Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

209

description

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi 2

Transcript of Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Page 1: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2
Page 2: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai

Penginderaan Jauh Indonesia

2012

Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132

Page 3: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

ISBN 978-602-19911-2-1

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012

Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh,

Institut Teknologi Bandung

Gedung Labtek IX-C, lt. 3

Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132

http://crs.itb.ac.id

email: [email protected]

Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Yayusman

Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil

Cetakan Pertama : April 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak

suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta

atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 ii

Kata Pengantar

Isu-isu mengenai lingkungan, pangan, kependudukan, dan berbagai isu lain yang

berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia selalu penting untuk

dipelajari secara seksama. Kebutuhan tersebut semakin menyadarkan betapa

pentingnya informasi spasial yang dapat diperoleh dengan mudah, cepat, dan

akurat untuk membangun suatu sistem pengambilan keputusan yang tepat dan

efisien.

Penginderaan jauh yang merupakan teknologi berbasis geospasial dengan

kemampuan memberi informasi mengenai gambaran di permukaan bumi dapat

mempermudah manusia dalam mengambil keputusan terhadap berbagai

fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar. Teknologi penginderaan jauh yang

semakin berkembang dengan diluncurkannya berbagai jenis satelit dan sensor

memungkinkan semakin banyak aplikasi-aplikasi yang dapat didukung.

Buku dengan judul “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012” ini

ditujukan sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan

penginderaan jauh. Beragam karya ilmiah mengenai aplikasi dalam berbagai

bidang baik lingkungan, pertanian, perikanan, dan bencana alam menjadi bagian

dalam buku ini.

Harapan redaksi agar buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,

petunjuk maupun sumber pengetahuan baru di bidang penginderaan jauh.

Tentunya partisispasi dari para peneliti dan penulis lain juga dinantikan agar

semakin banyak inovasi dan penyampaian ilmu pengetahuan mengenai

penginderaan jauh khususnya di Indonesia di masa yang akan datang.

Tim Redaksi

Page 5: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2
Page 6: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 iv

Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................................... ii

Daftar Isi ............................................................................................................... iv

Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas Padi dengan Pendekatan Integrasi

Teknologi Hyperspectral Remote Sensing, Algoritma Genetika dan Model

Pertumbuhan Ekonomi Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier: .................... 1

Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Area Frame dengan Citra Satelit

Multisensor .......................................................................................................... 23

Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi Terakibat Organisme Pengganggu

Tumbuhan Wereng Batang Coklat (WBC) ......................................................... 39

Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah dari Citra Resolusi Tinggi

Menggunakan Metode Object Based Image Analysis ......................................... 57

Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Tanaman

Industri ................................................................................................................ 75

Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah Potensi Air Permukaan Berbasis

Data Spasial ....................................................................................................... 103

Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi Penangkapan Ikan di Indonesia ... 123

Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di Kecamatan Salam,

Magelang, Jawa Tengah .................................................................................... 137

Pembentukan Model dan Parameter untuk Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan

Data Light Detection and Ranging (Lidar) ........................................................ 149

Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR Menggunakan Citra

Alos Palsar ......................................................................................................... 167

Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok Karbon ....... 183

Page 7: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2
Page 8: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2
Page 9: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

1

Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas

Padi dengan Pendekatan Integrasi Teknologi

Hyperspectral Remote Sensing, Algoritma

Genetika dan Model Pertumbuhan Ekonomi

Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier:

-Sistem untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan

Nasional-

Muhamad Sadly, S. Mulyono, A. Sulaiman

Page 10: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

2 Muhammad Sadly, dkk.

Pengembangan Sistem Prediksi Produktifitas Padi dengan

Pendekatan Integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing,

Algoritma Genetika dan Model Pertumbuhan Ekonomi

Pertanian berdasarkan Dinamika Nonlinier: -Sistem untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional-

Muhamad Sadly, S. Mulyono & A. Sulaiman

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA),

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Gedung II BPPT, lantai 19, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340

Telp. : (021) 3169700; Fax: (021) 3169720

Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Abstrak

Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam

membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield

Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.

Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma

Genetika (GA) dan model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika

nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode

konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode

konvensional adalah, perhitungan produktifitas padi masih dilakukan secara

manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di

dalam implementasinya. Model yang dikembangkan di sini dinamakan “Model

prediksi HyperSRI”. Model pertumbuhan berdasarkan dinamika nonlinier akan

tergantung terhadap parameter dan kondisi awal. Ketepatan penentuan kedua

parameter tadi akan menetukan hasil model untuk prediksi jangka panjang.

Penentuan tersebut dilakukan berdasarkan teknologi remote sensing hyperspectral

dengan studi khusus daerah kabupaten Karawang. Genetic algorithms based new

sequence principal component regression (GA-NSPCR) yang dikombinasikan

dengan algoritma genetika yang digunakan untuk membangun model prediksi

sekaligus untuk pemilihan fitur (band) yang optimal dari data penginderaan jauh

hiperspektral. Model pertumbuhan ekonomi diturunkan dan dilakukan analisis

standard berdasarkan kondisi kestabilan dan diselesaikan secara numerik. Dengan

usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih akurat

dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Kegunaan dari

hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi

distribusi pertumbuhan padi (paddy growth stage distribution) dan prediksi

produktivitas padi (Yield prediction) yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses.

Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah pengembangan model

integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan

Algoritma Genetika (GA) dan model pertumbuhan ekonomi pertanian

Page 11: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 3

berdasarkan dinamika nonlinear untuk aplikasi dalam pengembangan sistem

prediksi produktivitas padi yang mempunyai konsep Maju, Menguntungkan,

Sejahtera dan Lestari. Model yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent

decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara

ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna

mengenai informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi

yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya,

perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini

akan divalidasi dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi

Jawa Barat.

Kata Kunci : dinamika nonlinier, model pertumbuhan ekonomi, pertanian,

hiperspektral, penginderaan jauh, algoritma genetika

Abstract

In this research proposed a new approach in the development of rice yield

prediction system to support National Food Security Program. Hyperspectral

remote sensing technology is integrated with Genetic Algorithm and agriculture

economic growth model based on nonlinear dynamic decided as a new

approach in order to improve the existing conventional method. The main

problem of a conventional method is the estimation of rice productivity using

manual system and the result obtained is not optimal and impractical in its

implementation. Model developed called “HyperSRI Prediction model”.

Agriculture economic growth model based on nonlinear dynamic depend on the

initial parameter and condition. The suitable of both parameters are important

factor for long term prediction. The deciding of parameters are based on

hyperspectral remote sensing technique in Karawang District, West Java.

Genetic algorithm based New Sequence Principle Component Regression (GA-

NSPCR) combined with Genetic Algorithm is used to build the prediction model

and also for optimal feature selection (optimal band selection) from

hyperspectral data. Economic growth model based on stability condition and

finalized by numerical approach. This model can provide the rice yield prediction

model more accurate than conventional method. Also, HyperSRI Prediction

Model is capable of providing technology solutions to address these issues in the

conventional method. The benefit of this research can give data and information

related to the paddy growth stage distribution and yield prediction easily

accessible, fast and accurate. This model having having the concept: advanced,

profitable, prosperity and sustainable. Model developed is indicated by the

characteristics as intelligent decision support system, cost minimizing objective

function and economic beneficial. Furthermore, this system can provide

appropriate information of paddy growth stage distribution and yield prediction

easily accessible, fast and accurate and also this model can help the agriculture

society to increase their income, local economic, country foreign exchange from

Page 12: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

4 Muhammad Sadly, dkk.

fishery industry sector. The model will be validated and implemented in several

regions in Indonesia, for example in the paddy field of Karawang District, West

Java.

Keywords: nonlinear dynamic, economic growth model, agriculture,

hyperspectral, remote sensing, genetic algorithm

1. PENDAHULUAN

Salah satu produk pertanian dalam hal ini beras merupakan makanan pokok bagi

sebagian besar negara Asia, termasuk Indonesia. Sebagai makanan pokok,

pemenuhan kebutuhan beras bagi penduduk Indonesia mendapat perhatian khusus,

karena hal ini menyangkut masalah stabilitas sosial, ekonomi dan politik. Segala

daya upaya harus disiapkan oleh pemerintah dari semua lini terkait secara sinergi

untuk mengupayakan stabilitas pemenuhan kebutuhan pokok akan pangan, mulai

dari kebijakan pemerintah, payung hukum, kontrol sarana produksi pertanian di

pasar, asistensi teknik, teknik estimasi produksi, distribusi panen, sampai pada

kontrol harga jual di pasar. Sebagai negara agraris, luas daratan Indonesia hanya

sepertiga dari total luas wilayah, sedangkan sisanya merupakan lautan. Luas

daratan itu harus dibagi lagi untuk berbagai peruntukan, seperti hutan lindung,

hutan produksi, permukiman, pasar, kawasan industri, fasilitas infrastruktur, dan

lain-lain. Kebutuhan lahan untuk permukiman, sekolah, pasar, dan fasilitas

infrastruktur terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk yang kini

telah mencapai sekitar 234.2 juta jiwa dan bertambah dengan laju 1,3% per tahun.

Menurut Badan Pusat Statistik (Prihtiyani, dkk., 2011), kebutuhan beras

penduduk Indonesia per kapita telah direvisi menjadi sebesar 113 kg per tahun,

yang berarti kebutuhan beras nasional mencapai sekitar 27 juta ton beras pada

tahun 2011.

Dari sekitar 21 juta hektar luas keseluruhan lahan pertanian Indonesia, 7,7 juta

hektar merupakan lahan sawah padi (Tetanel). Di sisi lain, kemampuan

produksi rerata lahan padi di Indonesia adalah 4,6 ton per hektar. Itu berarti

kemampuan produksi padi untuk sekali tanam adalah 35,42 juta ton gabah kering

giling atau setara dengan 21,25 juta ton beras. Bila diasumsikan secara pesimis

rata-rata penanaman padi yang berhasil dilakukan dalam setahun adalah 1,5 kali

tanam untuk setiap sentra produksi pertanian, maka produksi beras total Indonesia

hampir mencapai 32 juta ton beras. Hal ini sangat memungkinkan Indonesia

memiliki surplus beras sebesar 5 juta ton beras yang dapat digunakan sebagian

untuk stok ketahanan pangan dan sebagian untuk keperluan ekspor. Akan tetapi

ironisnya nilai impor beras semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Masalah utama yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah kesimpangsiuran dan

ketidakjelasan informasi stok beras Indonesia, di mana masing-masing pihak

memiliki data yang saling berbeda, seperti Badan Pusat Statistik (BPS),

Kementerian Pertanian, dan Badan Urusan Logistik (BULOG). Dalam konteks

ketahanan pangan, ketidaktersediaan informasi terkini tentang persedian beras

Page 13: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 5

nasional serta tidak adanya sistem estimasi prediksi produksi padi nasional yang

cepat, tepat, dan handal, sudah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan

rupiah setiap tahun yang hanya untuk impor beras. Melalui pemanfaatan remote

sensing, perlu untuk dilakukan penelitian untuk membangun suatu model prediksi

produksi beras di sentra produksi pertanian Indonesia yang cepat, tepat (lebih

akurat), handal, serta mudah digunakan pada tingkat operasional.

Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam

membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield

Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.

Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma

Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika

nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode

konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode

konvensional adalah, perhitungan produktifitas padi masih dilakukan secara

manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di

dalam implementasinya. Model yang dikembangkan di sini dinamakan “Model

prediksi HyperSRI” (Nakariyakul dkk., 2003; Valls dkk., 2005; Mulyono dkk.,

2012)

Dalam perencanaan pembangunan diperlukan prediksi secara tepat tentang

produksi beras beberapa tahun kedepan. Prediksi ini dilakukan dengan

memperhitungkan beberapa faktor yang pada dasarnya faktor-faktor tersebut

saling terkait satu sama lain. Pemahaman secara terintegrasi faktor-faktor tersebut

hanya dapat dilakukan melalui suatu model dinamika. Model dinamika tersebut

dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial sehingga analisis sistem

persamaan diferensial menjadi suatu keharusan. Tetapi tiga dasawarsa ini telah

berkembang bahwa model ekonomi dibangun oleh sistem persamaan diferensial

yang tak linier dimana belum ada solusi analitik yang general sehingga analisis

sistem yang bersangkutan masih sangat terbuka. Ada banyak cara untuk

menganalisis sistem ini. Pada dasarnya secara numerik kita bisa mencari solusi

sistem persamaan diferensial ini tetapi ini merupakan pekerjaan brute force jika

kita tidak dapat mengenali sistem secara baik. Hal yang sangat menarik adalah

bahwa solusi sangat tergantung dari parameter yang terkandung dalam persamaan

dan kondisi awal. Penentuan kondisi awal inilah dapat diperoleh secara tepat

dengan menggunakan teknologi remote sensing hyperspectral (Vaiphasa dkk.,

2004).

Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih

akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Model

yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent decision support system, cost

minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem

ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi

pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat

dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa

Page 14: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

6 Muhammad Sadly, dkk.

negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini akan di validasi dan

diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.

2. PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI HYPERSRI: METODOLOGI

DAN HASIL

Metodologi yang akan dijabarkan berikut ini disusun secara hierarki sedemikian

rupa agar didapatkan hasil kajian yang komprehensif, sistematik dari hulu yang

berisi mengenai pengembangan metode baru di dalam membangun model

prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield Prediction) dalam rangka

mendukung program ketahanan pangan nasional. Teknologi Hyperspectral

Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model

pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear dipilih sebagai

pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini

masih digunakan. Adapun detil metodologi dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.1 Monitoring dan Prediksi Produktivitas Padi dengan Penginderaan Jauh

Hyperspectral dan Genetic Algorithm

Teknologi penginderaan jauh (Remote sensing technology) adalah teknologi

untuk mengumpulkan informasi tentang permukaan bumi berdasarkan perekaman

energi cahaya pantul dan pancaran cahaya objek dengan menggunakan sensor

yang dipasang pada wahana satelit di luar angkasa. Dengan kemampuannya

mengumpulkan informasi dalam cakupan area yang sangat luas dan cepat, maka

membuat teknologi ini cepat berkembang dan mudah diaplikasikan untuk

keperluan analisis dengan berbagai macam aplikasi.

Di awal perkembangannya, teknologi ini masih menggunakan beberapa sensor

(multispectral remote sensing) terutama untuk mendeteksi cahaya tampak (visible

light) dan cahaya dekat infra merah (near infrared) untuk pemantauan vegetasi

secara umum. Karena tuntutan kebutuhan akan pengamatan objek lain di

permukaan bumi yang lebih rinci, maka diperlukan sensor yang mampu

mendeteksi cahaya dengan jangkauan yang lebih luas dan dengan resolusi

spektral yang sangat tinggi. Teknologi penginderaan jauh hiperspektral

(Hyperspectral Remote Sensing) yang merupakan pengembangan terbaru dari

teknologi penginderaan jauh memiliki beberapa keuntungan nyata dibandingkan

dengan teknologi sebelumnya yaitu penginderaan jauh multispektral

(Multispectral Remote Sensing). Sensor remote sensing generasi baru ini

memiliki spectral band hingga ratusan buah dengan lebar pita (bandwidth) relatif

sempit berkisar 5-10 nm. Dengan demikian membuat teknologi ini

memungkinkan untuk dipelajari secara lebih rinci untuk pemantauan vegetasi

pada umumnya, serta lebih spesifik untuk memantau pertumbuhan dan

perkembangan kondisi tanaman padi. Teknologi ini memiliki potensi untuk

memberikan informasi tentang tanaman pertanian secara kuantitatif dan cepat,

tanpa merusak tanaman itu sendiri dalam area jangkauan yang sangat luas. Hal ini

terjadi karena hyperspectral menyediakan informasi spektral yang mencirikan

Page 15: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 7

unik dan mengidentifikasi bahan kimia, kelembaban, dan sifat fisik dari bagian-

bagian konstituen dari suatu obyek masukan (Nakariyakul , 2003). Data

hyperspectral juga telah berhasil digunakan untuk melakukan klasifikasi seperti:

internal-almond yang rusak dari yang normal (Casasent, dkk., 2000), diskriminasi

spesies mangrove tropis (Valphasa, dkk., 2004). Di satu sisi remote sensing

hyperspectral, dengan memanfaatkan dimensi yang tinggi ini (high spectral

resolution) terbuka peluang untuk menganalisa suatu objek dengan lebih rinci

lagi. Tetapi di sisi lain, hal ini juga akan menimbulkan permasalahan-

permasalahan tersendiri dalam analisa. Salah satunya adalah diperlukannya

metode baru yang efektif untuk memproses data dengan dimensi yang tinggi,

yang sangat bergantung pada kemampuan dari memori dan kecepatan prosesor

komputer. Selain itu untuk meningkatkan kestabilan numerik maupun algoritma

diperlukan metode pemilihan fitur (feature selection) yang efektif.

Genetic algorithms based new sequence principal component regression (GA-

NSPCR) adalah metode regresi komponen utama yang dikombinasikan dengan

algoritma genetika yang digunakan untuk membangun model prediksi sekaligus

untuk pemilihan fitur (band) yang optimal dari data penginderaan jauh

hiperspektral. Prediktor (variabel bebas) yang digunakan adalah nilai band

spektral dari sekumpulan sampel data hipersepktral yang jumlahnya hingga

ratusan band, yang disusun ke dalam bentuk matriks (spectral matrix). GA

berfungsi untuk menentukan kromosom terbaik dengan teknik mutasi maupun

perkawinan silang antar generasi, yang dievaluasi menggunakan regresi

komponen utama. Agar dapat dianalisis menggunakan GA, terlebih dahulu

seluruh band spektral ini dirubah ke dalam bentuk kromoson biner [0,1]. Dengan

melalui sejumlah iterasi generasi, maka akan diperoleh kromoson yang terbaik,

yaitu yang menunjukan jumlah band yang sedikit dan memiliki nilai galat yang

kecil. Skema proses GA-NSPCR diperlihatkan pada Gambar 1. Sejalan dengan

proses GA di atas, spectral matrix yang telah terbentuk ditransformasikan ke

dalam ruang orthogonal untuk mendapatkan komponen utama (PC). Seluruh PC

yang terbentuk dievaluasi tingkat korelasinya terhadap nilai sampel produktifitas

padi (yield) secara linear sederhana (simple linear regression), dan disusun ulang

yang dimulai dari nilai korelasi yang tertinggi. Dari susunan PC yang telah

tersusun ulang tersebut, dipilih sebanyak 80% dari seluruh PC yang digunakan ke

dalam analisis regresi linear ganda (multiple linear regression) untuk keperluan

kalibrasi model menggunakan dataset sampel pelatihan (training dataset). Hasil

kalibrasi model ini selanjutnya diuji kembali menggunakan dataset sampel

pengujian (testing dataset), hingga diperoleh model prediksi terbaik. Model

prediksi yang diperoleh dari GA-NSPCR selanjutnya diimplementasikan ke

dalam citra hyperspectral HyMap untuk mengetahui peta sebaran prediksi

produksi padi.

Page 16: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

8 Muhammad Sadly, dkk.

Gambar 1. Skema proses GA-NSPCR (S. Mulyono dkk.,2012)

Citra HyMap ini merupakan hasil airborne campaign di sekitar Kabupaten

Karawang pada 14 Juli 2011, kerja sama antara Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi (BPPT) dengan Earth Remote Sensing Data Analysis Center

(ERSDAC) Jepang. Wilayah pengamatan mencakup 10 kecamatan, tetapi hanya

ada 2 kecamatan yang tercakup secara penuh batas administrasi, sedangkan 8

kecamatan lainnya hanya tercakup sebagian. Hasil prediksi ini kemudian

dibandingkan dengan data ubinan Desember tahun 2011 yang tersedia di Kantor

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Karawang. Sedangkan, Peta distribusi

prediksi yield padi untuk kecamatan di Kabupaten Karawang diperlihatkan pada

Gambar 2 sampai dengan 4.

Gambar 2. Peta distribusi prediksi yield padi untuk kecamatan (a) Lemahabang dan (b)

Talagasari

(a) (b)

Page 17: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 9

Gambar 3. Peta distribusi prediksi yield padi untuk sebagian kecamatan (a) Banyusari

dan (b) Cikampek

Gambar 4. Peta distribusi prediksi yield padi untuk sebagian kecamatan (a)

Cilamayakulon dan (b) Klari

2.2 Model Pertumbuhan Ekonomi Pertanian Dengan Dinamika Nonlinier

Apabila kita ingin mengetahui pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu

wilayah, indikator umum yang dapat digunakan adalah Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah

dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam suatu

negara untuk waktu satu tahun (Perko, 1991; Martono, 2011). Ada tiga

pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung PDRB suatu Negara atau

wilayah, yaitu melalui pendekatan pendapatan, pendekatan pengeluaran, dan

pendekatan produksi. Selama ini perhitungan nilai PDRB yang dilakukan oleh

Badan Pusat Statistik (BPS) adalah PDRB dengan pendekatan produksi yang

(a) (b)

(a) (b)

Page 18: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

10 Muhammad Sadly, dkk.

dibentuk dari sembilan sektor atau lapangan usaha, yaitu: ( 1) Pertanian, (2)

Pertambangan dan Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air

Bersih, (5) Konstruksi/Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7)

Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan,

dan (9) Jasa-Jasa. Kesembilan sektor pembentuk PDRB tersebut merupakan

faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional

maupun daerah. Dalam penerapannya ke skala Kabupaten misalnya maka yang

dilakukan adalah perhitungan sektor yang dominan. Sebagai contoh untuk

kabupaten Karawang sektor dominan adalah pertanian (dengan komoditi terutama

beras) dan industri. Dengan memasukkan faktor jasa lingkungan maka bersama-

sama dengan PDRB atau disebut PDRBD maka kita mempunyai tiga fungsi

ekonomi. Dinamika yang dibangun oleh ke tiga fungsi tersebut akan membentuk

persamaan diferensial dengan tiga fungsi yang tak diketahui dan umumnya

dengan semakin meningkatnya kompleksitas maka fungsi akan semakin banyak

(Alayarna dkk., 2004).

Telah dikemukakan di atas bahwa untuk studi kasus di kabupten Karawang maka

sektor yang dominan adalah pertanian dan industri. Sektor pertanian

menghasilkan produk yang sangat bagus di mana 60% digunakan untuk konsumsi

atau pemenuhan kebutuhan di dalam dan sisanya 40% dijual keluar sehingga akan

memberikan dampak pada pendapatan domestik bruto daerah (PDBD). Variabel

atau fungsi ekonomi yang akan dibahas umumnya adalah total capital (K(t)), rate

of interest (r(t)) dan harga komoditi pertanian (pa(t)). Pembangunan model

dimulai dengan mendifinisikan parameter atau fungsi yang memerikan dinamika

system yaitu K(t), r(t), dan pa(t) yang menyatakan berturut-turut total modal

(capital), rata-rata interest dan harga dari komoditas pertanian. Indeks a

menyatakan pertanian (agriculture) dan indeks i menyatakan industri. Huruf L

dan N berturut-turut menyatakan total luas lahan dan kekuatan buruh (labor

force). Nj(t) dan Kj(t) adalah labor force dan stock modal yang dilakukan oleh

sektor ke j yaitu j=a,i. La(t) tataguna lahan dari sector pertanian, S(t) total

saving, Lh(t) adalah land use untuk housing, Fj(t) adalah output dan Cj(t)

konsumsi produksi. Sedangkan wj(t) dan R(t) adalah (rente upah) wage rate dan

rente.

Setelah parameter dan fungsi didefinisikan maka tibalah saatnya membangun

model. Pada dasarnya model bisa apa saja tetapi umumnya sudah ada studi

sebelumnya dan jika dirasa kurang akan dilakukan modifikasi. Studi terdahulu

tidaklah salah karena berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang terjadi

tetapi dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada maka diperlukan

modifikasi atau inovasi terhadap teori atau model terdahulu. Dalam penyusunan

model perlu dilakukan asumsi-asumsi untuk memudahkan penyusunan model dan

reabilitas di lapangan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa proses produksi

masing-masing sektor diperikan dalam fungsi produksi. Sebagai contoh produksi

pertanian merupakan kombinasi dari modal, pekerja/buruh (labor force) dan

lahan. Secara matematis fungsi produksi sektor pertanian dinyatakan sebagai

berikut (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

Page 19: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 11

(1)

dimana ma ≥ 0, α+β+ς=1, dengan parameter diatas adalah konstanta positif.

Suku H adalah input tenaga kerja (petani) yang berkualitas. Parameter ma/β

mengukur bagaimana keefektifan sektor pertanian dalam penggunaan modal

manusia. Kondisi marginal untuk sector pertanian diberikan oleh (Alayarna, dkk.,

2004; Zhang, dkk., 2005),

(2)

Sedangkan sektor industri yang dinyatakan dalam fungsi produksi industry

diberikan dalam (Alayarna dkk., 2004; Zhang dkk., 2005),

(3)

dimana mi ≥ 0, α+β+ς=1, dengan parameter diatas adalah konstanta positif.

Dua input yaitu mesin dan kekuatan buruh dimasukkan pada perhitungan sebagai

produksi industri Dalam kasus ini perubahan lahan untuk industry diabaikan yang

berarti industry tetap dan tidak mengalami perluasan daerah. Kondisi marginal

sektor industri diberikan oleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

(4)

Persamaan (1) dan (3) menyatakan kelakuan produksi dari sektor pertanian dan

industri Asumsikan bahwa lahan milik petani yang berarti bahwa pendapatan dari

lahan akan di bagi diantara populasi. Asumsikan lagi bahwa marketnya homogen

di setiap urban land dan rural land. Total revenue diberikan oleh R(t)L dan

jika Y(t) menyatakan income dari household (rumah tangga) maka netto income

terdiri dari tiga bagian yaitu income upah (wage income), interest payment dan

revenue dari yang punya lahan yaitu ditulis (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk.,

2005),

(5)

Asumsikan bahwa utility level U(t) dari masing-masing household bergantung

pada tingkat konsumsi dari komoditas industri dan pertanian masing-masing

diberi simbol Ci(t) dan Ca(t) sedangkan kondisi housing Lh(t) dan saving S(t)

maka fungsi utilitas dinyatakan sebagai (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk.,

2005), ,

(6)

aaaa LNHKtFa

a

qm

a

ii

im

i

iii NHNtF

a

aa

a

aaa

a

aaa

L

FpR

N

Fpw

K

Fpr

;;

i

ii

i

ii

N

Fw

K

Fr

;

RLwNrKtY

10,,, SLCCtU hia

Page 20: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

12 Muhammad Sadly, dkk.

Masing-masing parameter menyatakan kecenderungan untuk mengkonsumsi

pertanian yang bagus, komoditas industry dan housing sedangkan yang terakhir

menyatakan kecenderungan untuk tetap kaya. Kendala budget untuk households

diberikan oleh(Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

(7)

Dimana RL menyatakan payment for housing. Dengan metode prinsip pengali

Lagrange atau maximum diperoleh (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

(8)

Dimana persamaan ini menyatakan akumulasi kapital dari households. Lebih

lanjut diasumsikan bahwa kapital, buruh, dan lahan full employed yaitu (Alayarna,

dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

(9)

Dan produk industry semua terkonsumsi dan terinvestasi yang dinyatakan oleh

(Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

(10)

Dan keseimbangan antara permintaan dan suplai untuk produk pertanian

direpresentasikan oleh Ca=Fa.

Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah human capital (H).

Dalam ekonomi kabupaten Karawang maka faktor politik yang dianggap dapat

menentukan pertumbuhan ekonomi adalah keterbukaan. Bagaimanapun juga

interaksi dengan kabupaten lain terutama Jakarta dan pembangunan pesat dari

sektor industri akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Faktor ini akan

memberikan tekanan pada perubahan lahan dari pertanian ke sektor pendukung

industry dan lainnya. Meskipun pemerintah daerah telah menetapkan peraturan

daerah tentang perubahan kawasan pertanian menjadi kawasan lainnya maka

bukan tidak mungkin perubahan lahan pertanian akan tetap terjadi. Dalam upaya

memahami optimalisasi lahan pertanian yang ada maka dinamika lahan tetap

perlu dilakukan di mana lahan akan dikenai dua gaya utama yaitu gaya pengerak

dan gaya pendorong atau gaya internal dan eksternal. Peningkatan faktor

eksternal ini akan berkecenderungan mengurangi luas lahan(Zhang, 2005).

Dalam bahasa matematik faktor ekspansi dinyatakan oleh eksponensial

pertumbuhan dan factor pengurang akibat umpan balik dinyatakan dalam bentuk

nonlinier. Maka jika perubahan luas lahan kita nyatakan dalam variabel (L) maka

dinamika perubahan lahan akan mempunyai bentuk metematis sebagai berikut,

(11)

KYSRLCCp hiaa

KHKYtKtKtYdt

dK ,ˆ

LLLNNNKKK ahaiai

ii FKKSC

HKqLLTdt

dLaax

a ,3

Page 21: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 13

dimana Tx adalah parameter adjustment yang positif Suku eLa menyatakan

kekuatan internal dan suku La3 menyatakan kekuatan eksternal. Jadi secara fisis

menyatakan bahwa suku eLa memberikan kualitas pertanian dan keuntungan

sector pertanian meningkat sedangkan suku La3 akan melawan ketertarikan orang

untuk menjadi petani akibat factor eksternal yaitu industry dan lainnya. Secara

umum jika kondisi kehidupan meningkat maka human capital akan naik maka

masyarakat akan lebih terbuka sehingga efek eksternal makin kuat. Kecepatan

adjustment merupakan aspek yang paling sulit ditentukan karena terpengaruh

psikologi masyarakat yang umumnya sulit dikuantisasi. Fungsi q(K,H)

menyatakan efek K dan H pada luas lahan pertanian. Pada umumnya parameter

ini positif tetapi tidak ada yang menjamin bahwa akan terus positif.

Berdasarkan hipotesa tadi maka dinamika human kapital diperikan oleh

(Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

(12)

di mana konstanta yang muncul adalah parameter yang umumnya positif. Suku

δH manyatakan depresiasi dari human capital. Suku pertama dari persamaan (12)

menyatakan bahwa jika system ekonomi menjadi lebih terbuka maka human

capital akan naik. Tetapi efek interaksi dengan factor eksternal pada akumulasi

human capital akan berkecenderungan untuk deklinasi jika human capital

masyarakat telah sangat tinggi. Suku kedua menyatakan learning by doing dari

sector pertanian dan suku ketiga menyatakan learning by doing dari sector

industry (Zhang, dkk., 2005).

Sejauh ini maka fungsi atau variable yang menyusun system ekonomi ini ada

delapan belas (17) yaitu K(t), H(t), Ka(t), Ki(t), Na(t), Ni(t), Lh(t), La(t), Fa(t), Ca(t),

Ci(t), S(t), U(t), r(t), w(t) dan pa(t). Fungsi-fungsi tersebut saling berinteraksi satu

sama lain sehingga akan membentuk system persamaan diferensial biasa

terkopling dan nonlinier yang rumit. Dengan kata lain sangat sulit untuk

mengekspresikan semua variable ekonomi secara lengkap. Dalam analisis

biasanya peneliti hanya melihat beberap variabel saja , misalnya variable K,La

dan H saja yang memerikan capital household, lahan pertanian dan human

capital. Secara matematis untuk merubah delapan belas variabel menjadi tiga

variabel digunakan lemma. Berikut adalah lemma tersebut (Zhang dkk., 2005).

Lemma. Untuk sembarang fungsi K(t) > 0, H(t) >0 dan X(t)> 0 pada suatu titik

di suatu saat, variable lain di dalam system secara unik ditentukan sebagai fungsi

dari K(t) dan H(t) melalui prosedur berikut ini: Ω(t) akan diwakili oleh Ka(t) dan

Ki(t) diwakili oleh Na(t) dan Ni(t) diwakili oleh Lh(t), Fa(t) menjadi pa(t)

sedangkan Fi(t) diwakili oleh r(t) dan w(t) sedangkan Ca(t) diwakili S(t) dan

Ci(t) diwakili U(t). Karena itu persamaan untuk K(t), H(t) dan X(t) memenuhi

system persamaan diferensial berikut (Alayarna, dkk., 2004; Zhang, dkk., 2005),

H

NH

FN

NH

FN

bH

aLT

dt

dHh

iiiaaaah

ia

1

Page 22: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

14 Muhammad Sadly, dkk.

(13)

di mana ada relasi yang dbangun oleh lemma tersebut yaitu (Zhang dkk., 2005),

(14)

dengan

iiia 11 ,

Ini adalah menyerupai persamaan keadaan di dalam system termodinamika.

Dengan lemma tersebut maka kita digaransi bahwa dengan hanya mengetahui

variabel tersebut maka semua system ekonomi yang diperikan oleh delapan belas

variebel tersebut dapat ditentukan. Jadi sistem ekonomi kita yang rumit tadi

sudah diperikan secara lengkap oleh persamaan-(13).

3. ANALISIS DAN DISKUSI

Analisis hasil citra satelit dengan sensor hyperspectral dan perbandingannya

dengan data di lapangan untuk kasus Kabupaten Karawang di sarikan dalam

Tabel-1.

Dari Tabel 1 diketahui bahwa Kecamatan Lemahabang dan Talagasari yang

tercakup secara penuh pada citra HyMap dapat memberikan hasil prediksi dengan

akurasi di atas 90%. Sedangkan untuk kecamatan lain yang tidak tercakup secara

penuh pada citra HyMap memberikan hasil dengan akurasi yang masih beragam

antara 65,86% sampai dengan 95,46%. Selain karena daerah cakupan yang tidak

penuh, hal ini disebabkan oleh faktor kondisi perawanan pada citra masih cukup

dominan, sehingga mempengaruhi hasil prediksi panen padi khususnya di

Kecamatan Cilamayakulon dan Tempuran.

HNH

FN

NH

FN

bH

aLT

dt

dH

HKqLLTdt

dL

KHKYdt

dK

hiiiaaaa

h

aaxa

ia

1

,

3

01),,ˆ(2211

ij

KY

K

KY

KHHKYf iimj

K

KY

KYK

KY

YKK ii

aa

1111

;

NNN

Y

KY

N

Naii

aa

i

;

Page 23: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 15

Tabel 1. Rekapitulasi prediksi panen di 10 Kecamatan Karawang

No SubDistrict Total Production

[Ton]/

Harvested Area

[Ton/Ha]

Yield

[Ton/Ha]

Data from

Dinas

[Ton/Ha]

Accuration

1 Lemahabang 27,553 / 4,142 6.65 6.14 91.73%

2 Talagasari 22,881 / 3,409 6.71 6.64 98.95%

3 Banyusari 6,068 / 986 6.15 6.47 95.00%

4 Cikampek 9,183 / 1,893 4.85 6.31 76.89%

5 Cilamaya Kulon 14,909 / 2,089 7.14 5.64 73.49%

6 Klari 27,094 / 4,875 5.56 6.06 91.76%

7 Majalaya 6,679 / 1,218 5.48 6.64 82.53%

8 Rawamerta 17,464 / 2,827 6.18 6.47 95.46%

9 Tempuran 21,962 / 2,946 7.46 5.56 65.85%

10 Tirtamulya 16,918 / 3,532 4.79 6.14 77.99%

Total 170711 /27917

rata-rata 72.34%

Langkah pertama dalam menganalisis system dinamik adalah melihat kondisi

setimbangnya (equilibrium condition). Kondisi kesetimbangan umumnya dicapai

dengan mencari solusi steady dari persamaan-(13) yaitu,

(15)

Karena jumlah parameter lebih banyak dari jumlah persamaan maka solusi tak

akan diperoleh. Salah satu cara adalah menspesifikasi parameter. Misalkan kita

spesifikasi parameter b=0 maka persamaan-(14) menjadi,

(16)

dari persamaan tersebut maka titik kesetimbangan dapat ditentukan. Dengan

mengunakan persamaan keadaan yaitu Y=K/λ maka luas lahan akan mempunyai

tiga kemungkinan solusi keseimbangan. Sebagai contoh jika q(K,H)= υ1K + υ2H

maka titik keseimbangan dicapai dengan luas lahan La=±√ε/θ dan La= (υ1K +

υ2H)/ √ε/θ. Maka fungsi produksi Fa dan Fi akan stabil pada kondisi lahan

pertanian tetap. Jika perubahan lahan lambat maka akan diperoleh persamaan,

01

0,

0,ˆ

3

HNH

FN

NH

FN

bH

aL

HKqLL

KHKY

hiiiaaaa

aa

ia

0

0,

0,ˆ

3

HNH

FN

NH

FNaL

HKqLL

KHKY

hiiiaaa

a

aa

ia

Page 24: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

16 Muhammad Sadly, dkk.

Suku eLa dan γ2 menyatakan kekuatan internal: Kualitas dan

keuntungan sector pertanian , suku La3 menyatakan kekuatan eksternal:

industry dan lainnya. Jika γ > 2.35 sistem runtuh

Gambar 5. Diagram bifurkasi system diatas

Persamaan (13) dapat dikerjakan dengan pengetahuan funsi q(K,H). Jika kita

mengambil bentuk fungsi tersebut adalah,

(17)

Yang menyatakan bahwa perubahan luas lahan dipengaruhi oleh kapital (K)

diperoleh persamaan dinamika,

(18)

Persamaan tersebut dipecahkan menggunakan metode numerik yaitu

menggunakan skema Runge-Kutta yang sudah digunakan secara luas dalam code

Matlab ode45. Hasil plot dengan syarat awal (0.5, 0.3, 0.5) seta asumsi

pertumbuhan faktor industri linier dinyatakan dalam Gambar 6.

N

KHKq ),(

HNH

FN

NH

FN

bH

aLT

dt

dH

N

KLLT

dt

dL

KRLwNrKdt

dK

hiiiaaaa

h

aaxa

a

ia

1

1

3

Page 25: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 17

Gambar 6. Hasil simulasi persamaan-13 dalam Matlab dengan syarat awal (0.5, 0.3, 0.5)

dan koefisien atau parameter persamaan lamb=0.2; r=0.1; w=0.5; del=0.03; eps=0.8;

teta=0.35; nu=0.5; Tx=0.09; Th=0.07; a=0.9; ta=0.2; ti=0.5; epsa=0.6; epsi=0.45;

Na=1; Ni=1; Fa=1; R=1; N=2; b=0.7; delh=del*eps; a) faktor pertumbuhan industri

linier b) dengan memasukkan faktor teknologi, c). pertumbuhan industry eksponensial, d)

ada insentif terhadap lahan pertanian

Pada Gambar 6, Terlihat bahwa dengan asumsi pertumbuhan industri linier maka

luas lahan dan modal akan mencapai kondisi tunak tetapi produksi masih bisa

tumbuh. Jika memasukkan efek teknologi yang dimodelkan dengan hadirnya

suku e^(0.05*t) di faktor pertumbuhan pertanian maka terlihat bahwa

pertumbuhan dapat meningkat dua kali lipat pada saat modal dan luas lahan

dalam kondisi tunak. Pembangunan pertanian bersifat menggunakan teknologi

padat tenaga kerja dan secara relatif menggunakan sedikit kapital, meskipun ada

investasi pada pembuatan jalan, saluran dan fasilitas pengairan, serta

pengembangan teknologinya. Kenaikan produktivitas sektor pertanian

memungkinkan penggunaan tenaga kerja lebih sedikit untuk menghasilkan

kuantitas output bahan makanan yang sama. Dengan demikian sebagian dari

tenaga kerja dapat dipindahkan ke sektor industri tanpa menurunkan output sektor

pertanian. Di samping itu pembangunan atau kenaikkan produktivitas dan output

total sektor pertanian akan menaikan pendapatan di sektor tersebut. Jadi

perubahan yang terjadi pada sektor tenaga kerja dapat diatasi dengan teknologi

pertanian atau mekanisasi pertanian.

(a) (b)

(c) (d)

Page 26: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

18 Muhammad Sadly, dkk.

4. KEUNGGULAN DAN MANFAAT MODEL PREDIKSI HyperSRI

Keunggulan utama dari sistem prediksi yang dikembangkan dalam kegiatan ini

adalah mampu memberikan solusi teknologi untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan pada metode konvensional (yang merupakan salah satu peran

BPPT). Keunikan dari system prediksi yang dikembangkan ditunjukkan dengan

ciri-ciri sebagai sistim pendukung keputusan secara cerdas (intelligent decision

support system), fungsi obyektif meminimumkan biaya (cost minimizing objective

function), bermanfaat secara ekonomi, serta mempunyai konsep Maju,

Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Lebih lanjut, prediksi tidak sepenuhnya

tergantung pada pengalaman dan pengetahuan operator. Dapat membantu

pengguna/user di dalam menyusun perencanaan strategis di bidang pertanian,

khususnya dalam program ketahanan pangan nasional. Dapat memberikan data

dan informasi distribusi pertumbuhan tanaman padi dan prediksi produktivitas

padi yang cepat, akurat, dan relatif mudah untuk diakses. Sistem ini dapat

digunakan untuk Pemerintah dan instansi swasta dalam mengelola dan menyusun

rencana strategis sumberdaya pertanian di Indonesia.

Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi produktivitas padi yang lebih

akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan.

Kegunaan dari hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan

informasi distribusi pertumbuhan padi (paddy growth stage distribution) dan

prediksi produktivitas padi (Yield prediction) yang cepat, akurat, dan mudah

untuk diakses. Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah

pengembangan model integrasi Teknologi Hyperspectral Remote Sensing

diintegrasikan dengan Algoritma Genetika (GA) dan Model pertumbuhan

ekonomi pertanian berdasarkan dinamika nonlinear untuk aplikasi dalam

pengembangan Sistem prediksi pproduktivitas padi yang mempunyai konsep

Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Model yang dikembangkan

memiliki ciri: intelligent decision support system, cost minimizing objective

function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat

menyediakan informasi yang tepat guna mengenai informasi distribusi

pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang mudah diakses, cepat

dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian daerah dan devisa

negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini akan di validasi dan

diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.

5. KESIMPULAN

Dalam riset ini telah diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam

membangun model prediksi sistem penentuan produktifitas padi (Yield

Prediction) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.

Teknologi Hyperspectral Remote Sensing diintegrasikan dengan Algoritma

Genetika (GA) dan Model pertumbuhan ekonomi pertanian berdasarkan dinamika

Page 27: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 19

nonlinear dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode

konvensional yang saat ini masih digunakan. Model yang dikembangkan disini

dinamakan “Model prediksi HyperSRI”. Model prediksi produksi panen padi

dengan metode GA-NSPCR telah diimplementasikan pada citra hyperspectral

HyMap untuk menghasilkan peta distribusi yield tanaman padi dengan akurasi

yang cukup tinggi. Sedangkan citra yang mengadung faktor perawanan yang

cukup dominan, perlu dilakukan perlakuan khusus terlebih dahulu agar tidak

mempengaruhi hasil prediksi.

Hasil simulasi model menunjukkan bahwa berdasarkan data dari inderaja

menunjukkan bahwa modal dan luas lahan akan mencapai kondisi tunak dimana

pertumbuhan produksi masih dapat tumbuh. Dengan memasukkan faktor

teknologi maka meskipun modal dan luas lahan berada dalam kondisi tunak tetapi

pertumbuhan faktor produksi dapat naik beberapa kali lipat. Model ini masih

dapat dikembangkan untuk memasukkan beberapa faktor dengan cara melakukan

perubahan di lemma. Penentuan parameter yang sesuai masih perlu dilakukan

untuk penyempurnaan model dinamika tesebut. Analisis kestabilan struktural

berdasarkan teori cathastrope sedang dilakukan. Lebih lanjut, hasil riset ini sangat

bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi distribusi pertumbuhan padi

(paddy growth stage distribution) dan prediksi produktivitas padi (Yield

prediction) yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses.

Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai

informasi distribusi pertumbuhan padi serta prediksi produktivitas padi yang

mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani khususnya, perekonomian

daerah dan devisa negara dari sektor industri pertanian. Sistem ini telah divalidasi

dan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.

DAFTAR REFERENSI

Prihtiyani E., A. Mulyadi, 2011. Konsumsi Beras Turun 25,7 Kg Per Kapita, Harian

Kompas.

Tetanel Y., Kedaulatan Pangan dan Nasib Pertanian Indonesia, Fakultas Pertanian

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Khudori, 2007. Impor dan Statistik Beras, Koran Tempo.

Ruslan K., 2012. Menyoal Nilai Impor Beras Indonesia yang Telah Mencapai 7 Triliun

Hingga Juli 2011, Kompasiana.

Jingfeng H., T. Shuchuan, O. A.Ismail, Wang Renchao, 2002. Rice yield estimation using

remote sensing and simulation model, Journal of Zhejiang University Science, 3 (4):

461-466

Nakariyakul S., 2003. Hyperspectral Feature Selection for Detection of Chicken Skin

Tumors, Electrical and Computer Engineering, Carnegie Mellon University,

Pittsburgh.

Casasent D., and X. W. Chen, 2000. Waveband selection for hyperspectral data: optimal

feature selection, Proc. SPIE, vol. 4203, pp. 27-36.

Page 28: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

20 Muhammad Sadly, dkk.

Vaiphasa Ch., and S. Ongsomwang, 2004. Hyperspectral Data for Tropical Mangrove

Species Discrimination, Proceedings of the 25th

ACRS Conference: p. 22-28.

Casasent D., and X.W. Chen, 2004. Aflatoxin detection in whole corn kernels using

hyperspectral methods, Proc. SPIE 5271, 275; doi:10.1117/12.516135.

Camps-Valls G., and L. Bruzzone, 2005. Kernel Based Method for Hyperspectral Image

Classification, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 43, no.

6.

Mulyono S., Student Member, IEEE, M. I. Fanany, Member IEEE, T. Basaruddin, 2012.

Genetic Algorithm Based New Sequence of Principal Component Regression (GA-

NSPCR) for Feature Selection and Yield Prediction Using Hyperspectral Remote

Sensing Data, International Geoscience and Remote Sensing Symposium, IEEE

2012. Proceedings. IGARSS.

Chambers D., and J.T Guo, 2009. Natural Resources and Economic Growth: Some theory

and evidence” , Annals of Economic and Finance , 10-2, 376-389.

Fauzy A., 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan” Penerbit Gramedia,

Jakarta.

Gilmore D., 1981. Catastrophe Theory for Scientist and Engineers” , Dover Publication,

New York.

Marcouiller D.W., and S.C. Deller, 2009. Natural Resources Stocks, Flows and Regional

Economic Change: seeing the forest and the trees” , Annals of Economic and

Finance , 10-2, 376-389.

Perko L., 1991. Differential Equation and Dynamical Systems” , Springer Verlag, Berlin.

Martono W., 2011. private communication.

Alayarna T., and D. F. Larson , 2004. Rural Development and Agricultural Growth in

Indonesia, the Philiphines and Thailand “Asia Pacific Press, Canbera.

Zhang, Wei-Bin, 2005. Differential Equation, Bifurcation and Chaos in Economic”

World Scientific , Singapore.

BIOGRAFI PENULIS

Dr. Muhamad Sadly

Dr. Muhamad Sadly lahir di Makassar (Sulawesi Selatan)

pada 14 Desember 1963. Menamatkan SD, SMP dan

SMA di Kota Makassar. Pendidikan Tinggi diawali di

Universitas Indonesia Jurusan Teknik Elektro dan meraih

gelar Insinyur UI tahun 1988. Meraih Master of

Engineering (M.Eng.) dari Department of Information and

Computer Sciences, Faculty of Engineering, Chiba

University, Japan pada Tahun 1996 dengan riset

pengembangan algoritma/model untuk aplikasi bidang

penginderaan jauh. Memperoleh gelar Doktor pada tahun 2000 dari, Graduate

School of Science and Technology, Chiba University, Japan. Pada Bulan Maret

1989 diterima bekerja di Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Alam (sekarang

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam/PTSDA), Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (BPPT). Pada Tahun 2004-2009 penulis menjabat sebagai

Kepala Bidang Teknologi Pemodelan Sistem SDA pada Pusat Teknologi

Page 29: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 21

Inventarisasi SDA (PTISDA), BPPT. Kemudian, pada tanggal 7 Agustus 2009,

dilantik sebagai Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam

(PTISDA), BPPT. Penulis juga aktif pada beberapa organisasi profesi, baik skala

nasional maupun skala internasional. Berbagai jejaring kerjasama luar negeri

(International Networking) bidang R & D dalam Penginderaan jauh telah

dibangun, diantaranya dengan Jepang, Belgy, U.S.A, dan Taiwan. Puluhan karya

ilmiah telah di publikasikan, baik pada publikasi skala nasional maupun pada

skala internasional. Penghargaan yang ia peroleh, antara lain: Piagam Satya

Karya Satya X dan XX Tahun 1999 dan 2009; Sebagai Peneliti Utama (PU) pada

Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Bidang Kelautan untuk

Mendukung Kemandirian Agribisnis Budidaya Perikanan, dengan tema riset

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Identifikasi Ekosistem Terumbu Karang Dan

Kesuburan Perairan di Kepulauan Bangka (2000-2001); Riset Unggulan Terpadu

IX (RUT-IX), Bidang Informasi dan Mikroelektronika tentang “Perancangan

Stasiun Bumi Penerima Data Satelit NOAA-AVHRR Dan Aplikasinya di

Indonesia” (2002-2003). Sebagai Peneliti Utama Program Insentif Ristek (2007);

Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI “SATYALANCANA WIRA

KARYA Tahun 2008; Masuk dalam “101 Indonesia Innovations pada tahun

2009”, Salah satu Inventor dan pemegang hak cipta (copyright) Perangkat Lunak

“SIKBES-IKAN”.

Sidik Mulyono

Sidik Mulyono, Perekayasa Muda pada Pusat Teknologi

Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) – Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Meraih S1

( B.Eng.) dari College of Science and Technology, Nihon

University, Japan dalam bidang Teknik Mesin pada tahun

1991. Meraih Master of Engineering (M.Eng.) dalam

bidang Mechanical Engineering dari Collage of Science and

Technology, Nihon University, Japan pada bulan Maret

1993.

Riset interes: Pengembangan model berbasis statistic dan non parametric untuk

aplikasi pada penginderaan jauh, khususnya pada bidang pertanian. Saat ini, Sidik

Mulyono sedang melakukan riset S3 di Fakulitas Ilmu Komputer Universitas

Indonesia dengan focus pada pengembangan model prediksi berbasis teknologi

penginderaan jauh jenis hiperspektral untuk melakukan prediksi produksi beras.

Paper sudah banyak d publikasi dalam bentuk jurnal maupun prosiding skala

nasional maupun internasional. Sebagai Chief Engineer (CE) pada project of

Hyperspectral Remote Sensing Technology for mapping the Agricultural

production centers, BPPT, 2011-2012.

Page 30: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

22 Muhammad Sadly, dkk.

Albert Sulaiman

Albert Sulaiman, Perekayasa muda di Pusat Teknologi

Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA)- Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Meraih S1

(Insinyur) dalam bidang sains atmosfir dan laut – Institut

Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1994. Kemudian,

meraih M.Sc dalam fisika terori (Theoretical Physics) -

Universitas Indonesia pada tahun 2005. Saat ini Albert

Sulaiman sedang mempersiapkan disertasi S3 dalam Fisika

Teori, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan akan meraih

Doktor pada tahun 2012. Riset interes : ,pengembangan model matematika,

seperti: nonlinear dynamical system, path integral, nonlinear wave, quantum

dissipative system, statistical mechanics, advection-dispersion modeling, digital

signal and image processing in natural phenomena. Hasil penelitiannya sudah

banyak dipublikasi dalam beberapa jurnal internasional, diantaranya:

international journal such as Physical Review, Physica D, Physica Scripta,

International Journal of Modern Physics, Journal of Computational and

Theoretical Nanoscience etc. A Sulaiman juga interes dalam bidang observasi

laut menggunakan kapal riset dan observasi wilayah pesisir dan lautan. Ditengah

kesibukan melakukan riset, Albert Sulaiman juga tidak lupa mengembangkan

hobbinya bermain musik yang sudah ditekuninya sejak lama.

Page 31: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

23

Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis

Area Frame dengan Citra Satelit

Multisensor

La Ode Syamsul Iman, Diar Shiddiq, Bambang H.Trisasongko

Mahmud H. Raimadoya, Ernan Rustiadi, Baba Barus

Page 32: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

24 La Ode Syamsul Iman, dkk.

Estimasi Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Area Frame dengan

Citra Satelit Multisensor

La Ode Syamsul Iman

1,2), Diar Shiddiq

1,2), Bambang H.Trisasongko

1,2,3),

Mahmud H. Raimadoya1,2,4)

, Ernan Rustiadi1,2,3)

, Baba Barus1,2,3)

1)

Tim Bimas-21, Institut Pertanian Bogor, 2)

P4W, Divisi Sistem Informasi Wilayah LPPM IPB, 3)

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lingkungan,Fakultas Pertanian IPB, 4)

Depertemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB

Kampus IPB Dramaga, Jalan Meranti, 16144 Jawa Barat

Email: 1)

[email protected]

Abstrak

Padi merupakan komoditas pertanian yang menjadi isu nasional dan tolok ukur

ketahanan pangan. Dukungan basis data sawah dan padi yang baik akan sangat

diperlukan untuk prediksi ketahanan pangan secara akurat dengan proses

pemantauan dan pemutakhiran data yang terpantau secara kontinyu sebagai kunci

penting dalam melakukan estimasi. Sistem estimasi produksi padi yang ada saat

ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, penyempurnaan metode dengan teknologi

terbaru terus dilakukan. Sesuai dengan perkembangannya, sistem estimasi

produksi dahulu berbasis tabel (list frame) dimana memiliki banyak kelemahan,

sehingga telah mulai ditinggalkan. Pilihan lain yang diketahui lebih baik dan

dapat ditelusuri (di-verifikasi) dengan mudah adalah basis spasial (area frame)

dengan memanfaatkan tekonologi penginderaan jauh multi sensor (optik dan

radar), dimana pendekatan ini cukup representatif terhadap kondisi bio-fisik

wilayah di Indonesia dengan tingkat ketelitian baik. Pemutakhiran data sawah

merupakan faktor kunci melalui pendekatan pemanfaatan teknologi penginderaan

jauh dan survei lapangan. Kombinasi teknik dan prosedur baku pengukuran data

(training set dan sampling test) merupakan poin utama proses validasi data dan

estimasi produksi dengan menggunakan citra multisensor. Tujuan penelitian ini

mengidentifikasi fase pertumbuhan tanaman padi, dan aktual petak sawah baku

di pantai utara Jawa. Hasil awal menunjukkan data MODIS deret waktu mampu

menyajikan informasi dasar bagi akuisisi data dan analisis lanjutan pada skala

yang lebih detil dan data SAR polarisasi ganda Envisat ASAR menunjukkan

informasi yang bermanfaat untuk fase pertumbuhan padi dan fase bera berair

yang mengindikasikan dimulainya periode baru penanaman padi.

Kata Kunci : fase pertumbuhan, SAR, MODIS, area frame

1. LATAR BELAKANG

Sistem estimasi produksi padi yang ada sekarang sudah dimulai sejak tahun

1970an, sehingga dirasakan perlu dilakukan upaya penyempurnaan metode

Page 33: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 25

dengan teknologi terbaru. Sesuai dengan kondisi pada saat dikembangkan,

sistem estimasi produksi dilakukan berbasis tabel (list frame). Sistem ini telah

diketahui memiliki banyak kelemahan. Pilihan lain yang diketahui lebih baik dan

dapat ditelusuri (diverifikasi) dengan mudah adalah dengan basis spasial (area

frame). Pendekatan ini menjadi terobosan dalam pengamatan luas areal pada

lahan pertanian termasuk lahan sawah. Upaya penyempurnaan lahan sawah baku

di Pulau Jawa kontinyu dilakukan oleh Kementerian Pertanian.

Pemutakhiran data sawah dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah

satu pendekatan yang umum dilakukan adalah dengan survei lapangan.

Pendekatan ini memiliki keunggulan tingkat kepercayaan tinggi. Namun

demikian, luas lahan yang sangat besar dan tersebar di berbagai lokasi akan

sangat menyulitkan, terutama pada wilayah non sentra produksi. Pendekatan lain

yang dapat mendukung kegiatan pemutakhiran adalah dengan memanfaatkan

data penginderaan jauh.

Dalam lingkup penelitian, berbagai data penginderaan jauh telah banyak dikaji.

Pemetaan lahan sawah merupakan salah satu komponen yang dominan menjadi

pusat perhatian, menggunakan berbagai sensor dan teknologi analisis citra.

Memanfaatkan Landsat TM/ETM data (resolusi spasial 30 meter), Panuju, et al.,

2007a menunjukkan kinerja metode klasifikasi Decision Trees yang cukup

konsisten pada dua lokasi pengamatan yang memiliki struktur kepemilikan lahan

yang relatif berbeda. Dengan data yang sama, pendekatan klasifikasi tak

terbimbing (unsupervised classification) juga telah diujicobakan (Panuju, et al.,

2007b). Pada kajian tersebut, dua metode kontemporer ditelaah, yaitu

Expectation Maximization dan Kohonen Networks, yang dibandingkan dengan

metode yang telah mapan yaitu K-Means.

Untuk berbagai kasus di Indonesia, masalah dinamika atmosfer seperti haze,

awan dan kejadian lain yang dipengaruhi kegiatan manusia merupakan kendala

yang sangat besar bagi aplikasi data penginderaan jauh untuk pertanian.

Kejadian ini mengakibatkan ketidaktersediaan data, sehingga berakibat

lemahnya sistem inventarisasi sumberdaya. Untuk berbagai kasus tersebut,

penggunaan data Synthetic Aperture Radar (SAR) yang mampu meminimalkan

interaksi dengan atmosfer sangat disarankan. Kendala tersebut dapat pula

diminimalkan dengan penggunaan data multi-temporal.

Pemanfaatan data SAR untuk aplikasi pertanian lahan sawah telah dimulai di

Indonesia. Raimadoya, et al.,2007 menggunakan citra Envisat ASAR Wide

Swath Mode (polarisasi tunggal) multi-temporal untuk mengidentifikasi

dinamika penanaman padi. Citra yang memiliki resolusi medium tersebut secara

makro mampu menunjukkan wilayah yang aktif. Wilayah penanaman yang tidak

aktif (memiliki hamburan balik radar yang relatif sama pada waktu yang

berbeda) yang ditunjukkan dengan warna abu-abu (greyscale). Beberapa

penelitian terkait pernah dilakukan oleh Wu, et al., 2011 dimana koefisien

hamburan balik masih menjadi sarana yang baik dalam mempelajari estimasi

biomasa tanaman padi, dan polarisasi HV menjadi penanda yang paling baik

Page 34: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

26 La Ode Syamsul Iman, dkk.

pada korelasi dengan umur tanaman. Penelitian yang sama juga dilakukan Li, et

al., 2010 dimana polarisasi HH memiliki kemampuan lebih baik dalam

memisahkan kelas. Kombinasi polarisasi HH dan HV merupakan kombinasi

dual-pol yang sangat bermanfaat. Zhao, 2011 menekankan pentingnya data deret

waktu dalam pemetaan padi. Pemetaan padi terlalu ambigu untuk dapat

disimpulkan dari data yang terbatas seri waktunya. Dalam penelitian yang

dilakukan Yang, 2012 menunjukkan bahwa C-band dengan polarisasi VV sulit

diimplementasikan dalam pemantauan padi. Sehingga dengan polarisasi HV

merupakan pilihan terbaik untuk keperluan pemantauan tersebut. Penelitian yang

dilakukan Kim, 2012 dengan menggunakan Radar Vegetation Index untuk

kelembaban tanaman pada berbagai frekuensi, menunjukkan bahwa L-band

merupakan estimator terpenting untuk identifikasi kelembaban tanaman

Penelitian-penelitian di atas memusatkan perhatian pada usaha pemetaan lahan

sawah dengan teknologi SAR dan pemanfaatan data deret waktu. Perkembangan

teknologi tersebut telah dirasakan cukup maju dan berhasil, guna untuk

pemetaan pada berbagai tingkat skala informasi yang diinginkan. Namun

demikian, usaha untuk memetakan dengan skala yang lebih detil perlu

diupayakan. Selain hal tersebut, inventarisasi padi juga membutuhkan informasi

temporal perkembangan padi. Upaya tersebut perlu dikaji untuk menyediakan

informasi peluang hasil panen. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi fase

pertumbuhan tanaman padi, dan aktual petak sawah baku di pantai utara Jawa.

2. METODE

2.1 Lokasi

Lokasi kegiatan dipilih untuk memantau wilayah produksi padi baik dengan

status sentra maupun non-sentra. Status wilayah sentra padi akan menjadi lokasi

utama kegiatan (Gambar 1). Wilayah penelitian berlokasi di pantai utara Jawa

yang ditunjukan dengan warna keemasan dan ploting sampling berwarna merah.

Gambar 1. Lokasi kegiatan

Page 35: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 27

2.2 Pembangunan Basis Data Dasar

Petak sawah aktual menjadi wadah informasi spasial utama yang terekam, saat

waktu awal tanam, dan panen. Basis data dasar dibangun dengan skema

feature_id unik dari sumber data resmi pemerintah berbasis wilayah. Informasi

petak sawah aktual berbasis wilayah administrasi desa, menjadi faktor kunci

identifikasi posisi petak sawah yang berbatasan antar wilayah desa dilakukan

melalui survey lapangan.

Secara spasial unit lahan terkecil yang akan digunakan adalah unit peta petak

sawah. Masing-masing unit petak sawah ini akan diberi identitas yang unik

dengan susunan identitas mengikuti format berikut ini:

ID_DESA+F_ID

Dimana

ID_DESA : kode desa berdasarkan tatanama dari BPS

F_ID : feature id yaitu id unik yang secara otomatis dibuat oleh

perangkat lunak SIG ketika proses pemasukan data/dijitasi

2.3 Citra Synthetic Aperture Radar (SAR)

Dengan definisi sasaran yang ingin dicapai di atas, kegiatan ini akan

memanfaatkan dua jenis sensor utama yaitu SAR (aktif) dan MODIS (pasif).

SAR, utamanya pada data non ScanSAR, akan dimanfaatkan untuk melakukan

karakterisasi padi pada beberapa variasi polarisasi. Data ini juga akan

dimanfaatkan untuk memetakan fase pertumbuhan padi, utamanya pada fase

awal tanam dan panen. Pendekatan dari penelitian ini adalah polarisasi ganda

berbasis hamburan balik (sigma-nought) yang diturunkan dari data Single Look

Complex (SLC).

Pemantauan dan ekstraksi informasi status pertumbuhan padi dapat dilakukan

dengan pendekatan tak terbimbing dimana teknik penggerombolan seperti K-

means dan ISODATA. Pendekatan klasifikasi terbimbing dengan Decision Tree

(DT) dari beberapa penelitian menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan

dengan beberapa metode Bayesian. Ujicoba beberapa jenis algoritma DT antara

lain: QUEST (Loh and Shih, 1997; Lim, et al., 2000), CRUISE (Kim and Loh,

2001; Kim and Loh, 2003). Uji kemampuan klasifikasi menggunakan data

training. Kombinasi data training dan testing ditetapkan 1:1 secara presisi yang

diharapkan bias karena data imbalance dapat direduksi seminimal mungkin.

Citra hasil klasifikasi akan diuji menggunakan matrik akurasi dan nilai Kappa.

2.4 Citra MODIS Deret Waktu

Kedua jenis data (polarisasi ganda dan/atau penuh) resolusi tinggi ini akan

ditelaah untuk menghasilkan data liputan sawah pada fase awal tanam dan

menjelang panen. Selanjutnya data yang diekstrak akan diintegrasikan dengan

data petak lahan sawah delineasi citra optik resolusi tinggi.

Page 36: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

28 La Ode Syamsul Iman, dkk.

Mengingat liputan wilayah yang luas dengan keterbatasan citra SAR resolusi

tinggi, maka perlu diupayakan telaah data deret waktu, baik dari citra MODIS

maupun ScanSAR, sebagai bentuk pemantauan rutin serta menunjang estimasi

produktivitas sawah secara makro. Dengan demikian, early warning yang dapat

diinformasikan oleh analisis deret waktu dapat segera ditindaklanjuti dengan

akuisisi citra pada tingkat kedetilan lebih tinggi serta ekstraksi informasi.

Data MODIS diperoleh dari situs US Geological Survey dengan liputan yang

cukup luas (ukuran piksel 250m-1km). Kendala awan menjadi faktor yang

diperhatikan mengingat sifatnya yang pasif dengan panjang gelombang tampak

dan infra merah, walaupun telah diupayakan direduksi melalui berbagai teknik

seperti Maximum Value Composite atau teknik lain (Prachmayandini, 2012).

Beberapa penelitian terkait pemanfaatan data MODIS sesuai untuk masa tanam

musim kemarau (Panuju, et al., 2009; Prachmayandini, 2012). Untuk musim

hujan, analisis data deret waktu sepenuhnya perlu mengandalkan pada data SAR

C-band.

2.5 Survei lapangan

Pengamatan lapangan dilakukan untuk pengumpulan data acuan dasar bagi

analisis data penginderaan jauh. Basis data survei lapangan adalah peta petak

sawah baku aktual, delineasi citra optik resolusi tinggi (IKONOS dan

QuickBird). Unit analisis petak sawah dijadikan landasan pengamatan sewaktu

survei.

3. HASIL DAN DISKUSI

3.1 Fenologi Padi Dari Analisis Deret Waktu

Kurun waktu 2004-2010 data MODIS yang dianalisis menunjukkan kualitas

yang cukup baik di Indramayu dan Subang. Hasil analisis EVI deret waktu

lokasi Indramayu sedikitnya missing data akibat gangguan awan sehingga

persoalan awan dapat dikurangi dengan melakukan time averaging data 16

harian.

Pada Gambar 2 (a), menunjukkan kesamaan pola dari dua lokasi pengamatan di

bagian barat (SW1) dan bagian timur (SW2) Indramayu. Secara umum,

mengindikasikan bahwa wilayah Indramayu dikenal 2 waktu tanam yang

memanfaatkan musim penghujan. Indikasi lain bahwa pemberaan dilakukan

masyarakat pada waktu musim kemarau,dimana petani diketahui mengelola

usaha bata merah di areal sawah selama musim kemarau. Sementara untuk lokasi

Subang (b), menunjukan adanya variasi penanaman di wilayah barat (SW4) dan

timur (SW3), dimana penciri yang menarik adalah masa bera yang lebih singkat

dibandingkan lokasi di Indramayu. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi di

Wilayah Subang, dinamisme penanaman yang lebih tinggi. Kedua lokasi

memiliki pola penanaman 2 kali setahun pada awal seri (sekitar 2004-2008)

seperti halnya Indramayu (IP200). Namun demikian, pada akhir data seri (sekitar

Page 37: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 29

tahun 2010), terdapat usaha untuk melakukan pola tanam yang lebih intensif

(IP250) khususnya lokasi di wilayah Subang.

(a)

(b) Gambar 2. data deret waktu lokasi pengamatan Indramayu : SW1;biru dan SW2; merah

(a) dan lokasi pengamatan Subang : SW3;biru dan SW4; merah (b)

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

2004

001

2004

097

2004

193

2004

289

2005

017

2005

113

2005

209

2005

305

2006

033

2006

129

2006

225

2006

321

2007

049

2007

145

2007

241

2007

337

2008

065

2008

161

2008

257

2008

353

2009

081

2009

177

2009

273

2010

001

2010

097

2010

193

2010

289

SW1

SW2

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

2004

001

2004

097

2004

193

2004

289

2005

017

2005

113

2005

209

2005

305

2006

033

2006

129

2006

225

2006

321

2007

049

2007

145

2007

241

2007

337

2008

065

2008

161

2008

257

2008

353

2009

081

2009

177

2009

273

2010

001

2010

097

2010

193

2010

289

SW3

SW4

Exponential / Simple (SW1)

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000

ID

SW

1

SW1 Exponential(SW1)

Page 38: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

30 La Ode Syamsul Iman, dkk.

Gambar 3. Perbandingan data awal dan hasil penghalusan (kiri) dan sebaran residunya

(kanan)

Kondisi diatas diperkuat dengan kuantifikasi hasil analisis yang menguatkan

dugaan bahwa pada lokasi pengamatan di Indramayu (SW1) dan (SW2),

memiliki pola tanam yang seragam dengan memanfaatkan musim (seasonal).

Sementara, hasil residual memberikan pola yang relatif berbeda antara SW3 dan

SW4 di wilayah Subang. Hal ini memberi petunjuk bahwa kuantifikasi

seasonality perlu dilakukan untuk waktu mendatang sebagai upaya

penyempurnaan model. Karakteristik pola perubahan hasil analisis dari masing-

masing lokasi pengamatan seperti pada Gambar 3.

Exponential / Simple (SW2)

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000

ID

SW

2

SW2 Exponential(SW2)

Exponential / Simple (SW3)

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000

ID

SW

3

SW3 Exponential(SW3)

Exponential / Simple (SW4)

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

2004000 2005000 2006000 2007000 2008000 2009000 2010000 2011000

ID

SW

4

SW4 Exponential(SW4)

Page 39: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 31

3.2 Pemetaan Padi dengan Data SAR Polarisasi Ganda

Hamburan balik sigma nought dari data Envisat ASAR, diproses dari data hasil

rekaman 3 April 2012 dan 15 Maret 2012, sesaat sebelum satelit Envisat tidak

merespon kontrol dari stasiun bumi. Kedua scene tersebut merupakan dua dari

scene-scene terakhir Envisat ASAR sebelum dinyatakan tidak beroperasi. Kedua

data dipesan dalam bentuk Image mode yang telah diproyeksikan ke bumi

(ground range) dimana modus datanya baku, yang hanya memiliki informasi

pantulan balik tanpa informasi beda fase.

Konfigurasi menghasilkan citra dengan geometri yang cukup baik khusus daerah

dataran rendah dengan variasi topografi yang kecil sampai menengah. Pada

lokasi penelitian, koreksi geometri dilakukan dengan 4 titik (di wilayah Pantura)

dengan RMS total 0,49.

Gambar 4. Citra komposit polarisasi ganda

Page 40: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

32 La Ode Syamsul Iman, dkk.

Pencirian obyek pertanian utama dilakukan dengan mengambil contoh. Di

wilayah Subang, beberapa komoditas pertanian dominan adalah sebagai berikut:

padi, tebu, karet, kelapa sawit dan tambak (bercampur mangrove). Hasil

pengambilan contoh (sampling) disajikan pada gambar berikut.

Gambar 5. Diagram backscatter polarisasi HV-HH (testing) dan data sampling lapangan

Pada Gambar 5, terlihat bahwa terdapat dua pola besar yang ditentukan oleh

vegetasi penutup yaitu vegetasi berkayu dan tidak berkayu. Vegetasi berkayu,

dalam hal ini karet, sawit dan mangrove, memiliki ciri hamburan balik yang

mirip dan cenderung tidak dapat dipisahkan dengan mudah pada kombinasi

polarisasi HH dan HV. Hal ini umumnya ditentukan oleh keterbatasan daya

tembus kanopi dari sinyal C-band. Pada polarisasi HV, rentang hamburan balik

vegetasi berkayu berkisar antara -10 sampai sekitar -17dB. Sementara itu, hasil

pengambilan contoh menunjukkan bahwa kisaran vegetasi berkayu pada

polarisasi HH berada antara -5 sampai -12.

Vegetasi semusim, seperti padi, memiliki penciri yang berbeda dengan vegetasi

berkayu. Namun demikian,nampak bahwa vegetasi semusim memiliki tegakan

tinggi seperti tebu, yang masih sulit dibedakan dengan vegetasi berkayu. Tipe

kelas pengamatan akan memiliki pola berbeda pada areal persawahan dengan

fase tanam bera basah atau awal musim tanam baru. Pada kondisi tersebut, C-

band dapat mengidentifikasi kelas dengan sangat baik.

-25

-20

-15

-10

-5

-25 -20 -15 -10 -5

HV

HH

Tebu

Karet

Sawit

Sawah-Veg

Sawah-Air

Tambak-Mgv

Page 41: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 33

Dari matriks Transformed Divergence menunjukan bahwa keterpisahan

(separability) antar kelas yang dihasilkan mampu dibedakan untuk seluruh kanal

yang ditetapkan (dalam hal ini dua kanal yaitu polarisasi HH dan HV). Hasil

analisis Transformed Divergence disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Matriks Transformed Divergence

Tebu Karet Sawit Sawah Sawah-Air Tambak-

Mangrove

Tebu 0.18137282 0.17568103 1.11188270 1.99169169 0.79374790

Karet 0.14704504 1.41279125 1.99586233 1.08640000

Sawit 1.43145963 1.99993053 1.45509887

Sawah 1.93828028 1.12941338

Sawah-Air 1.80573546

Tambak-

Mangrove

Sesuai dengan pemahaman yang dibangun pada analisis kualitatif (diagram

pencar), terlihat bahwa sawah berair merupakan satu-satunya kelas yang dapat

dipisahkan dengan sempurna. Wilayah penanaman padi ditunjukkan oleh warna

jingga muda (fase vegetatif). Warna hitam menunjukkan fase siap tanam.

Gambar 5. Diagram pencar HV-HH pada Citra Envisat ASAR.

Page 42: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

34 La Ode Syamsul Iman, dkk.

4 KESIMPULAN

Petak sawah baku menjadi wadah spasial dalam proses pemantauan produksi

padi secara permanen antar waktu.

Data MODIS deret waktu mampu menyajikan informasi dasar bagi akuisisi data

dan analisis lanjutan pada skala yang lebih detil. Pada kedua lokasi terdapat pola

tanam yang kurang lebih seragam yaitu 2 kali tanam per tahun dengan masa bera

yang cukup panjang yang disebabkan oleh efektifitas dam dan/atau jaringan

irigasi yang menurun. Penelitian lanjutan dengan data MODIS deret waktu dapat

dilakukan dengan menambahkan data sekunder untuk deret waktu pengamatan

curah hujan dan data pengairan di lokasi penelitian.

Pemanfaatan data SAR polarisasi ganda Envisat ASAR menunjukkan informasi

yang bermanfaat untuk fase pertumbuhan padi. Fase bera berair yang

mengindikasikan dimulainya periode baru penanaman padi dapat diidentifikasi

dengan baik mengingat sifat hamburannya yang cenderung spekular.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan

Pertanian, Kementerian Pertanian atas kerjasama dan dukungan data citra satelit

IKONOS serta blok sawah baku (Pusdatin Kementan), Fakultas Pertanian IPB

dan Tim KKP IPB. Tak lupa pula kami sampaikan ucapan terimakasih kepada

Reyna dan Tia pada studio Sistem Informasi Wilayah P4W IPB atas dukungan

analisis.

DAFTAR REFERENSI

Kim Y., Jackson T., Bindlish R., Lee H., Hong S. 2012. Radar Vegetation Index for

stimating the Vegetation Water Content of Rice and Soybean. IEEE Geoscience and

Remote sensing Letters Vol.9 No.4 July 2012. p.564-568. doi :

10.1109/LGRS.2011.2174772

Kim, H., W-Y. Loh. 2001. Classification trees with unbiased multiway splits. Journal of

the American Statistical Association Vol.96: p.589-604

Kim, H., W-Y. Loh. 2003. Classification trees with bivariate linear discriminant node

models. Journal of Computational and Graphical Statistics Vol.12: p.512-530.

Li K., Shao Y., Zhang F. 2010. Paddy Rice Identification using Polarimetric SAR data in

Southern China. International Conference on Multimedia Technology (ICMT),

2010. p.1-4. doi : 10.1109/ICMULT.2010.5631077

Lim, T-S., W-Y. Loh, Y-S. Shih. 2000. A comparison of prediction accuracy, complexity,

and training time of thirty-three old and new classification algorithms. Machine

Learning Vol.40: p.203-228.

Loh, W-Y., Y-S. Shih. 1997. Split selection methods for classification trees. Statistica

Sinica Vol.7: p.815-840.

Page 43: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 35

Panuju, D.R., B.H. Trisasongko, B. Susetyo, M.A. Raimadoya, B.G. Lees. 2010.

Historical fire detection of tropical forest from NDVI time-series data: Case study

on Jambi, Indonesia. ITB Journal of Science 42A(Vol.1): p.47-64.

Panuju, D.R., B.H. Trisasongko. 2012. Seasonal pattern of vegetative cover from NDVI

time-series. In: Tropical Forests (Eds. P Sudharsana, M Nageshwara-Rao, JR

Soneji). p. 255-268. Intech, Rijeka, Croatia. ISBN 979-953-307-651-4.

Panuju, D.R., E. Rustiadi, I. Carolita, B.H. Trisasongko, Susanto. 2007a. On the decision

tree analysis for coastal agriculture monitoring. Proceedings Geomarine Research

Forum, Bogor, 2007.

Panuju, D.R., F. Heidina, B.H. Trisasongko, B. Tjahjono, A. Kasno, A.H.A. Syafril.

2009. Variasi nilai indeks vegetasi MODIS pada siklus pertumbuhan padi. Jurnal

Ilmiah Geomatika 15(2): 9-16.

Panuju, D.R., I. Carolita, B.H. Trisasongko, Susanto, E. Rustiadi. 2007b. Performance of

three clustering algorithms for paddy field mapping. Proceedings Indonesian

Remote Sensing Society Symposium, Banda Aceh, 2007.

Prachmayandini, P. 2012. Potensi citra MODIS sebagai salah satu input perhitungan

evapotranspirasi dengan metode Blaney-Criddle (Studi kasus: DAS Cimadur,

Banten). Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Bogor.

Raimadoya, M.A., B.H. Trisasongko, Nurwadjedi. 2007. Eksplorasi citra radar untuk

intelijen ketahanan pangan. Indonesian Geospatial Technology Exhibition. Jakarta,

Indonesia.

Wu F., Wang C., Zhang H., Zhang B.,Tang Y. 2011. Rice Crop Monitoring in South

China With RADARSAT-2 Quad-Polarization SAR Data. IEEE Geoscience and

Remote sensing Letters Vol.8 No.2 March 2011. p.196-200. doi

10.1109/LGRS.2010.2055830

Yang S., Zhao X., Li B.,Hua G. 2012. Interpreting RADARSAT-2 Quad-Polarization

SAR Signatures From Rice Paddy Based on Experiments. IEEE Geoscience and

Remote sensing Letters Vol.8 No.2 March 2011. p.65-69. doi :

10.1109/LGRS.2011.2160613.

Zhao X., Yang S., Shen S., Li B. 2011. Assessment of ENVISAT ASAR Data for Rice

Monitoring Based on Three Years Experiments. International Conference on

Remote Sensing, Environment and Transportation Engineering (RSETE). p.136-139.

doi : 10.1109/RSETE.2011.5964234.

BIOGRAFI PENULIS UTAMA

La Ode Syamsul Iman

La Ode Syamsul Iman dilahirkan di Buton 3 Januari 1974.

Pendidikan Master Sain, Geografi bidang minat sumberdaya

fisik, dan lingkungan pesisir diperoleh pada tahun 2008 di

Universitas Indonesia. Saat ini aktif sebagai Peneliti di Pusat

Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W),

Divisi Sistem Informasi Wilayah LPPM IPB. Minat

penelitian utama pada aplikasi data penginderaan jauh untuk

geografi fisik terapan.

Page 44: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

36 La Ode Syamsul Iman, dkk.

BIOGRAFI PENULIS PENDAMPING

Diar Shiddiq

Diar Shiddiq dilahirkan di Kuningan, 28 Februari 1970.

Pendidikan Master Sain program studi ilmu parencanaan

pembangunan wilayah dan pedesaan diperoleh pada tahun

2011 di Institut Pertanian Bogor. Saat ini aktif sebagai

Peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan dan

Pengembangan Wilayah (P4W), Divisi Sistem Informasi

Wilayah LPPM IPB. Minat penelitian utama pada aplikasi

sistem infomasi geografi untuk perencanaan wilayah.

Bambang H. Trisasongko

Bambang H. Trisasongko lahir di Malang, 3 September

1970, Pendidikan Master of Science, Geografi, University

of New South Wales, Australia. Dosen Departemen Ilmu

Tanah dan Sumberdaya Lahan, (Penginderaan Jauh dan

Informasi Spasial), Fakultas Pertanian dan peneliti P4W

IPB. Minat penelitian utama pada penginderaan jauh (radar

polarimetri) dan analisis spasial (sumberdaya air).

Mahmud H Raimadoya

Mahmud H Raimadoya, Pendidikan Master of Science,

Soil sciences, Ghent State Univmersity, Belgia. Dosen

Teknik Sipil dan Lingkungan (Teknik Geomatika),

Fakultas Teknologi Pertanian dan peneliti senior P4W IPB.

Minat penelitian utama pada penginderaan jauh (radar

interferometri) dan fotogrametri.

Ernan Rustiadi

Ernan Rustiadi lahir di Bandung, 11 Oktober 1965.

Pendidikan Doktor (Ph.D), Regional planning, Kyoto

University, Japan. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan, (Perencanaan dan Pengembangan

Wilayah). Dekan Fakultas Pertanian dan peneliti P4W IPB.

Minat penelitian utama pada perencanaan wilayah, dan

analisis spasial.

Page 45: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 37

Baba Barus

Baba Barus lahir di Berastagi 01 Januari 1961. Pendidikan

Doktor (Ph.D), Geografi, University of Portsmouth, UK.

Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,

(Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial), Fakultas

Pertanian dan peneliti P4W IPB. Minat penelitian utama

pada sistem informasi geografi, perencanaan lingkungan,

dan studi bencana.

Page 46: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

38 La Ode Syamsul Iman, dkk.

Page 47: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

39

Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi

Terakibat Organisme Pengganggu Tumbuhan

Wereng Batang Coklat (WBC)

Hartanto Sanjaya, Fauziah AlHasanah

Page 48: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

40 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

Perekaman Spektral Daun Tanaman Padi Terakibat Organisme

Pengganggu Tumbuhan Wereng Batang Coklat (WBC)

Hartanto Sanjaya

*), Fauziah AlHasanah

**)

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Kedeputian Teknologi Pengembangan

Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Email: *)

[email protected]; **)

fauziah.alhasanah @bppt.go.id

Abstrak

Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens Stal, merupakan organisme

pengganggu tumbuhan (OPT) utama pada tanaman padi di Indonesia. Serangan

dari WBC terjadi hampir pada setiap musim tanam di lumbung padi nasional.

Gejala serangan yang terjadi pada tanaman padi dapat digolongkan menjadi

beberapa kelas yang menjelaskan kondisi tanaman padi tersebut. Kelas ini antara

lain merepresentasikan kondisi fisik dari daun padi yang terserang oleh WBC

tersebut.

Perekaman spektral terkait dengan kondisi daun padi oleh spektrometer dapat

membedakan stadia dan kelas serangan pada suatu varietas padi. Hal ini dapat

digunakan untuk membangun spectral library (pustaka spektral) untuk

kepentingan lebih lanjut. Penggunaan light source pada konfigurasi peralatan

perekaman dapat meningkatkan efektifitas dan akurasi dari pengukuran spektral

dibandingkan hanya dengan mengandalkan sinar matahari sebagai sumber cahaya.

Sampel yang direkam berjumlah lebih dari 50 buah daun untuk setiap kategori

yang telah ditentukan. Grafik nilai rerata sampel dapat menjadi acuan dalam

membangun pustaka spektral. Referensi yang baik dari perekaman ini dapat

membantu memetakan sebaran serangan WBC pada hamparan tanaman padi

dengan pengolahan citra satelit baik data multispektral maupun hiperspektral.

Kata Kunci: wereng batang coklat, spektral, spektrometer, daun padi, organisme

pengganggu tumbuhan.

Abstract

The Rice Brown Planthopper (WBC), Nilaparvata lugens Stal, is a plant pest in

the main rice crop in Indonesia. The attack of the WBC occurred in almost every

season in the national granary. Symptoms that occur in rice plants can be

classified into several classes that describe the condition of the rice plant. This

class represents, among others, the physical condition of the rice leaf is affected

by the WBC.

Spectral recording conditions associated with rice leaf by the spectrometer can

distinguish stadia and an attack on a class of rice varieties. It can be used to build

Page 49: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 41

a spectral library (spectral library) for further interest. The use of light source on

the configuration of the recording equipment can improve the effectiveness and

accuracy of spectral measurements compared to only relies on sunlight as a light

source.

The recorded sample of more than 50 pieces of leaves for each category that have

been determined. Graph the mean of samples may be a reference in building a

spectral library. A good reference of this recording can help map the distribution

of WBC attack on a stretch of rice plants with both data processing multispectral

and hyperspectral satellite imagery.

Keywords: rice brown planthopper, spectral, spectrometer, paddy leafs, pest.

1. PENDAHULUAN

Wereng merupakan kata yang sangat populer bagi petani maupun nonpetani pada

beberapa tahun lalu. Keberadaan wereng yang telah dianggap sebagai hama

pengganggu tanaman padi terjadi di sentra-sentra produksi padi utama Indonesia,

yaitu di daerah pantai Utara Provinsi Jawa Barat, dan beberapa sentra padi di

Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Serangga penghisap cairan tumbuhan ini adalah anggota dari ordo Hemiptera dan

subordo Fulgoromorpha. Beberapa wereng penting yang dikenal adalah: wereng

hijau (Nephotettix spp.) yang juga dikenal sebagai penyebar virus tungro, wereng

punggung putih (Sogatella furcifera), dan wereng coklat (Nilaparvata lugens).

Genus Nilaparvata diketahui ada 14 spesies, dan yang terdapat di Indonesia yang

diketahui sampai saat ini adalah N. lugens (Stal). Wereng batang coklat (WBC),

Nilaparvata lugens Stal (Delphacidae, Homoptera), sampai saat ini masih

dianggap sebagai hama utama pada tanaman padi, karena kerusakan yang

diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan pada

tanaman padi terjadi dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung adalah saat mana WBC menghisap cairan dari batang tanaman

padi hingga tanaman tersebut mati. Dan secara tidak langsung adalah saat WBC

menjadi vektor penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa yang juga

menyerang tanaman padi (Subroto, 1992).

Populasi WBC dalam tiap rumpun sangat menentukan tingkat serangan pada

tanaman tersebut. Keberadaan populasi yang besar (diatas 20 ekor per rumpun)

sudah dapat dikatakan sebagai hama pada tanaman padi. Serangan WBC dapat

membuat tanaman padi menjadi kekurangan nutrisi karena dihisap oleh WBC

melalui bagian batang. Akibat yang dapat diderita oleh tanaman padi ini adalah

kekeringan dan berakhir pada kematian tanaman tersebut.

Tanaman padi yang terserang oleh WBC dapat diketahui secara langsung dari

kondisi daunnya yang menguning khas. Perubahan warna, dan kemudian bentuk

atau struktur, pada daun tanaman padi menjadi perhatian utama dalam

mengamati sebaran serangan WBC pada hamparan tanaman padi.

Page 50: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

42 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

Untuk pengamatan pada hamparan yang luas maka teknologi remote sensing

(penginderaan jauh) merupakan salah satu teknologi unggulan yang dapat

digunakan dalam mengetahui sebaran serangan WBC ini.

Tanaman padi sebagai salah satu sumberdaya alam hayati dan merupakan salah

satu sumber pangan negeri kita menduduki posisi penting sebagai obyek

pengamatan. Pengamatan tanaman padi dari suatu ketinggian, melalui teknologi

citra (image) berwahana satelit ataupun pesawat terbang, memerlukan suatu

referensi untuk memadukan suatu pemahaman dijital. Referensi dalam

pengolahan citra dijital antara lain berupa nilai pantulan (reflection) dari suatu

obyek pengamatan.

Daun tanaman padi yang terserang oleh WBC adalah obyek pengamatan yang

penting dalam mengetahui kondisi kesehatan tanaman tersebut. Daun adalah

tempat tanaman berfotosintesis, sehingga kesehatannya akan sangat

mempengaruhi hasil fotosintesis terutama untuk mendukung pemasakan dari

bulir padi. Kegagalan pasokan nutrisi dari akar menuju daun akan berpengaruh

pada kemampuan produksi dan juga kehidupan dari tanaman padi tersebut.

Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan faktor pembatas produksi

tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.

Organisme pengganggu tumbuhan secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu

hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik,

dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan

penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh

cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematode dan tumbuhan tingkat

tinggi (Wiyono, 2007).

Perubahan fisiologis pada daun padi, baik dari sisi warna ataupun struktur daun,

dapat dideteksi atau diamati dengan melihat nilai pantulan cahaya pada

permukaan daun tersebut. Nilai pantulan dari daun terdampak oleh serangan

WBC direkam dengan menggunakan spektrometer (atau sering juga dikenal

dengan spectrophotometer). Dalam pengukuran nilai pantulan ini diperlukan

kehati-hatian yang cukup tinggi mengingat kondisi obyek dan lingkungan yang

ada, terkait dengan kebenaran prosedur pengukuran yang akan berakibat pada

konsistensi hasil pengukuran.

Penginderaan jarak jauh bekerja berdasarkan kenyataan bahwa OPT atau gejala

kerusakan tanaman inang sasaran dapat dibedakan dalam kenampakannya dengan

vegetasi di sekitarnya. Gambaran vegetasi ditangkap dengan sensor, seperti

kamera khusus atau radar, dan gambaran tersebut kemudian diproses dengan

program komputer. Program dapat menghasilkan peta tipe vegetasi saat itu dan

melakukan penghitungan seperti presentase area yang terinfeksi oleh suatu

spesies OPT. Penginderaan jarak jauh telah digunakan untuk mendeteksi dan

memantau kerusakan yang disebabkan oleh serangga OPT dan penyakit tanaman,

serta keberadaan dan penyebaran spesies tanaman invasif (Greenfield, 2001).

Page 51: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 43

Untuk kepentingan referensi dalam pengolahan citra remote sensing maka

diperlukan pengukuran obyek di lapangan secara langsung. Hasil dari

pengukuran inilah yang dapat dijadikan spectral library sebagai acuan banyak

proses dalam image processing berikutnya.

Tiap obyek di permukaan bumi masing-masing mempunyai penanda spektral

(spectral signature) dan panjang gelombang di alam mempunyai spektrum yang

lebih lebar dari panjang gelombang sinar tampak yang dapat dilihat oleh mata

manusia. Sehingga obyek tersebut sangat mungkin memiliki informasi yang lebih

dari pada yang dapat dilihat oleh mata manusia.

Gambar 1. Kurva nilai reflektan spektral secara umum untuk berbagai

material yang terdapat di muka bumi.

(Sumber gambar: http://www.rsacl.co.uk/rs.html)

Spektral yang direkam dengan baik oleh spektrometer pencitraan memiliki

manfaat untuk pendekatan kontekstual metode analisis citra. Hal ini

memungkinkan untuk mendeteksi jauh lebih baik perubahan halus antara

permukaan tanah berbagai komponen struktural dan vegetasi campuran kompleks

dari permukaan. Sejauh ini pendekatan kontekstual tidak diberi banyak perhatian

oleh peneliti meskipun hasil mereka menarik terutama dengan ketersediaan

resolusi tinggi spasial dan ketersediaan resolusi tinggi spektral (van Der Meer,

2001).

Penggunaan teknologi penginderaan jauh menjadikan pemantauan menjadi lebih

cepat. Penginderaan jauh adalah alat yang berguna untuk survei penyakit untuk

tanaman pertanian, perkebunan dan hutan karena medan yang sulit. Hal ini

sangat lebih berguna untuk tanaman tumbuh di hamparan yang lebih besar, yaitu

gandum, padi, tanaman perkebunan pisang dan lainnya (Hatfield, 1990 dalam

Chaube, 2005).

Page 52: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

44 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

2. METODE

Perekaman spektral daun padi pada tanaman padi yang terserang oleh WBC

dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Tahap persiapan referensi/pustaka,

b. Tahap persiapan peralatan

c. Penentuan lokasi perekaman

d. Survey perekaman spektral, dan

e. Pemrosesan data rekaman

Tahapan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tahap persiapan referensi/pustaka

Studi pustaka sangat perlu dilakukan untuk memperkuat persiapan materi.

Berbagai landasan pengetahuan perlu diketahui dari beberapa artikel

keilmuan dan juga jurnal. Beberapa pengukuran telah dilakukan oleh

beberapa pihak, sehingga dapat dijadikan masukan yang baik untuk

pelaksanaan di lapangan. Terdapat dua kelompok referensi utama yang

harus disiapkan.

Pertama adalah referensi mengenai obyek yang akan direkam, dalam hal ini

adalah hal yang terkait dengan wereng batang coklat dan akibat yang

ditimbulkan oleh serangan WBC tersebut pada tanaman padi. Kelompok

referensi berikutnya adalah mengenai peralatan yang digunakan, metode

pengukuran, dan pemrosesan data yang didapat untuk menghasilkan pustaka

spektral dari obyek tersebut.

b. Tahap persiapan peralatan

Peralatan yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah sensor cahaya dengan

kemampuan khusus. Pada umumnya alat yang digunakan dikenal dengan

nama spectrophotometer (atau sering disebut sebagai spektrometer).

Spektrometer mempunyai kemampuan perekaman untuk panjang gelombang

tertentu sesuai dengan tipe alat. Secara umum, yang dapat diukur oleh

spektrometer adalah intensity (intensitas), absorbance (serapan),

transmission (transmisi), reflection (pantulan), dan relative irradiance.

Dalam prosesnya, terkait dengan perekaman spektral daun padi ini hanya

digunakan kemampuan proses reflection.

Pada kegiatan ini perekaman nilai spektral dilakukan dengan menggunakan

spektrometer OceanOptics tipe USB4000 FL yang dilengkapi dengan light

source tipe PX-2. Probe digunakan dengan fiber optic sebagai penghubung

antara spektrometer, probe, dan light source.

Sesuai dengan tipe dari spektrometer, yaitu tipe florescence maka sensor

yang dipergunakan ini mempunyai kemampuan rekam panjang gelombang

dalam rentang efektif 200 sampai dengan 1100 nanometer. Sehingga dalam

Page 53: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 45

prosesnya penting diperhatikan mengenai target panjang gelombang terekam

dan hal ini terkait pada obyek terekam yang akan dianalisis selanjutnya.

Perekaman spektral daun tanaman padi memerlukan sumber energi cahaya

sebagai sumber dari gelombang yang akan dipantulkan oleh obyek. Untuk

itu maka light source digunakan sebagai sumber pencahayaannya.

Gambar 2. Perangkat yang digunakan dalam pengukuran: Spectrometer

OceanOptics tipe USB4000 FL dan light source OceanOptics tipe PX-2.

c. Penentuan lokasi perekaman

Lokasi perekaman direncanakan sedemikian rupa untuk memperbesar

tingkat keberhasilan kegiatan.

Hal-hal yang dipertimbangkan antara lain adalah:

- Merupakan daerah serangan WBC dengan tingkat keparahan tinggi. Hal

ini untuk memudahkan pencarian dan pengambilan sampel daun padi

terakibat.

- Lokasi dengan hamparan yang terdiri dari beberapa stadia tanaman padi

yang akan direkam. Keberadaan stadia padi yang sesuai dengan sasaran

akan memudahkan dan mempercepat proses perekaman.

- Lokasi adalah tempat yang memudahkan untuk diakses. Kemudahan

akses perlu dipertimbangkan mengingat keterbatasan peralatan yang

memerlukan catu daya yang diperoleh dari kendaraan atau catu daya

khusus. Lokasi yang relatif berdekatan juga akan memaksimalkan

penggunaan waktu yang efektif.

Page 54: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

46 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

Gambar 3. Hamparan sawah yang terserang oleh wereng batang coklat di

Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Gambar

direkam pada Juli 2012.

d. Survey perekaman spektral

Proses perekaman di lapangan yang telah teridentifikasi dengan baik,

sebagaimana yang telah diterangkan pada (c) diatas, akan sangat menunjang

proses perekaman spektral ini.

Perekaman spektral dengan menggunakan sumber pencahayaan (light

source) sendiri mempunyai konsekuensi tersedianya catu daya mandiri

untuk peralatan tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan

menggunakan/membawa catu daya power bank atau dengan memanfaatkan

sumberdaya dari kendaraan yang dipergunakan survey pada kegiatan.

Obyek perekaman, yang berupa daun tanaman padi terakibat WBC, dipilih

pada serangan berintensitas tertinggi dan pada kondisi khusus pada daun

tersebut. Intensitas serangan pada daun adalah terkait dengan luasan bagian

daun yang telah terserang dan beberapa kondisi lain seperti sebagian besar

permukaan daun telah berwarna kekuningan.

Kelas pada gejala serangan WBC ini dikenal sebagai skor yang terdiri dari:

Skor-1: Sebagian daun pertama menguning, belum terjadi kelayuan

tanaman; telah ditemukan populasi; ada sedikit embun jelaga.

Skor-3: Sebagian daun pertama dan ke-2 menguning; daun agak layu;

banyak ditemukan embun jelaga,

Skor-5: Sebagian besar daun menguning; daun bagian bawah layu;

tanaman agak kerdil; embun jelaga sangat banyak,

Skor-7: Daun mengeriting dan hampir semua layu; tanaman sangat

kerdil, dan

Skor-9: Layu sempurna; tanaman mati

Page 55: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 47

Sedangkan stadia yang diperhatikan adalah:

S1: Stadia-1, tanam sampai dengan anakan maksimum (<40 hari setelah

tanam)

S2: Stadia-2, primordia sampai dengan pengisian malai (40 – 60 hst)

S3: Stadia-3, masak susu sampai dengan pemasakan (60 – 90 hst)

S4: Stadia-4, panen (90 – 110 hst)

Pada perekaman spektral daun tanaman padi terdampak WBC ini dibagi

dalam pengelompokan sebagai berikut:

1. Daun tanaman sehat pada stadia-1, 2 dan 3.

2. Daun tanaman stadia-1 pada skor-5 dan skor-9

3. Daun tanaman stadia-2 pada skor-5 dan skor-9

4. Daun tanaman stadia-3 pada skor-5 dan skor-9

Kondisi daun yang akan dijadikan sampel terakibat serangan WBC dipilih

dengan memerhatikan hal berikut:

a. Lebar daun paling kecil adalah satu cm.

b. Area yang direkam adalah yang terlihat pada sampel sepenuh dari lebar

daun, dan mempunyai radius minimal satu cm.

Dua hal diatas adalah agar area yang terwakili sesuai dengan luasan area

yang direkam oleh sensor spektrometer. Hal ini juga terkait dengan jarak

permukaan daun ke lensa probe.

Jarak dari lensa ke permukaan obyek yang akan direkam disesuaikan dengan

hitungan matematis, yaitu memerhatikan bukaan sudut lensa probe yang

digunakan (window), dan lebar minimal sampel daun yang akan diukur.

Dengan jarak yang tepat maka dapat dimaksimalkan perekaman khusus pada

muka daun yang terserang saja.

Gambar 4. Contoh perhitungan: jika window pada lensa probe mempunyai sudut

30 derajat, dan asumsi lebar daun minimal adalah 1 cm, maka jarak antara

obyek dan probe adalah 1,87 cm.

Page 56: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

48 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat proses perekaman ini adalah

sebagai berikut:

a. Perekaman didahului oleh penentuan referensi putih, yaitu untuk

menentukan pantulan dengan nilai tertinggi yang dapat diterima sensor

pada saat itu, dan referensi gelap atau nilai terendah yang dapat direkam

sensor. Kedua nilai ini akan menjadi acuan nilai tertinggi dan terendah

nilai pantulan oleh perangkat lunak pengendali sensor.

b. Potongan sampel daun diletakkan pada posisi yang telah ditentukan

dengan tepat dan peletakan probe sesuai jarak yang telah dihitung.

Ketepatan ini sangat berpengaruh pada grafik reflektansi yang tergambar

secara langsung di komputer. Luasan permukaan yang terekam sesuai

dengan perhitungan awal terkait sudut bukaan lensa probe dan jarak

lensa probe ke permukaan daun.

c. Hasil rekaman disimpan dengan penamaan file dengan aturan tertentu,

agar memudahkan dalam pemilahan dan pengolahan hasil akhir.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada perekaman spektral daun tanaman padi kali ini dilakukan pada tanaman

padi varietas Sunggal. Lokasi hamparan adalah di Kabupaten Sukoharjo dan

Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Perekaman dilakukan pada

beberapa stadia tanaman padi Sunggal dalam beberapa kondisi.

Gambar 5. Berbagai dampak serangan

WBC pada tanaman padi.

Gambar 6. Populasi WBC pada rumpun

tanaman padi.

Pada masing-masing stadia direkam untuk kondisi daun sehat, daun yang

terakibat khusus (skor-5), dan daun yang telah kering keseluruhan (skor-9).

Page 57: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 49

Gambar 7. Varietas Sunggal pada stadia-2

skor-5.

Gambar 8. Varietas Sunggal pada stadia-2

skor-9

Perekaman spektral dilakukan sesuai dengan prosedur pengoperasian alat dan

prosedur survey lapangan. Keduanya telah mengalami pembaruan dari beberapa

survey yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan konfigurasi

peralatan yang sama.

Gambar 9. Pengukuran di lapangan siap

dilaksanakan.

Gambar 10. Perekaman spektral daun

sehat.

Sampel spektral dari daun padi yang terekam oleh perangkat lunak SpectraSuite

dalam format binary. Untuk itu semua sampel harus dikonversi kedalam format

text (ASCII) agar dapat diolah oleh perangkat lunak lainnya dengan mudah.

Berhubung tipe spektrometer yang digunakan hanya efektif pada rentang nilai

tertentu, yaitu 400 sampai dengan 900 nanometer, maka nilai dibawah 400 dan

diatas 900 nanometer dapat diabaikan.

Jumlah sampel yang didapat untuk masing-masing obyek dikelompokkan sesuai

penggolongannya. Tiap golongan sampel kemudian direrata untuk mendapatkan

gambaran keterwakilan dari sampel yang direkam.

Page 58: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

50 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

Jumlah sampel yang direkam adalah sebagai berikut:

Stadia Sehat Skor-5 Skor-9

1 61 52 60

2 63 60 59

3 60 61 55

Data yang telah dalam format text dapat dibaca dan ditampilkan dalam bentuk

grafik. Hal ini dapat dilakukan dengan perangkat lunak spreadsheet. Grafik

ditampilkan dengan menempatkan data nilai reflektan pada sumbu ordinat dan

nilai panjang gelombang pada sumbu axis. Pemotongan nilai maksimum dan

minimum dilakukan sesuai dengan kemampuan optimal sensor spektrometer

yang digunakan seperti yang telah disebutkan di atas.

Hasil penggabungan nilai reflektan dari stadia-1 varietas Sunggal dan daun dalam

kondisi sehat adalah sebagai berikut:

Gambar 11. Grafik reflektan gabungan dari semua sampel untuk kondisi daun sehat

varietas Sunggal pada stadia-1.

Kurva dari hasil pemilahan pada kelas tertentu kemudian ditampilkan dalam

bentuk grafik untuk mendapat gambaran lebih baik mengenai perbedaan yang

terdapat pada rentang yang sama. Tidak semua proses mendapatkan hasil yang

baik dikarenakan banyak kondisi yang dapat saling mempengaruhi. Tetapi

dengan melakukan pererataan hasil akan mengurangi random noise dari nilai

reflektan terekam.

Page 59: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 51

Gambar 12. Grafik dari nilai rerata sampel untuk kondisi daun sehat pada stadia-1,

stadia-2, dan stadia-3 varietas Sunggal.

Dari Gambar 12 di atas kita dapat lihat bahwa kurva yang mewakili nilai

reflektan stadia-1 (biru), stadia-2 (merah), dan stadia-3 (hijau) mempunyai

perbedaan nilai. Perbedaan terlihat jelas pada panjang gelombang 400 sampai

dengan 500 nm dimana ini masuk dalam daerah serapan Caroten dan Klorofil.

Klorofil pada masing-masing stadia mempunyai kandungan yang berbeda-beda.

Pada daerah 700 – 100 nm adalah daerah infra merah dekat (NIR) yang masuk

pada rentang panjang gelombang yang menandakan atau terkait dengan struktur

daun. Pada rentang ini kita juga melihat ada perbedaan untuk masing-masing

stadia.

Gambar 13. Grafik dari nilai rerata sampel pada stadia-2 untuk kondisi sehat, skor-5

dan skor-9 varietas Sunggal.

Page 60: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

52 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

Pada satu stadia yang sama, yaitu stadia-2, kita dapat melihat kurva dari masing-

masing kondisi sehat, skor-5 dan skor-9. Untuk kondisi sehat maka kurva

memperlihatkan serapan pada rentang panjang gelombang biru dan hijau untuk

kemudian memiliki nilai reflektansi yang tinggi saat memasuki rentang merah ke

infra merah dekat (NIR). Pada kondisi daun padi yang memiliki skor-5 dengan

kondisi daun sebagian besar menguning masih memiliki sedikit kandungan

klorofil dan pada rentang panjang gelombang merah ke infa merah dekat kurva

menunjukan struktur sel yang memiliki pola berbeda dengan daun sehat dimana

di panjang gelombang 800 nm terjadi penyerapan dan di pantulkan kembali di

panjang gelombang 850 nm. Kurva yang ditunjukkan pada kondisi daun padi

yang memiliki skor-9 memiliki pola yang sudah sangat berbeda dengan kurva

sebelumnya, pola kurva linear terlihat pada panjang gelombang biru dan hijau.

Hal ini dapat diartikan bahwa kandungan klorofil dalam daun sudah tidak ada

karena daun padi sudah mengalami layu sempurna.

Gambar 14. Grafik dari nilai rerata sampel pada stadia-1, 2, dan 3 pada kondisi skor-5

untuk varietas Sunggal.

Untuk kondisi skor-5 pada stadia-1 (biru), stadia-2 (merah) dan stadia-3 (hijau)

tampak pada Gambar 14. Dari kurva yang terbentuk terlihat bahwa pada kondisi

skor yang sama maka pada tiap stadia mempunyai kurva yang berbeda. Hal ini

juga terkait dengan kondisi stadia dari tanaman padi tersebut.

Perekaman spektral daun padi terdampak serangan WBC ini dilakukan dengan

mengutamakan pada prosedur perekaman dengan berbagai kondisi khusus dari

obyek seperti yang telah dijelaskan di atas, pada bagian metode. Perbedaan

kondisi ini dikelaskan sesuai dengan gejala yang menyertai daun tanaman padi

tersebut.

Page 61: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 53

4. KESIMPULAN

Perbedaan kurva dari berbagai kondisi sampel yang telah disebutkan di atas

menandakan ada keunikan untuk masing-masing kondisi obyek yang direkam.

Perbedaan stadia dari daun tanaman padi untuk varietas yang sama, walau

tampak sama oleh penglihatan mata, ternyata mempunyai grafik yang berbeda.

Untuk kondisi serangan WBC terlihat adanya perbedaan untuk skor yang berbeda

pada stadia yang sama, dan juga untuk stadia berbeda walaupun pada

penggolongan skor yang sama. Hasil rerata dari sampel yang diproses

membuktikan adanya perbedaan untuk tiap kategori yang telah ditentukan.

Perbedaan stadia pada kondisi tanaman yang sehat tetap dapat terlihat perbedaan

kurva reflektansinya. Demikian juga pada kondisi tanaman yang terdampak

serangan WBC pada skor tertentu.

Perbedaan grafik untuk kondisi unik pada daun terdampak serangan WBC ini

dapat digunakan untuk menjadi bagian dari referensi spektral pada proses

pemrosesan citra dijital. Data ini dapat juga dipergunakan sebagai analisis

subpiksel jika ingin mengetahui lebih tajam mengenai kondisi serangan OPT

WBC pada satu unit luasan terkecil dari citra pada satu hamparan sawah.

Hasil perekaman spektral daun tanaman padi yang terdampak serangan WBC ini

dapat menjadi masukan dalam pembangunan pustaka spektral. Pustaka spektral

yang baik akan dapat digunakan sebagai acuan dalam memroses citra satelit yang

terkait dengan deteksi sebaran serangan WBC pada tanaman padi. Pustaka

spektral sangat menentukan dalam analisis dijital dalam pemrosesan citra satelit.

Prosedur yang handal dan komprehensif dapat menjadi acuan dalam

menghasilkan pustaka spektral yang baik.

Penggunaan peralatan dengan memerhatikan konfigurasi dan penggunaan yang

tepat dapat mempercepat pengambilan sampel yang mana jumlah sampel sangat

penting untuk pengayaan analisis. Penguasaan pengoperasian spektrometer dan

pendukungnya, baik perangkat lunak ataupun keras, sangat penting untuk

mengatasi hambatan yang sangat mungkin terjadi. Kehati-hatian dalam

mengoperasikan peralatan di lapangan sangat diperlukan dilakukan.

DAFTAR REFERENSI

Afifah, Lisa Nisfi dan Hartanto Sanjaya, 2010. Aplikasi Metoda Linear Spectral

Unmixing Citra Hyperspectral untuk Pengamatan Sebaran OPT BLB Tanaman

Padi (Studi Kasus Subang). Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN: Jakarta.

Chaube, H.S., and V. S. Pundhir, 2005, Crop Diseases and Their Management, Prentice-

Hall of India, New Delhi.

Ferwerda, J.G. et al., 2002, Field Spectrometry of Leaves for Nutrient Assessment,

Department of Natural Resources, ITC: Enschede, The Netherland.

Freek D. van der Meer dan Steven M. de Jong, 2001, Imaging Spectrometry, Basic

Principles and Prospective Applications, Kluwer Academic Publisher, New York

USA.

Page 62: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

54 Hartanto Sanjaya dan Fauziah AlHasanah

Greenfield, P.H. 2001. Remote Sensing for invasive species and plant health monitoring.

Detecting and monitoring invasive species. Proceedings of Plant Health Conference

2000, 24 -25 October, Raleight, North Carolina, USA.

Jensen, John R. 1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing

Persective, 2nd Ed. Prentice Hall: New Jersey.

Kusmayadi, Ayi. et. al., 1992, Population Characteristics of The Rice Brown Planthopper,

Nilaparvata Lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) in West Java, Indonesia.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman

Pangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Lusch, David P., 1999, Introduction to Enviromental Remote Sensing, Basic Science and

Remote Sensing Inisiative, Department of Geography, Michigan State University

USA.

OceanOptics. 2007. SpectraSuite Spectrometer Operating Software, Installation

Installation and Operation Manual, OceanOptics Inc.

OceanOptics. 2007. USB4000 Fiber Optic Spectrometer, Installation and Operation

Manual, OceanOptics Inc.

Sims, Daniel A., dan John A. Gamon, 2002, Relationships Between Leaf Pigment

Content and Spectral Reflectance Across A Wide Range of Species, Leaf Structures

and Developmental Stages, Remote Sensing of Environment, Elsevier, USA.

Subroto, SW Gaib. et. al. 1992. Taksonomi dan Bioekologi Wereng Batang Coklat

Nilaparvata lugens Stall. Wereng Batang Coklat. Laporan Akhir Kerjasama Teknis

Indonesia – Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Direktorat

Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan,

Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman,

KEHATI.

BIOGRAFI PENULIS

Hartanto Sanjaya

Hartanto Sanjaya dilahirkan di kota Tanjungkarang,

Lampung, pada tahun 1969. Menyelesaikan strata-1 di

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut

Teknologi Bandung pada tahun 1995. Strata-2 pada

spesialisasi Sustainable Agriculture, program Natural

Resources Management, di ITC (Geo-information

Science and Earth Observation) Belanda pada tahun

2003.

Aktif di kepengurusan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) Pusat

pada beberapa periode. Mengajar di beberapa perguruan tinggi sebagai dosen S1

dan S2 pada matakuliah pilihan dan sebagai dosen pembimbing skripsi dan thesis.

Dari tahun 1996 hingga saat ini sebagai perekayasa di Pusat Teknologi

Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan

Page 63: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 55

Teknologi (BPPT). Bidang pendalaman adalah pengolahan citra dijital

multispektral dan hiperspektral untuk aplikasi manajemen daerah aliran sungai

dan pemetaan sumberdaya alam. Saat ini banyak ditugaskan pada kajian

mengenai sebaran organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada tanaman padi

khususnya dalam pembangunan spectral library daun tanaman padi terakibat

OPT, dan pemodelan dinamik peramalan sebaran OPT tanaman padi dengan

menggunakan Sistem Informasi Geografis.

Fauziah AlHasanah

Fauziah AlHasanah dilahirkan di Jakarta pada tahun 1980.

Menyelesaikan Sarjana Pendidikan di Jurusan Geografi

Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2003. Pendidikan

master diselesaikan di Jurusan Pengelolaan Sumberdaya

Lingkungan pada Institut Pertanian Bogor tahun 2006.

Staf perekayasa di Pusat Teknologi Inventarisasi

Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (BPPT). Bidang pendalaman

adalah pemetaan pertanian terkait dengan prediksi

produksi padi dan banyak mendalami kajian mengenai

perekaman spektral dan pembangunan spectral library daun tanaman padi ber-

OPT. Permodelan dinamis peramalan sebaran OPT juga didalami dengan

menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis.

Page 64: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2
Page 65: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

57

Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah

dari Citra Resolusi Tinggi Menggunakan

Metode Object Based Image Analysis

(Studi Kasus di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, Indonesia)

Achmad Ramadhani Wasil, Soni Darmawan, Ketut Wikantika

Page 66: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

58 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

Estimasi dan Identfikasi Luas Lahan Sawah dari Citra Resolusi

Tinggi Menggunakan Metode Object Based Image Analysis (Studi Kasus di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, Indonesia)

Achmad Ramadhani Wasil

1, Soni Darmawan

2, Ketut Wikantika

3

1,2,3Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Teknologi Bandung 1,2,3

Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi

Bandung

Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.

Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702

E-mail: [email protected],

[email protected], [email protected]

Abstrak

Perhitungan produksi padi di Indonesia telah dilaksanakan oleh tiga instansi;

BULOG, BPS, Kementrian Pertanian, dengan metodenya masing-masing dengan

menggunakan pendekatan luas lahan sawah, jumlah bibit, maupun laporan mantri

tani. Perbedaan metode pada setiap instansi memberikan informasi yang berbeda

pula bagi pengguna informasi. Namun dari berbagai metode tersebut belum ada

metode perhitungan produksi padi berbasiskan teknologi spasial. Penginderaan

jauh dapat dimanfaatkan sebagai alternatif metode yang lebih baik dimana

perhitungan produksi padi dilakukan dengan mengidentifikasi lahan baku sawah

dan mengklasifikasi jenisnya dengan menggunakan citra dan metode OBIA

(Object Based Image Analysis) sebagai metode klasifikasi lahan sawah. Dalam

proses klasifikasi, metode OBIA memandang objek tidak hanya berdasarkan nilai

piksel per piksel citra namun juga berdasarkan bentuk, luasan, tekstur, serta

relasional objek sekitarnya. Berdasarkan penelitian ini didapatkan metode OBIA

terbukti dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi lahan baku sawah menurut

karakteristik fase padi yang dimilikinya secara tepat dan relatif cepat.

Selanjutnya proses perhitungan luas sawah dapat diestimasi dari hasil klasifikasi

citra.

Kata kunci: Identfikasi, OBIA, Lahan Sawan, Fase pertumbugan padi.

Abstract

The calculation of existing land of food is very important to estimate the national

food security. In this case remote sensing can be used as better alternative

method in the paddy field identification. The study focuses on paddy field

identification using very high resolution imagery, Quickbird imagery acquired in

2008, and applying OBIA (Object Based Image Analysis) as a method for

analysis of paddy field in Rancaekek, Bandung, Indonesia. To identify an object,

this method not only analyse the value of a pixel but also to consider the

Page 67: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 59

neighbour pixels. By the application of OBIA method in identifying wetland that

it considers many parameters such as land form (shape), soil characteristics

(spectral), land texture, and the relationship between wetland and other objects

around them. The study found that OBIA method can be used to identify fields of

raw land, generating a clear delineation of fields and also classified wetland

according to the characteristics of paddy growth phase (water phase, vegetative,

generative, and harvest phases) with accurate. Finally, the calculation of paddy

field can be estimated from the results of image classification.

Keywords: Identification, OBIA, Paddy field, Paddy growth phase.

1. PENDAHULUAN

Sejalan dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk, lahan sawah di Jawa yang

merupakan lumbung beras nasional cenderung menyusut dari waktu ke waktu.

Isa (2006) mengemukakan bahwa laju konversi lahan pertanian ke non- pertanian

merupakan masalah utama yang dihadapi sektor pertanian. Fenomena konversi

lahan sawah menjadi daerah non-pertanian ini mendorong Departemen Pertanian

mengambil kebijakan untuk penetapan lahan baku sawah agar kelangsungan

produksi pangan (padi) tidak terganggu.

Tanaman padi (Oryza sativa) sebagai salah satu komoditi sawah, termasuk

kelompok tanaman pangan yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan

masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, lebih dari 50% produksi padi nasional

berasal dari areal sawah di Pulau Jawa. Sehingga apabila terjadi penurunan

tingkat produksi dan produktivitas padi di Jawa secara drastis, maka dapat

mempengaruhi ketersediaan beras nasional dan akan berdampak negatif terhadap

sektor-sektor lainnya.

Dalam era globalisasi informasi untuk mendukung program ketahanan pangan,

dituntut kecepatan dan ketepatan informasi sumberdaya pertanian yang lebih

kuantitatif. Untuk itu diperlukan sarana pengumpul data dan informasi sistem

produksi pertanian yang lebih akurat dalam waktu yang secepat mungkin.

Teknologi penginderaan jauh memberikan informasi mengenai suatu objek di

permukaan bumi menggunakan sensor tanpa mendekati secara langsung objek

tersebut. Penginderaan jauh mengambil peran dalam mengidentifikasi suatu

objek dengan lebih spesifik sehingga objek tersebut dapat dikenali dan dibedakan

dengan objek lainnya. Diidentifikasi semua objek pada permukaan bumi

kemudian disegmentasikan dan diklasifikasikan menjadi objek-objek yang

berbeda. Sawah dideskripsikan sebagai lahan usahatani yang secara fisik

permukaan tanahnya rata, dibatasi pematang, dapat ditanami padi, palawija/

tanaman pangan lainnya (Departemen Pertanian, 2010). Sedangkan luas baku

sawah merupakan suatu lahan yang tersedia untuk ditanami padi atau jenis

tanaman lainnya yaitu luas area pertanian yang hanya digunakan sebagai area

tanam (tidak termasuk di dalamnya lahan-lahan yang berupa kebun, jalan,

permukiman, halaman bukit, dsb). Lahan baku sawah beserta karakteristiknya

Page 68: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

60 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

memiliki paramater yang unik yang dapat membedakannya dengan objek lainnya.

Parameter inilah yang dijadikan acuan pada metode object based image analysis.

Terdapat beberapa metode pengklasifikasian pada teknologi penginderaan jauh

yaitu metode pixel based dan metode object based image analysis. Metode pixel

based merupakan teknik klasifikasi citra dengan parameter pertimbangan nilai

piksel (digital number) suatu citra. Teknik ini membedakan antara satu objek

dengan objek lainnya berdasarkan nilai intensitas kecerahan pada setiap piksel

citra. Sedangkan metode object based image analysis tidak hanya menggunakan

parameter pertimbangan berupa nilai intensitasi kecerahan per piksel citra namun

juga menambahkan parameter-parameter lainnya seperti bentuk (shape), spektral

(tekstur dan piksel), dan juga relasional (relation).

Untuk mengidentifikasi suatu objek, metode object based image analysis tidak

hanya melihat nilai dari satu piksel tetapi melihat secara keseluruhan objek

tersebut dengan memperhatikan kondisi piksel ketetanggaannya. Diharapkan

dengan penerapan metode object based image analysis pada pengidentifikasian

lahan sawah dilakukan klasifikasi berdasarkan parameter bentuk lahan (shape),

karakteristik tanah (spectral), dan hubungan antar sekitar lahan sawah (relation)

sehingga didapatkan luas lahan sawah yang mendekati nilai sebenarnya di

lapangan.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi objek berupa lahan sawah dari citra

beresolusi tinggi (Quickbird) kemudian ditentukan batas lahan sawah (delineasi)

sehingga luas baku sawah dapat ditentukan. Identifikasi dan klasifikasi

menggunakan metode object based image analysis.

2. DATA AND WILAYAH STUDI

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Quickbird wilayah

Desa Sukamanah, Kecamatan Rancaekek, Bandung Selatan tanggal 13 Agustus

2008. Citra tersebut telah mengacu pada datum geodetik WGS 84 dengan sistem

koordinat Universal Transverse Mercator dan sistem proyeksi TM-6 o

. Data citra

yang diperoleh terdiri atas 3 band visible light (merah, hijau, biru).

Gambar 1. Daerah Penelitian, Desa Sukamanah, Rancaekek Bandung Selatan

Page 69: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 61

Daerah Peneletian (Gambar 1) yang dilakukan pada studi kasus ini adalah daerah

Bandung Selatan yang memiliki luas 640, 7239 Ha dengan koordinat geodetik

dari 6o 58’ 57. 02411” LS, 107

o. 42’ 7.1083” BT sampai 6

o 59’ 56.9914” LS, 107

o

44’ 1.8613” BT. Daerah penelitian tidak hanya didominasi oleh lahan

persawahan namun terdapat beberapa pepohonan, permukiman, sungai dan lahan

kosong.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan menggunakan alur metode seperti yang dapat dilihat

dari Gambar 2. Dalam aplikasi metode Object Based Image Analysis untuk

mengidentifikasi lahan sawah terdapat tiga tahapan penting yaitu, pra pengolahan

citra, Object Based Segmentation, Object Based Classification.

Gambar 2. Flowchart Penelitian

3.1 Pra Pengolahan Citra

Data citra yang didapatkan dari satelit tidak dapat langsung digunakan untuk

proses segmentasi dan analisis karena masih mengandung kesalahan geometri

yang bersifat sistematis. Pra pengolahan citra adalah langkah dasar pengolahan

citra agar citra tersebut terbebas dari kesalahan sistematis dan mempunyai bentuk

yang sedekat mungkin dengan bentuk aslinya permukaan bumi. Dalam penelitian

ini pra pengolahan citra meliputi koreksi geometrik, pemotongan citra, dan

peningkatan kualitas citra.

Page 70: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

62 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

3.1.1. Koreksi Geometrik

Data pada penelitian ini merupakan data citra Quickbird wilayah Bandung

Selatan. Data citra yang diperoleh telah dilakukan proses koreksi geometri oleh

penyelenggara citra Quickbird tersebut yakni DigitalGlobe. Citra yang diperoleh

sudah memiliki proyeksi peta dan juga sudah terdifinisi pada koordinat sistem

yang unik. Proyeksi peta yang digunakan adalah TM-6 o dengan sistem koordinat

Universal Transvere Mercator. Karena citra sudah terkoreksi dari kesalahan

geometri citra maka tidak dilakukan kembali proses koreksi geometrik pada

penelitian ini.

3.1.2. Pemotongan Citra Berdasarkan Wilayah Studi

Data citra meliputi wilayah Kota Bandung bagian selatan (Gambar 3) di mana

kawasan tersebut didominasi oleh lahan persawahan. Diperlukan pemotongan

data citra agar mendapatkan batas area penelitian. Pemotongan dilakukan pada

citra yang telah terkoreksi geometrik. Pemotongan citra dilakukan pada batas

wilayah 6o 58’ 57. 02411” LS, 107

o. 42’ 7.1083” BT sampai 6

o 59’ 56.9914” LS,

107o 44’ 1.8613” BT. Gambar 3 menunjukkan daerah penelitian hasil

pemotongan.

Gambar 3. Citra Satelit Quickbird Daerah Bandung Selatan

3.1.3 Peningkatan Kualitas Citra

Peningkatan kualitas citra adalah suatu proses untuk mengubah sebuah citra

menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara

yang biasa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis,

pemfilteran, dan lainnya. Tujuan utama dari peningkatan kualitas citra adalah

memproses citra sehingga citra yang dihasilkan lebih baik daripada citra aslinya

untuk aplikasi tertentu (Sutoyo, et al., 2009).

Page 71: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 63

Peningkatan kualitas citra yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses

peregangan kontras (contrass strecthing) (Lillesand & Kiefer Ralph, 1994).

Penajaman dengan perentangan kontras memperluas daerah tingkat keabuan/

nilai piksel sehingga nilai tersebut dapat digambarkan dalam daerah tingkat

keabuan yang penuh (Purwadhi, 2001). Hal ini dilakukan untuk mengatur kontras

dari keseluruhan citra sehingga didapatkan citra yang lebih baik.

Gambar 4. Data Setelah Dilakukan Penajaman Citra Menggunakan Histogram

Strecthing

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa tingkat kecerahan daerah tidak merata, di

sebelah barat terlihat lebih gelap dan di sebelah timur terlihat lebih cerah. Hal ini

dimungkinkan disebabkan oleh kabut, awan, atau intensitas pencahayaan

matahari yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kualitas

citra dengan peregangan histogram (histogram strech) dengan nilai rentang 3σ

(standar deviasi). Setelah itu dapat dilihat pada citra kajian hasil peregangan

(Gambar 3.3), didapat visualisasi yang lebih baik sehingga jalan setapak pada

perbatasan petak sawah lebih terlihat.

3.2 Object Based Segmentation

Setelah dilakukan pra pengolahan citra untuk mengkoreksi kesalahan geometri

dan radiometri citra kemudian dilakukan segmentasi. Segmentasi merupakan

proses pembuatan poligon (image object) pada citra. Pembuatan poligon

didasarkan pada parameter yang menentukan ukuran dan keragaman poligon

yang terbentuk. Segmentasi terdiri dari 5 paramater, yaitu:

1. Scale Parameter

2. Color

3. Shape

4. Smooth

5. Compact

Page 72: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

64 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

Parameter paling utama adalah scale parameter yang menentukan seberapa

banyak jumlah piksel minimal yang dapat membentuk satu poligon, color

mendefinisikan jumlah poligon berdasarkan heterogenitas warna, shape

mendefinisikan julah poligon berdasarkan heterogenitas bentuk. Parameter color

dan shape bersifat saling berkebalikan, sehingga color ditambah shape harus

sama dengan satu. Semakin besar nilai color semakin peka poligon yang terbuat

berdasarkan perbedaan nilai warna/rona. Sebaliknya, semakin besar nilai shape,

semakin kecil nilai color, maka poligon yang terbuat akan mempertahakan

bentuk dibanding membuat keragaman warna.

Dalam segmentasi ditentukan nilai kelima parameter di atas untuk mendapatkan

segmentasi terbaik sesuai dengan yang diharapkan. Satu set segmentasi disebut

satu level data. Level data yang baik diindikasikan dengan terbentuknya image

object yang sesuai dengan citra sehingga segmentasi yang terbentuk berbasiskan

objek. Pada beberapa kasus segmentasi seringkali tidak hanya dibutuhkan satu

level data untuk mendeskripsikan suatu objek sehingga diperlukan beberapa level

data untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi.

Pada penelitian ini dilakukan eksperimen kombinasi parameter segmentasi yang

meliputi scale parameter 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 dan kombinasi persentase

parameter yang lain. Diambil sebagai sampel percobaan yaitu nilai tengah

(moderate) dari setiap scale parameter. Gambar 5 merupakan skema percobaan

yang dilakukan untuk mendapatkan segmentasi terbaik untuk lahan sawah.

Gambar 5. Skema Percobaan Penentuan Segmentasi Terbaik

Penamaan level data berdasarkan nilai scale parameter yang diikuti abjad

sebagai keterangan persentase parameter segmentasi, yaitu sebagai berikut :

- abjad a, 10% color's percentage , 90% smooth

- abjad b, 50% color's percentage, 50 % smooth

- abjad c, 90% color's percentage, 10% smooth

Page 73: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 65

Dari setiap level data menghasilkan segmentasi yang berbeda-beda. Perbedaan

segmentasi ini memang diperlukan untuk mengidentifikasi objek sesuai

karakteristiknya. Sebagai contoh, untuk segmentasi atap bangunan lebih baik

menggunakan coarse segmentation (> level 50) karena dapat terbentuk dengan

jelas poligon atap rumah sedangkan untuk segmentasi hutan lebih baik

menggunakan fine segmentation (level 5, 10, 20, 30) karena unsur-unsur poligon

kecil sebagai penyusun utama objek hutan.

3.3 Object Based Classification

Klasifikasi dilakukan setelah data citra tersegmentasi. Klasifikasi bertujuan untuk

menidentifikasi suatu objek sehingga menjadi objek unik yang berbeda dengan

objek lainnya. Pengklasifikasian menggunakan metode OBIA berbasis pada

karakteristik objek yang akan diklasifikasikan. Lahan sawah sebagai objek utama

penelitian dideskripsikan berdasarkan karakteristiknya, mulai dari bentuk, ukuran

luasan, nilai digital number lahan sawah, serta relasi lahan sawah dengan objek

sekitarnya, seperti sungai, bangunan, pepohonan, maupun dengan lahan sawah

lainnya.

3.3.1. Nilai Layer (Layer Value)

Yaitu parameter yang mendeskripsikan objek berdasarkan nilai digital number

citra objek tersebut. Nilai piksel dapat dilihar dari tingkat kecerahan, nilai piksel

setiap bandnya, ataupun perbedaan/ selisih nilai piksel pada setiap bandnya.

Layer value tersusun dari beberapa parameter yaitu brightness value, mean red,

mean green, mean blue, dan maxx difference.

3.3.2. Bentuk (Shape)

Parameter ini mendeskripsikan objek berdasarkan bentuknya. Shape terdiri dari

parameter penyusun yang sangat banyak, diantaranya:

- area, yaitu nilai luas area

- width, panjang area

- length, lebar area

- length/ width, rasio antara nilai panjang dan lebar area

- border length, panjang garis batas area

- density, kepadatan area yang tebentuk

- shape index, tingkat kompleksitas bentuk area

- compactness, tingkat kesatuan area

- roundness, tingkat kemulusan batas area

3.3.3. Relasi (Relational)

Parameter ini mendeskripsikan hubungan antara objek yang akan diklasifikasikan

dengan objek sekitarnya. Hubungan ini dapat bermacam- macam, diantaranya:

- existence of , yaitu keharusan mendeteksi kehadiran objek tertentu di sekitar

objek kajian.

- near of, yaitu hubungan keterdekatan antara objek tertentu dengan objek kajian.

Page 74: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

66 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

- distance to, yaitu jarak antara objek tertentu dengan objek kajian.

- number of, yaitu hubungan jumlah objek tertentu yang berdekatan dengan objek

kajian.

Parameter-parameter tersebut didefinisikan dalam satu segmen tertentu, selain itu

hubungan relasional juga dapat mendeskripsikan hubungan antar objek

terklasifikasi pada level data yang berbeda. Gambar 6 menunjukkan hubungan

relasional antara objek kajian pada level 40, dengan objek tertentu pada level 50

(super object) maupun dengan level 10 (sub level).

Gambar 6. Hubungan antara Objek Penelitian dengan Objek Terklasifikasi pada Level

yang Berbeda

Penentuan nilai setiap parameter dilakukan dengan mengambil sampel objek

klasifikasi dan dibandingkan secara statistik setiap parameter yang akan

digunakan. Perbandingan statistik ini digunakan agar didapat nilai batas

(threshold) dari setiap parameter sehingga suatu objek dapat terbedakan dengan

objek lainnya. Parameter klasifikasi di atas dapat digunakan dengan cara

mengkombinasikan semua parameter. Kombinasi paramater-paramater

tersebutlah yang menjadi representasi model dari karakteristik objek di dunia

nyata. Kombinasi parameter tersebut disebut rule set.

Tabel 1. Tahapan Fase Pertumbuhan Padi

No Fase Deskripsi Penampakan pada Citra

1 Fase awal

pertumbuhan

Lahan sawah digenangi

oleh air

Lahan padi tampak berwarna

biru

2 Fase pertumbuhan

vegetatif

Semakin lebatnya daun

tanaman padi

Lahan padi tampak berwarna

hijau

3 Fase pertumbuhan

generatif

Tanaman padi digantikan

butir-butir padi

Lahan padi tampak berwarna

kuning pucat

4 Fase Panen Lahan dibiarkan kososng

(tidak ada tanaman)

Lahan padi tampak berwarna

coklat kemerahan

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000.

Untuk mengklasifikasi lahan sawah dilihat dari karakteristik spektralnya, dimana

lahan sawah yang ditanami padi memiliki penampakan yang berbeda-beda sesuai

Page 75: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 67

dengan fase hidupnya. Tabel 1 menunjukkan tahap fase kehidupan padi.

4. HASIL

Pada penelitian ini, citra kajian dibagi menjadi dua bagian membujur, bagian kiri

(barat) dijadikan wilayah kajian dalam penentuan kombinasi segmentasi terbaik

bagi setiap objek dan juga penentuan paramaeter klasifikasi bagi setiap objek.

Setelah setiap objek dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan dengan baik

kemudian semua parameter yang terbentuk diuji coba ke bagian citra kanan

(timur). Hipotesis hasil yang diharapkan adalah parameter yang telah terbentuk di

citra kiri akan memberikan hasil yang baik pada bagian kanan citra sehingga

teridentifikasi objek sejelas pada citra kiri.

4.1. Segmentasi Terbaik

Setelah dilakukan eksperimen segmentasi didapatkan segmentasi terbaik untuk

setiap objek. Segmentasi level 50b merupakan segmentasi terbaik bagi lahan

sawah dan sungai (Gambar 7a), level 40b digunakan untuk pepohonan dan

klasifikasi fase padi (Gambar 7b), dan level 10b merupakan segmentasi terbaik

untuk identifikasi pematang sawah (Gambar 7c).

Gambar 7. (a) Level data 50b terbaik untuk lahan padi dan sunga, (b) Level data 40b

terbaik untuk pepogonan dan fase padi, (c) Level data 10b terbaik untuk pematang sawah.

( a ) ( b )

( c )

Page 76: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

68 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

4.2. Klasifiksai Terbaik

Penentuan parameter klasifikasi didasari pada sifat fisis objek yang akan

diklasifikasikan. Berdasarkan hal tersebut didapatkan parameter- parameter yang

menjadi representasi terbaik sifat masing-masing objek, yaitu:

a. Parameter Pepohonan

- length/width < 2.5

- mean green < 333

- mean green > 286

- shape index >= 1.6

- distance to pohon <15

b. Parameter Sungai

- area < 1900

- brightness <241

- existance of sungai [1] = 1

- length/width >= 2.8

- main direction >=60

- shape index >1.5

- width > 8.2

- not pohon

c. Parameter Lahan Sawah

- area >=250

- distance to sawah <3

- number of sawah [1] >= 0

- shape index <= 2.1

d. Parameter Pematang Sawah

- area < 60

- border to jalan <=2

- length/width >= 2.6

- number of jalan [1] <=2

- not pohon

- not sungai

e. Parameter Fase Air

- brightness < 232

- brightness > 209

f. Paramater Fase Vegetatif

- area > 700

- brightness <= 250

- brightness > 232

- distance to fase vegetasi

[1] <= 35

- existance of fase vegetasi

[1] = 1

- mean red <= 185

- not fase air

g. Parameter Fase Panen (Bera)

- brightness <= 309

- brightness > 244

- existance of fase bera [1]

=1

- length/ width <= 3

- not area < 300

- not fase air

Page 77: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 69

Gambar 8. (a) Klasifikasi pematang sawah, (b) Klasifikasi lahan sawah, (c) Klasifiksi

sawah fase air, (e) Klasifikasi sawah fase vegetatif, (f) Klasifikasi sawah fase panen

4.3 Hasil Akhir

Sesuai dengan metodologi di awal yaitu penerapan segmentasi dan klasfikasi

yang dibagi menjadi dua bagian sama besar, bagian kiri menjadi bagian uji coba

mencari parameter yang tepat dan bagian kanan menjadi hasil percobaan

parameter yang didapatkan. Berikut hasil identifikasi menggunakan parameter

yang didapatkan pada citra bagian kanan:

( a ) ( b ) ( c )

( d ) ( e ) ( f )

Page 78: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

70 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

Gambar 9. Hasil Klasifikasi Gabungan pada Bagian Kanan Daerah Kajian

4.3.1. Hasil Klasifikasi Seluruhnya

Parameter yand didapatkan kemudian digunakan pada seluruh (bagian kanan dan

kiri) citra kajian. Hasil identifikasi tersebut digambarkan dalam peta berikut:

Gambar 10. Peta Klasifikasi Lahan Sawah Desa Sukamanah

Page 79: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 71

4.3.2. Validasi Data

Validasi data dilakukan dengan membandingkan hasil klasifikasi lahan sawah

menggunakan OBIA dengan hasil pengukuran di lapangan (terestris

measurement). Dari seluruh area penelitian diambil sampel lahan sawah untuk

pengukuran luas area.

Tiga sampel area diambil dimana ketiga area tersebut memiliki bentuk yang

berbeda-beda. Area pertama merupakan lahan gabungan dari beberapa lahan

sawah segi empat. Area kedua merupakan gabungan dari tiga lahan sawah yang

membentuk bangun trapesium. Area ketiga merupakan lahan yang memiliki

bentuk yang tidak beraturan. Ketiga area tersebut dipilih karena keberagaman

bentuk dan juga akses ke daerah tersebut.

Setelah pengukuran terestris dengan menggunakan metode tachimetri, kemudian

hasilnya dibandingkan dengan hasil klasifikasi menggunakan metode OBIA.

Perbandingan luas ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan antara Hasil Klasifikasi OBIA dan Pengukuran Lapangan.

No Bidang Luas Area (m2) Selisih (m

2)

1 Field Area-1 27069.3010 1524.7811

2 OBIA Area-1 25544.5199

3 Field Area-2 4739.9600 509.2400

4 OBIA Area-2 4230.7200

5 Field Area-3 38815.8980 1204.2222

6 OBIA Area-3 40020.1202

Dilakukan juga pengambilan sampel titik di lapangan untuk memvalidasi hasil

klasifikasi menggunakan OBIA. Validasi tersebut dituangkan dalam bentuk

confusion matrix berikut:

Table 3. Validasi Data dalam Confusion Matrix

CLASSIFIED IN

SATELLLITE

IMAGE AS :

GROUND TRUTH No.

classified

pixels

User

Accuracy rice

field trees river buildings road

RICE FIELD 20 5 0 2 0 27 74.10%

TREES 0 17 0 1 0 18 94.40%

RIVER 0 0 4 0 0 4 100%

BUILDINGS 0 0 0 21 0 21 100%

ROAD 0 2 0 0 2 4 50%

Ground truth pixels 20 24 4 24 2 74

Producer Accuracy 100% 70.80% 100% 87.50% 100%

Page 80: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

72 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

Overall accuracy =

5. ANALISIS

Dari penelitian yang dilakukan terdapat beberapa poin analisis terkait hasil yang

didapatkan, diantaranya:

1. Segmentasi harus dilakukan pada kombinasi yang berbeda (beberapa level

data) untuk mendapatkan objek yang diinginkan.

2. Klasifikasi objek meggunakan parameter- parameter sifat bersifat general

dan sangat ditentukan oleh hasil segmentasi sehingga terdapat objek yang

bukan anggota klasifikasi ikut masuk ataupun objek yang sebenarnya

merupakan anggota namun tidak masuk dalam klasifikasi.

3. Pada saat klasifikasi didapatkan masih ada beberapa wilayah sawah yang

tidak terklasifikasikan karena tidak memenuhi dengan semua kriteria yang

ditentukan. Sulit untuk mencari parameter yang dapat melingkupi objek

kajian dan bersifat generalisir.

4. Masih diperlukan manual editing dalam penentuan klasifikasi wilayah

yang tidak dapat digeneralisir. Manual editing juga diperlukan dalam

penentuan patokan klasifikasi awal sebagai anti objek dari objek lainnya.

5. Estimasi luas baku sawah dapat dilakukan dengan menghitung luas baku

sawah yang sudah terklasifikasi. Luas yang didapat merupakan estimasi

kasar dari luas baku sawah yang berfungsi untuk prediksi hitungan cepat.

Agar didapatkan luas lahan sawah yang lebih presisi perlu dilakukan

survey lapangan untuk validasi data.

DAFTAR REFERENSI

D., S., Lopez, A., C., L., Hinton, S., & J., W. , 2009. Object-based classification of

residential land use within Accra, Ghana based on Quickbird satellite data.

International Jurnal Remote Sensing

Desclee, B., Bogaert, P., & Defourny, P., 2004. Object-based method for automatic forest

change detection. UCL, Department of Enviromental Sciences and Land Use

Planning.

Kamagata, N., Hara, K., Mori, M., Akamatsu, Y., Li, Y., & Yoshinobu, H. (2006). A New

Method Of Vegetation Mapping By Object-Based Classification Using High

Resolution Satellite Data. Commision VII, WG VIII/11 .

L, W., Sousa, W., & Gong, P., 2004. Integration of object-based and pixel-based

classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. University California,

Texas State University, University Drive.

Lillesand, M. T., & Kiefer Ralph, W., 1994. Remote Sensing and Image Interpretation

(Third Edition ed.). New York: John Wiley & Son, Inc.

Nasional, Badan Standardisasi., 2010. Klasifikasi Penutup Lahan SNI 7645. Jakarta:

Badan Standardisasi Nasional.

Page 81: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 73

Purwadhi, F. S. , 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Gramedia Widisarana

Indonesia.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat., 2000. Estimasi Produks Padi Sawah Melalui

Analisis Citra Satelit. Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan

dan Agroklimat .

Wahyunto, Hikmatullah., 2006. Menduga Produksi Padi dengan Teknologi Citra Satelit.

Wahyunto, Widagdo, & Heryanto, B., 2006. Pendugaan Produktivitas Tanaman Padi

Sawah Melalui Analisis Citra Satelit. Informatika Pertanian , 15.

BIOGRAFI PENULIS

Achmad Ramadhani Wasil

Achmad Ramadhani Wasil lahir di Bandung pada tanggal 8

April 1990, menyelesaikan sarjana di Institut Teknologi

Bandung di Jurusan Teknik Geodesi Geomatika pada tahun

2012. Penelitian yang dilakukan fokus kepada pengolahan

citra satelit dengan metode object based image analysis.

Bidang pendalaman adalah estimasi dan identifikasi lahan

baku sawah terkait dengan produksi padi dan ketahanan

pangan daerah. Aktif sebagai asisten riset dalam bidang

penginderaan jauh dan di kegiatan mitigasi bencana, baik

penelitian juga kegiatan praktis. Kini melanjutkan studi sebagai master candidate

bidang Geomatika di Institut Teknologi Bandung.

Soni Darmawan

Soni Darmawan lahir di Bandung pada 12 Januari 1976.

Menyelesaikan pendidikan sarjana di Teknik Geodesi dan

Geomatika ITB pada tahun 1999, kemudian melanjutkan

pendidikan master di bidang teknologi informasi spasial dan

doktor di bidang penginderaan jauh pada universitas yang

sama. Program riset juga pernah dilakukan dalam Japan

International Research Center for Agricultural Sciences

(JIRCAS) Program di Tsukuba tahun 2007-2008 dan

Sandwich like Program 2009-2010 di Chiba University,

Jepang. Hingga saat ini aktif melakukan penelitian di bidang penginderaan jauh

di Pusat Penginderaan Jauh dan Kelompok Keahlian Inderaja dan Sains

Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Bandung.

Page 82: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

74 Achmad Ramadhani Wasil, dkk.

Ketut Wikantika

Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember

1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di

kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di

Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar

insinyur diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di

Teknik Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil

meraih gelar Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba

University, Jepang dalam bidang image informatics dan

memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang

penginderaan jauh dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat

ini telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan

Geomatika, ITB, dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat

Penginderaan Jauh ITB. Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah

sebagai guru besar ITB dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan.

Beberapa karya ilmiah di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan

baik secara nasional maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun

telah dilakukan dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut

Wikantika juga aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi

Kartografi Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan

Surveyor Indonesia.

Page 83: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

75

Model Analisis Citra Penginderaan Jauh

untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Industri

Eddi Nugroho

Page 84: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

76 Eddi Nugroho

Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan

Hutan Tanaman Industri

Eddi Nugroho

Sinarmas Forestry,

Plaza BII Menara II Lt. 19, Jl. M.H. Thamrin Kav. 51, Jakarta 10340

Email: [email protected]

Abstrak

Aplikasi Penginderaan Jauh dalam bidang kehutanan telah secara luas

dilaksanakan karena memanfaatkan kemampuannya untuk mendapatkan

informasi pada areal yang tak mudah dijangkau dan untuk memantau perubahan

liputan hutan yang dinamis. Spesies pohon cepat tumbuh yang ditanam untuk

menghara industri bubur kertas misalnya, dapat dimonitor dengan menggunakan

analisis citra multi tingkat guna mendukung pengambilan keputusan dalam tiap

tingkat manajemen. Pengelolaan hutan tanaman industri dengan terus-menerus

melaksanakan rotasi penanaman dan pemanenan dapat menggunakan citra

penginderaan jauh multi resolusi secara serial. Hal ini memerlukan suatu model

analisis untuk mendayagunakan Citra Penginderaan Jauh pada pengelolaan hutan

tanaman dengan sistem silvikultur tertentu. Pada kajian ini digunakan Citra

Penginderaan Jauh dengan resolusi menengah seperti Citra Landsat yang

diperoleh secara serial dengan selang waktu dua tahunan dan citra resolusi tinggi

seperti Airborne RADAR dengan selang waktu lima tahunan. Analisis

multitemporal antara citra resolusi menengah dilakukan dengan menghitung rasio

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), sedangkan pendetilan

informasi dari citra resolusi menengah ke citra resolusi tinggi dilakukan dengan

digitasi manual pada data GIS yang bersifat hirarkikal. Pada data GIS ini pula

ditambahkan informasi lain berupa hasil inventarisasi hutan di lapangan, yang

ketika dikombinasikan dengan data Penginderaan Jauh dapat digunakan untuk

mendukung pengelolaan hutan tanaman yang berkesinambungan.

Kata kunci: model analisis citra, konsep multi citra, NDVI, rotasi hutan tanaman,

basisdata secara hirarki

Abstract

Remote sensing application on forestry is extensively carried out by taking

advantage on its capability to deliver information of remote area and to monitor

forest cover dynamic change. Fast growing species for instance, those are

planted for supplying pulp industry can be monitored timely by using multi image

analysis in order to support decision making in every management level.

Industrial plantation forest management implementing planting and harvesting

alternately should utilize multi resolution remote sensing images in serial time.

Page 85: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 77

This will require analysis model to apply this kind of imageries in this specific

silviculture system. In this study, medium resolution imagery is Landsat image

which is acquired every two year and the higher resolution one is Airborne

RADAR image which is recorded every five year. Multi temporal analysis

between serial medium resolution images is done by determining the difference

between their NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), and this will be

particularized by the higher resolution by manual digitization on hierarchical

database in GIS. In this spatial database, plantation forest data upcoming from

field inventory is appended to be combined with remotely sensed data to support

a sustainable plantation forest management.

Keywords: image analysis model, multi image concept, NDVI, plantation forest

rotation, hierarchical database.

1. PENDAHULUAN

Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan

kawasan hutan yang berpotensi rendah atau bahkan telah rusak dengan cara

melakukan penanaman jenis tumbuhan hutan untuk menghara bahan baku suatu

industri. Kecuali hutan tanaman di Pulau Jawa yang telah dibangun sejak

sebelum kemerdekaan, kebanyakan hutan tanaman industri di luar Pulau Jawa

dibangun setelah tahun 1990-an untuk memasok kayu bulat kecil (chipwood)

sebagai bahan baku industri bubur kertas (pulp). Sampai akhir tahun 2008, Ijin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)

secara definitif telah diterbitkan untuk areal seluas 7.154.832 ha di 18 provinsi

(Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan, 2009) yang

sebagian besar memang terkait dengan industri pulp.

Tabel 1. Perkembangan pembangunan hutan tanaman dan produknya 2004 -2008

Tahun Luas Penanaman Hutan

(ha)

Produksi

Chipwood

(m3)

Produksi Pulp

(ton)

2004 131.914 316.673 2.593.926

2005 153.125 352.078 988.192

2006 231.953 556.967 3.370.600

2007 334.838 1.103.506 4.881.966

2008 291.984 278.320 4.784.733

Sumber: Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan, 2009

Dengan menerapkan teknik silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB),

lahan dibersihkan untuk ditanami dengan tanaman hutan komersial seperti pinus,

Eucalyptus, Acacia, jati, karet dan sebagainya. Tentunya ada perlakuan seperti

pemupukan, pembebasan gulma, pemangkasan dan penjarangan guna

mempercepat tumbuh dan memperbaiki kualitas produk kayunya. Semua

Page 86: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

78 Eddi Nugroho

kegiatan tersebut memberi dampak yang tidak kecil secara ekonomis, sosial serta

lingkungan baik dalam lingkup daerah maupun secara nasional bahkan

internasional.

Salah satu kunci keberhasilan pembangunan hutan tanaman industri dalam

mencapai tingkat produktivitas tinggi yang berkelanjutan adalah efektifnya

perencanaan dan pemantauan setiap kegiatan operasional. Mengingat luasnya

areal hutan yang biasanya tak mudah dijangkau serta perubahan liputan lahan

yang dinamis, maka Penginderaan Jauh menjadi perangkat yang penting karena

kemampuannya memberikan informasi secara serentak dan dapat dilakukan

secara konsisten dari waktu ke waktu. Karena kemampuan tersebut, pemotretan

dari udara maupun pencitraan dari satelit telah lama digunakan dalam bidang

kehutanan. Penginderaan Jauh dapat mendeteksi, identifikasi, klasifikasi,

evaluasi dan pengukuran bermacam tipe liputan hutan dan perubahannya secara

kualitatif dan kuantitatif (Hussin and Bijker, 2000). Rotasi tebang dan tanam

memerlukan pemantauan yang cepat dan akurat, yang hasilnya dapat disajikan

untuk para pengambil keputusan dan para pemangku kepentingan seperti

manajemen perusahaan pemegang ijin, pemerintah, kontraktor, konsumen dan

masyarakat umum termasuk LSM.

Pemanfaatan citra secara multi temporal dengan resolusi citra yang juga berbeda-

beda akan menjadi model aplikasi yang disesuaikan dengan spesifikasi

pengelolaan hutan tanaman. Untuk mendeteksi dinamika hutan berupa kompetisi

tumbuhan, dapat digunakan pencitraan dengan kamera resolusi tinggi dan

menerapkan beberapa metode ekstraksi data seperti klasifikasi spektral, analisis

tekstur and deteksi garis (Pouliot, D.A., D.J. King, and D.G. Pitt., 2006). Adanya

kebutuhan informasi sesuai tingkatan managerial berimplikasi pada kebutuhan

berbagai resolusi citra. Analisis citra multi resolusi ini dikombinasikan dengan

analisis multi temporal guna mendukung kebutuhan untuk monitoring dinamika

kondisi hutan tanaman. Contoh otomatisasi analisis multi temporal tetapi hanya

dengan satu resolusi spasial untuk mendeteksi penebangan dan penanaman hutan

ditunjukkan oleh Nunes, A. dan M. Caetano (2006) yang hasilnya langsung

ditampilkan dengan aplikasi WEB oleh Portuguese Geographic Institute.

Berbagai metode di atas dapat diadaptasi untuk memperoleh informasi geospatial

hutan dan dapat digunakan sebagai masukan pada aplikasi selanjutnya yaitu GIS

(Sistem Informasi Geografis) khususnya dalam hal pengaliran data yang bersifat

sangat dinamis karena rotasi penanaman hutan yang berkesinambungan.

2. ASPEK SPASIAL PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Karena lamanya waktu tunggu hingga masak tebang untuk dipanen kayunya,

areal hutan yang diperlukan untuk memasok suatu industri harus cukup luas

sehingga ada kesempatan untuk melakukan pengaturan hasil. Tanaman Acacia

crassicarpa misalnya, baru akan siap dipanen setelah berumur antara 4 sampai 7

tahun, karena itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku serat kayu pada suatu

pabrik bubur kertas berkapasitas produksi sedang, taruhlah 1 juta ton pulp per

Page 87: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 79

tahun, diperlukan luasan minimum lahan hutan 300.000 ha. Selain besarnya

luasan lahan, juga persebaran atau distribusi tegakan hutan merupakan aspek

spasial yang penting dan menentukan dalam pengelolaan hutan. Beberapa

kegiatan pengelolaan hutan tanaman yang mempunyai kaitan erat dengan aspek

spasial adalah (1) penetapan areal kerja, (2) inventarisasi hutan, (3) klasifikasi

unit lahan, (4) perencanaan dan pemantauan kegiatan silvikultur dan (5)

conservation management plan. Dokumentasi dari kegiatan beraspek spasial ini

sangat penting untuk menperoleh sertifikasi dari berbagai lembaga dan untuk

proses perijinan dari pemerintah.

2.1. Penetapan Areal Kerja

Setelah areal konsesi diperoleh, studi kelayakan dan studi AMDAL dilakukan

untuk mengetahui keberlangsungan dan memperkirakan dampak yang

ditimbulkan dengan dibangunnya hutan tanaman industri. Kedua kegiatan ini pun

sudah beraspek spasial, oleh sebab itu diperlukan adanya Peta Areal Kerja yang

menunjukkan letak dan kondisi umum areal konsesi tersebut. Peta ini bersumber

dari Peta Rupabumi atau Peta Topografi yang tersedia dengan skala 1:50.000,

dan berdasarkan Peta Areal Kerja ini mulai disusun suatu perencanaan

operasional budidaya (silvikultur) hutan tanaman.

Sementara itu di lapangan dilakukan pemancangan batas areal melalui

pengukuran secara manual. Trayek pengukuran direncanakan berdasarkan

kesepakatan dengan pemilik konsesi yang berbatasan atau jika tidak ada konsesi

lain di sebelahnya, maka penataan batas dilakukan sendiri, semuanya di bawah

koordinasi Departemen kehutanan. Dalam prakteknya, penataan batas dilakukan

secara bertahap karena belum adanya akses jalan atau karena lamanya

pencapaian kesepakatan antar berbagai pihak. Citra Penginderaan Jauh berperan

dalam pemetaan areal kerja dan penataan batas adalah dengan:

a. penentuan titik ikat pengukuran batas konsesi dengan mengidentifikasi

obyek alam seperti misalnya percabangan sungai.

b. penggambaran kenampakan alami dan buatan seperti sungai, jalan, kanal

dan adanya desa atau permukiman.

Penetapan dan pengukuhan areal kerja menjadi hal yang penting karena

menjamin kepastian hukum dalam mengelola hutan tanaman industri yang proses

usahanya berjangka panjang. Pemetaan daerah konflik seperti tumpang tindih

kepemilikan, adanya perambahan hutan dan pembalakan liar juga penting pada

fase ini.

2.2. Inventarisasi Hutan

Informasi pokok yang diperlukan bagi pengelolaan hutan tentulah tentang

kondisi hutan itu sendiri. Sisa tegakan hutan alam yang masih ada serta hutan

tanaman yang telah terbangun menjadi obyek utama kegiatan inventarisasi ini.

Informasi ini dapat diperoleh dari data Penginderaan Jauh ataupun dengan

melakukan survei lapangan. Penggunaan Citra Satelit Landsat hasil perekaman

minimal dua tahun sekali sudah menjadi kewajiban pemegang konsesi hutan

Page 88: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

80 Eddi Nugroho

yang dikaitkan dengan berbagai macam perijinan dari Departemen Kehutanan.

Pada tahun 1990-an, selain Citra Landsat, potret udara skala 1:20.000 juga

diwajibkan bagi pemegang konsesi untuk menyusun rencana jangka panjangnya,

namun sekarang penggunaan selain Citra Landsat bukan merupakan kewajiban

lagi. Teknik penggunaan berbagai Citra Penginderaan Jauh akan ditelaah lebih

detil dalam bab-bab selanjutnya pada tulisan ini.

Survei lapangan untuk mengetahui kondisi hutan yang dilaksanakan secara rutin

dan yang diwajibkan oleh pemerintah paling tidak ada tiga jenis survei yaitu

Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB), inventarisasi tegakan sebelum

penebangan (risalah hutan) dan pembuatan petak ukur permanen. Meskipun

demikian, bagi keperluan operasional pengelolaan hutan, ada banyak lagi

kegiatan survei hutan dilakukan. Tabel 2. di bawah ini menampilkan berbagai

kegiatan survei bagi pengelolaan hutan tanaman.

Tabel 2. Survei hutan bagi pengelolaan hutan tanaman industri

No Jenis Survei Tata Waktu dan

Cakupan Areal Tujuan Metode

1 Inventarisasi

Hutan

Menyeluruh

Berkala (IHMB)

Tiap 10 tahun.

Keseluruhan

konsesi.

Mengetahui

keseluruhan kondisi

dan potensi hutan

Systematic

sampling w/

random start

2 Inventarisasi

Tegakan

Sebelum

Penebangan

(Risalah Hutan)

1 tahun sebelum

pemanenan.

Dalam blok kerja

tahunan.

Estimasi produksi

(yield)

Grid sampling

dengan

intensitas 5%

3 Mid Rotation

Inventory

3 @ 4 tahun setelah

penanaman.

Dalam blok

tanaman seumur.

Mengukur

pertumbuhan

(growth) dan

mengetahui kondisi

tanaman

Grid sampling

dengan

intensitas 1%

4 Petak Ukur

Permanen

(Permanent

Sample Plot)

Setiap tahun dalam

satu rotasi tanam.

Satu plot untuk

setiap kelas

kesesuaian.

Mengukur

pertumbuhan

(growth)

Stratified

sampling

5 Pengukuran

Luas

Penanaman

Segera setelah

penanaman

setiap petak tanam

Mengetahui

kemajuan luas

penanaman

Pengukuran

terestris atau

GPS kinematic

6 Plantation

Assessment

3 bulan, 6 bulan

dan 1 tahun setelah

penanaman.

Dalam blok kerja

tahunan.

Mengetahui kualitas

penanaman dan

persentase tanaman

yang hidup

Grid sampling

dengan

intensitas 1%

7 Survei ekologi Sesuai kebutuhan.

Areal konservasi.

Identifikasi dan

pemantauan hutan

bernilai konservasi

Purposive

Sampling

(transek)

Page 89: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 81

2.3. Klasifikasi Unit Lahan

Pada dasarnya setiap jengkal lahan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda

baik dalam fisiografi, morfologi, ekologi maupun kondisi tanahnya. Di

samping itu, terdapat juga kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk

mendukung operasional pengelolaan hutan tanaman, seperti misalnya

pembangunan sistem kanal untuk transportasi produksi di lahan rawa. Semuanya

ini memerlukan pengaturan penggunaan areal secara spasial yang efektif dengan

melakukan klasifikasi unit lahan.

2.3.1. Delineasi Areal Kerja

Klasifikasi unit lahan yang wajib dilakukan oleh pengelola ialah membuat

delineasi areal untuk mengidentifikasi fungsi produksi dengan tetap

memperhatikan fungsi sosial dan keseimbangan lingkungan. Untuk areal yang

teridentifikasi sebagai hutan alam bekas tebangan, maka akan dilanjutkan dengan

delineasi mikro seperti nampak dalam Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 3. Kondisi liputan lahan yang didelineasi secara makro dan mikro

1. Areal hutan alam bekas tebangan

A Areal hutan alam yang harus dipertahankan

B Areal hutan alam yang dipertahankan untuk diusahakan dengan sistem

silvikultur bukan THPB

C Areal hutan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan

tanaman dengan sistem silvikultur THPB

2. Areal yang telah ditanami

3. Areal tanah kosong, alang-alang

4. Sarana dan prasarana

5. Permukiman, ladang, kebun, areal pinjam pakai Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008.

Ada kriteria tertentu dalam mendelineasi hutan alam menjadi tiga bagian yaitu

pada intinya dengan mempertimbangkan kerentanannya jika pada areal berhutan

tersebut dilakukan suatu sistem silvikultur atau budidaya. Berdasarkan delineasi

mikro ini, dapat dilakukan penataan ruang lebih lanjut.

2.3.2. Penataan Ruang Hutan Tanaman Industri

Pola pemanfaatan lahan berupa alokasi peruntukan ruang di dalam suatu konsesi

hutan tanaman industri ditata dengan memperhatikan aspek kepastian lahan,

sumberdaya hutan, kontinuitas produksi hasil hutan, konservasi, sosial ekonomi

dan institusi. Dasar dari penataan ruang adalah hasil delineasi mikro seperti yang

telah diuraikan di atas. Tabel 4. di bawah ini menunjukkan alokasi peruntukan

dan persentase luasnya.

Page 90: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

82 Eddi Nugroho

Tabel 4. Alokasi peruntukan lahan dalam penataan ruang hutan tanaman industri

No Peruntukan Keterangan % luas

1. Areal tanaman

pokok

Tanaman komersial untuk tujuan

produksi 70%

2. Areal tanaman

unggulan

Tanaman jenis asli yang mempunyai

nilai tinggi 10%

3. Areal tanaman

kehidupan

Tanaman yang menghasilkan hasil

hutan bukan kayu untuk dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitar

5%

4. Areal

konservasi

Areal yang dilindungi tetap sebagai

hutan alam 10%

5. Areal sarana

dan prasarana

Infrastruktur pengusahaan HTI: jalan,

kanal, camp 5%

Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95

Peruntukan berupa areal konservasi dalam penataan ruang adalah areal hutan

alam yang harus dipertahankan sesuai hasil delineasi mikro. Ada beberapa

kriteria yang digunakan dalam menentukan areal tersebut di antaranya:

a. Kawasan hutan yang mempunyai kombinasi kelerengan, jenis tanah dan

intensitas curah hujan dengan agregat skoring lebih besar 175.

b. Kawasan hutan dengan kelerengan lebih besar 40% dan atau dengan

kelerengan lebih besar 15% untuk jenis tanah tertentu yang sangat peka

erosi.

c. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih

dari 3 meter.

d. Kawasan hutan dengan radius atau jarak tertentu sampai dengan 500 meter

dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air, 100 meter dari tepi sungai, 50

meter dari tepi anak sungai, 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang dan 130

kali selisih pasang tertinggi dan terendah dari tepi pantai.

e. Kawasan penyangga hutan lindung atau kawasan konservasi.

f. Kawasan pelestarian plasma nutfah.

g. Kawasan perlindungan satwa liar.

h. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan serta

i. Kawasan rawan bencana.

2.3.3. Penataan Areal Kerja

Guna mempermudah pengaturan hasil yang berkesinambungan, maka dilakukan

pembagian blok-blok kerja tahunan, misalnya untuk tanaman hutan dengan daur

produksi enam tahunan, maka luas efektif areal tanaman pokok akan dibagi enam.

Gambar 1.(i) di bawah ini menunjukkan contoh pembagian blok kerja tahunan

menjadi enam blok setelah dikurangi areal yang dialokasikan untuk Areal

Konservasi, Tanaman Unggulan dan Tanaman Kehidupan.

Page 91: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 83

Gambar 1. (i) Contoh pembagian blok kerja tahunan dan (ii) kompartemen atau petak

tanaman

Tiap blok kerja tahunan terdiri dari beberapa kompartemen atau petak tanaman

yang merupakan suatu unit manajemen terkecil yang mempunyai suatu

keseragaman dalam karakteristik lahannya. Petak tanaman ini mempunyai luas

optimum 25 hektare dengan pertimbangan bahwa pengerjaan pemanenan dan

penanaman dapat diselesaikan dalam waktu paling lama dua bulan. Contoh petak

tanaman dapat dilihat pada Gambar 1.(ii) di atas. Dikatakan bahwa petak sebagai

unit manajemen terkecil karena tanaman dalam satu petak akan dikenai perlakuan

yang sama, sehingga dalam satu petak terdapat hanya satu tegakan hutan yang

seumur dan seragam spesiesnya. Idealnya, kompartemenisasi ini bersifat

permanen dan tidak berubah pada rotasi tanam berikutnya, akan tetapi pada

kenyataannya petak-petak ini sering berubah, terutama jika batas petak yang

berupa jalan itu mengalami pergeseran.

2.3.4. Kesesuaian Lahan

Pada dasarnya, ekosistem hutan dapat berkembang secara alami di daerah

beriklim tropika basah seperti di Indonesia, karena itu kesuburan tanah bukan

suatu hal yang menentukan bagi hutan. Akan tetapi, dalam konteks hutan

tanaman, agar memberikan tingkat produktivitas yang tinggi, kesesuaian lahan

akan tanaman komoditi tertentu tetaplah penting. Telah lama dikenal konsep

bonita yang menggambarkan kemampuan produksi suatu tempat tumbuh jenis

pohon tertentu, berdasarkan karakteristik lahan dan pertumbuhan pohon dominan

pada berbagai tingkat umur (Arief, 2001). Karena itulah bagi pembangunan areal

yang relatif baru, jenis dan karakteristik tanah dapat diteliti untuk dapat

menentukan kesesuaian lahan terhadap varietas pohon tertentu.

(ii) (i)

Keterangan

Page 92: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

84 Eddi Nugroho

Karakteristik tanah dan faktor lain seperti iklim dapat dievaluasi untuk

memprediksi produktivitas hutan tanaman. Faktor-faktor seperti ini dapat

direpresentasikan secara spasial dalam bentuk peta, yang nantinya akan

diperkaya dengan data pertumbuhan tanaman itu sendiri untuk memprediksi

tingkat produktivitas tiap unit karakteristik lahan. Peta site matching yang

diperlukan bagi pembangunan hutan tanaman memuat informasi sebagai berikut:

a. jenis tanah

b. spesies pohon yang sesuai

c. rekomendasi pemupukan dan perlakuan khusus lainnya

d. perkiraan produksi kayu

2.4. Transportasi Produk

Aksesibilitas ke seluruh areal tertanam sangat penting untuk dibangun, karena

akan mempermudah terlaksananya semua kegiatan mulai dari penyiapan lahan,

penanaman, pemeliharaan dan perlindungan hutan, serta terutama untuk

mengangkut produk kayu hasil panenan. Jika pada areal lahan kering,

aksesibilitas menggunakan sarana jalan, maka pada areal rawa-rawa, aksesibilitas

menggunakan rel lori atau kanal. Peranan data spasial dan data Penginderaan

Jauh dalam menunjang transportasi adalah:

a. Membuat rencana pembangunan infrastruktur jalan atau kanal atau sering

disebut Pembukaan Wilayah Hutan yaitu dengan menyiapkan trase jalan,

desain jalan dan rencana jembatan.

b. Menentukan lokasi tempat penumpukan kayu, pos faktur dan camp produksi.

c. Pemilihan rute terpendek dengan melakukan analisis jaringan transportasi

dan menghitung panjang jalan untuk penganggaran biaya pengangkutan

maupun biaya perawatan infrastruktur.

2.5. Pengaturan Tata Air

Bagi hutan tanaman yang dibangun di areal rawa atau rawa gambut,

diperlukan pengaturan tata air (water management) dengan membuat sistem parit

drainase dan jaringan kanal. Pada intinya, jaringan drainase dan kanal untuk

mengatur elevasi muka air tanah dengan mengendalikan air di kanal primer

yang dilengkapi dengan pintu air atau dibangun dam overflow. Jika lahan gambut

dikeringkan tanpa diatur, maka lahan akan mengalami pemadatan dan penurunan

(subsidence) bahkan gambut tidak akan dapat terisi oleh air lagi yang akan

menjadi mudah terbakar pada musim kemarau. Konsep pengaturan tata air

tersebut adalah:

a. Elevasi muka air tanah dipertahankan pada kedalaman sekitar 80 cm

sehingga ada tempat bagi pertumbuhan perakaran. Untuk mengendalikan

penurunan tanah dan peroses pematangan gambut, muka air tanah dapat

dinaikkan secara perlahan sampai kedalaman 30 cm pada akhir rotasi

sebelum dipanen.

Page 93: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 85

b. Sebelum musim kemarau setiap tahunnya, muka air tanah dibiarkan setinggi

mungkin yaitu sekitar 10 – 30 cm di bawah permukaan tanah untuk

mencegah kebakaran. Pada akhir musim kemarau diharapkan muka air tanah

akan turun maksimal menajdi 80 cm lagi.

Pada areal yang luas, tentu tidak semua kanal atau parit itu dapat dihubungkan

menjadi satu jaringan terbuka, tetapi harus dibagi dalam zona-zona tertentu

tergantung pada keseragaman tinggi muka airnya. Dengan asumsi bahwa tinggi

muka air tanah mengikuti kontur tanahnya, maka pengukuran topografi dengan

ketelitian tinggi pada areal tersebut harus dilakukan terlebih dahulu agar zonasi

jaringan kanal dapat direncanakan dengan baik.

Transportasi produk kayu di areal rawa memerlukan kanal-kanal dengan

spesifikasi yang lebih lebar daripada jaringan parit yang hanya berfungsi untuk

mengeringkan lahan, spesifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. di bawah ini.

Tabel 5. Spesifikasi infrastruktur kanal transportasi dan parit pengering.

Lebar

permukaan Lebar dasar Kedalaman

Kanal Utama 12 m 9 m 3 m

Kanal Cabang 7 m 4 m 3 m

Parit Kolektor 3 m 2 m 2 m

Parit Pengering 1 m 1 m 1 m

2.6. Rencana Pengelolaan Lingkungan

Untuk mengelola area konservasi, mempertahankan keanekaragaman hayati serta

bentuk komitmen perusahaan dalam melindungi lingkungan, maka dibuatlah

Conservation Management Plan. Sebagai dasar utama penyusunan rencana ini

adalah delineasi unit lahan dan penataan ruang yang telah dilakukan terlebih

dahulu serta rekomendasi AMDAL. Di samping itu dilakukan juga survei ekologi

untuk mengidentifikasi dan memantau hutan bernilai konservasi, yaitu dengan

membuat transek berupa jalur pengamatan dengan meletakkan plot ukur di

sepanjang jalur. Penempatan jalur dilakukan secara purposive yaitu di areal

konservasi dan Tanaman Unggulan. Dimensi plot ukur adalah 10 m x 10 m.

Flora dan fauna yang ada diamati untuk mengetahui kekayaan jenis-jenis

tumbuhan dan hewan yang ada.

Di dalam Conservation Management Plan disusunlah rencana kegiatan yang

akan dilakukan di antaranya: pemancangan tugu batas dan papan nama areal

konservasi, penyuluhan kepada masyarakat dan kontraktor akan pentingnya

perlindungan lingkungan serta melakukan penanaman pengayaan dengan jenis

tumbuhan unggulan setempat. Perlindungan hutan dari kebakaran juga dilakukan

dengan penempatan menara pengawas dan kolam penampungan air, serta

membentuk regu pemadam kebakaran hutan. Sebagai aset perusahaan, semua

kegiatan itu dipetakan dan semua fasilitas diberi nomor identifikasi dalam

basisdata spasial.

Page 94: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

86 Eddi Nugroho

3. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG

PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

BERKELANJUTAN

Pada tahun 1990-an, pengguna Citra Satelit Landsat dari Lembaga Penerbangan

dan Antariksa Nasional (LAPAN) didominasi oleh bidang kehutanan bahkan

pernah mencapai lebih dari 60% dari seluruh pengguna. Hal ini mungkin ada

kaitannya dengan kewajiban para perusahaan kehutanan di Indonesia untuk

menggunakan Citra Landsat. Bahkan proyek pemotretan udara terbesar ada di

bidang kehutanan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan

Indonesia meliputi seluruh kawasan Hutan Produksi seluas 64 juta Ha. Seiring

dengan menurunnya jumlah konsesi hutan alam, menurun pula persentase

pengguna Citra Landsat dari sektor kehutanan. Meskipun demikian, aplikasi

Citra Penginderaan Jauh di bidang kehutanan tetap berkembang, apalagi setelah

pengelolaan hutan alam bergeser menjadi pengelolaan hutan tanaman industri

yang menuntut ketelitian lebih tinggi sehingga membuka peluang digunakannya

Citra Penginderaan Jauh dengan resolusi lebih tinggi dari pada resolusi Citra

Landsat.

Secara umum, pengembangan teknologi Penginderaan Jauh pun masih cukup

pesat dengan diluncurkannya berbagai satelit pencitraan yang lebih tinggi

resolusinya, di lain pihak makin aplikatifnya teknologi RADAR dan LIDAR

memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan teknologi ini. Di

samping itu, pengembangan beberapa sistem kamera dan scanner yang lebih

praktis juga tersedia di pasaran membuka peluang makin bervariasinya teknologi

yang digunakan untuk bidang pengelolaan hutan tanaman ini. Dalam uraian

mengenai aspek spasial dalam pengelolaan hutan tanaman di atas, telah

disampaikan begitu banyak kegiatan yang dapat dilakukan dengan menerapkan

teknologi Penginderaan Jauh. Hussin dan Bijker (2000) membuat matriks tentang

peluang penerapan Penginderaan Jauh untuk pengelolaan hutan secara umum

seperti tertuang dalam Tabel 6. di bawah ini:

Tabel 6. Peluang Penerapan Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan.

No Jenis / Sub Aplikasi Resolusi Frekuensi Biaya Pembatasan

1. Pemotretan Udara - Pankromatik

- Berwarna

- Inframerah Berwarna Semu

- Inframerah Hitam Putih

+++*)

+++

+++

++

++

++

++

++

++

++

++

++

--

---

---

---

--

--

--

--

2. Scanning dari Udara - Multispektral

- Hyperspektral

+++

+++

++

++

++

++

-

--

--

--

3. Citra Satelit ++ + + - -

4. RADAR dari Udara ++ ++ ++ - -

5. RADAR dari Satelit + + + - --**)

6. LIDAR/Laser dari Udara + ++ ++ -- --

7. Videografi + ++ ++ -- --

Page 95: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 87

*) Tanda (+ )dan (–) serta banyaknya tanda tersebut menunjukkan banyaknya peluang

**) Satelit RADAR yang ada saat itu

Sumber: Hussin dan Bijker (2000)

Berdasarkan pengalaman dalam penerapan Penginderaan Jauh untuk pengelolaan

hutan tanaman serta melihat tersedianya teknologi terbaru yang ada di pasaran,

maka ada beberapa catatan setelah mencermati Tabel 6. di atas, yaitu sebagai

berikut:

a. Peluang penggunaan potret udara konvensional seperti pada Tabel 6. nomor

1 akan semakin berkurang. Sebagai pengganti potret udara tersebut, pesaing

yang potensial adalah scanner multispektral seperti pada Tabel 6. nomor 2

yang sekarang tersedia dalam format digital di pasaran yang dapat

langsung diperoses menghasilkan Digital Elevation Model (DEM).

b. Scanner hyperspektral dinyatakan mempunyai peluang yang tinggi

meskipun biaya dan pembatasnya pun juga tinggi, namun dalam prakteknya

peluang penerapannya rendah karena keunggulan digunakannya

hyperspektral seperti untuk mendeteksi penyakit dan sebagainya tidak

terlalu signifikan diterapkan di areal hutan tropis.

c. Dalam Tabel 6. nomor 3 di atas, Citra Satelit dikatakan memiliki peluang

penerapan yang rendah, padahal menurut pengalaman justru Citra Satelit

memiliki peluang penerapan yang paling besar, selain karena biayanya jauh

lebih murah, juga karena tersedia banyak macam dan resolusi di pasaran

dengan kualitas yang konsisten. Untuk daerah tropis seperti di Indonesia ini,

memang ada kendala besar yaitu banyaknya liputan awan, dan pada

kenyataannya dari Citra Satelit masih sulit untuk diperoleh DEM.

d. Perkembangan terakhir adalah meningkatnya peluang RADAR dan LIDAR

dari wahana udara. Resolusi RADAR/LIDAR yang tersedia di pasaran

semakin tinggi, aspek geometrinya juga sudah tidak ada masalah lagi.

Demikian juga produk Digital Surface Model (DSM) dan atau DEM yang

berasal dari pengukuran interferometri RADAR/LIDAR ini mempunyai

akurasi elevasi yang sangat tinggi sudah mencapai ketelitian hingga sub-

meter.

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya peluang penggunaan

Penginderaan Jauh secara umum menurut Hussin dan Bijker (2000) adalah

karena para ahli kehutanan berpikir konservatif dan ada keengganan untuk

meninggalkan metode lama. Alasan lain adalah karena kurangnya

pengetahuan akan penerapan teknologi ini secara khsusus. Dalam konteks

Indonesia, menurut hemat penulis, tenaga surveyor, forest cruiser dan pengawas

lapangan relatif banyak jumlahnya dan dengan biaya survei yang relatif rendah

dibandingkan dengan di negara seperti Canada atau Finlandia sehingga

penerapan Penginderaan Jauh memiliki prioritas rendah.

Page 96: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

88 Eddi Nugroho

3.1. Hirarki Tingkat Kedetilan Informasi Spasial

Berdasarkan jenjang pengambilan keputusan dan jangka waktu pelaksanaannya,

perencanaan pengelolaan hutan tanaman dapat dibagi setidaknya dalam tiga

tingkatan yaitu Rencana Strategis berjangka panjang, Rencana Managerial

berjangka menengah dan Rencana Operasional berjangka pendek. Semakin

pendek termin rencana akan semakin detil kegiatan yang direncanakan karena

merupakan penjabaran dari termin rencana yang lebih panjang tersebut, demikian

pula akan semakin sempit ruang lingkupnya, seperti nampak dalam Tabel 7.a. di

bawah ini:

Tabel 7.a. Tingkat perencanaan dan contoh dokumen formal.

Tabel 7.b. Skala peta dan sumber data Penginderaan Jauh

Data dan informasi spasial dalam wujud peta untuk mendukung tiap tingkatan

perencanaan juga memiliki jenjang tingkat kedetilan informasi yang dinyatakan

dalam skala peta. Tabel 7.b. menunjukkan tingkatan skala peta untuk mendukung

tingkatan kegiatan perencanaan, misalnya peta skala detil 1: 5.000 untuk

mendukung Rencana Operasional berjangka pendek.

Tingkat kedetilan peta ini ada hubungannya dengan data Penginderaan Jauh

sebagai penyedia informasi, sedangkan tingkat kedetilan informasi pada data

Penginderaan Jauh tergantung dari resolusi atau tingkat akurasi dan kelengkapan

informasi yang dapat disadap. Ketinggian wahana pembawa sensor, kepekaan

detektor pada sistem optik atau lebar impulse pada sistem RADAR akan

mempengaruhi resolusi spasial citra yang dihasilkan. Seringkali resolusi spasial

No. Perencanaan (Termin) Contoh Dokumen

1. Rencana Strategis

(Jangka Panjang)

Business Plan, Studi Kelayakan, AMDAL

dan Rencana Karya Usaha (RKU)

2. Rencana Managerial

(Jangka Menengah)

Rencana Karya Sepuluh Tahunan,

Rencana Karya Tahunan dan

Conservation Management Plan

3. Rencana Operasional

(Jangka Pendek)

Surat Perintah Kerja Tanam/Tebang,

Rencana Rasionalisasi/Modifikasi Petak

Tanam.

No. Pemetaan Contoh Citra Penginderaan Jauh

1. Tinjau

< Skala 1:50.000

Resolusi lebih kecil dari 25 m

- Citra Landsat ETM

- Citra Envisat

2. Semi Detil

Skala 1:50.000

Skala 1:20.000

Resolusi antara 10 – 25 m

- Citra SPOT 4, SPOT 5 XS

- Citra Terra ASTER

- Potret Udara Skala 1:20.000

Page 97: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 89

citra diidentikkan dengan ukuran pixel, makin kecil ukuran pixel berarti makin

tinggi resolusinya dan akan menghasilkan gambar yang lebih tajam.

3.2. Pemenuhan Kebutuhan Informasi Melalui Penginderaan Jauh

Energi elektromagnetik sebagai media dalam Sistem Penginderaan Jauh akan

dipantulkan oleh obyek permukaan bumi dan akan direkam oleh sensor sehingga

nantinya akan dapat ditafsirkan menjadi data dan informasi beraspek spasial.

Informasi penutup lahan dan vegetasi adalah informasi yang dapat langsung

diperoleh dari Citra Penginderaan Jauh. Tingkat kedetilan dan kelengkapan

informasi penutup lahan ini jika dikaitkan dengan tingkat skala peta, maka akan

diperlukan tiga tingkat hirarki informasi. Tabel 8. dan Tabel 9. di bawah ini

menunjukkan tiga orde atau tingkat kedetilan informasi yang dapat dipadankan

dengan tiga tingkat skala peta seperti tersebut dalam Tabel 7.b.

Tabel 8. Informasi penutup lahan tingkat tinjau dan tingkat semi detil.

Penutup lahan tingkat tinjau dapat diperoleh dari Citra Landsat atau Citra Envisat,

sedangkan penutup lahan tingkat semi detil dapat diperoleh dari Citra SPOT 5

atau Citra Terra ASTER. Peta untuk studi kelayakan, delineasi makro dan

AMDAL memuat informasi penutupan lahan tingkat tinjau, sedangkan informasi

penutupan tingkat semi detil diperlukan untuk membuat Rencana Karya Usaha

Sepuluh Tahunan dan Conservation Management Plan.

Penutup Lahan

Tingkat Tinjau Tipe Lahan

Penutup Lahan Tingkat Semi

Detil

Bervegetasi

1. Hutan primer

2. Hutan sekunder

3. Hutan tanaman

4. Vegetasi bukan

hutan

1. Lahan basah

2. Lahan basah

(payau)

3. Lahan kering

4. Lahan transisi

(ecotone)

Hutan alam:

- Potensi tinggi

- Potensi rendah

Hutan Tanaman:

- Rincian spesies

Vegetasi Bukan Hutan:

- Semak

- Belukar

- Ladang/Lahan Pertanian

- Perkebunan

Tak Bervegetasi

5. Lahan terbuka

6. Tubuh perairan

7. Lain-lain

Areal Tak Bervegetasi: Lain-

lain

- Permukiman/Kampung

- Infrastruktur

(Jalan/Kanal/Camp)

- Tambang Gambut

Page 98: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

90 Eddi Nugroho

Gambar 2. (i) Citra Landsat resolusi 30 m dan (ii) Citra SPOT 5 resolusi 10 m

Tingkat kedetilan berbeda dapat jelas terlihat pada gambar di atas. Gambar 2.(i)

adalah Citra Landsat 7 ETM+ yang direkam 3 bulan setelah Citra SPOT 5 daerah

yang sama seperti terlihat pada Gambar 2.(ii). Tanda panah huruf (a) pada Citra

SPOT 5 menunjukkan adanya jalan yang tidak terlihat pada Citra Landsat. Areal

pada huruf (b) nampak tanaman baru yang pada Citra Landsat rekaman 3 bulan

sesudahnya terlihat telah lebih berkembang tajuknya. Pada areal huruf (c),

nampak bahwa areal tersebut sedang mengalami pembukaan, sedangkan pada

huruf (d), terlihat areal hutan tanaman.

Tabel 9. Informasi penutup lahan tingkat detil

Penutup Lahan Tingkat Detil

1. Hutan alam - Biomass

- Potensi tegakan

2. Hutan tanaman

- Umur tanaman

- Luas area tertanam netto

- Potensi tegakan

3. Infrastruktur:

- Spesifikasi infrastruktur

- Progress pembangunan:

Panjang jalan/kanal

Informasi penutup lahan tingkat ketiga yang paling detil seperti dalam Tabel 9.

digunakan untuk perencanaan operasional seperti rencana pemanenan atau

penanaman dalam suatu petak, perawatan infrastruktur dan sebagainya. Pada

kenyataannya di lapangan, informasi seperti ini diperoleh dengan cara survei

yang di antaranya memang sudah menjadi kewajiban pemegang konsesi,

sehingga dalam hal ini Penginderaan Jauh lebih berperan untuk membuat

stratifikasi atau sebagai alat konfirmasi saja.

(i)

(ii) (i)

c c

a a

b b

d d

© SPOT Image © LAPAN

Page 99: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 91

Gambar 3. (i) Citra IKONOS resolusi 1 m, (ii) Citra RADAR orthorectified resolusi 1.25

m dan (iii) Potret udara format kecil

Pada contoh Gambar 3. di atas, nampak citra dengan resolusi tinggi yang

memberikan tingkat kedetilan yang tinggi. Citra IKONOS pada Gambar 3.(i)

memberikan gambaran stratifikasi tajuk yang nampak jelas, sedangkan Citra

RADAR pada Gambar 3.(ii) menunjukkan sempadan sungai yang dibiarkan tetap

bervegetasi hutan alam dan sisi kanan maupun kiri sudah dibangun hutan

tanaman. Pada Gambar 3.(iii) nampak jelas perbedaan stratifikasi tanaman

Acacia mangium (a dan b) akibat tingkat umur yang berbeda.

3.3. Penerapan Penginderaan Jauh Konsep Multi

Mengingat pengelolaan hutan tanaman memiliki rotasi panen dan

penanaman yang sangat dinamis dan berjangka waktu yang panjang, maka

pemantauan terhadap kegiatan operasional sangatlah penting dan dalam hal

inilah teknologi Penginderaan Jauh berperanan besar. Berjenjangnya tingkat

kedetilan informasi yang dapat disajikan oleh Citra Penginderaan Jauh,

menyebabkan perlunya mengatur pola urutan waktu pemanfaatan citra multi

resolusi. Memang untuk Citra Landsat sudah ada ketentuan dari pemerintah agar

mengadakannya paling tidak dua tahun sekali. Untuk Citra Penginderaan Jauh

lain yang sifatnya tidak wajib, tentu disesuaikan dengan kegiatan operasional di

lapangan. Diagram di bawah ini menunjukkan pola urutan pemanfaatan Citra

Penginderaan Jauh untuk pengelolaan hutan tanaman industri.

Pada Gambar 4. di bawah, nampak adanya kombinasi citra secara multi temporal

dan multi resolusi. Selain pengadaan Citra Landsat setiap dua tahun sekali yang

memang sudah ada ketentuan dari pemerintah, jadwal pengadaan citra lainnya

tentu tidak harus seketat pola urutan seperti dalam gambar di atas. Jika ada

permasalahan yang membutuhkan penyelesaian segera seperti misalnya terjadi

water logging atau ada klaim areal oleh masyarakat dan sebagainya tentu

pengadaan citra resolusi tinggi dapat disesuaikan waktunya. Airborne imaging

yang digunakan dapat berupa potret udara, potret udara format kecil, atau Citra

RADAR atau bahkan kombinasi tergantung kebutuhan serta dana yang disiapkan.

(i)

© GeoEye

a

b

© Intermap Inc.

(ii) (iii)

Page 100: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

92 Eddi Nugroho

Demikian pula, airborne imaging atau citra resolusi tinggi tidak harus mencakup

seluruh areal, tetapi dapat saja areal-areal yang karena alasan tertentu mempunyai

prioritas tinggi.

Gambar 4. Pola urutan waktu pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh multi resolusi.

Hasil penafsiran citra resolusi lebih tinggi yang menghasilkan informasi lebih

detil pada tahap berikutnya akan digeneralisasi untuk diperbaharui dengan citra

dengan resolusi lebih rendah, kemudian citra dengan resolusi rendah tersebut

akan dimutakhirkan lagi menggunakan citra yang lebih tinggi resolusinya dengan

cara mendetilkan informasi. Demikian siklus ini berlangsung terus dan tentunya

sangat didukung oleh adanya basisdata relasional yang dapat menjaga konsistensi

isi informasi.

4. ANALISIS CITRA UNTUK MENGEKSTRAKSI INFORMASI

VEGETASI

Informasi dari Citra Penginderaan Jauh dapat diperoleh dengan cara

menginterpretasinya yaitu dengan mengidentifikasi obyek dan menganalisis

keberadaan obyek tersebut baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Teknik

interpretasi yang sudah umum dilakukan adalah dengan mengidentifikasi obyek

berdasarkan pada unsur kunci interpretasi yaitu: rona/warna, tekstur, bayangan,

bentuk, pola, ukuran, tinggi obyek, situs dan asosiasi obyek terhadap obyek lain

(Lillesand dan Kiefer, 2000). Ketentuan pemanfaatan Citra Landsat yang ada

pada beberapa peraturan yang diwajibkan oleh Kementerian Kehutanan adalah

dengan melakukan interpretasi secara visual. Akan tetapi jika ada alternatif

metode lain tentu tidak ada salahnya kalau diterapkan dalam mengekstraksi

informasi yang diperlukan bagi pengelolaan hutan tanaman.

4.1. Kajian Spektral untuk Mengungkap Kondisi Vegetasi

Dengan makin berkembangnya perekaman Citra Penginderaan Jauh secara digital,

makin berkembang pula teknik pengolahan citra secara digital. Respon spektral

atau pantulan balik media energi setelah berinteraksi dengan obyek di permukaan

bumi diterima oleh sensor, dikodifikasi dan disimpan secara digital sehingga

Page 101: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 93

membuka peluang penggunaan teknologi komputer untuk membantu

pengolahannya. Pendekatan statistik dan operasi matematika dapat

diimplementasikan terhadap data digital untuk mendukung penyadapan informasi.

Berikut ini beberapa kajian terhadap nilai spektral yang berkaitan dengan

penyadapan informasi vegetasi dari Citra Penginderaan Jauh.

a. Penampilan citra sangat mendukung interpretasi baik secara visual maupun

secara digital. Citra multispektral terdiri dari beberapa band yang masing-

masing menggunakan spektrum tertentu, padahal untuk menampilkan citra

di layar komputer hanya dibutuhkan tiga band spektral saja untuk

membangun komposisi Red-Green-Blue (RGB). Kementerian Kehutanan

membakukan tampilan Citra Landsat menggunakan band 5 pada layer Red,

band 4 pada layer Green dan band 2 pada layer Blue atau dikenal dengan

istilah komposit RGB band 542, sehingga menunjukkan warna natural.

Namun sebetulnya, ada cara tersendiri untuk menilai kombinasi tiga band

yang paling optimum memberikan informasi ketika ditampilkan yaitu

dengan rumus yang dikembangkan oleh Chavez et al. (dalam Qaid dan

Basavarajappa, 2008):

(1)

Keterangan:

OIF : Optimum Index Factor

StDi : Simpangan baku pada band spektral i

Abs : Nilai Absolut

rij : Koefisien korelasi band spektral i dan band spektral j

Nilai tertinggi OIF menunjukkan kombinasi band dengan variasi warna yang

paling banyak sehingga memberikan informasi yang beragam. Jika

kombinasi band tersebut dipasang dengan urutan berbeda-beda pada layer

RGB, maka jumlah variasi warna tidak akan berbeda meskipun tampilan

warnanya berbeda. Perhitungan OIF Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra

SPOT 5 yang mencakup areal bervegetasi khususnya hutan tanaman

ditunjukkan pada Tabel 10. di bawah ini:

Tabel 10. Hasil perhitungan OIF Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra SPOT 5 di

areal berhutan.

Citra Landsat 7 ETM+ Citra SPOT 5

Kombinasi

Band

OIF Ranking Kombinasi

Band

OIF Ranking

1 4 5 51,045 1 1 2 4 65,354 1

3 4 5 44,392 2 1 3 4 58,592 2

4 5 7 42,356 3 1 2 3 41,278 3

1 4 7 41,594 4 2 3 4 24,059 4

2 4 5 40,463 5 Keterangan: Citra SPOT 5 format DIMAP: band1=HI3, band2=HI2, band3=HI1,

band4=HI4

Page 102: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

94 Eddi Nugroho

Pada Tabel 10. di atas, nampak bahwa kombinasi band 145 pada Citra

Landsat memiliki nilai OIF yang paling tinggi, disusul dengan kombinasi

band 345, sedangkan pada Citra SPOT 5, kombinasi 124 memiliki nilai OIF

paling tinggi.

Gambar 5. (i) Citra Landsat RGB 541, (ii) RGB 543 dan (iii) Citra SPOT 5 RGB

412

b. Interpretasi secara digital melibatkan pengkategorian nilai-nilai pixel untuk

dipadankan dengan satu bentuk penutup lahan. Jika menggunakan citra

multispektral, maka analisis statistik secara multivariat dapat dilakukan

yaitu dengan memandang setiap band spektral sebagai suatu variabel. Untuk

mengelola hutan tanaman industri, kebutuhan informasi yang utama ialah

mengetahui umur tanaman dan spesies tanaman. Salah satu cara untuk

mengetahui kemampuan Citra Penginderaan Jauh dalam membedakan

kategori penutup lahan adalah dengan uji separabilitas menggunakan

formula indeks divergence D dan Transformed Divergence TD (Swain and

Davis, 1978) :

Dij = ½ tr (( Ci – Cj )( Ci-1

– Cj-1

)) + ½ tr (( Ci-1

– Cj-1

)( μi – μj )( μi – μj)T) (2)

TDij = 2 x (1 – exp( -Dij / 8)) (3)

Keterangan:

i dan j = dua kelas penutup lahan yang dibandingkan

Ci = matriks kovarians kelas i

μi = vektor rerata kelas i

tr = trace matriks yaitu penjumlahan diagonal utama

T = tranposisi matriks

exp = exponen bilangan natural

Nilai Transformed Divergence TDij berkisar antara 0 sampai 2, dengan

nilai 0 berarti kedua kelas penutup lahan tidak terpisah sama sekali dan nilai

2 berarti kedua kelas penutup lahan dapat dibedakan secara sempurna

berdasarkan warnanya. Nilai TDij untuk tanaman Acacia crassicarpa yang

berumur satu tahun hingga enam tahun pada empat band Citra SPOT 5

adalah sebagai berikut:

(i) (ii) (iii)

Page 103: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 95

Tabel 11. Hasil perhitungan TDij umur tanaman Acacia crassicarpa pada Citra

SPOT 5

1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun

2 tahun 1,048372

3 tahun 1,234581 1,606488

4 tahun 1,262882 1,892219 0,520285

5 tahun 1,271929 1,611638 0,711986 1,893177

6 tahun 1,270920 1,885007 1,581844 0,965311 0,823878

Menurut Tabel 11. di atas, hampir semua kelas umur tanaman tidak terpisah

sempurna jika dideteksi menggunakan Citra SPOT 5, artinya masih ada

percampuran nilai spektral. Hanya tanaman umur 2 tahun dan umur 6

tahun serta umur 4 tahun dan 5 tahun yang dapat dibedakan cukup baik.

Kesimpulannya, umur tanaman tidak dapat dideteksi secara memuaskan

hanya dari warnanya saja, tapi juga harus dari unsur kunci interpretasi lain

terutama tekstur dan bentuknya.

Uji separabilitas terhadap nilai spektral Citra SPOT 5 untuk mendeteksi

spesies tanaman yaitu Eucalytus spp., Acacia mangium dan Acacia

crassicarpa menghasilkan nilai TDij yang lebih rendah lagi. Akan tetapi jika

menggunakan Citra Satelit IKONOS yang mempunyai resolusi spasial lebih

baik yaitu 4 meter serta resolusi radiometrik 11 bit, tanaman Eucalyptus spp.

dapat dideteksi dengan baik, terpisah dari tanaman A. mangium dan A.

crassicarpa. Akan tetapi jenis tanaman A. mangium dan A. crassicarpa

ternyata masih belum juga dapat dibedakan. Masih harus dikaji lebih jauh

bagaimana kumpulan tajuk tanaman Eucalyptus spp. memberikan nilai

spektral yang berbeda dengan tanaman Acacia. Hasil perhitungan TDij

selengkapnya tercantum dalam Tabel 12. dan Tabel 13. di bawah ini.

Tabel 12. Hasil perhitungan TDij spesies tanaman pada Citra SPOT 5

Eucalyptus A. mangium A. crassicarpa Hutan Alam

A. mangium 0,310830

A. crassicarpa 0,528890 0,657693

Hutan Alam 0,9693781 0,609888 1,044744

Semak Belukar 1,576735 1,926445 1,877221 1,986601

Tabel 13. Hasil perhitungan TDij spesies tanaman pada Citra IKONOS

Eucalyptus A. mangium A. crassicarpa Hutan Alam

A. mangium 1,999999

A. crassicarpa 1,999999 0,8190602

Hutan Alam 1,999999 1,408939 1,718923

Semak Belukar 2,000000 1,866752 1,817654 1,967929

Page 104: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

96 Eddi Nugroho

Gambar 6. (i) Citra IKONOS dan (ii) Hasil klasifikasinya pada areal hutan

tanaman

c. Salah satu pendekatan kuantitatif untuk memperoleh informasi keberadaan,

kuantitas dan fenomena vegetasi adalah dengan menggunakan Indeks

Vegetasi. Formula Indeks Vegetasi melibatkan band yang menggunakan

spektrum infra merah dekat (NIR dengan panjang gelombang/λ = 0,7 – 1,2

μm ) dan spektrum merah (R dengan λ = 0,6 – 0,7 μm). Formula ini pertama

kali dikembangkan oleh Rouse, Haas, Schell dan Deering pada tahun 1970-

an karena adanya kenyataan bahwa spektrum merah diserap dengan kuat

oleh klorofil a dan b pada dedaunan hijau, dengan maksimum penyerapan

pada panjang gelombang 0,69 μm, sedangkan dinding sel daun

memantulkan spektrum infra merah dekat secara kuat pada panjang

gelombang 0,85 μm (Glenn, E.P., et al. 2008). Rumusan yang paling umum

dari Indeks Vegetasi ialah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index):

NDVI = (ρNIR – ρR) / (ρNIR + ρR) (4)

ρNIR : nilai pantulan pada spektrum infra merah dekat

ρR : nilai pantulan pada spektrum merah

Formula turunan Indeks Vegetasi sudah cukup banyak dikembangkan, tetapi

intinya ialah berkaitan dengan kegiatan fotosintesis pada skala kanopi atau

ekosistem yaitu fenologi, produktivitas primer dan net carbon fixation, dan

Indeks Vegetasi ini merepresentasikan sifat gabungan dari fraksi penutup

vegetasi dan LAI (leaf area index/indeks penutupan tajuk) (Glenn, E.P., et al.

2008) serta digunakan untuk pemetaan kandungan biomass atas permukaan

(AGB: Above Ground Biomass) (Murdiyarso, D., et al. 2004). Dalam tataran

praktis pada pengelolaan hutan tanaman industri, misalnya untuk menduga

produktivitas kayu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari

(i) (ii)

Page 105: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 97

korelasi antara NDVI dengan atribut tajuk vegetasi yang dideteksi,

kemudian mencari konversi antara atribut tersebut dengan volume atau

tonase kayu. Untuk masing-masing jenis tanaman komersial pun akan

mempunyai nilai korelasi yang berbeda-beda sebagai contoh struktur tajuk

pohon Eucalyptus sangat berbeda dengan pohon Acacia. Akan tetapi jika

hanya menggunakan Citra Landsat ETM+, obyek hutan dan tanaman

industri seperti karet, Acacia dan kelapa sawit mempunyai rentang nilai

yang tumpang tindih sehingga keempat liputan vegetasi tersebut sulit

dibedakan secara langsung (Molidena, E. dan A.R. Asy-syakur, 2012).

d. Jika untuk menduga produktivitas hutan tanaman masih memerlukan

penelitian lebih lanjut, maka Indeks Vegetasi sudah banyak digunakan untuk

menaikkan nilai separabilitas pada klasifikasi digital, yaitu dengan

menambahkan Indeks Vegetasi sebagai sebuah band artificial pada Citra

Satelit. Hal praktis lain yang sudah banyak dilakukan dengan menggunakan

Indeks Vegetasi ialah untuk memantau dan mendeteksi perubahan penutup

vegetasi. Citra Satelit yang meliput areal yang sama secara periodik

dikalibrasi terlebih dahulu sebelum dihitung nilai NDVI-nya kemudian nilai-

nilai tersebut dibandingkan dengan cara menghitung rasio atau selisih antara

kedua nilai NDVI, maka akan didapatkan satu data digital yang berisi

perubahan liputan vegetasi yang dengan mudah dapat dipetakan. Nilai rasio

pada sekitar 1 berarti tak ada perubahan penutup vegetasi, perubahan liputan

terjadi pada kaki-kaki histogram. Secara teoritis, histogram data rasio Indeks

Vegetasi adalah seperti dalam Gambar 7. di bawah ini:

0 1

reforestasi

clearing

Fre

ku

ensi

threshold

Rasio NDVI

(i)

Page 106: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

98 Eddi Nugroho

Gambar 7. (i) Histogram rasio NDVI (ii), Citra Landsat 7 ETM+ rekaman tahun 2007,

(iii) rekaman tahun 2009 dan (iv) Rasio NDVI setelah diiris pada nilai tertentu.

4.2. Simulasi Data Elevasi dari Interferometri RADAR/LIDAR

Salah satu trend baru di pasaran data Penginderaan Jauh adalah data DSM

(Digital Surface Model) atau DEM (Digital Elevation Model) dari hasil

pengukuran interferometri RADAR atau LIDAR. Resolusi vertikal yang

ditawarkan pun sudah cukup tinggi, mencapai ketelitian decimeter. Pada data

DSM, nilai pixel merepresentasikan ketinggian permukaan (surface), termasuk

bangunan dan vegetasi, sedangkan pada DEM, data ketinggian sudah dikoreksi

menjadi ketinggian tanah, sehingga pada areal berhutan, nilai pixel DSM

dikurangi nilai pixel DEM menghasilkan nilai ketinggian pohon. Simulasi

tegakan hutan secara rinci dapat dibuat dari data hasil pengukuran interferometri

ini.

Pengembangan penerapan DSM/DEM untuk berbagai bidang aplikasi memang

sangat menjanjikan, meskipun demikian data DSM/DEM dengan resolusi

vertikal antara 3 – 10 meter pun memiliki nilai guna yang sangat tinggi dalam

pengelolaan hutan tanaman. Pembuatan Peta Kelas Lereng skala 1:10.000 serta

perencanaan infrastruktur jalan sudah dapat dilakukan dengan menganalisis data

DSM/DEM dengan resolusi vertikal seperti tersebut di atas. Akan tetapi,

pembuatan zonasi untuk pengaturan tata air pada sistem kanal dan beberapa hal

teknis ketelitian tinggi tetap membutuhkan data DEM dengan ketelitian

decimeter.

4.3. Teknik Interpretasi Citra Multi Resolusi dan Multi Temporal

Mengingat masih adanya keterbatasan metode interpretasi secara digital, maka

bagaimanapun juga kombinasi dengan metode visual tetap menjadi pilihan yang

terbaik. Hasil analisis separabilitas beberapa informasi penting seperti umur

tanaman dan spesies tanaman tidak dapat diperoleh hanya dari nilai spektralnya

saja, padahal secara visual terlihat ada unsur interpretasi lain yang dapat

digunakan seperti tekstur yang berbeda dan adanya bayangan di sela-sela tajuk

pohon yang dapat menjadi indikasi bagi pembedaannya. Hasil pengolahan secara

digital seperti Indeks Vegetasi dan klasifikasi nilai spektral dapat dikonversi

reforestasi

clearing

(ii) (iii) (iv)

Page 107: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 99

menjadi data vektor untuk diedit lagi nantinya, atau dapat juga Indeks Vegetasi

dan hasil klasifikasi digital ditampilkan di layar komputer sebagai latar belakang

(backdrop) mendukung interpretasi secara visual/manual.

Agar interpretasi citra selalu konsisten walaupun pada resolusi yang berbeda dan

dari waktu ke waktu, maka perlu didesain basisdata yang sifatnya hirarkikal.

Artinya, ketika mendapatkan informasi yang lebih detil dari citra dengan resolusi

lebih tinggi, maka informasi ini merupakan perincian dari hasil interpretasi citra

sebelumnya yang lebih kasar. Sebaliknya, ketika mendapatkan informasi yang

kurang detil dari citra dengan resolusi yang lebih kasar, maka informasi ini

akan merupakan generalisasi. Untuk ini ada beberapa asumsi yang harus dipatuhi

seperti misalnya citra yang lebih baru akan mengubah isi informasi yang sudah

ada sebelumnya tanpa mempertimbangkan resolusinya. Pada informasi yang

berubah drastis inilah akan dilaksanakan pekerjaan lapangan berupa observasi

secara sampling.

5. PENUTUP

Setelah menginventarisasi kebutuhan data spasial bagi pengelolaan hutan

tanaman dan mengetahui kemampuan Citra Penginderaan Jauh untuk memenuhi

kebutuhan tersebut, maka perlu disiapkan pembakuan dan praktek (standards

and practices) untuk mendukung pelaksanaannya. Di samping itu, data yang

dihasilkan harus dapat menjadi acuan bagi pekerjaan dalam skala operasional.

Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti sehubungan dengan penerapan teknologi

Penginderaan Jauh dalam pengelolaan hutan tanaman industri ialah:

a. Implementasi Sistem Informasi Geografis (GIS): agar data yang diperoleh

dari berbagai sumber, baik dari aplikasi teknologi Penginderaan Jauh

maupun survei lapangan dapat diintegrasikan. Basisdata spasial yang

dibangun disimpan dalam suatu media tetap yang tunggal sehingga selalu

konsisten. Dalam skala korporasi, perlu dibangun suatu jaringan penampilan,

pemasukan (input) dan transaksional data spasial, salah satu yang paling

populer ialah dengan menerapkan GIS berbasiskan Web. Data atribut

disimpan dalam suatu RDBMS dan dapat digunakan oleh sistem Enterprise

Resource Planning (ERP) yang digunakan.

b. Pola penerapan konsep multi: seiring dengan bergulirnya rotasi hutan

tanaman industri, secara periodik diupayakan pengadaan Citra Penginderaan

Jauh secara multi resolusi (lihat Gambar 4. di atas). Waktu pengadaan citra

dengan suatu resolusi spasial tertentu boleh tidak terlalu ketat, kecuali Citra

Landsat yang sudah ditentukan oleh pemerintah dan suatu saat nanti harus

dicari alternatif penggantinya jika program Landsat tidak diteruskan oleh

NASA/USGS.

Masih banyak kesempatan pengembangan aplikasi Penginderaan Jauh bagi

pengelolaan hutan tanaman industri, terutama karena perkembangan

teknologi baru seperti misalnya scanner hiperspektral yang portabel,

Page 108: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

100 Eddi Nugroho

teknologi RADAR dan LIDAR yang terus berkembang dan sebagainya.

Sementara teknologi lama yang sangat efektif dan terbukti berguna seperti

potret udara format kecil berbiaya murah tidak banyak diulas dalam tulisan

ini karena keterbatasan penerapan oleh penulis. Kemungkinan

pengembangan lainnya ialah aplikasi pendugaan potensi hutan berdasarkan

biomass yang sebenarnya sudah banyak diteliti, serta standarisasi

penghitungan Indeks Luas Daun dari Citra Penginderaan Jauh yang nantinya

akan banyak digunakan dalam perdagangan karbon sebagai produk samping

pengelolaan hutan.

DAFTAR REFERENSI

Akingbogun, A., O Kosoko, and D.K. Aborisade. 2012. “Remote Sensing and GIS

Application for Forest Reserve Degradation Prediction and Monitoring”. FIG

Young Surveyors Conference: “ Knowing to Create the Future”. Rome, Italy, 4-5

May 2012.

Arief, Arifin. 2001. “Hutan dan Kehutanan”. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius.

Bruzzone, L., Fabio Roli, and Sebastiano B. Serpico. 1995. “An Extension of Jeffreys-

Matusita Distance to Multiclass Cases for Feature Selection”. IEEE Transaction

on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 33 No. 6: 1316 - 1321.

Davis, L.S., and K.N. Johnson. 1987. “Forest Management Third Edition”. New York,

USA: McGraw-Hill Book Company.

Glenn, E.P., A.R. Huete, P.L. Nagler, S.G. Nelson. 2008. “Relationship between

Remotely-sensed Vegetation Indices, Canopy Attribute and Plant Physiological

Processes: What Vegetation Indices Can and Cannot Tell Us about the Landscape.”

www.mdpi.org/sensors

Hussin, Y.A. and W. Bijker. 2000. “Inventory of Remote Sensing Application in Forestry

for Sustainable Management”. Amsterdam: International Archives of

Photogrammetry and Remote Sensing. Vol XXXIII Part B.7

Keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK 04/VII-PW/2005 tentang:

“Prosedur Pemeriksaan Peta Hasil Penafsiran Citra Landsat Kawasan Hutan

yang Akan Dilepaskan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan”.

Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Badan Planologi Kehutanan.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95 Tanggal 6 Februari 1995 tentang:

“Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri”. Jakarta: Departemen

Kehutanan Republik Indonesia.

Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 2000. “Remote Sensing and Image Interpretation”.

New York, USA: John Wiley & Sons, Inc.

Molidena, E. dan A.R. Asy-syakur. 2012. “Karakteristik Pola Spektral Vegetasi Hutan

dan Tanaman Industri Berdasarkan Data Penginderaan Jauh”. Pertemuan Ilmiah

Tahunan MAPIN XIX “Geospasial dalam Pembangunan Ruang yang Berkualitas”.

Makasar, 7 Juni 2012

Murdiyarso, D., U. Rosalina, K. Hairiah, L. Muslihat, I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya.

2004. “Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut”.

Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor. Indonesia:

Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.

Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.9/VI/BPHA/2009

Tanggal 21 Agustus 2009 tentang: “Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur

Page 109: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 101

dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi”.

Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bina

Produksi Kehutanan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2008 Tanggal 6 Februari 2008

tentang: “Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan

Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman”. Jakarta: Departemen Kehutanan

Republik Indonesia.

Pouliot, D.A., D.J. King, and D.G. Pitt. 2006. “Automated Assessment of Hardwood and

Shrub Competition in Regenerating Forest using Leaf-Off Airborne Imagery”.

Remote Sensing of Environment 102 (2006): 223 – 236

Sub Direktorat Statistik dan Jaringan Komunikasi Data Kehutanan. 2009. “Statistik

Kehutanan Indonesia 2008”. Jakarta: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Sunarto, K, and Wasrin, U. R. 1992. “Vegetation Mapping of Baturaja and Its

Surroundings Using SPOT Imagery”. Yogyakarta, Indonesia: The International

Conference on Geography in the Asean Region, 2nd prosiding, Yogyakarta, 31

Ags – 3 Sep 1992.

Susilo, B. 2004. Perbandingan antara Integrasi Penginderaan Jauh Fotografis dan Sistem

Informasi Geografis dengan Pemetaan Pemetaan Bonita untuk Pemetaan

Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jati. Studi Kasus di Bagian Hutan Karangsono

KPH Telawa Jawa Tengah dalam: Danoedoro, P. (ed). “Sains Informasi

Geografis: dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan

Spasial”. Yogyakarta, Indonesia: Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh

Fakultas Geografi UGM.

Swain, P.H., and S.M. Davis. 1978. “Remote Sensing: The Quantitative Approach”. New

York, USA: McGraw-Hill Book Company.

Nunes, A., and M. Caetano. 2006. “Forest Monitoring with Remote Sensing: a Web

Applicator for the Common User”. Nevada, USA: ASPRS 2006 Annual

Conference.

Qaid, A.M. and H.T. Basavarajappa. 2008. “Application of Optimum Index Factor

Technique to Landsat-7 Data for Geological Mapping of North East of Hajjah,

Yemen”. American-Eurasian Journal of Scientific Research 3 (1): 84-91

Page 110: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

102 Eddi Nugroho

BIOGRAFI PENULIS:

Eddi Nugroho

Eddi Nugroho lahir di Purwokerto pada tanggal 10 Juni

1962, menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Geografi

Jurusan Geografi Teknik Program Studi Penginderaan Jauh,

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1988.

Dari tahun 1989 hingga tahun 1999 bekerja sebagai analis

citra penginderaan jauh di PT. Kayu Lapis Indonesia, lalu

selama 1 tahun bekerja di PT. Smart Tbk.. Selanjutnya

bekerja sebagai konsultan yang menangani berbagai

aplikasi geomatika seperti inventarisasi sumberdaya alam dan penataan ruang di

PT. Waindo SpecTerra sampai tahun 2006. Setelah itu hingga sekarang bekerja

di sektor kehutanan yang menangani hutan tanaman untuk industri bubur kertas

di Sinarmas Forestry.

Pengalaman mengajar dan memberikan training di bidang pengolahan citra

penginderaan jauh dan aplikasinya diperoleh sewaktu bekerja di BTIC (Biotrop

Training and Information Centre) dan menjadi asisten praktikum pada Program

Master of Science in Information Technology Institut Pertanian Bogor di Bogor

dari tahun 2000 hingga 2006.

Page 111: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

103

Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah

Potensi Air Permukaan Berbasis Data

Spasial

Ika Puspita Sari, Boedi Tjahjono, Komarsa Gandasasmita,

Bambang H. Trisasongko

Page 112: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

104 Ika Puspita Sari, dkk.

Analisis Ekologi Bentanglahan dalam Telaah Potensi Air

Permukaan Berbasis Data Spasial

Ika Puspita Sari, Boedi Tjahjono, Komarsa Gandasasmita,

Bambang H. Trisasongko

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.

Jalan Meranti, Bogor 16680.

Email: [email protected]

Abstrak

Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World

Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh

kelemahan dalam pengelolaan air. Kajian tentang air dan pemanfaatannya sangat

terkait dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Faktor topografi

mempunyai peranan penting dalam menentukan pola spasial terhadap areal-areal

jenuh air. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pola

sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan adalah Topographic Wetness

Index (TWI). Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimadur merupakan salah satu DAS

utama di Kabupaten Lebak, Banten yang turut berkontribusi dalam kejadian-

kejadian banjir. Kajian mengenai TWI di DAS Cimadur menjadi cukup penting

karena dapat menunjukkan sebaran titik-titik dugaan konsentrasi air yang dapat

digunakan untuk menentukan daerah-daerah yang berpotensi tergenang atau

daerah-daerah yang berpotensi untuk menyimpan air di DAS tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis bentuk lahan,

penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data

penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM),

(2) Melakukan analisis Topographic Wetness Index (TWI) untuk mengetahui

pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan, dan (3) Melakukan analisis

ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan

kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit analisis untuk penentuan daerah

yang potensial menyimpan air.

Hasil analisis ekologi bentanglahan menunjukkan bahwa DAS Cimadur

didominasi oleh bentuklahan pegunungan denudasional vulkanik Tersier (DV1

dan DV2) seluas 10.046 Ha, penggunaan lahan kebun campuran seluas 8.952 Ha,

kemiringan lereng 15-30% (curam) seluas 8.534 Ha, dan kelas TWI sedang (=

kelas 2) seluas 20.987 Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi

daerah penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi

menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau

penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah penelitian

cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk diloloskan namun

pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk mengalami kekeringan.

Page 113: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 105

Kata kunci: Banten, Bentuklahan, Cimadur, Daerah Aliran Sungai, Ekologi

Bentanglahan, Topographic Wetness Index.

Abstract

Indonesia was predicted would have water crisis in 2025 in the World Water

Forum II in the Hague in March 2000. Most of the cause has been by the

weaknesses in water management. Study of water and its high demand has been

associated with shapes and physical characteristics of an area. Topographic

factors play an important role in determining spatial pattern water resources. In

this research, Topographic Wetness Index (TWI) is implemented to determine

spatial pattern of surface water saturation zone. Cimadur watershed was

selected as one of main watersheds in Lebak, Banten which has been

contributing on flood hazard. Study on TWI in Cimadur watershed has became

important because it could show distribution points containing concentration of

water and therefore useful for determining potential inundation as well as areas

potentially storing water in the watershed.

This research aims to: (1) Identify types of landform, land use, and slopes using

remote sensing data (Google Earth imagery, ALOS AVNIR-2 imagery, and SRTM

imagery), (2) Conduct analysis of TWI to obtain the distribution of spatial

pattern of surface water saturation zones, and (3) Conduct an analysis of the

landscape ecology (landform, land use, slope, and grade TWI) using landform as

unit of analysis for determination of potential water storage.

Landscape ecological analysis shows that Cimadur watershed is dominated by

Tertiary denudational volcanic landforms (DV1 and DV2), which covers 10.046

Ha, mixed-use garden covers 8.952 Ha, the slope of 15-30% (steep) covers 8.534

Ha, and middle TWI class (= grade 2) covers 20.987 Ha. It shows that ecological

conditions in test site are still at safe water saving, however, the area is fairly

vulnerable to climate change or land cover/land use change. These are due to

dynamics of water flow in the area during rainy and dry seasons.

Keywords: Banten, Cimadur, Landform, Landscape Ecology, Topographic

Wetness Index, Watershed.

1. PENDAHULUAN

Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dan mutlak diperlukan

bagi kehidupan manusia di muka bumi. Tingkat pemanfaatan sumberdaya air dari

waktu ke waktu mengalami peningkatan, seiring dengan pertumbuhan penduduk

yang terus meningkat setiap tahunnya.

Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam World

Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh

kelemahan dalam pengelolaan air (Sosiawan dan Subagyono, 2007).

Pemanfaatan air secara nasional telah mencapai sekitar 80 miliar m3/tahun,

Page 114: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

106 Ika Puspita Sari, dkk.

dimana pemanfaatan tertinggi berada di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 60% (Suara

Pembaruan, 2006). Tingkat pemanfaatan air yang tinggi ini tidak diimbangi

dengan pengelolaan air yang baik, sehingga menyebabkan meningkatnya potensi

kekurangan air, terutama air bersih. Hal ini diperburuk dengan pencemaran air

permukaan oleh kegiatan industri dan pertanian di berbagai wilayah.

Kajian tentang air dan pemanfaatannya sesungguhnya sangat terkait dengan

bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Menurut Grabs et al. (2009),

topografi berperan penting dalam menentukan pola spasial area jenuh air. Pola ini

dapat menjadi kunci untuk memahami proses-proses hidrologi yang terjadi dalam

sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun demikian, kajian proses hidrologi

yang terkait dengan topografi masih belum banyak dilakukan.

Data turunan yang umum digunakan untuk memahami proses hidrologi yang

terkait dengan topografi adalah kemiringan dan aspek lereng. Topographic

Wetness Index (TWI) merupakan salah satu data turunan yang dihasilkan dari

data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi

akumulasi aliran dan kelerengan. Dengan demikian TWI bermanfaat untuk

menilai kondisi kebasahan suatu lahan di dalam suatu DAS dengan asumsi

bahwa tinggi muka air tanah mengikuti gradien permukaannya.

Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang

banyak mengalami bencana banjir di antara kabupaten-kabupaten lain, seperti

Pandeglang, Serang, Cilegon, dan Tangerang. DAS Cimadur merupakan salah

satu DAS utama di Kabupaten Lebak yang turut berkontribusi terhadap kejadian-

kejadian banjir. DAS merupakan suatu sistem hidrologis, sehingga kejadian-

kejadian banjir atau permasalahan hidrologis lainnya dapat ditelaah melalui

analisis bentanglahan dan kondisi ekologis yang terjadi secara aktual di dalam

DAS. Dalam kaitannya dengan analisis ekologi bentanglahan (landscape

ecology), telaah TWI dapat dimanfaatkan untuk identifikasi terhadap titik-titik

dugaan konsentrasi air yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah

yang berpotensi tergenang atau berpotensi untuk menyimpan air di dalam DAS

tersebut. Berkaitan dengan itu, maka metode TWI diharapkan dapat memberikan

hasil untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan di

DAS Cimadur.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis bentuklahan,

penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data

penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM),

menganalisis TWI untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air

permukaan, serta menganalisis ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan

lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit

analisis untuk penentuan daerah yang potensial menyimpan air.

Page 115: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 107

2. METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Lokasi Penelitian dan Data

DAS Cimadur, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah

penelitian. DAS tersebut mengalir dari kompleks Gunung Salak-Halimun ke

Samudera Hindia. DAS tersebut memiliki potensi banjir bandang yang cukup

besar, namun sangat jarang diteliti oleh masyarakat ilmiah.

Data yang digunakan adalah data spasial berupa kontur dan jaringan sungai yang

diperoleh dari peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) digital skala 1:25.000,

peta geologi digital skala 1:100.000, citra Google Earth tahun 2011, citra ALOS

AVNIR-2 tahun 2009, dan citra SRTM tahun 2000. Adapun peralatan yang

digunakan adalah GPS, kamera digital, seperangkat komputer dengan perangkat

lunak Sistem Informasi Geografis (SIG).

2.2 Analisis Data Pendahuluan

Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan data, baik yang

berasal dari penelitian sebelumnya maupun data penunjang untuk memahami

metode yang telah berkembang berkaitan dengan penelitian ini.

2.2.1 Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur

Peta batas DAS Cimadur dibuat dengan mempertimbangkan garis-garis kontur

dan sungai utama serta anak-anak sungainya yang mengalir pada wilayah DAS

Cimadur. Melalui pola-pola garis kontur, diperhatikan batas-batas topografi yang

terdapat di sekitar sungai utama tersebut. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan

definisi DAS yang merupakan suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi

oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air

hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai

dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau (Asdak, 2010).

Peta batas dari tiap sub-DAS yang ada di dalam DAS Cimadur juga dibuat

dengan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap order sungai yang mengalir

di DAS tersebut, yaitu dimulai dari order 3, 4, dan seterusnya hingga order

terbesar untuk Sungai Cimadur. Klasifikasi order sungai yang digunakan dalam

penelitian ini mengacu pada klasifikasi Strahler. Selanjutnya, peta batas sub-DAS

yang dihasilkan digunakan untuk analisis hubungan antara order sungai dan kelas

TWI.

2.2.2 Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur

Peta penggunaan lahan dibuat dengan melakukan interpretasi visual dan digitasi

terhadap citra Google Earth, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 berfungsi sebagai

citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan. Hasil

klasifikasi yang dilakukan dari digitasi citra tersebut kemudian dicek di lapang

agar memberikan ketepatan antara kenampakan yang ada pada citra dan kondisi

yang sebenarnya di lapangan.

Page 116: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

108 Ika Puspita Sari, dkk.

2.2.3 Pembuatan Peta Bentuklahan DAS Cimadur

Peta bentuklahan (landform) DAS Cimadur dibuat melalui interpretasi secara

visual pada citra (SRTM) dimana perangkat lunak SIG digunakan untuk

menampilkan citra secara 3 dimensi, sehingga morfologi permukaan bumi dapat

terlihat dengan jelas agar interpretasi bentuklahan bisa lebih mudah. Sebelum

memulai identifikasi bentuklahan, hal yang harus diperhatikan adalah melihat

keadaan di sekitar wilayah penelitian, baik dari aspek morfologi, morfogenesis,

morfokronologi, maupun litologinya. Kondisi morfologi wilayah penelitian yang

tampak pada citra, kemudian didelineasi sesuai dengan bentuk morfologi

termasuk kerapatan kontur, serta kondisi geologi yang menyusun wilayah

penelitian. Klasifikasi umum bentuklahan ditentukan berdasarkan kriteria

geomorfologi yang dikemukakan oleh van Zuidam (1985).

2.2.4 Pembuatan Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur

Peta kemiringan lereng DAS Cimadur dibuat berdasarkan peta kontur digital RBI

skala 1:25.000 yang dikonversi ke TIN (Triangulated Irregular Network). TIN

adalah struktur data vektor tiga dimensi yang mempresentasikan permukaan

bumi dengan membangun jejaring segitiga. Selanjutnya, data TIN dikonversi ke

data raster. Data yang dihasilkan dari proses ini adalah data elevasi digital dalam

format raster yang berisi sel-sel dengan ukuran tertentu dimana setiap nilai sel

menunjukkan angka ketinggian. Setelah itu, dilakukan konversi dari data

ketinggian menjadi data kemiringan lereng yang ada pada menu 3D Analyst. Data

yang dihasilkan dari proses ini adalah data dalam format raster yang belum

diklasifikasi. Peta kemiringan lereng biasanya dinyatakan dalam interval kelas,

sehingga langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi kelas lereng.

2.3 Tahap Pengecekan Lapang

Tahap pengecekan lapang dilakukan 2 kali, yakni di bulan Februari dan Juli

tahun 2011. Pada tahap ini dilakukan pengambilan beberapa lokasi piksel/titik

(x,y) untuk menentukan daerah kajian penelitian dengan menggunakan perangkat

GPS. Pengamatan lapang difokuskan pada observasi terhadap jenis-jenis

bentuklahan dan obyek-obyek di atasnya, yakni penggunaan lahan dan lereng.

2.4 Analisis Data Lanjutan

2.4.1 Analisis Topographic Wetness Index (TWI) DAS Cimadur

Analisis TWI dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 dengan

tools tambahan Terrain Analysis. Data dasar untuk analisis TWI adalah Peta

kontur digital RBI skala 1:25.000. Peta ini kemudian dipotong dengan peta batas

DAS Cimadur dan diubah menjadi titik-titik ketinggian untuk selanjutnya

dilakukan interpolasi. Interpolasi merupakan proses estimasi nilai pada wilayah

yang tidak diukur, sehingga dapat dihasilkan sebaran nilai pada seluruh wilayah.

Dalam penelitian ini digunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted

(IDW). Metode IDW merupakan metode deterministik yang sederhana dengan

mempertimbangkan titik di sekitarnya. Asumsi dari metode ini adalah bahwa

Page 117: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 109

nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang

lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linier sesuai dengan jaraknya

terhadap data sampel. Dalam proses ini data yang dihasilkan merupakan data

baru dalam bentuk grid (raster), sehingga data ini dapat digunakan untuk analisis

TWI.

Data dalam bentuk grid ini menghasilkan 9 data TWI yang bersifat kontinu

(continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan

interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas TWI rendah (= kelas 1)

dengan selang kelas nilai <5, kelas TWI sedang (= kelas 2) dengan selang kelas

nilai 5-10, dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dengan selang kelas nilai >10. Sistem

pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa referensi awal mengingat

terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan. Pengkelasan ini digunakan untuk

memudahkan mengetahui titik-titik dugaan konsentrasi air. Langkah selanjutnya

adalah dengan melakukan delineasi masing-masing kelas TWI yang sudah

diklasifikasi agar keluaran akhir yang dihasilkan berbentuk data vektor.

2.4.2 Analisis Ekologi Bentanglahan DAS Cimadur

Analisis ekologi bentanglahan dimulai dengan melihat hubungan antara

komponen-komponen bentanglahan, seperti penggunaan lahan, kemiringan

lereng, dan kelas TWI yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuklahan

sebagai unit analisisnya untuk menentukan daerah yang berpotensi menyimpan

air. Analisis dilakukan dengan metode tumpangtindih (overlay) dengan perangkat

lunak SIG.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Geomorfologi

Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi

yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses geomorfologis

endogen dan eksogen seperti proses-proses tektonik, vulkanisme, dan

denudasional mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Hal

ini dapat merujuk pada jenis batuan yang menyusun daerah penelitian dan

kenampakan morfologi yang ada secara aktual.

Dalam analisis morfologi terdapat dua aspek, yakni aspek morfografi dan

morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif dari suatu bentuklahan yang

ada di permukaan bumi, sedangkan morfometri merupakan aspek kuantitatif dari

suatu bentuklahan, seperti kemiringan lereng. Morfografi daerah penelitian terdiri

atas dataran, perbukitan, pegunungan, tebing, dan lembah sungai seperti tersaji

pada citra SRTM (Gambar 1.a), sedangkan gambaran morfometrinya disajikan

dalam bentuk peta kemiringan lereng (Gambar 1.b).

Page 118: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

110 Ika Puspita Sari, dkk.

(a)

(b)

Gambar 1. Citra SRTM (resolusi 90 m) (a), Peta Kemiringan Lereng (b) di DAS Cimadur

Page 119: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 111

Secara spasial (Gambar 1.a) morfologi dataran di daerah penelitian lebih banyak

tersebar di bagian Utara daripada di Selatan DAS, hal ini sangat menarik karena

terletak di daerah hulu yang seharusnya lebih banyak mempunyai lereng yang

curam. Jika dilihat lebih detail morfologinya, pada daerah ini dijumpai suatu

cekungan dengan bentuk melingkar, berdiameter 8000 meter dan dibatasi oleh

tebing, tersusun oleh endapan abu dan batuapung. Seperti diketahui bahwa

endapan abu-batu apung (ignimbrite) merupakan hasil letusan vulkanik tipe

Plinian atau letusan besar yang seringkali menghasilkan kaldera seperti kaldera

Bromo-Tengger, kaldera Tambora, kaldera Sunda-Tangkuban Perahu dan

sebagainya. Kaldera adalah kawah besar berdiameter lebih dari 2000 meter

sebagai hasil proses runtuhan tubuh puncak gunungapi akibat kekosongan dapur

magma, sehingga secara morfologis kaldera dibatasi oleh dinding yang terjal

berbentuk melingkar. Berdasarkan karakteristik kaldera ini, maka dapat diduga

bahwa bentuklahan tebing berbentuk hampir melingkar atau berbentuk huruf “U”

ini dapat diinterpretasikan sebagai tebing kaldera dari hasil letusan gunungapi

pada zaman Tersier. Hipotesis ini diperkuat oleh adanya endapan abu-batuapung

di sekitarnya atau di tengah kaldera yang membentuk morfologi dataran. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa kompleks pegunungan di wilayah ini

dahulunya merupakan suatu kompleks gunungapi meskipun pada saat sekarang

morfologi vulkanik seperti bentuk-bentuk kerucut sudah tidak ditemui lagi akibat

adanya proses eksogenik denudasional yang telah berjalan sejak jaman Tersier

dan juga terhentinya aktivitas vulkanik di wilayah ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka morfologi perbukitan yang terletak di bagian

tengah DAS diperkirakan merupakan bagian lereng bawah dari kompleks

gunungapi dimaksud, sedangkan perbukitan struktural berbatuan sedimen

merupakan batuan dasar (basement rock) dari tubuh-tubuh gunungapi yang

tumbuh di atasnya pada zaman Tersier tersebut.

Untuk morfologi dataran di bagian Selatan luasannya relatif sangat kecil berupa

bentuklahan hasil proses fluvial (deposisi) dan merupakan bentuklahan termuda

yang terbentuk pada zaman Kuarter dibandingkan umur morfologi-morfologi lain

yang telah disebutkan sebelumnya.

Berdasarkan Gambar 1.b di atas, terlihat bahwa kemiringan lereng 0-3% (datar)

dan 3-8% (landai) tersebar di bagian Utara dan sedikit di bagian Selatan DAS,

kemiringan lereng 8-15% (agak curam) tersebar juga sedikit di bagian Utara dan

Selatan DAS, sedangkan kemiringan lereng 15-30% (curam) tersebar hampir di

seluruh wilayah DAS, dan kemiringan lereng >30% (sangat curam) tersebar di

bagian tengah dan sedikit di bagian Utara DAS. Melihat persebaran kelas lereng

ini dan luasannya (Tabel 1) memastikan bahwa daerah penelitian terletak di

daerah atas (upland areas) yang berupa perbukitan dan pegunungan, sehingga

cukup wajar jika proses denudasi menjadi lebih dominan. Oleh karena itu dari

sisi morfogenesis, nama-nama bentuklahan sebagian besar akan berupa

bentuklahan denudasional vulkanik dan sebagian yang lain berupa denudasional

struktural dan fluvial.

Page 120: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

112 Ika Puspita Sari, dkk.

Tabel 1. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur

No Kemiringan

Lereng

Keterangan Luas Area

Ha %

1 0-3% Datar 1822 8,67

2 3-8% Landai 3359 15,98

3 8-15% Agak curam 2640 12,56

4 15-30% Curam 8534 40,59

5 >30% Sangat curam 4667 22,20

Luas Total 21022 100

Bentuklahan asal proses denudasional vulkanik tersebar dari bagian tengah ke

hulu daerah penelitian, sedangkan bentuklahan asal proses denudasional

struktural tersebar di bagian Selatan daerah penelitian, seperti perbukitan lipatan

yang telah mengalami erosi lanjut, hal ini dicirikan dengan batuan-batuan yang

menyusun bentuklahan tersebut, yang terdiri dari batupasir, konglomerat,

batukapur, dan batulempung (Formasi Cimanceuri). Batupasir dan konglomerat

umumnya lebih resisten terhadap erosi sehingga menghasilkan bentuklahan igir-

igir perbukitan, sedangkan batukapur sebagian berbentuk igir-igir atau bukit

namun sebagian yang lain terlarut membentuk lembah/cekungan. Sedangkan

batulempung karena lebih lunak maka cenderung membentuk morfologi lembah-

lembah. Bentuklahan asal proses fluvial terdapat di bagian Selatan daerah

penelitian, memiliki relief datar dengan batuan penyusun utama Aluvium, dan

menempati elevasi terendah (0-300 m dpl) sebagai wilayah yang lebih

didominasi oleh proses-proses deposisi.

Morfokronologi daerah penelitian di bagian Utara tersusun oleh batuan vulkanik

yang terbentuk pada zaman Tersier: Miosen-Pliosen, di bagian tengah disusun

oleh batuan vulkanik dan sedimen Tersier lebih tua: Eosen-Miosen, sedangkan di

bagian selatan mempunyai batuan penyusun Kuarter: Holosen sebagai hasil

proses pengendapan sungai. Dengan demikian, berdasarkan morfokronologinya

dapat disimpulkan bahwa secara umum morfokronologi bentuklahan di daerah

penelitian mempunyai umur lebih muda ke arah Utara. Jenis batuan induk di

daerah penelitian menurut Peta Geologi digital (Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi, Bandung) skala 1:100.000 terdiri dari 11 Formasi,

yakni: Formasi Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv),

Anggota Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj),

Formasi Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping

(Tmtl), Anggota Konglomerat (Teb), dan Aluvial (Qa).

Page 121: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 113

3.2 Identifikasi Bentuklahan

Berdasarkan hasil analisis geomorfologi yang telah dikemukakan di atas dan

hasil interpretasi citra, maka bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian dapat

diklasifikasikan menjadi 8 macam, yakni: Lembah Sungai (F), Pegunungan

denudasional vulkanik Tersier muda (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik

Tersier tua (DV2), Perbukitan denudasional vulkanik Tersier tua (DV3), Tebing

denudasional vulkanik Tersier muda (DV4), Dataran vulkanik bermaterial tufa

Tersier muda (DV5), Perbukitan denudasional struktural Tersier muda (DS1),

dan Perbukitan denudasional struktural Tersier tua (DS2) seperti yang disajikan

pada Gambar 2.a, sedangkan untuk kenampakan bentuklahan di Citra SRTM

dapat dilihat pada Gambar 2.b dengan luas dari masing-masing bentuklahan pada

Tabel 2.

(a)

Page 122: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

114 Ika Puspita Sari, dkk.

(b)

Gambar 2. Gambaran dan interpretasi bentuklahan dari citra SRTM (a), Peta

Bentuklahan SRTM (b) di DAS Cimadur

Tabel 2. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur

No Simbol Bentuklahan Luas Area

Ha %

1 F Lembah sungai 61 0,29

2 DV1 Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda 5837 27,76

3 DV2 Pegunungan denudasional vulkanik Tersier tua 4209 20,02

4 DV3 Perbukitan denudasional vulkanik Tersier tua 2641 12,56

5 DV4 Tebing denudasional vulkanik Tersier muda 3941 18,75

6 DV5 Dataran vulkanik bermaterial tufa Tersier muda 1406 6,69

7 DS1 Perbukitan denudasional struktural Tersier muda 1334 6,35

8 DS2 Perbukitan denudasional struktural Tersier tua 1593 7,58

Luas Total 21022 100

Page 123: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 115

Dalam Tabel 2. terlihat bahwa bentuklahan Pegunungan vulkanik denudasional

muda (DV1) dan tua (DV2) merupakan bentuklahan yang mempunyai luasan

terbesar di daerah penelitian, dengan luasan masing-masing 5.837 Ha dan 4.209

Ha. Hal ini sangat wajar disebabkan daerah penelitian sebelumnya merupakan

kawasan kompleks gunungapi. Adapun bentuklahan Lembah sungai (F)

merupakan bentuklahan dengan luasan terendah, yakni 61 Ha karena terbentuk

setelah proses denudasi berlangsung.

3.3 Identifikasi Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil interpretasi citra GeoEye dari Google Earth dan citra ALOS

AVNIR-2, penggunaan lahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi

6 macam, yakni: sawah, permukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan,

dan tanah terbuka, serta selebihnya adalah sungai. Peta penggunaan lahan yang

dihasilkan disajikan pada Gambar 3, sedangkan luasan masing-masing dapat

dilihat dalam Tabel 3.

Gambar 3. Peta Penggunaan Lahan di DAS Cimadur

Page 124: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

116 Ika Puspita Sari, dkk.

Tabel 3. Luas masing-masing penggunaan lahan di DAS Cimadur

No Simbol Penggunaan Lahan Luas Area

Ha %

1 Su Sungai 90 0,43

2 H Hutan 7284 34,65

3 Kc Kebun campuran 8952 42,58

4 P Pemukiman 221 1,05

5 Sa Sawah 3691 17,56

6 Se Semak/tegalan 744 3,54

7 Tb Tanah terbuka 40 0,19

Luas Total 21022 100

Berdasarkan Tabel 3. di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan kebun

campuran merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di DAS Cimadur

dengan total luas sebesar 8.952 Ha. Fenomena ini dapat dipahami mengingat

penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala terhadap morfologi,

sehingga dapat berkembang pada berbagai bentuklahan dan kemiringan lereng,

dan akses jalan yang ada di daerah penelitian memungkinkan manusia untuk

mengintervensi lahan. Sebaliknya penggunaan lahan tanah terbuka merupakan

penggunaan lahan terkecil atau sebesar 40 Ha, dikarenakan sebagian kawasan

DAS Cimadur masuk ke dalam kawasan Taman Nasional yang dilindungi oleh

Pemerintah.

3.4 Analisis TWI

Analisis TWI dalam penelitian ini menghasilkan data TWI yang bersifat kontinu

(continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan

interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas 1 atau nilai TWI rendah

(<5), kelas 2 atau nilai TWI sedang (antara 5 hingga 10), dan kelas 3 atau nilai

TWI tinggi (>10). Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada

referensi awal. Hal ini disebabkan masih sangat terbatasnya acuan baku yang

dapat digunakan untuk reklasifikasi. Adapun reklasifikasi ini sendiri

dimaksudkan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan yang mempunyai

konsentrasi air di permukaan lahan. Dalam hal ini kelas TWI rendah (= kelas 1)

menggambarkan suatu wilayah dengan potensi simpanan air yang rendah,

sehingga dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk

menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas TWI tinggi (= kelas 3),

menggambarkan suatu wilayah dengan potensi simpanan air yang tinggi,

sehingga dapat diasumsikan bahwa wilayah ini memiliki peluang tinggi untuk

terjadinya genangan air ditinjau dari variasi topografi lokal. Adapun untuk kelas

TWI sedang (= kelas 2) menggambarkan suatu potensi yang berada di antaranya,

atau mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang sedang

Page 125: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 117

atau dapat diasumsikan memiliki potensi yang masih dapat diharapkan untuk

menyimpan air.

Pada Gambar 4.a terlihat bahwa kelas TWI tinggi (= kelas 3) tersebar di bagian

Utara dan Selatan DAS meskipun relatif kecil. Hal ini disebabkan pada DAS

bagian Utara didominasi oleh bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa

Tersier muda (DV5) dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar), sedangkan

pada DAS bagian Selatan didominasi oleh bentuklahan Perbukitan denudasional

struktural Tersier muda (DS1) dengan kemiringan lereng dominan 8-15% (agak

curam). Kelas TWI rendah (= kelas 1) memiliki penyebaran sangat sedikit juga,

yakni di DAS bagian tengah, tepatnya pada bentuklahan Pegunungan

denudasional vulkanik Tersier muda (DV1) dengan kemiringan lereng dominan

15-30% (curam). Adapun kelas TWI sedang (= kelas 2) merupakan kelas yang

paling mendominasi daerah penelitian, terutama di atas bentuklahan Pegunungan

denudasional vulkanik Tersier muda (DV1) dengan kemiringan lereng 15-30%

(curam).

(a)

Page 126: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

118 Ika Puspita Sari, dkk.

(b)

Gambar 4. Peta Kelas TWI (a), Peta Hasil Tumpang-tindih Kelas TWI dan Order Sungai

(b) di DAS Cimadur

Mengingat bahwa ketersediaan air sangat erat kaitannya dengan aliran

permukaan (sungai), maka keterkaitan kelas TWI perlu dikaji hubungannya

dengan order sungai. Dalam tulisan ini klasifikasi order sungai akan mengacu

pada metode klasifikasi Strahler. Hasil klasifikasi order sungai DAS Cimadur

dengan metode Strahler menunjukkan bahwa order sungai tertinggi dari Sungai

Cimadur adalah order 6, sedangkan dalam penelitian ini order 3 ditetapkan

sebagai order terendah (untuk penyederhanaan) karena banyaknya order-order

yang lebih kecil di dalam DAS Cimadur. Seperti disebutkan di atas, order 6

ditetapkan sebagai order tertinggi, artinya bahwa aliran sungai yang mengalir

pada order 6 merupakan aliran sungai terbesar di dalam DAS Cimadur. Dalam

Gambar 4.b terlihat bahwa kelas TWI yang paling dominan adalah kelas TWI

sedang (= kelas 2) di semua order sungai mulai dari order 3, 4, 5, dan 6. Kelas

TWI tinggi (= kelas 3) menyebar di bagian Utara dan Selatan DAS dengan order

sungai yang paling dominan adalah order 3. Selanjutnya, untuk kelas TWI rendah

(= kelas 1) sedikit sekali penyebarannya, hanya dibeberapa titik di bagian tengah

DAS yang dapat dijumpai pada order sungai 3 dan 4. Tabel 4 menunjukkan total

panjang segmen sungai yang berada dalam kelas TWI dan order sungai yang

telah diklasifikasi.

Page 127: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 119

Tabel 4. Klasifikasi kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen sungai di

DAS Cimadur

No Kelas TWI Order sungai Total panjang segmen sungai

(m)

1 1 3 38,9

2 4 13,3

3 2 3 336.806,2

4 4 251.612,1

5 5 297.179,4

6 6 235.917,1

7 3 3 2.478,5

8 4 1.987,4

9 5 1.011,4

10 6 1.711,7

Berdasarkan pada Tabel 4 terlihat bahwa kelas TWI rendah (= kelas 1) dengan

order sungai 3 mempunyai total panjang segmen yang lebih besar dibandingkan

dengan order 4, yakni sepanjang 38,9 m. Hal ini juga terjadi pada kelas TWI

sedang (= kelas 2) dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dimana pada order sungai 3

mempunyai total panjang segmen lebih besar dibandingkan order 4, 5, dan 6,

berturut-turut 336.806,2 m dan 2.478,5 m. Hal ini mengindikasikan bahwa sub-

DAS sungai-sungai order 3 perlu mendapat perhatian khusus dalam pengelolaan,

karena sub-DAS sungai-sungai order 3 ini berpotensi cukup tinggi untuk dapat

menahan atau menyimpan air.

3.5 Analisis Ekologi Bentanglahan

Salah satu yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan

antara unsur lahan dan unsur kehidupan yang berada di atasnya yang saling

terkait dan ketergantungan sehingga membentuk suatu sistem kehidupan yang

mempunyai karakteristik tertentu. Kondisi lahan dalam hal ini lebih ditekankan

pada unit geomorfologi yang direpresentasikan dalam bentuklahannya,

sedangkan kehidupan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada aktivitas manusia

di atas lahan yang dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan yang dihasilkan.

Dalam konsep ekologi bentanglahan pada penelitian ini, semua bentuk aktivitas

dan parameter yang berada di suatu bentanglahan, seperti: penggunaan lahan,

kemiringan lereng, dan kelas TWI, dianalisis berlandaskan pada bentuklahan

sebagai unit analisisnya sehingga diharapkan dapat memberikan informasi

tentang karakteristik dan persebaran wilayah-wilayah yang mempunyai potensi

untuk menyimpan air.

Berdasarkan analisis ekologi bentanglahan ini DAS Cimadur yang yang

didominasi oleh bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik Tersier muda

Page 128: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

120 Ika Puspita Sari, dkk.

(DV1), penggunaan lahan kebun campuran, dan kemiringan lereng 15-30%

(curam) ternyata mempunyai TWI dominan kelas sedang (= kelas 2). Hal ini

menyiratkan bahwa wilayah DAS Cimadur yang dicerminkan oleh kondisi

bentanglahan saat ini memiliki potensi aman untuk ekologi bentanglahan DAS,

meskipun kapasitas untuk menahan/menyimpan airnya berdasarkan karakteristik

bentuklahan sesungguhnya rendah dikarenakan bentanglahan tersusun oleh

bentuklahan-bentuklahan pegunungan mempunyai kemiringan lereng yang curam,

dan bermaterial vulkanik, sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk

diloloskan dan saat musim kemarau rentan terhadap kekeringan.

4. KESIMPULAN

1. Geomorfologi daerah penelitian didominasi oleh morfologi pegunungan

dengan total luas 10.046 Ha atau 47,78% berbatuan vulkanik tua (Tersier).

Dengan morfologi ini maka dinamika hidrologi atau pergerakan air

(permukaan dan bawah tanah) di daerah penelitan menjadi sangat besar

akibat besarnya nilai elevasi bentuklahan, kemiringan lereng, dan gravitasi

bumi.

2. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di

daerah penelitian dengan total luas 8.952 Ha atau 42,58% dan persebarannya

melintas di seluruh bentuklahan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa

intervensi manusia terhadap bentuklahan cukup dominan. Sehingga kegiatan

manusia di daerah penelitian yang terkait perubahan penggunaan lahan perlu

mendapat pengawasan yang baik agar tidak merusak kondisi ekologi yang

sudah ada.

3. TWI kelas sedang sangat dominan di daerah penelitian (total luas 20.987 Ha

atau 99,83%), dimana persebarannya melintas di berbagai bentuklahan dan

berbagai sub-DAS order sungai. Namun demikian wilayah sub-DAS order 3

di daerah penelitian terindikasi berpotensi menyimpan air paling besar

sehingga perlu mendapat perhatian/pengelolaan tersendiri agar fungsi sub-

DAS lebih optimal dalam menyimpan air dan untuk menjaga ekologi DAS.

4. Ekologi bentanglahan daerah penelitian didominasi oleh bentuklahan

Pegunungan denudasional vulkanik Tersier (VD1 dan VD2), penggunaan

lahan kebun campuran, kemiringan lereng 15-30% (curam), dan kelas TWI

sedang (= kelas 2). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi daerah

penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi

menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau

penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah

penelitian cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk

diloloskan namun pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk

mengalami kekeringan.

Page 129: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 121

DAFTAR REFERENSI

Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Grabs T, Seibert J, Bishop K, Laudon H. 2009. Modeling spatial patterns of saturated

areas: A comparison of the topographic wetness index and a dynamic distributed

model. Journal of Hydrology 373, 15-23.

Sosiawan H, Subagyono K. 2007. Pembagian Air Secara Proporsional untuk

Keberlanjutan Pemanfaatan Air. Jurnal Sumberdaya Lahan 1, 17-18.

Suara Pembaruan. 2006. Benarkah Indonesia krisis air tawar? tanggal terbit 27 Februari

2006). www.suara pembaruan.com. [8 Januari 2012].

Zuidam R A V. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and

Geomorphologic Mapping. Netherlands: Smith Publisher Hague.

BIOGRAFI PENULIS

Ika Puspita Sari

Ika Puspita Sari, alumnus Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan (DITSL), Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor, tahun 2012.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai asisten

praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis

Lanskap, Sistem Informasi Geografis dan Kartografi,

Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, serta Pengantar

Ilmu Tanah.

Bambang H. Trisasongko

Bambang H. Trisasongko merupakan staf pengajar di

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB,

sejak tahun 2009. Bidang minat yang ditekuni adalah

aplikasi penginderaan jauh aktif untuk pertanian dan

lingkungan.

Page 130: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

122 Ika Puspita Sari, dkk.

Boedi Tjahjono

Boedi Tjahjono menjadi staf pengajar (1989) di Bagian

Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu

Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian-IPB.

Menekuni bidang geomorfologi, kebencanaan alam, dan

aplikasi penginderaan jauh untuk geomorfologi.

Komarsa Gandasasmita

Komarsa Gandasasmita merupakan staf pengajar di Bagian

Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu

Tanah dan Sumberdaya Lahan-IPB, sejak tahun 1976.

Bidang minat yang ditekuni penginderaan jauh dan GIS

serta permodelan sumberdaya alam.

Page 131: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

123

Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi

Penangkapan Ikan di Indonesia

(Studi Kasus Kabupaten Indramayu)

Dinarika Jatisworo, Ari Murdimanto

Page 132: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

124 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto

Peranan Teknologi Penginderaan Jauh bagi Penangkapan Ikan

di Indonesia (Studi Kasus Kabupaten Indramayu)

Dinarika Jatisworo, Ari Murdimanto

Balai Penelitian dan Observasi Laut

Jl. Baru Perancak, Perancak, Negara, Bali

Email: [email protected]; [email protected]

Abstrak

Luas perairan negara Indonesia sebesar 5,8 juta km2, namun PDB dari sektor

perikanan sekitar 3,2%. Untuk meningkatkan produksi yang efektif dan efisien,

Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui BPOL menerbitkan PPDPI, yang

disusun berdasarkan data penginderaan jauh berupa citra suhu permukaan laut,

konsentrasi klorofil-a, dan tinggi muka air laut. PPDPI yang dihasilkan

didistribusikan melalui website, surat elektronik, faksimili, dan layanan pesan

singkat. Nelayan Kabupaten Indramayu yang telah menggunakan PPDPI

memperoleh omzet tidak kurang dari 200 juta rupiah sehingga bisa menambah

satu unit kapal. Untuk meningkatkan akurasi PPDPI, BPOL meminta kepada

pelabuhan perikanan dan pengguna untuk mengirim data respon balik tangkapan

ikan berdasarkan koordinat lintang-bujur.

Kata kunci: PPDPI, penginderaan jauh, suhu permukaan laut, konsentrasi

klorofil-a

Abstract

Indonesia ocean area is 5,8 million km2, while GDP is about 3,2% from fisheries

sector. To increase effectiveness and efficiency, Ministry of Fisheries and Marine

Affairs, through BPOL, produce PPDPI, which is based on remote sensing data

such as sea surface temperature, chlorophyll-a concentration, and sea surface

height. PPDPI distributed via website, email, fax, and short-message-service.

Fisherman in Regency of Indramayu using PPDPI get a turnover no-less-than

200 million rupiahs, so that he can add one unit of ship. To increase PPDPI

accuracy, BPOL ask fish-ports and users to send fish catchment feedback data

based on latitude-longitude coordinate.

Keywords: PPDPI, remote sensing, sea surfae temperature, chlorophyll-a

concentration

Page 133: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 125

1. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara bahari memiliki luas wilayah perairan sekitar 3,1 juta

km2 atau sekitar 70% dari seluruh wilayah Nusantara. Dengan diundangkannya

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) maka luas perairan tersebut menjadi 5,8 juta km2

dibandingkan dengan luas seluruh daratan yang hanya 1,8 juta km2. Kepulauan

Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau dengan total panjang garis pantai

sekitar 81.000 km. Pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumber daya kelautan

tidak saja akan mempengaruhi perekonomian bangsa Indonesia di masa

mendatang, akan tetapi juga mampu meningkatkan kebutuhan akan bahan

makanan dan bahan baku, posisi dan pengaruhnya terhadap negara sekitar,

ketahanan nasional, dan kualitas lingkungan hidup negara secara

keseluruhan. Untuk banyak negara, kekayaan dan keanekaragaman hayati laut

Indonesia dianggap sebagai sumber bahan baku makanan yang sangat penting

seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang dan rumput laut

(http://www.dishidros.go.id/hidrografi/174-side-scan-sonar-teknologi-

penginderaan-bawah-laut.html, akses 26 Juli 2012).

Dari karakteristik wilayah perairan Indonesia seperti disebut di atas, Indonesia

memiliki tantangan yang perlu mendapat perhatian serius, di antaranya adalah (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.18/MEN/2011):

a. Dengan luas laut 5,8 juta km2, PDB perikanan baru sekitar 3,2%;

b. Potensi sumberdaya perikanan tangkap 6,4 juta ton/tahun, tetapi nelayan

masih miskin;

c. Produksi perikanan tangkap di laut sekitar 4,7 juta ton/tahun dari jumlah

yang diperbolehkan maksimum 5,2 juta ton/tahun, sehingga tersisa 0,5 juta

ton/tahun; dan

d. Jumlah nelayan (laut dan perairan umum) sebesar 2.755.794 orang, tetapi

lebih dari 50%-nya (1.466.666 nelayan) berstatus sambilan utama dan

sambilan tambahan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui UPT Balai Riset dan Observasi

Kelautan (pada 2012 nomenklaturnya menjadi Balai Penelitian dan Observasi

Laut) melakukan pengumpulan data oseanografi dari data satelit maupun data

yang dapat mendukung kegiatan para nelayan dan masyarakat pesisir dalam

memanfaatkan hasil perikanan (Jatisworo, 2010). Hal ini juga tercantum dalam

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 34 tahun 2011 mengenai

organisasi dan tata kerja Balai Penelitian dan Observasi Laut, dimana salah satu

fungsinya adalah “pelaksanaan penelitian dan observasi sumber daya laut di

bidang fisika dan kimia kelautan, daerah potensial penangkapan ikan,

perubahan iklim, serta pengkajian teknologi kelautan”

(http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi, akses 26 Juli 2012).

Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) merupakan salah satu produk

nyata Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) untuk masyarakat nelayan di

Indonesia. PPDPI telah dibuat dan didistribusikan sejak tahun 2000, saat itu

Page 134: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

126 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto

masih dilakukan langsung oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Dari awal

diproduksi hingga saat ini, PPDPI terus mengalami perkembangan dan perbaikan.

Pembuatan PPDPI didasarkan pada informasi sebaran konsentrasi klorofil-a,

suhu permukaan laut, dan anomali tinggi permukaan air laut dari citra satelit.

Saat ini ada 3 jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL, yaitu PPDPI Nasional, Laut

Sawu, dan Pelabuhan Perikanan (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi,

akses 26 Juli 2012).

Dihasilkannya Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan bertujuan untuk

memudahkan nelayan dalam navigasi menuju lokasi yang diperkirakan memiliki

potensi ikan, sehingga paradigma nelayan yang awalnya “mencari ikan” berganti

menjadi “menangkap ikan”. Hal ini akan berkaitan dengan manfaat yang

diharapkan dari dihasilkannya PPDPI, yakni membantu meningkatkan hasil

tangkapan para nelayan dan membuat kegiatan penangkapan menjadi lebih

efektif dan efisien. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan saat ini dapat

diakses melalui beberapa media, yakni website BPOL, surat elektronik, faksimili,

dan pesan singkat melalui telepon seluler.

Di Asia-Pasifik, tidak hanya Indonesia yang memanfaatkan teknologi

penginderaan jauh untuk penangkapan ikan dan mengembangkannya. India

melalui INCOIS (Indian National Centre for Ocean Information Services) telah

menyediakan Potential Fishing Zone (PFZ) Advisories untuk dimanfaatkan oleh

komunitas nelayan di India dengan memanfaatkan data suhu permukaan laut dan

sebaran klorofil-a (http://www.incois.gov.in/Incois/marine_fisheries_main.jsp,

akses pada 3 Oktober 2012).

Di Cina, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk penangkapan ikan telah

dimulai sejak tahun 1983 dengan dikirimkannya data suhu permukaan laut ke

perusahaan perikanan (Shinxing, 1992). Bahkan, pada 2002, Cina telah

meluncurkan satelit HY-1A yang dapat diaplikasikan untuk informasi perikanan

(Yan, 2004). Bagi nelayan komersial, khususnya penangkapan tuna, informasi

suhu permukaan laut dianggap sangat berharga. Di Jepang, data suhu permukaan

laut tidak hanya diakuisisi oleh kapal untuk riset, namun juga oleh kapal

penangkap ikan dan didistribusikan melalui radio faksimili (Yamanaka, 1982).

Selain itu, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk perikanan mulai mengarah

ke penangkapan yang berkelanjutan (Saitoh et al, 2011).

Selain Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang dihasilkan Balai Penelitian

dan Observasi Laut yang berada dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan,

di Indonesia ada dua produk yang serupa, yakni SIKBES-FG (Sistem Informasi

Knowledge-based Expert System Fishing Ground) yang dihasilkan oleh Pusat

Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam yang berada dibawah Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan ZPPI (Zona Potensi

Penangkapan Ikan) yang dihasilkan oleh Balai Penginderaan Jauh Pare-pare yang

berada dibawah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

(Wikantika dan Fajri, 2012).

Page 135: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 127

2. TUJUAN DAN MANFAAT

2.1 Tujuan

Tersedianya Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan untuk wilayah perairan

nasional, pelabuhan, dan pesisir yang dapat diakses dengan mudah dan

dimanfaatkan oleh nelayan untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan yang

lebih efektif dan efisien.

2.2 Manfaat

Membantu meningkatkan hasil tangkapan para nelayan dan membuat kegiatan

penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien.

3. METODE

3.1 Metode Penentuan Daerah Potensi Ikan

Daerah prakiraan potensi ikan ditentukan berdasarkan parameter suhu permukaan

laut, klorofil-a, dan tinggi muka airlaut. Lebih jelas mengenai parameter yang

digunakan, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter yang Digunakan

Parameter Data Sumber

Suhu permukaan laut Citra Aqua MODIS Level 2 dan 3 Oceancolor

Konsentrasi klorofil-a Citra Aqua MODIS Level 2 dan 3 Oceancolor

Tinggi muka airlaut Jason/TOPEX CCAR

Sumber: Jatisworo, 2010

3.1.1. Suhu Permukaan Laut

Kondisi suhu air laut akan mempengaruhi metabolisme dan perilaku ikan.

Suhu yang terlalu ekstrim baik dingin maupun panas akan membuat ikan

bergerak secara dinamis di tempat-tempat yang cocok dengan kondisi

tubuhnya. Suhu air laut juga sangat berpengaruh pada siklus rantai

makanan yang terdapat di laut.

3.1.2. Konsentrasi Klorofil-a

Konsentrasi klorofil-a di perairan laut dapat menjadi indikator bagi

keberadaan ikan-ikan pelagis. Hal ini terkait dengan siklus rantai

makanan dimana klorofil-a dianggap sebagai produsen. Kandungan

klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada

suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk

produktivitas perairan.

3.1.3. Tinggi Muka Air Laut

Data tinggi muka air laut digabungkan dengan data suhu permukaan laut

dan konsentrasi klorofil-a untuk mendapatkan daerah front, di mana pada

daerah front merupakan daerah lautan dengan pertemuan massa air yang

berbeda dan dapat menjadi perangkap ikan karena daerah ini memiliki

pergerakan air yang sangat cepat dan ombak yang besar.

Page 136: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

128 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto

Selain ketiga data utama di atas, dalam PPDPI juga memuat informasi arah dan

kecepatan angin di permukaan laut serta tinggi gelombang laut. Informasi ini

berfungsi sebagai panduan keselamatan bagi para nelayan.

Gambar 1. Proses Pengolahan PPDPI (Jatisworo, 2010)

Upwelling diidentifikasi melalui interpretasi data suhu permukaan laut dengan

asumsi upwelling ditandai dengan adanya daerah perairan dengan suhu rendah

yang dikelilingi suhu lebih tinggi di sekitarnya (Robinson, 2010). Daerah front

diperoleh melalui interpretasi data tinggi muka air laut dengan asumsi daerah

front berasosiasi dengan arus yang kuat dan perbedaan tinggi muka laut

(Jatisworo, 2010). Kedua parameter tersebut kemudian di-overlay dengan data

konsentrasi klorofil-a, dengan asumsi tingkat konsentrasi klorofil-a yang

mendukung adanya ikan adalah 0,2 – 1 mg/m3. Jika di suatu daerah terbentuk

upwelling dan front tanpa ada konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut

diperkirakan bukan daerah potensi ikan. Jika di suatu daerah terbentuk upwelling

atau front dengan adanya konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut

diperkirakan daerah potensi ikan. Jika di suatu daerah terbentuk upwelling dan

front serta ada konsentrasi klorofil-a, maka daerah tersebut diperkirakan daerah

tangkapan ikan. Lebih rinci mengenai metode penentuan daerah tangkapan ikan,

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Metode Penentuan Daerah Tangkapan Ikan

Perkiraan Upwelling Front Konsentrasi Klorofil-a

(0,2 – 1 mg/m3)

Daerah Tangkapan Ikan v v v

Daerah Potensi Ikan v x v

Daerah Potensi Ikan x v v

Bukan Daerah Potensi Ikan v v x

Bukan Daerah Potensi Ikan v x x

Bukan Daerah Potensi Ikan x v x

Bukan Daerah Potensi Ikan x x x

Page 137: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 129

Data gelombang dan angin dari BMKG digunakan untuk menampilkan informasi

arah dan kecepatan angin serta tinggi gelombang laut yang dimaksudkan sebagai

panduan keselamatan bagi nelayan. Data respon balik dikirimkan setiap bulannya

dari pihak pelabuhan yang menerima PPDPI digunakan untuk lebih

meningkatkan akurasi penentuan daerah tangkapan ikan.

3.2 Metode Distribusi PPDPI

Ketiga jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL dapat diakses melalui website di

http://www.bpol.litbang.kkp.go.id. Selain itu, media surat elektronik dan

pengiriman faksimili juga digunakan untuk pendistribusian PPDPI. Saat ini,

bekerjasama dengan Pusdatin, BPOL sedang mengembangkan distribusi PPDPI

melalui media layanan pesan singkat, sehingga mudah diakses kapan saja oleh

para nelayan.

4. HASIL DAN DISKUSI

Balai Penelitian dan Observasi Laut menghasilkan Peta Prakiraan Daerah

Penangkapan Ikan yang meliput seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Ada 3 jenis peta yang dihasilkan, yakni PPDPI Nasional, Laut Sawu,

dan Pelabuhan Perikanan (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id/peta-pdpi, akses 26

Juli 2012).

Periode penerbitan PPDPI Nasional adalah tiga kali dalam seminggu, yakni

setiap Senin, Rabu, dan Jum’at. PPDPI Nasional meliput wilayah-wilayah yang

pembagiannya berdasarkan pulau-pulau besar di Indonesia, yakni Sumatera;

Sulawesi; Maluku dan Papua; Kalimantan; dan Jawa, Bali, Nusa Tenggara.

.

Page 138: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

130 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto

Page 139: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 131

Gambar 2. Liputan Wilayah PDPPI Nasional

(http://www.bpol.litbang.kkp.go.id, akses 2 Juni 2012)

Untuk jenis PPDPI Pelabuhan Perikanan, wilayah yang diliput adalah PPN

Kejawanan, PPN Pemangkat, PPN Pengambengan dan PPP Muncar, PPN

Ternate dan Bitung, PPS Belawan, PPS Cilacap, PPN Ambon, PPN Pelabuhan

Ratu, PPN Sungai Liat, PPP Tamperan (Pacitan), serta wilayah perairan Bali

Utara dan Bali Timur. Sedangkan dalam rangka mendukung kegiatan

IPTEKMAS pada Juni 2009, BPOL mulai menerbitkan PPDPI untuk wilayah

perairan Laut Sawu. PPDPI Pelabuhan Perikanan dan Laut Sawu diterbitkan

setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu.

Semua jenis PPDPI yang dihasilkan BPOL dapat diakses melalui website

http://www.bpol.litbang.kkp.go.id. Pengiriman melalui faksimili dan surat

elektronik dapat dilakukan jika ada permintaan khusus, baik dari instansi maupun

perusahaan penangkapan ikan dan nelayan, kepada BPOL. Akses informasi

melalui layanan pesan singkat sedang dalam tahap pengembangan oleh BPOL

dan Pusdatin, namun untuk saat ini dapat digunakan dengan cara ketik IKAN dan

kirim ke nomor 0878 8632 0200. Informasi yang diterima melalui layanan pesan

singkat adalah informasi daerah potensi ikan dari PPDPI Nasional.

Manfaat langsung PPDPI telah dapat dirasakan oleh nelayan yang menggunakan.

Cerita sukses mengenai pemanfaatan PPDPI dapat dilihat pada pemaparan yang

diakses dari website BPOL berikut ini:

Cerita sukses pemanfaatan Peta Potensi Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI)

kembali terdengar santer dari Kabupaten Indramayu. Sebelumnya pemanfaatan

PPDPI mengantarkan Bapak Haji Cartisa menjadi pengusaha penangkapan ikan

yang sangat mapan dengan armada kapal berjumlah lebih dari 30 unit dengan

kapasitas masing-masing kapal lebih dari 30 GT. Kini PPDPI kembali

mengulang suksesnya mengantarkan seorang nelayan menjadi pengusaha yang

berkembang pesat. Adalah bapak Rusmadi, seorang nelayan yang pada dua tahun

Page 140: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

132 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto

belakangan mengalami perkembangan sangat pesat. Berawal dari ketertarikannya

terhadap kesuksesan Haji Cartisa, Rusmadi yang saat itu hanya memiliki kapal

kecil dengan kapasitas dibawah 30 GT berusaha mencari tahu rahasia dibalik

usaha Haji Cartisa. Hal inilah yang mengantarkan Rusmadi untuk mengikuti

langkah dan teknik penangkapan ikan memanfaatkan PPDPI yang diproduksi dan

dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Observasi Laut.

Rusmadi sangat meyakini akurasi PPDPI yang dikirimkan oleh BPOL dua kali

seminggu melalui internet, dan kemudian didistribusikan oleh Dinas Kelautan

dan Perikanan Indramayu melalui SMS Center. Dengan masa hari layar kapal ±

45 hari dalam sekali trip, maka informasi PPDPI menjadi sangat berharga bagi

para punggawa kapal yang sedang di tengah laut. Dengan panduan lokasi daerah

potensial penangkapan ikan tersebut, maka biaya operasional kapal dan waktu

tempuh menuju lokasi penangkapan menjadi sangat efektif dan efisien. Kondisi

inilah yang oleh Rusmadi diyakini menjadi musim panen ikan sepanjang tahun

tanpa ada musim paceklik. Dengan omzet perolehan ikan yang tidak kurang dari

200 juta rupiah setiap mendarat, maka usaha penangkapan ikan Rusmadi

meningkat pesat, sehingga saat ini sudah bisa menambah 1 unit kapal tangkap.

Bisa dibayangkan berapa penghasilan bersih Rusmadi jika biaya operasional

sekali layar adalah 45 juta.

Rusmadi menuturkan bahwa dengan kondisi usahanya yang demikian

menjanjikan, maka dirinya berani berharap banyak untuk bisa memberikan

pendidikan yang lebih baik kepada anaknya sampai memperoleh jenjang

pendidikan yang tinggi. Rusmadi juga sudah merencanakan untuk menunaikan

ibadah Haji sebagai kewajiban dan ungkapan rasa sukur atas rejeki yang

diterimanya.

Sebagai informasi, operasional PPDPI di Kabupaten Indramayu sudah berjalan

dengan cukup sistematis. Distribusi PPDPI dilakukan dengan berbagai cara yang

memudahkan nelayan untuk mendapatkan lokasi potensial penangkapan ikan

dengan tepat waktu. Setiap harinya seorang operator akan mengunduh informasi

PPDPI dari website BPOL di http://www.bpol.litbang.kkp.go.id kemudian

memasukan tabel lokasi potensial tersebut ke SMS center. Informasi selanjutnya

akan disebarkan melalui SMS secara otomatis kepada pengguna yang telah

terdaftar. Sebagai pendukung, informasi juga ditampilkan sebagai running text

melalui papan pengumuman yang dipasang di tempat tempat strategis baik

di halaman kantor dinas maupun di pelabuhan-pelabuhan perikanan.

Secara swadaya kelompok nelayan rutin mengadakan pertemuan untuk

membahas dan mengkomunikasikan pemanfaatan PPDPI kepada kelompoknya

maupun kepada kelompok lain. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Indramayu pun turut mendukung dengan mengadakan talkshow di sebuah stasiun

radio untuk mengabarkan kesuksesan penggunaan PPDPI tersebut.

Page 141: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 133

Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Indramayu menyampaikan agar

program PPDPI ini bisa terus berjalan dan berkembang sehingga memberikan

manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat. Disampaikan juga agar

Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa memberikan dukungan yang lebih

banyak terhadap operasionalnya.

Gambar 3. Running-text Informasi Daerah Penangkapan Ikan di Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Indramayu (foto oleh Denny Wijaya Kusuma)

Cerita sukses ini telah sampai ke Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip

Sutardjo. Pada 25 Februari 2012 di Pelabuhan Pendaratan Ikan Eretan Wetan,

Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, beliau meresmikan SMS

Centre Informasi Daerah Penangkapan Ikan (IDPI). Informasi pada IDPI adalah

informasi PPDPI yang dikembangkan dan didistribusikan oleh BPOL serta

diinformasikan sebanyak tiga kali dalam seminggu.

Berikut alur distribusi PPDPI di Indramayu (http://www.bpol.litbang.kkp.go.id,

akses 26 Juli 2012, dengan perubahan) :

- Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu mengunduh PPDPI

melalui website BPOL;

- Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu memiliki Laboratorium

IDPI (Informasi Daerah Penangkapan Ikan), dengan operator khusus yang

akan mendistribusikan Informasi PPDPI tersebut kepada nelayan;

- Operator IDPI bertugas menkonversi posisi lintang dan bujur lokasi potensi

ikan dari PPDPI;

- Lokasi potensi ikan tersebut kemudian dikirimkan operator melalui SMS

Center dan running-text IDPI.

Page 142: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

134 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto

Sebagai validasi hasil prakiraan daerah potensi ikan, BPOL meminta kepada

beberapa pelabuhan perikanan untuk mengirimkan data respon balik. Data yang

diminta adalah data hasil tangkapan nelayan berbasis koordinat lintang dan bujur.

Diharapkan dengan adanya data respon balik, BPOL dapat meningkatkan validasi

PPDPI di masa mendatang.

Gambar 4. Contoh Tabel Respon Balik Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (Tim

Penyusun, 2010)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pemaparan pada sub-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan dan saran

sebagai berikut:

5.1. Kesimpulan

a. Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) dihasilkan oleh Balai

Penelitian dan Observasi Laut (BPOL);

b. PPDPI meliput seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. PPDPI dapat diakses setiap hari melalui website

http://www.bpol.litbang.kkp.go.id;

d. PPDPI dapat diperoleh melalui surat elektronik dan faksimili jika ada

permintaan khusus dari pengguna kepada BPOL;

e. Akses informasi PPDPI melalui layanan pesan singkat masih dalam

tahap pengembangan oleh BPOL dan Pusdatin, namun saat ini sudah

dapat diakses melalui nomor (sementara) 0815 8966 008;

f. Nelayan sangat antusias untuk memanfaatkan PPDPI karena sudah

mengetahui manfaatnya bagi efektifitas dan efisiensi penangkapan ikan;

g. Nelayan di Kabupaten Indramayu yang memanfaatkan PPDPI meningkat

pendapatannya dalam sekali melaut.

Page 143: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 135

5.2. Saran

a. PPDPI membutuhkan respon balik dari para pengguna untuk

meningkatkan akurasi prakiraan daerah potensi ikan yang dihasilkan;

b. Integrasi lembaga pemerintah penghasil peta prakiraan daerah potensi

ikan diperlukan dalam pengembangan PPDPI, baik dari segi akurasi dan

sistem yang digunakan.

DAFTAR REFERENSI

Balai Penelitian dan Observasi Laut. Akses pada 26 Juli 2012 dari

http://www.bpol.litbang.kkp.go.id.

Dishidros. 2011. SIDE SCAN SONAR Teknologi Penginderaan Bawah Laut. Akses pada

26 Juli 2012 dari http://www.dishidros.go.id/hidrografi/174-side-scan-sonar-

teknologi-penginderaan-bawah-laut.html.

Indian National Centre for Ocean Information Services. Akses pada 3 Oktober 2012

http://www.incois.gov.in/Incois/marine_fisheries_main.jsp

Jatisworo, Dinarika et al. 2010. Laporan Kegiatan Operasional: Operasionalisasi

Stasiun Bumi Penerima Dara Satelit Oseanografi. Jembrana: Balai Riset dan

Observasi Kelautan.

Jatisworo, Dinarika. 2010. The Album Map of Potential Fsihing Ground Prediction –

Bilingual Edition. Jembrana: Balai Riset dan Observasi Kelautan.

MODIS Web. Akses pada 2 Oktober 2012 dari http://www.modis.gsfc.nasa.gov.

Realino, et al. 2007. Pola Kesuburan Perairan Indonesia. Jembrana: Balai Riset dan

Observasi Kelautan.

Robinson, Ian S. 2010. Discovering the Ocean from Space: The unique applications of

satellite oceanography. Chichester: Springer.

Saitoh, Sei-Ichi et al. 2011. Some Operational Uses of Satellite Remote Sensing and

Marine GIS for Sustainable Fisheries and Aquaculture. Japan.

Shixing, Han. 1992. Remote Sensing in China Fisheries. China.

Wikantika K. dan Fajri L., editor. 2012. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia –

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan

Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing, dan GIS Model. Bandung:

Pusat Penginderaan Jauh ITB.

Yamanaka, Ichiro. 1982. Application of Satellite Remote Sensing to Fishery Studies in

Japan. Japan.

Yan, Jihui. 2004. China’s HY-1A Ocean Satellite and Its Application. China.

Page 144: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

136 Dinarika Jatisworo dan Ari Murdimanto

BIOGRAFI PENULIS

Dinarika Jatisworo

Lahir pada 16 Mei 1985 di Solo, putri dari pasangan Edhi

Sumaryoto dan Lina Chabibi ini besar di Yogyakarta.

Menamatkan SD, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada

2003 diterima di Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh,

Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Lulus dengan

predikat cumlaude pada tahun 2008, dengan skripsi

mengenai transportasi daerah perkotaan Yogyakarta. Pada

2009 mulai bekerja di Balai Penelitian dan Observasi Laut.

Pada 2010 mulai menjabat sebagai Koordinator

Operasional Stasiun Bumi dan PPDPI.

Ari Murdimanto

Lahir di Jakarta pada 23 Februari 1986. Menamatkan SD,

SMP, dan SMA di Tangerang. Pada 2003 diterima di

Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas

Geografi, Universitas Gadjah Mada. Lulus pada 2008

dengan skripsi mengenai tingkat kemacetan rute Trans

Jogja. Pada 2009 sampai 2010 bekerja di konsultan

lingkungan Sekala sebagai RS/GIS officer dan terlibat

dalam pemetaan partisipatif di Kabupaten Kapuas Hulu,

Kalimantan Barat. Sejak 2011 mulai bekerja di Balai

Penelitian dan Observasi Laut sebagai operator stasiun

bumi dan PPDPI.

Page 145: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

137

Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir

Lahar di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa

Tengah

Rosalina Kumalawati, Seftiawan S. Rijal, Rijanta, Junun Sartohadi,

Rimawan Pradiptyo

Page 146: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

138 Rosalina Kumalawati, dkk.

Pemetaan Risiko Permukiman Akibat Banjir Lahar di

Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah

Rosalina Kumalawati

1, Seftiawan S. Rijal

2, Rijanta

3, Junun Sartohadi

4, Rimawan

Pradiptyo5

1Kandidat Doktor Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

2Mahasiswa Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

3Promotor, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

4Co-Promotor, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

5Co-Promotor, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta

Abstrak

Kecamatan Salam merupakan kecamatan yang paling parah terkena banjir lahar

pasca erupsi Gunungapi Merapi 2010. Sebanyak empat desa terkena banjir lahar

di Kecamatan ini yaitu Sirahan (45,76%), Jumoyo (32,77%), Seloboro (13,56%)

dan Gulon (7,91%).

Di antara kerusakan yang diakibatkan oleh banjir lahar adalah kerusakan

permukiman. Integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat

digunakan untuk melakukan pemetaan kerusakan permukiman dan menentukan

tingkat risiko permukiman akibat banjir lahar yang terjadi. Hasil penelitian

menunjukkan sebanyak 275 rumah rusak akibat banjir lahar di Jumoyo, 226

rumah di Gulon, 69 rumah di Seloboro dan 861 rumah di Sirahan.

Kata Kunci : Risiko, Erupsi, Banjir Lahar, Permukiman

Abstract

Salam Sub-District is the most destructed sub-district due to lahar flood from the

Merapi Volcano eruption. There are four villages on this sub-district flooded by

lahar flood, i.e. Sirahan (45,76 %), Jumoyo (32,77 %), Seloboro (13,56 %) and

Gulon (7,91 %).

Among the damage due to lahar flood is settlement damage. The integration of

remote sensing and geographic information system can be used for settlement

damage mapping and decide the risk level of settlement damage due to lahar

flood. This research result showing there are 275 houses was destructed due to

lahar flood in Jumoyo, 226 houses in Gulon, 69 houses in Seloboro and 861

houses in Sirahan.

Keywords : Risk, Eruption, Lahar Flood, Settlement

Page 147: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 139

1. PENDAHULUAN

Gunungapi Merapi mengalami erupsi pada tahun 2010 dengan VEI 4 atau setara

dengan erupsi yang pernah terjadi pada tahun 1822. Jumlah material piroklastik

yang dihasilkan pun mencapai angka 150 Juta m3, atau 30 kali lipat dari jumlah

material piroklastik yang dikeluarkan Gunungapi Merapi pada tahun 2006.

Di antara bahaya gunungapi yang terus mengancam pasca erupsi adalah bahaya

sekunder yaitu lahar. Pada akhir tahun 2011, banjir lahar yang mengalir melalui

Kali Putih meluap hingga merusak permukiman. Kerusakan permukiman yang

paling parah terjadi di Kecamatan Salam, terutama Desa Sirahan. Tabel 1

menyajikan tingkat kerusakan permukiman yang diakibatkan oleh banjir lahar

yang berasal dari Kali Putih.

Banjir lahar bukan saja terjadi hanya pada saat Gunungapi Merapi mengalami

erupsi, walaupun Jitousono et al (1995) dan Shimokawa et al (1995) dalam

Lavigne (2000) telah memprediksikan bahwa banjir lahar sangat mungkin

berulang dalam kurun waktu per 4 tahun pada skala erupsi kecil dan menengah,

akan tetapi Volcanological Survey of Indonesia (1995) dalam Lavigne (1999)

menyatakan bahwa banjir lahar dapat terjadi hanya karena curah hujan sebesar 40

mm dalam kurun waktu 2 jam. Dengan demikian, diperlukanlah sebuah kegiatan

pemetaan pada daerah bahaya banjir lahar guna mengurangi risiko yang

ditimbulkan pada element at risk. Penelitian ini melakukan pemetaan risiko

bangunan permukiman sebagai element at risk dengan memperhatikan kondisi

topografi, cross section, dan tracking area banjir lahar. Adapun tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui luas luapan banjir lahar di masing –

masing desa dan untuk mengetahui tingkat risiko permukiman yang terkena

banjir lahar.

Tabel 1. Tingkat kerusakan permukiman akibat banjir lahar yang melalui Kali Putih

Sumber : BNPB (2011)

Kecamatan Desa

Rumah

Roboh /

Hanyut

Rusak

Berat

Rusak

Sedang

Rusak

Ringan

Salam

Gulon - 4 - -

Sucen - 4 - -

Jumoyo 54 36 5 -

Seloboro - 2 7 2

Sirahan 11 58 - -

Ngluwar Blongkeng - 6 - -

Mungkid Ngrajek 5 2 50 -

Muntilan

Adikarto 13 12 - -

Tamanagung 2 11 - -

Gondosuli 2 - - -

Jumlah 87 135 62 2

Page 148: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

140 Rosalina Kumalawati, dkk.

2. METODE

2.1 Interpretasi citra

Penelitian ini menggunakan citra IKONOS multispektral yang memiliki resolusi

spasial 4 meter. Citra IKONOS ini direkam pada tahun 2010 sebelum erupsi

terjadi, sehingga citra ini tidak digunakan untuk melakukan interpretasi bangunan

permukiman yang terkena banjir lahar melainkan citra ini digunakan untuk

interpretasi bangunan permukiman yang masih utuh sebelum terkena banjir lahar.

Bangunan permukiman memiliki kunci interpretasi antara lain : bentuk, bayangan,

ukuran, pola dan situs. Interpretasi dilakukan on screen seperti yang terdapat

pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Interpretasi citra

2.2 Survey lapangan

Survey lapangan yang dilakukan meliputi cross section dan tracking area luapan

banjir lahar. Pada perhitungan cross section, maka dapat diketahui bahwa luas

penampang sungai akan mempengaruhi volume maksimum yang dapat

ditampung oleh sungai tersebut, dimana hal ini akan berpengaruh pada kondisi

banjir lahar yang dapat meluap atau tidak. Semakin besar luas penampang sungai

maka semakin kecil potensi luapan lahar dan sebaliknya, semakin kecil luas

penampamg maka semakin besar potensi luapan lahar. Ilustrasi cross section

terdapat pada gambar 2.

Gambar 2. Cross Section

Page 149: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 141

Tracking area luapan banjir lahar dilakukan dengan menggunakan GPS.

Tracking dilakukan mulai dari Desa Jumoyo, di mana banjir lahar Kali Putih

mulai meluap pada desa tersebut, hingga berhenti di Kali Blongkeng. Setelah itu,

hasil tracking diubah ke dalam struktur data poligon agar dapat di-overlay

sehingga luas luapan banjir lahar dan jumlah permukiman yang rusak dapat

diketahui.

2.3 Sistem Informasi Geografis

Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk melakukan

overlay dan layout peta. Overlay yang dilakukan antara lain terhadap hasil

tracking area luapan banjir lahar dan hasil interpretasi bangunan permukiman.

Teknik ini dapat memudahkan kita untuk mengetahui bangunan mana saja yang

terkena banjir lahar. Gambar 3. menampilkan teknik overlay hasil tracking dan

hasil interpretasi bangunan.

Gambar 3. Overlay

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan tracking area yang dilakukan, banjir lahar yang meluap di

Kecamatan Salam mencapai 1,7 Km2. Desa yang paling parah terdampak banjir

lahar adalah Desa Sirahan yakni mencapai 0,81 Km2 sedangkan desa yang paling

sedikit terkena banjir lahar adalah Desa Gulon yakni 0,14 Km2. Desa Sirahan

terkena banjir lahar paling parah disebabkan Kali Putih yang dilalui banjir lahar

mengalir di tengah desa tersebut. Selain itu, penampang sungai yang berada pada

desa ini sempit dan tinggi tebing pun rendah, kondisi topografi yang demikian

sangat mendukung untuk terjadinya luapan banjir lahar. Tabel 2 menunjukkan

luas area desa yang terkena banjir lahar dan gambar 4 memperlihatkan peta banjir

lahar.

Page 150: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

142 Rosalina Kumalawati, dkk.

Ga

mb

ar 4

. Peta

lua

pa

n b

an

jir lah

ar

Page 151: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 143

Tabel 2. Luas area yang terkena banjir lahar

No Kecamatan Desa Luas Area

(Km2)

Persentase

(%)

1

Salam

Gulon 0.14 7,91

2 Jumoyo 0.58 32,77

3 Seloboro 0.24 13,56

4 Sirahan 0.81 45,76

Jumlah 1.77 100

Desa Sirahan sebagai desa yang paling parah terkena luapan banjir lahar, juga

menjadi desa dengan tingkat bahaya permukiman paling tinggi (sebanyak 861

rumah) dan tingkat tidak berbahaya paling rendah (sebanyak 80 rumah). Hal ini

menandakan sebagian besar Desa Sirahan sudah terkena bahaya dari banjir lahar.

Desa Gulon adalah desa dengan tingkat terdampak banjir lahar paling rendah,

demikian pula dengan kondisi bahaya permukiman akibat banjir lahar, Desa

Gulon adalah desa dengan tingkat permukiman tidak berbahaya paling tinggi

yakni sebanyak 3022 rumah. Hal ini diakibatkan oleh letak Kali Putih yang

berada di perbatasan Desa Gulon dengan Desa Jumoyo dan Desa Seloboro, tidak

seperti desa lainnya, dimana Kali Putih berada di tengah desa tersebut. Tabel 3

menampilkan tingkat bahaya permukiman akibat banjir lahar dan gambar 5

menampilkan peta bahaya permukiman akibat banjir lahar.

Tabel 3. Tingkat bahaya permukiman

No Kecamatan Desa Tingkat bahaya permukiman

Tinggi Sedang Rendah Tidak Berbahaya

1

Salam

Gulon 226 112 173 3022

2 Jumoyo 275 411 748 1822

3 Sirahan 861 391 14 80

4 Seloboro 69 307 120 287

Jumlah 1431 1221 1055 5211

Page 152: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

144 Rosalina Kumalawati, dkk.

Gambar 5. Peta bahaya permukiman akibat banjir lahar

Banjir lahar mengalir menuju kondisi topografi yang lebih rendah. Hal ini

menjadi salah satu parameter yang diperhatikan dalam pembuatan peta

kerentanan. Selain itu, jarak rumah terhadap sungai juga menjadi salah satu

masukan dalam pembuatan peta tersebut. Risiko diasumsikan sebagai bahaya

dikali kerentanan. Penelitian ini melakukan pembuatan peta bahaya dan peta

kerentanan terlebih dahulu untuk kemudian dapat menentukan peta risiko

permukiman terhadap banjir lahar. Tabel di bawah ini menampilkan kondisi

rumah yang rawan banjir lahar dan berisiko terhadap banjir lahar.

Tabel 4. Tingkat kerentanan permukiman

No. Kecamatan Desa Tingkat Kerentanan Permukiman

Tinggi Sedang Rendah

1

Salam

Gulon 269 2545 719

2 Jumoyo 402 1284 1570

3 Sirahan 926 414 6

4 Seloboro 194 543 46

Total 1791 4786 2341

Page 153: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 145

Gambar 6. Peta kerentanan permukiman akibat banjir lahar

Tabel 5. Tingkat risiko permukiman

No. Kecamatan Desa Tingkat Risiko Permukiman

Tinggi Sedang Rendah Tidak Berisiko

1

Salam

Gulon 269 69 173 3022

2 Jumoyo 433 253 748 1822

3 Sirahan 926 326 14 80

4 Seloboro 194 182 120 287

Total 1822 830 1055 5211

Page 154: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

146 Rosalina Kumalawati, dkk.

Gambar 7. Peta risiko permukiman akibat banjir lahar

4. KESIMPULAN

1. Desa Sirahan adalah desa yang dikenai banjir lahar terparah sekaligus

memiliki permukiman dengan tingkat risiko paling tinggi sebesar 926

rumah.

2. Pemetaan risiko permukiman akibat banjir lahar dapat dilakukan dengan

membuat peta bahaya dan kerentanan dengan parameter kondisi

topografi, jarak rumah terhadap sungai dan luas luapan banjir lahar.

DAFTAR REFERENSI

BNPB. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar.

http://geospasial.bnpb.go.id/. Diakses pada 17/01/2011.

Lavigne, F., J.C. Thouret, B. Voight, H. Suwa, and A. Sumaryono. 2000. Lahars at

Merapi Volcano, Central Java : an Overview. Journal of Volcanology and

Geothermal Research Vol. 100 : 423 – 456.

Lavigne, Franck. 1999. Lahar Hazard Micro-Zonation and Risk Assessment in

Yogyakarta City. Indonesia. GeoJournal Volume 49. Hal : 173 – 183.

Rosalina, K., Afrinia, L.P., Seftiawan, S.R.. 2012. Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar

Pasca Erupsi Gunung Api Merapi 2010 Di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa

Tengah. Seminar Nasional Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sumintadiredja, Prihadi. 2000. Catatan Kuliah Volkanologi. Bandung : ITB.

Page 155: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 147

Thouret, J.C., F. Lavigne, K. Kelfoun, S. Bronto. 2000. Toward a Revised Hazard

Assessment at Merapi Volcano, Central Java. Journal of Volcanology and

Geothermal Research Vol. 100 : 479 – 502.

Wahyono, Sri Agus. 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik

Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan

Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.

Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

BIOGRAFI PENULIS

Rosalina Kumalawati

Rosalina Kumalawati lahir pada 4 Mei 1981. Menamatkan

pendidikan dasar hingga menengah di Bantul pada tahun

1999. Mengawali pendidikan tinggi S1 di UGM, Fakultas

Geografi, Program Studi Perencanaan Pengembangan

Wilayah, pada tahun 1999-2003. Pendidikan jenjang S2 di

UGM, Fakultas Geografi, Program Studi Geografi Fisik,

pada tahun 2003-2005. Semasa kuliah pernah aktif di

beberapa organisasi kemahasiswaan. Kini sedang

melanjutkan kuliah jenjang S3 di UGM, Fakultas Geografi,

Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah, pada tahun 2010 sampai

sekarang. Bekerja Sebagai Dosen di program Studi Geografi, FKIP UNLAM

Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Aktif mengikuti seminar baik nasional

maupun international. Aktif juga menulis paper pada seminar geospasial yang

diadakan oleh UMS, UNS, seminar TIK yang diadakan UDINUS Semarang dan

International Conference – ACIKITA Foundation.

Junun Sartohadi

Junun Sartohadi menamatkan pendidikan dasar hingga

menengah di Yogyakarta pada tahun 1986. Pendidikan

jenjang S1 ditempuhnya di UGM, Fakultas Geografi,

Program Studi Geomorfologi Sumberdaya Lahan, pada

tahun 1991. Master of Science bidang Geoinformasi

diperolehnya dari Asian Institute of Technology, Bangkok-

Thailand pada tahun 1997. Pendidikan jenjang S3 bidang

Geografi Tanah ditempuhnya dari Leopold Franzens

University of Innsbruck-Austria pada tahun 2001. Guru

besar bidang geografi tanah disandangnya sejak 2009 dari Fakultas Geografi

UGM tempatnya bekerja saat ini.

Page 156: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

148 Rosalina Kumalawati, dkk.

Seftiawan S. Rijal

Seftiawan S. Rijal, lahir pada 2 September 1990 di

Balikpapan. Mengawali pendidikan tinggi pada Program

Diploma III SIG dan PJ Fakultas Geografi UGM. Semasa

kuliah pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan.

Kini sedang melanjutkan kuliah jenjang sarjana di Program

Extensi Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Aktif menulis paper pada seminar geospasial

yang diadakan oleh UMS, UNS, seminar TIK yang

diadakan UDINUS Semarang dan International Conference

– ACIKITA Foundation.

R. Rijanta

R. Rijanta memulai jenjang pendidikan tinggi S1 di

Fakultas Geografi UGM pada tahun 1981 hingga 1986

dengan keahlian pada bidang Population Geography. S2

ditempuhnya di International Institute for Aerospace Survey

and Earth Sciences (ITC), Department of Integrated Survey

for Resource Development, Enschede, The Netherlands

dengan keahlian dibidang Survey Integration for Resource

Development pada tahun 1988 – 1990. Sedangkan gelar

Doktor untuk keahlian Rural Geography diraihnya dari

Fakultas Geografi UGM dan Department of Human Geography of Developing

Countries, Faculty of Geographical Sciences, Utrecht University-The Netherlands

pada tahun 1998 hingga 2006. Telah menyandang Guru besar bidang Rural

Geography dan Rural Development sejak 2008 dari Fakultas Geografi UGM.

Rimawan Pradiptyo

Rimawan Pradiptyo memulai pendidikan strata 1 di

Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, kemudian MSc dan

PhD dalam bidang Ekonomi diraihnya pada University of

York, UK. Ia mempunyai keahlian pada riset terkait Crime

Economics, Game Theory, Experimental Economics,

Economic Evaluation dan Industrial Economics. Mengajar

pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM sejak 1994 dan

menjadi Deputy of Research di P2EB FEB UGM.

Page 157: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

149

Pembentukan Model dan Parameter untuk

Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan Data

Light Detection and Ranging (Lidar)

(Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit, Sumatra Selatan)

Priske Kandia, Agung Budi Hartono, Ketut Wikantika

Page 158: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

150 Priske Kandia, dkk.

Pembentukan Model dan Parameter untuk Estimasi Kelapa

Sawit Menggunakan Data Light Detection and Ranging (Lidar)

(Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit, Sumatra Selatan)

Priske Kandia, Agung Budi Hartono, Ketut Wikantika

Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi

Bandung

Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Teknologi Bandung

Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.

Email: [email protected]

Abstrak

Salah satu teknologi penginderaan jauh yang tengah berkembang sangat pesat

ialah LiDAR, pemanfaatan data LiDAR semakin banyak dikembangkan salah

satunya yakni pada bidang perkebunan dan kehutanan. Teknologi LiDAR dapat

menawarkan proses pengukuran yang sangat cepat untuk area yang luas dan

menghasilkan ketelitian yang bervariasi. Indonesia sebagai penghasil kelapa

sawit terbesar di dunia perlu mengembangkan suatu metode yang secara efektif

dapat memberikan informasi detail struktur pohon kelapa sawit yang dapat

digunakan untuk manajemen dan monitoring perkebunan. Di dalam Tugas Akhir

ini akan dikaji mengenai proses pengolahan data point clouds LiDAR hingga

dibentuk DTM (Digital Terrain Model), DSM (Digital Surface Model) dan CHM

(Canopy Height Model) yang akan digunakan untuk membentuk model dan

parameter kelapa sawit untuk mendeteksi individu pohon kelapa sawit dalam

suatu area penelitian. Pendeteksian individu pohon secara otomatis tersebut akan

menghasilkan estimasi jumlah pohon dalam suatu area, serta dilengkapi dengan

informasi tinggi dan lebar diameter kanopi tiap individu pohon yang terdeteksi.

Dari hasil penelitian area studi penelitian pada perkebunan kelapa sawit seluas 20

Ha, di Kabupaten Prabumulih, Sumatra Selatan, didapat hasil sejumlah 2618

pohon yang berhasil terdeteksi secara otomatis. Kemudian setelah dilakukan

validasi pada beberapa sample tile pada area penelitian didapat keakurasian

sebesar 93%, dengan estimasi besar kesalahan sebesar 7% untuk area seluas ± 20

Ha. Standar deviasi yang dihasilkan untuk tinggi sebesar 0.150 meter dan untuk

lebar diameter kanopi pohon sebesar 0.790 meter. Penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat untuk dijadikan masukan untuk pemanfaatan teknologi penginderaan

jauh khususnya LiDAR dalam upaya-upaya manajemen dan identifikasi

perkebunan di Indonesia.

Kata kunci: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, model dan

paremeter pendeteksian pohon, jumlah pohon kelapa sawit.

Page 159: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 151

Abstract

One of the remote sensing technology that is currently growing very rapidly is

LiDAR, LiDAR data utilization is being more developed in lots of fields, one of

them is for plantation and forestry application. LiDAR technology can offer a

very fast measurement process and produce varying accuracy for large area.

Indonesia as the largest oil palm producer in the world needs to develop a

method which can effectively provide detailed structural information of oil palm

trees that can be used for plantation and forestry monitoring and management.

This final project would assess on the data processing LiDAR, point clouds to be

formed as DTM (Digital Terrain Model), DSM (Digital Surface Model) and

CHM (Canopy Height Model). CHM will be used to establish model and

parameter of oil palm trees to detect individual oil palm trees in a study area.

Automatic detection of individual oil palm trees would provide the estimates

amount of trees in study area complete with the height and diameter canopy

width informations of each individual detected trees. This research showed that

in the oil palm tree plantation area of 20 hectares, in Kabupaten Prabumulih,

South Sumatra, a number of 2618 trees successfully detected automatically. After

validation process on some tile samples in the study area of ± 20 Ha was

obtained accuracy of 93% and 7% of error estimation. The height standard

deviation is 0.150 meters and the width canopy standard deviatiom is 0.790

meters. This study hopefully can be an input that is useful for the utilization of

remote sensing technology especially LiDAR for plantation management and

forestry monitoring in Indonesia.

Keywords: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, model and

parameter for trees detection, counting the amount of oil palm trees.

1. PENDAHULUAN

Penggunaan teknologi penginderaan jauh kini semakin berkembang sangat pesat

salah satunya yakni LiDAR (Light Detection and Ranging). LiDAR

merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat

menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan tanah

dalam posisi horizontal dan vertikal, (Soetaat). LiDAR dapat melakukan

pemetaan skala besar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.

Namun pada kenyataannya, aplikasi LiDAR untuk manajemen hutan dan

analisis kehutanan lebih lanjut masih jarang dilakukan terutama di Indonesia,

LiDAR lebih sering digunakan untuk keperluan rona awal atau pemantauan

lahan topografi suatu wilayah tambang (Comarthy, 2012).

Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia memiliki

area kelapa sawit diperkirakan seluas 8,4 juta hektar pada tahun 2012. Produksi

minyak sawit di Indonesia mencapai 24 juta ton dan 60% dari hasil produksi

tersebut telah diekspor ke negara lain, (Laporan World Growth, 2011).

Page 160: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

152 Priske Kandia, dkk.

Maka dari itu, dalam makalah ini akan dikaji mengenai salah satu aplikasi

LiDAR dalam bidang kehutanan atau perkebunan yakni membuat model dan

parameter pohon kelapa sawit untuk mendeteksi setiap individu pohon kelapa

sawit dalam suatu area studi. Sehingga dapat diestimasikan jumlah pohon kelapa

sawit pada sebaran area tertentu, dilengkapi dengan informasi struktur morfologi

berupa tinggi dan lebar kanopi setiap individu kelapa sawit yang terdeteksi.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai metode

perhitungan jumlah pohon kelapa sawit yang efektif dan efisien serta dapat

dijadikan sebagai masukan untuk pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

khususnya LiDAR dalam upaya-upaya manajemen dan pelestarian hutan di

Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini terdapat

dalam Gambar 1.

Gambar 1. Skema metodologi penelitian

Page 161: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 153

2. METODE

Tahap awal terdiri dari studi literatur mengenai prinsip, sistem dan aplikasi

LiDAR dalam bidang kehutanan, serta proses pengolahan data LiDAR dan

mengenai struktur morfologi kelapa sawit khususnya mengenai stuktur

morfologi kelapa sawit seperti lebar diameter kanopi dan tinggi pohon kelapa

sawit relatif terhadap umur. Karena akan digunakan sebagai parameter yang

dibutuhkan untuk pendeteksian setiap individu pohon kelapa sawit.

Pengolahan data LiDAR yang diawali dengan proses klasifikasi data point

clouds yang berjumlah jutaan titik tersebut harus dikelompokan ke dalam kelas-

kelas sesuai kebutuhan. Kemudian proses selanjutnya rasterisasi yakni metode

untuk mendapatkan nilai pikselnya yang dapat menggambarkan ketinggian titik

tersebut.

Point cloud pada kelas ground akan diolah menjadi DTM dan point cloud pada

kelas high vegetation pada point highest hit Z akan diolah menjadi DSM. CHM

didapat dari proses pengurangan nilai piksel pada raster antara DSM dan DTM,

sehingga diperoleh Canopy Height Model (CHM) yakni perbedaan tinggi antara

permukaan kanopi pohon dan permukaan tanah, yaitu ketinggian pohon.

Selanjutnya proses pendeteksian kelapa sawit, hasil statistik berupa sebaran

ketinggian pohon tersebut dapat digunakan sebagai parameter untuk melakukan

pendeteksian setiap individu pohon kelapa sawit.

3. DATA DAN PENGOLAHAN DATA

3.1 Data

Dalam Tugas Akhir ini data yang digunakan didapat dari PT McElhanney

Indonesia. Data tersebut diakuisisi pada tanggal 8-9 Juli 2011, menggunakan alat

Leica ALS60 diintegrasikan dengan IMU dan Antenna GPS L1/L2 Novatel. Area

tersebut merupakan area perkebunan kelapa sawit yang berada di daerah

Kabupaten Prabumulih, Provinsi Sumatra Selatan, seluas ± 20 Ha dengan total

point clouds sejumlah 600.245 titik dalam kelas yang belum terklasifikasi

(default). Data tersebut telah tergeoreferensi dalam TM WGS 1984. Serta

dilengkapi dengan orthophoto true colour .menggunakan kamera digital Leica

RCD105 Digital Frame Camera for ALS dengan resolusi 39 Mega Pixels yang

sudah direferensikan ke TM WGS84.

Page 162: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

154 Priske Kandia, dkk.

Gambar 2. Area studi penelitian

3.2 Pengolahan Data

Proses pengolahan data terbagi dalam beberapa tahap yakni:

3.2.1 Proses Pengolahan Data LiDAR

Proses pengolahan LiDAR dilakukan dalam perangkat lunak Bentley

Microstation TerraSolid yang memiliki ekstensi Terra Scan, Terra Photo dan

Terra Model. Tahap pengolahan data LiDAR yang pertama dilakukan ialah:

1. Tiling

Proses pembagian data tersebut dalam grid yang lebih kecil agar software

dapat lebih mudah memproses jutaan titik.

2. Klasifikasi Ground Points

Proses klasifikasi dilakukan untuk memisahkan antara point cloud hasil

pemantulan dari suatu jenis objek dengan jenis objek lainnya, maupun

dengan hasil pemantulan dari permukaan tanah (Sithole,2005).

Dalam makalah ini, point clouds akan terbagi menjadi 4 kelas yakni ground,

low vegetation, medium vegetation dan high vegetation. Tahapan klasifikasi

dilakukan melalui dua metode klasifikasi, yaitu secara semi-otomatis dan

manual.

a. Klasifikasi Semi-otomatis

Dalam klasifikasi semi otomatis terdapat proses penentuan batas-batas

parameter pada area studi yang diperlukan dan harus ditentukan sendiri

oleh pengguna. Tahap klasifikasi yang pertama adalah ground filtering.

Pada tahap ini dilakukan pemisahan antara ground point dengan titik-titik

lainnya. Klasifikasi ini merupakan bagian yang penting karena DTM

yang akurat hanya dapat diperoleh apabila titik-titik lainnya telah

dihilangkan dari ground points.

Page 163: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 155

Untuk mengidentifikasi ground points ke dalam kelasnya, sangatlah

penting untuk memahami karakteristik fisik dari ground points yang

terklasifikasikan dalam beberapa parameter dalam perangkat lunak

Bentley Microstation Terrasolid, yakni :

Maximum building size :

Ukuran panjang atau lebar terbesar dari semua bangunan yang ada

pada area survey. Namun, pada area studi tidak terdapat bangunan

apapun.

Terrain angle :

Batas kecuraman dari sudut kemiringan terbesar yang diperbolehkan

bagi dua buah titik yang berketetanggaan untuk dapat dianggap

sebagai satu kelas permukaan tanah pada proses pengidentifikasian.

Iteration angle :

Sudut maksimum antar titik atau perubahan sudut kemiringan

maksimum antara dua iterasi selama analisis permukaan tanah.

Biasanya antara 4 o -10

o.

Iteration distance:

Jarak maksimum antara dua titik yang akan diklasifikasikan, tegak

lurus dengan model permukaan tanah yang sudah ada. Disebut juga

jarak maksimum antar dua titik. Biasanya antara 0,5 meter - 1,5 meter.

Parameter klasifikasi ground points terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Parameter klasifikasi point cloud kelas ground

Parameter tersebut didapat dari beberapa literatur (Meng, 2010) serta uji

statistik trial and error. Ilustrasi parameter diatas ditunjukan pada

gambar 3 di bawah ini:

Gambar 3. Ilustrasi parameter klasifikasi kelas ground

Terrain Angle 77o

Itteration Angle 8o

Itteration

Distance 1,5 m

Max Building Size 26 m

Page 164: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

156 Priske Kandia, dkk.

Proses klasifikasi diawali dengan membentuk model awal permukaan

tanah di mana titik inisial berupa titik-titik dengan elevasi terendah dan

berdasarkan jarak sesuai parameter maximum building size.

Setelah itu dilakukan uji kesesuaian titik-titik yang berada pada model

permukaan tanah yang sudah ada terhadap ketiga parameter lainnya.

Apabila memenuhi, maka titik tersebut akan dimasukkan ke dalam kelas

permukaan tanah atau ground point.

b. Klasifikasi Manual

Klasifikasi dengan cara manual dilakukan untuk memeriksa data point

cloud hasil klasifikasi dari proses automatic classification. Sering kali

terjadi kesalahan klasifikasi (misclassified).

Karena itu, diperlukan pengecekan dan klasifikasi secara manual untuk

memastikan semua data berada pada kelas yang sesuai dengan melakukan

visualisasi tampak samping (cross section atau side seeing).

c. Klasifikasi Low, Medium, High Vegetation

Parameter tinggi vegetasi rendah, sedang dan tinggi relatif dari ground

ditunjukkan pada Tabel 2. Parameter di bawah ini hasil uji statistik trial

dan error serta studi referensi mengenai parameter tinggi klasifikasi

vegetasi.

Tabel 2. Parameter tinggi klasifikasi kelas vegetasi

3. Rasterisasi DTM dan DSM

Selanjutnya kelas-kelas point cloud tersebut akan di-generate untuk

diperoleh raster dua dimensi dari DTM dan DSM. Point clouds kelas

ground akan menjadi Digital Terrain Model (DTM). Sedangkan kelas DSM

akan dibentuk dari high vegetation (point cloud kanopi pohon yang

memiliki tinggi terbesar dari permukaan tanah).

4. Mengekstrak Canopy Height Model (CHM)

CHM didapat dari proses pengurangan nilai piksel pada raster (raster DSM

yang dikurangi oleh raster DTM). CHM yang didefinisikan sebagai sebaran

perbedaan tinggi antara permukaan kanopi pohon dan permukaan tanah,

yaitu ketinggian pohon.

Page 165: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 157

Hasil statistik dari ketinggian pohon tersebut dapat digunakan sebagai

parameter untuk melakukan pendeteksian dan perhitungan jumlah kelapa

sawit.

3.2.2 Proses Pendeteksian Pohon

Tahap proses pendeteksian pohon secara otomatis terdiri dari beberapa tahap

yakni:

1. Penentuan Parameter Identifikasi Pohon

Dalam proses pendeteksian pohon oleh perangkat lunak Terrasolid terdapat

beberapa parameter yang harus ditentukan yakni:

Minimum Height (tinggi minimal satu pohon) : 3 meter

Maximum Height (tinggi maksimal suatu pohon) : 16 meter.

Width Variation (variasi lebar kanopi pohon) : 10 % - 30%

Parameter tersebur didapat dari hasil CHM (Canopy Height Model) pada

proses pengolahan data LiDAR. Dalam proses ini, data point clouds akan

dilihat berdasarkan range tinggi minimum dan maksimumnya, apakah

sebaran point clouds tersebut terkategorikan sebagai suatu pohon.

2. Pembentukan sampel model individu pohon

Pembentukan model individu pohon kelapa sawit tersebut dibentuk dari

pengambilan sampel satu individu pohon pada data point cloud-nya. Pada

Gambar 4 (kiri) ditunjukkan hasil cross section point cloud satu individu

pohon, setelah itu dibuat pemodelan satu bentuk kelapa sawit mengikuti

sebaran point cloud yang membentuk pohon tersebut.

Setelah di-generate maka bentuk tersebut akan direfleksikan secara otomatis

hingga membentuk satu model bentuk pohon (kanan).

Gambar 4. Point cloud dan sampel model individu pohon

3.2.3 Proses Validasi Hasil Pendeteksian Pohon

Hasil pendeteksian pohon secara otomatis tersebut akan divalidasi dalam

beberapa proses yakni:

Page 166: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

158 Priske Kandia, dkk.

1. Estimasi range jumlah pohon kelapa sawit pada area seluas 20 ha. Biasanya

kelapa sawit ditanam dengan jarak tanam 9x9x9 meter, sehingga dalam 1 ha

terdapat 130-145 pohon, (Badan Pusat Statistik Sawit, 2012). Dari total ±

20 Ha dan dengan total lahan kosong seluas ± 0,67 Ha. Maka total jumlah

pohon diestimasikan berada pada range: 2512 – 2764 pohon sawit.

2. Tiling

Membagi orthophoto tersebut menjadi 20 tiles yaitu 5 kolom secara

horizontal dan 4 baris secara vertical.

3. Export & Convert

Export hasil deteksi pohon (otomatis) dan convert shapefilenya yang berupa

titik centroid & poligon setiap individu pohon yang terdeteksi secara

otomatis.

Membuat Titik Validasi

Titik validasi berupa titik centroid dan poligon yang tersebar merata pada

kanan-kiri (atas & bawah) dan tengah.

4. Deteksi Visual

Mendeteksi secara visual apakah pada sebaran poligon titik validasi tadi

terdapat juga poligon hasil deteksi otomatis.

5. Bandingkan

Lebar Kanopi dan Tinggi Pohon

Setiap individu pohon yang berhasil terdeteksi memiliki informasi tinggi

dan perimeter (keliling pohon) yang dapat dihitung diameternya dari

rumus keliling lingkaran.

Jumlah pohon dalam beberapa sampel tiles

Bandingkan jumlah pohon dari hasil deteksi otomatis dan manual pada

tiga jenis tile yang karakteristik pohonnya rapat sekali, cukup rapat dan

teratur, renggang sekali juga terdapat lahan kosong.

4. PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil Proses Pengolahan Data LiDAR

Setelah seluruh point clouds terklasifikasi ke dalam kelas yang sesuai. Tabel 3

merupakan hasil statistik klasifikasi kelas point clouds:

Tabel 3. Hasil statistik klasifikasi point clouds

Class Description Points

1 Default 0

2 Ground 136.420

3 Low Vegetation 10.274

4 Medium Vegetation 8.100

5 High Vegetation 445.451

6 Building 0

Total points 600.245

Page 167: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 159

Parameter proses pengklasifikasian point clouds harus tepat (sesuai dengan

karakteristik lahan area penelitian) dan juga dengan melakukan uji statistik dan

trial error. Ketika input parameter telah memberikan hasil statistik yang terbaik,

maka perlu dilakukan pengecekan point clouds dengan draw section dan mem-

brush manual sehingga point terklasifikasi dengan baik. Hasil DTM dihasilkan

terdapat pada gambar sebagai berikut:

Gambar 5. Hasil Digital Terrain Model

Gambar 6. Hasil Digital Surface Model

Gambar 7. Hasil Canopy Height Model

Tinggi rata-rata sebaran pohon yang ditunjukkan pada CHM yakni 12,5 meter,

dengan nilai range antara -0,5676 meter hingga 17,8 meter dan tinggi minimum 3

meter. Ketika mengekstrak CHM terdapat tinggi pohon yang minus, dilihat dari

Digital Terrain Model (DTM)

Legend

Digital Surface Model (DSM)

Canopy Height Model (CHM)

Legend

Page 168: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

160 Priske Kandia, dkk.

value pixel raster terdapat 226 value dalam jumlah value 204683 yakni hanya

sebesar 0,1%. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh low points pada data

LiDAR. Low points disebut juga noise (kesalahan/gangguan) pada LiDAR,

seharusya dihilangkan pada proses pengklasifikasian titik. Faktor lainnya

mungkin dikarenakan ketika proses pengklasifikasian titik ground dan vegetasi

lainnya masih belum sempurna.

4.2 Analisis Hasil Proses Pendeteksian Pohon

Hasil dari pendeteksian pohon secara otomatis terdeteksi jumlah pohon

sebanyak 2.618 pohon pada luasan area kurang lebih 20 hektar. Berdasarkan

referensi Badan Pusat Statistik Sawit, dalam 20 Ha diestimasikan berada pada

range: 2512 – 2764 pohon sawit. Sehingga 2618 dinyatakan telah masuk dalam

range.

Hasil deteksi pohon kelapa sawit secara otomatis merupakan poligon pohon,

setiap individu dari poligon pohon kelapa sawit yang berhasil terdeteksi masing-

masing memiliki identitas (ID) dari setiap poligon, elevasi (mengacu pada MSL)

serta tinggi dari masing-masing pohon.

Gambar 8. Hasil deteksi otomatis poligon pohon kelapa sawit

Analisis dari hasil pendeteksian pohon tersebut yakni:

Parameter pendeteksian pohon harus tepat dan sesuai dengan sebaran tinggi

pohon pada area tersebut.

Pemodelan sampel bentuk individu pohon harus mewakili sebaran pohon

pada area tersebut. Apabila terlalu lebar, maka sedikit sekali pohon yang

akan terdeteksi. Bentuk harus disesuaikan dengan hasil point cloud yang

membentuk satu pohon.

4.3 Analisis Hasil Proses Validasi Pendeteksian Pohon

Hasil validasi menunjukkan terdapat 93 pohon yang terdeteksi pada total 100

pohon hasil digitasi manual di area yang sama. Terdapat 7 pohon yang

seharusnya terdeteksi namun tidak berhasil terdeteksi. Standar deviasi untuk

Page 169: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 161

tinggi sebesar 0,150 meter dan standar deviasi untuk lebar kanopi sebesar

0,790 meter.

Dari keseluruhan data hasil validasi terdapat selisih lebar kanopi yang terbesar

dan terkecil sebesar 2,299 meter dan -5,1E-06 meter. Perbedaan lebar kanopi

tersebut disebabkan karena tegakan pohon yang terlalu rapat membuat proses

delineasi menjadi kurang tepat karena kanopi antar pohon saling tumpang tindih.

Kemudian karena proses validasi menggunakan orthophoto maka terdapat efek

distorsi kamera pada foto yang letaknya jauh dari pusat eksposur kamera.

Semakin menjauhi pusat eksposur maka semakin besar distorsi kamera yang

terjadi pada orthophoto. Validasi lainnya yang dilakukan yakni analisis jumlah

pohon pada 3 sample tile yang diasumsikan rapat sekali, cukup rapat (renggang)

dan renggang serta terdapat lahan kosong.

Tile 3 diasumsikan memiliki sebaran pohon kelapa sawit yang cenderung

rapat sekali. Hasil uji validasi:

Hasil deteksi otomatis: 130 pohon

Hasil deteksi manual: 134 pohon

Perbedaan jumlah pohon: 4 pohon.

Persentase kesalahan: 2,99 %

Gambar 9. Tile 3 (rapat sekali)

Tile 14 diasumsikan memiliki sebaran pohon kelapa sawit yang cenderung cukup

rapat dan juga memiliki jarak spasi antar pohon (renggang). Hasil uji validasi:

Hasil deteksi otomatis: 118 pohon

Hasil deteksi manual: 117 pohon

Perbedaan jumlah pohon: 1 pohon.

Persentase kesalahan: 0,86 %.

Page 170: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

162 Priske Kandia, dkk.

Gambar 10. Tile 14 cukup rapat & memiliki spasi

Tile 16 diasumsikan memiliki sebaran pohon yang renggang juga terdapat lahan

kosong. Hasil uji validasi:

Hasil deteksi otomatis: 103 pohon

Hasil deteksi manual: 108 pohon

Perbedaan jumlah pohon: 5 pohon.

Persentase kesalahan: 4,63 %.

Gambar 11. Tile 16 (renggang dan ada lahan kosong)

Selain itu sebaran point clouds yang merata pada area penelitian akan

mempengaruhi hasil pendeteksian pohon. Semakin rapat point clouds maka

semakin baik hasil delineasi pohon yang dihasilkan.

Page 171: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 163

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini ialah:

1. Penentuan model bentuk dan parameter untuk mengestimasi jumlah kelapa

sawit dalam penelitian ini dapat digunakan untuk estimasi jumlah kelapa

sawit dengan akurasi yang cukup baik yakni 93 % untuk area seluas 20

hektar. Dengan standar deviasi untuk tinggi sebesar 0,150 meter dan standar

deviasi untuk lebar kanopi sebesar 0,790 meter. Referensi menyatakan bahwa

perbedaan hasil perhitungan pohon secara manual (survei lapangan) dan

otomatis (hasil digitasi citra) pada perkebunan tidak boleh melebihi 2 %

dari total jumlah area yang sangat luas.

2. Ketelitian output produk LiDAR (DTM, DSM dan CHM) sangat bergantung

pada proses pengklasifikasian titik point cloud ke dalam kelasnya. Kesalahan

pengklasifikasian titik (point labeling error) dipengaruhi oleh beberapa

faktor di antaranya ialah:

Parameter klasifikasi pada metode automatic classification. Semakin tepat

parameter klasifikasi yang digunakan yakni semakin sesuai dengan

sebaran area point cloud pada terrain area maka hasil statistik dari

klasifikasi point akan semakin baik dan tepat.

Uji statistik trial & error,

Dengan melakukan uji statistik trial and error maka beberapa parameter

akan diuji dan dilihat mana yang member

ikan hasil yang terbaik.

Inspeksi manual pada metode semi automatic classification

Apabila tahap klasifikasi point cloud tersebut telah dilakukan dengan baik

maka hasil generate DTM dan DSM nya pun akan lebih baik. Sehingga akan

menghasilkan CHM yang lebih baik pula.

5.2 Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya ialah:

1. Metode penelitian ini akan dapat memberikan hasil yang lebih baik lagi

apabila kelapa sawit yang diteliti masih berumur muda yakni 3-5 tahun.

Karena kanopi antar pohon belum terlalu rapat (tumpang tindih). Sehingga

hasilnya akan memberikan keakuratan yang lebih teliti lagi karena pelapah

pohon masih pendek dan belum merambah ke pepohonan lain.

2. Selain itu, menurut referensi jumlah point density yang ideal untuk studi

penelitian atau aplikasi data LiDAR pada bidang kehutanan dan perkebunan

ialah 4-10 points/sqm. (Cormarty, 2012). Sedangkan kerapatan point cloud

dari data yang digunakan dalam peneltian ini sebanyak 2-3 points/sqm, hal

ini menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan data LiDAR tersebut

Page 172: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

164 Priske Kandia, dkk.

khususnya dalam bidang perkebunan. Karena rimbunnya dedaunan dari

pepohonan pada kawasan kehutanan dan perkebunan menyebabkan pulsa

laser tidak dapat meng-cover elevasi ground dengan sempurna apabila

kerapatan titiknya hanya sebanyak 2-3 points/sqm.

DAFTAR REFERENSI

Abidin, H. Z. (2001). Geodesi Satelit. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Aldred A. dan Bonner M. 1985. Application of Airborne Lasers to Forest Surveys.

Canada: Canadian Forestry Service, Petawawa National Forestry Centre, Information

Report.

Alif, Teguh Fayakun. (2010). Airborne LIDAR Bathymetry. Bogor : Bakosurtanal.

Barbara, K., Ursula, Heyder, H., & Weinacker. (2006). Detection of Individual Tree

Crowns in Airborne Lidar Data.American Society for Photogrammetry and Remote

Sensing.

BC-CARMS. (2006) LiDAR – Overview of Technology Applications . Victoria, BC.

Burtch, Robert. (2001) Lidar Principles and Applications. Big Rapids.

Esri. 2010. Lidar Analysis in ArcGIS 9.3.1 for Forestry Applications. New York, USA :

Esri.

Kelley, Beth. (2010) Lidar monitors environmental changes [Online] // SPIE.

http://spie.org/x41688.xml.

Lohani, Bharat. 1996. Airborne Altimetric LIDAR: Principle, Data Coleection,

Processing. India : Departement of Civil Engineering.

Meng, X., Currit, N., & Zhao, K. (2010). Ground Filtering Algorithms for Airborne

LiDAR Data: A Review of Critical Issues. San Marcos, USA.

M.Z.A., Rahman & Gorte, B. Individual tree detection based on densities of high points

of high resolution airborne lidar. the Netherland : Delft University of Technology,

2629 HS.

Tittmann, P., Shafii, S., & Hartsough, B. Tree detection and delineation from LiDAR

point clouds using RANSAC. Young, James. (2008) LiDAR Trends and Development.

Colorado.

Yayusman, Lissa Fajri. (2011). Pengukuran Parameter Struktural Hutan menggunakan

Data Light Detection and Ranging. Tugas Akhir. Bandung: Teknik Geodesi dan

Geomatika. Institut Teknologi Bandung

Page 173: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 165

BIOGRAFI PENULIS

Priske Kandia

Priske Kandia dilahirkan di Bandung pada 30 September

1991. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 3 Bandung

dan kemudian memperoleh gelar Sarjana Teknik dari

Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung.

Saat ini Priske aktif bekerja sebagai salah satu data

processor di Asean Geos Sdn Bhd, Kuala Lumpur.

Agung Budi Harto

Agung Budi Harto dilahirkan pada tanggal 22 Agustus 1967

di Malang. Memperoleh gelar Insinyur dari Teknik Geodesi

pada tahun 1991. Kemudian melanjutkan program Master

dan Doktor di Chiba University pada bidang Geoscience.

Semenjak tahun 1995 hingga saat ini aktif mengajar di

Teknik Geodesi dan Geomatika ITB. Berbagai hasil karya

penelitian pun telah banyak dipublikasikan khususnya

terkait dengan bidang penginderaan jauh hidrologi,

fotogrametri, dan Sains Informasi Geografis. Hingga saat

ini Agung Budi Harto juga aktif dalam berbagai organisasi yang berkaitan

dengan bidang penelitian tersebut, di antaranya Ikatan Surveyor Indonesia,

Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia serta Pusat Penginderaan Jauh ITB.

Ketut Wikantika

Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17

Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK

hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali

pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada

tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah

menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi.

Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master

of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang

dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar

Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh

dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif

mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB,

Page 174: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

166 Priske Kandia, dkk.

dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB.

Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB

dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah

di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional

maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan

dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga

aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi

Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor

Indonesia.

Page 175: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

167

Perhitungan Biomassa dengan Metode

Polarimetrik SAR Menggunakan Citra Alos

Palsar

Rohullah Ragajaya, Firman Hadi, Ketut Wikantika

Page 176: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

168 Rohullah Ragajaya, dkk.

Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR

Menggunakan Citra Alos Palsar

Rohullah Ragajaya

1, Firman Hadi

2, Ketut Wikantika

3

1,3Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Teknologi Bandung. 1,2,3

Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi

Bandung

Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.

Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702

Email: [email protected]

Abstrak

Mengingat pentingnya perhitungan jumlah biomassa pada suatu hutan untuk

menganalisis perubahan iklim serta kelestarian alam, maka diharapkan ada

metode perhitungan jumlah biomassa secara cepat, hemat, efektif dan efisien baik

tenaga, biaya, dan waktu. Mengetahui jumlah biomassa pada hutan juga bisa

digunakan sebagai referensi untuk mengambil kebijakan-kebijakan terkait

dengan isu-isu tentang global warming dan climate change. Dalam realisasinya,

sebenarnya ada banyak metode yang digunakan untuk menghitung dan

mengestimasi jumlah biomassa, namun dalam metode-metode tersebut ada

beberapa kelebihan dan kekurangan. Metode perhitungan biomassa yang biasa

digunakan adalah metode secara perhitungan langsung ke lapangan (in situ),

namun metode perhitungan biomassa seperti ini memiliki banyak kekurangan,

diantaranya yaitu memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang sangat lama

apabila perhitungan biomassa tersebut dilakukan dihutan yang sangat luas. Oleh

karena itu diperlukan metode perhitungan biomassa lain yang bisa dilakukan

untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut. Metode yang akan digunakan

tersebut adalah metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan satelit Radar

yang saat ini teknologinya sedang mengalami perkembangan yang pesat. Untuk

melakukan perhitungan biomassa dengan menggunakan metode ini, diperlukan

data polarimetrik SAR (Synthetic Aperture Radar). Hasil dalam penelitian ini

menunjukkan bahawa metode perhitungan biomassa dengan menggunakan

metode polarimetrik SAR ini dapat mengesetimasi jumlah biomassa pada hutan,

perkebunan, dan daerah tutupan lahan lainnya.

Kata Kunci : Penginderaan Jauh, Biomassa, Polarimetrik SAR

Abstract

Given the importance of the calculation of the amount of biomass on the forest

for analyzing climate change and environmental sustainability, it is expected that

no method of calculation of the amount of biomass in a timely, efficient, effective

Page 177: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 169

and efficient good effort, cost, and time. Knowing the amount of forest biomass

can also be used as a reference for taking policies related to issues of global

warming and climate change. In fact there are many methods used to calculate

and estimate the amount of biomass, but in these methods there are some

advantages and disadvantages. Biomass calculation method is commonly used

the method of direct calculation on the field (in situ), but the method of

calculation of biomass as it has many disadvantages, among which were

expensive and a very long time if the calculation is done the forest biomass is a

very broad. Therefore we need another method of calculation of biomass that can

be done to cover the shortfall. The method to be used is a method of remote

sensing using satellite radar technology that is currently undergoing rapid

development. To doing these calculation of biomass by using this method,

polarimetric SAR (Synthetic Aperture Radar) data are needed. The results in this

study shows that the method of calculation of the biomass by using polarimetric

SAR can estimate amount of biomass in forests, plantations and other land cover

areas.

Keywords : Remote sensing, Biomass, Polarimetric SAR

1. PENDAHULUAN

Isu tentang pemanasan global akhir-akhir ini sedang banyak diperbincangkan di

dunia. Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya suhu rata-rata permukaan

muka bumi yang disebabkan oleh semakin banyaknya gas-gas rumah kaca yang

dihasilkan secara alami dan dari aktivitas manusia. Salah satu di antara gas-gas

rumah kaca tersebut adalah karbondioksida. Dengan meningkatnya perindustrian

dan transportasi mengakibatkan meningkatnya pula penggunaan bahan bakar

fosil sehingga kadar karbondioksida di atmosfer semakin bertambah. Untuk

mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer salah satu caranya adalah dengan

mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi

pohon dihutan. Hal ini dikarenakan pepohonan dapat menyimpan karbon di

dalam tubuhnya melalui berbagai proses pada tumbuhan, salah satunya adalah

proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis tersebut, karbondioksida disimpan

sebagai materi organik dalam biomassa tumbuhan. Perhitungan biomassa

merupakan salah satu proses penting yang harus dilakukan untuk mengamati dan

mempelajari adanya perubahan iklim akibat meningkatnya jumlah

karbondioksida.

Perhitungan biomassa ini bisa dilakukan secara konvensional dengan pengukuran

lapangan, namun metode konvensional ini memiliki banyak kekurangan, di

antaranya yaitu area pengukuran yang sangat luas sehingga membutuhkan biaya,

waktu, dan tenaga yang cukup besar sehingga kurang efektif dan efisien. Salah

satu metode yang efektif dan efisien yang bisa digunakan adalah dengan

menggunakan teknologi penginderaan jauh. Dan yang akan dibahas pada

makalah ini adalah perhitungan atau estimasi biomassa dengan menggunakan

Page 178: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

170 Rohullah Ragajaya, dkk.

teknologi penginderaan jauh dengan memanfaatkan citra radar dari satelit ALOS

PALSAR.

2. WILAYAH STUDI

Penelitian ini dilakukan di daerah kabupaten Subang di bagian utara Provinsi

Jawa Barat yang mempunyai letak geografis pada posisi 6° 12’ 41” LS - 6° 48’

21” LS dan 107° 31’ 51” BT - 107° 55’ 16” BT. Kabupaten Subang ini

mempunyai batas-batas wilayah yaitu disebelah utara berbatasan dengan Laut

Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Bandung, sebelah Timur

berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Indramayu, dan di

sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten

Karawang. Luas wilayah Kabupaten Subang sekitar 205176 ha. Namun, karena

data citra satelit hanya mencakup sebagian dari wilayah Kabupaten Subang,

maka luas area penelitian ini sebesar 188035,02 ha.

Gambar 1. Daerah Penelitian, Kabupaten Subang, Jawa Barat

(Sumber: http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id)

Secara umum wilayah Kabupaten Subang memiliki iklim tropis dengan curah

hujan rata-rata per tahun 2352 mm. Dengan iklim yang demikian serta ditunjang

oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai, menjadikan sebagian

besar tanah di Kabupaten Subang digunakan untuk hutan, pertanian, perkebunan,

dan tambak. Secara umum wilayah kabupaten Subang terbagi menjadi tiga

bagian wilayah, yaitu wilayah selatan, wilayah tengah, dan wilayah utara.

Sebagian besar wilayah kabupaten Subang bagian selatan berupa daerah

Page 179: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 171

perkebunan, hutan, dan lokasi pariwisata. Pada bagian tengah wilayah kabupaten

Subang ini berkembang perkebunan karet, tebu dan buah-buahan dibidang

pertanian dan pabrik-pabrik dibidang industri, selain perumahan dan pusat

pemerintahan serta instalasi militer. Kemudian pada bagian utara wilayah

kabupaten Subang berupa sawah berpengairan teknis dan tambak serta pantai.

3. DATA YANG DIGUNAKAN

Pada penelitian ini digunakan data sebagai berikut :

Citra ALOS-PALSAR yang dicitrakan pada tanggal 25 Maret 2007, dengan

jumlah piksel row 18432 dan column 1248 yang mempunyai resolusi 21

meter. Citra ini adalah citra yang diambil di sekitar kabupaten Subang, Jawa

Barat.

Peta DEM (Digital Elevation Model) yang didapatkan dari SRTM, yang

mengacu pada datum geodetik WGS 1984 dengan sistem proyeksi UTM

(Universal Transverse Mercator) zona 48 bumi bagian selatan. Resolusi

pada peta DEM ini adalah 90 meter.

4. METODE

Data citra ALOS PALSAR yang dipakai adalah citra dengan mode PLR

(Polarimetric) yang bersifat quad-polarization. Data citra ini masih bersifat SLC

(Single Look Complex) sehingga harus dilakukan beberapa pra-pengolahan citra.

4.1 Proses Multilook dan Filtering

Proses multilook ini berfungsi untuk mengubah data citra yang masih bersifat

SLC (Single Look Complex) menjadi data citra yang sudah ter-multilook. Citra

radar SLC (Single Look Complex) masih terlihat “strecth”, oleh karena itu

melalui proses multilook inilah citra tersebut di extract dan di”mampatkan”

sehingga nampak terlihat lebih “padat”.

Setelah dilakukan proses multilook pada citra radar, langkah selanjutnya adalah

melakukan proses filtering. Proses filtering ini dilakukan untuk mengurangi

secara signifikan kesalahan-kesalahan yang terjadi akibat gangguan pada saat

pengambilan citra, gangguan-gangguan ini dapat mempengaruhi kenampakan

pada citra sebagai piksel-piksel yang terang atau gelap. Secara fisik hal ini dapat

dilihat pada citra yaitu kenampakan adanya titik-titik buram atau titik-titik putih

terang. Titik-titik buram atau titik-titik putih terang pada piksel tersebut dikenal

sebagai speckle noise

Page 180: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

172 Rohullah Ragajaya, dkk.

Gambar 2. Citra Radar yang sudah

multilook

Gambar 3. Citra Radar yang sudah

dilakukan proses filtering

4.2 Geocoding

Proses geocoding adalah proses untuk menghubungkan data yang belum

mempunyai sistem koordinat dengan data yang sudah mempunyai sistem

koordinat (misalnya sistem koordinat geografis) atau secara lebih sederhananya

adalah proses penentuan proyeksi peta dan datumnya. Sebagai data yang belum

mempunyai sistem koordinat di sini adalah citra radar ALOS PALSAR, karena

data ini hanya mempunyai ukuran-ukuran piksel saja. Sedangkan data yang

digunakan untuk proses geocoding dan yang sudah mempunyai sistem koordinat,

digunakan data DEM (Digital Elevation Model). Data DEM ini menggunakan

sistem proyeksi UTM dengan datum WGS ’84.

Page 181: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 173

Gambar 4. Hasil proses geocoding pada citra radar

Metode resampling yang digunakan untuk melakukan proses geocoding adalah

nearest neighbor. Metode resampling adalah teknik atau model matematik yang

digunakan untuk membuat versi baru dari gambar atau image dengan lebar

dan/atau tinggi yang berbeda. Metode resampling nearest neighbor adalah

metode resampling yang paling sederhana, metode ini hanya menghitung nilai

piksel yang baru sebagai nilai dari piksel yang terdekat pada gambar asli (Sachs,

2001). Keuntungan dalam penerapan metode nearest neighbor adalah nilai

kecerahan pada masing-masing piksel yang terdapat pada citra output/ keluaran

akan sama pada citra aslinya, karena metode ini tidak membuat nilai intensitas

yang baru yang dapat mengubah informasi yang ada pada citra input/ masukan,

sehingga informasi yang terdapat pada citra masukan dan keluaran akan tetap

sama (Novresiandi, 2011).

4.3 Polarimetric Decomposition

Hamburan balik radar ini banyak dipengaruhi oleh karakteristik permukaan,

misalnya permukaan pada objek pada permukaan bumi. Selanjutnya menurut

Freeman dan Durlen (1998), terdapat tiga mekanisme scattering dasar yaitu

surface scattering (single bounce), double bounce scattering, volume (canopy)

scattering. Untuk mendapatkan citra radar sesuai dengan karakteristik scattering

dasar tadi, dilakukan proses polarimetric decomposition. Dalam kaitannya untuk

melakukan perhitungan atau estimasi biomassa, diperlukan dua jenis mekanisme

scattering dasar yaitu surface scattering (single bounce) dan volume (canopy)

scattering.

Page 182: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

174 Rohullah Ragajaya, dkk.

A

B Gambar 5. (A) Citra dengan mekanisme surface scattering dan (B) Citra dengan

mekanisme volume (canopy) scattering

4.4 Menghitung nilai µ

Menurut Shane R. Cloude nilai µ adalah nilai rasio dari surface scattering dan

volume (canopy) scattering. Untuk mendapatkan nilai µ ini adalah dengan

melakukan perhitungan bandmath menggunakan software ENVI 4.8 pada citra

surface scattering dan citra volume (canopy) scattering. Nilai piksel pada kedua

citra tersebut kita rasiokan sehingga menghasilkan satu citra radar baru. Dalam

kaitannya dengan penelitian tugas akhir ini citra tersebut diberi nama citra µ.

Citra µ yang didapatkan bisa dilihat pada gambar 6 sebagai berikut :

Page 183: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 175

Gambar 6. Visualisasi hasil citra µ

Nilai µ yang didapatkan dari citra yang akan diolah mempunyai rentang nilai

Digital Number (DN) dari 0 sampai dengan 186,3347. Apabila rona pada citra µ

semakin gelap maka nilai DN µ-nya mendekati nilai 0, sedangkan apabila rona

pada citra µ semakin terang maka nilai DN µ-nya akan semakin besar. Warna

yang semakin gelap pada citra µ menunjukkan banyak terdapat vegetasi pada

daerah tersebut, sedangkan warna yang semakin terang pada citra µ menunjukkan

jarang atau tidak terdapat vegetasi pada daerah tersebut.

4.5 Pengklasifikasian landcover pada citra µ

Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengklasifikasian pada beberapa landcover

yaitu daerah hutan, daerah perkebunan, daerah pemukiman, dan daerah perairan.

Tujuan pemilihan beberapa landcover tersebut agar bisa dilakukan perbandingan

hasil perhitungan jumlah biomassa pada area yang banyak terdapat vegetasi

(hutan), area yang cukup banyak terdapat vegetasi (perkebunan), dan area yang

jarang/ tidak ada vegetasi (pemukiman/ perairan). untuk mengetahui atau

mengklasifikasi landcover misalnya daerah hutan atau daerah perkebunan pada

citra radar tidak bisa dilakukan secara langsung visual. Dengan

mempertimbangkan hal tersebut maka digunakanlah citra/ image dari Google

Earth untuk mengklasifikasi. Citra dari Google Earth bisa memberikan citra

visual yang lebih jelas dibandingkan dengan citra dari radar. Berikut adalah

tampilan citra wilayah kabupaten Subang pada Google Earth :

Page 184: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

176 Rohullah Ragajaya, dkk.

Gambar 7. Citra wilayah kabupaten Subang dari Google Earth

Tampak pada gambar di atas citra Google Earth, secara visual lebih jelas dan

lebih terlihat asli pada objek yang ada di permukaan bumi. Pada Google Earth

tersebut, satelit yang digunakan adalah satelit GeoEye yang diambil tahun 2012.

Apabila dilakukan zoom akan lebih nampak jelas landcover pada wilayah

tersebut. Pada Gambar 8 dapat dilihat tampilan contoh gambar landcover hutan,

perkebunan, dan pemukiman yang telah dilakukan zooming.

Apabila sudah dilakukan klasifikasi berdasarkan landcover, maka langkah

berikutnya adalah mencari nilai koordinat pada citra Google Earth. Dalam

pencarian nilai koordinat tersebut, pada penelitian ini diambil nilai koordinat

tengah dalam plot area landcover yang sudah dibuat. Selanjutnya dengan nilai

koordinat yang sudah didapat dari citra Google Earth, nilai koordinat ini

digunakan untuk mencari daerah landcover hutan, perkebunan, pemukiman, dan

perairan pada citra radar.

Page 185: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 177

A

B

C

Gambar 8. (A) Daerah hutan; (B) daerah perkebunan; (C) daerah pemukiman

Dari masing-masing landcover yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, dan

perairan dibuat enam plot area di mana dalam masing-masing plot area dibagi

lagi menjadi tiga ROI (Region of Interest). Pada Gambar 8 menunjukkan

pengambilan plot area pada daerah hutan yang berjumlah enam plot area. Pada

masing-masing plot area tersebut dibuat tiga ROI, dimana dalam satu ROI

memliki ukuran 3x3 piksel. Pada masing-masing ROI inilah dihitung nilai DN µ-

nya yang kemudian dihitung jumlah biomassanya dengan menggunakan WCM

(Water Cloud Model).

Page 186: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

178 Rohullah Ragajaya, dkk.

4.6 Perhitungan Biomassa

Untuk melakukan perhitungan biomassa, digunakan suatu model perhitungan

yang disebut sebagai WCM (Water Cloud Model). Melalui penurunan hitungan

secara matematis yang mengacu pada model tersebut oleh Shane R. Cloude,

didapatkan persamaan matematis untuk menghitung stem volume, yaitu :

(

) (1)

Keterangan :

V = stem volume

β = konstanta two-way transmissivity (0,004)

R = perbandingan koefisien backscatter (0,5)

µ = nilai rasio dari surface scattering dan volume (canopy) scattering

Setelah didapatkan nilai V (stem volume) maka nilai ini kemudian dikonversi

menjadi nilai biomassa. Menurut Askne J. dan M. Santoro, et al (2003) e.g. for

Boreal Forest, hubungan biomassa dan stem volume adalah sebagai berikut :

Biomassa = 60% x stem volume (2)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perhitungan biomassa dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung

biomassa pada beberapa landcover area yaitu landcover hutan, perkebunan,

pemukiman, dan perairan. Dengan demikian bisa dilakukan perbandingan jumlah

biomassa antara jumlah biomassa di daerah yang mempunyai banyak vegetasi/

tumbuhan dan biomassa di daerah yang mempunyai sejumlah kecil vegetasi/

tumbuhan. Proses pengambilan sampel biomassa dilakukan pada masing-masing

area yaitu area hutan, perekebunan, pemukiman, serta perairan. Dalam setiap area

diambil enam sampel lagi dan tiap sampel area dibagi menjadi tiga ROI (Region

of Interest).

Setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan biomassa didapatkan hasil

yaitu pada area hutan primer jumlah total biomassanya sebesar 2815,33 ton,

dengan nilai µ rata-rata adalah 0,0545565.

Pada area hutan jarang jumlah total biomassanya sebesar 563,21 ton dengan nilai

µ rata-rata sebesar 0,846707778. Pada area perkebunan jumlah total biomassanya

sebesar 316,96 ton, dengan nilai µ rata-rata adalah 1,6796577. Pada area

pemukiman jumlah total biomassa yang didapatkan adalah sebesar 68,8 ton,

dengan nilai µ rata-rata adalah 8,340408944, sedangkan pada area perairan

jumlah total biomassanya adalah sebesar 21,65 ton dengan nilai µ rata-rata

adalah 26,91395028.

Page 187: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 179

Dari hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa jumlah total biomassa pada

area hutan primer memiliki jumlah total biomassa yang paling besar, sedangkan

jumlah total biomassa yang paling kecil adalah pada area pemukiman dan

perairan. Hal ini terjadi karena pada area pemukiman/ perairan tidak banyak

terdapat vegetasi/ tumbuhan yang mengandung biomassa. Selain itu, dalam

pengolahan data yang sudah dilakukan, hasil dari nilai µ berbeda cukup

signifikan antar landcover. Nilai rata-rata µ pada area hutan memiliki nilai rata-

rata yang paling rendah dibandingkan nilai rata-rata µ pada landcover

pemukiman dan landcover perairan. Perairan memiliki jumlah total biomassa

yang paling kecil, tetapi area perairan memiliki nilai rata-rata µ yang paling besar.

Semakin kecil nilai µ maka jumlah biomassanya akan semakin besar, sebaliknya

semakin besar nilai µ maka jumlah biomassanya akan semakin kecil.

Gambar 9. Grafik perbandingan nilai µ dan jumlah biomassa

6. Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa didapatkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Jumlah biomassa untuk daerah landcover hutan sebesar 2815,33 ton, untuk

daerah landcover perkebunan sebesar 316,96 ton, untuk daerah landcover

pemukiman sebesar 68,80 ton, dan untuk daerah landcover perairan sebesar

21,65 ton.

2. Selain dengan menggunakan sistem penginderaan jauh pasif, perhitungan

biomassa juga dapat dilakukan dengan sistem penginderaan jauh aktif (Radar).

3. Perhitungan biomassa dengan teknologi penginderaan jauh bisa dilakukan

dengan cepat tanpa harus datang langsung ke lapangan (in situ).

4. Perhitungan biomassa dapat dilakukan dengan menggunakan citra ALOS

PALSAR dengan mode PLR (polarimetric).

Page 188: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

180 Rohullah Ragajaya, dkk.

5. Metode POLSAR (Polarimetric Synthetic Apperture Radar) bisa digunakan

untuk melakukan perhitungan biomassa.

6. Jumlah nilai biomassa dapat didapatkan dengan menggunakan persamaan

matematis yang mengacu pada WCM (Water Cloud Model).

7. Nilai µ dan nilai biomassa berbanding terbalik. Semakin tinggi nilai µ jumlah

biomassa akan semakin kecil, sebaliknya semakin kecil nilai µ jumlah

biomassa akan semakin besar.

8. Hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding

untuk perhitungan biomassa dengan menggunakan metode atau cara-cara

yang lain.

DAFTAR REFERENSI

Askne Jan, et al. 2003. Multitemporal Repeat-Pass SAR Interferometry of Boreal Forests.

IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, vol.41, No.7.

Cloude, Shane.R. 2011. Biomass from Radar: From Backscatter to POLInSAR. AEL

Consultants. Scotland, UK.

Dandun Sutaryo. 2009. Perhitungan Biomassa. Bogor: Wetlands International Indonesia

Programme.

Freeman and Durden. 1998. A three-component scattering model for polarimetric SAR

data. IEEE Transactions Geoscience and Remote Sensing, vol.36, no.3.

Kumar, Shashi. 2009. Retrieval of Forest parameters from Envisat ASAR data for

biomass inventory in Dudhwa National Park, U.P., India. Thesis. International

Institute for geo-information Science and Earth Observation Enschede, The

Netherlands& Indian Institute of Remote Sensing.

Katmoko Ari, dkk. 2005. Klasifikasi Data Polarimetrik Radar Dengan Menggunakan

Metode Dekomposisi Cloude&Pottier. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan

Teknologi Penginderaan Jauh-LAPAN.

I. Hajnsek, E. Pottier, S.R. Cloude. 2003. Inversion of Surface Parameters From

Polarimetric SAR. IEEE Transactions on Geoscience And Remote Sensing. Vol.41,

No.4.

Jing-Yun fang, et al. 1998. Forest Biomass of China: An Estimate Based on the Biomass-

Volume Relationship. Ecological Applications, vol.8, issue 4.

Muukkonen,P. 2005. Estimating biomass for Boreal Forest using ASTER satellite data

combined with standwise forest inventory data. Remote Sensing of Environment.

Novresiandi, Dandy Aditya. 2011. Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di

Cekungan Bandung. Tugas Akhir. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

POLSARPRO v.4.0 Tutorial software. European Space Agency.

Rignot, Eric. 1998. Effect of Faraday Rotation on L-Band Interferometry and

Polarimetric Synthetic-Aperture Radar Data. Jet Propulsion Laboratory, California

Institute of Technology.

Riska, Ahsana. 2011. Pendugaan Biomassa Atas Permukaan Pada tegakan Pinus

Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m. Skripsi.

Bogor: Intitut Pertanian Bogor.

Page 189: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 181

Sandra Brown, Andrew J. R. Gillespie, Ariel E. Lugo. 1989. Biomass Estimation

Methods for Tropical Forests with Application to Forest Inventory Data. Forest

Science, vol.35, no.4.

Syarif, Risa D. 2011. Penyusunan Model Pendugaan dan Pemetaan Biomassa

Permukaan pada Tegakan Jati Menggunkan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m

dan 12,5 m. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

T. Mette, K.P. Papathanassiou, R. Zimmermann. Forest Biomass Estimation using

Polarimetrik SAR Interferometry. Germany: Institute for Radio Frecuency

Technology and Radar System.

T. Svoray, M. Shoshany. 2002. SAR-based estimation of areal aboveground biomass

(AAB) of herbaceous vegetation in the semi-arid zone: a modifiaction of the water-

cloud model. International Journal of Remote Sensing. Vol.23, No.19, 4089-4100.

BIOGRAFI PENULIS

Rohullah Ragajaya

Rohullah Ragajaaya dilahirkan pada tanggal 19 September

1989 di Kediri, Jawa Timur. Sekarang sudah menyelesaikam

kuliah dari ITB di jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika,

dan menunggu untuk wisuda bulan Oktober 2012 nanti. Saat

ini masih aktif membantu penelitian di Pusat Penginderaan

Jauh (Center for Remote Sensing) pada program studi

Teknik Geodesi dan Geomatika ITB.

Firman Hadi

Fiman Hadi dilahirkan di Bogor pada 21 Desember 1975. Memperoleh gelar

doktor dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung.

Beliau memperoleh gelar Sarjana di bidang biologi spesialisasi ekologi di

Universitas Padjajaran. Saat ini beliau aktif sebagi trainer pelatihan software

open source yang berhubungan dengan penginderaan jauh misalnya Radar.

Beliau juga masih aktif sebagai peneliti di bidang Environmental Remote Sensing

di Pusat Penginderaan Jauh (Center for Remote Sensing), Institut Teknologi

Bandung.

Page 190: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

182 Rohullah Ragajaya, dkk.

Ketut Wikantika

Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17

Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK

hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali

pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada

tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah

menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi.

Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master

of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang

dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar

Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh

dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif

mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB,

dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB.

Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB

dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah

di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional

maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan

dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga

aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi

Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor

Indonesia.

Page 191: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

183

Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi

untuk Pendugaan Stok Karbon

Muhammad Ilham, Firman Hadi, Ketut Wikantika

Page 192: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

184 Muhammad Ilham, dkk.

Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok

Karbon

Muhammad Ilham

1, Firman Hadi

2, Ketut Wikantika

3

1,3Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Teknologi Bandung. 1,2,3

Pusat Penginderaan Jauh, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Insititut Teknologi

Bandung

Ganesha 10 (Gedung IXC, lt. 3) Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia.

Tel. : +62 22- 70686935; Fax.: +62 22- 2530702

Email: [email protected]

Abstrak

Dalam penelitian ini dilakukan pendugaan cadangan karbon dengan pendekatan

indeks vegetasi menggunakan Citra Satelit LANDSAT 5 TM yang mencakup

sebagian wilayah Jawa Barat, Indonesia. Citra satelit yang digunakan direkam

pada tangal 2 Juli 2005 dengan pengukuran data cadangan karbon yang

dilakukan dari bulan Juli 2008 – Agustus 2008. Cadangan karbon di dekati

dengan persamaan multiregresi persamaan linier dan exponential. Hasil

perhitungan dari persamaan linier berupa Y=102.135*WI-295.647*NDVI-23

dengan R-square adalah 0.78 dan hasil perhitungan persamaan exponential

berupa

Y = 0.192*( dengan nilai

korelasi (R2)-nya adalah 0.865. Hasil studi juga menunjukan bahwa dengan

mengkombinasikan beberapa variabel (multivariabel) indeks vegetasi dengan

persamaan linier, menghasilkan peningkatan nilai korelasi yang cukup signifikan

jika dibandingkan dengan pengestimasian cadangan cadangan karbon

menggunakan satu variabel indeks vegetasi.

Kata Kunci: Cadangan Karbon, Multiregresi, Indeks Vegetasi, LANDSAT 5

TM

Abstract

The research purpose is creating mathematical model to estimate the amount of

carbon stock. In this research, the estimation of carbon stock has been done with

regression method which involve vegetation index (as independent variable)

using LANDSAT 5 TM images as raw satellite data located in a part of West

Java, Indonesia. The satellite data was taken on July, 2, 2005 and the field data

of carbon stock (as sample) was collected on July 2008 – August 2008. The

amount of Carbon stock was approached by two methods of multiple regressions

which are linearly and exponentially.

Page 193: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 185

On linearly regression, the output is Y = 102.256(WI) -295.556(NDVI)-21.35

with R-square value of 0.78, and exponential regression, the output is Y = 0.192

* ( with R-square value of 0.82.

Study result, has shown that the combination of using more than one

independent variable (multiple regression) can create a better mathematic model

compared to just using only one independent variable (single regression). The

increasing R-square value, indicate this result.

Keywords: Carbon Stock, Multiple Regression, Vegetation Index, LANDSAT 5

TM

1. PENDAHULUAN

Dalam upaya menekan laju pemanasan Global, terdapat beberapa alternatif yang

bisa dilakukan. Salah satunya adalah mengoptimalkan fungsi ekosistem hutan

sebagai penyerap gas CO2.

Hutan berperan penting dalam menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya

dalam ekosistem hutan. Konversi lahan, deforestasi, degradasi hutan, dan

reforestasi dapat mengubah jenis penutupan lahan dan berkonskuensi mengubah

komposisi biomasa terestrial (Peichl dan Arain, 2007; Sierra et al., 2007).

Pendugaan cadangan karbon yang tersimpan pada suatu vegetasi, bisa dilakukan

melalui beberapa cara seperti pengukuran langsung di lapangan, dan metode

remote sensing. Walaupun pengukuran langsung di lapangan bisa memberikan

hasil yang lebih teliti, metode remote sensing dapat mencakup wilayah yang

lebih luas, dengan ketilitian yang cukup baik. Karena itu untuk keperluan praktis,

pendugaan cadangan karbon dengan metode remote sensing efektif dilakukan.

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model estimasi cadangan karbon

dengan pendekatan multiregresi indeks vegetasi dengan citra satelit LANDSAT 5

TM sebagai informasi awal bagi pemegang pengambil keputusan setempat

dalam kegiatan perdagangan karbon (carbon trading).

2. METODE PENELITIAN

Pendugaan cadangan karbon dilakukan dengan melakukan multiregresi antara

data stok karbon pengukuran lapangan dengan nilai index vegetasi yang didapat

dari pengukuran remote sensing. Terlebih dahulu dilakukan eliminasi nilai yang

dianggap sebagai outlier, dan berbagai koreksi pada data citra satelit. Kedua

proses tersebut bertujuan untuk mendapatkan hubungan index vegetasi dengan

cadangan karbon yang berkorelasi dengan baik.

Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 5 TM yang merupakan satelit

ke-5 dari program observasi bumi dari luar angkasa ( Earth Resources

Observation Satellites Program ) yang dilakukan NASA sejak tahun 1966.

Page 194: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

186 Muhammad Ilham, dkk.

Landsat 5 TM diluncurkan pada 1 Maret, 1984, dengan tujuan utama membuat

arsip dari penampakan muka bumi secara menyeluruh. Satelit ini memiliki 7

band dengan resolusi spasial 30 meter (kecuali Band 6 yang memiliki resolusi

spasial 120 m).

Gambar 1. Metode Penelitian

3. STOK KARBON PENGUKURAN LAPANGAN

Stok karbon didefinisikan sebagai jumlah karbon absolut yang tersimpan dalam

biomassa pada waktu tertentu (IPCC, 2003) Mengukur stok karbon meliputi stok

karbon di atas tanah (Aboveground biomass ) dan karbon tanah. Perhitungan stok

karbon pada penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh sehingga

hanya dapat memantau stok karbon di atas tanah.

Pada dasarnya cadangan karbon diestimasi dari besarnya biomasa suatu pohon,

yaitu sebesar 46% dari jumlah biomassa (Hairiah dan Rahayu, 2007). Biomassa

pohon diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik sebagai berikut

(Brown, 1997) :

B = 0,118 D 2,53

(1)

di mana :

B = Biomassa di atas tanah (kg)

D = diameter batang setinggi dada (π)

π = 3.14155927

Page 195: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 187

Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46% (Hairiah dan

Rahayu, 2007), oleh karena itu estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung

sebagai berikut:

Karbon tersimpan (C ton/ha) = Berat kering biomassa atau nekromassa (ton/ha) x 0,46

Dalam pendugaan cadangan karbon pada tegakan pohon, dibuat plot pengukuran

yang dibagi berdasarkan besarnya diameter pohon. Untuk pohon dengan diameter

> 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 20 x 100 m2 (disebut sebagai

plot besar), sementara untuk pohon dengan diameter 5 – 30 cm pengukuran

dilakukan pada plot berukuran 5 x 40 m2 yang terletak di dalam plot besar

(Gambar 2).

Gambar 2. Plotting Area (Sumber : Hairiah dan Rahayu , 2007)

Data cadangan karbon pengukuran lapangan diukur pada agustus 2008 oleh Pusat

Infrastruktur data Spasial (PIDS). Area penelitian dilakukan di beberapa provinsi

di Jawa Barat meliputi Ciwidey, Bandung, Sukabumi, and Banjaran seperti

ditunjukan pada gambar 3.

Gambar 3. Area Penelitian

Page 196: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

188 Muhammad Ilham, dkk.

Table 1. Nilai Sampel Stok Karbon

No Land Use Lokasi Cadangan Karbon

di Atas Tanah (ton)

1 Hutan Ciwidey 221.09

2 Hutan Sukabumi (Situ Gunung) 272.84

3 Hutan Sukabumi (Gunung Salak) 537.11

4 Sektor Pertambangan Bandung 0.61

5 Perkebunan Ciwidey 84.08

6 Perkebunan Sukabumi 15.69

7 Ladang Ciwidey 0.37

8 Ladang Ciwidey 0.83

9 Ladang Ciwidey 1.74

10 Padang Rumput Sukabumi 9.92

11 Padang Rumput Sukabumi 3

12 Permukiman Sukabumi 31.64

13 Perkebunan Ciwidey 364.05

14 Sawah Banjaran 6.28

15 Sawah Sukabumi 2.73

16 Semak Belukar Bandung 6.88

17 Semak Belukar Sukabumi 2.54

18 Tanah Kosong Banjaran 2.14

3.1 Reduksi Outlier

Outlier adalah data pengamatan dengan nilai yang berada jauh dari pengamatan-

pengamatan yang lainnnya. Secara umum outliers dapat dikelompokan ke dalam

4 penyebab,yaitu :

1. Kesalahan prosedur

2. Kejadian diluar kebiasaan dengan penjelasan

3. Kejadian diluar kebiasaan tanpa penjelasan

4. Tidak diluar kebiasaan tapi dengan kombinasi yang unik

Outlier di evaluasi dengan cara Labeling Rule. Metode Labeling rule membatasi

data dalam 2 rentang yaitu Upper dan Lower, yang ditentukan dengan

perhitungan sebagai berikut (Tukey, J. W., 1977):

Upper = Q3+( Q3 – Q1 )*g

Lower = Q1-( Q3 – Q1 )*g

Page 197: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 189

Dimana

Q1 = Percentile 75 dari data

Q3 = Percentile 25 dari data

g = 2.2

Gambar 4. Distribusi nilai sampel Stok Karbon

Dari persamaan (2), ditentukan batas Outlier berupa 264.348 ton. itu perlu

dilakukan eliminasi 3 data Outlier yaitu data stok karbon bernilai 272.84 ton,

537.11 ton, dan 364.05 ton.

3.2 Koreksi Geometrik

Kesalahan geometrik terjadi karena adanya kondisi tidak ideal pada sebuah

sensor ketika merekam objek dilapangan. Akibatnya ukuran, posisi dan bentuk

citra menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dibutuhkan

bantuan titik control tanah ( Ground Control Point ) sebagai titk sekutu (titik

yang diketaui koordinatnya pada sistem referensi yang juga teridentifikasi pada

citra) untuk melakukan proses transformasi koordinat pada citra Landsat 5 TM.

Proses transformasi ini akan menggunakan model transformasi affine-2D.

Transformasi Affline 2D digunakan sebagai persamaan matematika untuk

mentransformasikan nilai-nilai koordinat dari suatu sistem koordinat dua dimensi

ke sistem koordinat dua dimensi lainya. Pada penelitian ini digunakan datum

WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 bumi bagian selatan sebagai

sistem koordinat acuan.

Page 198: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

190 Muhammad Ilham, dkk.

Titik GCP yang digunakan sebanyak 11 titik yang tersebar di sekeliling area

penelitian. Objek yang digunakan sebagai titik GCP adalah perpotongan jalan

dan perpotongan sungai. Setelah itu dihitung penyimpangan koordinat titik hasil

transformasi dengan koordinat titik pada peta atau citra referensi yang

direpresentasikan dengan harga standar deviasi untuk mengetahui tingkat

kepresisian hasil plot data-data GCP pada citra.

Untuk validasi ketelitian dari koreksi geometrik yang kita lakukan, dibutuhkan

titik Independent Check Point (ICP) yang diletakan secara merata didalam

kawasan cakupan GCP pada citra yang dikoresi. Titik ICP yang digunakan

sebanyak 6 titik. Objek yang digunakan sebagai titik GCP dan ICP adalah

perpotongan jalan dan perpotongan sungai. Tingkat ketelitian dari ICP dapat

ditentukan dengan menghitung nilai RMSEICP-nya.

Persamaan untuk perhitungan nilai standar deviasi ditunjukan pad persamaan

berikut:

√∑ ̂

(4)

√∑ ̂

(5)

(6)

Dari hasil koreksi geometrik didapatkan ketelitian GCP berupa 0.47 dan ICP

berupa 0.5 dimana nilai – nilai standar deviasi GCP dan RMSEICP yang

dihitung memenuhi kriteria koreksi geometrik, dimana secara umum nilai-nilai

tersebut harus lebih kecil dari 1 pixel (Purwadhi & Santojo, 2008), sehingga citra

yang digunakan dianggap sudah mewakili kondisi geometris wilayah penelitian.

3.3 Koreksi Radiometrik

Pada saat gelombang elegtromagnetik dari sebuah sensor melintasi atmosfer,

dapat terjadi beberapa fenomena yang menyebabkan gangguan pada proses

perekaman citra seperti hamburan dan serapan (dimana fenomena ini

menyebabkan citra tampak lebih cerah karena efek hamburan, dan lebih gelap

karena efek serapan). Kondisi ini menyebabkan nilai yang terekam oleh citra

satelit, bukan merupakan nilai sebenarnya (Sri Hartanti. 1994).

Oleh karena perbedaan informasi itu, harus dilakukan suatu koreksi yakni dengan

mengubah nilai digital setiap piksel (DN) ke nilai reflektan untuk setiap piksel

pada citra satelit agar dapat dibaca dengan jelas dan di-interpretasikan sesuai

kegunaan citra yang dipakai (Gao, 2009).

Koreksi radiometrik merubah nilai DN ke nilai reflektansi berdasarkan

persamaan berikut:

Page 199: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 191

(7)

Dimana L adalah nilai radiansi setiap piksel dalam (W m-2

sr-1

m-1

), λ

adalah band spektral, DNMIN = 1, DNMAX = 255, LMIN dan LMAX

adalah nilai radiansi untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX. Dan DN

merupakan nilai digital untuk setiap piksel pada citra satelit. citra satelit. Nilai

radiansi diubah menjadi nilai reflektansi dengan persamaan berikut:

(8)

Dimana ρ adalah nilai reflektansi pada lapisan atas atmosfir untuk setiap piksel

pada citra, Lλ adalah nilai radiansi diperoleh dari persamaan 2.7, Esunλ adalah

konstanta radiansi exoatmosferik matahari, θs adalah sudut zenith matahari

dalam derajat, π sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit

astronomi (UA).

3.4 Eliminasi daerah Laut

Salah satu sumber error dari proses pengolahan citra satelit adalah adanya daerah

lautan pada citra. Hal ini menyebabkan eror dikarenakan nilai digital number

yang ada pada daerah yang di tutupi oleh laut menjadi sangat rendah, dimana

nilai digital number ini tidak dibutuhkan karena penelitian terfokus di daerah

daratan. Karena itu perlu dilakukan proses penghilangan daerah laut dengan cara

dijitasi daerah yang diliputi laut sehingga hanya menyisakan daerah daratan.

Gambar 5. Eliminasi daerah Laut; (a) Daerah laut di-ikutsertakan pada Landsat 5-TM

(b) Citra Landsat-5 TM tanpa daerah laut

a b

Page 200: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

192 Muhammad Ilham, dkk.

Eliminasi daerah laut juga diperlukan untuk kepentingan koreksi radiometrik

dimana pada proses tersebut, menggunakan informasi nilai DN pada

perhitunganya. Jika daerah laut diikutsertakan, menyebabkan adanya nilai DN

yang terlalu rendah sehingga hasil yang didapatkan tidak mencapai tingkat

akurasi yang baik.

3.5 Vegetation Index

Indeks Vegetasi merupakan proses pengolahan citra satelit dengan

mengkombinasikan dua atau lebih band spectral, sehingga mampu

menggambarkan kondisi vegetasi di wilayah tersebut.

Suatu Vegtasi dikatakan subur, jika mengandung clorophil (Zat hijau daun)

dalam jumlah besar sehingga aktif berfotosintesis atau dengan kata lain, aktif

menyerap karbon. Sebuah satelit remote sensing, bisa mendeteksi seberapa

optimal suatu tumbuhan menyerap karbon, dikarenakan adanya perbedaan

karakteristik suatu tumbuhan dalam menyerap dan memantulkan spectrum

gelombang tertentu (NIR dan RED) pada gelombang yang dipancarkan oleh

sensor satelit.

Ada 5 pendekatan index vegetasi yang digunakan dalam pendekatan perhitungan

cadangan karbon yaitu : Simple Ratio (SR), Normalized Difference Vegetation

Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), Modified Soil Adjusted

Vegetation Index 2 (MSAVI 2), Green Vegetation Index (GVI).

3.6 Water Band Index

Water Band Index adalah Index yang menggambarkan kadar air pada suatu

wilayah. Water Index digunakan dalam penelitian ini, untuk mengakomodasi

pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu tumbuhan terhadap citra yang

terekam. Jumlah air yang meningkat secara drastis menyerap gelombang NIR

dan MID Infrared yang mengakibatkan citra tampak lebih gelap (Environmental

Protection Agency). Water Index digunakan untuk mengakomodasi pengaruh

kadar air yang terdapat pada suatu vegetasi, terhadap citra yang terekam. Aspek

ini menjadi penting karena semakin tinggi kadar air pada suatu vegetasi,

mengindikasikan kondisi vegetasi yang lebih sehat (Penuelas, Serrano, & R.Save,

1995).

Digunakan 2 pendekatan water band index pada perhitungan cadangan karbon

yaitu : Water Index (WI), dan Normalized Difference Water Index (NDWI).

Page 201: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 193

Table 3 Persamaan Index Vegetasi

Vegetation

Index Persamaan Referensi

SR (Band 4/Band 3) Tucker, 1979

NDVI (Band 4-Band 3)/(Band 4+Band 3) Tucker, 1979

SAVI 1.5(Band 4-Band 3)/(Band 4+Band 3+0.5) Qi et al., 1994

Msavi-2 (2Band4+1-[(2Band3+1)2-8(Band4-Band3)]

0.5)/2 Qi et al., 1994

GVI

-(0.2848b1)-(0.2435b2)-(0.5436b3)+(0.7243b4)

+(0.0084b5)-(0.1800b7)

Kauth and

Thomas (1976)

WI (Band 4/Band 5) Serrano et all,

2000

NDWI (Band 4-Band 5)/(Band 4+Band 5) Serrano et all,

2000

a b

c d

Page 202: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

194 Muhammad Ilham, dkk.

Gambar 6 Visualisasi Indeks Vegetasi; (a) SR; (b) NDVI; (c) SAVI; (d) MSAVI-2; (e)

GVI; (f) WI; (g) NDWI

3.7 Multiregresi

Analisis regresi merupakan analisis yang mempelajari bagaimana membangun

sebuah model fungsional dari data untuk dapat menjelaskan ataupun meramalkan

suatu fenomena alami atas dasar fenomena yang lain (Soemartini, 2007).

Regresi digunakan untuk memodelkan hubungan antara variable terikat

(Dependent Variabel) dengan variabel bebas (Independent Variabel). Variabel

bebas (atau variabel tidak bergantung atau independent atau predictor atau X)

merupakan variabel yang berubah-ubah tanpa adanya pengaruh variabel atau

variabel-variabel yang lain.

Ada tujuh variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu indeks

vegetasi SR, NDVI, SAVI, MSAVI-2, GVI, WI, dan NDWI. Sedangkan sebagai

variabel terikat dugunakan data Stok karbon hasil pengukuran langsung di

lapangan.

e f

g

Page 203: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 195

Hubungan linear lebih dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan

linear ditunjukan pada persamaan berikut:

Y = a + b1x1 + b2x2 ……bnxn (9)

Y = e(b0 + b1*X1+

b2*X2+... + bn*Xn)

(10)

Dimana :

x, x1, x2……..xk = variabel-variabel

a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel

Untuk keperluan evaluasi seberapa baik korelasi antara variabel-variabel yang

digunakan, dihitung koefisien determinasi (R-square atau R2). Nilai R

2 memiliki

rentang dari 0 sampai 1. Semakin mendekati 1 nilai sebuah R2 dari model

matematika hasil perhitungan regresi, semakin baik kualitas model tersebut. R2

bernilai 0 artinya variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan untuk

persamaan regresi tidak saling berkorelasi. Pada persamaan (11) ditunjukan

persamaan umum perhitungan nilai R2 adalah (Anto, Dajan, 1991):

R2 =

1 1 2 2

2

b x y b x y

y

(11)

Dimana :

x, x1, x2……..xk = variabel-variabel

a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel

3.7.1 Multiregresi linear

Multiregresi linear dilakukan dengan metode Stepwise dimana metode ini

menghasilkan kombinasi terbaik dari variabel-variabel bebas (Indeks Vegetasi)

yang akan digunakan. Regresi Stepwise adalah salah satu metode untuk

mendapatkan model terbaik dari sebuah analisis regresi. Metode regresi Stepwise

secara langsung men-seleksi variabel-variabel dengan kombinasi terbaik untuk

dijadikan model matematika. Tabel 4 menunjukan hasil dari proses multiregresi

linear dengan metode stepwise.

Table 4 Output dari regresi Stepwise

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 .770a 0.593 0.562 38.46

2 .883b 0.78 0.743 29.44

a. Predictors: (Constant), wi

b. Predictors: (Constant), wi, ndvi

Page 204: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

196 Muhammad Ilham, dkk.

3.7.2 Multiregresi Exponensial

Pada pendekatan multiregresi eksponential, pemilihan variabel bebas berdasarkan

pada tiga indeks vegetasi dengan koefisien determinasi hubungan regresi

exponential tunggal yang terbesar seperti ditunjukan pada tabel 5.

Table 5. R-square regresi eksponensial tunggal

No Variabel R-square (single exponential regression)

1 SR 0.426

2 NDVI 0.301

3 SAVI 0.285

4 Msavi-2 0.367

5 GVI 0.351

6 WI 0.514

7 NDWI 0.458

Berdasarkan tabel 5, dipilih index vegetasi SR, WI, dan NDWI sebagai variabel

bebas untuk dilakukan proses Multiregresi Eksponensial

4. HASIL DAN ANALISIS

Hasil penelitian tugas akhir ini berupa 2 model matematika pendugaan stok

karbon sebagai berikut:

Table 6 Model Matematika Pendugaan Stok Karbon

Model Persamaan Variabel

bebas R

2

I y = 102.135 WI -295.647 NDVI -23.072 2 0.78

II y = 0.192 * ( 3 0.865

Model matematika I merupakan model yang dibentuk dari persamaan

multiregresi linear menggunakan metode stepwise dengan indeks vegetasi WI

dan NDVI. Model matematika II merupakan model yang dibentuk dari

persamaan multiregresi exponential indeks vegetasi SR, WI, dan NDVI yang

dipilih berdasarkan besarnya nilai korelasi hubungan exponential-nya terhadap

data stok karbon pengamatan lapangan.

Pengujian persamaan regresi dilakukan dengan menghitung nilai estimasi stok

karbon dari model matematika yang dihasilkan dan dihitung nilai RMSe-nya

dengan membandingkan terhadap stok karbon hasil pengukuran lapangan. Tabel

8 menunjukan nilai RMSe tiap-tiap model, dimana nilai RMSe tersebut bisa

dijadikan parameter ketelitian dari model matematika yang dihasilkan.

Page 205: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 197

Table 7 Pengujian Model Matematika Pendugaan Stok Karbon

No Stok Karbon

(ton)

Nilai Prediksi dari Model I

(ton)

Nilai Prediksi dari Model II

(ton)

1 221.09 192.42 219.31

2 15.69 22.09 2.38

3 0.83 7.10 4.59

4 1.74 -11.36 2.69

5 9.92 21.31 3.41

6 3 6.93 2.14

7 31.64 35.62 8.99

8 6.28 0.78 4.06

9 2.73 8.57 1.78

10 2.54 9.52 13.42

11 2.14 1.70 1.78

Table 8 Model RMSE

Model RMSe R-square

I 36.72 0.78

II 17.38 0.865

Dari nilai RMSe pada tabel 8, menunjukan bahwa Model II yang dihitung

berdasarkan persamaan multiregresi eksponensial, memiliki nilai R2

yang

lebih besar dengan nilai RMSe yang lebih kecil dibandingkan Model I.

Hal ini menunjukan bahwa Model II, memiliki tingkat akurasi yang lebih

baik dalam pendugaan stok karbon.

5. KESIMPULAN

1. Pada regresi linear tunggal, Index vegetasi yang paling mendekati untuk

mengestimasi cadangan karbon adalah Water Index dengan nilai R2 =

0.59

2. Kombinasi dari berbagai index vegetasi untuk membentuk suatu persamaan

multiregresi dapat meningkatkan tingkat korelasi.

3. Water Index memiliki pengaruh yang cukup besar pada pendugaan stok

karbon

4. Persamaan linier yang bisa digunakan untuk mengestimasi cadangan karbon

adalah dengan menggunakan index vegetasi NDVI dan WI yaitu Cadangan

Karbon = 102.135 WI -295.647 NDVI -23.072 dengan R2 =0.78

5. Persamaan ekspoensial yang bisa digunakan untuk mengestimasi cadangan

karbon adalah menggunakan index vegetasi SR, WI, dan NDWI yaitu :

Cadangan Karbon = 0.192 * (

dengan nilai R2 =

0.865.

Page 206: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

198 Muhammad Ilham, dkk.

DAFTAR REFERENSI

Asner, G. P. (2009). Measuring Carbon Emissions from Tropical Deforestation : An

Overview. Environmental Defense Fund , 4.

Baral, S. (2011). Mapping Carbon Stock Using High Resolution Satellite Images in

Subtropical Forest of Nepal. Enschede, The Netherlands.

Environmental Protection Agency . (Queensland). Water Body Mapping Using the

Normalised Difference Water Index (NDWI). Queensland Government.

Environmental Protection Agency, U. S. (2007). Frequently Asked Question about global

warming and climate change : Back to Basic. The Intergovernmental Panel on

Climate Change's (IPCC) Fourth Assessment Report, (p. 2).

Fardani, I. (2012). Pendugaan Cadangan Karbon dengan Multivariabel Index Vegetasi

dari Citra Satelit ALOS AVNIR -2 ( Studi Kasus : Taman Nasional Merubetiri,

Jawa Timur ). Bandung: ITB.

Gao, B. (1995). Normalized Difference Water Index for Remote Sensing of Vegetation

Liquid Water from Spaceuvyg. Proceedings of SPIE 2480 , 225-236.

IPCC, I. P. (2003). Expert Meeting Report. Science Statement on Current Scientific

Understanding of the Processes Affecting Terrestrial Carbon Stocks and Human

Influences upon Them (p. 19). Geneva: IPCC.

Krisnawati, H., & Imanudin, R. (2011). Carbon stock estimation of aboveground pool

based on forest inventory (permanent sample plot) data: a case study in peat swamp

forest in Jambi. Bogor, Indonesia: Research and Development Centre for

Conservation and Rehabilitation, Forestry Research and Development Agency

(FORDA).

Kurniawan, D. Y. (2011). Potensi Simpanan Karbon Hutan Tanaman Jati. Penelitian

Sosial dan Ekonomi Kehutanan , 151.

Lillesand, T. M., & Kiefer, R. W. (1997). Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra.

terjemahan Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Mason, Anthony K. (1996). Cost Estimation Predictive Modelling (Regression versus

Neurak Network) : The Engineering Economist

Penuelas, J. F., Serrano, C. B., & R.Save. (1995). The Reflectance at the 950-970 Region

as an Indicator of Plant Water Status. International Journal of Remote Sensing ,

1887-1905.

Pusat Infrastruktur Data Spasial. (2008). Pembuatan Peta Untuk Provinsi Jawa Barat.

Bandung: Kementerian Lingkungan Hidup dan ITB.

Soedomo, A. S., & Sudarman. (2004). Sistem dan Transformasi Koordinat. Bandung:

Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut

Teknologi Bandung.

Solomon, S. D. (2007). Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment

Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge

University Press.

Page 207: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 199

Subekti Rahayu, B. L. Pendugaan Cadangan Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada

Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

Cadangan Karbon di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur: Monitoring Secara

Spasial dan Pemodelan .

Sulistyawati, E., Ulumuddin, Y. I., Hakim, D. M., Harto, A. B., & Ramdhan, M. (2006).

Estimation of Carbon Stock at Landscape Level using Remote Sensing : a Case

Study in Mount Papandayan. Environmental Technology and Management

Conference . Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Tukey, J. (1977). Exploratory Data Analysis. Reading: Addison-Wesley.

BIOGRAFI PENULIS

Muhammad lham

Lahir di Jakarta, 4 Desember 1988, Muhammad Ilham

menyelsaikan pendidikan terakhir di tingkat perguruan

tinggi pada oktober 2012 di Institut Teknologi Bandung

jurusan teknik Geodesi dan Geomatika. Sebagai mahasiswa,

penulis memiliki skill dan pengalaman untuk melakukan

pengolahan data citra Remote Sensing. Saat ini, penulis

terlibat dalam penelitian terkait kandungan cadangan

karbon yang tersimpan pada biomasa tumbuhan.

Firman Hadi

Fiman Hadi dilahirkan di Bogor pada 21 Desember 1975. Memperoleh gelar

doktor dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung.

Beliau memperoleh gelar Sarjana di bidang biologi spesialisasi ekologi di

Universitas Padjajaran. Saat ini beliau aktif sebagi trainer pelatihan software

open source yang berhubungan dengan penginderaan jauh misalnya Radar.

Beliau juga masih aktif sebagai peneliti di Pusat Penginderaan Jauh (Center for

Remote Sensing) Institut Teknologi Bandung.

Ketut Wikantika

Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17

Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK

hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali

pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada

tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah

menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi.

Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master

of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang

dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar

Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh

Page 208: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

200 Muhammad Ilham, dkk.

dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif

mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB,

dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB.

Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB

dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah

di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional

maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan

dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika juga

aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi

Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor

Indonesia.

Page 209: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-2

201