Religiusitas Pementasan Tari Baris Kupu-kupu pada Upacara ...

13
84 WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018 Religiusitas Pementasan Tari Baris Kupu-kupu pada Upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Pakraman Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng Dewa Ketut Wisnawa Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar Abstract Bali is an island rich in cultural and religious art. One of the most famous religious artworks in Bali is the Butterfly Row Dance. Butterfly Row Dance is a sacred dance that is only found in Buleleng Bungkulan village. This study aims to find out in detail how the staging structure, means of staging, history, values and tingkan religiosity of society in the village of Bungkulan. Based on the results of the research, it is known that the Butterfly Dance has several religious aspects such as the purification aspect, the aspect of expression of gratitude, the cultural aspect, the aesthetic aspect of the religious, the sociological aspect, the aspect of pleading fertility. In addition, Butterfly Rice Dance contains the implications of high religious values such as Tri Hita Karana Implication, bhakti attitude implications, sociocultural implications, aesthetic implications, sacred implications, leadership implications, tatwa implications, ethical implications, psychological implications, and the implications of religiosity. Keywords Tari Baris Kupu-kupu; Hindu Ritual; Religiousity; Tri Hita Karana PENDAHULUAN Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya mempersembahkan bakti yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan (Granoka, 1998:35). Tarian dan karawitan diciptakan untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut turunnya para Dewata pada saat pelaksanaan upacara di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam lukisan dan pahatan selalu tampil dalam berbagai kelengkapan asesoris yang tercermin dalam arsitektur bangunan tempat suci, sajen sebagai sarana untuk JURNAL ILMIAH ILMU AGAMA DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

Transcript of Religiusitas Pementasan Tari Baris Kupu-kupu pada Upacara ...

84

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018

Religiusitas Pementasan Tari Baris

Kupu-kupu pada Upacara Pujawali di Pura

Dalem Dasar Banjar Sema Desa Pakraman

Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten

Buleleng

Dewa Ketut Wisnawa

Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar

Abstract

Bali is an island rich in cultural and religious art. One of the most famous

religious artworks in Bali is the Butterfly Row Dance. Butterfly Row Dance

is a sacred dance that is only found in Buleleng Bungkulan village. This

study aims to find out in detail how the staging structure, means of staging,

history, values and tingkan religiosity of society in the village of Bungkulan.

Based on the results of the research, it is known that the Butterfly Dance

has several religious aspects such as the purification aspect, the aspect of

expression of gratitude, the cultural aspect, the aesthetic aspect of the

religious, the sociological aspect, the aspect of pleading fertility. In

addition, Butterfly Rice Dance contains the implications of high religious

values such as Tri Hita Karana Implication, bhakti attitude implications,

sociocultural implications, aesthetic implications, sacred implications,

leadership implications, tatwa implications, ethical implications,

psychological implications, and the implications of religiosity.

Keywords Tari Baris Kupu-kupu; Hindu Ritual; Religiousity; Tri Hita Karana

PENDAHULUAN

Karya seni dan budaya Bali pada

awalnya muncul sebagai suatu

kewajiban yang patut dilaksanakan oleh

kelompok profesi tertentu dalam upaya

mempersembahkan bakti yang

sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan

keagamaan (Granoka, 1998:35). Tarian

dan karawitan diciptakan untuk

mengungkap ekspresi kebahagiaan

menyambut turunnya para Dewata pada

saat pelaksanaan upacara di Pura, seni

rupa yang diterjemahkan dalam lukisan

dan pahatan selalu tampil dalam

berbagai kelengkapan asesoris yang

tercermin dalam arsitektur bangunan

tempat suci, sajen sebagai sarana untuk

JURNAL ILMIAH ILMU AGAMA DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

85

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018

menyambung komunikasi spiritual,

sedangkan nyanyian kidung

dikumandangkan untuk mengungkapkan

puja dan puji atas kesejahteraan yang

dilimpahkan para Dewata.

Wujud seni pada setiap upacara

atau yajña sebagian besar berdasarkan

pada tradisi masing-masing daerah.

Kebiasaan adat setempat ikut

memberikan pengaruh terhadap variasi

pelaksanaan ajaran agama. Sepanjang

tidak bertentangan dengan ajaran pokok

agama Hindu, tidaklah merupakan

hambatan bagi perkembangan agama

Hindu itu sendiri. Rasa toleransi serta

supelnya agama Hindu terhadap adat

kebiasaan setempat telah terpelihara

dengan baik, sejak mulai masuknya

agama Hindu di Indonesia sampai

sekarang. “Agama Hindu dengan

ajarannya untuk mendekatkan diri

kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, ada

empat jalan yang disebut Catur Marga,

yakni Karma marga dengan berbuat

tanpa memperhitungkan hasil, Bhakti

marga dengan jalan menyerahkan diri

kepada-Nya, Jnana marga dengan

mempelajari, mengamalkan ilmu

pengetahuan yang benar dan Raja

marga dengan jalan pemusatan pikiran

melalui tapa, brata” (Titib, 2001:45).

Penggunaan tari dalam sistem

pemujaan sebagaimana dikenal dalam

lingkungan umat Hindu di Bali bukan

sebagai unsur pemeriah ritual, tetapi

lebih dari pada itu tari-tarian digunakan

dalam mengiringi ritual berfungsi

sebagai simbol metafisik yang mewakili

hal yang transendental. Tari memiliki

fungsi simbolik untuk mengilustrasikan

aktivitas Tuhan seperti gambaran atau

diilustrasikan dalam lukisan atau patung

Siwa Nataraja. Dalam berbagai literatur

dinyatakan bahwa gendang yang ada di

leher tongkat Trisula Siwa

melambangkan pertama atau dentuman

yang terjadi pada awal penciptaan.

Sedangkan api yang ada di tangan kiri

merupakan simbol bahwa suatu saat

bumi ini dihancurkan atau di pralina

kembali seperti awal penciptaan.

Pendapat seperti itu

memperkuat anggapan bahwa agama

dan budaya dalam perjalanan sejarahnya

selalu bersinergi. Kesenian tari Baris

Kupu-Kupu sebagai produk budaya Bali,

selalu dikaitkan dengan agama.

Fenomena itu bisa dipahami, karena

sebagaimana dikemukakakan Titib

(2007) di Bali sinergi agama Hindu

dengan budaya Bali mampu

meningkatkan dan mengembangkan

kualitas budaya Bali itu sendiri. Dalam

sinergi itu, tampak agama Hindu sebagi

titik sentral atau pusat yang menjiwai

semua aspek budaya Bali. Agama Hindu

bersinergi melalui : (1) Sistem bahasa,

yakni bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno;

(2) Sistem pengetahuan; (3) Sistem sosial

seperti desa pakraman dan subak; (4)

Sistem peralatan hidup dan teknologi; (5)

Sistem mata pencaharian masyarakat;

(6) Sistem religi, yaitu agama Hindu

menghargai kepercayaan local, dan (7)

Sistem kesenian seperti seni wali atau

sakral, seni bebali atau dapat berfungsi

sebagai seni sakral, dapat pula untuk

kegiatan profan, dan seni balih-balihan

atau hanya untuk hiburan.

Pementasan Tari Baris Kupu-

Kupu dapat dilogikakan secara nyata

hingga saat ini dengan masa kekinian

atau modern masih tetap dipertahankan

sebagai suatu tradisi secara turun

temurun, tentu di dalam tradisi tersebut

terdapat bentuk dan nilai-nilai yang

terkandung. Dengan demikian, tari ini

seolah menjadi tradisi yang terkenal dan

dipandang oleh kalangan masyarakat

setempat. Cara pandang masyarakat

86

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018

tersebut tentu berbeda-beda, ada yang

memandang tradisi tersebut secara utuh

baik filosofi, etis, dan estetis. Aspek

filosofi memandang tradisi tersebut dari

sudut bagaimana terjadinya,

pelaksanaan serta sarana, dan prasarana

dalam melaksanakan tradisi tersebut.

Masyarakat yang memandang dari segi

etis dan estetis tentu aspek etika dan

keindahan dari tradisi tersebut yang

menjadi pusat perhatian.

Tari Baris Kupu-Kupu merupakan

tari yang unik dan sakral yang hanya

terdapat di Desa Bungkulan sesuai

dengan aslinya menggunakan sarana

yang tradisional. Sebab, sekarang ini

sudah terdapat tarian yang sejenis yaitu

tari kreasi kupu-kupu tetapi sudah

dimodifikasi sedemikian rupa. Namun,

Tari Baris Kupu-Kupu yang ada di Desa

Bungkulan masih seperti aslinya yaitu

sarananya masih menggunakan pakaian

sederhana dan dari daun kelapa yang

sudah kering dibentukkan menyerupai

sayap kupu-kupu. Bentuk tariannya

masih didominasi dengan bentuk tarian

yang masih kuno dan terkesan

gerakannya meniru gerakan kupu-kupu.

Tentunya hal ini sangat menarik

perhatian pelaku seni dan ilmuan untuk

meneliti dan mengamati lebih dalam,

demikian juga dengan penelitian ini akan

berusaha mengamati dan meneliti lebih

dalam untuk mengungkapkan secara

rinci bagaimana struktur pementasan,

sarana pementasan, sejarah, nilai-nilai

dan tingkan religiusitas masyarakat di

Desa Bungkulan.

Sehubungan dengan hal di atas,

Desa Bungkulan sebagai lokasi penelitian

ini dilakukan yaitu di Banjar Sema, dalam

pelaksanaan upacara agama selalu

mementaskan Tari Baris Kupu-Kupu pada

saat upacara pujawali akan berlangsung.

Sampai sekarang pelaksanaan tari

tersebut tetap menjadi bagian dari

kegiatan keagamaan umat Hindu di

Bungkulan khususnya di Pura Dalem

Dasar, tetapi jika dicermati labih dalam

pelaksanaan Tari Baris Kupu-Kupu di

Desa Pakraman Bungkulan berbeda

dengan daerah lain salah satu yang dapat

dicermati dari perbedaan tersebut yakni

dalam pementasan tari ini di Pura Dalem

Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan

selalu menggunakan pelepah daun

kelapa sebagai sarana untuk pelaksaan

tarian, ini bertujuan untuk penggunaan

sarana seolah-olah kupu-kupu dalam

tarian memiliki alamnya sendiri sehingga

berkaitan dengan kehidupan kupu-kupu

yang sebenarnya, hal ini yang

mencerminkan pementasannya unik.

PEMBAHASAN

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

Tari Baris Kupu-Kupu merupakan

salah satu bentuk seni klasik Bali yang

mempunyai bentuk-bentuk gerak yang

indah dan abstrak, sehingga mampu

mengantarkan imajinasi penonton ke

dalam bentuk ekspresi yang

digambarkan melalui gerak penarinya.

Tarian ini merupakan salah satu kesenian

tradisional dengan bentuk tarian sangat

berbeda kalau dibandingkan dengan

bentuk tari sakral lainnya. Sebelum

membahas satu persatu mengenai

bentuk pementasan maka akan

didefinisikan konsep pementasan.

Menurut Aryasa (1996:24) pementasan

dalam hubungannya dengan tari adalah

suatu pertunjukan tari atau seni gerak

tubuh manusia dalam suatu upacara

keagamaan. Adapun menurut Tim

penyusun (2002:117) menyatakan

pengertian pementasan sebagai

pergelaran, sehubungan dengan

pementasan tari dinyatakan sebagai

pembelajaran kesenian dalam yang

87

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018

diwujudkan dalam gerak tubuh manusia.

Dengan demikian, bentuk pementasan

Tari Baris Kupu-Kupu dalam upacara

Pujawali di Pura Dalem Dasar desa

Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten

Buleleng adalah sebagai berikut.

Tari Baris Kupu-kupu merupakan

salah satu bentuk tarian yang digunakan

untuk mengiringi sajian atau

persembahan kepada Ida Sang Hyang

Widhi Wasa, beserta manifestasi beliau

yang dalam hal ini adalah Ida Bhatara-

Bhatari yang melinggih di Pura Dalem

Dasar, Desa Bungkulan, disamping itu

tarian ini juga dipersembahan kepada

para leluhur yang ngaturang ayah di

Pura Dalem Dasar ini, keyakinan tentang

tarian ini adalah merupakan tradisi yang

sudah diwarisi secara turun temurun.

Keyakinan masyarakat tentang tarian ini

sangat kuat, tarian ini haruslah

dipentaskan pada saat adanya Piodalan

di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan, hal

ini pernah terjadi pada suatu saat ketika

sedang berlangsung piodalan di Pura

Dalem Dasar tidak dipentaskan Tari Baris

Kupu-kupu akan tetapi diganti dengan

tarian yang lain sehingga mengakibatkan

adanya suatu wabah yang

berkepanjangan, sehingga masyarakat

merasa takut, lalu untuk

menaggulanginya maka dibuatlah

upacara Guru Pidukha di Pura Dalem

Dasar. Setelah kejadian itu masyarakat

tidak berani lagi untuk mengubah tradisi

yang sudah mereka warisi secara turun

temurun. Pementasan Tari Baris Kupu-

kupu hanya diselenggarakan pada saat

adanya piodalan di Pura Dalem Dasar.

Hal ini sudah merupakan keyakinan

bahwa setiap upacara tidak satupun

selesai tanpa disertakan Tari Baris Kupu-

kupu ini. Prosesi pementasan Tari Baris

Kupu-kupu dilaksanakan sebanyak dua

kali yaitu pada saat selesai ngaturang

banten piodalan dan pada saat diadakan

upacara pengelebar. Tarian ini di

pentaskan di Jeroan Pura, tepatnya di

ajeng linggih Ida Bhatara.

Aspek-Aspek Religius Tari Baris Kupu

Kupu

1) Aspek Penyucian

Proses untuk memperoleh kesucian

ini diawali dari kesucian para

penarinya, dimana para penari yang

dipilih benar benar memiliki aura

kesucian secara sekala dan niskala,

secara sekala kesucian ini dilihat dari

kesucian jasmaninya, artinya dalam

proses para penari diberikan upacara

penyucian terlebih dahulu, sedangkan

secara niskala pemilihan ini dipilih

melalui metunyang atau atas pilihan

Ida Bhatara-Bhatari lewat para

pemangku. Mengingat yang dipuja

adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa

yang maha suci, maka hendaknya

sarana pemujaan dan para bhakta

pun dalam keadaan suci atau bersih.

Hendaknya segala sesuatu mesti

dibersihkan dengan tujuan

meningkatkan atau menjaga nilai

kegunaannya. Memerhatikan sloka di

atas, maka pementasan Tari Baris

Kupu-Kupu untuk menyucikan

Bhuana Alit dan Bhuwana Agung

karena tarian ini dipilih dan diproses

melalui proses penyucian. Dengan

adanya prosesi penyucian ini maka

diyakini Tari Baris Kupu-Kupu memiliki

nilai-nilai kesucian dan mampu

menyucikan alam semesta beserta

isinya.

2) Aspek Ungkapan Terima Kasih

Suatu pemahaman yaitu hendaknya

manusia selalu memuja dan

mendekatkan diri dengan Ida Sang

88

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018

Hyang Widhi Wasa, karena itu

merupakan ungkapan kasih kepada-

Nya. Pementasan Tari Baris Kupu-

Kupu di Desa Bungkulan juga sebagai

ungkapan terima kasih kehadapan Ida

Sang Hyang Widhi Wasa atas segala

waranugrah-Nya. Selain bentuk rasa

terima kasih kepada Tuhan juga

sebagai bentuk syukur kepada lelhhur

dan raja terdahulu yang sudah

memberikan keturunannya dan

masyarakatnya keselamatan, daerah

dan tempat yang subur, makmur dan

perlindungan sejak zaman dahulu

sehingga sekarang masyarakat atau

keturunannya menikmati. Dengan

demikian masyarakat wajib

memberikan persembahan kepada

Tuhan, para dewa dan leluhur

persembahan yang suci agar selalu

dalam lindunganya.

3) Aspek Budaya

Tari Baris Kupu-Kupu sebagai

pelestarian unsur seni dan budaya.

Hal ini dikarenakan tari tersebut

merupakan produk budaya dari

masyarakat di Desa Pakraman

Bungkulan yang disakralisasikan

dalam pementasannya. Selanjutnya

juga dinyatakan bahwa kesenian ini

merupakan warisan dari leluhur yang

memiliki unsur religi dalam

pelaksanaan upacara pujawali,

dimana dalam konsep

pelaksanaannya selalu berlandaskan

pada konsep desa dresta dan kuna

dresta yang tetap berlandaskan pada

nilai-nilai ajaran agama Hindu.

Mencermati penjelasan di atas bila

kita kaitkan dengan sumber susastra

yang ada, yaitu menurut Subagiastha

(1997:64) menegaskan bahwa segala

konsep pelaksanaan agama Hindu di

Bali selalu bertalian dengan dresta

yang ada, dengan demikian apa pun

jenis dresta yang dilaksanakan patut

dipertahankan demi

mempertahankan nilai-nilai budaya

yang ada, oleh karena itu maka dapat

dicermati bahwa pementasan Tari

Baris Kupu-Kupu merupakan suatu

wahana dalam pelestarian nilai seni

dan budaya yang ada di Bali.

4) Aspek Estetis Relegius

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

mengandung unsur keindahan, hal ini

dapat diperhatikan dari gerakan para

penari yang dibentuk sedemikian rupa

sehingga ketika dilakukan

pementasan membuat umat yang

melihatnya merasa terpesona. Unsur

seni lain yang terkandung dapat

dilihat dari tata cara penggunaan

pakaian dan tata rias penari yang

melambangkan nilai-nilai keindahan.

5) Aspek Pendidikan

Aspek pendidikan sangatlah jelas

dalam pementasan ini yaitu

mengajarkan kepada masyarakat

bahwa dengan persatuan dapat

mengalahkan segala permasalahan,

dengan persatuan dapat membangun

suatu masyarakat yang kuat dan

makmur. Selain itu terdapat aspek

mencerdaskan masyarakat dalam

menghadapi segala permasalahan

harus selalu memohon petunjuk restu

atau berkah dari Tuhan, para dewa

dan leluhur terlebih dahulu baik

pekerjaan apaun yang dilakukan agar

selalu dalam keadaan selamat dan

sesuai dengan tujuan.

6) Aspek Sosiologis

Aspek yang sangat penting dalam

pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini

adalah membangun jiwa-jiwa

89

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018

masyarakat tentang kehidupan

bersama-sama membagun

masyarakat dan keluarga yang rukun,

damai dan sejahtera. Tari yang

dipentaskan saat upacara suci

mengakibatkan masyarakat lebih

menyakini dan memahami isi

pementasan yaitu mengenai

kewajiban mempertahankan

kerukunan antara sesama sebagai

bentuk bhakti kepada leluhur

terdahulu yang sudah memberikan

tempat, wilayah dan tempat tinggal

agar terus dijaga dengan baik.

Kehidupan sosial orang bali yang

terkenal dengan ramah, baik saling

membantu itulah yang tersirat dalam

pementasan tari Baris Kupu-kupu ini

selain dari aktivitas nyatanya dengan

kepengurusan tari Baris Kupu-kupi

dan berkaitan dengan kelompok

musik, kelompok upacara dan

sebagainya sehingga timbul suatu

keakraban antara kelompok kesenian

sehingga berdampak baik seluruh

masyarakat alinnya.

7) Aspek Untuk Memohon Kesuburan

Melalui ritual yang dilaksanakan

dalam pementasan Tari Baris Kupu-

kupu adalah merupakan simbolisasi

terhadap harapan masyarakat agar

tercapainya kesejahtraan dan

kesuburan dalam hidup ini,

kesejahtraan serta kesuburan adalah

sebagai bentuk keyakinan

masyarakat. Kesuburan dan

kesejahtraan masyarakat akan

dengan mudah tercapai apabila

masyarakat mampu menjaga

keselarasan hubungan dalam konsep

Tri Hita Karana. Kesuburan dan

kesejahtraan dalam kehidupan

manusia di dunia akan dapat tercapai

apabila diawali dengan menjaga

keharmonisan hubungan manusia

dengan tuhannya. Jika Manusia

mampu menjaga hubungan manusia

dengan tuhan yang diwujudkan

dengan mengaplikasikan ajaran

ajaran agama yang dianutnya

sehingga manusia memiliki kesadaran

mental dan jasmani sehingga manusia

mampu menyadari hakikat dirinya

adalah sama dimata Tuhan. Setelah

kesadaran akan dirinya muncul, maka

dia akan mampu menjaga hubungan

yang harmonis antara manusia

dengan manusia lainnya serta mampu

menjaga hubungan yang harmonis

antara manusia dengan alam

sekitarnya. Jadi, kesejahtraan dan

kesuburan hidup manusia adalah

merupakan wujud nyata dari

keharmonisan konsep Tri Hita Karana.

Tari Baris Kupu-kupu merupakan

salah satu simbol kemakmuran,

karena di dalam masyarakat yang

makmur maka semua mahluk hidup

akan dapat hidup secara

berdampingan.

Implikasi Nilai Religius dalam

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

1) Implikasi Tri Hita Karana

Kerukunan umat beragama dari aspek

Prahyangan atau hubungan manusia

dengan Tuhan dapat dilihat dari

hubungan harmonis pada masyarakat

melaksanakan persembhayangan di

Pura Dalem Dasar yang terdapat di

Desa Pakraman Bungkulan dan pura-

pura lainnya pada hari-hari besar

keagamaan maupun hari-hari

tertentu seperti purnama dan tilem,

masyarakat sangat antusias untuk

mempersiapkan dan melaksanakan

rangkaian upacara dan upakara. Hal

lain dapat juga dilihat dari semangat

90

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018

masyarakat dalam melaksanakan

Dana Punia untuk pembangunan

Pura, (2) kerukunan umat beragama

dari aspek Pawongan atau hubungan

manusia dengan manusia dapat

dilihat dari hubungan harmonis pada

saat upacara terlaksana di Desa

Bungkulan, seperti contoh pada saat

upacara tiga bulanan banyak

masyarakat menghadiri pelaksanaan

upacara tersebut dengan menghargai

dan menghormati serta menjaga

kelancaran pelaksanaan upacara, (3)

kerukunan umat beragama dari aspek

Palemahan atau hubungan manusia

dengan lingkungan dapat dilihat dari

hubungan harmonis pada saat

pelaksanaan kebersihan dan gotong

royong untuk menjaga kesehatan

lingkungan.

2) Implikasi Estetika

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

mengandung makna keindahan,

makna keindahan sangat jelas yaitu

perpaduan antara seni tari dengan

seni teater karena ada gerak tari

seperti tari gambuh yang klasik dan

ada juga doalog berupa tanya jawab

bahkan ada monolog yang dilakukan

oleh salah satu pemeran. Hal ini

menujukan keindahan kesenian ini

karena adanya perpaudan dua seni

yang sudah terjadi sejak masa silam

selain itu juga keindahan ini akan

mengispirasi kesenian yang lainnya.

Estetika ini bermakna

membangkitkan kejiwaan manusia

agar semakin halus dan bernilai

sertaberdaya guna yang lebih baik

dalam berkarya, bersosial serta

berbudaya, memiliki karakter yang

mulia.

Keindahan pada dasarnya dapat

membentuk suatu karakter manusia

cenderung menjadi lebih halus,

humoris dan damai, maka dari itu

tentunya implikasi Pementasan tari

Bari Kupu-Kupu ini memberikan

dampak pembentukkan karakter

manusia menjadi manusia yang

beradab, halus dan sopan. Manusia

dalam mewujudkan rasa bhaktinya itu

tidak akan merasa puas hanya dengan

mengucapkan tanpa dinyatakan

bhaktinya itu. Semua perasaan dan

ucapan itu dilahirkan dalam bentuk

nyata yaitu dalam bentuk tari,

sehingga pikiran dan perasaan yang

abstrak itu terlukis dalam bentuk

nyata ke dalam Bentuk atau gerak tari

yaitu Tari Baris Kupu-Kupu. Dari

kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa

seni itu terpusat pada hati nurani

manusia yang paling dalam.

3) Implikasi Kepemimpinan

Pemimpin yang memiliki karismatik

atau wibawa akan sangat

menentukan keberhasilannya untuk

menggerakkan dan memerintah

orang lain. Di berbagai pranata sosial

dari berbagai kultur kebudayaan,

kewibawaan masih dipandang

sebagai sesuatu yang sangat

dihormati, sehingga dengan berbagai

upaya seorang tokoh berusaha untuk

tampil berwibawa atau paling tidak

akan dianggap berwibawa. Tari baris

Kupu- Kupu ini adalah konsep

kepemimpinan yang cerdik dan

bijaksana dalam menyelesaikan suatu

permaslahan. Terkadang setiap orang

gampang putus asa dalam

menghadapi masalah karena hanya

mengandalkan kepintarannya saja

91

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018

tanpa memikirkan kecerdikan, berupa

akal, siasat, dan sebagainya yang

tentunya ke arah yang baik tidak

merugikan orang lain. Dengan

kecerdasan segala permasalahan

akan bisa diselesaikan, hal inilah yang

tersirat dalam pementasan tari baris

demang agar manusia mampu

menyadari bahwa setiap manusia

sebenarnya adalah pemimpin baik

memimpin dirinya sendiri dan orang

lain dalan keluarga kecil, besar,

masayrakat, kelompok sampai

negara, amak manusia tersebut harus

cerdas dan cerdik dalam melihat

masalah dan mencari jalan keluarnya.

4) Implikasi Tattwa

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu

menyatakan bahwa Baris Kupu-kupu

biasanya dipentaskan dalam

rangkaian upacara Pujawali di Pura

Dalem Dasar Banjar Sema Desa

Bungkulan, yang digunakan sebagai

penyempurna pelaksanaan yajña.

Disamping itu yajña hanya bias

terlaksana jika didahului dengan

pementasan Tari Baris Kupu-kupu, hal

ini ditegaskan secara tattwa atau

hakikatnya bertujuan untuk

menurunkan atau menghadirkan Ida

Bhatara yang bersthana di Pura

Dalem Dasar dengan maksud supaya

mau menerima segala persembahan

yajña.

Dilihat dari segi tattwanya,

pementasan Tari Baris Kupu-kupu

yang merupakan tarian sakral dalam

ritual keagamaan sangat penting

untuk dilaksanakan, karena tarian

sakral adalah personifikasi dari sikap

mudra, Kenyataan ini sesuai dengan

sejarah tari sakral, secara mitologinya

diciptakan oleh Dewa Brahma dan

sebagai dewa tarinya adalah Dewa

Siwa yang dikenal dengan tarian

kosmisnya yaitu Siwa Natya Raja.

Pada saat itu Dewa Siwa memutar

dunia ini dengan gerakan mudra yang

memiliki kekuatan gaib, dengan

isyarat dari sikap tangan, tubuh dan

kaki maka kekuatan gaib dari dewa-

dewa dan Alam Semesta akan ditarik

seperti seorang hipnotoseur

menggerakkan objeknya. Setiap sikap

tangan dan gerakan anggota

tubuhnya memberikan arti dan

mengandung kekuatan, sehingga

tarian ini tidak semata-mata

mementingkan keindahan rupa

ataupun pakaian tetapi juga

didasarkan pada arti sikap sikap

simbolik dari berbagai jenis gerakan

mudra yang ditampilkan dari tarian

tersebut .

5) Implikasi Etika

Nilai ethika yang terdapat dalam

pementasan tari baris Kupu-kupu ini

adalah nilai ketulusan, Pementasan

Tari Baris Kupu-kupu yang dilakukan

oleh umat Hindu di pura Dalem Dasar

Desa Bungkulan ini dibawakan

dengan didasari oleh rasa tulus ikhlas

ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, ketulusan hati para penari ini

akan memberikan pahala yang sangat

besar kepada masyarakat desa

bungkulan pada umumya dan para

penari serta para penabuh pada

khususnya. Adapun nilai etika yang

bias dipetik dari pementasan Tari

Baris Kupu-kupu yaitu dari tempat

pementasannya yang dilaksanakan di

utama mandala, karena secara etika

segala jenis tarian yang bersifat sakral

mesti dipentaskan di utama mandala.

92

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018

6) Implikasi Psikologis

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu

sebagai bagian dari kesenian sakral selalu

dikaitkan dengan aspek teologis sehingga

bias dimaknai sebagai suatu pesembahan

yang bias menghantarkan bhakti umat

Hindu ke hadapan Sang Hyang Hyang

Widhi Wasa. Disamping itu dapat

digunakan untuk menjaga kedamaian

dan ketengan pikiran umat Hindu dalam

melaksanakan yajña. Dengan demikian

secara psikologis umat Hindu dituntut

untuk selalu percaya tentang kesakralan

Tari Baris Kupu-kupu dan supaya

mementaskannya setiap pelaksanaan

upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar.

7) Implikasi Religiusitas

Keberadaan Tari Baris Kupu-Kupu di

Pura Dalem Dasar sebagai hasil

budaya spiritual Hindu mengandung

unsur kesakralan, terlihat dari bentuk

Tarian yang masih bersifat alami dan

penokohan serta maksudnya yang

berbeda dengan tari lainnya.

Keeksisan Tari Baris Kupu-Kupu ini

masih sangat bersifat alami karena

masyarakat di Desa Pakraman

Bungkulan tidak berani tidak

dipentaskan pada upacara Piodalan

agung di Pura Dalem Dasar, hal

tersebut didasari oleh konsepsi supra

natural power yaitu kekuatan dari luar

batas kemampuan manusia,

fenomena tersebut mencerminkan

bahwa Tari Baris Kupu-Kupu sebagai

hasil budaya spiritual Hindu yang di

wariskan secara turun-temurun tidak

boleh di rubah keberadaanya namun

tetap dilestarikan dengan tidak

menghilangkan atau merubah unsur-

unsur yang terkandung di dalamnya,

baik dari segi bentuk arsitektur dan

keberadaanya, yang perlu di

tingkatkan adalah spiritual di dalam

diri masyarakat desa Pakraman

Bungkulan untuk mewaris

pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di

Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman

Bungkulan dengan upaya

kebersaman, untuk meningkatkan

rasa spiritual keagamaan masayarakat

secara relegius.

PENUTUP

Kesimpulan

Tari Baris Kupu-kupu di Pura

Dalem Dasar Banjar Sema, Desa

Bungkulan, Kecamatan Sawan memiliki

beberapa aspek-aspek religius, yaitu

sebagai berikut: (1) aspek penyucian,

maksudnya memohon kesucian dalam

pelaksanaan upacara pujawali supaya

tidak terjadi gangguan. (2) aspek

ungkapan terima kash yaitu dengan

pementasan ini bukti rasa syukur

terhadap tuhan telah diberikan

keindahan (3) aspek budaya yaitu tari

bari Kupu-kupu ini unutk menjaga

budaya dan tradisi local desa Bungkulan.

(4) aspek estetis religious yaitu tari ini

membangkitkan keyakinan dari

pementasan seni (5) aspek pendidikan

tentunya tari ini mmeberikan pendidika

budaya dan agama kepada umat Hindu

dan pendidikan lainnya. (6) aspek

sosiologis yaitu tari ini memberikan

keberuntungan unutk meningkatkan

rasa sosial sesama umat Hindu untuk

bergotong royong. (7) aspek memohon

kesuburan yaitu dengan pementasan tari

ini sekaligus umat memohon kesuburan

baik kesuburan pertanian, perkebuanan

dan kelautan.

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu

mengandung implikasi nilai religiusitas

yang sangat tinggi, diantaranya (1)

Implikasi Tri Hita Karana yaitu

pementasan ini akan mengharmoniskan

hubungan manusia dengan Tuhan,

Manusia dengan sesame manusia dan

manusia dengan alam. (2) Implikasi sikap

93

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018

bhakti yaitu dengan adanya kesakralan

tari ini menimbulkan sikap mencintai dan

berbhakti. (3) Implikasi sosial budaya

yaitu dengan pementasan ini

menimbulakan rasa bersama-sama

menjaga warisan budaya leluhur. (4)

Implikasi estetika yaitu dengan

pementasan tari ini menimbulkan rasa

mencintai keindahan shingga muncul

pelaku seni yang baru. (5) Implikasi

kesakralan tari yaitu dengan terus

dipentaskan setiap pujawali akan

menimbulkan keyakinan dan kesakralan

pada tari. (6) implikasi kepemimpinan

yaitu dalam pementasan tari Baris Kupu-

kupu ini diajarkan sebagai seorang

pemimpin sehingga banyak muncul

pemimpin dari desa Bungkulan. (7)

Implikasi tatwa yaitu dengan adanya tari

ini masyarakat memiliki pengetahuan

tentang seni dan agama Hindu. (8)

Implikasi ethika dapat dilihat dari

ketulusan dan tempat pementasan yang

selalu mengacu pada nilai sakralisasi

suatu kegiatan yaitu dilakukan di utama

mandala, (9) Implikasi psikologis yaitu

berdampak pada kejiwaan umat Hindu

yang senantiasa mencintai dan menjaga

budaya dan agama Hindu. (10) implikasi

religiusitas yaitu berdampak pada sradha

dan bhakti umat di desa bungkulan.

Saran

Kepada peneliti selanjutnya diharapkan

agar bersedia meneliti kembali tentang

pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura

Dalem Dasar Banjar Sema Desa

Bungkulan, Kecamatan Sawan

Kabupaten Buleleng agar nantinya dapat

diketemukannya suatu pemecahan yang

lebih spesifik demi pemahaman yang

lebih jelas untuk dimasa yang akan

datang.

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura

Dalem Dasar Banjar Sema Desa

Bungkulan, Kecamatan Sawan

Kabupaten Buleleng, karena tradisi ini

mengacu pada susastra Hindu, yang

apabila dilanggar akan menyebabkan

malapetaka bagi orang yang

melanggarnya maupun desa yang

bersangkutan, maka hendaknya

dipertahankan sebagai sebuah nilai seni

budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra. I Nyoman Arjana. 2015.

Pementasan Tari Baris Mamedi

dalam Upacara Ngaben di

Kecamatan Penebel Kabupaten

Buleleng. Tesis: IHDN Denpasar.

Ali H, Muhammad. 1992. Guru Dalam

Proses Belajar Mengajar.

Bandung: Sinar Bayu.

Ardana. 2000. Pura Kahyangan Tiga.

Pemprop Bali.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur

Penelitian. Edisi Revisi 5.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Arikunto Suharsini, 2006. Prosedur

Penelitian Sutau Pendekatan

Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Aryasa, I Wayan Madra. 1996. Seni

Sakral. Jakarta: Direktorat

Jendral Bimbingan Masyarakat

Hindu dan Budha.

Atmaja, I Gusti Ngurah Made Arya Putra.

2008. Nilai Pendidikan Agama

Hindu dalam Pementasan Tari

Ngigel Desa Pada Upacara

Ngusaba Desa Sarin Tahun di

Desa Padangbulia Kecamatan

Sukasada Buleleng.

Azwar, Saifuddin. 1999. Metode

Penelitian. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Bandem, I Made. 1996. Tari Bali.

Yogyakarta: Kanisius.

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi

Penelitian Sosial, Format-

94

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018

format Kuantitatif dan

Kualitatif. Surabaya: Airlangga

University Press

Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan

Agama Hindu Sekolah

Menengang. Jakarta.

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Depdikbud. 2004. Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta:

Departemen Pendidikan

Nasional.

Dibia, I Wayan. 1999. Seni Diantara

Tradisi dan Moderenisasi.

Denpasar: Institut Seni

Indonesia.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi

Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.

Djelantik, A.A.M. 1992. Pengantar Dasar

Ilmu Estetika Jilid II Falsafah

Keindahan dan Kesenian.

Denpasar: STSI Denpasar

Gay, Liang.2001.Garis Besar Estetik

(Filsafat Keindahan).

Yogyakarta: Karya.

Geriya, I Wayan, 2008. Transformasi

Kebudayaan Bali: Memasuki

Abad XXI. Surabaya: Paramita.

Golu, W. 2002. Metodelogi Penelitian.

Jakarta: PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Granoka, Ida wayan, 1997. Memori Bajra

sandhi – Perburuan Ke Prana

Jiwa, Denpasar: Sanggar Bajra

sandhi.

Iqbal, Hasan. 2002. Metodologi

Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Jaman, I Gede, 2006. Tri Hita Karana:

Dalam Konsep Hindu, Denpasar:

PustakaBali Post

Juliari Putu Ayu Dewa, 2007.

Profesionalisme Guru Dalam

Pembelajaran. Insan, Cendikia,

Surabaya.

Kadjeng. I Nyoman. 2003.

Sarasamuscaya. Surabaya:

Paramita.

Koentjaraningrat.1980. Beberapa Pokok

Antropologi Sosial. Jakarta:Dian

Rakyat.

Koentjaraningrat. 1982. Antropologi I.

Jakarta: Djambatan

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori

Antropologi I. Jakarta.

Universitas Indonesia Pers.

Koentjaraningrat. 1997. Pengantar

Antropologi Pokok-Pokok

Etnografi II. Jakarta Rineka

Cipta.

Licin, I Nyoman. 1996. Tinjauan

Pertunjukan Tari Baris Kupu-

kupu dalam Pelaksanaan

Upacara Dewa Yajna di Desa

Lumbanan, Kecamatan

Sukasada, Kabupaten Buleleng.

Margono. 1996. Metodologi Penelitian

Pendidikan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Mikkelsen, Britha, 1999. Metode

Penelitian Partisipatoris dan

Upaya-upaya Pemberdayaan,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Moleong, Lexy. J. 1993. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi

Penelitian Kualitatif Edisi Revisi

I. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Moleong, Lexy. J. 2004. Metodologi

Penelitian Kualitatif Edisi Revisi

II. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Nasikum.2003. Sistem Sosial Indonesia.

Jakarta: PT. Raja Grafindo

persada.

Nasution, S. 1996. Berbagai Proses

dalam Proses Belajar dan

95

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018

Mengajar. Jakarta: PT Bumi

Aksara

Nasution, S. 2003. Metode Research

(Penelitian Ilmiah). Jakarta:

Bumi Aksara.

Nawawi, Hadari. 2005. Metode

Penelitian Bidang Sosial.

Jakarta: Gadjah Mada

University Press.

Ngurah, dkk. 1999. Agama Hindu Untuk

Perguruan Tinggi. Surabaya:

Paramita.

Nurjanah, Nunuy at. Al. 2000. Pelaporan

Penelitian Kualitataif

(Kumpulan Makalah). Bandung:

Program Pengembangan

Bahasa S-3. Universitas

Pendidika Indonesia.

Pals, Daniel. L. 2002. Dekonstruksi

Kebenaran. Yogyakarta:

IRCisoR.

Parmajaya, I Putu Gede. 2007. Seni

Sakral. Denpasar: Fakultas

Dharma Acarya Institut Hindu

Dharma Negeri Denpasar.

Poerwadarminto. 1993. Kamus Umum

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Pudja, Gede. 2005. Bhagavadgita.

surabaya: Paramita.

Pudja, G & Tjokorda Rai Sidharta. 2002.

Manawa Dharmacastra (Manu

DharmaSastra). Jakarta: CV.

Pelita Nursamtama Lestari.

Redana, Made, 2006. Panduan Praktis

Penulisan Karya Ilmiah dan

Proposal Riset IHDN Denpasar.

Riduwan, 2004. Belajar Mudah

Penelitian untuk Guru,

Karyawan dan Peneliti Pemula.

Bandung: Alfabet.

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma

Penelitian Sosial (dari Denzin

Guba dan Penerapannya)

Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Sudikan, Setya Yuwana, 2001. Metode

Penelitian Kebudayaan.

Yogyakarta: Uresa Unipress

bekerja sama dengan Citra

Wacana.

Soebandi, I Ketut. 1983. Sejarah

Pembangunan Pura-pura di

Bali. Denpasar: Kayu Mas

Agung.

Soebandi, I Ketut. 1986. Babad Gusti

Ngurah Tambahan. Bungkulan

Soemargono, Soejono. 2004. Louis O.

Kattsoff. Pengantar Filsafat.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suardika, I Komang. 2011. Pementasan

Tari Kakelik Pada Upacara

Piodalan Di Pura Gede Pemayun

Desa Pakraman Banyuning

Kecamatan Buleleng Kabupaten

Buleleng (Kajian Bentuk, Fungsi,

dan Makna)”. Tesis IHDN

Denpasar

Sudharta, Tjok Rai. 2001. Upadesa

Tentang Ajaran-ajaran Agama

Hindu. Surabaya: Paramita.

Sudirga dkk.2007. Widya dharma Agama

Hindu. Ganeca Exact.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian

Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian

Pendidikan Pendekatakan

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

bandung: Alfabeta.

Subagiasta, I Ketut. 1996. Acara Agama

Hindu (Modul). Jakarta:

Departemen Agama dan

Universitas Terbuka.

Sukerta, Made. 2008. Kajian Pendidikan

Keberagamaan dalam Upacara

Ngrebeg di Pura Dalem Desa

Pakraman Belayu, Kecamatan

Marga, Kabupaten Tabanan.

Susanto,P. Hari. 1987. Mitos Menurut

Pemikiran Mircea Elliade.

Jakarta: Kanisius.

96

WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018

Suprayoga dan Tobroni. 2001.

Metodologi Penelitian Sosial-

Agama. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Suparsa, Kadek. 2008. Pementasan Tari

Barong Brutuk pada Saat

Purnama Kapat Lanang di Pura

Puseh Baleagung Desa

Pakraman Trunyan, Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli.

Sura, dkk. 1999. Agama Hindu Sebuah

Pengantar. Denpasar: CV

Kayumas Agung.

Tim Penyusun, 1998. Himpunan

Keputusan Seminar Kesatuan

Tafsir Terhadap Aspek-Aspek

Agama Hindu I - XV. Pemerintah

Provinsi Bali.

Tim Penyusun , 2002. Kamus Istilah

Agama Hindu. Pemerintah

Provinsi Bali.

Tim Penyusun , 2000. Tari Wali.

Denpasar: Dinas Kebudayaan

Propinsi Bali.

Tim Penyusun,1992. Kamus Besar

Bahasa Indonesia Edisi Kedua.

Jakarta: Departemen

Pendidikan Dan Kebudayaan.

Tim Redaksi Bali Post, 2006. Mengenal

Pura Sad Kahyangan &

Kahayangan Jagat. Denpasar:

Pustaka Bali Post

Titib. I Made. 2003. Teologi dan Simbol-

simbol Dalam Agama Hindu.

Surabaya: Paramita.

Triguna, Ida Bagus Nyoman Yudha (ed).

1997. Sosiologi Hindu. Dirjen

Bimas Hindu dan Budha.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2006, tentang Standar Isi

Satuan Pendidikan Dasar dan

Menengah.

Wiana, I Ketut, 1995. Yajna dan Bhakti:

Dari Sudut Pandang Hindu.

Denpasar: Pustaka Manikgeni.

Wiana, I Ketut. 1997. Cara Belajar Agama

Hindu Yang Baik. Denpasar:

Yayasan Dharma Naradha.

Wiana, I Ketut. 2000. Makna Upacara

Yajna Dalam Agama Hindu.

Surabaya: Paramitha.

Wijayananda, 2004. Makna filosofis dan

Upakara. Surabaya: Paramitha

Yudhabakti, I Made & Watra, I Wayan.

2007. Filsafat Seni Sakral dalam

Kebudayaan Bali. Surabaya:

Paramita

Yuliani, Ni Made. 2011. Upacara Ngunya

Barong Pada Sasih Kanem di

Desa Pakraman Abiansemal

Dauh Yeh Cani, Kecamatan

Abiansemal, Kabupaten Badung

(Kajian Sosio - Religius). Tesis

IHDN Denpasar.