MEMAHAMI ESSENTIAL MESSAGES UPACARA TRADISIONAL MELALUI PEMBELAJARAN SOSIOLOGI INTEGRATIF* Oleh

28
MEMAHAMI ESSENTIAL MESSAGES UPACARA TRADISIONAL MELALUI PEMBELAJARAN SOSIOLOGI INTEGRATIF* Oleh: Zulkarnaen Syri Lokesywara** Mahasiswa Magister Perencanaan Kota dan Daerah Guru SMA Negeri 1 Jatinom-Kabupaten Klaten Dipresentasikan pada International Graduate Student Conference (IGSC) di Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 1-2 Desember 2009

Transcript of MEMAHAMI ESSENTIAL MESSAGES UPACARA TRADISIONAL MELALUI PEMBELAJARAN SOSIOLOGI INTEGRATIF* Oleh

MEMAHAMI ESSENTIAL MESSAGES UPACARA TRADISIONAL

MELALUI PEMBELAJARAN SOSIOLOGI INTEGRATIF*

Oleh:

Zulkarnaen Syri Lokesywara**

Mahasiswa Magister Perencanaan Kota dan Daerah

Guru SMA Negeri 1 Jatinom-Kabupaten Klaten

Dipresentasikan pada International Graduate Student Conference (IGSC) di Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 1-2 Desember 2009

MEMAHAMI ESSENTIAL MESSAGES UPACARA TRADISIONAL

MELALUI PEMBELAJARAN SOSIOLOGI INTEGRATIF*

Zulkarnaen Syri Lokesywara**

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pluralitas yang sangat

tinggi, baik dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Menurut

Zulyani Hidayah (1999: 284) jumlah suku bangsa di Indonesia adalah 565 yang

tersebar dari Sabang sampai Merauke. Di antara berbagai suku bangsa di Indonesia,

suku bangsa Jawa jumlah populasinya paling banyak dengan mayoritas agama yang

dianut adalah Islam. Meski begitu, Islam yang berkembang dan dianut oleh suku

bangsa Jawa banyak dipengaruhi oleh unsur agama lain, terutama Hindu. Selain itu,

strategi dakwah para Wali di Jawa yang menghindari konfrontasi secara frontal

menjadi salah satu penyebab begitu kuatnya pengaruh Hindu dalam keislaman

masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa percaya adanya kekuatan adikodrati yang disebut kasekten

(kesaktian) serta percaya bahwa roh-roh para leluhur dan roh-roh alam sangat

berpengaruh dalam kehidupan manusia. Clifford Geertz (dalam James Danandjaja,

1991: 158) membagi makhluk-makhluk gaib di Jawa Tengah menjadi beberapa

golongan, yaitu memedi (makhluk gaib yang menakutkan), lelembut (makhluk gaib

yang dapat memasuki tubuh kasar manusia), thuyul (makhluk gaib yang dapat

diperbudak manusia, dhemit (makhluk gaib setempat), dan danyang (makhluk gaib

penjaga keselamatan seseorang). Makhluk-makhluk halus tersebut menempati

lingkungan di sekitar tempat tinggal manusia dan selain dipercaya dapat

mendatangkan sukses dalam usaha, kebahagiaan, kewibawaan, kekayaan, ataupun

keselamatan, makhluk halus juga diyakini dapat menimbulkan gangguan dalam

kehidupan manusia. Untuk itu, agar terhindar dari gangguan makhluk halus, manusia

harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam sekitarnya dengan cara berpuasa,

berpantang makanan dan perbuatan tertentu, menyiapkan sesaji, atau melakukan

selamatan. Meskipun keyakinan tersebut tidak ilmiah, menurut Brundvand aspek

kepercayaan dan perbuatan takhayul sangat luas persebarannya di semua lapisan

masyarakat (James Danandjaja, 1991: 155).

Selamatan (Jawa: selametan) adalah suatu upacara makan bersama makanan

yang telah diberi doa oleh modin (orang yang dianggap lebih menguasai ajaran

Islam) sebelum dibagi-bagikan (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1999: 347). Tujuan

inti upacara selametan adalah untuk menghormati, mensyukuri, memuja, dan

memohon keselamatan kepada Tuhan melalui makhluk halus, arwah leluhur, atau

arwah orang-orang tertentu. Bagi sebagian besar Jawa Santri, upacara-upacara

tradisional yang diselenggarakan masyarakat Jawa dikategorikan perbuatan musyrik

atau menyekutukan Tuhan. Penelitian Sugianto di Kalipang (Blitar) terhadap Ritual

Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah pun menegaskan hal itu. Meskipun sebagian

besar masyarakat Kalurahan Kalipang adalah penganut faham Ahlussunah wal

Jamaah, mereka tidak dapat meninggalkan tradisi yang telah berjalan bertahun-tahun

tersebut (http://202.159.18.43/jsi/131sugianto.htm). Terhadap ritual tersebut, hanya

sebagian kecil masyarakat Kalipang menganggap sebagai hal yang musyrik.

Beberapa upacara tradisional yang dilakukan dalam hubungannya dengan

kematian adalah surtanah, nelung ndina, mitung ndina, matang puluh dina, nyatus,

mendhak pisan, mendhak pindho, nyewu, dan nyadran. Meskipun secara kuantitatif

tidak tercatat, para santri (menurut kategorisasi dari Geertz) memandang upacara-

upacara tradisional tersebut sebagai perbuatan musyrik. Sikap memvonis seperti itu

tentu saja sangat tidak bijaksana, karena menimbulkan perasaan saling curiga bahkan

dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam khususnya dan bangsa

Indonesia pada umumnya. Begitu pula kondisi yang terjadi di kalangan siswa SMAN

1 Jatinom, sebuah kecamatan yang dikenal sebagai salah satu basis Muhammadiyah

yang kuat di kabupaten Klaten.

B. Permasalahan

Dari uraian latar belakang semacam itulah muncul beberapa masalah yang

perlu dicarikan solusinya. Terdapat tiga masalah pokok yang muncul, yaitu:

a. Mengapa muncul suasana saling curiga di antara komponen bangsa,

khususnya di antara para siswa?

b. Bagaimana menghilangkan sikap saling curiga di antara warga masyarakat,

khususnya para siswa agar tidak terjadi disintegrasi di antara mereka?

c. Bagaimana sekolah sebagai sebuah institusi ilmiah mampu berperan

mereduksi suasana saling menyalahkan dan sekaligus menciptakan suasana

pembelajaran yang kondusif bagi perkembangan intelektual siswa?

C. Tujuan Penulisan

Penelitian sederhana ini berusaha mencari akar masalah munculnya suasana

saling menyalahkan di antara umat Islam, khususnya warga sekolah di SMAN 1

Jatinom, dalam menyikapi pelaksanaan upacara-upacara tradisional yang

dilaksanakan masyarakat, untuk kemudian mencoba menemukan usaha-usaha yang

dapat dilakukan untuk mencegah munculnya suasana saling menyalahkan tersebut.

Sekolah, sebagai salah satu tempat bagi terjadinya transfer nilai dan norma,

mempunyai posisi strategis bagi upaya tersebut. Untuk itu sekolah harus mampu

menemukan perannya dalam upaya menciptakan suasana yang kondusif dalam

menyikapi pelaksanaan upacara-upacara tradisional yang dilaksanakan masyarakat.

II. Kajian Literatur

A. Islamisasi Jawa

1. Metode Dakwah Para Wali

Sebagai agama baru di Jawa saat itu, Islam menarik banyak simpati dari

penduduk, terutama golongan menengah, kaum pedagang, dan buruh di bandar-

bandar (H.J. de Graaf dan TH. G. TH. Pigeaud, 1986: 24). Rasa persaudaraan dalam

agama antarbangsa itu, yang pada asasnya tidak mengakui adanya perbedaan

keturunan, golongan, dan suku di antara para pemeluknya, ternyata mempunyai daya

tarik bagi para pedagang dan pelaut, yang berbeda-beda tempat asalnya dan

mempunyai berbagai adat-istiadat dan cara hidup.

Dalam buku “Mengislamkan Tanah Jawa”, Widji Saksono (1995: 87-94)

mengemukakan beberapa metode dakwah para wali dalam penyebaran agama Islam.

Metode-metode yang digunakan adalah:

a. Metode maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan

Metode dakwah ini merujuk pada Al Quran Surat An Nahl ayat 125:

Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapapat petunjuk.

Maw’izhatul hasanah diterapkan dalam dakwah kepada para tokoh khusus (penguasa

dan kerabatnya) dengan pendekatan personal. Kepada mereka diberikan keterangan,

pemahaman, dan permenungan (tadzkir) tentang Islam, peringatan-peringatan

dengan bahasa yang halus, dan bertukar pikiran dari hati ke hati dalam suasana

penuh toleransi dari pihak wali terhadap pendapat dan keyakinan para tokoh

masyarakat. Dengan metode ini, Adipati Aria Damar dari Palembang bersedia masuk

Islam bersama istri dan diikuti oleh sebagian besar rakyatnya setelah beliau

berdiskusi panjang dengan Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Demikian juga halnya

ketika beliau berdakwah terhadap Prabu Brawijaya Kertawijaya dari Majapahit.

Mendengar wejangan yang demikian bagus dari Sunan Ampel, sangat sulit hati

Prabu Brawijaya untuk menolak. Tetapi karena beliau berkedudukan sebagai raja,

banyak pertimbangan yang membuatnya tidak mudah begitu saja menerima pendapat

dan saran orang lain, terutama dalam hal keagamaan. Sebagai raja, ia terikat oleh

adat kebiasaan kerajaan dan tradisi-tradisi rakyatnya yang secara konvensional tidak

dapat diabaikan begitu saja, sehingga dengan berbagai cara beliau tetap menolak

dengan halus ajakan masuk Islam. Terhadap permaisurinya, Prabu Brawijaya tidak

keberatan jika berkehendak memeluk Islam. Apabila metode maw’aizhatul hasanah

tidak berhasil, barulah para wali menempuh jalan lain yaitu al-mujadalah billati hiya

ahsan. Cara ini diterapkan terutama terhadap tokoh yang secara terang-terangan

menunjukkan sikap permusuhan terhadap Islam.

Metode serupa dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah

mengajak Adipati Pandanarang di Semarang. Awalnya terjadi perdebatan sengit,

tetapi berakhir dengan masuknya Adipati ke dalam Islam, karena sangat terkesan

dengan anjuran dan kesopanan Sunan Kalijaga. Demikian terkesannya Adipati

sampai-sampai beliau rela meninggalkan kedudukannya untuk dapat diterima

sebagai murid Sunan Kalijaga

b. Metode Al-Hikmah

Metode al-hikmah sebagai sistem dan cara berdakwah para wali merupakan

jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional.

Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam secara massal.

Sunan Kalijaga mengusulkan diadakan keramaian Sekaten (Syahadatayn) yang

diadakan di Masjid Agung menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Dengan memukul gamelan yang sangat unik dalam hal langgam lagu maupun

komposisi instrumental yang telah lazim, Sunan Kalijaga berhasil mengumpulkan

massa untuk kemudian diberikan dakwah keislaman. Selain itu, Sunan Kalijaga juga

mengarang lakon (ceritera) wayang baru dan menyelenggarakan pergelaran-

pergelaran wayang yang sangat digemari pada saat itu. Sebagai upah mendalang,

Sunan Kalijaga meminta Kalimat Syahadat. Dengan Kalimat Syahadat beliau baru

mau dipanggil untuk memainkan suatu lakon wayang yang biasanya diselenggarakan

dalam rangka meramaikan pesta atau upacara peringatan.

Untuk maksud yang sama, Sunan Kudus mengikat seekor lembu yang dihias

istimewa di halaman dalam masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih

memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang

diperlakukan istimewa itu. Bagi masyarakat Hindu, lembu merupakan binatang

istimewa karena menjadi tunggangan dewa. Sesudah massa terkumpul di sekitar

masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Menyaksikan lembu tidak

dihinakan oleh Sunan Kudus, minat dan simpati masyarakat penganut Hindu

terhadap Islam muncul, sehingga secara sukarela menyatakan diri masuk Islam.

Bahkan sampai saat ini, masyarakat Demak dan Kudus tidak terbiasa makan daging

sapi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa makan daging kerbau untuk

membuat empal, sate, ataupun soto.

c. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah

Sebagai agama baru, pada saat itu tingkat pemahaman masyarakat terhadap

Islam sangat variatif. Agar ajaran Islam dapat dimengerti dan akhirnya dijalankan

oleh masyarakat secara merata, para wali menggunakan metode dakwah yang

didasarkan atas pokok pikiran li kulli maqam maqal, artinya ada tingkatan-tingkatan

yang berbeda, sehingga perlu perlakuan yang berbeda pula. Sesuai dengan cara ini,

penyampaian fiqih ditujukan terutama bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren

dan melalui lembaga sosial.

Dalam lingkungan pesantren disediakan pengajaran dan pendidikan bagi

masyarakat umum yang ingin belajar takhassus (mengkaji secara intens) masalah-

masalah fikih dan syariat. Untuk menjadi pesertanya, tidak diajukan syarat-syarat

khusus karena memang dibuka untuk masyarakat yang berminat. Nilai-nilai

ketauhidan disampaikan kepada masyarakat awam melalui ceritera-ceritera wayang

yang sudah lekat dalam kehidupan masyarakat, seperti lakon Dewa Ruci dan Jimat

Kalimasada, serta dikarang pula kitab bacaan umum seperti Kitab Ambiya (Kitab Al

Anbiya) yang bercerita tentang riwayat para nabi. Ilmu Kalam atau Tauhid

disampaikan sebagai ta’lim atau pengajaran melalui pesantren, dan diberikan secara

terbatas kepada orang-orang khawas. Selanjutnya, ushul suluk (tasawuf) disampaikan

melalui wirid, yaitu pengajaran dengan wejangan secara tertutup dan sangat

eksklusif. Cara ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang telah

mempunyai lemek atau dasar pengetahuan Islam sebelumnya. Hal itu dilakukan

untuk menghindari terjadinya kekeliruan, salah pengertian, dan salah penggunaan

ilmu ini.

2. Dampak Metode Dakwah Walisongo

Metode dakwah para wali dalam upaya mengislamkan orang-orang Jawa

dapat dikatakan sangat sukses. Kesuksesan tersebut tidak lepas dari faktor intern

yang ada pada diri para wali. Mereka berpegang teguh pada dasar musyawarah,

menghormati kemerdekaan berpikir dan berinisiatif, toleran, dan ihsan. Hal ini sesuai

dengan pegangan dan busana mereka, yaitu baju takwa antakusuma langsarane jeng

Nabi (Widji Saksono, 1995: 131). Baju takwa adalah baju dengan model (potongan)

mirip baju surjan dengan kancing baju berjumlah lima dan enam yang

melambangkan Rukun Islam dan Rukun Iman, sedangkan antakusuma berarti

kebaikan yang tidak terbatas (anta: tidak terbilang, kusuma: baik, mulia, harum,

bunga) sebagai perlambang ihsan (kebajikan dan kebijaksanaan) sebagai buah dari

takwa.

Faktor ekstern yang mendukung sukses para wali adalah karakter ajaran

Islam yang mereka siarkan. Banyak unsur Islam yang memiliki kesamaan dan

kesesuaian dengan unsur Indonesia asli sebelum Hindu-Bhuda. Selain itu, Islam

telah membuktikan dirinya sebagai agama universal, artinya mampu bermanifestasi

dalam kebudayaan mana pun.

Faktor ekstern lainnya yang mendukung kesuksesan wali bersumber dari

situasi dan susunan masyarakat pada zaman itu. Masa perjuangan para wali

bersamaan dengan masa kekacauan kerajaan Majapahit karena kondisi ekonomi dan

poltiknya saat itu. Masyarakat mulai gelisah dan rindu perubahan. Kerinduan itulah

yang dapat dipenuhi oleh Walisongo yang membawa Islam sebagai alat

pembaharuan. Syiwa dan Bhudisme yang pandangannya pesimis terhadap dunia

pada dasarnya bertentangan dengan alam pikiran orang Jawa saat itu. Ditambah lagi

susunan kedua agama lama tersebut yang piramidal-kastaistis tidak menggembirakan

para rakyat, karena mereka tidak dapat dapat menduduki posisi-posisi sentral yang

dikuasai Hindu-Feodal-Biksu Bhuda (Atmodarminto dalam Widji Saksono, 1995:

224). Kedatangan Islam dipandang sebagai sebuah pencerahan, karena adanya titik

persamaan berupa dasar ketauhidan, prinsip musyawarah, gotong-royong,

kesetaraan, dan sebagainya. Jika dahulu orang menitikberatkan alam pikirannya

kepada keajaiban dan kegaiban sesuai aliran Tantrayana, maka hal ini dapat dijumpai

pula dalam tasawuf Islam yang dalam perkembangannya banyak memperoleh corak

panteisme. Tasawuf inilah yang membuka lebar hati masyarakat. Kehadiran Islam

bersama tasawuf dijadikan sebagai jalan baru dalam alam pikiran lama yang

mencita-citakan moksa. Dua kalimat Syahadat untuk menjadikan seseorang menjadi

Islam, dengan mudah diucapkan dan diresapkan tanpa suatu pertentangan batin

(Soekmono dalam Widji Saksono, 1995: 226).

Namun, dilihat dari sudut pandang keberagamaannya, mereka

memperlihatkan kuantitas yang luas dan kualitas beragama yang dangkal.

Keberagamaan mereka dipenuhi dengan bid’ah akibat sinkretisme unsur Jawa-

Hindu-Bhuda. Dampak metode pengislaman yang lebih dominan kesufiannya adalah

masyarakat Jawa sangat memperhatikan mistik tetapi kurang memperhatikan

syariatnya. Selain itu, menurut Siswoharsojo, piwulang ingkang mboten ngeblak

(cara memberikan pengetahuan agama yang tidak tegas atau tidak terang-

terangan/gamblang) melalui wayang, sekaten, kidung (nyanyian khas Jawa), dan

cara mengubah struktur lama dari animisme-Hindu-Bhuda yang tidak revolusioner

tetapi reformis bahkan revisioner, menimbulkan corak keislaman tersendiri yang

cenderung menyimpang dari aslinya. Corak keislaman tersebut setelah meluas dan

berkembang dalam masyarakat sulit diatasi dan dibakukan (institutionalized) dalam

kehidupan masyarakat sampai sekarang. Upacara-upacara yang berhubungan dengan

kematian pada masyarakat Jawa merupakan contoh munculnya penyimpangan fikih

Islam, seperti surtanah, nelung ndina, matang puluh dina, nyatus, mendhak pisan,

mendhak pindho, nyewu, dan nyadran.

Mengacu pada Serat Kadilangu dan Serat Walisanga, Koentjaraningrat

(1984: 336-338) mengemukakan bahwa makhluk hidup terdiri dari tubuh jasmaninya

(selira) dan semua keinginan yang ada pada dirinya (kamarupa). Jasmani dapat

hidup dan bergerak karena ada atma (semangat), kama (keinginan), dan prana

(nafsu). Berbeda dengan makhluk lain, manusia juga mempunyai manas (akal),

menasa (kecerdasan), dan jiwa. Apabila manusia mati, atma, kama, prana, manas,

dan jiwa meninggalkan jasmaninya pada hari ke-3 setelah kematiannya. Pada hari

ke-7, rohnya masih memiliki keinginan, dibimbing oleh malaikat ke kamaloka

menuju ke gerbang melewati jembatan shirotal mustakim yang lebarnya sepertujuh

belah rambut wanita. Bila tidak berhasil melewati, ia akan jatuh ke neraka dan jika

terlalu banyak dosa ia akan terperosok lebih dalam lagi ke bumi kapindho (bumi

kedua) yang berisi magma pijar. Dalam waktu lama ia akan dilahirkan kembali

sebagai seekor binatang. Kemudian masuk bumi ketiga dan dilahirkan kembali

sebagai tanaman, dan akhirnya dilahirkan kembali sebagai manusia agar hidup lebih

baik dan berguna. Roh akan berada di kamaloka sampai hari ke-40. Pada hari ke-100

masuk ke dewaka (surga pertama), kemudian mati ke dua kalinya. Tubuh halusnya

yang berisikan sisa-sisa nafsu dan keinginan ditinggalkan. Apabila keluarga yang

ditinggalkan masih memanggilnya, maka roh menjadi lelembut (makhluk halus) dan

berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia dan menetap di sekitar kaum keluarga

sebagai roh penjaga. Ia akan bersemayam di pohon besar, batu, gua, atau daerah

perbukitan (www.petra.ac.id). Roh yang berhasil masuk surga pertama akan menjadi

lebih murni. Pada hari ke-1000 ia akan masuk surga kedua. Proses ini akan berulang

hingga roh masuk ke surga ke tujuh dan mencapai moksa (kesempurnaan).

Upacara tradisonal yang berhubungan dengan kematian yang dilaksanakan

masyarakat Jawa adalah:

a. Surtanah

Poerwadarminta (dalam Mulyadi dkk., 1984: 56) mengemukakan bahwa

surtanah berasal dari kata dalam bahasa Jawa ngesur tanah yang berarti melakukan

selamatan terhadap orang yang baru saja meninggal dunia. Dilaksanakan pada hari

pemakaman jenasah setelah para pelayat pulang dari kuburan.

Ubarampe atau perlengkapan dan materi dalam upacara surtanah adalah sega

golong (nasi dibentuk bola), sega asahan (nasi putih yang ditaruh di atas nyiru),

tumpeng pungkur (nasi dibentuk gunungan/kerucut), sega wudhuk (nasinasi gurih),

ingkung (ayam jantan masak utuh), tumpeng wajar (nasi putih tanpa lauk berbentuk

kerucut), kembang rasulan (bunga Rosul yang terdiri dari mawar, melati, dan

kenanga), bubur abang putih (bubur yang diberi cairan gula kelapa dan bubur biasa),

tukon pasar (materi selamatan berupa segala macam buah), wajib ( uang yang

diberikan kepada pemimpin upacara), dan dupa (kemenyan) yang dibakar sebelum

upacara dilangsungkan. Semua materi tersebut diletakkan di suatu tempat kemudian

dikepungke (dikepung) oleh hadirin. Kegiatan ini disebut kenduren atau kepungan.

Acara ditutup dengan doa berbahasa Arab dipimpin oleh kaum.

Di samping kenduren, selamatan surtanah juga diikuti dengan penyiapan

sesajen. Sesajen ini dibuang ke tempat-tempat yang dianggap angker, misalnya

perempatan jalan, pojok desa, pohon besar, dan sebagainya

b. Nelung ndina

Upacara ini dilaksanakan tepat tiga (Jawa: telu) hari setelah kematian seseorang.

Materi untuk selamatan hampir sama dengan surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur

beserta lauk-pauknya. Pada upacara ini ditambah dengan takir pontang, yaitu wadah

dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda berisi nasi putih dan nasi punar

(kuning). Penggunaan sesajen sama dengan surtanah.

c. Mitung ndina

Upacara ini dilaksanakan tepat tujuh (Jawa: pitu) hari setelah kematian

seseorang. Materi untuk selamatan hampir sama dengan surtanah, tetapi ditambah

dengan apem ketan kolak. Penggunaan sesajen masih sama dengan kedua selamatan

di atas.

d. Matang puluh dina

Upacara selamatan ini dilaksanakan tepat empat puluh hari (Jawa: patang puluh)

setelah kematian seseorang. Materi atau perlengkapan untuk selamatan hampir sama

dengan mitung ndina. Hanya saja materi berupa ingkung ayam diusahakan dari ayam

berbulu putih mulus. Sulitnya mendapatkan ayam berbulu putih mulus menyebabkan

masyarakat mengganti dengan ayam berbulu biasa. Penggunaan sesajen sama dengan

surtanah.

e. Nyatus dina

Dilaksanakan tepat seratus hari (Jawa: satus) setelah kematian seseorang. Materi

dan sesajen untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.

f. Mendhak pisan

Dilaksanakan tepat setahun setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen untuk

selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.

g. Mendhak pindho

Dilaksanakan tepat dua tahun setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen

untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.

h. Nyewu dina

Selamatan nyewu dina atau nyewu dilaksanakan seribu (Jawa: sewu) hari sejak

kematian seseorang. Selamatan ini dilakukan besar-besaran, sebab dianggap yang

terakhir kalinya. Materi atau perlengkapan sama dengan selamatan terdahulu, tetapi

ditambah dengan memotong kambing, merpati, dan bebek, di samping juga ayam.

Sebelum disembelih, kambing dimandikan dengan air bunga setaman, dikeramasi

dengan air lada atau mangir, diselimuti kafan, dikalungi rangkaian bunga, dan diberi

makan daun sirih. Selain pemotongan hewan-hewan tersebut, juga dilakukan

pelepasan sepasang merpati sesudah kenduri dan pembacaan ayat-ayat Al Quran.

Selain sesajen seperti selamatan terdahulu, masih ditambah sesajen berupa klasa

bangka (tikar), benang lawe, jodhog (tempat menaruh lampu senthir/lampu minyak

tanah), lampu dengan minyak goreng, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, kemenyan,

pisang raja, gula kelapa, kelapa utuh, beras, benang jahit, jarum, dan bunga. Pada

selamatan nyewu ini biasanya juga dilaksanakan pemasangan kijing atau nisan,

sehingga upacara selamatan ini juga disebut selamatan ngijing.

Upacara-upacara selamatan tersebut dilakukan kepada setiap orang yang

meninggal, kecuali yang meninggal bayi yang belum umur (trek), artinya belum

saatnya lahir. Dalam keaaan seperti ini, segala bentuk upacara seperti di atas

dilaksanakan sekaligus pada selamatan surtanah. Pemakaman dilakukan di

pekarangan rumah, tidak di makam umum, agar perawatan mudah dan tidak

terlupakan. Bayi trek bila dipelihara dengan baik diyakini sangat membantu orang

tua yang ditinggalkan, misalnya menenteramkan keluarga, membantu mencari

nafkah, dan sebagainya. Bahkan bagi orang tuanya, perlakuan bayi trek disamakan

dengan perlakuan terhadap anak yang masih hidup. Selain kuburannya dirawat

dengan baik, pada malam-malam tertentu dikirim doa dan bunga, kemenyan, sesajen,

dan baju baru! Roh bayi trek dapat dimintai bantuan atau pertolongan oleh orang

tuanya jika sedang menghadapi kesulitan (Mulyadi dkk., 1984: 62).

i. Nyadran

Kegiatan lain dalam hal perawatan kuburan dan penghormatan terhadap roh

orang mati atau roh leluhur adalah selamatan nyadran. Nyadran berarti melaksanakan

upacara sadran atau sadranan yang masih populer di kalangan masyarakat Jawa.

Upacara ini dilaksanakan pada bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban (kalender

Hijriyah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa Ramadhan (Karkono

Kamajaya P., 1995: 246).

Nyadran dilangsungkan dengan selamatan di rumah dan di makam. Materinya

adalah nasi asahan beserta lauk-pauknya, ditambah apem dan perlengkapannya

berupa tukon pasar. Maksud selamatan ini adalah mengirim doa dan minta berkah

kepada para arwah leluhur. Hal itu tercermin dari doa yang disampaikan pada saat

selamatan yang berbunyi:

Kintun pandonga dhateng leluhur kula saking jaler lan saking estri, ingkang tebih lan ingkang celak, ingkang kerawatan lan ingkang mboten kerawatan. Sedaya wau kula suwun berkah pangestunipun wilujeng.

Kirim doa kepada para leluhur, baik dari lelaki maupun perempuan, yang dekat maupun yang jauh, yang terawat maupun yang tidak terawat. Semua tadi kami minta berkah dan restunya.

Masyarakat percaya pada bulan Ruwah para arwah leluhur mempunyai

kesempatan tilik kubur (berkunjung ke makamnya) dan tilik omah (berkunjung ke

rumah). Karenanya, banyak orang tua melarang anaknya kencing di halaman agar

tidak sampai mengencingi arwah yang sedang tilik omah tersebut.

B. Perspektif Sosiologi Integratif

Islam adalah ajaran normatif yang berasal dari Tuhan. Ia dapat

diakomodasikan ke dalam pelbagai kebudayaan tanpa harus menghilangkan

identitasnya masing-masing. Agama sebagai kepercayaan yang memuat nilai dan

norma kemasyarakatan tidak harus menolak budaya lokal. Islam itu universal,

artinya ia dapat berkembang di mana saja pada masyarakat yang sangat berbeda

kebudayaannya. Di lain pihak, kebudayaan Jawa, menurut Franz Magnis Suseno,

mempunyai ciri khas dalam kemampuannya membiarkan diri dibanjiri oleh

gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar, dan dalam benjir tersebut

kebudayaan Jawa mampu mempertahankan keasliannya.

Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan mengembangkan ciri

khasnya dengan isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan kultural

dari kebudayaan lain. Hinduisme dan Bhudisme diterima untuk kemudian dijawakan.

Ketika gelombang Islam masuk ke Jawa, justru kemudian kebudayaan Jawa

menemukan identitas dirinya. Pertemuan Islam bercorak tasawuf dengan kebudayaan

Jawa yang khas tersebut melahirkan corak kebudayaan yang berbeda melalui proses

sinkretisme, seperti upacara selamatan yang berhubungan dengan kematian.

Dari sudut pandang agama, upacara-upacara tersebut tidak dapat dibenarkan.

Alasannya, pertama pembuatan atau penyiapan ubarampe (perlengkapan) selamatan

merupakan cerminan hidup boros yang sangat ditentang Islam, karena Islam

mengajarkan untuk hidup tidak berlebih-lebihan dalam segala hal. Kedua, Islam

mengajarkan bahwa doa tidak perlu perantara (wasilah). Doa adalah komunikasi

langsung antara manusia dengan Tuhan, sehingga memohon berkah dari arwah

leluhur adalah perbuatan menyekutukan Tuhan. Ketiga, mendoakan keluarga, teman,

dan leluhur tidak terbatas sampai dengan saat nyewu saja. Islam mengajarkan

umatnya untuk selalu mendoakan keluarga atau leluhur kapan saja dan di mana saja,

tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Keempat, upacara-upacara selamatan yang

dilakukan masyarakat Jawa merupakan tindakan yang tidak rasional. Islam sangat

menghargai akal pikiran yang dipunyai manusia untuk membedakannya dengan

hewan. Islam melarang seseorang bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan

(QS. Al Israa’: 36).

Upacara-upacara selamatan bersifat sinkretis animisme-Hindu/Bhuda-Islam

merupakan konsekuensi dari metode penyebaran agama Islam di Jawa yang tidak

gamblang. Selain itu, Sunan Kalijaga dalam upaya penyebaran Islam sangat toleran

pada budaya lokal (www.walisongo_kalijaga.seasite.niu.edu). Ia berpendapat bahwa

masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Mereka harus didekati secara

bertahap, diikuti sambil dipengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan, jika Islam sudah

dipahami dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

C. Sosiologi Integratif sebagai Solusi

Tujuan pembelajaran Sosiologi di SMA adalah memberikan dasar-dasar

pengetahuan sosiologi, agar para siswa mampu memahami dan menelaah secara

rasional dan kritis terhadap beberapa konsep dasar, berbagai peristiwa atau fenomena

yang berhubungan dengan kebudayaan (culture). Pemahaman atas fenomena budaya

akan sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku siswa dalam lingkungan

budayanya, termasuk pemahaman atas upacara-upacara selamatan yang berhubungan

dengan kematian.

Melalui pembelajaran sosiologi integratif diharapkan siswa mampu

menangkap pesan esensial (essential messages) yang terkandung dalam upacara

tersebut, sehingga ia dapat memposisikan dirinya dan memandang upacara tersebut

merupakan kegiatan kultural, bukan ritual. Sosiologi integratif adalah pembelajaran

sosiologi yang telah diintegrasikan dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan

melalui pokok bahasan tertentu.

Apabila ditelaah lebih dalam, sebenarnya materi atau perlengkapan upacara

selamatan adalah perlambang atau simbul nilai-nilai yang harus dijalankan manusia.

Sega golong melambangkan kebulatan tekad yang manunggal (Jawa: tekad kang

gumolong dadi sawiji). Dalam hal kematian, baik yang mati maupun keluarga yang

ditinggalkannya sama-sama mempunyai tujuan satu, surga. Sega asahan/ambengan

merupakan lambang pambenganing Pangeran, artinya selalu mendapat ampunan

Tuhan atas segala dosanya dan diterima di sisi-Nya. Tumpeng pungkur

melambangkan perpisahan orang yang mati dan yang masih hidup, karena arwah

orang yang mati akan berada di alam yang lain.

Tumpeng/nasi gunung melambangkan suatu cita-cita atau tujuan mulia seperti

gunung yang besar dan puncaknya tinggi. Selain itu, tempat tinggi adalah tempat

bersemayamnya Tuhan. Ingkung melambangkan sikap pasrah atau menyerah

terhadap kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung mempunyai makna dibelenggu (Jawa:

dibanda). Kembang rasulan/kembang telon melambangkan keharuman doa yang

dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir dan batin.

Bubur abang-putih melambangkan keberanian dan kesucian. Bubur merah

sebagai tanda bakti kepada roh laki-laki (bapak), sedang bubur putih merupakan

tanda bakti bagi roh perempuan (ibu). Dalam arti yang lebih luas adalah tanda bakti

bagi bapa angkasa ibu pertiwi, atau penguasa langit dan bumi, Tuhan Yang Maha

Esa. Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemuliaan atau jamuan mulia bagi

yang dipujinya. Apem melambangkan payung dan tameng, maksudnya agar roh

mendapat perlindungan dari Tuhan.

Ketan mempunyai sifat lekat (Jawa: pliket/keraket), sehingga dimaksudkan

sebagai lambang agar antara roh orang yang meninggal dengan yang ditinggalkan

selalu raket atau erat. Kambing, merpati dan itik melambangkan kendaraan yang

akan dinaiki oleh roh orang yang meninggal setelah hari ke-1000. Jika dalam

perjalanannya melalui daratan, kambing dijadikan sebagai kendaraan. Lewat laut

naik itik, dan jika perjalannya melalui angkasa akan mengendarai merpati.

Materi sajian lain seperti klasa, benang lawe, jodhog, senthir, clupak, lenga

klentik, jungkat (sisir), minyak wangi, cermin, kapas, pisang, beras, gula, kelapa,

dan jarum merupakan lambang segala perlengkapan sehari-hari untuk bekal di alam

baka.

a. Model Integrasi

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)/Kurikulum 2006,

memberikan keleluasaan kepada guru untuk menjabarkan dan menyesuaikannya

dengan kondisi masing-masing sekolah. Dalam proses pembelajaran, guru sosiologi

dapat menentukan sendiri metode yang diterapkan, penilaian, dan sumber belajar

yang akan digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses

pembelajaran siswa, guru harus memperhatikan tujuan, sifat pokok bahasan, sumber

belajar yang tersedia, dan waktu yang tersedia.

Pembelajaran tentang multikulturalisme diintegrasikan pada

Kompetensi Dasar (KD) Proses Perubahan Sosial di Masyarakat pada kelas XII IPS,

agar para siswa memahami budayanya sendiri dan tidak terjerumus pada taqlid buta.

Mengingat keterbatasan waktu yang disediakan, maka cara pengintegrasian adalah

dengan memberikan tugas kepada siswa untuk membuat laporan pelaksanaan

upacara selamatan yang berhubungan dengan kematian pada desanya masing-masing

berdasarkan kelompok yang mereka tentukan. Informasi dapat diperoleh dari modin

(kaum), juru kunci, atau tokoh masyarakat di desanya masing-masing. Laporan hasil

penelitian masing-masing kelompok selanjutnya dipresentasikan di depan kelas

untuk didiskusikan.

Untuk mengetahui dampak proses pembelajaran, dilakukan pre test dan post

test kepada seluruh siswa. Pergeseran hasil antara pre test dan post test itulah yang

digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini.

b. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap 114 siswa kelas XII IPS SMAN 1 Jatinom

Klaten tahun pelajaran 2009/2010, yang terbagi dalam tiga kelas, yaitu XII IPS 1,

XII IPS 2, dan kelas XII IPS 3, dengan jumlah masing-masing kelas adalah 38 siswa.

Setiap kelas terdiri dari 4 kelompok dengan tugas mengamati perubahan sosial yang

terjadi di kampung masing-masing, terutama dalam pelaksanaan upacara tradisional

yang berhubungan dengan kematian seseorang. Laporan penelitian mereka kemudian

didiskusikan di kelas masing-masing pada jam pelajaran Sosiologi.

Sebelum melaksanakan penelitian di lapangan, para siswa mengisi

angket (pre-test) yang dibuat guru untuk mengetahui pengetahuan, pemahaman, dan

keterlibatan mereka dalam upacara tradisional. Berdasarkan pre-test yg dilakukan,

diketahui bahwa hampir semua siswa (97,37%) mengetahui adanya upacara

kematian di lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat dimengerti, karena sebagian besar

siswa bertempat tinggal di pedesaan yang masih lekat dengan upacara-upacara

tradisional dalam kehidupan sehari-harinya.

Meskipun hampir semua siswa mengetahui adanya upacara tradisional,

tidak semua siswa ikut terlibat dalam kegiatan upacara tersebut. Hanya 62,28% siswa

yang menyatakan pernah terlibat dalam kegiatan tersebut sebelumnya, sedangkan

37,72% menyatakan belum pernah atau tidak mau terlibat dalam kegiatan tersebut.

Siswa yang menyatakan pernah terlibat dalam kegiatan tersebut sebagian besar

(61,97%) melakukan kegiatan dengan alasan melaksanakan tradisi (adat-istiadat),

22,54% dengan alasan melaksanakan perintah orang tua, 8,45% karena

melaksanakan perintah pengurus desa, dan 7,05% melaksanakan tanpa mempunyai

alasan tertentu.

Siswa yang menyatakan tidak pernah atau tidak mau terlibat dalam

kegiatan upacara tradisional didorong oleh alasan utama agama. Sebanyak 90,70%

siswa tidak terlibat dalam upacara tradisional dengan alasan kegiatan tersebut

dilarang agama Islam (musyrik). Hanya 4,65% yang menyatakan tidak terlibat

karena di kampung tempat tinggalnya masyarakat tidak lagi melaksanakan, 2,33%

karena dianggap tindakan pemborosan, dan 2,33% lainnya merasa kegiatan upacara

tradisional tersebut tidak penting untuk dilaksanakan.

Terdapat gejala yang menarik dalam penelitian ini, yaitu tidak sampainya

pesan esensial yang terkandung dalam upacara tradisional tersebut. Tabel berikut

dapat digunakan untuk memperjelas fenomena tersebut:

Tabel 1. Jumlah Siswa Berdasarkan Pengetahuannya Terhadap Makna Simbul dalam Upacara Tradisional

KeterlibatanTahu Makna Tidak tahu Makna

f % f %Ikut 0 0.00 71 62.28

Tidak Ikut 2 1.75 41 35.96

Jumlah 2 1.75 112 98.25Sumber: Data Primer

Berdasarkan data tersebut diketahui, bahwa para siswa yang ikut terlibat

dalam kegiatan, tidak mengetahui makna simbul-simbul yang ada pada kegiatan

tersebut. Hanya 2 siswa yang menyatakan tahu makna simbul yang ada dan

menyatakan tidak pernah terlibat dalam kegiatan upacara tradisional. Kondisi

tersebut tentu saja tidak menguntungkan, karena para siswa melaksanakan sebuah

kegiatan tanpa mengetahui makna atau tujuan yang mereka lakukan.

Penelitian lapangan oleh para siswa dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009

sesuai dengan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang ada. Pada saat itu

masyarakat Jawa tengah melaksanakan salah satu upacara tradisional Nyadran,

sehingga mempermudah kegiatan siswa. Kegiatan penelitian lapangan dianjutkan

dengan penyusunan dan diskusi temuan di lapangan oleh masing-masing kelompok.

Kegiatan penelitian di lapangan dan diskusi laporan di dalam kelas berhasil

memperkaya wawasan siswa tentang kegiatan upacara tradisional yang berhubungan

dengan kematian. Data pada tabel berikut memperlihatkan pemahaman para siswa

terhadap simbul-simbul perlengkapan pada upacara tradisional:

Tabel 2. Perbandingan Jumlah Siswa Atas Pemahaman Makna Simbul-simbul Perlengkapan Upacara Tradisional

KeterlibatanTahu Makna Tidak Tahu Makna

f % f %Pre-test 2 1.75 112 98.25Post-test 114 100.00 0 0.00Perubahan 112 98.25 -112 -98.25

Sumber: Data Primer

Penelitian di lapangan dan diskusi di dalam kelas ternyata mampu menambah

wawasan para siswa terhadap pelaksanaan upacara tradisional. Pada saat pre-test

berlangsung hampir semua (98,25%) siswa tidak mengetahui makna yang

terkandung dalam perlengkapan upacara. Keadaan tersebut berubah total saat post

test berlangsung. Semua (100%) siswa mengetahui makna simbul-simbul

perlengkapan yang dipakai dalam upacara tersebut.

Gambar 1. Diskusi laporan hasil penelitian

Pemahaman makna atau pesan yang terkandung dalam perlengkapan upacara

tradisional tersebut, menyebabkan terjadinya perubahan sikap para siswa terhadap

pelaksanaan kegiatan tersebut. Hal itu ditunjukkan oleh perbandingan jumlah siswa

yang menyatakan boleh melaksanakan kegiatan tersebut pada saat pre test dan

setelah post-test. Perbandingan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 3. Perbandingan Jumlah Siswa Yang Menyatakan Boleh-Tidak Melaksanakan Upacara Tradisional

WaktuBoleh Dilaksanakan Tidak Boleh Jumlah

f % f % f %Pretest 73 64.04 41 35.96 114 100.00Post-test 111 97.37 3 2.63 114 100.00

Sumber: Data Primer

Data tersebut menunjukkan bahwa setelah melakukan kegiatan penelitian

lapangan dan diskusi laporan penelitian, para siswa mampu melihat fenomena

upacara tradisional yang berhubungan dengan kematian sebagai sebuah kegiatan

kultural, bukan kegiatan ritual, sehingga 97,37% siswa menyatakan bahwa

pelaksanaan upacara tradisional merupakan sebuah kegiatan yang sah untuk

dilaksanakan.

D. Penutup

Di antara ratusan suku bangsa di Indonesia, suku bangsa Jawa jumlah

populasinya paling banyak dengan mayoritas agama yang dianut adalah Islam. Akan

tetapi Islam yang berkembang di Jawa mempunyai karakteristik yang khas, karena

pertemuannya dengan kebudayaan yang telah ada sebelum datangnya Islam. Islam

yang bercorak tasawuf mendapat tempat yang baik untuk tumbuh ketika bertemu

dengan budaya Jawa dan terjadilah proses sinkretisme. Sinkretisme tersebut

melahirkan bentuk-bentuk upacara yang berhubungan dengan kematian seperti

upacara surtanah, nelung ndina, mitung ndina, matang puluh, nyatus, mendhak pisan,

mendhak pindho, nyewu, dan nyadran.

Essential message yang dibawa upacara-upacara tersebut sebenarnya baik,

jika dimengerti hakikatnya. Namun, para siswa ternyata hampir tidak ada lagi yang

mengetahui hakikat pelaksanaan upacara-upacara tersebut yang dikemas dalam

lambang-lambang sesaji. Untuk itu, pembelajaran sosiologi integratif dalam Standar

Kompetensi Memahami Dampak Perubahan Sosial menjadi suatu keharusan.

Sifat kebudayaan Jawa yang khas dan metode pengislaman Walisanga yang

tidak gamblang menyebabkan beberapa tradisi di Jawa mempunyai potensi untuk

menyimpang. Untuk itu guru harus berusaha mengelola proses pembelajaran dengan

menyesuaikan waktu yang tersedia agar para siswa mampu menemukan essential

message dari upacara-upacara atau tradisi yang berkembang di dalam masyarakat

Jawa melalui wawancara dengan nara sumber, buku, CD, atau sumber lainnya.

_____________________

PUSTAKA ACUAN

H.J. de Graaf dan TH. G. TH. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa Kajian Sejarah Politik Abad ke 15 dan ke-16. Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers dan KITLV.

http://www.petra.ac.id/english/eastjava/culture/ident.htm

http://www.walisongo_kalijaga.seasite.niu.edu/Indonesian/Islam/Kalijaga.htm

http://202.159.18.43/jsi/131sugianto.htm

James Danandjaja. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Karkono Kamajaya Partokusumo. 1995. Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta.

Koentjaraningrat (ed). 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Mulyadi dkk. 1984. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi DIY. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1982-1983.

Siti Waridah Q. dkk. 2000. Sosiologi untuk SMU Kelas 3. Jakarta: Bumi Aksara.

Zulyani Hidayah. 1999. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.