Permohonan Pasien atas Tindakan Medis - baixardoc

10
1 Permohonan Pasien atas Tindakan Medis Fransisca Febriana 10-2010-184 D5 Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Barat Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 e-mail : [email protected] _________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Diagnosis dokter bagi seorang pasien merupakan suatu hal yang menakutkan, karena pasien dengan terpaksa harus menerima keadaan dirinya dalam kondisi sakit. Apalagi jika sakit yang ia derita cukup berat, seperti kanker maka pasien akan sulit menerima keadaan dirinya. Banyak pasien yang terdiagnosa menderita kanker enggan untuk melanjutkan pengobatan. Hal tersebut didasari karena rasa keputusasaan, takut, dan kecemasan akan penyakitnya yang mungkin menurut dirinya tidak dapat disembuhkan. Dengan pemikiran seperti itu banyak pasien kanker yang memilih untuk tidak berobat atau melakukan eutanasia atau bunuh diri. Dalam bidang medis eutanasia sendiri diperbolehkan dengan indikasi medis tertentu , namun dalam bidang hukum eutanasia baik aktif maupun pasif tidak diperbolehkan dan ada tindak pidananya. Dalam makalah ini akan dibahasa etika kedokteran dan aspek hukum mengenai tindakan eutanasia. PEMBAHASAN Skenario PBL V. Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar berprndidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini, ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita , dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada

Transcript of Permohonan Pasien atas Tindakan Medis - baixardoc

1

Permohonan Pasien atas Tindakan Medis

Fransisca Febriana

10-2010-184

D5

Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta Barat

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

e-mail : [email protected]

_________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Diagnosis dokter bagi seorang pasien merupakan suatu hal yang menakutkan, karena

pasien dengan terpaksa harus menerima keadaan dirinya dalam kondisi sakit. Apalagi jika

sakit yang ia derita cukup berat, seperti kanker maka pasien akan sulit menerima keadaan

dirinya.

Banyak pasien yang terdiagnosa menderita kanker enggan untuk melanjutkan

pengobatan. Hal tersebut didasari karena rasa keputusasaan, takut, dan kecemasan akan

penyakitnya yang mungkin menurut dirinya tidak dapat disembuhkan. Dengan pemikiran

seperti itu banyak pasien kanker yang memilih untuk tidak berobat atau melakukan eutanasia

atau bunuh diri.

Dalam bidang medis eutanasia sendiri diperbolehkan dengan indikasi medis tertentu ,

namun dalam bidang hukum eutanasia baik aktif maupun pasif tidak diperbolehkan dan ada

tindak pidananya. Dalam makalah ini akan dibahasa etika kedokteran dan aspek hukum

mengenai tindakan eutanasia.

PEMBAHASAN

Skenario PBL V. Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma

kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar berprndidikan cukup tinggi. Ia

memahami benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini,

ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU

dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita , dan alat-alat tersebut

tampaknya hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada

2

dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa

antibiotika, tanpa peralatan ICU, dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia

tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.

Dari skenario ini rumusan masalahnya adalah seorang pasien (62) yang menderita carcinoma

colon stadium terminal, dimana pasien tersebut meminta dokter untuk hanya memberikan

pelayanan minimal kepadanya. Dalam kasus ini dokter menyetujui permintaan pasien setelah

dilakukan informed consent.

Etika Kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu

sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dari moralitas. Terdapat dua teori

etika yang paling banyak digunakan orang banyak yaitu teori deontologi dn teleologi.

Denteologi mengajarkan bahwa baik buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari

perbuatannya itu sendiri, sedangkan teologi mengajarkan untuk menilai baik-buruknya

tindakan dengan melihat hasilnya dan akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada

ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih kearah penalaran dan

pembenaran kepada azas manfaat.1

Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya

perilaku manusia terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang berhadapan

dengan pasien:

Etika deskriptif :

Yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku

manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang

bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil

keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.

Etika normatif:

Yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang

seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.

Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan

kerangka tindakan yang akan diputuskan.2

3

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :

Etika Umum :

Mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis,,tentang

bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip

moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur

dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.Etika umum dapat di analogkan

dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-

teori.

Etika khusus :

Penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.

Penerapan ini bisa berwujud :

- mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan yang

dilakukan

- menilai perilaku diri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus

yang

- dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis

- mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang

ada dibaliknya.

Etika khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :

a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.

b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai

anggota umat manusia.1,3

A. Prinsip-prinsip etika profesi :

1. Tanggung jawab

Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.

Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat

pada umumnya.

2. Keadilan untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.

3. Otonomi menuntut agar setiap kaum profesional diberi kebebasan menjalankan

profesinya.1

4

B. Peranan etika dalam profesi:

1. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan

bersama kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau

segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok

yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa.

2. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan

dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan

sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat

perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu

kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.

3. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para

anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati

bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada

masyarakat profesi tersebut. 4,5

C. Tujuan kode etik profesi:

1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.

2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.

3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

4. Untuk meningkatkan mutu profesi.

5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.

6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.

7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.6

Terdapat 4 kaidah dasar dalam etika kedokteran, yaitu:

Prinsip Otonomi

Yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien

( the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan

doktrin informed consent. Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai

makhluk hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri).

Tindakan konkrit dari autonomi meliputi:1

1. Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri

2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)

3. Berterus terang

5

4. Menghargai privasi

5. Menjaga rahasi pasien

6. Menghargai rasionalitas pasien

7. Melaksanakan informed consent

8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri

9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien

10. Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan,

termasuk keluarga pasien sendiri

11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi

12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien

13. Menjaga hubungan.

Prinsip Beneficence

Yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan untuk kebaikan

pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,

melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya lebih besar dari pada sisi buruknya.

Tindakan konkrit dari beneficience meliputi:

1. Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk

kepentingan orang lain)

2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia

3. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter

4. Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan

keburukannya

5. Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang

6. Menjamin kehidupan baik

7. Pembatasan “goal based”

8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien

9. Minimalisasi akibat buruk

10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat

11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan

12. Tidak menarik honorarium di luar kepantasan

13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan

14. Mengembangkan profesi secara terus-menerus

15. Memberikan obat berkhasiat namun murah

6

16. Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang

lain seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain.1,4

Prinsip Non-malaficence

Yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang dapat memperburuk keadaan

pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no

harm”. Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:

1. Menolong pasien emergensi

2. Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:

3. Mengobati pasien yang luka

4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)

5. Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien

6. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek

7. Mengobati secara tidak proporsional

8. Mencegah pasien dari bahaya

9. Menghindari misinterpretasi dari pasien

10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian

11. Memberiksan semangat hidup

12. Melindungi pasien dari serangan

13. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan

yang merugikan pihak pasien/ keluarganya.

Prinsip Justice

Yaitu prinsip moral yamg mementingkan fairnes dan keadilan dalam bersikap

maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya

adalah memperlakukan semua pasien sama dalam kondisi yang sama. Tindakan

konkrit yang termasuk justice meliputi:

1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal

2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan

3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama

4. Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability,

quality)

5. Menghargai hak hukum pasien

7

6. Menghargai hak orang lain

7. Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)

8. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll

9. Tidak melakukan penyalahgunaan

10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien

11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya

12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)

secara adil

13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten

14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat

15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan

kesehatan

16. Bijak dalam makroalokasi.5

Euthanasia

Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang

lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan

tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah

mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland

euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa

sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang

menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan

disengaja. Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu:

A. Voluntary euthanasia: euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri

karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit

yang diakibatkannya

B. Non voluntary euthanasia: di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa

euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak

sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya

C. Involuntary euthanasia :merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa

persetujuannya.4

8

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:

A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain

untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang,

kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.

B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)

memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya

menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda

operasi.

C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima

perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri

hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis

tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.5

Etika Profesi dalam Kasus Euthanasia

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa;

“Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan

standar profesi tertinggi”.

Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang

profesi dikter harus sesuai dengan ukuran ilmu tertinggi. Yang dimaksud dengan ukuran

tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai dengan

perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai

tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat..

KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa

“setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”

Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan

kebahagiaaan manusia. Mengenai euthanasia, ternyata dapat digunakan dalam tiga arti, yaitu

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang

beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan

memberi obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien

sendiri dan keluanganya. 4,6

Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi penderitaan yang tidak tertahankan,

misalnya karena kanker dalam keadaan yang menyedihkan, kurus kering bagaikan tulang di

9

bungkus kulit, menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit kesakitan dan sebagainya. Orang yang

berpendirian pro euthanasia dalam butir c, akan mengajukan supaya pasien di beri saja

morphin dalam dosis lethal, supaya ia bebas dan penderitaan yang berat itu. Kita di Indonesia

sebagai umat yang beragama dan benfalsafah/berazaskan Pancasila percaya pada kekuasaan

mutlak dan Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang

dibebankan kepada makhluknya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus

mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan

memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya. Jadi dalam menjalankan prifesinya

seorang dokter tidak boleh melakukan mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut

ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).6

Informed Consent

Dalam praktek kedokteran sehari-hari sangatlah wajib dan penting untuk melakukan

informed consent kepada pasien. Dalam hal ini kita telah menjelaskan segala hal tentang

kondisi pasien serta meminta persetujuan pasien atas tindakan yang akan dilakukan ataupun

menerima penolakan dari pasien.

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat

penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi

izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah

mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai

persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai

tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan

dengannya.Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3

(tiga) unsure sebagai berikut :

A. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter

B. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan

C. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai

dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent”

melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan

PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed

Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal

dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada

pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau

10

keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang

diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis

(dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:

A. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko

besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3

ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis

yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah

sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan

medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);

B. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif

dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;

C. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan

disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai

tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.6,7,8

Tujuan Pelaksanaan Informed Consent. Dalam hubungan antara pelaksana (dokter)

dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”,

bertujuan :

A. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan

medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan

medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi

pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan

biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan

medisnya;

B. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-

tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan

bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan

walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi

medik.7

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai

beberapa fungsi sebagai berikut :

A. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia

B. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri

C. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien

D. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter