Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

181

Click here to load reader

description

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1

Transcript of Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Page 1: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf
Page 2: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Bunga Rampai

Penginderaan Jauh Indonesia

Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132

Page 3: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

ISBN 978-602-19911-1-4

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia

Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh,

Institut Teknologi Bandung

Gedung Labtek IX-C, lt. 3

Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132

http://crs.itb.ac.id

email: [email protected]

Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri

Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil

Sumber gambar bunga : http://www.cepolina.com/

Cetakan Pertama : Mei 2012

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu

ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual

kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf
Page 5: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

i

KATA PENGANTAR

Teknologi dibuat dan dikembangkan oleh manusia dengan tujuan untuk mempermudah

pekerjaan. Merupakan hal yang penting untuk selalu melakukan inovasi dan

memanfaatkan teknologi yang telah ada untuk aplikasi-aplikasi yang sangat bermanfaat

bagi manusia.

Penginderaan jauh, yang memiliki kemampuan memberi gambaran muka bumi, dapat

memberi informasi akurat mengenai fenomena-fenomena spasial yang terjadi di

permukaan bumi. Analisis yang dilakukan terhadap data penginderaan jauh telah

banyak dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mulai dari permasalahan

lingkungan, pemantauan cuaca, hingga perkembangan ekonomi.

Buku berjudul ‘Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia’ ini dimaksudkan sebagai

sarana publikasi karya-karya ilmiah dalam bidang penginderaan jauh. Karya ilmiah

mengenai perkembangan satelit radar, aplikasi penginderaan jauh dalam pemantauan

atmosfer, perhitungan stok karbon, hingga pemodelan kota tiga dimensi menjadi bagian

dalam buku ini.

Redaksi berharap buku ini dapat menjadi media publikasi yang baik dan bermutu serta

dapat dijadikan sumber pengetahuan baru dalam bidang penginderaan jauh. Tentunya

partisipasi dari para penulis lain juga dinantikan agar semakin banyak inovasi baru

mengenai pemanfaatan penginderaan jauh di masa yang akan datang.

Ketut Wikantika

Page 6: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

ii

SEKAPUR SIRIH

Penginderaan Jauh dalam Konteks Geospasial dan Perlunya

Pemimpin Berpengetahuan Geospasial

Ketut Wikantika

Kelompok Keilmuan Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi

Kebumian, Institut Teknologi Bandung

Email : [email protected]

1. Paradigma Baru Geospasial

Terminologi geospasial saat kini semakin bermakna luas dan mempunyai

keterkaitan erat antar ilmu disiplin satu dengan yang lainnya. Geospasial dalam arti

terbatas bermakna “sesuatu” yang berkaitan dengan lokasi geografis dan karakteristik

alamiah maupun obyek terkonstruksi serta batas-batas yang ada di permukaan, di atas

dan di bawah permukaan bumi (Dictionary.com). Sedangkan dalam Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2011 dijelaskan bahwa geospasial adalah sifat keruangan yang

menunjukkan posisi atau lokasi suatu obyek atau kejadian yang berada di bawah, pada,

atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem

koordinat nasional. Dan menurut Hagget (1978), arti “geo” pada geospasial bermakna

geosfer (atmosfer), litosfer (lapisan kulit bumi), pedosfer (tanah beserta

pembentukannya), hidrosfer (lapisan air yang menutupi permukaan bumi, misal danau,

sungai, laut), biosfer (segenap unsur di permukaan bumi yang membuat kehidupan dan

prosesnya) dan antroposfer (manusia dengan segala aktifitasnya). Jika definisi-definisi

tersebut digabung tentunya lebih bermakna luas karena tidak hanya sifat fisik saja yang

diamati, dianalisis, diidentifikasi dan divisualisasikan tetapi juga sifat atau aspek lain

seperti sosial, budaya, kebiasaan, serta hal-hal lain yang bersifat non fisik.

Saat kini, kesadaran akan pentingnya data dan informasi geospasial sudah

mulai terbangun khususnya di Indonesia sejak terjadinya gempa dahsyat dan tsunami

yang melanda Aceh dan wilayah sekitarnya tahun 2004. Kesadaran geospasial

(geospatial awareness) bermunculan pada sebagian besar individu di instansi terkait

pemerintah, organisasi masyarakat, lembaga non pemerintah dan kelompok masyarakat

lainnya termasuk di komunitas pendidikan. Kesadaran lain yang juga terbangun secara

langsung maupun tidak langsung karena ternyata baru “sadar” bahwa Indonesia adalah

negeri yang “kaya” akan bencana. Ini hanya merupakan salah satu contoh bagaimana

kita dapat memaknai karakteristik wilayah Indonesia secara geografis, geologis,

meteorologist, topografis dan aspek lain sehingga muncul kesadaran bencana (disaster

awareness) (Wikantika, 2005).

Kesadaran bencana dan kesadaran geospasial mendorong dan memotivasi

setiap individu untuk saling berinteraksi, berbagi dan bekerjasama dalam hal

pengetahuan dan teknologi geospasial. Interaksi dan kerjasama termasuk penelitian,

Page 7: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

iii

inovasi ini “melahirkan” suatu paradigma baru dalam “melihat” teknologi geospasial

sebagai suatu alat berbasis geospasial secara utuh.

Gambar 1. Interaksi, kerjasama, inovasi “melahirkan” paradigma baru geospasial

(sumber: Wikantika, 2007)

Aktifitas geospasial dapat terjadi di matra laut, darat, maupun udara (termasuk di

lapisan atmosfer dan ruang angkasa), pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang

akan datang (Gambar 1). Kegiatan tersebut terjadi pada suatu wilayah yang terbatas

(lokal), regional, nasional maupun global. Perkembangan teknologi geospasial dan

aplikasinya melalui beberapa fase. Fase yang pertama dapat dikatakan sebagai fase

awal atau tahapan awal pengembangan teknologi geospasial yang sifatnya standar

dimana data geospasial dikumpulkan, diolah, dianalisi, disajikan dan jika perlu

dimodelkan. Fase berikutnya adalah mengintegrasikan semua hasil pada fase pertama

kemudian dilengkapi data sekunder dan atau informasi lainnya yang bersifat non

geospasial menjadi sebuah sistem informasi terintegrasi berbasis geospasial dan non

geo spasial.

Pada tingkat pengambilan keputusan, perlu dibangun suatu sistem pengambil

keputusan terintegrasi berbasis geospasial dan non geospasial. Fase-fase ini akan terus

berkembang tergantung kebutuhan manusia dalam menjalani hidupnya di bumi dan

kemungkinan melanjutkan kehidupannya di planet lain. Tentunya fase-fase ini akan

terus berkembang jika didukung oleh suatu pengetahuan dan teknologi informasi,

komunikasi dan komputer. Dan hal ini sudah terbukti dengan produksi film-film seperti

Avatar yang termasuk dalam fase geo-entertainment termasuk film-film sejenis lainnya.

Ketika fase-fase tersebut berkembang, teknologi pengolahan data geospasial

semakin intensif dikembangkan, dilain pihak interaksi dan komunikasi serta sharing

Page 8: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

iv

antar peneliti dengan latar belakang beragam (multi-disiplin) memunculkan kelompok-

kelompok kajian baru. Salah satunya adalah geo-planning yang diartikan sebagai proses

perencanaan berbasis geospasial. Adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan jika

perencanaan suatu wilayah tanpa data geospasial, tanpa informasi terkait dengan

kondisi wilayah (geografis, topografis, lanskap dan lainnya) tersebut. Karakteristik

sosial-ekonomi suatu wilayahpun dapat dikaji melalui suatu rangkain studi yang pada

dasarnya ingin mendapatkan informasi yang terkait dengan pola dan status sosial dan

ekonomi wilayah tersebut. Status sosial pada umumnya ditunjukkan oleh karakteristik

populasi (penduduk) melalui jenis, pola dan sebaran permukiman. Sedangkan aspek

ekonomi dapat dikaji melalui karakteristik tutupan lahan dan tata guna lahan. Istilah

yang sering digunakan untuk mengkaji status sosial-ekonomi suatu wilayah disebut

dengan socio-economic mapping.

Begitu besar peluang berkembangnya komunitas-komunitas baru dalam

mengintegrasikan pendekatan geospasial dengan suatu kajian ilmu tertentu sehingga

memunculkan beragam kajian baru seperti geo-intelligence, geo-biodiversity, geo-

environment, geo-culture dan lain-lain. Kajian-kajian baru ini akan menumbuhkan

kekuatan dalam mencari solusi-solusi alternatif dari masalah-masalah yang ada untuk

ketangguhan bangsa dan ketahanan negara yang pada akhirnya paradigma baru

geospasial ini akan dapat berkontribusi dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI).

2. Penginderaan Jauh dan Undang-undang Informasi Geospasial

Sejak diundangkannya aturan baru terkait dengan informasi geospasial yaitu

Undang-undang Informasi Geospasial (UU No. 4 tahun 2011) maka semakin jelas

peran teknologi penginderaan jauh di Indonesia. Undang-undang ini secara tegas

mengatur penyelenggara dan penyelenggaraan informasi geospasial dasar (IGD) dan

informasi geospasial tematik (IGT). Kegiatan penyusunan IGT dapat dilakukan oleh

badan pemerintah bahkan oleh perorangan. Hal ini sangat sesuai dengan dinamika

pengumpulan data geospasial dengan teknologi penginderaan jauh. Teknologi

penginderaan jauh mempunyai kemampuan secara temporal untuk merekam fenomena

perubahan terhadap obyek yang diamati terutama untuk produk penginderaan jauh yang

mempunyai resolusi spasial menengah dan kecil. Dengan keleluasaan bagi

perseorangan untuk membuat IGT tentunya ini akan memberikan peluang yang sangat

bagus bagi para peneliti untuk semakin meningkatkan aktifitas penelitiannya, karena

secara legal sudah terlindungi dengan undang-undang tersebut.

Sedangkan penyelenggaraan kegiatan pengumpulan IGT dapat menggunakan

wahana darat, air, udara, dan ruang angkasa (satelit). Penyelenggaraan kegiatan tersebut

wajib mendapatkan ijin jika menggunakan wahana selain satelit. Ini berarti memberikan

keuntungan positif bagi para peneliti, badan swasta, perorangan dalam melakukan

kegiatannya karena sampai saat ini data penginderaan jauh yang ada, sebagian besar

dikumpulkan dari perekaman wahana satelit. Dilain pihak, Badan Informasi Geospasial

(BIG), yang nantinya akan menjadi nama baru dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi

Survei dan Pemetaan Nasional) akan mendapatkan banyak masukan dalam melakukan

pengumpulan data geospasial melalui teknologi penginderaan jauh. Selain itu,

dengan semakin banyaknya hasil penelitian terkait dengan pengumpulan IGT, maka

diharapkan hasil ini akan menjadi public domain yang dapat diakses oleh siapapun.

Page 9: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

v

3. Kepemimpinan Berpengetahuan Geospasial

Sebagian besar orang Amerika dan mungkin juga dunia mengenal dan paham

peran George Washington sebagai pemimpin tentara melawan kekuatan Inggris saat

terjadi Revolusi Amerika, dan George Washington sebagai Presiden Amerika yang

pertama (lcweb2.loc.gov). Tetapi banyak yang tidak megetahui bahwa kehidupan

mantan Presiden tersebut terkait dengan dunia geografi dan kartografi. Dia ternyata

seorang surveyor dan pembuat peta (mapmaker). Antara tahun 1747 – 1799,

Washington melakukan survei lebih dari 200 bidang tanah dengan total luas sekitar 6,5

juta meter persegi di 37 tempat berbeda. Setelah meninggal pada tahun 1799, lebih dari

seribuan biografi mengulas kehidupan George Washington (Gambar 2). Sebagian besar

dari biografi tersebut mengulas kehidupan sang mantan Presiden sebagai surveyor,

bukan sebagai Presiden Negara Adidaya Amerika!

George Washington hanyalah salah satu contoh pemimpin dunia yang punya

kecerdasan geospasial. Kecerdasan geospasial yang dimilikinya dia bangun sebagian

besar karena karirnya sebagai surveyor, dan dengan karirnya tersebut dia menjadi

paham dengan negaranya sendiri, berpindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya.

Washington paham betul apa yang menjadi kebutuhan wilayah tersebut dan mengerti

apa yang menjadi “keunikan” suatu wilayah yang dia survei, dan kadang-kadang karena

keunikannya justeru menjadi kelemahan wilayah tersebut. Karir sebagai tentara juga

sangat membantu dan mewajibkan dia untuk mengerti persis suatu wilayah, apalagi

untuk tujuan memata-matai musuh. Singkat kata, George Washington menjadi sosok

pemimpin yang punya visi untuk mempertahankan Amerika sebagai negara yang utuh

dan berdaulat. Tentu saja, sosok kepemimpinan berpengetahuan geospasial yang

dimiliki Washington, salah satunya, mengantarkannya menjadi Presiden Amerika yang

pertama.

Gambar 2. Soekarno: Presiden Indonesia ke-1 (kiri) dan George Washington: Presiden

Amerika ke-1 (kanan)

(sumber: id-id.facebook.com, oztorah.com)

Page 10: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

vi

Jika George Washington adalah Presiden Amerika pertama dengan karir

sebagai tentara dan surveyor (juru ukur tanah) mengantarkannya menjadi pemimpin

dunia berpengetahuan geospasial. Bagaimana dengan Indonesia? Adakah pemimpin

Indonesia berpengetahuan geospasial? Jawabnya adalah ada! Pemimpin tersebut adalah

Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia (Gambar 2). Soekarno adalah

“penggali” Pancasila karena dia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar

negara Indonesia dan dia sendiri yang menamainya Pancasila (id.wikipedia.org). Selain

sebagai konseptor Pancasila, Soekarno juga dikenal sebagai arsitek beberapa bangunan

bersejarah bersama Ir. Anwari dan Ir. Rooseno.

Kalau kita cermati sila ke tiga dari Pancasila yang berbunyi “Persatuan

Indonesia” (The unity of Indonesia), maka sila ini mengandung makna yang sangat

dalam. Salah satu makna dari sila ini adalah mengembangkan rasa cinta kepada tanah

air dan bangsa. Makna ini mengandung arti “keruangan” atau wilayah secara geografis

membentang dari Sabang sampai Merauke. Sila ke tiga inilah yang menunjukkan

betapa pengetahuan tentang ruang (geospasial) dimiliki oleh Soekarno. Soekarno

sebagai arsitek pun menunjukkan bahwa beliau memang seorang pemimpin

berpengetahuan geospasial. Dan semangat Soekarno untuk menjaga keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun tetap terjaga sampai sekarang.

DAFTAR REFERENSI

Hagget, P., Geography: Modern synthesis, 1978.

Wikantika, K., Mitigasi bencana berbasis geospasial dan partisipasi masyarakat: Mewujudkan

spatial awareness dan disaster awareness, Kuliah Kapita Selekta Infrastruktur, Fakultas

Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, 2005.

Wikantika, K., Urban sprawl phenomenon detection using spectral mixture analysis from

multitemporal Landsat satellite images: A study case in Bandung basin, Indonesia, The

13th

CEReS International Symposium on Remote Sensing “Disaster Monitoring and

Mitigation in Asia”, Chiba University, Japan, October 29-30, 2007.

Wikipedia, [http://id.wikipedia.org][diakses 10 Desember 2011].

Page 11: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................. i

Sekapur Sirih .................................................................................................................... ii

Daftar Isi ......................................................................................................................... vii

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh ........................................................... 1

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker)

dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model ............ 25

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura- Omi .............................. 39

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil

Observasi Sciamachy...................................................................................................... 55

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon

Monoksida di Indonesia ................................................................................................. 70

Aplikasi Indraja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas Enso

dan Iod ............................................................................................................................ 80

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia -

Observasi menggunakan Data TRMM 3B43 ................................................................. 92

Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait

dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang ................................................................. 109

Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung ......................... 132

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and

Ranging ....................................................................................................................... 143

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi ........... 156

Page 12: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf
Page 13: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

1

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh

Ishak Hanafiah Ismullah

Kelompok Keilmuan Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi

Kebumian, Institut Teknologi Bandung

Abstrak

Sistim Radar atau RAdio Detection and Ranging semakin berkembang termasuk dalam

pemanfaatannya di bidang penginderaan jauh. Sebagai salah satu sistim penginderaan

jauh aktif, sistim radar memanfaatkan gelombang mikro yang dipancarkan dalam

berbagai panjang gelombang untuk memperoleh lokasi objek-objek di permukaan bumi.

Penggunaan sistim radar pada pemetaan diawali dengan sistim radar apertur riil di mana

penciteraan dilakukan ke arah miring (side looking). Permasalahan pada panjang

antenna untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi pun terpecahkan dengan

dikembangkannya sistim radar apertur sintetik (SAR) pada wahana satelit ERS,

TerraSAR, maupun dengan pesawat seperti SRTM, sehingga memungkinkan untuk

dilakukan penelitian pada berbagai disiplin ilmu menggunakan citra ini. Tidak hanya

sampai di sana, penginderaan jauh radar kemudian dikembangkan dengan

memanfaatkan perbedaan fasa yang diterima melalui sensor atau epok yang berbeda,

yang disebut sebagai radar apertur sintetik interferometris (InSAR). Hal inilah yang

kemudian mendukung penggunaan citra radar untuk menghasilkan DEM dengan

ketelitian tinggi, pemetaan arus laut, dan peta kontur.

Kata kunci : Radar, SAR, Radar Interferometris.

Abstract

Radar or Radio Detection and Ranging system is still developed including in its

utilization of remote sensing sector. As one of the active remote sensing system, radar

use microwaves emited in various wavelengths to obtain the location of above ground

objects. Utilization of radar in mapping sector was begun with riil aperture radar

(RAR) system in which imaging system was done by the obliquity (side looking).

Problems of the antenna length to obtain high resolusion was solved by the

development of synthetic aperture radar (SAR) on spacecrafts such as ERS and

TerraSAR, or aircraft such as SRTM, making it possible to do research in various

disciplines. Furthermore, radar remote sensing the developed into the utilization of

phase differences received by different sensors or at different times, called

interferometric synthetic aperture radar. This system also support the use of radar

imagery to produce high resolution DEM, sea current mapping, and contour map.

Keywords : Radar, SAR, Interferometric Radar.

Page 14: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

2

Berawal dari percobaan yang dilakukan oleh H.R.Hertz pada tahun 1887 (Enc.

Americana, 1968), yang mendemonstrasikan pengaruh pantulan gelombang radio yang

diakibatkan berbagai macam objek dan membuktikan bahwa kecepatan rambat

gelombang elektromaknetik sama dengan kecepatan cahaya, penginderaan jauh aktif

terus berkembang sehingga objek yang jauh dapat terdeteksi. Kata Radar pertama kali

digunakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat (United States Navy -US Navy) pada

tahun 1940 yang merupakan singkatan dari RAdio Detection And Ranging, yaitu untuk

mendeteksi dan mengetahui lokasi suatu objek.

Radar mulai dikembangkan dalam perang dunia ke II pada tahun 1940-an untuk

mendeteksi pesawat terbang dan kapal laut, kemudian dilanjutkan dengan teknologi

radar apertur riil (Real Aperture Radar) dengan sistim pandangan ke arah samping di

pesawat terbang (Side Looking Airborne Radar - SLAR). Antara tahun enam puluhan

dan tujuh puluhan, sistim SLAR ini mulai digunakan untuk keperluan non militer,

terutama untuk analisis lahan dan survei sumber daya alam. Dalam tahun 1970-an itu

juga, Jet Propulsion Laboratory (JPL) di Pasadena California, USA, melakukan

penelitian khususnya pengembangan radar apertur riil menjadi radar apertur sintetik

(Image Center, 1996).

Peluncuran satelit Seasat pada tahun 1978, merupakan satelit pertama yang

dikembangkan oleh Amerika Serikat yang membawa sensor radar untuk keperluan non

militer, sangat disayangkan bahwa satelit ini hanya berumur 3 bulan (Schreier, 1993).

Kemudian berturut-turut eksperimen lain yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan

memanfaatkan pesawat ulang alik, yaitu Shuttle Imaging Radar (SIR) pada tahun 1981

dan 1984, serta pada tahun 2000 SRTM (Shuttle Radar Topographic Mapping). Hasil

dari pesawat ulang alik ini menunjukkan sesuatu yang belum pernah terjadi

sebelumnya, di mana salah satunya adalah dapat menembus permukaan gurun sahara

pada kedalaman antara 10 m hingga 20 m dengan menggunakan band L (Image center,

1996).

Rusia dengan satelit Cosmos juga menggunakan sistim radar apertur sintetik untuk

penelitian oseanografi pada tahun 1983 dan satelit Almaz yang beroperasi pada tahun

1990 hingga 1992 untuk pemetaan. Satelit Radarsat milik Kanada yang diluncurkan

pada tahun 1995 (Intermap, 1996), khususnya untuk pemantauan salju dan sejak tahun

1998 banyak digunakan untuk pemantauan lingkungan, terutama pencemaran minyak di

laut (Radarsat, 1999). Peluncuran satelit Radarsat-2 pada tahun 2007, mempunyai

resolusi spasial cukup tinggi, baik untuk planimetris maupun tinggi, sehingga dari citra

satelit Radarsat-2 dapat dihasilkan citra ORRI (Ortho Rectified Radar Image) dan

DEM ( Digital Elevation Model) dengan resolusi yang cukup baik, sehingga dapat

digunakan untuk pemetaan skala 1 : 50.000.

Dengan diluncurkannya satelit European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun

1991, ERS-2 pada tahun 1995 (ESA-Esrin, 1997) penelitian-penelitian di bidang

pengolahan citra radar satelit menjadi makin menarik. Pada awalnya misi utama dari

satelit ERS-1 adalah untuk oseanografi, akan tetapi pada kenyataannya penelitian-

penelitian berikutnya menunjukkan bahwa citra radar dapat dimanfaatkan untuk

keperluan lain. Salah satunya adalah dengan metoda radar apertur sintetik

Page 15: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

3

interferometris, yang sangat menjanjikan penggunaaannya di masa mendatang.

Peralatan Gelombang mikro aktif (Active Microwave Instruments - AMI) yang dibawa

oleh wahana ERS-1 dan ERS-2, melakukan pengamatan permukaan bumi siang

maupun malam terus menerus baik pada saat naik (Ascending) maupun turun

(Descending) (CNES, 1999), dan EnviSAT dengan sistim ASAR (Advanced Synthetic

Aperture Radar) yang diluncurkan pada tahun 2001.

Untuk pertama kalinya didapat citra radar apertur sintetik dalam jumlah yang sangat

banyak, meliputi hampir seluruh muka bumi, hal ini memungkinkan dilakukannya

berbagai macam penelitian menyangkut berbagai macam disiplin ilmu, terutama yang

menyangkut pengamatan permukaan bumi. Khusus untuk oseanografi, data radar

apertur sintetik dapat digunakan untuk menyelidiki gelombang, arus laut, batimetri,

monitoring daerah pesisir, hidrologi, perikanan dan pendeteksian hutan bakau. Untuk

permukaan darat, data radar apertur sintetik cukup baik untuk pemetaan geologi dan

pemetaan liputan lahan.

Dengan menggunakan dua citra radar apertur sintetik dari ERS-1, dimungkinkan

dilakukan pengolahan interferometrik melalui perhitungan fasa. Peluncuran ERS-2

pada bulan April 1995 yang mempunyai karakteristik sama dengan ERS-1,

memungkinkan dilakukannya pengolahan citra radar apertur sintetik interferometris

dengan pasangan tandem, yaitu gabungan antara citra ERS-1 dan citra ERS-2 yang

lintasan orbitnya hanya berbeda satu hari (ESA-Esrin,1997).

Satelit TerraSAR-1 yang diluncurkan pada tahun 2007 memanfaatkan gelombang X

pada pencitraannya, dan pada tahun 2010, diluncurkan satelit TerraSAR-2 dengan

karakteristik yang sama dengan TerraSAR-1. TerraSAR-1 dan TerraSAR-2 mengorbit

secara tandem, sehingga dapat mencitrakan wilayah yang sama pada saat yang sama,

dengan demikian gabungan dari keduanya akan menghasilkan DEM dengan tingkat

ketelitian sangat tinggi, hingga sekitar 2 meter.

Di samping itu semua, perkembangan radar apertur sintetik interferometris juga sangat

maju dengan pesat, khususnya pelaksanaan dengan menggunakan wahana pesawat

terbang. Intermap yang berbasis di Denver, Colorado Amerika Serikat,

mengembangkan STAR3i, yaitu sistim pencitraan Radar dengan 2 antena sekaligus,

yang dipasang di pesawat terbang (LearJet dan juga pesawat berbaling-baling). Mereka

juga sedang mengembangkan STAR4 yang lebih canggih, dengan hasil DEM

diharapkan akan mampu mencapai resolusi antara 1.5 hingga 2.0 meter.

Pesaing Intermap adalah Orbisar, yaitu sistim yang dikembangkan oleh Orbisat, yaitu

perusahaan swasta di Brasilia, yang memanfaatkan pesawat terbang dengan

menggunakan 2 jenis panjang gelombang, yaitu gelombang X (Band-X) dan gelombang

P (Band-P).

Page 16: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

4

1. KONSEP RADAR

Berbeda dengan sistim optis yang menggunakan cahaya tampak, sistim ini

menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan oleh sensor, dan pantulan baliknya

diterima kembali oleh sensor yang sama. Oleh karena itu sistim ini sering disebut

sebagai sensor aktif. Prinsip utama sistim radar adalah mengukur jarak dari sensor ke

target. Karena pada sistim ini menggunakan radiasi / iluminasi yang di pancarkan

sendiri oleh sensor, maka sistim ini tidak tergantung dari cahaya matahari. Dengan

demikian sistim ini dapat bekerja terus menerus baik siang maupun malam, meski

distorsi atmosfir dapat terjadi dalam sistim ini (Hanssen and Usai, 1997). Konsep

umum cara kerja radar lihat Gambar 1.

Sensor

S

Target

Permukaan bumi

Gambar 1. Konsep umum cara kerja radar

S = Penjalaran gelombang elektromaknetik dari sensor ke target dan kembali ke sensor

Pada awal penggunaan sistim radar pada pemetaan/penginderaan jauh, dilakukan

dengan sistim radar apertur riil (Real Aperture Radar - RAR), di mana pada sistim ini

digunakan antena cukup panjang sekitar 4 hingga 6 meter dan dapat lebih panjang.

Makin panjang antena akan didapat resolusi makin baik (Sabin, 1978). Dengan

pemakaian antena yang panjang tersebut, sangat banyak keterbatasannya, terutama

menyangkut penempatan antena yang panjang di wahana, khususnya pesawat terbang.

Sistim radar menggunakan panjang gelombang mikro yang mempunyai ukuran sekitar

5 mm hingga 1000 mm, sehingga mampu menembus awan. Pita / Saluran (band),

panjang gelombang dan frekuensi yang digunakan sistim radar dalam penginderaan

jauh, dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan hubungan antara kemampuan menembus

awan dan panjang gelombang dalam sistim radar dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 17: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

5

Tabel 1. Panjang Gelombang dan Frekuensi yang digunakan sistim radar pada

Penginderaan Jauh (CNES, 1993)

Saluran Panjang Gelombang

(cm) Frekuensi

(Mhz) Ka 0,8 - 1,1 40.000 - 26.500 K 1,1 - 1,7 26.500 - 18.000

Ku 1,7 - 2,4 18.000 - 12.500 X 2,4 - 3,8 12.500 - 8.000 C 3,8 - 7,5 8.000 - 4.000

S 7,5 - 15,0 4.000 - 2.000

L 15,0 - 30,0 2.000 - 1.000

P 30,0 - 100,0 1.000 - 300

9 Cm

= Panjang gelombang

= Frekuensi 7 Cm

5GHz

5 Cm

3 Cm 10GHz

awan air

1 Cm 30GHz

100 % 75 % 50 % 25 % 0 %(penembusan awan)

Gambar 2. Hubungan panjang gelombang dengan penembusan awan (ESA –Esrin , 1996)

2. GEOMETRI PENCITRAAN RADAR

Pencitraan radar, baik dengan wahana pesawat terbang maupun satelit, selalu dilakukan

ke arah miring (side looking), untuk jelasnya dapat dilihat pada geometri pencitraan

radar Gambar 3, dan hal ini akan berakibat timbulnya suatu resolusi spasial, yang terdiri

dari komponen resolusi ke arah melintang lintasan disebut resolusi jarak (range

resolution) dan resolusi ke arah searah lintasan disebut resolusi azimut (azimuth

resolution). Pada radar apertur riil resolusi spasial ini ditentukan oleh sudut masuk,

panjang pulsa dan lebar sorot ( beam width). Panjang pulsa dan sudut masuk berakibat

Page 18: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

6

pada ukuran elemen resolusi jarak, sedang lebar sorot berpengaruh terhadap elemen

resolusi azimut (Schreier,1993).

Resolusi jarak (RAR

rR ), dan resolusi azimut RAR

aR( ) dapat dilihat pada Gambar 4.

Dari Gambar 4.a, Resolusi jarak RAR

rR dapat dihitung melalui hubungan berikut,

RAR

rR = Sin

tc

2

. (1)

di mana = sudut masuk, t = panjang pulsa dalam satuan waktu dan c = kecepatan

pulsa gelombang mikro (dalam vakum).

Lintasan wahana

Sensor

Lintasan tanah

H Arah Azimut (searah lintasan)

Arah Jarak Jarak tanah (melintang lintasan)

Gambar 3. Geometri Pencitraan Radar

Page 19: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

7

(a) (b)

H H

rR

R

RAR

aR

Gambar 4. (a) Resolusi jarak (b) Resolusi azimuth (Platschorre,1997)

Lebar sorot antena menentukan besar resolusi azimut RAR

aR dan makin kecil

nilai jarak tanah R , resolusi azimut juga makin kecil , lihat Gambar 4.b. Resolusi

azimut dapat dihitung melalui hubungan berikut,

RAR

aR = R . = .tanH dan = d

(2)

di mana H = tinggi sensor , = lebar sorot , = sudut masuk , = panjang

gelombang mikro dan d panjang antena (Lillesands & Kiefer,1978).

Dari hubungan di atas, dapat dilihat bahwa makin panjang antena, harga RAR

aR makin

kecil dan ini menunjukkan bahwa resolusi makin tinggi. Akan tetapi makin panjang

antena, merupakan kendala dan merupakan kelemahan dari sistim ini, karena makin

panjang antena akan makin sulit penempatannya di wahana.

3. RADAR APERTUR SINTETIK

Berawal dari kelemahan pada radar apertur riil yang memerlukan antena panjang untuk

mendapatkan ketelitian tinggi, maka berkembang teknik baru dalam sistim

penginderaan radar dengan antena yang relatif kecil yang dinamakan Radar Aperture

Sintetik (Synthetic Aperture Radar). Radar apertur sintetik mengambil keuntungan dari

gerakan wahana sepanjang lintasan, dan antena yang relatif kecil tadi mampu

menggantikan fungsi dari antena yang panjang. Konsep radar apertur sintetik dapat

dilihat dalam Gambar 5 .

Page 20: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

8

L

H

T

Gambar 5. Konsep radar apertur sintetik

R = adalah jarak tanah

d = panjang antena lebar sorot = d

(rad)

L = panjang antena sintetik = R. = R. d

(m)

d = Panjang antena

dengan demikian makin besar jarak tanah, antena sintetik juga akan makin panjang.

Hubungan di atas hanya berlaku untuk penjalaran satu arah, sedang dalam radar apertur

sintetik penjalaran harus dua arah untuk membentuk antena sintetik tersebut. Maka

untuk antena sintetik berlaku hubungan berikut (Kingsley, 1992),

s = L2

=

R

d

2 (rad) (3)

sehingga resolusi azimut untuk sistim radar apertur sintetik menjadi,

aR = R. s = 2

d (4)

Dengan demikian resolusi spasial pada sistim radar apertur sintetik tidak tergantung

pada panjang gelombang dan tinggi wahana, hanya tergantung pada ukuran fisik

panjang antena-nya.

4. RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRIS

Radar apertur sintetik interferometris merupakan teknik pencitraan yang dapat

diterapkan dengan menggunakan pesawat terbang maupun satelit. Pada penerapan

dengan pesawat terbang, digunakan dua antena yang bekerja pada saat yang sama.

Teknik ini dinamakan lintasan tunggal (single pass). Penerapan dengan menggunakan

R

Page 21: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

9

satelit hanya menggunakan satu antena, dan permukaan bumi diindera dengan cara

pengulangan lintasan (repeat pass), karena antena mengindera tidak pada saat yang

sama. Untuk lintasan tunggal dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7 di mana

kedua antena dapat diletakkan di posisi melintang pesawat terbang (across track)

ataupun di posisi memanjang pesawat (along track).

Pesawat terbang B

B z

B y

r 2 - r 1 =

2 (5)

r 1 r 2

=

2 B y sin + B z cos (6)

Gambar 6. Radar Apertur Sintetik Interferometris lintasan tunggal (single pass) - Sistem

melintang pesawat ( across track) (Gens, 1996)

Dalam Gambar 6 di atas, kedua antena masing-masing dipasang di kiri dan kanan sayap

pesawat terbang. Satu antena sebagai pemancar dan penerima, sedang antena lainnya

berfungsi sebagi penerima saja. B adalah jarak antara antena kiri dan antena kanan, dan

dinamakan basis (baseline) kanan, sedangkan yB dan zB merupakan komponen basis

dalam arah mendatar dan tegak. adalah sudut masuk, sedang 1r dan 2r adalah jarak

miring (slant range), masing-masing dari antena pertama ke objek dan dari antena

kedua ke objek yang sama di permukaan bumi. adalah beda fasa yang terjadi

antara sinyal radar dari antena pertama dan dari antena kedua, merupakan panjang

gelombang mikro yang digunakan. Pada awal tahun 2000, sistim ini diterapkan

dipesawat ulang-alik ( Shuttle Radar Topographic Mission).

Page 22: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

10

Pesawat terbang

B

Gambar 7. Radar Apertur Sintetik Interferometris lintasan tunggal (single pass) - Sistim

memanjang pesawat (along track) (Gens, 1996)

Pada Gambar 7, kedua antena dipasang di muka dan di belakang pesawat terbang,

sejajar dengan arah terbang pesawat. Jarak antara antena di muka dan di belakang

pesawat disebut basis B. Kedua antena berfungsi sebagai pemancar dan penerima

gelombang radar dengan panjang gelombang . Karena pengaruh letak dari kedua

antena, maka akan terjadi perbedaan waktu (delay) sebesar t dalam perekaman oleh

antena pertama dan antena kedua. Hal ini akan berakibat perbedaan fasa sebesar .

Jika radiasi sinyal balik dari objek bergerak dengan kecepatan U, maka beda fasa yang

terjadi adalah sebesar,

= tU ..4

= B

V

U.

.

.4

(7)

di mana V adalah kecepatan pesawat terbang.

Dalam radar apertur sintetik interferometris sistim pengulangan lintasan (repeat pass),

hanya diterapkan di satelit, baik ERS-1, ERS-2, Radarsat, EnviSAT maupun JERS dan

dapat dilihat pada Gambar 8 berikut,

Lintasan satelit

S 2

B

S 1

r 2

r 1

Lintasan satelit Gambar 8. Radar Apertur Sintetik Interferometris - Sistim pengulangan lintasan ( repeat

pass ) (Kampes, 1999)

Page 23: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

11

S 1 dan S 2 masing-masing adalah sensor pertama membawa satu antena dan sensor

kedua juga membawa satu antena. Satelit melintas permukaan suatu area di bumi pada

saat yang tidak sama, dengan membentuk jarak antar lintasan sepanjang B dan

jarak ini dinamakan basis (baseline ). Sudut adalah sudut masuk sedangkan r 1

dan r 2 adalah jarak miring dari sensor pertama dan kedua ke objek yang sama di

permukaan bumi. Beda fasa antara dua sinyal balik yang diterima dari objek di

permukaan bumi pada kedua posisi antena adalah :

= )(4

12 rr

(8)

5. GEOMETRI RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI

BERBASIS SATELIT

Seperti ditulis sebelumnya, Radar apertur sintetik interferometris yang diterapkan di

satelit ERS-1 dan ERS-2, dilakukan dengan pengulangan lintasan. Untuk ERS-1,

pengulangan lintasan pada area yang sama dilakukan dalam perioda 35 hari, begitu

juga untuk ERS-2. Sehingga jika akan digunakan pasangan citra dengan satelit yang

sama, minimum diperlukan waktu selama 35 hari. Hal ini menyebabkan pengaruh yang

cukup besar terhadap sinyal balik-nya, karena pada perioda 35 hari umumnya sudah

terjadi perubahan pada liputan lahannya (tumbuhan, dll) dan ini berakibat langsung

pada sinyal balik. Dengan diluncurkannya satelit ERS-2 yang mempunyai karakteristik

yang sama dengan ERS-1 dan melintas dengan beda waktu hanya satu hari,

mengakibatkan gabungan pasangan ERS-1 dan ERS-2 sangat menarik karena

perubahan liputan lahannya relatif masih tetap. Gabungan ERS-1 dan ERS-2 dinamakan

dengan pasangan tandem.

Pada ERS-1 dan ERS-2, sensor meng-indera kearah samping kanan dengan sudut

masuk 230 dan tegak lurus arah lintasan. Dengan demikian jika satelit pada posisi naik

(ascending), sensor mengarah ke-timur, dan pada saat turun (descending) sensor

mengarah ke barat. Setiap piksel pada citra radar sesuai dengan suatu bagian di

permukaan bumi. Nilai kecerahan dari setiap piksel ditentukan oleh amplitudo dari

sinyal balik yang diterima antena. Dengan diluncurkannya satelit EnviSAT, dimana

salah satu sensornya adalah ASAR yang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan

dengan satelit ERS, memungkinkan dilakukan lebih banyak penelitian dengan

memanfaatkan data satelit EnviSAT ini.

Geometri pencitraan baik pada satelit ERS-1 maupun ERS-2 dapat dilihat pada Gambar

9 dibawah ini,

Page 24: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

12

Lintasan orbit

Sensor

L

H

Gambar 9. Geometri pencitraan pada satelit ERS (Platschorre,1997)

Dari gambar diatas, L adalah panjang pulsa, H adalah tinggi satelit, merupakan

lebar sorot, dan adalah sudut masuk.

Jika terdapat dua titik P dan R dengan jarak dan azimut tertentu, di-indera oleh

satu sensor, maka kedua titik tersebut kemungkinan akan muncul di piksel yang sama

sehingga tidak dapat dibedakan satu sama lain, padahal kedua titik tersebut mempunyai

ketinggian yang tidak sama. Dengan demikian diperlukan sensor kedua untuk

mengetahui ketinggian titik tersebut (Hartl,1996). Pada Gambar 10, terlihat bahwa jika

sensor kedua melakukan pencitraan dengan posisi yang berbeda dari sensor pertama.

Titik yang sama akan mempunyai fasa yang tidak sama di masing-masing citra dan

beda fasa diantara kedua citra pada titik tersebut merupakan fungsi tinggi dari titik

tersebut.

Page 25: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

13

Z S 2

B

S 1

H r 1 r 2

R

P h

X Y

Gambar 10. Geometri pencitraan radar apertur sintetik interferometris satelit (Hartl,

1996)

S 1 dan S 2 diperlukan untuk menentukan ketinggian h diatas permukaan referensi, B

merupakan basis, sudut yang dibentuk oleh basis dan garis mendatar, sedang

adalah sudut masuk, r 1 dan 2r adalah jarak miring dari masing-masing sensor ke

objek yang sama di permukaan bumi. H ketinggian sensor diatas permukaan referensi,

sedang h tinggi objek. jika beda fasa adalah , maka dapat dituliskan,

=

4 . r (9)

r = r 1 - r 2

h = H - r 1 Cos (10)

Beda fasa terbatas pada pada rentang - dan dengan demikian hanya dapat

diukur dengan ambiguitas 2 .

6. BASIS

Dari ulasan sebelumnya, salah satu yang menentukan dalam menghitung beda fasa

adalah Basis, baik pada sistim satelit maupun pesawat terbang, dan sering disebut

dengan Basis Interferometrik (Interferometric baseline).

Page 26: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

14

Basis didefinisikan sebagai jarak antara kedua posisi antena/sensor. Untuk penerapan di

satelit, basis interferometrik B dan komponennya, lihat Gambar 11 .

S 2 S 2 S 2

B tB

B

S 1 S 1 B S 1 dB

a b c

Gambar 11. Basis Interferometrik dan komponennya (a) Basis interferometrik dan

orientasinya (posisi 1 sebagai posisi referensi) (b) Basis sejajar dan Basis tegak lurus

(danBB ) (c) Basis mendatar dan Basis tegak ( tddanBB ) (DEOS, 1999)

Dari panjang Basis Interferometrik B dan sudut orientasi α , basis dapat dibagi menjadi

dua komponen, masing-masing komponen sejajar dan komponen tegak lurus, atau

komponen mendatar dan komponen tegak.

Panjang Basis interferometrik dapat mempengaruhi keperluan-keperluan tertentu.

Penggunaan panjang Basis Interferometrik dari satelit ERS-1 untuk keperluan tertentu

ditunjukkan pada Tabel 2 (Solaas, 1994). Pengaruh Basis Interferometrik terhadap

perubahan ketinggian akan meningkat jika panjang Basis Interferometrik makin

pendek.

Tabel 2. Penggunaan panjang Basis interferometrik dari satelit ERS-1 untuk keperluan

tertentu (Solaas, 1994)

Aplikasi Panjang Basis

Praktis < B < 600 m

Model Permukaan Digital 150 m < B < 300 m

Pendeteksian perubahan permukaan 30 m < B < 70 m

Dengan meningkatnya panjang Basis Interferometrik, maka derau fasa (phase noise)

akan mengakibatkan makin rendahnya koherensi.

Koherensi akan hilang sama sekali jika panjang basis interferometri tersebut mencapai

batas kritisnya.

Dekorelasi penuh akan terjadi bila Basis interferometrik B > 2768 meter (Kooij et

al.,1995).

Page 27: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

15

7. PARAMETER-PARAMETER YANG MEMPENGARUHI SINYAL

BALIK PADA PENGINDERAAN RADAR

Umumnya sinyal balik pada sistim penginderaan radar di terima kembali di sensor pada

kondisi yang sangat lemah, sehingga perlu dilakukan penguatan terhadap sinyal balik

ini. Parameter yang berpengaruh terhadap sinyal balik ini dibagi menjadi dua bagian

utama, masing-masing adalah,

1. Parameter sistim,

2. Parameter permukaan.

7.1 Parameter Sistim

Dalam parameter sistim, dikenal beberapa hal yang mempengaruhi sinyal, masing-

masing adalah Panjang gelombang, Polarisasi, dan Sudut masuk.

Panjang Gelombang. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada sistim radar bekerja

pada gelombang mikro dari panjang gelombang sekitar 5 mm hingga 1000 mm. Makin

pendek panjang gelombang, makin tinggi resolusi yang dihasilkan, akan tetapi

kemampuan penetrasinya makin kecil. Khusus untuk penggunaan Saluran-L dengan

panjang gelombang 23,5 cm, dapat menembus hingga 20 meter, ini terjadi pada gurun

Sahara pada padang pasir yang sangat kering.

Polarisasi. Sangat tergantung pada orientasi dari medan elektrik dan medan magnetik

pada gelombang elektromagnetik.

a b

Gambar 12. Polarisasi pada sinyal radar; (a) polarisasi mendatar dan (b) polarisasi tegak

(ASPRS,1998)

Sistim radar dapat memancarkan dan menerima radiasi elektromagnetik baik dalam

polarisasi mendatar maupun tegak. Interaksi gelombang radar dengan permukaan

bumi dapat merubah polarisasi, berdasarkan sifat dari targetnya. Polarisasi pada sinyal

radar ditunjukkan pada Gambar 12.

Page 28: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

16

Sudut Masuk. Merupakan sudut yang dibentuk oleh arah tegak dengan arah pancaran

radar ke objek. Sudut masuk berubah mulai dari jarak dekat hingga jarak jauh, sehingga

hal ini berpengaruh terhadap medan pandang. Untuk sudut masuk yang curam ( < 200)

akan memberikan pantulan maksimum. Pemilihan sudut masuk harus memperhatikan

kondisi topografi yang diinderanya, karena sangat berpengaruh terhadap terjadinya

distorsi akibat kondisi topografi tersebut. Disamping itu, dikenal juga sudut masuk

lokal, yaitu sudut masuk sebenarnya yang terjadi di setiap titik di permukaan tanah.

Sudut masuk dan sudut masuk lokal ditunjukkan dalam Gambar 13.

Sudut masuk

Sudut masuk

Sudut masuk lokal

Sudut masuk lokal

Gambar 13. Sudut masuk dan sudut masuk lokal (CNES, 2000)

7.2 Parameter Permukaan

Parameter permukaan sangat erat hubungannya dengan kondisi permukaan yang

diindera sistim radar. Interaksi antara radar dan material-material yang terdapat di

permukaan dipengaruhi oleh beberapa unsur, antara lain, kekasaran permukaan,

Geometri permukaan, dan Sifat dielektrika. Pancaran gelombang mikro yang

berinteraksi dengan permukaan bumi akan dihamburkan oleh objek, di pantulkan secara

spekular atau di pantulkan sempurna.

Kekasaran permukaan. Kekasaran permukaan merupakan istilah yang relatif dan

sangat tergantung pada panjang gelombang , serta sudut masuk , dimana

permukaan yang halus dan kasar memenuhi pernyataan Kriteria Reyleigh berikut

(Sabin, 1978)

h <

Cos25 halus

(11)

h >

Cos4,4 kasar

dengan demikian untuk panjang gelombang yang sangat besar, hampir semua

permukaan bumi tampak halus, sedang untuk panjang gelombang yang sangat pendek,

permukaan bumi akan tampak kasar. Pada citranya, untuk parmukaan yang kasar, akan

Page 29: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

17

tampak cerah sedangkan untuk permukaan halus, akan tampak gelap. Pengaruh

permukaan / objek terhadap sinyal balik ditunjukkan pada Gambar 14.

Sensor

a b c Gambar 14. Pengaruh permukaan /objek terhadap sinyal balik. (a) dihamburkan; (b)

spekular; (c) dipantulkan sempurna (Image Center, 1996)

Geometri Permukaan. Seperti pada pemotretan udara (sistim optik), selalu dihadapkan

pada objek-objek yang mempunyai ketinggian, sehingga menimbulkan pergeseran relief

pada hasil citranya. Pada foto udara, pemotretan dilakukan dengan sumbu kamera

tegak, sehingga pergeseran relief terjadi secara radial menjauhi titik nadir. Sedangkan

pada citra radar, pergeseran relief terjadi tegak lurus terhadap lintasan terbang dan

mendekati sensor.

Karena bentuk geometri pencitraan dengan radar selalu dalam arah samping dan

permukaan yang di indera tidak selalu datar, maka dengan adanya bentuk permukaan

yang tidak datar tersebut, sistim radar akan selalu dihadapkan pada distorsi yang

diakibatkan adanya kondisi tersebut. Distorsi yang diakibatkan terdiri dari

(Abiyoto,1998),

a. Bayangan (shadowing ),

b. Pemendekan ( foreshortening ),

c. Tumpang tindih ( layover ).

Ketiga jenis distorsi tersebut sering disebut dengan distorsi topografis.

Bayangan ( shadow ). Merupakan gambaran objek yang tidak tercakup oleh gelombang

elektromagnetik yang dipancarkan oleh sistim radar. Sehingga akibat tidak adanya

sinyal balik yang diterima oleh sensor, maka daerah bayangan tersebut akan tampak

gelap. Terjadinya bayangan akibat tertutup oleh bentuk topografi yang lebih tinggi pada

arah jarak ditunjukkan dalam Gambar 15.

Page 30: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

18

Proyeksi pada bidang miring

A’

B’ bayangan

B D’

A C D

Gambar 15. Terjadinya bayangan akibat tertutup oleh bentuk topografi pada arah jarak

Pemendekan (Foreshortening). Adalah pemendekan yang terjadi terhadap jarak

sebenarnya. Bila bidang AB tegak lurus terhadap arah datang sinyal, maka jarak

proyeksinya akan sama dengan nol. Pemendekan yang terjadi pada sistim radar

ditunjukkan dalam Gambar 16.

Proyeksi pada bidang miring

Pemendekan

A’

B’

B

A C Gambar 16. Pemendekan yang terjadi pada sistim radar

Pembalikan ( layover) . Distorsi ini terjadi bila titik di puncak dan titik di dasar objek

terproyeksi terbalik terhadap posisi sebenarnya dilapangan . Hal ini bisa terjadi bila

sinyal balik dari puncak objek diterima lebih cepat dibandingkan dengan sinyal balik

dari dasar objek. Kondisi ini sangat mungkin terjadi di wilayah yang bergunung dengan

kecuraman yang sangat tajam. Tumpang tindih yang terjadi pada sistim radar

ditunjukkan dalam Gambar 17.

Page 31: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

19

Proyeksi pada bidang miring

Pembalikan

B’

A’

B

A C Gambar 17 Tumpang tindih yang terjadi pada sistim radar

Untuk mendapatkan citra tanpa memperhitungkan kondisi topografis, dapat

dilakukan dengan teknik rektifikasi, yang sering disebut dengan pengolahan citra

orthogonal (ortho-image). Pengolahan ini dilakukan koreksi pada setiap posisi dan

ukuran piksel, kemudian diproyeksikan secara orthogonal.

Sifat Dielektrika. Sering diindikasikan sebagai Konstanta dielektrika kompleks

(Complex Dielectric Constant – CDC), yang mengindikasikan apakah energi

gelombang mikro tersebut diserap, dipantulkan atau ditransmisikan.

Kelembaban suatu material, sangat mempengaruhi sifat elektrisitas, sebagai contoh,

pada konstanta dielektrika kompleks tinggi ( air = 80 ) merupakan reflektor yang baik.

Material dengan konstanta dielektrika kompleks rendah akan menyerap enersi dan oleh

karenanya dapat ditembus. Umumnya makin besar panjang gelombang radar yang

digunakan, penembusan enersi akan makin dalam pada suatu material.

Page 32: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

20

8. BEBERAPA CONTOH HASIL PENGOLAHAN

a. Peta arus permukaan laut didaerah Amelan, Belanda. Hasil Pengolahan Radar

Apertur Sintetik Interferometris data pesawat terbang

b. Model tinggi permukaan dijital (DEM / Digital Elevation Model) Hasil

Pengolahan Radar Apertur Sintetik Inteferometris data pesawat terbang, metoda

across track, oleh DLR Jerman, daerah West-Terschelling, Belanda. Skala

menunjukkan tinggi dalam meter

Page 33: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

21

c. Interferogram hasil pengolahan Radar Apertur Sintetik Interferometris data

satelit, untuk wilayah Gunung Cikuray dan Papandayan (Ismullah,2002).

d. Hasil pengolahan phase unwrapping dari interferogram yang ditunjukkan pada

butir c, daerah Gunung Cikuray dan Papandayan.

Page 34: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

22

e. Model Tinggi Permukaan Dijital hasil konversi fasa menjadi tinggi, dari hasil

phase unwrapping butir d, daerah Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan.

f. Peta Garis Kontur dari hasil Radar Apertur Sintetik Interferometris daerah

Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan, Jawa Barat, interval 25 meter.

1000.00

1100.00

1200.00

1300.00

1400.00

1500.00

1600.00

1700.00

1800.00

1900.00

2000.00

2100.00

2200.00

2300.00

2400.00

2500.00

2600.00

2700.00

807000.00 809000.00 811000.00 813000.00 815000.00

9186000.00

9187000.00

9188000.00

9189000.00

9190000.00

9191000.00

9192000.00

9193000.00

9194000.00

9195000.00

807000.00 809000.00 811000.00 813000.00 815000.00

9186000.00

9187000.00

9188000.00

9189000.00

9190000.00

9191000.00

9192000.00

9193000.00

9194000.00

9195000.00

Page 35: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

23

DAFTAR REFERENSI

Abyoto Kun W. Penerapan Transformasi wavelet untuk reduksi spekel,Ektraksi ciri dan

Segmentasi citra berdasarkan Tekstur. Disertasi Doktor. Institut Teknologi Bandung,

Indonesia, 1998. 168 Hal.

ASPRS. Manual of Remote Sensing 3rd

edtion, Vol. 2. John Wiley & Sons, Inc., 605 Third

Avenue, New York.1998.

CNES. ERS-1, Landsat , SPOT : Applications a complementary approach. Course material.

BPPT, 1993.

CNES. InSAR : Theory and Applications. Workshop materials, BPPT 8-16 Nov 2000, Jakarta,

2000.

DEOS. Delft Object Oriented Radar Interferometry Software:User manual and Technical

Documentation. Delft University of Technology, Delft 1.2 edition. 1999.

ESA-ESRIN. SAR interferometry orbit listing. 1999

Gens R and Genderen JL van. Analysis the geometric parameters of SAR Interferometry for

space borne systems. In International Archive of Photogrammetry and Remote Sensing

XXXI, part B2, Vienna, pages 107-110, 1996.

Hanssen Ramon and Usai Stefania. Interferometric phase analysis for monitoring slow

deformation processes. In 3rd

ERS Symp. On space at the service of our Environment,

Florence, Italy, 17-21 March 1997, ESA SP-414, pp. 487-491, 1997.

Hartl P. Sinthetic aperture radar, theory and applications. Faculty of Geodesy-Delft University

of Technology. Lecture note, 1996.

Image Center. Radar Remote Sensing. Course materials. Ontario, Canada, 1996.

Intermap . Radar Theory and systems. Course materials. Intermap Technologies ,Gurdwara

road,suit 200, Nepean. Ontario, Canada, 1996.

Kampes B and Hanssen R. Delft public domain radar interferometry software: preocessing

consideration and futur strategies. EOS transactions AGU, 81(19):S162, May-9, 2000.

Kooij M , Halsema v D , Groenewoud, Mets W, Overgaauw G J, and Visser P. SAR Land

Subsidence Monitoring. B C R S , 1995.

Lillesands and Kiefer. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Son, pp. 422,

1978.

Radarsat. Radarsat : Theory and Applications. Workshop and Seminar, Denpasar Bali, 26 April

– 4 May 1999, Bali, Indonesia, 1999.

Schreier G, editor. SAR Geocoding:data and systems. Whichmann Verlag. Karlsruhe, 1993.

Solaas,GA. ERS-1 Interferometric baseline algorithm verification. ESA-ESRIN, Proj. Eng.

Department, ERS Mission section. 1994.

The Encyclopedia AMERICANA ,International edition vol. 14, 1968. Library of Congress

catalog number : 68-12554. Copy ight by Encyclopedia Americana Corporation.

Page 36: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

24

BIOGRAFI PENULIS

Ishak Hanafiah Ismullah

Prof. Dr. Ir. Ishak Hanafiah Ismullah, DEA lahir pada tanggal 7

Januari 1947 di Yogyakarta. Putra dari pasangan Bapak Ismullah

Adi Putra (Alm.) dan Ibu Iswari ini menjalani masa sekolah

berpindah-pindah di berbagai kota di Indonesia, Sekolah Dasar di

Yogyakarta, Sekolah Menengah Pertama di Palembang, dan

Sekolah Menengah Atas di Mataram. Professor yang juga pecinta

musik dan olahraga ini kemudian melanjutkan pendidikannya ke

ITB sebagai mahasiswa Teknik Elektro pada tahun 1965. Selama

masa kuliah, Beliau juga aktif di berbagai kegiatan mahasiswa seperti Dema ITB,

Resimen Mahasiswa Mahawarman ITB, dan juga Perhimpunan Mahasiswa Bandung.

Setelah menyelesaikan tahap Sarjana Muda pada tahun 1972, atas dasar ketertarikan

yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu alam, beliau melanjutkan studinya di Teknik

Geodesi ITB dan memperoleh gelar Insinyur pada tahun 1975. Kemudian, Beliau

melanjutkan kuliah dengan menekuni bidang fotogrametri di ITC Belanda dan juga

mendalami bidang Teledetection di Universite Toulouse III, Prancis hingga tahun

1982. Di negara ini pula Beliau menikahi istrinya, Sri Murni Dwi Judhianty, seorang

sarjana Teknik Mesin UI yang saat itu juga berkuliah di Prancis. Pasangan ini dikarunia

tiga orang anak, yaitu Sarah, Daud, dan Ibrahim. Beliau pun meraih gelar Doktornya

pada tahun 2002 di ITB. Beliau telah mengabdikan hidupnya sebagai dosen di ITB

selama lebih dari 20 tahun, dan resmi mendapatkan gelar Professor pada tahun 2005

dengan bidang keahlian penginderaan jauh khususnya menggunakan Radar (Radio

Detection and Ranging) dan telah menghasilkan banyak sekali penelitian yang ditekuni

bersama kolega-koleganya. Pada awal tahun 2012, Beliau mengakhiri masa tugasnya

sebagai pengajar di ITB.

Page 37: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

25

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent

Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems,

Remote Sensing dan GIS Model:

Sebuah Sistem untuk Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan

Muhamad Sadly

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA),

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Gedung II BPPT, lantai 19, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340

Email:[email protected], [email protected]

Abstrak

Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun

model sistem penentuan lokasi keberadaan ikan di laut (Fishing Ground) untuk

peningkatan efektifitas perikanan tangkap ikan pelagis ekonomis. Knowledge-Based

Expert System Model yang diintegrasikan dengan teknologi penginderaan jauh (remote

sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dipilih sebagai pendekatan baru di

dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan.

Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, penentuan lokasi penangkapan ikan

masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan

tidak praktis di dalam implementasinya. Model yang dikembangkan disini dinamakan

Perangkat Lunak SIKBES-IKAN, atau Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intellgent

Fish Tracker). Kegiatan ini direncanakan akan dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu

pada tahapan pertama difokuskan pada studi literatur, pembangunan basis data spasial

kelautan dan perikanan, pengumpulan data penginderaan jauh dan data lapangan, serta

perancangan model prediksi lokasi fishing ground. Pada tahapan kedua, merupakan

implementasi sistem yang difokuskan pada pengembangan model prediksi, pengujian

dan validasi, serta pembangunan sistem informasi fishing ground berbasis website

spasial (online system). Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi lokasi

keberadaan ikan di laut yang lebih akurat dibanding dengan model konvensional yang

selama ini digunakan. Kegunaan dari hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam

memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat, dan mudah untuk

diakses. Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah pengembangan

model SIKBES-IKAN untuk aplikasi dalam pengembangan Sistem Perikanan Tangkap

Terpadu yang mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari

berbasis website spasial (online system). Model yang dikembangkan memiliki ciri:

intelligent decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat

secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna

mengenai lokasi keberadaan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan

akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

masyarakat nelayan khususnya, perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor

Page 38: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

26

industri perikanan tangkap. SIKBES-IKAN akan diimplementasikan di wilayah perairan

Teluk Tomini, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah dan perairan Selat

Makassar dan sekitarnya, Provinsi Sulawesi Selatan.

Kata kunci : Knowledge Based Expert System, Fishing Ground, Remote Sensing,

intelligent decision support system

Abstract

In this research proposed a new approach in the development of fishing ground

prediction model in the sea, especially for Economic Pelagic Fish. Knowledge-Based

Expert System is integrated with Remote Sensing and Geographic Information System

(GIS) decided as a new approach in order to improve the existing conventional method.

The main problem of a conventional method is the estimation of fishing ground using

manual system and the result obtained is not optimal and impractical in its

implementation. Model developed called SIKBES-IKAN or Intelligent Fish Tracker.

SIKBES-IKAN is an integrated software consisting of Knowledge-Based Expert

System/KBES, Remote Sensing and Geographic Information System (GIS). It is used to

provide strategic data and information on highly potential fishing ground location

while maintaining balance to prevent overfishing. SIKBES-IKAN can be used for

government and private agencies that manage and plan the sea resources in Indonesia.

These activities consist of two phases, i.e. in the 1st phase are focused on literature

review, the development of marine and fishery spatial database, remote sensing and in-

situ data collection, and design of fishing ground prediction model. In the 2nd

phase are

focused on the development, testing and validation of fishing ground prediction model.

Finally, building the fishing ground information system website spatial base (online

system). SIKBES-IKAN can provide the fishing ground prediction more accurate than

conventional method. Also, SIKBES-IKAN is capable of providing technology solutions

to address these issues in the conventional method. SIKBES-IKAN having the concept:

advanced, profitable, prosperity and sustainable in website spatial base (online

system). Model developed is indicated by the characteristics as intelligent decision

support system, cost minimizing objective function and economic beneficial.

Furthermore, this system can provide appropriate information of fishing ground easily

accessible, fast and accurate and also this model can help the fishermen to increase

their income, local economic, country foreign exchange from fishery industry sector.

The model will installed and implemented in several regions in Indonesia, for example

in the waters of the Gulf of Tomini Parigi Moutong District, Central Sulawesi Province

and the waters of Makassar Straits and surrounding, South Sulawesi.

Keywords : Knowledge Based Expert System, Fishing Ground, Remote Sensing,

intelligent decision support system

Page 39: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

27

1. LATAR BELAKANG

Sistem Informasi Knowledge-Based Expert System Fishing Ground (SIKBES-FG)

merupakan aplikasi database yang dibangun oleh Pusat Teknologi Inventarisasi

Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

sebagai bagian dari upaya menginplementasikan hasil kajian-kajian teknolgi khususnya

di sektor perikanan dan kelautan. Aplikasi ini disusun dengan menggunakan suatu

pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model sistem penentuan lokasi

keberadaan ikan di laut (Fishing Ground) untuk peningkatan efektifitas perikanan

tangkap ikan pelagis ekonomis. Knowledge-Based Expert System Model yang

diintegrasikan dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Sistem

Informasi Geografis (SIG) beserta perhitungan nilai ekonominya dipilih sebagai

pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih

digunakan. Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, penentuan lokasi

penangkapan ikan masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga

tidak optimal dan tidak praktis di dalam implementasinya. Lebih lanjut, model yang

dikembangkan di sini mengintegrasikan fishing ground dengan parameter sumberdaya

perikanan tangkap (sosial, ekonomi dan valuasinya) sehingga dapat membantu

pengguna/user didalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan dan

perikanan. Model yang dikembangkan disini dinamakan “SIKBES-IKAN” atau disebut

juga Sistem Penjejak Ikan nan cerdas (Intelligent Fish Tracker)

Kegiatan ini difokuskan pada: (a). Kajian Regional kondisi lingkungan perairan, Kajian

kondisi fisik oseanografi (in situ); Kajian remote sensing; Kajian tingkah laku dan

dinamika populasi ikan pelagis ekonomis penting. (b). Kajian Lokal (wilayah perairan

Teluk Tomini); Kajian Knowledge-based model; Kajian ekonomi dan analisis dampak.

Kegiatan diseminasi, berupa sosialisasi hasil akan dilakukan dalam forum seminar,

workshop, pelatihan.

Dalam penyusunan sistem informasi ini terdapat empat komponen utama yang berperan

sangat besar, yaitu Sumber Perangkat Keras (hardware), meliputi segala bentuk fisik,

peralatan dan benda yang digunakan dalam memproses informasi. Hal tersebut tidak

melibatkan mesin saja tetapi juga melibatkan data media seperti magnetic disk :

Sumber Perangkat Lunak (software), meliputi segala informasi dan instruksi.

Perangkat lunak tidak hanya dalam menginstruksi operasi disebut program tetapi ada

juga yang berbentuk prosedur ; Manusia, dibutuhkan untuk menjalankan dalam

mengoperasikan semua Sistem Informasi. Manusia yang dimaksud adalah spesialis dan

orang pengguna komputer ; Data Informasi, merupakan sesuatu yang berharga di

dalam sumber pengorganisasian. Data dan Informasi disimpan data bases, model bases

dan knowledge base dan dianggap sebagai bagian dari sumber data atau sumber

informasi di dalam organisasi.

Di akhir penyusunan diharapkan sistem ini dapat penyediaan informasi yang tepat guna

mengenai daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan

akurat; informasi mengenai potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat

ikan suatu perairan untuk menghidari ekploitasi sumberdaya ikan yang berlebih

(overfisihing) agar bisa membantu untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan

Page 40: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

28

selektivitas dalam Operasi Penangkapan Ikan (OPI) untuk ikan pelagis penting baik

skala lokal maupun regional.

2. TUJUAN

Tujuan utama pembangunan Sistem Informasi Perikanan Tangkap Terpadu Berbasis

Knowledge-Based Expert System (SIKBES-IKAN) ini adalah :

Membangun dan mengembangkan basis data spasial beserta valuasi ekonomi

terhadap mengenai karakteristik, sifat fisik perairan, zat hara dan habitat ikan

pelagis penting baik yang terdapat dalam suatu perairan lokal maupun perairan

skala regional.

Membangun dan mengembangkan Knowledge-Based Expert System Model yang

diintegrasikan dengan sistem informasi geografis (GIS) menggunakan data

penginderaan jauh (remote sensing) untuk prediksi lokasi penangkapan ikan.

Menyediakan informasi yang tepat guna melalui jaringan website mengenai daerah

penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat dan near

realtime.

Menyediakan informasi estimasi ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan

berdasarkan potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan di suatu

perairan.

Memberikan masukan untuk rekayasa operasional teknis dan kelembagaan dalam

mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam khususya sektor kelautan dan

perikanan.

3. KEUNGGULAN SIKBES-IKAN

Keunggulan utama dari software SIKBES-IKAN adalah mampu memberikan solusi

teknologi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pada metode konvensional

(yang merupakan salah satu peran BPPT). Keunikan Software SIKBES-IKAN

ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai sistim pendukung keputusan secara cerdas

(intelligenct decision support system), fungsi obyektif meminimumkan biaya (cost

minimizing objective function), bermanfaat secara ekonomi, serta mempunyai konsep

Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Lebih lanjut, Prediksi tidak sepenuhnya

tergantung pada pengalaman dan pengetahuan operator. Dapat membantu

pengguna/user dalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan dan

perikanan. Dapat memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat,

dan relatif mudah untuk diakses. SIKBES-IKAN dapat digunakan untuk Pemerintah dan

instansi swasta dalam mengelola dan menyusun rencana strategis sumberdaya kelautan

di Indonesia. Potensi aplikasi SIKBES-IKAN sebagai sumber informasi strategis daerah

penangkapan ikan di Indonesia yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan

optimasi hasil tangkap, bisa digunakan di instansi pemerintah untuk pengelolaan

penangkapan ikan bagi industri.

Page 41: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

29

4. PEMBANGUNAN SISTEM SIKBES-IKAN: DESKRIPSI DAN

METODOLOGI

4.1. Deskripsi

Perangkat lunak SIKBES-IKAN dibangun dalam rangka memindahkan kearifan dan

pengetahuan tentang kelautan dan perikanan yg diwarisi secara turun-temurun menjadi

pengetahuan teknis untuk prediksi yang lebih akurat keadaan perikanan guna

memastikan kelestarian dan optimasi pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia.

Pada tahun 2008, perangkat lunak SIKBES-IKAN sudah dilindungi UU Hak Cipta dari

Ditjen. HKI, Departemen Hukum dan HAM RI. Selanjutnya dalam rangka

implementasi dan komersialisasi aplikasi sistem ini lebih lanjut, BPPT telah melakukan

sosialisasi ke institusi kelautan dan perikanan, industri perikanan serta pemerintah

daerah di Indonesia.

Perangkat lunak SIKBES-IKAN memungkinkan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari

pengguna (user) dalam kerangka membantu menyusun perencanaan strategis dibidang

kelautan dan perikanan berdasarkan data fishing ground (FG) yang diperoleh melalui

sistem ini, adalah sebagai berikut:

• Dimana posisi Fishing Ground (FG) yang terdeteksi?

• Berapa jarak dari pos pendaratan ikan ke titik FG ?

• Jenis armada / kapal (tonase) apa yang layak digunakan ?

• Berapa lama waktu tempuh dan arah dari pos pendaratan ikan ke titik FG ?

• Jenis alat tangkap apa yang layak digunakan ?

• Prasarana penunjang apa yang harus dlengkapi ?

• Jenis ikan apa yang kemungkinan menjadi target tangkapan ?

• Berapa besar modal yang harus dikeluarkan ?

• Berapa besar biaya operasional yang harus dikeluarkan ?

• Berapa besar produksi tangkapan yang akan dihasilkan ?

• Berapa kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh ?

• Kombinasi mana yang paling menguntungkan untuk dilakukan penangkapan ?

• Berapa besar bagi hasil keuntungan untuk setiap kelompok orang yang terlibat ?

• Kearah mana kemungkinan titk FG akan bergerak ?

4.2. Metodologi

Metodologi yang akan dijabarkan berikut ini disusun secara hierarki disusun

sedemikian rupa agar didapatkan hasil kajian yang komprehensif, sistematik dari hulu

yang berisi mengenai pengembangan metode baru dalam prediksi lokasi penangkapan

ikan (fishing ground) dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) hingga ke

hilir yang berisi implementasi metode baru tersebut dalam penentuan fishing ground

jenis ikan pelagis ekonomis sampai pada pembangunan perangkat lunak Sistem

Informasi Perikanan Tangkap Terpadu (SIKBES-IKAN) berbasis expert system yang

mana mengintegrasikan lokasi penangkapan ikan (fishing ground) dengan parameter

sumberdaya perikanan tangkap (sosial, ekonomi dan valuasinya) sehingga dapat

membantu pengguna/user dalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan

Page 42: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

30

dan perikanan yang bercirikan: intelligenct decision support system, cost minimizing

objective function dan bermanfaat secara ekonomi.

(1). Pengembangan Model Integrasi Knowledge-Based Expert System-Remote

Sensing-GIS

Pada Gambar 1 diperlihatkan integrasi antara Sistem Pakar (expert system), Sistem

Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh (remote sensing), yang merupakan

konsep dasar yang diguanakan dalam pembangunan model. Sistem integrasi di sini

merupakan metode baru yang digunakan dalam memetakan fishing ground dan valuasi

ekonominya dan dirancang untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan yang biasa dijumpai di

dalam studi ilmu kebumian. Komponen GIS & RS difasilitasi untuk menjawab

pertanyaan pertanyaan ”What” dan ”Where”, yaitu RS & GIS database dan spatial

analysis. Komponen Expert System disusun dengan 2 (dua) modul utama, yaitu :

Knowledge-Base dan inference engine yang difasilitasi untuk menjawab pertanyaan

”Why”. Basis pengetahuan (knowledge base) dari sebuah expert system dibangun

berdasarkan hasil dari pengambilan pengetahuan (knowledge acquisition) di dalam

bentuk ”production rules”. Inference engine dalah sebuah alat pemroses pengetahuan

(knowledge processing tool) pada komponen expert system (sistem pakar). Tugas

utamanya adalah menggabungkan fakta-fakta (facts) dengan aturan-aturan (rules) untuk

mengembangkan atau untuk menyimpulkan atau untuk menggambarkan kesimpulan

tentang fakta-fakta baru.

Gambar 1. Sistem Integrasi Expert System, GIS dan Remote Sensing yang

digunakan dalam membangun SIKBES-IKAN

Page 43: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

31

(2). Lokasi Studi dan Akuisisi Data

Daerah penelitian terletak di daerah pesisir Teluk Tomini, Sulawesi Tengah dan

Sulawesi Selatan (Gambar 2). Sebagai data input, kita menggunakan Suhu Permukaan

Laut (SST), Laut Permukaan Klorofil-a (SSC) dan data Kekeruhan berasal dari data

satelit MODIS NASA. Sedangkan untuk memverifikasi hasil Perikanan Ground Model

Prediksi, kami mengumpulkan data in-situ dari titik penangkapan ikan di kedua daerah,

dan analisis statistik sederhana digunakan untuk memahami persentase akurasinya.

Gambar 2. Lokasi Kegiatan Implementasi SIKBES-IKAN

(3). Perancangan Ontology Knowledge-Based Expert System Untuk Prediksi Lokasi

Keberadaan Ikan (Fishing Ground Prediction)

Proses penentuan lokasi potensial keberadaan ikan (fishing ground) selanjutnya melalui

para ahli/pakar (experts) disusun basis pengetahuan (knowledge base) tentang hubungan

antara parameter-parameter yg mempengaruhi penentuan lokasi keberadaan ikan. Pada

Gambar 2 diperlihatkan alur sistem yang digunakan di dalam membangun SIKBES-

IKAN. Dalam penelitian ini, kami menggunakan 3 (tiga) parameter oseanografi (SST,

Klorofil-a Kekeruhan, dan) sebagai input data Pengetahuan Berbasis Sistem Pakar

(Knowledge Based Expert System/KBES) untuk menentukan lokasi potensial

penangkapan ikan. Parameter ini kemudian juga diproses untuk menyelidiki dan

mengidentifikasi fenomena oseanografi (upwelling, front, dan eddy) di daerah studi

yang diduga memiliki korelasi kuat dengan lokasi potensial penangkapan ikan. Dalam

penerapan KBES menggunakan data harian dari SST, Chl-a, dan Kekeruhan (turbidity)

sebagai variabel input untuk menghasilkan informasi sehari-hari pembentukan daerah

potensial penangkapan ikan. Proses perumusan hubungan antar parameter (ontologi)

dalam rangka menghasilkan lokasi potensial keberadaan ikan (fishing tground)

diperlihatkan pada Gambar 3.

Dari Gambar 3, diperlihatkan alur sistem SIKBES-IKAN, dimanan hubungan antar

parameter (Chl, SST, Turbidity) serta arus laut untuk memprediksi pergerakan ikan,

Page 44: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

32

yang akhirnya melakkan prediksi lokasi keberadaan ikan. Disamping prediksi FG, maka

sistem SIKBSE-IKAN juga dirancang untuk membantu pengambil keputusan (decision

makers) didalam membuat perencanaan strategis bidang kelautan dan perikan di

wilayahnya serta bagaimana menghitung nilai ekonomi yang didapat nelayan dalam

bentuk rekomendasi. Hasil dari rumusan ontology ini, selanjutnya diturunkan menjadi

aturan-aturan (rules) yang digunakan didalam membangun model prediksi FG. Aturan-

aturan (heuristic rules) diturunkan dari knowledge base sistem perikanan tangkap yang

merupakan hubungan antar parameter-parameter oseanografi dan fenomenanya dalam

rangka mendapatkan lokasi potensial keberadaan ikan.

Gambar 3. Alur Sistem SIKBES-IKAN

(4). Konsep Model prediksi untuk Fishing Ground (A proposed cyclical modeling

approach)

Konsep pemodelan yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan Knowledge

based expert system yang diintegrasi dengan GIS dan data penginderaan jauh

didasarkan pada pendekatan model yang bersiklus (seperti yang diilustrasikan pada

Gambar 3). Model ini terdiri dari tiga (3) tahap, seperti yang dijelaskan di bawah ini:

(a). Tahap Pengamatan: untuk menentukan karakteristik perilaku ikan, kondisi fisik laut

dan menggunakan metode pengenalan pola daerah penangkapan ikan dan yang bukan

daerah penangkapan ikan; (b). Analisis dan interpretasi data (SST, Chl-a, dan turbidity);

PREDIKSI PERGERAKAN

Page 45: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

33

(c). Pemodelan dan tahap pengujian/verifikasi : pengujian dan validasi menggunakan

data in-situ untuk prediksi daerah penangkapan ikan (fishing ground)

Gambar 4. Konsep Model Prediksi Fishing Ground (A proposed cyclical modeling

approach)

Dari model ini, kita akan memahami bahwa terbukti dari kinerja model akan tergantung

pada data umpan balik (feedback) dari pengamatan lapangan dan basis pengetahuan

sistem pakar (knowledge base) dalam penyelidikan lebih lanjut yang dapat dilakukan

dan disesuaikan dengan prediksi yang lebih akurat daerah penangkapan yang ada dan

fenomena oseanografi. Aturan-aturan (heuristic rules) dalm bentuk IF-THEN Rule

diformulasikan berdasarkan knowledge base yang telah disusun oleh para pakar

(experts) untuk memprediksi lokasi keberadaan ikan (fishing ground). Aturan-aturanj

(Heuristic Rules) yang telah diformulasikan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Heuristic Rules yang digunakan dalam Prediksi Fishing Ground

Page 46: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

34

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa hasil yang diperoleh dalam pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas

(intelligent fish tracker) untuk mendukung program Ketahanan Pangan Nasional di

Bidang Kelautan dan Perikanan antara lain: Perangkat Lunak SIKBES-IKAN: model

integrasi antara Expert system dengan penginderaan jauh dan Sistem Informasi

Geografis (GIS) untuk prediksi lokasi keberadaan ikan (fishing ground) yang sangat

bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat,

dan mudah untuk diakses, yang dapat dipergunakan untuk membantu nelayan dalam

melakukan operasi penangkapan ikan agar menjadi efektif dan tepat sasaran; Basis data

spasial sumberdaya perikanan; Peta lokasi keberadaan ikan (fishing ground map);

Model valuasi ekonomi sumberdaya perikanan tangkap.

Pada Gambar 5. di ilustrasikan peta lokasi keberadaan ikan (fishing ground map) di

wilayah pesisir Teluk Tomini (Sulawesi Tengah) dengan menggunakan KBES-GS-RS

FG model yang terpaket dalam sistem SIKBES-IKAN. Dengan menerapkan perangkat

lunak SIKBES-IKAN, maka sebagai masukan digunakan 3 parameter, yaitu: suhu

permukaan laut (SST), Konsentrasi klorofil (chl) dan Turbidity. Sistem SIKBES-IKAN

akan melakukan proses dan analisa, sampai menghasilkan fishing ground map. Hasil

pada Gambar 5 menunjukkan bahwa peta daerah penangkapan ikan yang dihasilkan

dari model dapat dibagi menjadi dua (2) kategori. Kategori pertama adalah FG daerah

potensial yang ditandai dengan titik warna merah, dan kategori kedua adalah wilayah

semi FG potensial ditandai dengan titik berwarna hijau. Sementara titik-titik warna

hitam merupakan daerah non FG. Peta lokasi keberadaan ikan (FG map) beserta titik

koordinatnya selanjutnya diinformasikan kepada Nelayan. FG map ini sangat penting di

dalam memberikan panduan kepada para nelayan untuk menuju lokasi penangkapan

ikan dan dengan panduan ini, Nelayan bisa menangkap ikan lebih efektif dan yang lebih

penting lagi nelayan dapat menghemat penggunaan bahan bakar kapalnya.

Sistem SIKBES-IKAN diterapkan dan dijalankan dengan mempertimbangkan informasi

lingkungan laut diidentifikasi oleh tiga (3 parameter SST harian, kekeruhan Klorofil-a,)

sebagai data input. Setiap hari dan hasil variabilitas model dalam menghasilkan

diperkirakan luas daerah potensial penangkapan yang akurat tergantung pada cakupan

awan serta situasi meteorologi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa daerah

potensial penangkapan ikan sebagian besar terkonsentrasi di perbatasan dekat (depan)

dari tingkat konsentrasi tinggi rendahnya klorofil-a. Pada Gambar 6 diperlihatkan hasil

analisisi statistik (data keluaran dan data lapangan/in-situ) unjuk kerja dari model yang

dikembangkan. Untuk memahami tingkat akurasi dari model ini, dengan

membandingkan hasil harian model (output model)dan data observasi lapangan harian

daerah penangkapan ikan dalam waktu yang sama dari perolehan data dan observasi.

Hasil yang ditunjukkan dalam Gambar 6, menunjukkan bahwa persentase rata-rata

tingkat akurasi hasil model di kedua wilayah di daerah pesisir Teluk Tomini, Sulawesi

Tengah dan Sulawesi Selatan relatif tinggi dengan tingkat akurasi 86%. Sedangkan

hasil harian model prediksi di wilayah pesisir Teluk Tomini, Sulawesi Tengah dalam

kisaran 68% sampai 95%.

Page 47: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

35

Chlorophyll map Tomini bay

Knowledge Base Engineer + GISKnowledge Base Engineer + GIS

(KB Expert Systems GIS) (KB Expert Systems GIS)

Map of Potential Map of Potential

Fishing GroundFishing Ground

Turbidity map Tomini bay

Sea Surface map Tomini bay

Chlorophyll map Tomini bay

Knowledge Base Engineer + GISKnowledge Base Engineer + GIS

(KB Expert Systems GIS) (KB Expert Systems GIS)

Map of Potential Map of Potential

Fishing GroundFishing Ground

Turbidity map Tomini bay

Sea Surface map Tomini bay

Gambar 5. FG peta yang dihasilkan oleh SIKBES-IKAN di perairan Teluk Tomini,

Sulawesi Tengah

Sebagaimana disebutkan di atas, variabilitas tingkat akurasi hasil prediksi model tanah

potensial penangkapan ikan tampaknya harus kuat berkorespondensi dengan tingkat

penutupan awan di mana di daerah tropis menjadi masalah. Untuk menghilangkan dan

meningkatkan tingkat akurasi dalam akuisisi data satelit, pengembangan proses teknis

dari satelit data untuk daerah tropis direkomendasikan.

Page 48: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

36

Gambar 6. Hasil analisis statistik sederhana antar model dan data lapangan dari daaerah

penangkapan ikan

6. KESIMPULAN

Indonesia adalah negara maritim yang memiliki sumberdaya kelautan sangat besar,

terutama potensi perikanan. Pengelolaan penangkapan ikan laut yang baik dan

seimbang memerlukan informasi potensi sumberdaya ikan laut yang baik dan akurat.

PTISDA BPPT telah berhasil membangun suatu model prediksi lokasi keberadaan ikan

beserta valuasi ekonominya dengan sukses dan unjuk kerja yang tinggi. Model ini

merupakan suatu terobosan baru, yaitu membangun model prediksi lokasi keberadaan

ikan (fishing ground) di laut jenis ikan pelagis ekonomis menggunakan pendekatan

integrasi antara metode sistem pakar (Knowledge-Based Expert System/KBES),

Penginderaan Jauh (Remote Sensing), Sistem Informasi Geografis (Geographic

Information System/GIS) dan teknik valuasi ekonomi yang mampu menyediakan

informasi estimasi ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan potensi

lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan di suatu perairan. Model yang

dikembangkan ini dinamakan perangkat lunak “SIKBES-IKAN”, atau sang penjejak

ikan nan cerdas (intelligent fish tracker).

Sistem yang dibangun mampu memindahkan kearifan dan pengetahuan tentang

kelautan dan perikanan yang diwarisi secara turun-menurun menjadi pengetahuan

teknis untuk prediksi yang lebih akurat keadaan perikanan guna memastikan kelestarian

dan optimasi pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia, bukan hanya berdasarkan

pengalaman atau intuisi perorangan saja. Mulai pada tahun 2009 hingga saat ini,

software SIKBES-IKAN telah di implementasikan di beberapa wilayah di Indonesia,

misalnya di perairan teluk Tomini kabuapaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi

Page 49: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

37

Tengah. Sistem ini dapat menyediaan informasi yang tepat guna mengenai daerah

penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat; informasi

mengenai potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan suatu perairan

untuk menghidari ekploitasi sumberdaya ikan yang berlebih (overfisihing) agar bisa

membantu untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan selektivitas dalam Operasi

Penangkapan Ikan (OPI) untuk ikan pelagis penting baik skala lokal maupun regional.

DAFTAR REFERENSI

Atkinson, P. M. and A. R. L. Tatnall. 1997. Neural networks in remote sensing. Int. J. Remote

Sensing. Vol. 18, No. 4.

Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal processes in

Indonesian waters using SeaWiFS data. Deep Sea Research Part II 51 : 85-97.

Ignizio, J.P. Introduction to Expert Systems: the development and implementation of rule-based

expert system. NewYork: McGraw-Hill, Inc.

James C. Hendee. 1998. An Expert System for Marine Environmental Monitoring in the Florida

Keys national Marine Sanctuary and Florida Bay. Proceedings of the Second International

Conference on Environmental Coastal Regions, ed. C.A. Brebbia. Computational

Mechanics ublications/WIT Press. Southampton, pp. 57-66.

Kemmerer, A.J. 1980. Environmental preferences and behavior patterns of Gulf menhaden

(Brevoortia patronus) inferred from fishing and remotely sensed data. ICLARM Conf.

Proc., (5):345–70.

Laurs, R.M. et al. 1984. Albacore tuna catch distributions relative to environmental features

observed from satellites. Deep-Sea Res., 31(9):1085–99.

Mockler, R.J. & Dologite, D.G. 1992. Knowledge-Based Systems. An Introduction to Expert

Systems. Macmillan Publishing, New York.

Poul Degnbol. 2004. The Knowledge base for fisheries management in developing countries:

alternative approaches and methods. Institute for Fisheries Management and Coastal

Community Development. Bergen Norway Published.

Sadly, Muhamad. 2005. Assessment and Applicfations of the Knowledge-based Expert System in

Natural Resources Management. Technical Report P-TISDA, BPPT.

Sadly, Muhamad., N. Hendiarti, S.I. Sachoemar, Y. Faisal. 2009. Fishing Ground Prediction

Using a Knowledge-Based Expert System Geographical Information System Model in the

South and Central Sulawesi Coastal Waters of Indonesia. International Journal of Remote

Sensing (IJRS), Vol. 30, Nos.23-24, 20 December 2009, 6429-6440, Tailor & Francis

(ISSN:0143-1161).

Venegas, R., P.T. Strub, E. Beier, Letelier, T. Cowles, and A.C. Thomas. 2007. Assessing

satellite-derived variability in chlorophyll pigments, wind stress, sea surface height, and

temperature in the northern California Current System. J. Geophys. Res. In Press.

Page 50: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

38

BIOGRAFI PENULIS

Dr. Ir. Muhamad Sadly, M.Eng.

Dr. Muhamad Sadly lahir di Makassar (Sulawesi Selatan) pada

14 Desember 1963. Menamatkan SD, SMP dan SMA di Kota

Makassar. Pendidikan Tinggi diawali di Universitas Indonesia

Jurusan Teknik Elektro dan meraih gelar Insinyur UI tahun

1988. Meraih Master of Engineering (M.Eng.) dari Department

of Information and Computer Sciences, Faculty of Engineering,

Chiba University, Japan pada Tahun 1996 dengan riset

pengembangan algoritma/model untuk aplikasi bidang

penginderaan jauh terkait dengan pengelolaan SDA.

Memperoleh gelar Doktor (Doctor of Philosophy) pada tahun

2000 dari Department of Information & Computer Engineering,

Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Japan. Pada Bulan

Maret 1989 diterima bekerja di Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Alam (sekarang

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam/PTSDA), Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (BPPT) dan sampai sekarang masih tetap bekerja di PTISDA

BPPT. Pada Tahun 2004-2009 penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Teknologi

Pemodelan Sistem SDA pada Pusat Teknologi Inventarisasi SDA (PTISDA), BPPT.

Kemudian, pada tanggal 7 Agustus 2009, dilantik sebagai Direktur Pusat Teknologi

Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), BPPT. Penulis juga aktif pada beberapa

organisasi profesi, baik skala nasional maupun skala internasional. Berbagai jejaring

kerjasama luar negeri (International Networking) bidang R & D dalam Penginderaan

jauh telah dibangun, diantaranya dengan Jepang, Belgy, U.S.A, dan Taiwan. Puluhan

karya ilmiah telah di publikasikan, baik pada publikasi skala nasional maupun pada

skala internasional. Penghargaan yang ia peroleh, antara lain: Piagam Satya Karya

Satya X dan XX Tahun 1999 dan 2009; Sebagai Peneliti Utama (PU) pada Riset

Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Bidang Kelautan untuk Mendukung

Kemandirian Agribisnis Budidaya Perikanan, dengan tema riset Aplikasi Penginderaan

Jauh Untuk Identifikasi Ekosistem Terumbu Karang Dan Kesuburan Perairan di

Kepulauan Bangka (2000-2001); Riset Unggulan Terpadu IX (RUT-IX), Bidang

Informasi dan Mikroelektronika tentang “Perancangan Stasiun Bumi Penerima Data

Satelit NOAA-AVHRR Dan Aplikasinya di Indonesia” (2002-2003). Sebagai Peneliti

Utama Program Insentif Ristek (2007); Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI

“SATYALANCANA WIRA KARYA Tahun 2008; Masuk dalam “101 Indonesia

Innovations pada tahun 2009”, Salah satu Inventor dan pemegang hak cipta (copyright)

Perangkat Lunak “SIKBES-IKAN”.

Page 51: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

39

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-

Omi

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati

Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-LAPAN

Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung

*Tel/Fax: 022-6037445/022-6037443; e-mail: [email protected]

Abstrak

Aerosol adalah partikel padatan atau cair yang tersuspensi dalam udara. Aerosol

terbentuk dari emisi primer dan sekunder hasil reaksi gas-gas. Sedangkan O3 terbentuk

dari hasil reaksi kimia gas-gas di troposfer dan reaksi radiasi matahari terhadap molekul

oksigen di stratosfer. Oksidasi O3 terhadap gas NO2 dan SO2 akan menghasilkan

aerosol sekunder. Keberadaan keduanya di atmosfer dapat mempengaruhi budget

radiasi matahari yang mempengaruhi iklim, deposisi asam, dan visibilitas atmosfer.

Dengan menggunakan data aerosol dalam Aerosol Optical Depth (AOD) pada panjang

gelombang 483,5 nm dan total O3 dari satelit Aura-NASA sensor OMI (The Ozone

Monitoring Instrument) dari Oktober 2004 sampai Desember 2008 akan dilihat

variabilitas musimannya. Hasil analisis AOD(483,5 nm) terluas terdapat di wilayah Jawa

Barat dengan kisaran 1,662-2,193 pada musim DJF (Desember-Februari) dan terendah

dengan kisaran 0,599-1,131 pada musim JJA (Juni-Agustus). Sedangkan total O3 terluas

tetinggi pada kisaran 255,33-258,56 DU (Dobson Unit) pada musim SON (September-

November) dan terendah pada kisaran 245,67-248,89 DU (Dobson Unit) pada musim

DJF (Desember-Februari) di seluruh Jawa. Hasil analisis di Jawa memperlihatkan

adanya perbedaan yang sangat jelas antara musim kering dan basah untuk total O3 yaitu

maksimum pada musim peralihan kering ke basah pada bulan-bulan SON. Sebaliknya

aerosol tinggi pada bulan-bulan basah DJF.

Kata kunci: Aerosol, Aerosol Optical Depth (AOD), AURA-OMI, O3, musim

Abstract

Aerosol is solid and liquid suspended in the air. Aerosols are produced by primary and

secondary emissions as a product of gas reactions. In the other hand, Ozone is

produced by gaseous chemical reactions in the troposphere and by the action of solar

radiation on oxygen molecules in the stratosphere. Ozone will oxidize gaseous NO2 and

SO2 to give secondary aerosol. Their existence in the atmosphere will influence solar

radiation budget that lead to climate, acid deposition and atmospheric visibility effects.

Aerosol data in form of Aerosol Optical Depth (AOD) with wavelength of 483.5 nm and

Ozone total column from satellite AURA-NASA sensor OMI (The Ozone Monitoring

Instrument) from October 2004 to December 2008 were used to analyze seasonal

Page 52: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

40

variability. The largest area covered and the highest value of AOD(483,5 nm) was found in

West Java with values of 1.662-2.193 during DJF (December to February) and the

lowest was within values of 0.599-1.131 during JJA (June to August). The largest and

the highest ozone total column was found within values of 255.33-258.56 DU (Dobson

unit) during SON (September to November) and the lowest was within values of 245.67-

248.89 DU (Dobson unit) during DJF (December to February) in all regions of Java.

Analysis’ result in Java showed clear differences between wet and dry seasons for

ozone total column i.e. maximum during dry to wet transformation season in SON

(September to November). On the contrary, aerosol was high during wet season.

Keywords: Aerosol, Aerosol Optical Depth (AOD), AURA-OMI, Ozone, season

1. PENDAHULUAN

Aerosol adalah partikel padatan atau cair yang tersuspensi dalam udara. Aerosol

terbentuk dari emisi primer dan sekunder hasil reaksi gas-gas. Emisi SO2 dari

pembakaran batubara yang meningkat akhir-akhir ini merupakan hal yang perlu

diperhatikan, mengingat dampaknya terhadap terjadinya hujan asam setelah dikonversi

menjadi aerosol sulfat. Oksidasi O3 terhadap gas NO2 dan SO2 akan menghasilkan

aerosol sekunder yaitu aerosol nitrat dan sulfat. Aerosol sebagai media untuk reaksi-

reaksi kimia yaitu kimia yang heterogen, yang paling penting dari reaksi ini

menyebabkan pengrusakan ozon stratosfer. Selama musim dingin di daerah kutub,

aerosol tumbuh membentuk Polar Stratospheric Clouds (PSCs) yaitu awan-awan

stratosfer. Area permukaan yang luas dari partikel-partikel awan menyediakan tempat

untuk reaksi kimia dan selanjutnya membentuk chlorine yang reaktif dan merusak ozon

di stratosfer. Fakta-fakta pengrusakan ozon stratosfer terjadi sesudah letusan gunung

berapi yang besar seperti gunung Pinatubo pada 1991 (NASA (ASD) Homepage, 2010).

Beberapa observasi menjelaskan bahwa tahun 1991, letusan gunung Pinatubo

(Philipina) menyebabkan penipisan lapisan ozon naik 20% pada musim semi berikutnya

(Solomon et al., 1993).

Dampak letusan gunung berapi akan berpengaruh pada penyebaran aerosol ke stratosfer

dan juga terhadap kimia atmosfer dan transfer radiasi matahari. Letusan gunung berapi,

selain memberikan kontribusi aerosol ke stratosfer, juga melepaskan SO2 dan

selanjutnya akan membentuk partikel sulfat. Sulfat partikel yang terdapat dalam aerosol

maupun hasil pembentukan dari gas SO2 diyakini sebagai tempat nukleisasi awan-awan

stratosfer (Iwasaka et al., 1994). Proses heterogen yang meliputi awan-awan stratosfer

di kutub mempunyai peranan dalam pengrusakan ozon di daerah stratosfer kutub, jika

awan-awan stratosfer kutub (Polar Stratospheric Clouds /PSCs) diuraikan dan senyawa

clorin (chlorine) bereaksi dengan permukaan PSCs (Solomon, 1989). Terakhir

dikesankan bahwa kemungkinan partikel sulfat dapat diuraikan di stratosfer dan

mengubah chlorine yang inert (tidak bereaksi) menjadi aktif dan merusak ozon

stratosfer melalui reaksi heterogen asam sulfat dalam tetes-tetes hujan (Hofmann and

Solomon, 1989). Hasil penelitian Iwasaka et al. (2002) di Cina mendapatkan struktur

aerosol (partikel) stratosfer, terutama terkomposisi dari asam sulfat dalam tetes awan

Page 53: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

41

dengan kisaran diameter ≥ 0,4 µm dan konsentrasinya 2-3 kali lebih besar dibandingkan

tampa letusan gunung berapi.

Ada tiga tipe aerosol mempengaruhi iklim secara signifikan. Yang pertama yaitu

lapisan aerosol gunung berapi yang terbentuk di stratosfer sesudah gunung meletus

seperti gunung Pinatubo. Kedua dari lapisan aerosol yang dominan adalah terbentuk

oleh gas SO2 dan dirubah menjadi asam sulfat dalam tetes-testes hujan (droplets) di

stratosfer setelah berminggu-minggu atau bulan sesudah letusan gunung berapi. Angin

di stratosfer akan menyebarkan aerosol sampai secara praktis menyelimuti seluruh

bumi, akibatnya aerosol akan tinggal di stratosfer selama kira-kira dua tahun. Mereka

merefleksikan sinar matahari, mereduksi sejumlah energi yang sampai ke permukaan

bumi, dan mendinginkannya. Pendinginan pada tahun 1993 adalah respon dari lapisan

aerosol stratosfer sebagai hasil letusan gunung Pinatubo (NASA (ASD) Homepage,

2010). Menurut Ohta et al. (1997) hasil analisis koefisien kekeruhan atmosfer secara

global yang diperoleh di daerah pedesaan di Jepang dari tahun 1954 - 1989

memperlihatkan kenaikan 0,028 telah menyebabkan penurunan rata-rata temperatur

permukaan secara global sebesar 0,41oC. Pengaruh aerosol atmosfer pada radiasi

matahari sangat bergantung pada ukuran penyebaran, bentuk, konsentrasi, dan sifat-

sifat optiknya. Letusan G. Pinatubo di Pilipina pada 15 Juni 1991 menimbulkan

timbunan aerosol sebanyak 30Tg (30x1012

g) (McCormick et al., 1995).

Tujuan dari penulisan ini adalah menghitung tingkat pengaruh aerosol terhadap total

ozon di atmosfer. Mengingat adanya pengaruh lainnya seperti radikal OH terhadap

pengrusakan ozon dan juga pengaruh kelembaban udara pada aerosol, maka analisis

dikelompokan berdasarkan empat musim. Musim di Indonesia terdiri dari musim kering

Juni-Agustus, basah Desember-Februari, peralihan basah ke kering Maret-Mei dan

peralihan kering ke basah September-November. Dengan mengetahui distribusi total

ozon per musim akan dapat menjelaskan penipisan lapisan ozon di Jawa.

2. TOTAL OZON

Total ozon terdiri dari ozon stratosfer dan troposfer. Daerah paling rendah atau lapisan

paling bawah disebut troposfer, dari permukaan bumi sampai ketinggian 10 km.

Sesungguhnya seluruh aktivitas manusia terjadi di troposfer. Lapisan berikutnya adalah

stratosfer, berkelanjutan dari 10 km sampai kira-kira 50 km. Sebagai yang

diperlihatkan, ozon atmosfer terbanyak terkonsebtrasi di lapisan stratosfer, kira-kira 15-

30 km di atas permukaan bumi (EPA-USA, 2011). Sekitar 90% dari total konsentrasi

ozon di atmosfer bumi terdapat di stratosfer dan disebut ozon yang baik. Ozon ini

sangat bermanfaat untuk menjaga kelangsungan kehidupan di bumi karena

kemampuannya dalam menyaring radiasi matahari ultraviolet (UV) terutama pada

panjang gelombang yang berbahaya dibawah 240 nm. Ozon dibentuk di stratosfer oleh

reaksi radiasi matahari terhadap molekul oksigen dalam proses yang disebut fotolisis:

O2 pecah menjadi atom oksigen dan bergabung kembali dengan O2 membentuk O3.

Ozon dirusak secara alamiah melalui siklus katalitik oksigen, nitrogen, chlorine,

bromine dan hidrogen (Bojkov, 1995). Dan sisanya 10% berada di lapisan troposfer

dari atmosfer bawah sampai 10 km, bersifat racun, oksidator sehingga merugikan

Page 54: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

42

kehidupan di bumi. Ozon troposfer terutama sebagai hasil dari proses pembakaran dan

reaksi kimia gas-gas.

Perubahan konsentrasi ozon dapat disebabkan adanya pembentukan dan perusakan

karena pengaruh alamiah dan antropogenik. Pengaruh alamiah antara lain adalah

pengaruh aktivitas matahari, musim, ENSO (El Nino and South Oscillation) dan QBO

(Quasi Biennial Oscillation). Pengaruh antropogenik disebabkan bertambahnya emisi

senyawa perusak ozon seperti CFC, halon, metilbromida, karbon tetraklorida, senyawa

halokarbon lainnya dan senyawa lain yang mempunyai potensi merusak ozon di

stratosfer.

Gambar 1. Struktur vertikal lapisan ozon troposfer (permukaan-10 km) dan stratosfer

(10-50 km) Sumber: Bojkov, WMO 1995; World Meteorological Organization, 1998,

Scientific Assessment of Ozone Depletion: 1998, WMO Global Ozone Research and

Monitoring Project - Report No. 44, Geneva, 1998

(http://www.epa.gov/ozone/science/sc_fact.html#o3alt)

3. METODOLOGI

Data-data yang digunakan dalam analisis yaitu total kolom AOD483,5nm (Aerosol Optical

Depth pada panjang gelombang (= 483,5 nm) dan total kolom ozon dalam Dobson

Unit (DU) diperoleh dengan cara mengunduh melalui situs giovanni-NASA

(http://daac.gsfc.nasa.gov/giovanni/). Situs giovanni-NASA merupakan interface yang

dikelola oleh NASA untuk mempermudah pengguna dalam mengunduh data-data hasil

observasi satelit yang dikelolanya. Untuk AOD483,5nm dipilih data Aura-OMI

(Observation Monitoring Instrument) level 2g dan total kolom O3 dipilih data Aura-

OMI level 3. Data AOD483,5nm level 2g telah berupa grid 0,250 x 0,25

0 atau setara

dengan luas wilayah 25 km x 25 km, sedangkan data total kolom O3 level 3 berupa grid

1o1

o atau setara dengan luas wilayah 100 km x 100 km.

Ket

ing

gia

n (

km

)

Page 55: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

43

Data AOD483,5nm dan total kolom O3 diunduh berdasarkan rata-rata musiman untuk

wilayah Jawa (5,50 LS-9

0 LS; 105

0 BT-115

0 BT) yaitu bulan Desember 2004 - Februari

2005, Maret 2005 - Mei 2005, Juni 2005 - Agustus 2005, September 2005 - November

2005, Desember 2005 - Februari 2006, dan seterusnya hingga September 2008 -

November 2008. Selanjutnya dengan menggunakan spreadsheet EXCEL data-data

tersebut dikelompokkan dan dirata-ratakan berdasarkan musim selama 4 tahun (2004-

2008) yaitu Desember-Februari (DJF) mewakili musim basah, Juni-Agustus (JJA)

mewakili musim kering serta Maret-Mei (MAM) dan September-November (SON)

mewakili musim peralihan.

Selanjutnya perangkat lunak Arc View/GIS versi 3.3 digunakan untuk membuat peta

kontur rata-rata musiman AOD483,5nm dan total ozon (O3) untuk wilayah Jawa dengan

metode interpolasi menjadi grid 0,01ox0,01

o. Berdasarkan peta kontur tersebut maka

dapat ditentukan nilai AOD483,5nm dan total kolom O3 per-kabupaten di Jawa. Dari peta

distribusi AOD483,5nm dan total ozon dianalisis penyebaran aerosol dan pengaruhnya

terhadap total ozon atau sebaliknya. Kajian pengaruh AOD483,5nm terhadap total ozon

dengan metode korelasi Pearson dari SPSS. 15 untuk tingkat kepercayaan 95% atau

=0,05 (Santosa S., 2001 dan Seni, 2005). Analisis korelasi Pearson menggunakan data

rata-rata bulan untuk wilayah Jawa dari AOD483,5nm dan total ozon.

4. HASIL DAN DISKUSI

4.1 AOD483,5 nm (Aerosol Optical Depth 483,5 nm)

Dari Gambar 2 dan Tabel 1, nilai AOD483,5 nm (Aerosol Optical Depth 483,5

nm) tertinggi terdapat pada bulan-bulan DJF di Banten, Jakarta dan Jawa Barat yaitu

sebesar 1,131-2,193. Juga di Sleman, Brebes, Magelang, Wonosobo dan Bondowoso

tinggi pada musim DJF dengan kisaran 1,131-2,193. Sedangkan Kota Banjar nilai

AOD483,5 nm adalah 2,725. Demikian pula pada musim peralihan SON, nilai AOD483,5 nm

tinggi yaitu dalam kisaran 1,131-3,256 di daerah Banten, Jawa Barat, Jakarta, Brebes

dan Sleman adalah wilayah dengan kepadatan transportasi, sedangkan Magelang,

Wonosobo dan Bondowoso mempunyai gunung berapi (Global Volcanism Program

(GVP), 2009). Di daerah Kuningan, Sleman, Wonosobo, Magelang dan Bondowoso

mempunyai nilai > 2,000 pada musim SON, perlu diketahui wilayah tersebut terdapat

gunung berapi sehingga memberikan kontribusi partikel ke atmosfer. Pada musim

peralihan kondisi atmosfer dengan konsentrasi aerosol yang tinggi diduga kuat adanya

kontribusi dari musim kemarau. Dan kurangnya proses pencucian atmosfer oleh hujan

akan menaikkan konsentrasi aerosol di atmosfer di bulan-bulan SON.

Page 56: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

44

Gambar 2. Rata-rata musiman DJF, MAM, JJA dan SON dari AOD483,5 nm berdasarkan

data Aura OMI level 2g di Jawa 2004-2008

Sedangkan untuk kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya nilai

AOD483,5 nm dalam kisaran cukup tinggi yaitu 1,131-1,662 dikarenakan industri dan

transportasi. Secara keseluruhan Jakarta diikuti Merak, Semarang dan Cirebon

sepanjang pantai Pantura sampai Surabaya (Sidoarjo dan Mojokerto), dan Probolinggo

mempunyai nilai aerosol tinggi dengan AOD483,5 nm yang tinggi 1,131-1,662

dibandingkan kota-kota lainnya di Jawa. Kota-kota tersebut merupakan daerah dengan

transportasi dan industri yang padat. Bulan-bulan dengan konsentrasi aerosol tinggi

terjadi pada musim SON diikuti DJF, MAM dan terakhir JJA. Pada musim penghujan

aerosol dengan AOD483,5 nm tinggi 1,131-1,662 dan 1,662-2,725 di musim penghujan di

Jawa Barat, Banten, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan tingkat

kelembaban yang tinggi dan terbentukannya inti kondensasi musim penghujan sehingga

ketebalan optik menjadi tebal atau tinggi.

Page 57: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

45

Tabel 1. Rata-rata AOD483,5 nm (Aerosol Optical Depth pada panjang gelombang ( 483,5

nm) berdasarkan lokasi dan musiman (DJF; MAM; JJA; SON) dari data Aura OMI level

2g periode 2004-2008 di Jawa.

Aerosol Optical Depth (AOD483,5nm) djf mam jja son

Provinsi kabupaten Rata-rata

(DU)

Rata-rata

(DU)

Rata-rata

(DU)

Rata-rata

(DU)

BANTEN Kota Tangerang 1,049 1,808 0,905 1,443

Lebak 0,926 1,490 1,321 1,792

Pandeglang 1,020 1,159 1,042 1,215

Serang 1,425 1,451 1,267 1,193

DKI JAKARTA Kota Jakarta Utara 1,144 1,219 0,920 1,230

JAWA BARAT Bandung 1,766 1,219 1,282 1,760

Bekasi 1,503 1,075 0,989 1,381

Bogor 1,913 1,414 1,524 1,242

Ciamis 0,757 1,385 1,338 0,914

Cianjur 0,819 1,070 0,902 1,264

Cirebon 1,551 0,987 0,844 1,386

Garut 0,920 0,620 1,079 0,967

Indramayu 1,258 0,886 0,855 1,648

Karawang 1,540 1,082 0,847 1,183

Kota Bandung 0,666 1,057 1,315

Kota Banjar 2,074 1,022 1,465 1,550

Kota Depok 1,955 1,296 1,165 1,382

Kuningan 1,678 1,335 2,846

Majalengka 1,676 1,471 0,860 1,744

Purwakarta 1,752 1,485 1,101 1,636

Subang 1,604 1,039 0,795 1,222

Sukabumi 1,460 1,377 1,170 0,508

Sumedang 1,819 1,103 0,824 1,646

Tasikmalaya 1,655 1,413 1,329 1,408

D I YOGYAKARTA Bantul 0,807 0,986 1,134 1,355

Gunung Kidul 1,033 0,848 0,872 0,854

Kulon Progo 0,828 0,993 0,978 1,005

Sleman 1,368 1,115 1,198 2,203

BALI Badung 0,578 0,474 0,237 0,548

Bangli 1,053 0,767 0,975 0,452

Buleleng 1,201 1,091 0,402 0,573

Jembrana 0,702 1,214 0,954 0,783

Karang Asem 0,781 0,414 0,569 0,489

Tabanan 0,852 0,988 1,634

LAMPUNG Lampung Barat 0,803 0,720 0,637 1,345

Lampung Selatan 1,290 1,768 1,766 1,594

Lampung Timur 1,500 1,543 1,818 1,196

Tanggamus 1,701 2,394 1,544 1,794

JAWA TENGAH Banjarnegara 0,819 1,281 0,283

Banyumas 0,894 1,024 0,976 1,003

Batang 1,630 0,771 2,796

Page 58: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

46

Blora 1,213 1,544 1,063 1,583

Brebes 1,342 2,589 0,838 1,506

Cilacap 1,130 0,858 1,166 0,645

Demak 1,273 1,055 0,765 1,687

Grobogan 1,217 0,869 1,027 1,394

Karanganyar 0,912 0,823 1,149 1,070

Kebumen 1,029 0,336 1,079 0,860

Klaten 1,503 1,561 0,985 1,287

Kota Tegal 0,960 0,734 1,332

Kudus 1,255 1,320 0,804 1,219

Magelang 1,462 1,657 0,968 2,035

Pati 1,411 1,133 0,890 1,119

Pekalongan 2,354 0,686 0,912 1,003

Pemalang 1,133 0,603 0,930 0,875

Purbalingga 0,612 1,008 2,377

Purworejo 1,159 0,936 1,172 1,295

Rembang 1,326 1,664 0,933 1,074

Semarang 1,554 1,173 0,901 1,467

Sragen 1,613 0,869 1,023 1,253

Sukoharjo 1,027 1,521 1,235 1,627

Tegal 2,122 1,253 0,767 1,052

Temanggung 1,457 0,922 1,038 1,443

Wonogiri 1,110 1,402 1,029 0,922

Wonosobo 1,399 2,377 1,239 2,484

JAWA TIMUR Bangkalan 1,300 1,059 0,794 0,898

Banyuwangi 1,107 0,593 0,795 0,800

Blitar 1,067 0,598 0,902 1,083

Bojonegoro 1,521 1,275 1,039 1,387

Bondowoso 2,007 1,519 0,523 1,260

Jember 1,091 1,071 0,826 1,053

Jombang 0,871 2,260 1,238 0,842

Kediri 1,009 0,859 1,303 1,028

Lamongan 1,621 0,957 0,943 1,251

Lumajang 1,048 0,662 1,069 0,935

Madiun 1,545 1,642 0,975 1,384

Magetan 1,540 0,956 0,915 0,977

Malang 0,747 0,848 1,086 0,864

Mojokerto 1,349 1,244 0,942 1,166

Nganjuk 1,973 0,770 0,793 1,285

Ngawi 1,919 1,012 1,036 1,624

Pacitan 0,812 1,239 0,713 1,549

Pamekasan 0,820 0,883 0,537 1,268

Pasuruan 1,003 0,607 0,730 0,802

Ponorogo 1,405 1,632 1,167 1,205

Probolinggo 2,674 0,730 1,333

Sampang 0,625 0,853 0,660 1,033

Sidoarjo 1,671 0,927 0,827 0,481

Page 59: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

47

Situbondo 1,302 0,741 0,456 1,034

Sumenep 1,074 0,761 0,567 0,866

Trenggalek 1,023 0,898 1,032 0,851

Tuban 1,481 0,994 0,858 1,145

Tulungagung 1,050 0,712 0,818 1,462

4.2 Distribusi Total Ozon

Gambar 3 memperlihatkan konsentrasi rata-rata musiman total kolom ozon dari data

Aura OMI level 2g di Jawa dari 2004 sampai 2008, dengan konsentrasi tinggi pada

musim SON (September-Oktober-November). Distribusi total ozon pada musim SON

di pulau Jawa hampir merata dengan konsentrasi rata-rata 255,33-258,56 DU.

Tingginya konsentrasi total ozon pada musim peralihan SON diduga kuat ada

peningkatan ozon prekursor seperti CO, NOx, CH4, NMHC di lapisan bawah atmosfer.

Gas-gas ini dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil berupa gas buang. Sedang

pembakaran biomass seperti kebakaran hutan akan menghasilkan gas-gas seperti CO,

NH3, CH4, CH3Cl dan NOx yang diantaranya berpotensi terhadap pembentukan ozon.

Bila ozon precursor di troposfer meningkat, maka ozon troposfer akan meningkat pula

tentunya. Mekanisme ini tentunya bisa dilihat dari proses pembentukan dan

pengrusakan ozon (Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and

Pandis, 1998), contohnya pembentukan ozon karena CO.

a. Reaksi pembentukan ozon troposfer karena adanya CO

HO + CO + O2 HO2 + CO2

HO2 + NO NO2 + HO

NO2 + hv NO + O

O + O2 + M O3 + M

CO + 2 O2 CO2 + O3

Dari distribusi spasial Gambar 3 dan Tabel 2 tersebut didapati konsentrasi ozon

tinggi di kota Jakarta, Serang, Kota Tangerang, dan kota-kota di Jawa Timur

seperti Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan yang merupakan kota-kota

penompang atau penyanggah transportasi padat ke daerah Surabaya juga Kediri.

Kota-kota tersebut adalah wilayah dengan transpotasi dan industri yang cukup

padat dan tentunya memberikan kontribusi gas buang dari pembakaran bahan

bakar fosil yang tinggi dibandingkan kota-kota lainnya.

Pada musim penghujan DJF (2004-2008) didapati konsentrasi rata-rata total O3

adalah terendah yaitu dalam kisaran 245,67-248,89 DU dibandingkan tiga musim

lainnya seperti MAM, JJA dan SON. Adapun pantai utara Jawa Timur agak lebih

tinggi dengan kisaran 248,89-252,11 DU sebaliknya Cilacap, Bandung, Cianjur,

Garut dan Padeglang didapati konsentrasi rata-rata total O3 dalam kisaran 242,44-

245,67 DU pada musim DJF (2004-2008). Nilai rata-rata total O3 yang rendah

pada musim penghujan dikarenakan terjadi pengrusakan O3 seperti oleh

ditunjukkan pada mekanisme pengrusakan ozon troposfer maupun stratofer

dikarenakan oleh adanya gugus hidroksil (HO). Awan mengandung H2O yang

Page 60: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

48

berpotensi secara langsung menghancurkan ozon terutama pada ketinggian diatas

40 km. Radikal OH dan HO2 yang dihasilkan dari fotokimia air adalah:

H2O + O* 2HO

Reaksi pengrusakan ozon seperti di bawah ini (Anderson and Herschbach, 1985;

Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998).

b. Reaksi pengrusakan ozon troposfer karena reaksi fotolisa

Ozon troposfer dirusak oleh reaksi fotolisa: O3 + hv O(1D) + O2

O3 + hv O(3P) + O2

O(1D) yang bersifat metastabil dihilangkan oleh O2 dan N2 menjadi:

O(1D) + M O(

3P) + M

c. Bila bereaksi dengan H2O akan membentuk gugus hidroksil (HO) yang dapat

terjadi di troposfer dan stratosfer yang berpotensi merusak ozon karena gugus

hidroksil (HO):

O(1D) + H2O HO + HO

Ozon dapat bereaksi langsung dengan nitrogen oksida (NO):

O3 + NO NO2 + O2

Gambar 3. Rata-rata musiman DJF, MAM, JJA dan SON dari total kolom ozon (data

Aura OMI level 2g) di Jawa 2004-2008

Page 61: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

49

Tabel 2. Rata-rata total kolom ozon (O3) berdasarkan lokasi musiman (DJF; MAM; JJA;

SON) dari data Aura OMI level 2g periode 2004-2008 di Jawa

O3 (Dobson Unit) djf mam jja son

provinsi kabupaten Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata

DU DU DU DU

BANTEN Kota Tangerang 248,0 256,0 256,0 257,0

Lebak 247,0 252,4 253,2 256,4

Pandeglang 246,8 253,4 253,6 257,0

Serang 247,3 255,0 255,3 258,3

DKI JAKARTA Kota Jakarta Utara 248,0 256,0 256,0 259,0

JAWA BARAT Bandung 246,3 251,7 251,3 255,7

Bekasi 247,5 254,5 254,5 257,5

Bogor 248,3 253,5 253,5 257,8

Ciamis 247,0 250,3 250,7 255,7

Cianjur 245,8 250,2 251,2 256,0

Cirebon 249,0 252,5 253,0 257,0

Garut 246,3 250,3 250,3 255,3

Indramayu 247,5 253,0 252,0 256,5

Karawang 247,5 253,0 254,0 257,0

Kota Bandung 246,0 252,0 250,0 256,0

Kota Banjar 246,0 251,0 252,0 256,0

Kota Depok 249,0 255,0 254,0 257,0

Kuningan 248,0 253,0 252,0 257,0

Majalengka 248,0 252,5 252,5 256,5

Purwakarta 248,0 254,0 253,0 256,0

Subang 248,0 253,0 253,7 257,0

Sukabumi 245,4 250,8 251,4 255,8

Sumedang 248,3 253,3 253,7 256,0

Tasikmalaya 247,3 251,0 251,0 255,5

D I

YOGYAKARTA

Bantul 248,0 251,0 250,0 256,0

Gunung Kidul 247,5 251,0 250,5 256,0

Kulon Progo 247,0 251,0 250,0 256,0

Sleman 247,0 250,0 250,0 256,0

BALI Badung 246,0 248,0 247,0 256,0

Bangli 249,0 250,0 250,0 257,0

Buleleng 249,0 251,0 250,0 258,0

Jembrana 248,0 250,0 250,5 257,5

Karang Asem 249,0 250,0 249,0 257,0

Tabanan 248,0 250,0 250,0 258,0

LAMPUNG Lampung Barat 245,0 252,0 253,0 254,0

Lampung Selatan 246,0 253,5 253,8 255,5

Lampung Timur 247,0 254,0 255,0 256,0

Tanggamus 246,0 252,7 252,3 255,3

JAWA Banjarnegara 247,0 250,0 251,0 256,0

TENGAH Banyumas 247,5 250,5 252,5 257,5

Batang 248,0 253,0 252,0 258,0

Blora 248,0 252,0 251,0 256,0

Page 62: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

50

Brebes 248,5 253,0 252,0 257,0

Cilacap 247,0 250,3 251,0 256,0

Demak 247,0 251,0 252,0 256,0

Grobogan 247,7 251,3 250,7 255,7

Karanganyar 249,0 254,0 251,0 257,0

Kebumen 247,0 250,0 250,0 256,0

Klaten 248,0 251,0 250,0 256,0

Kota Tegal 248,0 253,0 252,0 257,0

Kudus 248,0 252,0 251,0 256,5

Magelang 249,0 250,0 249,0 256,0

Pati 247,0 252,0 250,0 257,0

Pekalongan 248,5 252,5 252,5 257,5

Pemalang 248,5 253,0 251,5 256,5

Purbalingga 247,0 252,0 253,0 258,0

Purworejo 246,0 250,0 250,0 256,0

Rembang 248,0 253,0 251,0 256,0

Semarang 249,0 252,5 252,0 256,5

Sragen 249,0 251,5 251,0 256,5

Sukoharjo 248,0 251,0 250,0 256,0

Tegal 248,0 253,0 253,0 257,0

Temanggung 248,5 252,5 250,5 256,5

Wonogiri 247,7 250,3 249,7 256,3

Wonosobo 246,0 250,0 251,0 256,0

JAWA TIMUR Bangkalan 248,0 251,0 251,0 257,0

Banyuwangi 248,0 251,0 250,5 257,0

Blitar 246,5 249,5 250,0 256,5

Bojonegoro 248,0 251,7 250,7 257,3

Bondowoso 249,0 251,0 250,0 257,0

Jember 247,8 250,5 250,0 257,0

Jombang 250,0 252,0 252,0 260,0

Kediri 248,7 251,3 252,3 258,3

Lamongan 248,5 251,5 251,5 257,0

Lumajang 248,0 250,5 250,0 257,5

Madiun 249,0 250,0 251,0 256,0

Magetan 250,0 252,0 252,0 255,0

Malang 247,7 250,0 250,4 257,3

Mojokerto 249,0 253,0 251,0 258,0

Nganjuk 248,0 250,0 251,0 257,0

Ngawi 247,0 250,0 251,0 257,0

Pacitan 247,0 250,0 250,0 257,0

Pamekasan 248,0 250,0 249,0 256,0

Pasuruan 249,3 253,3 253,0 258,3

Ponorogo 248,3 251,3 250,7 256,7

Probolinggo 250,5 252,5 251,5 258,0

Sampang 247,0 251,0 249,0 256,0

Sidoarjo 249,0 252,0 253,0 258,0

Situbondo 249,7 251,3 250,3 258,0

Page 63: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

51

242

244

246

248

250

252

254

256

258

0,000

0,200

0,400

0,600

0,800

1,000

1,200

1,400

DJF MAM JJA SON

Tota

l O

zon (D

U)

AO

D 4

53

,5 n

m

Musim

O3

AOD483,5 nm

Sumenep 247,5 250,5 249,5 254,3

Trenggalek 247,0 251,0 249,0 256,0

Tuban 248,0 252,3 251,7 256,7

Tulungagung 248,0 250,0 250,0 257,0

4.3 Pengaruh Aerosol terhadap total O3

Dari observasi menjelaskan bahwa tahun 1991, letusan gunung Pinatubo (Philipina)

yang mengeluarkan mineral aerosol dan SO2 telah menyebabkan penipisan lapisan ozon

naik 20% pada musim semi berikutnya (Solomon et al., 1993). Sulfat partikel yang

terdapat dalam aerosol maupun hasil pembentukan dari gas SO2 diyakini sebagai tempat

nukleisasi awan-awan stratosfer (Iwasaka et al., 1994) yang akan berpengaruh terhadap

penipisan total ozon karena pengrusakan ozon oleh Cl di stratosfer. Menurut Hofmann

and Solomon, 1989, kemungkinan partikel sulfat dapat diuraikan di stratosfer dan

mengubah chlorine yang inert (tidak bereaksi) menjadi aktif dan merusak ozon

stratosfer melalui reaksi heterogen asam sulfat dalam tetes-tetes hujan. Dari Gambar 4

terdapat pengaruh aerosol yang dinyatakan dalam rata-rata AOD483,5 nm terhadap rata-

rata total O3 di Jawa (2004-2008) yaitu AOD483,5 nm meningkat sebaliknya konsentrasi

total O3 turun pada musim DJF, MAM dan JJA kecuali musim SON memperlihatkan

rata-rata total O3 tinggi yaitu 256,673 DU dan rata-rata AOD483,5 nm juga tinggi yaitu

1,261.

Gambar 4. Rata-rata AOD483,5 nm dan rata-rata total O3 di Jawa dari 2004 sampai 2008

dari data satelit Aura-NASA sensor OMI

Dengan uji korelasi Pearson dengan (ternyata pengaruh aerosol terhadap total O3 cukup

kuat dengan koefisien korelasi sebesar -0,807 dan signifikan p=0,40 > 0,05 untuk

musim DJF, MAM dan JJA. Korelasi negatif memgambarkan aerosol yang tinggi

terutama pada musim penghujan DJF menyebabkan penurunan total O3. Nilai (alpha)

adalah nilai koefisien kepercayaan yang dalam perhitungan ini digunakan (alpha)

Page 64: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

52

0,05 atau tingkat kepercayaan 95% (Seni, 2005). Tingginya konsentrasi total O3 pada

musim SON di Jawa diduga ada peningkatan O3 prekursor seperti dijelaskan pada

subbab sebelumnya.

5. KESIMPULAN

Hasil analisis di Jawa memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat jelas antara

musim kering dan basah untuk total O3 yaitu maksimum pada musim peralihan kering

ke basah pada bulan-bulan SON dan minimum pada bulan-bulan DJF. Penipisan total

O3 di Jawa dipengaruhi oleh gugus hidroksil (HO) dan aerosol pada musim hujan. Kota

Jakarta, Serang, Kota Tangerang, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan sebagai kota

dengan transpotasi dan industri yang cukup padat telah memberikan kontribusi gas

buang dari pembakaran bahan bakar fosil yang tinggi dibandingkan kota-kota lainnya

dan berdampak pada tingginya total O3 di wilayah tersebut. Sebaliknya aerosol tinggi

pada bulan-bulan basah DJF di Jawa. Pengaruh aerosol terhadap penurunan total O3

sangat signifikan pada musim basah (penghujan DJF) dengan angka korelasi yang

cukup kuat yaitu sebesar -0,807. Maka pada di Jawa terdapat peluang penipisan total O3

pada musim penghujan DJF dan penebalan total O3 pada musim peralihan kering ke

basah SON.

DAFTAR REFERENSI

Anderson J.G. and Herschbach D.R., 1985, Atmospheric Ozone 1985 Volume I, World

Meteorology Organization Global Ozone Research and Monitoring Project-Report No. 16,

NASA, hal. 117-119.

Bojkov, R.D., 1995, The Changing Ozone Layer, World Meteorological Organization and

United Nations Environment Programme, pp. 1-25.

Global Volcanism Program (GVP), downloaded, February 18, 2009, http://www.volcano.si.edu.

Houghton J., 1986, The Physics of Atmospheres Second Edition, Cambridge University Press,

39-56.

Iwasaka Y., Okuhara Y., Watanabe M, Hayashi M., Shi G., Gong Z., and Zhou J., 2002,

Balloon-Borne Measurements of Atmospheric Aerosol Particles at Beijing, China in

Summer of 1993 : Morphology, Size and Concentration, International Fall School of

Atmospheric Environment and Atmospheric Aerosol and Dust in Asia, Nov. 10-20, Nagoya

University, pp.76-82

McCormick M. P., Thomason L. W., and Trepte C.R. (1995), Atmospheric effects of the Mt

Pinatubo Eruption, Nature, Vol. 373, pp. 399-404.

Meszaros E., 1981, Atmospheric Chemistry (Fundamental Aspects), Elsevier Scientific

Publishing Company Amsterdam – Oxford – New York, Studies in Environment Science,

Vol. II pp. 48-49.

NASA Langley's Atmospheric Sciences Division (ASD) Homepage, downloaded, September

2010.

Page 65: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

53

Ohta S., Murao N., Yamagata S., Fukazawa T., Hasegawa S., dan Arao K., 1997, Variation in

Atmospheric Turbidity in The Area Around Japan, Journal of Global Environment

Engineering, Environ. , Vol. 3, pp. 9-21.

Parker D. E. , Wilson H., Jones P. D., Christy J. R., dan Polland C. K., 1995, The Impact of

Mount Pinatubo on Worldwide Temperatures, International Journal of Climatology.

Santosa S., 2001, SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional Versi 7.5, Penerbit PT Elex

Media Komputindo Kelompok Gramedia-Jakarta, 217-254.

Seinfeld J.H., and Pandis S.N., 1997, Atmospheric Chemistry and Physics, John Wiley and Sons

Inc., pp. 1143-1145.

Seni, M. S., 2005, Tugas makalah: Analisis Multiregresi, STT Telkom Bandung,

http://www.stttelkom.ac.id.

Smirnov A.V., and K.S. Shifrin, Relationship of optical thickness to humidity of air above the

ocean, Izv. Acad. Sci. USSR Atmos. Oceanic Phys., Engl. Transl., 25, 374-379, 1989.

Solomon et al., 1993, The Ozone Layer, Ozone Layer.htm, download, February 5-2009.

World Meteorological Organization, 1998. Scientific Assessment of Ozone Depletion: 1998,

WMO Global Ozone Research and Monitoring Project - Report No. 44, Geneva, 1998.

BIOGRAFI PENULIS

Tuti Budiwati

Tuti Budiwati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia di ITS tahun

1985. Mulai bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional Bandung sejak Oktober 1986 dan mendalami kimia

atmosfer. Tahun 1988 sampai 1989 selama satu tahun ikut

Program trainining STMDP di Saitama University dalam studi

kimia atmosfer. Pendidikan S2 diperoleh di Fakultas Teknik

Jurusan Teknik Lingkungan-Hokkaido University, Sapporo

Japan tahun 1996.

Penelitian: Hujan asam, kimia atmosfer, aerosol, dan radiasi

matahari

Fungsional : Peneliti Madya, Ilmu Pengetahuan Atmosfer

Kecenderungan SO42-

dan NO3- Dalam Air Hujan di Jawa.

Karakteristik Kimia Aerosol Atmosfer di Jakarta.

Pengaruh Ozon Terhadap Hujan Asam di Bandung.

Variabilitas koefisien pencucian dari sulfat, nitrat, amonium dan sodium aerosol di

Kototabang dan Jakarta.

Page 66: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

54

Wiwiek Setyawati

Wiwiek Setyawati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia dari

Sheffield University, Inggris tahun 1998. Mulai aktif bekerja di

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Bandung sejak tahun 2000 di Bidang Pengkajian Ozon dan

Polusi Udara yang sejak tahun 2010 berganti nama menjadi

Bidang Komposisi Atmosfer. Tahun 2007 mendapatkan gelar

Master Teknik Lingkungan dari ITB. Jabatan Fungsional saat

ini adalah Peneliti Muda pada bidang Sains Atmosfer dan

Lingkungannya dengan fokus penelitian polusi udara, aerosol

dan Gas Rumah Kaca (GRK).

Konsentrasi Logam Timah Hitam (Pb) dan Total Suspended Partikulat Matter (TSP)

di Udara Ambien Kota Bandung dan Ciater.

Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Peningkatan Aerosol di Atmosfer Indonesia

2005-2008.

Pengaruh Gas-gas Rumah Kaca dan aerosol terhadap temperatur di Stratosfer dan

Mesosfer Hasil Pengamatan HALOE.

Seasonal characteristics of nitric oxide and water vapor over Indonesia's region and

their influence to stratospheric ozone as observed by HALOE

Page 67: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

55

Analisis Total Kolom So2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-

2008 Hasil Observasi Sciamachy

Wiwiek Setyawati

1 dan Tuti Budiwati

2

1,2Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-LAPAN

Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung

Tel/Fax: 022-6037445/022-6037443;

e-mail: [email protected]

Abstrak

Inventori emisi gas-gas seperti total kolom SO2 adalah hal sangat penting untuk kajian

deposisi asam maupun kualitas udara. SO2 dihasilkan dari aktivitas manusia seperti

pembakaran minyak, batubara, hasil proses kimia industri dan alam seperti gunung

berapi. Gunung berapi tersebar di seluruh Indonesia terutama sepanjang Sumatera dan

Jawa di bagian pantai Hindia atau bagian Barat dan Selatan pulau-pulau tersebut. Hasil

observasi dengan satelit SCIAMACHY dan pengolahan data total kolom SO2 tahun

2004-2008 menggunakan metode statistik memberikan gambaran rata-rata musiman

total kolom SO2 per-wilayah Kabupaten di Sumatera dan Jawa. Distribusi spasial total

kolom SO2 ditemukan merata dalam kisaran 0,04-0,08 DU (Dobson Unit) di Jawa dan

Sumatera pada bulan DJF (Desember-Februari). Selanjutnya distribusi spasial total

kolom SO2 secara berurutan dari tinggi ke rendah adalah DJF (Desember-Februari) >

SON (September-November) > MAM (Maret-Mei) > JJA (Juni-Agustus). Pulau Jawa

dengan gunung-gunungnya yang sering meletus terutama di Jawa Timur menunjukkan

dampak letusan tersebut di kawasannya. Demikian pula di Sumatera pengaruh gunung

berapi dimana mereka berada akan menyumbangkan emisi SO2 lebih besar

dibandingkan dari aktivitas manusia.

Kata kunci: Gunung berapi, SCIAMACHY, total kolom SO2, musiman, wilayah

kabupaten

Abstract

Emission inventory of gases such as SO2 total column is a very important part of acid

deposition or air quality analysis. Gaseous SO2 is produced by human activities such

as oil and coal combustion, chemical industries process and natural activity such as

volcanoes. Volcanoes are distributed all over Indonesia’s regions, mainly in Sumatera

and Java in Hindia coastline or West and South parts of those islands. Observation

results by Sciamachy satellites and SO2 total column data analysis from 2004-2008 by

using statistics method produced seasonally average of SO2 total column for each

county in Sumatera and Java. SO2 total column is distributed spatially evenly with

values between 0.04-0.08 DU (Dobson Unit) in Java and Sumatera during DJF

(December to February). Furthermore, spatial distribution of SO2 total column from

Page 68: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

56

highest to lowest is DJF (December to February) > SON (September to November) >

MAM (March to May) > JJA (June to August). Java island with its’ active volcanoes

mainly in East Java showed eruption effect around the region. So as in Sumatera,

volcanoes eruption effect to areas where they were located contributed higher SO2

emission than human activities.

Keywords: Volcanoes, SCIAMACHY, SO2 total column, season, county regions

1. PENDAHULUAN

Inventori emisi gas-gas seperti total kolom SO2 adalah hal sangat penting untuk kajian

deposisi asam maupun kualitas udara. SO2 dihasilkan dari aktivitas manusia seperti

pembakaran minyak, batubara, hasil proses kimia industri dan alam seperti gunung

berapi (Meszaros, 1981). Penggunaan bahan bakar dari 2000 sampai 2006

menunjukkan kenaikan dari total 496.589.150 menjadi 577.533.310 Equivalent Barrel

Oil (EBO) (KNLH, 2008). Diantara sektor-sektor pengguna bahan bakar seperti sektor

industri, rumah tangga, komersial, transportasi dan lainnya, maka sektor industri

merupakan konsumen terbesar sekitar 37,2 % dari total pengguna energi diikuti sektor

transportasi (KNLH, 2008). Tingginya penggunaan energi di sektor indutri dan

transportasi akan mengemisikan polutan seperti NO2, SO2, dan aerosol ke atmosfer

yang berpotensi mengakibatkan deposisi asam dan pemanasan global. Peningkatan gas

buang seperti NH3, NO2, SO2, dan aerosol akan mempengaruhi kadar keasaman air

hujan (Seinfeld dan Pandis, 1998).

Penggunaan bahan bakar solar dengan kandungan sulfur tinggi masih banyak dijumpai

di SPBU di Indonesia dengan standar maksimum 3500 ppm, berbeda dengan standar

Euro-2 yang mensyaratkan kandungan sulfur dalam solar sebesar 500 ppm. Hasil

pemantauan tahun 2007 terhadap kandungan sulfur dalam solar didapati rata-rata

sebesar 2156 ppm dengan kisaran 400-4600 ppm, tahun 2006 kandungan sulfur dalam

solar rata-rata sebesar 1494 ppm dengan kisaran 700-3300 ppm (KNLH, 2008). Selain

itu pemakaian batubara untuk pembangkit listrik seperti di Suralaya dan Cilacap juga

industri akan meningkatkan konsentrasi gas SO2 di atmosfer.

Selain dari sumber penggunaan energi yang berdampak terhadap emisi SO2 juga dari

sumber vulkanologi akan memberikan kontribusi SO2 di atmosfer. Wilayah Indonesia

terdiri dari gunung berapi yang aktif dari Aceh sampai Sumatera Selatan memanjang

sepanjang pantai barat dan sepanjang pantai selatan pulau Jawa sampai ke NTB, NTT,

Sulawesi Utara, Pulau Halmahera dan Papua. Wilayah Indonesia yang bebas dari

gunung berapi adalah pulau Kalimantan. Pulau Sumatera mempunyai sekitar 13 gunung

berapi memanjang dari Aceh sampai Sumatera Selatan di sepanjang pantai barat

menghadap laut Hindia menghadap laut Hindia dan pulau Jawa mempunyai sekitar 18

gunung berapi yang tersebar disepanjang pantai selatan dari ujung barat (Provinsi

Banten) sampai timur (Jawa Timur) (Gambar 1; GVP, 2008).

Letusan gunung berapi akan menyumbangkan sulfur ke sampai stratosfer. SO2 yang

diemisikan dari letusan gunung berapi sekitar 1-25 % volume, H2S sebesar 1-10 %

volume, COS sebesar 10-4

-10-2

% dan CS2 sebesar 10-4

-10-2

% volume gas yang

Page 69: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

57

diemisikan. H2S di atmosfer akan dikonversikan menjadi SO2. Komponen sulfur

didominasi oleh SO2, dengan emisi per tahun sekitar 1,5 sampai 50 Tg SO2 (Textor et

al., 2003). Gas SO2 di atmosfer akan dirubah menjadi sulfat oleh reaksi kimia yaitu

melalui reaksi oksidasi dilanjutkan pelarutan dengan H2O (dalam tetes hujan misalnya).

Maka gunung berapi adalah sumber alam yang menyumbangkan unsur asam ke

atmosfer atau dikatakan berpotensi dalam pembentukan deposisi asam. Analisis data

satelit total kolom SO2 secara spasial di wilayah Sumatera dan Jawa akan memberikan

gambaran SO2 per-wilayah Kabupaten di Sumatera dan Jawa dan potensinya terhadap

deposisi asam di wilayah tersebut.

Gambar 1. Peta gunung berapi utama di Indonesia (sumber:

http://vulcan.wr.usgs.gov/Volcanoes/Indonesia/Maps/map_indonesia_volcanoes.html)

2. METODOLOGI

Data total kolom SO2 merupakan hasil pengayaan data sensor atmosfer

SCHIAMACHY (Scanning Imaging Absorption Spectrometer for Atmospheric

Cartography) yang terpasang pada The European Environmental Satellite ENVISAT

(http://www.oma.be/BIRA-IASB/Molecules/SO2archive/vs/month.php). Lokasi tempat

pengayaan adalah Sumatera pada 94,58o-109,08

o BT: 6,21

o LU-6,27

o LS dan Jawa pada

104,54o-116,29

o BT: 5,20

o -8,95

o LS. Pengayaan data total kolom SO2 dalam satuan

Dobson (Dobson Unit, DU) dari bulan Januari 2004 hingga Desember 2008 dalam grid

0,25o0,25

o atau sekitar 25 km25 km untuk rata-rata musiman yaitu musim DJF

(Desember-Januari-Februari); MAM (Maret-April-Mei); JJA (Juni-Juli-Agustus) dan

SON (September-Oktober-November). Selain itu dilakukan pengayaan data rata-rata

bulanan densitas kolom vertikal SO2 dalam satuan Dobson (Dobson Unit, DU) dari

bulan Januari 2004 hingga Desember 2008 dalam grid 0,25o0,25

o atau sekitar 25

km25 km. Selanjutnya dibuat kecenderungan total kolom SO2 selama 2004-2009 di

Sumatera dan Jawa. Satuan Dobson adalah ketebalan lapisan 0,01 mm di atas

permukaan bumi pada pada tekanan standar 1013,25 hPa dan temperatur standar 0,0o

Page 70: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

58

Celsius. Atau 1 Dobson Unit (DU) adalah 2,68671020

molekul per meter2

atau

4,461510-04

mol per meter2.

Dengan menggunakan metode statistik SPSS Versi 7.5 (Santosa S., 2001) dibuat rata-

rata musiman yaitu musim DJF; MAM; JJA dan SON. Pembagian musim berdasarkan

perubahan musim di Indonesia terdiri dari musim hujan pada bulan-bulan DJF, kemarau

pada bulan-bulan JJA dan dua musim peralihan yaitu bulan-bulan MAM dan SON

(Tjasyono, 2004; Gregor and Nieuwolt, 1998).

Selanjutnya data total kolom SO2 rata-rata musiman dipetakan menggunakan perangkat

lunak Arc View/GIS ver. 3.3 dengan resolusi 0,01o0,01

o. Dan dari peta distribusi total

kolom SO2 dengan perangkat lunak View/GIS ver. 3.3 dapat diberikan gambaran rata-

rata musiman total kolom SO2 per-wilayah Kabupaten di Sumatera dan Jawa.

3. HASIL DAN DISKUSI

3.1 Total Kolom SO2 Jawa

Gambar 2 dan Tabel 1 memperlihatkan distribusi konsentrasi total kolom SO2 tinggi di

ujung Jawa Timur. Daerah dengan konsentrasi tinggi pada semua musim dibandingkan

dengan daerah lainnya adalah Bondowoso, Lumajang, Jember dan Banyuwangi. Di

wilayah yang tersebut ini terdapat gunung berapi seperti G. Kelut, G. Ijen, G. Raung,

Kaldera Tengger yang aktif mengepulkan asap belerang (sulfur) ke atmosfer. Pada

tahun 2007 banyak gunung berapi di Jawa Timur yang meletus seperti G. Kelud di

Blitar dekat Lumajang, Kaldera Tengger dekat Lumajang, G. Raung dekat Jember dan

Banyuwangi. Tahun 2008, Semeru meletus dan tentunya memberikan kontribusi gas

SO2 dan aerosol di wilayah Malang, Lumajang dan Blitar. Pada tahun 2007, G. Kelud,

G. Raung dan G. Semeru di Jawa Timur meletus dari Agustus 2007 sampai awal 2008.

Demikian pula G. Krakatau di selat Sunda meletus sejak Oktober 2007 sampai awal

tahun 2008 dan Merapi di Yogyakarta Jawa Tengah yang juga meletus sejak tahun 2006

sampai 2007 masih mengepulkan asap. Hasil perhitungan Graf et al. (1977) dengan

menggunakan model iklim didapatkan bahwa gunung berapi menyumbangkan sulfur

global sekitar 4,5 kali dari pada emisi antropogenik, jadi lebih kecil dibandingkan emisi

antropogenik. Dengan rincian yaitu emisi sulfur dari antropogenik adalah 65,6% dan

dari gunung berapi sebesar 13,7% dari total sulfur global. Dan jumlah SO2 dari emisi

gunung berapi yang disumbangkan ke atmosfer lebih kecil yaitu 1,3 kali emisi SO2 dari

antropogenik global, yaitu dari emisi antropogenik sebesar 46,1 % dan dari gunung

berapi sebesar 34,9% dari total SO2 global. Akibat letusan gunung berapi akan

diinjiksikan dalam jumlah besar gas-gas seperti SO2, H2O, H2S, CO2, HCl dan abu

vulkanik (terutama partikel silikat) ke stratosfer dan berdampak pada iklim global.

Page 71: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

59

Gambar 2. Total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data SCIAMACHY pada

satelit ENVISAT periode 2004 sampai 2008 di Jawa

Nilai konsentrasi total kolom SO2 terindikasi cukup tinggi yaitu 0,040-0,080 DU

(Gambar 2) di selat Sunda pada musim SON dan DJF akibat letusan G. Krakatau dan

berdampak pada kondisi konsentrasi di provinsi Lampung dan Banten juga Jakarta pada

musim tersebut cukup tinggi (Tabel 1). Hasil proyeksi Budiyono dan Samiaji (2009)

dengan software Rains Asia adalah peta emisi polutan dari pemakaian energi atau

sumber antropogenik, diperoleh bahwa dominan emisi SO2 dan deposisi SOx terbesar

berada di wilayah pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah), Sumatera Utara

dan Sulawesi Selatan. Dari Tabel 1 kota-kota yang bebas dari gunung berapi tetapi

mempunyai kepadatan tranportasi cukup tinggi ternyata mempunyai konsentrasi SO2

tinggi dalam kisaran 0,070-0,090 DU pada musim DJF yaitu Kota Jakarta, Kota

Tangerang, Serang, Bekasi, Indramayu, Karawang, Kota Banjar, Banjarnegara, Batang,

Blora, Brebes, Cilacap, Demak, Kota Tegal, Kudus, Pemalang. Sedangkan kota-kota di

Jawa Timur dengan kepadatan transportasi tinggi mempunyai konsentrasi total kolom

SO2 hampir dalam kisaran 0,100-0,200 DU seperti daerah Sidoarjo, Mojokerto,

Jombang, Pasuruan dan Probolinggo. Dua kota terakhir yaitu Pasuruan dan Probolinggo

mempunyai konsentrasi total kolom SO2 cukup tinggi dibandingkan kota lainnya yaitu

0,210 DU dan 0,197 DU. Hal ini dipengaruhi oleh adanya gunung berapi yaitu gunung

Semeru, Kelut dan Bromo yang sangat aktif mengeluarkan gas SO2.

Page 72: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

60

Tabel 1. Konsentrasi rata-rata total kolom SO2 musiman (DJF; MAM; JJA; SON)

berdasarkan lokasi dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004-2008 di

Jawa.

SO2 (Dobson Unit) djf mam jja son

provinsi kabupaten Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata

DU DU DU DU

BANTEN Kota Tangerang 0,108 0,066 0,051 0,102

Lebak 0,035 0,023 0,024 0,046

Pandeglang 0,042 0,029 0,026 0,048

Serang 0,079 0,070 0,056 0,079

DKI JAKARTA Kota Jakarta Utara 0,106 0,074 0,038 0,089

JAWA BARAT Bandung 0,066 0,040 0,011 0,065

Bekasi 0,086 0,060 0,023 0,058

Bogor 0,039 0,029 0,027 0,069

Ciamis 0,065 0,047 0,031 0,027

Cianjur 0,051 0,029 0,009 0,052

Cirebon 0,065 0,048 0,008 0,041

Garut 0,062 0,041 0,017 0,039

Indramayu 0,079 0,072 0,034 0,032

Karawang 0,079 0,043 0,030 0,041

Kota Bandung 0,056 0,037 0,014 0,046

Kota Banjar 0,074 0,045 0,014 0,068

Kota Depok 0,062 0,044 0,044 0,074

Kuningan 0,068 0,061 0,012 0,035

Majalengka 0,077 0,038 0,008 0,026

Purwakarta 0,064 0,030 0,028 0,051

Subang 0,079 0,046 0,020 0,040

Sukabumi 0,050 0,027 0,013 0,057

Sumedang 0,067 0,031 0,019 0,030

Tasikmalaya 0,061 0,047 0,016 0,046

D I YOGYAKARTA Bantul 0,054 0,069 0,027 0,071

Gunung Kidul 0,064 0,055 0,030 0,097

Kulon Progo 0,048 0,074 0,043 0,060

Sleman 0,056 0,059 0,022 0,072

BALI Badung 0,076 0,056 0,008 0,043

Bangli 0,053 0,034 0,027 0,071

Buleleng 0,086 0,026 0,048 0,026

Jembrana 0,125 0,102 0,069 0,105

Karang Asem 0,049 0,016 0,013 0,045

Tabanan 0,061 0,062 0,045 0,082

LAMPUNG Lampung Barat 0,044 0,032 0,012 0,038

Lampung Selatan 0,055 0,036 0,033 0,031

Lampung Timur 0,044 0,045 0,024 0,037

Tanggamus 0,059 0,020 0,009 0,032

JAWA TENGAH Banjarnegara 0,074 0,056 0,023 0,054

Banyumas 0,068 0,058 0,018 0,065

Page 73: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

61

Batang 0,077 0,045 0,030 0,018

Blora 0,103 0,054 0,028 0,067

Brebes 0,073 0,058 0,011 0,035

Cilacap 0,073 0,059 0,035 0,052

Demak 0,092 0,036 0,036 0,042

Grobogan 0,081 0,052 0,018 0,055

Karanganyar 0,046 0,065 0,041 0,097

Kebumen 0,055 0,047 0,018 0,070

Klaten 0,056 0,040 0,026 0,077

Kota Tegal 0,080 0,041 0,022 0,022

Kudus 0,091 0,032 0,024 0,030

Magelang 0,083 0,052 0,014 0,066

Pati 0,109 0,033 0,009 0,021

Pekalongan 0,077 0,053 0,028 0,034

Pemalang 0,092 0,058 0,021 0,037

Purbalingga 0,062 0,063 0,018 0,066

Purworejo 0,051 0,052 0,034 0,077

Rembang 0,093 0,033 0,010 0,032

Semarang 0,075 0,056 0,019 0,060

Sragen 0,086 0,077 0,029 0,120

Sukoharjo 0,040 0,047 0,034 0,087

Tegal 0,099 0,075 0,012 0,037

Temanggung 0,077 0,059 0,016 0,035

Wonogiri 0,042 0,046 0,033 0,092

Wonosobo 0,066 0,046 0,017 0,032

JAWA TIMUR Bangkalan 0,114 0,084 0,010 0,063

Banyuwangi 0,198 0,244 0,135 0,152

Blitar 0,103 0,081 0,058 0,157

Bojonegoro 0,113 0,064 0,027 0,068

Bondowoso 0,163 0,131 0,111 0,127

Jember 0,148 0,198 0,127 0,174

Jombang 0,165 0,129 0,097 0,188

Kediri 0,112 0,105 0,052 0,157

Lamongan 0,129 0,084 0,041 0,082

Lumajang 0,189 0,179 0,094 0,197

Madiun 0,100 0,098 0,051 0,111

Magetan 0,085 0,081 0,050 0,096

Malang 0,135 0,145 0,082 0,185

Mojokerto 0,138 0,081 0,052 0,117

Nganjuk 0,111 0,129 0,046 0,107

Ngawi 0,098 0,083 0,042 0,109

Pacitan 0,038 0,058 0,049 0,085

Pamekasan 0,105 0,061 0,021 0,045

Pasuruan 0,210 0,146 0,118 0,179

Ponorogo 0,051 0,051 0,048 0,091

Probolinggo 0,197 0,149 0,110 0,174

Sampang 0,094 0,064 0,020 0,051

Sidoarjo 0,171 0,081 0,048 0,103

Page 74: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

62

Situbondo 0,167 0,132 0,100 0,114

Sumenep 0,064 0,027 0,017 0,025

Trenggalek 0,050 0,051 0,072 0,108

Tuban 0,106 0,056 0,018 0,051

Tulungagung 0,067 0,049 0,065 0,131

3.2 Total Kolom SO2 Sumatera

Gambar 3 memperlihatkan konsentrasi rata-rata total kolom SO2 dalam kisaran

0,04-0,08 DU pada musim DJF adalah lebih tinggi dan merata dibandingkan musim

lainnya di Sumatera selama periode 2004 sampai 2008. Dari distribusi spasial total

kolom SO2 didapati nilai yang tinggi di provinsi Jambi (Gambar 3), tepatnya di

kabupaten Bungo dengan nilai berurutan dari musim DJF; MAM; JJA dan SON yaitu

0,090 DU; 0,060 DU; 0,051 DU dan 0,101 DU (Tabel 2). Provinsi Jambi adalah

wilayah yang mempunyai gunung berapi aktif seperti Dempo dan Kaba yang

mengeluarkan gas SO2 ke atmosfer. Selain itu juga kabupaten-kabupaten Pariaman,

Pesisiran Selatan Sawahlunto, Solok dan Tanah Datar pada musim DJF dan SON

mempunyai konsentrasi total SO2 yang tinggi dalam kisaran 0,06-0,09 DU. Kabupaten-

kabupaten tersebut terletak di sepanjang pesisir yang menghadap lautan Hindia dengan

gunung berapi sebagi sumber alamiah dari SO2 seperti Tandikat, Talang, Merapi,

Sumbing dan Kerinci di Sumatera Barat; Dempo dan Kaba di Jambi; Gunung Besar dan

Sueh di Sumatera Selatan. Pengaruh adanya gunung berapi di Sumatera cukup dominan

terhadap konsentrasi total kolom SO2 dibandingkan sumber transportasi dan industri.

Kota Medan terbilang kota dengan tingkat transportasi tinggi, ternyata

mempunyai konsentrasi rata-rata total kolom SO2 adalah 0,046 DU> 0,043 DU> 0,031

DU> 0,03 DU dari musim SON>DJF>MAM>JJA. Dan berdasarkan pengukuran

kualitas udara oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2002 menunjukkan,

kualitas udara di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan berada dalam kategori baik

hanya terjadi 22-62 hari dalam setahun. Buruknya kondisi udara di kota-kota tersebut

lebih disebabkan oleh pencemaran udara dari kendaraan bermotor, sebagai sumber

bergerak (Lab. Smart Systems Tech - UI, 2003).

Page 75: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

63

Gambar 3. Rata-rata total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data SCIAMACHY

pada satelit ENVISAT berdasarkan musim DJF, MAM, JJA dan SON periode 2004

sampai 2008 di Sumatera

Page 76: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

64

Tabel 2. Konsentrasi rata-rata total kolom SO2 musiman (DJF; MAM; JJA; SON)

berdasarkan lokasi dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004-2008 di

Sumatera.

SO2 (Dobson Unit) djf mam jja son

provinsi kabupaten Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata

DU DU DU DU

NANGGROE

ACEH

DARUSSALAM

Aceh Barat 0,026 0,017 0,018 0,021

Aceh Barat Daya 0,027 0,017 0,018 0,017

Aceh Besar 0,031 0,021 0,018 0,032

Aceh Jaya 0,026 0,016 0,013 0,023

Aceh Selatan 0,043 0,028 0,009 0,038

Aceh Singkil 0,050 0,028 0,016 0,020

Aceh Tamiang 0,032 0,033 0,024 0,024

Aceh Tengah 0,045 0,035 0,012 0,026

Aceh Tenggara 0,028 0,017 0,016 0,041

Aceh Timur 0,044 0,051 0,014 0,029

Aceh Utara 0,032 0,045 0,016 0,033

Bireuen 0,050 0,033 0,026 0,038

Gayo Lues 0,018 0,021 0,024 0,031

Nagan Raya 0,032 0,021 0,015 0,016

Pidie 0,027 0,027 0,013 0,029

Simeulue 0,051 0,028 0,021 0,029

SUMATERA

UTARA

Asahan 0,043 0,035 0,031 0,042

Dairi 0,054 0,033 0,027 0,044

Deli Serdang 0,039 0,031 0,030 0,042

Humbang Hasundutan 0,043 0,027 0,017 0,036

Karo 0,026 0,030 0,031 0,034

Kota Medan 0,050 0,033 0,025 0,052

Labuhan Batu 0,047 0,041 0,031 0,045

Langkat 0,025 0,021 0,024 0,033

Mandailing Natal 0,034 0,052 0,022 0,046

Nias 0,024 0,022 0,015 0,037

Nias Selatan 0,043 0,024 0,005 0,033

Pakpak Bharat 0,059 0,027 0,025 0,025

Simalungun 0,030 0,042 0,035 0,040

Tapanuli Selatan 0,044 0,035 0,017 0,050

Tapanuli Tengah 0,036 0,031 0,012 0,034

Tapanuli Utara 0,043 0,030 0,017 0,050

Toba Samosir 0,044 0,046 0,027 0,045

RIAU Bengkalis 0,047 0,063 0,028 0,055

Indragiri Hilir 0,038 0,044 0,020 0,050

Indragiri Hulu 0,045 0,043 0,026 0,049

Kampar 0,042 0,039 0,010 0,047

Karimun 0,072 0,076 0,044 0,058

Kep.RIAU Kepulauan Riau 0,038 0,037 0,025 0,040

Kota Batam 0,040 0,081 0,036 0,061

Page 77: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

65

Kota Dumai 0,058 0,046 0,032 0,050

Kuantan Singingi 0,052 0,032 0,023 0,054

Natuna 0,018 0,014 0,013 0,031

Pelalawan 0,044 0,041 0,014 0,047

Rokan Hilir 0,046 0,043 0,022 0,047

Rokan Hulu 0,043 0,041 0,017 0,055

Siak 0,051 0,062 0,024 0,047

SUMATERA

BARAT

Agam 0,088 0,035 0,010 0,057

Kepulauan Mentawai 0,036 0,032 0,012 0,028

Kota Padang 0,050 0,029 0,029 0,057

Kota Pariaman 0,040 0,036 0,023 0,051

Lima Puluh Kota 0,062 0,028 0,011 0,035

Padang Pariaman 0,077 0,039 0,017 0,063

Pasaman 0,053 0,022 0,012 0,037

Pesisir Selatan 0,070 0,064 0,043 0,076

Sawahlunto Sijunjung 0,067 0,042 0,027 0,053

Solok 0,081 0,063 0,042 0,095

Tanah Datar 0,091 0,059 0,023 0,064

SUMATERA

SELATAN

Banyuasin 0,038 0,028 0,021 0,045

Kota Palembang 0,038 0,011 0,011 0,041

Lahat 0,041 0,027 0,013 0,028

Muara Enim 0,045 0,035 0,004 0,050

Musi Banyuasin 0,055 0,027 0,015 0,046

Musi Rawas 0,045 0,030 0,011 0,051

Ogan Komering Ilir 0,049 0,023 0,012 0,046

Ogan Komering Ulu 0,034 0,031 0,012 0,049

BENGKULU Bengkulu Selatan 0,037 0,029 0,001 0,045

Bengkulu Utara 0,037 0,044 0,009 0,033

Kaur 0,038 0,027 0,012 0,047

Mukomuko 0,038 0,034 0,004 0,034

Rejang Lebong 0,039 0,028 0,011 0,041

Seluma 0,032 0,025 0,010 0,014

JAMBI Batanghari 0,061 0,029 0,013 0,059

Bungo 0,090 0,060 0,051 0,101

Kerinci 0,070 0,058 0,046 0,065

Kota Jambi 0,054 0,012 0,014 0,028

Merangin 0,058 0,035 0,034 0,059

Muaro Jambi 0,060 0,033 0,007 0,048

Sarolangun 0,047 0,026 0,021 0,050

Tanjung Jabung Barat 0,059 0,035 0,022 0,058

Tanjung Jabung

Timur

0,058 0,035 0,015 0,046

Tebo 0,073 0,055 0,028 0,057

KEP. BANGKA

BELITUNG

Bangka 0,030 0,031 0,008 0,032

Bangka Barat 0,036 0,029 0,013 0,030

Bangka Selatan 0,037 0,030 0,013 0,037

Bangka Tengah 0,029 0,038 0,016 0,026

Belitung 0,028 0,022 0,021 0,043

Page 78: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

66

y = -7E-06x + 0,333R² = 0,028

0,000

0,020

0,040

0,060

0,080

0,100

0,120

Jan-0

4M

ar-

04

Mei-04

Jul-04

Sep-0

4N

op-0

4Jan-0

5M

ar-

05

Mei-05

Jul-05

Sep-0

5N

op-0

5Jan-0

6M

ar-

06

Mei-06

Jul-06

Sep-0

6N

op-0

6Jan-0

7M

ar-

07

Mei-07

Jul-07

Sep-0

7N

op-0

7Jan-0

8M

ar-

08

Mei-08

Jul-08

Sep-0

8N

op-0

8

SO

2(D

U)

Bulan

a)Tren rata2 bulanan SO2 Sciamachy utk wilayah JawaBali

y = -6E-06x + 0,279R² = 0,053

0,000

0,010

0,020

0,030

0,040

0,050

0,060

0,070

Jan-0

4M

ar-

04

Mei-04

Jul-04

Sep-0

4N

op-0

4Jan-0

5M

ar-

05

Mei-05

Jul-05

Sep-0

5N

op-0

5Jan-0

6M

ar-

06

Mei-06

Jul-06

Sep-0

6N

op-0

6Jan-0

7M

ar-

07

Mei-07

Jul-07

Sep-0

7N

op-0

7Jan-0

8M

ar-

08

Mei-08

Jul-08

Sep-0

8N

op-0

8

SO

2(D

U)

Bulan

b)Tren rata2 bulanan SO2 Sciamachy utk wilayah Sumatera

Belitung Timur 0,026 0,010 0,013 0,027

LAMPUNG Lampung Barat 0,045 0,033 0,014 0,047

Lampung Selatan 0,055 0,036 0,033 0,031

Lampung Tengah 0,048 0,029 0,017 0,048

Lampung Timur 0,039 0,041 0,021 0,040

Lampung Utara 0,034 0,038 0,021 0,039

Tanggamus 0,056 0,021 0,012 0,034

Tulang Bawang 0,036 0,029 0,011 0,042

Way Kanan 0,031 0,039 0,014 0,045

3.3 Trend Total Kolom SO2

Trend rata-rata bulanan total kolom SO2 terlihat menurun dari 2004 sampai 2008 baik

di Jawa-Bali maupun Sumatera (Gambar 4). Untuk Jawa-Bali terdapat penurunan

sekitar 7x10-6

DU per bulan dan Sumatera terdapat penurunan sekitar 6x10-6

DU per

bulan hampir sama dengan Jawa-Bali. Pola variabilitas bulanannya adalah minimum

pada bulan-bulan JJA dan maksimum di bulan-bulan DJF dan SON.

Page 79: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

67

0,000

0,010

0,020

0,030

0,040

0,050

0,060

0,070

0,080

0,090

0,100

DJF MAM JJA SON

To

tal K

olo

m S

O2

(DU

)

Musim

Jawa

Sumatera

Gambar 4. Trend total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data SCIAMACHY pada

satelit ENVISAT periode 2004 sampai 2008 di Jawa-Bali (a) dan Sumatera (b)

Gambar 4 memperlihatkan nilai rata-rata musimam total kolom SO2 dalam Dobson Unit

(DU) di Jawa lebih tinggi dibandingkan Sumatera untuk semua musim. Rata-rata

musimam total kolom SO2 Jawa adalah 0,088 > 0,076 > 0,067 > 0,037 DU berurutan

dari DJF >SON >MAM> JJA. Sedangkan di Sumatera berurutan dari DJF > SON >

MAM > JJA adalah 0,045 > 0,043 > 0,035 > 0,019 DU. Perbedaan rata-rata musimam

total kolom SO2 Jawa dan Sumatera disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil

untuk transportasi dan industri yang lebih rendah.

Gambar 5. Rata-rata musimam total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data

SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004 sampai 2008 di Jawa dan Sumatera

4. KESIMPULAN

Rata-rata musimam total kolom SO2 Jawa adalah 0,088 > 0,076 > 0,067 > 0,037 DU

berurutan dari DJF > SON > MAM > JJA. Sedangkan di Sumatera berurutan dari DJF

> SON > MAM > JJA adalah 0,045 > 0,043 > 0,035 > 0,019 DU. Perbedaan rata-rata

musimam total kolom SO2 Jawa dan Sumatera disebabkan oleh penggunaan bahan

bakar fosil untuk transportasi dan industri yang lebih rendah. Pengaruh gunung berapi

dimana mereka berada akan menyumbangkan emisi SO2 lebih besar dibandingkan dari

aktivitas manusia baik di Jawa maupun Sumatera. Dan tentunya wilayah-wilayah di

Jawa dan Sumatera yang mempunyai gunung berapi berpotensi berpotensi

mengakibatkan deposisi asam disamping daerah perkotaan yang padat transportasi.

DAFTAR REFERENSI

Budiyono A. dan Samiaji T., 2009, Proyeksi Emisi Polutan, Deposisi SOx dan Konsentrasi SO2

dari Pemakaian Energi, Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas Udara 2010-2014;

LAPAN, Bandung 27-28 Juli 2009.

Global Volcanism Programme (GVP), 2008, http://www.volcano.si.edu

Page 80: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

68

Graf H.-F., J. Feichter, and Langmann B., 1997, Volcanic Sulfur Emissions: Estimates of Source

Strength and its Contribution to the Global Sulfate Distribution, Journal of Geophysical

Research, 102, 10727-10738.

KNLH, 2008, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2007, Kementerian Negara Lingkungan

Hidup, Jakarta, hal.16-17.

Lab. Smart Systems Tech - UI, 2003, Mengatasi Pencemaran Udara dengan EURO 2, 21-

Oktober-2003; 20:16, Indeks Standar Pencemaran Udara, http://lab-

sst.fisika.ui.ac.id/ISPU/211020032016.htm, hal.1.

Meszaros, E., 1981, Atmospheric Chemistry (Fundamental Aspects), Elsevier Scientific

Publishing Company Amsterdam – Oxford – New York, Studies in Environment Science,

Vol. II pp. 48-49.

Mc. Gregor G.R. and Nieuwolt S., 1998, Tropical Climatology: An Introduction To The

Climates Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, pp. 125-133.

Santosa S., 2001, SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional Versi 7.5, Penerbit PT Elex

Media Komputindo Kelompok Gramedia-Jakarta, 217-254.

Seinfeld J.H. and Pandis S.N., 1998, Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to

Climate Change, John Wiley and Sons. INC., New York, hal.1030-1033.

Tjasyono B. H.K, 2004, Klimatologi (Edisi 2), Penerbit ITB, ISBN 979-3507-05-5, hal. 3.

Textor C., Graf H.-F., Herzog M., and Oberhuber J. M., 2003, Injection of Gases into The

Stratosphere by Explosive, accepted for publication by Journal of Geophysical Research.

BIOGRAFI PENULIS

Tuti Budiwati

Tuti Budiwati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia di ITS tahun

1985. Mulai bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional Bandung sejak Oktober 1986 dan mendalami kimia

atmosfer. Tahun 1988 sampai 1989 selama satu tahun ikut

Program trainining STMDP di Saitama University dalam studi

kimia atmosfer. Pendidikan S2 diperoleh di Fakultas Teknik

Jurusan Teknik Lingkungan-Hokkaido University, Sapporo Japan

tahun 1996.

Penelitian: Hujan asam, kimia atmosfer, aerosol, dan radiasi

matahari

Fungsional : Peneliti Madya, Ilmu Pengetahuan Atmosfer

Kecenderungan SO42-

dan NO3- Dalam Air Hujan di Jawa.

Karakteristik Kimia Aerosol Atmosfer di Jakarta.

Pengaruh Ozon Terhadap Hujan Asam di Bandung.

Variabilitas koefisien pencucian dari sulfat, nitrat, amonium dan sodium aerosol di

Kototabang dan Jakarta.

Page 81: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

69

Wiwiek Setyawati

Wiwiek Setyawati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia dari

Sheffield University, Inggris tahun 1998. Mulai aktif bekerja di

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Bandung sejak tahun 2000 di Bidang Pengkajian Ozon dan

Polusi Udara yang sejak tahun 2010 berganti nama menjadi

Bidang Komposisi Atmosfer. Tahun 2007 mendapatkan gelar

Master Teknik Lingkungan dari ITB. Jabatan Fungsional saat ini

adalah Peneliti Muda pada bidang Sains Atmosfer dan

Lingkungannya dengan fokus penelitian polusi udara, aerosol

dan Gas Rumah Kaca (GRK).

Konsentrasi Logam Timah Hitam (Pb) dan Total Suspended Partikulat Matter (TSP)

di Udara Ambien Kota Bandung dan Ciater.

Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Peningkatan Aerosol di Atmosfer Indonesia

2005-2008.

Pengaruh Gas-gas Rumah Kaca dan aerosol terhadap temperatur di Stratosfer dan

Mesosfer Hasil Pengamatan HALOE.

Seasonal characteristics of nitric oxide and water vapor over Indonesia's region and

their influence to stratospheric ozone as observed by HALOE

Page 82: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

70

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi

Variabilitas Karbon Monoksida di Indonesia

Novita Ambarsari

(1), Ninong Komala

(2)

(1) (2)Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Jl. Dr. Junjunan no. 133 Bandung 40173

Email : (1)

[email protected], (2)

[email protected]

Abstrak

Karbon monoksida (CO) merupakan salah satu pencemar yang terdistribusi paling luas

di udara. Di daerah dengan populasi tinggi, rasio mixing CO bisa mencapai 1 hingga 10

ppmv. Sumber gas CO sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang

bereaksi dengan udara menghasilkan gas buangan, salah satunya adalah karbon

monoksida. Daerah dengan tingkat populasi yang tinggi dengan jalur lalu lintas yang

padat akan memiliki kadar CO yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.

Gas CO juga berasal dari proses industri dan secara alami gas CO terbentuk dari proses

meletusnya gunung berapi, proses biologi, dan oksidasi hidrokarbon seperti metana

yang berasal dari tanah basah dan kotoran mahluk hidup. Selain itu, secara alami CO

juga diemisikan dari laut, vegetasi, dan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui variasi konsentrasi CO di Indonesia secara spasial dan temporal. Data yang

digunakan adalah data CO rata-rata bulan tahun 2002-2009 hasil pengukuran instrumen

Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) yang ditempatkan pada satelit Aqua milik

NASA. Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial dan time series untuk

mengetahui variasi berdasarkan lokasi, trend sepanjang tahun pengukuran, variasi

bulanan, dan variasi musiman. Hasil yang ingin dicapai adalah diperolehnya kondisi

CO di wilayah Indonesia dari tahun ke tahun dan di lokasi dengan konsentrasi CO yang

cenderung lebih tinggi dibandingkan yang lain untuk diketahui perubahannya.

Penelitian ini bermanfaat untuk monitoring kualitas udara dan mengetahui status polusi

udara di Indonesia yang dapat dijadikan masukan untuk membuat kebijakan

pengurangan tingkat polusi udara di Indonesia.

Kata kunci : karbon monoksida, polusi udara, AIRS, AQUA

Abstract

Carbon monoxide (CO) is one of the most widely distributed pollutants in the air. In

areas with high populations, mixing ratio of CO can reach a maximum of 10 ppmv.

Source of CO mostly comes from fossil fuels burning that react with air to produce

exhaust gases, one of which is carbon monoxide. Areas with high population levels with

heavy traffic will have higher CO levels compared with rural areas. CO also comes

from industrial processes and CO formed naturally from volcanic eruption processes,

Page 83: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

71

biological processes, and oxidation of hydrocarbons such as methane from wet soil and

dung of creatures. In addition, CO is also emitted naturally from the sea, vegetation,

and soil. This study aims to determine the concentration of CO in Indonesia variation in

spatial and temporal. The data used is the average CO data in the year 2002-2009 from

the measurement of Infra Red Atmospheric Sounder (airs) instruments that are placed

on NASA's Aqua satellite. Analytical methods used are spatial and time series analysis

to find variations based on location, the measurement of trends throughout the year,

monthly variations, and seasonal variations. Results to be achieved is gained on

Indonesian territory CO condition from year to year and in locations with a

concentration of CO which tended to be higher than the others to note the changes.

This research is useful for monitoring air quality and find out the status of air pollution

in Indonesia, which can be used as inputs for making policy reduction of air pollution

levels in Indonesia.

Keywords : carbon monoxide, air pollution, AIRS, AQUA

1. PENDAHULUAN

Karbon monoksida merupakan salah satu polutan yang terdistribusi paling luas di

udara. Setiap tahun, CO dilepaskan ke udara dalam jumlah yang paling banyak diantara

polutan udara yang lain, kecuali CO2. Di daerah dengan populasi tinggi, rasio mixing

CO bisa mencapai 1 hingga 10 ppmv (Coll, 2006).

Sekitar 70 % radikal OH di atmosfer bereaksi dengan CO. Oleh karena itu, konsentrasi

CO berpengaruh besar terhadap keberadaan radikal OH. Radikal OH berperan utama

sebagai agen pembersih atmosfer untuk menghilangkan polutan udara atau gas rumah

kaca terutama metana dari atmosfer (Henne, 2007). Perubahan CO menjadi senyawa

lain di atmosfer diperkirakan berhubungan dengan terjadinya perubahan iklim, karena

CO diketahui berperan penting dalam pengendalian jumlah radikal OH di atmosfer

(Coll, 2006).

Oksidasi karbon monoksida secara tidak langsung juga dapat berpengaruh terhadap

energi radiasi berkaitan dengan terbentuknya karbon dioksida dan ozon troposfer.

Berkaitan dengan reaksi fotokimia yang lambat, CO diketahui mempunyai peranan

penting dalam siklus pembentukan O3 terutama dalam skala yang luas di atmosfer

bebas, sedangkan VOCs mempunyai peranan penting dalam pembentukan O3 pada

skala lokal (Coll, 2006).

Sumber utama CO berasal dari proses pembakaran tidak sempurna pada bahan bakar

minyak, pembakaran biomasa, dan proses oksidasi fotokimia pada metana dan

hidrokarbon lainnya di atmosfer. Sumber utama CO berasal dari wilayah daratan yang

memiliki faktor terpenting sumber CO yaitu emisi antropogenik dan pembakaran

biomassa di musim-musim kering/ kemarau di wilayah tropis dan pada periode hangat

di wilayah lintang tinggi. Oksidasi fotokimia metana dan hidrokarbon menjadi sumber

penting CO di daerah lintang tropis begitu juga untuk daerah lintang tinggi di musim

panas. Penyebab utama terurainya CO adalah akibat reaksi dengan radikal OH yang

memicu pembentukan CO2 dan perusakan ozon. Pada kondisi daerah yang terpolusi,

Page 84: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

72

nitrogen oxida dapat menjadi penyebab terurainya CO yang memicu pembentukan CO2

dan ozon (Makarova, et al., 2003).

Berbagai teknologi pengukuran karbon monoksida berbasis penginderaan jauh maupun

pengukuran insitu menghasilkan data pengamatan yang rutin untuk mengetahui

perubahan konsentrasi CO di atmosfer secara spasial maupun temporal

(Clerbaux, et

al., 2008). Pada masa lalu, konsentrasi CO di atmosfer hanya bisa diukur dengan

instrumen yang ditempatkan pada beberapa lokasi pengamatan yang terpisah-pisah dan

pengukuran dengan pesawat terbang. Saat ini, berbagai instrumen yang ditempatkan

pada satelit pengorbit polar untuk mengamati amosfer telah meningkatkan kemampuan

untuk mengetahui pengaruh dari aktivitas manusia maupun alam terhadap perubahan

komposisi atmosfer (Barret, et al., 2005).

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis spasial dan temporal total kolom karbon

monoksida (CO) di Indonesia dengan menggunakan data-data hasil observasi instrumen

Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) dari satelit Aqua untuk waktu pengukuran

bulan September 2002 sampai dengan Desember 2009. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perubahan (kecenderungan) dan distribusi konsentrasi CO di Indonesia.

2. METODE PENELITIAN

Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data total kolom CO (10E18

molekul/cm2) di wilayah Indonesia (6˚ LU – 11˚ LS dan 95˚ BT-145˚ BT) hasil

observasi Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) dari satelit Aqua. Data yang

diperoleh merupakan data rata-rata bulan yang diunduh dari website resmi NASA

(http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=AIRS_Level3Month)

dengan grid 1 derajat x 1 derajat.

Data bulanan diolah menjadi data rata-rata musiman (Desember-Januari-Februari,

Maret-April-Mei, Juni-Juli-Agustus, dan September-Oktober-November) untuk

dianalisis pengaruh musim terhadap konsentrasi CO dan distribusi CO musiman di

Indonesia (analisis spasial) serta standar deviasinya. Data bulanan diolah juga menjadi

data trend dan variasi tahunan konsentrasi CO di Indonesia (analisis time series) untuk

mengetahui kecenderungan perubahan konsentrasi CO dan karakteristik kenaikan dan

penurunan serta faktor-faktor yang kemungkinan berpengaruh terhadap konsentrasi CO

di Indonesia.

Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) merupakan suatu instrumen yang ditempatkan

pada sistem observasi bumi ke 2, satelit pengorbit polar EOS Aqua. Kombinasi antara

AIRS dengan Advanced Microwave Sounding Unit (AMSU) dan Humidity Sounder for

Brazil (HSB), AIRS menjadi grup sensor sounding atmosfer untuk sinar tampak, infra

merah, dan gelombang radio [AIRS brosure]. Karakteristik instrumen AIRS secara

lebih lengkap ditunjukkan pada Gambar 1.

Page 85: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

73

Gambar 1. Karakteristik AIRS (Sumber : Atmospheric Infra Red Sounder Brosures)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Variasi spasial total kolom CO

Distribusi spasial total kolom CO di Indonesia ditunjukkan pada gambar 2 berikut ini.

(a) (b)

Page 86: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

74

(c) (d)

Gambar 2. Distribusi spasial total kolom CO di Indonesia dari AIRS untuk bulan (a)

Desember-Januari-Februari (DJF), (b) Maret-April-Mei (MAM), (c) Juni-Juli-Agustus

(JJA), (d) September-Oktober-November (SON)

Gambar 2 menunjukkan distribusi spasial total kolom CO di Indonesia untuk bulan

Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA)

tahun 2003-2009 dan bulan September-Oktober-November (SON) tahun 2002-2009.

Pada gambar terlihat distribusi CO dominan di wilayah Indonesia bagian barat terutama

Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Variasi distribusi CO di Indonesia untuk bulan

DJF tahun 2003-3009 adalah 1,3x1018

hingga 2,1 x1018

molekul/cm2.

Variasi distribusi CO untuk bulan MAM tahun 2003-2009 adalah 1,2x1018

hingga

2,0x1018

molekul/cm2. Variasi distribusi CO bulan JJA tahun 2003-2009 adalah

1,1x1018

hingga 1,9x1018

molekul/cm2, dan variasi distribusi CO untuk bulan SON

tahun 2002-2009 adalah 1,3x1018

molekul/cm2 (Atmospheric Infra Red Sounder

Brosures) (Barret & Hurtmans, 2005) hingga 2,4x10

molekul/cm2. Rata-rata konsentrasi

CO bulan DJF, MAM, JJA tahun 2003-2009 masing-masing adalah 1,87x1018

molekul/cm2; 1,79x10

18 molekul/cm

2, dan 1.69x10

18 molekul/cm

2. Rata-rata konsentrasi

CO bulan SON tahun 2002-2009 adalah 1.961 x1018

molekul/cm2.

Distribusi CO maksimum pada bulan SON (September-Oktober-November) terlihat

dari variasi dan rata-rata konsentrasi CO di bulan SON terutama di Sumatera dan

Kalimantan, sedangkan distribusi CO minimum pada bulan JJA (Juni-Juli-Agustus).

Hal ini disebabkan pada bulan Oktober tahun 2002, 2004, dan 2006 di Indonesia terjadi

kekeringan panjang dan kebakaran hutan yang menyebabkan konsentrasi CO

mengalami peningkatan sangat tajam (gambar 3) dengan total kolom mencapai 4,8x1018

molekul/cm2 pada bulan Oktober tahun 2006 di wilayah Kalimantan dan Sumatera

(Mc. Millan, et al.).

Page 87: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

75

Gambar 3. Distribusi CO di Indonesia untuk bulan Oktober tahun 2002, 2004, dan 2006

dari AIRS.

Peristiwa kekeringan ditandai dengan nilai curah hujan yang mengalami anomali yang

dapat dilihat dari nilai Southern Oscillation Index (SOI) dan nilai curah hujan

(mm/hari) yang negatif (gambar 4). Dengan jumlah curah hujan yang sangat sedikit

menyebabkan jumlah radikal OH yang berasal dari uap air di atmosfer menurun.

Akibatnya, konsentrasi CO meningkat.

Gambar 4. Curah hujan di Indonesia (mm/hari) yang memiliki pola yang sama dengan

SOI di Indonesia (kiri). Anomali curah hujan dan SOI yang menunjukkan nilai negatif

pada tahun 2002, 2004, dan 2006 yang menandakan terjadinya kekeringan saat tersebut

(Sumber: Mc. Millan, et al.)

Page 88: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

76

Standar deviasi distribusi spasial total kolom CO di Indonesia ditunjukkan pada

Gambar 5 berikut ini.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5. Standar deviasi distribusi spasial total kolom CO di Indonesia untuk bulan (a)

Desember-Januari-Februari (DJF), (b) Maret-April-Mei (MAM), (c) Juni-Juli-Agustus

(JJA), (d) September-Oktober-November (SO).

Standar deviasi konsentrasi CO di Indonesia untuk bulan DJF, MAM, JJA tahun 2003-

2009 memiliki variasi nilai antara 0,01-0,15 x 1018

. Standar deviasi maksimum terjadi

pada bulan SON dengan nilai mencapai 0,6x1018

molekul/cm2 terutama di Pulau

Kalimantan dan Sumatera. Hal ini disebabkan peristiwa kekeringan pada tahun 2002,

2004, dan 2006.

3.2 Variasi temporal total kolom CO

Kecenderungan CO di Indonesia dari September 2002 hingga desember 2009

ditunjukkan pada Gambar 6. CO di Indonesia cenderung mengalami penurunan dengan

nilai -0,0014 molekul/cm2 per bulannya. Nilai maksimum total kolom CO terjadi pada

tahun 2006 akibat kejadian kebakaran hutan yang besar di akhir tahun 2006.

Page 89: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

77

Konsentrasi total kolom CO di Indonesia dari tahun 2002 sampai 2009 berkisar antara

1,6 hingga 2,8 x 1018

molekul/cm2.

Gambar 6. Trend CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember 2009

Variasi tahunan total kolom CO di Indonesia tampak pada Gambar 7. Nilai maksimum

terjadi pada bulan Oktober tahun 2006, 2004, dan 2002.

Gambar 7. Variasi tahunan CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember 2009

Nilai maksimum pada Oktober 2006 mencapai 2,8 x 1018

molekul/cm2, nilai maksimum

pada bulan Oktober 2004 mencapai 2,2 x 1018

molekul/cm2, dan nilai maksimum pada

bulan Oktober 2002 mencapai 2,4 x 1018

molekul/cm2. Konsentrasi CO yang memiliki

pola selalu maksimum di bulan Oktober ini diperkirakan berkaitan dengan Southern

Oscillation Index (SOI) di bulan Oktober yang diperoleh dengan mengurangi curah

hujan pada bulan Oktober tahun saat terjadinya anomali dengan nilai rata-rata curah

hujan di bulan Oktober selama 10 tahun (Mc. Millan, et al.)

Variasi musiman total kolom CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember

2009 tampak pada Gambar 8. Nilai maksimum CO di bulan SON setiap tahunnya

semakin jelas tampak pada Gambar 8. Pada Gambar 8 kiri terlihat pola konsentrasi CO

Page 90: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

78

pada bulan SON lebih tinggi daripada pola CO pada musim lainnya khususnya pada

tahun 2002, 2004 dan 2006. Begitu juga pada Gambar 8 kanan yang menunjukkan CO

maksimum pada SON tahun 2006. Pola CO yang selalu maksimum di musim tersebut

kemungkinan besar memang terkait dengan peristiwa kekeringan dan fenomena SOI di

bulan Oktober.

Gambar 8. Variasi musiman CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember

2009. Variasi permusim (kiri), variasi pertahun (kanan).

4. KESIMPULAN

Dari data September 2002-Desember 2009 dipeoleh hasil bahwa distribusi CO dominan

di wilayah Indonesia bagian barat terutama Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Variasi distribusi CO di Indonesia untuk bulan DJF tahun 2003-3009 adalah 1,3x1018

hingga 2,1 x1018

molekul/cm2. Untuk bulan MAM tahun 2003-2009 adalah 1,2x10

18

hingga 2,0x1018

molekul/cm2. Variasi distribusi CO bulan JJA tahun 2003-2009 adalah

1,1x1018

hingga 1,9x1018

molekul/cm2, dan variasi distribusi CO untuk bulan SON

tahun 2002-2009 adalah 1,3x1018

molekul/cm2 hingga 2,4x

10 molekul/cm

2. Rata-rata

konsentrasi CO bulan DJF, MAM, JJA tahun 2003-2009 masing-masing adalah

1,87x1018

molekul/cm2; 1,79x10

18 molekul/cm

2, dan 1.69x10

18 molekul/cm

2. Rata-rata

konsentrasi CO bulan SON tahun 2002-2009 adalah 1.961 x1018

molekul/cm2. Dari data

variasi temporal, nilai maksimum total kolom CO terjadi pada tahun 2006 akibat

kejadian kebakaran hutan yang besar di akhir tahun 2006. Konsentrasi total kolom CO

di Indonesia dari tahun 2002 sampai 2009 berkisar antara 1,6 hingga 2,8 x 1018

molekul/cm2. Untuk pola musiman, pola konsentrasi CO pada bulan SON lebih tinggi

daripada pola CO pada musim lainnya khususnya pada tahun 2002, 2004 dan 2006.

DAFTAR REFERENSI

Atmospheric Infra Red Sounder Brosures. 2010. http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/AIRS/

documentation/AIRS_brochure.pdf. diakses tanggal 24 November 2010.

Barret, S. Turquety, D. Hurtmans, 2005, Global carbon monoxide vertical distributions from

spaceborne high-resolution FTIR nadir measurements, Atmos. Chem. Phys., 5, 2901–2914.

Page 91: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

79

C. Clerbaux, M. George, S. Turquety, 2008, “CO measurements from the ACE-FTS satellite

instrument: data analysis and validation using ground-based, airborne and spaceborne

observations”, Atmos. Chem. Phys., 8, 2569–2594.

Coll, 2006, “On The Determining Role of CO in Local Ozone Production”, Eropa.

S. Henne, 2007, “Representativeness and climatology of carbon monoxide and ozone at the

global GAW station Mt. Kenya in equatorial Africa”, Swizterland, Atmospheric Chemistry

and Physics Discussion, 7, 17769-17824.

Mc. Millan, et.al, Global Climatology of Tropospheric CO from the Atmospheric InfraRed

Sounder (AIRS), http://ams.confex.com/ams/pdfpapers/134987.pdf.

M. V. Makarova, A. V. Poberovskii, and Yu. M. Timofeev, 2003, “Temporal Variability of

Total Atmospheric Carbon Monoxide over St. Petersburg”, Izvestiya, Atmospheric and

Oceanic Physics, Vol. 40, No. 3, 2004, pp. 313–322.

BIOGRAFI PENULIS

Novita Ambarsari

Novita Ambarsari, lahir di Bandung pada tanggal 23 November

1984. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Penulis berasal dari keluarga sederhana dengan kedua orangtua

yang berprofesi sebagai PNS. Pendidikan penulis dimulai dari

SDN. Citarip Barat, sebuah sekolah dasar negeri yang lokasinya

tidak jauh dari rumah orang tua penulis. Kemudian, dilanjutkan di

SMPN 11 Bandung. Lulus sekolah menengah pertama, penulis

dapat melanjutkan ke SMU terbaik di bandung, yaitu SMAN 3

Bandung. Pendidikan tinggi penulis untuk gelar sarjana ditempuh

di ITB tahun 2003 mengambil jurusan Kimia Fakultas MIPA dan lulus tepat waktu

pada bulan Juli 2007. Akhir tahun 2007, penulis mengikuti seleksi untuk menjadi PNS

di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, dan mulai resmi bekerja sebagai

peneliti di LAPAN sejak Januari 2008. Penulis mendapat penempatan di LAPAN

Bandung, tepatnya di Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim (Pusfatsatklim)

bidang pengkajian ozon dan polusi udara. Bidang kepakaran penulis adalah sains

atmosfer dan aplikasinya. Penulis bekerja sebagai peneliti di LAPAN hingga sekarang.

Page 92: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

80

Aplikasi Indraja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait

Aktivitas ENSO dan IOD

Nur Febrianti

Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan

Pusfatsatklim, LAPAN

Jl. Dr. Djunjunan no. 133 Bandung

Email: [email protected]

Abstrak

Kekeringan sudah bukan lagi merupakan suatu kejadian yang tidak biasa di Indonesia.

Biasanya di Jawa dan Bali periode kering terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus.

Namun apabila kekeringan yang terjadi lebih dari itu berarti telah terjadi anomali cuaca

dan iklim. Penyimpangan cuaca dan iklim ini antara lain adalah akibat adanya El Nino,

Dipole Mode serta pemanasan global. Data curah hujan yang digunakan merupakan

data curah hujan dari satelite Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) 1998 –

2009. Data TRMM 3B43 memiliki resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat dengan resolusi

temporal bulanan. Metode yang digunakan untuk mendeteksi kekeringan yaitu dengan

Standardized Precipitation Index (SPI). Hasil pengamatan kekeringan di Jawa dan Bali

sejak 1998 – 2009 dengan menggunakan data TRMM, MEI, DMI, dan Peta Rawan

kekeringan dari model SPI diketahui bahwa pada umumnya setiap kejadian MEI dan

DMI positif maka akan menyebabkan curah hujan rendah yang cukup panjang,

sehingga berindikasi terjadinya kondisi sangat kering. Namun hal ini tidak berlaku pada

1998 dimana curah hujan masih cukup tinggi sehingga peta rawan kekeringan

memperlihatkan kondisi sangat basah. Sedangkan di tahun 2008 dimana DMI positif

dan MEI negatif tetap menyebabkan curah hujan cukup kecil di Jawa dengan tipe

kerawanan agak kering hingga sangat kering di sebagian Jawa Barat dan Jawa Timur.

Kata Kunci: TRMM, ENSO, IOD, analisis kekeringan, SPI

Abstract

Drought is no longer an unusual occurrence in Indonesia. Usually in Java and Bali dry

periods occurred in June, July and August. However, if the drought that occurred more

than it means there has been anomalous weather and climate. The anomaly of weather

and climate, among others, is a result of El Nino, Dipole Mode and global

warming. Rainfall data was used satellite data from the Tropical Rainfall Measuring

rainfall Mission (TRMM) 1998-2009. TRMM 3B43 data has a spatial resolution 0.25 x

0.25 degrees with a monthly temporal resolution. Standardized Precipitation Index was

utilized to estimate the drought event. Observations drought in Java and Bali since

1998 - 2009 by using TRMM data, MEI, DMI, and drought Prone Map of the SPI model

is generally known that every positive occurrence MEI and DMI, it will cause low

Page 93: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

81

rainfall long enough, so that indicated the occurrence of very dry conditions. But this

does not apply in 1998 where rainfall is high enough so that the drought-prone map

shows very wet conditions. Meanwhile, in 2008 where DMI positive and negative MEI

still cause small enough rainfall in Java with the type of vulnerability rather dry to very

dry in parts of West Java and East Java.

Keywords: TRMM, ENSO, IOD, drought analysis, SPI

1. PENDAHULUAN

Penginderaan jauh (Remote sensing) dapat diartikan sebagai ilmu atau teknik untuk

mendapatkan informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis

data-data yang diperoleh dari suatu alat, tanpak kontak langsung dengan objek, wilayah

atau gejala tersebut. Data yang diperoleh itu kemudian dianalisis dan dimanfaatkan

untuk berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang kelautan, hidrologi, klimatologi,

lingkungan dan kedirgantaraan.

Salah satu wahana yang dapat digunakan untuk memperoleh data inderaja adalah

satelit, seperti satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang diguna untuk

pemantauan curah hujan. Satelit yang diluncurkan pada 1997 ini merupakan satelit

orbital dan berada pada ketinggian 218 mil laut (350 km dpl ada juga yang menyebut

403 km dpl) pada kemiringan 35 derajat ke Khatulistiwa (Gambar 1).

Gambar 1. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (http://trmm.gsfc.nasa.gov/ )

Keberadaan satelit cuaca sangatlah membantu untuk mendapatkan data cuaca dan iklim

di wilayah-wilayah yang belum memiliki stasiun observasi cuaca. Selain itu satelit ini

dapat membatu kita untuk melihat kondisi cuaca secara luas. Sebagai satu Negara yang

masih berkembang dengan sarana dan prasarana yang masih kurang memadai dalam hal

Page 94: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

82

pengamatan cuaca dan iklim untuk itu sangatlah perlu bagi Indonesia memanfaatkan

teknologi ini seoptimal mungkin.

Indonesia yang terletak di belt equator, dimana banyak hujan terjadi di wilayah ini

masih belum dapat lepas dari ancaman bencana kekeringan yang hampir setiap tahun

terjadi. Bencana kekeringan pernah terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia,

walau dengan tingkat ancaman yang bervariasi. Kekeringan yang terjadi di Indonesia

dari waktu ke waktu mengalami intensitas kejadian dan luasan area kekeringan yang

terus meningkat.

Fenomena kekeringan merupakan musiman biasa bagi Indonesia yang memiliki dua

musim, hujan dan kemarau. Ahli meteorologi mendefinisikan bahwa kekeringan

merupakan kondisi tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah normal yang

cukup lama sehingga mengganggu keseimbangan hidrologi secara serius. Menurut

Hounam et al. (1975) membatasi bahwa kondisi kekeringan terjadi jika jumlah curah

hujan selama 21 hari berturut-turut lebih kecil atau sama dengan 30% dari curah hujan

rata-rata. Selanjutnya Hounam juga membatasi jika 15 hari berturut-turut tidak hujan

maka akan timbul kekeringan.

Pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) menyebabkan Indonesia memiliki

tiga pola curah hujan yaitu pola curah hujan Equatorial, Moonsunal, dan tipe curah

hujan lokal (Aldrian, 2003). Jawa dan Bali sama-sama memiliki tipe curah hujan

Moonsunal, sehingga pada bulan Juni sebagian besar wilayah Jawa dan Bali

kekurangan air yang berakibat rendahnya daya simpan air dalam tanah dan DAS

(Daerah Aliran Sungai), kondisi ini mendorong terjadinya kekeringan.

Selain ITCZ, fenomena kejadian curah hujan di Indonesia dipengaruhi juga oleh El

Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Jika ENSO

merupakan fenomena global yang terjadi di kawasan lautan pasifik, maka IOD sebagai

mininya ENSO di kawasan Laut India. Kedua fenomena ini sangat erat pengaruhnya

dengan kejadian iklim esktrim di Indonesia (Wolter et al., 1993, 1998; Saji et al.,

1999). Untuk mengetahui berapa besar dampak kekuatan ENSO dan IOD yang terjadi

dapat dilihat dari indexnya masing-masing yaitu Multiple ENSO Index (MEI) dan

Dipole Mode Index (DMI).

Sedangkan untuk mengetahui jumlah curah hujan untuk jangka waktu tertentu dan telah

menyimpang dari normalnya dapat dilihat dari index kekeringan. Dari beberapa index

kekeringan yang ada, ternyata tidak ada satu index yang lebih unggul, karena beberapa

index lebih cocok daripada yang lain untuk keperluan tertentu. Misalnya, Index

Kekeringan Palmer (Palmer Drought Index) telah banyak digunakan oleh Departemen

Pertanian AS untuk menentukan bila waktu yang tepat memberikan bantuan darurat

kekeringan, walaupun nampaknya Index Palmer relatif lebih baik ketika digunakan di

area luas dengan topografi seragam. Sedangkan Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional

menggunakan index yang lebih baru yaitu Standardized Precipitation Index (SPI) untuk

memantau kondisi kelembaban tanah (http://drought.unl.edu/).

SPI dirancang untuk mengukur defisit curah hujan di beberapa skala waktu yang

mencerminkan dampak kekeringan pada ketersediaan sumber daya air yang berbeda

Page 95: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

83

(McKee et al., 1993). Perhitungan SPI untuk setiap lokasi didasarkan pada curah hujan

jangka panjang untuk jangka waktu yang diinginkan (Edwards et al., 1997).

Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan data penginderaan jauh dalam

pemantauan kondisi kekeringan di wilayah Jawa dan Bali, yang dipengaruhi oleh

kejadian ENSO dan IOD. Dari penelitian ini diharapkan Kita dapat menggunakan data

penginderaan jauh seoptimal mungkin dan memperoleh informasi pola kejadian

kekeringan di wilayah Jawa dan Bali pada saat fenomena ENSO dan IOD yang terjadi

disaat bersamaan (simultan).

2. DATA DAN METODOLOGI

2.1. Data dan Alat

Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan rata-rata bulanan yang

diunduh dari satelite TRMM 1998 sampai 2009 (12 tahun pengamatan). Data TRMM

3B43 dengan resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat. Data index ENSO tahun 1995 – 2009

diunduh dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/people/klaus.wolter/MEI/table.htm,

sedangkan data IOD tahun 1995 – 2008 dari http://www.jamstec.go.jp/. Data Produksi

Padi diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Software yang digunakan yaitu

Microsoft Excel, Software Sistem Informasi Geografis, dan Model SPI yang diperoleh

dari http://drought.unl.edu.

2.2. Metodologi

Untuk mengkaji fenomena yang sedang terjadi di Samudera Hindia dan Samudera

Pasifik, dimana fenomena IOD dan ENSO tersebut dapat mempengaruhi besarnya

curah hujan yang terjadi di Jawa-Bali. Maka MEI dan DMI kemudian diplot, sehingga

diperoleh gambaran apakan kedua fenomena tersebut saling menguatkan atau

sebaliknya saling melemahkan.

Data curah hujan TRMM di ambil wilayah Jawa saja menggunakan program SIG

(Sistim Informasi Geografis), sehingga diperoleh TRMM Jawa dan Bali yang terdiri

dari 187 piksel. Kemudian setiap piksel tersebut di hitung indeks kekeringannya dengan

menggunakan Metode SPI (Standardized Precipitation Index) yang tidak lain

merupakan index kekeringan yang hanya didasarkan pada curah hujan. Dalam

perhitungannya metode SPI ini membutuhkan informasi data curah hujan yang cukup

panjang.

Pada Metode SPI, curah hujan divariasikan dalam fungsi distribusi gamma. Kemudian

dengan mengubah fungsi probabilitas kumulatif gamma ke dalam variabel normal

standar Z acak dengan rata-rata dan deviasi standar nol dan satu. Sebuah persamaan

baru dibentuk (persamaan i dan ii), dan transformasi dilakukan sedemikian rupa

sehingga setiap curah hujan dalam fungsi gamma telah mendapat nilai yang sesuai di

fungsi Z. Dan probabilitas bahwa curah hujan kurang dari atau sama dengan jumlah

curah hujan pun akan sama dengan probabilitas bahwa variasi baru kurang dari atau

sama dengan nilai jumlah curah hujan. Semua fungsi probabilitas yang telah dipasang

untuk data curah hujan stasiun yang berbeda dapat diubah dengan cara ini, dan

divariasikan mengubah resultan selalu dalam satuan yang sama.

Page 96: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

84

33

221

2210

1 tdtdtd

tctcctSPIZ 5.0)(0 xHfor ……………(i)

33

221

2210

1 tdtdtd

tctcctSPIZ 0.1)(5.0 xHfor …………..(ii)

dimana :

2))((

1ln

xHt 5.0)(0 xHfor

2))(0.1(

1ln

xHt 0.1)(5.0 xHfor

c0 = 2.515517

c1 = 0.802853

c2 = 0.010328

d1 = 1.432788

d2 = 0.189269

d3 = 0.001308

Dalam cara yang sama, probabilitas kumulatif dari setiap nilai SPI dapat ditemukan,

dan ini akan sama dengan probabilitas kumulatif dari curah hujan yang sesuai. Tabel 1

di bawah ini memberikan probabilitas kumulatif untuk nilai-nilai berbagai SPI

(Edwards et al., 1997).

Tabel 1. SPI dan Probabilitas Kumulatif

SPI Probabilitas Kumulatif

-3.0 0.0014

-2.5 0.0062

-2.0 0.0228

-1.5 0.0668

-1.0 0.1587

-0.5 0.3085

0.0 0.5000

0.5 0.6915

1.0 0.8413

1.5 0.9332

2.0 0.9772

2.5 0.9938

3.0 0.9986

Page 97: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

85

Sistem klasifikasi untuk menentukan intensitas kekeringan yang dihasilkan dari SPI

ditunjukkan dalam tabel nilai SPI (Tabel 2). Lokasi-lokasi yang telah memiliki nilai SPI

dan telah diklasifikasi tersebut kemudian di masukkan ke program SIG sehingga dapat

dianalisis secara spasial.

Tabel 2. Nilai SPI (McKee et al., 1993)

Nilai Klasifikasi

> 2,0 ekstrim basah

1,5 sampai 1,99 sangat basah

1,0 sampai 1,49 agak basah

0,99 sampai -0,99 dekat normal

-1,0 sampai -1,49 agak kering

-1,5 sampai -1,99 sangat kering

< -2 ekstrim kering

Langkah-langkah kerja yang dilakukan pada penelitian ini secara ringkas disajikan

dalam diagram alir dibawah ini (Gambar 2).

Gambar 2. Diagram alir prosedur kerja

Page 98: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

86

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan curah hujan dari satelit TRMM untuk kawasan Jawa diperoleh

sebanyak 187 pixel dimana setiap tahunnya dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil rata-rata

curah hujan selama pengamatan (12 tahun) sebesar 183 mm dimana curah hujan

tertinggi terjadi pada awal tahun 1999 hingga mencapai sekitar 542 mm. Pada Gambar

3 juga dapat dilihat bahwa curah hujan bulanan di Jawa pada bulan kering yang kurang

dari 50 mm/bulan dan terjadi lebih dari 3 bulan berturut-turut yaitu 2002, 2003, 2006,

dan 2008.

Gambar 3. Curah hujan Jawa dari Satelite TRMM dari tahun 1998 – 2009

Fenomena ENSO dan IOD dapat dilihat dari masing-masing index yaitu MEI dan DMI

pada 1998 sampai 2009. Gambar 4 menunjukkan bahwa MEI dan DMI saling

menguatkan terjadi pada 1998, 2003, 2006, dan 2007. Merujuk kepada Gambar 3,

terlihat bahwa curah hujan pada bulan kering 2003 dan 2006 cukup kecil dan lama.

Pada saat MEI dan DMI sama-sama positif maka peluang bencana kekeringan semakin

besar terjadi karena curah hujan yang terjadi semakin kecil. Sebaliknya saat MEI dan

DMI sama-sama negatif maka peluang curah hujan tinggi semakin besar. Namun yang

menjadi tanda tanya disini adalah kejadian El Nino dan DMI Positif pada 1998 dimana

curah hujan yang terjadi masih cukup tinggi ditahun itu. Sedangkan kondisi saling

melemahkan terjadi pada 2000, 2004, 2005, dan 2008. Namun pada kondisi berlawanan

atau saling melemahkan, maka besarnya curah hujan yang terjadi tergantung dari

fenomena yang lebih mendominasi.

Selain itu, kejadian ini juga dapat menyebabkan ketidak seragaman curah hujan di

setiap daerah, karena tergantung lokasi daerah tersebut. Semakin mendekati Samudera

Hindia, maka IOD lebih dominan, sedangkan semakin mendekati Samudera Pasifik

maka ENSO lebih dominan. Untuk itu pada kondisi khusus ini besarnya curah hujan

yang terjadi sulit untuk di prediksi.

0

100

200

300

400

500

600

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Cu

rah

Hu

jan

(m

m/b

ula

n)

Page 99: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

87

Gambar 4. Kejadian ENSO dan IOD 1998 – 2009

Wilayah Jawa yang memiliki tipe curah hujan Moonsunal cenderung mengalami

kekurangan curah hujan pada bulan Juni-Juli-Agustus. Namun pada JJA 1998 dan 2005

(Gambar 5) Jawa dan Bali terlihat cukup basah, dimana pada 1998 terjadi La Nina dan

DMI negatif. Sedangkan 2005 dimana terjadi El Nino lemah dan DMI negatif dominan

sehingga peta rawan kekeringan di JJA 2005 cenderung mendekati normal. Hanya di

beberapa daerah memperlihatkan kondisi basah.

Peta rawan kekeringan Jawa pada bulan Juni-Juli-Agustus banyak yang menunjukkan

kondisi mendekati normal basah, yaitu 1999, 2000, 2001, dan 2007. Pada JJA 1999 –

2001 ENSO dan IOD pada kondisi normal, sedangkan JJA 2007 terjadi La Nina kuat

namun dapat dilemahkan oleh IOD positif yang cukup kuat juga. Sedangkan klasifikasi

normal - sedikit kering di wilayah Jawa bagian timur dan Bali terjadi pada 2004 dan

2009, dimana pada tahun-tahun tersebut terjadi ENSO yang diperkuat dengan DMI

positif.

Selebihnya pada Gambar 5, peta rawan kekeringan JJA 2002, 2003, 2006, dan 2008

memperlihatkan banyak klasifikasi kering. Fenomena ENSO dan IOD saling

menguatkan dengan index positif, kecuali 2008.

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

MEI DMI

Page 100: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

88

Gambar 5. Peta Rawan Kekeringan Jawa Bulan Juni-Juli-Agustus 1998 - 2009

Page 101: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

89

Untuk melihat apakah kondisi rawan kekeringan ini dapat mempengaruhi jumlah

produksi yang dihasilkan, maka diambil studi kasus kekeringan Juni – Agustus 2003 di

wilayah Jawa Barat. Di mana pada saat itu wilayah Jawa Barat terutama bagian utara

terlihat berpotensi mengalami kondisi kekeringan hingga kriteria sangat kering.

Dari Gambar 6 terlihat bahwa sekitar 56% wilayah Jawa Barat mengalami penurunan

produksi padi pada saat berpotensi mengalami kekeringan. Penurunan produksi terbesar

terjadi di Kabupaten Ciamis, Cirebon, Sukabumi, dan Tasikmalaya yaitu mencapai 33

ribu Ton dari rata-rata produksi padi pada periode waktu yang sama (yaitu rata-rata

produksi padi pada bulan Mei sampai Agustus 2000 hingga 2005).

Selain itu dari Gambar 6 juga terlihat bahwa Kabupaten Ciami, Cirebon, dan

Tasikmalaya sangat sensitif terhadap menurunan curah hujan yang mengakibatkan

penurunan produksi padi di wilayah tersebut. Kecuali wilayah Kabupaten Bandung,

Bekasi, Bogor, Garut, Karawang, Purwakarta dan Subang yang tetap mengalami

peningkatan produksi padi dari rata-rata produksi padi diperiode yang sama walau

berpotensi mengalami kekeringan. hal ini dapat terjadi karena wilayah tersebut

mungkin memiliki jaringan irigasi yang baik. Dimana sumber air irigasi berasal dari

danau, waduk atau lain sebagainya.

Gambar 6. Kondisi SPI dan peubahan produksi Padi bulan Mei – Agustus 2003 di Jawa

Barat

4. KESIMPULAN

Pemanfaatan data satelit TRMM sebagai salah satu data hasil penginderaan jauh dapat

diaplikasikan dalam pemantauan kekeringan. Hasil pengamatan kekeringan di Jawa dan

Bali sejak 1998 – 2009 dengan menggunakan data TRMM, MEI, DMI, dan Peta Rawan

kekeringan dari model SPI diketahui bahwa pada umumnya setiap kejadian MEI dan

DMI positif maka akan menyebabkan curah hujan rendah yang cukup panjang,

Page 102: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

90

sehingga berindikasi terjadinya kondisi sangat kering. Namun hal ini tidak berlaku pada

1998 dimana curah hujan masih cukup tinggi sehingga peta rawan kekeringan

memperlihatkan kondisi sangat basah. Sedangkan di tahun 2008 dimana DMI positif

dan MEI negatif tetap menyebabkan curah hujan cukup kecil di Jawa dengan tipe

kerawanan agak kering hingga sangat kering di sebagain Jawa Barat dan Jawa Timur.

Pada studi kasus kondisi kedua indeks ini saling menguatkan (2003) ternyata produksi

padi di Jawa Barat ikut mengalami penurunan.

5. REKOMENDASI

Penggunaan SPI dalam upaya penentuan daerah yang berpotensi mengalami kekeringan

dapat diterapkan di Indonesia. Dengan mengetahui wilayah yang sangat sensitif

terhadap perubahan curah hujan apalagi yang dipengaruhi kejadian ekstrim seperti

ENSO dan IOD maka dapat diterapkan pemberian air irigasi agar dapat mengatasi

kondisi kekeringan tersebut. Sebaiknya pengolahan menggunakan metode SPI

menggunakan data curah hujan yang panjang.

DAFTAR REFERENSI

Aldrian, E, and R. Dwi Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within

Indonesia And Their Relationship To Sea Surface Temperature. International Journal of

Climatology, Int. J. Climatol. 23: 1435–1452 (2003).

Edwards, D.C., and T.B. McKee. 1997. Characteristics of 20th century drought in the United

States at multiple time scales. Climatology Report Number 97–2, Colorado State

University, Fort Collins, Colorado.

Everett, and Simonett. 1976. Principles, Concepts, and Philosophical Problems in Remote

Sensing, In: Remote Sensing of Environment, Lintz, and Simonett: Addison-Wesley

Publishing Company, London.

Hounam, C.E., J.J. Burgos, M.S. Kalik, W.C. Palmer, and J. Rodda. 1975. Drought and

Agriculture. Report of the CAgM Working Group on Assessment of Drought. Technical

Note No. 138. WMO Publication No. 392, 127 pp.

http://drought.unl.edu/. Diakses Februari 2010.

http://trmm.gsfc.nasa.gov/overview_dir/background.html. Diakses Agustus 2010.

http://www.esrl.noaa.gov/psd/people/klaus.wolter/MEI/table.html. Diakses Agustus 2010.

http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/. Diakses Agustus 2010.

Lillesand, T.M., R.W. Kiefer, and J.W. Chipman. 2003. Remote sensing and image

interpretation (5th

ed.). Wiley. ISBN 0-471-15227-7.

Lindgren, D.T. 1985. Land use Planning and Remote Sensing, Doldrecht: Martinus Nijhoff

Publisher.

Page 103: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

91

McKee, T.B., N.J. Doesken, and J. Kleist. 1993. The relationship of drought frequency and

duration to time scales. Preprints, 8th Conference on Applied Climatology, pp. 179–184.

January 17–22, Anaheim, California.

Saji, N.H., Goswami B.N., Vinayachandran P.N., and Yamagata T. 1999. A dipole mode in the

tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360-363.

Wolter, K., and M.S. Timlin. 1998. Measuring the strength of ENSO events - how does 1997/98

rank? Weather, 53, 315-324.

Wolter, K., and M.S. Timlin. 1993. Monitoring ENSO in COADS with a seasonally adjusted

principal component index. Proc. of the 17th Climate Diagnostics Workshop, Norman, OK,

NOAA/NMC/CAC, NSSL, Oklahoma Clim. Survey, CIMMS and the School of Meteor.,

Univ. of Oklahoma, 52-57.

BIOGRAFI PENULIS

Nur Febrianti, S.Si.

Lahir di Jambi 04 Februari 1981. Menamatkan Sekolah Dasar di

Jambi, SMPN 12 dan SMUN 3 di Padang 1999, serta

memperoleh gelar sarjana di IPB Jurusan Geofisika dan

Meteorologi 2004. Setelah lulus kuliah bekerja di LAPAN, dan

diterima menjadi Pegawai Negri Sipil 2008 sampai sekarang di

lembaga yang sama.

Pelatihan tingkat international yang pernah diikuti yaitu antara

lain Elucidation of ground based atmosphere observation

network in equatorial asia kerjasama LAPAN dan JSPS-Jepang,

2008. dan Spring School on Fluid Mechanics and Geophysics of Environmental

Hazards - Institute for Mathematical Sciences, National University of Singapore, 2009.

Pengalaman penelitian di bidang iklim dan aplikasinya 2004 – sekarang. Semenjak

2005 hingga 2010 telah mempublikasikan delapan makalah penelitian yang terkait.

Page 104: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

92

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di

Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43

Abd. Rahman As-syakur

1) 2)*

1) Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana, Denpasar-Bali

2) Center for Remote Sensing and Ocean Science (CReSOS) Universitas Udayana, Denpasar-

Bali

*[email protected]

Abstrak

Data penginderaan jauh TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) 3B43 selama 12

tahun telah digunakan untuk mencari pola spasial hubungan antara ENSO (El Niño-

Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) dengan curah hujan di Indonesia.

Analisis statistik korelasi linier dilakukan untuk mengetahui tingkat hubungannya

dengan batasan analisa berupa analisis musiman yaitu musim lokal dan musim monsun.

Pemanfaatan data penginderaan jauh memperlihatkan adanya interaksi spasial temporal

hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD antara daratan dan lautan yang dapat

mengambarkan faktor-faktor penyebab perbedaan kekuatan pengaruh kedua fenomena

tersebut terhadap curah hujan secara spasial dan temporal. Secara umum pola temporal

hubungan ENSO dan IOD dengan curah hujan di Indonesia adalah sama dimana tinggi

saat musim monsun JJA dan SON serta tidak jelas saat musim monsun DJF dan MAM.

Pola spasial hubungan kedua indeks dengan curah hujan tinggi di wilayah Pulau

Sumatera bagian tenggara dan Pulau Jawa saat musim JJA dan SON. Saat musim

monsun SON, IOD memiliki tingkat hubungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

ENSO diwilayah tersebut. Secara spasial temporal terlihat bahwa ada pergerakan

dinamis hubungan ENSO dan IOD dengan curah hujan di Indonesia dimana permulaan

pengaruh ENSO dan IOD terjadi pada masa JJA di wilayah barat daya Indonesia dan

berakhir pada masa DJF di wilayah timur laut Indonesia.

Kata Kunci: curah hujan, pola spasial, ENSO, IOD, TMPA 3B43

Abstract

The Remote sensing data of TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) 3B43 for 12

years has been used to observe the spatial patterns relationship of rainfall with ENSO

(El Niño-Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) over Indonesia. Linier

correlation statistical analysis was conducted to determine the relationship level by

restriction analysis of seasonal analysis based on local season and monsoon activity.

Application of remote sensing data can reveal an interaction of spatial temporal

relationship of rainfall with ENSO and IOD between land and sea which can be used to

describe the factors that cause differences power effects of both phenomena on rainfall

are spatially and temporally. In general, the temporal patterns relationship of rainfall

Page 105: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

93

with ENSO and IOD is the same patterns where high response during JJA and SON,

and unclear response during DJF and MAM. Spatial patterns relationship of both

phenomena with rainfall is high in southeastern part of Sumatra Island and Jawa

Island during JJA and SON. During the SON season, IOD has a relationship level

higher than ENSO in this part. In the spatial temporal seen, indicate the dynamic

movement of the relationship between IOD and ENSO with rainfall in Indonesia, where

the beginning of the influence of ENSO and IOD occurs during JJA in southwest part of

Indonesia and ended in DJF period in northeast part of Indonesia.

Keywords: rainfall, spatial patterns, ENSO, IOD, TMPA 3B43

1. PENDAHULUAN

Indonesia terletak di wilayah yang dilewati oleh garis katulistiwa dan terletak di antara

dua benua dan dua samudra. Posisi ini menyebabkan wilayah indonesia dipengaruhi

oleh sirkulasi Hadley dan sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi

tingkat variabilitas hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2007). Pergerakan matahari dari

23.5o LU ke 23.5

o LS selama setahun menghasilkan aktivitas monsun yang juga

berperan penting terhadap variabilitas hujan di Indonesia. Selain itu, adanya pengaruh

kondisi lokal seperti topografi juga tidak bisa diabaikan karena merupakan salah satu

kondisi penting yang mempengaruhi tingkat variabilitas hujan pada skala mikro

(Haylock and McBride, 2001; Aldrian and Djamil, 2008).

Anomali interaksi antara laut dan atmosfer di sekitar perairan Indonesia juga

berpengaruh terhadap variabilitas hujan di Indonesia. Interaksi-interaksi tersebut seperti

kejadian ENSO dan IOD. Kedua fenomena tersebut berperan penting terhadap kondisi

ekstrim variabilitas hujan yang berdampak terhadap kondisi lingkungan dan sosial baik

secara global maupun regional (Lou et al., 2010). Fluktuasi kejadian ENSO di Samudra

Pasifik sangat berhubungan dengan curah hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2007;

Hendon, 2003a; Mulyana, 2002b; Nicholls, 1988; Ropelewski and Halpert, 1987). Hal

yang sama juga terjadi pada fluktuasi kejadian IOD di Samudra Hindia (Saji et al.,

1999; Saji and Yamagata, 2003b; Bannu et al., 2005). Kondisi ENSO baik El Nino atau

La Nina menyebabkan penurunan atau peningkatan curah hujan di sebagian Indonesia

yang berdampak pada makin panjangnya musim kemarau atau pendeknya musim

kemarau (As-syakur, 2010; As-syakur dan Prasetia, 2010; Bell et al., 1999; Bell et al.,

2000; Hendon, 2003a; Hamada et al., 2002; Philander, 1990; Tjasyono dkk., 2008).

Kondisi yang sama juga terjadi bila kejadian IOD juga berlangsung. IOD positif

(negatif) berdampak pada semakin panjang (pendek) dan keringnya (basahnya) musim

kemarau di sebagian Indonesia (Saji et al., 1999; Saji and Yamagata, 2003b; Bannu et

al., 2005; Tjasyono dkk., 2008).

Curah hujan mempunyai tingkat variabilitas yang tinggi terhadap ruang dan waktu

sehingga membutuhkan data observasi yang panjang serta dengan sebaran spasial yang

memadai (Hong et al., 2010). Penakar hujan pada setiap pos pengamatan hujan

merupakan suatu alat pengukur hujan yang efektif dan relatif akurat dalam

menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Akan tetapi sebaran pos penakar

hujan tidak merata khususnya di daerah tidak berpenghuni serta di sekitar lautan yang

Page 106: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

94

mengakibatkan berkurangnya tingkat keakuratannya (Xie and Arkin, 1996; Petty and

Krajewski, 1996). Saat ini, kemungkinan memperoleh data curah hujan yang diperlukan

dalam berbagai aplikasi ilmiah dapat diperoleh dari satelit meteorologi (Petty, 1995).

Satelit meteorologi dapat menyediakan data hujan dengan sebaran yang lebih baik dan

waktu yang kontinyu (Xie et al., 2007). Keberadaan data yang memiliki resolusi spasial

dan temporal yang baik diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih

kuantitatif tentang hubungan curah hujan di Indonesia dengan kondisi iklim pada skala

yang lebih luas. Keadaan ini memberikan kesempatan yang baik dalam studi tentang

pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia.

Produk TRMM 3B43 atau disebut juga Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM)

Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA), merupakan data kombinasi atau data

hasil analisis penggabungan. TRMM 3B43 sudah diterapkan dalam berbagai aplikasi

seperti pengamatan iklim/cuaca, analisis iklim, verifikasi model iklim, dan studi

hidrologi (Xie et al., 2007). Data TRMM 3B43 merupakan yang pertama

mengkombinasikan TRMM Precipitation Radar (PR) dan TRMM Microwave Imager

(TMI) untuk mengkalibrasi perkiraan jumlah curah hujan dari pengukuran data

Microwave dan Infrared (IR) (Huffman et al., 2007). Data TRMM 3B43 sangat baik

digunakan untuk saat ini, karena di dalamnya juga terdapat hasil kalibrasi dari data

penakar hujan (Mehta and Yang, 2008). Pada saat ini, beberapa kelompok peneliti telah

melakukan validasi terhadap keakuratan data ini, seperti As-syakur et al., (2010) yang

membandingkan TMPA dengan data pengukuran curah hujan di Bali, Chokngamwong

and Chiu (2008) yang membandingkan TRMM dengan data pengukuran curah hujan di

Thailand, Su et al. (2008) yang menggunakan TMPA untuk memprediksi kondisi

hidrologi di Lembah La Plata, dan Islam and Uyeda (2007) yang memanfaatkan data

TRMM untuk menjelaskan karakteristik iklim, khususnya hujan di Bangladesh. Hasil-

hasil penelitian tersebut menggarisbawahi tentang keunggulan TRMM 3B43 dan

menyarankan untuk memanfaatkan data satelit ini secara lebih luas.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, dalam penelitian ini dicobakan penggunaan data

curah hujan dari TRMM untuk mengetahui pola spasial hubungan antara curah hujan

dengan ENSO dan IOD di seluruh Indonesia. Selama ini studi tentang hubungan antara

curah hujan di Indonesia dengan ENSO atau IOD lebih banyak dilakukan per lokasi

yang memiliki pos penakar hujan atau dari pemanfaatan model yang datanya hanya

bersumber dari penakar hujan (Seperti Aldrian et al., 2007; Hendon, 2003a; Saji and

Yamagata, 2003b; Hamada et al., 2002; Mulyana, 2002a; Mulyana, 2002b; Nicholls,

1988; Ropelewski and Halpert, 1987). Sehingga dengan keberadaan data satelit yang

memiliki resousi spasial dan temporal yang baik diharapkan akan lebih mampu

memberikan informasi yang lebih baik tentang pola spasial hubungan antara curah

hujan dengan kedua jenis indeks tersebut. Dalam penelitian ini, kondisi ENSO

dijelaskan dengan nilai SOI (Southern Oscillation Index) dan kondisi IOD dijelaskan

dengan nilai DMI (Dipole Mode Index). Penelitian ini memfokuskan pada analisis

musiman.

Page 107: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

95

2. DATA DAN METODE

2.1 Data

Data curah hujan bulanan dari tahun 1998 sampai 2009 yang diperoleh dari TRMM

3B43 digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pola spasial hubungan antara

curah hujan dengan ENSO dan IOD. Cakupan area penelitian adalah pada 20° LU

sampai 20° LS dan 80° BT sampai 160° BT (Gambar 1) dengan jumlah pixel TRMM

3B43 yang dianalisis sebanyak 51.200 pixel. Nilai SOI digunakan untuk menjelaskan

peristiwa hangat (El Nino) dan dingin (La Nina) di Samudra Pasifik (Ropelewski and

Jones, 1987; Ropelewski and Halpert, 1989; Können et al., 1998). Sedangkan nilai DMI

digunakan untuk menjelaskan peristiwa IOD positif dan IOD negatif Samudra Hindia

(Saji et al., 1999; Saji and Yamagata, 2003a; Saji and Yamagata, 2003b). SOI adalah

indeks yang didasarkan pada perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin (Ropelewski

and Jones, 1987) dan didefinisikan sebagai perbedaan standar antara tekanan standar

bulanan di Tahiti dan Darwin (Können et al., 1998), sedangkan DMI didefinisikan

sebagai gradien suhu permukaan laut (SPL) antara bagian timur dengan bagian barat

samudra Hindia (Saji et al., 1999).

Gambar 1. Lokasi penelitian

TRMM disponsori oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan

JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency, yang dulu disebut NASDA-National

Space Development Agency), dan telah mengumpulkan data dari November 1997

sampai saat ini (Kummerow et al., 2000). TRMM merupakan program penelitian

jangka panjang yang didesain untuk studi tentang tanah, laut, udara, es, dan sistem total

kehidupan di bumi (Islam and Uyeda, 2007). TRMM 3B43 merupakan bagian dari

TMPA. TMPA adalah data kalibrasi berbasis skema berurut yang mengkombinasikan

perkiraan hujan dari beberapa jenis satelit dan data penakar hujan. TMPA menyediakan

cakupan data hujan global pada sabuk lintang 50° LU sampai 50° LS dengan resolusi

Page 108: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

96

spasial 0.25° × 0.25° serta resolusi temporal tiga jam-an untuk TRMM 3B42 dan

resolusi temporal bulanan untuk TRMM 3B43 (Huffman et al., 2007; Huffman et al.,

2010). Algoritma yang digunakan untuk menghasilkan data TMPA didasarkan pada

teknik dari Huffman et al. (1995, 1997) dan Huffman (1997).

Data TRMM 3B43 diperoleh dari website ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/

s4pa/TRMM_L3/. Sedangkan data SOI dan DMI diperoleh dari website

http://www.bom.gov.au/ dan http://www.jamstec.go.jp/.

2.2 Metode

Metode untuk mendapatkan hubungan antara curah hujan dari TRMM 3B43 dengan

nilai SOI dan DMI adalah menggunakan analisis statistik. Pengukuran hubungan antara

data satelit dengan SOI dan IOD adalah dengan mencari nilai koefisien korelasi linier

(r) yang didefinisikan berdasarkan persamaan berikut (von Storch and Zwiers, 1999):

- -

- r

2222

YYnXXn

YXXYn (1)

Di mana X adalah nilai curah hujan dari TRMM 3B43, Y adalah nilai indeks (SOI atau

DMI), dan n adalah jumlah data yang digunakan. Dari sudut pandang statistik, analisis

korelasi digunakan untuk menggambarkan hubungan statistik linear antara dua variabel

acak, dimana hal ini menunjukkan sepasang variabel yang berbeda bervariasi sama

persis, satu variabel yang terkait dengan yang lain dapat diskalakan dalam bentuk

positif atau negatif (von Storch and Zwiers, 1999).

Analisis data dilakukan pada tiap pixel dengan koordinat sebagai identitas. Data

diekstrak dari TRMM 3B43 pada setiap pixel untuk mendapatkan data per point/titik.

Tiap point/titik memiliki informasi koordinat, bulan, tahun, dan nilai curah hujan.

Kemudian data diurutkan sesuai dengan tujuan analisis. Proses pengurutan juga

dilakukan pada nilai-nilai index (SOI dan DMI), dan selanjutnya dilakukan perhitungan

untuk mendapatkan nilai korelasi menggunakan persamaan koefisien korelasi linier

(persamaan 1). Setelah diperoleh nilai korelasi, data titik/poin dikonversi ke format data

raster yang memiliki resolusi spasial yang sama dengan data aslinya (0.25° × 0.25°).

Proses-proses tersebut dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak Microsoft

Office Excel 2003 dan ArcGIS 9.3.

Dua tipe analisis musiman dilakukan dalam penelitian ini, pertama didasarkan pada

musim lokal dan yang kedua didasarkan pada aktivitas monsun. Secara lokal, musim

dibagi menjadi dua tipe yaitu musim hujan dan musim kemarau. Sementara itu,

berdasarkan aktivitas monsun, analisisnya dibagi menjadi empat tipe, yaitu Desember-

Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA), and

September-Oktober-November (SON). Secara umum di Indonesia musim hujan terjadi

dari bulan November sampai April dan musim kemarau terjadi dari Mei sampai

Oktober (Hendon, 2003a; Aldrian and Djamil, 2008). DJF menggambarkan puncak dari

monsun barat laut Australia-Asia, dan JJA menggambarkan puncak monsun tenggara

Australia-Asia. Sedangkan MAM dan SON menggambarkan transisi antara kedua masa

Page 109: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

97

monsun (Aldrian and Susanto, 2003). Proses analisis dilakukan dengan

mengkorelasikan data bulanan pada musim yang sama selama tahun pengamatan.

Untuk mengetahui indeks yang paling berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia

diperoleh dengan melakukan perbandingan tingkat korelasi antara kedua indeks

tersebut. Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikan korelasi, digunakan derajat

kepercayaan 95%. Nilai korelasi yang berada di bawah derajat kepercayaan 95% adalah

tidak berkorelasi signifikan. Hasil analisis awal menunjukan bahwa nilai korelasi

signifikan yang berada dibawah derajat kepercayaan 95% untuk analisis musim lokal

dan musim monsun berturut-turut adalah antara 0.23 sampai -0.23 dan antara 0.33

sampai -0.33. Korelasi positif (negatif) antara curah hujan dengan SOI menunjukkan

bahwa kondisi hangatnya SPL (Suhu Permukaan Laut) di Samudra Pasifik dapat

mengakibatkan menurunnya (meningkatnya) curah hujan di Indonesia. Kondisi

sebaliknya akan berlangsung bila peristiwa pendinginan SPL terjadi di Samudra Pasifik.

Sementara itu, korelasi negatif (positif) antara curah hujan dan DMI mengindikasikan

bahwa peristiwa pendinginan SPL di bagian timur Samudra Hindia dapat menurunkan

(meningkatkan) curah hujan di Indonesia. Kondisi sebaliknya akan terjadi bila peristiwa

penghangatan SPL terjadi di wilayah tersebut.

3. HASIL

Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD terhadap fluktuasi

hujan selama musim lokal disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan gambar tersebut

secara umum pengaruh ENSO lebih luas efeknya dibandingkan IOD baik selama

musim hujan maupun selama musim kemarau. Selama musim hujan, pengaruh ENSO

lebih kuat dibandingkan pengaruh IOD walaupun dengan sebaran yang tidak terlalu

luas untuk wilayah Indonesia. ENSO dan IOD tidak berpengaruh signifikan terhadap

fluktuasi Curah hujan di sebagian wilayah daratan Indonesia. Sebaran pengaruh ENSO

hanya terjadi di sebagian pesisir utara Sumatera, Jawa bagian tengah, sebagian

Kepulauan Nusa Tenggara, bagian timur Kalimantan, sebagian Sulawesi bagian utara

dan selatan, sebagian kepulauan Maluku, serta disebagian kecil Papua. Sedangkan

sebaran pengaruh IOD hanya terjadi di bagian timur Kalimantan, di sebagian wilayah

Sulawesi, bagian timur kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Halmahera. Selama

musim hujan, pengaruh ENSO kuat (r = 0.4-0.6) hanya terjadi di bagian utara dan

pesisir timur Kalimantan, bagian utara Sulawesi, bagian utara kepulauan Halmahera,

dan di bagian selatan Bali dan Lombok. Sedangkan pengaruh IOD kuat (r = 0.4-0.6)

saat musim hujan hanya terdapat di Laut Jawa.

Selama musim kemarau, sebaran pengaruh ENSO dan IOD terhadap fluktuasi hujan

lebih luas dibandingkan saat musim penghujan. Efek kejadian ENSO terhadap curah

hujan di Indonesia selama musim kemarau tersebar cukup merata. Sebagian besar curah

hujan di wilayah Indonesia berfluktuasi seiring dengan fluktuasi nilai SOI kecuali

sebagian Sumatera bagian barat, sebagian kalimantan bagian utara dan sebagian papua

bagian timur laut. Efek ENSO kuat (r = 0.4-0.6) juga terlihat cukup luas sebarannya

yaitu terlihat di sebagian Sumatera bagian barat, sebagian kalimantan bagian barat,

sebagian Sulawesi bagian barat, sebagian maluku, sebagian Paua, Bali, dan Nusa

Tenggara Barat. Di sisi lain, IOD juga berpengaruh kuat terhadap fluktuasi hujan saat

Page 110: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

98

musim kemarau terutama di bagian timur Pulau Sumatera dan bagian barat Pulau Jawa.

Secara umum efek IOD terhadap fluktuasi hujan saat musim kemarau di Indonesia

hanya terpengaruh di selatan Indonesia yaitu bagian timur Pulau Sumatera, Pulau Jawa,

Bali, bagian barat kepulauan Nusa Tenggara, bagian barat laut Pulau Kalimantan, dan

bagian barat Pulau Sulawesi.

Gambar 2. Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD terhadap

curah hujan di Indonesia berdasarkan musim lokal. (a) ENSO saat musim hujan; (b)

ENSO saat musim kemarau; (c) IOD saat musim hujan; dan (d) IOD saat musim kemarau

Berdasarkan hasil analisis perbandingan antara kedua jenis indeks terlihat bahwa ENSO

lebih berpengaruh terhadap fluktuasi hujan di Indonesia dibandingkan IOD baik itu

selama musim hujan maupun selama musim kemarau, seperti yang disajikan pada

Gambar 3. Selama musim hujan pengaruh ENSO terhadap fluktuasi curah hujan lebih

kuat dibandingkan IOD di wilayah bagian tengah Indonesia serta diluar bagian selatan

dan utara Indonesia. Sedangkan di periran Laut Banda dan sekitarnya serta sebagian

kecil Pulau Kalimantan dan Kepulauan Mentawai, Sumatera pengaruh IOD lebih kuat

terhadap curah hujan di bandingkan dengan ENSO. Kondisi sebaliknya terjadi selama

musim kemarau, di bagian barat Indonesia yaitu di Pulau Sumatera bagian timur,

sebagian besar wilayah Pulau Jawa, sebagian wilayah Kepulauan Nusa Tenggara

fluktuasi hujannya lebih dipengaruhi oleh kejadian IOD di bandingkan kejadian ENSO.

Akan tetapi sebagian bagian barat Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi,

Kepulauan Maluku, dan Sebagian wilayah Papua pengaruh ENSO terhadap curah hujan

lebih kuat dibandingkan pengaruh IOD.

a) c)

b) d)

Page 111: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

99

Gambar 3. Pola spasial perbandingan pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan di

Indonesia berdasarkan musim lokal. (a) perbandingan ENSO dan IOD saat musim hujan;

dan (b) perbandingan ENSO dan IOD saat musim kemarau

Hasil kedua dari penelitian ini adalah pola spasial hubungan antara curah hujan dengan

ENSO dan IOD terhadap fluktuasi hujan selama musim monsun yang disajikan pada

Gambar 4. Selama musim DJF fluktuasi nilai SOI berpengaruh terhadap curah hujan di

bagian tengah Indonesia walaupun dengan sebaran yang tidak merata. Wilayah-wilayah

yang terkena dampak pengaruh ENSO adalah Sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian

Kepulauan Nusa Tenggara, bagian timur laut Pulau Kalimantan, sebagian wilayah

Pulau Sulawesi, sebagian Kepulauan Maluku, dan sebagian wilayah Papua. Efek ENSO

terbesar terhadap fluktuasi hujan saat musim ini terjadi diluar wilayah Indonesia yaitu

Filipina dan sekitarnya. Sebaran spasial efek IOD terhadap fluktuasi curah hujan selama

musim DJF lebih kecil dibandingan efek ENSO. Seperti halnya ENSO, efek IOD

terhadap fluktuasi hujan juga hanya terjadi di wilayah timur Indonesia yaitu di Pulau

Kalimantan bagian timur, Pulau Sulawesi bagian timur, Kepulauan Maluku bagian

utara serta di sebagian kecil Papua. Kondisi yang lebih baik terjadi saat musim MAM.

Selama musim MAM efek ENSO tidak terlalu luas dibandingkan musim-musim

monsun lainnya, bahkan kejadian IOD memiliki dampak yang sangat kecil terhadap

fluktuasi hujan di wilayah Indonesia. Efek ENSO hanya terjadi di sisi luar Indonesia

yaitu di bagian utara dan selatan kecuali di Pulau Kalimantan bagian timur. Sisi luar

Indonesia yang terkena dampak kejadian ENSO saat musim MAM adalah Pulau

Sulawesi bagian utara, Kepulauan Maluku bagian utara, Kepulauan Nusa Tenggara

bagian selatan serta Pulau Papua bagian selatan. saat musim ini kejadian IOD hanya

berkorelasi dengan kejadian hujan di pesisir selatan Papua dan sedikit di wilayah

Kepulauan Maluku. Akan tetapi jenis korelasinya adalah korelasi positif yang berarti

saat terjadi IOD positif maka wilayah tersebut terjadi peningkatan curah hujan.

Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD saat musim JJA

mulai terlihat jelas dan mengelompok. Efek ENSO yang terluas saat musim monsun

terjadi pada masa JJA ini. Hanya sebagian kecil wilayah Indonesia yang curah hujannya

tidak berkorelasi signifikan dengan kejadian ENSO yaitu Pulau Sumatera bagian utara,

Pulau Kalimantan bagian timur laut, Kepulauan Nusa Tenggara bagian timur, dan

Papua bagian timur laut. Sedangkan efek IOD terhadap fluktuasi hujan di Indonesian

terlihat sangat jelas mengelompok di bagian barat daya Indonesia yaitu di Pulau

Sumatera bagian tenggara dan sebagian besar Pulau Jawa. Selama masa SON efek

a) c)

Page 112: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

100

ENSO dan IOD masih terlihat luas bahkan efek IOD terluas terjadi pada musim ini.

Efek ENSO pada musim ini terlihat mulai melemah di wilayah barat Indonesia serta

bergerak kearah timur Indonesia. Hubungan antara curah hujan dengan ENSO di

wilayah Pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa lebih kecil dalam hal luas dan tingkat

korelasinya dibandingkan saat musim JJA. Akan tetapi wilayah Pulau Sulawesi dan

Kepulauan Maluku masih memiliki hubungan yang kuat dengan ENSO. Efek IOD

terhadap curah hujan di Indonesia selama musim ini mulai memasuki wilayah timur

Indonesia. Selain mempengaruhi curah hujan di Pulau Sumatera bagian tenggara dan

Pulau Jawa, efek IOD juga terlihat di Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara,

Kepulauan Maluku dan sebagian Papua.

Gambar 4. Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD terhadap

hujan di Indonesia berdasarkan musim monsun. (a) pengaruh ENSO saat DJF; (b)

pengaruh ENSO saat MAM; (c) pengaruh ENSO saat JJA; (d) pengaruh ENSO saat SON;

(e) pengaruh IOD saat DJF; (f) pengaruh IOD saat MAM; (g) pengaruh IOD saat JJA;

dan (h) pengaruh IOD saat SON

a) e)

b) f)

c) g)

d) h)

Page 113: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

101

Gambar 5 menyajikan pola spasial perbandingan pengaruh ENSO dan IOD terhadap

hujan di Indonesia berdasarkan musim monsun. Secara umum perbandingan kekuatan

pengaruh dari kedua indeks tersebut terhadap fluktuasi hujan selama musim monsun

memperlihatkan bahwa ENSO lebih berpengaruh dibandingkan IOD. Khusus pada

masa JJA dan SON, kejadian IOD lebih berpengaruh terhadap fluktuasi hujan

dibandingkan dengan ENSO untuk wilayah Pulau Sumatera bagian tenggara dan Pulau

Jawa bagian barat. Selain itu IOD juga lebih berpengaruh terhadap fluktuasi hujan di

bandingkan dengan ENSO selama masa SON di sebagian wilayah Kepulauan Nusa

tenggara dan sebagian Pulau Sulawesi bagian utara.

Gambar 5. Pola spasial perbandingan pengaruh ENSO dan IOD terhadap hujan di

Indonesia berdasarkan musim monsun. (a) perbandingan ENSO dan IOD saat DJF; (b)

perbandingan ENSO dan IOD saat MAM; (c) perbandingan ENSO dan IOD saat JJA;

dan (d) perbandingan ENSO dan IOD saat SON

4. PEMBAHASAN

Pemanfaatan data penginderan jauh TRMM 3B43 untuk mengetahui hubungan curah

hujan dengan ENSO dan IOD memberikan gambaran pola spasial yang sangat menarik.

Dimana hubungan antara curah hujan dengan kedua jenis indeks tidak hanya

menggambarkan kondisi didarat tetapi juga gambaran spasial interaksi hubungan kedua

indeks dengan curah hujan antara daratan dan lautan. Hal ini bisa dilihat pada hubungan

antara IOD dengan curah hujan saat musim kemarau serta saat musim monsun JJA dan

SON (Gambar 2(d); 4(g); dan 4(h)) yang memperlihatkan bagaimana pengelompokan

pola hubungan tersebut berada di wilayah lautan dan daratan yaitu di bagian selatan

Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kondisi yang sama juga terlihat dari gambaran spasial

hubungan antara ENSO dengan curah hujan saat musim hujan serta saat musim monsun

MAM (Gambar 2(a) dan 4(b)). Gambaran pola spasial menunjukkan saat sebagian

a) c)

b) d)

Page 114: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

102

besar wilayah daratan Indonesia tidak berhubungan dengan ENSO, ternyata di bagian

timur laut Indonesia terdapat zona pengelompokan hubungan curah hujan dan ENSO

yang cukup tinggi yang membentang dari timur laut Pulau Kalimantan, utara Pulau

Sulawesi, utara Kepulauan Maluku sampai utara Papua. Hasil yang sama juga diperoleh

oleh Ropelewski and Halpert (1987) serta Ropelewski and Halpert (1996) yang

menyatakan bahwa di lokasi tersebut pengaruh ENSO terjadi dari bulan Oktober sampai

Mei. Akan tetapi disisi lain, pemanfaatan data penginderaan jauh TRMM 3B43 masih

belum bisa menganalisis efek kondisi lokal terhadap fluktuasi curah hujan karena masih

memiliki resolusi spasial yang rendah yaitu 0.25 derajat.

Hasil analisis kuantitatif memperlihatkan bahwa curah hujan di Indonesia sangat

berhubungan dengan kejadian ENSO dan IOD khususnya pada musim kemarau dan

musim monsun JJA dan SON. Kejadian kemarau berkepanjangan disebagian besar

wilayah Indonesia erat kaitannya dengan peningkatan SPL di bagian tengah Samudra

Pasifik serta pendinginan SPL dibagian timur Samudra Hindia. Akan tetapi bila terjadi

pendinginan SPL di bagian tengah Samudra Pasifik dan pemanasan SPL di bagian

timur Samudra Hindia akan menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian wilayah

Indonesia saat musim kemarau dan memajukan awal musim hujan. Sedangkan selama

musim hujan dan musim DJF kejadian ENSO dan IOD hanya mempengaruhi di

sebagian kecil wilayah Indonesia, bahkan saat musim monsun MAM kejadian IOD

sama sekali tidak mempengaruhi curah hujan di Indoensia dan ENSO hanya

mempengaruhi sebagian kecil lain wilayah Indonesia. Hasil ini senada dengan

penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ENSO dan IOD sangat

mempengaruhi besaran hujan saat musim kemarau dan saat musim monsun JJA dan

SON (Seperti Hendon, 2003a; Hamada et al., 2002; Philander, 1990; Haylock and

McBride, 2001; Tjasyono dkk., 2008; Aldrian and Susanto, 2003; Saji and Yamagata,

2003b; Bannu et al., 2005).

Hubungan yang tinggi antara curah hujan dengan ENSO dan IOD saat musim kemarau

terjadi karena kedua fenomena tersebut mempengaruhi kondisi SPL di perairan

Indonesia (Hendon, 2003a). SPL di sebagian wilayah Indonesia memiliki korelasi yang

negatif dengan dengan kejadian ENSO saat musim kemarau (Hendon, 2003a; Sukresno,

2010). Saat terjadi penghangatan SPL di bagian tengah samudra pasifik, maka kondisi

SPL di lautan Indonesia mengalami pendinginan yang lebih dingin dari kondisi

normalnya. Kondisi ini mengakibatkan melemahnya angin monsun tenggara dan angin

zonal timur-barat yang merupakan sumber konveksi di wilayah Indonesia. Pendingan

SPL ini juga menghambat proses evapotranspirasi yang merupakan sumber uap air

untuk proses terjadinya awan. Kondisi sebaliknya akan terjadi saat penghangatan SPL

di bagian tengah Samudra Pasifik.

Pendinginan SPL di Selatan Pulau Sumatera yang mengindikasikan kejadian IOD

positif juga mempengaruhi proses evapotranspirasi di wilayah ini yang mengakibatkan

menurunnya curah hujan hujan di daerah sekitarnya (Saji et al., 1999), kondisi

sebaliknya terjadi bila fenomena IOD negatif berlangsung. Fenomena hubungan curah

hujan dengan IOD saat musim monsun SON di wilayah Indonesia bagian tengah

merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Secara umum hal ini

Page 115: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

103

mungkin disebabkan oleh melemahnya (menguatnya) angin monsun tenggara yang

berasal dari Autralia akibat pendinginan (penghangatan) SPL di bagian timur Samudra

Hindia.

Hubungan yang kurang jelas antara curah hujan dengan ENSO dan IOD saat musim

hujan dapat dijelaskan dari berbagai aspek seperti pendapat Roswintiarti (1999) yang

mengatakan bahwa hubungan yang kurang jelas terjadi karena puncak kejadian ENSO

biasanya terjadi saat musim kemarau sehingga tidak terdapat hubungan antara kejadian

ENSO dengan curah hujan saat musim hujan. Alasan yang sama juga dijelaskan oleh

Juneng and Tangang (2005) yang mengatakan bahwa urutan kejadian ENSO dimulai

pada masa musim monsun JJA dan berakhir pada masa musim monsun MAM.

Sedangkan menurut Hamada et al. (2002) ketidak jelasan hubungan tersebut terjadi

karena mekanisme hujan saat musim hujan berupa kelompok awan tidak terpengaruh

akibat kejadian ENSO.

Sebab lain lemahnya hubungan antara ENSO dengan dengan curah hujan saat musim

hujan dijelaskan oleh Haylock and McBride (2001). Mereka mengatakan bahwa

fluktuasi hujan saat musim hujan yang dikontrol oleh pengendali-pengendali iklim

dalam skala meso dan sub meso diperkuat juga oleh kondisi lokal yang mencakup

keadaan dan kondisi laut, keberadaan pulau-pulau besar dan kecil, serta kondisi

topografi yang kompleks. Efek dari kompleksitas pengaruh pengendali-pengendali

iklim tersebut yang beriringan melemahkan pengaruh ENSO terhadap curah hujan saat

musim hujan. Di sisi lain, Hendon (2003a) dan Hendon (2003b) menghubungkan

korelasi yang rendah antara ENSO dengan curah hujan saat musim hujan dengan

kondisi SPL di lautan Indonesia. Menurutnya saat musim hujan kondisi SPL yang

hangat di lautan Indonesia cenderung bertahan dan meredam efek dari ENSO yang

terjadi di Samudra Pasifik. Keadaan ini dibuktikan oleh tidak jelasnya hubungan antara

SPL di Indonesia dengan ENSO saat musim hujan (Hendon, 2003b; Sukresno, 2010).

Kondisi-kondisi yang sama juga mungkin mengakibatkan rendahnya hubungan antara

IOD dengan curah hujan saat musim hujan.

Keadaan-keadaan tersebut menggambarkan bahwa interaksi laut-atmosfer di Indonesia

dan sekitarnya berperan penting terhadap perbedaan kekuatan efek kejadian ENSO dan

IOD terhadap fluktuasi curah hujan secara spasial dan temporal. Adanya zona

pengelompokan-pengelompokan sebaran pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah

hujan baik secara secara spasial maupun temporal mengindikasikan adanya pengaruh

lain, selain yang dijelaskan sebelumnya, yang membatasi efek ENSO dan IOD terhadap

fluktuasi curah hujan di Indonesia dan sekitarnya. Zona pengelompokan-

pengelompokan tersebut bisa juga terjadi akibat keberadaan daerah konvergensi antar

tropis (DKAT; ITCZ; Inter-Tropical Convergence Zone) yang merupakan daerah

pertemuan sirkulasi Hedley dari utara dan selatan. Jalur DKAT sifatnya fluktuatif yang

diakibatkan oleh pergerakan matahari dan kondisi suhu di permukaan bumi.

Keberadaan jalur DKAT yang fluktuatif dan proses awal terjadiannya yang berbeda saat

musim SON dan MAM mungkin dapat menjelaskan lebih rinci alasan hubungan yang

kuat antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada saat musim monsun transisi SON

serta hubungan yang tidak jelas antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada saat

monsun transisi MAM. Akan tetapi hubungan tersebut harus diteliti lebih jauh dan

Page 116: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

104

diintegrasikan dengan proses-proses lain yang beriringan dengan kejadian DKAT untuk

memastikan adanya efek DKAT terhadap pengelompokan spasial dan temporal

hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD diwilayah Indonesia.

5. KESIMPULAN

Pola spasial hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia yang

diobservasi menggunakan data TRMM 3B43 serta nilai SOI dan DMI periode 1998

sampai 2009 telah dilakukan dengan analisis musiman berdasarkan musim lokal dan

musim monsun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan data penginderaan

jauh dapat memberikan informasi interaksi pengelompokan spasial dan temporal yang

baik tentang hubungan antara ENSO dan IOD dengan curah hujan untuk wilayah

daratan dan lautan. Adanya zona pengelompokan-pengelompokan spasial dan temporal

tersebut memberikan informasi tentang kemungkinan adanya pengendali iklim global

lain yang mempengaruhi perbedaan kekuatan efek ENSO dan IOD seperti pengaruh

dari zona DKAT.

ENSO dan IOD memiliki pola temporal yang sama dalam mempengaruhi curah hujan

di Indonesia. Kedua fenomena tersebut mempengaruhi fluktuasi hujan selama musim

kemarau serta saat musim monsun JJA dan SON. Sedangkan saat musim hujan serta

musim monsun DJF dan MAM pengaruh kedua fenomena tersebut tidak jelas khusunya

didalam wilayah Indonesia. Gambaran spasial menunjukan pengaruh ENSO dan IOD

terhadap curah hujan di Indonesia terlihat sangat dinamis. Secara umum ENSO

berpengaruh terhadap fluktuasi hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali di

ujung barat dan ujung timur Indonesia. Sedangkan IOD hanya berpengaruh di bagian

selatan Indonesia khsusunya di Pulau Sumatera bagian tengara dan Pulau Jawa bagian

barat. Berdasarkan pola spasial dan temporal yang dihasilkan maka dapat disimpulkan

bahwa hubungan antara curah hujan dengan ENSO dimulai saat musim monsun JJA

dengan lokasi penyebaran di bagian barat daya dan tengah Indonesia. Saat musim SON,

efek ENSO mulai meninggalkan bagian barat Indonesia dan bergerak ke arah timur dan

timur laut Indonesia. Musim DJF pengaruh ENSO mulai meninggalkan Indonesia dan

bergerak ke arah utara dan sedikit ke arah selatan Indonesia. Sedangakn saat musim

MAM, pengaruh ENSO di wilayah Indonesia sudah benar-benar menghilang dan

mengelompok ke arah timur laut dan tenggara Indonesia. Keadaan yang sama juga

terjadi pada fenomena IOD. Efek IOD dimulai pada musim JJA di bagian barat daya

Indonesia. Musim SON sebaran efek IOD mulai meluas ke arah tengah dan timur

Indonesia. Saat musim DJF, efek IOD meninggalkan wilayah barat daya Indonesia dan

bergerak ke arah timur laut Indonesia. Dan saat musm MAM efek IOD di Indonesia

menghilang.

DAFTAR REFERENSI

Aldrian, E., and R.D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within

Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of

Climatology, 23. 1435–1452.

Page 117: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

105

Aldrian, E., L.D. Gates, and F.H.Widodo. 2007. Seasonal variability of Indonesian rainfall in

ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO. Theoretical and Applied

Climatology, 87. 41–59.

Aldrian, E., and Y.S. Djamil. 2008. Spatio-temporal climatic change of rainfall in East Java

Indonesia. International Journal of Climatology, 28. 435–448.

As-syakur, A.R., dan R. Prasetia. 2010. Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama Maret

Sampai Juni 2010 Di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite Precipitation

Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan. Dipresentasikan dalam Seminar

Ilmiah Nasional Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI)

di Universitas Udayana pada tanggal 29 Juli 2010. Denpasar-Indonesia.

As-syakur, A.R. 2010. Pola Spasial Pengaruh Kejadian La Nina Terhadap Curah Hujan di

Indonesia Tahun 1998/1999; Observasi Menggunakan Data TRMM Multisatellite

Precipitation Analysis (TMPA) 3B43. Dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan

(PIT) XVII dan Kongres Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) V di Institut

Pertanian Bogor pada tanggal 9 Agustus 2010. Bogor-Indonesia.

As-syakur, A.R., T. Tanaka, R. Prasetia, I.K. Swardika, and I.W. Kasa. 2010. Comparison of

TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) products and daily-monthly gauge

data over Bali Island. International Journal of Remote Sensing, In Press.

Bannu, H. Kuze, N. Takeuchi, and D.A. Suriamihardja. 2005. Impacts of the sea surface

temperature anomaly in the Pacific and Indian Oceans on the Indonesian climate. Paper in

the 11th CEReS International Symposium on Remote Sensing on 13 to 14 December 2005

at Chiba University. Chiba-Japan.

Bell, G.D., M.S. Halpert, C.F. Ropelewski, V.E. Kousky, A.V. Douglas, R.C. Schnell, and M.E.

Gelman. 1999. Climate Assessment for 1998. Bulletin of the American Meteorological

Society, 80(5). S1-S48

Bell, G.D., M.S. Halpert, R.C. Schnell, R.W. Higgins, J. Lawrimore, V.E. Kousky, R. Tinker,

W. Thiaw, M. Chelliah, and A. Artusa. 2000. Climate Assessment for 1999. Bulletin of the

American Meteorological Society, 81(6). S1-S50

Chokngamwong, R., and L.S. Chiu. 2008. Thailand Daily Rainfall and Comparison with TRMM

Products. Journal of Hydrometeorology, 9. 256–266.

Hamada, J., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A. Winarso, and T. Sribimawati. 2002.

Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO.

Journal of the Meteorological Society of Japan, 80. 285-310

Haylock, M., and J.L. McBride. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet

season rainfall. Journal of Climate, 14. 3882–3887

Hendon, H.H. 2003a. Indonesian rainfall variability: impacts of ENSO and local air–sea

interaction. Journal of Climate, 16, 1775–1790.

Hendon, H.H. 2003b. Impacts of air-sea coupling on variability of the Indonesian monsoon. In

“Current issues in the parameterization of convection”: extended abstracts of

presentations at the fifteenth annual BMRC Modelling Workshop 13–16 October 2003, P.J.

Meighen and A.J. Hollis (ed.), pp. 109-112 (Australia: Bureau of Meteorology Research

Centre).

Hong, Y., R.F. Adler, G.J. Huffman, and H. Pierce. 2010. Applications of TRMM-Based Multi-

Satellite Precipitation Estimation for Global Runoff Prediction: Prototyping a Global Flood

Modeling System. In Satellite Rainfall Applications for Surface Hydrology, M.

Gebremichael and F. Hossain (ed.), pp. 245-266 (Netherlands: Springer Verlag).

Page 118: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

106

Huffman, G.J., R.F. Adler, B. Rudolf, U. Schneider, and P.R. Keehn. 1995: Global precipitation

estimates based on a technique for combining satellite-based estimates, rain gauge analysis,

and NWP model precipitation information. Journal of Climate, 8. 1284-1295.

Huffman, G.J. 1997. Estimates of root-mean-square random error for finite samples of estimated

precipitation. Journal of Applied Meteorology, 36(9). 1191-1201.

Huffman, G.J., R.F. Adler, P. Arkin, A. Chang, R. Ferraro, A. Gruber, J. Janowiak, A. McNab,

B. Rudolph, and U. Schneider. 1997. The global precipitation climatology project (GPCP)

combined precipitation dataset. Bulletin of the American Meteorological Society, 78, 5-20.

Huffman, G.J., R.F. Adler, D.T. Bolvin, G. Gu, E.J. Nelkin, K.P. Bowman, Y. Hong, E.F.

Stocker, and D.B. Wolff. 2007. The TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA):

Quasi-Global, Multiyear, Combined-Sensor Precipitation Estimates at Fine Scales. Journal

of Hydrometeorology, 8 (1). 38-55.

Huffman, G.J., R.F. Adler, D.T. Bolvin, and E.J. Nelkin. 2010. The TRMM Multi-satellite

Precipitation Analysis (TMPA). In Satellite Rainfall Applications for Surface Hydrology,

M. Gebremichael and F. Hossain (ed.), pp. 3-22 (Netherlands: Springer Verlag).

Islam, M.N., and H. Uyeda. 2007. Use of TRMM in determining the climatic characteristics of

rainfall over Bangladesh. Remote Sensing of Environment, 108. 264–276.

Juneng, L., and F.T. Tangang. 2005. Evolution of ENSO-related rainfall anomalies in Southeast

Asia region and its relationship with atmosphere–ocean variations in Indo-Pacific sector.

Climate Dynamics, 25. pp. 337–350.

Können, G.P., P.D. Jones, M.H. Kaltofen, and R.J. Allan, 1998. Pre-1866 Extensions of the

Southern Oscillation Index Using Early Indonesian and Tahitian Meteorological Readings.

Journal of Climate, 11. 2325–2339

Kummerow, C., J. Simpson, O. Thiele, W. Barnes, A.T.C. Chang, and E. Stocker. 2000. The

status of the Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) after two years in orbit.

Journal of Applied Meteorology, 39. 1965−1982.

Luo, J-J., R. Zhang, S.K. Behera, Y. Masumoto, F.F. Jin, R. Lukas, and T. Yamagata. 2010.

Interaction between El Niño and extreme Indian Ocean Dipole. Journal of Climate, 23.

726–742

Mehta, A.V., and S. Yang. 2008. Precipitation climatology over Mediterranean Basin from ten

years of TRMM measurements. Advanced Geosciences, 17. 87–91.

Mulyana, E. 2002a. Hubungan Antara ENSO dengan Variasi Curah Hujan Di Indonesia. Jurnal

Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 3(1). pp. 1-4.

Mulyana, E. 2002b. Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan Di Indonesia. Jurnal Sains

& Teknologi Modifikasi Cuaca, 3(1). pp. 39-43.

Nicholls, N. 1988. El Niño-Southern Oscillation and Rainfall Variability. Journal of Climate, 1.

418-421

Petty, G.W., and W.F. Krajewski. 1996. Satellite estimation of precipitation over land.

Hidrological Science, 41(4). 433-451

Petty, G.W. 1995. The Status of Satellite-Based Rainfall Estimation over Land. Remote Sensing

of Environment, 51. 125-137

Philander, S.G. 1990. El Niño, La Niña, and the Southern Oscillation. Academic Press, San

Diego, CA, 289 pp.

Page 119: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

107

Ropelewski, C.F., and P.D. Jones .1987. An Extension of the Tahiti-Darwin Southern

Oscillation Index. Monthly Weather Review, 115. 2161-2165

Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert. 1987. Global and regional scale precipitation patterns

associated with the El Niño–Southern Oscillation. Monthly Weather Review, 115. 1606–

1626

Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert. 1989. Precipitation patterns associated with the high index

phase of the Southern Oscillation. Journal of Climate, 2. 268-284

Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert. 1996. Quantifying Southern Oscillation-precipitation

relationships. Journal of Climate, 9. 1043-1059

Roswintiarti, O. 1999. Statistical Analysis and Numerical Simulations of the Intertropoical

Convergence Zone during Normal and ENSO Years. Ph.D. Dissertation, North Carolina

State University, USA.

Saji, N.H., and T. Yamagata. 2003a. Structure of SST and surface wind variability during Indian

Ocean Dipole Mode years: COADS observations. Journal of Climate, 16. 2735–2751

Saji, N. H., and T. Yamagata. 2003b. Possible impacts of Indian Ocean dipole mode events on

global climate. Climate Research, 25. 151–169.

Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the

tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363.

Su, F., Y. Hong, and D.P. Lettenmaier. 2008. Evaluation of TRMM Multisatellite Precipitation

Analysis (TMPA) and Its Utility in Hydrologic Prediction in the La Plata Basin. Journal of

Hydrometeorology, 9. 622–640.

Sukresno, B. 2010. Empirical Orthogonal Functions (EOF) Analysis of SST Variability in

Indonesian Water Concerning With ENSO and IOD. International Archives of the

Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVIII, Part

8. pp. 116-121.

Tjasyono, B., A. Lubis, I. Juaeni, Ruminta, dan S.W.B. Harijono. 2008. Dampak variasi

temperatur samudera pasifik dan hindia ekuatorial terhadap curah hujan di Indonesia.

Jurnal sains dirgantara LAPAN, 5(2). pp. 1-13.

von Storch, H., and F.W. Zwiers. 1999. Statistical Analysis in Climate Research. Cambridge

University Press, UK. 484 pp.

Xie, P., and P.A. Arkin. 1996. Analyses of global monthly precipitation using gauge

observations, satellite estimates and numerical model predictions. Journal of Climate, 9.

840–858.

Xie, P., A. Yatagai, M. Chen, T. Hayasaka, Y. Fukushima, C. Liu, and S. Yang. 2007. A Gauge-

Based Analysis of Daily Precipitation over East Asia. Journal of Hydrometeorology, 8.

607–626.

Page 120: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

108

BIOGRAFI PENULIS

Abd. Rahman As-syakur

Abd. Rahman As-syakur, Lahir di Dompu pada tanggal 4

Desember 1981. Sejak tahun 2005 sampai saat ini merupakan staf

peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)

Universitas Udayana dan sejak tahun 2007 sampai saat ini juga

merupakan staf peneliti pada Center for Remote Sensing and

Ocean Science (CReSOS) Universitas Udayana. Pendidikan

Strata 1 (S1) diselesaikan di Jurusan Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Udayana pada tahun 2005, sedangkan Strata 2 (S2)

juga diselesaikan di Universitas Udayana pada tahun 2009

melalui Program Magister Ilmu Lingkungan dengan konsentrasi Oceanography and

Remote Sensing. Pada Oktober 2009 sampai Maret 2010, penulis mendapat kesempatan

sebagai mahasiswa peneliti di Universitas Yamaguchi, Jepang.

Beberapa artikel hasil penelitian tentang penginderaan jauh, sistem informasi geografi,

dan klimatologi telah dipresentasikan pada seminar nasional dan international serta

diterbitkan di beberapa jurnal nasional, jurnal international, dan prosiding seminar

nasional seperti pada jurnal Bumi Lestari, jurnal Pijar MIPA, International Journal of

Remote Sensing, Remote Sensing, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XVI

Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), dan Prosiding Pertemuan Ilmiah

Tahunan VI Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI). Selain itu beberapa artikel

lainnya masih dalam proses evaluasi oleh para pemeriksa naskah seperti pada jurnal

Lingkungan Tropis, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XVII MAPIN, dan

International Journal of Remote Sensing.

Page 121: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

109

Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan

Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang

Eddy Hermawan

(1) dan Nur Febrianti

(2)

(1) (2)Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Jln. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173

E-mail : (1)

[email protected] dan (2)

[email protected]

Abstrak

Salah satu rekomendasi yang disampaikan pada acara pertemuan sidang IPCC

(Intergovernmental Panel on Climate Change) ke 31 tanggal 26-29 Oktober 2009 di

Bali dan juga pertemuan GEOSS (Global Earth System to System) ke 4 tanggal 10-12

Maret 2010 dan juga di Bali telah merekomendasikan bahwa interkonekasi fenomena

atmosfer yang terjadi di atas kawasan Indonesia perlu dikaji lagi lebih mendalam terkait

dampak yang ditimbulkannya terhadap iklim global. Atas dasar itulah, maka makalah

ini dibuat dengan tujuan utamanya menganalisis perilaku hasil silang antara fenomena

El-Niño yang diwakili oleh kawasan SST Niño 3.4 dengan Dipole Mode Indeks (DMI)

selama 29 tahun pengamatan periode Januari 1979 hingga Desember 2008. Berbasis

kepada hasil analisis dengan menggunakan teknik analisis wavelet dan juga FFT (Fast

Fourier Transform), kami mendapatkan bahwa osilasi baru tersebut berkisar sekitar

lima belas tahunan. Jika siklus ini berjalan sempurna (tanpa ada faktor lain yang

mengganggunya), maka berbasis kejadian tahun 1997, diperkirakan tahun 2012/2013

nanti, kita akan mengalami musim kering yang berkepanjangan seperti kejadian tahun

1997. Dan untuk mengetahui kawasan mana saja yang akan dilanda mengalami

kekeringan terlebih dahulu, hasil analisis data GPCP (Global Precipitation Climatology

Project). Untuk meyakinkan apakah skenario ini akan menjadi kenyataan, maka

dilakukanlah analisis data siklus 11 tahunan matahari yang dikenal dengan siklus

bilangan sun-spot, dimana pada siklus ke-24 nanti yang diduga akan jatuh pada tahun

2012/2013. Penjelasan lebih lanjut tentang interkoneksi yang terjadi terkait juga dengan

peran siklus ke-24 matahari dan juga prediksi musim kering yang berkepanjangan serta

mekanisme pembentukannya akan kami bahas secara penuh pada full makalah nanti.

Kata kunci : Interkoneksi, SST Niño 3.4, DMI, Siklus ke-24 matahari dan kekeringan

Page 122: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

110

1. PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bersama hampir sebagian besar wilayah permukaan bumi ini

(sekitar 70%) diselimuti oleh lautan, dan sisanya oleh daratan. Dengan kata lain, airlah

yang ternyata mendominasi planet kita yang satu-satunya ini. Indonesia merupakan

suatu negara dengan luasan perairan relatif cukup besar yang memiliki karakteristik

yang berbeda dengan atmosfer di daerah khatulistiwa lainnya yang kita kenal sebagai

Indonesia Maritime Continent (IMC) atau lebih dikenal dengan istilah “Benua Maritim

Indonesia” (BMI). Hal ini disebabkan letak geografisnya yang unik, yakni diapit oleh

dua benua besar (Asia dan Australia) dan dua samudera besar (Hindia dan Pasifik).

Konsekwensinya, kawasan ini dianggap sebagai salah satu kawasan penting dunia

sebagai penyimpan bahang (panas) terbesar bagi pembentukan awan-awan

cumulonimbus (Hermawan, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka sangat menarik

apabila melakukan pengkajian mengenai lautan maupun interaksinya baik itu dengan

daratan maupun dengan atmosfer.

Membahas mengenai cuaca atau iklim tidak akan lepas dari hubungan/interaksi antara

daratan, lautan maupun udara di wilayah tersebut. Pola pergerakan semu matahari

merupakan suatu sumber energi pembentuk cuaca atau iklim yang berbeda di wilayah

tropis, subtropis dan kutub. Pola pergerakan semu matahari pada lintang yang berbeda

membawa pengaruh terhadap jumlah energi yang diterima oleh wilayah-wilayah di

permukaan bumi. Hal ini menyebabkan adanya interaksi antara daratan, lautan maupun

udara. Pembahasan mengenai interaksi antara daratan, lautan dan udara serta

pengaruhnya merupakan suatu kajian yang menarik untuk memprediksi cuaca/iklim.

Samudera Hindia adalah salah satu lautan terbesar di dunia sehingga merupakan bahan

kajian yang cukup menarik untuk memahami variabilitas iklim di sekitar wilayah

tersebut termasuk Indonesia. Pada tahun 1997, dua kelompok peneliti dari Jepang

menemukan suatu fenomena yang mirip dengan El Niño di daerah Samudera Hindia.

Fenomena tersebut menunjukan bahwa suhu masa air di sepanjang ekuator Samudera

Hindia cenderung berosilasi. Massa air hangat (dingin) ini terakumulasi di bagian timur

Samudera Hindia dekat Indonesia sedangkan massa air dingin (hangat) di bagian Barat

Samudera Hindia dekat Afrika. Hal ini mengakibatkan perubahan SST dalam skala

besar sehingga berpengaruh terhadap pola iklim di daerah sekitarnya, temasuk pola

curah hujan yang terjadi di Indonesia.

Iklim di Indonesia yang secara geografis merupakan benua maritim dicirikan oleh

keragaman curah hujan yang cukup besar antar daerah. Selain mendapat pengaruh dari

sirkulasi udara pada skala global maupun regional, pembentukan awan dan hujan di

Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi lokal, seperti topografi dan suhu permukaan

laut di perairan Indonesia. Pulau Sumatera secara keseluruhan juga memiliki

karakteristik iklim yang khas secara regional maupun lokal. Wilayahnya memiliki

barisan pegunungan yang membujur dari utara sampai selatan, dikelilingi oleh lautan

yang terdiri dari Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, dan dekat

dengan Laut Cina Selatan. Hal ini menyebabkan proses pembentukan awan dan hujan

di Sumatera mendapat pengaruh dari kondisi alam tersebut selain pengaruh dari

pergerakan posisi semu matahari dan sirkulasi global.

Page 123: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

111

Karakteristik iklim, khususnya hujan di Pulau Sumatera dapat dianalisis secara akurat

berdasarkan data iklim dari stasiun meteorologi. Namun untuk analisis spasial, hal ini

sangat ditentukan oleh kerapatan jaringan penakar hujan. Untuk daerah-daerah dengan

jaringan penakar hujan yang cukup rapat dan merata seperti di Pulau Jawa hal tersebut

tidak menjadi masalah. Namun untuk wilayah-wilayah seperti Sumatera, kerapatan

jaringan penakar hujan tidak sama untuk seluruh propinsi dan juga tidak sebanyak

jaringan yang ada di Pulau Jawa. Disini terlihat bahwa Indonesia merupakan satu

kawasan daerah tropis yang unik dimana dinamika atmosfernya dipengaruhi oleh

kehadiran angin pasat, aliran angin monsunal, iklim marine dan pengaruh berbagai

kondisi lokal. Cuaca dan iklim di Indonesia mempunyai karakteristik khusus yang

hingga kini mekanisme proses pembentukannya belum banyak diketahui.

Iklim dapat didefinisikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka waktu tertentu

dan cuaca menyatakan status atmosfer pada sembarang waktu tertentu. Dua unsur

utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia sebagai daerah tropis ekuatorial

mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujannya cukup besar.

Oleh karena itu curah hujan merupakan unsur iklim yang paling sering diamati

dibandingkan dengan suhu.

Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh

beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi

Timur-Barat (Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta

beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal (Mcbride, 2002). Variabilitas curah hujan di

Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian “chaotic” dari variabilitas

monsun (Ferranti (1997), dalam Aldrian (2003)). Monsun dan pergerakan ITCZ

(Intertropical Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan

semi-tahunan di Indonesia (Aldrian, 2003), sedangkan fenomena El-Nino dan Dipole

Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar-tahunan di Indonesia. Pada makalah

ini kami ingin menunjukkan tentang peranan data iklim global, khususnya kombinasi

antara data DMI dengan ESPI sebagai langkah awal di dalam kita mengantisipasi

terjadinya kondisi ektrim kering yang bakal terjadi di sekitar pertengahan Oktober 2012

nanti.

2. LANDASAN TEORI SISTEM DINAMIKA ATMOSFER DI INDONESIA

Dinamika atmosfer Indonesia sangatlah kompleks. Tidak hanya faktor Monsun yang

relatif dominan berperan, juga faktor lain seperti kombinasi interaksi antara fenomena

ENSO (El-Niño and Southern Oscillation), DMI (Dipole Mode Index) dan faktor lokal

juga berperan besar. Belum lagi masalah fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation)

yang hingga kini mekanisme pembentukannya belum sepenuhnya diketahui dengan

baik dan benar. Salah satu faktor terjadinya variabilitas iklim khususnya curah hujan

antar tahunan di wilayah Indonesia adalah fenomena berskala global yang dikenal

dengan nama ENSO. Secara umum peristiwa ENSO berulang antara 2-7 tahun. Di

Indonesia, peristiwa ENSO diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi

normalnya. Hal ini berbanding terbalik dengan peristiwa La-Niña yang justru

Page 124: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

112

menghasilkan curah hujan melebihi batasan normalnya (Ropelweski dan Halpert,

1987).

Terdapat hubungan yang erat antara curah hujan di Indonesia dan indikator ENSO

seperti dengan suhu permukaan laut (SST=Sea Surface Temperature) di wilayah Pasifik

Timur (dikenal dengan daerah Niño) atau dengan Indeks Osilasi Selatan (SOI=Southern

Oscillation Index) sebagaimana yang telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti

(Haylock dan McBride 2001; Hendon, 2003; Aldrian, 2002; Gunawan dan Gravenhorst,

2005).

Dalam dekade terakhir, fenomena yang mirip dengan ENSO, tetapi berada di samudera

Hindia telah mulai manarik perhatian para peneliti bidang atmosfer dan kelautan karena

ternyata memberi dampak yang saling menguatkan atau memperlemah pengaruh

ENSO. Peristiwa osilasi yang terjadi di wilayah barat Indonesia ini dikenal dengan

sebutan DMI (Dipole Mode Index) setelah pertama kali di kemukakan oleh peneliti

Jepang Yamanaga dan Saji di tahun 1992.

DMI merupakan fenomena interaksi antara laut dan atmosfer di Samudera Hindia yang

ditetapkan berasarkan selisih suhu permukaan laut di perairan sebelah timur benua

Afrika dan di perairan Samudera Hindia sebelah barat pulau Sumatera. Selisih suhu

permukaan laut kedua tempat tersebut disebut Indeks Dipole Mode (Dipole Mode

Index, DMI).

Pada saat DMI positif, maka pusat tekanan rendah berada di pantai timur Afrika yang

menyebabkan bergesernya pusat pusat konveksi di wilayah Indonesia bagian barat

menuju ke arah timur sehingga intensitas curah hujan di wilayah Indonesa bagian barat

umumnya rendah. Sebaliknya, pada saat DMI negatif, justru pusat tekanan rendah

berada di pantai barat P. Sumatera, sehingga pusat pusat konveksi bergeser ke arah

pantai barat P. Sumatera, intensitas curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat

umumnya akan relatif tinggi.

Selain itu, Dipole Mode umumnya terjadi secara bebas, tidak saling mengikat dengan

El-Niño dan Osilasi Selatan serta merupakan fenomena kopel atmosfer-laut yang unik

di Samudera Hindia Tropis (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001).

Kajian tentang peran El-Niño dan Dipole Mode, secara terpisah sebagai fenomena

dalam sistem iklim di kawasan tropis telah banyak dilakukan. Namun perilaku dan

peran fenomena tersebut secara bersama-sama, terhadap curah hujan belum banyak

diketahui (Saji et al, 1999).

Sementara penjalaran osilasi ke arah timur dengan periode antara 30-60 harian di

atmosfer tropis pertama kali diteliti oleh Rolland Madden dan Paul Julian pada tahun

1971 (Chang & Lim, 1986). Osilasi ini merupakan sirkulasi skala besar yang terjadi di

daerah ekuator dan berpusat di Samudera Hindia dan bergerak ke arah timur antara 100

LU dan 100 LS. Fenomena inilah yang biasa disebut dengan Madden Julian Oscillation

(MJO). Ada dua mekanisme utama yang biasa dipakai untuk menjelaskan proses

pembentukannya, yaitu teori CISK (Conditional Instability of the Second Kind), (Lau

and Peng, 1987), dan Evaporation-wind feedback, (Neelin, et.al., 1987).

Page 125: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

113

Menganalisis variabilitas curah hujan tidak lepas dari pengetahuan tentang pola dasar

curah hujan yang ada di wilayah Indonesia. Aldrian (2003) telah menggunakan data

curah hujan periode 1961-1990 untuk mengelompokkan pola hujan kedalam tiga tipe

hujan yaitu tipe Monsun, tipe anti Monsun, dan tipe dua puncak. Pengelompokkan ini

didasarkan pada pola distribusi curah hujan bulanan. Tipe hujan Monsun, sesuai

namanya dipengaruhi oleh sirkulasi monsun dengan puncak curah hujan berada pada

bulan-bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan curah hujan rendah terjadi pada

bulan-bulan Juni-Juli-Agustus (JJA).

Sebagian besar wilayah Indonesia memiliki pola hujan seperti ini. Pola hujan tipe anti-

monsun berpola kebalikan dari tipe hujan monsun dalam arti waktu terjadinya periode

curah hujan maksimum dan minimum. Daerah yang memiliki pola ini tidak seluas tipe

monsun, dan terdapat di daerah Sulawesi Tengah bagian timur, Maluku dan bagian

utara Papua. Pola hujan tipe dua puncak terdapat disekitar ekuator dari pulau Sumatera,

Kalimantan dan Sulawesi.

Terlepas dari itu semua, yang penting adalah dapatkah keberadaan data iklim global

(dalam bentuk indeks) seperti ENSO, DMI, Monsun dan MJO dapat digunakan dalam

ikut mendukung penentuan awal musim di Indonesia, ”khususnya di kawasan sentra

produksi tanaman pangan”. Hal ini penting dilakukan agar kejadian ekstrim kering

berkepanjangan seperti yang terjadi di tahun 1982 dan 1997 dapat diantisipasi

kehadirannya.

Dengan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi

oleh iklim global, maka besarnya curah hujan yang akan turun di suatu wilayah

merupakan fungsi dari fenomena global di atas yang dapat disederhanakan menjadi :

CH = f (ENSO, DMI, Monsun, MJO) + Error

Yang perlu diingat adalah adanya keterkaitan (interaksi) yang erat antara fenomena

iklim global satu dengan lainnya. Kejadian ekstrim kering tahun 1997, terjadi akibat

dua fenomena global yakni El-Nino dan DMI+ terjadi secara simultan (bersamaan).

Dengan kata lain, mereka ada kalanya saling menguatkan, namun kadang pula saling

melemahkan seperti nampak pada Gambar 1.

Apa yang menyebabkan adanya perbedaan pola distribusi curah hujan di satu wilayah

sentra produksi tanaman pangan dengan wilayah lainnya hingga kini belum banyak

dilakukan orang. Belum banyak diketahui tentang perilaku interaksi yang terjadi

diantara fenomena iklim global yang ada, baik antara ENSO dengan Dipole Mode,

ENSO dengan Monsun, ENSO dengan MJO, Dipole Mode dengan Monsun, Dipole

Mode dengan MJO, ataupun antara Monsun dengan MJO.

Apakah Dipole Mode di Samudra Hindia mempunyai pengaruh yang sangat signifikan

terhadap perilaku curah hujan di kawasan Indonesia bagian barat. Hal ini pun masih

perlu dikaji lebih mendalam. Sampai saat ini belum ada satu model iklim pun yang

mampu menjelaskan keterkaitan antara fenomena ENSO, IOD, Monsoon, dan MJO

dengan pola distribusi curah hujan yang terjadi di wilayah sentra produksi tanaman

pangan.

Page 126: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

114

Gambar 1. Time series data DMI vs Nino 3.4 periode Januari 1997 - Desember 1998

Perhatian utama dalam program penelitian kami kali ini adalah ingin mengembangkan

suatu model prediksi pola distribusi curah hujan di wilayah produksi tanaman pangan

yang tersebar di beberapa kawasan di Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur.

3. DATA DAN METODE ANALISIS

Ada tiga data utama yang kami gunakan dalam penelitian ini, yakni data Dipole Mode

Indeks yang kami dapat dari http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod, data SST

Niño3.4 yang kami dapat dari http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices,

dan data ESPI (ENSO Precipitation Index) yang kami dapat dari

http://precip.gsfc.nasa.gov/ESPItable.html. Perlu dicatat disini bahwa seluruh data di

atas kami set dari bulan Januari 1979 hingga Desember 2008. Sementara untuk data

pendukung, kami gunakan data GPCP (Global Precipitation Climatology Project)

periode Oktober 1996, 1997, dan 1998. Sementara metode analisis yang kami pakai

utamanya adalah teknik spektral, yakni menggunakan analisis PSD=Power Spectral

Density untuk mengetahui osilasi dominan dari masing-masing indeks fenomena iklim

Page 127: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

115

dan cuaca global. Salah satu hasil analisis data di atas, dapat dilihat pada Gambar 2

berikut:

Gambar 2. PSD untuk berbagai data iklim global

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Langkah pertama yang kami tunjukkan adalah menganalisis time series daripada data

Dipole Mode Index (DMI), SST Niño3.4, ESPI (ENSO Precipitation Index) periode

Januari 1979 hingga Desember 2008 seperti nampak pada Gambar 3 berikut ini.

Page 128: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

116

Gambar 3. Time series DMI, SST Niño3.4, dan ESPI periode Januari 1979 - Desember

2008

Dari Gambar 3 di atas terlihat jelas adanya kesamaan pola yang dihasilkan oleh data

ESPI (ditunjukkan dengan warna hitam) dan SST Niño3.4 (ditunjukkan dengan warna

hijau), sementara data DMI (ditunjukkan dengan warna merah) menunjukkan pola yang

sedikit agak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kesamaan pola antara data

ESPI dan SST Niño3.4, sehingga kita boleh menggunakan salah satu diantara

keduanya. Untuk diperoleh hasil analisis yang lebih tajam (akurat), maka dilakukanlah

analisis osilasi dominan daripada ketiga parameter di atas menggunakan teknik spektral,

yakni FFT (Fast Fourier Transform) dan juga wavelet seperti nampak pada Gambar 4

berikut ini.

Gambar 4. PSD data DMI, SST Niño3.4, dan ESPI periode Januari 1979 - Desember 2008

Disini terlihat jelas bahwa SST Niño3.4 memiliki nilai PSD paling besar, sementara dua

parameter lainnya (DMI dan ESPI) memiliki nilai yang hampir relatif sama. Yang perlu

dicatat disini adalah nilai osilasi dominan daripada ketiga parameter di atas, yakni 45

bulanan (~3.8 tahun), 60 bulanan (~5 tahun), dan 36 bulanan (~3 tahun), masing-

masing untuk data SST Niño3.4, ESPI, dan DMI.

Dengan asumsi data SST Niño3.4 dapat diwakilkan oleh data ESPI, maka sesuai

dengan landasan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa akan terjadi kering yang

relatif sangat panjang melebihi kondisi normal (lebih dari 6 bulan), maka yang sangat

Page 129: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

117

menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bila kedua parameter tadi (ESPI dan DMI)

digandakan. Hasilnya, dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6 berikut ini.

Gambar 5. Sama dengan Gambar 4, tetapi hasil silang (digandakan atau dikalikan)

antara data DMI dan data ESPI

Gambar 6. Sama dengan Gambar 4, tetapi menggunakan analisis wavelet

Page 130: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

118

Satu hal yang menarik disini adalah adanya osilasi “baru” yang dikenal sebagai osilasi

180 bulanan atau osilasi 15 tahunan (lihat Gambar 5 di atas). Juga terlihat jelas di

Gambar 5, adanya kenaikan variasi rata-rata yang sangat signifikan di “sekitar” bulan

Oktober 1997. Kita tahu, pada saat itu, hampir seluruh kawasan Indonesia dilanda

musim kering yang berkepanjangan seperti nampak pada Gambar 7(a), (b), dan (c)

berikut ini. Disini terlihat dengan jelas, adanya perbedaan yang sangat signifikan

intensitas curah hujan di atas Indonesia sebelum, selama dan setelah kejadian ektrim

kering di bulan Oktober 1997.

(a) (b)

(c)

Gambar 7. Intensitas curah hujan rata-rata di atas Indonesia selama bulan (a) Oktober

1996; (b) Oktober 1997; dan (c) Oktober 1998

5. KESIMPULAN

Walaupun ENSO dan Dipole Mode bukanlah merupakan osilasi dominan dalam sistem

dinamika atmosfer Indonesia yang memang tergolong unik dan kompleks, namun

kehadiran keduanya, apalagi jika keduanya bergabung menjadi satu dalam waktu yang

bersamaan (simultan), maka akan menimbulkan dampak yang sangat serius (severe).

Dengan asumsi bahwa keduanya fenomena atmosfer di atas berosilasi sempurna, dan

Page 131: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

119

dengan menggunakan standard masa kering panjang tahun 1997, maka diduga tahun

2012 nanti, tepatnya di sekitar bulan Oktober, Indonesia kembali akan dilanda musim

kering panjang seperti hal nya di tahun 1997.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto D. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within

Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of

Climatology.

Aldrian E, Susanto D. 2003. Simulations of Indonesian Rainfall with a Hierarchy of Climate

Models. Disertasi pada Hamburg, Jerman.

Bannu. 2003. Analisis Interaksi Monsun, Enso, dan Dipole Mode serta Kaitannya dengan

Variabilitas Curah Hujan dan Angin Permukaan di Benua Maritim Indonesia. Tesis

Magister pada GM ITB Bandung.

Berliana, Sinta. 1995. The Spectrum Analysis of Meteorological Elements in Indonesia. Nagoya

University. Japan.

Davidson NE. 1984. Short-term fluctuations in the Australian Monsoon During Winter Monex.

Monthly Weather Review 112: 1697–1708

Davidson NE, McBride JL, McAvaney BJ. 1984. Divergent Circulations During The Onset of

The 1978–79 Australian Monsoon. Monthly Weather Review 112: 1684–1696.

Gusmira, Eva. 2005. Pengaruh Dipole Mode terhadap Angin Zonal dan Curah Hujan di

Sumatera Barat. Tugas Akhir pada GM ITB Bandung : tidak diterbitkan.

Hermawan, Eddy. 2003. The Characteristics of Indian Ocean Dipole Mode Premiliminary

Study of the Monsoon Variability in the Western Part of Indonesian Region. Jurnal Sains

Dirgantara,Vol. 1 No.1 Desember 2003. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (

LAPAN ). Jakarta.

Khrisnamurti, T. N. 1971. Tropical East-West Circulations During The Northern Summer. J.

Atmos. Sci.

Mukarami, Takio dan Zadrach L. Dupe. 2000. Interannual Variability of Convective Intensity

Index Over Indonesia and Its Relationship with Enso. J. Meteorologi dan Geofisika, Vol. 1,

No. 4, p. 1-23.

Mulyana, Erwin. 2001. Interannual Variation of Rainfall over Indonesia and Its Relation to the

Atmospheric Circulation, ENSO and Indian Ocean Dipole Mode. Hokaido University.

Japan.

Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB. Bandung.

Saji NH, B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran and T. Yamagata. 1999. A Dipole Mode in The

Tropical Indian Ocean. in Macmillan Magazines ltd, Nature, Vol.401.

Saji NH., and T. Yamagata. 2001. The Tropical Indian Ocean Climate System from The Vantage

Point of Dipole Mode Events. Submitted to Journal of Climate.

Saji NH., and T. Yamagata. 2003. Structure of SST and Surface Wind Variability During Indian

Ocean Dipole Events : COADS observations. J. Climate, in press.

Soenarmo, Sri Hartati. 2001. Meteorologi Tropis. Dept. GM-ITB. Penerbit ITB.

Shyamala, B dan S. Sudevan. 2002. Satellite Studies of Monsoon Process. Regional

Meteorological Centre, Colaba.

Page 132: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

120

Suryachandra A. Rao, Swadhin K. Behera, Yukio Masumoto, and Toshio Yamagata. 2001.

Interannual Subsurface Variability in The Tropical Indian Ocean With Special Emphasis

on The Indian Ocean Dipole. Japan

Tjasjono, bayong. 2004. Klimatologi Umum. Penerbit ITB Bandung.

BIOGRAFI PENULIS

Nur Febrianti, S.Si.

Lahir di Jambi 04 Februari 1981. Menamatkan Sekolah Dasar di

Jambi, SMPN 12 dan SMUN 3 di Padang 1999, serta memperoleh

gelar sarjana di IPB Jurusan Geofisika dan Meteorologi 2004.

Setelah lulus kuliah bekerja di LAPAN, dan diterima menjadi

Pegawai Negri Sipil 2008 sampai sekarang di lembaga yang sama.

Pelatihan tingkat international yang pernah diikuti yaitu antara lain

Elucidation of ground based atmosphere observation network in

equatorial asia kerjasama LAPAN dan JSPS-Jepang, 2008. dan

Spring School on Fluid Mechanics and Geophysics of

Environmental Hazards - Institute for Mathematical Sciences, National University of

Singapore, 2009.

Pengalaman penelitian di bidang iklim dan aplikasinya 2004 – sekarang. Semenjak

2005 hingga 2010 telah mempublikasikan delapan makalah penelitian yang terkait.

Page 133: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

121

Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia

Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM

Erma Yulihastin

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Dr. Djunjunan 133 Bandung 40173, Telp. (022) 6037445

Email: [email protected]; [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas karakteristik curah hujan konvektif dan stratiform di Indonesia

berdasarkan data hasil pengukuran curah hujan oleh radar presipitasi Satelit TRMM

(Tropical Rainfall Measuring Mission). Data yang digunakan adalah curah hujan

konvektif dan stratiform rata-rata bulanan di permukaan (2 km) 2A25 Satelit TRMM

periode 10 tahun (1998-2007). Lokasi penelitian adalah wilayah BMI dengan batas

wilayah (90-150BT, 10LS-10LU). Hasil penelitian pada curah hujan konvektif

menunjukkan bahwa di wilayah monsunal BMI, periode musim hujan terjadi pada

bulan November hingga April dengan nilai antara 2 hingga lebih dari 5 mm/hari.

Sedangkan musim kemarau terjadi pada Mei hingga Oktober dengan nilai curah hujan

antara 0 hingga 4 mm/hari. Puncak musim hujan pada curah hujan konvektif terjadi

pada Desember-Januari-Februari di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 3.5

hingga lebih dari 5 mm/hari. Sementara puncak musim kemarau pada curah hujan

konvektif terjadi pada Juli-Agustus-September di wilayah monsunal BMI dengan nilai

antara 0 hingga 1.5 mm/hari. Pada curah hujan stratiform, periode musim hujan terjadi

pada rentang yang lebih pendek dibandingkan curah hujan konvektif, yaitu sejak

Desember hingga Maret dengan nilai antara 2 hingga lebih dari 5 mm/hari di wilayah

monsunal BMI. Sedangkan musim kemarau terjadi pada rentang yang lebih panjang

yaitu sejak April hingga November dengan nilai curah hujan antara 0 hingga 4.5

mm/hari. Puncak musim hujan pada curah hujan stratiform terjadi pada Desember-

Januari-Februari di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 3.5 hingga lebih dari 5

mm/hari. Sementara puncak musim kemarau pada curah hujan konvektif terjadi pada

Juni-Juli-Agustus di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 0 hingga 1.5 mm/hari.

Analisis temporal untuk tiga wilayah tipe curah hujan monsunal (90-150 BT, 5-10

LS), ekuatorial (90-100 BT, 0-2 LU), lokal atau antimonsunal (120-135 BT, 2-4

LU), menunjukkan tampak bahwa baik curah hujan konvektif maupun curah hujan

stratiform memiliki pola yang sama. Pada wilayah monsunal, curah hujan konvektif dan

stratiform mencapai nilai tertinggi sekitar 3 mm/hari pada bulan Februari. Pada wilayah

ekuatorial, puncak curah hujan konvektif terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada

bulan April (>3 mm/hari) dan November (>4 mm/hari). Sedangkan untuk curah hujan

stratiform terjadi pada bulan Juli (>4 mm/hari) dan November (>5 mm/hari). Pada

wilayah lokal atau antimonsunal, curah hujan konvektif tertinggi terjadi pada bulan Juni

(3.5 mm/hari) dan curah hujan stratiform tertinggi pada bulan Mei (3 mm/hari).

Page 134: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

122

Kata kunci: Satelit TRMM, Konvektif, Stratiform, BMI

Abstract

This research studied about characteristic of convective and stratiform rain in the

Indonesia Maritime Continent (IMC) based on TRMM (Tropical Rainfall Measuring

Mission) satellite using precipitation radar observation. Data were used namely a ten-

years (1998-2007) of monthly and near surface (2 km) of the convective and stratiform

rain. Research area of studied was IMC (90-150E, 10S-10N). Research analysis

were spatial and temporal method. The result showed that for convective rain, rainy

season occured over monsoonal area of IMC from November to April, 2 until more than

5 mm/day. Dry season occured from May to October, 0 - 4 mm/day. The peak of rainy

season due to convective occurred in December-January-February over monsoonal

area of IMC, from 3.5 to more than 5 mm/day. Whereas the peak of dry season

occurred in July-August-September from 0 to 1.5 mm/day. On the other side, based on

the stratiform rain, rainy season occurred in the shorter period from December to

March over monsoonal area of IMC, 2 until more than 5 mm/day. Dry season occured

from April to November, 0 – 4.5 mm/day. The peak of rain season occurred in

December-January-February over monsoonal area of IMC, from 3.5 to more than 5

mm/day. Whereas the peak of dry season occurred in June-July-August from 0 to 1.5

mm/day. Temporal analysis for the three area of rainy type namely monsoonal (90-

150E, 5-10S), equatorial (90-100E, 0-2 N), local or antimonsoonal (120-135E,

2-4 N), described that convective and stratiform rain have the same pattern. For

monsoonal area, convective and stratiform rain reached highest value at about 3

mm/day in February. For equatorial area, peaks value of convective rain was reached

twice in April (>3 mm/day) and November (>4 mm/day). Whereas stratiform rain

occurred in July (>4 mm/day) and November (>5 mm/day). For local or antimonsoonal

area, convective rain reached highest in June (3.5 mm/day) and stratiform rain in May

(3 mm/day).

Keywords: TRMM Satellite, Convective, Stratiform, IMC

1. PENDAHULUAN

Studi mengenai karakteristik curah hujan konvektif dan stratiform di wilayah Benua

Maritim Indonesia (BMI) secara spesifik belum banyak dilakukan. Padahal, curah hujan

di BMI memiliki karakteristik yang sangat kompleks dan unik baik secara spasial

maupun temporal. Karena proses pembentukan curah hujan konvektif dan stratiform

memiliki perbedaan, maka penelitian secara mendetail mengenai dua tipe curah hujan

tersebut penting dilakukan untuk memahami secara lebih mendalam mekanisme dan

proses terjadinya curah hujan di wilayah BMI. Sebagaimana diketahui, curah hujan di

wilayah benua Maritim Indonesia memiliki pola curah hujan monsunal, lokal, dan

ekuatorial (Aldrian dan Susanto, 2003; Mustofa, 2000). Curah hujan berpola monsunal

ini terkait dengan siklus tahunan (Ramage, 1968; Chang dkk, 2005; Chang dkk., 2006)

yang terbentuk di wilayan Benua Maritim Indonesia karena pengaruh monsun.

Sementara curah hujan lokal merupakan curah hujan berpola antimonsunal yang banyak

Page 135: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

123

dipengaruhi oleh faktor lokal wilayah tersebut. Sedangkan curah hujan ekuatorial

berpola semitahunan dengan dua maksima dalam satu tahun, dipengaruhi oleh posisi

semu matahari terhadap bumi. Oleh karena itu, kajian mendalam mengenai curah hujan

konvektif dan stratiform dalam tiga pola tersebut perlu untuk dilakukan.

Curah hujan konvektif terbentuk dari suatu sistem konvektif skala meso, hasil dari

proses pematangan awan-awan konvektif (Cetrone dan Houze, 2009). Curah hujan

konvektif dalam level yang lebih rendah disebut dengan curah hujan shallow yang

mekanismenya banyak dipengaruhi oleh sirkulasi panas laten di atas Lautan (Kodama,

2009; Liu dan Zipser, 2009)

Data curah hujan permukaan (near surface rain) yang diperoleh dari satelit TRMM

dipandang lebih merepresentasikan intensitas curah hujan yang sebenarnya terjadi di

atmosfer (bukan yang jatuh di permukaan tanah), sebab satelit ini mengukur butiran

hujan dengan menggunakan radar presipitasi. Curah hujan permukaan yang diperoleh

dari satelit TRMM merupakan nilai rata-rata curah hujan pada ketinggian sekitar 1.5

hingga 2 kilometer, atau sama dengan ketinggian pada level tekanan 850 milibar

(TRMM, 2005; Schumacher C. dan Houze, 2003).

Selain itu, satelit TRMM yang memiliki lintasan atau cakupan wilayah tropis (30

lintang) hingga saat ini masih menjadi satu-satunya wahana satelit yang paling tinggi

resolusinya dalam mengukur curah hujan di wilayah tropis sehingga tepat digunakan

untuk studi mengenai karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis (Suryantoro dkk,

2009).

Dengan memahami karakteristik jangka panjang 10 tahun mengenai curah hujan

konvektif dan stratiform dalam variasi spasial dan temporal melalui wahana satelit

TRMM, maka diharapkan pemahaman mengenai curah hujan di BMI menjadi lebih

komprehensif dan detail.

2. DATA DAN METODE

Data curah hujan permukaan (near surface rain) dari Satelit TRMM 2A25 versi 6

selama periode waktu satu tahun (1998-2007) digunakna dalam penelitian ini. Curah

hujan permukaan yang dimaksud dalam data tersebut adalah intensitas rata-rata hujan

pada ketinggian 1.5-2 km dari permukaan laut, dalam satuan milimeter. Curah hujan

tersebut dihasilkan dari pengukuran radar presipitasi terhadap butiran hujan yang ada di

atmosfer. Radar presipitasi merupakan salah satu sensor yang melekat dalam satelit

TRMM. Resolusi spasial data curah hujan tersebut adalah 2.5X2.5 derajat. Wilayah

penelitian di kawasan BMI berada pada rentang 90-150 BT, dan 10 LU-10 LS.

Data ini diolah menggunakan software pengolah data GrADS (Grid Analysis and

Display System) versi 20. Gambar spasial curah hujan dan angin zonal ditampilkan

menggunakan gradasi warna, sementara gambar vektor angin pada level ketinggian 850

milibar dan 200 milibar ditampilkan dalam bentuk vektor angin yang meliputi arah dan

besar kekuatan angin.

Variasi temporal curah hujan bulanan selama sepuluh tahun digambarkan dalam bentuk

grafik deret waktu untuk kawasan monsunal yang membentang di bagian selatan BMI

Page 136: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

124

(90-150 BT, 5-10 LS). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

spasial dan temporal.

3. ANALISIS

3.1 Karakteristik Spasial Curah Hujan Konvektif

Gambar 1. Curah hujan konvektif permukaan (2 km) 1998-2007 TRMM 2A25

di BMI (90-150 BT, 10 LS-10LU)

Page 137: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

125

Klimatologi curah hujan konvektif selama periode 9 tahun seperti tampak pada Gambar

1 menunjukkan bahwa periode musim hujan berlangsung sejak November hingga April.

Hal ini dapat dikenali dari pola curah hujan monsunal yang terjadi di Pulau Jawa dan

sekitarnya dengan intensitas lebih dari 4.5 milimeter/hari. Sedangkan periode musim

kemarau di BMI terjadi sejak Mei hingga Oktober, ditandai dengan intensitas curah

hujan kurang dari 4 milimeter/hari.

Puncak curah hujan konvektif di wilayah monsunal BMI (Jawa dan sekitarnya) terjadi

pada bulan Februari. Hal ini tampak pada distribusi intensitas curah hujan antara 2.5

sampai lebih dari 5 milimeter/hari. Dibandingkan dengan bulan Desember dan Januari,

curah hujan yang memiliki nilai lebih dari 4.5 milimeter/hari mencakup area yang

paling luas (Jawa dan Nusa tenggara) daripada area pada bulan Januari yang hanya

mencakup pulau Jawa dan bulan Desember yang meliputi hanya sebagian pulau Jawa.

Curah hujan konvektif paling minimum terjadi pada bulan Agustus. Ini ditandai dengan

nilai curah hujan konvektif di wilayah monsunal BMI kurang dari 1 milimeter/hari.

Curah hujan paling minimun tersebut mencakup area yang paling luas dibandingkan

bulan Juli, Juni, atau September. Lihat kembali Gambar 1.

3.2 Karakteristik Spasial Curah Hujan Stratiform

Sementara itu, seperti diperlihatkan Gambar 2, curah hujan stratiform di BMI (Jawa dan

sekitarnya) berlangsung dalam periode yang lebih pendek dibandingkan curah hujan

konvektif yaitu sejak November hingga Maret, dan memiliki rentang nilai curah hujan

antara 2.5 hingga lebih dari 4.5 milimeter/hari. Musim kemarau berlangsung antara

bulan April hingga Oktober dengan intensitas curah hujan kurang dari 2 milimeter/hari.

Puncak curah hujan stratiform di wilayah monsunal BMI (Jawa dan sekitarnya) terjadi

pada bulan Februari. Hal ini tampak pada distribusi intensitas curah hujan antara 3

sampai lebih dari 5 milimeter/hari. Dibandingkan dengan bulan Desember dan bulan

Januari yang memiliki curah hujan 2.5 hingga lebih dari 5 milimeter per hari.

Sama seperti pada curah hujan konvektif, curah hujan stratiform paling minimum pun

terjadi pada bulan Agustus. Ini ditandai dengan nilai curah hujan stratiform di wilayah

monsunal BMI kurang dari 1 milimeter/hari. Curah hujan paling minimun tersebut

mencakup area yang paling luas dibandingkan bulan Juli, Juni, atau September.

Page 138: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

126

Gambar 2. Curah hujan stratiform permukaan (2 km) 1998-2007 TRMM 2A25

di BMI (90-150 BT, 10 LS-10LU)

Page 139: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

127

3.3 Variasi Tahunan Curah Hujan Konvektif

Grafik deret waktu rata-rata bulanan selama sepuluh tahun menunjukkan curah hujan

konvektif untuk wilayah monsunal memiliki satu puncak dan satu lembah. Puncak

curah hujan terjadi pada bulan Februari (2,783 mm/hari) sedangkan curah hujan

minimum terjadi pada bulan Agustus (0.151 mm/hari). Hal ini seperti tampak pada

Gambar 3.

Di wilayah ekuatorial, grafik memiliki dua maksimum dan dua minimun. Curah hujan

maksimum terjadi pada bulan April (3.593 mm/hari) dan November (4.219 mm/hari)

sementara minimum berlangsung pada bulan Mei (2.824 mm/hari) dan Agustus (3.176

mm/hari).

Temuan yang berbeda dengan penelitian sebelumnya diperlihatkan oleh grafik curah

hujan konvektif untuk wilayah lokal atau antimonsunal. Curah hujan memiliki tiga nilai

maksimum dan tiga nilai minimum. Tiga nilai maksimum masing-masing terjadi pada

bulan Januari, Maret, Juni dengan nilai berturut-turut: 2.974 mm/hari, 2.501 mm/hari,

3.37 mm/hari. Adapun nilai minimum curah hujan terjadi pada bulan Februari (1.99

mm/hari), April (1.949 mm/hari), dan Agustus (2.069 mm/hari).

3.4 Variasi Tahunan Curah Hujan Stratiform

Pada Gambar 4, pola yang hampir sama dengan curah hujan konvektif monsunal

digambarkan oleh grafik curah hujan stratiform, yang juga memiliki satu puncak dan

satu lembah. Nilai maksimum sebesar 2,907 mm/hari terjadi pada bulan Februari

sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus (0.134 mm/hari).

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan Ke-

cu

rah

hu

jan

ko

nve

ktif (m

m/h

ari

)

monsunal (90-150BT,5-10LS) equatorial (90-100BT,0-2LU) lokal (120-135BT, 2-4LU)

Gambar 3. Rata-rata tahunan curah hujan konvektif permukaan (2 km) 1998-2007

TRMM 2A25 tipe monsunal, ekuatorial, lokal

Page 140: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

128

Namun, berbeda dengan konvektif yang memiliki dua puncak dan dua lembah, di

wilayah ekuatorial curah hujan stratiform memiliki tiga maksimum dan tiga minimun.

Curah hujan maksimum terjadi pada bulan April (3.352 mm/hari), Juli (3.716 mm/hari),

November (5.356 mm/hari). Nilai minimum berlangsung pada bulan Februari (2.526

mm/hari), Mei (2.695 mm/hari), Agustus (2.772 mm/hari).

Demikian juga dengan curah hujan stratiform untuk wilayah lokal atau antimonsunal

yang memiliki tiga nilai maksimum dan tiga nilai minimum. Tiga nilai maksimum

masing-masing terjadi pada bulan Februari, Mei, November dengan nilai berturut-turut:

2.663 mm/hari, 3.236 mm/hari, 2.783 mm/hari. Adapun nilai minimum curah hujan

terjadi pada bulan Maret (1.73 mm/hari), Agustus (1.761 mm/hari), dan Desember

(1.784 mm/hari).

4. KESIMPULAN

Hasil penelitian pada curah hujan konvektif menunjukkan bahwa di wilayah monsunal

BMI, periode musim hujan terjadi pada bulan November hingga April dengan nilai

antara 2 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada Mei

hingga Oktober dengan nilai curah hujan antara 0 hingga 4 mm/hari. Puncak musim

hujan pada curah hujan konvektif terjadi pada Desember-Januari-Februari di wilayah

monsunal BMI dengan nilai antara 3.5 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sementara puncak

musim kemarau pada curah hujan konvektif terjadi pada Juli-Agustus-September di

wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 0 hingga 1.5 mm/hari. Pada curah hujan

stratiform, periode musim hujan terjadi pada rentang yang lebih pendek dibandingkan

curah hujan konvektif, yaitu sejak Desember hingga Maret dengan nilai antara 2 hingga

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan Ke-

cu

rah

hu

jan

ko

nve

ktif (m

m/h

ari

)

monsunal (90-150BT,5-10LS) equatorial (90-100BT,0-2LU) lokal (120-135BT, 2-4LU)

Gambar 4. Rata-rata tahunan curah hujan statiform permukaan (2 km) 1998-2007

TRMM 2A25 tipe monsunal, ekuatorial, lokal

Page 141: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

129

lebih dari 5 mm/hari di wilayah monsunal BMI. Sedangkan musim kemarau terjadi

pada rentang yang lebih panjang yaitu sejak April hingga November dengan nilai curah

hujan antara 0 hingga 4.5 mm/hari. Puncak musim hujan pada curah hujan stratiform

terjadi pada Desember-Januari-Februari di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara

3.5 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sementara puncak musim kemarau pada curah hujan

konvektif terjadi pada Juni-Juli-Agustus di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara

0 hingga 1.5 mm/hari. Analisis temporal untuk tiga wilayah tipe curah hujan monsunal

(90- 150 BT, 5- 10 LS), ekuatorial (90- 100 BT, 0- 2 LU), lokal atau

antimonsunal (120- 135 BT, 2- 4 LU), menunjukkan tampak bahwa baik curah

hujan konvektif maupun curah hujan stratiform memiliki pola yang sama. Pada wilayah

monsunal, curah hujan konvektif dan stratiform mencapai nilai tertinggi sekitar 3

mm/hari pada bulan Februari. Pada wilayah ekuatorial, puncak curah hujan konvektif

terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada bulan April (>3 mm/hari) dan November (>4

mm/hari). Sedangkan untuk curah hujan stratiform terjadi pada bulan Juli (>4 mm/hari)

dan November (>5 mm/hari). Pada wilayah lokal atau antimonsunal, curah hujan

konvektif tertinggi terjadi pada bulan Juni (3.5 mm/hari) dan curah hujan stratiform

tertinggi pada bulan Mei (3 mm/hari).

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Yasu-Masa Kodama (Hirosaki University )

dan Prof. Toshitaka Tsuda (RISH, Kyoto University) yang telah menyediakan data-data

curah hujan TRMM yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini didukung oleh

Asia-Africa Science Platform Program, Japan Society for Promotion of Science (JSPS)

dalam program undangan riset di Jepang (Hirosaki University) bekerja sama dengan

LAPAN, Indonesia.

DAFTAR REFERENSI

Aldrian E. and Susanto R.D., Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within

Indonesia And Their Relationship To Sea Surface Temperature, Int. J. Climatol. 23, 1435–

1452 (2003).

Cetrone J. and Houze RA Jr., Anvil Clouds of Tropical Mesoscale Convective Systems in

Monsoon Regions, Q.J.R. Meteorol. Soc. 135, 305-317 (2009).

Chang C.-P et al., Annual Cycle of Southeast Asia-Maritime Continent Rainfall and the

Asymmetric Monsoon Transition, Journal of Climate, 18, 287-301 (2005).

Chang C.P. dkk, 2006. Chapter 3: The Asian Winter-Australian Summer Monsoon: An

Introduction, The Asian Monsoon, Praxis Publishing, UK.

Kodama Y.-M. et al., Climatology of Warm Rain and Associated Latent Heating Derived from

TRMM PR Observations, Journal of Climate, 22, 4908-4929 (2009).

Liu C. and Zipser E.J., Warm rain in the Tropics: Seasonal and Regional Distributions Based on

9 yr of TRMM Data, Journal of Climate, 22, 767–779 (2009).

Page 142: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

130

Mustofa M.A., 2000, Identifikasi Daerah Monsun dan Curah Hujan Berdasarkan Sifat Angin

Permukaan di Indonesia Bagian Barat, Tesis Master, Program Studi Oseanografi dan Sains

Atmosfer, ITB, Bandung.

Ramage C.S., Role of a Tropical ‘Maritime Continent’ in the Atmospheric Circulation, Mon.

Weather Rev. 96:365-370 (1968).

Schumacher C. and Houze RA Jr., The TRMM Precipitation Radar’s View of Shallow, Isolated

Rain, Journal of Applied Meteorology, 42, 1519-1524 (2003).

Suryantoro Arief, dkk., 2009. Variasi Spasiotemporal Profil Vertikal Curah Hujan Indonesia

Berbasis Observasi Radar Presipitasi Satelit TRMM, Prosiding Seminar Nasional Proyeksi

Iklim dan Kualitas Udara 2010-2014, ISBN 978-9791458-33-7.

TRMM Precipitation Radar Team, TRMM Precipitation Radar Algorithm instruction manual for

version 6. JAXA and NASA Rep., 180 pp (2005).

BIOGRAFI PENULIS

Erma Yulihastin

Erma Yulihastin, lahir pada tanggal 4 Juli 1979 di Lamongan,

Jawa Timur. Bungsu dari dua bersaudara ini menamatkan

sekolah hingga SMU di Lamongan. Senang menulis karangan

sejak SD. Pada tahun 1997 ia melanjutkan pendidikan ke

Institut Teknologi Bandung Jurusan Geofisika dan Meteorologi.

Sejak Januari 2008 ia bekerja di LAPAN (Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebagai Peneliti Bidang

Pemodelan Iklim Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim.

Beberapa karya tulis ilmiah yang telah diterbitkan terkait

dengan kepakarannya sebagai Peneliti Sains Atmosfer, antara lain: 1) Variabilitas OLR

Sebagai Indikasi Onset Monsun di Jawa, Prosiding Nasional, ISBN 978-979-1458-33-7

(2009), 2) Pengaruh El Nino 1997 terhadap Variabilitas Ozon Total Indonesia, Majalah

Sains dan Teknologi Dirgantara, ISSN 1907-0713 (2009), 4) Contribution Of Shallow

Rain To Develop Local Rainfall Type over Maritime Continent Based on TRMM PR

Data, International Preceeding, ISBN 978-602-95634-1-2 (2010).

Ia juga aktif menulis artikel ilmiah populer yang tersebar di berbagai media massa,

seperti: Indonesia Mampu Prediksi Iklim (www.beritaiptek.com, Juni 2008), Tahun Ini

Tidak Ada Kekeringan (www.beritaiptek.com, Juli 2008), Musim Kemarau 2008

Cenderung Basah (Tribun Jabar, Juli 2008), Jawa Pulau Terkering Tahun Ini (SINDO,

Juli 2008), Cuaca Ekstrem di Bandung (Pikiran Rakyat, Juli 2008), Kekeringan

Ekstrem di Jawa (Pikiran Rakyat, Agustus 2008), Dewan Perubahan Iklim Versus

Peneliti (Kompas, Agustus 2008), Kekeringan di Jawa Tidak Terkait ElNino (Kompas,

Agustus 2008), Bandung Tidak Dingin Lagi (Kompas, September 2008), Menuju

Indonesia Cerdas Iklim (Pikiran Rakyat, Januari 2009), Indonesia Penentu Iklim Dunia

(Pikiran Rakyat, Januari 2009), Puncak Musim Hujan Bergeser (Pikiran Rakyat,

Februari 2009), Banjir Bukan Karena Hujan Ekstrem (Pikiran Rakyat, Februari 2009),

Page 143: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

131

Cuaca Bandung Berubah Cepat (Pikiran Rakyat, Maret 2009), Puting Beliung, ”Small

Tornado” yang Sulit Diprediksi (Pikiran Rakyat, April 2009), Kemarau Kering dan

Lama (Pikiran Rakyat, Juli 2009), El Nino Vs Badai Ketsana (Pikiran Rakyat,

Oktober 2009), Prakiraan Iklim Indonesia 2010 (Pikiran Rakyat, Januari 2010), Hujan

harian di bandung (Pikiran rakyat, Februari 2010), Cuaca Ekstrem Penyebab Banjir,

(Pikiran Rakyat, April 2010), Musim Hujan atau Kemarau? (Pikiran Rakyat, Mei 2010),

Ancaman Banjir di Musim Kemarau (Kompas, Juni 2010), Hujan Badai di Musim

Kemarau (Tribun, Juni 2010), Pemanasan Global dan Anomali Kemarau (Pikiran

Rakyat, Juli 2010). Bukunya mengenai sains atmosfer yang telah terbit adalah “Peranan

Atmosfer Bumi,” Azka Press, April 2008.

Selain itu, ia pun aktif mengikuti seminar dan pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional

maupun internasional, yakni: Seminar Hari Bumi, LAPAN Bandung, Indonesia (2008

dan 2009). Workshop Sains Atmosfer, LAPAN Bandung, Indonesia (2008). Lecture of

Optical observation of clouds and the Atmosphere, AASP JSPS-LAPAN, Indonesia

(2008). Spring School on Fluid Mechanics and Geophysics of Environmental

Hazards (2009), NUS, Singapore. Lecture of Satellite and Ground Based Observation

of Atmospehere, AASP JSPS-LAPAN, Bandung (2009). Seminar Prediksi Iklim dan

Kualitas Udara 2010-2014, LAPAN, Bandung (2009). Invited researcher of Asia Africa

Platform Program, Japan Society for The Promotion Science (AAP-JSPS), Department

of Earth Science and Environment, Hirosaki University, Jepang (2009). The

International School on Atmosphere Radars, Profiling, Modeling and Forecasting,

National Central University, Jhong Li, Taiwan (2009). Workshop Methods and Tools

for Water related Adaptation to Climate change and Climate proofing, Bandung

(2010). The 5th

Kyoto University Southeast Asia Forum Conference of the Earth and

Space Science, ITB, Bandung (2010). Seminar Sains Atmosfer 1: Sains Atmosfer dalam

Menghadapi Perubahan Iklim, LAPAN, Bandung (2010).

Saat ini Erma tinggal di Bandung dan komunikasi dengannya dapat dilakukan melalui

email: [email protected] dan www.yulihastin.blogspot.com.

Page 144: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

132

Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan

Bandung

Dandy Aditya Novresiandi , Budhy Soeksmantono, Ketut Wikantika

Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

E-mail : [email protected]

Abstrak

Penginderaan jauh menawarkan cara yang lebih mudah, cepat, hemat serta mencakup

area yang lebih luas untuk perhitungan stok karbon. Dalam penelitian ini dilakukan

perhitungan stok karbon dengan metode penginderaan jauh di Cekungan Bandung dari

data citra Satelit Landsat untuk tahun 1999, 2002 dan 2005. Stok karbon dihitung

dengan menggunakan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang diekstrak

dari data citra satelit untuk kemudian digunakan dalam model perhitungan stok karbon.

Berdasarkan perhitungan, diperoleh jumlah stok karbon pada tahun 1999 sebesar

522272.91 ton, tahun 2002 sebesar 494512.98 ton, dan tahun 2005 sebesar 561683.33

ton. Karena tidak adanya data pengukuran lapangan di Cekungan Bandung untuk

melakukan validasi, maka hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai nilai

pendekatan jumlah stok karbon di Cekungan Bandung sebagai informasi yang berguna

untuk berbagai pihak dalam upaya pemantauan kondisi emisi gas di Cekungan

Bandung.

Kata kunci : Stok Karbon, NDVI, Cekungan Bandung

Abstract

Remote sensing offers an easier, faster, efficient way and it covers larger area for

measuring carbon stocks. In this study, the carbon stock in Bandung Basin is measured

by remote sensing methods from Landsat satellite imagery data for 1999, 2002 and

2005. Carbon stock is measured by the Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

derived from satellite imagery data for later use in model estimation of carbon stocks.

The results of the measurements for total estimated carbon stocks in 1999, 2002 and

2005 respectively are 522272.91 tons, 494512.98 tons, and 561683.33 tons. Due to no

field measurement data in Bandung Basin to perform validation, the results of this

study can be used as an estimation of carbon stocks in Bandung Basin. This information

is useful for people to monitor emission gasses in Bandung Basin.

Keywords : carbon stocks, NDVI, Bandung Basin

Page 145: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

133

1. PENDAHULUAN

Pemanasan global merupakan sebuah fenomena peningkatan suhu rata-rata permukaan

bumi. Peningkatan suhu tersebut akan berdampak langsung pada perubahan iklim dunia

yang memiliki efek jangka panjang terhadap manusia dan lingkungan (EPA, 2007).

Perlu diketahui bahwa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli di seluruh dunia

selama beberapa dekade terakhir ini menunjukan bahwa fenomena pemanasan global

ini terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.

Karbon dioksida merupakan salah satu zat yang termasuk dalam gas rumah kaca. Zat

ini secara alami timbul dari berbagai proses alami seperti letusan vulkanik, pernafasan

hewan dan manusia serta pembakaran material organik. Selain itu karbon dioksida juga

dapat timbul dari aktivitas-aktivitas manusia, khususnya penggunaan bahan bakar fosil

untuk industri dan transportasi. Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah manusia

maka kebutuhan akan penggunaan bahan bakar fosil untuk kebutuhan manusia semakin

bertambah sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah karbon dioksida di atmosfir.

Untuk menanggulangi hal itu, tumbuhan dapat mengurangi jumlah karbon dioksida di

atmosfir dengan menggunakan karbon dioksida dalam berbagai proses

pertumbuhannya. Melalui berbagai proses tersebut, tumbuhan dapat menyimpan karbon

dioksida di dalam tubuhnya sebagai stok karbon. Stok karbon adalah jumlah karbon

absolut yang tersimpan dalam biomassa tumbuhan pada waktu tertentu (IPCC, 2003).

Oleh karena itu tumbuhan sangatlah potensial untuk membantu mengatasi fenomena

pemanasan global dengan menyerap karbon dioksida yang ada di atmosfir dan

menyimpannya sebagai stok karbon (Nowak & Crane, 1998). Untuk mengetahui sejauh

mana peran tumbuhan dalam mereduksi karbon dioksida yang ada di atmosfer, maka

diperlukan suatu informasi banyaknya jumlah karbon dioksida yang disimpan oleh

tumbuhan di suatu area secara mewaktu (Myeong, et al., 2006). Secara tradisional,

penelitian dilakukan dengan pengukuran lapangan. Namun, metode ini memiliki banyak

kekurangan karena area penelitian yang terbatas serta membutuhkan biaya dan tenaga

yang besar.

Seiring dengan kemajuan teknologi, maka penginderaan jauh dapat digunakan sebagai

salah satu alat untuk mendapatkan informasi stok karbon tersebut (Asner, 2009).

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu

objek, daerah atau fenomena melalui analisa data yang diperoleh dengan suatu alat

tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand &

Kiefer, 1997). Data yang diperoleh dari penginderaan jauh berupa citra satelit dari

pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik objek-objek di permukaan bumi

yang berhasil diterima sensor, data tersebut dapat diolah menjadi suatu produk sesuai

dengan kebutuhan penggunanya.

Dengan memanfaatkan metode penginderaan jauh, maka dapat dihitung jumlah karbon

dioksida yang disimpan oleh tumbuhan di suatu daerah dengan menggunakan indeks

spektral NDVI untuk mendelineasi vegetasi dari citra suatu daerah, lalu mengkonversi

nilai indeks spektral yang didapatkan dengan menggunakan perhitungan suatu

persamaan untuk menghitung jumlah karbon dioksida yang disimpan oleh tumbuhan di

suatu daerah. Indeks spektral dapat digunakan untuk memperkirakan simpanan karbon

Page 146: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

134

dioksida oleh tumbuhan karena setengah dari berat kering biomassa tumbuhan adalah

karbon dioksida (Myeong, et al., 2006).

Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra band 3 dan 4 dari citra

satelit Landsat-7 ETM+ dan Landsat-5 TM tahun 1999, 2002 dan 2005.

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah menghitung stok karbon berdasarkan NDVI

di kawasan Cekungan Bandung secara mewaktu serta menganalisis kecocokan

persamaan tersebut untuk diterapkan di Cekungan Bandung.

2. DATA DAN WILAYAH STUDI

Penelitian ini menggunakan wilayah Cekungan Bandung sebagai wilayah penelitian.

Luas dari wilayah Cekungan Bandung dihitung dari citra hasil pemotongan adalah

3230.09 Km2 .

Gambar 2 Wilayah Studi

Menurut Purnomo, (2010) Cekungan Bandung merupakan daerah yang memiliki

geomorfologi yang bervariasi, sehingga memiliki tutupan lahan yang beragam. Tutupan

lahan yang terdapat di Cekungan Bandung pada bagian utara dan selatan berupa

vegetasi hutan dan perkebunan, sedangkan pada bagian timur dan barat berupa vegetasi

yang termasuk pada pertanian palawija. Tutupan lahan berupa sawah pertanian dan

perairan untuk perikanan juga terdapat di bagian selatan Kota Bandung. Tutupan lahan

berupa danau terdapat di sebelah timur dan selatan Cekungan Bandung. Tingkat

konversi lahan di Cekungan Bandung mulai meningkat seiring dengan pembangunan

permukiman modern dan industri serta perubahan budaya masyarakat.

Dalam penelitian ini digunakan data-data sebagai berikut:

Tabel 1. Data yang digunakan

No Data Sumber

1 Citra Landsat 5 TM (path 122 row 065

wilayah Jawa Barat tahun 2005) LAPAN

2 Citra Landsat 7 ETM (path 122 row 065

wilayah Jawa Barat tahun 1999 dan 2002) LAPAN

3 Peta Rupa Bumi Dijital dengan skala

1:25.000

Center for Remote Sensing -

ITB

Page 147: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

135

3. METODE

Untuk dapat memantau cakupan vegetasi dalam area yang luas dapat digunakan

teknologi penginderaan jauh (Myeong, et al., 2006). Pemantauan tersebut digunakan

untuk menghitung stok karbon pada suatu kawasan yang relatif luas dengan melakukan

pengolahan data citra satelit, sehingga didapatkan jumlah stok karbon yang disimpan

oleh tumbuhan pada area tersebut pada suatu waktu.

3.1. Pemotongan Citra dan Penghilangan Daerah Liputan Awan dan Bayangan

Awan

Data citra satelit yang didapat, dipotong mengikuti bentuk dari area penelitian. Selain

itu daerah yang diliputi awan dan bayangan awan dihilangkan dengan cara dijitasi

secara manual. Proses ini dapat mengurangi jumlah area yang diikutsertakan dalam

proses pengolahan data selanjutnya.

3.2. Konversi Nilai Digital Number ke Reflektan

Untuk melakukan perbandingan yang baik terhadap satu citra pada satu waktu dan citra

lain pada waktu pengambilkan data yang berbeda harus dilakukan suatu koreksi yakni

dengan mengubah nilai DN ke reflektan sebagai kompensasi dari perbedaan kondisi

kalibrasi sensor dan lingkungan pada setiap waktu pengambilan data oleh satelit

(Myeong, et al., 2006). Sebelum dapat di ubah ke reflektan, DN harus diubah ke

spektral radians terlebih dahulu (Huang, et al., 2000). Radians didapatkan dari DN

dengan persamaan sebagai berikut:

(1)

Atau juga dapat diekspresikan sebagai berikut:

(2)

Dimana L adalah spektral radians dalam (W m-2

sr-1

m-1), λ adalah band spektral, gain

adalah band spektral gain, bias adalah band spektral offset, DNMIN = 1, DNMAX = 255,

LMIN dan LMAX adalah spektral radians untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX .

Selanjutnya, spektral radians diubah menjadi reflektan dengan persamaan:

(3)

Dimana adalah reflektan pada lapisan atas atmosfir tanpa unit, Lλ spektral radians,

Esunλ adalah konstanta iradian exoatmosferik matahari, θs adalah sudut zenith matahari

dalam derajat, π sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit

astronomi (UA). Koreksi ini mengatasi perbedaan sudut matahari pada waktu

pengambilan data yang berbeda (Myeong, et al., 2006).

3.3. Image Resampling

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (Myeong, et al., 2006), dilakukan proses

interpolasi intensitas (image resampling) untuk mengubah ukuran pixel citra. Pada

Page 148: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

136

proses image resampling yang dilakukan di penelitian ini, digunakan metode tetangga

terdekat (nearest neighbor).

3.4. Koreksi Geometrik

Untuk memperbaiki kesalahan geometrik acak yang terjadi, maka harus dilakukan

dengan cara meningkatkan ketelitian geometrik dengan menggunakan titik kontrol

tanah (GCP) secara merata dari beberapa objek yang dapat diidentifikasi pada citra

sehingga diperoleh koordinat dalam sistem geografik (x,y) dan dalam sistem koordinat

citra sebagai titik sekutu (Purwadhi & Santojo, 2008).

GCP didapatkan dari peta dasar atau citra lain dengan cakupan daerah yang sama yang

posisi geometrisnya telah dikoreksi. Setelah itu dapat dibentuk hubungan matematis

untuk melakukan transformasi koordinat. Proses transformasi koordinat yang dilakukan

menggunakan model polinomial derajat satu atau transformasi affine-2D.

Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat ketelitian koordinat citra yang telah dikoreksi

geometrik dapat dilakukan dengan menempatkan Independent Check Point (ICP) secara

merata didalam kawasan cakupan GCP pada citra yang dikoresi (Ramadhani, 2010).

3.5. Koreksi Radiometrik

Untuk melakukan penelitian yang melibatkan perbandingan antara citra yang berbeda

kondisi radiometriknya adalah hal yang sulit untuk dilakukan (Myeong, et al., 2006).

Maka dilakukan koreksi radiometrik dengan metode pseudo-invariant features (PIF).

Prinsip dari metode ini adalah menggunakan satu citra sebagai referensi dan citra

lainnya sebagai subjek dan kemudian menyeragamkan aspek-aspek radiometrik citra

lainnya terhadap citra referensi dengan menggunakan fitur invariant, yakni bentukan-

bentukan yang diasumsikan tidak berubah posisinya terhadap waktu pengambilan data

(Hong, 2007) sebagai parameternya. Pada metode ini digunakan nilai batas sebesar

0.02% dari nilai intensitas tergelap dan tercerah pada citra untuk mengidentifikasi fitur

invariant yang akan digunakan untuk membentuk hubungan linier dengan persamaan

regresi (Ramsey, et al., 2001). Persamaan regresi linier yang dibentuk selanjutnya akan

diterapkan pada citra untuk menyamakan aspek-aspek radiometrik dengan citra

referensi dengan persamaan (Myeong, et al., 2006) :

(4)

Dimana DNref adalah nilai dijital dari citra referensi, DNsub adalah nilai dijital dari citra

subjek, a adalah nilai kemiringan dari transformasi linier dan b adalah nilai potong dari

transformasi linier dalam persamaan regresi linier.

Pada penelitian ini citra satelit tahun 2002 dijadikan citra referensi, sedangkan citra

satelit tahun 1999 dan 2002 dijadikan citra subjek. Untuk menguji koreksi radiometrik

dengan metode ini, dapat dilakukan dengan menghitung nilai dari akar kuadrat rata-

ratanya (RMSE) pada saat sebelum dan sesudah melakukan koreksi, nilai RMSERAD

seharusnya berkurang setelah koreksi radiometrik berhasil (Myeong, et al., 2006). Nilai

RMSERAD dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Page 149: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

137

(5)

Dimana n adalah jumlah pixel yang dilibatkan dalam perhitungan koreksi radiometrik.

3.6. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Salah satu cara yang umum dilakukan untuk memantau vegatasi dengan cakupan yang

luas adalah dengan menggunakan indeks spektral (Asrar, et al., 1985). Indeks spectral

yang umum digunakan adalah NDVI, yakni sebuah teknik perbandingan band spektral

yang menghasilkan model raster yang memperkirakan tingkat keaktifan fotosintesis di

setiap pixel. Persamaan dari model NDVI adalah sebagai berikut :

(6)

Dimana VIS adalah spektrum gelombang merah (visible) dan NIR adalah spektrum

gelombang mendekati inframerah (near-infrared). Nilai yang dihasilkan dari NDVI

yakni antara -1 dan 1.

3.7. Perhitungan Stok Karbon

Persamaan perhitungan stok karbon yang digunakan pada penelitian ini menggunakan

persamaan yang telah dikembangkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

(Myeong, et al., 2006). Pada penelitian sebelumnya, persamaan perhitungan karbon

dikembangkan berdasarkan persamaan regresi yang menggunakan NDVI sebagai

variabel bebas dan data stok karbon yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan

sebagai variabel terikat, pada pelaksanaannya persamaan didapatkan dari 190 plot yang

dibuat melalui sampel acak bertingkat. Data stok karbon hasil pengukuran lapangan

dilakukan di kota Syracuse, New York, Amerika Serikat.

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan model Urban Forest Effect (UFORE),

yakni sebuah model pengukuran stok karbon lapangan dengan menghitung spesies

pohon, diameter pohon setinggi dada (diameter at breast height biasa disingkat DBH)

dan tinggi dari pohon tersebut (Nowak & Crane, 1998). Stok karbon yang didapatkan

adalah dalam unit (kg C/pixel), dengan ukuran pixel (25 x 25 m). Persamaan umum

yang digunakan adalah :

(7)

Kemudian dari hasil penelian yang dilakukan didapatkan persamaan sebagai berikut:

(8)

Tingkat kedekatan persamaan ini memiliki nilai r2

sebesar 0.67, sehingga termasuk ke

dalam nilai signifikan yang tinggi (Myeong, et al., 2006).

4. HASIL PENELITIAN

Berikut akan disajikan hasil dari penelitian yang telah dilakukan berupa visualisasi

NDVI kawasan Cekungan Bandung tahun 1999, 2002 dan 2005.

Page 150: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

138

Sedangkan stok karbon yang disimpan oleh tumbuhan di wilayah Cekungan Bandung

berdasarkan hasil perhitungan untuk tahun 1999 sebesar 522272.92 ton, selanjutnya

untuk tahun 2002 sebesar 494512.99 ton dan untuk tahun 2005 sebesar 561683.34 ton.

Gambar 3 Peta NDVI Cekungan Bandung Tahun 2005

5. ANALISIS

5.1. Pengolahan Data

Proses pengolahan data yang telah dilakukan menghasilkan nilai-nilai ketelitian

yang cukup baik, hasilnya semua nilai σGCP dan RMSEICP berada di bawah 0.5 pixel.

Sedangkan persyaratan akurasi koreksi geometrik secara umum adalah ±1 pixel

(Purwadhi & Santojo, 2008). Berikut akan disajikan nilai ketelitian dari proses koreksi

geometrik :

Tabel 2. Nilai σGCP dan RMSEICP proses koreksi geometrik

Tahun 1999 2002 2003

σ GCP

(pixel) 0.394092744 0.244019373 0.286261165

RMSE ICP

(pixel) 0.274062037 0.28033908 0.281744565

Gambar 3 Peta NDVI Cekungan

Bandung Tahun 1999

Gambar 4 Peta NDVI Cekungan

Bandung Tahun 2002

Page 151: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

139

Sedangkan nilai ketelitian dari proses koreksi radiometrik adalah :

Tabel 3. Nilai RMSERAD sebelum dan sesudah koreksi radiometrik

Tahun

RMSERAD sebelum koreksi

radiometrik

RMSERAD sesudah koreksi

radiometrik

Band 3 Band 4 Band 3 Band 4

1999 3.613659353 6.007165635 2.365880511 5.982899513

2005 11.67932607 6.395386933 2.442150154 4.330583127

Nilai RMSERAD sesudah koreksi radiometrik lebih kecil daripada sebelum dikoreksi, hal

ini mengindikasikan keberhasilan koreksi yang dilakukan.

5.2. Perhitungan Stok Karbon

Hasil dari penelitian ini adalah jumlah stok karbon yang disimpan oleh tumbuhan di

wilayah Cekungan Bandung tahun 1999, 2002 dan 2005. Terdapat perbedaan jumlah

stok karbon yang dihitung pada masing-masing tahun, namun perbedaan jumlah ini

dipengaruhi oleh luas daerah yang diikutsertakan dalam perhitungan stok karbon pada

masing-masing tahun. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada citra satelit tahun 1999

dan 2002 terdapat daerah yang diliputi oleh awan dan bayangan awan, sedangkan pada

citra satelit tahun 2005 tidak terdapat daerah yang diliputi oleh awan dan bayangan

awan. Hal ini sangat mempengaruhi hasil penelitian karena total area yang dihitung

pada masing-masing tahun tidaklah sama, sedangkan total area yang seharusnya

dihitung ialah sebesar 3230.09 Km2. Berikut akan disajikan besarnya daerah yang

diikutsertakan dalam proses pengolahan data :

Tabel 4. Jumlah area yang terhitung

Tahun 1999 2002 2005

Jumlah Area

Terhitung (Km2)

3005.92 2847.28 3230.09

Perbedaan Area (Km2) 224.08 382.72 0.00

Jadi hanya pada citra satelit tahun 2005 yang luas wilayahnya sama dengan luas

wilayah area penelitian. Namun, apabila area yang hilang pada tahun 1999 dan 2002

perbedaanya dikompensasikan pada korelasi jumlah stok karbon dalam 1 Km2

yang

diperoleh dari perhitungan stok karbon tahun 2005 (1 Km2

= 173.89 ton) dan dihitung

jumlah stok karbon estimasi, maka hasilnya mendekati jumlah stok karbon pada tahun

2005. Perhitungan tersebut akan disajikan dalam tabel berikut :

Page 152: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

140

Tabel 5. Estimasi stok karbon

Tahun 1999 2002 2005

Stok Karbon (ton) 522272.92 494512.99 561683.34

Perbedaan Area (Km2) 224.08 382.72 0.00

Perbandingan 1km2 = 173.89 ton

Perbedaan Stok Karbon (ton) 39410.42 67170.35 0.00

Stok Karbon Estimasi dengan

asumsi tidak ada daerah yang

terkontaminasi awan dan bayangan

awan (ton)

561238.14 561064.61 561683.34

Dengan kata lain, jumlah stok karbon pada tahun 1999, 2002 dan 2005 di wilayah

Cekungan Bandung cenderung stabil.

5.3. Persamaan Perhitungan Stok Karbon

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (Myeong, et al., 2006). Persamaan

perhitungan karbon dikembangkan berdasarkan persamaan regresi yang menggunakan

NDVI sebagai variabel bebas dan data stok karbon yang diperoleh dari hasil

pengukuran lapangan.

Data stok karbon hasil pengukuran lapangan dilakukan di kota Syracuse, New York,

Amerika Serikat dan dilakukan dengan menggunakan model Urban Forest Effect

(UFORE).

Apabila ditinjau dari perbandingan sebaran keanekaragaman vegetasi yang terdapat di

kota Syracuse dan Cekungan Bandung maka terdapat perbedaan spesies pohon yang

juga memiliki nilai DBH dan tinggi dari pohon-pohon yang berbeda. Beberapa

perbedaan spesies pohon yang terdapat di Syracuse (Weiner, 2001) dan Cekungan

Bandung adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Perbandingan perbedaan spesies tumbuhan

Syracuse, NewYork Cekungan Bandung

Gleditsia triacanthos (Honey locust) Pinus merkusi

Acer platanoides (Norway Maple) Khaya anthoteca (Mahoni

Uganda)

Rhamnus (Buckthorns) Aghatis damara

Thuja occidentalis (Eastern

Arborvitae,Northern Whitecedar)

Cinnamonum burmanii

Acer saccharum (Sugar Maple)

Ficus benyamina

Taxsodium Mucronat (Cemara

Meksiko)

Kigelia aethiopica

Page 153: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

141

Namun karena tidak ada data stok karbon di wilayah Cekungan Bandung yang dapat

digunakan untuk melakukan validasi dari jumlah stok karbon yang didapat dari

penelitian ini, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan suatu nilai pendekatan jumlah

stok karbon di wilayah Cekungan Bandung dengan teknik penginderaan jauh.

6. KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Jumlah Stok Karbon yang disimpan oleh tumbuhan di wilayah Cekungan Bandung

untuk tahun 1999 sebesar 522272.92 ton, sedangkan untuk tahun 2002 sebesar

494512.99 ton dan untuk tahun 2005 sebesar 561683.34 ton.

2. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan suatu nilai pendekatan jumlah stok karbon di

wilayah Cekungan Bandung dengan teknik penginderaan jauh, meskipun persamaan

yang digunakan untuk perhitungan stok karbon diturunkan dari data stok karbon

lapangan dari daerah yang memiliki perbedaan keanekaragaman vegetasi dengan

daerah penelitian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada staff dari Center for Remote Sensing ITB

dan LAPAN atas segala bantuan dan masukan dalam kelancaran penelitian ini.

DAFTAR REFERENSI

Asner, G. P. (2009). Measuring Carbon Emissions from Tropical Deforestation : An Overview.

Environmental Defense Fund , 4.

Asrar, G., Kanemasu, E. T., Jackson, R. D., & Pinter, P. J. (1985). Estimation of total above-

ground phytomass production using remotely sensed data. Remote Sensing of Environment,

11 , 211-220.

Environmental Protection Agency, U. S. (2007). Frequently Asked Question about global

warming and climate change : Back to Basic. The Intergovernmental Panel on Climate

Change's (IPCC) Fourth Assessment Report, (p. 2).

Hong, G. (2007). Image Fusion, Image Registration, and Radiometric Normalization for High

Resolution Image Processing. Canada: University of New Brunswick.

Huang, C., Yang, L., Homer, C., Wylie, B., Vogelman, J., & DeFelice, T. (2000). At-Satellite

Reflectance : A First Order Normalization of Landsat 7 ETM+ Images. USGS , 2.

IPCC, I. P. (2003). Expert Meeting Report. Science Statement on Current Scientific

Understanding of the Processes Affecting Terrestrial Carbon Stocks and Human Influences

upon Them (p. 19). Geneva: IPCC.

Lillesand, T. M., & Kiefer, R. W. (1997). Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra. terjemahan

Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Page 154: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

142

Myeong, S., Nowak, D. J., & Duggin, M. J. (2006). A temporal analysis of urban forest carbon

storage using remote sensing. Remote Sensing of Environment 101 , 277.

Nowak, D. J., & Crane, D. E. (1998). The Urban Forest Effects (UFORE) Model : Quantifying

Urban Forest Structure and Functions. Integrated Tools Proceedings , 716.

Purnomo, R. (2010, November 26). Karakteristik Agroekosistem Kabupaten

Bandung.http://www.agrilands.net/read/full/agriwarta/2010/11/26/karakteristik-

agroekosistem-kabupaten-bandung.html

(diakses tanggal: 7 September 2011).

Purwadhi, F. S., & Santojo, T. B. (2008). Pengantar Intepretasi Citra Penginderaan Jauh.

Semarang: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas Negeri

Semarang.

Ramadhani, S. A. (2010). Analisis Backscattering Coefficient Citra ENVISAT ASAR untuk

Identifikasi Tumpahan Minyak (Oil Spill). Bandung: Program Studi Teknik Geodesi dan

Geomatika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung.

Ramsey, R. D., Washington-Allen, R. A., Van Niel, T. G., Sajwaj, T., & Callahan, K. (2001).

Identification of Pseudo-Invariant Features from Remotely Sensed Imagery. Remote

Sensing for Ecosystem Assessment .

Weiner, M. (2001, April 27). Census of trees sees healthy population – Syracuse, one of

Upstate's leafiest cities, is coming back after the devastating 1998 Labor Day Storm.

Syracuse, New York: The Post-Standard.

BIOGRAFI PENULIS

Dandy Aditya Novresiandi

Dandy Aditya Novresiandi lulus dari Program Studi Teknik

Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) pada

tahun 2011 dan sekarang sedang melakukan penelitian dalam

bidang penginderaan jauh. Bidang penelitian yang ditekuninya

adalah aplikasi penginderaan jauh di bidang lingkungan, stok

karbon dan tutupan lahan.

Page 155: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

143

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data

Light Detection and Ranging

Lissa Fajri Yayusman

1, Daniel Adi Nugroho

2, Ketut Wikantika

1

1Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Bandung 2PT McElhanney Indonesia

e-mail : [email protected]

Abstrak

Dalam identifikasi dan pengelolaan potensi hutan atau perkebunan, kebutuhan data

struktural sangat penting. Perkebunan kelapa sawit yang memiliki potensi tinggi pada

sektor lingkungan dan ekonomi memerlukan pengelolaan yang baik dan terencana.

Pengukuran parameter struktural pada perkebunan kelapa sawit akan memberikan

informasi yang diperlukan dalam rangka pemantauan dan pengelolaan area tersebut.

Light Detection and Ranging atau LiDAR, dengan keunggulan multiple return, tidak

hanya mampu memindai struktur hutan dari sisi atas saja, namun juga dapat mengukur

bagian-bagian kanopi pohon dan objek-objek lain di bawahnya. Pantulan pulsa laser

yang juga diperoleh dari permukaan tanah memungkinkan pula untuk melakukan

pemodelan elevasi permukaan tanah yang tertutup oleh kanopi pohon berupa Digital

Terrain Model (DTM). Dengan metode rasterisasi, dapat dibentuk pemodelan elevasi

kanopi pohon Canopy Height Model (CHM) dengan mengurangkan Digital Surface

Model (DSM) dan DTM. Berdasarkan penelitian ini, diperoleh ketinggian pohon

49,15% antara 10,3-20,3 meter, 42,75% antara 0,3-10,3 meter, 8,1% antara 0-0,3 meter,

0,02 % antara 20,3-30,3 meter, dan total volume kanopi 8684,242 m3 pada area studi.

Kata kunci: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, parameter struktural

hutan, tinggi pohon, volume kanopi.

Abstract

In the forest and plantation potential identification and management, the need of

structural data is very important. Oil palm plantations, which have high potential in

environmental and the economy sector, require good management and planning.

Measurement of structural parameters on oil palm plantations will provide the

necessary information of the area. Light Detection and Ranging or LIDAR technology,

with the advantage of multiple returns, is not only able to scan the forest structure from

the top side, but also can measure parts of the canopy of trees and other objects

underneath. The returns of laser pulse is also obtained from the soil surface, makes it

possible to perform modeling of land surface elevation under tree canopy in the form of

Digital Terrain Model (DTM). By converting the point cloud into raster, the elevation

of tree canopy can be modeled into Canopy Height Model (CHM) by subtracting the

Page 156: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

144

Digital Surface Model (DSM) and the DTM. Based on this research, tree height

distributions in the area are 49.15% between 10.3-20.3 meter, 42.75% between 0.3-

10.3 meter, 8.1% between 0-0.3 meter, and 0.02 % between 20.3-30.3 meter, while the

total volume of canopy is 8684.242 m3.

Keywords: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, forest structural

parameter, tree height, canopy volume.

1. PENDAHULUAN

Hutan merupakan media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup

lainnya dengan faktor-faktor alam yang merupakan kesatuan siklus yang mendukung

kehidupan (Reksohadiprodjo, et al., 2000). Proteksi terhadap berbagai Sumber Daya

Alam (SDA) yang terkandung dalam hutan merupakan aspek yang sangat penting

dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan. Parameter struktural hutan, seperti

ketinggian pohon, lebar tajuk dan tutupan kanopi, juga diperlukan dalam studi

biomassa, siklus biogeokimia, fungsi-fungsi ekologi, proses pertukaran energi,

cadangan air, serta transfer radiasi dalam sistem hutan (Huang, et al., 2009). Oleh

karena itu, pengukuran parameter struktural hutan menjadi langkah krusial untuk

mengidentifikasi potensi serta membantu dalam rangka pengambilan keputusan pada

pengelolaan hutan.

Proses pengukuran parameter struktural hutan secara konvensional umumnya dilakukan

melalui pendataan secara manual pada setiap pohon berupa ketinggian, lebar kanopi,

Diameter at Breast Height (DBH), serta koordinat masing-masing pohon. Adapun cara

lain dengan mengambil beberapa sampel untuk setiap kelas atau spesies vegetasi,

kemudian dilakukan ekstrapolasi untuk memprediksi parameter pada pohon-pohon lain

yang sama kelas atau spesiesnya pada hutan tersebut. Cara seperti ini tentu saja

memerlukan waktu yang sangat lama atau tingkat akurasi yang rendah. Sehingga

diperlukan teknologi baru yang cepat dan akurat sebagai pendukung.

Penginderaan jauh sebagai metode yang dapat mengidentifikasi objek di permukaan

bumi tanpa langsung bersentuhan dengan objeknya menawarkan teknologi yang dapat

membantu proses pengukuran dan inventarisasi secara cepat dan akurat bahkan untuk

area yang luas. Sebelumnya, teknologi fotogrametri udara dan InSAR (Interferometry

Synthetic Aperture Radar) telah digunakan untuk memperoleh informasi struktural

hutan dengan berbagai skala pengukuran (Gong, et al., 2002). Namun demikian,

teknologi-teknologi tersebut membutuhkan proses image matching dari beberapa sudut

pengambilan yang berbeda-beda untuk mendapatkan informasi secara 3-Dimensi,

sehingga sering kali mengalami kesulitan dalam pengambilan data dan untuk

memperoleh hasil yang maksimal.

Teknologi LiDAR (Light Detection and Ranging) merupakan salah satu teknologi

penginderaan jauh yang dapat menyediakan informasi vertikal dari objek di permukaan

bumi (Diedershagen, et al., 2003). Selain dapat memberi informasi mengenai

karakteristik topografi permukaan tanah, data LiDAR juga memungkinkan untuk

mengetahui tutupan kanopi pohon, parameter vegetasi (seperti tinggi dan kerapatan

Page 157: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

145

pohon), serta dimensi kanopi yang sangat penting dalam pemodelan aktivitas

lingkungan (Popescu, et al., 2003). Pada tahun 1980-an, Canadian Forestry Service

mendemonstrasikan penerapan LiDAR untuk mengestimasi ketinggian batang pohon,

kerapatan tajuk, serta elevasi permukaan tanah di bawah kanopi hutan (Aldred, et al.,

1985). Kemampuan LiDAR ini menjadikan hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk

manajemen hutan dan analisis kehutanan lebih lanjut seperti perhitungan biomassa, stok

karbon, serta analisis aliran air.

Kelapa sawit (Elaeis Sp.) merupakan jenis tanaman palem yang banyak dibudidayakan

saat ini. Selain iklim Indonesia yang sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman

ini, produk yang dihasilkan berupa minyak sawit yang membawa nilai ekonomi tinggi

ini membuat perkebunan kelapa sawit semakin banyak dibudidayakan di Indonesia.

Pertumbuhan kelapa sawit memiliki karakteristik dan kebutuhan tersendiri, oleh karena

itu diperlukan pemantauan dan pengelolaan yang baik. Maka dalam penelitian ini akan

dilakukan pemanfaatan teknologi LiDAR untuk pengukuran parameter struktural

perkebunan kelapa sawit.

2. DATA DAN AREA STUDI

Pada penelitian ini, area studi yang digunakan ialah area perkebunan kelapa sawit

seluas 1 km2. Perkebunan ini terletak di Sumatera Selatan pada 3 44’ 25.3228” LS

sampai dengan 3 44’ 57.9334” LS serta 103 36’ 21.2987” BT sampai dengan 103

36’ 53.7612” BT.

Gambar 1. Lokasi area studi

Kelapa sawit (Elaeis sp.) merupakan salah satu jenis tanaman dari famili Arecaceae

yang merupakan suku pinang-pinangan atau biasa disebut palem. Kelapa sawit akan

tumbuh dengan baik pada iklim tropis pada ketinggian antara 0-500 m dari permukaan

laut. Tanaman ini memiliki daun yang tersusun menyirip dengan lebar masing-masing

Page 158: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

146

daun cukup kecil sehingga celah antar daun cukup banyak. Sedangkan bentuk

kanopinya melebar pada bagian atasnya.

Selain terdiri dari perkebunan kelapa sawit, kurang lebih 30% dari area studi ini juga

terdiri area pertambangan. Sehingga elevasi permukaan tanah yang dimiliki cukup

beragam, yaitu cukup landai pada area perkebunan, namun sangat curam pada area

pertambangan.

Sedangkan data yang digunakan berupa data point cloud LiDAR berformat .LAS

dengan jumlah point cloud 233.020 titik dankerapatan 0,225 titik/m2

yang diakuisisi

pada September 2009. Data point cloud memiliki koordinat 3-Dimensi yang mengacu

pada WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 S. Selain itu digunakan pula data

orthophoto true color dengan ketelitian 15 cm yang diambil secara bersamaan dengan

akuisisi data LiDAR. Orthofoto digunakan sebagai data pendukung untuk membantu

dalam pengolahan data LiDAR dalam hal identifikasi objek.

3. METODOLOGI

3.1 Klasifikasi point clouds

Data RAW LiDAR hasil proses awal pada komponen-komponennya akan berupa point

clouds yang belum terklasifikasi yang dapat berasal dari berbagai komponen seperti

yang terdapat dalam persamaan (Meng, et al., 2010):

(1)

di mana merupakan pengukuran dari sensor LiDAR, sebagai elevasi

permukaan tanah, sebagai elevasi objek selain permukaan tanah, dan

merupakan hasil pengukuran yang tidak diinginkan. Noise umumnya berasal

dari gangguan pada wahana terbang, sensor, atau objek lain seperti burung dan awan

(Meng, et al., 2010). Oleh sebab itu, data point cloud harus diklasifikasi terlebih dahulu

sebelum digunakan.

Proses klasifikasi atau penyaringan dilakukan untuk memisahkan antara point cloud

hasil pemantulan dari satu jenis objek dengan jenis objek lainnya, maupun dengan hasil

pemantulan dari permukaan tanah (Sithole, 2005). Dalam penelitian ini dilakukan tiga

tahap klasikasi objek, yaitu ground filtering, klasifikasi vegetasi, serta klasifikasi objek-

objek lainnya. Klasifikasi dilakukan melalui dua metode, yakni semi-otomatis dan

manual.

Klasifikasi semi-otomatis berarti proses klasifikasi yang dilakukan dengan bantuan

perangkat lunak computer secara otomatis namun dalam penentuan batas-batas yang

diperlukan, ditentukan sendiri oleh pengguna. Penelitian ini menggunakan bantuan

perangkat lunak Microstation v8 yang diintegrasikan dengan TerraSolid untuk proses

klasifikasi.

Tahap klasifikasi yang pertama adalah ground filtering, di mana pada tahap ini

dilakukan pemisahan antara ground point dengan non-ground point. Proses ini

menggunakan parameter:

Page 159: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

147

1. Maximum building size : ukuran panjang atau lebar terbesar dari semua bangunan

pada area survei, yang juga berarti jarak maksimum antara dua buah titik

permukaan tanah.

2. Terrain angle : sudut kemiringan terbesar yang diperbolehkan bagi dua buah titik

yang berketetanggaan untuk dapat dianggap sebagai satu kelas permukaan tanah.

3. Iteration angle : perubahan sudut kemiringan maksimum antara dua iterasi selama

analisis permukaan tanah.

4. Iteration distance : jarak maksimum antara suatu titik yang akan diklasifikasi tegak

lurus dengan model permukaan tanah yang sudah ada.

Gambar 2. Parameter ground filtering dalam perangkat lunak Terra Solid

(Hugelschaffer, 2004)

Dalam proses ground filtering, penelitian ini menggunakan batasan parameter sebagai

berikut:

Tabel 1. Tabel parameter ground filtering

Parameter Nilai

Maximum building size 60 meter

Maximum terrain angle 88 derajat

Iteration angle 6 derajat ke permukaan tanah

Iteration distance 1 m ke permukaan tanah

Karakteristik umum yang dimiliki perkebunan kelapa sawit pada umumnya cukup

landai. Namun, area pertambangan memiliki tingkat kecuraman sangat tinggi pada

permukaan tanahnya. Hal ini dibuktikan dengan sangat banyaknya ground point yang

tidak terklasifikasi pada proses klasifikasi semi-otomatis. Oleh karena itu, setelah

proses ground filtering dilakukan untuk seluruh area, dilakukan pula ground filtering

khusus pada area pertambangan saja. Proses ground filtering ini dilakukan dengan

terlebih dahulu mendeliniasi area pertambangan dari area di sekitarnnya.

Page 160: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

148

Gambar 3. Poligon batas area pertambangan

Batasan parameter yang digunakan pada tahap ini adalah :

Tabel 2. Tabel parameter ground filtering area pertambangan

Parameter Nilai

Maximum building size 60 meter

Maximum terrain angle 88 derajat

Iteration angle 12 derajat ke permukaan tanah

Iteration distance 1 m ke permukaan tanah

Kemudian dilakukan klasifikasi vegetasi menjadi vegetasi rendah, sedang, dan tinggi di

mana parameternya ditentukan berdasarkan keperluan penelitian. Pada penelitian ini

vegetasi rendah didefinisikan sebagai rumput-rumputan, vegetasi sedang sebagai semak

belukar, dan vegetasi tinggi sebagai pohon-pohon. Setelah klasifikasi vegetasi selesai,

maka objek-objek lainnya akan diklasifikasi ke dalam kelas objek-objek lain karena

tidak diperlukan dalam penelitian ini.

Tabel 3. Tabel parameter klasifikasi vegetasi

Kelas Vegetasi Tinggi (dari permukaan tanah)

Vegetasi rendah 0 – 0.30 meter

Vegetasi sedang 0.31 – 1 meter

Vegetasi tinggi >1 meter

Pada klasifikasi semi-otomatis sering kali terjadi kesalahan klasifikasi. Oleh karena itu,

diperlukan pula pengecekan dan klasifikasi secara manual untuk memastikan semua

data berada pada kelas yang sesuai. Klasifikasi secara manual dilakukan dengan

melakukan pengecekan data dari tampak samping (side seeing), pengecekan dengan

bantuan data ortofoto, maupun dengan membuat editable shaded model yaitu model

permukaan tanah sementara.

Page 161: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

149

3.2 Rasterisasi data point clouds

Rasterisasi merupakan proses mengkonversikan data vektor menjadi data raster. Pada

penelitian ini dilakukan konversi terhadap seluruh groud points menjadi raster untuk

memperoleh raster permukaan tanah atau DTM berformat 2-Dimensi. Di mana nilai

ketinggian direpresentasikan sebagai nilai kecerahan pada setiap piksel. Besarnya

resolusi piksel dipengaruhi oleh rata-rata jarak antara titik, yaitu 2,075 m. Sehingga

besar resolusi piksel ialah 6 meter atau tiga kali dari rata-rata jarak antar titik (Esri,

2010).

Gambar 4. DTM hasil rasterisasi ground point

Karena kerapatan titik untuk ground point sangat rendah, cukup banyak piksel yang

tidak memiliki nilai atau null value. Maka dilakukan interpolasi pada piksel-piksel

tersebut dengan memanfaatkan algebra peta dengan fungsi sebagai berikut (Esri, 2010):

Con(IsNULL([inputraster]), FOCALMEAN

([inputraster],RECTANGLE, 3, 3, data), [inputraster])

Page 162: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

150

Gambar 5. DTM yang telah diinterpolasi

Rasterisasi juga dilakukan pada ground points, low, medium, dan high vegetation

points. Gabungan dari kedua kelas ini dirasterisasi untuk membuat model permukaan

DSM. Oleh karena itu, dalam proses rasterisasi hanya nilai data titik dengan nilai

ketinggian tertinggi (first return) saja yang akan direpresentasikan sebagai nilai

ketinggian pada DSM.

Gambar 6. DSM hasil rasterisasi ground dan vegetation points

3.3 Pengukuran Distribusi Ketinggian Pohon

Perhitungan distribusi ketinggian pohon dilakukan dengan membuat Canopy Height

Model (CHM). Model 3-Dimensi ini dibuat dengan mengurangkan nilai-nilai

ketinggian pada DSM dengan nilai ketinggian pada DTM yang telah dibuat

sebelumnya.

Page 163: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

151

Berdasarkan CHM yang dihasilkan, ketinggian maksimum dari pohon adalah 24.845

meter dan yang terendah adalah -0.07. Sedangkan pada penelitian ini kelas vegetasi

rendah atau yang dianggap sebagai pantulan dari rumput-rumputan merupakan vegetasi

dengan ketinggian sampai dengan 0.30 meter dari permukaan tanah. Untuk mendukung

keperluan perhitungan kanopi pohon berdasarkan penelitian Naesset (2004) dan

Hollaus,dkk. (2009), maka distribusi tinggi pohon akan dibagi menjadi 3 buah kelas

dengan interval 10 meter di mana ketinggian sampai 0.30 meter tidak akan

diperhitungkan.

3.4 Perhitungan Volume Kanopi

Berdasarkan data ketinggian pohon dan hasil perhitungan parameter , maka dapat

dilakukan perhitungan volume kanopi pohon. Volume kanopi dihitung berdasarkan

jumlah kelas ketinggian pohon dengan interval 10 meter.

4. HASIL PENELITIAN

Distribusi ketinggian pohon beserta parameter porsi relatif ketinggian pantulan pertama

(kanopi pohon) pada suatu kelas interval di daerah studi ( ) adalah:

Tabel 4. Tabel hasil pengukuran ketinggian pohon dan parameter p,fei

Kelas H Minimum H

Maximum

Rata-rata

(Chmean) Jumlah Piksel p,fei

- 0 0,3 0,120119 2253 0,080779

1 0,301 10,3 6,937095 11923 0,427486

2 10,301 20,3 11,62341 13707 0,491449

3 20,301 30,3 22,38798 8 0,000287

Jumlah

27891 1

Page 164: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

152

Gambar 7. Canopy Height Model hasil pengolahan data

Sedangkan volume kanopi pohon pada area studi ini adalah:

Vcan,1 = 0,427486 x 1000 m x 6,937095 = 2965,508 m3

Vcan,2 = 0,491449 x 1000 m x 11,62341 = 5712,313 m3

Vcan,3 = 0,000287 x 1000 m x 22,38798 = 6,422 m3

dengan 6 x 6 sebagai resolusi dari piksel pada raster CHM. Sedangkan volume kanopi

pohon secara keseluruhan ini didefinisikan sebagai jumlah dari semua kelas:

(2)

Maka volume kanopi pohon pada area studi 100 Ha perkebunan kelapa sawit, Sumatera

Selatan ini adalah 8684,242 m3.

5. ANALISIS

5.1 Analisis Klasifikasi Point Clouds

Klasifikasi data point cloud dibagi menjadi lima buah kelas utama melalui proses

klasifikasi semi-otomatis dan manual. Secara umum, pada hasil klasifikasi semi-

otomatis tidak banyak ditemukan titik-titik yang mengalami kesalahan klasifikasi. Hasil

ini mengindikasikan bahwa parameter yang digunakan sudah cukup merepresentasikan

area studi secara umum. Sementara beberapa titik yang mengalami kesalahan klasifikasi

dapat disebabkan oleh parameter yang diterapkan tidak cocok untuk semua tempat dan

adanya anomali elevasi yang tidak dapat diidentifikasi.

Page 165: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

153

Adapun hasil klasifikasi yang cukup banyak mengalami kesalahan ialah pada klasifikasi

vegetasi rendah. Vegetasi yang sangat rendah atau puncaknya dekat sekali dengan

permukaan tanah sering kali tidak terekam oleh sensor karena sensor merekam pantulan

yang memiliki besar gelombang cukup tinggi. Tentunya vegetasi yang terlalu dekat

dengan tanah memilki gelombang pantul yang tidak cukup tinggi bila dibandingkan

dengan gelombang pantul dari permukaan tanah dalam selang waktu yang sangat

singkat sehingga hanya pantulan dari permukaan tanah saja yang terekam.

5.2 Analisis Proses Rasterisasi

Pengukuran parameter struktural dilakukan dengan metode area karena data point cloud

LiDAR yang digunakan memiliki kerapatan titik yang cukup rendah. Sedangkan

perhitungan parameter struktural hutan memerlukan kerapatan titik yang sangat tinggi

agar bentuk vegetasi dapat direpresentasikan dengan baik. Karakteristik tanaman kelapa

sawit yang memiliki kanopi melebar di bagian atasnya serta ketinggian daun-daun yang

dapat melebihi puncak batangnya juga mengakibatkan proses deteksi individual pohon

sulit dilakukan.

Pada hasil rasterisasi, diperoleh DTM dan DSM yang juga memiliki nilai elevasi

negatif. Hal ini disebabkan karena area perkebunan kelapa sawit ini berada pada

ketinggian yang cukup rendah. Sedangkan menurut DTM dan DSM yang diperoleh,

dapat dilihat bahwa daerah yang memiliki elevasi negatif berada pada area galian

tambang.

5.3 Analisis Pengukuran Ketinggian Pohon

Pada CHM yang dihasilkan juga terdapat nilai negative sehingga tidak masuk akal.

Kesalahan ini dapat disebabkan oleh adanya point cloud vegetasi yang masih

mengalami kesalahan klasifikasi dan luput dari pengecekan. Point cloud yang

seharusnya merupakan groud point diklasifikasi sebagai vegetasi yang elevasinya lebih

rendah dari pada elevasi permukaan tanah di sekitarnya. Maka saat permukaan tanah

diinterpolasi, vegetasi tersebut akan teridentifikasi berada di bawah permukaan tanah

dan mengakibatkan nilai negatif pada raster CHM.

5.4 Analisis Perhitungan Volume Kanopi

Perhitungan volume kanopi pohon menunjukkan hasil yang cukup masuk akal untuk

area studi. Di tambah dengan kerapatan antar pohon yang cukup tinggi membuat

volume kanopi lebih representatif karena pemodelan ketinggiannya secara umum

kontinyu. Namun, tingkat akurasi perhitungan tentunya akan cukup berkurang karena

penggunaan nilai rata-rata setiap kelas sebagai representasi elevasi kelas yang memiliki

interval cukup tinggi yaitu 10 meter.

6. KESIMPULAN

Berdsarkan studi ini juga dapat disimpulkan bahwa parameter struktural perkebunan

kelapa sawit, Sumatera Selatan, memiliki parameter distribusi ketinggian pohon:

Page 166: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

154

Tabel 5. Tabel hasil perhitungan ketinggian pohon

Kelas H minimum H maximum p,fei

- 0 0.3 0.080779

1 0.301 10.3 0.427486

2 10.301 20.3 0.491449

3 20.301 30.3 0.000287

Selain itu juga diperoleh hasil perhitungan volume kanopi pohon pada area studi

sebesar 8684,242 m3.

Dari seluruh tahapan studi yang dilakukan juga dapat disimpulkan bahwa terdapat

banyak metode untuk melakukan pengukuran parameter struktural hutan dan

perkebunan. Metode rasterisasi yang digunakan pada studi ini cukup efektif untuk

melakukan pengukuran parameter struktural perkebunan kelapa sawit. Metode ini

disesuaikan dengan kondisi data dan area studi yang dipakai. Namun, secara

keseluruhan hasil dari metode ini kurang representatif atau akurat karena pengukuran

dilakukan secara global berdasarkan area, dan bukanlah berdasarkan perhitungan pada

masing-masing individual pohon.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada staff dari Center for Remote Sensing ITB

atas segala bantuan dan masukan dalam kelancaran penelitian ini dan juga kepada PT.

McElhanney Indonesia yang telah membantu dalam penyediaan data lapangan.

DAFTAR REFERENSI

Aldred, A., & Bonner, M. 1985. Application of Airborne Lasers to Forest Surveys.

Diedershagen, O., Koch, B., & Weinacker, H. 2003. Automatic Estimation of Forest Inventory

Parameters Based on LiDAR, Multispectral and FOGIS Data. Technical Session.

Esri. 2010. Lidar Analysis in ArcGIS 9.3.1 for Forestry Applications. Esri White Paper.

Gong, P., Sheng, Y., & Biging, G. 2002. 3D Model-Based Tree Measurement from High

Resolution Aerial Imagery.

Huang, H., Gong, P., Cheng, X., Clinton, N., & Li, Z. 2009. Improving Measurement of Forest

Structural Parameters by Co-Registering of High Resolution Aerial Imagery and Low

Density LiDAR Data. Sensors 2009, 9, 1541-1558.

Hugelschaffer, D. 2004. Use of LiDAR in Forestry Applications.

Meng, X., Currit, N., & Zhao, K. 2010. Ground Filtering Algorithms for Airborne LiDAR Data:

A Review of Critical Issues. Journal of Remote Sensing 2010, 2, 833-860.

Page 167: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

155

Popescu, S. C., Wyne, R. H., & Nelson, R. F. 2003. Measuring Individual Tree Crown Diameter

with Lidar and Assessing Its Influence on Estimating Forest Volume and Biomass.

Canadian Journal of Remote Sensing, Vol 29, No. 5, pp. 564-577.

Reksohadiprodjo, S., & Brodjonegoro. 2000. Ekonomi Lingkungan.

Sithole, G. 2005. Segmentation and Classification of Airborne Laser Scanner Data. Delft, The

Netherlands: NCG.

BIOGRAFI PENULIS

Lissa Fajri Yayusman

Lissa lahir di Bekasi, Jawa Barat pada 18 November 1990. Anak

kedua dari tiga bersaudara ini menempuh pendidikan SD, SMP,

dan SMA di Kota Bekasi. Kemudian melanjutkan pendidikan

tinggi di Institut Teknologi Bandung dan memperoleh gelar

Sarjana Teknik dalam bidang Teknik Geodesi dan Geomatika

pada tahun 2011. Saat ini Lissa masih aktif berkarya dalam

bidang penginderaan jauh di Pusat Penginderaan Jauh ITB.

Page 168: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

156

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota

Tiga Dimensi (Studi Kasus : Kota Davao, Filipina)

Muhammad Arief Vannessyardi

1, Daniel Adi Nugroho

2, Ketut Wikantika

1

1Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,

Institut Teknologi Bandung. 2PT McElhanney Indonesia

e-mail : [email protected]

Abstrak

Fenomena meningkatnya pertumbuhan urbanisasi dan industrialisasi berpengaruh

terhadap kebutuhan sistem perencanaan kota yang baik. Banyak teknik yang dapat

digunakan untuk membangun sistem perencanaan kota, salah satu teknik yang akurat

dan memiliki kepadatan data yang tinggi adalah teknik dengan menggunakan

LIDAR(Light Detection and Ranging). Model kota 3D dapat dihasilkan dari data

LIDAR. Hasil utama dari teknik LIDAR adalah Digital Surface Model (DSM) dan

Digital Elevation Model (DEM) yang nantinya dapat digunakan untuk membangun

model kota 3 dimensi. Model kota 3D dari daerah pusat kota dapat dimanfaatkan untuk

berbagai macam aplikasi, contohnya adalah operasi militer, manajemen bencana alam,

pemetaan gedung dan ketinggian gedung, simulasi gedung baru, pembaharuan dan

pelestarian data kadaster, rekonstruksi bangunan, dll. Pada penelitian ini penulis

menggunakan data LIDAR dan orthophoto dari kota Davao di Filipina. Metode yang

penulis gunakan dalam pembuatan model kota tiga dimensi ini adalah building

extraction menggunakan data LIDAR dan orthophoto. DEM area penelitian dihasilkan

dengan cara pembuatan TIN dari point cloud yang berada pada kelas ground area

penelitian. Hasil akhir yang diharapkan adalah model bangunan 3D diatas DEM area

penelitian.

Kata kunci: model kota 3D, LIDAR, orthophoto, DEM, DSM, building extraction.

Abstract

The phenomenon of the increasing growth of urbanization and industrialization affect

the need for good city planning system. Many techniques can be used to build the city

planning system, one technique that is accurate and has a high density of data is a

technique using a LIDAR (Light Detection and ranging). 3D city models can be

generated from LIDAR data. The main results of the lidar technique is a Digital Surface

Model (DSM) and Digital Elevation Model (DEM) that can later be used to construct

three-dimensional models of cities. 3D city models from the downtown area can be

utilized for various applications, for example, are military operations disaster

management, mapping of buildings and building heights, simulating the new building,

renewal and preservation of cadastral data, reconstruction of buildings, etc.. In this

Page 169: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

157

study the authors used data from the LIDAR and orthophoto of Davao city in the

Philippines. The method used in the manufacture of three-dimensional model of the city

is building extraction using LIDAR and orthophoto data. DEM of research area

generated by the manufacture of TIN from point cloud that is on ground class of

research area. The end result, as expected, is a 3D building model over the study area

DEM.

Keywords: 3D city model, LIDAR, orthophoto, DEM, DSM, building extraction.

1. PENDAHULUAN

Kebutuhan akan adanya Digital Terrain Model (DTM) yang berketelitian tinggi

semakin meningkat. Salah satu teknik baru untuk pengadaan DTM berketelitian tinggi

adalah dengan menggunakan LIDAR. LIDAR merupakan suatu teknologi baru yang

menggunakan sinar laser, yang dibawa pada pesawat udara, untuk melakukan

pengukuran jarak.

Diluncurkannya satelit Global Positioning System memungkinkan ditentukannya posisi

suatu wahana yang bergerak dengan ketelitian yang tinggi, dengan mengacu pada suatu

sistem koordinat tertentu. Jika posisi sensor dapat ditentukan dengan ketelitian yang

cukup tinggi, dan juga jarak dan sudut antara sensor dengan titik obyek di permukaan

bumi, maka posisi obyek tersebut dapat juga ditentukan.

Saat ini berbagai perusahaan pembuat alat ini mengklaim bahwa ketelitian yang

didapatkan dari LIDAR sekitar 6 inchi (± 15 cm). Tingkat ketelitian seperti ini

memungkinkan dibuatnya Digital Terrain Model (DTM) yang sangat teliti.

Karakteristik menarik dari LIDAR adalah dapat diaturnya frekuensi pancaran sinyal,

yang memungkinkan diaturnya densiti titik tiap satuan luas tertentu.

LIDAR telah menjadi teknik yang diciptakan untuk menurunkan informasi geometris

dalam tiga dimensi dengan akurasi desimeter (+ 1,5 dm atau +15 cm)(Lohr, 1998, Wehr

dan Lohr, 1999). Menggunakan teknik LIDAR ini, DSM yang akurat dalam

menggambarkan dasar dan fitur di atas permukaan tanah dapat dibangun dalam waktu

yang relatif singkat. Dataset LIDAR dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam

aplikasi (Gruen et al. 1995, 1997). Salah satu aplikasi dari LIDAR adalah pembuatan

model 3D dari bangunan dan benda-benda buatan manusia lainnya serta pembangunan

DEM dengan cara ‘melucuti’ fitur-fitur yang ada di atas permukaan tanah (Hug, 1996,

Jaafar et al, 1999a).

2. KONSEP LIDAR

Sistem LIDAR mengacu pada suatu sistem koordinat WGS 84 dan sistem navigasi yang

digunakan adalah alat INS (Inertial Navigation System) yang dapat mencatat sikap

pesawat udara. Hal yang perlu diketahui adalah integrasi alat GPS/IMU dalam hal

mencatat waktu dengan ketelitian tinggi. GPS mencatat waktu (sampling rate) setiap

detik, sedangkan IMU mencatat sikap pesawat (roll, pitch, yaw) 200 posisi setiap detik

dan data LIDAR sebanyak 50.000 sampai 200.000 pulsa setiap detik. Sehingga

Page 170: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

158

trayektori atau lintasan pesawat dalam koordinat (x,y,z) dapat diketahui. Dari beberapa

faktor inilah yang membuat ketelitian data LIDAR diperoleh dari saling keterkaitan

beberapa komponen utama sistem LIDAR.

Gambar 1. Interaksi Antar Komponen LIDAR

Pengamatan posisi yang dilakukan komponen GPS adalah dengan metode differensial

kinematik dengan menggunakan data fase yang memiliki ketelitian lebih tinggi

dibandingkan dengan data pseudorange. Data yang dihasilkan oleh GPS adalah berupa

nilai-nilai koordinat titik ketika wahana udara melakukan scanning terhadap permukaan

tanah.

Pada komponen INS di dalamnya terdapat instrumen IMU (Inertial Measurement Unit)

yang dapat mendeteksi pergeseran rotasi wahana terbang (pitch, roll, dan heading)

terhadap sumbu-sumbu sistem referensi terbang sehingga didapatkan besar sudut gerak

rotasi sumbu-sumbu koordinat wahana udara terhadap sumbu-sumbu koordinat sistem

referensi terbang. Selain itu IMU juga mampu mendeteksi perubahan percepatan pada

wahan udara.

Komponen sistem sensor laser terdiri atas sensor laser dan cermin. Sensor laser

melakukan pengukuran jarak antara sensor terhadap permukaan tanah. Pengukuran

jarak ada yang menggunakan prinsip beda waktu dan ada yang menggunakan prinsip

beda fase (Baltsavias, 1999b). Pada pengukuran jarak dengan prinsip beda waktu, maka

R merupakan jarak antara sensor dan obyek yang diukur, c merupakan kecepatan

cahaya, sedangkan t merupakan waktu tempuh sinyal. Karena sinyal menempuh

perjalanan dari sensor ke obyek, dan kembali lagi ke sensor, maka faktor 2 harus

dimasukkan. Pengukuran waktu tempuh sinyal dapat dilakukan sampai mendekati level

10-10

detik (Ackermann, 1999).

Page 171: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

159

Kepadatan dari suatu data LIDAR merupakan parameter penting dalam pengukuran.

Kepadatan sebuah data yang dihasilkan oleh komponen laser scanner sangat bergantung

dari aplikasi data yang diinginkan dan dipengaruhi oleh ketinggian pesawat, kecepatan

pesawat, frekuensi scan, pola scanning, kekuatan pulsa, geometri tanah dan reflektifitas

dari objek yang dipantulkan.

Ketiga data yang dihasilkan oleh GPS, INS, dan laser scanner tersebut diolah secara

berurutan untuk mendapatkan produk akhir berupa data titik-titik ketinggian permukaan

bumi atau DTM.

DTM adalah representasi statistik permukaan tanah yang kontinyu dari titik-titik yang

diketahui koordinat x, y, z-nya pada suatu sistem koordinat tertentu. (Petrie dan Kerrie,

1991) DTM adalah informasi digital mengenai ketinggian (atau variansi relief) dari

suatu area. (Spatial Data System Consulting, 2002) dari berbagai referensi di atas dapat

disimpulkan bahwa DTM adalah pemodelan permukaan bumi ke dalam suatu model

digital permukaan tanah tga dimensi dari titik-titik yang mewakili permukaan tanah

tersebut yang telah diketahui koordinat tiga dimensinya.

Pada penelitian ini akan memfokuskan pada pemodelan kota tiga dimensi dari area

studi kota Davao di Filipina dengan menggunakan metode building extraction dari data

point cloud LIDAR dan orthophoto area penelitian.

3. SPESIFIKASI DATA

Area studi pada penelitian ini terletak pada Kota Davao, Filipina yang berada pada zona

UTM 51 Utara. Area studi adalah sebuah petak lahan seluas 0.5 km x 1 km yang

terletak pada 7° 04' 5.2860" Lintang Utara sampai 7° 04' 37.9084" Lintang Utara dan

125° 36' 35.1546" Bujur Timur sampai 125° 36' 51.6195" Bujur Timur.

Data point cloud LIDAR yang diteliti berformat LAS dan memiliki point cloud

berjumlah 1.683.013 titik dengan ukuran data sebesar 32,1 MB. Data orthophoto yang

digunakan berformat Tiff dan memiliki ukuran pixel sebesar 0.5 m x 0.5 m dengan

ukuran data sebesar 1,61 MB.

4. METODE

4.1 Point Classification

Tahap yang paling penting dalam mengolah data point cloud LIDAR untuk pemodelan

kota tiga dimensi adalah proses point classification. Dalam tahap ini dilakukan

pemisahan point cloud LIDAR yang masih belum terklasifikasi ke dalam kelas-kelas

objek yang memiliki sifat dan karakteristik yang relatif sama. Pada umumnya terdapat 5

kelas yang biasanya digunakan pada saat melakukan klasifikasi point cloud LIDAR,

yaitu kelas ground, low vegetation, medium vegetetion, high vegetation, dan kelas

building. Walaupun pada tahap ini penulis mengklasifikasi data point cloud LIDAR ke

dalam 5 kelas tersebut, namun pada akhirnya kelas yang akan digunakan untuk

pemodelan kota tiga dimensi adalah kelas ground dan building.

Page 172: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

160

4.1.1 Automatic Classification

Terdapat dua proses penting di dalam tahapan point classifcation, yaitu proses

automatic classification dan manual classification. Pada proses automatic

classification, point cloud LIDAR secara otomatis diklasifikasikan oleh program

ekstensi Terra Scan ke dalam lima kelas yang sudah disebutkan di atas sesuai dengan

kemiripan sifat dan karakteristik dari masing-masing kelas.

4.1.2 Manual Classification

Proses manual classification adalah proses pemeriksaan data point cloud hasil

klasifikasi dari proses automatic classification, apakah sudah masuk ke dalam kelas

yang tepat sesuai dengan karakteristik dari point cloud tersebut. Pada tahapan manual

classification ini penulis harus memeriksa secara teliti semua point cloud yang ada di

area studi dengan cara melakukan cross section atau membuat penampang melintang

dari point cloud yang sudah terklasifikasi. Jika setelah memeriksa penampang

melintang dari point cloud tersebut dan ternyata didapat beberapa titik yang

menyimpang dari kelas yang seharusnya, maka penulis harus secara manual

memasukkan titik-titik tersebut ke dalam kelas-kelas yang sesuai menurut interpretasi

dan pemahaman penulis terhadap objek tersebut.

Gambar 2. cross section

Pada Gambar 2 dapat dilihat terdapat point cloud yang secara jelas menggambarkan

kelas ground dan kelas vegetation sehingga bila terdapat titik-titik yang menyimpang

dapat terlihat dengan jelas dan dapat langsung kita masukkan ke kelas yang sesuai

secara manual.

Page 173: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

161

Gambar 3. cross sction

Pada Gambar 3 dapat dilihat adalah contoh pemeriksaan penampang melintang dari

point cloud pada kelas ground, vegetation, dan building yang menginterpretasikan

objek tanah, pepohonan dan bangunan.

Setelah point cloud terkalsifikasi secara otomatis dan manual, tahap selanjutnya yang

dilakukan adalah pemisahan titik-titik dalam kelas ground dan kelas building dari kelas-

kelas yang lain untuk selanjutnya dilakukan pengolahan lebih lanjut. Titik-titik pada

kelas ground akan selanjutnya diolah menjadi DEM TIN (Triangular Irregular

Network) sedangkan titik-titik dalam kelas building akan diolah menjadi model

bangunan tiga dimensi.

5. HASIL

Hasil yang didapatkan setelah dilakukan pengolahan terhadap data point cloud LIDAR

dan data orthophoto menggunakan program Microstation dengan ekstensi Terra Scan,

Terra Model , dan Terra Photo dari penyedia program Terra Solid. Terra Scan

digunakan untuk melakukan klasifikasi point cloud dan ekstraksi Model bangunan,

Terra Model digunakan untuk pembuatan DEM, dan Terra Photo digunakan untuk

meng-overlay hasil dari model DEM dan model bangunan dengan orthophoto.

5.1 Pembuatan Model Bangunan 3D

Gambar 4. Classified Point cloud

Page 174: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

162

Gambar 4 menampilkan point cloud yang sudah melewati proses semi-auto dan manual

classification, dapat dilihat point cloud yang berwarna merah masuk ke kelas ground,

biru muda ke kelas vegetation dan ungu ke kelas building.

Gambar 5. Building Point cloud Extraction Gambar 6. Building Model Extraction

Gambar 6 menampilkan hasil dari pemodelan bangunan yang di-extract dari point cloud

pada kelas building saja, seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 7

Gambar 7 menampilakan pemeriksaan model bangunan dengan orthophoto secara

manual untuk memeriksa apakah bentuk-bentuk atap dari kerangka model sudah sesuai

dengan bentuk-bentuk atap bangunan pada orthophoto.

Page 175: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

163

Gambar 8. Pemeriksaan dan Pengeditan tiap-tiap Model

Bila pada tahap pemeriksaan kerangka model dengan orthophoto ternyata ada beberapa

bentuk kerangka atap atau bangunan yang tidak sesuai dengan bentuk pada orthophoto,

maka model kerangka bangunan tersebut harus di-edit secara manual satu per satu

setiap bangunannya. Seperti terlihat pada Gambar 8

Hasil akhir yang didapat dari pemodelan bangunan tiga dimensi ini adalah model

bangunan tiga dimensi yang sudah diperiksa dengan orthophoto dan di-overlay dengan

orthophoto untuk memberikan warna pada setiap bangunan sesuai keadaan

sesungguhnya seperti terloihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil Model Bangunan Tiga Dimensi

5.2 Pembuatan Digital Terrain Model

Digital Terrain Model (DTM) dari area penelitian dibuat dengan cara pembuatan TIN

yang dibentuk dari point cloud pada kelas ground yang sudah dipisahkan dari kelas-

kelas yang lain untuk kemudian selanjutnya diolah menjadi DTM TIN, seperti yang

akan diperlihatkan pada Gambar 10.

Page 176: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

164

Gambar 10. Proses Pembentukan DTM dari Point Cloud Ground menjadi DTM TIN

5.3 Pembuatan Model Kota Tiga Dimensi

Hasil Akhir dari penelitian ini adalah model kota tiga dimensi yang didapat dari hasil

overlay dari 3 komponen utama, yaitu: model bangunan yang di-extract dari area

penelitian, DTM TIN dari area penelitian dan orthophoto area penelitian.

Gambar 11. (a)Overlay Model Bangunan dan DTM TIN, (b)Hasil Akhir Model Bangunan

Tiga Dimensi Hasil Overlay 3 komponen, (c) dan (d)Model Kota Tiga Dimensi Skala

Diperbesar.

(a) (b)

(c) (d)

Page 177: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

165

6. ANALISIS

6.1 Analisis Data

Data LIDAR berformat LAS yang digunakan memiliki kerapatan (point cloud density)

sebesar 2 point cloud per 1 m2. Padahal untuk melakukan pemodelan tiga dimensi

sebaiknya menggunakan data LIDAR yang memiliki kerapatan point cloud sebesar 6-9

point cloud per 1 m2. Oleh sebab itu walaupun pemodelan tiga dimensi yang dilakukan

sudah cukup menggambarkan keadaan kota Davao, namun sesungguhnya pemodelan

kota tiga dimensi yang dilakukan masih dapat lebih dimaksimalkan lagi jika

menggunakan data LIDAR dengan kerapatan point cloud yang lebih tinggi.

Pada penelitan ini dikarenakan banyaknya objek yang terdapat pada area pemodelan

sehingga diperlukan waktu yang lebih untuk pengolahan data dan analisis objek karena

harus dilakukan analisis satu persatu.

Data orthophoto yang digunakan memiliki resolusi pixel 0.5 m x 0.5 m sehingga

memiliki ketelitian yang kurang bagus. Pada saat dilakukan pembandingan atau

pemeriksaan antara objek model bangunan hasil pengolahan dengan objek yang sama

pada orthophoto, objek bangunan pada orthophoto kurang terlihat jelas pada saat

dilakukan perbesaran skala sehingga batas-batas atap bangunannya kurang terlihat jelas.

Akibatnya hasil pemeriksaan objek bangunan kurang meyakinkan. Pada data

orthophoto tersebut juga terdapat pergeseran relief pada beberapa objek bangunan yang

tersebar secara acak.

6.2 Analisis Pengolahan

Pada saat melakukan pengolahan data point cloud LIDAR menggunakan metode

klasifikasi manual, pengklasifikasian point cloud LIDAR ke dalam kelas-kelasnya

dilakukan manual secara perorangan sehingga hasil dari klasifikasinya akan bersifat

subjektif bergantung kepada pemahaman dari masing-masing individu terhadap

penginterpretasian point cloud LIDAR terhadap objek yang bersangkutan.

Pada saat melakukan pemodelan bangunan tiga dimensi dan pemeriksaan model

bangunan tiga dimensi terhadap objek bangunan di orthophoto juga dilakukan secara

manual perorangan, sehingga pemahaman masing-masing individu dalam

menginterpretasikan objek-objek bangunan juga dapat bersifat subjektif.

6.3 Analisis Hasil

Seperti terlihat pada Gambar 12, pada daerah bangunan yang rapat dan kecil atau

kumuh sepertinya model tiga dimensi dari bangunan hasil pemodelan masih belum

dapat dengan maksimal merepresentasikan objek yang sebenarnya dikarenakan kurang

maksimalnya data LIDAR dan orthophoto yang digunakan. Akibatnya terjadi

perbedaan bentuk antara kerangka atap model yang terbentuk dari point cloud LIDAR

dengan kerangka atap objek yang bersangkutan pada orthophoto.

Page 178: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

166

Gambar 12. Daerah kumuh atau bangunan rapat

7. KESIMPULAN

Pada Gambar 10 dapat dilihat adalah DTM hasil dari pengolahan data point cloud yang

terdapat pada kelas ground. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode

building extraction dengan menggunakan data LIDAR dan orthophoto dapat dilakukan

pemodelan bangunan tiga dimensi yang cukup merepresentasikan area penelitian seperti

terlihat pada Gambar 11(b), (c), (d) walaupun data yang digunakan masih kurang

maksimal.

Diharapkan dengan adanya pemodelan kota tiga dimensi ini dapat diaplikasikan di kota-

kota di Indonesia untuk memperbaiki sistem tata kota, pemodelan manajemen bencana,

rekonstruksi dan perencanaan bangunan, operasi militer, dll.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff Center for Remote Sensing dan

PT McElhanney atas segala bantuannya dalam menunjang kelancaran penelitian ini.

DAFTAR REFERENSI

Jadhav, A., Gambhir D. Use of LIDAR in Extraction of 3D City Models in Urban Planning.

Masaomi Okagawa M. 2002. Algorithm of Multiple Filter to Extract DSM from LiDAR Data.

Huber, M., Schickler, W., Hinz, S., Albert Baumgartner, A. 2002. Fusion of LIDAR Data and

Aerial Imagery for Automatic Reconstruction of Building Surfaces.

You, S., Hu, J., Neumann, U., Fox, P. Urban Site Modeling From LiDAR.

Charaniya, A.P. 3D Urban Reconstruction from Aerial LiDAR data.

Ackermann, F., 1999. Airborne Laser Scanning Present Status and Future Expectations. ISPRS

Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 54

Baltsavias, EP., 1999b, Airborne Laser Scanning : Basic Relations and Formulas, ISPRS

Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 54 (1999)

Page 179: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011

167

Hug, C., 1996. Combined use of laser scanner geometry and reflectance data to identify surface

objects. OEEPE-Workshop ‘3D city models’, Bonn, Germany, 9 – 11 October 1996.

Jaafar, J., Priestnall, G., Mather, P.M. and Vieira, C.A., 1999a. Construction of DEM from

LIDAR DSM using morphological filtering, conventional statistical approaches and

Artificial Neural Networks. RSS’99 - Earth Observation, From data to information,

Proceedings of the 25th Annual Conference and Exhibition of the Remote Sensing Society,

Cardiff, 8-10 September 1999, pp. 299-306. Remote Sensing Society, Nottingham.

Lohr, U., 1998. Laserscanning for DEM generation, In: GIS technologies and their

environmental applications, Brebbia C. A. and Pascolo P. (eds). Computational Mechanics

Publications, Southampton, pp. 243-249.

Wehr, A. and Lohr, U., 1999. Airborne laser scanning – an introduction and overview. ISPRS

Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 54, pp. 68-82.

Gruen, A., Kubler, O., and Agouris, P., (eds), 1995. Automatic extraction of man-made objects

from aerial and space images, Birkhauser Verlag, Basel.

Gruen, A., Baltsavias, E. P., and Henricsson, O., (eds), 1997. Automatic extraction of man-made

objects from aerial and space images (II), Birkhauser Verlag, Basel.

BIOGRAFI PENULIS

Muhammad Arief Vannessyardi

Penulis bernama lengkap Muhammad Arief Vannessyardi dan

biasa dipanggil Arief atau Ivan. Penulis lahir di Washington DC

pada tanggal 25 September 1989 dan merupakan anak pertama

dari lima bersaudara. Pendidikan terakhir penulis adalah Sarjana

Teknik Geodesi dan Geomatika lulusan Institut Teknologi

Bandung.

Page 180: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

168

BIOGRAFI

Ketut Wikantika

Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember

1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di

kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di

Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar insinyur

diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di Teknik

Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar

Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang

dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar Ph.D.

pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh dari

universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini

telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika,

ITB, dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB.

Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB dengan

bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah di bidang

penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional maupun

internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan dengan berbagai

lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika masih aktif dalam berbagai

organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi Indonesia, Masyarakat

Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor Indonesia.

Lissa Fajri Yayusman

Lissa lahir di Bekasi, Jawa Barat pada 18 November 1990. Anak kedua

dari tiga bersaudara ini menempuh pendidikan SD, SMP, dan SMA di

Kota Bekasi. Kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Institut

Teknologi Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Teknik dalam

bidang Teknik Geodesi dan Geomatika pada tahun 2011. Saat ini Lissa

masih aktif berkarya dalam bidang penginderaan jauh di Pusat

Penginderaan Jauh ITB.

Page 181: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Edisi-1.pdf

169