Sirosis Dg Perdarahan

89
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45- 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carcinoma. Di negara maju, kasus Sirosis hati yang datang berobat

Transcript of Sirosis Dg Perdarahan

Page 1: Sirosis Dg Perdarahan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga

pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan

kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian.

Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati

merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian

Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama

ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti

perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan

asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carcinoma. Di

negara maju, kasus Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira

30% dari seluruh populasi penyakit ini, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan

secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain (Maryani S, 2003).

Lebih dari 40% pasien asimptomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan

waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsy. Keseluruhan

insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk.

Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus

kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan

nonalkoholik steatohepatitis (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir sirosis hati

Page 2: Sirosis Dg Perdarahan

dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis hati akibat alkoholik dilaporkan 0,3%

juga. Angka kejadian sirosis hati dari hasil autopsi di Barat sekitar 2,4% (0,9%-

5,9%) (Sudoyo, 2006).

Di Indonesia secara umum frekuensi sirosis hati berkisar 0,6%-14,5%

dengan penderita pria lebih banyak dari wanita (2-4,5:1) dan terbanyak didapat

pada dekade ke lima. Tarigan di Medan melaporkan dalam kurun waktu 4 tahun

dari 19.914 pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam, didapatkan 1128

pasien penyakit hati (5%) dan pengamatan secara klinis di jumpai 819 (72,7%)

adalah penderita sirosis hati (Sudoyo, 2006).

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan

adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat

dan usaha regenerasi nodul (Sjaifoellah Noer, 1996). Penyakit ini merupakan

stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan sel hati,

dengan memberikan gambaran klinis akibat kegagalan sel hati dan hipertensi

portal (Hadi, 1995).

Menurut Sudoyo (2006), etiologi dari sirosis hati di negara barat yang

tersering akibat alkoholik, sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus

hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis

B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%,

sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus

2

Page 3: Sirosis Dg Perdarahan

bukan B dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia

mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.

Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan

timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu

mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang

ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan

massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna

kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam

lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena. Mungkin juga

perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya

varises esophagus saja. Fainer dan Halsted pada tahun 1965 melaporkan dari 76

penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh

pecahnya varises esofagus, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi

lambung (Sujono Hadi, 2002).

Selain itu perdarahan pada sirosis hati dapat juga disebabkan oleh

hemoroid, sintesis faktor pembekuan yang menurun, trombositopenia akibat

hiperplenisme, meningkatnya aktifitas fibrinolisis, DIC dan pembentukan yang

abnormal fibrinogen (disfibrinogenemia). Perdarahan dapat bersifat akut dengan

gambaran morfologi darah normokrom, normositik. Tidak dapat dikesampingkan

adanya faktor-faktor perdarahan yang tersembunyi yang dapat menyebabkan

penurunan besi total dalam tubuh, maka cadangan besi yang ada pada hati akan

3

Page 4: Sirosis Dg Perdarahan

dimanfaatkan secara maksimal sampai suatu saat cadangan besi akan habis, maka

secara klinis baru tampak penderita pucat oleh karena defisiensi besi (Ida, 2003).

Pecahnya varises merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

pasien sirosis hepatis sehingga harus menjadi perhatian. Lebih dari 30% kasus

perdarahan pertama berakibat fatal (mengakibatkan kematian), sedangkan 70%

kasus yang bertahan akan mengalami perdarahan berulang (Shahara, 2001) dalam

Fahrial (2004).

Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya pecah varises antara lain

elastisitas dari varises, tekanan intra varises serta tekanan intraluminal. Secara

klinis faktor resiko perdarahan varises adalah beratnya sirosis (yang di

klasifikasikan menjadi Child A, Child B, dan Child C) yang dialami oleh pasien

(biasanya ditandai dengan mata yang kuning, adanya udem pada kaki dan asites),

besarnya varises (semakin besar semakin mudah terjadinya perdarahan), selain

itu adanya tanda merah pada dinding varises merupakan faktor terjadinya

perdarahan. Oleh karena itu, usaha mengurangi tekanan varises dan memperbaiki

keadaan sirosis merupakan suatu usaha untuk mengurangi terjadinya perdarahan

(Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).

Dari data yang didapat di ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu

bahwa dari bulan Januari 2009 sampai Desember 2009 tercatat angka kejadian

sirosis hepatis 52 kasus.

Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian perdarahan

4

Page 5: Sirosis Dg Perdarahan

saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di Ruang Kemuning

RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian

perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di Ruang

Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mempelajari hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan

kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap

di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi derajat penyakit sirosis

hepatis pasien rawat inap di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus

Bengkulu tahun 2009.

2. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi perdarahan saluran cerna

bagian atas (SCBA) pada pasien sirosis hepatis di Ruang Kemuning

RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.

3. Untuk mengetahui hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan

kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat

inap di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.

5

Page 6: Sirosis Dg Perdarahan

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Tempat Penelitian/RSUD dr. M. Yunus Bengkulu

Sebagai masukan bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan pelayanan

kesehatan pada pasien dengan sirosis hepatis terutama dalam penanganan

perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA).

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan diperpustakaan atau sumber data bagi peneliti lain yang

memerlukan masukan berupa data atau pengembangan penelitian dengan

judul yang sama demi kesempurnaan penelitian ini dan sebagai sumber

informasi pada institusi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tri Mandiri Sakti

Bengkulu agar dijadikan dokumentasi ilmiah untuk merangsang minat peneliti

selanjutnya.

1.4.3. Bagi Peneliti

Merupakan pengalaman berharga terhadap peneliti dalam rangka menambah

wawasan keilmuan, khususnya tentang hubungan derajat penyakit sirosis

hepatis dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas.

6

Page 7: Sirosis Dg Perdarahan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Sirosis Hepatis

2.1.1. Pengertian

Menurut Sylvia A (2005), sirosis hepatis adalah penyakit kronik yang

ditandai dengan distorsi susunan sel-sel hepar oleh adanya pita-pita jaringan

penyambung dari nodul-nodul sel hepar yang sedang mengalami regenerasi

yang tak serupa dengan sel normal.

Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan

stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai

dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative

(Sudoyo, 2006).

Menurut Sjaifoellah Noer (1996), sirosis hepatis adalah penyakit hati

menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat

disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis

sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.

Sedangkan menurut Sulaiman (1998), sirosis hati adalah penyakit hati

menahun yang ditandai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha

regenerasi dan penambahan jaringan ikat difus dengan terbentuknya nodul

yang mengganggu susunan lobulus hati.

7

Page 8: Sirosis Dg Perdarahan

2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Hati

1. Anatomi Hati

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar

1.500 gram atau 2% berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan

organ lunak yang lentur dan tercetak oleh struktur sekitarnya. Hati

memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah

kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk

cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pancreas, dan

usus. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan

dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan

yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan

lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar. Setiap lobus hati

terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut lobulus, yang merupakan

unit mikroskopis dan fungsional organ. Hati manusia memiliki maksimal

100.000 lobulus. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang

disebut sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika,

juga terdapat saluran empedu (Sylvia, 2005).

2. Fisiologi Hati

Hati memiliki dua sumber suplai darah, yaitu dari saluran cerna dan

limpa melalui vena porta hepatika, dan dari aorta melalui arteria hepatika.

Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteria dan duapertiganya

8

Page 9: Sirosis Dg Perdarahan

adalah darah vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap

menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena hepatika kanan dan

kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior (Sylvia, 2005).

Vena porta bersifat unik karena terletak di antara dua daerah kapiler,

yang satu terletak dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat

mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang menempel melingkari

lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena

interlobularis yang berjalan di antara lobulus-lobulus. Vena-vena ini

selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara lempengan

hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa

lobulus bersatu membentuk vena sublobularis yang selanjutnya menyatu

dan membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus arteria hepatika

juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran

darah arteri dari arteria hepatika darah vena dari vena porta (Sylvia, 2005).

Menurut Sylvia (2005), fungsi utama hati adalah: pembentukan dan

eksresi empedu, metabolisme karbohidrat, metabolisme protein,

metabolisme lemak, penimbunan vitamin dan mineral, metabolisme

steroid, detoksifikasi, dan gudang darah dan filtrasi.

9

Page 10: Sirosis Dg Perdarahan

2.1.3. Etiologi

Penyebab terjadinya sirosis hepatis adalah hepatitis virus B dan C,

alkohol, metabolik, obstruksi aliran vena hepatic, gangguan immunologis dan

obat serta malnutrisi (Mansjoer, 2000).

2.1.4. Klasifikasi Sirosis Hepatis

1. Klasifikasi berdasarkan etiologi

a. Sirosis laennec

Juga disebut sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi,

merupakan suatu pola sirosis yang dihubungkan dengan

penyalahgunaan alkohol kronik.

Pada sirosis laennec yang lanjut, lembaran jaringan ikat yang

tebal terbentuk pada pinggir lobulus membagi parenkim menjadi

nodula-nodula halus, nodula ini dapat membesar akibat aktivitas

regenerasi hati dalam mengganti sel-sel rusak, hati tampak terdiri dari

sarang sel-sel degenerasi dalam kapsula fibrosa yang tebal. Hati akan

menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada

stadium akhir sirosis.

b. Sirosis post nekrotik

Terjadi menyusul nekrosis bercak-bercak pada jaringan hati

menimbulkan nodula-nodula degernatif besar dan kecil yang dikelilingi

oleh jaringan parut. Disebabkan hepatotoksik yang biasanya muncul

setelah sakit hepatitis.

10

Page 11: Sirosis Dg Perdarahan

c. Sirosis biliaris

Kerusakan hati yang dimulai di sekitar ductus biliaris akan

menimbulkan pola sirosis tipe ini, disebabkan obstruksi biliaris

posthepatik. Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di

dalam masa hati dengan akibat kerusakan sel-sel hati (Sylvia A, 2005).

2. Klasifikasi berdasarkan morfologi

a. Sirosis mikronodular

Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur didalam septa parenkim

hati mengandung nodul halus.

b. Sirosis makronodular

Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi

terdapat nodul besar dan parenkim yang masih banyak.

c. Sirosis campuran

Merupakan jenis sirosis campuran antara sirosis mikronodular dan

makronodular.

3. Klasifikasi berdasarkan fungsional

a. Kegagalan hati/hepatoseluler

1) Timbul keluhan berat badan menurun dan mual.

2) Eritema Palmaris

3) Asietas

4) Atrofi testis

5) Ikterus, sirkulasi hiperkinetik

6) Ensefalopati hepatic, tremor akibat ammonia dan produksi nitrogen.

11

Page 12: Sirosis Dg Perdarahan

7) Gangguan koagulasi darah (defisiensi protrombin)

b. Hipertensi portal

Meningkatnya resistensi portal dan splanknik karena kurangnya sirkulasi

dan meningkatnya aliran portal karena transmisi dari tekanan arteri

hepatik.

Adapun penyebab hipertensi portal :

1) Post hepatik

Seperti gagal jantung kanan/perikarditis.

2) Intra hepatik

a) sirosis : alkohol, biliar primer, virus (HVB, HVC), autoimun

b) Non sirosis : hepatitis kronik aktif (virus, autoimun, obat),

idiopatik, perlemakan hati.

3) Prehepatik

a) Oklusi vena porta

b) Hipertensi portal non sirotik

c) Splenomegali tropik

d) Trombosis vena lienalis.

(Sjaifoellah Noer, 1996).

2.1.5. Derajat Sirosis Hepatis

Derajat penyakit sirosis hepatis adalah kategori beratnya gangguan

fungsi hati. Dinilai dengan modifikasi kriteria Child-Turcotte-Pugh

berdasarkan pemeriksaan klinis adanya ensefalopati hepatikum, asites,

12

Page 13: Sirosis Dg Perdarahan

pemeriksaan kadar albumin dan bilirubin serum serta waktu protrombin atau

International Normalized Ratio (INR). Sesuai kriteria tersebut pasien sirosis

hepatis diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Child A, B dan C (Child Pugh

dalam Firmansyah, 2010).

Tabel 2.1. Skor Child Turcotte Pugh

Komponen 1 2 3Satuan

Unit

Bilirubin total <34 (<2) 34-50 (2-3) >50 (>3)μmol/l (mg/dl)

Serum albumin >35 28-35 <28 g/l

INR/pemanjangan masa protombin

<1.7 1.71-2.20 > 2.20 -

Asites Tidak ada Dapat dikontrolTidak dapat

dikontrol-

Ensefalopati hepatikum

Tidak adaDerajat I-II (atau akibat

supresi medikasi)Derajat III – IV

(refrakter)-

Sumber : Child Pugh dalam Firmansyah, (2010).

Keterangan :

1. Grade (Klasifikasi) A bila skor : 5-6

2. Grade (Klasifikasi) B bila skor : 7-9

3. Grade (Klasifikasi) C bila skor : 10-15

13

Page 14: Sirosis Dg Perdarahan

2.1.6. Patofisiologi

Beberapa penyebab terjadinya cirrhosis hepatis seperti virus hepatitis B

dan C, alkohol, toksik dari obat yang dapat menyebabkan perubahan pada

jaringan hati terutama pada sel-sel hati, yaitu peradangan pada sel-sel hati

tersebut dan bila hal ini berlangsung terus-menerus maka akan terjadi

pembentukan nodular. Kolaps pada lobulus hati kemudian membentuk jaringan

parut sehingga proses aliran darah pada hati terganggu yang kemudian akan

terjadi proses nekrosis. Pada keadaan ini hati akan menciut keras dan hampir

tidak memiliki parenkim normal yang akhirnya akan terjadi cirrhosis hepatis.

Keadaan ini dapat menimbulkan rasa nyeri pada daerah abdomen kanan atas.

Pada gastrointestinal terdapat gejala anoreksia, nausea dan penurunan berat

badan yang menimbulkan kelemahan dikarenakan metabolisme makanan

dalam tubuh menurun dan terjadinya tekanan porta seperti adanya asites,

hidrotorak dan splenomegali serta edema. Menurunnya metabolisme dalam

tubuh seperti menurunnya metabolisme bilirubin yang menyebabkan terjadinya

penurunan fungsi empedu di saluran cerna dan warna feses menjadi pucat,

pada bilirubinemia mengakibatkan terjadinya ikterus. Pada komplikasi yang

lebih lanjut dapat mengakibatkan kegagalan hati yaitu encepalopati hepatica,

asites, koma hepatikum dan dapat mengakibatkan kematian (Sylvia A, 2005).

14

Page 15: Sirosis Dg Perdarahan

2.1.7. Manifestasi Klinis

Menurut Sjaifoellah Noer (1996), keluhan pasien sirosis hepatis

tergantung pada fase penyakitnya :

1. Fase kompensasi sempurna

Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali (sama-samar) seperti

pasien merasa tidak bugar, selera makan kurang, perasaan perut kembung

dan mual, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah.

2. Fase dekompensasi

Pada fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya dengan pemeriksaan

klinis, laboratorium, terutama bila timbul komplikasi, kegagalan hati dan

hipertensi porta dengan manifestasi seperti eritema palmaris, spider nevi,

vena kolatoral pada dinding perut, ikterus dan asites. Ikterus dengan air

kemih berwarna seperti teh pekat disebabkan proses penyakit yang

berlanjut ke arah keganasan hati, dimana tumor akan menekan saluran

empedu atau terbentuknya thrombus saluran empedu intra hepatik.

Penderita juga bisa datang dengan gangguan pembekuan darah seperti

perdarahan gusi epiktasis, gangguan siklus haid. Sebagian penderita datang

dengan gejala hematemesis dan melena atau melena saja akibat perdarahan

varises esofagus. Perdarahan bisa masih dan menyebabkan pasien jatuh ke

dalam renjatan. Pada kasus lain cirrhosis datang dengan gangguan

kesadaran berupa ensefalopati hepatik sampai koma hepatik.

15

Page 16: Sirosis Dg Perdarahan

Menurut Sherlock S (1997) dalam Ida (2003), gambaran klinis dari

sirosis hati, secara umum disebabkan oleh kegagalan hati/hepatoselular dan

hipertensi portal.

1. Kegagalan hati (kegagalan hepatoselular)

Dijumpai gejala subjektif berupa lemah, berat badan menurun,

gembung, mual dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik dijumpai : spider

nevi, eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut yang berkurang, atrofi

testis dan ginekomastia pada pria, ikterus, ensefalopati hepatik,

hipoalbuminemia disertai terbaliknya ratio albumin dan globulin serum.

2. Hipertensi Portal

Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan

dengan penyakit hati kronik dan mempunyai karakteristik peningkatan

tekanan portal yang patologis. Peningkatan tekanan portal karena

peningkatan resistensi vaskular dan aliran darah portal yang meningkat.

Peningkatan resistensi vaskular karena meningkatnya resistensi

intrahepatik dan resistensi kolateral portosistemik. Tekanan portal normal

berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan

tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal.

Disebut hipertensi portal bila tekanan portal lebih dari 15 mmHg.

Hipertensi portal pada sirosis hati dihubungkan dengan sirkulasi

hiperdinamik yang ditandai dengan penurunan tahanan arterial, vasodilatasi

perifer dan regional. Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan kardiak

16

Page 17: Sirosis Dg Perdarahan

indeks dan aliran darah regional. Aliran darah yang hiperkinetik dijumpai

pada daerah splanknik dan sirkulasi sistemik dengan aliran darah ke

intestinal, lambung, limpa dan pankreas meningkat lebih 50% diatas nilai

kontrol. Sirkulasi hiperdinamik splanknik adalah konstribusi yang utama

menyebabkan gejala hipertensi portal. Meskipun sistem kolateral sistemik

terbentuk untuk mengurangi sirkulasi portal akan tetapi komplikasi

hipertensi portal masih dapat terjadi dan yang paling penting adalah

timbulnya varises esophagus perdarahan varises.

Sirkulasi hiperdinamik tampak pada pasien dengan ekstremitas

hangat, nadi yang kuat, denyut jantung yang cepat, cardiac output

meningkat dan volume darah meningkat. Bila terjadi progesifitas penyakit,

tahanan vaskular semakin menurun : vasodilatasi menjamin perfusi

jaringan yang adekuat, tetapi jika menetap, tekanan arteri yang rendah akan

menyebabkan gangguan sekunder pada ginjal. Ekspansi volume darah ini

dikuti dengan ginjal menahan natrium dan air yang menimbulkan

hiperaldosteronisme sekunder, teraktivasinya sistem saraf simpatis,

meningkatnya sekresi arginin vasopresin yang akhirnya mengurangi aliran

darah ke ginjal.

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis

Diagnosa sirosis hati ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,

laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti ultrasonografi. Pada

stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan

17

Page 18: Sirosis Dg Perdarahan

diagnosa sirosis hati. Pada stadium dekompensasi kadang tidak sulit

menegakkan diagnosis dengan adanya asites, edema pretibial, splenomegali,

vena kolateral, eritema palmaris dan albumin serum yang menurun (Hadi S,

1995).

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan non invasif, aman dan

mempunyai ketepatan yang tinggi. Needlemann dkk mendapatkan bahwa

ketepatan ultasonografi sekitar 88 %, dan Taylor mendapatkan ketepatan

sekitar 93 %, sedangkan Sujono Hadi dan beberapa peneliti lain mendapatkan

ketepatan diagnosa sirosis hati dengan ultrasonografi sekitar 88-100%.

Gambaran ultrasonografi pada sirosis hati tergantung pada berat ringannya

penyakit. Diagnosa pasti dari sirosis hati ditegakkan melalui pemeriksaan

histopatologi (biopsi hati) (Hadi S, 1995).

Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis

meliputi :

1. Urine

Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada

ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi natrium berkurang,

dan pada penderita yang berat ekskresinya kurang dari 3 meq (0,1).

2. Tinja

Mungkin terdapat kenaikan sterkobilinogen. Pada penderita ikterus

ekskresi pigmen empedu rendah.

18

Page 19: Sirosis Dg Perdarahan

3. Darah

Biasanya dijumpai normositik normokromik anemia yang ringan, kadang-

kadang dalam bentuk makrositer, yang disebabkan kekurangan asam folat

dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah

mengalami perdarahan gastrointestinal, maka akan terjadi hipokromik

anemia. Juga dijumpai leukopeni bersama trombositopeni. Waktu

protombin memanjang dan tidak dapat kembali normal walaupun telah

diberi pengobatan dengan vitamin K. gambaran sumsum tulang terdapat

makronormoblastik dan terjadi kenaikan plasma sel pada kenaikan kadar

globulin dalam darah.

4. Tes faal hati

Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih-lebih lagi

bagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Hal ini

tampak jelas menurunnya kadar serum albumin <3,0% sebanyak 85,92%,

terdapat peninggian serum transaminase >40 U/l sebanyak 60,1%.

Menurunnya kadar tersebut di atas adalah sejalan dengan hasil pengamatan

jasmani, yaitu ditemukan asites sebanyak 85,79%.

5. Pemeriksaan CHE (kolinesterase)

Penting dalam menilai sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE

akan turun, pada perbaikan terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal.

Nilai CHE yang bertahan dibawah nilai normal, mempunyai prognosis

yang jelek.

19

Page 20: Sirosis Dg Perdarahan

6. Pemeriksaan kadar elektrolit

Penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam diet.

Dalam hal ensefalopati, kadar Na 500-1000, mempunyai nilai diagnostik

suatu kanker hati primer.

7. Radiologi

Dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esofagus untuk

konfirmasi hepertensi portal.

8. Esofagoskopi

Dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi

portal. Kelebihan endoskopi ialah dapat melihat langsung sumber

perdarahan varises esofagus, tanda-tanda yang mengarah akan

kemungkinan terjadinya perdarahan berupa cherry red spot, red whale

marking, kemungkinan perdarahan yang lebih besar akan terjadi bila

dijumpai tanda diffus redness. Selain tanda tersebut, dapat dievaluasi besar

dan panjang varises serta kemungkinan terjadi perdarahan yang lebih besar.

9. Ultrasonografi

Pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat

pemeriksaa rutin pada penyakit hati. Diperlukan pengalaman seorang

sonografis karena banyak faktor subyektif. Yang dilihat pinggir hati,

pembesaran, permukaan, homogenitas, asites, splenomegali, gambaran

vena hepatika, vena porta, pelebaran saluran empedu/HBD, daerah hipo

atau hiperekoik atau adanya SOL (space occupyin lesion0. Sonografi bisa

20

Page 21: Sirosis Dg Perdarahan

mendukung diagnosis sirosis hati terutama stadium dekompensata,

hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan saluran

empedu, dll.

10. Sidikan hati

Radionukleid yang disuntikkan secara intravena akan diambil oleh

parenkim hati, sel retikuloendotel dan limpa. Bisa dilihatbesar dan bentuk

hati, limpa, kelainan tumor hati, kista, filling defek. Pada sirosis hati dan

kelainan difus parenkim terlihat pengambilan radionukleid secara

bertumpuk-tumpu (patchty) dan difus.

11. Tomografi komputerisasi

Walaupun mahal sangat berguna untuk mendiagnosis kelainan fokal,

seperti tumor atau kista hidatid. Juga dapat dilihat besar, bentuk dan

homogenitas hati.

12. Angiografi

Angiografi selektif, selia gastrik atau splenotofografi terutama pengukuran

tekanan vena porta. Pada beberapa kasus, prosedur ini sangat berguna

untuk melihat keadaan sirkulasi portal sebelum operasi pintas dan

mendeteksi tumopr atau kista.

13. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan

melakukan pungsi asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis

bakterial spontan), sel tumor, perdarahan dan eksudat, dilakukan

21

Page 22: Sirosis Dg Perdarahan

pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein,

amilase dan lipase (Sujono, 2002).

2.1.9. Komplikasi

Menurut Sherlock S (1997), komplikasi dari sirosis hepatis adalah :

1. Perdarahan gastrointestinal

Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan

pecah sehingga timbul perdarahan yang masih.

2. Koma Hepatikum.

3. Ulkus Peptikum

4. Karsinoma hepatosellural

Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah

menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang

multiple.

5. Infeksi

Misalnya : peritonisis, pneumonia, bronchopneumonia, Tb paru,

glomerulonephritis kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis,

septikemia.

6. Kematian

22

Page 23: Sirosis Dg Perdarahan

2.1.10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada sirosis hepatis adalah sebagai berikut :

1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites.

2. Diit rendah protein (1 gr/kg BB), bila ada asites dan edema diberikan diit

rendah garam (600-800 mg), diet tinggi kalori 2000-3000 kalori perhari.

3. Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotic.

4. Membatasi jumlah intake cairan selama 24 jam ± 1 liter atau kurang dari 1

liter.

5. Roboransia vitamin B kompleks, dilarang makan dan minum yang

mengandung alkohol.

6. Bila istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik

berupa spironolaktan 50-100 mg/hari (awal)

7. Bila terdapat asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi

medikamentosa, dilakukan terapi parasentesis ini aman digunakan apabila

disertai dengan infus albumin sebanyak 6-2 gram untuk setiap cairan asites

atau dekstron 70% (Mansjoer, 2000).

23

Page 24: Sirosis Dg Perdarahan

2.2. Konsep Dasar Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA)

2.2.1 Pengertian

Menurut (Sudoyo, 2006), perdarahan saluran cerna bagian atas

(SCBA) adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum

Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esophagus dan

non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam

pengelolaan dan prognosisnya.

Istilah medis yang sering digunakan untuk keadaan perdarahan

saluran cerna bagian atas adalah hematemesis melena. Hematemesis

didefinisikan sebagai keadaan muntah darah, sedangkan melena adalah buang

air besar hitam biasanya berbentuk seperti ter. Warna hitam yang terjadi

tergantung dari konsentrasi asam yang terdapat di dalam lambung dan kontak

antara darah dengan asam tersebut. Sehingga pada keadaan yang massif

biasanya darah keluar masih segar (Epstein, 1998) dalam Fahrial (2004).

2.2.2 Etiologi

Menurut Hayes (1990) dalam Fahrial (2004), penyebab dari

perdarahan saluran cerna bagian atas dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Penyakit-penyakit saluran pencernaan

Ulkus duodenum, ulkus gastrikum, erosi gaster, varises esophagus,

esofagitis, ulkus esophagus, keganasan dalam saluran cerna bagian atas.

24

Page 25: Sirosis Dg Perdarahan

2. Penyakit struktur yang berdekatan

Rupture aorta ke dalam esophagus atau duaodenum, hematobilia.

3. Penyakit sistemik

Uremia, sarkoidosis, amiloidosis, infeksi sistemik, penyakit jaringan

penyokong.

4. Kelainan vascular dan hematologic

Purpura trombositopenik, keadaan defisiensi faktor pembekuan,

polisitemia rubra vera, disseminated intravascular coagulation,

teleangiektasi hemoragik herediter, pseudosantoma elastikum.

Sedangkan menurut Sudoyo (2006), penyebab perdarahan SCBA yang

sering dilaporkan adalah:

1. Pecahnya varises esophagus

2. Gastritis erosif

3. Tukak peptik

4. Gastropati kongestif

5. Dan keganasan.

25

Page 26: Sirosis Dg Perdarahan

2.2.3 Patofisiologi

1. Patofisiologi perdarahan SCBA pada sirosis hati

Perdarahan pada sirosis hati bisa ditimbulkan oleh pecahnya varises

di esophagus atau lambung, selain itu perdarahan juga dapat terjadi karena

lesi pada gastropati hipertensi portal (Shahara, 2001) dalam Fahrial

(2004).

Pada hepar orang normal terdapat aliran darah sebanyak 1500 ml

darah setiap menitnya. Dua pertiga dari aliran darah ini berasal dari vena

porta. Apabila terjadi kerusakan pada hati misal pada sirosis hati, aliran

darah ini menjadi lambat dan akan meningkatkan tekanan pada vena porta

yang kita sebut hipertensi portal. Keadaan hipertensi portal ini akan

mengakibatkan sirkulasi kolateral dan varises. Aliran darah pada vena

gastric kiri dan vena gastric pendek yang bergabung dengan interkosta,

esophageal diafragma dan vena azigos dari system cava akan terbendung.

Keadaan ini mengakibatkan terjadinya varises pada lambung dan

esophagus. Varises yang terbentuk ini suatu saat dapat pecah dan

menimbulkan perdarahan. Pecahnya varises merupakan salah satu

penyebab utama kematian pada pasien sirosis hepatis sehingga harus

menjadi perhatian. Lebih dari 30% kasus perdarahan pertama berakibat

fatal, sedangkan 70% kasus yang bertahan akan mengalami perdarahan

berulang (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).

26

Page 27: Sirosis Dg Perdarahan

Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya pecah varises antara

lain elastisitas dari varises, tekanan intra varises serta tekanan

intraluminal. Secara klinis faktor resiko perdarahan varises adalah

beratnya sirosis yang dialami oleh pasien (biasanya ditandai dengan mata

yang kuning, adanya udem pada kaki dan asites), besarnya varises

(semakin besar semakin mudah terjadinya perdarahan), selain itu adanya

tanda merah pada dinding varises merupakan faktor terjadinya perdarahan.

Oleh karena itu, usaha mengurangi tekanan varises dan memperbaiki

keadaan sirosis merupakan suatu usaha untuk mengurangi terjadinya

perdarahan (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).

2. Patofisiologi perdarahan SCBA pada ulkus peptikum

Adanya lesi pada mukosa gastroduodenal (lambung-usus dua belas

jari) terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari faktor agresif dan

defensive dari mukosa gastroduodenal. Faktor agresif dan defensive

merupakan faktor-faktor yang mempunyai peranan penting untuk

menyebabkan kelainan mukosa lambung dan duodenum. Kedua faktor ini

hasrus selalu berada dalam keseimbangan. Faktor agresif antara lain asam,

pepsin dan asam empedu. Ketiga zat ini berasal dari tubuh sendiri

(endogen). Sedangkan faktor agresif dari luar (eksogen) antara lain etanol,

aspirin, obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) dan infeksi Helycobacter

pylori. Asam dapat diproduksi berlebihan akibat berbagai faktor pencetus.

27

Page 28: Sirosis Dg Perdarahan

Faktor pencetus untuk terjadinya produksi asam lambung yang berlebihan

antara lain faktor kimiawi, syaraf dan faktor hormonal. Hal lain yang

dapat meningkatkan asam lambung antara lain kafein, alkohol dan kalsium

oral (Avunduk, 202) dalam Fahrial (2004).

Faktor defensive mukosa lambung antara lain aliran darah mukosa,

sel epitel permukaan, prostaglandin, surfaktan, musin, bikarbonat dan

motilitas. Mukosa lambung mempunyai kemampuan untuk melindungi

lambung dari bahan-bahan korosif, baik dari asam maupun pepsin. Pada

mukosa lambung terdapat sel mucus yang menghasilkan mucus lambung

dan kelenjar lambung yang memegang peranan penting untuk pertahanan

lambung. Beberapa obat-obatan yang dapat mempengaruhi mukosa

lambung antara lain aspirin, obat inflamasi non steroid (OAINS) seperti

piroksikam, sodium diklofenat, ibuprofen, fenil butazon serta OAINS

yang lain (Avunduk, 202) dalam Fahrial (2004).

Ketidakseimbangan dari faktor agresif dan defensive ini dapat

menyebabkan gangguan pada mukosa lambung, baik berupa erosi sampai

tukak. Pada keadaann akut, erosi yang terjadi dapat luas dan menimbulkan

perdarahan. Sedangkan ulkus yang terjadi akibat ketidakseimbangan ini

juga makin lama makin dalam dan mencetuskan perdarahan (Avunduk,

202) dalam Fahrial (2004).

28

Page 29: Sirosis Dg Perdarahan

2.2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah:

1. Hematemesis

2. Muntahan seperti kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung

3. Timbul melena, berak hitam lengket dengan bau busuk.

(Sudoyo, 2006).

2.1.1. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Sudoyo (2006), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada

pasien perdarahan SCBA yaitu :

1. Pemeriksaan laboratorium harus meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap,

kimia darah, serta system hemostasis.

2. Endoskopi SCBA merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk

menentukan sumber perdarahan, aktivitasnya secara akurat serta potensi

intervensi terapeutiknya.

3. Angiografi merupakan pilihan lain, terutama endoskopi gagal

mengidentifikasi sumber perdarahan yang massif, dimana angiografi

visceral yang selektif selain dapat melokalisasi sumber perdarahan dan

juga dapat berfungsi pengobatan.

4. Nuclear imaging dengan menggunakan sel darah merah yang telah dilabel

dapat pula dipakai untuk mengidentifikasi dimana lokasi sumber

29

Page 30: Sirosis Dg Perdarahan

perdarahan, pemeriksaan ini dilaporkan untuk mengidentifikasi sumber

perdarahan yang intermitten.

2.1.2. Penatalaksanaan

Menurut Sudoyo (2006), terapi perdarahan saluran cerna bagian atas

dapat dibagi menjadi terapi non-endoskopis, endoskopis, terapi radiologi, dan

pembedahan.

1. Non-Endoskopis

Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama

dilakukan dengan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan

air suhu kamar.

Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang

mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan

pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.

Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek

vasokontriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan

tekanan vena porta menurun. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin

yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang

mengandung vasopressin dan oxcytocin. Pemberian vasopressin dilakukan

dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml

dekstrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat

30

Page 31: Sirosis Dg Perdarahan

diulang tiap 3-6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus

0,1-0,5 U/menit.

Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat

menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding

vasopressin. Dosis pemberian somatostatin diawali dengan bolus 250

mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai

perdarahan berhenti. Oktreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per

infus 25 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.

2. Endoskopis

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif

atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya

meliputi:

a. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater

probe).

b. noncontact thermal (laser).

c. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,

cyanoacrylate, atau pemakaian klip).

Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman

apabila dilakukan oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman.

Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan

SCBA, sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan

31

Page 32: Sirosis Dg Perdarahan

teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau

letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukan

peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan arterial yang

bisa berhenti spontan hanya 30%.

Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan

pendukung ialah suntikan submukosa sekitar titik perdarahan

menggunakan adrenalin 1:10.000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik

dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.

Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol

umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi

akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan.

Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa

mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya, perdarahan

ulang frekuensinya sekitar 15-20%.

Hemostatis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan

karena varises esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk

mengatasi perdarahan varises esofagus. Dengan ligasi varises dapat

dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi

terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai dari distal

mendekati cardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan pada varises

yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami

perdarahan seperti bekuan darah melekat, bilur-bilur merah, noda

32

Page 33: Sirosis Dg Perdarahan

hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif

bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus

berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa

digunakan antara lain campuran sam banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9%,

dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi

dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati

kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada

perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate,

skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang baik.

3. Terapi radiologi

Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap

berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi

endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan

hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau

embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas

dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS

(Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt).

4. Pembedahan

Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi

dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal

dalam bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan

33

Page 34: Sirosis Dg Perdarahan

SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah

sebaiknya dilakukan.

2.3. Hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian perdarahan

saluran cerna bagian atas (SCBA)

Perdarahan pada sirosis hati bisa ditimbulkan oleh pecahnya varises di

esophagus atau lambung, selain itu perdarahan juga dapat terjadi karena lesi

pada gastropati hipertensi portal (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).

Pada hepar orang normal terdapat aliran darah sebanyak 1500 ml darah

setiap menitnya. Darah dari usus dan limpa menuju hati memalui vena porta

Dua pertiga dari aliran darah ini berasal dari vena porta. Apabila terjadi

kerusakan pada hati misal pada sirosis hati, aliran darah ini menjadi lambat dan

akan meningkatkan tekanan pada vena porta yang kita sebut hipertensi portal.

Keadaan hipertensi portal ini akan mengakibatkan sirkulasi kolateral dan

varises. Aliran darah pada vena gastric kiri dan vena gastric pendek yang

bergabung dengan interkosta, esophageal diafragma dan vena azigos dari

system cava akan terbendung. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya varises

pada lambung dan esophagus. Varises yang terbentuk ini suatu saat dapat pecah

dan menimbulkan perdarahan. Pecahnya varises merupakan salah satu penyebab

utama kematian pada pasien sirosis hepatis sehingga harus menjadi perhatian.

Lebih dari 30% kasus perdarahan pertama berakibat fatal, sedangkan 70% kasus

yang bertahan akan mengalami perdarahan berulang (Shahara, 2001) dalam

Fahrial (2004).

34

Page 35: Sirosis Dg Perdarahan

Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya pecah varises antara lain

elastisitas dari varises, tekanan intra varises serta tekanan intraluminal. Secara

klinis faktor resiko perdarahan varises adalah beratnya sirosis (yang di

klasifikasikan menjadi Child A, Child B, dan Child C) yang dialami oleh pasien

(biasanya ditandai dengan mata yang kuning, adanya oedema pada kaki dan

asites), besarnya varises (semakin besar semakin mudah terjadinya perdarahan),

selain itu adanya tanda merah pada dinding varises merupakan faktor terjadinya

perdarahan. Oleh karena itu, usaha mengurangi tekanan varises dan

memperbaiki keadaan sirosis merupakan suatu usaha untuk mengurangi

terjadinya perdarahan (Shahara, 2001) dalam Fahrial (2004).

Menurut Sujono Hadi (2002), setiap penderita Sirosis Hepatis

dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises

esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul

perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah

atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di

epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan

membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis

selalu disusul dengan melena. Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis

Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. Fainer

dan Halsted pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis

dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus,

18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.

35

Page 36: Sirosis Dg Perdarahan

Selain itu perdarahan pada sirosis hati dapat juga disebabkan oleh

hemoroid, sintesis faktor pembekuan yang menurun, trombositopenia akibat

hiperplenisme, meningkatnya aktifitas fibrinolisis, DIC dan pembentukan yang

abnormal fibrinogen (disfibrinogenemia). Perdarahan dapat bersifat akut dengan

gambaran morfologi darah normokrom, normositik. Tidak dapat dikesampingkan

adanya faktor-faktor perdarahan yang tersembunyi yang dapat menyebabkan

penurunan besi total dalam tubuh, maka cadangan besi yang ada pada hati akan

dimanfaatkan secara maksimal sampai suatu saat cadangan besi akan habis, maka

secara klinis baru tampak penderita pucat oleh karena defisiensi besi (Ida, 2003).

2.4. Kerangka Konseptual

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, dapat diambil suatu

kesimpulan rumusan masalah kerangka konsep sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Derajat Penyakit Sirosis Hepatis

Kejadian Perdarahan Saluran Cerna Bagian Ata (SCBA)

36

Page 37: Sirosis Dg Perdarahan

2.5. Definisi Operasional

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka variabel-variabel yang

akan diukur, yaitu :

Tabel 2.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi

OperasionalCara Ukur

Alat Ukur

Hasil UkurSkala Ukur

1 Variabel independent derajat penyakit sirosis hepatis

Adalah derajat atau tingkat keparahan penyakit sirosis hepatis.

Dokumentasi Ceklist Child A = 3Child B = 2Child C = 1

Ordinal

2 Variabel DependentPerdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)

Adalah keadaan terjadinya perdarahan di esophagus dan lambung pada pasien sirosis hepatis yang ditandai dengan adanya hematemesis dan melena.

Dokumentasi Ceklist Ya = 1Tidak = 2

Nominal

2.6. Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian

perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di

Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.

Ho : Ada hubungan derajat penyakit sirosis hepatis dengan kejadian perdarahan

saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di Ruang

Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2009.

37

Page 38: Sirosis Dg Perdarahan

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus

Bengkulu dan objek penelitian adalah seluruh pasien yang dirawat di ruang

Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu yang mengalami sirosis hepatis dari

bulan Januari 2009 sampai Desember 2009.

3.2. Desain Penelitian

Desain penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan

metode rancangan cross sectional, dimana variabel independent (derajat penyakit

sirosis hepatis) dan variabel dependent (kejadian perdarahan saluran cerna bagian

atas [SCBA]) diukur atau dikumpulkan sekaligus dalam waktu yang bersamaan.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien yang di rawat di ruang

Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu yang mengalami sirosis hepatis dari

bulan Januari 2009 sampai Desember 2009 yang berjumlah 52 orang pasien.

38

Page 39: Sirosis Dg Perdarahan

3.3.2. Sampel

Sampel dari penelitian ini menggunakan total sampling yaitu seluruh

populasi yang ada dijadikan sampel, yaitu pasien yang mengalami sirosis

hepatis yang berjumlah 52 orang pasien.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Medical Record dan

dokumentasi di Ruang Kemuning RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.

3.5. Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan komputer,

melalui beberapa tahap antara lain :

1. Editing yaitu melihat apakah isi jawaban/data yang diolah tersebut sudah

tersedia lengkap dan apakah sudah relevan dengan tujuan penelitian.

2. Coding yaitu kode pada setiap jawaban.

3. Tabulating yaitu mentabulasi data berdasarkan kelompok data yang telah

ditentukan kedalam master tabel.

4. Entry yaitu memasukkan data yang sudah dilakukan editing dan coding

tersebut kedalam komputer dan menggunakan perangkat lunak komputer.

5. Cleaning yaitu untuk memastikan apakah semua data sudah siap dianalisis.

39

Page 40: Sirosis Dg Perdarahan

3.6. Teknik Analisa Data

3.6.1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang

distribusi frekuensi derajat penyakit sirosis hepatis dan kejadian perdarahan

saluran cerna bagian atas (SCBA) pada pasien rawat inap di ruang Kemuning

RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.

3.6.2. Analisis Bivariat

Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

independent (derajat penyakit sirosis hepatis) dengan variabel dependent

(kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas [SCBA]) yaitu menggunakan

analisis Person Chi-Square, dan untuk mengetahui keeratan hubungannya

digunakan uji Coeffisien Contingency. Untuk mengetahui resiko perdarahan

saluran cerna bagian atas (SCBA) digunakan Odd Ratio (OR).

40

Page 41: Sirosis Dg Perdarahan

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor virus dan status gizi

dengan kejadian cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B. penelitian ini

dilakukan di ruang kemuning RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu bulan April 2007

sampai April 2008.

4.1.1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor virus dan status

gizi dengan kejadian cirrhosis hepatis.

1. Distribusi frekuensi pengidap virus hepatitis B di ruang kemuning yang menderita hepatitis B

Distribusi frekuensi pengidap virus hepatitis B di ruang

kemuning yang menderita hepatitis B dapat dilihat pada tabel di bawah

ini :

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi pengidap virus hepatitis B di ruang kemuning

yang menderita hepatitis B

Virus Frekuensi Persentase

HbSAg (+)

HbSAg (-)

65

38

63,1%

36,9%

Jumlah 103 100,0%

41

Page 42: Sirosis Dg Perdarahan

Dari tabel 4.1. menunjukkan bahwa yang mengalami HbSAg

(+) terdapat 65 orang (63,1%) dan HbSAg (-) terdapat 38 orang

(36,9%).

2. Distribusi frekuensi tentang status gizi penderita hepatitis B di ruang kemuning

Distribusi frekuensi tentang status gizi penderita hepatitis B di

ruang kemuning dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi tentang status gizi penderita hepatitis B

di ruang kemuning

Status gizi Frekuensi Persentase

Buruk

Baik

28

75

27,2%

72,8%

Jumlah 103 100,0%

Dari tabel 4.2. menunjukkan bahwa 27,2% dengan status gizi

buruk dan 72,8% dengan status gizi baik pada penderita hepatitis B di

ruang kemuning RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

3. Distribusi frekuensi penderita cirrhosis hepatis pada penderita hepatitis B di ruang kemuning

Distribusi frekuensi penderita cirrhosis hepatis pada penderita

hepatitis B di ruang kemuning dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

42

Page 43: Sirosis Dg Perdarahan

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi penderita cirrhosis hepatis pada

penderita hepatitis B di ruang kemuning

Terjadinya Cirrhosis Hepatis

Frekuensi Persentase

Ya

Tidak

41

62

39,8%

60,2%

Jumlah 103 100,0%

Dari tabel 4.3. menunjukkan bahwa sebagian responden 60,2%

yang menderita hepatitis B tidak mengalami cirrhosis hepatis.

4.1.2. Analisis Bivariat

Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara 2 variabel

bebas (virus dan status gizi) dengan menggunakan variabel terikat

(cirrhosis hepatis) di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Terjadinya cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B dapat dilihat

pada tabel di bawah ini.

1. Hubungan virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis

Hubungan virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

43

Page 44: Sirosis Dg Perdarahan

Tabel 4.4. Tabulasi silang antara virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis

Cirrhosis hepatisTotal

Ya TidakVirus HbSAg(+) Count

Expected Count% Within Virus

2725,9

41,5%

3839,1

58,5%

6565,0

100,0%HbSAg(-) Count

Expected Count% Within Virus

1415,1

36,8%

2422,9

63,2%

3838,0

100,0%Total Count

Expected Count% Within Virus

4141,0

39,8%

6262,0

60,2%

103103,0

100,0%

Tabel di atas menunjukkan tabulasi silang antara virus dengan

cirrhosis hepatis. Ternyata dari 65 pasien HbSAg(+) terdapat pasien

yang mengalami cirrhosis hepatis dan 38 pasien tidak cirrhois hepatis,

dan dari 38 pasien HbSAg (-) terdapat 14 pasien yang mengalami

cirrhosis hepatis dan 24 pasien tidak cirrhosis hepatis, karena semua

sel frekuensi ekspektasi nilainya > 5, maka digunakan uji chi-square

(continuity correction).

Hasil uji chi-square (continuity correction) didapat nilai X2 =

0,68 dengan asymp.sig. (2-sided) = 0,794 > 0,05 berarti tidak

signifikan. Jadi Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya tidak ada

hubungan yang signifikan antara virus dengan cirrhosis hepatis di

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

44

Page 45: Sirosis Dg Perdarahan

2. Hubungan status gizi dengan terjadinya cirrhosis hepatis

Hubungan status gizi dengan terjadinya cirrhosis hepatis dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.5. Tabulasi silang antara status gizi dengan terjadinya cirrhosis hepatis

Cirrhosis hepatisTotal

Ya TidakStatus gizi

Buruk CountExpected Count% Within Status Gizi

2411,1

85,7%

416,9

14,3%

2828,0

100,0%Baik Count

Expected Count% Within Status Gizi

1729,9

22,7%

5845,1

77,3%

7575,0

100,0%Total Count

Expected Count% Within Status Gizi

4141,0

39,8%

6262,0

60,2%

103103,0

100,0%

Tabel 4.5. adalah tabulasi silang antara status gizi dengan

cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu. Ternyata dari 28 pasien gizi buruk terdapat 24 pasien yang

cirrhosis hepatis dan 4 pasien tidak cirrhosis hepatis, dan dari 75

pasien gizi baik terdapat 17 pasien cirrhosis hepatis dan 58 pasien

tidak cirrhosis hepatis, karena semua sel frekuensi ekspektasi nilainya

> 5 maka digunakan uji chi-square (continuity correction).

Hasil uji chi-square (continuity correction) didapat nilai X2 =

31,243 dengan asymp.sig. (2-sided) = 0,000 < 0,05 berarti

signifikan. Jadi Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya ada

45

Page 46: Sirosis Dg Perdarahan

hubungan yang signifikan antara status gizi dengan cirrhosis hepatis di

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C = 0,497

dengan approx.sig. = 0,000 < 0,05 berarti signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai Cmax = dimana m adalah nilai

terkecil dari baris atau kolom. Nilai Cmax = = 0,707. Karena nilai

C = 0,497 tidak terlalu jauh dengan nilai Cmax = 0,707, maka kategori

hubungan sedang (Sudjana, 1996).

Hasil uji risk estimate didapat nilai Odds Ratio (OR) = 20,471

yang artinya pasien yang status gizi buruk mempunyai kemungkinan

cirrhosis hepatis 20,471 kali lipat jika dibandingkan dengan pasien

yang status gizi baik.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Hubungan Virus dengan Terjadinya Cirrhosis Hepatis pada Pasien Hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 103 orang sampel terdapat

65 orang (63,1%) dengan HbSAg (+) dan 38 orang (36,9%) dengan

HbSAg (-). Hasil uji chi-square (continuity correction) tidak ada

hubungan yang signifikan antara virus dengan terjadinya cirrhosis hepatis

pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Hal ini

46

Page 47: Sirosis Dg Perdarahan

dikarenakan banyak masyarakat di sekitar kita yang masih bisa hidup

lama dan tampak sehat, walaupun sebenarnya terpapar virus hepatitis B

atau mengidap penyakit hepatitis B. Hepatitis B bisa berlanjut menjadi

kronis yaitu cirrhosis hepatis apabila kurangnya perhatian masyarakat

terhadap kesehatan, misalnya gaya hidup yang tidak sehat yang dapat

memperberat kesehatan seseorang.

Virus hepatitis B merupakan virus DNA bercangkang ganda. Virus

ini memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Petanda serologik

pertama yang dipakai untuk identifikasi HBV adalah HbSAg. Apabila

positif 2 minggu sebelum timbul gejala klinis dan biasanya menghilang

pada masa konvalesen dini tetapi dapat pula bertahan selama 4-6 bulan.

Adanya HbSAg menandakan penderita dapat menularkan virus hepatitis B

ke orang lain dan dapat menginfeksi mereka (Sylvia, Price, 1994).

Menurut teori Roche (2006) bahwa tidak setiap orang yang

terpapar virus hepatitis B akan memiliki infeksi virus aktif selama

hidupnya. Banyak orang dapat hidup lama dan sehat dengan hepatitis B.

hanya 15-40% penderita hepatitis B berkembang menjadi cirrhosis

hepatis. Tubuh kita dapat memusnahkan virus hepatitis B sebelum

penyakit berlanjut menjadi hepatitis B kronik. Ini mungkin terjadi pada

enam bulan pertama masa infeksi (fase infeksi hepatitis B akut)

kemungkinan untuk memusnahkan virus bervariasi dengan usia lebih dari

47

Page 48: Sirosis Dg Perdarahan

90% orang dewasa dengan sistem imun yang kuat dan sehat akan sembuh

dari infeksi akut. Tetapi, orang yang terinfeksi pada saat baru lahir

biasanya tidak dapat memusnahkan virus hepatitis B akut karena sistem

imun mereka belum berkembang penuh (Roche, 2006).

Hal ini sependapat dengan Syamsuridjal Djauzi (2005) sekitar 5-

10% orang pembawa virus hepatitis B, artinya di dalam tubuhnya terdapat

virus hepatitis B yang dapat menular pada orang lain, tetapi pembawa itu

sendiri dalam keadaan sehat. Hepatitis B sering kali dikatakan bahaya

karena dapat menimbulkan cirrhosis hepatis dan kanker hati. Padahal, bila

seseorang terinfeksi hepatitis B, sekitar 90% akan sembuh dengan baik

dan hanya 5-10% yang akan menjadi kronis. Sebagian yang mengalami

penyakit kronis inilah yang akan menjadi penderita cirrhosis hepatis dan

kanker hati (Samsuridjal, 2005).

Menurut Sylvia, Price (1994) tidak setiap pasien dengan hepatitis

virus akan mengalami perjalanan penyakit yang lengkap. Sejumlah kecil

pasien (kurang dari 1%) memperlihatkan kemunduran klinis yang cepat

setelah awitan ikterus akibat hepatitis fulminan.

Komplikasi hepatitis virus adalah perjalanan penyakit memanjang

hingga 4-8 bulan. Keadaan ini dikenal dengan hepatitis kronik, akan tetapi

meskipun terlambat, pasien-pasien hepatitis kronik akan selalu sembuh

kembali (Price, 1994).

48

Page 49: Sirosis Dg Perdarahan

Dari hasil penelitian didapatkan 65 responden pasien hepatitis B di

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu dengan HbSAg (+). Selain virus,

keracunan obat, berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida,

arsen dan fosfor juga dapat mengakibatkan hepatitis (Wikipedia, 2007).

4.2.2. Hubungan Status Gizi dengan Terjadinya Cirrhosis Hepatis pada Pasien Hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

Hasil penelitian menyatakan bahwa dari 103 orang sampel terdapat

28 orang (27,2%) pasien hepatitis B dengan status gizi buruk dan 75 orang

(72,8%) pasien hepatitis dengan status gizi baik.

Tabel 4.5 menyatakan tabulasi silang status gizi dengan terjadinya

cirrhosis hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

ternyata dari 28 pasien gizi buruk terdapat 24 pasien yang cirrhosis hepatis

dan 4 pasien tidak cirrhosis hepatis dan dari 75 pasien gizi baik terdapat

17 pasien cirrhosis hepatis dan 58 pasien tidak cirrhosis hepatis. Dari uji

chi-square (continuity correction) ada hubungan yang signifikan antara

status gizi dengan cirrhosis hepatis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Dari hasil estimate didapat nilai Odds Ratio 20,471, yang artinya pasien

yang status gizi buruk mempunyai kemungkinan cirrhosis hepatis 20,471

kali lipat jika dibandingkan dengan pasien status gizi baik.

Menurut Almatsier (2002) tubuh sangat rentan terhadap suatu

infeksi baik virus, bakteri, kuman dan parasit. Terjadinya suatu infeksi

49

Page 50: Sirosis Dg Perdarahan

dipengaruhi oleh salah satunya faktor gizi. Dimana asupan gizi yang

rendah berpengaruh menurunnya imunitas atau kekebalan tubuh, membuat

infeksi akan lebih mudah menyerang. Penderita juga harus memperhatikan

dietnya serta nutrisi yang adekuat. Pada penderita hepatitis B diberikan

diet kalori (2000-3000 kalori per hari), asupan protein dibatasi yang

berguna untuk metabolisasi serta diet garam untuk mencegah akumulasi

cairan di dalam rongga peritoneal.

Status gizi seseorang mempunyai hubungan erat dengan

permasalahan secara umum disamping merupakan faktor predisposisi

yang dapat memperparah penyakit infeksi secara langsung juga dapat

menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan individu (Blogger, 2007).

4.2.3. Implikasi Keperawatan

Penelitian ini berguna agar perawat dapat memberikan pelayanan

keperawatan kepada masyarakat dan mengurangi serta mencegah penyakit

hepatitis B berakibat lanjut menjadi cirrhosis hepatis.

Perawat memberikan asuhan keperawatan dengan baik kepada

pasien dengan meningkatkan atau menciptakan lingkungan tenang pada

pasien, perawat memperhatikan dan memberikan makanan sesuai dengan

diet pasien, misalnya diet kalori 2000-3000 kalori per hari. Selain itu

perawat juga sebaiknya memberikan penyuluhan kepada pasien atau

50

Page 51: Sirosis Dg Perdarahan

keluarga bisa melalui diskusi sambil menyebarkan leaflet yang berisikan

informasi seperti :

1. Mengatur pola makan dengan asupan protein dibatasi yang berguna

untuk metabolisasi serta diet garam untuk mencegah akumulasi cairan

di dalam rongga peritoneal.

2. Hindari menggunakan barang secara bersamaan (jarum suntik, sikap

gigi dan handuk).

3. Memberikan imunisasi hepatitis B secara lengkap

Tidak hanya itu saja, informasi tersebut juga dapat diberikan

melalui poster-poster yang dipajang di rumah sakit, misalnya poster

tentang pencegahan penularan hepatitis B. Oleh karena itulah untuk

mencegah penyakit hepatitis B dan cirrhosis hepatis merupakan tugas dari

semua tim kesehatan (dokter, perawat dan lain-lain) yang bisa dilakukan

dimana saja, antara lain di puskesmas, praktek dokter, di sekolah-sekolah,

bahkan dalam ruang lingkup kecil seperti di keluarga sendiri.

51

Page 52: Sirosis Dg Perdarahan

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Rekam Medik

terhadap pasien hepatitis B yang dirawat di ruang kemuning RSUD Dr. M.

Yunus Bengkulu, dapat disimpulkan :

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 63,1% penderita virus HbSAg (+) dan

36,9% penderita virus HbSAg (-).

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27,2% responden yang mengalami

cirrhosis hepatis adalah status gizi buruk.

3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara virus dengan terjadinya cirrhosis

hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

4. Ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya cirrhosis

hepatis pada pasien hepatitis B di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

5.2. Saran

5.2.1. Bagi Petugas Kesehatan

Memberikan informasi kesehatan tentang diet dan aktivitas kepada

masyarakat khususnya pada keluarga yang menderita hepatitis B untuk

dapat mengontrol penyakitnya agar tidak terjadi komplikasi lanjut

khususnya cirrhosis hepatis.

52

Page 53: Sirosis Dg Perdarahan

5.2.2. Bagi Instansi Rumah Sakit

Dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang di berikan

kepada masyarakat.

5.2.3. Bagi Peneliti

Diharapkan peneliti meneruskan penelitian ini bahwasanya tidak

hanya hepatitis B yang dapat menyebabkan cirrhosis hepatis tetapi bisa

juga disebabkan penyakit lain.

53

Page 54: Sirosis Dg Perdarahan

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ramali. 2000. Kamus Kedokteran. Edisi 2000. Jakarta : Djambatan

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta : EGC.

Baughman, Diane. C, Jo Ann C, Hackley. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Dinkes Provinsi Bengkulu. 2005. Profil Kesehatan Propinsi Bengkulu Tahun 2005. Bengkulu.

Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. Jakarta : EGC.

Evelyn, Pearce. 2000. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Grahamedia.

http://www.chem-is-try.org=artikel dan ext=97

http://www.republika.com, 2007.

http://ajaga.blogpost.com, 2007.

http://www.roche.hepatitisB, 2006.

Mansjoer Arief, Suprohaita, Wardani Wahyu, Setyo Wulan Wiwiek. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.

Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ke III. Jakarta : FKUI.

Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiologi, Edisi 4. Jakarta : EGC.

-------------------. 2005. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta : EGC.

Page 55: Sirosis Dg Perdarahan

Samsuridjal Djauzi. 2005. Panduan Hidup Sehat. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

Sudjana. 1996. Metode Statisitka. Bandung : Tarsito.

www.kompas.co.id, 2007.

www.your.com, 2007.

Page 56: Sirosis Dg Perdarahan