Religiusitas Pementasan Tari Baris Kupu-kupu pada Upacara ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of Religiusitas Pementasan Tari Baris Kupu-kupu pada Upacara ...
84
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018
Religiusitas Pementasan Tari Baris
Kupu-kupu pada Upacara Pujawali di Pura
Dalem Dasar Banjar Sema Desa Pakraman
Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten
Buleleng
Dewa Ketut Wisnawa
Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar
Abstract
Bali is an island rich in cultural and religious art. One of the most famous
religious artworks in Bali is the Butterfly Row Dance. Butterfly Row Dance
is a sacred dance that is only found in Buleleng Bungkulan village. This
study aims to find out in detail how the staging structure, means of staging,
history, values and tingkan religiosity of society in the village of Bungkulan.
Based on the results of the research, it is known that the Butterfly Dance
has several religious aspects such as the purification aspect, the aspect of
expression of gratitude, the cultural aspect, the aesthetic aspect of the
religious, the sociological aspect, the aspect of pleading fertility. In
addition, Butterfly Rice Dance contains the implications of high religious
values such as Tri Hita Karana Implication, bhakti attitude implications,
sociocultural implications, aesthetic implications, sacred implications,
leadership implications, tatwa implications, ethical implications,
psychological implications, and the implications of religiosity.
Keywords Tari Baris Kupu-kupu; Hindu Ritual; Religiousity; Tri Hita Karana
PENDAHULUAN
Karya seni dan budaya Bali pada
awalnya muncul sebagai suatu
kewajiban yang patut dilaksanakan oleh
kelompok profesi tertentu dalam upaya
mempersembahkan bakti yang
sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan
keagamaan (Granoka, 1998:35). Tarian
dan karawitan diciptakan untuk
mengungkap ekspresi kebahagiaan
menyambut turunnya para Dewata pada
saat pelaksanaan upacara di Pura, seni
rupa yang diterjemahkan dalam lukisan
dan pahatan selalu tampil dalam
berbagai kelengkapan asesoris yang
tercermin dalam arsitektur bangunan
tempat suci, sajen sebagai sarana untuk
JURNAL ILMIAH ILMU AGAMA DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
85
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018
menyambung komunikasi spiritual,
sedangkan nyanyian kidung
dikumandangkan untuk mengungkapkan
puja dan puji atas kesejahteraan yang
dilimpahkan para Dewata.
Wujud seni pada setiap upacara
atau yajña sebagian besar berdasarkan
pada tradisi masing-masing daerah.
Kebiasaan adat setempat ikut
memberikan pengaruh terhadap variasi
pelaksanaan ajaran agama. Sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran pokok
agama Hindu, tidaklah merupakan
hambatan bagi perkembangan agama
Hindu itu sendiri. Rasa toleransi serta
supelnya agama Hindu terhadap adat
kebiasaan setempat telah terpelihara
dengan baik, sejak mulai masuknya
agama Hindu di Indonesia sampai
sekarang. “Agama Hindu dengan
ajarannya untuk mendekatkan diri
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, ada
empat jalan yang disebut Catur Marga,
yakni Karma marga dengan berbuat
tanpa memperhitungkan hasil, Bhakti
marga dengan jalan menyerahkan diri
kepada-Nya, Jnana marga dengan
mempelajari, mengamalkan ilmu
pengetahuan yang benar dan Raja
marga dengan jalan pemusatan pikiran
melalui tapa, brata” (Titib, 2001:45).
Penggunaan tari dalam sistem
pemujaan sebagaimana dikenal dalam
lingkungan umat Hindu di Bali bukan
sebagai unsur pemeriah ritual, tetapi
lebih dari pada itu tari-tarian digunakan
dalam mengiringi ritual berfungsi
sebagai simbol metafisik yang mewakili
hal yang transendental. Tari memiliki
fungsi simbolik untuk mengilustrasikan
aktivitas Tuhan seperti gambaran atau
diilustrasikan dalam lukisan atau patung
Siwa Nataraja. Dalam berbagai literatur
dinyatakan bahwa gendang yang ada di
leher tongkat Trisula Siwa
melambangkan pertama atau dentuman
yang terjadi pada awal penciptaan.
Sedangkan api yang ada di tangan kiri
merupakan simbol bahwa suatu saat
bumi ini dihancurkan atau di pralina
kembali seperti awal penciptaan.
Pendapat seperti itu
memperkuat anggapan bahwa agama
dan budaya dalam perjalanan sejarahnya
selalu bersinergi. Kesenian tari Baris
Kupu-Kupu sebagai produk budaya Bali,
selalu dikaitkan dengan agama.
Fenomena itu bisa dipahami, karena
sebagaimana dikemukakakan Titib
(2007) di Bali sinergi agama Hindu
dengan budaya Bali mampu
meningkatkan dan mengembangkan
kualitas budaya Bali itu sendiri. Dalam
sinergi itu, tampak agama Hindu sebagi
titik sentral atau pusat yang menjiwai
semua aspek budaya Bali. Agama Hindu
bersinergi melalui : (1) Sistem bahasa,
yakni bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno;
(2) Sistem pengetahuan; (3) Sistem sosial
seperti desa pakraman dan subak; (4)
Sistem peralatan hidup dan teknologi; (5)
Sistem mata pencaharian masyarakat;
(6) Sistem religi, yaitu agama Hindu
menghargai kepercayaan local, dan (7)
Sistem kesenian seperti seni wali atau
sakral, seni bebali atau dapat berfungsi
sebagai seni sakral, dapat pula untuk
kegiatan profan, dan seni balih-balihan
atau hanya untuk hiburan.
Pementasan Tari Baris Kupu-
Kupu dapat dilogikakan secara nyata
hingga saat ini dengan masa kekinian
atau modern masih tetap dipertahankan
sebagai suatu tradisi secara turun
temurun, tentu di dalam tradisi tersebut
terdapat bentuk dan nilai-nilai yang
terkandung. Dengan demikian, tari ini
seolah menjadi tradisi yang terkenal dan
dipandang oleh kalangan masyarakat
setempat. Cara pandang masyarakat
86
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018
tersebut tentu berbeda-beda, ada yang
memandang tradisi tersebut secara utuh
baik filosofi, etis, dan estetis. Aspek
filosofi memandang tradisi tersebut dari
sudut bagaimana terjadinya,
pelaksanaan serta sarana, dan prasarana
dalam melaksanakan tradisi tersebut.
Masyarakat yang memandang dari segi
etis dan estetis tentu aspek etika dan
keindahan dari tradisi tersebut yang
menjadi pusat perhatian.
Tari Baris Kupu-Kupu merupakan
tari yang unik dan sakral yang hanya
terdapat di Desa Bungkulan sesuai
dengan aslinya menggunakan sarana
yang tradisional. Sebab, sekarang ini
sudah terdapat tarian yang sejenis yaitu
tari kreasi kupu-kupu tetapi sudah
dimodifikasi sedemikian rupa. Namun,
Tari Baris Kupu-Kupu yang ada di Desa
Bungkulan masih seperti aslinya yaitu
sarananya masih menggunakan pakaian
sederhana dan dari daun kelapa yang
sudah kering dibentukkan menyerupai
sayap kupu-kupu. Bentuk tariannya
masih didominasi dengan bentuk tarian
yang masih kuno dan terkesan
gerakannya meniru gerakan kupu-kupu.
Tentunya hal ini sangat menarik
perhatian pelaku seni dan ilmuan untuk
meneliti dan mengamati lebih dalam,
demikian juga dengan penelitian ini akan
berusaha mengamati dan meneliti lebih
dalam untuk mengungkapkan secara
rinci bagaimana struktur pementasan,
sarana pementasan, sejarah, nilai-nilai
dan tingkan religiusitas masyarakat di
Desa Bungkulan.
Sehubungan dengan hal di atas,
Desa Bungkulan sebagai lokasi penelitian
ini dilakukan yaitu di Banjar Sema, dalam
pelaksanaan upacara agama selalu
mementaskan Tari Baris Kupu-Kupu pada
saat upacara pujawali akan berlangsung.
Sampai sekarang pelaksanaan tari
tersebut tetap menjadi bagian dari
kegiatan keagamaan umat Hindu di
Bungkulan khususnya di Pura Dalem
Dasar, tetapi jika dicermati labih dalam
pelaksanaan Tari Baris Kupu-Kupu di
Desa Pakraman Bungkulan berbeda
dengan daerah lain salah satu yang dapat
dicermati dari perbedaan tersebut yakni
dalam pementasan tari ini di Pura Dalem
Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan
selalu menggunakan pelepah daun
kelapa sebagai sarana untuk pelaksaan
tarian, ini bertujuan untuk penggunaan
sarana seolah-olah kupu-kupu dalam
tarian memiliki alamnya sendiri sehingga
berkaitan dengan kehidupan kupu-kupu
yang sebenarnya, hal ini yang
mencerminkan pementasannya unik.
PEMBAHASAN
Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu
Tari Baris Kupu-Kupu merupakan
salah satu bentuk seni klasik Bali yang
mempunyai bentuk-bentuk gerak yang
indah dan abstrak, sehingga mampu
mengantarkan imajinasi penonton ke
dalam bentuk ekspresi yang
digambarkan melalui gerak penarinya.
Tarian ini merupakan salah satu kesenian
tradisional dengan bentuk tarian sangat
berbeda kalau dibandingkan dengan
bentuk tari sakral lainnya. Sebelum
membahas satu persatu mengenai
bentuk pementasan maka akan
didefinisikan konsep pementasan.
Menurut Aryasa (1996:24) pementasan
dalam hubungannya dengan tari adalah
suatu pertunjukan tari atau seni gerak
tubuh manusia dalam suatu upacara
keagamaan. Adapun menurut Tim
penyusun (2002:117) menyatakan
pengertian pementasan sebagai
pergelaran, sehubungan dengan
pementasan tari dinyatakan sebagai
pembelajaran kesenian dalam yang
87
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018
diwujudkan dalam gerak tubuh manusia.
Dengan demikian, bentuk pementasan
Tari Baris Kupu-Kupu dalam upacara
Pujawali di Pura Dalem Dasar desa
Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten
Buleleng adalah sebagai berikut.
Tari Baris Kupu-kupu merupakan
salah satu bentuk tarian yang digunakan
untuk mengiringi sajian atau
persembahan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, beserta manifestasi beliau
yang dalam hal ini adalah Ida Bhatara-
Bhatari yang melinggih di Pura Dalem
Dasar, Desa Bungkulan, disamping itu
tarian ini juga dipersembahan kepada
para leluhur yang ngaturang ayah di
Pura Dalem Dasar ini, keyakinan tentang
tarian ini adalah merupakan tradisi yang
sudah diwarisi secara turun temurun.
Keyakinan masyarakat tentang tarian ini
sangat kuat, tarian ini haruslah
dipentaskan pada saat adanya Piodalan
di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan, hal
ini pernah terjadi pada suatu saat ketika
sedang berlangsung piodalan di Pura
Dalem Dasar tidak dipentaskan Tari Baris
Kupu-kupu akan tetapi diganti dengan
tarian yang lain sehingga mengakibatkan
adanya suatu wabah yang
berkepanjangan, sehingga masyarakat
merasa takut, lalu untuk
menaggulanginya maka dibuatlah
upacara Guru Pidukha di Pura Dalem
Dasar. Setelah kejadian itu masyarakat
tidak berani lagi untuk mengubah tradisi
yang sudah mereka warisi secara turun
temurun. Pementasan Tari Baris Kupu-
kupu hanya diselenggarakan pada saat
adanya piodalan di Pura Dalem Dasar.
Hal ini sudah merupakan keyakinan
bahwa setiap upacara tidak satupun
selesai tanpa disertakan Tari Baris Kupu-
kupu ini. Prosesi pementasan Tari Baris
Kupu-kupu dilaksanakan sebanyak dua
kali yaitu pada saat selesai ngaturang
banten piodalan dan pada saat diadakan
upacara pengelebar. Tarian ini di
pentaskan di Jeroan Pura, tepatnya di
ajeng linggih Ida Bhatara.
Aspek-Aspek Religius Tari Baris Kupu
Kupu
1) Aspek Penyucian
Proses untuk memperoleh kesucian
ini diawali dari kesucian para
penarinya, dimana para penari yang
dipilih benar benar memiliki aura
kesucian secara sekala dan niskala,
secara sekala kesucian ini dilihat dari
kesucian jasmaninya, artinya dalam
proses para penari diberikan upacara
penyucian terlebih dahulu, sedangkan
secara niskala pemilihan ini dipilih
melalui metunyang atau atas pilihan
Ida Bhatara-Bhatari lewat para
pemangku. Mengingat yang dipuja
adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang maha suci, maka hendaknya
sarana pemujaan dan para bhakta
pun dalam keadaan suci atau bersih.
Hendaknya segala sesuatu mesti
dibersihkan dengan tujuan
meningkatkan atau menjaga nilai
kegunaannya. Memerhatikan sloka di
atas, maka pementasan Tari Baris
Kupu-Kupu untuk menyucikan
Bhuana Alit dan Bhuwana Agung
karena tarian ini dipilih dan diproses
melalui proses penyucian. Dengan
adanya prosesi penyucian ini maka
diyakini Tari Baris Kupu-Kupu memiliki
nilai-nilai kesucian dan mampu
menyucikan alam semesta beserta
isinya.
2) Aspek Ungkapan Terima Kasih
Suatu pemahaman yaitu hendaknya
manusia selalu memuja dan
mendekatkan diri dengan Ida Sang
88
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018
Hyang Widhi Wasa, karena itu
merupakan ungkapan kasih kepada-
Nya. Pementasan Tari Baris Kupu-
Kupu di Desa Bungkulan juga sebagai
ungkapan terima kasih kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa atas segala
waranugrah-Nya. Selain bentuk rasa
terima kasih kepada Tuhan juga
sebagai bentuk syukur kepada lelhhur
dan raja terdahulu yang sudah
memberikan keturunannya dan
masyarakatnya keselamatan, daerah
dan tempat yang subur, makmur dan
perlindungan sejak zaman dahulu
sehingga sekarang masyarakat atau
keturunannya menikmati. Dengan
demikian masyarakat wajib
memberikan persembahan kepada
Tuhan, para dewa dan leluhur
persembahan yang suci agar selalu
dalam lindunganya.
3) Aspek Budaya
Tari Baris Kupu-Kupu sebagai
pelestarian unsur seni dan budaya.
Hal ini dikarenakan tari tersebut
merupakan produk budaya dari
masyarakat di Desa Pakraman
Bungkulan yang disakralisasikan
dalam pementasannya. Selanjutnya
juga dinyatakan bahwa kesenian ini
merupakan warisan dari leluhur yang
memiliki unsur religi dalam
pelaksanaan upacara pujawali,
dimana dalam konsep
pelaksanaannya selalu berlandaskan
pada konsep desa dresta dan kuna
dresta yang tetap berlandaskan pada
nilai-nilai ajaran agama Hindu.
Mencermati penjelasan di atas bila
kita kaitkan dengan sumber susastra
yang ada, yaitu menurut Subagiastha
(1997:64) menegaskan bahwa segala
konsep pelaksanaan agama Hindu di
Bali selalu bertalian dengan dresta
yang ada, dengan demikian apa pun
jenis dresta yang dilaksanakan patut
dipertahankan demi
mempertahankan nilai-nilai budaya
yang ada, oleh karena itu maka dapat
dicermati bahwa pementasan Tari
Baris Kupu-Kupu merupakan suatu
wahana dalam pelestarian nilai seni
dan budaya yang ada di Bali.
4) Aspek Estetis Relegius
Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu
mengandung unsur keindahan, hal ini
dapat diperhatikan dari gerakan para
penari yang dibentuk sedemikian rupa
sehingga ketika dilakukan
pementasan membuat umat yang
melihatnya merasa terpesona. Unsur
seni lain yang terkandung dapat
dilihat dari tata cara penggunaan
pakaian dan tata rias penari yang
melambangkan nilai-nilai keindahan.
5) Aspek Pendidikan
Aspek pendidikan sangatlah jelas
dalam pementasan ini yaitu
mengajarkan kepada masyarakat
bahwa dengan persatuan dapat
mengalahkan segala permasalahan,
dengan persatuan dapat membangun
suatu masyarakat yang kuat dan
makmur. Selain itu terdapat aspek
mencerdaskan masyarakat dalam
menghadapi segala permasalahan
harus selalu memohon petunjuk restu
atau berkah dari Tuhan, para dewa
dan leluhur terlebih dahulu baik
pekerjaan apaun yang dilakukan agar
selalu dalam keadaan selamat dan
sesuai dengan tujuan.
6) Aspek Sosiologis
Aspek yang sangat penting dalam
pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini
adalah membangun jiwa-jiwa
89
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018
masyarakat tentang kehidupan
bersama-sama membagun
masyarakat dan keluarga yang rukun,
damai dan sejahtera. Tari yang
dipentaskan saat upacara suci
mengakibatkan masyarakat lebih
menyakini dan memahami isi
pementasan yaitu mengenai
kewajiban mempertahankan
kerukunan antara sesama sebagai
bentuk bhakti kepada leluhur
terdahulu yang sudah memberikan
tempat, wilayah dan tempat tinggal
agar terus dijaga dengan baik.
Kehidupan sosial orang bali yang
terkenal dengan ramah, baik saling
membantu itulah yang tersirat dalam
pementasan tari Baris Kupu-kupu ini
selain dari aktivitas nyatanya dengan
kepengurusan tari Baris Kupu-kupi
dan berkaitan dengan kelompok
musik, kelompok upacara dan
sebagainya sehingga timbul suatu
keakraban antara kelompok kesenian
sehingga berdampak baik seluruh
masyarakat alinnya.
7) Aspek Untuk Memohon Kesuburan
Melalui ritual yang dilaksanakan
dalam pementasan Tari Baris Kupu-
kupu adalah merupakan simbolisasi
terhadap harapan masyarakat agar
tercapainya kesejahtraan dan
kesuburan dalam hidup ini,
kesejahtraan serta kesuburan adalah
sebagai bentuk keyakinan
masyarakat. Kesuburan dan
kesejahtraan masyarakat akan
dengan mudah tercapai apabila
masyarakat mampu menjaga
keselarasan hubungan dalam konsep
Tri Hita Karana. Kesuburan dan
kesejahtraan dalam kehidupan
manusia di dunia akan dapat tercapai
apabila diawali dengan menjaga
keharmonisan hubungan manusia
dengan tuhannya. Jika Manusia
mampu menjaga hubungan manusia
dengan tuhan yang diwujudkan
dengan mengaplikasikan ajaran
ajaran agama yang dianutnya
sehingga manusia memiliki kesadaran
mental dan jasmani sehingga manusia
mampu menyadari hakikat dirinya
adalah sama dimata Tuhan. Setelah
kesadaran akan dirinya muncul, maka
dia akan mampu menjaga hubungan
yang harmonis antara manusia
dengan manusia lainnya serta mampu
menjaga hubungan yang harmonis
antara manusia dengan alam
sekitarnya. Jadi, kesejahtraan dan
kesuburan hidup manusia adalah
merupakan wujud nyata dari
keharmonisan konsep Tri Hita Karana.
Tari Baris Kupu-kupu merupakan
salah satu simbol kemakmuran,
karena di dalam masyarakat yang
makmur maka semua mahluk hidup
akan dapat hidup secara
berdampingan.
Implikasi Nilai Religius dalam
Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu
1) Implikasi Tri Hita Karana
Kerukunan umat beragama dari aspek
Prahyangan atau hubungan manusia
dengan Tuhan dapat dilihat dari
hubungan harmonis pada masyarakat
melaksanakan persembhayangan di
Pura Dalem Dasar yang terdapat di
Desa Pakraman Bungkulan dan pura-
pura lainnya pada hari-hari besar
keagamaan maupun hari-hari
tertentu seperti purnama dan tilem,
masyarakat sangat antusias untuk
mempersiapkan dan melaksanakan
rangkaian upacara dan upakara. Hal
lain dapat juga dilihat dari semangat
90
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018
masyarakat dalam melaksanakan
Dana Punia untuk pembangunan
Pura, (2) kerukunan umat beragama
dari aspek Pawongan atau hubungan
manusia dengan manusia dapat
dilihat dari hubungan harmonis pada
saat upacara terlaksana di Desa
Bungkulan, seperti contoh pada saat
upacara tiga bulanan banyak
masyarakat menghadiri pelaksanaan
upacara tersebut dengan menghargai
dan menghormati serta menjaga
kelancaran pelaksanaan upacara, (3)
kerukunan umat beragama dari aspek
Palemahan atau hubungan manusia
dengan lingkungan dapat dilihat dari
hubungan harmonis pada saat
pelaksanaan kebersihan dan gotong
royong untuk menjaga kesehatan
lingkungan.
2) Implikasi Estetika
Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu
mengandung makna keindahan,
makna keindahan sangat jelas yaitu
perpaduan antara seni tari dengan
seni teater karena ada gerak tari
seperti tari gambuh yang klasik dan
ada juga doalog berupa tanya jawab
bahkan ada monolog yang dilakukan
oleh salah satu pemeran. Hal ini
menujukan keindahan kesenian ini
karena adanya perpaudan dua seni
yang sudah terjadi sejak masa silam
selain itu juga keindahan ini akan
mengispirasi kesenian yang lainnya.
Estetika ini bermakna
membangkitkan kejiwaan manusia
agar semakin halus dan bernilai
sertaberdaya guna yang lebih baik
dalam berkarya, bersosial serta
berbudaya, memiliki karakter yang
mulia.
Keindahan pada dasarnya dapat
membentuk suatu karakter manusia
cenderung menjadi lebih halus,
humoris dan damai, maka dari itu
tentunya implikasi Pementasan tari
Bari Kupu-Kupu ini memberikan
dampak pembentukkan karakter
manusia menjadi manusia yang
beradab, halus dan sopan. Manusia
dalam mewujudkan rasa bhaktinya itu
tidak akan merasa puas hanya dengan
mengucapkan tanpa dinyatakan
bhaktinya itu. Semua perasaan dan
ucapan itu dilahirkan dalam bentuk
nyata yaitu dalam bentuk tari,
sehingga pikiran dan perasaan yang
abstrak itu terlukis dalam bentuk
nyata ke dalam Bentuk atau gerak tari
yaitu Tari Baris Kupu-Kupu. Dari
kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa
seni itu terpusat pada hati nurani
manusia yang paling dalam.
3) Implikasi Kepemimpinan
Pemimpin yang memiliki karismatik
atau wibawa akan sangat
menentukan keberhasilannya untuk
menggerakkan dan memerintah
orang lain. Di berbagai pranata sosial
dari berbagai kultur kebudayaan,
kewibawaan masih dipandang
sebagai sesuatu yang sangat
dihormati, sehingga dengan berbagai
upaya seorang tokoh berusaha untuk
tampil berwibawa atau paling tidak
akan dianggap berwibawa. Tari baris
Kupu- Kupu ini adalah konsep
kepemimpinan yang cerdik dan
bijaksana dalam menyelesaikan suatu
permaslahan. Terkadang setiap orang
gampang putus asa dalam
menghadapi masalah karena hanya
mengandalkan kepintarannya saja
91
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018
tanpa memikirkan kecerdikan, berupa
akal, siasat, dan sebagainya yang
tentunya ke arah yang baik tidak
merugikan orang lain. Dengan
kecerdasan segala permasalahan
akan bisa diselesaikan, hal inilah yang
tersirat dalam pementasan tari baris
demang agar manusia mampu
menyadari bahwa setiap manusia
sebenarnya adalah pemimpin baik
memimpin dirinya sendiri dan orang
lain dalan keluarga kecil, besar,
masayrakat, kelompok sampai
negara, amak manusia tersebut harus
cerdas dan cerdik dalam melihat
masalah dan mencari jalan keluarnya.
4) Implikasi Tattwa
Pementasan Tari Baris Kupu-kupu
menyatakan bahwa Baris Kupu-kupu
biasanya dipentaskan dalam
rangkaian upacara Pujawali di Pura
Dalem Dasar Banjar Sema Desa
Bungkulan, yang digunakan sebagai
penyempurna pelaksanaan yajña.
Disamping itu yajña hanya bias
terlaksana jika didahului dengan
pementasan Tari Baris Kupu-kupu, hal
ini ditegaskan secara tattwa atau
hakikatnya bertujuan untuk
menurunkan atau menghadirkan Ida
Bhatara yang bersthana di Pura
Dalem Dasar dengan maksud supaya
mau menerima segala persembahan
yajña.
Dilihat dari segi tattwanya,
pementasan Tari Baris Kupu-kupu
yang merupakan tarian sakral dalam
ritual keagamaan sangat penting
untuk dilaksanakan, karena tarian
sakral adalah personifikasi dari sikap
mudra, Kenyataan ini sesuai dengan
sejarah tari sakral, secara mitologinya
diciptakan oleh Dewa Brahma dan
sebagai dewa tarinya adalah Dewa
Siwa yang dikenal dengan tarian
kosmisnya yaitu Siwa Natya Raja.
Pada saat itu Dewa Siwa memutar
dunia ini dengan gerakan mudra yang
memiliki kekuatan gaib, dengan
isyarat dari sikap tangan, tubuh dan
kaki maka kekuatan gaib dari dewa-
dewa dan Alam Semesta akan ditarik
seperti seorang hipnotoseur
menggerakkan objeknya. Setiap sikap
tangan dan gerakan anggota
tubuhnya memberikan arti dan
mengandung kekuatan, sehingga
tarian ini tidak semata-mata
mementingkan keindahan rupa
ataupun pakaian tetapi juga
didasarkan pada arti sikap sikap
simbolik dari berbagai jenis gerakan
mudra yang ditampilkan dari tarian
tersebut .
5) Implikasi Etika
Nilai ethika yang terdapat dalam
pementasan tari baris Kupu-kupu ini
adalah nilai ketulusan, Pementasan
Tari Baris Kupu-kupu yang dilakukan
oleh umat Hindu di pura Dalem Dasar
Desa Bungkulan ini dibawakan
dengan didasari oleh rasa tulus ikhlas
ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, ketulusan hati para penari ini
akan memberikan pahala yang sangat
besar kepada masyarakat desa
bungkulan pada umumya dan para
penari serta para penabuh pada
khususnya. Adapun nilai etika yang
bias dipetik dari pementasan Tari
Baris Kupu-kupu yaitu dari tempat
pementasannya yang dilaksanakan di
utama mandala, karena secara etika
segala jenis tarian yang bersifat sakral
mesti dipentaskan di utama mandala.
92
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018
6) Implikasi Psikologis
Pementasan Tari Baris Kupu-kupu
sebagai bagian dari kesenian sakral selalu
dikaitkan dengan aspek teologis sehingga
bias dimaknai sebagai suatu pesembahan
yang bias menghantarkan bhakti umat
Hindu ke hadapan Sang Hyang Hyang
Widhi Wasa. Disamping itu dapat
digunakan untuk menjaga kedamaian
dan ketengan pikiran umat Hindu dalam
melaksanakan yajña. Dengan demikian
secara psikologis umat Hindu dituntut
untuk selalu percaya tentang kesakralan
Tari Baris Kupu-kupu dan supaya
mementaskannya setiap pelaksanaan
upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar.
7) Implikasi Religiusitas
Keberadaan Tari Baris Kupu-Kupu di
Pura Dalem Dasar sebagai hasil
budaya spiritual Hindu mengandung
unsur kesakralan, terlihat dari bentuk
Tarian yang masih bersifat alami dan
penokohan serta maksudnya yang
berbeda dengan tari lainnya.
Keeksisan Tari Baris Kupu-Kupu ini
masih sangat bersifat alami karena
masyarakat di Desa Pakraman
Bungkulan tidak berani tidak
dipentaskan pada upacara Piodalan
agung di Pura Dalem Dasar, hal
tersebut didasari oleh konsepsi supra
natural power yaitu kekuatan dari luar
batas kemampuan manusia,
fenomena tersebut mencerminkan
bahwa Tari Baris Kupu-Kupu sebagai
hasil budaya spiritual Hindu yang di
wariskan secara turun-temurun tidak
boleh di rubah keberadaanya namun
tetap dilestarikan dengan tidak
menghilangkan atau merubah unsur-
unsur yang terkandung di dalamnya,
baik dari segi bentuk arsitektur dan
keberadaanya, yang perlu di
tingkatkan adalah spiritual di dalam
diri masyarakat desa Pakraman
Bungkulan untuk mewaris
pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di
Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman
Bungkulan dengan upaya
kebersaman, untuk meningkatkan
rasa spiritual keagamaan masayarakat
secara relegius.
PENUTUP
Kesimpulan
Tari Baris Kupu-kupu di Pura
Dalem Dasar Banjar Sema, Desa
Bungkulan, Kecamatan Sawan memiliki
beberapa aspek-aspek religius, yaitu
sebagai berikut: (1) aspek penyucian,
maksudnya memohon kesucian dalam
pelaksanaan upacara pujawali supaya
tidak terjadi gangguan. (2) aspek
ungkapan terima kash yaitu dengan
pementasan ini bukti rasa syukur
terhadap tuhan telah diberikan
keindahan (3) aspek budaya yaitu tari
bari Kupu-kupu ini unutk menjaga
budaya dan tradisi local desa Bungkulan.
(4) aspek estetis religious yaitu tari ini
membangkitkan keyakinan dari
pementasan seni (5) aspek pendidikan
tentunya tari ini mmeberikan pendidika
budaya dan agama kepada umat Hindu
dan pendidikan lainnya. (6) aspek
sosiologis yaitu tari ini memberikan
keberuntungan unutk meningkatkan
rasa sosial sesama umat Hindu untuk
bergotong royong. (7) aspek memohon
kesuburan yaitu dengan pementasan tari
ini sekaligus umat memohon kesuburan
baik kesuburan pertanian, perkebuanan
dan kelautan.
Pementasan Tari Baris Kupu-kupu
mengandung implikasi nilai religiusitas
yang sangat tinggi, diantaranya (1)
Implikasi Tri Hita Karana yaitu
pementasan ini akan mengharmoniskan
hubungan manusia dengan Tuhan,
Manusia dengan sesame manusia dan
manusia dengan alam. (2) Implikasi sikap
93
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018
bhakti yaitu dengan adanya kesakralan
tari ini menimbulkan sikap mencintai dan
berbhakti. (3) Implikasi sosial budaya
yaitu dengan pementasan ini
menimbulakan rasa bersama-sama
menjaga warisan budaya leluhur. (4)
Implikasi estetika yaitu dengan
pementasan tari ini menimbulkan rasa
mencintai keindahan shingga muncul
pelaku seni yang baru. (5) Implikasi
kesakralan tari yaitu dengan terus
dipentaskan setiap pujawali akan
menimbulkan keyakinan dan kesakralan
pada tari. (6) implikasi kepemimpinan
yaitu dalam pementasan tari Baris Kupu-
kupu ini diajarkan sebagai seorang
pemimpin sehingga banyak muncul
pemimpin dari desa Bungkulan. (7)
Implikasi tatwa yaitu dengan adanya tari
ini masyarakat memiliki pengetahuan
tentang seni dan agama Hindu. (8)
Implikasi ethika dapat dilihat dari
ketulusan dan tempat pementasan yang
selalu mengacu pada nilai sakralisasi
suatu kegiatan yaitu dilakukan di utama
mandala, (9) Implikasi psikologis yaitu
berdampak pada kejiwaan umat Hindu
yang senantiasa mencintai dan menjaga
budaya dan agama Hindu. (10) implikasi
religiusitas yaitu berdampak pada sradha
dan bhakti umat di desa bungkulan.
Saran
Kepada peneliti selanjutnya diharapkan
agar bersedia meneliti kembali tentang
pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura
Dalem Dasar Banjar Sema Desa
Bungkulan, Kecamatan Sawan
Kabupaten Buleleng agar nantinya dapat
diketemukannya suatu pemecahan yang
lebih spesifik demi pemahaman yang
lebih jelas untuk dimasa yang akan
datang.
Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura
Dalem Dasar Banjar Sema Desa
Bungkulan, Kecamatan Sawan
Kabupaten Buleleng, karena tradisi ini
mengacu pada susastra Hindu, yang
apabila dilanggar akan menyebabkan
malapetaka bagi orang yang
melanggarnya maupun desa yang
bersangkutan, maka hendaknya
dipertahankan sebagai sebuah nilai seni
budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra. I Nyoman Arjana. 2015.
Pementasan Tari Baris Mamedi
dalam Upacara Ngaben di
Kecamatan Penebel Kabupaten
Buleleng. Tesis: IHDN Denpasar.
Ali H, Muhammad. 1992. Guru Dalam
Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Sinar Bayu.
Ardana. 2000. Pura Kahyangan Tiga.
Pemprop Bali.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur
Penelitian. Edisi Revisi 5.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Arikunto Suharsini, 2006. Prosedur
Penelitian Sutau Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Aryasa, I Wayan Madra. 1996. Seni
Sakral. Jakarta: Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat
Hindu dan Budha.
Atmaja, I Gusti Ngurah Made Arya Putra.
2008. Nilai Pendidikan Agama
Hindu dalam Pementasan Tari
Ngigel Desa Pada Upacara
Ngusaba Desa Sarin Tahun di
Desa Padangbulia Kecamatan
Sukasada Buleleng.
Azwar, Saifuddin. 1999. Metode
Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bandem, I Made. 1996. Tari Bali.
Yogyakarta: Kanisius.
Bungin, Burhan. 2001. Metodologi
Penelitian Sosial, Format-
94
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018
format Kuantitatif dan
Kualitatif. Surabaya: Airlangga
University Press
Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan
Agama Hindu Sekolah
Menengang. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Depdikbud. 2004. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Dibia, I Wayan. 1999. Seni Diantara
Tradisi dan Moderenisasi.
Denpasar: Institut Seni
Indonesia.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi
Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.
Djelantik, A.A.M. 1992. Pengantar Dasar
Ilmu Estetika Jilid II Falsafah
Keindahan dan Kesenian.
Denpasar: STSI Denpasar
Gay, Liang.2001.Garis Besar Estetik
(Filsafat Keindahan).
Yogyakarta: Karya.
Geriya, I Wayan, 2008. Transformasi
Kebudayaan Bali: Memasuki
Abad XXI. Surabaya: Paramita.
Golu, W. 2002. Metodelogi Penelitian.
Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Granoka, Ida wayan, 1997. Memori Bajra
sandhi – Perburuan Ke Prana
Jiwa, Denpasar: Sanggar Bajra
sandhi.
Iqbal, Hasan. 2002. Metodologi
Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Jaman, I Gede, 2006. Tri Hita Karana:
Dalam Konsep Hindu, Denpasar:
PustakaBali Post
Juliari Putu Ayu Dewa, 2007.
Profesionalisme Guru Dalam
Pembelajaran. Insan, Cendikia,
Surabaya.
Kadjeng. I Nyoman. 2003.
Sarasamuscaya. Surabaya:
Paramita.
Koentjaraningrat.1980. Beberapa Pokok
Antropologi Sosial. Jakarta:Dian
Rakyat.
Koentjaraningrat. 1982. Antropologi I.
Jakarta: Djambatan
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori
Antropologi I. Jakarta.
Universitas Indonesia Pers.
Koentjaraningrat. 1997. Pengantar
Antropologi Pokok-Pokok
Etnografi II. Jakarta Rineka
Cipta.
Licin, I Nyoman. 1996. Tinjauan
Pertunjukan Tari Baris Kupu-
kupu dalam Pelaksanaan
Upacara Dewa Yajna di Desa
Lumbanan, Kecamatan
Sukasada, Kabupaten Buleleng.
Margono. 1996. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Mikkelsen, Britha, 1999. Metode
Penelitian Partisipatoris dan
Upaya-upaya Pemberdayaan,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Moleong, Lexy. J. 1993. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi
Penelitian Kualitatif Edisi Revisi
I. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Lexy. J. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif Edisi Revisi
II. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nasikum.2003. Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
persada.
Nasution, S. 1996. Berbagai Proses
dalam Proses Belajar dan
95
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 |2018
Mengajar. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Nasution, S. 2003. Metode Research
(Penelitian Ilmiah). Jakarta:
Bumi Aksara.
Nawawi, Hadari. 2005. Metode
Penelitian Bidang Sosial.
Jakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ngurah, dkk. 1999. Agama Hindu Untuk
Perguruan Tinggi. Surabaya:
Paramita.
Nurjanah, Nunuy at. Al. 2000. Pelaporan
Penelitian Kualitataif
(Kumpulan Makalah). Bandung:
Program Pengembangan
Bahasa S-3. Universitas
Pendidika Indonesia.
Pals, Daniel. L. 2002. Dekonstruksi
Kebenaran. Yogyakarta:
IRCisoR.
Parmajaya, I Putu Gede. 2007. Seni
Sakral. Denpasar: Fakultas
Dharma Acarya Institut Hindu
Dharma Negeri Denpasar.
Poerwadarminto. 1993. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Pudja, Gede. 2005. Bhagavadgita.
surabaya: Paramita.
Pudja, G & Tjokorda Rai Sidharta. 2002.
Manawa Dharmacastra (Manu
DharmaSastra). Jakarta: CV.
Pelita Nursamtama Lestari.
Redana, Made, 2006. Panduan Praktis
Penulisan Karya Ilmiah dan
Proposal Riset IHDN Denpasar.
Riduwan, 2004. Belajar Mudah
Penelitian untuk Guru,
Karyawan dan Peneliti Pemula.
Bandung: Alfabet.
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial (dari Denzin
Guba dan Penerapannya)
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Sudikan, Setya Yuwana, 2001. Metode
Penelitian Kebudayaan.
Yogyakarta: Uresa Unipress
bekerja sama dengan Citra
Wacana.
Soebandi, I Ketut. 1983. Sejarah
Pembangunan Pura-pura di
Bali. Denpasar: Kayu Mas
Agung.
Soebandi, I Ketut. 1986. Babad Gusti
Ngurah Tambahan. Bungkulan
Soemargono, Soejono. 2004. Louis O.
Kattsoff. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suardika, I Komang. 2011. Pementasan
Tari Kakelik Pada Upacara
Piodalan Di Pura Gede Pemayun
Desa Pakraman Banyuning
Kecamatan Buleleng Kabupaten
Buleleng (Kajian Bentuk, Fungsi,
dan Makna)”. Tesis IHDN
Denpasar
Sudharta, Tjok Rai. 2001. Upadesa
Tentang Ajaran-ajaran Agama
Hindu. Surabaya: Paramita.
Sudirga dkk.2007. Widya dharma Agama
Hindu. Ganeca Exact.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatakan
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
bandung: Alfabeta.
Subagiasta, I Ketut. 1996. Acara Agama
Hindu (Modul). Jakarta:
Departemen Agama dan
Universitas Terbuka.
Sukerta, Made. 2008. Kajian Pendidikan
Keberagamaan dalam Upacara
Ngrebeg di Pura Dalem Desa
Pakraman Belayu, Kecamatan
Marga, Kabupaten Tabanan.
Susanto,P. Hari. 1987. Mitos Menurut
Pemikiran Mircea Elliade.
Jakarta: Kanisius.
96
WIDYA DUTA | VOL. 13, NO. 1 | 2018
Suprayoga dan Tobroni. 2001.
Metodologi Penelitian Sosial-
Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Suparsa, Kadek. 2008. Pementasan Tari
Barong Brutuk pada Saat
Purnama Kapat Lanang di Pura
Puseh Baleagung Desa
Pakraman Trunyan, Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli.
Sura, dkk. 1999. Agama Hindu Sebuah
Pengantar. Denpasar: CV
Kayumas Agung.
Tim Penyusun, 1998. Himpunan
Keputusan Seminar Kesatuan
Tafsir Terhadap Aspek-Aspek
Agama Hindu I - XV. Pemerintah
Provinsi Bali.
Tim Penyusun , 2002. Kamus Istilah
Agama Hindu. Pemerintah
Provinsi Bali.
Tim Penyusun , 2000. Tari Wali.
Denpasar: Dinas Kebudayaan
Propinsi Bali.
Tim Penyusun,1992. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kedua.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Tim Redaksi Bali Post, 2006. Mengenal
Pura Sad Kahyangan &
Kahayangan Jagat. Denpasar:
Pustaka Bali Post
Titib. I Made. 2003. Teologi dan Simbol-
simbol Dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramita.
Triguna, Ida Bagus Nyoman Yudha (ed).
1997. Sosiologi Hindu. Dirjen
Bimas Hindu dan Budha.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2006, tentang Standar Isi
Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Wiana, I Ketut, 1995. Yajna dan Bhakti:
Dari Sudut Pandang Hindu.
Denpasar: Pustaka Manikgeni.
Wiana, I Ketut. 1997. Cara Belajar Agama
Hindu Yang Baik. Denpasar:
Yayasan Dharma Naradha.
Wiana, I Ketut. 2000. Makna Upacara
Yajna Dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramitha.
Wijayananda, 2004. Makna filosofis dan
Upakara. Surabaya: Paramitha
Yudhabakti, I Made & Watra, I Wayan.
2007. Filsafat Seni Sakral dalam
Kebudayaan Bali. Surabaya:
Paramita
Yuliani, Ni Made. 2011. Upacara Ngunya
Barong Pada Sasih Kanem di
Desa Pakraman Abiansemal
Dauh Yeh Cani, Kecamatan
Abiansemal, Kabupaten Badung
(Kajian Sosio - Religius). Tesis
IHDN Denpasar.