Data for Active
Faults and Volcanoes. Institute of Geology and Geoinformation and Technology,
National Inst. Of Advanced Industrial Science and Technology (AIST Japan).
Singhal, B. B. S., dan Gupta, R. P. (1999). Applied Hydrogeology of Fractured Rocks.
Kluwer Academic Publisher, Netherlands.
Yudhono, Erfianto Bagus. (2010). Klasifikasi Tutupan Lahan dan Tata Guna Lahan di
Kabupaten Bandung Barat dengan Menggunakan Citra Landsat-7 ETM dan ALOS
PALSAR. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Pembelajaran dan Pemahaman Konsep
Lingkungan Berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG)
Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 155
Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
Departemen Pendidikan Biologi, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
Jalan Dr. Setiabudhi 229, Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
1. PENDAHULUAN
Munculnya Sistem Geografi Informasi (SIG) sejak tahun 1980an, terutama
terdorong oleh perkembangan penginderaan jarak jauh, adanya komputer, dan
Global Positioning System (GPS). Sejak saat itu SIG mulai berkembang dan
menarik bagi berbagai pihak untuk keperluan yang sangat beragam. Oleh karena
itu, penggunaan SIG mengalami peningkatan yang sangat pesat sejak 1980-an.
Peningkatan dalam penggunaan SIG terjadi terutama di negara-negara maju, baik
di kalangan militer, pemerintahan, akademis, maupun untuk kepentingan bisnis.
SIG merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang secara umum
dipergunakan untuk menyimpan, menampilkan, memanipulasi dan menganalisa
informasi-informasi data geografis (Prahasta 2005). Data geografis meliputi
fungsi lahan, administrasi desa, topografi, topologi, kandungan mineral tanah,
daerah aliran sungai, jaringan jalan, pemukiman dll. Produk yang dihasilkan
berupa peta konvensional (tradisional) yang dapat juga diubah ke dalam bentuk
peta digital, dengan maksud untuk lebih memudahkan pengguna melakukan akses
dan memperbanyak data. Bahkan dapat menghasilkan peta tematik yang
merupakan hasil modifikasi dan manipulasi dari peta asli serta disesuaikan
dengan kebutuhan (Surtikanti, dkk 2013).
Sistem ini dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisa objek-
objek dan fenomena-fenomena yang lokasi geografisnya merupakan karakteristik
yang penting atau kritis untuk dianalisis. Arc View merupakan salah satu
perangkat lunak dekstop SIG dan pemetaan yang dikembangkan oleh ESRI
(Environmental System Research Institute). Dengan demikian SIG merupakan
sistem yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi
geografis yaitu input (masukan), output (keluaran), manajemen data penyimpanan
dan pemanggilan data, serta analisis dan manipulasi data. SIG ini dapat
menampilkan gambar dua atau tiga dimensi suatu wilayah. Berbagai bentang
alam seperti bukit, sungai, serta berbagai informasi tambahan seperti jalan dan
perumahan dapat ditampilkan pada sistem ini.
Salah satu penggunaan SIG, yaitu dalam menganalisa fenomena/gejala yang
terjadi di permukaan bumi secara meruang. Fenomena ini dapat bersifat fisik
dan sosial (ekonomi, politik, budaya dan lingkungan). Adanya SIG, maka
156 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
fenomena lokasi dan pola dapat diperoleh secara tepat dan akurat tanpa harus
kelapangan, sehingga memudahkan dalam menyelesaikan permasalahan terkait
(Andrasmoro dan Ratri, 2010).
Disini terjadi proses perkembangan pemanfaatan SIG dari yang bersifat pasif
yaitu berupa data dalam bentuk peta atau hard disk yang digunakan sebagai data
informasi, menuju ke pemanfaatan SIG yang bersifat aktif. Hal ini terlihat dari
beberapa hasil penelitian yang menggunakan SIG untuk menganalisa
permasalahan lingkungan, memprediksi kerusakan lingkungan dan dapat juga
digunakan untuk pengelolaan lingkungan.
Dalam pembelajaran SIG berada di 2 posisi yaitu belajar tentang SIG dan belajar
dengan SIG (Kerski 2013). Belajar tentang SIG meliputi materi Remote Sensing,
Geomatics dan informal education. Sedangkan belajar dengan SIG yaitu
mempelajari ilmu bumi, kimia, biologi, geografi, program komputer, sejarah,
dan matematika. Model pembelajaran konstruktivisme, pembelajaran berbasis
masalah, dan asesmen autentik sangat sesuai jika dikolaborasi dengan media SIG.
Walaupun SIG dikembangkan untuk melengkapi kemutakhiran data geografi,
tetapi SIG juga digunakan sebagai alat untuk kebutuhan dari segala aspek.
Khusus dalam bab ini akan dipaparkan bahwa SIG merupakan media teknologi
tinggi yang digunakan dalam pembelajaran dan penelitian yang berkaitan dengan
lingkungan.
2. SIG DAN LINGKUNGAN
Penggunaan SIG sangat erat hubungannya dengan lingkungan dan geografi.
Dibawah ini adalah paparan yang melukiskan bahwa SIG ternyata banyak
dimanfaatkan untuk kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, yaitu: mempelajari
pencemaran lingkungan, alih fungsi lahan, pengelolaan lingkungan dan populasi
hewan/tumbuhan.
Pada beberapa penelitian yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, SIG
merupakan salah satu media juga yang digunakan untuk memberikan gambaran
yang lebih luas. Bahri dan Irianto (2007) menggunakan SIG yang dipadu secara
integrasi dengan indeks kualitas air dalam mengkaji kualitas air sungai Citarum.
Adanya SIG ini, mampu memberikan kontribusi dalam menentukan kualitas air
secara spasial dan membantu para pengelola kebijaksanaan daerah setempat
(Triyono dan Wahyudi, 2008). Di penelitian lain, pemanfaatan SIG dalam
menjelaskan degradasi perubahan kualitas air DAS Cikapundung dari hulu hingga
hilir, juga memberikan penjelasan deskriptif yang komprehensif (Surtikanti, dkk
2013). Penyederhanaan peta DAS Cikapundung berbasis SIG dapat dilakukan
untuk memberikan gambaran fokus pada fungsi lahan dan pencemaran
lingkungan. Peta tersebut dapat dilengkapi dengan nilai biotik indeks (kualitas
air berbasis biologi) atau juga dengan menambahkan gambar benthos (biota air)
yang merupakan bioindikator air bersih maupun air kotor (Gambar 1). Peta di
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 157
bawah ini merupakan hasil modifikasi dengan menggunakan program SIG, yaitu
menggambarkan profil DAS Cikapundung dari hulu hingga hilir dan fungsi lahan
yang berbeda. Kualitas DAS Cikapundung ini di evaluasi dengan menggunakan
bantuan bioindikator benthos. Keberadaan bioindikator benthos ini mencirikan air
bersih dan air tercemar.
Gambar 1. Paduan SIG dan bioindikator benthos dalam evaluasi kualitas air DAS
Cikapundung (Surtikanti, dkk 2013)
Aplikasi SIG juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi dan memantau tingkat
pencemaran udara, sungai dan laut. Hasil peta SIG ini memiliki kemampuan
memberikan informasi (data) dan dapat membandingkan parameter-parameter
yang melebihi standar baku mutu. Aplikasi ini juga dapat dilengkapi dengan
informasi lokasi industri dan daerah pengembangan industri. Puslit Air (2006)
membuat kombinasi bioindikator makrobenthos dengan SIG sehingga dihasilkan
data peta hubungan antara tingkat pencemaran pada sungai Citarum dengan skor
metric bioindikator dan jenis bioindikator. Dengan adanya program ini maka
pembaca dengan mudah dapat mengetahui informasi tingkat pencemaran udara,
sungai dan laut serta lokasi dimana terjadi pencemaran secara visual.
SIG juga dibutuhkan dalam memperoleh intepretasi data morfologi geografi,
lahan fungsi, drainase air, peta geologi, dan untuk mempelajari pencemaran air di
India (Alaguraja 2010). Sebab terjadinya pencemaran air, selain adanya
buangan limbah industri, pencemaran dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor
fisik lingkungan. Data fisik lingkungan ini sekarang dengan mudah dapat
diperoleh melalui SIG.
158 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
Dalam pembelajaran ekologi populasi tupai, SIG dapat digunakan untuk
menunjang proses pembelajaran di tingkat universitas. SIG yang dipadukan
dengan kuliah lapangan ternyata lebih memotivasi siswa dalam belajar jika
dibandingkan dengan metode kuliah lapangan saja (Simmons, dkk 2008).
Penggunaan SIG akan lebih bermanfaat jika dilakukan pada skala ruang yang
sangat luas, kompleks dan sukar dijangkau jika dilakukan observasi di lapangan.
Walaupun begitu SIG dapat digunakan dalam pembelajaran bagi siswa yang tidak
nyaman melakukan kuliah lapangan.
Selain untuk mempelajari populasi dan habitat hewan, Purnama (2011) juga
memanfaatkan SIG dan GPS untuk mempelajari pola distribusi, komposisi dan
struktur komunitas hutan lamun di pantai Karang Tirta (Padang). SIG dan GPS
dalam studi tersebut membantu dalam menentukan lokasi sampling dan lokasi
penyebaran lamun. Peta sebaran lamun yang dihasilkan tersebut dapat
memberikan informasi yang jelas secara visual dan dapat memperlihatkan
kerusakan hutan lamun yang terjadi.
3. SIG DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Keberhasilan siswa dalam mempelajari lingkungan, khususnya literasi
lingkungan terdapat 6 aspek yang harus dipenuhinya yaitu memiliki: sikap peduli
lingkungan, menguasai pengetahuan ekologi, sosial-politik, masalah lingkungan,
kemampuan mendeteksi lingkungan, berfikir sistematik dan bertindak dalam
memecahkan permasalahan lingkungan, dan perilaku tanggung jawab terhadap
lingkungan (Hollweg, dkk. 2011). Untuk dapat mencapai ke 6 kriteria tersebut,
dibutuhkan beberapa strategi pembelajaran yang melibatkan model, metode dan
media pembelajaran yang sesuai. Pemanfaatan hasil Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) sudah banyak diimplementasikan di beberapa instansi
termasuk diantaranya di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam aktifitas
pembelajaran dikelas dan praktikum di laboratorium. Salah satu media TIK yang
sudah tidak asing lagi yaitu komputer yang menggantikan posisi mesin tik. Hasil
aktifitas yang dilakukan dengan menggunakan komputer sangat jauh manfaatnya
dibandingkan dengan mesin tik. Walaupun biaya yang dikeluarkan dengan
menggunakan komputer sangat tinggi tetapi dengan kemajuan yang diperoleh
sangat signifikan. Sehingga masyarakat dari segala umur sudah banyak mengenal
alat komputer. Pemanfaatan komputer dalam pengajaran diterapkan dalam bentuk
pembelajaran berbasis komputer yaitu CBI (computer based instruction) dan
CBL (computer based learning). Teknologi pembelajaran berbasis komputer
telah dibuktikan dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran (Riandi 2003).
Dengan munculnya komputer terutama pemanfaatannya di sekolah, banyak
dikembangkan beberapa proses pembelajaran yang dipadukan dengan komputer.
Pembelajaran tersebut diantaranya dengan menggunakan media power point,
virtual, internet, e-learning, e-book. Belajar mengajar Biologi dengan
menggunakan presentasi Power Point memberikan motivasi siswa untuk belajar
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 159
biologi lebih bermakna (Kubiatko & Halakova 2009). Media pembelajaran
berbasis komputer yang dipadukan dengan e-learning dapat meningkatkan belajar
siswa pada ranah kognitif, efektif dan psikomotor di SMA (Riyadi 2011).
Media lain yang masih minim digunakan di Indonesia yaitu SIG. Di Amerika,
SIG yang dipadukan dengan kuliah lapangan dapat meningkatkan sikap dan
pengetahuan konseptual mahasiswa dalam mempelajari Ekologi (Simmons, dkk
2008). Kombinasi kuliah lapangan dan penggunaan SIG memiliki potensial
dalam pengembangan problem-based learning. Dalam kuliah lapangan saja,
mahasiswa hanya menggunakan alat radio telemetry untuk mencari lokasi.
Sedangkan SIG saja, hanya mengandung data yang digunakan untuk
menvisualisasi lokasi.
Tetapi akhir-akhir ini SIG digunakan untuk mendukung PBL (problem based
learning) oleh para pendidik (Summerby-Murray, 2001 & Drennon, 2005). Sebab
SIG memiliki potensi dalam meningkatkan pembelajaran lingkungan (NRC,
2006) dan meningkatkan sikap siswa terhadap lingkungan (West, 2003).
Walaupun sudah diketahui bahwa SIG sangat bermanfaat dalam pembelajaran,
tetapi dalam pelaksanaan di lapangan masih terhambat oleh beberapa kendala.
Kendala tersebut diantaranya ketrampilan guru yang masih minim terhadap
komputer, minimnya sarana komputer, pengetahuan SIG yang kompleks,
pemahaman SIG terhadap guru dan siswa, kebutuhan waktu lama untuk
memperkenalkan SIG di kelas, tingkat efektifitas penggunaan SIG yang belum
jelas dan membutuhkan biaya dan perlengkapan yang relatif mahal (Lloyd, 2001;
Baker, 2005; Simmons, dkk., 2008; Andrasmoro dan Ratri, 2010; dan Aina,
2013). Beberapa kendala tersebut merupakan keterbatasan dalam implementasi
SIG pada pembelajaran di kelas. Salah satu usaha dalam mengatasi kendala
tersebut yaitu pengembangan strategi pembelajaran oleh guru guna peningkatan
pemahaman materi Penginderaan Jauh dan SIG terhadap guru sendiri dan siswa
(Andrasmoro dan Ratri, 2010)
4. KESIMPULAN
Penggunaan teknologi SIG khususnya di bidang lingkungan sudah sangat luas
yaitu untuk evaluasi pencemaran sungai, mempelajari populasi hewan, dan
tumbuhan. Selain metode penelitian biologi yang sudah standar, tetapi dengan
adanya SIG ini memberikan kontribusi dalam melakukan penelitian berkaitan
lingkungan. Sehingga informasi yang diperoleh dari hasil penelitian sangat
komprehensif dan terpadu. Dalam pembelajaran di sekolah maupun di universitas,
SIG ternyata juga sudah diperkenalkan untuk pembelajaran terkait lingkungan.
Tetapi SIG hanya berupa media, dan SIG ini harus dipadukan dengan model
pembelajaran lain seperti PBL, Inquiry, Contextual Learning, CBL, dan lain-lain.
Perlu diantisipasi bahwa banyak kendala yang perlu dipertimbangkan dalam
menggunakan SIG dalam pembelajaran, sehingga implementasi SIG dapat
berlangsung tanpa hambatan.
160 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
DAFTAR REFERENSI
Androsmoro, D. & Ratri DA. 2010. Kendala guru Geografi dalam pengembangan
pembeljaran pengindaraan jauh (Remote sensing) dan SIG (Sistem Informasi
Geografis) di lingkungan SMA kelas XII Kabupate Sragen. Seminar Nasional‐PJ dan SIG.
Aina, J.K. 2013. Effecrive teachingand learning in science education through information
and communication technology (ICT). IOSR Journal of Research and Method in
Education 2(5) 43-47.
Alaguraja, P., Yuvaraj D., Sekar M., Muthuveerran P., dan Manivel M. 2010. Remote
Sensing and GIS Approach for the Water Pollution and Management In
Tiruchirappli Taluk, Tamil Nadu, India. INTERNATIONAL JOURNAL OF
ENVIRONMENTAL SCIENCES Volume 1, No1.
Bahri, S. dan Irianto EW. 2007. Integrasi peta tematik dan indek kualitas air untuk kajian
kualitas air sungai. Buletin Pusair, Media Informasi Kegiatan Penelitian Keairan.
Vol. 16, No. 47.
Baker, TR. 2005. Internet-based GIS mapping in supportof K-12 education. Prof. Geogr.
57, 44-50.
Drennon, C. 2005. Teaching geographic information systems in a problem-based
learning environment. J. Geog. High. Educ. 29, 385-402.
Hollweg, K.S., Taylor J.R., Bybee R.W., Marcinkowski T.J., McBeth W.C. & Zoido
P. 2011. Developing a framework for assessing environmental literacy,
Washington, DC. North American Association for Environmental Education.
(http://www.naaee.net).
Kerski, J. 2013. Developments in Technologies and Methods in GIS In Education
http://www.josephkerski.com/data/spatial_thinking_wa10.pdf.
Kubiatko, M. and Halakova Z. 2009. Slovak high school students attitudes to ICT using
in biology lesson. Computers in Human Behaviour 25 743-748.
Lloyd, W.J. 2001. Intergrating GIS into the undergraduate learning environment. J. Geog.
100, 158-163.
Pardede, F.A.,Warnars, S.H.L.H. 2010. Pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis
untuk menunjang pembangunan daerah.
http://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1006/1006.2085.pdf
Prahasta, E. 2005. Sistem informasi geografi: Konsep-konsep dasar, Penerbit Informatika,
Bandung.
Purnama, A.A. 2011. Pemetaan dan kajian beberapa aspek ekologis komunitas lamun di
perairan Pantai Karang Tirta Padang. http://pasca.unand.ac.id/id/wp-
content/uploads/2011/09/artikel-Arief-Anthonius-Purnama.pdf
Puslit Air. 2006. Penerapan Teknologi Spasial dan Sistem Informasi Geografi untuk
Pengelolaan Kualitas Lingkungan Keairan. Laporan akhir.
Qoriani, H.F. 2012. Sistem informasi geografis untuk mengetahui tingkat pencemaran
limbah pabrik di Kabupaten Sidoarjo, JURNAL LINK Vol 17/No. 2
Riandi. 2003. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan di
Indonesia dan Negara-negara Pasifik. Makalah disampaikan pada “The National
Seminar on Science and Mathematics Education”.
Riyadi, S. 2011. Studi experiment penggunaan Google Earth sebagai media pembelajaran
Sejarah berbasis E-Learning kelas XI IPS di SMA Negeri I Purwodadi Tahun
ajaran 2011/2012. Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Semarang. (Tidak diterbitkan).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 161
Simmons, M.E., Wu X.B., Knight S.L., dan Lopez R.R. 2008. Assessing the influence an
field and GIS-based inquiry on student attitude and conceptual knowledge in an
undergraduate ecology lab.CBE Life Science Education Vol.7 338-345.
Summerby-Murray, R. 2001. Analysing heritage landscape with historical GIS:
contributions from problem-based inquiry and constructivist pedagogy. J.Geor.
High. Educ. 25, 37-52.
Surtikanti, H.K., Safaria T., dan Suryakusumah W. 2013. Kajian sistem informasi
geografi dan teknologi spasial untuk pengelolaan ekosistem sungai Cikapundung.
Laporan penelitian PPKBK, DIKTI-UPI.
Triyono, J. dan Wahyudi K. 2008. Aplikasi sistem informasi geografi tingkat pencemaran
industri di Kabupaten Gresik. Jurnal Teknologi, Vol. 1, No. 1: 1-8.
West, B.A. 2003. Student attitudes and the impact of GIS on thinking skills and
motivation. J. Geog. 102, 267-274.
162 Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
BIOGRAFI PENULIS
Prof. Hertien Koosbandiah Surtikanti, M.Sc. ES. Ph.D
Hertien Koosbandiah Surtikanti merupakan guru besar
bidang biologi lingkungan di Departemen Pendidikan
Biologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Gelar Sarjana diraih tahun 1984 di bidang Biologi,
UNPAD. Gelar Magister penulis diperoleh dari RUG
Belgia di bidang Sanitasi Lingkungan (1990). Gelar Ph.D.
diraih penulis pada tahun 2001 dari UTS Sidney,
Australia di bidang Toksikologi Lingkungan. Penulis
sangat aktif melakukan riset di bidang biologi lingkungan
dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti biologi
molekuler, dan dengan memanfaatkan teknologi peninderaan jarak jauh.
Topik Hidayat, Ph.D
Topik Hidayat merupakan staf dosen di Departemen
Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung. Gelar Sarjana diraih tahun 1995 di bidang
Pendidikan Biologi, IKIP Bandung. Gelar Magister
penulis diperoleh dari ITB Bandung di bidang Biologi
(2001). Gelar Ph.D. diraih penulis pada tahun 2005 dari
The University of Tokyo, Japan di bidang Botani.
Bioteknologi Lingkungan merupakan salah satu bidang
riset yang sedang ditekuni saat ini, dimana salah satu
proyek risetnya adalah pemanfaatan pendekatan
metagenomik untuk menguji kualitas air. Bersama dengan Prof. Hertien pernah
melakukan riset tentang pengujian kualitas air menggunakan pendekatan
molekuler (penanda RAPD).