REPRESENTASI SEKSUALITAS DALAM FILM SERIGALA TERAKHIR
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of REPRESENTASI SEKSUALITAS DALAM FILM SERIGALA TERAKHIR
REPRESENTASI SEKSUALITAS DAN MULTIKULTURALISME DALAM FILM SERIGALA TERAKHIR
Ujian Tengah Semester | Media, Seksualitas dan Multikulturalisme Dyestari Dyanutami | 071314853004
A. Latar Belakang
Perkembangan film di Indonesia mengalami grafik naik turun selama
beberapa dekade belakangan ini. Dimulai dari film Loetoeng Kasaroeng yang dibuat
pada tahun 1926, pada tahun 2000an film Indonesia memiliki tema yang beragam
dengan kualitas yang beragam pula. Kebanyakan film Indonesia di tahun 2000an
bertemakan horor dengan bumbu seksual dan komedi romantis dengan ciri khas
gaya hidup kelas atas.
Serigala Terakhir (2009) adalah film ketiga Upi Avianto, yang mengambil
tema langka di dunia perfilman Indonesia yaitu drama kriminal. Film ini terasa lebih
berat dibanding film-film Upi sebelumnya, dilihat dari tema dan alur cerita.
Di tengah terpaan film yang banyak menampilkan tubuh perempuan pada
tahun 2009 (Jeritan Kuntilanak, Suster Keramas, XXL, dan lain-lain), film ini
menampilkan justru menampilkan maskulinitas laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari
didominasinya lebih dari separuh cerita dengan shot-shot penuh otot dan tubuh laki-
laki. Dibuat dengan bercermin pada kondisi sosial masyarakat Indonesia, film ini
dipenuhi adegan kekerasan, darah, dan kriminalitas, yang termasuk pula di
dalamnya kekerasan seksual – yang tentu saja tidak ditampakkan secara gamblang.
Keberbedaan ini agaknya malah membuatnya menarik dan mendapat perhatian
tersendiri pada masanya.
Film ini menjadi salah satu film Indonesia yang menampilkan seksualitas dari
perspektif yang berbeda. Setting film yang terletak di kampung pinggiran Jakarta
melengkapi keunikan film untuk diketahui lebih lanjut unsur representasi seksualitas
dan multikulturalismenya, karena film ini dianggap mewakili kehidupan non-populer,
yang jarang diangkat di film pada masa itu, yang lebih sering menyorot kehidupan
borjuis populer.
B. Sinopsis
Film Serigala Terakhir yang disutradarai Upi Avianto dirilis tahun 5 November
2009, menurut id.wikipedia.org bergenre drama kriminal. Menceritakan lima remaja
yang bersahabat dan tidak enggan berkelahi untuk kehormatan kelompok dan
kampungnya, film ini dipenuhi adegan perkelahian berdarah-darah, wajah lebam,
dan paparan tubuh kekar di sepanjang cerita.
Tokoh utama dalam kelompok ini adalah Ale sebagai pemimpin geng dan
Jarot sebagai tokoh utama cerita. Kelompok ini diceritakan menjadi ‘penguasa’, yang
melindungi kampung dari ancaman bahaya, terutama masuknya pengaruh narkoba.
Sosok lain dalam film ini adalah Fatir, remaja yang hidup di kampung yang sama.
Kelompok Ale selalu bersikap diskriminatif pada Fatir, kecuali Jarot yang
menunjukkan simpatinya pada remaja tuna wicara ini. Konflik mulai terjadi ketika
dalam perkelahian setelah pertandingan bola antar kampung Jarot tanpa sengaja
membunuh preman untuk menyelamatkan nyawa Ale. Ketika Jarot dipenjara akibat
hal tersebut, tidak seorangpun sahabatnya mengunjungi atau membelanya. Film
kemudian berfokus pada bagaimana perubahan Jarot dari penguasa kampung
menjadi sosok lemah di dalam penjara, sempat mengalami seks anal paksa, dan
kemudian berhasil berjuang sendiri membalikkan keadaan dan menguasai penjara.
Pada hari kebebasannya, sosok yang menjemput Jarot malah Fatir, yang kini telah
tergabung dalam sindikat narkoba. Melawan paham yang dulu pernah sangat
ditentangnya, Jarot menjadi pengedar narkoba termasuk di kampungnya sendiri.
Konflik berkembang ketika Fatir bermaksud membalas budi baik Jarot selama
ini dan melindungi Jarot, dengan membunuh satu per satu sahabat Jarot, bahkan
kekasih Jarot yang notabene adalah adik Ale. Jarot yang sudah terjebak dalam
lingkaran sindikat narkoba menjadi semakin terpuruk karena kehilangan orang-orang
yang disayanginya, dan pada akhirnya mati pula di tangan Fatir.
C. Seksualitas
Seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian,
dan sikap atau watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual.
Walaupun apa yang dikatakan maskulin dan feminin pada setiap budaya sangat
relatif dan bisa jadi berbeda, tetapi yang akan dilihat secara visual dari film ini adalah
konsep maskulin dan feminin secara umum. Berbicara mengenai hal itu, tentu saja
tidak dapat dipisahkan dengan konsep gender yang melatari dimensi sosial dan
budaya, dimana gender dibangun berdasar konstruksi sosial maupun kultural
manusia. Dalam film ini maskulinitas lebih ditonjolkan daripada feminitas, karena
selain berlatar minat sutradara, tema film yang penuh kekerasan dan kriminal akan
menjadi kuat dengan tambahan bumbu maskulin, sebagaimana konstruksi sosial
masyarakat yang menganggap laki-laki lebih ‘kuat’ secara fisik.
Secara umum maskulinitas sendiri merupakan konsep yang terbuka, bukan
merupakan identitas yang tetap dan terpisah dari pengaruh sosial budaya yang ada.
Sementara menurut Hanke Robert, hubungan antara maskulinitas dan media
muncul pertama kali tahun 1970-an. Dalam kajian media, maskulinitas dipahami
sebagai ‘both as product an process of representation’. Menurut Media Awareness
NetWork seperti dikutip Lasido (2012), salah satu dari lima karakteristik maskulinitas
yang kerap muncul di media massa adalah otot. Lelaki ideal dengan tubuh berotot
mencitrakan tubuh ideal laki-laki. Media massa – dalam hal ini termasuk film –
berperan mengkonstruksi langsung realitas sosial tentang laki-laki. Tubuh yang
berotot ini menurut Foucault tubuh merupakan hasil konstruksi dari masyarakat
pula. Dalam film ini, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, otot tubuh laki-
laki menjadi fokus visual tersendiri. Konstruksi sosial masyarakat bahwa laki-laki
‘tulen’ haruslah yang berbadan tegap direpresentasikan dalam film ini, dengan
pakaian-pakaian minim yang menonjolkan otot dada, perut yang rata dan lengan
yang kekar. Menariknya, sutradara memberikan representasi yang berbeda pada
laki-laki dengan kelas sosial yang berbeda pula. Kelompok Ale sebagai bagian dari
kelas marjinal dan fokus alur cerita digambarkan memiliki tubuh ideal namun
berpakaian lusuh dengan tampilan kulit yang terekspos tampak tidak bersih,
cenderung coreng-moreng. Kontras dengan hal tersebut, para pembesar sindikat
narkoba Naga Hitam memiliki bentuk fisik yang besar cenderung gemuk dan tidak
terlalu tinggi, dengan pakaian glamor dan perhiasan emas. Selain kontras kelas
sosial, Upi nampaknya ingin menegaskan perbedaan antara tokoh antagonis dan
protagonis melalui unsur visual. Upi menerapkan standar bahwa para pria kekar ini
adalah pria yang baik; pria yang ideal.
Karakteristik yang kedua adalah maskulinitas pahlawan. Hal ini dipengaruhi
oleh film aksi Hollywood seperti Arnold dalam karakter Terminatornya, misalnya.
Poin ini menguatkan alasan kelompok Ale yang menjadi karakter utama dalam film
digambarkan berotot dan berambisi melindungi kampung dari bahaya narkoba.
Terlepas dari cara yang salah atau kegelisahan intrapersonal anggota kelompok, misi
melindungi kampung ini sebetulnya menjadi representasi karakteristik heroik
tersebut.
Karakter Jarot sebagai tokoh sentral mengalami perubahan visual dalam film.
Awalnya, seperti sahabatnya yang lain Jarot menggunakan pakaian-pakaian yang
menunjukkan otot-otot tubuh – atau bahkan bertelanjang dada – sebagai gambaran
sosok ‘preman’ yang mengandalkan fisik untuk berkelahi. Rambutnya agak panjang
dengan cara berjalan yang melebar. Ketika ia berada di penjara, tubuh kekarnya
kemudian ditutupi oleh seragam penjara yang kebesaran, untuk menjadi kontras
visual ketika ditampilkan bersama preman-preman penjara yang bertubuh jauh lebih
besar. Ketika akhirnya ia berhasil membalas perlakuan preman penjara yang sempat
menindasnya, visual Jarot kembali menggunakan kaus tanpa lengan.
Setelah kebebasannya dari penjara dan bergabungnya Jarot dengan sindikat
narkoba Naga Hitam, tampilan visualnya berubah menjadi lebih necis dengan
rambut pendek yang diminyaki, lengkap dengan kumis tipis, kalung rantai, pakaian
dan celana ketat, tidak jarang dengan motif kulit. Uniknya, tubuh Jarot yang awalnya
diekspos secara terbuka dan mendapat close-up ketika adegan berkelahi, kemudian
berubah menjadi tertutup pakaian ketat lengan panjang, dan tidak sekekar
sebelumya. Dari yang awalnya menggunakan sandal jepit, kini Jarot mengendarai
mobil berwarna merah.
Perubahan-perubahan visual ini merepresentasikan perubahan kehidupan
Jarot dan perubahan citranya. Jika awalnya Jarot adalah sosok maskulin di kampung
yang mengandalkan fisik untuk bertahan hidup dan menunjukkan eksistensi, pada
perkembangannya ia menjadi sosok yang berbeda. Ketika ia berkelahi pun ia sudah
menggunakan senjata seperti pistol atau pisau, tidak lagi tangan kosong.
Fatir, seperti halnya Jarot, mengalami perubahan visual pula, bahkan dalam
hal ekspresi wajahnya. Dari yang awalnya terlihat lusuh, dengan kaus-kaus berwarna
polos, Fatir berubah dengan atribut jas bermotif maupun jaket kulit dan kalung
emas. Ekspresi wajahnya pun tak lagi ketakutan, melainkan penuh amarah dengan
garis senyum miring dan sinis. Perubahan visual ini mewakili bagaimana cara Fatir
berjuang untuk mendapatkan eksistensinya, dari seorang tuna wicara yang hanya
bisa ditindas oleh kawan sekampungnya menjadi seorang pembunuh berdarah
dingin. Gaya berpakaian tokoh lain juga mengalami perubahan, namun hal ini
agaknya sekedar berhubungan dengan proses pendewasaan setiap karakter saja,
tidak berkaitan dengan perubahan kelas sosial mereka.
Perempuan dalam film ini tidak banyak diberi porsi, lebih banyak berperan
secara pasif sebagai bagian dari keluarga tokoh utama. Adik Ale dan adik Jarot,
begitu juga ibu mereka, lebih banyak berdiam diri. Adik Jarot yang kemudian bekerja
sebagai escort di kelab malam juga digambarkan pasif dan minim dialog. Walaupun
diceritakan memendam amarah karena kakaknya pergi meninggalkan rumah, tidak
diceritakan lebih lanjut mengenai hal tersebut. Begitu juga pada adegan
pemerkosaannya, adik Jarot hanya berteriak, dengan posisi di bawah,
melambangkan ketidakberdayaannya pada pemerkosa (laki-laki). Setelah
pemerkosaan tersebut, adik Jarot digambarkan menjadi linglung dan berdiam di
rumah tanpa tindakan pelaporan apapun. Gambaran visual dari adik Jarot tidak
menjadi fokus dalam film, walaupun profesinya berpotensi untuk dapat
digambarkan seductive. Hal ini dikarenakan profesi escort yang dilakukannya adalah
sebuah keterpaksaan akibat kondisi ekonomi keluarga.
Adik Ale yang juga adalah pasangan Jarot sebagai tokoh utama, digambarkan
pendiam, berpakaian sederhana, tanpa dandanan, dan sangat tertutup. Sebelum
kematiannya, ia tampak memohon untuk tidak ditinggalkan Jarot, menjadi sebuah
imbol ketergantungannya pada sosok Jarot. Sampai pada akhir cerita setelah ia mati
pun, Jarot tidak mengetahui jika pasangannya tengah mengandung bayinya.
Secara seksualitas, kedua tokoh ini seolah tidak memiliki kuasa terhadap hak
seksualnya sendiri; satu tokoh mengalami pemerkosaan dan satu tokoh harus
memohon untuk tidak ditinggalkan akibat sudah kepalang hamil. Ada anggapan
bahwa meskipun perempuan adalah wahana seksualitas, tetapi laki-laki adalah
pelaku seks, dan dengan demikian subjek yang bisa “menggarap” perempuan. Ini
konsisten dengan ideologi gender yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama
dan perempuan sebagai sekunder (Suryakusuma, 1991).
Dari kedua tokoh perempuan ini dapat diambil kesamaan mengenai
bagaimana mereka menyikapi polemik. Pembawaan perempuan dalam film yang
terkesan introvert, menguatkan kesan dominasi laki-laki dalam struktur sosial
kehidupan kaum marjinal di Indonesia. Agaknya, menurut Upi posisi perempuan
yang tersubordinasi ini masih menjadi standar kehidupan di pinggiran Jakarta,
dikarenakan wawasan dan pemahaman yang masih minim mengenai gender.
Bagi Ivan Hill, gender adalah sebuah distingsi perilaku dalam budaya
aernacular. Konsep gender ini membedakan waktu, tempat peralatan, tugas, gerak-
gerik, bentuk tuturan dan bermacam persepsi yang dikaitkan pada laki-laki atau
perempuan – atau gender selain dua yang umum ini. Lebih dari itu, perbedaan itu
justru dipertahankan secara kultural. Sistem patriarki pun berjalan begitu saja,
sebagai sistem sosial yang mendukung dan membenarkan dominasi laki-laki,
memunculkan pemusatan pada laki-laki, pemberian hak-hak istimewa pada laki-laki,
yang akhirnya mengakibatkan kontrol terhadap perempuan.
Mitos-mitos dalam sistem patriarki ini direpresentasikan Upi menjadi simbol.
Mitos sendiri menjadi bagian dari semiologi, menjadi suatu hal yang memiliki makna
tidak hanya seperti yang terlihat oleh mata melainkan berupa gagasan-dalam
bentuk. Semua hal bisa menjadi tanda, karena menurut Peirce (1931:48 dalam
Chandler, 2006) “today’s society is full of signs that are given meaning invested of
words, images, sounds, acts or objects”. Citraan dan dialog-dialog dalam film ini
adalah simbol, seperti dialog kelompok Ale yang dipenuhi umpatan adalah tanda
pemberontakan masyarakat pinggiran. Hal ini agaknya merujuk pada bagaimana
black people di Amerika dengan gaya bahasa mereka yang serupa dengan kelompok
Ale juga melakukan hal yang sama.
Dalam film ini juga dijumpai ekspresi seksualitas yang berbeda dari sosok
Fatir. Sebagai seorang tuna wicara, Fatir digambarkan bertubuh ceking dan tidak
berotot, merepresentasikan sosok lemah yang menjadi underdog. Bagaimana Upi
menggambarkan Fatir sebagai sosok yang misterius pun terjaga sampai akhir.
Penonton dibuat bertanya-tanya lebih jauh mengenai alasan Fatir sebenarnya
melindungi Jarot sampai sedemikian rupa. Benarkah hal itu hanya semata-mata
dikarenakan simpati Jarot selama ini padanya? Ataukah ada ketertarikan seksual dari
Fatir pada Jarot?
Adegan di saat Fatir menyiksa Sadat dan Jago hingga mati karena
memperkosa adik Jarot menarik untuk dibahas. Pemukulan kedua sahabat Jarot
dengan martil tidak ditunjukkan secara gamblang, kamera hanya menyorot wajah
ketakutan Sadat dan Jago ketika sosok Fatir dalam siluet berjalan mendekati mereka
dengan membawa martil di tangan. Kamera kemudian berganti membidik wajah
dingin Fatir saat mengayunkan martil dalam gerakan slow motion. Ekspresi Fatir,
uniknya, berubah tersenyum sembari memejamkan mata, bibirnya bahkan gemetar,
ketika cipratan darah kedua korbannya mengenai wajah dan seluruh badannya.
Adegan ini agaknya menggambarkan kepuasan Fatir – bukan tidak mungkin adalah
kepuasan seksual – ketika membunuh korbannya perlahan. Terlepas dari wajah
dinginnya sepanjang film, hanya di adegan inilah penonton bisa melihat wajah
kepuasan Fatir.
D. Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang juga terkadang ditafsirkan
sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok
kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat
modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan
berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme
berasal dari dua kata, multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau
kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya.
Dalam film ini, digambarkan kehidupan kaum pinggiran Jakarta dengan kelas
sosial menengah ke bawah dan usaha mereka untuk bertahan hidup. Gambaran
marjinal dan masyarakat pinggiran ditunjukkan dengan detail seperti pasar dengan
tenda seadanya, pakaian-pakaian yang lusuh, jemuran di depan rumah petak, dan
bir serta rokok sebagai konsumsi kelompok Ale.
Apa yang dilakukan Ale dan kelompoknya – berkelahi, berjalan ‘petantang
petenteng’ – adalah cara untuk menunjukkan eksistensi diri dan menjadi dominan.
Keragaman etnis dalam film terlihat dari anggota kelompok yang terdiri dari figur Ale
dan Sadat yang berhidung mancung dan bertulang alis tinggi seperti khasnya
keturunan Timur Tengah, Lukman yang bermata sipit dan tidak terlalu tinggi
sepertinya keturunan Tionghoa, serta Jarot dan Jago yang bertubuh tinggi, berkulit
coklat khas Melayu. Dalam film ditemukan adegan Ale mengancam salah seorang
pedagang keturunan Tionghoa yang ada di daerah tersebut karena memilih
menyewa preman ketimbang mempercayakan keamanan kampung pada kelompok
Ale. Penggunaan cast ini agaknya hanya dikarenakan stereotype masyarakat saja
bahwa mayoritas pedagang adalah keturunan Tionghoa. Anggota kelompok yang
beretnis Timur Tengah pun tidak digambarkan melakukan aktivitas terkait
budayanya. Kegiatan beragama yang diperlihatkan hanya ketika adik Jarot
melakukan shalat malam. Kelompok Ale pun sempat meneriaki Fatir dengan seruan
‘bisu!’ atau ungkapan seperti ‘ngomong aja nggak bisa, gimana lu mau ngelindungin
kampung kita?’ saat Fatir ingin masuk ke kelompok Ale; sesaat sebelum akhirnya ia
memutuskan pergi dari kampung dan bergabung dengan Naga Hitam. Dengan kata
lain, film ini tidak berusaha menampilkan keberagaman budaya sebagai fokus cerita.
Bahkan anggota kelompok yang bermata sipit pun diberikan nama Lukman alih-alih
nama yang berkesan Tionghoa.
Pada akhir cerita, setelah kematian semua tokoh yang menyisakan Fatir
sebagai satu-satunya tokoh awal yang hidup, adegan beralih ke arah adik laki-laki Ale
yang mengambil pistol simpanan kakaknya kemudian menemui sekumpulan teman-
temannya dan berlalu pergi. Dari sini dapat diambil pemaknaan konotasi bahwa
perjuangan kaum marjinal di pinggiran Jakarta ini belumlah selesai dan akan terus
berlanjut. Film ini, walaupun tidak menunjukkan spirit multikulturalis, justru secara
ironis menampilkan apa yang ada dalam benak masyarakat Indonesia kebanyakan.
Sebagai film yang bertujuan komersial, selain menunjukkan sisi idealisnya Upi
tentunya harus menampilkan apa yang ingin dilihat oleh calon konsumennya agar
jumlah penonton dan layar ada pada angka yang diinginkan, atau dengan kata lain
Upi tentunya berusaha merepresentasikan apa yang sudah terkonstruk di
masyarakat. Jika melihat tampilan visual yang ada di film ini, maka kondisi seperti
itulah yang diketahui masyarakat tentang kaum marjinal pinggiran: menyelesaikan
masalah dengan perkelahian dan darah, berpenampilan lusuh, dan tidak beragam
budaya. Hal ini menjadi ironis mengingat Indonesia sebenarnya sangat
multikulturalis. Stereotype tampilan si jahat dan si baik dalam film pun menjadi
satire karena mencerminkan konstruksi masyarakat pada standar oposisi biner yang
ada.
Bagaimana Upi menggambarkan tampilan visual antara si jahat dan baik
dengan sangat kontras ini, bisa jadi merupakan sindiran terhadap standar pakem
visual yang digunakan di media massa. Upi ingin menekankan perbedaan tersebut
secara berlebihan, mengacu pada apa yang dilakukan produser sinetron dan film
drama romantis kebanyakan, yang terlalu kontras menampilkan baik dan buruk
karakter. Dari sinilah kemudian muncul karakter sindikat Naga Hitam yang secara
berlebihan berpakaian necis dan menggunakan mobil mencolok untuk pengintaian –
menjadi sangat aneh dan tidak masuk akal untuk sebuah sindikat narkoba yang
mustinya bergerak diam-diam.
E. Representasi
Menurut Stuart Hall, proses produksi dan pertukaran makna antara manusia
atau antar budaya yang menggunakan gambar, simbol dan bahasa adalah disebut
representasi. Ada tiga pendekatan representasi :
1. Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui
ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat
secara nyata.
2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun
tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya. Bahasa
adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan
makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.
3. Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan
menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang
dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni
dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang
meletakkan makna.
Ditinjau dari pengelompokan di atas, maka representasi yang dilakukan Upi
adalah pendekatan reflektif, karena Upi sebagai sutradara seperti dikutip oleh
wikipedi.org mengatakan, “...the inspiration to write the story was the social
conditions faced by Indonesian people, namely the threat of crime”.
Stuart Hall menganggap bahwa “ada yang salah” dengan representasi
kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji yang
dimunculkan oleh media semakin memburuk. Hal ini agaknya muncul pula dalam
film ini, mengenai bagaimana masyarakat pinggiran digambarkan menyelesaikan
masalah dengan perkelahian dan bergaya hidup cenderung ‘barbar’.
Dari uraian di atas, dapat dilihat beragam representasi mengenai
maskulinitas dan seksualitas dalam film ini. Nampaknya Upi sebagai sutradara tidak
bermaksud untuk menawarkan wawasan baru pada penonton; ia hanya
merepresentasikan gambaran umum yang sudah terkonstruk di masyarakat.
Di awal, hal ini dapat dilihat dari penggambaran tokoh yang stereotype,
bahwa pihak yang superior haruslah lebih besar dan berotot tubuhnya, dengan kata-
kata sarkastik yang menekankan kesan pemberontakan kelompok Ale. Akan tetapi,
pada akhir cerita, ketika para tokoh berbadan besar ini kemudian dikalahkan oleh
Fatir, seorang tuna wicara berbadan kurus kering yang membunuh mereka semua
dengan alat (bukan tangan kosong), maka film ini mencoba memberikan perspektif
yang berbeda. Pihak yang tidak dominan dan memiliki kekurangan bisa
memenangkan pertarungan, meskipun ironisnya adalah untuk tujuan yang salah.
Tampilan Jarot setelah masuk ke sindikat Naga Hitam dengan pakaian yang
lebih necis menampilkan secara satire representasi orang berpunya, dengan
kendaraan antik berwarna merah mencolok yang uniknya digunakan untuk
mengintai kampung sebelum mengedarkan narkoba. Hal ini sempat menimbulkan
kritik tersendiri di kalangan penikmat film, seperti Marcel Thee dari The Jakarta
Globe yang mengungkapkan ‘...there were nevertheless some "awkward visuals",
such as the drug gang's "retro 1970s wardrobe"’.
Maskulinitas Jarot kemudian bergeser, dari yang awalnya terlihat gahar
dengan tubuh kekarnya menjadi perlente dengan rambut rapinya. Hal ini
menunjukkan perbedaan standar maskulinitas pada kelas sosial yang berbeda,
sekaligus menggambarkan pula bagaimana cara manusia dengan kelas sosial yang
berbeda menyelesaikan masalah mereka. Secara konotatif, bagaimana Jarot
menggunakan senjata ketika sudah bergabung dengan Naga Hitam menunjukkan
kecenderungan kelas atas untuk menyelesaikan masalah ‘tidak dengan tangan
mereka sendiri’, melainkan memanfaatkan orang lain. Kaum marjinal, mau tidak
mau, harus berkelahi dengan tangan kosong, seperti Jarot saat masih bergabung
dengan kelompok Ale, meskipun dengan resiko lebam, terluka, maupun dipenjara.
Dalam film ini, porsi seksualitas banyak mengarah pada kekerasan, seperti
seks anal yang dialami Jarot di penjara sebagai tanda kekalahannya pada
superioritas yang ada, dan pemerkosaan yang dilakukan Sadat dan Jago pada adik
Jarot sebagai simbol balas dendam akibat kematian Lukman. Dijumpai pula
kepuasan personal Fatir yang tidak didapatkannya dari hubungan seksual, yang
menambah nilai keunikan karakter Fatir. Dengan pemahaman seksualitas yang
mustinya mencakup emosi dan perasaan, maka hubungan yang ada dalam film ini
tidak bisa dikatakan tergolong dalam seksualitas yang wajar.
Serigala Terakhir adalah film kedua Upi yang menampilkan tubuh laki-laki
sebagai nilai jualnya. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Upi dan dikutip dalam
wikipedia.org, “...that she was most comfortable producing male-oriented films”.
Realita, Cinta, dan Rock n Roll (2006) adalah film pertama Upi dengan poin jual yang
sama namun dengan tema yang jauh lebih ringan. Di tahun 2006 muncul pula film
sejenis milik Rudi Soedjarwo yaitu 9 Naga, yang juga menampilkan tubuh laki-laki
dan persaudaraan, minus drama romantis. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
sebetulnya di Indonesia terdapat minat tersendiri terhadap jenis-jenis film seperti
ini. Dari film-film ini ditemui keseragaman tubuh laki-laki yang menjadi fokus, yaitu
tipe kekar berotot. Agaknya tipe ini menjadi standar bagaimana tubuh pria ideal,
atau yang menurut Hanke (1998) disebut hegemonic masculinity. Bagaimana
maskulinitas ‘dijual’ di media – dalam hal ini film – sebagai lambang kekuatan dan
pemberontakan, bagaimanapun, terkait erat dengan gender sebagai konstruksi
sosial yang ada di masyarakat. Sistem patriarki yang dikenal oleh mayoritas
penduduk di Indonesia membawa representasi yang muncul di media menampilkan
hal yang sama pula. Masyarakat pun menerima representasi ini kembali,
terhegemoni, dan menerimanya apa adanya.
KESIMPULAN
Bagaimana Upi merepresentasikan maskulinitas, seksualitas dan
multikulturalisme dalam Serigala Terakhir adalah cerminan dari konstruksi sosial
yang sudah ada di masyarakat. Bagaimana masyarakat pinggiran Jakarta
digambarkan berpakaian lusuh dan berkelahi dengan tangan kosong, dibandingkan
dengan bagaimana sindikat Naga Hitam berpakaian perlente dengan perhiasan emas
dan berkelahi dengan senjata, merepresentasikan bagaimana kedua kelas sosial ini
menyelesaikan permasalahan mereka. Upi agaknya ingin menampilkan representasi
yang umum diketahui orang untuk bisa menyasar penonton dengan jumlah besar,
atau sebaliknya, ingin secara satire menampilkan representasi tersebut secara
berlebihan sebagai protes terhadap pakem visual yang sudah ada.
Bagaimana tubuh tokoh-tokoh utama dalam film digambarkan berotot dan
kekar menggambarkan kekuatan dan superioritas; kepahlawanan yang maskulin.
Sedangkan para pendukung perempuan digambarkan introvert dan lemah, bahkan
dalam unsur seksualitasnya, adalah cerminan stereotype yang ada di masyarakat.
Pemerkosaan dan seks anal yang ada dalam film adalah representasi power
pula, menggambarkan bagaimana seksualitas bisa menjadi cara seseorang
menahbiskan kekuatan. Perilaku seksual menyimpang Fatir yang misterius
melengkapi keberagaman tujuan seksualitas di luar yang selama ini diketahui orang.
Multikulturalisme dalam film tidak digambarkan dengan jelas. Keberagaman
etnis anggota kelompok tidak dimaksimalkan eksplorasinya, hanya untuk
keberagaman visual saja. Agaknya Upi tidak berusaha menyorot hal tersebut. Upi
hanya merepresentasikan kembali konstruksi yang telah terbentuk. Hal ini
memunculkan fakta bahwa masyarakat Indonesia secara umum memang belum
terbuka pada wacana multikulturalisme ini.
DAFTAR PUSTAKA
Lasido, Nur Allan. 2012. Komodifikasi Imaji Maskulinitas pada Iklan Komersial (Kritik atas Performatifitas Imaji Tubuh ‘Ideal’ Laki-laki. Online. kotakpandorahitam.blogspot.com/2012/04/komodifikasi-imaji-maskulinitas-pada.html
Chandler, Daniel. Semiotics for Beginner Barthes, Roland, 1972, Mythologies, Jonathan Cape Ltd Budiman, Kris, (L999). Feminografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hanke, Robert, (tt)- 'Theorizing Masculinity With/In the Media,'
http:/lwww.newcastie.edu.au Kurnia, Novi. 2004. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. ]urnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Vol. 8, No. 1, luli 2004 Suryakusuma, Julia I. 1991. Konstruksi Sosial Seksualitas: Sebuah Pengantar Teoritis.
Prisma 7, Juli 1991 Wikipedia.org/serigala_terakhir Wikipedia.org/upi_avianto