rencana pelaksanaan pembelajaran kelas x teks biografi
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of rencana pelaksanaan pembelajaran kelas x teks biografi
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KELAS X TEKS BIOGRAFI
Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia
Sekolah:
SMA Bina Insan
mandiri
Materi
Pokok
Teks Biografi
Kelas/ Smt. X IPA-IPS/
Genap/2
Waktu 8 jam pelajaran
Kompetensi Dasar 3.15 Menganalisis aspek makna dan kebahasaan dalam teks biografi
4.15 Mengembangkan permasalahan/ isu dari berbagai sudut pandang yang
dilengkapi argumen dalam berbiografi
Indikator
Pencapaian
Kompetensi
3.15.1 Menelaah isi dan struktur teks biografi
3.15.2 Menelaah ciri kebahasaan teks biografi
4.15.1 Merancang teks biografi
4.15.2 Menyusun teks biografi
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran diharapkan siswa mampu menelaah isi, struktur, dan
kebahasaan teks biografi; menyusun teks biografi; memiliki sikap mandiri, kerja
sama, percaya diri, dan selalu bersyukur kepada Tuhan YME.
B. Kegiatan Pembelajaran
Media : Teks Biografi
Alat/Bahan : Buku tulis, Laptop
Kegiatan Pendahuluan (4 x 8 Menit)
Guru membuka pembelajaran dengan mengucapkan salam, menyampaikan aprsepsi yang berkaitan dengan
kompetensi dasar disampaikan secara tertulis diawal materi
Kegiatan Inti (4 x 70 Menit)
1. Siswa mencermati teks biografi yang dibagikan oleh guru.
2. Secara mandiri atau berkelompok, siswa berdiskusi membagi tugas menentukan isi, struktur, dan ciri kebahasaan teks
biografi
4. Siswa menentukan isi, struktur, dan ciri kebahasaan teks biografi yang telah dibagikan oleh guru secara tertulis
5. Siswa menulis teks biografi dengan memerhatikan isi, struktur, dan ciri kebahasaannya.
6
Kegiatan Penutup (4 x 12 Menit)
Siswa menyimpulkan dan merefleksi pembelajaran, selanjutnya, dan menutup pembelajaran dengan berdoa kepada
Tuhan YME.
C. Penilaian
1) Sikap: observasi , 2) Pengetahuan: tes tertulis, 3) Keterampilan: produk
Mengetahui, Nganjuk, 2 April 2020
Kepala Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran,
Wijaya Kurnia Santoso, S. Pd Suliswanto, S. Pd
Biografi Mentri Kesehatan Siti Fadila Supari
Masa jabatan
21 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla
Pendahulu Achmad Sujudi
Pengganti Endang Rahayu Sedyaningsih
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Kesehatan & Kesejahteraan rakyat
Masa jabatan 25 Januari 2010 – 20 Oktober 2014
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Wakil Presiden Boediono
Ketua Dewan Emil Salim
Informasi pribadi
Lahir 6 November 1949 (umur 70)
Surakarta, Indonesia
Pasangan Muhamad Supari
Pekerjaan Dosen
Dokter
Siti Fadilah
Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 6 November 1949;
umur 70 tahun) adalah seorang dosen[1]
dan ahli jantung[1]
yang menjabat sebagai anggota
Dewan Pertimbangan Presiden dari 25 Januari 2010 hingga 20 Oktober 2014. Sebelumnya ia
menjabat sebagai Menteri Kesehatan Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia merupakan salah satu dari empat perempuan yang
menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu, selain Menteri Perdagangan Mari
Elka Pangestu, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Meutia Hatta.
Ia bekerja sebagai staf pengajar kardiologi Universitas Indonesia. Setelah itu, selama 25
tahun, ia menjadi ahli jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Pada tanggal 20 Oktober 2004, Siti Fadilah dilantik menjadi Menteri Kesehatan oleh Presiden
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 2007, ia menulis buku berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik
Virus Flu Burung yang berisi tentang konspirasi Amerika Serikat dan organisasi WHO dalam
mengembangkan senjata biologis dengan menggunakan virus flu burung. Buku ini menuai
protes dari petinggi WHO dan Amerika Serikat.
Ia menikah dengan Ir. Muhamad Supari dan dikaruniai 3 orang anak.
Sebelum menjadi menteri
Ia tampil sebagai dosen tamu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dosen
tamu di Pasca Sarjana Jurusan Epidemiologi Universitas Indonesia dan pengajar Departemen
Jantung dan Pembuluh Darah Pusat Jantung Nasional Harapan Kita/Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, dan staf pengajar kardiologi Universitas Indonesia.
Siti Fadilah telah menjabat sebagai ahli jantung Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama 25
tahun. Ia juga menjadi Kepala Unit Penelitian Yayasan Jantung Indonesia dan Kepala Pusat
Penelitian Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Menjadi menteri kesehatan
Pada 20 Oktober 2004, ia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin
Departemen Kesehatan. Ia mengaku terkejut karena ditunjuk menjadi menteri. Serah terima
jabatan menkes dari Achmad Sujudi ke Siti Fadilah dilakukan di Jakarta, 21 Oktober 2004.
Film kaleidoskop Departemen Kesehatan tahun 1999-2004 diputar pada acara tersebut. Selain
itu, Achmad Sujudi juga menyerahkan 32 buku yang berisi kegiatan, kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan serta memori jabatan yang diharapkan dapat menjadi
acuan kebijakan selanjutnya.
Siti Fadilah mengakhiri pengiriman virus flu burung ke laboratorium WHO pada November
2006[2][3]
karena ketakutan akan pengembangan vaksin yang lalu dijual ke negara-negara
berkembang, dengan Amerika Serikat mendapat keuntungan dan Indonesia tidak mendapat
apa-apa.[4]
Ia juga takut bahwa vaksin itu akan digunakan untuk senjata biologi.[4]
Setelah itu,
ia berusaha mengembalikan hak Indonesia. Pada 28 Maret 2007, Indonesia mengumumkan
bahwa mereka telah mencapai kesepakatan dengan WHO untuk memulai pengiriman virus
dengan cara baru untuk memberikan akses vaksin terhadap negara berkembang.[5]
Siti Fadilah
mengkonfirmasi pada tanggal 15 Mei 2007 bahwa Indonesia kembali mengirimkan sampel
H5N1 ke laboratorium WHO.[3][5]
Pada Maret 2007, ia menuding Askes tidak menyalurkan klaim rumah sakit sesuai dengan
permintaan dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada tanggal 6 Januari 2008, Siti Fadilah merilis buku Saatnya Dunia Berubah! Tangan
Tuhan di Balik Virus Flu Burung yang berisi mengenai konspirasi Amerika Serikat dan WHO
dalam mengembangkan "senjata biologis" dengan menggunakan virus flu burung. Bukunya
dianggap membongkar konspirasi WHO dan AS[6]
Siti Fadilah "membuka kedok" World
Health Organization (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang
ternyata banyak merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.[4]
Buku ini
menuai protes dari petinggi-petinggi WHO dan AS. Buku edisi Bahasa Inggris ditarik dari
peredaran untuk dilakukan revisi,[7]
sedangkan buku edisi Bahasa Indonesia masih beredar
dan memasuki cetakan ke-4.
Berikut adalah sebagian kutipan dari apa yang tertulis di buku tersebut.
“ Namun ironisnya pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara
industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus flu burung pada
manusia. Dan kemudian vaksin itu dijual ke seluruh dunia juga akan dijual ke negara
kita. Tetapi tanpa sepengetahuan apalagi kompensasi untuk si pengirim virus, yaitu
saudara kita yang ada di Vietnam. ”
“ Mengapa begini? Jiwa kedaulatan saya terusik. Seolah saya melihat ke belakang, ada
bayang-bayang penjajah dengan semena-mena merampas padi yang menguning,
karena kita hanya bisa menumbuk padi menggunakan lesung, sedangkan sang
penjajah punya mesin sleyp padi yang modern. Seolah saya melihat penjajah
menyedot minyak bumi di Tanah Air kita seenaknya, karena kita tidak menguasai
teknologi dan tidak memiliki uang untuk mengolahnya. Inikah yang disebut neo- ”
kolonialisme yang diramal oleh Bung Karno 50 tahun yang lalu? Ketidak-berdayaan
suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain? Demikian jugakah
pengiriman virus influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun,
dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveillance Network).
Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan GISN yang sangat berkuasa tersebut
sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani
ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada
ketidak-adilan?
Siti Fadilah menjamin bahwa Indonesia dapat memproduksi vaksin flu burung sendiri pada
Mei 2008.[8][9]
Ia juga menyatakan bahwa industri vaksin Indonesia setara dengan Republik
Rakyat Tiongkok.[10]
Pada Selasa, 12 Mei 2009, ia meminta disampaikan secara khusus agar penerimaan
mahasiswa asing untuk bidang kedokteran dihentikan secara bertahap kepada petinggi
Universitas Padjadjaran, Bandung, dihadapan para wartawan, saat berkunjung ke Rumah
Sakit Mata Cicendo, Bandung. Alasannya, masih banyak orang Indonesia yang ingin jadi
dokter, serta fasilitas rumah sakit yang dipakai untuk praktik mahasiswa kedokteran asing
dibiayai oleh uang rakyat tapi dipakai calon dokter dari Malaysia.[11]
Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Metro TV, membuat acara talkshow yang
bernama Bincang Bincang Bareng Bu Menkes yang kerap disingkat B4M. Acara ini kerap
tayang setiap minggu malam, dan yang berperan sebagai co-host adalah Denny Chandra dan
Kelik.
Pada bulan Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi melantik
menteri Kabinet Bersatu II.[12]
Endang Rahayu Sedyaningsih ditunjuk sebagai pengganti Siti
Fadilah sebagai Menteri Kesehatan yang baru.[13]
Juga menyalin dari kompasiaa :
Masih tentang kiprahnya sang mentri kesehatan,
Flu Burung yang mematikan"][/caption] Berita kematian Puguh Dwi yanto, seorang warga
Sunter, Jakarta Utara, 7 Januari 2012, menggerak perhatian saya melotot kasus ini. Sejumlah
media massa merilis, penyebab tewasnya pria berusia 23 tahun itu diduga akibat flu burung.
Di Jakarta, menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI, Dien Emmawati, sebagaimana yang saya
lansir dari TribunNews (9 Januari 2012), korban flu burung di Jakarta tak banyak yang bisa
diselematkan medis. Tahun 2009, dari 10 kasus flu burung, delapan orang
diantaranya meninggal dunia. Tahun 2010, dari total tiga kasus, semuanya meninggal dunia.
Sepanjang 2011, dari tiga kasus, hanya satu yang selamat. Kasus flu burung yang masih
merebak awal 2012 ini mengingatkan saya akan perjuangan Siti Fadilah Supari, Menteri
Kesehatan RI 2004-2009. Ia menggugat ketidakadilan sistem WHO dalam penanganan flu
burung. Proses gugatan itu saya tulis dalam Liputan Utama di Majalah FORUM Keadilan
2008 (saat itu saya masih menjadi wartawan majalah ini). Berikut naskah asli tentang gugatan
Bu Siti, yang pernah tayang di majalah FORUM Keadilan (judul: Bu Siti Melawan Amerika),
dan mendapat penghargaan karya jurnalistik Terbaik Kedua setelah TEMPO (judul: Panas
Dingin Virus Namru) dari Departemen Kesehatan, Desember 2008 (link:
http://rol.republika.co.id/berita/21410/Menkes_Serahkan_Penghargaan_Kesehatan)
========================================================== [caption
id="" align="alignleft" width="439" caption="Siti Fadilah Supari berpidato di depan sidang
WHO "][/caption] Edisi 44 | FORUM UTAMA | Majalah FORUM Keadilan | 2008 Bu Siti
Melawan Amerika Di dalam buku setebal 182 halaman itu, Menteri Kesehatan Siti
Fadilah Supari menguak keculasan yang melibatkan organisasi internasional dan
negara-negara kaya, mengenai flu burung. Hasil rekayasa Amerika? ”Diborongnya obat
Tamiflu oleh negara-negara kaya yang tak memiliki kasus Flu Burung, sungguh sangat
menggoreskan luka mendalam hati saya. Alangkah tidak adilnya. Bayangkan saja Flu Burung
menimpa negara-negara yang sedang berkembang bahkan miskin, tetapi mereka tidak
diprioritaskan dalam pengadaan obat-obatan yang masih terbatas produksinya di dunia.”
Itulah petikan salah satu bab pada buku terbaru Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah
Supari yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu
Burung." Buku yang diluncurkan 6 Februari 2008 lalu di Jakarta itu terbilang istimewa. Buku
setebal 182 halaman itu mengisahkan perjuangan Siti Fadilah mendobrak ketidakadilan
organisasi internasional sekelas WHO dan negara-negara maju, terutama dalam penanganan
kasus Flu Burung yang mulai menyerang manusia sekitar empat tahun silam. Bu Siti, yang
juga dokter spesialis jantung ini tidak patah arang. Ia mengumpulkan energi dan
menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu. Nama generik obat ini: Oseltamivir, produksi
Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Dana sudah
ada. Sialnya stok habis. Tamiflu ludes dipesan negara-negara kaya sebagai stockpilling. Siti
curiga. Pasalnya, kasus flu burung tidak terjadi di negara itu. Menkes akhirnya terpaksa
mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Negara ini juga memiliki lisensi
dari Roche. Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailan dan Australia. Tapi
jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis. Kejadian itu meninggalkan bekas
luka mendalam di hati Siti Fadilah Supari. Ia berpikir: seandainya nanti ditemukan vaksin Flu
Burung pada manusia, pasti negara kaya yang meraup keuntungannya. Betapa tidak: bahan
(material) untuk membuat vaksin atau virusnya diperoleh dari negara penderita Flu Burung
yang tidak kaya, yang belum tentu mampu membeli vaksin yang dibuat oleh negara kaya.
Maka, kata Siti Fadilah, tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya
oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya. Lebih lanjut, Menkes
Siti Fadilah Supari mengungkapkan sampel virus Flu Burung diambil dan dikirim ke WHO
(WHO Collaborating Center), untuk dilakukan risk assesment (pengkajian risiko), diagnosis,
dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian dipakai untuk membuat
vaksin. Sekali lagi, ini amat ironi. Pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-
negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus Flu Burung pada
manusia. Vaksin itu lalu dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kedaulatan dan rasa
nasionalisme Siti Fadilah terusik. Pikirannya menerawang pada ungkapan Bung Karno 50
tahun lalu yang menyebut praktik kecurangan itu sebagai neo-kolonialisme: ketidakberdayaan
suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain. Siti Fadilah menjelaskan,
pengiriman sampel virus ke WHO tak hanya Flu Burung. Tak urung, karena aturan Global
Influenza Surveilance Network (GISN), spesimen Influenza biasa juga wajib dikirim oleh 110
negara ke WHO. ”Itupun sudah berangsung selama 50 tahun. Entah siapa yang mendirikan
GISN itu”, tulisnya. Siti Fadilah tak tahu. Yang jelas, kata dia, negara-negara penderita Flu
Burung tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN. Tak ada yang protes kalau virus yang
diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Kemudian diproses untuk risk
assesment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dari seed
virus itulah bisa dibuat suatu vaksin. Bila berhasil, vaksin itu didistribusikan ke seluruh
negara di dunia secara komersial, termasuk negara penderita yang mengirim virus. Harganya
juga cuma bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya bercokol di negara
industri yang kaya. Tentu dengan harga yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan
sosial kecuali alasan ekonomi, semata. ”Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik,” hardik
Supari. Siti Fadilah heran kenapa tidak ada yang protes. Padahal tidak seorang pun tahu virus
dari manakah yang digunakan untuk membuat vaksin dan kemudian mereka jual. Konon
kabarnya virus dari Indonesia dan Malaysia. ”Entahlah benar apa tidak. Pokoknya kalau Anda
butuh ya harus membeli dengan harga mahal,” imbuh Supari lagi. Usut demi usut, virus
H5N1 (perantara virus Flu Burung lewat unggas) yang dikirim ke WHO, ternyata penelitinya
memperlakukan virus itu sama dengan peraturan Seasonal Flu Virus (Flu biasa). Setelah itu
mereka hanya disuruh menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim tersebut.
Itupun harus sabar menanti 5-6 hari. Sementara korban terus berjatuhan. Setelah hasil
diagnosis dikirim, data yang paling penting, yakni sequencing (pemilahan) DNA H5N1,
disimpan di WHO. Tak pernah tersentuh oleh ilmuan dunia, karena memang aksesnya tidak
pernah dibuka. Menkes Siti Fadilah mencontohkan Vietnam. Negara itu tak pernah tahu
kemana virus yang dikirim itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia sebagai vaksin
yang diperjual-belikan dengan harga yang tak terjangkau bagi negara berkembang. Sementara
rakyat Vietnam meninggal karena Flu Burung, di depan mata pedagang berkulit putih dari
Eropa yang menawarkan vaksin dengan Vietnam strain. Yang mengejutkan: data penting
yang mengendap itu disimpan diLos Alamos.Lho? Ini kan sebuah laboratorium yang berada
di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Di labotarium inilah Bom Atom untuk
melumat Hiroshima (1945) dirancang.
aption id="" align="aligncenter" width="450" caption="With Oak Ridge National Laboratory,
where the Spallation Neutron Source is located, Argonne, Berkeley, Brookhaven, Jefferson,
and Los Alamos national laboratories are building the facility"]
[/caption] Kabar tersimpan di Los Alamos dilansir Siti Fadilah dari koran
Singapura,Straits Times , 27Mei 2006. Artikelnya berjudul ”Scientists split over sharing of
H5N1 data”. Dengan kata lain, data sequencingH5N1 yang dikirim ke WHO hanya dikuasai
oleh ilmuwan-ilmuwan di Los AlamosNational Laboratory di New Mexico,yang jumlahnya
sangat sedikit. Barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti, dimana 4 dari 15 ini berasal dari
WHO, dan sisanya, Siti memberi analogi, seperti hantu. Kekecewaan kepada WHO tidak
hanya itu. Siti Fadilah juga membeberkan soal kasus klaster yang terbesar di dunia, yakni di
Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang
menderita Flu Burung. Para pakar dari WHO yang hampir semuanya epidemiolog
menyimpulkan: klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan antar
manusia (human to human transmission). Siti Fadilah menilai kesimpulan itu sangat
sembrono. Begitu juga WHO Indonesia, dengan arogannya meyakinkan semua wartawan
dalam negeri maupun luar negeri, bahwa sudah terjadi penularan antar manusia di
Indonesia. Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan ke seluruh dunia berita ’sadis’
itu. Ini artinya, pandemik Flu Burung yang ditakutkan umat manusia sedunia: sudah mulai.
Siti Fadilah sangat marah. Pasalnya belum ada laporan perubahan bentuk dan
fungsi (mutagenesis) dari DNA virus Flu Burung yang ditemukan di Tanah Karo. Ia lalu
menghubungi Prof Sangkot Marzuki, seorang ilmuwan molecular biologist yang cukup
dikenal di dunia, juga pimpinan labotarium Eijkman, yang berpusat di Jakarta. Menkes
meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing DNA virus Flu Burung dari Tanah
Karo. Lembaga itu menyanggupi. [caption id="" align="aligncenter" width="400"
caption="Sangkot Marzuki, The brilliant professor behind Eijkman"]
[/caption] Sambil menunggu hasil analisa labotarium Eijkman, Siti Fadilah Supari menggelar
konferensi pers, guna meredam ekses statement WHO, yang amat sembrono itu. Siti Fadilah
Supari menegaskan, penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah
Karo: salah! Bila benar terjadi, korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat
mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak. Bukan puluhan, tapi mungkin
ribuan. Kabar itu kemudian dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menkes meyakinkan Presiden pendapatnya itu. Hasilnya, menurut cerita Menkes, Presiden
SBY kala itu bisa saja melayangkan surat protes ke PBB. Tapi ditahan Menkes, karena
sedang menunggu pembuktian labotarium Eijkman. Yang ditunggu kemudian keluar juga.
Labotarium Eijkman berhasil melakukan sequencing. Hasilnya: DNA virus Flu Burung dari
Tanah Karo menunjukkan suatu virus H5N1 yang masih identik dengan virus H5N1
sebelumnya di daerah lain di Indonesia. Artinya: belum menular human to human. Hanya,
ada sedikit perubahan yang menunjukkan virus Tanah Karo ini agak lebih ganas dibanding
dengan virus sebelumnya. Namun struktur lainnya masih sesuai dengan virus yang menular
dari binatang (ayam) ke manusia. Sayangnya, masyarakat internasional sepertinya cuek.
Mereka seolah-olah kurang percaya dengan hasil sequencing yang dilakukan di labotarium
Eijkman, hanya karena lembaga tersebut belum pernah diakreditasi oleh WHO. Maka
digelarlah pertemuan antar pakar dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia). Akhirnya
diputuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan
ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok ilmuwan saja. Sepucuk surat
kemudian dilayangkan ke WHO untuk meminta data sequencing virus dari Tanah Karo.
Permintaan itu dituruti. Dan tanggal 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia
mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia.
Caranya, Siti dengan jeli mengirim data yang tadinya disimpan di WHO ke Gen Bank
(Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health Amerika,
berkolaborasi dengan DNA DataBank of Japan (DDBJ), European Molecular Biology
Laboratory (EMBL), dan GenBank itu sendiri di National Center for Biotechnology
Information (NCBI). Dari sinilah semua ilmuan dunia akhirnya bisa mengakses DNA H5N1.
Sebab database sekuen genetik, dan semua sekuen DNA, berikut dengan teranotasi dan
tranlasinya, dipublikasikan ke seluruh dunia; bisa diakses secara online. Sejumlah media luar
negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantara menuliskan: Menteri
Kesehatan Indoensia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Tapi banyak pula
yang mencibirnya. Siti Fadilah, terutama dirilis dalam beberapa blog, dilukiskan setara
dengan Ahmadienejad, musuh bebuyutan Presiden Bush. Kabar terakhir yang diperoleh Siti
Fadilah, laboratorium Los Alamos sudah ditutup sejak ia menuntut data virus Tanah Karo.
Saat FORUM bertandang ke rumahnya, untuk bertanya soal ini, tak kuasa Menkes menahan
senyum. Sejak itu diagnosis Flu Burung dilakukan di laboratorium Litbangkes, Departemen
Kesehatan RI dan labotarium Eijkman. Meskipun tidak diakui WHO, Siti Fadilah Supari tak
ambil pusing. Ia akan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat
yang tidak bisa didikte begitu saja. Malah, setelah Siti Fadilah berjuang membuka akses bagi
para peneliti dunia dengan menempatkan data flu burung pada GenBank (public
domain), Departemen Kesehatan berencana akan membuatearly and rapid diagnostic dan
vaksin dari virus strain Indonesia secara mandiri atau bekerja sama dengan prinsip kesetaraan
dengan negara maju. Terbuka akses DNA H5N1 di GenBank telah menabuh perang diplomasi
negara-negara berkembang yang dipelopori Indonesia dengan WHO. Sejak 20 Desember
2006, Indonesia tak lagi mengirimkan spesimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO
lagi. ”Itu kalau mekanismenya masih mempertahankan GISN,” cetus Siti. Artinya, Siti
menuntut mekanisme imperialistik itu harus diubah menjadi mekanisme yang adil dan
transparan. Dunia tepuk tangan. Berkat data yang diberi Siti Fadilah Supari ke Gen Bank,
akhirnya sharing virus disetuji dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia International
(Government Meeting WHO) di Jenewa Mei 2007. Yang lebih yahud: GISN dihapuskan.
Diplomasi Menkes tidak berhenti sampai di situ. Ia menuntut pengembalian 58 seed virus
yang dikembangkan dari virus strain Indonesia ke WHO. Sayangnya, semua seed virus Flu
Burung sudah terlanjur disimpan di Los Alamos yang sudah ditutup itu. Menkes mendapat
kabar, begitu Los Alamos tutup, penyimpanan data sequencing-nya dipindahkan ke dua
tempat. Sebagian ke GISAID dan sebagian lagi ke BHS atau Bio Health Security: suatu
lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Departemen Pertahanan Amerika
Serikat di Pentagon. Dan tentu saja virus-virus H5N1 Indonesia ada disana. Hampir semua
pegawai dan peneliti dari Los Alamos ditampung di BHS Pentagon. Artinya, permainan
masih diteruskan sampai saat ini, meskipun nama dan keberadaannya sudah berganti. Inilah
bayang-bayang yang selalu mengusik Menkes. Bagaimana WHO
mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos? Apa hubungannya? Ia menduga virus
dari affected countries dikirim ke WHO melalui mekanisme GISN. Tapi bagaimana
mekanismenya masih misteri. Bukan tidak mungkin virus itu dijadikan senjata biologi. Soal
itu, Menkes tidak berani menceritakan tentang misteri Los Alamos kepada Presiden. Beberapa
hari setelah launching buku itu, kepada FORUM, Siti Fadilah mengaku dihubungi wartawan
dari salah satu media di Australia untuk menanyakan keabsahan buku yang ia tulis itu. Siti
Fadilah menjawab, bukunya itu merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya,
khususnya ketika wabah Flu Burung mengancam dunia sekitar empat tahun lalu. Namun
esoknya, hasil wawancara sama sekali tak dimuat. Malah berita tersebut menggambarkan
Menkes Indonesia dalam bukunya membongkar konspirasi Barat dalam menggunakan sampel
flu burung. Berita itu juga menulis tuduhan Siti Fadilah akan keterlibatan AS dan WHO, yang
memanfaatkan virus itu untuk senjata biologi. Dari sinilah kontroversi meletup hingga ke
Timur Tengah. Beberapa ilmuan AS menyebut buku itu karya “Dungu”. Merasa lembaganya
disentil, Kamis pekan lalu, David Heymann, pejabat keamanan WHO seperti dilansir surat
kabar Australia, The Age, meminta Menkes menarik buku tersebut. Heymann mengaku telah
mendiskusikan buku itu dengan Siti Fadilah dan memintanya menariknya dari pasar. Hayman
sendiri bingung atas tuduhan Siti bahwa sampel virus flu burung digunakan untuk senjata
biologi. "Saya tidak mengerti mengapa mereka akan membuat virus ini sebagai senjata
biologi,” katanya. [caption id="" align="alignleft" width="240" caption="Saatnya Dunia
Berubah: Tangan Tuhan dibalik Virus Flu Burung, 2008 (karangan Siti Fadilah Supari,
Editor: Cardiyan HIS)"]
Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan dibalik Virus Flu Burung, 2008 (karangan Siti
Fadilah Supari, Editor: Cardiyan HIS)
[/caption] Amerika Serikat yang awalnya tidak mempersoalkan buku itu, belakangan ikut
termakan pers Australia. Beredar kabar: Amerika menawarkan bantuan peralatan militer
kepada TNI asalkan buku itu ditarik dari peredaran. Namun isu itu segera dibantah Menteri
Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates setelah bertemu dengan Presiden SBY, Senin
pekan lalu. "Tidak benar Amerika Serikat menawarkan perlengkapan militer agar buku ditarik
dari peredaran," imbuh Gates. Ia juga menegaskan tidak membicarakan masalah buku
tersebut dengan Presiden Yudhoyono. Tapi kabar yang beredar, Presiden SBY menekan
Menkes agar buku itu ditarik. “Tidak benar kabar itu. Ini hanya diplintir media,” aku Siti.
Dari pihak Istana Negara, juru bicara Andi Mallarangeng enggan berkomentar. Ia lalu
menunjuk Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden urusan luar negeri. Tak beda dengan Andi,
Dino pun menolak. ''Saya no comment, silakan masalah ini ditanyakan langsung ke Menkes''
jelasnya. Tuduhan pers Barat terhadap Siti yang mendiskreditkan WHO dan Amerika Serikat,
juga ia tampik. Menkes mengaku tidak menuduh negara mana pun. Kepada FORUM, Menkes
Siti Fadilah Supari merasa media Australia sudah mempelintir hasil wawancaranya, dan ia
merasa dipojokkan oleh sebagian besar pers Barat. Lewat bukunya, Menkes mengaku cuma
mempertanyakan para peneliti di WHO menggunakan sampel virus flu burung negara
berkembang untuk keperluan vaksin atau mengembangkan senjata kimia. Di halaman 73,
Menkes menulis: ''Kami sama sekali tak pernah tahu, apakah virus itu digunakan untuk
penelitian atau publikasi, ataukah mereka di-sharing ke pabrik vaksin untuk dibuat vaksin.
Atau mungkin virus itu digunakan untuk pengembangan senjata biologi.” Terancam bukunya
ditarik dari peredaran tak membuat Menkes Siti Fadilah ciut nyali. Dia bertekad untuk
mempertahankan buku itu tetap beredar, apa pun resikonya. Siti bahkan akan mencetak ulang
buku yang di luar negeri laris manis itu. Dan bahkan, Siti Fadilah akan menerbitkan jilid
keduanya. “Isinya seputar kontroversi buku pertama saya, juga ada seputar polemik Askeskin
(Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin” kata Siti sedikit buka kartu. Cardiyan HIS, editor
buku ini angkat suara. Kepada FORUM dia bilang, buku yang telah beredar sulit ditarik
karena ludes terjual, terutama versi Bahasa Inggris-nya. “Saya dapat penuh SMS (pesan
pendek) kapan dicetak ulang. Di salah satu toko buku di Jakarta Pusat, bahkan ada bule yang
rela menunggu depan plaza sebelum book store dibuka. Tapi tak dapat karena habis. Menurut
kabar dari distributor utama buku ini, versi bahasa Inggrisnya ludes dalam waktu yang tak
sampai seminggu”. Bahkan, kabarnya, Iran telah memeasan 5000 eksemplar! Mendengar
keterangan Cardiyan, sang Maestro senyum-senyum saja. YULIADI, ALFI RAHMADI
******
[caption id="" align="aligncenter" width="800" caption="Siti Fadilah Supari"][/caption]
Edisi 44 | WAWANCARA | Majalah FORUM Keadilan | 2008 Siti Fadilah Supari, Menteri
Kesehatan RI 2004-2009 ”Kalau Flu Biasa Dengan Kerokan Saja Sudah Sembuh”
Rumah dinasnya terletak di bilangan jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Kamis
malam pekan lalu, FORUM bertandang ke rumah yang dihuni oleh Menteri Kesehatan RI, Siti
Fadilah Supari. Begitu masuk, dia sedang sibuk nelpon. FORUM dipersilahkan masuk ruang
tamu utama terlebih dulu oleh ajudannya, bernama Ade. Sepuluh menit kemudian, Bu Siti
belum juga muncul. Tapi suaranya yang sedang nelpon sayup-sayup terdengar dari ruang
tamu utama. Dinding di ruang utama dihiasi oleh beberapa lukisan Siti Fadilah, yang terpahat
dalam kanvas. Satu diantaranya, lukisan saat dia masih menjadi mahasiswi di Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tergurat paras cantik di masa mudanya. Postur
tubuhnya ramping, tentu amat berbeda dengan sekarang di usianya kepala 50. Satu lagi
lukisan yang kamiamati: lukisan Siti dengan beberapa pasien dengan ornamen abstrak, sulit
menangkap maknanya bila hanya dilihat sekilas. Maklum saja--sebagaimana tertera di sebelah
kiri lukisan-- yang melukisnya adalah Sujiwo Tejo; seniman yangnjelimet dipahami bagi yang
awam. Jarum jam berjalan. Bu Siti masih berbincang via hand phone-nya, sambil memberi
kode kepada sang ajudan untuk mempersilahkan dr. Toyibi, mantan ketua tim
kedokteran almarhum Soeharto, yang juga baru datang, masuk ke dalam rumah. Dia juga
dokter spesialis jantung, sama dengan Siti Fadilah Supari. Dr. Toyibi ditemani rekannya dari
Jawa Timur bernama Munzir. Satu lagi, ada adik laki-laki Siti Fadilah juga di situ. Diantara
tiga lelaki ini, justeru dialah yang paling antusias selama dalam perbincangan . Ia jebolan
Astronomi dari Institut Teknologi Bandung. Sejak Siti Fadilah Supari membongkar
ketidakadilan WHO dalam kasus flu burung, memang ada banyak kolega yang menemui
dirinya, memberikan support. Media massa asing, aku Siti, menghajar dirinya habis-habisan.
“Hp saya ini selalu online. Itu tadi juga dari wartawan,” kata Siti kepada Alfi Rahmadi dari
FORUM, setelah hampir 15 jam melayani wawancara dari sebuah media massa yang enggan
ia sebutkan. Kadang Siti kesal, karena apa yang disampaikan tak sesuai yang diberitakan.
“Yang paling gencar malah bukan dari pers Indonesia, tapi dari Amerika dan
Australia.” Media massa di dua negara itu masih ngotot bertanya maksud Siti soal Los
Alamos. Mahluk apa itu? Petikannya: Apa motivasi Anda menulis buku ini? Saya
menjalani fungsi saya sebagai Menteri. Ngurus dari Tsunami dan segala kejadian kesehatan.
Begitu adanya Flu Burung, memang belum pernah di Indonesia. Obat-obat yang dikenal
sebagai untuk Flu Burung adalah Tamiflu. Saya ingin membeli obat itu. Tapi habis. Lho kok
habis? Siapa yang beli,wong pasiennya saya (Indonesia—red), tapi yang beli seperti Amerika,
Jepang, dan negara-negara kaya dan negara itu tidak kena Flu Burung. Itu pertanyaan
pertama. Saya sedih banget. Akhirnya saya dapat Tamiflu dari India sebagai buffer stok, atau
tidak boleh dijual di apotek. Dan satu-satunya virus sekarang yang masih tersisa dan tidak
resisten terhadap Tamiflu adalah virus kita saja. Tapi tiap hari pasiennya tambah. Tapi
eh..malahan ada orang yang nawarin saya obat. Orangnya dari Prancis. Dia bawa vaksin.
Dari mana vaksin Anda tanya saya. Nah, dokter jarang tahu bawah vaksin itu juga berasal dari
virus. Dia bilang virus vietnam (Vietnam strain). Padahal dia dari orang dari negara kaya, tapi
jualan vaksin di vietnam. Apa hubunganya dengan kita di Indonesia? Vietnam sama saja
dengan kita. Sama-sama ironi. Kita dan Vietnam juga kirim mengirim virus (H5N1) ke WHO
CC. Tapi kemana virus itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia. Harganya mahal.
Sementara korban Vietnam mati karena Flu Burung ditengah orang kaya dari Eropa yang
mengambil virus dari Vietnam. Vaksin itu satu dosisnya 30 US Dollar. Kalau dunia ini 6
miliar orang, sedang stok yang dibutuhnya itu 10 persen, berarti 600 juta dosis yang
diperlukan. Itu jumlah maksmimal. Wah...saya glek-glek (geleng-eleng). Kalau begitu ini
terjadi suatu penipuan, pembohongan, perampasan, pemaksaan, dan sebagainya. Saya lihat
kok kita mau saja ngasih begitu saja ke WHO. Bukankah kita bisa mendiagnosis sendiri.
Tetapi harus dikirim. Kalau kita diagnosis sendiri, ya tidak diakui. Akhirnya ya dikirim. Lalu
bagaimana kasus di Tanah Karo (2006) sampai keluar rilis sudah menjangkit dari
human ke human (manusia ke mausia)? Iya. dari 8 orang yang terkena, 7 orangnya
meninggal. Ini cluster terbesar di dunia sehingga kita dituduh orang bahwa penuluran virus
sudah human to human (penularan manusia ke manusia) karena jangak waktu kenanya
berdekatan satu sama lain. Sampai disiar di CNN. Presdien kita khawatir. Apa
konsekuensinya jika sudah menular dari manusia ke manusia? Kita diembargo. Dari
Indonesia ga boleh pergi ke luar negeri. Begitu pula sebaliknya. Ekonomi pasti mati.
Bangkrut habis. Saya tidak bisa bayangkan. Lalu presiden panggil saya. Saya yakinkan ke
presiden bahwa pendapat penularan demikian adalah salah. Sebab kalau benar, yang pertama
kali terjangkit tentu adalah tenaga medisnya lebih dulu. Dan penularannya bukan 8 orang tapi
sampai ribuan orang. Dari sisi bentuk virusnya juga sudah berbeda. (sambil memperagakan
tangannya). Presiden lalu mau menuntut ke PBB. Saya bilang jangan. Akhirnya saya cek
sendiri. Saya kontak Professor Sangkot Marzuki. Dia ini pimpinan laboratorium Eijkman,
ilmuwan (molecular biologist), sekaligus teman saya. Saya minta tolong ke Pak Marzuki
untuk membuat cek sequencing (pemilahan) spesimen Tanah Karo itu. Alhamdulillah
bersedia. Sambil menunggu hasil dari Pak Marzuki, pikiran saya hanya fokus disini. Dalam
halaman 10 di bukunya, Siti Fadilah menulis: (sambil memanti hasil)...Kemudian konperensi
pers saya gelar. Ratusan wartawan dari dalam maupun luar negeri berduyun-duyun datang.
Saya nyatakan bahwa berita tentang penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke
manusia di Tanah Karo adalah tidak benar. Karena bila benar; korban yang pertama
adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan
sangat banyak bukan puluhan tapi mungkin ribuan. Yang paling penting untuk menyimpulkan
penularan langsung dari manusia ke manusia tidak cukup
hanya berdasarkan data epidemiologi seperti yang dilakukan oleh WHO. Tetapi harus
dikuatkan dengan data virologi yang merupakan bukti pasti. Dengan pernyataan saya itu,
dunia mulai ragu. Dunia mulai mempertanyakan. Telepon genggam saya terpegang erat di
tangan selama 24 jam, karena pasti akan datang pertanyaan dari mancanegara atau dari
mana-mana. Ternyata betul. Dimulai dari kantor kantor berita, radio dan tv, ”Reuter”
Inggris, ”AFP” Perancis, ”Xinhua” Cina, “Kyodo” Jepang, ”ABC” Australia, ”BBC”
London, Puerto Rico,“Aljazeera”, “CNN” dan tentunya kantor berita nasional ”Antara”,
serta banyak lagi. Mereka ingin mengkonfirmasikan berita tersebut. Telepon genggam saya
sangat membantu meredam isu yang sangat berbahaya tersebut. Wah, ”untung” wartawan
dalam negeri tidak begitu ”tanggap” menangkap isu yang sensitif ini. Sehingga tidak sangat
merepotkan saya dan staf saya yang memang sudah sangat repot. Tidak ingat lagi hanya
berapa jam saja tiap malam saya bisa tidur. Bahkan saya takut tidur karena takut kehilangan
momentum perkembangan Flu Burung yang memang sangat menakutkan. Ternyata
hasilnya? Bukan human to human tapi masih dari animal to human (binatang ke manusia).
Berita itu pembohongan dan penipuan. Kurang ajar ini. Ada sesuatu yang disembunyikan.
Saya bilang ke WHO (perwakilan Indonesia), mana virus saya. Saya juga tuntut WHO, bahwa
saya membuktikansequencing virus Tanah Karo adalah dari hewan ke manusia. Ngapain
kamu bilang dari manusia ke manusia. Mana sekarang punyaku. WHO diam saja. Saya
marah, saya usir dia. Pulang kamu! Kamu mencelakakan negara saya. Saya juga minta ke
WHO Regional agar staf WHO Indonesia yang nyebar berita itu harus bertanggung jawab. Eh
tiba-tiba, Straits Times dari Singapura (27Mei 2006) beri kabar,H5N1 Tanah Karo di
labotarium Los Alamos. Los alamos adalah labotariun yang membuat senjata yang
mengebom hirosima dan nagasaki. Ngeri toh.. Anda sudah cek terhadap berita itu? Cek di
internet kan ada sampai sekarang. Dan ternyata bukan saja H5N1 Tanah karo di situ (Los
Alamos) tapi semua H5N1 Indoensia (58 virus). Saya gemetar. Negara lain saya engak tahu.
Tapi mengapa sih ada disitu? Los Alamos sudah tutup, tapi data sequencing strain
Indonesia pindah ke 2 tempat. Dalam buku Anda ditulis pindah ke GISAID dan Bio
Health Security (BHS). Bagaimana Anda tahu bahwa BHS ini adalah labotairum
penelitian senjata biologi di bawah Departemen Pertahanan AS di Pentagon? Jadi setiap
kali saya tuntut untuk mengembalikan semua H5N1 Indonesia, ternyata ada GISN (Global
Influenza Surveilance Network). GISN itu adalah perangkat yang mengharuskan kita untuk
kirim semua H5N1. Jangankan H5N1, virus flu biasa saja harus dikirim ke WHO dengan
adanya GISN ini. Dan itu sudah berlangsung sejak 50 tahun, dan ada 110 negara yang punya
Influenza biasa harus mengirimkan spesimen virusnya ke WHO. Tapi setiap kita mau ambil
strain kita, WHO ga tahu. Ini dia pasti perangkatnya Amerika hingga sampai ke Los
Alamos.Los Alamos ini labotarium private. Tapi di bawah Menteri Energi AS. Aku ga tahu
hubungannya kok bisa ke Almos? Masa aku ga boleh bertanya kemana barangku. Kepada
siapa saya bertanya? Ga ada. Sekali lagi, WHO ditanya ga tahu. Ini nih..dia...(skandal) hingga
sampai ke Los Alamos. Menurut saya ini gila. Halaman 13, Siti Fadilah menulis:Yang bisa
dikatakan sebagai skandal adalah bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing
DNA ke Los Alamos. Apa hubungannya? Apa lagi sekarang di BHS? Tetapi barangkali hal
inilah yang bisa menjawab; mengapa yang saya tuntut WHO, tapi kok yang berhadapan
dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat. Tadinya saya heran. Tapi sekarang
saya tidak heran lagi. Kemungkinannya skenarionya seperti ini: Virus dari affected countries
dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi ke luarnya dari WHO CC ke Los
Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu. Dan di WHO CC, virus diproses
untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin.
Namun di lain pihak, kita juga tidak tahu apakah juga dijadikan senjata biologi. Tampak
sekali pintu ketidak-transparanan adalah GISN. Padahal, ketidak transparanan akan
membahayakan umat manusia di dunia. (Tentang kemungkinan skandal ini, baca juga di Bab
II, judul: Dari Jakarta ke Jenewa) Lalu apa tindakan Anda saat ada indikasi ke Los
Alamos? Saya terus minta data H5N1 kita. Harus transparan. Coba kirim ke Gane Bank. Lalu
saya bikin pernyataan data harus dibuka ke Gen Bank. Lalu dibuka di Gane Bank. Saya kirim
virus yang masih kita punya ke Gane Bank. Dan semua ilmuan bisa mengaksesnya
(sebelumnya mereka juga tidak bisa buka data sequencing DNA H5N1 Indosnia di WHO).
Indonesia saat itu diapresiasi luar biasa bahwa kita mendobrak transparansi. Jadi saya orang
pertama yang menaruh data primer ke Gane Bank. Ternyata setelah diteliti banyak ilmuan
dunia penularannya juga bukan human ke human. Halaman 12, Siti Fadilah menulis:
Majalah the Economist, London, Inggris, yang sangat kredibel di dunia, menyatakan bahwa
Menteri Kesehatan Republik Indonesia memerangi Flu Burung bukan hanya dengan obat-
obatan tetapi juga dengan ketransparansian (Pandemics and Transparency, the Economist,
August 10, 2006). Mestinya virus itu dibawah wewenang Departemen Kesehatan (AS)?
Apa komentar Menteri Kesehatan AS ke Anda? Nanti dulu. Ceritanya mirip bioskop ya.
(ha..ha..) nanti ada kaitannya, tapi sebelum sampai ke situ, saya stop pengiriman strain kita ke
WHO (Desember 2007). Kalau saya kirim berbahaya. Karena pertama, bisa dikembangkan
sebagai senjata biologis, dan akan menghancurkan umat manusia. Kedua, bisa dibikin kita
sakit dan dia bisa jualan vaksin. Ketiga, ini yang paling rendah, kemungkinan mereka hanya
jual vaksin saja. Yang terakhir inipun masih bisa menindas. Saya mulai keras. Lalu pada suatu
hari (11 November 2006), orang WHO, namanya David Heymann (Assistant to Director
General WHO yang mengurus Flu Burung) mau datang ke Indonesia. Waktu ketemu saya
bilang, eh..saya sekarang sudah punya vaksin. Ibu kerjasama degan siapa? Rahasia saya
bilang. Dia mendesak, dari siapa bu? Rahasia, kata saya. Saya pancing dia. Dia datang dengan
bawa duit nawari untuk nyumbang membuat vaksin, tapi seasonal flu vaccine atau vaksin
untuk flu biasa. Oh...aku tidak butuh. Yang aku butuh H5N1 Indonesia (strain Indonesia). Bu,
ini program WHO. jadi Indonesia harus buat. Indonesia punya kapasitas punya perusahaan
vaksin yang bagus (PT. Bio Farma berpusat di Bandung—red). Saya tidak butuh
sumbanganmu. Sumbanganmu simpan saja. Pokoknya saya butuh H5N1, karena rakyatku
membutuhkan itu. Kalau flu biasa, rakyatku dengan kerokan saja sudah sembuh (ha..ha..). Dia
sengaja bikin saya keder (takut) dan dapat sistem atau mainan vaksin (WHO). Saya bilang
tidak. Lalu dari situ saya dijelek-jelek media asing. Menteri Kesehatan Indonesia tidak mau
kirim virus, itu membahayakan dunia. Satu bulan lalu terjadi tembak-menembak diplomasi.
Dalam buku Anda, Indonesia kerjasama bikin virus dengan Baxter International
Inc.,dari Chicago (Amerika Serikat) sebagai berganning power. Maksudnya? Waktu itu
(akhir 2005), Baxter International promosi buat vaksin. Tapi masih menawarkan
denganVietnam strain. Dari situ saya berfikir, bahwa saya tahu persis kasus di Indonesia
dengan Vietnam berbeda dilihat dari angka kematiannya. Tipe virusnya juga beda. (Virus Flu
Burung di Indonesia disebut sebagai Clade2 sedang di Vietnam termasuk Clade1). Waktu
berhadapan dengan mereka, saya membuat semacam hipotesis, bahwa strain Indonesia
lebih virulen (ganas) dari pada yang lainnya. Kalau dibuat vaksin nantinya akan lebih cross
protective dibanding dengan lainnya. Mereka terkejut. [caption id="" align="alignleft"
width="450" caption=" U.S. Secretary of Health and Human Services Michael Levitt (right)
shakes hands with Indonesian Health Minister Siti Fadilah Supari following a meeting at the
State Palace in Jakarta, April 2008 (JP/Berto Wedhatama)"]
[/caption] Maksudnya? Vaksin kita bisa digunakan lebih luas dibandingkan dengan vaksin
dari strain lainnya. Lima bulan setelah itu, hipotesis saya terbukti. Hal ini diteliti oleh Baxter
International tadi, termasuk WHO. Dunia terkejut bukan main. Ternyata ada vaksin Flu
Burung untuk manusia yang kekuatannya lebih bagus dari yang dimiliki oleh negara lain. Nah
disinilah pihak Kementrian Pelayanan Kesehatan AS, Michael O. Levvit, pesan 20 juta dosis
vaksin dengan strain Indonesia kepada Baxter. Diar sinilah kita melakukan Bargainning
poweruntuk setiap deal dengan pihak manapun. Dari situ pula saya tahu, bahwa virus
Indonesia yang pertama dibuat vaksin oleh WHO dibanding negara lain (berinitial O5O5).
Sejak itu saya baru tahu jawabanya, mengapa WHO ngotot. Mengapa untuk kasus Flu
Burung Anda sampai ke Iran segala? Saya diundang untuk seminar disana setelah data kita
dikirim ke Gane Bank. Mereka sangt mendukung Indonesia. Bahkan, mereka siap berikan
pengacara jika suatu saat kita mau gugat siapa yang merugikan Indonesia. Bagaimana
kronologis kontroversi buku Anda ini pasca launching? Sebenarnya Amerika biasa-biasa
saja. Yang terus memburu dari pers Australia. Karena dari awal, misalnya saat Indonesia
banjir Februari 2007, saya diinterview secara online. Tapi jawaban saya esoknya dimuat sama
sekali berbeda. Saya dituduh macam-macam. Menghambat penelitian WHO lah. Dan lain-
lain. Jadi waktu terbit yang wawancara saya itu tadi kembali telepon bertanya isi buku. Saya
jawab apa adanya, yaitu kejadian-kejadian yang dulu. Tapi lagi-lagi, dia plintir jawaban saya.
Dia bilang saya menuduh Amerika mengembang senjata biologis. Padahal dalam buku saya
hanya menulis mempertanyakan peneliti WHO yang datanya tidak dibuka itu. Jangankan
sebelum launching, waktu diplomasi, Indonesia dibilang teroris, dan jangan-jangan Menteri
Kesehatannya itu teroris. Ini serius. Saudara-saudara saya pake jilbab semua. Diboleg-bloger
saya dihujat. Menterinya kurap. Menterinya ga punya otak. Tapi saya tak ambil hati. Saya
dibilang kelainan jiwa. Itu dari blogger Afrika. Dalam blog itu saya dibilang, ada dua orang
sinting di dunia. Pertama Ahmadienejad. Kedua Siti Fadilah Supardi (Siti tertawa). Anda
stress menghadapi pers Barat yang bertubi-tubi itu? Setelah berita dari Australia itu
meledak, saya ke Lombok untuk menenangkan diri dalam sehari. Saya merenung, bencana
apalagi yang datang ke saya setelah Flu Burung. Tapi hanya sehari saya di Lombok, ada 700
sms (pesan pendek) yang masuk. Semua isinya mendukung saya. Saya belum pernah dapat
sms misanya dari Habib Riziq, kemudian Majelis Mujahidin, Egy Sujana, tokoh-tokoh Islam
yang tidak saya kenal sebelumnya, Kristen, dan macem-macem pokoknya. Tentang barter
Alutsista kalau buku ditarik? Pers lagi-lagi memplintir. Sebenarnya, (alutsista) yang
dimasud itu hanya tenk bekas dari China saja. Apa rekasi AS sendiri ke Anda? Biasa saja.
Dalam minggu inikan Menteri Pertahanan AS datang ke Indoneia. Dia juga heran mengapa
ada kabar data sequencing H5N1 Indonesia sampai ke Los Alamos. Mentri Kesehatan
Amerika, (Siti Fadilah sambil bertpuk dada), dukung saya. Sebelumnya saya juga was-was
dipanggil ke Istana karena 6 orang bule (Senator Amerika) ingin ketemu saya. Ternyata tak
saya duga. Mereka kalau datang ke Indonesia sambil busung dada, tapi yang saya lihat
jalannya malah agak bungkung sedikit. Jadi, saya melihat diantara mereka (AS) juga ada dua
kubu. ■ KUTIPAN: ”Aku ga tahu hubungannya kok bisa ke Almos? Masa aku ga boleh
bertanya kemana barangku. Kepada siapa saya bertanya? Ga ada. Sekali lagi, WHO ditanya
ga tahu. Ini nih..dia...(skandal) hingga sampai ke Los Alamos. Menurut saya ini gila.”
”Jangankan sebelum launching, waktu diplomasi, Indonesia dibilang teroris, dan jangan-
jangan Menteri Kesehatannya itu teroris. Ini serius. Saudara-saudara saya pake jilbab semua.
Diboleg-bloger saya dihujat. Menterinya kurap. Menterinya ga punya otak. Tapi saya tak
ambil hati. Saya dibilang kelainan jiwa. Itu dari blogger Afrika. Dalam blog itu saya dibilang,
ada dua orang sinting di dunia. Pertama Ahmadienejad. Kedua Siti Fadilah Supardi”. [caption
id="" align="aligncenter" width="581" caption="Siti Fadilah Supari "]