UKI Dalam Menatap 25 Tahun ke depan

12
1 A business short on capital can borrow money, and one with a poor location can move. But, a business short on leadership has little chance for survival. -- Warren Bennis. Leaders: the strategies for taking charge. UKI Dalam Menatap 25 Tahun ke depan 1 Abraham Simatupang 2 There will be no future if you forget the history and do nothing at the present time” Pengantar Sungguh suatu tantangan yang cukup sulit untuk menulis makalah yang bersifat “nubuatan” terhadap suatu organisasi pendidikan tinggi Kristen seperti UKI di tengah-tengah begitu banyak tantangan internal maupun eksternal. Salah satu yang paling “ditakutkan” dan kalau perlu hindari bila berbicara tentang masa depan terutama tentang organisasi tempat kita berkiprah dan ini terus terang tidak mudah karena bisa menjadi subyektif, meskipun pendekatan rasional, kritis, jujur dan terbuka telah dilakukan adalah kenyataan yang mungkin “menyakitkan”. Kita diharapkan mampu melihatnya dari “atas” (bird’s eye view), setelah itu mampu menampilkan skenario atau kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, Sebab pada akhirnya bicara organisasi bukanlah hanya bicara visi, misi, perangkat organisasi, program, aset, untung-rugi, tapi tentang manusia dengan segala karakter, perilaku dan interaksi di dalamnya. Celakanya dan seringkali “ramalan” atau skenario yang digambarkan dianggap isapan jempol belaka, seperti layaknya sejarah para raja Israel yang lebih senang mendengarkan nubuatan dari para nabi yang enak di telinga saja. Pada intinya kemampuan melihat dan menyikapi perubahan yang terjadi baik internal maupun eksternal itulah yang dituntut dari setiap organisasi, termasuk perguruan tinggi, layaknya organisme hidup. Upaya-upaya yang jelas, konsisten, komprehensif dan penuh komitmen harus terus dilakukan bila UKI mau keluar dari persaingan yang sangat berat saat ini. Jenderal TB Simatupang dalam berbagai tulisannya tentang organisasi, termasuk UKI, mengatakan bahwa organisasi harus melakukan tiga hal secara terus-menerus, (1) menggali kejelasan visi dan misi organisasi (aktualisasi), (2) melakukan terus penataan organisasi (change and strategic management), dan (3) melakukan kaderisasi. Bila ketiga hal itu dilaksanakan secara konsisten maka eksistensi UKI dapat dipertahankan dan ia tidak saja mampu menghadapi berbagai tantangan yang akan dihadapinya, namun juga mampu menjadi garam dan terang. Visi dan misi yang biasanya ditetapkan oleh para founding fathers bersifat sangat ideal, demikian pula UKI, tetapi kita harus ingat visi dan misi organisasi janganlah menjadi sakral, sehingga tidak boleh diotak-atik. Kita percaya Firman Tuhan yang dituliskan ribuan tahun yang silam harus terus kita gali sesuai konteks jaman si pembacanya agar selalu terjadi pemahaman dan aktualisasi baru akan makna firman itu, apalagi visi dan misi suatu organisasi yang hanya hasil pemikiran orang. Organisasi modern cenderung merumuskan visi dan misi yang lebih 1 Makalah ditulis untuk Sarasehan UKI 60 tahun, Senin, 21 Oktober 2013 di Jakarta. 2 Alumni UKI (FK-1979), Staf pengajar UKI sejak 1989, Presidium Indostaff (University Staff Development), Presiden German- Indonesian Medical Association (2002-2004), Anggota Komite AIDS PGI (2007-sekarang), Ketua Rumah-Philia (lembaga pelayanan ibu & anak dengan HIV dan AIDS).

Transcript of UKI Dalam Menatap 25 Tahun ke depan

1

A business short on capital can

borrow money, and one with a

poor location can move. But, a

business short on leadership

has little chance for survival. --

Warren Bennis. Leaders: the

strategies for taking charge.

UKI Dalam Menatap 25 Tahun ke depan1

Abraham Simatupang2

“There will be no future if you forget the history and do nothing at the present time”

Pengantar

Sungguh suatu tantangan yang cukup sulit untuk menulis makalah yang bersifat “nubuatan”

terhadap suatu organisasi pendidikan tinggi Kristen seperti UKI di tengah-tengah begitu banyak

tantangan internal maupun eksternal. Salah satu yang paling “ditakutkan” dan kalau perlu hindari

bila berbicara tentang masa depan terutama tentang organisasi tempat kita berkiprah dan ini terus

terang tidak mudah karena bisa menjadi subyektif, meskipun pendekatan rasional, kritis, jujur

dan terbuka telah dilakukan adalah kenyataan yang mungkin “menyakitkan”. Kita diharapkan

mampu melihatnya dari “atas” (bird’s eye view), setelah itu mampu menampilkan skenario atau

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, Sebab pada akhirnya bicara organisasi

bukanlah hanya bicara visi, misi, perangkat organisasi, program, aset, untung-rugi, tapi tentang

manusia dengan segala karakter, perilaku dan interaksi di dalamnya. Celakanya dan seringkali

“ramalan” atau skenario yang digambarkan dianggap isapan jempol belaka, seperti layaknya

sejarah para raja Israel yang lebih senang mendengarkan nubuatan dari para nabi yang enak di

telinga saja.

Pada intinya kemampuan melihat dan menyikapi perubahan yang terjadi baik internal maupun

eksternal itulah yang dituntut dari setiap organisasi, termasuk perguruan tinggi, layaknya

organisme hidup. Upaya-upaya yang jelas, konsisten, komprehensif dan penuh komitmen harus

terus dilakukan bila UKI mau keluar dari persaingan yang sangat berat saat ini. Jenderal TB

Simatupang dalam berbagai tulisannya tentang organisasi, termasuk UKI, mengatakan bahwa

organisasi harus melakukan tiga hal secara terus-menerus, (1) menggali kejelasan visi dan misi

organisasi (aktualisasi), (2) melakukan terus penataan organisasi (change and strategic

management), dan (3) melakukan kaderisasi. Bila ketiga hal itu dilaksanakan secara konsisten

maka eksistensi UKI dapat dipertahankan dan ia tidak saja mampu menghadapi berbagai

tantangan yang akan dihadapinya, namun juga mampu menjadi garam dan terang.

Visi dan misi yang biasanya ditetapkan oleh para founding fathers bersifat sangat ideal, demikian

pula UKI, tetapi kita harus ingat visi dan misi organisasi

janganlah menjadi sakral, sehingga tidak boleh diotak-atik.

Kita percaya Firman Tuhan yang dituliskan ribuan tahun

yang silam harus terus kita gali sesuai konteks jaman si

pembacanya agar selalu terjadi pemahaman dan aktualisasi

baru akan makna firman itu, apalagi visi dan misi suatu

organisasi yang hanya hasil pemikiran orang. Organisasi

modern cenderung merumuskan visi dan misi yang lebih

1 Makalah ditulis untuk Sarasehan UKI 60 tahun, Senin, 21 Oktober 2013 di Jakarta.

2 Alumni UKI (FK-1979), Staf pengajar UKI sejak 1989, Presidium Indostaff (University Staff Development), Presiden German-

Indonesian Medical Association (2002-2004), Anggota Komite AIDS PGI (2007-sekarang), Ketua Rumah-Philia (lembaga pelayanan ibu & anak dengan HIV dan AIDS).

2

“membumi,” lebih mudah untuk direalisasikan dalam bentuk program dan aktifitas. Penataan

organisasi menjadi program yang melekat (built-in), mengingat keadaan di dalam maupun di luar

UKI terus berubah. Tantangan UKI di saat pendiriannya, tentu berbeda di era 70an, era 80an, dan

era sekarang.

Dalam dongeng Putri Salju dikisahkan Sang Ratu, ibu tiri Putri Salju, memiliki cermin yang

menjadi tempat bertanya sekaligus mengevaluasi siapa gerangan wanita tercantik di seluruh

kerajaan. Sampai beberapa waktu tertentu, jawaban sang cermin tetap sama, yaitu kecantikan

Sang Ratu tiada tandingannya. Tapi suatu saat, ketika sang cermin menjawab bahwa ternyata

Putri Saljulah yang tercantik, maka Sang Ratu menjadi murka dan kehilangan akal sehat hanya

demi mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya selama ini. Ada banyak perguruan tinggi

(Kristen) yang memiliki sifat seperti Sang Ratu, yang menganggap dan percaya bahwa

“kecantikannya” abadi. Perguruan tinggi Kristen, termasuk UKI yang dahulu merupakan institusi

pendidikan tinggi pilihan pertama setelah PTN,, semakin hari semakin sulit mempertahankan

posisinya karena sudah mulai bermunculan institusi lain yang mungkin lebih “cantik”

penampilannya. Apakah kemudian kita melakukan hal yang ekstrim, yaitu, memecahkan cermin

yang menurut kita sudah tidak jujur (lebih ekstrim daripada sekedar membuat apel beracun

seperti yang dibuat Sang Ratu)? Tentu bukan itu solusinya.

“The Killing Fields” (“Ladang pembantaian”)

“Ladang pembantaian” (“killing fields”) mungkin istilah yang terlalu kejam untuk mencoba

menggambarkan situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapi oleh perguruan tinggi. Tapi

realitanya memang demikian. Perguruan tinggi (termasuk UKI) menghadapi tekanan besar

(penjelasan Gambar 1). Elwin Tobing (2003) secara lengkap melukiskan keadaan itu.

Panah paling kiri menunjukkan kekuatan posisi tawar dosen, peneliti dan staf administrasi

terkait kebutuhan peningkatan pendapatan dan juga biaya operasional termasuk teknologi,

terutama Teknologi Informasi (TI).

Panah tengah-atas menunjukkan munculnya para “pemain” baru antara lain universitas yang

didirikan oleh industri misalnya PT Telkom, PT Ciputra, Penerbit Gramedia atau perguruan

tinggi berkelas dunia yang langsung menampung mahasiswa untuk menghasilkan lulusan

dengan keahlian yang spesifik sesuai kebutuhan industri, tidak generalis seperti yang selama

ini dihasilkan perguruan tinggi. Kecenderungan ini dipermudah dengan berbagai insentif

perijinan, pajak dan ketentuan global dalam hal perdagangan bebas yang diatur dalam World

Trade Organization (WTO) maupun General Agreement on Tariff and Trades Services

(GATTS), karena pendidikan sudah merupakan komoditas ekonomi (Simatupang, 2004).

Panah kanan menunjukkan kekuatan posisi tawar para pengguna (mahasiswa, orang tua,

lembaga donor, perusahaan) yang menuntut penurunan biaya pendidikan atau setidak-

tidaknya perguruan tinggi harus mampu menunjukkan kinerja dan mutu yang tinggi sesuai

biaya yang dikeluarkan (cost-effective ratio).

Panah bawah menunjukkan betapa saat ini kegiatan belajar-mengajar tidak lagi didominasi

oleh dosen di perguruan tinggi, namun ada banyak substitusi atau media yang dapat

3

menggantikan proses pembelajaran (CD-ROM, internet, televise interaktif, community

college, magang di perusahaan/industri).

Gambar 1. Peta kompetisi antar perguruan tinggi serta faktor-faktor yang berperan (sumber: Moore & Diamond,

2000)

Di tengah-tengah situasi dan kondisi seperti itulah, perguruan tinggi berusaha survive dan bila

perlu tetap unggul (Kotak di tengah).

Menumbuhkan karakter Organisasi Pembelajar (learning organization) di UKI

Michael Fremerey (2003) menulis betapa penting institusi pendidikan tinggi memiliki karakter

organisasi yang selalu belajar. Diakuinya mungkin karena orang-orang di dalam perguruan tinggi

kebanyakan berstatus pengajar (dosen) sehingga karakter yang dimiliki mereka adalah mengajar

bukan belajar. Padahal Unesco sejak tahun 70-an menetapkan bahwa syarat masyarakat suatu

bangsa agar maju harus memiliki sifat pembelajar sepanjang masa (lifelong learners), termasuk

organisasi tempat mereka bekerja. Organisasi pembelajar merupakan syarat utama bukan hanya

untuk survive namun juga keluar bahkan unggul dalam kompetisi yang semakin sengit. Dari

4

berbagai sumber yang digali, Fremerey menyimpulkan organisasi pembelajar harus memiliki dan

melakukan siklus organisasi pembelajar (Lih. Gambar 1), yaitu:

1. Acquisition, perguruan tinggi harus mampu melakukan pemindaian (scanning) lingkungan

internal dan eksternal secara terus-menerus. Dari kegiatan ini terkumpul data yang bila

diolah dengan benar bukan hanya sekedar informasi tapi menjadi pengetahuan (knowledge),

karena pada akhirnya kemampuan organisasi mengelola pengetahuan (knowledge

management) dengan baik itu yang unggul dalam persaingan. Apa saja yang wajib dipindai

oleh perguruan tinggi? Beberapa hal seperti: pasar kerja,

kebutuhan/dinamika sosial dan ekonomi masyarakat,

sumber-sumber pendanaan (hibah, sponsor, pinjaman

lunak, dll.), perkembangan ilmu dan teknologi, kebijakan-

kebijakan terkait pendidikan dan perguruan tinggi, dll.

Sedangkan data internal yang perlu dikumpulkan antara

lain kinerja mahasiswa (IPK, lama studi, dll.), kinerja dosen

(Tri Darma) dan tenaga administratif, tracer study, aset,

kinerja keuangan, dll. Data yang terkumpul dari hasil pemindaian harus dikelola, dianalisis

serta menjadi tumpuan pengambilan keputusan para pimpinan perguruan tinggi termasuk

Yayasan. Universitas Kristen Indonesia sebenarnya sudah mulai melakukan pemindaian

internal sejak tahun 2001, ketika beberapa dosen melakukan penelitian dan eksposisi kinerja

UKI Ketika itu dilaporkan komitmen dan kinerja dosen serta karyawan yang dirasakan

lemah terlihat hanya 9% dosen mempunyai diktat setiap mata kuliah, 9% menciptakan

budaya diskusi di kelas, dan hanya 12% mencari buku teks sendiri untuk mengajar (Sitepu

2001).

Gambar 2. Siklus organisasi pembelajar (adaptasi dari DiBella & Nevis 1998, 38 – dalam Fremerey, 2003)

A learning organization

actively creates, captures,

transfers, and mobilizes

knowledge to enable it to

adapt to a changing

environment.

5

2. Diseminasi (Dissemination) informasi dan pengetahuan

Penyebarluasan informasi dan pengetahuan merupakan salah satu aktivitas penting dalam

organisasi pembelajar. Lalu lintas informasi bisa berlangsung vertikal (dari bawahan ke

pimpinan dan sebaliknya) maupun horisontal (antar dosen/peneliti, antar unit atau

departemen). Bentuk diseminasi bisa rapat staf, rapat pimpinan, seminar, lokakarya, seminar

seminat, seminar multi- atau inter-disiplin ilmu, team-teaching. Keberhasilan pertukaran

informasi dan pengetahuan hanya bisa dicapai apabila iklim keterbukaan dan partisipasi ada

dan ditumbuhkan. Iklim keterbukaan dan partisipatif akan menumbuhkan rasa kepemilikan

dan rasa kebersamaan (sense of belonging and sense of togetherness) terhadap visi dan misi

organisasi. Selain itu, setiap anggota wajib diberi kesempatan untuk belajar dan berlatih

menggunakan informasi dan pengetahuan yang diterimanya.

3. Penggunaan (Utilization) informasi dan pengetahuan

Di tahap utilization, informasi dan pengetahuan digunakan untuk meningkatkan kinerja

organisasi, baik itu dengan memperbaiki maupun membuat yang baru segenap prosedur

(statuta, peraturan, tata-tertib, SOP, dll.) yang digunakan dalam organisasi. Di proses inilah

suka terjadi resistensi (“riak-riak”) karena orang terikat pada zona nyaman sedangkan zona

baru yang dipicu oleh angin perubahan belum tentu senyaman sekarang! Karena itu

dibutuhkan banyak protagonists, orang-orang yang mampu melihat dan menjawab

tantangan (risk-takers), orang-orang yang melakukan inovasi terus menerus. Dari sini

dengan sendirinya akan muncul kemampuan penyelesaian masalah.

Di tengah-tengah siklus organisasi pembelajar terdapat segitiga yang berisi tiga hal penting: joint

and shared vision yaitu visi yang dimiliki dan dimengerti bersama oleh semua anggota

organisasi, involved leadership yaitu kepemimpinan yang melibatkan diri di segala aspek dan

lini organisasi, dan system perspective yaitu kemampuan untuk melihat organisasi tidak secara

parsial tapi ada saling keterkaitan antara satu dengan yang lain (Furst-Bowe, 2009). Sebab itu

bagian inti (segitiga dalam Gambar 1) menjadi hal teramat penting agar perputaran roda siklus

organisasi pembelajaran dapat berjalan dengan optimal.

Kepemimpinan Akademik (academic leadership)

Pemimpin dan kepemimpinan dalam dunia

akademis tentu juga memiliki karakter sifat

generik yang harus dimiliki di setiap organisasi

manapun, namun kepemimpinan (leadership)

tentu ada perbedaan yang mendasar yang

berangkat dari struktur dan dunia akademis. Di

dalam dunia akademis, meskipun ada hierarki yang perlu diperhatikan, namun esensi hubungan

dan interaksi antar individu, antar unit lebih diwarnai pola hubungan fungsional dan kolegialitas.

Garis komando yang biasanya kental di organisasi perusahaan atau birokrasi pemerintah atau

militer tentu tidak terlalu kentara dalam organisasi akademis, hal ini karena adanya otonomi

ilmu. Mengapa ada embel-embel “akademik”, karena yang diurus adalah dunia akademik,

When an institution, organization or

nation loses its capacity to invoke high

individual performance, its great days

are over. – John W. Gardner. Excellence

6

keilmuan yang kadangkala atau seringkali berjalan tidak linier dan dapat diduga.Dunia akademik

memiliki jargon dan budaya tersendiri. Para dosen UKI harus lebih mengerti apa arti

panggilannya sebagai dosen. Mereka adalah agent of change dan kalau mereka sendiri takut atau

bahkan tidak mau berubah itu sangat bertentangan dengan esensi ilmu pengetahuan yang selalu

berubah.

Selain itu perlu diingat bahwa motto UKI

yang berbunyi “melayani bukan dilayani”,

sebenarnya sudah jauh lebih dahulu

ditetapkan sebelum dunia bisnis saat ini

memperkenalkan kepemimpinan pelayan

(servant leadership). Seperti diungkapkan

Robert Greenleaf, salah satu bukti bahwa

kepemimpinan pelayan dipraktekkan dalam

organisasi, apabila tumbuh generasi

pemimpin pelayan yang baru, akibat

pelayanan yang diberikan pimpinan mereka

rasakan. Atau yang muncul malah sungut-sungut dan gerutuan? Dalam perjalanan UKI yang ke-

60 ini, perlu kita merenung apa betul motto “melayani bukan dilayani” dipraktekkan dan siapa

pun di UKI (terutama mahasiswa) kelak menjadi pemimpin pelayan, dimana pun mereka

berkiprah? Apakah para alumni UKI telah memberi makna positif bagi lingkungannya,

masyarakatnya? Karena pada akhirnya kepemimpinan terkait dengan transformasi orang yang

dipimpinnya sehingga mampu memaknai dirinya untuk memberikan kontribusi maksimal bagi

organisasinya.

Indikator Kinerja: Seberapa penting?

Salah satu indikator kinerja yang penting bagi setiap program studi (prodi), akademi dan fakultas

adalah akreditasi. Akreditasi merupakan hasil agregasi kinerja yang terukur yang dinilai baik

oleh penyelenggara pendidikan dalam bentuk evaluasi diri maupun yang dinilai oleh asesor

berdasarkan standard yang telah ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

(BAN-PT). Hasil akreditasi menunjukkan kinerja berbagai komponen termasuk diantaranya

sistem tata kelola (governance system), sistem penjaminan mutu, kiprah para alumni lewat tracer

study dan kiprah para dosennya (jenjang akademik, jenjang studi, publikasi ilmiah, dll.). Bila kita

lihat status akreditasi berbagai program studi UKI, tampak saat ini hanya 1 prodi yaitu S2

Administrasi pendidikan yang memiliki peringkat A, sedangkan yang lain masih B bahkan ada

yang C.

Tabel 1. Status akreditasi program studi/fakultas/akademi (Sumber: situs web BAN-PT, 2013)

No. Tkt Akademi/Fakultas Tahun SK Peringkat Tgl

kadaluarsa Status

1 D-III Akademi Fisioterapi Dalam proses akreditasi

The servant leader is servant first. It begins

with the natural feeling that one wants to serve.

Then conscious choice brings one to aspire to

lead. The best test is: do those served grow as

persons; do they, while being served, they

become healthier, wiser, freer, more

autonomous, more likely themselves to become

servants? – Robert Greenleaf – Servant

Leadership

7

2 D-III Akuntansi 2008 C 2013-08-03 Kadaluarsa

3 D-III Bahasa Inggris 2007 C 2012-07-10 Kadaluarsa

4 D-III Manajemen Perpajakan 2009 C 2014-04-02 167 hari lagi kadaluarsa

5 S1 Akuntansi 2012 B 2017-01-13 masih berlaku

6 S1 Arsitektur 2011 B 2016-05-20 masih berlaku

7 S1 Bimbingan dan

Konseling 2011 B 2016-10-07 masih berlaku

8 S1 Ilmu Hubungan

Internasional 2009 B 2014-07-03 masih berlaku

9 S1 Ilmu Hukum 2011 B 2016-01-14 masih berlaku

10 S1 Ilmu Komunikasi 2009 C 2014-04-11 176 hari lagi kadaluarsa

11 S1 Kedokteran 2010 B 2015-07-02 masih berlaku

12 S1 Manajemen 2012 B 2017-08-15 masih berlaku

13 S1 Pendidikan Bahasa

Inggris 2009 B 2014-01-16 91 hari lagi kadaluarsa

14 S1 Pendidikan Biologi 2013 B 2018-07-20 masih berlaku

15 S1 Pendidikan Matematika 2011 B 2016-01-07 masih berlaku

16 S1 Sastra Inggris 2011 B 2016-11-25 masih berlaku

17 S1 Teknik Elektro 2009 B 2014-08-13 masih berlaku

18 S1 Teknik Mesin 2011 B 2016-05-13 masih berlaku

19 S1 Teknik Sipil 2011 B 2016-01-21 masih berlaku

20 S2 Administrasi

Pendidikan 2012 A 2017-01-06 masih berlaku

21 S2 Ilmu Hukum 2011 B 2016-12-08 masih berlaku

22 S2 Pendidikan Agama

Kristen 2013 B 2018-01-04 masih berlaku

Coba kita bandingkan dengan status akreditasi UKI tahun 2001 dan 2004 menurut laporan

Simatupang dan Sitepu (2005), tampak ada penurunan kinerja khususnya dalam hal akreditasi

(Lihat: Tabel 2). Ketika itu Rencana Strategis di UKI pertama kali dibuat secara komprehensif

dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang akan menjalankan program kerja. Setelah itu

UKI melaksanakan Balanced Score Card (BSC) yang sayangnya tidak dilaksanakan dengan

konsisten dan konsekuen. Meskipun menurut pendapat penulis, UKI harus lebih dahulu

memahami dan melaksanakan proses manajemen yang umum sebelum melangkah ke sistem

manajemen yang lebih maju. Sejak tahun 2009 UKI melaksanakan program-programnya dengan

pendekatan Manajemen Kebijakan yang dibicarakan dan digumuli pertama-tama di tingkat

8

prodi/departemen dan fakultas yang selanjutnya di dalam Raker Universitas kembali

didiskusikan dan diputuskan menjadi Rencana Operasional (Renop). Rencana operasional yang

diterjemahkan menjadi aktifitas dievaluasi dan dimonitor melalui mekanisme Problem

Identification and Corrective Action (PICA) memberi peluang agar semua pelaksana termasuk

pimpinan mampu melaksanakan program agar lebih bermutu di masa berikutnya.

Tabel 2. Status akreditasi prodi dan fakultas di tahun 2001 dan 2004 (Sumber: Simatupang & Sitepu, 2005)

Faculty Study programs (or department) Accreditation status

2001 (baseline) 2004

Medicine Medicine B B

Engineering Mechanical engineering C B

Electrical engineering C B

Civil engineering C B

Architecture C B

Law Law A A

Letters English B B

Emglish (D-III) N/a** C

Economics Management N/a** A

Accounting C B

Accounting (D-III) C B

Tax management (D-III) C C

Management (D-III) N/a** C

Teachers’ training Guidance & Counseling C A

Mathematics C A

Christian education**** B A

English B A

Biology N/a** ***

Physics N/a** ***

Social & political

sciences

Communication N/a** B

International relations N/a** B

Keterangan: ** ketika evaluasi diri dilaksanakan di tahun 2002, beberapa prodi belum diakreditasi oleh BAN PT;

*** dalam proses akreditasi, **** terakreditasi oleh Departemen Agama

Akreditasi merupakan salah satu indikator kinerja perguruan tinggi yang penting, bahkan

beberapa instansi pemerintah daerah ataupun pusat memperhatikan status akreditasi

prodi/fakultas calon pegawai yang mereka rekrut. Tawaran hibah (grant) beasiswa untuk

mahasiswa, dosen dan hibah penelitian serta pengembangan institusi yang ditawarkan

pemerintah maupun lembaga donor lainnya saat ini seringkali melihat status akreditasi lembaga

menjadi tolok ukur penyaluran hibahnya dan tentu kesempatan mendapatkan hibah lebih besar

pada prodi/fakultas dengan akreditasi A.

Indikator terkait sumber daya manusia khususnya dosen dapat dilihat di Tabel 3. yang

menunjukkan masih ada dosen UKI yang belum memiliki jenjang/kepangkatan akademik dengan

9

prosentase tertinggi FKIP (45,45%), FE (30,56%), FK (30,38%) dan Pasca Sarjana (20%). Dari

segi jenjang studi dosen yang masih S1 tampak Akfis tertinggi (62,5%) namun saat ini Akfis

sedang giat mengirim dosennya studi lanjut S2, FS (33,33%), FKIP (24,24%) dan FK (22,78%).

Data dosen dan karyawan secara umur tidak ditampilkan, namun perlu juga diperhatikan apakah

kebanyakan dosen dan karyawan sudah memasuki usia pensiun.

Keberadaan alumni juga menjadi salah satu indikator penting yang menunjukkan kinerja

perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak lagi hanya terpaku dan bangga melaporkan sudah

menghasilkan sekian banyak lulusan (UKI saat ini sudah menghasilkan lulusan ± 30.000 orang),

tapi pertanyaan berikutnya adalah: seberapa bermakna alumni UKI bagi dirinya, keluarganya,

perusahaannya dan bangsanya? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, karena ini

mempertanyakan seberapa besar alumni UKI memberi dampak bagi lingkungannya?

Di usia ke-60 tahun ini, UKI masih belum memiliki program pendidikan S3. Tentu ini

merupakan tantangan tersendiri, karena bila UKI ingin memiliki program pendidikan S3, tentu

terlebih dahulu dilakukan penguatan SDMnya yang saat ini masih sedikit memiliki jenjang

pendidikan S3 (lihat Tabel 3). Karena itu peningkatan jenjang studi para dosen ke S3 merupakan

keharusan! Di beberapa perguruan tinggi yang siap memasuki persaingan global bahkan sudah

mempersyaratkan jenjang pendidikan S2 di beberapa struktur birokrasi fakultas maupun rektorat

sebagai tenaga pendidikan (karyawan non-dosen) yang akan mampu secara berdampingan

dengan dosen meningkatkan kinerja unit, prodi dan fakultas. Untuk memenuhi kebutuhan ini pun

perlu diperhitungkan faktor usia para dosen, karena beasiswa yang saat ini banyak tersedia baik

dari pemerintah atau pun badan-badan non-pemerintah dan asing hanya menawarkannya kepada

dosen muda yang masih memiliki kesempatan pengabdian dan pengembangan ilmu dan

pengetahuan. Kemampuan berbahasa asing, terutama Inggris sudah merupakan keharusan bagi

dosen dan karyawan non-akademik bila ingin bersaing di era global saat ini. Sayangnya, masih

banyak dosen UKI yang enggan melakukan penilaian TOEFL sembari terus meningkatkan

kemampuan berbahasa Inggrisnya.

Kinerja perguruan tinggi merupakan hasil kerjasama para karyawan, para dosen, pimpinan unit,

departemen, fakultas, rektorat dan yayasan bahkan stakeholders dari luar seperti alumni,

orangtua mahasiswa dan mereka bekerja layaknya para pemusik dalam konsert musik klasik.

Setiap bagian memainkan bagiannya dengan tepat dan benar sesuai partitur yang telah disepakati

untuk dimainkan. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12: 12-31 (dengan judul perikop: Banyak

anggota, tetapi satu tubuh) menganalogikan hidup persekutuan layaknya tubuh manusia yang

masing-masing memiliki struktur dan fungsi berbeda (baca: talenta), namun semua mengerjakan

untuk kepentingan tubuh. Demikian pula layaknya UKI di usia ke-60 tahun ini sudah harus lebih

paham tentang keberadaan masing-masing anggota tubuhnya (masing-masing keberadaan dosen,

karyawan, unit, prodi, fakultas, rektorat dan yayasan) untuk terus mengerjakan pekerjaan Tuan

dan Pemilik UKI yaitu Allah Bapa. Pemahaman ini harus terus ditanam dan dikembangkan

menjadi doktrin UKI yang secara sadar dimiliki oleh setiap stakeholder.

10

Tabel 3. Jenjang akademik dan jenjang studi staf pengajar purna waktu UKI (Sumber: BAAK, 2013)

FAKULTAS JENJANG AKADEMIK

JENJANG STUDI SERDOS TOTAL

TEKNIK

TP AA L LK GB S1 S2 S3

3 6 10 10 5 3 24 7 25 31

Persentase 9.68 19.35 32.26 32.26 16.13

9.68 77.42 22.58 80.65

FISIPOL 4 5 6 2 0 0 17 0 6 17

Persentase 23.53 29.41 35.29 11.76 0 0 100 0 35.29

SASTRA 3 2 6 0 1 4 7 1 5 12

Persentase 25.00 16.67 50.00 0 8.33 33.33 58.33 8.33 41.67

HUKUM 1 4 8 5 0 1 15 2 11 18

Persentase 5.56 22.22 44.44 27.78 0 5.56 83.33 11.11 61.11

FKIP 15 8 9 1 0 8 22 1 7 33

Persentase 45.45 24.24 27.27 3.03 0 24.24 66.67 3.03 21.21

EKONOMI 11 2 17 4 2 1 28 7 20 36

Persentase 30.56 5.56 47.22 11.11 5.56 2.78 77.78 19.44 55.56

KEDOKTERAN 48 38 25 2 3 36 80 9 33 158

Persentase 30.38 24.05 15.82 1.27 1.90 22.78 50.63 5.70 20.89

AKADEMI

FISIOTERAPI 8 0 0 0 0

1

(D3) 5 2 0 0 8

Persentase 1 0 0 0 0 12.5 62.5 25 0 0

PASCA SARJANA 1 0 2 1 1 2 3 5

Persentase 20 0 40 20 20 0 40 60 0

Keterangan: TP: Tanpa Jenjang akademik, AA: Asisten Ahli, L: Lektor, LK: Lektor Kepala, GB: Guru Besar; SERDOS: sertifikasi dosen

11

Skenario: “Differentiate or Die”

Pada akhirnya, dengan rendah hati dalam segala keterbatasan saya tidak bisa memberikan

beberapa skenario menjawab UKI 25 tahun ke depan,

cukuplah apabila kita kembali mengerjakan “pekerjaan

rumah” yang pernah ditinggalkan Jenderal TB

Simatupang yaitu agar kita menggali dan mengembangkan

akronim UKI yaitu unsur “U”niversitas, unsur “K”risten

dan unsur “I”ndonesia. Setiap orang UKI harus tahu betul

apa makna universitas – yaitu lembaga (pendidikan) yang

secara universal tempat ilmu pengetahuan dipelajari dan dikembangkan. Universitas bukanlah

LSM, lembaga kursus atau “gereja”, meskipun label Kristen melekat pada UKI (Soebagio, 2003

dan Simatupang M, 2003). Kemitraan yang erat antara UKI dengan gereja harus ditingkatkan,

bukan karena faktor historis belaka, namun dalam rangka menguatkan “barisan” di dalam dunia

yang semakin hingar-bingar. Justru UKI harus mampu mengejawantahkan kekristenannya di

semua aspek kehidupan organisasinya, dan itu tentu tidak mudah. menjelaskan bahwa

menetapkan visi dan misi sembari terus melakukan penataan organisasi dan melakukan

kaderisasi dengan benar. Dosen bisa direkrut dari mahasiswa yang pintar dan memang terpanggil

untuk menjadi pengajar serta dibimbing melalui proses mentoring yang baik. Para dosen wajib

untuk mengembangkan keilmuannya semaksimal mungkin dengan jenjang studi sampai S3.

Nilai-nilai UKI harus terus diperkenalkan secara konsisten disertai dengan role model dari para

dosen senior dan pimpinannya.

UKI tidak berada pada ruang hampa, tapi di Indonesia, berarti keberadaan UKI harus bermakna

bagi Indonesia yang plural dan terus bergerak secara dinamis. Otonomi daerah telah menjadi

peluang sekaligus “ancaman” bagi keberadaan perguruan tinggi yang hanya mengandalkan

lokasi klasik (baca: pulau Jawa), karena banyak pemerintah daerah telah membuka perguruan

tingginya sendiri, sehingga animo dan jumlah mahasiswa luar Jawa untuk berkuliah di Jawa

menurun. Kerjasama dengan pemerintah daerah seperti yang selama ini dilakukan UKI dengan

Mentawai, Nias, dan Merauke perlu ditingkatkan bukan hanya karena hubungan emosional

semata, tetapi adanya kebutuhan pemerintah daerah dalam melengkapi SDM yang bermutu

sesuai konteks mereka. UKI harus siap memenuhi kebutuhan itu dengan menawarkan program

pendidikan yang berbeda.

Kemampuan UKI untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja di segala aspek masih

lemah, atau budaya untuk “hari ini bekerja lebih baik daripada kemarin” belum seluruhnya

dimiliki oleh pemangku kepentingan (stakeholders) di UKI. Bila hal ini berlangsung terus maka

bisa dipastikan UKI akan mengalami masa kegelapan bukan kejayaan.

Rujukan

Fremerey M (2003). The university – a “learning organization?” Dalam Agar semua menjadi

baru: refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal, 240-257.

Never doubt that a small group

of thoughtful, committed people

can change the world. Indeed,

it’s the only thing that ever has. –

Margaret Mead

12

Furst-Bowe J (2009). Sustaining Performance Excellence in Higher Education. Systems thinking

and the Baldrige education criteria. Diunduh dari http://www.asq.org pada Jumat, 18

Oktober 2013.

Moore MR, Diamond MA (2000). Academic leadership. Turning vision into reality.

Simatupang A (2004). Mengembangkan manajemen lembaga-lembaga pendidikan Kristen yang

andal serta jejaring yang sinergis dan solid, dalam Proceeding Bulan Pendidikan Kristen di

Indonesia tahun 2004-“sekarang, Bangkit dan Berdirilah, Jangan Goyah!” (Sirait, JR, Sitepu

IV dan Hutapea AM, eds.), PrimaLogi Press, Jakarta. Hal, 212-223.

Simatupang A dan Sitepu IV (2005). Change management – a “tricky” task in university context:

an experience of a mid-size private university in Indonesia. J Ilmu Pend. 12, 3: 183-195.

Simatupang M. UKI 50 tahun: Menatap ke depan. Dalam Agar semua menjadi baru: refleksi 50

tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal, 219-239.

Sitepu IV (2001). Dosen tetap UKI: Antara komitmen dan kinerja. Dalam Prosiding eksposisi

kinerja UKI (Sitepu IV, Polla G, eds.), Lembaga Penelitian UKI, Jakarta. Hal. 11-24.

Soebagio A (2003). Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Kristen di Indonesia dalam memasuki

abad ke-21. Dalam Agar semua menjadi baru: refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI

Press, Jakarta. Hal, 60-72.

Solaiman A (2003). Pendidikan dalam gerakan global: Posisi perguruan tinggi Kristen? Dalam

Agar semua menjadi baru: refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal,

46-59.

Stott J (1993). Isu-isu global menantang kepemimpinan kristiani (terjemahan Nainggolan GMA).

Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Jakarta.

Tobing E. Indonesia’s future: competition and education, dalam Agar semua menjadi baru:

refleksi 50 tahun UKI (Sitepu IV, ed.), UKI Press, Jakarta. Hal, 110-137.