Asuhan Keperawatan Lansia dengan Reumatoid Artritis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I IPENDAHULUAN......................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN TEORI....................................................................... 2
2.1 TINJAUAN TEORITIS MEDIS....................................... 2
2.1.1 Definisi................................................................................... 2
2.1.2 Etiologi................................................................................... 2
2.1.3 Patofisiologi............................................................................ 3
2.1.4 Manifestasi Klinis................................................................... 5
2.1.5 Komplikasi.............................................................................. 6
2.1.6 Kriteria Diagnostik................................................................. 6
2.1.7 Penatalaksanaan...................................................................... 7
2.2.... TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN.................... 8
2.2.1 Pengkajian.............................................................................. 8
2.2.2 Diagnosa/Intervensi................................................................ 10
BAB 3 Kesimpulan dan Saran.................................................................... 19
3.1 Kesimpulan............................................................................... 19
3.2 Saran......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin
meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua
organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula pada semua system
musculoskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa
golongan reumatik. Salah satu golongan penyakit reumatik yang sering menyertai usia lanjut
yang menimbulkan gangguan musculoskeletal terutama adalah atritis rheumatoid. Kejadian
penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia manusia.
Reumatik dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot
pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Arthritis rheumatoid
memang lebih sering dialami oleh lansia, untuk itu perlu perawatan dan perhatian khusus bagi
lansia dengan arthritis rheumatoid terutama dalam keluarga.
Asuhan keperawatan harus didasarkan pada kepercayaan bahwa pemeliharaan mobilitas
merupakan hal yang kritis untuk kesehatan, kesejahteraan dan kualitas hidup. Perawat juga
memainkan suatu peran penting dalam mengenali dan mengajarkan kepada orang lain tentang
kerentanan lansia karena perpaduan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan
usia dan kemungkinan adanya faktor iatrogenic yang terjadi pada lansia yang dirawat di rumah
sakit kerena gangguan mobilitas mereka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 TINJAUAN TEORITIS MEDIS
2.1.1 Definisi
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua,
itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid
arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki)
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.
Artritis rheumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui
penyebabnya, dikarakteristikkan oleh kerusakan dan proliferasi membrane synovial yang
menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas.
AR adalah suatu penyakit kronis, seistemik, yang secara khas berkembang perlahan-lahan
dan ditandai oleh adanya radang yang sering kambuh pada sendi-sendi diartrodial dan struktur
yang berhubungan. AR sering disertai dengan nodul-nodul rheumatoid, arthritis, neuropati,
skleritis, perikarditis, limfadenopati, dan splenomegali. AR ditandai oleh periode-periode remisi
dan bertambah parahnya penyakit.
2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor
predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi
virus.
Penyebab utama kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori yang dikemukakan
mengenai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus
2. Endokrin
3. Autoimun
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta faktor pemicu lainnya.
Pada saat ini, artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi.
Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena
virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen
dari tulang rawan sendi penderita.
2.1.3 Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama terjadi
dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-
enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan
erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak
sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama
dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang
cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus
(Long, 1996).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Pada lansia, AR dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok.
ü Kelompok 1 adalah RA klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan tangan sebagian besar terlibat.
Terdapat faktor rheumatoid, dan nodula-nodula rheumatoid sering terjadi. Penyakit dalam
kelompok ini dapat mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.
ü Kelompok 2 termasuk klien yang memenuhi kriteria dari American Rheumatologic Association
untuk AR karena mereka mempunyai radang sinovitis yang terus-menerus dan simetris, sering
melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.
ü Kelompok 3, sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu, dan penggul.
Awitannya mendadak, sering ditandai dengan kekakuan pada pagi hari. Pergelangan tangan
pasien sering mengalami hal ini, dengan adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan
genggaman, dan sindrom carpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang dapat
sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan menggunakan prednisone dosis
rendah atau agens antiinflamasi dan memiliki prognosis yang baik.
Jika tidak diistirahatkan, AR akan berkembang menjadi empat tahap.
1. Terapat radang sendi dengan pembengkakan membrane synovial dan kelebihan produksi cairan
synovial. Tidak ada perubahan yang bersifat merusak terlihat pada radiografi. Bukti osteoporosis
mungkin ada.
2. Secara radiologis, keruakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat. Klien mungkin
mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada deformitas sendi.
3. Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga mengurangi ruang gerak sendi.
Ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan
deformitas. Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
4. Ketika jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat mengakibatkan terjadinya
imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang meluas dan luka pada jaringan lunak sepewrti
nodula-nodula mungkin terjadi.
2.1.5 Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi
faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan
antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
2.1.6 Kriteria Diagnostik
Diagnosis arthritis reumatoid tidak bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasar
pada evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala.
Kriteria diagnostik adalah sebagai berikut:
1. Kekakuan pagi hari (sekurangnya 1 jam)
2. Arthritis pada tiga atau lebih sendi
3. Arthritis sendi-sendi jari-jari tangan
4. Arthritis yang simetris
5. Nodula reumatoid dan Faktor reumatoid dalam serum
6. Perubahan-perubahan radiologik (erosi atau dekalsifikasi tulang)
Diagnosis artritis reumatoid dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari tujuh
kriteria ini terpenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung
sekurang-kurangnya 6 minggu.
2.1.7 Penatalaksanaan
Penanganan medis bergantung pada tahap penyakit ketika diagnosis dibuat dan termasuk
dalam kelompok mana yang sesuai dengan kondisi tersebut. Untuk menghilangkan nyeri dengan
menggunakan agens antiinflamasi, obat yang dapat dipilih adalah aspirin. Namun, efek
antiinflamasi dari aspirin tidak terlihat pada dosis kurang dari 12 tablet per hari, yang dapat
menyebabkan gejala system gastrointestinal dan system saraf pusat. Obat anti-inflamasi non
steroid sangat bermanfaat, tetapi dianjurkan untuk menggunakan dosis yang direkomendasikan
oleh pabrik dan pemantauan efek samping secara hati-hati perlu dilakukan.
Terapi kortikosteroid yang di injeksikan melalui sendi mungkin di gunakan untuk infeksi
di dalam satu atau dua sendi. Injeksi secara cepat dihubungkan dengan nekrosis dan penurunan
kekuatan tulang. Biasanya, injeksi yang diberikan ke dalam sendi apapun tidak boleh diulangi
lebih dari tiga kali. Rasa nyeri dan pembengkakan umumnya hilang untuk waktu 1 sampai 6
minggu.
Penatalaksanaan keperawatan menekankan pemahaman klien tentang sifat alami AR kronis
dan kelompok serta tahap-tahap yang berbeda untuk memantau perkembangan penyakit. Klien
harus ingat bahwa walaupun pengobatan mungkin mengurangi radang dan nyeri sendi,mereka
harus pula mempertahankan pergerakan dan kekuatan untuk mencegah deformitas sendi. Suatu
program aktivitas dan istirahat yang seimbang sangat penting untuk mencegah peningkatan
tekanan pada sendi.
2.2 TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN
2.2.1 Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung padwa keparahan dan keterlibatan organ-organ
lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau
remisi dan keberadaaan bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya.
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala
Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres pada sendi; kekakuan
pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris.
Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
Tanda
§ Malaise
Keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit, kontraktor/ kelaianan pada sendi.
2. Kardiovaskuler
Gejala
Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten, sianosis, kemudian
kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
3. Integritas ego
Gejala
§ Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan, ketidakmampuan,
§ Faktor-faktor hubungan. Keputusan dan ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan )
§ Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya ketergantungan pada orang
lain).
4. Makanan/ cairan
Gejala
§ Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat: mual, anoreksia
§ Kesulitan untuk mengunyah
Tanda
Penurunan berat badan, Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
Gejala
Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi.
6. Neurosensori
Gejala
Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
7. Nyeri/ kenyamanan
Gejala
Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan lunak pada sendi
).
8. Keamanan
Gejala
Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit, ulkus kaki. Kesulitan dalam ringan
dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan menetap Kekeringan pada
mata dan membran mukosa.
9. Interaksi sosial
Gejala
Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain; perubahan peran; isolasi.
2.2.2 Diagnosa
1. Nyeri (akut )
Berhubungan dengan
Agen pencedera : distensi jaringan oleh akumulasi cairan atau proses inflamasi destruksi
sendi.
Ditandai dengan
§ Keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, kelelahan
§ Berfokus pada diri/penyempitan focus
§ Perilaku distraksi/respon autonomic
§ Perilaku berhati-hati atau melindungi
Kriteria hasil/ kriteria evaluasi
§ Menunjukkan nyeri hilang/terkontrol
§ Terlihat rileks, dapat tidur atau beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan
§ Mengikuti program farmakologis yang diresepkan
§ Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program control/nyeri
Tindakan Keperawatan
Tindakan/intervensi Rasional
Mandiri
1. Kaji keluhan nyeri, kukalitas, lokasi,
intensitas (skala 0-10), dan waktu. Catat
faktor yang mempercepat dan tanda rasa
sakit nonverbal
Membantu menentukan kebutuhan
manajemen nyeri dan keefektifan
program
2. Berikan matras/kasur lembut dan bantal
kecil. Tinggikan linen tempat tidur sesuai
kebutuhan
Matras lembut dan bantal kecil
mencegah pemeliharaan kesejajaran
tubuh yang tepat, mengistirahatkan
sendi yang sakit. Peninggian linen
tempat tidur menurunkan tekanan
sendi yang terinflamasi/nyeri
3. Berikan posisi nyaman waktu
tidur/duduk di kursi. Tingkatkan istirahat
di tempat tidur sesuai indikasi
Penyakit berat/eksaserbasi, tirah
baring diperlukan untuk membatasi
nyeri atau cedera sendi
4. Pantau penggunaan bantal, karung
pasir, bebat, dan brace
Mengistirahatkan sendi yang sakit dan
mempertahankan posisi netral. Catatan
: penggunaan brace menurunkan
nyeri, dan mengurangi kerusakan
sendi.
5. Anjurkan mandi air hangat/pancuran
pada waktu bangun. Sediakan waslap
hangat untuk mengompres sendi yang
sakit beberapa kali.
Panas meningkatkan relaksasi otot dan
mobilitas, menurunkan rasa sakit dan
kekakuan di pagi hari. Sensitivitas
pada panas dapat hilang dan luka
dermal. Dapat sembuh
6. Berikan massase yang lembut Meningkatkan relaksasi atau
mengurangi ketegangan otot.
7. Gunakan teknik manajemen stress,
missal, relaksasi progresif dan distraksi,
sentuhan terapeutik, biofeedback,
visualisasi, pedoman imajinasi, hipnotis
diri dan pengendalian napas.
Meningkatkan relaksasi, memberikan
rasa control, dan meningkatkan
kemampuan koping.
8. Libatkan dalam aktivitas hiburan yang
sesuai situasi individu
Memfokuskan kembali
perhatian,memberikan stimulasi,
meningkatkan rasa percaya diri dan
perasaan sehat.
Kolaborasi
9. Berikan obat sesuai petunjuk
Asetilsalisilat (Aspirin)
NSAID lainnya ; ibuprofen,
naproksen, piroksikam, fenoprefen
D-penisilamin ( cuprimine )
Antasida
Produk kodein
ASA bekerja antiinflamasi dan efek
analgesic ringan mengurangi kekakuan
dan meningkatkan mobilitas.
Digunakan bila tidak ada efek
terhadap aspirin
Mengontrol efek sistemik rematoid
arthritis jika terapi lainnya tidak
berhasil
Diberikan dengan agen NSAID untuk
meminimalkan iritasi atau
ketidaknyaman lambung.
Narkotik umumnya kontraindikasi
karena sifat kronis dari kondisi.
10. Bantu dengan terapi fisik, missal sarung
tangan parafin
Member dukungan panas untuk sendi
yang sakit
11. Siapkan intervensi operasi
( sinovektomi )
Penangkatan sinovium yang meradang
mengurangi nyeri dan membatasi
progresif perubahan degenerative.
2. Kerusakan mobilitas fisik
Berhubungan dengan
§ Deformitas skeletal
§ Nyeri, ketidaknyamanan
§ Intoleransi terhadap aktivitas, penurunan kekuatan otot.
Ditandai dengan
§ Keengganan untuk mencoba bergerak atau ketidakmampuan untuk bergerak dalam lingkungan
fisik
§ Membatasi rentang gerak, ketidakseimbangan koordinasi, penurunan kekuatan otot/kontroldan
massa (tahap lanjut).
Kriteria hasil/kriteria evaluasi
§ Mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur
§ Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/atau kompensasi bagian tubuh
§ Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
Tindakan Keperawatan
Tindakan/intervensi Rasional
Mandiri
1. Evaluasi pemantauan tingkat
inflamasi/rasa sakit pada sendi
Tingkat aktivitas atau latihan
tergantung dari perkembangan proses
inflamasi
2. Pertahankan tirah baring.duduk. jadwal
aktivitas untuk memberikan periode
istirahat terus-menerus dan tidur malam
hari
Istirahat sistemik dianjurkan selama
eksaserbasi akut dan seluruh fase
penyakit untuk mencegah kelelahan,
mempertahankan kekuatan.
3. Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan
resistif dan isometrik
Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan
otot dan stamina
4. Ubah posisi dengan sering Menghilangkan tekanan jaringan dan
meningkatkan sirkulasi
5. Posisikan dengan bantal, kantung pasir,
bebat, dan brace
Meningkatkan stabilitas jaringan
(mengurangi risiko cedera),
mempertahankan posisi sendi yang
diperlukan dan kesejajaran tubuh,
mengurangi kontraktur.
6. Gunakan bantal kecil/tipis di bawah Mencegah fleksi leher
leher
7. Dorong klien memeprtahankan postur
tegak dan duduk tinggi, berdiri, serta
berjalan
Memaksimalkan fungsi sendi,
mempertahankan mobilitas
8. Berikan lingkungan aman, misal
menaikkan kursi, menggunakan
pegangan tangga pada bak/pancuran dan
toilet, penggunaan alat bantu mobilitas
atau kursi roda
Menghindari cedera akibat
kecelakaan/jatuh
Kolaborasi
9. Konsul dengan ahli terapi fisik atau
okupasi dan spesialis vokasional
Memformulasikan program latihan
berdasarkan kebutuhan individual
dang mengindentifikasi bantuan
mobilitas.
10. Berikan matras busa atau pengubah
tekanan
Menurunkan tekanan pada jaringan
yang mudah pecah dan mengurangi
risko imobilitas dan dekubitus.
11. Berikan obat sesuai indikasi :
- Agen antireumatik, misal emas, natrium
tiomelat (myochrysin) atau auranofin
(ridaura)
- Steroid
Krisoterapi (garam emas)
menghasilkan remisi terus-menerus,
tetapi mengakibatkan inflamasi
rebound bila terjadi penghentian/efek
samping, mis pusing, penglihatan
kabur, syok anafilaksis.
Menekan inflamasi sistemik.
3. Gangguan Gambaran Diri
Berhubungan dengan
§ Perceptual kognitif
§ Psikososial
§ Perubahan kemampuan untuk melakukan tugas umum
§ Peningkatan penggunaan energy, ketidakseimbangan mobilitas
Ditandai dengan
§ Respon verbal terhadap perubahan struktur atau fungsi dari bagian tubuh yang sakit
§ Bicara negative tentang diri sendiri, focus pada kekuatan/fungsi masa lalu, dan penampilan
§ Perubahan gaya hidup/kemampuan fisik untuk melanjutkan peran, kehilangan pekerjaan, dan
ketergantungan pada orang terdekat
§ Perubahan padea keterlibatan social, rasa terisolasi
§ Perasaan tidak brdaya, putus asa
Kriteria hasil/kriteria evaluasi
§ Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit,
perubahan gaya hidup, dan kemungkinan keterbatasan
§ Menerima perubahan gaya tubuh dan mengintegrasikan ke dalam konsep diri
§ Menyusun tujuan/rencana realitas untuk masa depan
§ Mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat berfungsi dalam masyarakat.
Tindakan Keperawatan
Tindakan/intervensi Rasional
Mandiri
1. Dorong pengungkapan mengenai proses
penyakit dan harapan masa depan
Berikan kesempatan mengidentifikasi
rasa takut/kesalahan konsep dan
menghadapi secara langsung
2. Diskusikan persepsi klien mengenai
bagaimana keluarga menerima
keterbatasan
Isyarat verbal atau nonverbal keluarga
berpengaruh pada bagaimana klien
memandang dirinya
3. Bantu klien mengekspresikan perasaan
kehilangan
Untuk mendapatkan dukungan proses
berkabung yang adaptif
4. Perhatikan perilaku menarik diri,
penggunaan menyangkal/terlalu
memperhatikan tubuh
Menunjukkan emosional/metode
koping maladaptive sehingga
membutuhkan intervensi lebih
lanjut/dukungan psikologis.
5. Bantu klien mengidentifikasi perilaku
positif yang membantu koping
Membantu mempertahankan control
diri dan meningkatkan harga diri.
6. Ikutkan klien dalam merencanakan
perawatan dan membuat jadwal aktivitas
Meningkatkan perasaan kompetisi atau
harga diri, mendorong kemandirian,
dan partisipasi terapi.
7. Berikan bantuan positif Memungkinkan klien merasa senang
terhadap dirinya; menguatkan perilaku
positif;serta meningkatkan percaya diri
Kolaborasi
8. Rujuk pada konselling psikiatri Klien/keluarga membutuhkan
dukungan selama berhadapan dengan
proses jangka panjang
9. Berikan obat sesuai indikasi (missal
antiansietas)
Dibutuhkan saat munculnya depresi
hebat sampai klien dapat
menggunakan kemampuan koping
efektif.
4. Kurang Perawatan Diri
Berhubungan dengan
§ Kerusakan musculoskeletal, penurunan kekuatan, daya tahan, dan nyeri pada waktu bergerak
§ Depresi
§ Pembatasan aktivitas
Ditandai dengan
§ Ketidakmampuan mengatur aktivitas kehidupan sehari-hari (makan, mandi, berpakaian, dan
eliminasi).
Kriteria hasil/kriteria evaluasi
§ Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan
individual
§ Mendemonstrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan
diri
§ Mengidentifikasi sumber pribadi atau komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan perawatan
diri.
Tindakan Keperawatan
Tindakan/intervensi Rasional
Mandiri
1. Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4)
sebelum timbul penyakit
Melanjutkan aktivitas dengan
beradaptasi pada keterbatasan saat ini
2. Kaji respons emosional klien terhadap
merawat kemampuan merawat diri yang
menurun dan beri dukungan emosional.
Perubahan kemampuan merawat diri
dapat membangkitkan perasaan cemas
dan frustasi, dimana dapat
mengganggu kemampuan lebih lanjut
3. Pertahankan mobilitas, control terhadap
nyeri dan program latihan
Mendukung kemandirian fisik atau
emosional
4. Kaji hambatan terhadap partisipasi
dalam perawatan diri. Identifikasi
modifikasi lingkungan.
Meningkatkan kemandirian yang akan
meningkatkan harga diri
5. Beri dorongan agar berpartisipasi
dalam merawat diri. Aktivitas yang
terjadwal memungkinkan waktu untuk
merawat diri.
Partisipasi klien dalam merawat diri
meningkatkan harga diri dan
menurunkan perasaan ketergantungan.
6. Biarkan klien mengontrol lingkungan
sebanyak mungkin, bantu klien hanya
jika diminta.
Memberi kesempatan mengontrol
dapat meningkatkan harga diri dan
menurunkan perasaan ketergantungan.
7. Jelaskan berapa lama kemampuan
merawat diri yang menurun diharapkan
untuk bertahan, jika diketahui.
Dapat mengurangi ketakutan akan
ketergantungan jangka panjang atau
permanen.
Kolaborasi
8. Konsultasi dengan ahli terapi okupasi Menentukan alat bantu memenuhi
kebutuhan individu.
5. Kurang Pengetahuan (Kebutuhan Belajar), mengenai Kondisi, Prognosis, dan Pengobatan
Berhubungan dengan
§ Kurangnya pemajanan/mengingat
§ Kesalahan interpretasi informasi
Ditandai dengan
§ Pertanyaan atau permintaan informasi, pernyataan kesalahan konsep
§ Tidak dapat mengikuti instruksi atau terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Kriteria hasil/kriteria evaluasi
§ Menunjukkan pemahaman tentang kondisi/prognosis dan perawatan
§ Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya hidup yang konsisten
dengan mobilitas atau pembatasan aktivitas.
Tindakan Keperawatan
Tindakan/intervensi Rasional
Mandiri
1. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan
harapan masa depan
Memberikan pengetahuan dimana
klien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
2. Diskusikan kebiasaan klien dalam
penatalaksanaan proses sakit melalui diet,
obat, latihan dan istirahat.
Tujuan control penyakit adalah untuk
menekan inflamasi atau jaringan lain
untuk mempertahankan fungsi sendi
dan mencegah deformitas
3. Bantu dalam merencanakan jadwal
aktivitas terintegrasi yang realitas,
istirahat, perawatan pribadi, pemberian
obat, terapi fisik dan manajemen stress.
Memberikan struktur dan mengurangi
ansietas pada waktu menangani proses
penyakit kronis kompleks.
4. Tekankan pentingnya melanjutkan
manajemen farmakoterapeutik
Keuntungan dari terapi obat
tergantung pada ketepatan dosis,
missal aspirin diberikan secara regular
untuk mendukung kadar terapeutik
darah 18-25 mg.
5. Rekomendasikan penggunaan aspirin
bersalut atau salisilat nonasetil
Preparat bersalut dicerna dengan
makanan, meminimalkan iritasi gaster,
mengurangi risiko perdarahan.
6. Anjurkan mencerna obat dengan
makanan, susu, atau antasida pada
Membatasi iritasi gaster. Pengurangan
nyeri dapat meningkatkan tidur dan
sebelum tidur kadar darah serta mengurangi
kekakuan pada pagi hari.
7. Tinjau pentingnya diet yang seimbang
dengan makanan yang banyak
mengandung vitamin, protein, dan zat
besi.
Meningkatkan perasaan sehat dan
perbaikan atau regenerasi jaringan.
8. Dorong klien obesitas untuk
menurunkan berat badan dan berikan
informasi penurunan berat badan sesuai
kebutuhan
Penurunan berat badan mengurangi
tekanan pada sendi, terutama pinggul,
lutut, pergelangan kaki, dan telapak
kaki.
9. Berikan informasi mengenai alat bantu,
missal tongkat atau palang keamanan.
Mengurangi paksaan untuk
menggunakan sendi dan
memungkinkan klien ikut serta seecara
lebih nyaman dalam aktivitas yang
dibutuhkan.
10. Diskusikan teknik menghemat energy,
misal, duduk daripada berdiri untuk
mempersiapkan makanan dan mandi
Mencegah kepenatan, memberikan
kemudahan perawatan diri, dan
kemandirian.
11. Dorong mempertahankan posisi tubuh
yang benar pada saat istirahat dan waktu
melakukan aktivitas, misal, menjaga agar
sendi tetap meregang, tidak fleksi
Mekanika tubuh yang baik harus
menjadi bagian dari gaya hidup klien
untuk mengurangi tekanan sendi dan
nyeri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
RA adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kroni yang tidak diketahui penyebabnya,
dikarakteristikkan oelh kerusakan dan poriliferasi membrane synovial yang menyebabkan
kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas.
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang
jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang
progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon
sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas
penyakit ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.
3.2 Saran
Penyakit musculoskeletal bukan merupakan suatu konsekuensi penuaan yang tidak dapat
dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu proses penyakit spesifik, tidak hanay
sebagai akibat penuaan. Sebagai seorang perawat , untuk mengatasi terjadinya cedera sebagai
akibat efek perubahan postur tubuh sebagai seorang perawat kita harus dapat menjadi perawat
yang terpercaya untuk meningkatkan kesehatan merekan sendiri dan melakukan latihan yang
teratur, postur tubuh dan diet yang benar setiap hari dalam kehidupan mereka sendiri, kemudian
dalam merawat lansia yang mengalami masalah musculoskeletal kita harus dapat memahami
suatu pemahaman terkait masalah tersebut, agar asuhan keperawatan dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah,Lilik Ma’rifatul. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Garaha Ilmu. Yogyakarta. 2011
http://akhtyo.blogspot.com/2009/04/rheumatoid-artritis.html. Askep Muskuloskeletal. dipostkan Tyo di
07.56 PM ( Diakses tanggal 11 April 2012)
Kushariyadi. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika. Jakarta. 2010
Mubaraq, Chayatin, Santoso. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep Dan Aplikasi. Salemba Medika.
Jakarta. 2011
Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa; Nety Juniarti, Sari Kurnianingsih.
Editor; Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 2. EGC. Jakarta. 2006
Tamher, S. Noorkasiani. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Salemba
Medika. Jakarta. 2011
GANGGUAN MUSKULOSKELETAL PADA LANSIA
12:28 KTI kebidanan
PENDAHULUAN
Perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin meningkatnya usia. Perubahan
ini terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh.
Keadaan demikian itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang
ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya gangguan muskuloskeletal. Adanya gangguan
pada sistem muskuloskeletal dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat
menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Di
daerah urban, dilaporkan bahwa keluhan nyeri otot sendi-tulang (gangguan sistem
musculoskeletal) merupakan keluhan terbanyak pada usia lanjut.
Adapun sebab-sebab gangguan muskuloskeletal pada lansia dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Mekanik : penyakit sendi degeneratif (osteoarthritis), stenosis spinal
2. Metabolik : osteoporosis, myxedema, penyakit paget
3. Berkaitan dengan keganasan : dermatomyositis, neuromiopati
4. Radang : polymyalgia rheumatica, temporal (giant cell) arthritis, gout
5. Pengaruh obat
Dari sekian banyak jenis gangguan sistem muskuloskelatal, dalam pembahasan refarat ini akan
dibahas lebih lanjut beberapa yang paling sering terjadi pada lansia seperti osteoarthritis, arthritis
rheumatoid, arthritis gout, osteoporosis dan amiloidosis.
IV.2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sistem muskuloskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan berperan dalam pergerakan. Sistem
ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligament, bursa, dan jaringan – jaringan khusus
yang menghubungkan struktur tersebut.
A.Sendi
Sendi adalah pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan dengan berbagai
cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot.
Ada tiga tipe sendi, yaitu :
1. Sendi fibrosa (sinarthroidal), merupakan sendi yang tidak dapat bergerak.
2. Sendi kartilaginosa (amphiarthroidal), merupakan sendi yang sedikit bergerak.
3. Sendi sinovial (diarthroidal), merupakan sendi yang dapat bergerak dengan bebas.
A.1. Sendi fibrosa ( Sinarthroidal )
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa. Contohnya terdapat pada
sutura tulang-tulang tengkorak. Yang kedua disebut sindesmosis, dan terdiri dari suatu
membrane interosseus atau suatu ligament antara tulang. Hubungan ini memungkinkan sedikit
gerakan, tetapi bukan gerakan sejati. Contohnya ialah perlekatan tulang tibia dan fibula bagian
distal.
A.2. Sendi kartilaginosa ( amphiarthroidal )
Sendi kartilaginosa adalah sendi dimana ujung – ujung tulangnya dibungkus oleh rawan hialin
dan disokong oleh ligamen, sehingga hanya memungkinkan suatu gerakan yang terbatas. Ada
dua tipe sendi kartilaginosa.
Sinkondrosis adalah sendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang rawan hialin
Sendi-sendi kostokondral adalah contoh dari sinkondrosis. Simfisis adalah sendi yang tulang-
tulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago, dan selapis tipis tulang rawan hialin yang
menyelimuti permukaan sendi. Simfisis pubis dan sendi-sendi pada tulang punggung adalah
contoh-contohnya.
A.3. Sendi sinovial ( diarthroidal )
Sendi sinovial adalah sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi-sendi ini memiliki rongga
sendi dan permukaan rongga sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang terbentuk
dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium yang membentuk suatu
kantung yang melapisi seluruh sendi, dan membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi.
Sinovium tidak meluas melampaui permukaan sendi, tetapi terlipat sehingga sehingga
memungkinkan gerakan sendi secara penuh. Lapisan-lapisan bursa diseluruh persendian
membentuk sinovium. Periosteum tidak melewati kapsul.
Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi. Cairan
sinovial normalnya bening, tidak membeku dan tidak berwarna. Jumlah yang ditemukan pada
tiap-tiap sendi relatif kecil (1 sampai 3 ml). Hitung sel darah putih pada cairan ini normalnya
kurang dari 200 sel/ml dan terutama adalah sel-sel mononuklear. Asam hialuronidase adalah
senyawa yang bertanggung jawab atas viskositas cairan sinovial dan disintesis oleh sel-sel
pembungkus sinovial. Bagian cair dari cairan sinovial diperkirakan berasal dari transudat plasma.
Cairan sinovial juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi.
Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada sendi sinovial.
Tulang rawan ini memegang peranan penting dalam membagi beban tubuh. Rawan sendi
tersusun dari sedikit sel dan sebagian besar substansi dasar. Substansi dasar ini terdiri dari
kolagen tipe II dan proteoglikan yang berasal dari sel-sel tulang rawan. Proteoglikan yang
ditemukan pada tulang rawan sendi sangat hidrofilik sehingga memungkinkan tulang rawan
tersebut menerima beban yang berat.
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe, atau persarafan.
Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang membasahi tulang
rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah
cedera atau usia yang bertambah. Beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk
kolagen tipe I yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan
hidrofiliknya. Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya
untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Sendi dilumasi oleh cairan sinovial dan oleh perubahan-perubahan hidrostatik yang terjadi pada
cairan interstitial tulang rawan. Tekanan yang terjadi pada tulang rawan akan mengakibatkan
pergeseran cairan kebagian yang kurang mendapat tekanan. Sejalan dengan pergeseran sendi ke
depan, cairan yang bergerak ini juga bergeser ke depan mendahului beban. Cairan kemudian
akan bergerak kebelakang ke bagian tulang rawan ketika tekanan berkurang. Tulang rawan sendi
dan tulang-tulang yang membentuk sendi biasanya terpisah selama gerakan selaput cairan ini.
Selama terdapat cukup selaput atau cairan, tulang rawan tidak dapat aus meskipun dipakai terlalu
banyak.
Aliran darah ke sendi banyak yang menuju ke sinovium. Pembuluh darah mulai masuk melalui
tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat tebal di bagian sinovium yang
menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan di dalam plasma
berdifusi dengan mudah ke dalam ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat menonjol di
sinovium karena di dalam daerah tersebut banyak mengandung aliran darah, dan disamping itu
juga terdapat banyak sel mast dan sel lain dan zat kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk
merangsang dan memperkuat respons peradangan.
Saraf-saraf otonom dan sensorik tersebar luas pada ligamen, kapsul sendi, dan sinovium. Saraf-
saraf ini berfungsi untuk memberikan sensitivitas pada struktur-struktur ini terhadap posisi dan
pergerakan. Ujung-ujung saraf pada kapsul, ligamen, dan adventisia pembuluh darah sangat
sensitif terhadap peregangan dan perputaran. Nyeri yang timbul dari kapsul sendi atau sinovium
cenderung difus dan tidak terlokalisasi. Sendi dipersarafi oleh saraf-saraf perifer yang
menyeberangi sendi. Ini berarti nyeri yang berasal dari satu sendi mungkin dapat dirasakan pada
sendi yang lainnya, misalnya nyeri pada sendi panggul dapat dirasakan sebagai nyeri lutut.
B.Jaringan Penyambung
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah-daerah yang berdekatan terutama adalah
jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan substansi dasar. Dua macam sel yang
ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel yang tidak dibuat dan tetap berada pada
pada jaringan penyambung seperti pada sel mast, sel plasma, limfosit, monosit, dan leukosit
polimorfonuklear. Sel-sel ini memegang peranan penting pada reaksi-reaksi imunitas dan
peradangan yang terlihat pada penyakit-penyakit rheumatik. Jenis sel yang kedua dalam jaringan
penyambung ini adalah sel-sel yang tetap berada dalam jaringan, seperti kondrosit, fibroblas, dan
osteoblas. Sel-sel ini mensintesis berbagai macam serat dan proteoglikan dari substansi dasar dan
membuat tiap jenis jaringan penyambung memiliki susunan sel yang tersendiri.
Serat-serat yang didapatkan di dalam substansi dasar adalah kolagen dan elastin. Setidaknya
terdapat 11 bentuk kolagen yang dapat diklasifikasikan menurut rantai molekul, lokasi dan
fungsinya. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Enzim proteolitik ini membuat
molekul stabil berubah menjadi molekul tidak stabil pada suhu fisiologik dan selanjutnya
dihidrolisis oleh proses lain. Perubahan sintesis kolagen tulang rawan terjadi pada orang-orang
yang usianya makin lanjut. Peningkatan aktivitas kolagenase terlihat pada bentuk-bentuk
penyakit reumatik yang diperantarai oleh imunitas seperti pada arthritis reumatoid.
Serat-serat elastin memiliki sifat elastin yang penting. Serat ini didapat dalam ligamen, dinding
pembuluh darah besar dan kulit. Elastin dipecah-pecah oleh enzim yang disebut elastase.
Elastase dapat menjadi penting pada proses pembentukan arteriosklerosis dan emfisema. Ada
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perubahan dalam sistem kardiovaskuler karena penuaan,
dapat terjadi oleh karena peningkatan pemecahan serat elastin
.
Selain serat-serat, proteoglikan adalah zat penting yang ditemukan dalam substansi dasar.
Proteoglikan adalah molekul besar terbuat dari rantai polisakarida panjang yang melekat pada
pusat polipeptida. Proteoglikan pada tulang rawan sendi berfungsi sebagai bantalan pada sendi
sehingga sendi dapat menahan beban-beban fisik yang berat. Hubungan proteoglikan dan dengan
proses imunologi dengan proses peradangan adalah kompleks. Limfokin dapat menginduksi sel-
sel jaringan penyambung untuk memproduksi proteoglikan baru, menghambat produksi, atau
meningkatkan pemecahan. Proteoglikan dapat menjadi fokus aksi autoimun pada gangguan
seperti arthritis reumatoid. Pertambahan usia mengubah proteoglikan di dalam tulang rawan,
proteoglikan ini akan kurang melekat satu dengan lainnya dan berinteraksi dengan kolagen.
Perubahan fungsional dan struktural utama yang menjadi bagian dari proses penuaan normal
menyebabkan perubahan biokimia dari jaringan penyambung dan terjadi terutama pada serat dan
proteoglikan.
Evaluasi Cairan Sinovial
Tiap-tiap gangguan rheumatik dapat mempengaruhi perubahan cairan sinovial secara berbeda-
beda. Uji beku musin dilakukan dengan menambahkan asam asetat pada cairan sinovial. Zat ini
akan membentuk presipitasi karena berinteraksi dengan asam hialuronat. Uji ini akan
memberikan hasil yang semakin tidak akurat dengan semakin banyaknya cairan peradangan,
karena asam hialuronat telah dipecahkan oleh enzim-enzim lisosomal sehingga jumlahnya tidak
cukup lagi untuk membentuk presipitasi ketika ditetesi asam asetat. Kejernihan cairan sinovial
normal akan menghilang dengan peningkatan sel-sel dan protein pada keadaan patologik.
IV.3. OSTEOARTHRITIS
Osteoarthritis adalah suatu penyakit sendi degeneratif yang terutama terjadi pada orang yang
berusia lanjut dan ditandai oleh degenerasi kartilago artikularis, perubahan pada membran
sinovia serta hipertrofi tulang pada tepinya. Rasa nyeri dan kaku, khususnya setelah melakukan
aktivitas yang lama akan menyertai perubahan degeneratif tersebut.
A. Insidens, Etiologi dan Patologi
Osteoarthritis merupakan bentuk penyakit sendi yang paling sering ditemukan. Diperkirakan ⅓
dari orang berusia >35 tahun, menunjukkan bukti radiografik yang memperlihatkan penyakit
osteoarthritis dengan prevalensi yang terus meningkat sampai 80 tahun. Meskipun mayoritas
pasien, khususnya yang berusia muda, menderita penyakit ringan dan relatif asimptomatik,
osteoarthritis merupakan salah satu dari beberapa penyebab utama yang menimbulkan disabilitas
orang yang berusia > 65 tahun.
Osteoarthritis mungkin bukan satu penyakit melainkan beberapa penyakit yang semuanya
memperlihatkan gambaran klinis dan patologis yang serupa. Akan tetapi terdapat dua perubahan
morfologis utama, yaitu kerusakan fokal tulang rawan sendi yang progresif dan pembentukan
tulang baru pada dasar lesi tulang rawan dan tepi sendi yang dikenal sebagai osteofit. Penelitian
menunjukkan bahwa perubahan metabolisme tulang rawan sendi sudah timbul sejak awal proses
patologis osteoarthritis. Perubahan metabolisme tulang tersebut berupa peningkatan aktivitas
enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi yaitu kolagen dan
proteoglikan. Perusakan ini membuat kadar proteoglikan dan kolagen berkurang sehingga kadar
air tulang rawan sendi juga berkurang.
Hal tersebut diatas membuat tulang rawan sendi rentan terhadap beban biasa. Permukaan tulang
rawan sendi menjadi tidak homogen, terpecah-pecah dan timbul robekan-robekan. Dalam hal
inilah, diduga pembentukan tulang baru yaitu osteofit adalah merupakan mekanisme pertahanan
tubuh untuk memperbesar permukaan tulang dibagian inferior tulang rawan sendi yang telah
rusak tersebut. Dengan menambah luas permukaan tulang dibawahnya diharapkan distribusi
beban yang ditanggung persendian tersebut dapat merata.
Beberapa faktor turut terlibat dalam timbulnya osteoarthritis ini. Penambahan usia semata tidak
menyebabkan osteoarthritis, sekalipun perubahan selular atau matriks pada kartilago yang terjadi
bersamaan dengan penuaan kemungkinan menjadi predisposisi bagi lanjut usia untuk mengalami
osteoarthritis. Faktor-faktor lain yang diperkirakan menjadi predisposisi adalah obesitas, trauma,
kelainan endokrin (misalnya diabetes mellitus) dan kelainan primer persendian (misalnya
arthritis inflamatorik).
B.Keluhan dan Gejala
Gejala klinis osteoartritis bervariasi, bergantung pada sendi yang terkena, lama dan intensitas
penyakitnya, serta respons penderita terhadap penyakit yang dideritanya. Pada umumnya pasien
osteoartritis mengatakan bahwa keluhan-keluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang
secara perlahan-lahan.
Secara klinis, osteoartritis dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1. Subklinis.
Pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda klinis lainnya. Kelainan baru terbatas pada
tingkat seluler dan biokimiawi sendi.
2. Manifest.
Pada tingkat ini biasanya penderita datang ke dokter. Kerusakan rawan sendi bertambah luas
disertai reaksi peradangan.
3. Dekompensasi
Rawan sendi telah rusak sama sekali, mungkin terjadi deformitas dan kontraktur. Pada tahap ini
biasanya diperlukan tindakan bedah.
Keluhan-keluhan umum yang sering dirasakan penderita osteoartritis adalah sebagai berikut :
•Nyeri Sendi
Merupakan keluhan utama yang sering kali membawa pasien datang ke dokter.Nyeri biasanya
bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.Beberapa gerakan tertentu
menimbulkan rasa sakit yang berlebih dibanding gerakan lain. Pada osteoartritis terdapat
hambatan sendi yang biasanya bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan
bertambahnya rasa nyeri. Asal nyeri dapat dibedakan, yaitu :
- Peradangan
Nyeri yang berasal dari peradangan biasanya bertambah pada pagi hari atau setelah istirahat
beberapa saat dan berkurang setelah bergerak. Hal ini karena sinovitis sekunder, penurunan pH
jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi yang menimbulkan pembengkakan dan
peregangan simpai sendi. Semua ini menimbulkan rasa nyeri.
- Mekanik
Nyeri akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan akan berkurang pada waktu
istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan penyakit yang telah lanjut dimana rawan
sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya terlokalisasi hanya pada sendi yang terkena, tetapi dapat
juga menjalar
• Kaku Sendi
Merupakan keluhan pada hampir semua penyakit sendi dan osteoartritis yang tidak begitu berat.
Pada beberapa pasien, nyeri dan kaku sendi dapat timbul setelah istirahat beberapa saat misalnya
sehabis duduk lama atau bangun tidur. Berlawanan dengan penyakit inflamasi sendi seperti
artritis rheumatoid, dimana pada artritis rheumatoid kekakuan sendi pada pagi hari berlangsung
lebih dari 1 jam,maka pada osteoartritis kekakuan sendi jarang melebihi 30 menit.
•Pembengkakan Sendi
Merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan cairan dalam ruang sendi. Biasanya teraba
panas tanpa adanya kemerahan. Pada sendi yang terkena akan terlihat deformitas yang
disebabkan terbentuknya osteofit. Tanda-tanda adanya reaksi peradangan pada sendi (nyeri
tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada
osteoartritis karena adanya sinovitis.
•Perubahan Gaya Jalan
Salah satu gejala yang menyusahkan pada pasien osteoartritis adalah adanya perubahan gaya
jalan. Hampir pada semua pasien osteoartritis, pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggulnya
berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain
merupakan ancaman besar untuk kemandirian pasien lanjut usia.
•Gangguan Fungsi
Timbul karena ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi. Adanya kontraktur, kemungkinan
adanya osteofit, nyeri dan bengkak merupakan penyebab yang menimbulkan gangguan fungsi.
Pada osteoartritis tidak terdapat gejala-gejala sistemik seperti kelelahan, penurunan berat badan
atau demam.
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menyingkirkan penyakit sendi lain, karena tidak ada
satupun yang spesifik untuk osteoartritis. Pemeriksaan hematologis umumnya normal, jumlah
leukosit dan laju endap darah normal, kecuali jika disertai infeksi lain. Cairan sendi dapat
diambil dari sendi manapun yang bengkak dan tindakan ini dapat mengurangi rasa nyeri
penderita. Pada osreoartritis, cairan sendi akan meningkat jumlahnya, berwarna kuning
transparan, kental, terdapat gumpalan musin, jumlah leukosit kurang dari 2000/mm3 dengan
proporsi sel normal (25% PMN). Mungkin ditemukan kristal kalsium pirofosfat dan hidroksi-
apatit sebagai penyebab reaksi peradangan. Dapat juga ditemukan serpihan tulang rawan pada
tingkat lanjut penyakit.
Radiologis
Pemeriksaan radiologis membantu diagnosis osteoartritis, tetapi adanya kelainan radiologis tidak
terlalu berarti bahwa ini sebagai penyebab satu-satunya keluhan penderita. Kriteria radiologis
osteoartritis adalah sebagai berikut :
Osteofit pada tepi sendi atau tempat melekatnya ligamen
Adanya periartikuler ossicle terutama pada DIP dan PIP
Penyempitan celah sendi disertai sklerosis jaringan tulang subkondrial
Adanya kista dengan dinding yang sklerotik pada daerah subkondrial
Perubahan bentuk tulang, misal pada caput femur.
Kriteria diagnosis radiologis, yaitu :
1. Meragukan : bila ditemukan 1 dari 5 kriteria diatas
2. Osteoartritis ringan : bila ditemukan 2 dari 5 kriteria diatas
3. Osteoartritis moderate : bila ditemukan 3 dari 5 kriteria diatas
4. Osteoartritis berat : bila ditemukan 4 dari 5 kriteria diatas
D. Diagnosis
Diagnosis osteoartritis ditegakkan berdasarkan anannesis, pemeriksaan jasmani, radiologis, dan
bila perlu dengan pemeriksaan laboratorium tertentu. Diagnosis bandingnya terutama dengan
penyakit sendi yang sering ditemui dalam praktek sehari-hari, yaitu artritis gout dan artritis
rheumatoid.
E. Penatalaksanaan Osteoarthritis
Stadium awal osteoarthritis paling baik bila ditangani dengan tindakan konservatif, termasuk
pengobatan dengan obat-obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti preparat piroxicam
10mg 2x1 hari, preparat naproxen 250-500 mg 2x1 hari,tetapi harus mewaspadai efek yang
timbul di lambung dan reaksi alergi.Dapat juga dengan latihan-latihan fisioterapi atau tanpa
pengobatan sama sekali. Intervensi pembedahan merupakan tindakan yang terlambat setelah
terjadi perkembangan penyakit yang berarti.
Penggunaan injeksi sodium hyaluronate yang berfungsi sama seperti cairan sinovial pada rongga
sendi dapat juga digunakan. Dosis yang dipakai adalah 1 X 2 ml/minggu selama 5 minggu
berturut-turut.
Indikasi bedah dilakukan bila nyeri dan pengurangan fungsi masih ada setelah pemberian obat-
obat anti inlamasi non steroid, suntikan steroid ke dalam sendi dan penggunaan bidai kecil.
Osteoarthritis lanjut pada persendian perifer sering memerlukan pembedahan untuk meringankan
rasa nyeri dan memperbaiki fungsi sendi, misalnya tindakan menyatukan sendi atau arthroplasti
reseksi untuk menyumbat rongga sendi, osteotomi untuk menghasilkan kembali keseimbangan
berbagai gaya mekanis, atau artroplasti penggantian sendi secara total untuk membentuk kembali
permukaan artikulasi sendi.
Selain dari pengobatan medis seperti diatas, dapat juga disertai dengan penatalaksanaan lain
seperti sebagai berikut :
•Meyakinkan penderita bahwa penyakitnya tidak progresif karena biasanya
penderita takut sekali menjadi lumpuh atau cacat. Rencana pengobatan selanjutnya dijelaskan
dan disesuaikan dengan keadaan umum penderita, sendi-sendi yang terkena, keluhan dan sikap
hidup sehari-hari.
•Istirahat atau proteksi terhadap sendi yang terkena
•Koreksi semua faktor-faktor yang menimbulkan stress berlebihan pada rawan
sendi. Tindakan ini bukan saja akan mengurangi beban pada rawan sendi, tetapi juga
memperlambat proses degenerasi sehingga akan lebih memberi kesempatan proses regenerasi
berlangsung.
•Diet, selain untuk mengurangi berat badan, tidak ada bukti bahwa diet berperan
langsung terhadap pengobatan osteoartritis. Dengan menghilangkan kegemukan penderita
osteoartritis sendi penyokong berat badan maka akan mengurangi keluhan.
•Fisioterapi, terutama pemanasan dan latihan yang adekuat. Pemanasan badan
(moist health) lebih nyaman daripada pemanasan kering. Massage, penggunaannya sangat
terbatas karena hanya berefek pada otot yang melingkupi sendi, sedang sendinya sendiri tidak
dapat dicapai. Massage berguna untuk mengurangi nyeri karena spasme otot.
•Alat bantu, misalnya traksi atau pemakaian soft collar untuk spondilosis leher,
korset untuk spondilosis lumbal, tongkat untuk osteoartritis lutut atau pinggul.
Berdasarkan perkembangan penelitian tentang osteoartritis, untuk pengobatan terbaru
osteoartritis dapat dipakai kombinasi Chondroitin Sulfate (CS) dan Glucosamine Sulfate (GS).
Dengan kombinasi ini sangat efektif untuk menghilangkan nyeri pada osteoartritis juga nyeri
pada artritis rheumatoid.
Glucosamine adalah bentuk polisakarida terbuat dari kulit kerang yang merupakan bahan dasar
pembentuk tulang rawan sendi. Cara kerjanya menstimulasi fungsi dan kerja sendi sehingga
dapat terjadi regenerasi sel rawan sendi secara berkesinambungan. Zat tersebut disisipkan
melalui pergesekan sendi ke dalam rawan sendi untuk membentuk sel-sel rawan. Chondroitin
sulfat terbuat dari tulang rawan ikan hiu dan paus. Khasiatnya adalah antiinflamasi (peradangan)
dan penghilang rasa sakit. Zat itu juga bisa menetralisasi perusakan enzim dan meningkatkan
kualitas cairan sendi. Kombinasi preparat Glocosamine HCL 250 mg dengan Chondroitin
Sulphate 200 mg dengan dosis 3x1.
Obat-obatan golongan terbaru pada pengobatan osteoartritis:
Golongan cox-2 inhibitors berperan dalam menghambat enzim siklooksigenase yang berfungsi
mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin yang berperan dalam timbulnya inflamasi dan
nyeri sehingga mengurangi terjadinya perdarahan lambung dan gangguan pada ginjal.
Contoh obatnya : Celecoxib 100mg 2x1 hari, Valdecoxib 10-20mg 1x1 hari, tidak boleh
diberikan pada orang dengan alergi NSAID, asma.
IV.4. ARTHRITIS RHEUMATOID
Menurut definisi, artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi yang mengenai jaringan ikat
sendi, bersifat progresif, simetrik, dan sistemik serta cenderung menjadi kronik. Atau arthritis
reumatoid adalah kelainan sistemik dengan manifestasi utama pada persendian yang berkembang
secara perlahan-lahan dalam beberapa minggu.
A. Insidens, Etiologi dan Patogenesis
Jaringan sinovia menjadi hiperplastik dan mengalami infiltrasi oleh limfosit serta sel-sel plasma.
Sejumlah zat pengantar inflamasi, termasuk interleukin 1, prostaglandin, dan imunoglobulin
ditemukan dalam cairan sinovia.
B. Keluhan dan gejala
Sebagian besar pasien arthritis reumatoid yang berusia lanjut menderita penyakit tersebut sebagai
suatu proses yang tengah berlangsung dan sudah dimulai.Kalau arthritis reumatoid baru terjadi
ketika seseorang sudah berusia lanjut, onsetnya dapat timbul perlahan atau terjadi secara akut.
Pada kebanyakan pasien, keadaan artritis disertai dengan gejala konstitutional yang ringan atau
sedang.
Biasanya arthritis reumatoid terutama ditemukan pada persendian yang kecil pada tangan (yaitu
di artikulasio interfalangeal proksimal, metakarpofalangeal), kemudian kaki (pada artikulasio
metatarsofalangeal, interfalangeal) dan pergelangan tangan, baru kemudian penyakit ini
mengenai persendian yang besar (misalnya sendi siku, bahu, lutut). Kalau onsetnya terjadi secara
tiba-tiba selama waktu beberapa hari saja, pasien sering mengalami gejala malaise, anoreksia,
penurunan berat badan dan depresi. Gejala panas dan perspirasi malam hari kadang-kadang
dikemukakan. Pada akhirnya, arthritis reumatoid akan menjadi penyakit tambahan yang simetris
persendian seperti halnya arthritis reumatoid pada pasien yang berusia muda.
C. Hasil Laboratorium
Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis arthritis
reumatoid. Sekitar 85% penderita arthritis reumatoid mempunyai autoantibodi didalam serumnya
yang dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin
(IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgG. Titer yang tinggi, lebih besar dari 1:160, biasanya
dikaitkan dengan nodula reumatoid, penyakit yang berat, vaskulitis, dan prognosis yang buruk.
Faktor reumatoid adalah suatu indikator diagnosis yang membantu, tetapi uji untuk menemukan
faktor ini bukanlah suatu uji untuk menyingkirkan diagnosis reumatoid arthritis. Hasil yang
positif dapat juga menyatakan adanya penyakit jaringan penyambung seperti lupus eritematosus
sistemik, sklerosis sistemik progresif, dan dermatomiositis. Selain itu, sekitar 5% orang normal
memiliki faktor reumatoid yang positif dalam serumnya. Insidens ini meningkat dengan
bertambahnya usia. Sebanyak 20% orang normal yang berusia diatas 60 tahun dapat memiliki
faktor reumatoid dalam titer yang rendah.
Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik. Pada
arthritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti
bahwa laju endap darah dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit.
Arthritis reumatoid dapat menyebabkan anemia normositik normokromik melalui pengaruhnya
pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespons terhadap pengobatan anemia yang biasa dan
dapat membuat penderita cepat lelah. Seringkali juga terdapat anemia kekurangan besi sebagai
akibat pemberian obat untuk mengobati penyakit ini. Anemia semacam ini dapat berespons
terhadap pemberian besi.
Cairan sinovial normal bersifat jernih, berwarna kuning muda hitung sel darah putih kurang dari
200/mm3. Pada arthritis reumatoid cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan hitungan sel
darah putih meningkat mencapai 15.000 – 20.000/ mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak
jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah.
D. Kriteria Diagnostik
Diagnosis arthritis reumatoid tidak bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasar pada
evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala.
Kriteria diagnostik adalah sebagai berikut:
1. Kekakuan pagi hari (sekurangnya 1 jam)
2. Arthritis pada tiga atau lebih sendi
3. Arthritis sendi-sendi jari-jari tangan
4. Arthritis yang simetris
5. Nodula reumatoid dan Faktor reumatoid dalam serum
6. Perubahan-perubahan radiologik (erosi atau dekalsifikasi tulang)
Diagnosis artritis reumatoid dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari tujuh
kriteria ini terpenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung
sekurang-kurangnya 6 minggu.
E. Pengobatan
Terapi farmakologis yang utama untuk artritis reumatoid adalah penggunaan obat anti inflamasi
non steroid (AINS). Obat anti inflamasi non steroid umumnya diberikan kepada arthritis
reumatoid sejak masa dini penyakit ini dimaksudkan untuk mengatasi rasa nyeri sendi akibat
inflamasi. Keterbatasan dalam penggunaan AINS adalah toksisitasnya. Toksisitas AINS yang
paling sering dijumpai adalah efek sampingnya pada gastrointestinal, terutama jika AINS
digunakan bersama obat lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam keadaan stress. Usia juga
merupakan faktor resiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat AINS. Bagi
pasien yang sensitif dapat digunakan preparat AINS dalam bentuk supositoria, enteric coated.
Preparat dalam bentuk ini kurang berpengaruh dalam mukosa lambung dibandingkan dengan
preparat biasa. Pada pihak lain, walaupun AINS dalam bentuk ini seringkali dianggap kurang
menyebabkan timbulnya iritasi gastrointestinal akibat kontak langsung dengan mukosa
gastroduodenal, umumnya obat dalam bentuk ini tetap memiliki efek sistemik terutama menekan
sintesis prostaglandin sehingga obat ini juga harus digunakan secara hati-hati terutama pada
pasien yang telah memiliki gangguan gastoduodenal. Efek samping lain yang mungkin dijumpai
pada pengobatan AINS antara lain adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan
ginjal serta penekanan sistem hematopoetik.
Selain AINS pengobatan arthritis rematoid juga dilakukan dengan terapi fisik dan okupasional
yang harus dilakukan bersama-sama dengan exercise serta pemakaian peralatan penopang dan
mungkin pula cara-cara jasmaniah untuk meringankan rasa nyeri (misalnya kompres hangat atau
dingin pada tempat yang sakit). Meskipun istirahat perlu dianjurkan pada saat-saat kambuhnya
penyakit, immobilitas irreversibel dapat terjadi jika seorang pasien lanjut usia dibiarkan tirah
baring dalam waktu yang lama.
Jika pasien tidak memperlihatkan respon yang memuaskan terhadap pengobatan dan terapi fisik
dalam waktu 6 hingga 12 minggu, terapi pilihan kedua (second line therapy) harus segera
dimulai. Banyak pasien dengan inflamasi yang aktif pada persendian memberikan respon
terhadap terhadap preparat kortikosteroid sistemik (misalnya pemberian prednison selama 1
bulan yang dimulai dengan takaran 25 mg/hari dan kemudian diturunkan secara perlahan-lahan
dengan cara tappering-off menjadi 5 hingga 10 mg/hari). Efek jangka panjang (osteoporosis,
katarak, kesembuhan luka yang jelek, hiperglikemia, hipertensi dan peningkatan resiko infeksi)
harus seimbang dengan manfaat yang diberikan oleh pengobatan ini. Pemberian preparat steroid
intra artikular dapat membantu mengatasi inflamasi rheumatoid akut yang mengenai satu sendi.
IV.5. ARTHRITIS GOUT
Artritis gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi kristal asam urat pada
jaringan sekitar sendi (tofi). Gout juga merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok
gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia).
A. Insidens dan Patogenesis
Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung
pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat
proses penyakit lain atau pemakaian obat tertentu.
Masalah akan timbul bila terbentuk kristal-kristal dari monosodium urat monohidrat pada sendi-
sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk jarum ini mengakibatkan reaksi
peradangan yang bila berlanjut akan mengakibatkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan
gout.. Jika tidak diobati endapan kristal akan menyebabkan kerusakan hebat pada sendi dan
jaringan lunak
Pada keadaan normal kadar urat serum pada pria mulai meningkat setelah pubertas. Pada wanita
kadar urat tidak meningkat sampai setelah menopause karena estrogen meningkatkan ekskresi
asam urat melalui ginjal. Setelah menopause kadar urat serum meningkat seperti pada pria.
Gout jarang terjadi pada wanita. Sekitar 95% penderita gout adalah pria. Gout dapat ditemukan
di seluruh dunia, pada semua ras manusia. Ada prevalensi familial dalam penyakit gout yang
mengesankan suatu dasar genetik dari penyakit ini. Namun ada sejumlah faktor yang agaknya
mempengaruhi timbulnya penyakit ini, termasuk diet, berat badan, dan gaya hidup.
B. Gambaran Klinis
Terdapat empat tahap dari perjalanan klinis penyakit gout yang tidak diobati. Tahap pertama
adalah hiperurisemia asimtomatik. Dalam tahap ini penderita tidak menunjukkan gejala-gejala
selain dari peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari penderita hiperurisemia asimptomatik
yang menjadi serangan gout akut.
Tahap kedua adalah arthritis gout akut. Pada tahap ini terjadi pembengkakan mendadak dan nyeri
yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki dan metatarsofalangeal. Arthritis bersifat
monoartikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan
peningkatan jumlah sel darah putih. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-
obatan, alkohol, atau stress emosional. Tahap ini biasanya mendorong pasien untuk mencari
pengobatan segera. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari-jari tangan, lutut, mata
kaki, pergelangan tangan, dan siku. Serangan gout akut biasanya pulih tanpa pengobatan, tetapi
dapat memakan waktu 10 sampai 14 hari.
Perkembangan dari serangan akut gout umumnya mengikuti serangkaian peristiwa sebagai
berikut. Mula-mula terjadi hipersaturasi dari urat plasma dan cairan tubuh. Selanjutnya diikuti
oleh penimbunan di dalam dan sekeliling sendi-sendi. Mekanisme terjadinya kristalisasi urat
setelah keluar dari serum masih belum jelas dimengerti. Serangan gout seringkali terjadi sesudah
trauma lokal atau ruptura dari tofi (timbunan natrium urat), yang mengakibatkan peningkatan
cepat dari konsentrasi asam urat lokal. Tubuh mungkin tidak dapat mengatasi peningkatan ini
dengan baik, sehingga terjadi pengendapan asam urat di luar serum. Kristalisasi dan penimbunan
asam urat akan memicu serangan gout. Kristal-kristal asam urat memicu respons fagositik oleh
leukosit, sehingga leukosit memakan kristal-kristal urat dan memicu mekanisme respons
peradangan lainnya. Respons peradangan ini dapat dipengaruhi oleh lokasi dan banyaknya
timbunan kristal asam urat. Reaksi peradangan dapat meluas dan bertambah sendiri, akibat dari
penambahan timbunan kristal dari serum
.
Pembengkakan tangan kiri pada penderita gout
Tahap ketiga setelah serangan gout akut adalah tahap interkritical. Tidak terdapat gejala-gejala
pada masa ini yang dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan orang
mengalami ulangan serangan gout dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati.
Tahap keempat adalah tahap gout kronik dimana timbunan urat terus bertambah dalam beberapa
tahun jika pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik akibat kristal-kristal asam urat
menyebabkan nyeri, sakit, dan kaku, juga pembesaran dan penonjolan dari sendi yang bengkak.
Serangan akut dari artritis gout dapat terjadi pada tahap ini. Tofi terbentuk pada masa gout
kronik akibat insolubilitas realtif dari urat. Bursa olekranon, tendon Achilles, permukaan
ekstensor lengan bawah, bursa infrapatelar, dan heliks telinga adalah tempat yang sering
dihinggapi tofi.
C. Diagnosis
Diagnosis artritis gout didasarkan pada kriteria American Rheumatism Association (ARA),
yaitu :
•Terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau tofus dan atau
•Bila ditemukan 6 dari 12 kriteria tersebut dibawah ini :
1. Inflamasi maksimum pada hari pertama
2. Serangan artritis akut lebih dari satu kali
3. artritis nonartikuler
4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan
5. Pembengkakan dan sakit pada sendi metatarsofalangeal
6. Serangan pada sendi metatarsofalangeal unilateral
7. Serangan pada sendi tarsal unilateral
8. Adanya fokus
9. Hiperurisemia
10. Pada foto sinar-x tampak pembengkakan sendi asimetris
11. Pada foto sinar-x tampak kista subkortikal tanpa erosi
12. kultur bakteri cairan sendi negatif
Diagnosa banding terutama dengan penyakit artritis monoartikular dan artritis yang timbulnya
akut, yaitu pseudogout, artritis piogenik, demam reumatik, artritis reumatoid, artritis virus dan
lain-lain. Dalam praktek sehari-hari ada dua jenis penyakit sendi yang harus dibedakan dengan
penyakit pirai sendi yaitu pseudogout dan artritis piogenik.
D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi artritis gout sebaiknya mengikuti pedoman terapi sebagai berikut :
•Hentikan serangan nyeri yang hebat pada serangan artritis gout akut
•Berikan kolkisin sebagai pencegahan terhadap serangan berulang dari artritis gout
•Evaluasi kadar asam urat dalam urine selama 24 jam setelah terapi
nonfarmakologi diberikan yaitu diet rendah purin dijalankan
•Penanggulangan untuk artritis gout kronis
Adapun pengobatan artritis gout dibagi atas:
1. Serangan akut
Cara yang efektif dan sederhana mengatasi serangan artritis gout yang akut adalah penggunaan
obat-obat anti inflamasi non-steroid. Kesembuhan akan terlihat dalam waktu 24 jam dan
gejalanya menghilang setelah 3 hari. Preparat colchicine IV dengan takaran 1 sampai 2 mg yang
diencerkan dengan larutan NaCl 0,9% dan disuntikkan selama waktu 20 menit merupakan
preparat yang sangat efektif untuk meredakan gejala yang akut. Preparat colchicine oral dengan
takaran 0,5 mg 2 X sehari hingga 4 X sehari selama 2 sampai 3 hari mungkin diperlukan untuk
kesembuhan total. Namun karena efek sampingnya yaitu timbulnya gejala toksisitas
gastrointestinal, pengobatan ini sudah mulai ditinggalkan.
Tindakan efektif lainnya yaitu dengan cara pungsi cairan sinovia dan penyuntikan deposteroid
dengan dosis 40 mg (triamsinolon). Tindakan ini efektif terutama pada pasien yang tidak
mendapat pengobatan per oral atau tidak dapat mentolerir pemakaian NSAID ataupun colchicine.
Preparat urikosurik dan alopurinol harus dihindari selama serangan akut. Insidensi terjadinya
artritis gout akut yang rekuren dapat diturunkan dengan pemberian colchicine 2 X 0,5 mg/hari
dalam jangka waktu lama.
2. Tindakan untuk menurunkan kadar asam urat serum
Tindakan untuk menurunkan kadar asam urat serum dapat diberikan preparat urikosurik yang
salah satunya adalah probenesid dengan dosis 500 mg tiap 12 jam dan dapat ditingkatkan hingga
mencapai 3 gram/hari untuk kadar sama urat serum sampai 6 mg/dl.. Alternatif lain dapat
diberikan sulfinpirazon yang relatif bekerja singkat dan harus diberikan tiap 6 jam dengan dosis
terbagi yang berkisar dari 300 – 1000 mg/hari.
Allopurinol merupakan preparat urikosurik yang sangat efektif bekerja dengan menyekat lintasan
metabolik yang memproduksi asam urat, khususnya dengan menghambat kerja enzim xantin
oksidase. Dosis sebesar 2 X 100 mg/hari dapat ditingkatkan hingga mencapai dosis 600 mg/hari
untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Pada penyakit gout dengan tofus yang berat, preparat
alopurinol dapat digunakan bersama-sama preparat urikosurik lainnya.
VI.6. AMILOIDOSIS
Amiloidosis adalah suatu sindroma klinis yang ditandai penumpukan protein amiloid yang
berbentuk fibrin pada jaringan tubuh. Penumpukan ini disebabkan oleh produksi yang berlebihan
dan pengeluaran yang menurun. Protein ini memiliki sifat biokimiawi yang unik. Ia dapat
tertumpuk secara setempat, tidak mempunyai arti klinis, atau secara klinis, atau secara nyata
mengenai sistem organ manapun dalam tubuh, yang menyebabkan perubahan patofisiologi yang
berat, atau penyakit ini dapat berupa pertengahan di antara keduanya. Bagi pasien dan
keluarganya, amiloidosis adalah suatu hal yang menakutkan, karena itu pencegahan dan
pengobatan yang efektif adalah penting.
A. Klasifikasi
Fibril amiloid dibentuk dari prekursor protein dengan berat molekul besar. Sebagai pengecualian
adalah tipe amiloid yang berkaitan dengan hemodialisis, di mana ß2 mikroglobulin dapat terlibat.
Bila amiloid sudah terbentuk, ia memiliki resistensi terhadap enzim proteolitik.Dalam bentuk
sekunder ( AA ), perubahan dari penyakit inflamasi atau stimulus imunologis kadang – kadang
diikuti dengan resorpsi komplet.
Amiloidosis terdapat dalam berbagai macam bentuk yang berbeda secara klinis dan biokimiawi,
yang dikelompokkan berdasarkan susunan fibrin yang dimilikinya. Fibril amiloid memiliki
komposisi kimiawi bervariasi dan berdasarkan hubungannya dengan sindroma klinisnya, ada tiga
jenis amiloid yang dominan. Amiloid AA, biasanya berhubungan dengan penyakit inflamasi
yang lama, amiloid AL yang berhubungan dengan produksi yang berlebihan dari
immunoglobulin rantai pendek, dan amiloid ß2 mikroglobulin yang berhubungan dengan
hemodialisis.
Selain tiga jenis amiloid tadi juga terdapat amiloid ASc yang biasa ditemukan pada pasien di atas
umur 60 tahun, dengan penyakit jantung. Juga terdapat amiloid tipe AF yang menyertai tipe
klinis dari amiloidosis familial
Tipe amiloidosis yang paling umum adalah :
1.. Amiloidosis primer, biasanya berhubungan dengan kelainan sel plasma,
multipel myeloma dan disebabkan amiloid tipe AL yang diproduksi berlebihan.
2. Amiloidosis sekunder, berhubungan dengan penyakit inflamasi kronis,seperti rheumatoid
arthritis, osteomyelitis, malaria, tuberkulosis, lepra, dan demam mediteranea familial, dan
disebabkan fibril amiloid tipe AA, yang disintesis berlebihan.
3. Amiloidosis familial (herediter), berhubungan dengan neuropathy, cardiomyopathy familial,
disebabkan protein transthyretin abnormal yang diproduksi di hepar.
4. Amiloidosis hemodialisis, yang berhubungan dengan hemodialisis ginjal, disebabkan ß2
mikroglobulin yang tidak dapat dikeluarkan ginjal pada waktu hemodialisis.
Selain itu juga terdapat penggolongan lain adalah penggolongan yang secara klinis:
1. Amiloidosis (tanpa bukti akan atau sedang timbulnya penyakit) primer
(tipe AL)
2. Amiloid yang berkaitan dengan multiple mieloma (juga tipe AL)
3. Amiloidosis sekunder atau yang reaktif (tipe AA) yang berkaitan dengan penyakit infeksi
kronis (misalnya osteomielitis, tuberkulosis, lepra) atau penyakit radang kronik (misalnya
arthritis rheumatoid)
4. Amiloidosis heredofamilial, jenis kelainan neuropati [tipe AF transtiretin (praalbumin)],
ginjal, kardiovaskuler, dan gejala lainnya, serta amiloidosis yang berkaitan dengan demam
Mediteranea yang bersifat familial (tipe AA)
5. Amiloidosis setempat (fokal, seringkali menyerupai tumor, penumpukan timbul pada organ
yang terisolasi, seringkali kelenjar endokrin, tanpa tanda terserang secara sistemik)
6. Amiloidosis yang berkaitan dengan usia, terutama pada jantung dan dalam otak
7. Amiloidosis yang berkaitan dengan hemodialisis yang telah berlangsung lama
B. Manifestasi klinis
Amiloid dapat menyerang persendian secara langsung dengan keberadaanya di membran sinovial
dan cairan sinovial atau di tulang rawan sendi. Arthritis amiloid dapat menyerupai beberapa
penyakit rheumatik karena timbul sebagai arthritis simetris pada persendian kecil dengan nodul,
kekakuan sendi pada pagi hari dan kelelahan.Banyak pasien dengan arthropati amiloid ternyata
menderita multiple mieloma. Cairan sinovial biasanya mengandung sedikit sel darah putih,
bekuan musin yang baik sampai tingkat menengah, predominansi sel mononuclear, dan tanpa
kristal. Penelitian dari contoh pembedahan dengan angka kejadian yang mencolok menunjukkan
terdapatnya amiloid di tulang rawan, kapsul dan sinovial pada osteoarthritis. Penyebaran amiloid
di otot dapat mengakibatkan pseudomiopati.
Amiloidosis pada endokardium atrial kiri
Gejala klinis lainnya tergantung dari sistem organ yang terkena. Bila mengenai paru – paru dapat
timbul dyspneu, penyakit paru interstitial. Akibat infiltrasi amiloid pada miokard dan endokard,
dapat timbul kardiomyopathi, aritmia, angina pektoris, gagal jantung kongestif. Pada ginjal dapat
timbul sindroma nefrotik dan gagal ginjal. Bila terdapat di otak, dapat timbul gejala demensia,
sehingga dianggap berperan dalam penyakit Alzheimer.
Amiloidosis primer pada ginjal
( Amiloidosis primer pada ginjal )
C. Diagnosis
Diagnosis spesifik amiloid bergantung kepada pengumpulan spesimen jaringan melalui biopsi
dan penemuan amilod melalui pewarnaan yang tepat. Bila seorang pasien menderita penyakit
kronik yang mengarah ke amiloid seperti arthritis rheumatoid, tuberkulosis, paraplegia, multiple
mieloma, bronkiektasis, atau lepra yang disertai hepatomegali, splenomegali, malabsorpsi,
gangguan jantung atau yang paling penting proteinuria, pikirkanlah kemungkinan amiloid
sekunder. Bila diagnosis sudah terarah lakukanlah aspirasi pada lemak abdomen atau biopsi
rectum. Semua jaringan yang terkumpul harus diberi pewarnaan congo red dan diperiksa
menggunakan mikroskop polarisasi untuk mencari sinar birefringence hijau.
Potongan melintang amiloid pada miokardium dengan pewarnaan Lugol
D.Prognosis dan Terapi
Bila amiloidosis timbul pada pasien dengan arthritis rheumatoid, hal ini jarang diketahui bila
arthritisnya kurang dari 2 tahun.Waktu rata – rata arthritis sebelum menjadi amiloidosis adalah
16 tahun.
Berbagai lembaga telah melaporkan amiloidosis yang menyertai infeksi yang dapat diterapi,
seperti osteomielitis, setidaknya remisi sebagian terjadi setelah penyakit primer diterapi.
Amiloidosis generalisata biasanya merupakan penyakit yang berjalan perlahan dan mematikan
dalam beberapa tahun, tetapi prognosisnya lebih baik daripada yang terdahulu. Angka rata – rata
lama hidup pada kelompok adalah 1- 4 tahun, tetapi pada beberapa pasien amiloid , dapat
mencapai 5 – 10 tahun bahkan lebih.
Tidak ada terapi spesifik untuk semua jenis amiloidosis. Terapi yang rasional adalah berupa :
1. Mengurangi rangsangan antigen yang menghasilkan amiloid.
2. Menghambat sintesis dan penumpukan fibril amiloid ekstraseluller.
3. Memacu lisis atau mobilisasi penumpukan amiloid yang telah ada.
Percobaan baru – baru ini menunjukkan bahwa ini pemberian prednisone (melphalan) atau
prednisone / melphalan / kolkisin dapat memperpanjang harapan hidup
IV.7. OSTEOPOROSIS
Osteoporosis adalah suatu keadaan berkurangnya massa tulang sedemikian hingga dapat
menimbulkan patah tulang dengan trauma yang minimal. Definisi menurut WHO adalah
penurunan massa tulang > 2,5 kali standard deviasi massa tulang rata-rata dari populasi orang
muda, kerusakan arsitektur tulang, dan meluasnya kerapuhan tulang sehingga menurunkan
kekuatan tulang dan dicapainya ambang patah tulang. Penurunan massa tulang ini terjadi sebagai
akibat dari berkurangnya pembentukan, meningkatnya perusakan (destruksi) atau kombinasi dari
keduanya. Penurunan masa tulang antara 1-2,5 standar deviasi dari rata-rata usia muda disebut
osteopenia. Karakteristik dari tulang yang mengalami osteoporosis:
•Massa tulang menurun, terjadi perubahan susunan dan komposisi pada tulang.
•Penurunan densitas tulang karena toleransi tekanan yang maksimal, elastisitas
dan absorpsi energi menurun.
•Perubahan pada mikroarsitektur yang mempengaruhi kerangka trabekulum
sehingga ketahanan terhadap tekanan menurun.
•Perubahan pada makroarsitektur, diantaranya cortex menipis, kanalis medularis
membesar, rasio korteks-medulla menurun
A.Klasifikasi
1. Osteoporosis Primer
Merupakan osteoporosis yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit lain, dibedakan atas :
Osteoporosis tipe I (pasca menopause) : kehilangan tulang terutama dibagian trabekula.
Osteoporosis tipe II (senilis): terutama kehilangan massa tulang daerah korteks.
Osteoporosis Idiopatik : terjadi pada usia muda dengan penyebab yang tak jelas.
2. Osteoporosis Sekunder
Terjadi akibat penyakit lain (hiperparatiroid, gagal ginjal kronis).
Tabel Perbedaan osteoporosis tipe pasca menopause dan tipe senilis
Tipe pasca menopause Tipe senilis
Usia terjadinya (tahun) 51-75 >70
Rasio jenis kelamin (W:P) 6:1 2:1
Hilangnya tulang Terutama trabekuler Trabekuler dan kortikal
Derajat hilang tulang Dengan percepatan Tanpa percepatan
Leta fraktur Vertebral dan radius Vertebral dan pinggul
Penyebab utama Berhubungan dengan menopause Berhubungan dengan proses menua.
B. Penyebab osteoporosis
Imobilisasi Defisiensi vitamin D Tirotoksikosis
Menopause Defisiensi vitamin C Gastrektomi
Berhubungan dengan usia Defisiensi florida Alkoholisme
Defisiensi kalsium Kelebihan steroid Merokok
Defisiesi protein Artritis reumatoid Penyakit hati lanjut
Hiperparatiroidisme Diabetes melitus Pengobatan dengan heparin
C. Gejala Klinik
Gejala osteoporosis pada lanjut usia (terutama osteoporosis primer)bervariasi. Sesuai dengan
dinyatakan kejadian osteoporosis adalah silent disease dimana tulang digerogoti massanya
sampai pada ambang patah tulang tanpa keluhan-keluhan klinis (tidak menunjukkan gejala).
Seringkali juga menunjukkan gejala klasik berupa nyeri punggung, nyeri pada lutut terutama
sehabis sholat atau duduk bersila. Nyeri seringkali dipicu oleh adanya stress fisik, akan hilang
dengan sendirinya setelah 4-6 minggu.penderita lain mungkin datang dengan gejala patah tulang,
turunnya tinggi badan, bungkuk punggung ( Dowager's hump). Perlu ditanyakan hal-hal yang
menunjang terjadinya osteoporosis, seperti : apakah tinggi badan menurun, bagaimana asupan
kalsiumnya, apakah ada aktivitas olahraga, diluar rumah (pajanan matahari yang cukup), dan
gaya hidup merokok atau alkohol berlebihan serta pemakaian obat-obatan yang menurunkan
pembentukan tulang. Untuk yang wanita perlu ditanya tentang haidnya apakah teratur atau tidak
dan barapa lama. Mereka yang termasuk rawan yaitu mereka yang punya tubuh kecil(kurang
gizi), pecandu rokok, kopi, alkohol, mereka yang mempunyai otot kurang terbentuk karena
kurang latihan, yang sudah mengalami oovektomi, yang mempunyai sindroma
malabsorbsi(penyerapan yang kurang baik), uremic bone disease(gangguan fungsi ginjal), selain
itu pemakaian obat-obat seperti Glucokortikoid, Anticonvulsant, Antasid pengikat fosfat, obat
GnRH-agonist therapy, Tetrasiklin,Isoniazid meningkatkan insiden terjadinya osteoporosis.
D. Pemeriksaan Penunjang
•Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak banyak membantu. Sering kali kadar
kalsium dan fosfat serum/urin normal.
•Pemeriksaan osteokalsin serum dan pirilodin cross link urin yang
menggambarkan aktivitas pembentukan dan pengrusakan tulang.
•Penilaian Bone Mass sangat berguna untuk mendiagnosis osteoporosis secara dini
dan secara cepat menilai hasil pengobatan.
•Ct scan
•Biopsi tulang walaupun memberikan gambaran yang baik tetapi tidak disukai
karena menggunakan cara invasif yang menggandung resiko.
E. Penatalaksanaan
Tindakan Dietetik : diet tinggi kalsium (sayur hijau, dan lain-lain). Hindari makanan tinggi
protein, tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak minum kopi
Terapi ini lebih bermanfaat sebagai tindakan pencegahan. Pada usia lanjut harus diberikan
bersama jenis terapi yang lain.
Olahraga
Yang terbaik adalah yang bersifat mendukung beban (weight bearing), misalnya jogging,
berjalan cepat, dan lain-lain. Lebih baik dilakukan dibawah sinar matahari pagi karena
membantu pembuatan vitamin D.
Obat-obatan
Yang membantu pembentukan tulang (steroid anabolik, fluorida)
Yang mengurangi perusakan tulang (estrogen, kalsium, difosfonat, kalsitonin).
•Terapi pengganti hormon berupa estrogen untuk osteoporosis pasca menopause.
Osteoporosis Pada Wanita
Pada wanita yang telah mengalami menopause karena berkurangnya hormon estrogen maka yang
terjadi adalah:
Osteoblast mempunyai reseptor estrogen sehingga berkurangnya kadar estrogen
menyebabkan berkurangnya fungsi osteoblast.
Estrogen menghambat fungsi osteoklas, sehingga berkurangnya kadar estrogen
menyebabkan peningkatan fungsi osteoklas.
Estrogen merangsang sekresi kalsitonin, kalsitonin melindungi kerangka terhadap
resorbsi kalsium yang berlebihan, berkurangnya kadar estrogen menyebabkan pergeseran
keseimbangan kalsium yang negatif.
Osteoporosis disadari setelah tulang mengalami kelainan seperti fraktur karena beban mininal
sekalipun.
Gejala-gejala yang sering didapatkan:
1. Suatu saat penderita merasa nyeri pada tulang belakang secara mendadak.
2. Mereka bisa menunjukan darimana asal nyeri, gerak apa yang membuat nyeri.
3. Nyeri akan terasa hebat bila dipakai duduk dan berdiri.
4. Nyeri akan kambuh jika bersin atau buang air besar.
5. Bila patah di daerah punggung penderita akan bongkok dan tinggi badan berkurang serta
perasan tidak enak disekitar tulang iga. Patah tulang ini sering terjadi pangkal paha, iga dan
pergelangan tangan,
Penanganan osteoporosis untuk mempertahankan masa tulang:
1. Pemberian diet yang baik pada pertumbuhan anak sehingga terbetuk tulang yang prima.
2. Mengatur makan dan kebiasaan gaya hidup.
3. Untuk wanita post menopause diberi diet tinggi kalsium dan preparat estrogen, vit D3 dan
ajuran agar melakukan latihan fisik.
IV.8. KESIMPULAN
Sejumlah gangguan muskuloskeletal dapat timbul pada lansia. Beberapa diantaranya merupakan
kelanjutan dari penderitaan sebelum usia lanjut dan sering menimbulkan kecacatan. Dengan
meningkatnya populasi lansia, meningkat pula prevalensinya pada lansia akibat proses
degeneratif. Dan tak jarang pula gangguan muskuloskeletal pada lansia menimbulkan
kemunduran fisik dan disabilitas yang sangat berpengaruh dalam hidup lansia. Diantara
banyaknya penyebab gangguan muskuloskeletal pada lansia, osteoarthritis merupakan salah satu
dari beberapa penyebab utama yang menimbulkan disabilitas orang yang berusia > 65 tahun.
Selain osteoartritis, gangguan lain pada muskuloskeletal yang juga sering dapat menimbulkan
disabilitas yaitu artritis rheumatoid, artritis gout, osteoporosis juga amiloidosis. Untuk
memulihkan penderita dari disabilitas akibat gangguan muskuloskeletal diperlukan tindakan
rehabilitasi yang merupakan gabungan pengobatan medis dan fisioterapi, bila perlu tindakan
pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
Asdie, Ahmad H. Harrison's Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4, Edisi Bahasa
Indonesia. Jakarta: EGC. 2000.
Dambro. Griffith's 5 – Minutes Clinical Consult. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 2001.
Hazzard, W.R. et al. Principles of Geriatrtrics Medicine and Gerontology, Second Edition. USA:
MC Graw Hill.1996.
Lonergen, Edmund T. A Lange Clinical Manual Geriatrics, First Edition. London: Prentice –
Hall International.1996.
Noer, HM S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.1996.
Price, S A and Wilson L M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Buku Kedua,
Edisi Kempat. Jakarta: EGC.1995.
R.Boedhi-Darmojo. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : FKUI. 1999.
Smith, A.N. Exton M.D. and P.W. Overstall MB; Guidelines an Medicine Geriatrics Volume 1;
University Park Press; Baltimore, 1979.
NN. UV Intensity May Affect Autoimmune Disease, available from
http://www.ehp.niehs.nih.gov/docs
http://www.google.com
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANJUT USIA (LANSIA)
17 April 2010 yha_princess Tinggalkan Komentar Go to comments
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam Lokakarya Nasional Keperawatan di Jakarta (1983) telah disepakati bahwa keperawatan
adalah “suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan
kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang didasarkan
pada pencapaian kebutuhan dasar manusia”. Dalam hal ini asuhan keperawatan yang diberikan
kepada pasien bersifat komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat, baik
dalam kondisi sehat dan sakit yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Sedangkan asuhan
yang diberikan berupa bantuian-bantuan kepada pasien karena adanya kelemahan fisik dan
mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan dan atau kemauan dalam
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri.
Pada makalah ini akan dibahas secara singkat asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia di
tatanan klinik (clinical area), dimanan pendekatan yang digunakan adalah proses keperawatan
yang meliputi pengkajian (assessment), merumuskan diagnosa keperawatan (Nursing diagnosis),
merencanakan tindakan keperawatan (intervention), melaksanakan tindakan keperawatan
(Implementation) dan melakukan evaluasi (Evaluation). Dibawah ini ada beberapa alasan
timbulnya perhatian kepada lanjut usia, yaitu :
1. Pensiunan dan masalah-masalahnya
2. Kematian mendadak karena penyakit jantung dan stroke
3. Meningkatnya jumlah lanjut usia
4. Pencemaran pelayanan kesehatan
5. Kewajiban Pemerintahterhadap orang cacat dan jompo
6. perkembangan ilmu
7. Program PBB
8. Konfrensi Internasional di WINA tahun 1983
9. Kurangnya jumlah tempat tidur di rumah sakit
10. Mahalnya obat-obatan
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. Kegiatan Asuhan Keperawatan Dasar Bagi Lansia
Kegiatan Asuhan Keperawatan Dasar Bagi Lansia menurut Depkes, dimaksudkan untuk
memberikan bantuan, bimbingan pengawasan, perlindungan dan pertolongan kepada lanjut usia
secara individu maupun kelompok, seperti di rumah / lingkungan keluarga, Panti Werda maupun
Puskesmas, yang diberikan oleh perawat. Untuk asuhan keperawatan yang masih dapat
dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan
latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan
keperawatan di rumah atau panti.
Adapun asuhan keperawatan dasar yang diberikan, disesuaikan pada kelompok lanjut usia,
apakah lanjut usia aktif atau pasif, antara lain:
1 Untuk lanjut usia yang masih aktif, asuhan keperawatan dapat berupa dukungan tentang
personal hygiene: kebersihan gigi dan mulut atau pembersihan gigi palsu: kebersihan diri
termasuk kepala, rambut, badan, kuku, mata serta telinga: kebersihan lingkungan seperti tempat
tidur dan ruangan : makanan yang sesuai, misalnya porsi kecil bergizi, bervariai dan mudah
dicerna, dan kesegaran jasmani.
2 Untuk lanjut usia yang mengalami pasif, yang tergantung pada orang lain. Hal yang perlu
diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama
seperti pada lanjut usia aktif, dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas.
Khususnya bagi yang lumpuh, perlu dicegah agar tidak terjadi dekubitus (lecet).
Lanjut usia mempunyai potensi besar untuk menjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan
dengan bertambahnya usia, antara lain:
1. Berkurangnya jaringan lemak subkutan
2. Berkurangnya jaringan kolagen dan elastisitas
3. Menurunnya efisiensi kolateral capital pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan
rapuh
4. Adanya kecenderungan lansia imobilisasi sehingga potensi terjadinya dekubitus.
1. B. Pendekatan Perawatan Lanjut Usia
1. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang dialami
klien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang
masih bias di capai dan dikembangkan, dan penyakit yang yang dapat dicegah atau ditekan
progresifitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian
yaitu:
1. Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa
bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan
sendiri.
2. Klien lanjut usia yang pasif atau yang tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya
mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien usia
lanjut ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan
untuk mempertahankan kesehatannya.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat
sumber infeksi dapat timbul bila keberhasilan kurang mendapat perhatian.
Disamping itu kemunduran kondisi fisik akibat proses penuaan, dapat mempengaruhi ketahanan
tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif
dapat diberikan bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan,
kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara
memakan obat, dan cara pindahdari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting
meskipun tidak selalu keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala yang ditemukan
memerlukan perawatan, tidak jarang pada klien lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam
keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat dan intensif, misalnya gangguan
serebrovaskuler mendadak, trauma, intoksikasi dan kejang-kejang, untuk itu perlu pengamatan
secermat mungkin.
Adapun komponen pendekatan fisik yang lebuh mendasar adalah memperhatikan atau membantu
para klien lanjut usia untuk bernafas dengan lancar, makan, minum, melakukan eliminasi, tidur,
menjaga sikap tubuh waktu berjalan, tidur, menjaga sikap, tubuh waktu berjalan, duduk,
merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian,
mempertahankan suhu badan melindungi kulit dan kecelakaan.Toleransi terhadap kakurangan
O2 sangat menurun pada klien lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus
disegah dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan melakukan gerak badan yang
berlebihan.
Seorang perawat harus mampu memotifasi para klien lanjut usia agar mau dan menerima
makanan yang disajikan. Kurangnya kemampuan mengunyah sering dapat menyebabkan
hilangnya nafsu makan. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menghidangkan makanan
agak lunak atau memakai gigi palsu. Waktu makan yang teratur, menu bervariasi dan bergizi,
makanan yang serasi dan suasana yang menyenangkan dapat menambah selera makan, bila ada
penyakit tertentu perawat harus mengatur makanan mereka sesuai dengan diet yang dianjurkan.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat
sumber infeksi bisa saja timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu,
kebersihan badan, tempat tidur, kebersihan rambut, kuku dan mulut atau gigi perlu mendapat
perhatian perawatan karena semua itu akan mempengaruhi kesehatan klien lanjut usia.
Perawat perlu mengadakan pemeriksaan kesehatan, hal ini harus dilakukan kepada klien lanjut
usia yang diduga menderita penyakit tertentu atau secara berkala bila memperlihatkan kelainan,
misalnya: batuk, pilek, dsb. Perawat perlu memberikan penjelasan dan penyuluhan kesehatan,
jika ada keluhan insomnia, harus dicari penyebabnya, kemudian mengkomunikasikan dengan
mereka tentang cara pemecahannya. Perawat harus mendekatkan diri dengan klien lanjut usia
membimbing dengan sabar dan ramah, sambil bertanya apa keluhan yang dirasakan, bagaimana
tentang tidur, makan, apakah obat sudah dimminum, apakah mereka bisa melaksanakan ibadah
dsb. Sentuhan (misalnya genggaman tangan) terkadang sangat berarti buat mereka.
1. Pendekatan psikis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien
lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter , interpreter terhadap segala sesuatu yang
asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat
hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang
cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas.
Perawat harus selalu memegang prinsip ” Tripple”, yaitu sabar, simpatik dan service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih sayang dari lingkungan,
termasuk perawat yang memberikan perawatan.. Untuk itu perawat harus selalu menciptakan
suasana yang aman , tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam batas
kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam memecahkan dan
mengurangi rasa putus asa , rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan
fisik, dan kelainan yang dideritanya.
Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena bersama dengan semakin
lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat
untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan, peningkatan
kewaspadaan , perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang,
dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan
menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan . Harus diingat
kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat
bila melakukannya secara perlahan –lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental
mereka kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah
beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia.
1. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam
pendekatan social. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien usia
berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu pegangan
bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang
lain
Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk
mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, nonton film, atau hiburan lain.
Tidak sedikit klien tidak tidur terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang
dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan.
Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi
dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat
tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang
secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Panti Werda.
1. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan
Tuhan atau agama yang dianutnua dalam kedaan sakit atau mendeteksikematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian, DR.
Tony styobuhi mengemukakn bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini
didasari oleh berbagai macam factor, seperti ketidak pastian akan pengalaman selanjutnya,
adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi bengan keluatga dan lingkungan sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda,
tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang
timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa
kalaupun kelurga tadi di tinggalkan , masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan
rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.
Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan seseorang merupakan
factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk
melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja,
melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
1. C. Tujuan Asuhan Keperawatan Lanjut Usia
Agar lanjut usia dapat melaukan kegiatan sehari –hari secara mandiri dengan:
1. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan dari mereka yang usianya telah lanjut
dengan jalan perawatan dan pencegahan.
2. Membantu mempertahankan serta membesarkan daya hidup atau semangat hidup klien
lanjut usia (life support)
3. menolong dan merawat klien lanjut usia yang menderita penyakit atau gangguan baik
kronis maupun akut.
4. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnosa
yang tepat dan dini, bila mereka menjumpai kelainan tertentu
5. Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para klien lanjut usia yang menderita suatu
penyakit, masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu
pertolongan (memelihara kemandirian secara maksimal).
1. D. Fokus Keperawatan Lanjut Usia
Keperawatan lanjut usia berfokus pada :
1. Peningkatan kesehatan (helth promotion)
2. Pencegahan penyakit (preventif)
3. Mengoptimalkan fungsi mental
4. Mengatasi gangguan kesehatan yang umum.
1. E. Diagnosa Keperawatan
1. Aspek fisik atau biologis
1. Dx : Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak
mampu dalam memasukkan, memasukan, mencerna, mengabsorbsi
makanan karena factor biologi.
NOC I : Status nutrisi
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien diharapkan mampu:
1. Asupan nutrisi tidak bermasalah
2. Asupan makanan dan cairan tidak bermasalah
3. Energy tdak bermasalah
4. Berat badan ideal
NIC I : Manajemen ketidakteraturan makan (eating disorder management)
1. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan untuk memuat perencanaan perawatan jika
sesuai.
2. Diskusikan dengan tim dan pasien untuk membuat target berat badann, jika berat badan
pasien tdak sesuia dengan usia dan bentuk tubuh.
3. Diskusikan dengan ahli gizi untuk menentukan asupan kalori setiap hari supaya mencapai
dan atau mempertahankan berat badan sesuai target.
4. Ajarkan dan kuatkan konsep nutrisi yang baik pada pasien
5. Kembangkan hubungan suportif dengna pasien
6. Dorong pasien untuk memonitor diri sendiri terhadap asupan makanan dan kenaikan atau
pemeliharaan berat badan
7. Gunakan teknik modifikasi tingkah laku untuk meningkatkan berat badan dan untuk
menimimalkan berat badan.
8. Berikan pujian atas peningkatan berat badan dan tingkah laku yang mendukung
peningkatan berat badan.
b Dx. Gangguan pola tidur berhubungan dengan insomnia dalam waktu lama, terbangun
lebih awal atau terlambat bangun dan penurunan kemampuan fungsi yng ditandai dengan
penuaan perubahan pola tidur dan cemas
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 jam pasien diharapkan dapat
memperbaiki pola tidurnya dengan criteria :
1 Mengatur jumlah jam tidurnya
2 Tidur secara rutin
3 Miningkatkan pola tidur
4 Meningkatkan kualitas tidur
5 Tidak ada gangguan tidur
NIC : Peningkatan Tidur
1 Tetapkan pola kegiatan dan tidur pasien
2 Monitor pola tidur pasien dan jumlah jam tidurnya
3 Jelaskan pentingnya tidur selama sakit dan stress fisik
4 Bantu pasien untuk menghilangkan situasi stress sebelum jam tidurnya
c Dx. Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan keterbatasan neuromuskular yang
ditandai dengan waktu yang diperlukan ke toilet melebihi waktu untuk menahan pengosongan
bladder dan tidak mampu mengontrol pengosongan.
NOC : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3×24 jam diharapkan pasien
mampu :
1 Kontinensia Urin
2 Merespon dengan cepat keinginan buang air kecil (BAK).
3 Mampu mencapai toilet dan mengeluarkan urin secara tepat waktu.
4 Mengosongkan bladde dengan lengkap.
5 Mampu memprediksi pengeluaran urin.
NIC : Perawatan Inkontinensia Urin
1 Monitor eliminasi urin
2 Bantu klien mengembangkan sensasi keinginan BAK.
3 Modifikasi baju dan lingkungan untuk memudahkan klien ke toilet.
4 Instruksikan pasien untuk mengonsumsi air minum sebanyak 1500 cc/hari.
d Dx. Gangguan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran atau kerusakan memori
sekunder
NOC : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2×24 jam pasien diharapkan dapat
meningkatkan daya ingat dengan criteria :
1 Mengingat dengan segera informasi yang tepat
2 Mengingat inormasi yang baru saja disampaikan
3 Mengingat informasi yang sudah lalu
NIC : Latihan Daya Ingat
1 Diskusi dengan pasien dan keluarga beberapa masalah ingatan
2 Rangsang ingatan dengan mengulang pemikiran pasien kemarin dengan cepat
3 Mengenangkan tentang pengalaman di masalalu dengan pasien
e Dx. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh/fungsi yang ditandai
dengan perubahan dalam mencapai kepuasan seksual.
TUJUAN
NOC : Fungsi Seksual
1 Mengekspresikan kenyamanan
2 Mengekspresikan kepercayaan diri
NIC : Konseling Seksual
1 Bantu pasien untuk mengekspresikan perubahan fungsi tubuh termasuk organ seksual
seiring dengan bertambahnya usia.
2 Diskusikan beberapa pilihan agar dicapai kenyamanan.
f Dx. Kelemahan mobilitas fisik b.d kerusakan musculoskeletal dan neuromuscular
Yang ditandai dengan :
1 Perubahan gaya berjalan
2 Gerak lambat
3 Gerak menyebabkan tremor
4 Usaha yang kuat untuk perubahan gerak
NOC : Level Mobilitas ( Mobility Level )
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat :
1 Memposisikan penampilan tubuh
2 Ambulasi : berjalan
3 Menggerakan otot
4 Menyambung gerakan/mengkolaborasikan gerakan
NIC : Latihan dengan Terapi Gerakan ( Exercise Therapy Ambulation )
1 Kosultasi kepada pemberi terapi fisik mengenai rencana gerakan yang sesuai dengan
kebutuhan
2 Dorong untuk bergerak secara bebas namun masih dalam batas yang aman
3 Gunakan alat bantu untuk bergerak, jika tidak kuat untuk berdiri (mudah goyah/tidak
kokoh)
g Dx. Kelelahan b.d kondisi fisik kurang
Yang ditandai dengan:
1 Peningkatan kebutuhan istirahat
2 Lelah
3 Penampilan menurun
NOC Activity Tolerance
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat:
1 Memonitor usaha bernapas dalam respon aktivitas
2 Melaporkan aktivitas harian
3 Memonitor ECG dalam batas normal
4 Memonitor warna kulit
NIC Energy Management
1 Monitor intake nutrisi untuk memastikan sumber energi yang adekuat
2 Tentukan keterbatasan fisik pasien
3 Tentukan penyebab kelelahan
4 Bantu pasien untuk jadwal istirahat
h Dx. Risiko kerusakan integritas kulit
NOC : Kontrol Risiko ( risk control )
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat :
1 Kontrol perubahan status kesehatan
2 Gunakan support system pribadi untuk mengontrol risiko
3 Mengenal perubahan status kesehatan
4 Monitor factor risiko yang berasal dari lingkungan
NIC : penjagaan terhadap kulit ( skin surveillance )
1 Monitor area kulit yang terlihat kemerahan dan adanya kerusakan
2 Monitor kulit yang sering mendapat tekanan dan gesekan
3 Monitor warna kulit
4 Monitor suhu kulit
5 Periksa pakaian, jika pakaian terlihat terlalu ketat
1. Dx. Kerusakan Memori b.d gangguan neurologis
Yang ditandai dengan :
1 Tidak mampu mengingat informasi factual
2 Tidak mampu mengingat kejadian yang baru saja terjadi atau masa lampau
3 Lupa dalam melaporkan atau menunjukkan pengalaman
4 Tidak mampu belajar atau menyimpan keterampilan atau informasi baru
NOC : Orientasi Kognitif
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat :
1 Mengenal diri sendiri
2 Mengenal orang atau hal penting
3 Mengenal tempatnya sekarang
4 Mengenal hari, bulan, dan tahun dengan benar
NIC : Pelatihan Memori ( Memory Training )
1 Stimulasi memory dengan mengulangi pembicaraan secara jelas di akhir pertemuan
dengan pasien.
2 Mengenang pengalaman masa lalu dengan pasien.
3 Menyediakan gambar untuk mengenal ingatannya kembali
4 Monitor perilaku pasien selama terapi
1. Aspek psikososial
1. Dx. Coping tidak efektif b.d percaya diri tidak adekuat dalam kemampuan koping,
dukungan social tidak adekuat yang dibentuk dari karakteristik atau hubungan.
NOC I : koping (coping)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien secara konsisten diharapkan
mampu:
1. Mengidentifikasi pola koping efektif
2. Mengedentifikasi pola koping yang tidak efektif
3. Melaporkan penurunan stress
4. Memverbalkan control perasaan
5. Memodifikasi gaya hidup yang dibutuhkan
6. Beradaptasi dengan perubahan perkembangan
7. Menggunakan dukungan social yang tersedia
8. Melaporkan peningkatan kenyamanan psikologis
NIC I : coping enhancement
1. Dorong aktifitas social dan komunitas
2. Dorong pasien untuk mengembangkan hubungan
3. Dorong berhubungan dengan seseorang yang memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama
4. Dukung pasein untuk menguunakan mekanisme pertahanan yang sesuai.
5. Kenalkan pasien kepada seseorang yang mempunyai latar belakang pengalaman yang
sama.
6. Dx. Isolasi social b.d perubhaan penampilan fisik, peubahan keadaan sejahtera,
perubahan status mental.
NOC I : Lingkungan keluarga : internal ( family environment: interna)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien secara konsisten diharapkan
mampu:
1. Berpatisipasi dalam aktifitas bersama
2. Berpatisipasi dala tradisi keluarga
3. Menerima kujungan dari teman dan anggota keluarga besar
4. Memberikan dukungan satu sama lain
5. Mengekspresikan perasaan dan masalah kepada yang lain.
6. Mendorong anggota keluarga untuk tidak ketergantungan
7. Berpatisipasi dalam rekreasi dan acara aktifitas komunitas
8. Memecahkan masalah
NIC I : Keterlibatan keluarga (Family involvement)
1. Mengidentifikasikan kemampuan anggota keluarga untuk terlibat dalam perawatan
pasien.
2. Menentukan sumber fisik, psikososial dan pendidikan pemberi pelayanan kesehatan yang
utama.
3. Mengidentifkasi deficit perawatan diri pasien
4. Menentukan tinggat ketergantungan pasien terhadap keluarganya yang sesuai dengan
umur atau penyakitnya.
5. Dx. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran,
perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
NOC :
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 2×24 jam pasien diharapkan akan bisa
memperbaiki konsep diri dengan criteria :
1. Mengidentifikasi pola koping terdahulu yang efektif dan pada saat ini tidak mungkin lagi
digunakan akibat penyakit dan penanganan (pemakaian alkohol dan obat-obatan;
penggunaan tenaga yang berlebihan)
2. Pasien dan keluarga mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan dan reaksinya
terhadap penyakit dan perubahan hidup yang diperlukan
3. Mencari konseling profesional, jika perlu, untuk menghadapi perubahan akibat
pnyakitnya
4. Melaporkan kepuasan dengan metode ekspresi seksual
NIC : Peningkatan harga diri
1. Kuatkan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien mengndalikan situasi
2. Menguatkan tenaga pribadi dalam mengenal dirinya
3. Bantu pasien untuk memeriksa kembali persepsi negative tentang dirinya
4. Dx. Cemas b.d perubahan dalam status peran, status kesehatan, pola interaksi , fungsi
peran, lingkungan, status ekonomi
Yang ditandai dengan:
1. Ekspresi yang mendalam dalam perubahan hidup
2. Mudah tersinggung
3. Gangguan tidur
NOC Anxiety Control
1. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat:
2. Memonitor intensitas cemas
3. Melaporkan tidur yang adekuat
4. Mengontrol respon cemas
5. Merencanakan strategi koping dalamsituasi stress
NIC Anxiety Reduction
1. Bantu pasien untuk menidentifikasi situasi percepatan cemas
2. Dampingi pasien untuk mempromosikan kenyamanan dan mengurangi ketakutan
3. Identifikasi ketika perubahan level cemas
4. Instuksikan pasien dalam teknik relaksasi
5. Dx. Resiko Kesendirian
NOC Family Coping
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat:
1. Mendemontrasikan fleksibelitas peran
2. Mengatur masalah
3. Menggunakan strategi penguranagn stress
4. Menghadapi masalah
NIC Family Support
1. Bantu pekembangan harapan yang realistis
2. Identifikasi alami dukungan spiritual bagi keluarga
3. Berikan kepercayaan dalam hubungan dengan keluarga
4. Dengarkan untuk berhubungan dengan keluarga, perasan dan pertanyaan
5. Dx. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
(ketidakseimbangan mobilitas) serta psikologis yang disebabkan penyakit atau terapi
NOC : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2x24jam pasien diharapkan
meningkatkan citra tubuhnya dengan criteria :
1. Merasa puas dengan penampilan tubuhnya
2. Merasa puas dengan fungsi anggota badannya
3. Mendiskripsikan bagian tubuh tambahan
NIC : Peningkatan Citra Tubuh
1. Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan karena penyakit atau pembedahan
2. Memutuskan apakah perubahan fisik yang baru saja diterima dapat masuk dalam citra
tubuh pasien
3. Memudahkan hubungan dengan individu lain yang mempunyai penyakit yang sama
4. Aspek spiritual
Dx : Distress spiritual b.d peubahan hidup, kematian atau sekarat diri atau orang lain, cemas,
mengasingkan diri, kesendirian atau pengasingan social, kurang sosiokultural.
NOC I : pengaharapan (hope)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien secara luas diharapkan
mampu:
1. Mengekspresikan orientasi masa depan yang positif
2. Mengekspresikan arti kehidupan
3. Mengekspresikan rasa optimis
4. Mengekspresikan perasaan untuk mengontrol diri sendiri
5. Mengekspresikan kepercayaan
6. Mengekspresikan rasa percaya pada diri sendiri dan orang lain
NIC I : penanaman harapan (hope instillation)
1. Pengkaji pasian atau keluarga untuk mengidentifikasi area pengharapan dalam hidup
2. Melibatkan pasien secara aktif dalam perawatan diri
3. Mengajarkan keluarga tentang aspek positif pengharapan
4. Memberikan kesempatan pasien atau keluarga terlibat dalam support group.
5. Mengembangkan mekanisme paran koping pasien
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. http://askep- askeb.cz.cc/ diakses tanggal 10 maret 2010.
Jhonson, Marion dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louise, Missouri :
Mosby, Inc.
McCloskey, Joanne C. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). St. Louise, Missouri :
Mosby, Inc.
NANDA. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2005-2006. Philadelphia : NANDA
International.
Lansia cenderung mengalami masalah kesehatan fisik maupun kesehatan jiwa karena proses
menua (aging). Proses menua adalah proses alami yang disertai penurunan kondisi fisik,
psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi. Terapi modalitas, selain terapi biomedis
konvensional, diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan jiwa pada lansia
(psikogeriatrik).
Terapi modalitas membantu individu menjadi lebih kompeten dan adaptif dalam praktik
keperawatan profesional sebagai aplikasi perawatan yang holistis. Perawat harus memahami
berbagai macam bentuk terapi modalitas sehingga dapat menentukan terapi yang cocok untuk
klien.
FITUR-FITUR BUKU
Tabel Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik
Contoh gambar Hasil Karya Terapi Seni
Ilustasi Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif
SASARAN PEMBACA
Akademisi, dosen dan mahasiswa, keperawatan khususnya program Keperawatan Profesional.
TENTANG PENULIS
Ns. Setyoadi, S. Kep., M. Kep., adalah staf pengajar di jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dan tergabung dalam Departemen Keperawatan
Komunitas dan Gerontologi. Menyelesaikan pendidikan Diploma di Akper Depkes RI Malang
pada 2000, Program Sarjana dan Ners di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang, dan Program Magister Keperawatan Komunitas di Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia pada 2010. Selain sebagai pengajar, juga aktif sebagai
pembicara dalam seminar regional atau keperawatan di bidang keperawatan komunitas dan
gerontik. Selain itu, juga tergabung dalam LSM yang bergerak di bidang penanganan penderita
HIV/AIDS.
Kusharyadi, S. Kep., Ns., adalah staf pengajar di Fakultas IlmuKesehatan pada jurusan Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang. Menyelesaikan Program Sarjana
Keperawatan pada 2005 dan Ners pada 2006 di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Airlangga Surabaya dengan peminatan Ilmu Keperawatan Gerontik dan Ilmu Keperawatan Jiwa.
Saat ini sedang menempuh Program Magister Keperawatan Gerontik di Universitas Airlangga
Surabaya. Selain sebagai penulis, juga aktif dalam penelitian dan kegiatan pengabdian
masyarakat terutama yang berhubungan dengan keperawatan gerontik dan jiwa. Hasil karya
publikasinya atara lain buku Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia dan beberapa naskah
h Artritis merupakan kondisi yang menyebabkan nyeri, peradangan dan pembengkakan pada
sendi dan tulang. Penyakit ini umum dijumpai pada lansia. Nyeri yang ditimbulkan oleh artritis
salah satunya dapat dikontrol dengan melakukan terapi latihan fisik secara terpadu. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi latihan fisik terhadap intensitas nyeri artritis pada
lansia.Jenis penelitian yang digunakan merupakan quasi ekperimental tanpa menggunakan teknik
acak. Jumlah sampel penelitian sebanyak 40 responden yang dibagi rata menjadi 20 sampel
eksperimen dan 20 sampel kontrol.Data analisis menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed
Ranks Test pada masing-masing kelompok menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai
signifikansi pada kelompok eksperimen (p=0.000 0.05) namun tidak demikian pada kelompok
kontrol (p= 1.000 0.05) sehingga dapat diartikan bahwa terapi latihan fisik terbukti dapat
menurunkan intensitas nyeri artritis pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Unit
Budi Luhur Yogyakarta.
Deskripsi Alternatif :
Arthritis is a condition that cause pain, inflammation and swelling in the joints and bones. This
disease is common in elderly. Pain caused by arthritis can be controlled by doing physical
exercise therapy in an integrated manner. This study aimed to determine the influences of
physical exercise therapy on arthritis pain intensity in elderly.Type of study used a quasi
experimental without using a random technique.The numbers of study sample were 40
respondents divided equally into 20 experiment samples and 20 control samples.Data of
statistics analysis used the Wilcoxon Signed Ranks Test in both of group indicate that there were
significant differences in the experimental group (P=0.000 0.05) but not in the control group
(P=1.000 0.05), so that it can mean physical exercise therapy proven to reduce the intensity of
arthritis pain in the elderly in Nursing Home Facility Unit Budi Luhur Yogyakarta.
Top Related