REPRESENTASI SEKSUALITAS DALAM FILM SERIGALA TERAKHIR

16
REPRESENTASI SEKSUALITAS DAN MULTIKULTURALISME DALAM FILM SERIGALA TERAKHIR Ujian Tengah Semester | Media, Seksualitas dan Multikulturalisme Dyestari Dyanutami | 071314853004 A. Latar Belakang Perkembangan film di Indonesia mengalami grafik naik turun selama beberapa dekade belakangan ini. Dimulai dari film Loetoeng Kasaroeng yang dibuat pada tahun 1926, pada tahun 2000an film Indonesia memiliki tema yang beragam dengan kualitas yang beragam pula. Kebanyakan film Indonesia di tahun 2000an bertemakan horor dengan bumbu seksual dan komedi romantis dengan ciri khas gaya hidup kelas atas. Serigala Terakhir (2009) adalah film ketiga Upi Avianto, yang mengambil tema langka di dunia perfilman Indonesia yaitu drama kriminal. Film ini terasa lebih berat dibanding film-film Upi sebelumnya, dilihat dari tema dan alur cerita. Di tengah terpaan film yang banyak menampilkan tubuh perempuan pada tahun 2009 (Jeritan Kuntilanak, Suster Keramas, XXL, dan lain-lain), film ini menampilkan justru menampilkan maskulinitas laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari didominasinya lebih dari separuh cerita dengan shot-shot penuh otot dan tubuh laki- laki. Dibuat dengan bercermin pada kondisi sosial masyarakat Indonesia, film ini dipenuhi adegan kekerasan, darah, dan kriminalitas, yang termasuk pula di dalamnya kekerasan seksual – yang tentu saja tidak ditampakkan secara gamblang. Keberbedaan ini agaknya malah membuatnya menarik dan mendapat perhatian tersendiri pada masanya. Film ini menjadi salah satu film Indonesia yang menampilkan seksualitas dari perspektif yang berbeda. Setting film yang terletak di kampung pinggiran Jakarta melengkapi keunikan film untuk diketahui lebih lanjut unsur representasi seksualitas dan multikulturalismenya, karena film ini dianggap mewakili kehidupan non-populer, yang jarang diangkat di film pada masa itu, yang lebih sering menyorot kehidupan borjuis populer.

Transcript of REPRESENTASI SEKSUALITAS DALAM FILM SERIGALA TERAKHIR

REPRESENTASI SEKSUALITAS DAN MULTIKULTURALISME DALAM FILM SERIGALA TERAKHIR

Ujian Tengah Semester | Media, Seksualitas dan Multikulturalisme Dyestari Dyanutami | 071314853004

A. Latar Belakang

Perkembangan film di Indonesia mengalami grafik naik turun selama

beberapa dekade belakangan ini. Dimulai dari film Loetoeng Kasaroeng yang dibuat

pada tahun 1926, pada tahun 2000an film Indonesia memiliki tema yang beragam

dengan kualitas yang beragam pula. Kebanyakan film Indonesia di tahun 2000an

bertemakan horor dengan bumbu seksual dan komedi romantis dengan ciri khas

gaya hidup kelas atas.

Serigala Terakhir (2009) adalah film ketiga Upi Avianto, yang mengambil

tema langka di dunia perfilman Indonesia yaitu drama kriminal. Film ini terasa lebih

berat dibanding film-film Upi sebelumnya, dilihat dari tema dan alur cerita.

Di tengah terpaan film yang banyak menampilkan tubuh perempuan pada

tahun 2009 (Jeritan Kuntilanak, Suster Keramas, XXL, dan lain-lain), film ini

menampilkan justru menampilkan maskulinitas laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari

didominasinya lebih dari separuh cerita dengan shot-shot penuh otot dan tubuh laki-

laki. Dibuat dengan bercermin pada kondisi sosial masyarakat Indonesia, film ini

dipenuhi adegan kekerasan, darah, dan kriminalitas, yang termasuk pula di

dalamnya kekerasan seksual – yang tentu saja tidak ditampakkan secara gamblang.

Keberbedaan ini agaknya malah membuatnya menarik dan mendapat perhatian

tersendiri pada masanya.

Film ini menjadi salah satu film Indonesia yang menampilkan seksualitas dari

perspektif yang berbeda. Setting film yang terletak di kampung pinggiran Jakarta

melengkapi keunikan film untuk diketahui lebih lanjut unsur representasi seksualitas

dan multikulturalismenya, karena film ini dianggap mewakili kehidupan non-populer,

yang jarang diangkat di film pada masa itu, yang lebih sering menyorot kehidupan

borjuis populer.

B. Sinopsis

Film Serigala Terakhir yang disutradarai Upi Avianto dirilis tahun 5 November

2009, menurut id.wikipedia.org bergenre drama kriminal. Menceritakan lima remaja

yang bersahabat dan tidak enggan berkelahi untuk kehormatan kelompok dan

kampungnya, film ini dipenuhi adegan perkelahian berdarah-darah, wajah lebam,

dan paparan tubuh kekar di sepanjang cerita.

Tokoh utama dalam kelompok ini adalah Ale sebagai pemimpin geng dan

Jarot sebagai tokoh utama cerita. Kelompok ini diceritakan menjadi ‘penguasa’, yang

melindungi kampung dari ancaman bahaya, terutama masuknya pengaruh narkoba.

Sosok lain dalam film ini adalah Fatir, remaja yang hidup di kampung yang sama.

Kelompok Ale selalu bersikap diskriminatif pada Fatir, kecuali Jarot yang

menunjukkan simpatinya pada remaja tuna wicara ini. Konflik mulai terjadi ketika

dalam perkelahian setelah pertandingan bola antar kampung Jarot tanpa sengaja

membunuh preman untuk menyelamatkan nyawa Ale. Ketika Jarot dipenjara akibat

hal tersebut, tidak seorangpun sahabatnya mengunjungi atau membelanya. Film

kemudian berfokus pada bagaimana perubahan Jarot dari penguasa kampung

menjadi sosok lemah di dalam penjara, sempat mengalami seks anal paksa, dan

kemudian berhasil berjuang sendiri membalikkan keadaan dan menguasai penjara.

Pada hari kebebasannya, sosok yang menjemput Jarot malah Fatir, yang kini telah

tergabung dalam sindikat narkoba. Melawan paham yang dulu pernah sangat

ditentangnya, Jarot menjadi pengedar narkoba termasuk di kampungnya sendiri.

Konflik berkembang ketika Fatir bermaksud membalas budi baik Jarot selama

ini dan melindungi Jarot, dengan membunuh satu per satu sahabat Jarot, bahkan

kekasih Jarot yang notabene adalah adik Ale. Jarot yang sudah terjebak dalam

lingkaran sindikat narkoba menjadi semakin terpuruk karena kehilangan orang-orang

yang disayanginya, dan pada akhirnya mati pula di tangan Fatir.

C. Seksualitas

Seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian,

dan sikap atau watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual.

Walaupun apa yang dikatakan maskulin dan feminin pada setiap budaya sangat

relatif dan bisa jadi berbeda, tetapi yang akan dilihat secara visual dari film ini adalah

konsep maskulin dan feminin secara umum. Berbicara mengenai hal itu, tentu saja

tidak dapat dipisahkan dengan konsep gender yang melatari dimensi sosial dan

budaya, dimana gender dibangun berdasar konstruksi sosial maupun kultural

manusia. Dalam film ini maskulinitas lebih ditonjolkan daripada feminitas, karena

selain berlatar minat sutradara, tema film yang penuh kekerasan dan kriminal akan

menjadi kuat dengan tambahan bumbu maskulin, sebagaimana konstruksi sosial

masyarakat yang menganggap laki-laki lebih ‘kuat’ secara fisik.

Secara umum maskulinitas sendiri merupakan konsep yang terbuka, bukan

merupakan identitas yang tetap dan terpisah dari pengaruh sosial budaya yang ada.

Sementara menurut Hanke Robert, hubungan antara maskulinitas dan media

muncul pertama kali tahun 1970-an. Dalam kajian media, maskulinitas dipahami

sebagai ‘both as product an process of representation’. Menurut Media Awareness

NetWork seperti dikutip Lasido (2012), salah satu dari lima karakteristik maskulinitas

yang kerap muncul di media massa adalah otot. Lelaki ideal dengan tubuh berotot

mencitrakan tubuh ideal laki-laki. Media massa – dalam hal ini termasuk film –

berperan mengkonstruksi langsung realitas sosial tentang laki-laki. Tubuh yang

berotot ini menurut Foucault tubuh merupakan hasil konstruksi dari masyarakat

pula. Dalam film ini, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, otot tubuh laki-

laki menjadi fokus visual tersendiri. Konstruksi sosial masyarakat bahwa laki-laki

‘tulen’ haruslah yang berbadan tegap direpresentasikan dalam film ini, dengan

pakaian-pakaian minim yang menonjolkan otot dada, perut yang rata dan lengan

yang kekar. Menariknya, sutradara memberikan representasi yang berbeda pada

laki-laki dengan kelas sosial yang berbeda pula. Kelompok Ale sebagai bagian dari

kelas marjinal dan fokus alur cerita digambarkan memiliki tubuh ideal namun

berpakaian lusuh dengan tampilan kulit yang terekspos tampak tidak bersih,

cenderung coreng-moreng. Kontras dengan hal tersebut, para pembesar sindikat

narkoba Naga Hitam memiliki bentuk fisik yang besar cenderung gemuk dan tidak

terlalu tinggi, dengan pakaian glamor dan perhiasan emas. Selain kontras kelas

sosial, Upi nampaknya ingin menegaskan perbedaan antara tokoh antagonis dan

protagonis melalui unsur visual. Upi menerapkan standar bahwa para pria kekar ini

adalah pria yang baik; pria yang ideal.

Karakteristik yang kedua adalah maskulinitas pahlawan. Hal ini dipengaruhi

oleh film aksi Hollywood seperti Arnold dalam karakter Terminatornya, misalnya.

Poin ini menguatkan alasan kelompok Ale yang menjadi karakter utama dalam film

digambarkan berotot dan berambisi melindungi kampung dari bahaya narkoba.

Terlepas dari cara yang salah atau kegelisahan intrapersonal anggota kelompok, misi

melindungi kampung ini sebetulnya menjadi representasi karakteristik heroik

tersebut.

Karakter Jarot sebagai tokoh sentral mengalami perubahan visual dalam film.

Awalnya, seperti sahabatnya yang lain Jarot menggunakan pakaian-pakaian yang

menunjukkan otot-otot tubuh – atau bahkan bertelanjang dada – sebagai gambaran

sosok ‘preman’ yang mengandalkan fisik untuk berkelahi. Rambutnya agak panjang

dengan cara berjalan yang melebar. Ketika ia berada di penjara, tubuh kekarnya

kemudian ditutupi oleh seragam penjara yang kebesaran, untuk menjadi kontras

visual ketika ditampilkan bersama preman-preman penjara yang bertubuh jauh lebih

besar. Ketika akhirnya ia berhasil membalas perlakuan preman penjara yang sempat

menindasnya, visual Jarot kembali menggunakan kaus tanpa lengan.

Setelah kebebasannya dari penjara dan bergabungnya Jarot dengan sindikat

narkoba Naga Hitam, tampilan visualnya berubah menjadi lebih necis dengan

rambut pendek yang diminyaki, lengkap dengan kumis tipis, kalung rantai, pakaian

dan celana ketat, tidak jarang dengan motif kulit. Uniknya, tubuh Jarot yang awalnya

diekspos secara terbuka dan mendapat close-up ketika adegan berkelahi, kemudian

berubah menjadi tertutup pakaian ketat lengan panjang, dan tidak sekekar

sebelumya. Dari yang awalnya menggunakan sandal jepit, kini Jarot mengendarai

mobil berwarna merah.

Perubahan-perubahan visual ini merepresentasikan perubahan kehidupan

Jarot dan perubahan citranya. Jika awalnya Jarot adalah sosok maskulin di kampung

yang mengandalkan fisik untuk bertahan hidup dan menunjukkan eksistensi, pada

perkembangannya ia menjadi sosok yang berbeda. Ketika ia berkelahi pun ia sudah

menggunakan senjata seperti pistol atau pisau, tidak lagi tangan kosong.

Fatir, seperti halnya Jarot, mengalami perubahan visual pula, bahkan dalam

hal ekspresi wajahnya. Dari yang awalnya terlihat lusuh, dengan kaus-kaus berwarna

polos, Fatir berubah dengan atribut jas bermotif maupun jaket kulit dan kalung

emas. Ekspresi wajahnya pun tak lagi ketakutan, melainkan penuh amarah dengan

garis senyum miring dan sinis. Perubahan visual ini mewakili bagaimana cara Fatir

berjuang untuk mendapatkan eksistensinya, dari seorang tuna wicara yang hanya

bisa ditindas oleh kawan sekampungnya menjadi seorang pembunuh berdarah

dingin. Gaya berpakaian tokoh lain juga mengalami perubahan, namun hal ini

agaknya sekedar berhubungan dengan proses pendewasaan setiap karakter saja,

tidak berkaitan dengan perubahan kelas sosial mereka.

Perempuan dalam film ini tidak banyak diberi porsi, lebih banyak berperan

secara pasif sebagai bagian dari keluarga tokoh utama. Adik Ale dan adik Jarot,

begitu juga ibu mereka, lebih banyak berdiam diri. Adik Jarot yang kemudian bekerja

sebagai escort di kelab malam juga digambarkan pasif dan minim dialog. Walaupun

diceritakan memendam amarah karena kakaknya pergi meninggalkan rumah, tidak

diceritakan lebih lanjut mengenai hal tersebut. Begitu juga pada adegan

pemerkosaannya, adik Jarot hanya berteriak, dengan posisi di bawah,

melambangkan ketidakberdayaannya pada pemerkosa (laki-laki). Setelah

pemerkosaan tersebut, adik Jarot digambarkan menjadi linglung dan berdiam di

rumah tanpa tindakan pelaporan apapun. Gambaran visual dari adik Jarot tidak

menjadi fokus dalam film, walaupun profesinya berpotensi untuk dapat

digambarkan seductive. Hal ini dikarenakan profesi escort yang dilakukannya adalah

sebuah keterpaksaan akibat kondisi ekonomi keluarga.

Adik Ale yang juga adalah pasangan Jarot sebagai tokoh utama, digambarkan

pendiam, berpakaian sederhana, tanpa dandanan, dan sangat tertutup. Sebelum

kematiannya, ia tampak memohon untuk tidak ditinggalkan Jarot, menjadi sebuah

imbol ketergantungannya pada sosok Jarot. Sampai pada akhir cerita setelah ia mati

pun, Jarot tidak mengetahui jika pasangannya tengah mengandung bayinya.

Secara seksualitas, kedua tokoh ini seolah tidak memiliki kuasa terhadap hak

seksualnya sendiri; satu tokoh mengalami pemerkosaan dan satu tokoh harus

memohon untuk tidak ditinggalkan akibat sudah kepalang hamil. Ada anggapan

bahwa meskipun perempuan adalah wahana seksualitas, tetapi laki-laki adalah

pelaku seks, dan dengan demikian subjek yang bisa “menggarap” perempuan. Ini

konsisten dengan ideologi gender yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama

dan perempuan sebagai sekunder (Suryakusuma, 1991).

Dari kedua tokoh perempuan ini dapat diambil kesamaan mengenai

bagaimana mereka menyikapi polemik. Pembawaan perempuan dalam film yang

terkesan introvert, menguatkan kesan dominasi laki-laki dalam struktur sosial

kehidupan kaum marjinal di Indonesia. Agaknya, menurut Upi posisi perempuan

yang tersubordinasi ini masih menjadi standar kehidupan di pinggiran Jakarta,

dikarenakan wawasan dan pemahaman yang masih minim mengenai gender.

Bagi Ivan Hill, gender adalah sebuah distingsi perilaku dalam budaya

aernacular. Konsep gender ini membedakan waktu, tempat peralatan, tugas, gerak-

gerik, bentuk tuturan dan bermacam persepsi yang dikaitkan pada laki-laki atau

perempuan – atau gender selain dua yang umum ini. Lebih dari itu, perbedaan itu

justru dipertahankan secara kultural. Sistem patriarki pun berjalan begitu saja,

sebagai sistem sosial yang mendukung dan membenarkan dominasi laki-laki,

memunculkan pemusatan pada laki-laki, pemberian hak-hak istimewa pada laki-laki,

yang akhirnya mengakibatkan kontrol terhadap perempuan.

Mitos-mitos dalam sistem patriarki ini direpresentasikan Upi menjadi simbol.

Mitos sendiri menjadi bagian dari semiologi, menjadi suatu hal yang memiliki makna

tidak hanya seperti yang terlihat oleh mata melainkan berupa gagasan-dalam

bentuk. Semua hal bisa menjadi tanda, karena menurut Peirce (1931:48 dalam

Chandler, 2006) “today’s society is full of signs that are given meaning invested of

words, images, sounds, acts or objects”. Citraan dan dialog-dialog dalam film ini

adalah simbol, seperti dialog kelompok Ale yang dipenuhi umpatan adalah tanda

pemberontakan masyarakat pinggiran. Hal ini agaknya merujuk pada bagaimana

black people di Amerika dengan gaya bahasa mereka yang serupa dengan kelompok

Ale juga melakukan hal yang sama.

Dalam film ini juga dijumpai ekspresi seksualitas yang berbeda dari sosok

Fatir. Sebagai seorang tuna wicara, Fatir digambarkan bertubuh ceking dan tidak

berotot, merepresentasikan sosok lemah yang menjadi underdog. Bagaimana Upi

menggambarkan Fatir sebagai sosok yang misterius pun terjaga sampai akhir.

Penonton dibuat bertanya-tanya lebih jauh mengenai alasan Fatir sebenarnya

melindungi Jarot sampai sedemikian rupa. Benarkah hal itu hanya semata-mata

dikarenakan simpati Jarot selama ini padanya? Ataukah ada ketertarikan seksual dari

Fatir pada Jarot?

Adegan di saat Fatir menyiksa Sadat dan Jago hingga mati karena

memperkosa adik Jarot menarik untuk dibahas. Pemukulan kedua sahabat Jarot

dengan martil tidak ditunjukkan secara gamblang, kamera hanya menyorot wajah

ketakutan Sadat dan Jago ketika sosok Fatir dalam siluet berjalan mendekati mereka

dengan membawa martil di tangan. Kamera kemudian berganti membidik wajah

dingin Fatir saat mengayunkan martil dalam gerakan slow motion. Ekspresi Fatir,

uniknya, berubah tersenyum sembari memejamkan mata, bibirnya bahkan gemetar,

ketika cipratan darah kedua korbannya mengenai wajah dan seluruh badannya.

Adegan ini agaknya menggambarkan kepuasan Fatir – bukan tidak mungkin adalah

kepuasan seksual – ketika membunuh korbannya perlahan. Terlepas dari wajah

dinginnya sepanjang film, hanya di adegan inilah penonton bisa melihat wajah

kepuasan Fatir.

D. Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang juga terkadang ditafsirkan

sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok

kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat

modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan

berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme

berasal dari dua kata, multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau

kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya.

Dalam film ini, digambarkan kehidupan kaum pinggiran Jakarta dengan kelas

sosial menengah ke bawah dan usaha mereka untuk bertahan hidup. Gambaran

marjinal dan masyarakat pinggiran ditunjukkan dengan detail seperti pasar dengan

tenda seadanya, pakaian-pakaian yang lusuh, jemuran di depan rumah petak, dan

bir serta rokok sebagai konsumsi kelompok Ale.

Apa yang dilakukan Ale dan kelompoknya – berkelahi, berjalan ‘petantang

petenteng’ – adalah cara untuk menunjukkan eksistensi diri dan menjadi dominan.

Keragaman etnis dalam film terlihat dari anggota kelompok yang terdiri dari figur Ale

dan Sadat yang berhidung mancung dan bertulang alis tinggi seperti khasnya

keturunan Timur Tengah, Lukman yang bermata sipit dan tidak terlalu tinggi

sepertinya keturunan Tionghoa, serta Jarot dan Jago yang bertubuh tinggi, berkulit

coklat khas Melayu. Dalam film ditemukan adegan Ale mengancam salah seorang

pedagang keturunan Tionghoa yang ada di daerah tersebut karena memilih

menyewa preman ketimbang mempercayakan keamanan kampung pada kelompok

Ale. Penggunaan cast ini agaknya hanya dikarenakan stereotype masyarakat saja

bahwa mayoritas pedagang adalah keturunan Tionghoa. Anggota kelompok yang

beretnis Timur Tengah pun tidak digambarkan melakukan aktivitas terkait

budayanya. Kegiatan beragama yang diperlihatkan hanya ketika adik Jarot

melakukan shalat malam. Kelompok Ale pun sempat meneriaki Fatir dengan seruan

‘bisu!’ atau ungkapan seperti ‘ngomong aja nggak bisa, gimana lu mau ngelindungin

kampung kita?’ saat Fatir ingin masuk ke kelompok Ale; sesaat sebelum akhirnya ia

memutuskan pergi dari kampung dan bergabung dengan Naga Hitam. Dengan kata

lain, film ini tidak berusaha menampilkan keberagaman budaya sebagai fokus cerita.

Bahkan anggota kelompok yang bermata sipit pun diberikan nama Lukman alih-alih

nama yang berkesan Tionghoa.

Pada akhir cerita, setelah kematian semua tokoh yang menyisakan Fatir

sebagai satu-satunya tokoh awal yang hidup, adegan beralih ke arah adik laki-laki Ale

yang mengambil pistol simpanan kakaknya kemudian menemui sekumpulan teman-

temannya dan berlalu pergi. Dari sini dapat diambil pemaknaan konotasi bahwa

perjuangan kaum marjinal di pinggiran Jakarta ini belumlah selesai dan akan terus

berlanjut. Film ini, walaupun tidak menunjukkan spirit multikulturalis, justru secara

ironis menampilkan apa yang ada dalam benak masyarakat Indonesia kebanyakan.

Sebagai film yang bertujuan komersial, selain menunjukkan sisi idealisnya Upi

tentunya harus menampilkan apa yang ingin dilihat oleh calon konsumennya agar

jumlah penonton dan layar ada pada angka yang diinginkan, atau dengan kata lain

Upi tentunya berusaha merepresentasikan apa yang sudah terkonstruk di

masyarakat. Jika melihat tampilan visual yang ada di film ini, maka kondisi seperti

itulah yang diketahui masyarakat tentang kaum marjinal pinggiran: menyelesaikan

masalah dengan perkelahian dan darah, berpenampilan lusuh, dan tidak beragam

budaya. Hal ini menjadi ironis mengingat Indonesia sebenarnya sangat

multikulturalis. Stereotype tampilan si jahat dan si baik dalam film pun menjadi

satire karena mencerminkan konstruksi masyarakat pada standar oposisi biner yang

ada.

Bagaimana Upi menggambarkan tampilan visual antara si jahat dan baik

dengan sangat kontras ini, bisa jadi merupakan sindiran terhadap standar pakem

visual yang digunakan di media massa. Upi ingin menekankan perbedaan tersebut

secara berlebihan, mengacu pada apa yang dilakukan produser sinetron dan film

drama romantis kebanyakan, yang terlalu kontras menampilkan baik dan buruk

karakter. Dari sinilah kemudian muncul karakter sindikat Naga Hitam yang secara

berlebihan berpakaian necis dan menggunakan mobil mencolok untuk pengintaian –

menjadi sangat aneh dan tidak masuk akal untuk sebuah sindikat narkoba yang

mustinya bergerak diam-diam.

E. Representasi

Menurut Stuart Hall, proses produksi dan pertukaran makna antara manusia

atau antar budaya yang menggunakan gambar, simbol dan bahasa adalah disebut

representasi. Ada tiga pendekatan representasi :

1. Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui

ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat

secara nyata.

2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun

tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya. Bahasa

adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan

makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.

3. Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan

menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang

dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni

dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang

meletakkan makna.

Ditinjau dari pengelompokan di atas, maka representasi yang dilakukan Upi

adalah pendekatan reflektif, karena Upi sebagai sutradara seperti dikutip oleh

wikipedi.org mengatakan, “...the inspiration to write the story was the social

conditions faced by Indonesian people, namely the threat of crime”.

Stuart Hall menganggap bahwa “ada yang salah” dengan representasi

kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji yang

dimunculkan oleh media semakin memburuk. Hal ini agaknya muncul pula dalam

film ini, mengenai bagaimana masyarakat pinggiran digambarkan menyelesaikan

masalah dengan perkelahian dan bergaya hidup cenderung ‘barbar’.

Dari uraian di atas, dapat dilihat beragam representasi mengenai

maskulinitas dan seksualitas dalam film ini. Nampaknya Upi sebagai sutradara tidak

bermaksud untuk menawarkan wawasan baru pada penonton; ia hanya

merepresentasikan gambaran umum yang sudah terkonstruk di masyarakat.

Di awal, hal ini dapat dilihat dari penggambaran tokoh yang stereotype,

bahwa pihak yang superior haruslah lebih besar dan berotot tubuhnya, dengan kata-

kata sarkastik yang menekankan kesan pemberontakan kelompok Ale. Akan tetapi,

pada akhir cerita, ketika para tokoh berbadan besar ini kemudian dikalahkan oleh

Fatir, seorang tuna wicara berbadan kurus kering yang membunuh mereka semua

dengan alat (bukan tangan kosong), maka film ini mencoba memberikan perspektif

yang berbeda. Pihak yang tidak dominan dan memiliki kekurangan bisa

memenangkan pertarungan, meskipun ironisnya adalah untuk tujuan yang salah.

Tampilan Jarot setelah masuk ke sindikat Naga Hitam dengan pakaian yang

lebih necis menampilkan secara satire representasi orang berpunya, dengan

kendaraan antik berwarna merah mencolok yang uniknya digunakan untuk

mengintai kampung sebelum mengedarkan narkoba. Hal ini sempat menimbulkan

kritik tersendiri di kalangan penikmat film, seperti Marcel Thee dari The Jakarta

Globe yang mengungkapkan ‘...there were nevertheless some "awkward visuals",

such as the drug gang's "retro 1970s wardrobe"’.

Maskulinitas Jarot kemudian bergeser, dari yang awalnya terlihat gahar

dengan tubuh kekarnya menjadi perlente dengan rambut rapinya. Hal ini

menunjukkan perbedaan standar maskulinitas pada kelas sosial yang berbeda,

sekaligus menggambarkan pula bagaimana cara manusia dengan kelas sosial yang

berbeda menyelesaikan masalah mereka. Secara konotatif, bagaimana Jarot

menggunakan senjata ketika sudah bergabung dengan Naga Hitam menunjukkan

kecenderungan kelas atas untuk menyelesaikan masalah ‘tidak dengan tangan

mereka sendiri’, melainkan memanfaatkan orang lain. Kaum marjinal, mau tidak

mau, harus berkelahi dengan tangan kosong, seperti Jarot saat masih bergabung

dengan kelompok Ale, meskipun dengan resiko lebam, terluka, maupun dipenjara.

Dalam film ini, porsi seksualitas banyak mengarah pada kekerasan, seperti

seks anal yang dialami Jarot di penjara sebagai tanda kekalahannya pada

superioritas yang ada, dan pemerkosaan yang dilakukan Sadat dan Jago pada adik

Jarot sebagai simbol balas dendam akibat kematian Lukman. Dijumpai pula

kepuasan personal Fatir yang tidak didapatkannya dari hubungan seksual, yang

menambah nilai keunikan karakter Fatir. Dengan pemahaman seksualitas yang

mustinya mencakup emosi dan perasaan, maka hubungan yang ada dalam film ini

tidak bisa dikatakan tergolong dalam seksualitas yang wajar.

Serigala Terakhir adalah film kedua Upi yang menampilkan tubuh laki-laki

sebagai nilai jualnya. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Upi dan dikutip dalam

wikipedia.org, “...that she was most comfortable producing male-oriented films”.

Realita, Cinta, dan Rock n Roll (2006) adalah film pertama Upi dengan poin jual yang

sama namun dengan tema yang jauh lebih ringan. Di tahun 2006 muncul pula film

sejenis milik Rudi Soedjarwo yaitu 9 Naga, yang juga menampilkan tubuh laki-laki

dan persaudaraan, minus drama romantis. Dengan demikian dapat diketahui bahwa

sebetulnya di Indonesia terdapat minat tersendiri terhadap jenis-jenis film seperti

ini. Dari film-film ini ditemui keseragaman tubuh laki-laki yang menjadi fokus, yaitu

tipe kekar berotot. Agaknya tipe ini menjadi standar bagaimana tubuh pria ideal,

atau yang menurut Hanke (1998) disebut hegemonic masculinity. Bagaimana

maskulinitas ‘dijual’ di media – dalam hal ini film – sebagai lambang kekuatan dan

pemberontakan, bagaimanapun, terkait erat dengan gender sebagai konstruksi

sosial yang ada di masyarakat. Sistem patriarki yang dikenal oleh mayoritas

penduduk di Indonesia membawa representasi yang muncul di media menampilkan

hal yang sama pula. Masyarakat pun menerima representasi ini kembali,

terhegemoni, dan menerimanya apa adanya.

KESIMPULAN

Bagaimana Upi merepresentasikan maskulinitas, seksualitas dan

multikulturalisme dalam Serigala Terakhir adalah cerminan dari konstruksi sosial

yang sudah ada di masyarakat. Bagaimana masyarakat pinggiran Jakarta

digambarkan berpakaian lusuh dan berkelahi dengan tangan kosong, dibandingkan

dengan bagaimana sindikat Naga Hitam berpakaian perlente dengan perhiasan emas

dan berkelahi dengan senjata, merepresentasikan bagaimana kedua kelas sosial ini

menyelesaikan permasalahan mereka. Upi agaknya ingin menampilkan representasi

yang umum diketahui orang untuk bisa menyasar penonton dengan jumlah besar,

atau sebaliknya, ingin secara satire menampilkan representasi tersebut secara

berlebihan sebagai protes terhadap pakem visual yang sudah ada.

Bagaimana tubuh tokoh-tokoh utama dalam film digambarkan berotot dan

kekar menggambarkan kekuatan dan superioritas; kepahlawanan yang maskulin.

Sedangkan para pendukung perempuan digambarkan introvert dan lemah, bahkan

dalam unsur seksualitasnya, adalah cerminan stereotype yang ada di masyarakat.

Pemerkosaan dan seks anal yang ada dalam film adalah representasi power

pula, menggambarkan bagaimana seksualitas bisa menjadi cara seseorang

menahbiskan kekuatan. Perilaku seksual menyimpang Fatir yang misterius

melengkapi keberagaman tujuan seksualitas di luar yang selama ini diketahui orang.

Multikulturalisme dalam film tidak digambarkan dengan jelas. Keberagaman

etnis anggota kelompok tidak dimaksimalkan eksplorasinya, hanya untuk

keberagaman visual saja. Agaknya Upi tidak berusaha menyorot hal tersebut. Upi

hanya merepresentasikan kembali konstruksi yang telah terbentuk. Hal ini

memunculkan fakta bahwa masyarakat Indonesia secara umum memang belum

terbuka pada wacana multikulturalisme ini.

DAFTAR PUSTAKA

Lasido, Nur Allan. 2012. Komodifikasi Imaji Maskulinitas pada Iklan Komersial (Kritik atas Performatifitas Imaji Tubuh ‘Ideal’ Laki-laki. Online. kotakpandorahitam.blogspot.com/2012/04/komodifikasi-imaji-maskulinitas-pada.html

Chandler, Daniel. Semiotics for Beginner Barthes, Roland, 1972, Mythologies, Jonathan Cape Ltd Budiman, Kris, (L999). Feminografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hanke, Robert, (tt)- 'Theorizing Masculinity With/In the Media,'

http:/lwww.newcastie.edu.au Kurnia, Novi. 2004. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. ]urnal Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Vol. 8, No. 1, luli 2004 Suryakusuma, Julia I. 1991. Konstruksi Sosial Seksualitas: Sebuah Pengantar Teoritis.

Prisma 7, Juli 1991 Wikipedia.org/serigala_terakhir Wikipedia.org/upi_avianto