Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Mendorong ...

95
i Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Selly Putri Utami 208083000008 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M

Transcript of Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Mendorong ...

i

Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Mendorong

Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

di Indonesia Tahun 2012

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

Selly Putri Utami

208083000008

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M

PERNYATAAN BEBAS PLAG1ARISME

Skripsi yang berjudul :

Upaya Perserilcatan Bangsa-l3angsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012

1. Skripsi ini merupakan hasil karya ash saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan merdperoleh gelar Strata 1 di

• Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif 1iidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah

saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya

saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka

saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 06 Juli 2015 0, , ,. _• ..T.:-T_E_±Red 41)

ncl .: '11Ti----LEL.' ;1r

1 '7711 ' 4 • * Sell y PüfUtarni

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan Jai, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa :

Nama : Selly Putri Utami

MM : 208083000008

Program Studi : Ihnu flubungan Intemasional

Telah selesai penulisan skripsi dengan judul :

Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Bemgarna dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012

Telah memenuhi syarat untuk diuji.

Jakarta, 06 Juli 2015

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Menyetujui,

Pembimbing

M. Adian Firnas, M.Si Debby Affianty, MA

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SICRIPSI

Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di

Indonesia Tahun 2012

Oleh Selly Putri Utami

208083000008

Telah dipertahankan da1am sidang ujian sluipsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Neeeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Studi Hubungan Intemasional.

Ketua,

Badrus Sholeh, MA

Penguji I Penguji II

- / y.Z/6"fiLt /

Aivub Mochsin, MA Debbie Affiantv, 1N1A

Diterima dan dinyatakan syarat kelulusan pada tanggal 6 Juli 2015

Ketua Program Studi

FIS1P ULN Jakarta

Debbie Afflantv, MA

iv

ii

ABSTRAKSI

Skripsi ini menganalisa bagaimana Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di

Indonesia karena kondisi kebebasan beragam/berkeyakinan di Indonesia masih

memperihatinkan. Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

(SBY), tindak diskriminasi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan

menimpa kelompok Ahmadiyah, seperti peristiwa Cikeusik Banten; komunitas

Syiah, seperti peristiwa penyerangan warga Syiah Sampang yang

mengkriminalisasi Tajul Muluk; umat Kristiani, seperti Penyegelan GKI Yasmin

Bogor, HKBP Filadelfia Bekasi, dan 17 Gereja di Singkil Aceh; penyerangan

diskusi Irshad Manji di LkiS; penggagalan konser Lady Gaga; Penganut Baha’i;

Jemaah Salafi di NTB; umat islam di Bali; dan juga umat Budha di Medan.

Indonesia merupakan negara anggota PBB yang juga meratifikasi norma-norma

HAM PBB. Akan tetapi masih muncul pelanggaran HAM, khususnya hak atas

kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa ini mencapai puncaknya pada

tahun 2012, merujuk data Setara Institute, sekitar tahun 2012, tercatat 371

tindakan dalam 264 peristiwa pelanggaran atas kebebasan berkeyakinan dan

beragama. Di sisi lain PBB mempunyai kepentingan untuk melindungi dan

mempromosikan HAM di Indonesia.

Keyword : PBB, Indonesia, Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan, Hak Asasi Manusia,

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Mendorong

Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012”.

Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar sarjana sosial Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif

Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini juga dikerjakan dengan tekun dan penuh

keseriusan, dan dibantu pula oleh dosen pembimbing untuk mengkoreksi skripsi

ini. Untuk itu penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang membantu

dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada :

1. Yang tercinta orang tua penulis, Ibunda Kanah dan Bpk Marsan, beserta

kakak penulis, Santi dan Sanaz, dan adik penulis Andika yang selalu

mendoakan dan mendukung kerjakeras penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan doa kalian sehinga skripsi

ini dapat diselesaikan.

2. Bpk. Fuad Fanani, MA sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang

telah memberikan arahan, saran, dan ilmunya yang sangat membantu

hingga penulisan skripsi ini selesai dengan baik.

3. Ketua Jurusan Program Studi ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Ibu Debbie Affanty, M.Si dan Dosen Pembimbing

Akademik Penulis, Bpk Agus Nilmada.

iv

4. Muhammad Rizki Hasanuddin sebagai teman seperjuangan penulis,

terima kasih atas semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

5. Teman-teman sekelas penulis, Al-Furqan Aditya, Fachri Tri Utama, Ari

Suprianto, Vicky Fabiansyah, Ananda Afnan Raihan, Imam Noviar,

Aditya Pradipta, Rizki Mauliadi, Bintang Agassi, Roy Arisman, Wahyu

Tri Nugroho Ningsih, Nur dan teman-teman sekelas yang lain. Terima

kasih atas persahabatan ini dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

Terimakasih banyak, semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan

yang ada. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia akademis sebagai

tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang studi Ilmu Hubungan Internasional.

Jakarta, 06 Juli 2015

Selly Putri Utami

vi

C. Prosedur Khusus PBB dan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan ................................................................................ 46

BAB IV. Upaya PBB dalam Menangani Perlindungan Kebebasan Beragama

dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012................................ 49

A. Peran PBB dalam menangani Perlindungan Kebebasan Beragama

dan Berkeyakinan..........................................................................50

B. Alasan PBB Mengeluarkan Rekomendasi terkait Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di

Indonesia.................................................................................54

C. Respon indoensia terhadap Rekomendasi Mekanisme

PBB.......................................................................................56

BAB V. PENUTUP..........................................................................................58

A. Kesimpulan......................................................................................58

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................62

DAFTAR SINGKATAN................................................................................72

LAMPIRAN ...................................................................................................73

v

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME..........................................................ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI......................................................iii

ABSTRAKSI..........................................................................................................iv

KATA PENGANTAR........................................................................................... v

DAFTAR ISI..........................................................................................................vi

BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A. Pernyataan Masalah...............................................................................1

B. Pertanyaan Penelitian............................................................................ 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... . 6

D. Tinjauan Pustaka....................................................................................7

E. Kerangka Teori................................................................................... . 8

F. Metode Penelitian............................................................................... .13

G. Sistematika Penulisan.......................................................................... 13

BAB II. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.......15

A. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia............................................15

B. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan era Pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.............................................. 24

C. Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan....................... 27

D. Perhatian Internasional .......................................................................28

BAB III. Mekanisme HAM PBB...................................................................... 31

A. Sekilas tentang PBB......................................................................... . 31

B. Mekanisme HAM PBB ..................................................................... 35

B.1 Mekanisme Berdasarkan Piagam (The Charter Based

Mechanism)........................................................................................35

B.1.1 Dewan HAM PBB.............................................................37

B.2 Mekanisme Berdasarkan Perjanjian (The Treaty Based

Mechanism) .....................................................................................42

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis, suku, ras,

dan agama. Adapun agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen,

Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Islam merupakan agama mayoritas. Ada

sekitar 90 persen Muslim dari seluruh penduduk di berbagai suku. Di dalam

Pancasila dan Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, warga negara

indonesia (WNI) berhak untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan

pilihannya masing-masing. Sehingga kerukunan umat beragama menjadi sebuah

komitmen dari negara untuk selalu dijaga. Hal ini terbukti dengan Pemerintah

membuat sebuah lembaga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap

daerah.

Pasca kemerdekaan 1945, Indonesia mengintegrasikan diri ke dalam

komunitas internasional menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Tindakan menjadi anggota PBB ini memperlihatkan Indonesia bermaksud

merefleksikan pengakuan atas nilai-nilai universal yang telah dirumuskan. Ini

dibuktikan oleh Pemerintah Indonesia dengan melakukan ratifikasi berbagai

ketentuan internasioanl.1

1 HRWG dan KOMNAS HAM, Laporan Pemantauan Pelaksanaan Rekomendasi Komite oleh

Pemerintah RI: CAT, CEDAW, CERD, CRC (Jakarta: HRWG, 2011), vii.

2

Sesuai dengan komitmen Indonesia atas kerukunan umat beragama,

Indonesia meratifikasi sebagian besar kovenan maupun konvensi internasional

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM) PBB, salah satunya yaitu: International Covenant on Civil and

Political Rights (ICCPR), Convention on the Elimination of All Forms of Rascial

Discrimination (CERD) dan Convention against Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Dengan telah

meratifikasi instrumen HAM tersebut, maka Indonesia, sebagai negara pihak,

mengemban tanggungjawab melaksanakan dan melaporkan terkait pelaksanaan

kovenan/konvensi yang terdiri dari laporan pertama dan berkala.2

Pasca era perang dingin, tahun 1990an, konsep keamanan tidak hanya

bicara keamanan negara akan tetapi lebih pada konsep keamanan yang lebih luas

yakni keamanan manusia (Human Security), mencakup keamanan pangan,

kesehatan, komunitas, politik, personal, dst. Sementara itu, di Indonesia baru sejak

tahun 1999, pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru, konsep Human security

mulai dikenal dan diimplementasikan lewat komitmen pemerintah dalam

menjamin demokrasi dan HAM setiap warga negara. Terbukti dengan adanya

upaya pemerintah meratifikasi norma-norma HAM PBB dan amandemen kedua

memasukkan nilai HAM dalam konsitusi. Dengan adanya tindakan tersebut,

Indonesia secara legal telah menjamin hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan

2 Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka

Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), 85

3

politik warga negara, termasuk didalamnya perlindungan pemerintah terhadap

kebebasan berkeyakinan dan beragama.3

Namun, kondisi dilapangan terkait dinamika kebebasan

beragam/berkeyakinan di Indonesia masih tergolong memperihatinkan. Pada era

kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tindak diskriminasi

dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan menimpa kelompok

Ahmadiyah, seperti peristiwa Cikeusik Banten; komunitas Syiah, seperti peristiwa

penyerangan warga Syiah Sampang yang mengkriminalisasi Tajul Muluk; umat

Kristiani, seperti Penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor,

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, dan 17 Gereja di Singkil

Aceh; penyerangan diskusi Irshad Manji di LkiS; penggagalan konser Lady Gaga;

Penganut Baha’i; Jemaah Salafi di Nusa Tenggara Barat (NTB); umat islam di

Bali; dan juga umat Budha di Medan.4

Setara Institute mencatat di tahun 2007-2012, tahun 2007 terdapat 185

jenis tindakan dalam 135 peristiwa pelanggaran kebebasan

beragama/berkeyakninan; tahun 2008 terdapat 367 tindakan dalam 265 peristiwa;

tahun 2009 terdapat 291 tindakan dalam 200 peristiwa5; tahun 2010 tercatat 286

3 Amdy Hamdani. 2009. “Wacana HAM dan Sektor Keamanan Kontemporer” h. 9-13 di Almanak

Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia, diedit Mufti Makarim, dkk. Jakarta: IDSPS-HRWG-DCAF-Komnas HAM 4 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang

Yudhoyono: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011 (Jakarta: Setara Institute, 2011), 33 5 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap

Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabdetabek dan Jawa Barat: Wajah Para Pembela Islam (Jakarta: Setara Institute, 2010), 1

4

tindakan dalam 216 peristiwa6; tahun 2011 tercatat 299 tindakan dalam 244

peristiwa7; tahun 2012 tercatat 371 tindakan dalam 264 peristiwa

8.

Di bidang regulasi, masih banyak aturan-aturan yang berseberangan

dengan prinsip kebebasan beragama. Aturan berupa undang-undang, peraturan

pemerintah, perda, keputusan daerah, surat kepala daerah, atau peraturan di

bawahnya. Misal UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencengahan penyalahgunaan

dan/atau penodaan agama dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri

tahun 2008 tentang Ahmadiyah.9

Sementara itu, PBB mempunyai kepentingan melindungi hak kebebasan

beragama dan berkeyakinan di negara-negara Association Southeast of Asia

Nation (ASEAN). Karena, mayoritas negara-negara ASEAN telah meratifikasi

ICCPR dan kovenan lainnya secara otomatis tunduk pada aturan dan mengikat

secara hukum. Berikut ini tabel negara-negara anggota ASEAN yang meratifikasi

isntrumen HAM PBB;

States ICCPR ICESCR CERD CAT CEDAW CRC CRMW CRPD

Brunei D. V V

Cambodia V V V V V V V

6 Ismail Hasani (ed), Dokumen Kebijakan: Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan (Jakarta:

Setara Institute, 2011), 1 7 Ismail, SBY, 21

8 Halili, dkk., Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012: Kepemimpinan

Tanpa Prakarsa (Jakarta: Setara Institute, 2012), 31 9 Alamsyah, Asia Tenggara, 34-35

5

Indonesia V V V V V V V

Laos V V V V V V V

Malaysia V V V

Myanmar V V

Philipines V V V V V V V V

Singapore V V

Thailand V V V V V V V

Vietnam V V V V V

Diagram Instrumen HAM Internasional yang diratifikasi negara anggota ASEAN.10

Selain itu PBB juga mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi dan hasil

kesimpulan pemantauan komite PBB terhadap negara-negara ASEAN, salah

satunya adalah rekomendasi khusus untuk Indonesia. Hasil rekomendasi sidang

UPR (Universal Periodic Review) PBB yang dirilis pada 25 Mei 2012 diikuti 74

negara (27 negara anggota Dewan HAM PBB dan 47 negara peninjau)

meluncurkan rekomendasi penting yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah

Indonesia dalam empat tahun terakhir atas keprihatinan terhadap kondisi

kebebasan beragama dan berkeyakinan. Yakni, khusus menyinggung kebebasan

beragama dan berkeyakinan tentang jaminan pelaksanaan kebebasan beragama

10

David Cohen, Rule of Law for Human Rights in the Asean Region: A Base-Line Study, (Depok: Human Rights Resource Centre, 2011), h. 26-27

6

dan berkeyakinan termasuk mengkhususkan pada kelompok seperti Ahmadiyah,

Bahai, Syiah, dan Kristen.

Dalam konteks ini Indonesia adalah salah satu dari beberapa negara yang

demokratis dan menghormati HAM, dengan meratifikasi norma-norma HAM

PBB. Akan tetapi banyak muncul pelanggaran HAM, khususnya hak atas

kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa ini mencapai puncaknya di

Indonesia, merujuk data Setara Institute, sekitar tahun 2012, tercatat 371 tindakan

dalam 264 peristiwa pelanggaran atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. Di

sisi lain PBB mempunyai kepentingan untuk memenuhi dan melindungi HAM di

Indonesia.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah tersebut maka dapat ditarik sebuah

pertanyaan penelitian yaitu: Bagaimana Upaya PBB dalam Mendorong

Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari dibuatnya Penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana peran PBB dalam mengatasi

Perlindungan Kebebasan Beragama dan berkeyakinan di Indonesia

tahun 2012.

b. Untuk memenuhi tugas akhir kuliah S1 jurusan Hubungan

Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7

Manfaat dari dibuatnya Penelitian ini adalah:

a. Sebagai sebuah penelitian baru, yang memang sebelumnya sangat

jarang sekali oleh para akademisi membuat judul penelitian ini, bahkan

belum ada.

b. Sebagai warisan karya akademis bagi studi Hubungan Internasional di

FISIP UIN Syarif Hidayatullah.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam inisiasi pembahasan penelitian soal “Upaya PBB dalam Menangani

Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” ini, oleh

penulis sendiri bersumber dari beberapa sumber pustaka serupa, meskipun dengan

variabel yang berbeda. Seperti:

1. Alamsyah Djafar, Herlambang, dan Muhammad Hafiz., Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: kerangka Hukum, Praktik

dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), menelaah mengenai

kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Asia Tenggara. Dimana,

kondisi tersebut mendapat perhatian oleh Organisasi Internasional PBB.

Para peneliti memakai sumber hasil rekomendasi dan hasil kesimpulan

pemantuan oleh PBB dalam menganalisa kondisi kebebasan beragama dan

berkeyakinan di Asia Tenggara.

2. Halili, dkk., Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

2012: Kepemimpinan Tanpa Prakarsa (Jakarta: Setara Institute, 2012).

Hasil penelitian ini mencatat sejauhmana kondisi kebebasan beragama dan

8

berkeyakinan di Indonesia tahun 2012 yang semakin memprihatinkan.

Setara Institute mengeluarkan data dan menelaah pelangaran atas

kebebasan beragama yang terjadi di indonesia.

Dibandingkan kedua tinjauan daftar pustaka tersebut, penelitian penulis lebih

memilih mengambil sudut pandang yang lain upaya PBB dalam mendorong

perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Tentunya

berbeda dari dua penelitian sebelumnya ini. Dari semua referensi diatas yang

dijadikan tinjauan pustaka dalam kajian ini, tentunya digunakan untuk menunjang

argumentasi tema skripsi ini.

E. Kerangka Teoritis

1. Human Security

Konsep Human security mengemuka ditandai dengan berakhirnya Cold War.

Isu yang tadinya pada masa Cold War berkutat pada keamanan tradisional –

bersifat state-sentris dan military power – berubah menjadi isu keamanan non-

tradisional. Para akademisi yang mengusung konsep ini dan mewarnai isu

keamanan non-tradisional, dikenal dengan sebutan “The Copenhagen School”

seperti Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de wilde.

Para akademisi tersebut mencoba memasukkan aspek-aspek di luar hirauan

tradisional kajian keamanan – seperti misalnya masalah kerawanan pangan,

terorisme, bencana alam, dan sebagainya – sebagai bagian dari studi keamanan.

Dengan memasukkan hal-hal tersebut ke dalam lingkup kajian keamanan, maka

9

the Copenhagen School mencoba memperluas objek rujukan (referent object) isu

keamanan dengan tidak lagi berbicara melulu “negara”, tetapi juga menyangkut

keamanan “manusia”.11

Pada tahun 1994 UNDP menjelaskan konsep human security yang mencakup:

economic security, food security, health security, enviromental security, personal

security, community security, dan political security. Secara ringkas UNDP

mendefinisikan human security sebagai : “first, safety from such chronic threats

such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden

and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or

in communities”. Jadi, secara umum, definisi human security menurut UNDP

mencakup “freedom from fear and freedom from want”.12

Pemerintah Kanada secara eksplisit mengritik bahwa konsep human security

UNDP terlalu luas dan hanya mengaitkan dengan dampak negatif pembangunan

dan keterbelakangan. UNDP mengabaikan “human insecurity resulting from

violent conflict”. Kritik senada juga dikemukakan oleh Norwegia. Menurut

Kanada, human security adalah keamanan manusia yang doktrinnya didasarkan

pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia, dan

Konvensi Jenewa. Langkah-langkah operasional untuk melindungi human

security dirumuskan dalam beberapa agenda tentang: pelarangan penyebaran

ranjau, pembentukan International Criminal Court, HAM, hukum humaniter

11

Bob Sugeng Hadiwinata, Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan Internasional: Dari Realisme hingga Konstruktivisme, h. 13 di Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional, P. Hermawan, Yulius [Ed], (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) 12

Edy Prasetyono: 2

10

internasional, proliferasi senjata ringan dan kecil, tentara anak-anak, dan tenaga

kerja anak-anak.13

Pada studi ini, konsep human security berperan penting dalam membedah

persoalan terkait upaya PBB dalam mendorong perlindungan Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Karena dalam kasus ini, konsep ini

menjadi pisau analisa utama melihat perspektif keamanan manusia dalam hal ini

warga negara Indonesia memperoleh hak atas menjalani keberagamaannya dan

keyakinannya di suatu negara. Kemudian, PBB sebagai sebuah organisasi

internasioanl yang membawa misi keamanan manusia lewat Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia, berupaya melaksanakan kewajibannya untuk

mengimplementasi norma-norma HAM di dalam melindungi kebebasan beragama

dan berkeyakinan di Indonesia.

2. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Berdasarkan kedua instrumen HAM pada Kovenan Internasional tentang Hak

Hak Sipil dan politik pasal 18 dan deklarasi penghapusan segala bentuk

Intoleransi dan diskrimansi berdasarkan agama dan berkeyakinan pasal 6 serta

Konstiusi Indonesia pasal 28 ayat E, definisi operasional kebebasan beragama dan

berkeyakinan meliputi untuk memeluk suatu agama atau keyakinan pilihannya

sendiri, kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain

menjalankan ibadah agama atau keyakinan sesuai yang dipervayainya, serta

mematuhi, mengamalkan dan pengajaran secara terbuka atau tertutup, termasuk

13

Edy Prasetyono: 2-3

11

kebebasan berganti agama atau keyakinan, bahkan untuk tidak memeluk agama

atau keyakinan sekaligus.14

Pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (violation of

rights to freedom of religion or belief) adalah bentuk kegagalan atau kelalaian

negara dalam implementasi seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak

melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau

tindak pidana berdasarkan agama atau keyakinan. Dengan demikian, pelanggaran

kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah tindakan penghilangan,

pencabutan, pembatasan atau pengurangan hak dan kebebasan dasar seseorang

ntuk beragama/berkeyakinan yang dilakukan oleh institusi negara, baik berupa

tindakan aktif (by commision) maupun tindakan pembiaran (by omission).15

Dalam studi kasus ini kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan sebuah

isu HAM spesifik yang diangkat.

3. Organisasi Internasional

Organisasi internasional merupakan salah satu aktor dalam hubungan

internasional. Pada awalnya organisasi internasional didirikan dengan tujuan

untuk mempertahankan peraturan-peraturan agar dapat berjalan tertib dalam

rangka mencapai tujuan bersama dan sebagai suatu wadah hubungan antar bangsa

dan Negara agar kepentingan masing-masing Negara dapat terjamin dalam

konteks hubungan internasional.16

14

Ismail, SBY, 9-10 15

Ismail, SBY, 13 16

Le Roy A. Bennet dikutip Anak Agung, Hubungan Internasional, 91

12

Terdapat dua kategori utama organisasi internasional, yaitu:17

1. Organisasi antar pemerintah (inter-Governmental Organizations/IGO),

anggotanyan terdiri dari delegasi resmi pemerintah Negara-negara.

Contoh, perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World Trade

Organization (WTO).

2. Organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organization/NGO),

terdiri dari kelompok-kelompok swasta di bidang keilmuan,

keagamaan, kebudayaan, bantuan teknik atau ekonomi, dan

sebagainya. Contoh, Palang Merah Internasional (PMI).

Kemudian peranan organisasi internasional dalam hubungan internasional

saat ini telah diakui karena keberhasilannya dala memecahkan berbagai

permasalahan yang dihadapi suatu Negara. Bahkan saat ini organisasi

internasional dinilai dapat mempengaruhi tingkah laku Negara secara tidak

langsung. Kehadiran organisasi internasional mencerminkan kebutuhan manusia

untuk kerjasama, sekaligus sebagai sarana untuk menangani masalah-masalah

yang timbul melalui kerjasama tersebut.18

Kemudian eksplorasi dan analisi aktivitas organisasi internasional akan

menampilkan sejumlah peranannya, yaitu: inisiator, fasilitator, mediator,

rekonsiliator, dan determinator.19

PBB sebagai aktor hubungan internasional, organisasi antar pemerintahan

(Inter-governmental Organization/IGO), memiliki anggota yang terdiri dari

17

Le Roy A. Bennet dikutip Anak Agung, Hubungan Internasional, 93-94 18

Anak Agung, Hubungan Internasional, 95 19

Andre pareira dikutip Anak Agung, Hubungan Internasional, 95

13

delegasi resmi pemerintahan negara-negara. Indonesia merupakan salah satu

anggota resmi PBB, yang juga meratifikasi norma-norma HAM PBB, sesuai

aturan harus menjalankan norma HAM terkait dan melaporkan kepada PBB.

Sedangkan PBB diharapkan untuk memainkan perannya dalam upaya mendorong

perlindungan HAM di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam proposal penelitian ini adalah kualitatif dengan

teknik pustaka berupa kajian literatur (library research) dengan memilih data yang

relevan untuk mendukung penelitian yang diambil dari referensi, artikel, jurnal,

buku-buku ilmiah, internet, media massa dan majalah.

Menurut Prof. Sugiyono metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian

yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, dimana seorang peneliti

dianggap sebagai instrument kunci.20

Selanjutnya, teknik pengumpulan data

sekunder atau library research. Dalam hal ini, data yang diperlukan akan

dihimpun dari berbagai buku bacaan/literature dari Perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakan

HRWG (Human Working Group), KontraS, dan Kementerian agama, beserta hasil

wawancara beberapa tokoh akademisi maupun parktisi yang terlibat langsung,

seperti Chairul Anam (Wakil Ketua HRWG), dst.

20

Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabet, 2009), 9

14

Kemudian, data tersebut dianalisis dengan sifat induktif/kualitatif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.21

Dalam menganalisi data, penulis akan melakukan langkah-langkah sebagai

berikut: pertama, menghimpun literature dan dokumen-dokumen yang relevan

sebagai sumber data dan informasi. Kedua, memilah atau mengklasifikasi data

atau informasi secara sistematis. Ketiga, mengadakan analisis dengan metode dan

teknik pengumpulan data yang tepat untuk dikaji berdasarkan kerangka dasar

teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Pada Skripsi ini terdapat beberapa BAB dan Sub BAB. BAB pertama,

Pendahuluan, membahas latar belakang masalah penelitian, pertanyaan, tujuan

dan manfaat , tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. BAB

kedua, membahas tentang kondisi hak asasi manusia di Indonesia, dimana

kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi salah satu isu yang penting

diperhatikan di Indonesia. BAB ketiga, membahas mekanisme hak asasi manusia

Perserikatan Bangsa Bangsa. BAB keempat, upaya Perserikatan Bangsa Bangsa

dalam mendorong perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di

Indonesia tahun 2012.

21

Sugiyono, metode penelitian, 9

15

BAB II

Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

A. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia

Indonesia dikenal citra dalam kancah internasional sebagai negara yang

demokratis dan menghormati HAM. Dalam aspek normatif Indonesia telah pula

memiliki instrumen hukum yang menunjang untuk penegakkan HAM. Namun

kenapa sampai sekarang di tataran domestik masih saja muncul pelanggaran

HAM. Berikut Menurut Aminuddin Syarif, Peneliti HAM: 22

“Kondisi HAM di Indonesia dari semenjak kemerdekaan hingga sekarang

era reformasi secara normatif sudah cukup baik dari aspek formal

perundang-undangan kita. Semisal, UU HAM, pembentukan Komnas

HAM, Komnas Perempuan, dan komisi yang lain, hingga ratifikasi

instrumen HAM internasional. Dalam aspek tersebut, dari rezim satu ke

rerim yang lain menunjukkan grafik linier kemajuan kondisi HAM di

Indonesia. Begitu pun dengan Perkembangan demokrasi kita Sudah cukup

baik dibandingkan negara yang lain. Akan tetapi, dalam implementasi

penegakkan hukum HAM sesuai UU yang sudah di ratifikasi, Pemerintah

Indonesia belum maksimal dan belum sesuai yang diharapkan. Ternyata

masih banyak peristiwa pelanggaran HAM dari setiap rezim kekuasaan.

Hal tersebut dikarenakan kondisi politik domestik yang tidak memiliki

political will untuk menegakkan HAM.”

22

Wawancara Aminuddin Syarif, Peneliti Hak Asasi Manusia, di Kediaman beliau, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 12.35-13.15 WIB.

16

Wacana HAM di Indonesia, sendiri, telah berlangsung seiring dengan

berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar

perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa

periode:

1. Periode 1945-195023

Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan

pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui

organisasi politik yang didirikan, serta ha kebebasan untuk menyampaikan

pendapat terutama di parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM dicirikan

pada:

Pertama, Bidang Sipil dan politik, melalui: UUD 1945, maklumat

Pemerintah 1 November 1945, 3 November 1945, 14 November 1945, Konstitusi

Republik Indonesia Serikat (KRIS) BAB V pasal 7-33, Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) pasal 99. Kedua, Bidang ekonomi, sosial, dan budaya,

melalui: UUD 1945, KRIS Pasal 36-40.

2. Periode 1950-195924

Periode ini dikenal dengan masa demorasi parlementer. Sejarah pemikiran

HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah

perjalanan HAM di Indonesia. Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa

itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional.

23

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta, Cetakan ketiga, 2008, 125 24

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 126

17

Menurut catatan Bagir manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada

masa ini tercermin pada lima indikator HAM: Pertama, Munculnya partai-partai

politik dengan beragam ideologi. Kedua, Adanya kebebasan pers. Ketiga,

Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis. Keempat,

Kontrol parlemen atas eksekutif. Kelima, Perdebatan HAM secara bebas dan

demokratis.

Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang

substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD 1945. Bahkan

di usulkan supaya keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD.

3. Periode 1959-196625

Periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal, digantikan oleh

sistem Demokrasi Terpimpin yang terspusat pada kekuasaan Presiden Soekarno.

Demokrasi Terpimpin tida lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno

terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai prodeuk Barat.

Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa

indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.

Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuasan terpusat pada satu tangan

presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen

dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut,

bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI semumur hidup. Akibat langsung dari

model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak hak asasi

25

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 126-127

18

warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan

dengan kebijakan pemerintahan yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas

nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarni menjadikan lembaga Kebudayaan

Rakyat (LEKRA) yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai

satu satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, leabaga selain LEKRA

dianggap anti pemerintah atau kontra revolusi.

4. Periode 1966-1998

Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi

penegakkan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde

Baru. Namun pada kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah Hitam

pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM

di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat awal 1970-an dan 1980-an.

Setelah mendapatkan mandat kosntitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde

Baru mulai menunjukkan watak asilnya sebagai kekuasaan yang militeristik fasis

dan anti HAM. Sikap anti HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan

argumen yang dikemukakan Soekarno ketika menolak prinsip dan praktik

demokrasi parlementer, yakni sikap apologis dengan mempertentangkan

demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya lokal Indonesia.

Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi

sebagai produk barat yang individualistik dan bertentangan dengan prinsip gotong

royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir

penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:26

26

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 128

19

a. HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai

luhur budaya bangsa yang tercermin dalam pancasila.

b. Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana

tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir dahulu dibandungkan

dengan deklarasi Universal HAM.

c. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk

memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya keliru,

tetapi juga tidak pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM

Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pelanggaran

HAM Orde Baru dapat dilihat dari kebijkan politik Orde Baru yang bersifat

sentralistik dan anti segala gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah.

Sepanjang pemerintahan Presiden Soeharto tidak dikenal partai oposisi, bahkan

sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai

anti pembangunan bahkan anti pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security

approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip

HAM, pemerintah Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala bentuk aspirasi

masyarakat yang dinilai berlawanan dengan Orde Baru.27

Menurut KontraS

(Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) terjadi banyak kejahatan

HAM di masa Orde Baru yakni; Peristiwa pemenjaraan, penyiksaan, pembunuhan

massal orang-orang yang dituduh komunis (!965-1968), orang-orang yang

melawan pemerintah (Tanjung Priok 1984), orang-orang yang dituduh

27

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 128

20

Gerombolan Pengacau Keamanan (Talangsari 1989), Tragedi Kedung Ombo,

peristuwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS), kerusuhan Mei 1998,

Penculikan sejumlah aktivis 97/98, Kasus Timor Leste, Kasus Aceh, dan lain

lain.28

Di tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM dilakukan oleh

kalangan organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Upaya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan

hasil yang menggembirakan di awal tahun 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan

HAM dari kalangan masyarakat mengubah pendirian pemeritah Orde Baru untuk

bersikap lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu di antara siap akomodatif

pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap pembentukan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui keputusan

presiden. Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki

pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada

pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu

pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai Pancasila dan UUD 1945.

Sayangnya, sebagai lembaga bentukan Orde Baru penegaan HAM tidak berdaya

dalam mengungkap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.29

5. Periode Pasca Orde Baru

Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia.

Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim

militer di indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga

28

Lihat: http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1710 29

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 128

21

puluh tahun lebih terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini Presiden

Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil

presiden. Menyusul berakhirnya pemerintah Orde Baru, pengkajian terhadap

ebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM

mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang-undangan baru

yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan

kemasyarakatan.30

Pada masa pemerintahan Habibie, perhatian pemerintah terhadap

pelaksanaan HAM mengalami perkembangan signifikan. Lahirnya Tap MPR No.

XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan

pemerintah menegakkan HAM.31

Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di

antaranya: konvensi HAM PBB untuk kebebasan berserikat dan perlindungan hak

untuk berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam;

konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; konvensi tentang

penghapusan kerja paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan

jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.32

Kesungguhan pemerintahan B.J Habibie dalam perbaikan pelaksanaan

HAM ditunjukan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah

Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Komitmen pemerintah

terhadap penegakan HAM juga ditunjukan dengan pengesahan UU tentang HAM,

pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung

30

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129 31

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129 32

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129

22

dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen

Kehakiman dan HAM. Penambahan pasal khusus tentang HAM dalam

amandemen UUD 1945, penerbitan Inpres tentang pengarusutamaan gender

dalam pembangunan nasional , pengesahan UU tentang pengadilan HAM.33

Di masa K.H. Abdurrahman Wahid, penegakan HAM bisa terbilang radikal

dengan mencopot Jenderal Wiranto dari jabatan Menteri Koordinasi Politik dan

Keamanan untuk mengurangi pengaruh militer dalam bidang politik dan hukum.

selanjutnya, Penghormatan hak-hak sipil politik mengalami perkembangan.

Kemudian, Pengakuan agama Konghucu sebagai salah satu agama resmi di

Indonesia, penghapusan istilah Pribumi dan Non-Pribumi karena dianggap

diskriminatif terhadap warga Tionghoa, pemisahan TNI dan Polri melalui TAP

MPR No. VI/MPR/2000, serta pembentukan pengadilan HAM ad hoc pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Keppres No. 53 Tahun 2001).34

Di masa Megawati, Di lain itu kasus HAM yang tak kalah penting yakni

mandeknya proses pengadilan HAM Timor Timur dan pengadilan HAM Peristiwa

Tanjung Priok. Penerapan darurat militer di Aceh pada wakti itu juga telah

menyebabkan pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan. Selama enam bulan

pertama penerapan darurat militer di Aceh terjadi 166 tindak kekerasan, 43 orang

diculik, 54 orang hilang, dan 145 orang tewas terbunuh. Selama periode itu juga

33

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129 34

Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasib-pelanggaran-ham-575723.html

23

terjadi 22 kasus kekerasan terhadap jurnalis. 35

Kemudian, sebuah pelanggaran

HAM yang menonjol ketika di akhir kepemimpinan beliau adalah peristiwa

pembunuhan Munir (2004). Kasus pembunuhan Munir menjadi sorotan publik

yang banyak menguras perhatian dunia internasional maupun nasional dan

mencoreng upaya reformasi di indonesia.36

Dalam masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)

selama dua periode, Penegakan HAM tidak menampakkan perkembangan apapun

bahkan di nilai gagal. SBY tidak menindak lanjuti secara serius laporan hasil

penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. hal ini

dapat dilihat dari bolak baliknya berkas perkara pelanggaran HAM berat dari

Komnas HAM ke Kejagung begitupun sebaliknya dengan alasan penyelidikan

tidak lengkap atau pengadilan HAM ad Hoc yang belum terbentuk. Sikap diam

SBY ini menyiratkan kuatnya praktek impunitas (Impunity) terhadap pelaku

pelanggaran HAM berat (gros violation of human rights) dimasa lampau karena

tidak ada yang bertanggungjawab. Semisal janji SBY menuntaskan kasus

pembunuhan Munir, ternyata sampai saat ini hanya isapan jempol belaka.37

Di masa SBY, pula terhitung banyak terjadi peristiwa konflik sosial-

horizontal sesama warga negara, baik berprespektif etnik (kerusuhan dayak vs

madura), kelompok rentan (perempuan dan anak), dan agama (kasus Ahmadiyah,

35

Baca: http://www.tempo.co/read/news/2004/03/15/05540684/Selama-Pemerintahan-Megawati-Penegakan-HAM-Mandek diakses Senin 12 Mei 2015. 36

Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 37

Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasib-pelanggaran-ham-575723.html

24

kasus Syiah, dan GKI Yasmin).38

Menurut Hasil Riset SETARA institute dari

peristiwa konflik agama terjadi banyak pelanggaran HAM atas kebebasan

beragama dan berkeyakinan yang menunjuk grafik linier menuju peningkatan dari

tahun 2007-2012. Pada tahun 2007 terjadi 135 peristiwa dan 185 tindakan

sedangkan pada tahun 2012 menanjak naik menjadi 264 peristiwa dan 371

tindakan.39

B. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan era Pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Di dalam dimensi HAM ada banyak pilihan fokus dalam meletakkan hak

dasar manusia. Salah satunya adalah Hak Kebebasan Berkeyakinan dan

Beragama. Dalam konsepsi HAM ada hak yang tidak dapat dikurangi (Non

Derogable Rights) dan hak yang dapat dikurangi (Derogable Rights). Hak untuk

hidup dan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah masuk dalam

kriteria Non Derogble Rights. Maka kewajiban negara untuk memenuhi hak

kebebasan dan berkeyakinan akan sangat penting.40

Menurut Hilal Safary, seorang peneliti, pemenuhan hak kebebasan

beragama dan berkeyakinan sangat penting oleh negara untuk dipenuhi. Pertama,

Karena harkat dan martabat manusia ditentukan atas seberapa besar seseorang

bisa menunaikan apa yang dia yakini dan percayai. Kedua, dalam relasi sosial dan

38

Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasib-pelanggaran-ham-575723.html 39

Halili dkk, Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2012: Kepemimpinan Tanpa Prakarsa, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 31-33 40

Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB.

25

politik agama seringkali dijadikan sebagai pemicu konflik dan komoditas politik,

ini yang sangat rentan dalam realita bernegara dan berbangsa kita yang

multikultur, multietnis, dan multi agama. Maka negara penting untuk bersikap

memenuhi hak kebebasan berkeyakinan dan beragama pada porsi meletakkan di

wilayah privasi indvidu dan bukan dicampur adukkan di wilayah publik.41

Ketiga, isu agama sangat sulit dijangkau melalui treatment sosial, politik,

apalagi perundang-undangan. Maksudnya terkadang ketika bicara agama melalui

aturan, bisa salah, tidak diatur salah, melalui pendekatan persuasif pun belum

tentu benar. Karena ketika muncul rasa curiga antar agama dan keyakinan, semua

jalan seakan salah, apalagi menggunakan cara represif bahkan dengan jalan

damai. Oleh karena itu menjadi penting kepada seluruh masyarakat sipil tak hanya

Non goverment Organization (NGO), yang memeluk agama dan berkeyakinan

untuk sama-sama memandang bahwa toleransi beragama dan berkeyakinan

penting untuk dijaga.42

Di masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2012),

praktek pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup

massif. Ada banyak kasus agama yang muncul dari kasus pelarangan pendirian

Rumah ibadah HKBP Philadelpia, GKI Taman Yasmin, kasus pengusiran Syiah

Sampang, kekerasan berulang terhadap warga Ahmadiyah, kasus nasib umat

kristiani Aceh Singkil, dan seterusnya.43

41

Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 42

Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 43

Halili, Setara, 55

26

Kepemimpinan SBY tampak lebih gemar berpidato tentang toleransi

daripada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi

dengan memberikan jaminan kebebasan terhadap warga negaranya. Tanpa

jaminan kebebasan, toleransi hanya akan menjadi politik kata-kata dari seorang

presiden yang tidak berkontribusi pada pemajuan HAM. Sepanjang 2012, tidak

kurang dari 15 kali Presiden SBY menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai

kesempatan. Lebih sedikit dari tahun 2011, dimana SBY menyampaikan pesan

toleransi sebanyak 19 kali. Menurut Tim peneliti SETARA institute dalam buku

Kepemimpinan Tanpa Prakarsa, SBY adalah presiden tanpa prakarsa serta

pemimpin tanpa kepemimpinan dalam hal pemenuhan dan pemajuan kebebasan

beragama/berkeyakinan.44

Menurut data yang dikeluarkan oleh SETARA Institute dari tahun 2007-

2012, terjadi kenaikan grafik secara linier atas pelanggaran hak atas Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Di tahun 2007, terjadi 135 peristiwa

dan 185 tindakan. Tahun 2008, 265 peristiwa dan 367 tindakan. Tahun 2009, 200

peristiwa dan 291 tindakan. Tahun 2010, 216 peristiwa dan 286 tindakan, Tahun

2011, 244 peristiwa dan 299 tindakan dan Tahun 2012, 264 peristiwa dan 371

tindakan

Sikap Presiden SBY yang seperti itu, menurut Aminuddin Syarif,

disebabkan karena beliau memiliki watak kepemimpinan diplomatis dan hati-hati.

Hal ini menimbulkan dampak positif dan negatif. Positif ketika konflik yang

menyinggung negara beliau respon dan atasi dengan tidak terburu-buru misalnya

44

Halili, Setara, 54

27

ketika ada masalah perbatasan teritoral indonesia-malaysia, identitas kebudayaan,

dan lain-lain. Tapi disisi yang lain ketika membutuhkan reaksi cepat atas masalah,

jadi tidak maksimal hasil penyelesaian dan terkesan terombang ambing, contoh

kasus soal pembunuhan munir45

.

C. Faktor-Faktor Terjadinya Pelanggaran Hak Atas Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Secara umum, banyaknya peristiwa dan tindakan pelanggaran hak atas

Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia menunjukkan kecenderungan

yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor:46

Pertama, Faktor Kepemimpinan Formal. Dalam hal ini aktor pemerintah

negara memiliki pengaruh untuk mempengaruhi warganya dalam bertindak.

bupati, walikota, dan gubernur yang tidak toleran mengeluarkan aturan

diskriminatif bisa menjadi legitimasi warganya untuk melakukan tindakan

anarkis, akhirnya menimbulkan banyak korban berbasis identitas agama dan

keyakinan. Contohnya kebijakan eksekutif mengeluarkan keputusan SKB 3

Menteri yang melarang aktivitas ibadah dan penyebaran ajaran warga Islam

Ahmadiyah.

Kedua, Faktor Kepemimpinan Tradisional. Kepemimpinan tradisional

dalam hal ini aktor seperti ulama, pendeta, tokoh masyarakat dan kiai bisa

memberikan legitimasi kepada masyarakat untuk berbuat intoleran. Seperti fatwa

45

Wawancara Aminuddin Syarif, Peneliti Hak Asasi Manusia, di Kediaman beliau, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 12.35-13.15 WIB. 46

Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB.

28

MUI dan tokoh masyarakat yang menjadi agen mendorong kepemimpinan formal

menjadi tunduk. Pada konteks ini meskipun di realitanya kita temukan pemimpin

formal yang pluralis namun ketika berhadapan dengan kepemimpinan tradisional

yang antiplural seringkali tidak bisa berbuat banyak karena alasan politis.

Ketiga, Faktor Status Wilayah. dimana status secara geografis suatu daerah

yang sedang mengalami masa transisi dari tradisionalis menuju industrialis.

Dimana muncul pergeseran nilai dari tradisional ke modern dalam cara

memandang agama sehingga muncul resistensi antar kelompok beragama.

Semisal di wilayah pelosok tertentu kelompok agama sudah muncul penolakan

terhadap demokrasi dan HAM yang dianggap produk barat dan dianggap yahudi

dan kafir. Sehingga tidak heran muncul pengkotak-kotakan kelompok.

D. Perhatian Internasional

Pasca Perang Dingin, Masyarakat Internasional sudah mulai memiliki

perhatian pada perkembangan HAM di dunia. Di Indonesia, perhatian terhadap

perkembanagan HAM pula dimulai ketika pasca pemerintahan Orde Baru, sejak

1998 hingga sekarang. Aktor internasional yang mempunyai perhatian pada isu

kebebasan beragama dan berkeyakinan di indonesia baik aktor bukan negara

maupun negara meliputi lembaga donor internasional, NGO yang konsen di isu

tersebut, Intergovermental Organization (INGO) bahkan aktor negara. Sebut saja

seperti The Asia Fondation, Ford Foundation, USAID, Amnesty International,

29

HRW (Human Rights Wacth), United Nations (PBB), ASEAN, kanada,

Norwegia, Belanda, dan lain lain.47

Aktor-aktor tersebut memperhatikan, memantau, dan mempelajari betul

kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di indonesia karena beberapa

alasan, seperti mayoritas muslim, multi kultur, jumlah warga negaranya salah satu

terbesar di dunia, mayoritas islam dengan kondisi politik yang demokratis.48

Pesan peradaban indonesia yang demokratis dan menghormati HAM yang

ditawarkan ke dunia internasional telah sampai, sehingga menraik perhatian

mereka. Sebetulnya aktor internasional tidak melihat kondisi riil HAM di

indonesia secara agregatif dan partikular, massifnya ekspose pemberitaan di

media soal banyaknya kasus pelanggaran atas hak tersebut. Namun, mereka justru

lebih melihat kondisi dan sikap pemerintah Indonesia atas pelanggaran yang

terjadi dengan masih menghormati prinsip demokrasi.49

Meskipun begitu, dengan kondisi domestik yang masih tinggi angka

pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan keyakinan di indonesia, tetap saja

mendapat teguran oleh masyarakat internasional. Contohnya teguran Dewan

HAM PBB terkait kondisi pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan

berkeyakinan di indonesia.

Pada 2008, pelapor khusus kebebasan beragama Dewan HAM PBB

menyatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah melalui keputusan bersama menteri di

Indonesia semakin meningkatkan resiko penyeranagan terhadap mereka dari

47

ibid 48

ibid 49

ibid

30

kelompok vigilante. Pada 2011, empat pelapor khusus mengirimkan surat kepada

pemerintah Indonesia juga terkait dengan meningkatknya penyerangan terhadap

kelompok Ahmadiyah. Termasuk dalam hal ini komunikasi dari Komisi Tinggi

HAM PBB, Navy Pillay.50

Dalam mekanisme UPR (Universal Periodec Review),

Indonesia mendapatkan perhatian serius di bidang kebebasan beragama oleh

negara-negara PBB. Tidak kurang ada 27 negara menyampaikan perhatiannya

kepada indonesia.51

50

Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik dan Perhatian Internasional, Jakarta, HRWG, 80-81 51

Ada sekitar 27 negara yang menyampaikan perhatian kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Antara lain, yakni: Austria, Qatar, Bangladesh, Brazil, Perancis, Italia, Libanon, Norwegia, Argentina, Jepang, Australia, Canada, Spanyol, Republik Korea, China, Afrika Selatan, Swedia, Switzerland, Timor Leste, Ukraina, Inggris, Denmark, Belanda, Amerika Serikat, dan Slovakia. Selanjutnya baca Alamsyah, HRWG, 81

31

BAB III

Mekanisme Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-

Bangsa

A. Sekilas tentang Perserikatan Bangsa Bangsa

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang

didirikan pada tahun 1945. Saat ini terdiri dari 193 negara anggota. Misi PBB

dipandu oleh tujuan dan prinsip yang terkandung dalam Piagam pendiriannya.52

Karena kekuasaan berada di tangan aturan bersama dan karakter

internasional yang unik, PBB dapat mengambil tindakan pada isu-isu yang

dihadapi umat manusia di abad ke-21, seperti perdamaian dan keamanan,

perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, hak asasi manusia, perlucutan

senjata, terorisme, kemanusiaan dan keadaan darurat kesehatan, kesetaraan

gender, tata kelola, produksi pangan, dan banyak lagi.53

PBB juga menyediakan forum bagi para anggotanya untuk

mengekspresikan pandangan mereka di Majelis Umum, Dewan Keamanan,

Dewan Ekonomi dan Sosial, dan badan-badan lainnya dan komite. Dengan

mengaktifkan dialog antara anggotanya, dan dengan hosting negosiasi, Organisasi

telah menjadi mekanisme bagi pemerintah untuk menemukan bidang perjanjian

52

Lihat: http://www.un.org/en/sections/about-un/overview/index.html 53

Ibid

32

dan memecahkan masalah bersama-sama. Kepala Administrasi Petugas PBB

adalah Sekretaris-Jenderal.54

Adapun organisasi utama PBB sebagai berikut:55

1. Majelis Umum

Majelis Umum adalah musyawarah utama, kebijakan dan organisasi

perwakilan dari PBB. Semua negara anggota 193 dari PBB yang diwakili dalam

Majelis Umum, sehingga satu-satunya badan PBB dengan perwakilan universal.

Setiap tahun, pada bulan September, keanggotaan penuh PBB bertemu di General

Assembly Hall di New York untuk sesi tahunan Majelis Umum, dan debat umum,

yang banyak kepala negara hadir dan alamat. Keputusan mengenai pertanyaan-

pertanyaan penting, seperti pada perdamaian dan keamanan, penerimaan anggota

baru dan hal-hal anggaran, memerlukan dua pertiga mayoritas Majelis Umum.

Keputusan mengenai pertanyaan lain oleh mayoritas sederhana. Majelis Umum,

setiap tahun, memilih seorang Presiden General Assambly untuk menjalani

hukuman satu tahun dari kantor.

2. Dewan Keamanan

Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab utama, di bawah Piagam

PBB, untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Memiliki 15

Anggota (5 tetap dan 10 anggota tidak tetap). Setiap Anggota memiliki satu suara.

Berdasarkan Piagam, semua Negara Anggota wajib mematuhi keputusan Dewan.

Dewan Keamanan mengambil memimpin dalam menentukan keberadaan

ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi. Ini panggilan para pihak yang

bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara damai dan merekomendasikan

54

ibid 55

ibid

33

metode penyesuaian atau hal penyelesaian. Dalam beberapa kasus, Dewan

Keamanan dapat resor untuk menerapkan sanksi atau bahkan mengizinkan

penggunaan kekuatan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan

keamanan internasional. Dewan Keamanan memiliki Kepemimpinan yang

bergantian, dan perubahan, setiap bulan.

3. Dewan Ekonomi dan Sosial

Dewan Ekonomi dan Sosial adalah badan utama untuk koordinasi, review

kebijakan, dialog kebijakan dan rekomendasi tentang isu-isu ekonomi, sosial dan

lingkungan, serta pelaksanaan tujuan pembangunan yang disepakati secara

internasional. Ini berfungsi sebagai mekanisme sentral untuk kegiatan dari sistem

PBB dan badan-badan khususnya di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan,

mengawasi anak dan ahli tubuh. Ini memiliki 54 anggota, yang dipilih oleh

Majelis Umum untuk tumpang tindih istilah tiga tahun. Ini adalah platform pusat

PBB untuk refleksi, debat, dan pemikiran inovatif pada pembangunan

berkelanjutan.

4. Dewan Perwalian

Dewan Perwalian didirikan pada tahun 1945 oleh Piagam PBB, di bawah

Bab XIII, untuk memberikan pengawasan internasional untuk 11 Wilayah

Perwalian yang telah ditempatkan di bawah administrasi 7 Negara Anggota, dan

memastikan bahwa langkah-langkah yang memadai diambil untuk

mempersiapkan Territories untuk diri pemerintah dan kemerdekaan. Pada tahun

1994, semua Wilayah Perwalian telah mencapai pemerintahan sendiri atau

kemerdekaan. Dewan Perwalian dihentikan operasi pada 1 November 1994.

34

Dengan resolusi yang diadopsi pada tanggal 25 Mei 1994, Dewan telah diubah

aturan prosedur untuk menjatuhkan kewajiban untuk memenuhi setiap tahun dan

setuju untuk bertemu dengan kesempatan yang dibutuhkan - dengan keputusan

atau keputusan yang Presiden, atau atas permintaan mayoritas anggota atau

Majelis Umum atau Dewan Keamanan.

5. Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional adalah organisasi peradilan utama Perserikatan

Bangsa-Bangsa. berkantor di Istana Perdamaian di Den Haag (Belanda). Ini

adalah satu-satunya dari enam organisasi utama Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak

terletak di New York (Amerika Serikat). Peran Mahkamah adalah untuk menetap,

sesuai dengan hukum internasional, sengketa hukum yang disampaikan

kepadanya oleh Negara dan memberikan pendapat penasehat tentang pertanyaan

hukum disebut dengan resmi organ PBB dan badan-badan khusus.

6. Sekretariat

Sekretariat terdiri dari puluhan ribu anggota staf PBB internasional yang

melaksanakan hari-hari kerja PBB sebagaimana diamanatkan oleh Majelis Umum

dan organ lainnya Organisasi pokok Sekretaris Jenderal dan. Sekretaris Jenderal

adalah petugas administrasi kepala Organisasi, yang ditunjuk oleh Majelis Umum

atas rekomendasi Dewan Keamanan untuk lima tahun, jangka terbarukan.

Anggota staf PBB direkrut secara internasional dan lokal, dan bekerja di stasiun

tugas dan misi penjaga perdamaian di seluruh dunia. Tetapi melayani penyebab

perdamaian di dunia yang keras adalah pekerjaan yang berbahaya. Sejak

35

berdirinya PBB, ratusan pria dan wanita pemberani telah memberikan hidup

mereka dalam pelayanan.

B. Mekanisme HAM PBB

Hak asasi manusia internasional di tetapkan dan dikembangkan melalui

kerjasama multilateral di PBB, Dewan Eropa dan organisasi internasional lainnya.

Organisasi-organisasi tersebut dibentuk melalui berbagai konvensi hak asasi

manusia, bersama mekanisme pemantauan internasional yang penting dan

merupakan tambahan kegiatan pelaksanaan yang dilakukan di tingkat nasional.56

Sistem PBB telah memainkan peran yang sangat penting dalam

memajukan dan melindungi HAM sejak PBB didirikan pada 1945. Menurut

piagam PBB, HAM adalah salah satu tugas yang diprioritaskan, ini sesuai dengan

pasal 1 paragraf 2 dan 3 Piagam PBB, bahwa pemajuan HAM adalah salah satu

tujuan utamanya.57

Sistem pemantauan HAM terbagi ke dalam dua mekanisme yaitu:

mekanisme berdasarkan piagam (the charter based mechanism) dan mekanisme

berdasarkan perjanjian (the treaty based mechanism).58

B.1. Mekanisme Berdasarkan Piagam (The Charter Based Mechanism)

Mekanisme berdasarkan piagam adalah badan-badan yang dibentuk

melalui piagam PBB. Mekanisme ini yang bersifat khas adalah Dewan Ekonomi

56

Rhona K.M. Smith dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008, 169 57

Rhona, HAM, 169-170 58

Rhona, HAM, 170

36

dan Sosial, Dewan HAM, Majelis Umum, dan Dewan Keamanan. Selain itu

terdapat banyak subkomite dan submekanisme di bawah badan-badan utama ini,

seperti Komisioner Tinggi HAM, Pelapor khusus, Kelompok Kerja, dan Diskusi

Negara (country debate).59

Dalam Piagam PBB, terdapat mekanisme pemantauan yang bersifat lebih

umum, yaitumekanisme yang dibentuk untuk bekerja di dalam bidang yang luas

dari hukum internasionalpublik dan tidak hanya hukum hak asasi manusia

internasional. Kebanyakan dari mekanisme PBB ini terkait dengan organ-organ

yang disebut dalam Pasal 7 piagam PBB, yaitu:60

Majelis Umum,

Dewan Keamanan,Dewan Ekonomi dan sosial (termasuk Komisi tentang Status Pere

mpuan dan Komisi tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana),

Dewan Perwalian,Mahkamah Internasional,Sekretariat (termasuk Sekretaris Jende

ral dan Komisionaris Tinggi Hak Asasi Manusia).

Semua mekanisme ini dibentuk sebagai organisasi utama, dan Pasal 7 ayat (2)

dari Piagam membolehkan pembentukan suborganisasi. Dalam bidang hak asasi

manusia, suborganisasi diantaranya:61

Sub-Komisi tentang Pemajuan dan

Perlindungan Hak Asasi Manusia (1947/1999), Komisi tentang Status Perempuan

(1946), dan Komisi tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (1992),

yang ada sangkut pautnya dengan bekas Komisi Hak Asasi Manusia (yang

dibentuk pada 1946) dan telah diberikan status sebagai badan utama ( pada 19

59

Rhona, HAM, 170 60

Rhona, HAM, 172 61

Rhona, HAM, 172

37

Juni 2006) dengan nama Dewan HakAsasi Manusia dengan perubahan mandat

dan keanggotannya.

Mekanisme-Mekanisme PBB jika terjadi pelanggaran HAM, yaitu:62

Dewan

Hak Asasi Manusia ( dulu adalah Komisi Hak Asasi Manusia ), Subdivisi-

subdivisi di bawah Dewan, Prosedur 1503 yaitu prosedur menurut Dewan

Ekonomi dan Sosial, dan Mekanisme Tematis dan Negara.

B.1.1. Dewan HAM PBB

Badan ini dibentuk dengan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15

Maret 2006 sebagai bagian pembaruan untuk memperkuat kegitan hak asasi

manusia PBB. Dewan ini membuka sidang pertamanya pada 15 Juni 2006. Pada

saat yang sama Komisi Hak Asasi Manusia badan yang dibentuk pada tahun 1946

oleh Dewan Ekonomi dan Sosial sesuai dengan Pasal 8 Piagam PBB dibubarkan.

Karena dewan tersebut dalam banyak hal dibentuk menurut model Komisi Hak

Asasi Manusia.63

Tujuan dari Dewan HAM PBB adalah memperkokoh pemajuan dan

perlindungan HAM dengan cara memberikan rekomendasi ketika terjadi

pelanggaran HAM dalam suatu negara.64

Adapun fungsinya adalah membangun standar hak asasi (standard setting),

melakukan monitoring atas penegakan standar HAM internasional dan melakukan

kerjasama internasional untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi. Termasuk di

dalamnya penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi, penanganan

62

Dara Hapsari Nastiti, Mekanisme HAM PBB, Lihat: https://www.academia.edu/7075173/Mekanisme_HAM_pada_PBB, 4 63

Rhona, HAM, 174 64

Dara, HAM PBB, 4

38

pengaduan (komunikasi) yang berhubungan dengan pelanggaran tersebut, dan

mengkoordinasi kegiatan yang berhubngan dengan HAM dalam sistem PBB.65

Dewan Hak Asasi Manusia mempunyai 53 anggota. Komisi ini yang

menegosiasikan Deklarasi Univesal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima

oleh Majelis Umum PBB pada 1948. Komisi tersebut bekerja untuk mengubah

DUHAM menjadi ketentuan yang tercantumdalam perjanjian-perjanjian hak asasi

manusia yang mengikat secara hukum, yang kemudianditerima oleh Majelis

Umum dan dibuka untuk penandatangan dan ratifikasi, seperti KIHSP (Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) dan KIHESB (Kovenan Internasional

tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sejumlah besar perjanjian dan

dokumen lain HAM telah dibuat kemudahan dengan bantuan Komisi tersebut.66

Aktivitas Dewan yang paling penting dan yang paling nampak adalah

kerjanya dalam menangani pelanggaran HAM. Selama lima puluh tahun

berfungsinya komisi tersebut telah membuat berbagai alat dan mekanisme untuk

semua pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum. Inti pekerjaan

pemantauan dijalankan oleh jaringan berbagai pelapor khusus dan kelompok

kerja. Subkomisi tentang pemajuan dan perlindungan HAM, dan prosedur 1235

dan 1503 adalah tiga elemen lain yang penting.67

Prosedur 1503 lebih kurang disusun sebagai prosedur pengaduan

individual. Prosedurini memberikan kepada Komisi --dan sekarang Dewan--

mandat untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi individual yang

65

Dara, HAM PBB, 4 66

Rhona, HAM, 174 67

Rhona, HAM, 175

39

didasarkan pada perjanjian internasional. Selanjutnya Dewan mungkin

mempelajari situasi tersebut dan melaporkannya kepada Dewan Ekonomi

danSosial dan memutuskan untuk mengangkat seorang pelapor khusus dan

memindahkan situasi tersebut ke prosedur 1235 yang bersifat publik.68

Mekanisme Dewan Hak Asasi Manusia dapat dibagi ke dalam empat

prosedur khusus yaitu:69

Pertama, Kelompok Kerja (Universal Periodec Review /

UPR). Kedua, Subkomisi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

(Human RightsCouncil Advisory Committee / KOMITE). Ketiga, Prosedur

Pengaduan (complaint procedure). Keempat, Prosedur Khusus /Special

Procedures (SP).

UPR adalah bagian penting dari kegiatan Dewan yang mereview secara

periodik tentang pemenuhan kewajiban HAM semua negara dan menjamin semua

negara termasuk anggotanya diperlakukan sama. Adapun tugasnya:70

pertama,

Direview 4 tahun dimana setiap 48 negara direview setiap tahun. Kedua, Negara

anggota Dewan HAM direview selama jangka waktu keanggotannya.

Ketiga, negara pertama yang direview dipilih berdasarkan kelompok

regional denganmemperhatikan distribusi secara geografis. Kemudian pemilihan

dilakukan berdasarkan Alphabetical order kecuali ada negara yang sukarela

mengajukan diri. Keempat, Review dilakukan oleh kelompok kerja yang terdiri

dari negara anggota Dewan yangbertemu 3 kali setiap tahun selama 2 minggu dan

68

Rhona, HAM, 175 69

Rhona, HAM, 175 70

Dara, HAM PBB,6

40

akan difasilitasi oleh kelompok tiganegara anggota Dewan yang akan

berperan “Rapporteurs”.

Kelima, Rekomendasi dari Special Procedures dan Human Rights treaty bodies,

serta informasi dari berbagai sumber seperti NGOs dan KOMNAS HAM suatu

negara akan diperhitungkan sebagai sumber tambahan. Keenam, Final outcome

adalah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara yang bersangkutan.

Special Procedure (SP) Dikenal sebagai mekanisme yang paling efektif,

fleksibel, dan responsive. Dengan tujuan untuk menunjukan situasi specifik suatu

negara atau masalah tematis di dunia. Saat ini terdapat 31 tematis71

dan 8 mandat

negara untuk memperkokoh system review dan menjamin sinergi dengan

mekanisme HAM yang lain dalam sistem PBB.72

- Dewan menyetujui mengenai kriteria dan process bagi review,

rasionalisasi dan perbaikan dari semua mandat dalam special procedure yang

telah dibentuk oleh Dewan. Keputusan untuk menyatukan atau

menghentikan mandat akan dipandu oleh kebutuhan memperbaiki

pemenuhan perlindungan HAM.

- Dewan terdiri dari 38 negara dan “thematic special procedures” akan

direview berdasarkan jadwal yang harus disetujui oleh Dewan.

- Proses dan kriteria umum mengenai pemilihan pemegang mandat dari

Special Procedure yang disetujui Dewan harus menjamin bahwa orang

71

Adapun 31 mandat tematik bagi pelaksana prosedur khusus Dewan HAM PBB yaitu mandat tematik dan mandat spesifik negara, mandat tematik tersebut antara lain seperti: pelapor khusus tentang hak atas pendidikan (1998), kelompok kerja tentang penahanan sewenang-wenang (1991), pelapor khusus tentang kebebasan beragama dan kepercayaan (1986), dan seterusnya. Rhona, HAM, 176-179 72

Dara, HAM PBB, 6-7

41

tersebut memiliki keahlian yang diakui, pengalaman, kemerdekaan dan

imparsial.

- ”Code of Conduct”dari pemegang mandat ditujuakn untuk memperkokoh

kefektifitasan dari sistem dan kemampuan pemegang mandat tersebut

untuk menjalankan fungsinya. kode tersebut diadopsi oleh Dewan.

Complaint Procedure berdasarkan “1503 procedure”, Mekanisme ini

memungkinkan individu dan organisasi untuk melaporkan mengenaipelanggaran

berat HAM yang membutuhkan perhatian Dewan:73

Pertama, Prosedur ini lebih

kepada victims-oriented dan bekerja dengan waktu yang lebih fleksibel. Kedua,

Memungkinkan orang yang mengajukan keluhan dan negara yang bersangkutan

diberitahu ketika mereka direview. Ketiga, Dua kelompok kerja mengenai

Komunikasi dan Situasi,akan dibentuk untuk memeriksa laporan yang dikirmkan

dan meminta perhatian Dewan mengenai pelanggaran berat HAM dan kebebasan

fundamental yang terjadi.

Keempat, Kedua Kelompok kerja tersebut akan bertemu setidaknya dua

kali setahun selama lima hari setiap periode. Kelima, Prosedur menyediakan

banyak pilihan mengenai langkah-langkah yang mungkin diambil Dewan sebagai

kesimpulan dari proses tersebut.

B.2 Mekanisme Berdasarkan Perjanjian (The Treaty Based Mechanism)

Mekanisme berdasarkan perjanjian adalah mekanisme yang dibentuk

melalui perjanjian-perjanjian hak asasi manusia yang berada di bawah sistem

PBB, terutama komite-komite dengan kewenangan untuk memeriksa dan

73

Dara, HAM PBB, 7-8

42

mengevaluasi praktik-praktik hak asasi manusia negara-negara anggota menurut

tugas yang berasal dari konvensi-konvensi. Metode kerja mereka terkait erat

dengan dokumen-dokumen pembentukannya yang membuat badan-badan ini

bersifat legalistik sejak awal.74

Perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional ini tidak hanya

membentuk hak-hak spesifik untuk orang dan kewajiban-kewajiban bagi negara,

melainkan juga membawakan mekanisme bagi pelaksanaannya di tingkat

internasional. Bahasan ini akan membicarakan instrumen-instrumen pelaksanaan

internasional yang disebut badan-badan perjanjian internasional menurut Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan KovenanInternasional

tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB).75

Pada umumnya terdapat empat (4) mekanisme utama pengaduan dan

monitoring terhadap penerapan hak asasi manusia, meskipun tidak setiap

mekanisme itu terdapat dalam ketujuh perjanjian HAM internasional ini. Adapun

keempat mekanisme tersebut adalah:76

a. Mekanisme Laporan

Semua negara yang mengesahkan satu atau lebih perjanjian internasional

tersebut berkewajiban untuk menyampaikan laporan berkala mengenai tindakan-

tindakan yang diambil negara tersebut untuk mengimplementasikan standar hak

asasi manusia yang tercantum dalam konvensi-konvensi yang bersangkutan

74

Rhona, HAM, 170 75

Rhona, HAM, 187 76

Dara, HAM PBB, 9

43

menurut komite hak untuk ekonomi, sosial, dan budaya dalam komentar umum

no. 1 tahun 1989.77

Mekanisme ini dibangun oleh badan/komite bersangkutan untuk

memantau kemajuan penerapan kewajiban Negara sebagaimana tertera dalam

perjanjian. Hal ini dilakukan melalui berbagai laporan yangwajib disampaikan

oleh Negara dalam periode tertentu pada Komite bersangkutan. Komite

mengadakan pertemuan secara periodik diantara mereka sendiri dan pertemuan

delegasi Negara Pihak. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut Komite melakukan

penilaian atas laporan yang dibuat oleh negara dan mengajukan sejumlah

pertanyaan klarifikasi. Setelah itu Komite membuat kesimpulan dan rekomendasi.

Biasanya Komite mengidentifikasi hal-hal positif yang telah dicapai, persoalan

yang masih krusial dan rekomendasi tertentu.78

b. Pengaduan Individu

Beberapa diantara konvensi ini yaitu ICCPR (Protokol Pilihan 1), CAT

(pasal 22), CERD (pasal 14) dan MWC memberi wewenang pada Komite untuk

menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan secara individual.

Mekanisme ini berhubungan dengan pengaduan dari individu atau kelompok yang

percaya bahwa hak-hak asasinya telah terlanggar.79

Individu-individu dapat

mengajukan petisi kepada Komite Hak Asai Manusia yang memantau KIHSP,

Komite Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite tentang Penghapusan

77

Rhona, HAM, 187 78

Dara, HAM PBB, 9-10 79

Rhona, HAM, 189

44

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Komite Menentang

Penyiksaan.80

c. Pengaduan Antar-Negara

Pengaduan dilakukan oleh Negara pihak terhadap Negara pihak lainnya

yang dianggap melanggar kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Negara yang

menerima komunikasi wajibh memberi tanggapan, jika tidak Negara pengadu

dapat membawa masalah ini kepada badan perjanjan yang berwenang. Badan itu

kemudian mencari pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak.81

Pengaduan antarnegara dapat disampaikan kepada Komite Hak Asasi

Manusia yang memantau KIHSP, Komite TentangPenghapusan Diskriminasi

Rasial, dan Komite Menentang Penyiksaan. Mekanisme pengaduan antarnegara

menurut Komite tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota

Keluarganya dibentuk berdasarkan konvensi tetapi belum berlaku. Tidak seperti

sistem pengaduan individual, mekanisme pemantauan ini tidak pernah digunakan

dalam sistem PBB.82

d. Mekanisme Investigasi

Mekanisme yang hanya ada pada dua konvensi HAM yaitu CEDAW dan

CAT memberi wewenang pada komite untuk melakukan investigasi atas dugaan

pelanggaran hak asasi dengan syarat pelanggaran tersebut bersifat berat atau

sistematis. mekanisme ini tidak mensyaratkan exhaustive remedies. Hasil dari

penyelidikan bersifat rahasia sampai proses penyelidikan berakhir. Komite

80

Dara, HAM PBB, 10 81

Dara, HAM PBB, 10 82

Rhona, HAM, 190

45

kemudian menyerahkan laporan itu kepada negara yang bersangkutan melalui

Sekretaris Jendral PBB. Enam bulan setelah itu, komite dapat melakukan langkah-

langkah untuk menindaklanjuti hasil laporang itu bersama negara yang

bersangkutan. Mekanisme-mekanisme ini sekaligus merupakan fungsi dari

lembaga-lembaga hak asasi yang dibentuk oleh perjanjian tersebut. Disamping

keempat fungsi tersebut beberapa lembaga ini memiliki kewenangan untuk

membuat general comments yang menginterpertasikan aturan-aturan yang ada dalam

perjanjian tersebut, seperti kewenangan dari Komite Hak EkonomiSosial

Budaya.83

General comment ini berguna untuk mengelaborasi standar dari hak yang

bersangkutan. Standar ini kelak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur

pemenuhan hak asai manusia di sebuah Negara. Ketidak seragaman dalam fungsi

masing-masing komite HAM juga terjadi pada jumlah anggota yaitu antara 10 -

23 anggota pakar. Dan mereka umumnya bersidang 2-3 kali di Geneva atau New

York.84

Mekanisme dan Tugas Badan-badan perjanjian internasional menurut

KovenanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan

Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) seperti dalam

diagram diatas.

C. Prosedur Khusus PBB dan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan

83

Dara, HAM PBB, 10-11 84

Dara, HAM PBB, 10-11

46

Pelapor khusus merupakan para ahli independen yang diberikan mandat

untuk isu HAM tertentu atau negara tertentu. Pelapor khusus kebebasan beragama

dan berkeyakinan (PK-PBB) merupakan salah satu prosedur khusus yang

dibentuk dan melaporkan kepada Dewan HAM PBB sesuai dengan Resolusi

Dewan HAM No. 4/10 tanggal 30 Maret 2007. Pelapor ini bekerja sesuai dengan

standar HAM, secara khusus yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan

berkeyakinan. Standar-standar ini dapat dijumpai dalam konvensi, perjanjian,

komentar umum, deklarasi ataupun resolusi yang diadopsi oleh negara-negara

ataupun badan PBB lainnya.85

Pada tahun 1986, Komisi HAM PBB (sekarang Dewan HAM PBB) telah

memandatkan Pelapor Khusus (Special Rapporteur on Religious Intolerance, kini

dikenal sebagai Special Reporteur on Freedom of Religion or Belief). Pelapor

Khusus ini bekerja dengan mandat untuk menjalankan ketentuan hukum

internasional, diantaranya adalah pasal 18 DUHAM tahun 1948, Pasal 18

konvensi ICCPR tahun 1966 dan juga Declaration on Elimination of All Forms of

Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief tahun 1981

(selanjutnya disebut Declaration on Religion/DR 1981, 25 November 1981).86

Pada bulan Juni 2010, Dewan HAM PBB memperluas mandat dalam

kurun tiga tahun sebagai bentuk kontribusi penting dalam proses kerja yang

sedang dilaksanakan oleh Pelapor Khusus untuk perlindungan, pemajuan dan

85

Laporan PK-PBB, Asma Jahangir: promotion and Protection of All Human Rights, Civil, Political, Economic, Sosial, Cultural Rights, including The Right to Development, (A/HR/6/5, 20 July 2007), h.5. 86

Alamsyah Djafar, dkk, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional, Jakarta, HRWG, 2012, 8

47

implementasi secara menyeluruh hak atas kebebasan beragama dan

berkeyakinan.87

Ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh pelapor khusus dalam konteks

pemajuan dan perlindungan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan, di

antaranya adalah mengirimkan komunikasi kepada negara-negara terkait dengan

kasus-kasus pelanggaran yang terjadi, melakukan kunjungan ke negara secara

resmi (official visit), terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan perwakilan

negara, kelompok agama, atau organisasi masyarakat sipil, serta mengirimkan

pernyataan, pidato dan pernyataan publik.88

Pelapor Khusus, menyampaikan sejumlah laporan dan/atau klarifikasi

terkait aspek khusus ha atas kebebasan beragama. Sebagaimana contoh Human

Rights Council memperjelaskan bahwa:

“....kebebasan berfikri, berkeyakinan dan beragama (atau dikenal sebagai

forum internum), sebagai contoh, hak untuk memilih agama, adalah hak

absolut dan sama sekali tidak bisa diintervensi atau dicampurtangani

dalam bentuk apapun”

Pelapor khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan telah mencatat:

“special attention must be given to the forum internum component of

freedom of religion or belief, which enjoys the states of an absolute

guarantee underinternational human rights law. With regard to the

freedom to manifest one‟s religion or belief, both the positive and negative

87

Alamsyah, Kebebasan beragama, 8 88

Bentuk-bentuk aktivitas ini yang selalu dilaporkan oleh pelapor secara berkala kepada Dewan HAM PBB setiap tahunnya.

48

aspects of that freedom must be equally ensured, i.e. the freedom to

express one‟s conviction as well as the freedom not to be exposed to any

pressure, especially from the State authirities or in State institutions, to

practice religious or belief activities against one‟s will.”

Berdasarkan catatan Pelapor Khusus, pemaksaan agama tertentu

merupakan bentu yang dilarang dalam hukum HAM, sebagaimana dijelaskan

berikut:

“.....any form of coercion by state and non-state actors aimed at religious

conversion is prohibited under international human rights law, and any

such acts have to be dealt with within the remit of criminal and civil law.”

Disamping keterangan tersebut, salah satu tema penting dalam konteks

Kebebasan Beragama dan HAM adalah terkait dengan dokumen yang dilangsir

oleh Dewan HAM PBB tahun 2011.89

Dokumen ini kemudian diadopsi oleh

Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. A/RES/66/167 dengan judul

“Combating Intolerance, Negative Stereotyping, Stigmatization, Discrimination,

Incitement to Violence and Violence Against Persons, Based on Religion or

Belief, pada 27 Maret 2012. Di akhir dokumen, Resolusi ini menggarisbawahi

bahwa hendaknya setiap negara mengambil peranannya di ranah domestik dalam

pembangunan lingkungan toleransi beragama, kedamaian dan saling

menghormati.90

89

Human Rights Council Resolution 16/18 of March 2011. 90

Alamsyah, Kebebasan beragama, 9

49

BAB IV

Upaya PBB dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012

Isu kebebasan beragama tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM) PBB. Hak kebebasan beragama dinyatakan secara terinci

dalam kovenan internasional internasional tentang sipil politik pasal 18 yang

isinya sebagai berikut:91

“(1) setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan

beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima

suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,

baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik

di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau

kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamatan dan

pengajaran. (2) tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga menganggu

kebebasannya sesuai dengan pilihannya.”

Dari redaksi konsttitusional diatas PBB memiliki legitimasi dalam

perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), menurut

Muhammad Hafiz, peneliti HAM Internasional, Upaya PBB dalam Perlindungan

KBB dapat dilihat dalam tanggungjawab PBB sebagai lembaga internasional. Dari

segi sejarah memang isu kebebasan beragama sudah ada sejak DUHAM dibentuk

91

Musdah mulia, dalam “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama” disampaikan pada acara konsultasi Publik untuk Advokasi terahdap RUU KUHP yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP tanggal 4 Juli 2007 Jakarta

50

dan itu semakin besar untuk bagaimana melindungi hak kebebasan beragama.

Bahkan pada tahun 1970-1980an sempat akan diadakan konvensi khusus terkait

KBB. Walaupun masih ada penolakan oleh beberapa Negara sehingga muncul

deklarasi perlindungan minoritas dan intoleransi, jadi cikal bakal perhatian PBB

terhadap isu KBB ada dalam momen tersebut.

Dari perhatian itulah, PBB pada tahun 1950-an membentuk satu pelapor

khusus atau satu prosedur khusus di bawah komisi HAM PBB yang diberi nama

„pelapor khusus untuk intoleransi dan diskriminasi‟ yang kemudian menjadi

„pelapor khusus untuk kebebasan beragama‟. Perhatiannya terhadap KBB sudah

cukup tinggi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Negara-negara lain.92

A. Peran PBB dalam menangani Perlindungan Kebebasan Beragama

dan Berkeyakinan di Indonesia

Indonesia telah melalui dua putaran UPR Dewan HAM PBB. Pertama

pada tahun 2008 dan kedua pada tahun 2012. Untuk sesi pertama, peninjauan oleh

Working Group dilakukan pada 9 April 2008. Delegasi dari Pemerintah Indonesia

adalah duta besar Rezlan Ishar Jenie. Pada 11 April 2008, Working Group

mengadopsi laporan untuk Indonesia dan disahkan dalam paripurna Dewan HAM

PBB pada 14 Mei 2008 melalui resolusi A/HRC/8/23.93

Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei

2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150

92

Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015 93

Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), 79

51

rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang

ditunda atau tanpa penjelasan.94

Kondisi kebebasan beragama di Indonesia menjadi perhatian Pelapor

Khusus Dewan HAM PBB. Pada 2008, Pelapor khusus kebebasan beragama

menyatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah melalui Keputusan Bersama Menteri

di Indonesia semakin meningkatkan resiko penyerangan terhadap mereka dari

kelompok vigilante. Pada 2011, empat Pelapor khusus Pemerintah Indonesia juga

terkait dengan meningkatnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah.

Termasuk pula dalam hal ini komunikasi dari Komisi Tinggi HAM PBB, Navy

Pillay.95

Adapun pernyataan Navy Pillay sebagai berikut:

“Dalam konstitusi Indonesia dikatakan bahwa setiap orang bebas memilih

dan melaksanakan ibadah agama pilihan mereka. Indonesia adalah

negara yang kaya budaya dan sejarah terkait keberagaman dan toleransi.

Indonesia beresiko kehilangan ini semua jika tidak segera dilakukan

tindakan tegas. Untuk itu, pemerintah Indonesia segera

mengamandemenkan atau menghapuskan undang-undang Penodaan

Agama tahun 1965, keputusan menteri tahun 1969 dan 2006 soal

pendirian rumah ibadah, dan Surat Keputusan Bersama Menteri tahun

2008 soal Ahmadiyah.”

Dalam mekanisme Universal Periodec Review (UPR), Indonesia

mendapatkan perhatian serius di bidang kebebasan beragama oleh Negara-negara

94

Alamsyah Djafar, Kebebasan Beragama 95

Alamsyah Djafar, Kebebasan Beragama

52

PBB. Tidak kurang dari 27 Negara menyampaikan perhatiannya, yaitu Austria,

Qatar, Bangladesh, Brazil, dan seterusnya.96

Dari sejumlah rekomendasi yang muncul, ada beberapa isu kebebasan

beragama yang dapat dapat disebutkan disini, diantaranya adalah: dorongan untuk

menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan perlindungan bagi

kelompok minoritas dari ancaman kekerasan (rekomendasi paragraph 108.111,

108.112, 108.113, 108.115), mendorong upaya menghapuskan diskriminasi dan

menghormati hak hak minoritas agama (paragraph 108.102, 108.107, 108.110),

mendorong toleransi beragama dan kerukunan melalui FKUB (paragraph 108.97,

108.100., 108.109, 108.`139), melakukan review peraturan, kebijakan dan

mengambil langkah legislasi agar sesuai dengan hak kebebasan beragama di

dalam konstitusi dan instrument internasional, termasuk pula menegakkan hukum

para pelaku pelanggaran (paragraph 108.98, 108.99, 108.103, 108.104, 108.105,

108.108, 108.109, 108.112), melakukan training dan kampanye untuk

meningkatkan kesadaran petugas negara dalam isu kelompok agama (paragraph

108.101) dan pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial kelompok minoritas

(108.144). 97

Terkait Upaya PBB dalam menangani perlindungan KBB di Indonesia,

HRWG (Human Rights Working Group) berpendapat bahwa ada perhatian khusus

yang diberikan karena ada fenomena meningkatnya kasus-kasus intoleransi dan

meningkatnya kekerasan berbasis agama terutama pasca reformasi. Sehingga

96

Report of working group on the Universal Periodec Review: Indonesia (A/HRC/21/7) 97

Alamsyah djafar, Kebebasan Beragama

53

respon dari masyarakat sipil di Indonesia juga mendorong perhatian PBB untuk

lebih serius memperhatikan Indonesia. Dalam konteks itu, sebenarnya perhatian

PBB tidak bisa dilepaskan dari dorongan aktor di tingkat nasional yang selalu

memberikan update dan informasi bahkan beberapa kali pertemuan dengan

pelapor khusus, baik secara langsung ataupun tidak, agar Indonesia diperhatikan.98

Adapun tantangan bagi PBB dalam perlindungan KBB di Indonesia bahwa

PBB merupakan lembaga internasional yang sangat terkait dengan dua hal.

Pertama, bagaimana soal etika hubungan antar Negara itu dibangun Negara

dengan warga negaranya. Kedua, soal peranan politisnya untuk mendesak Negara-

negara, walaupun secara tidak langsung. 99

Dari segi politis, tentu, pelapor khusus atau PBB sendiri memiliki peran

penting untuk menekan pemerintah Indonesia secara tidak langsung, baik secara

vulgar melalui mekanisme-mekanisme yang ada di PBB. Misalnya, lewat sidang

dewan HAM dimana didalamnya ada proses UPR atau melalui sarana-sarana

diplomatik dengan mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia, entah itu dari

OHCHR atau dari pelapor khususnya sendiri atau dari Komisi HAM nya sendiri.

Jadi ada layer-layer yang digunakan PBB untuk memperhatikan kasus-kasus di

Indonesia dan memunculkan peranan tersendiri bagaimana menekan pemerintah

Indonesia.100

98

Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015 99

Ibid. 100

Ibid.

54

B. Alasan PBB mengeluarkan Rekomendasi terkait Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Ada beberapa forum yang diangkat untuk mengangkat isu kebebasan

beragama. Dalam catatan Human Rights Working Group (HRWG), setidaknya,

ada dua momen yang begitu kuat ditingkat internasional dimana kasus Kebebasan

Berkeyakinan dan Beragama menjadi perhatian bagi Negara-negara anggota PBB

atau bahkan pelapor khusus.101

Pertama, ketika UPR dilakukan pada tahun 2012. UPR adalah mekanisme

review Negara terhadap situasi hak asasi manusia secara umum. Ditambah lagi

masyarakat sipil ketika itu merasa penting mengangkat isu KBB yang memang

sangat kritis. Intolerasi meningkat dibarengi dengan tindak kekerasan. ada kasus

Cikesik dan Sampang yang terjadi beberapa kali, kemudian Gereja Kristen

Indonesia (GKI) Yasmin dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Philadelpia

yang tidak kunjung selesai belum lagi kasus-kasus lain yang secara rutin

dimonitor oleh masyarakat sipil. Sehingga merasa penting untuk mengangkat isu

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di forum UPR.102

Ada satu laporan khusus terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

yang dibuat HRWG dan dijadikan modal untuk melobi, berdiplomasi dengan

Negara-negara dewan HAM di forum UPR. Akibat dari itu, isu Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan menjadi sangat panas waktu itu bahkan menurut

analisa HRWG, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang seharusnya tidak

101

Ibid. 102

Ibid.

55

dijadwalkan pergi, karena besarnya perhatian Negara-negara terhadap isu HAM,

khususnya Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Menteri Luar

Negeri sendiri yang kemudian hadir di Forum UPR itu. Jika dilihat dari kasus per

kasus, isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan memang paling tinggi

perhatiannya dibandingkan dengan isu-isu lain. Dari 130 rekomendasi ada sekitar

30-35 rekomendasi yang spesifik membahas KBB103

.

Kedua, ketika ada review di bawah mekanisme kovenan hak sipil politik di

depan komite HAM PBB. Dimana mekanisme HAM PBB yang seharusnya hanya

ada yang tertutup tetapi juga disediakan akses masyarakat sipil yang tidak terlalu

politis sebagaimana di dewan HAM. Forum tersebut juga dapat digunakan sebagai

laporan alternatif. Forum itu pula yang biasa digunakan oleh masyarakat sipil

ketika itu untuk membuat laporan alternatif tentang Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan. Hampir seluruh perhatian Komite HAM PBB pada tahun 2012

diberikan untuk isu-isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Sehingga ada

banyak rekomendasi spesifik yang berbicara tentang Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan. Salah satu rekomendasinya adalah Indonesia harus meningkatkan

dialog antar umat beragama, harus mencabut PNPS, mencabut Undang Undang

penodaan agama, menjamin pendirian rumah ibadah, dan seterusnya.104

103

Ibid. 104

Ibid.

56

Dua momen itu yang cukup memberikan efek baik secara langsung

maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap pemerintahan untuk

melakukan perlindungan di dalam negeri.105

C. Respon Indonesia terhadap Rekomendasi Mekanisme PBB

Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei

2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150

rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang

ditunda atau tanpa penjelasan.106

Adapun rekomendasi-rekomendasi yang tidak diterima oleh Pemerintah

Indonesia, di antaranya adalah mengundang Pelapor Khusus Kebebasan

Beragama (Paragraf 109.17, 109.18 dan 109.19) dan dorongan untuk merevisi

atau menghapuskan peraturan atau keputusan yang membatasi kebebasan

beragama, termasuk pula UU no 1/PNPS/1965 dan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah.107

Adapun respon Indonesia terhadap mekanisme HAM PBB, menurut

HRWG, ada yang sisi positif ada juga yang sisi negatif. Positif maksudnya

menjadikan rekomendasi itu sebagai bahan evaluasi walaupun sebetulnya sangat

kecil yang merespon secara positif. Selebihnya, sebetulnya tidak merespon secara

negatif tetapi ada semacam penolakan atau bersikap defensif terhadap serangan-

serangan itu dengan mengatakan bahwa “yaa itu kan Cuma segelintir kasus, dari

105

Ibid. 106

Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), 79 107

Alamsyah Djafar, Kebebasan Beragama, 81

57

sebanyak itu kan cuma GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia yang bermasalah,

Ahmadiyah cuma di Cikesik saja, Sampang juga cuma ada satu”. Seakan menolak

rekomendasi-rekomendasi tersebut dan menolak fakta yang ada. 108

Walaupun begitu ada keyakinan bahwa pemerintah pasti merasa harus

memperbaiki diri dan mencoba jangan sampai kasus ini terulang kembali dan

kembali memperburuk citra Indonesia di mata dunia hanya karena permasalahan-

permasalahan kecil yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diselesaikan.109

Menurut Wahid Institute Peran PBB dalam melindungi KBB di Indonesia

dianggap efektif, karena isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan isu-isu

yang lain menjadi bagian dari pergaulan internasional. Kalau ada permasalahan

dengan isu-isu ini maka dunia akan menyoroti Indonesia sebagai negara yang

tidak menghormati HAM. Itu juga akan menjadi masalah dalam konteks

hubungan internasional. 110

Hal tersebut secara tidak langsung menekan pemerintah untuk melakukan

antisipasi dan dari kacamata aktivis NonGovermental Organization upaya tersebut

cukup efektif. Misalnya, jika indonesia dianggap negara intoleran maka dimata

internasional ada noda sehingga pemerintah mulai berfikir bagaimana merespon

ini untuk mengembalikan citra indonesia dengan melakukan langkah-langkah

yang telah ditetapkan. Meskipun langkah-langkahnya belum sesuai dengan apa

108

Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015 109

Ibid. 110

Wawancara Alamsyah Djafar, Peneliti Wahid Institute, di Hotel House of Arsonia, Bendungan Hilir Jakarta Pusat, pada Tanggal 20 Mei 2015

58

yang diharapkan. Efektifitas peran PBB itu mempengaruhi pergaulan

internasional mau tidak mau pemerintah haru mengkuti mekanisme yang ada.111

111

ibid

59

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam bab penutup ini peneliti akan menjawab pertanyaan penelitian

Skripsi ini “Bagaimana Upaya PBB dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012?

Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan tercantum dalam Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Hak kebebasan beragama

dinyatakan secara terinci dalam kovenan internasional internasional tentang sipil

politik atau International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) pasal

18.

Dalam konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Indonesia telah

melalui 2 putaran UPR Dewan HAM PBB. Pertama pada tahun 2008 dan kedua

pada tahun 2012. Untuksesi pertama, peninjauan oleh Working Group dilakukan

pada 9 April 2008. Delegasi dari Pemerintah Indonesia adalah duta besar Rezlan

Ishar Jenie. Pada 11 April 2008, Working Group mengadopsi laporan untuk

Indonesia dan disahkan dalam paripurna Dewan HAM PBB pada 14 Mei 2008

melalui resolusi A/HRC/8/23.

Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei

2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150

rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang

ditunda atau tanpa penjelasan.

60

Kondisi tersebut membuktikan Indonesia menjadi perhatian Pelapor

Khusus Dewan HAM PBB. Pada 2008, Pelapor khusus kebebasan beragama

menyatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah melalui Keputusan Bersama Menteri

di Indonesia semakin meningkatkan resiko penyerangan terhadap mereka dari

kelompok vigilante. Pada 2011, empat Pelapor khusus Pemerintah Indonesia juga

terkait dengan meningkatnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah.

Termasuk pula dalam hal ini komunikasi dari Komisi Tinggi HAM PBB, Navy

Pillay.

Perhatian khusus yang diberikan PBB karena ada fenomena meningkatnya

kasus-kasus intoleransi dan meningkatnya kekerasan berbasis agama terutama

pasca reformasi. Perhatian PBB juga tidak bisa dilepaskan dari dorongan aktor

masyarakat sipil di tingkat nasional yang selalu memberikan update dan informasi

bahkan beberapa kali pertemuan dengan pelapor khusus, baik secara langsung

ataupun tidak, agar Indonesia diperhatikan.

Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei

2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150

rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang

ditunda atau tanpa penjelasan.

Adapun rekomendasi-rekomendasi yang tidak diterima oleh Pemerintah

Indonesia, di antaranya adalah mengundang Pelapor Khusus Kebebasan

Beragama (Paragraf 109.17, 109.18 dan 109.19) dan dorongan untuk merevisi

atau menghapuskan peraturan atau keputusan yang membatasi kebebasan

61

beragama, termasuk pula UU no 1/PNPS/1965 dan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah.

Adapun respon Indonesia terhadap mekanisme HAM PBB, ada yang sisi

positif ada juga yang sisi negatif. Positif maksudnya menjadikan rekomendasi itu

sebagai bahan evaluasi walaupun sebetulnya sangat kecil yang merespon secara

positif. Selebihnya, sebetulnya tidak merespon secara negatif tetapi ada semacam

penolakan atau bersikap defensif terhadap serangan-serangan tersebut.

Walaupun begitu tetap ada keyakinan bahwa pemerintah pasti merasa

harus memperbaiki diri dan mencoba jangan sampai kasus ini terulang kembali

dan kembali memperburuk citra Indonesia di mata dunia hanya karena

permasalahan-permasalahan kecil yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk

diselesaikan.

62

DAFTAR PUSTAKA

Bibliografi Buku:

ASEAN Selayang pandang, Edisi ke-19, (Jakarta: ASEAN, 2010)

Bambang Yudhoyono: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di

Indonesia 2011 (Jakarta: Setara Institute, 2011)

Burchill, Scott & Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional

(terj), (Bandung: Nusamedia, 2009)

Carlsnaes, Walter, dkk., Handbook Hubungan Internasional, (Bandung:

Nusamedia, 2013)

Cipto, Bambang, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, (Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2010).

Cohen, David, Rule of Law for Human Rights in the Asean Region: A

Base-Line Study, (Depok: Human Rights Resource Centre, 2011)

Djafar, Alamsyah, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia

Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta:

HRWG, 2012)

Griffiths, Martin, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional,

(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001)

Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos [ed]. Dari Radikalisme menuju

Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di

Jawa Tengah & D.I Yogyakarta, (Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara

2012).

63

Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos [ed]. Wajah Para „Pembela‟

Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan

Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat,

(Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara, 2010).

Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Politik Diskriminasi

Rezim Susilo

Hasani, Ismail, (ed), Dokumen Kebijakan: Penghapusan Diskriminasi

Agama/Keyakinan (Jakarta: Setara Institute, 2011)

Halili, dkk., Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

2012: Kepemimpinan Tanpa Prakarsa (Jakarta: Setara Institute, 2012)

HRWG dan KOMNAS HAM, Laporan Pemantauan Pelaksanaan

Rekomendasi Komite oleh Pemerintah RI: CAT, CEDAW, CERD, CRC

(Jakarta: HRWG, 2011)

Holsti, K.J. diterjemahkan oleh Juanda, Wawan. Politik Internasional:

Kerangka Analisis, (Bandung: PT Binacipta, 1992)

Jackson, Robert & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan

Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

Luhulima, C.P.F., Dinamika Asia Tenggara menuju 2015, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar-P2P-LIPI, 2011)

Makarim, Mufti, dkk. Ed., Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor

keamanan Indonesia (Jakarta: IDSPS-HRWG-DCAF-KOMNASHAM,

2009)

64

Mas’oed, Mochar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,

(Jakarta: LP3ES, 1990)

Muryandari, Ganewati [Ed], Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah

Arus Perubahan Politik Internasional, (Yogyakarta, P2P-LIPI-Pustaka

Pelajar, 2011)

Muryandari, Ganewati [Ed], Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah

Pusaran Politik Domestik , (Yogyakarta, P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2011)

Nazir, Moh., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009)

Perwita, Anak Agung Banyu, Pengantar Hubungan Internasional,

(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006)

P. Hermawan, Yulius [Ed], Transformasi dalam Studi Hubungan

Internasional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)

Rezasyah, Teuku, Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan

Praktik, (Yogyakarta: Humaniora, 2008)

Rachmawati, Iva, Memahami Perkembangan Studi Hubungan

Internasional, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012)

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:

Alfabet, 2009)

Tim Penyusun, Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi, FISIP

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012

Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan (Civic

Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,

(Jakarta: Kencana-ICCE UIN Jakarta, 2008)

65

Winarno, Budi, Isu-Isu Global Kontemporer, (Jakarta: CAPS, 2011)

Rhona K.M. Smith dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta,

PUSHAM UII

Bibliografi Jurnal

Report of working group on the Universal Periodec Review: Indonesia

(A/HRC/21/7)

Term of Reference of ASEAN Intergovermental Commision on Human

Rights

Human Rights Council Resolution 16/18 of March 2011

Laporan PK-PBB, Asma Jahangir: promotion and Protection of All

Human Rights, Civil, Political, Economic, Sosial, Cultural Rights,

including The Right to Development, (A/HR/6/5, 20 July 2007)

Bibliografi Jurnal Online

Musdah mulia, dalam “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama”

disampaikan pada acara konsultasi Publik untuk Advokasi terahdap RUU

KUHP yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP

tanggal 4 Juli 2007 Jakarta

66

Bibliografi Website

American Bar Association Rule of Law Initiative, “Expert‟Note on the

ASEAN Human Rights Declaration” Washington, May 2012,

http://www.americanbar.org

international Covenant on Civil and Political Rights dalam halaman

http://trearies.un.org

“Menlu RI sambut penyerahan Deklarasi HAM ASEAN”, Rabu, 10 Juli

2012, http://www.deplu.go.id (diakses pada 10 September 2012)

Dara Hapsari Nastiti, Mekanisme HAM PBB, Lihat:

https://www.academia.edu/7075173/Mekanisme_HAM_pada_PBB

(diakses pada 22 Mei 2015

http://www.un.org/en/sections/about-un/overview/index.html

Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran

HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasib-

pelanggaran-ham-575723.html

http://www.tempo.co/read/news/2004/03/15/05540684/Selama-

Pemerintahan-Megawati-Penegakan-HAM-Mandek diakses Senin 12 Mei

2015.

67

DAFTAR SINGKATAN

ASEAN Association Southeast of Asia Nation

CAT Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment

CED International Convention for the Protection of All Persons from Enforced

Disappearance

CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against

Women

CERD Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against

Women

CPD/CRPD Convention on the Rights of Person with Dissabilitites

CRC Convention on the Rights of the Child

DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

FKUB Forum Kerukunan Umat Beragama

GKI Gereja Kristen Indonesia

HRWG Human Rights Working Group

HAM Hak Asasi Manusia

HKBP Huria Kristen Batak Protestan

ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights

ICESCR International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

JAI Jemaah Ahmadiyah Indonesia

KBB Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

KontraS Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

NGO Non Govermental Organization

68

NTB Nusa Tenggara Barat

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

ONCHR Office of High Commisioner of Human Rights

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PK-PBB Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa

SKB Surat Keputusan Bersama

SBY Susilo Bambang Yudhoyono

UPR Universal Periodec Review

69

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 4

Transkip wawancara

Nama: Hilal Safary

Instansi: SETARA Institute

Jabatan: Peneliti HAM Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Waktu: Senin 11 Mei 2015

Tempat: Kantor SETARA Institute, Jl. Danau Gelinggang, Bendungan Hilir,

Jakarta Pusat

Dalam konteks HAM, seberapa penting sebenarnya isu Kebebasan Berkeyakinan

Dan Beragama (KBB) diperjuangkan?

Dalam HAM ada hak-hak yang dapat dikurangi dan tidak dapat dikurangi. Nah, hak

untuk berkeyakinan dan beragama adalah hak yang tidak dapat dikurangi. Itu menjadi

penting, karena harkat dan martabat seseorang adalh ketika orang itu dapat menunaikan

apa yang diyakini dan apa yang dipercaya. Berbeda ketika hak-hak kita untuk

berpendapat itu dibatasi atau hak kita untuk berkumpul itu dibatasi. Warga Negara akan

kehilangan harkat dan martabatnya ketika ia dibatasi keyakinannya, dibatasi

kepercayaannya pada sesuatu konsep atau pada apa yang diyakininya sebagai Tuhan. Dia

70

akan kehilangan spirit hidup. Karena yang diyakini adalah bahwa hidup itu untuk

menjalankan agama atau apa yang ia yakini.

Selanjutnya, dalam konteks relasi sosial dan politik, agama seringkali dijadikan motif

untu pemicu konflik yang sebetulnya jika tidak dibumbui agama konflik itu menjadi tidak

massif dan tidak besar. Singkatnya, agama sering dijadikan komoditas politik. Oleh

karena itu, setiap warganegara harus sadar bahwa ini (berkeyakinan dan beragama)

adalah sebua kebebasan yang harus dihargai dan dihormati karena tidak ada kebenaran

yang mutlak dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun, dalam konteks

berkeyakinan dan beragama bahwa kita menganggap agama kita paling benar dan agama

kita merupakan jalan satu-satunya menuju surga itu bukan persoalan. Dalam konteks

berbangsa dan bernegara, Klaim kebenaran (mutlak) semacam itu seharusnya

ditinggalkan dan dimasukan dalam rumah masing-masing dan tidak dibawa ke ruang-

ruang publik.

Selain dapat dipolitisir, KBB juga merupakan isu yang paling sulit dijangkau melalui

treatment sosial, politik, apalagi perundang-undangan. Kadang-kadang, kalau kita

berbicara KBB dengan aturan salah, tetapi tidak diatur salah. Melalui pendekatan

persuasif belum tentu benar. Karena kalau sudah terbangun rasa curiga, semua jalan

menjadi tidak benar, apalagi dengan menggunakan cara represif dan menggunakan

kekerasan. nah itu menjadi penting, bukan hanya untuk NGO dan kelompok masyarakat

sipil yang memang kordnya di isu KBB, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya pada

agama, sebetulnya

Bagaimana dengan kondisi KBB di Indonesia sejak SETARA Institute berdiri

sampai di tahun 2012?

71

Menurut data, konflik KBB sebenarnya secara massif meningkat di antara tahun 2007

sampai 2012. Peningkatannya linear dan tidak naik turun. Ditahun 2012 itu terlihat terjadi

titik akumulasi konflik dan Pada tahun 2013 itu baru menurun.

Apa Kecenderungan yang terjadi?

Setiap tahun, pada masa pemantauan, konflik KBB itu dipengaruhi oleh tiga hal: 1)

kemimpinan formal dalam pemerintah, misalnya Kepala Daerah mengeluarkan Perda

yang Intoleran sehingga dapat dijadikan legitimasi bagi warganya untuk melakukan

tidakkan represif terhadap kelompok agama tertentu, diperkuat oleh Countdowning

(persetujuan suatu tindakan oleh seorang figure berpengaruh); 2) kepemimpinan

tradisional (Ulama, gereja, kyai), seringkali kepemimpinan tradisional yang menjadi

agen-agen yang mendorong pemerintah untuk menjadi tunduk; 3) kondisi geografis,

dimana wilayah tersebut masuk ke dalam kawasan transisi (misalnya dari masyarakat

tradisional ke masyarakat modern), ada pergeseran nilai yang membuat kelompok agamis

menjadi resisten terhadap konsep-konsep yang dilekatkan pada modernitas, seperti

sekularisme, HAM, dan Demokrasi. Semakin resisten maka semakin ada pengotak-

kotakan antara kelompok yang pro status quo dengan kelompok yang prograsif. Misalnya

dalam kasus penolakan pendirian gereja, itu tidak datang dari kelompok yang pro

demokrasi, tetapi dari kelompok agamis tradisional yang resisten karena eksistensinya

mulai terancam. Itu kemudian yang dimanfaakan oleh pemimpin masyarakat sekitar

untuk melakukan desakan, tuntutan, dan bahkan ancaman ke pemerintah. Bahwa secara

kuantitas mereka tidak banyak, karena mengklaim kelompok yang lebih besar, seperti

islam, itu menjadi sulit ditolak karena sifatnya jadi politis. Dan bisa dibilang saat ini

terjadi proses duplikasi, misalnya dulu terjadi hanya di daerah Tangerang, Bogor, dan

Bekasi saat ini menular ke daerah Tasikmalaya, Cianjur, dan sekitarnya. Atau bisa saja

juga akan menjangkiti daerah-daerah yang cenderung toleran. Seolah-olah ada nilai baru

72

yang tidak siap mereka tampung. Itu dapat menjadi ancaman, yang sesungguhnya

perbedaan-perbedaan itu bisa didamaikan dengan toleransi. Walaupun nilai-nilai toleransi

itu juga ditolak oleh kelompok tradisional.

Bagaimana perhatian Internasional terhadap isu-isu KBB?

OKI, PBB, dan ASEAN sangat memantau dan mempelajari konflik-konflik berbasis

agama di Indonesia, bahkan perhatian yang ditujukan kepada Indonesia melebihi kepada

Negara-negara lain, Karena Indonesia mayoritasnya adalah muslim, multikultur, jumlah

warganegaranya banyak, Negara demokratis dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.

Itu sebetulnya adalah value yang ingin disampaikan dan seharusnya pesannya sudah

sampai. Apa yang kita sebut KBB di Indonesia tidak terjamin, rasa-rasanya dalam

konteks hubungan diplomatis tidak melihat itu. Mereka hanya melihat interaksi hubungan

antar kebudayaan yang sifatnya non agregatif. Mereka tidak mengurusi hal-hal yang

sifatnya particular. Bahwa mereka faham betul di Indonesia masih ada yang sulit

mendirikan rumah ibadah, tetapi secara umum mereka melihatnya kondusif. Itu juga yang

menjadi alasan mengapa SBY mendapatkan award untuk toleransi berkeyakinan dan

beragama pada tahun 2013 dari NGO internasional.

Di Indonesia, kasus yang sering mendapatkan teguran internasional adalah kasus

hukuman mati. Selebihnya tidak signifikan. Bahkan mereka menganggap, bahwa konflik

KBB di Indonesia masih dalam kategori normal. Sebenarnya juga kita tidak

berkepentingan terhadap penetapan status normal atau tiak normalnya eskalasi konflik

KBB di Indonesia. Toh, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Tahun 2012 PBB pernah membuat rekomendasi untuk kasus KBB di Indonesia,

strateginya bagaimana agara rekomendasi dapat dilaksanakan?

73

Seharusnya ada mekanisme untuk menakar apakah rekomendasi itu sudah dijalankan atau

belum. Kalau tidak terpenuhi lalu mau apa?.

Donor Internasional sendiri perhatian terhadap isu KBB bagaimana?

Umumnya ingin memastikan demokrasi di Indonesia tidak hanya menampilkan

demokrasi formalistik yang sifatnya hanya procedural tetapi juga substansial. Di

Indonesia ini seharusnya pilot project karena tingkat pluralistiknya yang tinggi. Jadi

sangat representatif untuk memperlihatkan bahwa dunia itu bisa diatur dengan baik kalau

demokrasi bisa mengatur Indonesia dulu. Demokrasi selalu head to head dengan islamis

dan marxis tapi di Indonesia demokrasi bisa kompatibel dengan keduanya.

Donor yang concern terhadap itu ada Asia foundation, kedutaan-kedutaan asing (Canada,

Belanda, Amerika, Swedia, Swiss, Jerman)

Adakah analisa soal kecenderungan donor?

Mereka cenderung support terhadap project pendampingan, pemenuhan hak-hak dasar

korban, untuk penguatan kesadaran, wawasan, dll, kampanye.

Apakah semua donor membiayai semua fokus dari kampanye sampai keupaya

penyadaran?

Tidak bisa dibuat cluster. Tetapi ada irisan antara satu proyek dangan proyek yang lain.

74

Nama: Amin Syarifuddin

Instansi: SETARA Institute

Jabatan: Peneliti HAM

Waktu: Senin 11 Mei 2015

Tempat: Kediamanan Beliau di Serpong, Tangerang Selatan, Banten

Bagaimana kondisi HAM pasca kemerdekaan?

secara normatif, undang-undang dan ratifikasi instrument HAM internasional sudah

cukup baik. Dibandingkan dengan Negara-negara lain, Indonesia, jauh lebih baik. Namun

pada prakteknya berbeda. Masih ada pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap

hak-hak yang sifatnya tidak dibatasi. Misalnya saja hukuman mati masih diberlakukan.

Bagaimana dengan (kondisi HAM) pasca reformasi?

Selama reformasi sebenarnya tidak ada tonggak yang menandakan kemajuan. Namun

pada hal yang sifatnya formal sudah cukup baik. Misalnya dengan hadirnya Komnas

HAM. Namun lagi-lagi kalau kita tinjau dari segi kewenangan, Komnas HAM diberikan

mandat sebatas memberikan rekomendasi saja namun setelah itu mau apa? Komnas HAM

sulit bergerak. Namun menurut saya, saat ini bukan lagi soal instrument yang harus

dibenahi tetapi soal political will pemerintah dan jajarannya.

Kalau menurut abang, bagaimana (kondisi HAM) jika dibandingkan antara

masanya Gus Dur dengan polanya yang khas, masa Megawati, sampai ke masa

SBY?

75

Pembunuhan Munir adalah sebuah pukulan terbesar bagi pergerakan demokrasi dan itu

dapat dijadikan indikator kemunduran yang paling nyata. Indikator kemunduran

selanjutnya dapat kita lihat dari proses peradilan kasus Munir, yang hingga saat ini dapat

dikatakan belum mendapatkan porsi yang layak. Karena dalang pembunuhannya belum

tertangkap. Selebihnya, di setiap rejim itu selalu ada kelebihan dan kekurangannya.

Gus dur misalnya, kita lihat secara personal bisa dibilang progresif, tetapi situasi politik

tidak memungkinkan progresifitas Gus Dur termanifestasikan dalam bentuk kebijakan

dsb. Sifatnya semacam transisi, yang dalam perkembangan masyarakat Indonesia

sebenarnya hanya satu sisipan yang nyempil nama Gus Dur setelah itu selesai. Karena

tidak memiliki waktu yang panjang maka perubahan tidak terlihat signifikan,

perubahannya hanya sebatas nomenklatur seperti berdirinya kementerian kelautan.

Meskipun dalam rejim berikutnya itu dipertahankan karena dianggap sebagai sebuah

terobosan, orientasi pemerintahan dan program eksekutif diarahkan pada pendayagunaan

dan eksplorasi potensi kelautan yang dari orde baru tidak mendapatkan perhatian.

Megawati, kemunduran terlihat sekali karena kematian Munir. Selebihnya saya tidak

terlalu memperhatikan yang lain karena momentum-momentum yang lain tertutupi oleh

kasus Munir.

Susilo Bambang, adalah pemimpin yang memiliki tipologi diplomatis akhirnya banyak

yang menilai SBY sebagai orang yang plin-plan, lambat, dan tidak tegas. Disatu sisi bisa

saja benar, tapi di sisi yang lain kita lupa bahwa ia juga orang yang berhati-hati. Itu, tentu

saja, punya implikasi positif dan negatif. Misalnya, di era SBY ini persinggungan dengan

Malaysia terjadi lebih banyak disbanding sebelumnya, tetapi secara khas ia mengambil

kebijakan yang tidak buru-buru, jadi tidak memperumit masalah. Begitu juga dengan

persoalan-persoalan yang membutuhkan reaksi cepat juga tidak direspon dengan terburu-

76

buru sehingga seperti tidak maksimal. Seperti warisan kasus pembunuhan Munir yang

sampai saat ini masih dipersoalkan. Sesungguhnya, persoalan itu bisa diselesaikan pada

kepemimpinan SBY. Karena secara politis, SBY sangat kuat mendapat dukungan ketika

di Pilpres, jadi sesungguhnya itu adalah modal sosial dan modal politik yang cukup

untuk bisa menyelesaikan kasus-kasus semacam ini.

Jokowi, saya kira agak susah mencerna apakah ada kemajuan atau kemunduran. Tetapi

paling tidak, dari aspek kebijakan hukuman mati yang dijalankan pada masanya, itu juga

merupakan kemunduran. Rekor juga karena sepanjang pemerintahan baru kali ini

melakukan eksekusi mati dua gelombang (Tidak seperti pemerintahan selanjutnya yang

telah memoratorium hukuman mati). Ini juga berdampak pada konstelasi hubungan

internasional. Turut merubah juga proyek kejahatan narkoba transnasional, karena seolah-

olah kita ingin menyelesaikan sendiri. Sedangkan kejahatan transnasional harus harus

juga ditangani secara multinasional juga. Nah, Jokowi dan kebijakan hukuman matinya

telah berhasil mengubah pola itu.

77

Nama: Muhammad Hafiz, SHI

Instansi: Human Rights Working Group (HRWG)

Jabatan: Manager Program for Advocacy Organization Islam Conference (OIC)

Waktu: Senin 26 Mei 2015

Tempat: Kantor HRWG, Menteng, Jakarta Pusat

Sejauhmana upaya PBB dalam mendorong perlindungan KBB di Indonesia?

Pertama, tanggung jawab PBB sebagai lembaga internasional. Dari segi sejarah

memang isu kebebasan beragama sudah ada bahkan sejah DUHAM dibentuk dan

itu semakin besar untuk bagaimana melindungi hak kebebasan beragama. Pada

tahun 1970-1980an itu sempat akan diadakan konvensi khusus terkait KBB.

Walaupun masih ada penolakan oleh beberapa Negara sehingga muncul deklarasi

perlindungan minoritas dan intoleransi, jadi cikal bakalnya di disitu. Dari

perhatian itulah, PBB pada tahun 1950-an membentuk satu pelapor khusus atau

satu prosedur khusu di bawah komisi HAM PBB yang diberi nama ‘pelapor

khusus untuk intoleransi dan diskriminasi’ yang kemudian menjadi ‘pelapor

khusus untuk kebebasan beragama’. Perhatiannya terhadap KBB sudah cukup

tinggi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Negara-negara lain.

Terkait di Indonesia sendiri, ada perhatian khusus yang diberikan karena

meningkatnya kasus-kasus intoleransi, meningkatnya kekerasan berbasis agama

terutama pasca reformasi sehingga respon dari masyarakat sipil di Indonesia juga

78

mendorong perhatian PBB untuk lebih serius memperhatikan Indonesia. Dalam

konteks itu, sebenarnya perhatian PBB tidak bisa dilepaskan dari dorongan actor

di tingkat nasional yang selalu memberikan update dan informasi bahkan

beberapa kali pertemuan dengan pelapor khusus, baik secara langsung ataupun

tidak, agar Indonesia diperhatikan.

Tantangannya, PBB merupakan lembaga internasional yang sangat terkait dengan

dua hal. Pertama, bagaimana soal etika hubungan antar Negara itu dibangun

Negara dan warga negaranya. Kedua, soal peranan politisnya untuk mendesak

Negara-negara, walaupun secara tidak langsung. Dari segi politis, tentu, pelapor

khusus atau PBB sendiri memiliki peran penting untuk menekan pemerintah

Indonesia secara tidak langsung, baik secara vulgar melalui mekanisme-

mekanisme yang ada di PBB, misalnya, siding dewan HAM disitu, ada proses

UPR disitu atau melalui sarana-sarana yang diplomatik dengan mengirimkan surat

kepada pemerintah Indonesia, entah itu dari OHCHR atau dari pelapor khususnya

sendiri atau dari Komisi HAMnya sendiri. Jadi ada layer-layer yang digunakan

PBB untuk memperhatikan kasus-kasus di Indonesia dan memunculkan peranan

tersendiri bagaimana menekan pemerintah Indonesia.

Bagaimana dengan PBB, pada tahun 2012 sempat menegur Indonesia di

forum Internasional tentang Baha’I, Syi’ah, dan Ahmadiyah?

ada beberapa forum yang diangkat untuk mengangkat isu kebebasan beragama.

Dalam catatan HRWG, setidaknya, ada dua momen yang begitu kuat ditingkat

internasional dimana kasus KBB menjadi perhatian bagi Negara-negara anggota

79

PBB atau bahkan pelapor khusus. Pertama, ketika UPR dilakukan pada tahun

2012. UPR itu mekanisme review Negara terhadap situasi hak asasi manusia

secara umum. Ditambah lagi masyarakat sipil ketika itu merasa penting

mengangkat isu KBB yang memang sangat kritis. Intolerasi meningkat dibarengi

dengan tindak kekerasan. ada kasus Cikesik dan Sampang yang terjadi beberapa

kali, kemudian GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia yang tidak kunjung selesai

belum lagi kasus-kasus lain yang secara rutin dimonitor oleh masyarakat sipil.

Sehingga merasa penting untuk mengangkat isu KBB di forum UPR. Ada satu

laporan khusus terkait KBB yang kita buat dan kita jadikan modal untuk melobi,

berdiplomasi dengan Negara-negara dewan HAM di forum UPR. Akibatnya, isu

KBB menjadi sangat panas waktu itu bahkan menurut analisa kita, Menlu

Martinatalegawa yang seharusnya tidak dijadwalkan pergi, karena besarnya

perhatian Negara-negara terhadap isu HAM, khususnya KBB di Indonesia, Menlu

sendiri yang kemudian hadir di Forum UPR itu. Jika dilihat dari kasus per kasus,

isu KBB memang paling tinggi perhatiannya dibandingkan dengan isu-isu lain.

Dari 130 rekomendasi ada sekitar 30-35 rekomendasi yang spesifik membahas

KBB.

Selanjutnya, ketika ada review di bawah mekanisme covenan hak sipol di depan

komite HAM PBB. Mekanisme ini kan seharusnya tertutup tetapi ada akses

masyarakat sipil dan dia tidak terlalu politis sebagaimana di dewan HAM. Tetapi

forum itu juga dapat digunakan sebagai laporan alternatif. Itu juga yang

digunakan oleh masyarakat sipil ketika itu untuk membuat laoran alternatif

tentang KBB. Dan hampir seluruh perhatian Komite HAM PBB waktu itu juga

80

diberikan untuk isu-isu KBB. Sehingga ada banyak rekomendasi spesifik yang

berbicara tentang KBB. Salah satu rekomendasinya adalah Indonesia harus

meningkatkan dialog antar umat beragama, harus mencabut PNPS, mencabut UU

penodaan agama, menjamin pendirian rumah ibadah, dsb.

Dua momen itu yang cukup memberikan efek baik secara langsung maupun tidak

langsung memberikan dampak terhadap pemerintahan untuk melakukan

perlindungan di dalam negeri.

Bagaimana respon Indonesia setelah medapat rekomendasin dari PBB?

ada yang merespon pisitif ada juga yang tidak. Positif maksudnya menjadikan

rekomendasi itu sebagai bahan evaluasi walaupun sebetulnya sangat kecil yang

merespon secara positif. Selebihnya, sebetulnya tidak merespon secara negative

tetapi ada semacam penolakan atau bersikap defensive terhadpa serangan-

serangan itu dengan mengatakan bahwa “yaa itu kan Cuma segelintir kasus, dari

sebanyak itu kan cuma GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia yang bermasalah,

Ahmadiyah Cuma di cikesik saja, Sampang juga Cuma ada satu, dsb” dan seakan

menolak rekomendasi-rekomendasi tsb dan menolak fakta yang ada. Walaupun

kami yakin bahwa pemerintah merasa harus memperbaiki diri dan mencoba

jangan sampai kasus ini terulang kembali dan kembali memperburuk citra

Indonesia di mata dunia hanya karena permasalahan-permasalahan kecil yang

sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diselesaikan.

81

Seberapa efektif peran PBB?

Efektif atau tidak efektif itu mengukurnya sulit. Secara kuantitatif atau kualitatif.

Tapi yang kami lihat sampai sejauh ini PBB masih cukup penting dijadikan

partner pemerintah yang baik untuk menjamin KBB. Indonesia, baik di era SBY

maupun di era Jokowi, selalu ingin dilihat dengan citra yang baik di mata dunia.

Nah, hal-hal yang dapat memperburuk citra akan diminimalisasi sedemikian rupa

termasuk dalam isu KBB.

82

Nama: Alamsyah Djafar

Instansi: Wahid Institute

Jabatan: Peneliti

Waktu: 20 Mei 2015

Tempat: Hotel House of Arsonia, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat

Bagaimana kondisi HAM dan KBB di ASEAN?

Tantangan pemenuhan KBB di Asia Tenggara kondisinya beragam dari yang

sangat pelik hingga yang sudah cukup kuat. Di Indonesia kondisinya cukup baik

meski disatu sisi masih ada persoalan. Namun jika dibandingkan dengan negara-

negara lainnya seperti Myanmar, vietnam, kondisi Indonesia jauh lebih baik

meskipun masih ada beberapa persoalan. Philipina juga termasuk cukup baik, ya

walaupun masing-masing negara punya problemnya sendiri-sendiri. Di Philipina

misalnya punya tantangan sendiri terkait Bangsa Moro, begitupun dengan

Thailand.

Mengenai karakteristiknya ASEAN dalam KBB sendiri bagaimana?

ASEAN dibanding kawasan lain cukup stabil kondisi KBBnya, tapi kalau kita

masuk lebih detail. Itu pasti bisa kita temukan masalah-masalah. Di Malaysia

misalnya, menghadapi tantangan diskriminasi antara suku melayu dengan yang

non melayu, begitupun dengan kelompok-kelompok nonmuslim yang ada di

83

malaysia. Juga masih ditemukan hal-hal yang bersifat konservatifisme, misalnya,

pelarangan orang-orang non muslim menggunakan istilah Allah untuk menyebut

Tuhan. Karena hampir 30 nomenklatur yang dianggap khas Islam dan tidak

diperkenankan bagi non Islam untuk menggunakan nomenklatur tsb. Misalnya,

Allah, Rosul, dsb. Kemudian isu-isu terkait pendirian rumah ibadah masih juga

diperdebatkan. Sebagai sebuah negara yang makin kuat proses penyelesaian

hukum juga makin cepat dan lebih baik. Tapi konservatisme juga sangat kuat di

Malaysia . Buku-buku yang dianggap liberal akan disortir oleh negara.

Tetapi dari segi persoalan bagaimana melihat masing-masing konstitusi juga

memiliki persoalnanya sendiri-sendiri. Dari hasil penelitian yang saya baca.

Tantangan di Asean adalah apa yang kita sebut sebagai hukum besi. Seperti

malaysia itu punya Internal security act, yakni aturan yang atas nama keamanan

diperbolehan untuk menangkap seseorang. Begitupun di Singapura, jika anda

coba untuk mengakses situs-situs radikal antara 10-15 menit anda harus siap

diinterogasi petugas. Kebebasan berekspresi itu ditekan. Karena prinsipnya yang

masih menggunakan hukum besi itu.

Perhatian internasional terhadap isu KBB di Asean, misalnya PBB itu

bagaimana?

PBB itu memiliki sejumlah instrumen, instrumen itu dapat berjalan jika negara

pihak meratifikasi. Disitulah sebenarnya peran PBB. Misalnya, Indonesia kan

sudah meratifikasi kovenan HAM PBB, Indonesia kemudian diikat untuk

melakukan tahapan-tahapan legalnya. Misalnya secara rutin melaporkan

84

perkembangannya ke dalam forum UPR. Di luar itu, PBB sebenarnya cukup baik

dalam menanggapi Rohingya. Tinggal kita tunggu saja tindakan konkret dari PBB

terkait Rohingya. Secara singkat kontribusi PBB itu terletak pada instrumen-

instrumen yang dia miliki. Intrumen itu dapat diberlakukan ketika negara-negara

di Asean itu meratifikasi. Untuk kebebasan beragama itu, yang sudah meratifikasi

kovenannya adalah Indonesia, Malaysia, Philipina, Vietnam. Yang tidak

meratifikasi adalah Brunei. Brunei itu menjadi masalah di Asean karena tidak

memiliki Separation Of Power karena Brunei dipimpin oleh seorang kepala

negara sekaligus sebagai pemuka agama dan mereka mejadikan madzhab syafi’i

sebagai offisial (madzhab resmi). Untuk malaysia, yang paling disorot adalah

karena malaysia dianggap salah satu negara yang memiliki kebijakan agama

resmi. Agama resmi itu dianggap sebagai cikal bakal lahirnya kebijakan yang

diskriminatif. Meskipun dunia internasional itu tidak mempermasalahkan

kebijakan agama resmi sejauh dia tidak melakukan diskriminasi terhadap warga

negara yang bukan menjadi bagian dari agama resmi tersebut. Tetapi prakteknya

itu mendiskriminasi. Misalnya, Malaysia itu agama resminya itu adalah Islam, nah

itu perlakuannya menjadi berbeda bagi warga negara di luar agama resmi.

Siapa saja yang dimaksud masyarakat internasional dalam hal ini?

Dewan HAM PBB termasuk negara-negara yang terlibat di dalamnya. Terutama

yang paling kritis soal isu-isu religious freedom yakni Amerika, Inggris, Perancis

terutama di dalam forum UPR.

Bagaimana soal KBB dalam konteks Indonesia khususnya perhatian PBB?

85

Ada mekanisme yang diberi nama Special Reporter (Pelapor Khusus) yang

menjadi bagian dari HAM Inernasional yang akan mencari data ke negara-negara

pihak kemudian melaporkan dan memberi rekomendasi pada negara piha yang

dianggap penting. Kalau di Indonesia, pelapor khusus itu meyoroti tentang UU

PNPS termasuk juga dalam kasus UU Ormas (2014), dan yang lain-lain itu ada

kasus Ahmadiyah dan Syiah (2012dan juga peraturan perundang-undangan yang

tidak inline dengan instrumen HAM internasional. Untu itulah mereka meminta

agar hukum domestik kita selaras dengan instrumen HAM internasional.

Pada UPR tahun 2012, seperti apa respon pemerintah?

Bagi teman-teman di masyarakat sipil, jawaban pemerintah cenderung diplomatis.

Misalnya saja ketika pemerintah menanggapi tentang UU PNPS yang dianggap

sebagai hukum domestik yang harus dihormati bahkan Uji materi terhadap UU

tersebut sebagai bukti telah melalui proses yang demokratis. UU PNPS itu sudah

diuji materi dan secara umum ditolak oleh MK. Oleh karena proses itu sudah

dilalui, Negara kemudian mengklaim telah memberi ruang bagi proses hukum.

Pun dengan soal ahmadiyah, pemerintah mengklaim sudah mengambil upaya

hukum dan kebijakan dengan cara mengeluarkan SKB 3 menteri. SKB 3 menteri

itu dianggap mampu mengontrol konflik antara ahmadiyah dan masyarakat yang

kontra ahmadiyah. Kalau bagi masyarakat sipil kan tidak begitu, justru dengan

lahirnya SKB 3 menteri itu banyak melahirkan diskriminasi-diskriminasi bagi

ahmadiyah.

86

Seberapa efektif peran PBB dalam perlindungan KBB?

Menurut saya cukup efektif karena isu kebebasan beragama dan isu-isu yang lain

semacam pergaulan internasional. Kalau ada permasalahan dengan isu-isu ini

maka dunia akan menyoroti Indonesia sebagai negara yang tidak menghormati

HAM. Itu juga akan menjadi masalah dalam konteks hubungan internasional. Itu

yang secara tidak langsung mencovba menekan pemerintah untuk melakukan

antisipasi dan dari kacamata teman-teman NGO itu cukup efektif. Misalnya, jika

indonesia dianggap negara intoleran maka dimata internasional ada noda sehingga

pemerintah mulai berfikir bagaimana merespon ini untuk mengembalikan citra

indonesia dengan melakukan langkah-langkah yang telah ditetapkan. Meskipun

langkah-langkahnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Efektifitas peran

PBB itu mempengaruhi pergaulan internasional mau tidak mau pemerintah haru

mengkuti mekanisme yang ada.