BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Religiusitas 1. Pengertian ...

13
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas Menurut Yanuarti (Yanuarti, 2018: 24), Istilah religiusitas (religiosity) berasal dari bahasa Inggris “religion” yang berarti agama, kemudian menjadi kata sifat “religios” yang berarti agamis atau saleh. “Religi” berarti kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan adanya kekuatan diatas manusia. Religiusitas merupakan bagian dari karakteristik pribadi seseorang yang dengan sendiri menggambarkan personalitas sebagai internalisasi nilai-nilai religiusitas secara utuh yang diperoleh dari sosialisasi nilai religius disepanjang kehidupannya. Dengan demikian, kalau seseorang religius semestinya personalitas dan kepribadiannya menggambarkan bangunan integral dari dirinya, yang akan nampak pada wawasan, motivasi, cara berfikir, sikap, perilaku dan tingkat kepuasan pada dirinya yang merupakan hasil dari organisasi sistem psiko- fisiknya. Menurut Azra, dkk (Azra, Suryana, Abdulhaq, & Hafiduddin, 2002: 30) agama (religion) dalam pengertiannya yang paling umum diartikan sebagai sistem orientasi dan obyek pengabdian. Dalam pengertian ini semua orang adalah makhluk religius, karena tak seorang pun dapat hidup tanpa suatu sistem yang

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Religiusitas 1. Pengertian ...

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Menurut Yanuarti (Yanuarti, 2018: 24), Istilah religiusitas (religiosity)

berasal dari bahasa Inggris “religion” yang berarti agama, kemudian menjadi kata

sifat “religios” yang berarti agamis atau saleh. “Religi” berarti kepercayaan

kepada Tuhan, kepercayaan adanya kekuatan diatas manusia. Religiusitas

merupakan bagian dari karakteristik pribadi seseorang yang dengan sendiri

menggambarkan personalitas sebagai internalisasi nilai-nilai religiusitas secara

utuh yang diperoleh dari sosialisasi nilai religius disepanjang kehidupannya.

Dengan demikian, kalau seseorang religius semestinya personalitas dan

kepribadiannya menggambarkan bangunan integral dari dirinya, yang akan

nampak pada wawasan, motivasi, cara berfikir, sikap, perilaku dan tingkat

kepuasan pada dirinya yang merupakan hasil dari organisasi sistem psiko-

fisiknya.

Menurut Azra, dkk (Azra, Suryana, Abdulhaq, & Hafiduddin, 2002: 30)

agama (religion) dalam pengertiannya yang paling umum diartikan sebagai sistem

orientasi dan obyek pengabdian. Dalam pengertian ini semua orang adalah

makhluk religius, karena tak seorang pun dapat hidup tanpa suatu sistem yang

10

mengaturnya dan tetap dalam kondisi sehat. Kebudayaan yang berkembang di

tengah manusia adalah produk dari tingkah laku keberagamaan manusia.

Agama, dalam pengertian Glock & Stark (Ancok, 2011: 76), adalah sistem

simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlambangkan,

yang semuanya itu berpusat pada persoalan – persoalan yang dihayati sebagai

yang paling maknawi (ultimate meaning).

Sebagian ahli studi keagamaan beranggapan bahwa kata „religion‟ berasal

dari bahasa latin „religio‟ yang digunakan untuk menggambarkan keyakinan

adanya kekuatan yang luar biasa yang berada di luar diri manusia. Ahli lain

berpendapat bahwa istilah „religio‟ mengacu pada perasaan yang muncul ketika

manusia menyadari adanya kekuatan lebih besar dari dirinya Wulff (Subandi,

2013: 26)

Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa agama atau

religiusitas adalah sesuatu yang tidak dapat secara mudah kita lihat dari luar diri

seseorang, religiusitas lebih seperti apa yang kita yakini dan menjadi penghayatan

di dalam diri, dan tercurah dalam setiap sisi kehidupan sehari-hari serta menjadi

lambang atau citra diri kita sendiri, hal tersebut mucul karena diri kita menyadari

dan mempercayai adanya kekuatan yang luar biasa melampaui diri manusia. Hal

tersebut akan menjadi personalitas dan kepribadian diri dalam kehidupan bersosial

yang akan nampak pada wawasan, motivasi, cara berfikir, sikap, prilaku dan

tingkat kepuasan pada dirinya yang merupakan hasil dari organisasi sistem psiko-

fisiknya.

11

2. Dimensi Religiusitas

Bentuk religiusitas masyarakat dapat terlihat dari dimensi religiusitas yang

dikemukakan oleh C.Y Glock dan R. Stark (Yanuar, 2018: 24) terdapat lima

dimensi dalam religiusitas, yaitu:

a. Religious Belief (The Ideological Dimension) adalah tingkatan sejauh mana

seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Dimensi

keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan (syahadat) yang

diwujudkan dengan membaca dua kalimat syahadat, bahwa tidak ada tuhan

selain Allah, dan Nabi Muhammad itu utusan Allah.

b. Religious Practice (The Ritual Dimension) yaitu tingkatan sejauh mana

seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamnya. Wujud

dari dimensi ini adalah perilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam

menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam

agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat, puasa,

zakat, haji atau praktek muamalah lainnya.

c. Religious Feeling (The Experiental Demension) atau bias disebut dimensi

pengalaman. Perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan

dirasakan. Dalam Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau

akrab dengan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif)

kepada Allah. Perasaan Khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa,

perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al Qur‟an, perasaan

bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari

Allah.

12

d. Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi pengetahuan

agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang

mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam

kitab sucinya. Seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok

mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi dalam

agama tersebut.

e. Religious Effect (The Consequential Dimension) yaitu dimensi yang

mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran

agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah seseorang mengunjungi

tetangganya yang sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermawankan

hartanya, dan sebagainya.

Menurut Ancok dan Suroso (Ancok, 2011: 80) rumusan Glock & Stark yang

membagi keberagamaan menjadi lima dimensi dalam tingkatan tertentu

mempunyai kesesuaian dengan Islam.

Walau tak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan

akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi

pengalaman disejajarkan dengan akhlak.

a. Dimensi keyakinan atau akidah Islam menujuk pada seberapa tingkat

keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama

terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran

yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam keberislaman, isi dimensi

keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul,

kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

13

b. Dimensi Peribadatan (atau praktek agama) atau syariah menunjuk pada

seberapa tingkatan kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan

ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam

keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa,

zakat, haji, membaca Al-Qur‟an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid

di bulan puasa, dan sebagainya.

c. Dimensi pengamalan atau akhlak menunjukan pada seberapa tingkatan

Muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana

individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam

keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama,

berderma, mensejahterakan dan menumbuh kembangkan orang lain,

menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga

lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak

menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan,

mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup

sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.

14

Lebih lanjut Ancok dan Nashori (Reza, 2013: 49) mengungkapkan

religiusitas memiliki lima dimensi,

a. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan seseorang Muslim terhadap

kebenaran ajaran-ajaran agama Islam.

b. Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-

kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan dalam agama Islam.

c. Ketiga akhlak, yaitu tingkat prilaku Muslim beerdasarkan ajaran-ajaran

agama islam, bagaimana berealisasi dengan dunia beserta isinya.

d. Keempat pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman Muslim terhadap

ajaran-ajaran agama Islam, sebagaimana termuat dalam Al-Qur‟an.

e. Kelima penghayatan, yaitu mengalami perasaan-perasaan dalam menjalankan

aktivitas beragama dalam agama Islam

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seperti yang

diungkapkan Ancok dan Nashori (Reza, 2013: 49) bahwa religiusitas memiliki

lima dimensi yaitu akidah, syariah, akhlak, pengetahuan agama, dan adalah

penghayatan.

Dari dimensi-dimensi tersebut dapat disimpulkan bahwa, religiusitas

seseorang adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri dan langsung menuju

kepada sang pencipta, bukan yang bersifat seperti materi namun lebih seperti

rohani yang memancar dari dalam diri seseorang menuju luar saat menjalankan

kehidupan sosial sehari-hari.

15

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas

Menurut Glock dan stark (Ulina, Kurniasih, & Putri, 2013: 19) faktor yang

mempengaruhi sikap keagamaan yaitu:

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

b. Faktor pengalaman

c. Faktor kehidupan

d. Faktor intelektual

Menurut William McDougall (Subandi, 2013: 27) faktor yang mempengaruhi

seseorang beragama adalah:

a. Curiosity (rasa ingin tahu)

b. Fear (rasa takut)

c. Subjection (perasaan tergantung)

d. Ta‟zim (terpesona, kagum, dan penghormatan)

Menurut Jalaludin (Jalaludin, 2004: 233), faktor-faktor yang ikut berpengaruh

terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah.

a. Faktor intern

1. Hereditas

2. Tingkat usia

3. Kepribadian

4. Kondisi kejiwaan

b. Faktor ekstern

1. Lingkungan keluarga

2. Lingkungan institusional

16

3. Lingkungan masyarakat

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi

sikap keagamaan yaitu pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan

sosial, faktor pengalaman, faktor kehidupan, dan faktor intelektual. Kadang

minimnya pendidikan, salah satunya pendidikan agama membuat kita kurang

memahami makna sesungguhnya tentang keagamaan.

B. Pekerja Seks Komersial (PSK)

Pekerja seks komersial atau PSK adalah sebutan bagi seseorang yang

menawarkan atau menjajakan dirinya untuk tujuan mendapatkan uang atau juga

demi kepuasan nafsunya, menurut Nasir (Rahayu, 2012: 90) pelacuran adalah

suatu komunitas yang memiliki keunikan tidak saja dari kehidupan yang sering

dianggap menyimpang, tetapi dari sisi tindakannya yang “melegalisasi”

seksualitas kontraktual dalam kehidupannya. Menurut Syam (Rahayu, 2012: 90)

secara kultural, pelacur atau pekerja seks komersial dikonstruksikan sebagai

perempuan malam atau perempuan nakal yang menempati lembah hitam

pelacuran. Pelacuran sebenarnya bukanlah fenomena baru, pelacuran sudah ada

sejak lama, terbukti di indonesia sendiri tempat pulacuran ada dibeberapa kota dan

sudah lama berjalan dan beriringan dengan kehidupan dimasyarakat sekitar tempat

lokalisasi.

Menurut Boonme & Pierce (Rahayu, 2012: 90) pada kenyataannya, pelacur

juga manusia yang memiliki sisi psikologis yang dinamis, dimana ada susah dan

17

senang, ada sedih dan gembira serta ada kepura-puraan dan realita dalam dirinya.

Pekerja seks komersial bisa di bilang memiliki kemampuan untuk berakting yang

baik, bagaimana tidak, para pekerja seks komersial di tuntut untuk siap melayani

setiap pelanggan yang datang, tak perduli mau itu jelek, bau, ataupun kasar

padanya, dan juga para pekerja seks komersial harus bisa tersenyum ramah dan

terlihat senang meskipun dalam dirinya sedang mengalami masalah dirumah atau

dengan keluarganya.

Banyak sekali alasan yang membuat seseorang terjun kedalam dunia

pelacuran, menurut Adams (Sa‟abah, 2001: 73) menyimpulkan ada tiga faktor

utama kaum wanita remaja terjun dalam dunia pelacuran, yaitu penolakan

dantidak dihargai oleh lingkungan, kehidupan keluarga yang miskin dan

kenyataan bahwa melacur mudah mendapatkan uang dan besarannya pun

lumayan. Jadi faktor ekonomi yang membuat kebanyakan para kaum wanita

memilih jalan pintas dengan menjadi pelacur atau pekerja seks komersial.

Berdasarkan beberapa teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya

pelacuran atau prostitusi bukanlah hal yang baru di indonesia bahkan di dunia,

dan penyebab para kaum wanita memilih menjadi pelacur juga beragam, para

pekerja seks komersial memiliki banyak sekali alasan yang membuat mereka

mengambil pilihan menjadi pelacur, salah satunya adalah faktor ekonomi,

sebenarnya banyak tekanan yang dihadapi oleh para pekerja seks komersial, dari

tekanan batin dan psikis, hingga bayang-bayang ketakutan akan bahaya penyakit

kelamin dan kulit yang siap menyerang mereka.

18

C. Religiusitas Pekerja Seks Komersial (PSK)

Menurut Pargament (Utami, 2012: 49) agama mempunyai peran penting

dalam mengelola stres, agama dapat memberikan individu pengarahan/bimbingan,

dukungan, dan harapan, seperti halnya dukungan emosi. Manusia sejak lahir

memiliki potensi untuk memiliki sikap yang religius berupa dorongan untuk patuh

dan taat kepada sang pencipta, sehingga semakin tinggi tingkat religiusitas maka

semakin rendah individu memiliki kecenderungan untuk memiliki perilaku yang

menyimpang dari aturan nilai dan norma suatu agama.

Menurut Azra, dkk (2002: 30) agama (religion) dalam pengertiannya yang

paling umum diartikan sebagai sistem orientasi dan obyek pengabdian. Dalam

pengertian ini semua orang adalah makhluk religius, karena tak seorang pun dapat

hidup tanpa suatu sistem yang mengaturnya dan tetap dalam kondisi sehat.

Kebudayaan yang berkembang di tengah manusia adalah produk dari tingkah laku

keberagamaan manusia.

Menurut Sa‟abah (2001: 73) ada beberapa penyebab mengapa wanita

menenggelamkan diri ke lembah hitam pelacuran. Diantaranya hubungan kelurga

yang berantakan, terlalu menekan dan juga adanya penyiksaan seksual yang

dialami dalam keluarga, jauhnya seseorang dari kemukinan hidup secara normal

akibat rendahnya pendidikan yang dimiliki, kemiskinan dan gambaran jaminan

pekerjaan dan masa depan yang tidak jelas, kemudahan meraih uang, dan

hubungan seks terlalu dini.

19

Menurut Khumaerah (2017: 64) pelaku pelacuran sebenarnya mengetahui

bahwa perbuatan ini sangatlah terlarang, tetapi karena banyak faktor yang

menyebabkan mereka melakukan hal itu. Faktor-faktor penyebabnya di antaranya

adalah pekerja seks komersial tidak dapat membendung hawa nafsu atau bisa

dikatakan hiperseks, kemudian ada faktor ekonomi yang banyak menjadikan

alasan mereka, kemudian pengetahuan dan keimanan mereka yang kurang. Jadi

para pekerja seks komersial sebenarnya mengetahui bahwa apa yang dilakukannya

adalah perbuatan yang salah, namun banyak faktor yang membuat mereka tidak

dapat keluar dari dunia pelacuran.

Jadi menurut peneliti masalah yang paling besar yang menyebabkan seorang

wanita memilih untuk menjerumuskan diri mereka kedalam jurang prostitusi

adalah besarnya tuntutan ekonomi dari belenggu kemiskinan yang dia alami,

sehingga mereka memilih jalan pintas dalam mencari uang, dimana dengan

menjadi pelacur mereka akan dengan mudah mendapatkan pundi-pundi uang yang

banyak meskipun mereka tau resiko yang menghantui sangatlah besar.

Pada penelitian Eka Yanuarti yang berjudul “Pengaruh Sikap Religiusitas

Terhadap Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Masyarakat Kabupaten Rejang

Lebong” pada tahun 2018 menunjukan sikap religiusitas memiliki pengaruh

kontribusi sebesar 83,80% terhadap PHBS masyarakat dusun curup. Sikap religius

masyarakat memiliki pengaruh terhadap prilaku bersih masyarakat, seperti

dimensi ritual beragama membawa pengaruh terhadap perilaku penggunaan air

bersih dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian dimensi konsekuensi beragama

masyarakat membawa pengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam

20

memberantas jentik nyamuk. Pengaruh sikap religiusitas terhadap kesehatan

Psikis/ Mental masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian Parlindungan dan Brilianty dengan judul

“Gambaran Religiusitas Pada Gay” pada tahun 2014 diketahui bahwa gambaran

religiusitas subjek didapatkan hasil penelitian sebagai berikut, pada aspek dimensi

ideologi subyek Z menganggap kondisi Gay merupakan jalan hidup sedangkan

subjek K menganggap bahwa kondisinya sebagai pilihannya sendiri, dalam aspek

dimensi ritualistik keduanya mencoba untuk tidak meninggalkan sholat, dalam

dimensi perasaan, keduanya memiliki hal yang berbeda dengan Z mencoba untuk

setia dengan pasangan Gay nya, sedangkan K memilih untuk tidak melakukan

hubungan badan dengan laki-laki, pada aspek dimensi intelektual kedua subjek

mengetahui tentang ajaran agama yang di anutnya dengan berbagai sudut

pandang.

Berdasarkan dua hasil penemuan dari penelitian di atas, peneliti melihat

peran-peran religiusitas di dalam kehidupan yang mempengaruhi prilaku dan pola

berfikir dari subjek yang di teliti, hal ini membuat peneliti ingin meneliti apakah

pekerja seks komersial memiliki nilai-nilai religiusitas dalam dirinya dan apakah

hal tersebut tercerminkan dalam prilaku sehari-hari diluar sebagai pekerja seks

komersial.

21

D. Kerangka Teoretis

PEKERJA SEKS

KOMERSIAL (PSK)

RELIGIUSITAS

Faktor-faktor yang

Mempengaruhi

Religiusitas

1. Faktor pendidikan

atau pengajaran

dan berbagai

tekanan sosial

2. Fator pengalaman

3. Faktor kehidupan

4. Faktor intelektual

Gambaran Religiusitas

1. Akidah

2. Syariah

3. Akhlak

4. Pengetahuan Agama

5. Penghayatan

KONFLIK BATIN