UKI Dalam Menatap 25 Tahun ke depan
Transcript of UKI Dalam Menatap 25 Tahun ke depan
1
A business short on capital can
borrow money, and one with a
poor location can move. But, a
business short on leadership
has little chance for survival. --
Warren Bennis. Leaders: the
strategies for taking charge.
UKI Dalam Menatap 25 Tahun ke depan1
Abraham Simatupang2
“There will be no future if you forget the history and do nothing at the present time”
Pengantar
Sungguh suatu tantangan yang cukup sulit untuk menulis makalah yang bersifat “nubuatan”
terhadap suatu organisasi pendidikan tinggi Kristen seperti UKI di tengah-tengah begitu banyak
tantangan internal maupun eksternal. Salah satu yang paling “ditakutkan” dan kalau perlu hindari
bila berbicara tentang masa depan terutama tentang organisasi tempat kita berkiprah dan ini terus
terang tidak mudah karena bisa menjadi subyektif, meskipun pendekatan rasional, kritis, jujur
dan terbuka telah dilakukan adalah kenyataan yang mungkin “menyakitkan”. Kita diharapkan
mampu melihatnya dari “atas” (bird’s eye view), setelah itu mampu menampilkan skenario atau
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, Sebab pada akhirnya bicara organisasi
bukanlah hanya bicara visi, misi, perangkat organisasi, program, aset, untung-rugi, tapi tentang
manusia dengan segala karakter, perilaku dan interaksi di dalamnya. Celakanya dan seringkali
“ramalan” atau skenario yang digambarkan dianggap isapan jempol belaka, seperti layaknya
sejarah para raja Israel yang lebih senang mendengarkan nubuatan dari para nabi yang enak di
telinga saja.
Pada intinya kemampuan melihat dan menyikapi perubahan yang terjadi baik internal maupun
eksternal itulah yang dituntut dari setiap organisasi, termasuk perguruan tinggi, layaknya
organisme hidup. Upaya-upaya yang jelas, konsisten, komprehensif dan penuh komitmen harus
terus dilakukan bila UKI mau keluar dari persaingan yang sangat berat saat ini. Jenderal TB
Simatupang dalam berbagai tulisannya tentang organisasi, termasuk UKI, mengatakan bahwa
organisasi harus melakukan tiga hal secara terus-menerus, (1) menggali kejelasan visi dan misi
organisasi (aktualisasi), (2) melakukan terus penataan organisasi (change and strategic
management), dan (3) melakukan kaderisasi. Bila ketiga hal itu dilaksanakan secara konsisten
maka eksistensi UKI dapat dipertahankan dan ia tidak saja mampu menghadapi berbagai
tantangan yang akan dihadapinya, namun juga mampu menjadi garam dan terang.
Visi dan misi yang biasanya ditetapkan oleh para founding fathers bersifat sangat ideal, demikian
pula UKI, tetapi kita harus ingat visi dan misi organisasi
janganlah menjadi sakral, sehingga tidak boleh diotak-atik.
Kita percaya Firman Tuhan yang dituliskan ribuan tahun
yang silam harus terus kita gali sesuai konteks jaman si
pembacanya agar selalu terjadi pemahaman dan aktualisasi
baru akan makna firman itu, apalagi visi dan misi suatu
organisasi yang hanya hasil pemikiran orang. Organisasi
modern cenderung merumuskan visi dan misi yang lebih
1 Makalah ditulis untuk Sarasehan UKI 60 tahun, Senin, 21 Oktober 2013 di Jakarta.
2 Alumni UKI (FK-1979), Staf pengajar UKI sejak 1989, Presidium Indostaff (University Staff Development), Presiden German-
Indonesian Medical Association (2002-2004), Anggota Komite AIDS PGI (2007-sekarang), Ketua Rumah-Philia (lembaga pelayanan ibu & anak dengan HIV dan AIDS).
2
“membumi,” lebih mudah untuk direalisasikan dalam bentuk program dan aktifitas. Penataan
organisasi menjadi program yang melekat (built-in), mengingat keadaan di dalam maupun di luar
UKI terus berubah. Tantangan UKI di saat pendiriannya, tentu berbeda di era 70an, era 80an, dan
era sekarang.
Dalam dongeng Putri Salju dikisahkan Sang Ratu, ibu tiri Putri Salju, memiliki cermin yang
menjadi tempat bertanya sekaligus mengevaluasi siapa gerangan wanita tercantik di seluruh
kerajaan. Sampai beberapa waktu tertentu, jawaban sang cermin tetap sama, yaitu kecantikan
Sang Ratu tiada tandingannya. Tapi suatu saat, ketika sang cermin menjawab bahwa ternyata
Putri Saljulah yang tercantik, maka Sang Ratu menjadi murka dan kehilangan akal sehat hanya
demi mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya selama ini. Ada banyak perguruan tinggi
(Kristen) yang memiliki sifat seperti Sang Ratu, yang menganggap dan percaya bahwa
“kecantikannya” abadi. Perguruan tinggi Kristen, termasuk UKI yang dahulu merupakan institusi
pendidikan tinggi pilihan pertama setelah PTN,, semakin hari semakin sulit mempertahankan
posisinya karena sudah mulai bermunculan institusi lain yang mungkin lebih “cantik”
penampilannya. Apakah kemudian kita melakukan hal yang ekstrim, yaitu, memecahkan cermin
yang menurut kita sudah tidak jujur (lebih ekstrim daripada sekedar membuat apel beracun
seperti yang dibuat Sang Ratu)? Tentu bukan itu solusinya.
“The Killing Fields” (“Ladang pembantaian”)
“Ladang pembantaian” (“killing fields”) mungkin istilah yang terlalu kejam untuk mencoba
menggambarkan situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapi oleh perguruan tinggi. Tapi
realitanya memang demikian. Perguruan tinggi (termasuk UKI) menghadapi tekanan besar
(penjelasan Gambar 1). Elwin Tobing (2003) secara lengkap melukiskan keadaan itu.
Panah paling kiri menunjukkan kekuatan posisi tawar dosen, peneliti dan staf administrasi
terkait kebutuhan peningkatan pendapatan dan juga biaya operasional termasuk teknologi,
terutama Teknologi Informasi (TI).
Panah tengah-atas menunjukkan munculnya para “pemain” baru antara lain universitas yang
didirikan oleh industri misalnya PT Telkom, PT Ciputra, Penerbit Gramedia atau perguruan
tinggi berkelas dunia yang langsung menampung mahasiswa untuk menghasilkan lulusan
dengan keahlian yang spesifik sesuai kebutuhan industri, tidak generalis seperti yang selama
ini dihasilkan perguruan tinggi. Kecenderungan ini dipermudah dengan berbagai insentif
perijinan, pajak dan ketentuan global dalam hal perdagangan bebas yang diatur dalam World
Trade Organization (WTO) maupun General Agreement on Tariff and Trades Services
(GATTS), karena pendidikan sudah merupakan komoditas ekonomi (Simatupang, 2004).
Panah kanan menunjukkan kekuatan posisi tawar para pengguna (mahasiswa, orang tua,
lembaga donor, perusahaan) yang menuntut penurunan biaya pendidikan atau setidak-
tidaknya perguruan tinggi harus mampu menunjukkan kinerja dan mutu yang tinggi sesuai
biaya yang dikeluarkan (cost-effective ratio).
Panah bawah menunjukkan betapa saat ini kegiatan belajar-mengajar tidak lagi didominasi
oleh dosen di perguruan tinggi, namun ada banyak substitusi atau media yang dapat
3
menggantikan proses pembelajaran (CD-ROM, internet, televise interaktif, community
college, magang di perusahaan/industri).
Gambar 1. Peta kompetisi antar perguruan tinggi serta faktor-faktor yang berperan (sumber: Moore & Diamond,
2000)
Di tengah-tengah situasi dan kondisi seperti itulah, perguruan tinggi berusaha survive dan bila
perlu tetap unggul (Kotak di tengah).
Menumbuhkan karakter Organisasi Pembelajar (learning organization) di UKI
Michael Fremerey (2003) menulis betapa penting institusi pendidikan tinggi memiliki karakter
organisasi yang selalu belajar. Diakuinya mungkin karena orang-orang di dalam perguruan tinggi
kebanyakan berstatus pengajar (dosen) sehingga karakter yang dimiliki mereka adalah mengajar
bukan belajar. Padahal Unesco sejak tahun 70-an menetapkan bahwa syarat masyarakat suatu
bangsa agar maju harus memiliki sifat pembelajar sepanjang masa (lifelong learners), termasuk
organisasi tempat mereka bekerja. Organisasi pembelajar merupakan syarat utama bukan hanya
untuk survive namun juga keluar bahkan unggul dalam kompetisi yang semakin sengit. Dari
4
berbagai sumber yang digali, Fremerey menyimpulkan organisasi pembelajar harus memiliki dan
melakukan siklus organisasi pembelajar (Lih. Gambar 1), yaitu:
1. Acquisition, perguruan tinggi harus mampu melakukan pemindaian (scanning) lingkungan
internal dan eksternal secara terus-menerus. Dari kegiatan ini terkumpul data yang bila
diolah dengan benar bukan hanya sekedar informasi tapi menjadi pengetahuan (knowledge),
karena pada akhirnya kemampuan organisasi mengelola pengetahuan (knowledge
management) dengan baik itu yang unggul dalam persaingan. Apa saja yang wajib dipindai
oleh perguruan tinggi? Beberapa hal seperti: pasar kerja,
kebutuhan/dinamika sosial dan ekonomi masyarakat,
sumber-sumber pendanaan (hibah, sponsor, pinjaman
lunak, dll.), perkembangan ilmu dan teknologi, kebijakan-
kebijakan terkait pendidikan dan perguruan tinggi, dll.
Sedangkan data internal yang perlu dikumpulkan antara
lain kinerja mahasiswa (IPK, lama studi, dll.), kinerja dosen
(Tri Darma) dan tenaga administratif, tracer study, aset,
kinerja keuangan, dll. Data yang terkumpul dari hasil pemindaian harus dikelola, dianalisis
serta menjadi tumpuan pengambilan keputusan para pimpinan perguruan tinggi termasuk
Yayasan. Universitas Kristen Indonesia sebenarnya sudah mulai melakukan pemindaian
internal sejak tahun 2001, ketika beberapa dosen melakukan penelitian dan eksposisi kinerja
UKI Ketika itu dilaporkan komitmen dan kinerja dosen serta karyawan yang dirasakan
lemah terlihat hanya 9% dosen mempunyai diktat setiap mata kuliah, 9% menciptakan
budaya diskusi di kelas, dan hanya 12% mencari buku teks sendiri untuk mengajar (Sitepu
2001).
Gambar 2. Siklus organisasi pembelajar (adaptasi dari DiBella & Nevis 1998, 38 – dalam Fremerey, 2003)
A learning organization
actively creates, captures,
transfers, and mobilizes
knowledge to enable it to
adapt to a changing
environment.
5
2. Diseminasi (Dissemination) informasi dan pengetahuan
Penyebarluasan informasi dan pengetahuan merupakan salah satu aktivitas penting dalam
organisasi pembelajar. Lalu lintas informasi bisa berlangsung vertikal (dari bawahan ke
pimpinan dan sebaliknya) maupun horisontal (antar dosen/peneliti, antar unit atau
departemen). Bentuk diseminasi bisa rapat staf, rapat pimpinan, seminar, lokakarya, seminar
seminat, seminar multi- atau inter-disiplin ilmu, team-teaching. Keberhasilan pertukaran
informasi dan pengetahuan hanya bisa dicapai apabila iklim keterbukaan dan partisipasi ada
dan ditumbuhkan. Iklim keterbukaan dan partisipatif akan menumbuhkan rasa kepemilikan
dan rasa kebersamaan (sense of belonging and sense of togetherness) terhadap visi dan misi
organisasi. Selain itu, setiap anggota wajib diberi kesempatan untuk belajar dan berlatih
menggunakan informasi dan pengetahuan yang diterimanya.
3. Penggunaan (Utilization) informasi dan pengetahuan
Di tahap utilization, informasi dan pengetahuan digunakan untuk meningkatkan kinerja
organisasi, baik itu dengan memperbaiki maupun membuat yang baru segenap prosedur
(statuta, peraturan, tata-tertib, SOP, dll.) yang digunakan dalam organisasi. Di proses inilah
suka terjadi resistensi (“riak-riak”) karena orang terikat pada zona nyaman sedangkan zona
baru yang dipicu oleh angin perubahan belum tentu senyaman sekarang! Karena itu
dibutuhkan banyak protagonists, orang-orang yang mampu melihat dan menjawab
tantangan (risk-takers), orang-orang yang melakukan inovasi terus menerus. Dari sini
dengan sendirinya akan muncul kemampuan penyelesaian masalah.
Di tengah-tengah siklus organisasi pembelajar terdapat segitiga yang berisi tiga hal penting: joint
and shared vision yaitu visi yang dimiliki dan dimengerti bersama oleh semua anggota
organisasi, involved leadership yaitu kepemimpinan yang melibatkan diri di segala aspek dan
lini organisasi, dan system perspective yaitu kemampuan untuk melihat organisasi tidak secara
parsial tapi ada saling keterkaitan antara satu dengan yang lain (Furst-Bowe, 2009). Sebab itu
bagian inti (segitiga dalam Gambar 1) menjadi hal teramat penting agar perputaran roda siklus
organisasi pembelajaran dapat berjalan dengan optimal.
Kepemimpinan Akademik (academic leadership)
Pemimpin dan kepemimpinan dalam dunia
akademis tentu juga memiliki karakter sifat
generik yang harus dimiliki di setiap organisasi
manapun, namun kepemimpinan (leadership)
tentu ada perbedaan yang mendasar yang
berangkat dari struktur dan dunia akademis. Di
dalam dunia akademis, meskipun ada hierarki yang perlu diperhatikan, namun esensi hubungan
dan interaksi antar individu, antar unit lebih diwarnai pola hubungan fungsional dan kolegialitas.
Garis komando yang biasanya kental di organisasi perusahaan atau birokrasi pemerintah atau
militer tentu tidak terlalu kentara dalam organisasi akademis, hal ini karena adanya otonomi
ilmu. Mengapa ada embel-embel “akademik”, karena yang diurus adalah dunia akademik,
When an institution, organization or
nation loses its capacity to invoke high
individual performance, its great days
are over. – John W. Gardner. Excellence
6
keilmuan yang kadangkala atau seringkali berjalan tidak linier dan dapat diduga.Dunia akademik
memiliki jargon dan budaya tersendiri. Para dosen UKI harus lebih mengerti apa arti
panggilannya sebagai dosen. Mereka adalah agent of change dan kalau mereka sendiri takut atau
bahkan tidak mau berubah itu sangat bertentangan dengan esensi ilmu pengetahuan yang selalu
berubah.
Selain itu perlu diingat bahwa motto UKI
yang berbunyi “melayani bukan dilayani”,
sebenarnya sudah jauh lebih dahulu
ditetapkan sebelum dunia bisnis saat ini
memperkenalkan kepemimpinan pelayan
(servant leadership). Seperti diungkapkan
Robert Greenleaf, salah satu bukti bahwa
kepemimpinan pelayan dipraktekkan dalam
organisasi, apabila tumbuh generasi
pemimpin pelayan yang baru, akibat
pelayanan yang diberikan pimpinan mereka
rasakan. Atau yang muncul malah sungut-sungut dan gerutuan? Dalam perjalanan UKI yang ke-
60 ini, perlu kita merenung apa betul motto “melayani bukan dilayani” dipraktekkan dan siapa
pun di UKI (terutama mahasiswa) kelak menjadi pemimpin pelayan, dimana pun mereka
berkiprah? Apakah para alumni UKI telah memberi makna positif bagi lingkungannya,
masyarakatnya? Karena pada akhirnya kepemimpinan terkait dengan transformasi orang yang
dipimpinnya sehingga mampu memaknai dirinya untuk memberikan kontribusi maksimal bagi
organisasinya.
Indikator Kinerja: Seberapa penting?
Salah satu indikator kinerja yang penting bagi setiap program studi (prodi), akademi dan fakultas
adalah akreditasi. Akreditasi merupakan hasil agregasi kinerja yang terukur yang dinilai baik
oleh penyelenggara pendidikan dalam bentuk evaluasi diri maupun yang dinilai oleh asesor
berdasarkan standard yang telah ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT). Hasil akreditasi menunjukkan kinerja berbagai komponen termasuk diantaranya
sistem tata kelola (governance system), sistem penjaminan mutu, kiprah para alumni lewat tracer
study dan kiprah para dosennya (jenjang akademik, jenjang studi, publikasi ilmiah, dll.). Bila kita
lihat status akreditasi berbagai program studi UKI, tampak saat ini hanya 1 prodi yaitu S2
Administrasi pendidikan yang memiliki peringkat A, sedangkan yang lain masih B bahkan ada
yang C.
Tabel 1. Status akreditasi program studi/fakultas/akademi (Sumber: situs web BAN-PT, 2013)
No. Tkt Akademi/Fakultas Tahun SK Peringkat Tgl
kadaluarsa Status
1 D-III Akademi Fisioterapi Dalam proses akreditasi
The servant leader is servant first. It begins
with the natural feeling that one wants to serve.
Then conscious choice brings one to aspire to
lead. The best test is: do those served grow as
persons; do they, while being served, they
become healthier, wiser, freer, more
autonomous, more likely themselves to become
servants? – Robert Greenleaf – Servant
Leadership
7
2 D-III Akuntansi 2008 C 2013-08-03 Kadaluarsa
3 D-III Bahasa Inggris 2007 C 2012-07-10 Kadaluarsa
4 D-III Manajemen Perpajakan 2009 C 2014-04-02 167 hari lagi kadaluarsa
5 S1 Akuntansi 2012 B 2017-01-13 masih berlaku
6 S1 Arsitektur 2011 B 2016-05-20 masih berlaku
7 S1 Bimbingan dan
Konseling 2011 B 2016-10-07 masih berlaku
8 S1 Ilmu Hubungan
Internasional 2009 B 2014-07-03 masih berlaku
9 S1 Ilmu Hukum 2011 B 2016-01-14 masih berlaku
10 S1 Ilmu Komunikasi 2009 C 2014-04-11 176 hari lagi kadaluarsa
11 S1 Kedokteran 2010 B 2015-07-02 masih berlaku
12 S1 Manajemen 2012 B 2017-08-15 masih berlaku
13 S1 Pendidikan Bahasa
Inggris 2009 B 2014-01-16 91 hari lagi kadaluarsa
14 S1 Pendidikan Biologi 2013 B 2018-07-20 masih berlaku
15 S1 Pendidikan Matematika 2011 B 2016-01-07 masih berlaku
16 S1 Sastra Inggris 2011 B 2016-11-25 masih berlaku
17 S1 Teknik Elektro 2009 B 2014-08-13 masih berlaku
18 S1 Teknik Mesin 2011 B 2016-05-13 masih berlaku
19 S1 Teknik Sipil 2011 B 2016-01-21 masih berlaku
20 S2 Administrasi
Pendidikan 2012 A 2017-01-06 masih berlaku
21 S2 Ilmu Hukum 2011 B 2016-12-08 masih berlaku
22 S2 Pendidikan Agama
Kristen 2013 B 2018-01-04 masih berlaku
Coba kita bandingkan dengan status akreditasi UKI tahun 2001 dan 2004 menurut laporan
Simatupang dan Sitepu (2005), tampak ada penurunan kinerja khususnya dalam hal akreditasi
(Lihat: Tabel 2). Ketika itu Rencana Strategis di UKI pertama kali dibuat secara komprehensif
dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang akan menjalankan program kerja. Setelah itu
UKI melaksanakan Balanced Score Card (BSC) yang sayangnya tidak dilaksanakan dengan
konsisten dan konsekuen. Meskipun menurut pendapat penulis, UKI harus lebih dahulu
memahami dan melaksanakan proses manajemen yang umum sebelum melangkah ke sistem
manajemen yang lebih maju. Sejak tahun 2009 UKI melaksanakan program-programnya dengan
pendekatan Manajemen Kebijakan yang dibicarakan dan digumuli pertama-tama di tingkat
8
prodi/departemen dan fakultas yang selanjutnya di dalam Raker Universitas kembali
didiskusikan dan diputuskan menjadi Rencana Operasional (Renop). Rencana operasional yang
diterjemahkan menjadi aktifitas dievaluasi dan dimonitor melalui mekanisme Problem
Identification and Corrective Action (PICA) memberi peluang agar semua pelaksana termasuk
pimpinan mampu melaksanakan program agar lebih bermutu di masa berikutnya.
Tabel 2. Status akreditasi prodi dan fakultas di tahun 2001 dan 2004 (Sumber: Simatupang & Sitepu, 2005)
Faculty Study programs (or department) Accreditation status
2001 (baseline) 2004
Medicine Medicine B B
Engineering Mechanical engineering C B
Electrical engineering C B
Civil engineering C B
Architecture C B
Law Law A A
Letters English B B
Emglish (D-III) N/a** C
Economics Management N/a** A
Accounting C B
Accounting (D-III) C B
Tax management (D-III) C C
Management (D-III) N/a** C
Teachers’ training Guidance & Counseling C A
Mathematics C A
Christian education**** B A
English B A
Biology N/a** ***
Physics N/a** ***
Social & political
sciences
Communication N/a** B
International relations N/a** B
Keterangan: ** ketika evaluasi diri dilaksanakan di tahun 2002, beberapa prodi belum diakreditasi oleh BAN PT;
*** dalam proses akreditasi, **** terakreditasi oleh Departemen Agama
Akreditasi merupakan salah satu indikator kinerja perguruan tinggi yang penting, bahkan
beberapa instansi pemerintah daerah ataupun pusat memperhatikan status akreditasi
prodi/fakultas calon pegawai yang mereka rekrut. Tawaran hibah (grant) beasiswa untuk
mahasiswa, dosen dan hibah penelitian serta pengembangan institusi yang ditawarkan
pemerintah maupun lembaga donor lainnya saat ini seringkali melihat status akreditasi lembaga
menjadi tolok ukur penyaluran hibahnya dan tentu kesempatan mendapatkan hibah lebih besar
pada prodi/fakultas dengan akreditasi A.
Indikator terkait sumber daya manusia khususnya dosen dapat dilihat di Tabel 3. yang
menunjukkan masih ada dosen UKI yang belum memiliki jenjang/kepangkatan akademik dengan
9
prosentase tertinggi FKIP (45,45%), FE (30,56%), FK (30,38%) dan Pasca Sarjana (20%). Dari
segi jenjang studi dosen yang masih S1 tampak Akfis tertinggi (62,5%) namun saat ini Akfis
sedang giat mengirim dosennya studi lanjut S2, FS (33,33%), FKIP (24,24%) dan FK (22,78%).
Data dosen dan karyawan secara umur tidak ditampilkan, namun perlu juga diperhatikan apakah
kebanyakan dosen dan karyawan sudah memasuki usia pensiun.
Keberadaan alumni juga menjadi salah satu indikator penting yang menunjukkan kinerja
perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak lagi hanya terpaku dan bangga melaporkan sudah
menghasilkan sekian banyak lulusan (UKI saat ini sudah menghasilkan lulusan ± 30.000 orang),
tapi pertanyaan berikutnya adalah: seberapa bermakna alumni UKI bagi dirinya, keluarganya,
perusahaannya dan bangsanya? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, karena ini
mempertanyakan seberapa besar alumni UKI memberi dampak bagi lingkungannya?
Di usia ke-60 tahun ini, UKI masih belum memiliki program pendidikan S3. Tentu ini
merupakan tantangan tersendiri, karena bila UKI ingin memiliki program pendidikan S3, tentu
terlebih dahulu dilakukan penguatan SDMnya yang saat ini masih sedikit memiliki jenjang
pendidikan S3 (lihat Tabel 3). Karena itu peningkatan jenjang studi para dosen ke S3 merupakan
keharusan! Di beberapa perguruan tinggi yang siap memasuki persaingan global bahkan sudah
mempersyaratkan jenjang pendidikan S2 di beberapa struktur birokrasi fakultas maupun rektorat
sebagai tenaga pendidikan (karyawan non-dosen) yang akan mampu secara berdampingan
dengan dosen meningkatkan kinerja unit, prodi dan fakultas. Untuk memenuhi kebutuhan ini pun
perlu diperhitungkan faktor usia para dosen, karena beasiswa yang saat ini banyak tersedia baik
dari pemerintah atau pun badan-badan non-pemerintah dan asing hanya menawarkannya kepada
dosen muda yang masih memiliki kesempatan pengabdian dan pengembangan ilmu dan
pengetahuan. Kemampuan berbahasa asing, terutama Inggris sudah merupakan keharusan bagi
dosen dan karyawan non-akademik bila ingin bersaing di era global saat ini. Sayangnya, masih
banyak dosen UKI yang enggan melakukan penilaian TOEFL sembari terus meningkatkan
kemampuan berbahasa Inggrisnya.
Kinerja perguruan tinggi merupakan hasil kerjasama para karyawan, para dosen, pimpinan unit,
departemen, fakultas, rektorat dan yayasan bahkan stakeholders dari luar seperti alumni,
orangtua mahasiswa dan mereka bekerja layaknya para pemusik dalam konsert musik klasik.
Setiap bagian memainkan bagiannya dengan tepat dan benar sesuai partitur yang telah disepakati
untuk dimainkan. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12: 12-31 (dengan judul perikop: Banyak
anggota, tetapi satu tubuh) menganalogikan hidup persekutuan layaknya tubuh manusia yang
masing-masing memiliki struktur dan fungsi berbeda (baca: talenta), namun semua mengerjakan
untuk kepentingan tubuh. Demikian pula layaknya UKI di usia ke-60 tahun ini sudah harus lebih
paham tentang keberadaan masing-masing anggota tubuhnya (masing-masing keberadaan dosen,
karyawan, unit, prodi, fakultas, rektorat dan yayasan) untuk terus mengerjakan pekerjaan Tuan
dan Pemilik UKI yaitu Allah Bapa. Pemahaman ini harus terus ditanam dan dikembangkan
menjadi doktrin UKI yang secara sadar dimiliki oleh setiap stakeholder.
10
Tabel 3. Jenjang akademik dan jenjang studi staf pengajar purna waktu UKI (Sumber: BAAK, 2013)
FAKULTAS JENJANG AKADEMIK
JENJANG STUDI SERDOS TOTAL
TEKNIK
TP AA L LK GB S1 S2 S3
3 6 10 10 5 3 24 7 25 31
Persentase 9.68 19.35 32.26 32.26 16.13
9.68 77.42 22.58 80.65
FISIPOL 4 5 6 2 0 0 17 0 6 17
Persentase 23.53 29.41 35.29 11.76 0 0 100 0 35.29
SASTRA 3 2 6 0 1 4 7 1 5 12
Persentase 25.00 16.67 50.00 0 8.33 33.33 58.33 8.33 41.67
HUKUM 1 4 8 5 0 1 15 2 11 18
Persentase 5.56 22.22 44.44 27.78 0 5.56 83.33 11.11 61.11
FKIP 15 8 9 1 0 8 22 1 7 33
Persentase 45.45 24.24 27.27 3.03 0 24.24 66.67 3.03 21.21
EKONOMI 11 2 17 4 2 1 28 7 20 36
Persentase 30.56 5.56 47.22 11.11 5.56 2.78 77.78 19.44 55.56
KEDOKTERAN 48 38 25 2 3 36 80 9 33 158
Persentase 30.38 24.05 15.82 1.27 1.90 22.78 50.63 5.70 20.89
AKADEMI
FISIOTERAPI 8 0 0 0 0
1
(D3) 5 2 0 0 8
Persentase 1 0 0 0 0 12.5 62.5 25 0 0
PASCA SARJANA 1 0 2 1 1 2 3 5
Persentase 20 0 40 20 20 0 40 60 0
Keterangan: TP: Tanpa Jenjang akademik, AA: Asisten Ahli, L: Lektor, LK: Lektor Kepala, GB: Guru Besar; SERDOS: sertifikasi dosen
11
Skenario: “Differentiate or Die”
Pada akhirnya, dengan rendah hati dalam segala keterbatasan saya tidak bisa memberikan
beberapa skenario menjawab UKI 25 tahun ke depan,
cukuplah apabila kita kembali mengerjakan “pekerjaan
rumah” yang pernah ditinggalkan Jenderal TB
Simatupang yaitu agar kita menggali dan mengembangkan
akronim UKI yaitu unsur “U”niversitas, unsur “K”risten
dan unsur “I”ndonesia. Setiap orang UKI harus tahu betul
apa makna universitas – yaitu lembaga (pendidikan) yang
secara universal tempat ilmu pengetahuan dipelajari dan dikembangkan. Universitas bukanlah
LSM, lembaga kursus atau “gereja”, meskipun label Kristen melekat pada UKI (Soebagio, 2003
dan Simatupang M, 2003). Kemitraan yang erat antara UKI dengan gereja harus ditingkatkan,
bukan karena faktor historis belaka, namun dalam rangka menguatkan “barisan” di dalam dunia
yang semakin hingar-bingar. Justru UKI harus mampu mengejawantahkan kekristenannya di
semua aspek kehidupan organisasinya, dan itu tentu tidak mudah. menjelaskan bahwa
menetapkan visi dan misi sembari terus melakukan penataan organisasi dan melakukan
kaderisasi dengan benar. Dosen bisa direkrut dari mahasiswa yang pintar dan memang terpanggil
untuk menjadi pengajar serta dibimbing melalui proses mentoring yang baik. Para dosen wajib
untuk mengembangkan keilmuannya semaksimal mungkin dengan jenjang studi sampai S3.
Nilai-nilai UKI harus terus diperkenalkan secara konsisten disertai dengan role model dari para
dosen senior dan pimpinannya.
UKI tidak berada pada ruang hampa, tapi di Indonesia, berarti keberadaan UKI harus bermakna
bagi Indonesia yang plural dan terus bergerak secara dinamis. Otonomi daerah telah menjadi
peluang sekaligus “ancaman” bagi keberadaan perguruan tinggi yang hanya mengandalkan
lokasi klasik (baca: pulau Jawa), karena banyak pemerintah daerah telah membuka perguruan
tingginya sendiri, sehingga animo dan jumlah mahasiswa luar Jawa untuk berkuliah di Jawa
menurun. Kerjasama dengan pemerintah daerah seperti yang selama ini dilakukan UKI dengan
Mentawai, Nias, dan Merauke perlu ditingkatkan bukan hanya karena hubungan emosional
semata, tetapi adanya kebutuhan pemerintah daerah dalam melengkapi SDM yang bermutu
sesuai konteks mereka. UKI harus siap memenuhi kebutuhan itu dengan menawarkan program
pendidikan yang berbeda.
Kemampuan UKI untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja di segala aspek masih
lemah, atau budaya untuk “hari ini bekerja lebih baik daripada kemarin” belum seluruhnya
dimiliki oleh pemangku kepentingan (stakeholders) di UKI. Bila hal ini berlangsung terus maka
bisa dipastikan UKI akan mengalami masa kegelapan bukan kejayaan.
Rujukan
Fremerey M (2003). The university – a “learning organization?” Dalam Agar semua menjadi
baru: refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal, 240-257.
Never doubt that a small group
of thoughtful, committed people
can change the world. Indeed,
it’s the only thing that ever has. –
Margaret Mead
12
Furst-Bowe J (2009). Sustaining Performance Excellence in Higher Education. Systems thinking
and the Baldrige education criteria. Diunduh dari http://www.asq.org pada Jumat, 18
Oktober 2013.
Moore MR, Diamond MA (2000). Academic leadership. Turning vision into reality.
Simatupang A (2004). Mengembangkan manajemen lembaga-lembaga pendidikan Kristen yang
andal serta jejaring yang sinergis dan solid, dalam Proceeding Bulan Pendidikan Kristen di
Indonesia tahun 2004-“sekarang, Bangkit dan Berdirilah, Jangan Goyah!” (Sirait, JR, Sitepu
IV dan Hutapea AM, eds.), PrimaLogi Press, Jakarta. Hal, 212-223.
Simatupang A dan Sitepu IV (2005). Change management – a “tricky” task in university context:
an experience of a mid-size private university in Indonesia. J Ilmu Pend. 12, 3: 183-195.
Simatupang M. UKI 50 tahun: Menatap ke depan. Dalam Agar semua menjadi baru: refleksi 50
tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal, 219-239.
Sitepu IV (2001). Dosen tetap UKI: Antara komitmen dan kinerja. Dalam Prosiding eksposisi
kinerja UKI (Sitepu IV, Polla G, eds.), Lembaga Penelitian UKI, Jakarta. Hal. 11-24.
Soebagio A (2003). Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Kristen di Indonesia dalam memasuki
abad ke-21. Dalam Agar semua menjadi baru: refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI
Press, Jakarta. Hal, 60-72.
Solaiman A (2003). Pendidikan dalam gerakan global: Posisi perguruan tinggi Kristen? Dalam
Agar semua menjadi baru: refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal,
46-59.
Stott J (1993). Isu-isu global menantang kepemimpinan kristiani (terjemahan Nainggolan GMA).
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Jakarta.
Tobing E. Indonesia’s future: competition and education, dalam Agar semua menjadi baru:
refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal, 110-137.