Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar

22
Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar by admin January 15 http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ MENURUT R.NG. RANGGAWARSITA (1802-1873) Tanbihun .com- Pokok keilmuan Syekh Sit i Jenar disebut sebagai “Ngelmu Ma’rif at Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rif at kesempurnaan hidup [the science of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebut kan basis ilmiah ajaran t ersebut adalah renungan f ilsaf at yg bentuk aplikasinya adalah met af isika dan et ika. Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14 http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 1 / 22

Transcript of Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar

Memahami Konsep Manunggaling KawulaGusti Syaikh Siti Jenarby adminJanuary 15http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/

MENURUT R.NG. RANGGAWARSITA (1802-1873)Tanbihun.com- Pokok keilmuan Syekh Sit i Jenar

disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaanhidup [the science of ma’rifat to attain perfect ion of life]). Ranggawarsitamenyebutkan basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yg bentukaplikasinya adalah metafisika dan et ika.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 1 / 22

Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicaratentang Ada dan t idak ada. Dalam hal ini, Syekh Sit i Jenar merumuskan tentang theReality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, namadan perbuatan “Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, ygsifat hakikinya adalah “Tunggal”.

Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah(wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalambentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harusmelakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menundakematian yg disebut :”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawulahanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia t idakboleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi.Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (ManunggalingKawula Gusti).

Ajaran ini banyak ditentang karena Tuhan dan manusia adalah hal yang berbeda. Tuhanyang mencipta sedangkan manusia yang diciptakan. Jadi antara yang menciptakan danyang diciptakan t idak bisa bersatu.Kalo logikanya orang awam : manusia menciptakan mobil ya brart i mobil dan manusiamemang berbeda. Manusia mengambil bahan baku untuk membuat mobil diluar dirinya.nah kalau Tuhan menciptakan manusia. Apakah ia juga mengambil bahan baku diluar diri-Nya?

Ada beberapa mart ir sufi yang mengakui ajaran ini misalnya syeh sit i jenar dgnslogannya “Tiada Tuhan Melainkan Aku”. Atau Al Hallaj yang mengatakan “Ana Al Haqq”.Bahkan ada hadist nabi yang menceritakan bahwa nabi Muhammad sendiri pernahmengatakan “Ana Ahmad bi la mim” (Ahad) art inya ya Nabi seakan-akan bilang dirinyaTuhan. ist ilah2 tersebut jelas menandakan bahwa Tuhan ada di dalam diri mereka.Bahkan di Quran pun dikatakan bahwa Allah itu lebih dekat daripada urat leher kita.

Bagi mereka yang mampu melakukan zikir hingga mencapai tahan “fana” maka biasanyaia akan mengalami “mahzub”. Namun mahzub t idak mesti dalam keadaan fana. Mahzubbisa terjadi dalam keadaan sadar. Manusia yang mengalami mahzub biasanya akanmengatakan “Subhani” (Maha Suci Aku) dan ist ilah2 lain yang “meniadakan” dirinyasendiri sehingga memunculkan Tuhan dalam dirinya.

AJARAN MKG MENGAJARKAN BAHWA ADA 3UNSUR YANG MENYATU YAITU :1. Sukma Kawekas (Nur Illahi)2. Sukma Sejat i (Nur Muhammad)3. Nur Insan

SASAHIDAN SYEKH SITI JENAR…“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun,lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aranAllah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iyaIngsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 2 / 22

ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsunkang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar..sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mungInsun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.”

Artinya :

“Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya t idak ada Tuhan kecualiAku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya ygdisebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup t idak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat t idakpernah lupa, Akulah Dzat yg kekal t idak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku)t idak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa danBijaksana, t idak kekurangan dalam pengert ian, sempurna terang benerang, t idak terasaapa-apa, t idak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”

AJARAN- AJARAN SYEKH SITI JENAR YANG BISADILACAK DALAM BERBAGAI KARYA KLASIK ATAUBUKU LAMA…YAITU..

MENGENAL NAMA SYEKH SITI JENARSyekh Sit i Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : SanAli (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar sepert i banyakditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulamapenyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dandaratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul darikeadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid danpengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakatLemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Sit i Jenar;melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon t idak mengenal nama Syekh Sit iJenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Sit i Jenar(nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusiasecara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah rohAllah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepadaDewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon);Syekh Nurjat i atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon,S.Z. Hadisutjipto); Syekh Sit i Bang, serta Syekh Sit i Brit ; Syekh Sit i Luhung (nama-namayg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam- Jawa versi

1. Serat Dewaroetji, Tan Khoen Swie, Kediri, 1928.2. Serat Gatolotjo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.3. Serat Kebo Kenanga, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921.4. Serat Soeloek Walisongo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.5. Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886.6. Serat Tjentini, terbitan Bat. Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 4 Jl, Batavia, 1912-1915.7. Kitab Wedha Mantra, bunga rampai ajaran para wali yang dihimpun oleh Sang Indrajit, diterbitkan

oleh Sadu Budi Solo. PAda tahun 1979 sudah mengalami cetak ulang yg ke-12.8. Suluk Walisanga, karya R. Tanojo yg di dalamnya memuat dialog-dialog antara Syekh Siti Jenar

dengan Anggota Dewan Walisanga, gubahan dari karya Sunan Giri II.9. Wejangan Walisanga, dihimpun oleh Wiryapanitra, diterbitkan oleh TB. Sadu Budi Solo, sekitar tahun

1969.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 3 / 22

Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejat i;Syekh Jat i Mulya; dan Syekh Sunyata Jat imurt i Susuhunan ing Lemah Abang.

Sit i Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Sit i Jenar yakni ilmukasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secarabiologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat)persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia t idak kekal akanmembusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaanraganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagaibentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).

Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surgadan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjarabagi orang mukmin. Menurut Syekh Sit i Jenar, dunia adalah neraka bagi orang ygmenyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya danbebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalangoleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah int i makna nama Syekh Sit i Jenar.

ASAL USUL SYEKH SITI JENARSyekh Sit i Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Sit i Jenar KiSasrawijaya; At ja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), IkatanKaryawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari,Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; AgusSunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Sit i Jenar dan Sang Pembaharu,LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia,Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In ProzaJavaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History ofJava, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktuitu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatulingkungan yg mult i-etnis, mult i-bahasa dan sebagai t it ik temu kebudayaan sertaperadaban berbagai suku.

Selama ini, silsilah Syekh Sit i Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini jugasama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Sit i Jenar sebagai manusia sejarah.

Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasamuslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk“mengubur” segala yg berbau Syekh Sit i Jenar akibat popularitasnya di masyarakat ygmengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal inikemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Sit i Jenar berasal daricacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secarategas,“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipuninggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapundiceritakan kalau Lemahbang (Syekh Sit i Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah.Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat t inggaldi desa Lemah Abang]….

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 4 / 22

Jadi Syekh Sit i Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal darikalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saatitu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai walipenyebar Islam di Tanah Jawa.

Syekh Sit i Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malikatau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor diAhmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrikberdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.

Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunanulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannyabertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malikadalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jikadiurut keatas, silsilah Syekh Sit i Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin AbiThalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakekbuyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakniSyekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddinsetelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.

Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudianbermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh DatukAhamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Sit i Jenar adalah Syekh Datuk Shalehadalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman polit ikdi Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M,masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan MudzaffarSyah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Sit i Jenar dgnsebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saatitu, Syekh Sit i Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini,sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudahbeberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaanSyekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, padatahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.

Sejak itulah San Ali atau Syekh Sit i Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela sertapenasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri diCirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab,namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuahkota mult ikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jat inya yg diasuh oleh seorang ulama asalMakkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusatpengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgnpendidikan otodidak bidang spiritual.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 5 / 22

PADEPOKAN GIRI AMPARAN JATISetelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M,Syekh Sit i Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuhPedepokan Giri Amparan Jat i, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon olehKerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus].

Di Padepokan Giri Amparan Jat i ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajarankeagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqihdan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasiketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jat i. Syarif Hidayatullah barudatang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Sit i Jenar dari perantauannya diTimur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri AmparanJat i, dgn usia sekitar 17-an tahun.

Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jat i,ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi).Sebagai t it ik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Sit i Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan PrabuKertawijaya Majapahit . Int i dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok lakuutama.

Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana t idak adal lagi sesuatu yg ingindicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang t idak lagi merasakan memiliki badandan karenanya t idak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani t inggi,“bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, TakTerpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn“Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaanjiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yaknidimensi tert inggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri danmengatasi “Aku”.

Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui AriaDamar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana IbrahimSamarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, KampungPedamaran.

Diperkirakan Syekh Sit i Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M.bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikatketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya MahaCahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.

Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn parabangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Aliuntuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong.Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagaikarakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimangharta. Selain menjadi saudagar, Syekh Sit i jenar juga menyiarkan agama Islam yg olehmasyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 6 / 22

Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Alidianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.

PENCERAHAN ROHANI DI BAGHDADSetelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait(keturunan Rasulullah), Syekh Sit i Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi keTimur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.

Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malakaasal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Sit i Jenarmampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala perist iwa yg tergelardi alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg t idak terlihat pada hakikatnya adalahaf’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsungbagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.

Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali,bahwa Syekh Sit i Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman ygdialami dan dirasakan Syekh Sit i Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam ataumanusianya sebagai tolak t it ik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melaluiiradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alamlahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memilikinama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud darisegala yg maujud.

Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud.Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawaludtersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalahpeninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, SyekhSit i Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.

Syekh Sit i Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah danFushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitabtasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al- Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jilimeninggal, Syekh Sit i Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.

Dan sebenarnya Syekh Sit i Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj danterutama al- Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskanajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namuntasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, SyekhSit i Jenar t idak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkangagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawahanya ada 3 kitab karya Syekh Sit i Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan BalalMubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 7 / 22

Syekh Sit i Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuantenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalahpuncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Sit i Jenar kelak sekembalinya ke Jawamenyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai t it ik pangkalpaham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalamteologi-sufi Syekh Sit i Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mist ik al-Hallaj danal- Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahamanyg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al- Jili dan Ibnu‘Arabi.

Syekh Sit i Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al- Jili sangatsederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memilikibanyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akanditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitabitu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mist ik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan polit ik diJawa.Syekh Sit i Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumahtempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalamekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9(Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.

Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada t ingkatan fawa’id(memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telahtersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); danlawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyatmelalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuatseluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagaipenyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Sit i Jenar mendapatkankenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.

Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya iamerasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani,alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku,t iada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganyamendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, lailaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalahdzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut.Sampai di sini, Syekh Sit i Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insansirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).

Sebenarnya int i ajaran Syekh Sit i Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al- Jilani(w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al- Jili. Hanya sajaketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam art ian, ajarannya t idak dipolit isasi,sehingga dalam kehidupannya di dunia t idak pernah mengalami int imidasi dankekerasan sebagai korban polit ik dan menemui akhir hayat secara biasa.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 8 / 22

Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Sit i Jenarmenuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakianrohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasannaluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal(sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani);rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dankesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).

INGSUN, ALLAH DAN KEMANUNGGALAN (SYEKHSITI JENAR)1.“SABDA SUKMA, ADHEP IDHEP ALLAH, KANGANEMBAH ALLAH, KANG SINEMBAH ALLAH, KANGMURBA AMISESA.”Pernyataan Syekh Sit i Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh ygbertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputisegala sesuatu.”

Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Sit i Jenar yg maksudnya adalahsukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itudiakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ahal-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawanafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkankediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka t irai-t iraiRohani juga akan tersingkap, sehingga kesejat ian dirinya beradu-adu (adhep idhep),“aku ini kau, tapi kau aku”.

Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagaikawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentangdirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.

2. “HIDUP ITU BERSIFAT BARU DAN DILENGKAPIDENGAN PANCAINDERA.Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya,akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itupancaindera t idak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran,angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, t idak dapat dipakai sebagaipegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa t idur dan seringkali t idakjujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaanorang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan,untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”

Menurut Syekh Sit i Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal t idak dapat dijadikanpegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, ZatYang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego.Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 9 / 22

Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbingoleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. SedangkanYang Maha Budi itu t idak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab namabukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulanadan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama t idak perlu disembah. Jebakannama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.

3.“APAKAH TIDAK TAHU BAHWA PENAMPILAN BENTUKDAGING, URAT, TULANG, SUNSUM, BISA RUSAK DANBAGAIMANA CARA ANDA MEMPERBAIKINYA?Biarpun bersembahyang seribu kali set iap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badanAnda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknyasepert i Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa t idakdapat. Alam semesta ini baru. Tuhan t idak akan membentuk dunia ini dua kali dan jugatidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg art inya t idakmembuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuatdunia.”Dari pernyataan itu nampak Syekh Sit i Jenar memandang alam makrokosmos samadengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaanTuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau t idak kekal.

Pada sisi lain, pernyataan Syekh Sit i Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataansufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagiSyekh Sit i Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda,termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semestamenjadi tanggungjawab manusia.

Maka mikrokosmos manusia, t idak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagatbesar termasuk semesta.Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg int inya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzatTuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapipancaindera, berbagai organ tubuh sepert i daging, otot, darah dan tulang. Semuaaspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusiaterlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.

4. “SEGALA SESUATU YG TERJADI DI ALAM SEMESTAINI PADA HAKIKATNYA ADALAH AF’AL (PERBUATAN)ALLAH.Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadikeliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dariselain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusiamenggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati ygdipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Disitulah berlaku dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, ygmaknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di siniterkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud.Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalahberdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 10 / 22

ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlahengkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar.Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’alAllah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi.Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya t idakakan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”

Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimanamanusia t idak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedaraf’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanyake-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.

5. “DI DUNIA INI KITA MERUPAKAN MAYAT-MAYAT YGCEPAT JUGA AKAN MENJADI BUSUK DAN BERCAMPURTANAH.Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti t idak berkaitan dgn seorang manusiabiasa sepert i yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malamtidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dankawula lenyap, yg t inggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADAsendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapatdikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapatbanyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu.Tetapi kau t idak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg samasekali t idak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orangyg terikat padanya. Saya t idak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaankematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”

Syekh Sit i Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagaiTuhan, ia memiliki hidupdan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehinggadidapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikapperilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran SyekhSit i Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnyamati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejat i.Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosokmayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia iniadalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagaigoda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejat i dan berusaha menguburkan kesadaranIngsun Sejat i.

SURGA DAN NERAKA SYEKH SITI JENAR“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Sit i Jenardalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah“inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga danneraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).

Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu t idaklah kekal. Yangmenganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya merekaberdua wajib rusak dan binasa.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 11 / 22

Bagi Syekh Sit i Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikanpembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia,sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebabbagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalamikematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tankena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncakcita-cita dan tujuan manusia.

Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka t idaklahkekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab t idakmungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belumsempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinyamanusia hanya Allah, yang t idak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihial-mashir………

PUASA DAN HAJI SYEKH SITI JENAR“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang t idak diinginkan, jadi t idak perlu. Adapunzakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnyakedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menurutiaulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanyaorang yang t idak tahu. Lain halnya dengan saya, Sit i Jenar.”

“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah,pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnyahal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semuamengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, t iada beda satu denganyang lain. Oleh karena itu saya, Sit i Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti ZatMaulana.”

Syekh Sit i jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omongkosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah t idak ada yang asli). Tentu ist ilah inisangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwaSyekh Sit i Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’attersebut. Syekh Sit i Jenar menggunakan ist ilah “iku wes palson kabeh”, yg art inya “itusudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengert iannya dengankata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”

Jadi yang dikehendaki Syekh Sit i Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam padamasa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengert iansyari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaatmelaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentanganyang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.

Bagi Syekh Sit i Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupapenyaksian atau kesaksian. Ini berart i dalam pelaksanaan syariat harus ada unsurpengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, t idak dapat dipegangidan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan dibumi.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 12 / 22

Apalagi sudah t idak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi,justru syariat hanya menjadi alat legit imasi kekuasaan (sepert i sekarang ini juga). Yangmengajarkan syari’at juga t idak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dantidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna.Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohanimanusia.

Nah, yg dikrit ik Syekh Sit i Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannyaitu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagaibentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukanprofesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalatsejat i, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupayamewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulahshalat yg sesungguhnya.

MAKNA IHSAN“Itulah yang dianggap Syekh Sit i Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah ataskehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ialahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya,kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya t idakmenyembah kepada budi dan cipta. Syekh Sit i Jenar berpendapat dan menggangapdirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejat i, sifat Muhammad yg kudus.”

“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipulamemiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mulasegala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYAtanpa cacat sepert i hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia t iada nampak. Ia sangatsakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.

Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Sit i Jenar, bahwasifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salahsatu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalamkeadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilahyg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, ist iqamah, sabar dan t idakmudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.

Sebab Syekh Sit i Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani,bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataanRasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukanajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYAAllah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.

“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnyamempunyai wujud, sepert i penampakan raga yg t iada tampak. Warnanyamelambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan t iada berdusta, ibaratnya kekal t iada bermula,sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”

Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 13 / 22

seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap danmenentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hatiadalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk salingmemiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itusifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatananmasyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahanatas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ket idaktahuan manusia akanHyang Widhi…Allah (sepert i Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnyamereka t idak mengert i”).

Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia seringmembabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang olehSyekh Sit i Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya,bagi Syekh Sit i Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahianke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih danmengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.

Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanyaterwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dansubstansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itusendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan ygnyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat olehrekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efekbagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.

Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsungsecara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melaluikebijakan ekonomi, polit ik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama initerjadi.

Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yglahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusiamengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehanserta perbudakan kemanusiaan t idak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifatingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia t idak akan terjadi. Dantentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti t idak akan terjadi.

TAFSIR KISAH MUSA DAN KHIDIR (SYEKH SITIJENAR)“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaanmanusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanandan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah ygdisebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na),perlambang alam t idak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam),perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”

“Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudahberenang di perbatasan alam kasatmata san alam t idak kasatmata. Kawanan udang

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 14 / 22

perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencariKebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antarabatu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat danpamrih-pamrih duniawi.”

“Sesungguhnya, perist iwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimanatermaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya perist iwa sejarah seorangmanusia bertemu manusia lain. Ia adalah perist iwa perjalanan rohani yg berlangsung didalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dualautan di dalam Al-Qur’an t idak lain dan t idak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na)dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasanatau sekat (barzakh).”

“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alamasy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib(‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan ygmelingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dualautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiulautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwasang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air(dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dansekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia t idak bisa melihat iar dan t idak sadar jikadirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan t idak dapat hidup tanpa air yg meliputibagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputiair yg tak bisa dilihatnya.”

“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS daritempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS didalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecualiudara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udarakosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia t idak bisa melihat udarakosong dan t idak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, NabiMusa AS t idak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalamtubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong ygtidak bisa dilihatnya.”

“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakanbekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam t idak kasatmata.Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sangPembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejat it idak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya,saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagikarena ia sejat inya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”

“Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah).Namun, bagi pencari Kebenaran sejat i, pahala perbuatan baik itu justru mempertebalgumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupaoleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 15 / 22

“Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yglain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya NabiMusa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan,jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”

“Ternyata, Nabi Musa AS t idak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwatempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehinggatersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnamarohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahirahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman danar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”

“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA ygtelah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itusebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengahwilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikanpengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan,sesungguhnya Khidir AS itu t idak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijauterang yg tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan AdamAS ke jalan Kebenaran Sejat i. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejat i ke jalanKebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki(as –Rasyid).”

“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejat i di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawananudang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna(bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud).Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada t it ik ini, berart i perjalananmenusia itu menuju ke Kebenaran Sejat i masih akan berlanjut.”Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejat i penuh diliputi tandakebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya,masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuaipemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalamanyg akan manusia alami t idak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”

“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkanmelanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam t idak kasatmata. Merekakemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakanuntuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakanoleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejat i adalahperjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) ituharus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpangperahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”

“Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadisadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam LautanMakna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu t idak dilubangi,dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas olehSang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 16 / 22

sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu t idak bisamelanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam disegenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasibsepert i penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang MahaRaja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akandiangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan YangMaha Indah (al Jamal).”

“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan t idak lagidigunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskansebagai berikut.”

“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untukpedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam t idak kasatmata adalah alam ygtidak jelas batas-batasnya. Alam yg t idak bisa dinalar karena segala kekuatan akalmanusia mengikat itu t idak bisa berijt ihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alamgaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnyadalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatanyg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akalsehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seoranganak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”

“Namun jika wahana (syari’ah) t idak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnyapedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannyabukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara(thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepadakehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kitahanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan t idak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun t idak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun makahanya melalui Dia (walaupun kita t idak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itusebabnya, di alam t idak kasatmata yg t idak jelas batas dan tanda-tandanya itu kitat idak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahanrahmat dan hidayah-NYA.”

“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat sayajelaskan sebagai berikut.”“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohaniseorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil ygkekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harusdibunuh agar kedewasaan rohani t idak terganggu.”

“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejat i selalu terjadikeadaan di mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderungmengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagaiakibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka daningkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihatdengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul,pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 17 / 22

“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang darikeberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya.Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan rohmanusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya,perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akanmenyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimananmereka yg beriman (mu’min).”

“Adapun dinding yg dit inggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tert inggi (al barzakhal ‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding ituadalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al- Jalil). Lantaran itu, dinding tersebutdinamakan Dinding al- Jalal (al jidar al- Jalal), yg dibawahnya tersimpan KhazanahPerbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”

“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalahperlambang jat i diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jat i diri manusia itu baru tersingkap jika seseorangsudah berada dalam keadaan t idak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad)dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalahperlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah ygmewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, SangPembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka.Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS(QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS kedalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”

“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jat i dirinya sesungguhnyaadalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasaldari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya YangTerpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari t iupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa ASberasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”

“Sehingga t idak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan KhazanahPerbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al- Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh makasaat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sanganak sadar bahwa ia sejat inya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) ygmerupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itut idak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan.Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”

PENJELASAN TENTANG KONSEP SHIRATALMUSTAQIM (SYEKH SITI JENAR)“Saya hanya memberi sebuah petunjuk yg bisa digunakan untuk menit i jembatan(shirath) ajaib ke arah-NYA. Saya katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 18 / 22

sekaligus mendekatkan jarak mereka yg menit i dgn tujuan yg hendak dicapai.”

“Sebagaimana kisah Nabi Musa AS dalam perjalanan mencari Khidir AS, jembatan itumemiliki empat bagian mantra yg masing-masing memiliki pintu. Pertama, mantraist ighfar yg berisi perlambang Nabi Musa AS bersama pemuda (al-fata) menjumpaiKhidir AS di perbatasan antara dua lautan. Kedua, mantra salawat yg berisi perlambangKhidir AS melubangi perahu. Ketiga, mantra dalil yg berisi perlambang Khidir ASmembunuh anak. Keempat, mantra nafs al-haqq yg berisi perlambang Khidir ASmenegakkan dinding yg di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.”

Bagi kalangan awam, ist ighfar lazimnya dipahami sebagai upaya memohon ampunkepada al-ghaffar sehingga mereka beroleh ampunan (maghfirah). Tetapi bagi parasalik, ist ighfar adalah upaya memohon pembebasan dari ‘belenggu’ (penjara) kekauankepada al-ghaffar sehingga beroleh maghfirah yg menyingkap tabir ghain ygmenyelubungi manusia. Sesungguhnya di dalam Asma’ al-Ghaffar terangkum maknaMaha Pengampun dan juga Makna Maha Menutupi, Maha menyembunyikan dan MahaMenyelubungi.”“Sesungguhnya perjalanan manusia, ketika sudah mengalami kasyf al-hijab ia telahsampai ke bagian jembatan yg disebut mantra ist ighfar. Tabir ghain yg menyelubungikeakuannya telah menyingsing. Ia telah menyaksikan Khidir AS, namun karena kadang iaterperangkap pada keinginan untuk memperoleh karunia-NYA semata (karamah darikealian), namun ia hanya berputar-putar di mantra ist ighfar yg penuh diliputi gambaran-gambaran indah karunia-NYA.”

“Cara melepaskan hal itu, agar ia sampai pada mantra salawat adalah dgn “Melubangiperahu” sepert i yg dilakukan Khidir AS hal ini harus dilakukan.”

“Tanpa melubangi perahu (maksudnya t inggalkan akal dimana itu hanya sekedarpancaindera yg t idak kekal dan hanya niat yg tulus dan “kasih” maka akan diberikanhidayah bagi yg demikian…..sepert i Prabu Jayabaya melakukan Moksa, Beliaumeninggalkan segala bentuk atribut kerajaan yg diperlambang meninggalkan akal..danint inya kembali ke fitrah seorang bayi yg melihat dgn “kasih” tanpa ada kerajaan “Akal”di kepalanya), sang salik t idak akan mengetahui hakikat sejat i Lautan Wujud (bahr al-wujud). Tanpa melubangi perahu maka kedudukan salik t idak jauh berbeda dgnkedudukan para nelayan; memanfaatkan perahu untuk mencari ikan (pahala) danberbagai karunia-NYA yg terhampar di permukaan Lautan Wujud, yg selainbergelombang dahsyat juga berisiko dihadang Sang Rajadiraja (al-Malik al-Mulki) ygsetiap saat akan merampas perahu-perahu yg baik.”

“Di mantra salawat ini sang salik harus menyadari kehambaannya kepada Yang MahaTerpuji (ahmad) sebagai Sumber segala kejadian. Di Mantra itu sang salik harus menjadighulam yg baik dan berbakti kepada sumbernya, yakni pancaran Air Kehidupan ygmengalir dari lubang perahu yg dibuat Khidir AS Ghulam yg durhaka dan mengingkarikehambaannya kepada Yang Terpuji harus dibunuh. Sang salik yg tenggelam ke dalammantra salawat ini disebut fana ke dalam Rasulullah (fana’ fi rasul).”

“Air Kehidupan yang memancar dari lubang itu sesungguhnya sama hakikatnya dgn AirKehidupan yg tergelar di hamparan Lautan Wujud. Walau demikian, tanpa melalui AirKehidupan yg mengalir dari lubang maka salik t idak akan mencapai Air Kehidupan ygtergelar di Lautan Wujud.”

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 19 / 22

“Mantra tahlil adalah mantra Ke-Esa-an. Mantra Tauhid. Inilah mantra Ke-Esa-an Wujud;Lautan Wujud sama hakikatnya dengan Air Kehidupan. Ibarat ungkapan kesaksian t idakada ilah selain Allah (la ilaha illa Allah), demikianlah di mantra ini terungkap kesaksiantidak ada air lain yg tergelar di hamparan Lautan Wujud kecuali Air Kehidupan (Ma’ al-Hayy) yg mengalir dari Sang hidup (al-Hayy). Inilah mantra yg diibaratkan dalamperlambang dinding yg ditegakkan Khidir AS yg di bawahnya tersembunyiperbendaharaan.”

“Mantra nafs al-haqq adalah mantra rahasia yg t idak bisa diuraikan. Sebab, mantra inimenyangkut Perbendaharaan Tersembunyi yg terdapat di bawah dinding. Tak ada satupun di antara makhluk yg mengetahui keberadaan-NYA, kecuali memang dikehendaki-NYA. Jika Al Qur’an saja t idak memberikan penjelasan tentang apa sesungguhnyaPerbendaharaan, tentunya manusia t idak boleh menghayal-khayal tentangPerbendaharaan itu. Gambaran Nabi Musa AS yg berpisah dengan Khidir AS di mantra ituadalah kearifan dari Sang Pencerita untuk t idak mengungkapkan apa yg t idak dapatdipahami pendengar-NYA.”

Bagi Syekh Sit i Jenar, bentuk lafadz ist ighfar, shalawat, tasbih, tahlil dan semacamnyasebenarnya lafadz-lafadz yg menuntut menusi untuk menempuh jalan menujukemanunggalan. Sehingga kalimat-kalimat tersebut t idaklah cukup hanya dijadikanucapan penghias bibir belaka. Kalimat-kalimat tersebut hakikatnya adalah urat nadiperjalanan rohani manusia, yg penyelami atasnya dapat membawa ke samuderama’rifat untuk mengenal dan mendekati-NYA dan kemudian menghampiri-NYA untukmanunggal dalam keabadian. Sehingga mantra-mantra dari kalimat itu akan tetapterbawa kesadarannya tetap mengiringinya dengan senyum menuju Haribaan-NYA.Yakinlah kamu atas nama Allah maka kamu akan sampai dgn kehendak-NYA…Amin…amin…

PELAKSANAAN HAJI SYEKH SITI JENARBagi Syekh Sit i Jenar, ibadah haji di al-Haramain merupakan t indakan atau laku ‘abid ygsedang menjalankan ibadah untuk mengarahkan kiblat kepada Ma’bud. Inilah int i ibadahhaji yg menurut Syekh Sit i Jenar akan mampu membawa pencerahan bagi pelaksananya.Haji bukan semata-mata melaksanakan ihram, thawaf, sa’I, wuquf, bermalam diMuzdalifah dan Masy’ar al-Haram dan melempar jumrah secara badani.

Tetapi makna hakiki haji bagi Beliau adalah peribadatan yg mampu membawa seorangsalik mendaki maqam jasadiyah ke maqam rohaniyah; t indakan manapaki kembali jejakAdam yg terusir dari surga, ke asal penciptaan yg mulia di antara semua hamba-NYA,yaitu Adam yg kepadanya seluruh malaikat bersujud dan dibanggakan Rabb-nya karenamengetahui nama-nama serta berwawansabda dgn al-Khaliq.

Demikian pula dgn Makkah. Bagi Beliau kota suci ini merupakan tempat meningkatkankualitas kehidupan mist iknya. Ka’bah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempatkhusus memperoleh pengalaman rohani yg t idak mungkin diperoleh di temapat lain.Perenungan yg demikian dalam itulah yg kemudian menghasilkan pengalaman spiritual,menuju puncak ma’rifatullah.

Pengalaman spiritual pertama, Syekh Sit i Jenar mengalami ke fana’-an yg lebih t inggidibanding pengalaman spiritual yg sudah lewat. Dalam keadaan fana’-nya itu, ia

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 20 / 22

mengalami pandangan lawami’, menyaksikan seorang pemuda yg telah sampai kepadatingkatan puncak dalam pendakian spiritual. Melalui isyarat (pembicaraan dgn bahasaperlambang) dan al-ima’ (pembicaraan tanpa lisan dan bahasa perlambang), pemudatersebut mengungkap jalan menuju-NYA; menembus berbagai tabir hijab dualitasinsaniyah dan Ilahi-yah, memasuki samudera sifat dan Asma Allah. Beliau dituntunmenjadi al-Insan al-Kamil, dimana potensi Roh al-Haqq yg bersemayam dalam BaitulHaram hati-jiwanya, dioptimalisir bagi eksistensi dirinya di dunia. Jika Roh al-Haqq init idak dioptimalisasikan, maka hakikat manusia hidup adalah hanya sebagai mayat ataubangkai. Demikian pula jalur ibadah formal yg t idak disertai kebangkitan Roh al-Haqq,t idak akan memiliki efektivitas apapun, bagi kehidupan sejat i di akhirat kelak.

Roh al-Haqq dari lubuk Abitul Haram hati itulah yg menjalin relasi dgn Dia (Huwa), ygmeniupkan roh-NYA melalui nafs al-rahman. Melalui jalur itulah akan tersingkap seluruhrahasia keberadaan al-Haqq (Yang Riil) yg menjadi esensi sekaligus substansi Roh al-Haqq. Jalinan antara al-Haqq dan Huwa (Dia Yang Mutlak Tak Terbatas) itulah hakikatsejat i dari fana’ fi tauhid; Yang Riil Yang Beragam (farq), manunggal dengan Yang Satu(Jam’).

Setelah Beliau mengalami pengalaman puncak spiritual yg dahsyat tsb, kembali terjadipengalaman kedua. Melalui nur lawami’ dan fawa’id-nya, ia mengetahui bahwa pemudayg semula membimbingnya mengalami pengalaman puncak, t iada lain dan t idak bukanadalah Abu Bakar al-Shidiq, sahabat etrkasih Rasulullah. Pengalaman pertemuan dgn rohAbu Bakar itu terjadi dalam kondisi ekstase kesufian, ketika kesadaran jiwanya beradadalam ‘alam al-khalaq (alam kasatmata)dgn ‘alam al-khayal (alam imajinasi).

Pengalaman ketiga, terjadi ketika thawaf wada’. Ketika kondisi rohaninya sedangberada dalam ke-fana’-an, ia merasakan nur dalam dirinya menyatu dgn Nur Muhammad.Dalam pergulatan kalbunya itu, kemudian ia terbawa dalam situasi yg mencengangkan.Mendadak Ka’bah dan segala yg disekitarnya lenyap. Ia berada di alam syahadah ygmaha-luas, dimana seluruh tubuhnya memancar Nur. Ia merasakan dan menyatu dgnNur, sehingga ia t idak tahu lagi tentang eksistensi dirinya. Antara sadar dan t idak, iamerasakan al-Haqq yg bersemayam di arsy Baitul Haram hatinya berkata-kata sendiri,“Ana sirr al-Haqqi wa ma al-Haqq ana, wa ANA AL-HAQQ fa innani ma ziltu aba wa bi al-Haqqi haqqun.”

Di Makkah beliau telah berhasil mencapai kemanunggalan. Kini seluruh pandangan beliautelah selalu berada dalam ‘ain al-bashirah, sebagai pengejawantahan dari al-Bashir.

Ketika Syekh Sit i Jenar berada di depan kubur Rasulullah, ia kembali mengalami lintasan-lintasn rohani yg menakjubkan. Kali ini melalui pandangan al-bashirah-nya, iadieprtumukan dgn sosok agung Muhammad SAW, yg mengungkapkan rahasia NurMuhammad dan wujudiyah kepada Syekh Sit i Jenar, mengungkapkan rahasia kalimat,“Ana min nur Allah wa khalq kulluhum min nuri.” Demikian pula mengenai rahasia HaqiqahMuhammad, yg di dalamnya terhadap nama lain Nabi Muhammad, yaitu “Ahmad” itulahyg dimaksud dalam hadist “ana Ahmadun bi-la mim.” Yg maksudnya adalah “Aku t idaklain adalah Ahad.” Jadi Nabi Muhammad yg diberi nama semesta “Ahmad” t idak lainadalah pengejawantahan dari sang “Ahad” sendiri.

Dari pengalaman kemanunggalan yg dialami di Makkah itu, Syekh Sit i Jenar t idak bisamembedakan antara fana’ fi Allah dan fana’ fi rasul, sebab hakikat dan esensinya sama.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 21 / 22

Fana’ fi rasul, melalui rahasia di balik nama “Ahmad”, t idak lain juga fana’ fi al-Ahad.

Sumber

© 2014 Copyright Tanbihun Online. All Rights reserved.

Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar | Tanbihun Online 29/04/14

http://tanbihun.com/tasawwuf/memahami-konsep-manunggaling-kawula-gusti-syaikh-siti-jenar/ 22 / 22