Review Konsep PIHI Decision-Making: Sebuah Konsep Vital dalam Hubungan Internasional

11
1 Tugas Summary PIHI Jurusan/NPM : Ilmu Hubungan Internasional / 1306408725 Decision-Making: Sebuah Konsep Vital dalam Hubungan Internasional Dunia telah melalui pelbagai perubahan dalam perkembangannya. Pada saat Yunani dan Romawi Kuno, sistem negara yang dianut adalah city-state 1 . Kerajaan sempat menjadi sistem pemerintahan yang dianut sebagian besar negara dimana gereja dominan dalam decision-making. Namun demikian, sejak ditandanganinya Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 yang juga mengakhiri Perang 30 Tahun memisahkan agama dan pemerintahan (sekulerisasi). 2 Dengan demikian, negara berubah menjadi penganut nation-state dan pemimpin negaralah yang memutuskan decision-making dan bukan lagi gereja. Decision-making penting dalam hubungan internasional karena berkaitan dengan penerapan foreign policy suatu negara. Maka, penulis akan menjelaskan tahap-tahap dalam mencapai decision-making, tipe-tipe decision-making dan leadership , faktor-faktor yang mempengaruhi decision-making, serta teori- teori yang mendukung pentingnya decision-making dalam hubungan internasional. Dalam mencapai decision-making atau pengambilan keputusan, perlu ada beberapa pertimbangan. Dalam bukunya “Constraints, Compromises, and Decision Making”, Gary Goertz mengemukakan pentingnya constraint dalam mencapai decision making. Constraint dijelaskan sebagai act yang jarang ditemukan bersamaan secara teoritis dan empiris. 3 Ini berarti constraint ditemukan secara terpisah aplikasinya dan teorinya dalam hubungan internasional. Dalam decision-making, penting memakai tahap poliheurestic. Poliheurestic merupakan tahap dimana decision-makers memiliki multiple goals dan bagaimana mereka melihat alternatif-alternatif yang ada. 4 Dalam tahap poliheurestic, seorang pemimpin memakai dua langkah, yaitu elimination dan maximize. 5 Elimination berarti melakukan seleksi dalam suatu permasalahan 1 Juaniata Elias dan Peter Sutch, Basics of International Relations, (New York: Routledge, 2007), hlm.6 2 Ibid. 3 Gary Goertz, “Constraints, Compromises, and Decision Making” dalam Journal of Conflict Resolution, Vol. 48, No.1 (2004), hlm.14-36 4 Ibid. 5 Ibid.

Transcript of Review Konsep PIHI Decision-Making: Sebuah Konsep Vital dalam Hubungan Internasional

1

Tugas Summary PIHI

Jurusan/NPM : Ilmu Hubungan Internasional / 1306408725

Decision-Making: Sebuah Konsep Vital dalam Hubungan Internasional

Dunia telah melalui pelbagai perubahan dalam perkembangannya. Pada saat

Yunani dan Romawi Kuno, sistem negara yang dianut adalah city-state1. Kerajaan sempat

menjadi sistem pemerintahan yang dianut sebagian besar negara dimana gereja dominan dalam

decision-making. Namun demikian, sejak ditandanganinya Perjanjian Westphalia pada tahun

1648 yang juga mengakhiri Perang 30 Tahun memisahkan agama dan pemerintahan

(sekulerisasi). 2Dengan demikian, negara berubah menjadi penganut nation-state dan pemimpin

negaralah yang memutuskan decision-making dan bukan lagi gereja. Decision-making penting

dalam hubungan internasional karena berkaitan dengan penerapan foreign policy suatu negara.

Maka, penulis akan menjelaskan tahap-tahap dalam mencapai decision-making, tipe-tipe

decision-making dan leadership , faktor-faktor yang mempengaruhi decision-making, serta teori-

teori yang mendukung pentingnya decision-making dalam hubungan internasional.

Dalam mencapai decision-making atau pengambilan keputusan, perlu ada beberapa

pertimbangan. Dalam bukunya “Constraints, Compromises, and Decision Making”, Gary Goertz

mengemukakan pentingnya constraint dalam mencapai decision making. Constraint dijelaskan

sebagai act yang jarang ditemukan bersamaan secara teoritis dan empiris.3 Ini berarti constraint

ditemukan secara terpisah aplikasinya dan teorinya dalam hubungan internasional. Dalam

decision-making, penting memakai tahap poliheurestic. Poliheurestic merupakan tahap dimana

decision-makers memiliki multiple goals dan bagaimana mereka melihat alternatif-alternatif

yang ada. 4Dalam tahap poliheurestic, seorang pemimpin memakai dua langkah, yaitu

elimination dan maximize.5 Elimination berarti melakukan seleksi dalam suatu permasalahan

1 Juaniata Elias dan Peter Sutch, Basics of International Relations, (New York: Routledge, 2007), hlm.6 2 Ibid. 3 Gary Goertz, “Constraints, Compromises, and Decision Making” dalam Journal of Conflict Resolution, Vol. 48, No.1 (2004), hlm.14-36 4 Ibid. 5 Ibid.

2

dengan hanya fokus terhadap faktor-faktor yang relevan. Lalu, dengan mencapai elimination,

tahap selanjutnya adalah maximize, yaitu memperbesar dengan lebih fokus dan lebih mendalami

faktor-faktor yang telah dipilih sebelumnya. Contoh konkret yang dapat memperlihatkan

constraint adalah public opinion terhadap foreign policy.6Dalam pandangan realis, seorang

pemimpin memaksimalkan foreign policy-nya dibawah constrain of public opinion.7 Ini

menunjukkan seberapa baik dan didukungnya foreign policy oleh publik. Akan tetapi, hal ini

dapat dipandang sebagai cara yang digunakan oleh pemimpin untuk tetap mempertahankan

kekuasaanya.8Poliheurestic theory sangat erat kaitannya dengan noncompensantory principle,

yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa suatu key dimension yang telah memiliki kerugian

tidak dapat dikompensasikan dengan perolehan dari dimension lainnya.9 Prinsip ini menghindari

alternatif yang memiliki perbedaan nilai yang ekstrem.10

Dalam decision-making dibawah

constraint dapat membantu mencari fungsi kegunaan dengan multiple goals. Contohnya adalah

hubungan Syria dengan Israel yang memiliki tiga dimensi utama, yaitu honor/credibility,

containment Israeli influence, dan security.11

Sebelumnya, terdapat 9 dimensi yang menjadi

pertimbangan dalam hubungan bilateral kedua negara tersebut, tetapi dengan poliheurestic

theory, dieliminasi menjadi tiga. Selain itu, dalam hubungan antarnegara, prinsip rules of war

dapat menjadi kajian yang menarik karena relevansinya. Constraint suatu pihak merupakan

goal pihak lain.12

Ini dibuktikan dengan diadakannya survei terhadap kalangan elit decision-

makers yang diberi opsi untuk menjelaskan policy yang dianutnya dengan pilihahan: 1) better

safe than sorry dan 2) basic principles of just war theory. Disini, yang dimaksud dengan better

safe than sorry adalah pandangan realis terhadap suatu kebijakan yang tidak terlalu

memedulikan moralitas, sementara just war lebih menaruh beberapa pertimbangan moral dalam

membuat kebijakan. Hasilnya adalah terdapat 73% responden termasuk dalam kategori

ambivalent, yaitu yang mempertimbangkan keduanya. Ini menarik karena ini memunculkan

suatu kenyataan bahwa dalam kenyataannya decision-maker memiliki pola pikir yang pragmatis.

Adapun dalam decision making, terdapat prinsip mendasar yaitu “avoid major loss” yang berarti

6 Ibid. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 ibid. 12 Ibid.

3

menghindari kerugian besar dalam pembuatan kebijakan.13

Contohnya adalah foreign policy

Amerika Serikat pada saat Krisis Misil Kuba pada bulan Oktober 1962, Presiden Kennedy

memiliki dua tujuan, yaitu mengeluarkan misil-misil dari Kuba dan menghindari perang dengan

Uni Soviet. Dikarenakan Kennedy saat itu sangat menghindari perang, maka dipakai cara-cara

diplomasi seperti mengirimkan Robert Kennedy ke Kuba dalam merundingkan lebih lanjut

permasalahan yang ada. Dengan demikian, Amerika Serikat pun dapat menghindari perang dan

nuklir pun dikeluarkan dari Kuba. Dalam kenyataannya, tidak semua pemimpin dapat

menerapkan semua kebijakan mereka. Mereka pun harus mempertimbangkan public opinion,

seperti yang terjadi terhadap Eisenhower, Nixon dan Kissinger yang kerapkali ingin

menggunakan senjata nuklir dalam penyelesaian suatu konflik tetapi dikekang oleh opini publik

yang ada. Maka, dalam pertimbangan suatu kebijakan, pemimpin harus mengakui signifikansi

dari public opinion.

Setelah menjelaskan mengenai tahap-tahap yang dapat ditempuh dalam decision-making,

selanjutnya adalah penjabaran mengenai tipe-tipe decision-making dan tipe kepemimpinan yang

mempengaruhi suatu kebijakan. Decision atau keputusan merupakan tahap final dalam suatu

pengambilan kebijakan sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan bentuk keputusan

yang dipakai sesuai dengan situasi kondisi. Pertama adalah single decision, yaitu keputusan

sepihak tanpa adanya interaksi dari pihak lainnya dan ini jarang terjadi.14

Contoh yang

memperlihatkan decision ini adalah keputusan Amerika Serikat untuk tidak membantu pihak

Perancis di Dien Bien Phu pada tahun 1954. Selanjutnya, adalah strategic-interactive decision,

yaitu melibatkan dua negara atau lebih yang masing-masing decision saling

mempengaruhi.15

Keputusan Yasser Arafat selaku Presiden PLO untuk menyetujui bertemu

dengan PM Israel yang berkaitan dengan Prisoner’s Dilemma merupakan contoh konkret dari

tipe decision tersebut. Lalu, ada sequential decision, yaitu bentuk lebih realistis dari single

decision yang menjelaskan bahwa suatu keputusan berasal dari sejumlah events yang berkaitan.16

Contoh dari sequential decision adalah foreign policy Amerika Serikat di Iraq yang merupakan

sequent events : keputusan untuk menyerang Iraq atau tidak, menduduki Iraq, menambahkan

13 Ibid. 14 Alex Mintz, Understanding Foreign Policy and Decision Making, (Cambridge: Cambridge University Press, 2010) , hlm. 15 15 Ibid. 16 Ibid. hlm. 16

4

atau mengurangi jumlah armada militer, keputusan untuk withdraw atau menetap, dan

mengakhiri operasi secara keseluruhan di Iraq. Ini lebih relevan dan dapat dijumpai sehari-hari

dibandingkan dengan single decision. Dengan adanya se quential decision, ada pula sequence

of interactive decision,yaitu adanya interelasi events terhadap keputusan suatu kebijakan yang

melibatkan dua aktor internasional atau lebih.17

Contohnya ialah arms race of USA-Soviet dan

NATO-Warsaw Pact yang terjadi pada saat Perang Dingin. Tipe terakhir adalah group decision

making, yaitu keputusan yang dipengaruhi oleh dinamika grup-grup yang dapat berisikan

individu, agen birokrat, maupun koalisi.18

Tipe ini cukup rumit karena setiap komponen di dalam

nya memiliki interest yang berbeda dan hubungan antarsesama tidak selalu horizontal. Contoh

yang ada untuk tipe ini adalah di negara Israel yang memakai group decision making dalam

mencapai suatu persetujuan dalam penerapan kebijakan. Berkaitan dengan itu, level of analysis

dalam decision-making penting untuk diketahui. Level of analysis dalam decision making terdiri

dari individual-level, group level, coalition decision making. Individual-level mengumpulkan

berbagai aspirasi dan tujuan dari berbagai belah pihak kepada satu orang pemimpin.19

Dengan

rezim yang otoriter, foreign policy didominasi oleh top leader yang berkuasa, seperti yang terjadi

di RRT saat Mao Zedong berkuasa yang bertanggung jawab dalam memutuskan kebijakan-

kebijakan strategis dalam menghadapi permasalahan internasional.20

Selanjutnya adalah group

level analysis, yaitu terdiri dai sejumlah kelompok yang bertujuan untuk mengurangi potensi

ketidaknetralan dan kesalahan interpretasi situasi.21

Contoh pemakaian level of analysis ini adalah

saat Krisis Misil Kuba, dimana Presiden Kennedy membuat “Kennedy’s Executive Committee

(ExCom) yang membahas secara rinci bagaimana AS berekasi dalam penemuan nuklir misil di

Kuba.22

Ini dilakukan untuk mengantisipasi AS mengambil langkah yang tepat untuk

menghindari perang dengan Uni Soviet dan di saat bersamaan juga mendapatkan tujuannya,

yaitu pengeluaran misil dari Kuba. Level of Analysis selanjutnya adalah coalition decision

making, yaitu yang melibatkan berbagai kelompok.23

Disini, ketika mencapai keberhasilan,

17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid. hlm. 19 20 Caroline Rose, Interpreting History in Sino-Japanese Relations: A Case Study in Political Decision-Making, (New York: Routledge, 1998), hlm. 137 21 Alex Mintz, Op Cit., hlm. 19 22 Priscilla Roberts, Cuban Missile Crisis, (Santa Barbara: ABC CLIO, LLC, 2012), hlm.85 23 Alex Mintz, Op Cit., hlm. 19

5

masing-masing pihak merasakannya, begitu juga ketika mengalami kerugian, the blame is

shared. Contohnya adalah pemerintah Israel dalam menentukan suatu kebijakan.

Type of Leader Political Constrain New Information

Crusader Challenges Closed

Strategic Challenges Open

Pragmatic Respect Closed

Opportunistic Mindful Pursuing

Selanjutnya, setelah menjabarkan mengenai tipe decisions, perlu adanya pemahaman dari tipe

pemimpin sebagai pemegang keputusan dalam suatu negara. Menurut M. Hermann, terdapat

empat tipe pemimpin, yaitu crusader, strategic, pragmatic, dan opportunistic. Tipe pemimpin

pertama adalah crusader, yaitu tipe pemimpin yang menantang political constrain dan sangat

tertutup terhadap informasi baru dari luar.24

Ini berarti pemimpin tersebut pada dasarnya tidak

dibatasi dalam menjalankan kebijakannya. Contoh dari tipe pemimpin ini adalah Fidel Castro.

Selanjutnya adalah strategic leader, yaitu menantang political constrain dan terbuka terhadap

informasi baru. Pemimpin ini mengetahui apa yang mereka mau dan akan mencari segala

informasi yang dapat menunjang mencapai tujuannya.25

Hafez al-Assad merupakan contoh dari

tipe pemimpin ini dimana ia memiliki tujuan untuk mendapatkan kembali Golan Heights dan

menjadi pemimpin berpengaruh di regionalnya. Proses dalam mencapai tujuannya tidak

memerlukan banyak pengorbanan sehingga menguntungkan bagi pemimpin Syria itu. Lalu, ada

pragmatic leader, yaitu menghormati political constrain namun menutup terhadap informasi

baru. Ini merupakan hal yang masuk akal jika ditinjau dari pengertian dari pragmatis, yaitu

mencari aman dimana constrain merupakan tindakan defensif dari dalam sementara informasi

dari luar merupakan ancaman untuk domestik. Contohnya adalah PM Inggris Winston Churchill

yang sangat mementingkan eksistensi British Empire dan tidak menyukai pemberian

kemerdekaan terhadap negara koloninya, India.26

Bentuk terakhir adalah opportunistic leader,

yaitu sangat memikirkan political constrain juga mencari informasi baru dari luar dimana

political bargaining merupakan komponen vital dari tipe pemimpin ini. Contoh yang tidak

24 Ibid. hlm. 117 25 Ibid. 26 Philip Towle, Democracy and Peacemaking, (New York: Routledge, 2000), hlm.117

6

memiliki tipe pemimpin ini adalah invasi Grenada pada tahun 1983 oleh AS sebagai bagian dari

Perang Dingin dengan foreign policy mereka yaitu US interventionism.27

Ini tentu bukan

merupakan langkah yang dianggap terbaik oleh negara di dunia lainnya, terutama upaya invasi

terhadap sebuah daerah yang berdaulat yang dilakukan oleh AS yang merupakan negara yang

sangat menghargai kedaulatan negara. Dengan demikian, penting untuk mengetahui tipe

pemimpin karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dan sewaktu-waktu

seorang pemimpin dapat merubah tipe kepemimpinannya tergantung dengan konteks situasi dan

kondisi yang ia sedang alami.

Lalu, dengan mengetahui tipe-tipe decision dan leader, sekarang penulis akan

menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi decision-making. Pertama adalah

cognitive consistency, yaitu decision-makers akan mengabaikan images dan beliefs yang

bertentangan terhadap konsensus yang ada.28

Dengan demikian, mereka akan fokus terhadap apa

yang telah disepakati atau “perceive what they expect to be there”29

. Dengan demikian, ini dapat

menimbulkan berbagai misinterpretasi dan overconfidence terhadap asumsi bahwa kebijakan

yang dianut sudah terbaik.30

Contohnya adalah First Punic War yang terjadi antara tahun 264

sampai 241 SM yang terjadi antara Roma dan Carthadge. Ini dilatarbelakangi oleh invasi

terhadap Sicily oleh Carthadge yang dianggap tidak akan mendapatkan back up dari Roma

sebagai kerajaan yang besar. 31

Hasilnya adalah Sicily menjadi bagian dari Roma. Faktor lainnya

yang mempengaruhi decision-making adalah evoked set yang berkaitan dengan immediate

concerns yang berarti reaksi langsung terhadap suatu kejadian yang terjadi bersamaan.32

Implikasinya adalah dengan ini decision-makers dapat memprediksi langkah yang cepat dalam

menyelesaikan suatu masalah dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, ini pun dapat

menimbulkan permasalahan baru, seperti pada kasus penembakan pesawat Iran oleh USS

27 Pedro Welch, US-Caribbean Relations : The Grenada Invasion and Caribbean Political Decision-Making, (Saarbrucken : VDM Verlag Dr. Müller, 2009), hlm.12 28 Alex Mintz, Op Cit., hlm.98 29 Nehemia Geva et al, “The Cognitive Calculus of Foreign Policy Decision Making” dalam The Journal of Conflict Resolution, Vol. 44, No.4 (2000), hlm. 447-441 30 Rose Mc Dermott, Political Physchology in International Relations, (Michigan: University of Michigan Press, 2004), hlm. 94 31 Arthur M. Eckstein, Senate and General: Individual Decision-Making and Roman Foreign Relations, (California: University of California Press, 1987), hlm. 330 32 Alex Mintz, Op Cit., hlm.99

7

Vincennes pada tahun 1988.33

Pada saat itu, latar belakang dalam keputusan untuk menembak

pesawat tersebut adalah ditemukannya data-data oleh intelegensi AS mengenai kecurigaan

terhadap Iran. Namun demikian, dengan kurangnya informasi dari sumber lain selain AS

akhirnya menemukan bahwa pesawat tersebut ternyata hanya sebuah pesawat komersil Iran.

Setelah itu, emotion atau perasaan berperan penting dalam decision-making. Pemimpin dikenal

dipengaruhi oleh opini massa, yang dipengaruhi oleh kejadian domestik maupun

internasional.34

Perasaan yang spesifik seperti dendam dapat memberikan efek yang spesifik pula.

Contohnya pada bulan Oktober 2002 terjadi bom bunuh diri di Netanya, Israel yang membunuh

130 warga sipil Israel yang setelah itu diketahui dipasang oleh kelompok ekstremis Palestina,

Jihad dan Hamas.35

Dengan adanya kejadian tersebut, perasaan dendam yang mendalam yang

dirasakan oleh Israel terhadap Palestina menyebabkan akan membalas dendam dengan Israel’s

Defensive Shield. Selanjutnya ialah images, yaitu representasi mental yang digunakan untuk

membentuk serta mengorganisasikan dunia yang kompleks.36

Proses ini memakai stereotip untuk

mengkategorikan seseorang atau suatu kejadian ke dalam suatu kelompol dimana digunakan

untuk melakukan simplifikasi. Namun demikian, ini dapat mengakibatkan overgeneralization.

Contohnya pada saat Perang Dingin, prinsip deterrence yang berarti ancaman dari satu aktor

internasional bertindak sebagai response dari potensi tindakan aktor lainnya.37

Perang Dingin

tidak dapat disimpulkan sebagai perang biasa karena dalam perang tersebut dari kedua aktor

besar, yaitu AS dan Uni Soviet tidak melakukan peran fisik, namun lebih kepada “perang” dalam

hal arms race dan penyebaran pengaruh ideologi. Ini tentu berbeda dengan perang-perang

sebelumnya seperti Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Dalam teorinya dynamics of power,

Gilpin menjelaskan terdapat tiga karakteristik yaitu the basicdriving forces of change, the

domestic response to this struggle dan the international management of power shifts.38

Dari

ketiga bagian dari ide Gilpin, yang paling relevan dalam Perang Dingin adalah yang ketiga,

dimana great-power menurut dan kompetisis berubah menjadi ‘perang’ teknologi. Ini terjadi

antara AS dan Uni Soviet pada saat Perang Dingin arms race serta space race. Ini mencerminkan

33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid. hlm. 101 37 Martha Cottam et al, Introduction to Political Psychology, (New York: Lawrence Erlbraum Associates Publishers, 2004), hlm. 261 38 Iver B. Neumann, The Future of International Relations, (New York: Routledge, 1997), hlm.131

8

perubahan bahwa perang tidak selalu fisik, namun juga dapat berupa perluasan pengaruh

ideologi.

Selanjutnya, penulis akan menjelaskan mengenai teori-teori yang relevan dengan

decision-making. Pertama adalah Prisoner’s Dilemma, yaitu contoh spesifik dari game theory.

Game Theory merupakan metode matematika yang menghitung decision-making pada saat

terjadi konflik atau bargaining dimana diasumsikan setiap aktor ingin mendapatkan keuntngan

maksimum yang juga rasional dengan kondisi.39

Contoh kasusnya adalah ketika dua narapidana

ditangkap dan akan dipenjara karena diduga telah memakai narkoba, yang dikenakan satu tahun

penjara. Polisi tersebut memiliki alasan yang cukup untuk berasumsi bahwa keduanya adalah

pengedar narkoba, namun tidak memiliki bukti cukup untuk memberikan hukuman. Jika

ditemukan mereka merupakan pengedar, masing-masing dijatuhkan 25 tahun penjara. Jika

keduanya mengaku, maka masing-masing dipenjarakan selama 10 tahun. Mereka dipisahkan dan

tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Hasil yang buruk adalah ketika keduanya harus

dipenjara selama 10 tahun, namun lebih buruk lagi apabila salah satu dari mereka mengaku dan

harus dipenjarakan sementara yang lainnya bebas.40

Pelajaran dari teori ini adalah cooperation

antarnegara sulit terjadi apabila tidak ada komunikasi.41

Lalu, ada yang disebut dengan Tit for

Tat, yaitu merupakan response dari Prisoner’s Dilemma, yang menyatakan bahwa ketika dua

negara telah melakukan interaksi yang tidak didasarkan oleh kerja sama seiring dengan waktu,

cooperation akan terjadi.42

Ini dikarenakan over the long run, kooperasi merupakan reward.

Dengan demikian, setelah kedua negara tersebut melakukan interaksi dan tidak didasarkan oleh

kerja sama akhirnya sadar bahwa keuntungan diraih dari bekerja sama lebih banyak daripada

tidak bekerja sama. Lalu, terdapat Two Level Game, yaitu sebuah teori gagasan Robert Putnam

pada tahun 1980-an. Dalam teori ini, decision-making menghadapi dua pertimbangan dalam

penerapannya, yaitu domestic level groups dan international level groups.43

Dalam

penerapannya, terkadang kepentingan dari kedua kelompok saling berkaitan dan tak jarang

39 Martin Griffiths dan Terry O’ Callaghan, International Relations: The Key Concepts, (New York: Routledge, 2002), hlm.257 40 Joseph S. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (London: Longman, 1997), hlm. 13 41 Martin Griffiths dan Terry O’ Callaghan, Op Cit. 42 Alex Wintz, Op Cit., hlm.66 43 Robert D. Putnam, Diplomacy and domestic politics: the logic of two-level games, (Massachusetts: World Peace Foundations, 1998), hlm. 130

9

kepentingan kedua kelompok bertolak belakang.44

Contohnya adalah adanya negosiasi dan

ratifikasi dalam perjanjian internasional. Presiden sebelumnya harus melakukan negosiasi

dengan aktor internasional lainnya untuk menandatangani traktat. Lalu, tidak lupa pula dengan

kepentingan domestik, seperti kepentingan legislatif harus dipertemukan. Dengan demikian,

keseimbangan dari kedua kepentingan dari kedua kelompok tersebut karena saling berkaitan dan

saling berhubungan satu sama lain dalam merumuskan suatu kebijakan. Maka, teori-teori di atas

yang sudah dijabarkan oleh penulis relevan dalam decision-making sehingga negara dapat

melakukan tindakan yang tepat serta meraih hasil yang maksimal.

Akhirnya, decision-making dalam hubungan internasional merupakan aspek yang tidak

dapat dihindari. Decision-making mempengaruhi foreign policy suatu negara sehingga

berdampak pada masyarakat secara luas. Dalam decision-making, perlu mengetahui signifkansi

dari public opinion yang mempengaruhi kebijakan seorang pemimpin. Faktor-faktor yang

mempengaruhi decision-making penting untuk ditelaah karena menyangkut faktor eksternal

maupun internal.Tipe-tipe decision serta leader perlu diketahui dalam memahami perbedaannya,

serta teori-teori yang mendukung konsep decision-making. Dengan demikian, decision-making

suatu negara perlu menguntungkan masyarakat negara tersebut karena merupakan kompilasi

aspirasi dari masyarakat dalam merancang suatu kebijakan.

44 Ibid. hlm. 131

10

DAFTAR REFERENSI

Elias, Juanita dan Peter Sutch. Basics of International Relations.New York: Routledge, 2007

Mintz , Alex dan Karl DeRouen. Understanding Foreign Policy: Decision Making. Cambridge:

Cambridge University Press, 2010

Eckstein, Arthur M. Senate and General: Individual Decision-making and Roman Foreign

Relations. California: University of California Press, 1987

Rose, Caroline. Interpreting History in Sino-Japanese Relations: A Case Study in Political

Decision-Making. New York : Routledge, 1998

Cottam, Martha., et al. Introduction to Political Psychology. New York: Lawrence Erlbaum

Associates Publishers, 2004

Neumann, Iver B., et al. The Future of International Relations. New York: Routledge, 1997

Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan. International Relations: The Key Concepts. New York:

Routledge, 2002

Welch, Pedro. US-Caribbean Relations: The Grenada Invasion and Caribbean Political

Decision-Making. Saarbrucken : VDM Verlag Dr. Müller, 2009

Towle, Philip. Democracy and Peacemaking. New York: Routledge , 2000

Roberts, Priscilla. Cuban Missile Crisis. Santa Barbara: ABC CLIO, LLC , 2012

Putnam, Robert D., Diplomatic and domestic politics: the logic of two-level game”.

Massachusetts: World Peace Foundation,1998

Nye, Joseph S. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History.

London: Longman, 1997

Goertz, Gary. “Constraints, Compromises, and Decision Making”.Journal of Conflict Resolution

48.1 (2004): 14-36

11

Geva, Nehemia., et al. “The Cognitive Calculus of Foreign Policy Decision Making: An

Experimental Assessment”. The Journal of Conflict Resoluton Press 44.4 (2000): 447-471

\