Pergolakan Kekuatan-Kekuatan Politik Irak Pasca Saddam Hussein
Transcript of Pergolakan Kekuatan-Kekuatan Politik Irak Pasca Saddam Hussein
Pergolakan Kekuatan-Kekuatan Politik Irak Pasca Saddam Hussein
Gonda Yumitro*
ABSTRAK Pada tanggal 9 April 2003, Amerika menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Pasca Saddam, proses politik tidak dapat menciptakan stabilitas politik dan keamanan, justru menyebabkan pergolakan antar kekuatan-kekuatan politik di Irak. Pergolakan berawal dari penolakan masyarakat atas intervensi Amerika dalam proses politik Irak kemudian berubah menjadi konflik etnik dan sektarian. Kondisi tersebut merupakan respon kelompok milisi dan kekuatan politik informal lainnya terhadap proses politik yang terjadi di parlemen. Sehingga pergolakan di Irak terjadi dalam dua bentuk. Pertama, kebanyakan pergolakan berlangsung di wilayah Sunni dan Syiah dan daerah campuran. Kedua, Pergolakan kekuatan-kekuatan politik Irak cenderung meningkat pada momen proses politik strategis. Pergolakan di wilayah Sunni dan Syiah merupakan konflik antara pemerintah Irak, yang didukung oleh tentara Amerika dengan milisi Sunni dan Syiah. Konflik di daerah campuran seperti di Baghdad, Mosul, dan Kirkuk adalah konflik etnis dan sektarian. Konflik meningkat pada momen proses politik strategis karena proses politik Irak menguntungkan Kurdi dan Syiah, tetapi merugikan Sunni. Proses politik yang berlangsung di tengah konflik antara kekuatan politik formal dan informal di Irak menghasilkan pemerintahan yang tidak legitimate dan meningkatkan jumlah korban jiwa serta pengungsi. Kelompok etnik dan sekte yang mempunyai wakil dalam pemerintahan cenderung melanjutkan perlawanan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa stabilitas keamanan masih sulit diciptakan di Irak. Konflik etnik dan sektarian akan terus berlangsung sampai semua kekuatan politik Irak tergabung dalam pemerintahan dan Amerika segera meninggalkan Irak. --------------- Kata Kunci: Kekuatan, Politik, Etnik, Sektarian, Pergolakan.
ABSTRACT In April 9, 2003, America failed Saddam Hussein governance. Post Saddam, political process cann’t created politic and secure stability, but it make disturbances of Iraq political powers. The disturbances begin from society refusing of America intervention to Iraq’s political process then be changed an ethnic and sektarian conflict. That condition is the respons of militia and others informal political power to political process in parlemen. So, the disturbances in Iraq happened in two form. First, most of disturbances happened in Sunni and Syiah regions, and crosscutting cleavage. Second, the disturbance of Iraq political powers tend to increase in strategic political process moment. The disturbances in Sunni and Syiah regions is conflict between Iraq government, supported by America soldier to Sunni and Syiah militia. The conflict is
*Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jl. Sosio Yusticia,Bulaksumur, Yogyakarta. Telp: 0274- 563362,081328775415, Email: [email protected]
crosscutting cleavage like in Baghdad, Mosul, and Kirkuk is ethnic and sektarian conflict. Conflict tend to increase in strategic political moment in Iraq because it is favorable to Kurdi and Syiah, but it lose Sunni. Iraq political process in the conflict of Iraq formal and informal Iraq political power produced unlegitimate government and increase the number of victims and displaces people. Unrepresentative ethnic and sektarian groups tend to continue attacking. That condition indicate the the secure stability is still difficult in Iraq. Ethnic and sektarian conflict will be continuely happened until all of Iraqs political power are joined in Iraq government and America as soon as leaves Iraq. ----------------- Keywords: Power, Ethnic, Sectarian, Disturbance, Political.
PENDAHULUAN
Pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak, dan
berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein tanggal 9 April 2003. Invasi tersebut
juga memporakporandakan Irak, khususnya kota – kota penting seperti Baghdad,
Mosul, Nasiriyah, dan Tikrit, mendisintegrasikan Irak yang berpenduduk heterogen
dan mengancam siapapun pemimpin Irak yang berani menentang Amerika.
Invasi Amerika berpengaruh besar terhadap perubahan pemetaan kekuatan
politik Irak dengan dominasi kaum Syiah dan Kurdi, yang selama ini termarjinalkan,
dalam pemerintahan Irak. Hanya saja mereka tidak mampu menciptakan suasana
yang stabil. Pergolakan tersebut disebabkan rendahnya pendidikan politik rakyat Irak
masa pemerintahan otoriter Saddam Hussein dipicu dengan keterlibatan Amerika
Serikat dalam kehidupan politik Irak, sehingga proses politik dinilai tidak fair.
Persoalan yang muncul adalah konflik Irak berlangsung dengan intensitas
yang lebih massif, bahkan sampai pemerintahan transisi berakhir. Perang Irak
sesungguhnya justru terjadi setelah pemerintahan Saddam Hussein dijatuhkan.
Kematian Zarqawi sebagai pimpinan Al-Qaedah di Irak tidak mengurangi jumlah
konflik. Menurut Nir Rosen, situasi di Irak sebenarnya lebih buruk daripada yang
diberitakan di media massa. Upaya melakukan rekonsiliasi nasional yang diinginkan
PM Nuri Al Maliki masih sulit diwujudkan. Apalagi setelah G.W. Bush menyatakan
dalam pidatonyo “4th of July” bahwa hingga 3 Juli 2006 tercatat 2.527 prajurit Amerika
tewas “sia – sia” di Irak.
Kondisi Irak tersebut sesuai dengan asumsi yang pernah ditulis Siti Muti’ah
Setiawati tidak lama setelah kejatuhan pemerintah Saddam Hussein. Menurutnya akan
terjadi disintegrasi yang lebih parah di Irak daripada sebelum invasi (Siti Muti’ah,
2004: 18). Kekuatan - kekuatan politik Irak akan senantiasa berkonflik. Berbagai
tindak kekerasan bersenjata terjadi sehingga eskalasi pergolakan antara kekuatan –
kekuatan politik Irak semakin intens dan membutuhkan waktu lama untuk
membangun suasana stabil.
Masalah tersebut, memunculkan pertanyaan yang menjadi rumusan masalah
penelitian ini, yaitu “bagaimana pergolakan antara kekuatan – kekuatan politik Irak
pasca Saddam Hussein berlangsung?”.
Landasan Teoritis
Pertanyaan dalam penelitian ini akan dijawab dengan terlebih dahulu
memahami kerangka konseptual dalam kaitannya dengan pergolakan antara kekuatan
politik dan pemahaman terhadap alat bantu ketika terjadi konflik atau bahkan
kekerasan antara kekuatan – kekuatan politik di Irak. Hal ini perlu dilakukan sebagai
panduan untuk menjelaskan masalah secara lebih sederhana dan sistematis.
Menurut Riswanda Immawan, kekuatan politik adalah kelompok orang yang
berdasarkan nilai lebih yang ada padanya, memiliki power yang mempengaruhi,
membentuk opini publik dan secara aktif mampu terlibat dalam penyusunan serta
penetapan agenda pemerintahan. Power disini berkenaan dengan kemampuan
mempengaruhi pengambilan keputusan di setiap proses politik dari formulasi,
implementasi, sampai evaluasi. Syamsuddin Haris mendefinisikan kekuatan politik
sebagai elemen apa saja dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi kebijakan
negara baik yang bersifat formal maupun tidak formal (Syamsuddin Haris, 1997: 118).
Jadi, ciri penting setiap kekuatan politik adalah mempunyai nilai lebih dan mampu
mempengaruhi kebijakan negara dengan kepentingan tertentu.
Kepentingan yang berbeda antara masing – masing kekuatan politik seringkali
menimbulkan konflik. Jeffrey Z. Rubin, Dean G. Pruitt dan Sung Hee Kim
menyatakan,“ Conflict means percieved divergence of interest or a belief that the parties current
aspirations cannot be achieved simultaniously.” (Jeffrey Z. Rubin, 1994: 5). Menurut John
Gage Alle, “ Conflict means a prolonged struggle, a trial of strenght or strong disagreement”
(J.Gage Alle, 1986: 82). Menurut Morgenthau, pada semua konflik yang terjadi
berlaku prinsip perjuangan kekuasaan (struggle for power) (Amien Rais, 1989: 32).
Apabila konflik tersebut sudah berupa tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur
atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental sosial, atau lingkungan,
dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh, maka
disebut kekerasan. Konflik yang berlangsung terus menerus atau dengan eskalasi yang
tinggi disebut pergolakan. Adapun indikasi yang digunakan untuk menilai level
penggunaan kekerasan dalam konflik biasanya berkaitan dengan jumlah korban. Jadi,
pergolakan kekuatan – kekuatan politik Irak pasca Saddam Hussein merupakan
suasana tidak tenang seperti berbagai konflik dan kerusuhan antara kekuatan –
kekuatan politik yang mewarnai proses politik Irak setelah Saddam Hussein tidak
berkuasa di Irak. Proses politik ini dimulai dari artikulasi kepentingan sampai
keluarnya kebijakan dengan perimbangan kekuatan (bargaining position) tertentu.
Salah satu sebab utama terjadinya pergolakan dalam sebuah negara karena
legitimasi yang rendah. Maksudnya, pasca Saddam Hussein di Irak tidak terjadi
“…harmonious relationship between the ruler and the ruled is that in which the ruled accept the
rightness of the ruler superior power”. Michael C.Hudson menulis, “without legitimacy, a ruler,
regime or governmental system is hard-pressed to attain the conflict-management capability essential
for long-run stability and good government” (Michael C. Hudson, 1977: 1). Kondisi tersebut
menyebabkan munculnya kekerasan kolektif sebagaimana disebutkan dalam teori
Relative Deprivation yang menyatakan “Relative Deprivation is percieved disrepancy between
men’s value expactation and their values capabilities” (Ted Robert Gurr, 1970: 24). Stabilitas
semakin sulit diwujudkan apabila militer dalam sebuah negara tidak lagi kuat atau
bahkan dikalahkan oleh pihak asing. Gullermo O’Donnell menulis,“…Bagaimanapun,
kekalahan militer oleh kekuasaan asing menyingkirkan peluang angkatan bersenjata sebagai
pesaing bagi kekuasaan selama transisi…” (Gullermo O’Donnel,p.4)
Upaya menggambarkan kondisi konflik biasanya dengan menggunakan alat
bantu. Dua kombinasi alat bantu yang menurut penulis lebih mudah dan tepat untuk
menganalisa pergolakan kekuatan politik di Irak adalah pemetaan konflik dan
penahapan konflik. Pemetaan konflik adalah suatu teknik yang digunakan untuk
menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak – pihak dengan
masalah dan dengan pihak lainnya. Adapun penahapan konflik maksudnya analisa
dengan grafik yang menunjukkan peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang
digambar dalam skala waktu tertentu.
Dalam kasus Irak, pergolakan kekuatan – kekuatan politik dibatasi sejak
Saddam Hussein tidak berkuasa lagi di Irak, yaitu mulai tanggal 9 April 2003 sampai
sekarang. Rentang waktu tersebut dibagi menjadi masa prapemerintahan transisi,
masa pemerintahan transisi dan pasca pemerintahan transisi.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara diskriptik analitik. Pembahasan dilakukan
dengan mendeskripsikan data dan permasalahan yang terjadi di Irak pada masa
pemerintahan transisi sesuai landasan konseptual yang digunakan.
Bahan untuk menganalisis masalah dalam penelitian ini diperoleh dengan
melakukan studi pustaka dari berbagai sumber sekunder, baik berupa buku, koran,
artikel, situs - situs internet dan beberapa catatan pengamat tentang persoalan
tersebut.
Peta Konflik Irak
Perubahan suasana politik Irak pasca Saddam Hussein berpengaruh terhadap
pemetaan kekuatan – kekuatan politik Irak. Sebaliknya, kepentingan masing – masing
kekuatan politik mempengaruhi suasana politik Irak. Pasca Saddam, muncul kekuatan
– kekuatan politik baru yang lebih adaptif, meskipun pada dasarnya kekuatan –
kekuatan politik tersebut tetap berafiliasi dengan tiga kelompok utama masyarakat
yaitu Sunni, Syiah dan Kurdi, yang pada masing – masing kelompok tersebut muncul
faksi-faksi. Selain itu, Amerika menjadi salah satu kekuatan politik dominan di Irak.
Proses politik Irak menguntungkan kelompok Kurdi dan Syiah sedangkan
Sunni merasa dirugikan. Kurdi diuntungkan baik secara politik maupun budaya
karena mempunyai suara signifikan dalam pemilu. Adapun Syiah menjadi kelompok
dominan dalam pemerintah Irak. Namun Sunni yang selama ini menguasai
pemerintah kehilangan kekuasaannya. Kondisi tersebut mengundang konflik antara
Sunni, Syiah dan Kurdi.
Pergolakan di daerah basis Sunni dan Syiah merupakan konflik antara
pemerintah Irak yang didukung tentara Amerika dengan milisi – milisi Sunni dan
Syiah. Kekuatan – kekuatan politik Irak tersebut menolak intervensi Amerika dalam
proses politik Irak. Mereka menuntut Amerika segera meninggalkan Irak dan masalah
Irak diselesaikan secara internal. Mereka juga menghendaki proses politik di Irak
melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk kelompok perlawanan seperti
Moqtada Al Sadr. Namun, pemerintah meminta pasukan Amerika tetap tinggal di
Irak dengan alasan sebagai penjaga keamanan. Pemerintah Irak tidak percaya bahwa
kelompok perlawanan bisa diajak tergabung dalam pemerintahan karena dinilai tidak
mempunyai agenda politik yang jelas. Selain itu, militer Irak masih lemah sehingga
membutuhkan pembinaan tentara Amerika.
Kekuatan tidak resmi terdiri dari beberapa elemen seperti ulama (komite
ulama), lembaga – lembaga agama, dan kelompok gerilyawan/perlawanan. Kelompok
perlawanan Irak antaralain kelompok Ansar Al Sunnah, Jaish Muhammed, Tentara
Islam, Tentara Mujahiddin, Tentara Mahdi, Kelompok Tauhid (Al Qaedah), Satuan
Pelopor, Brigade Ash Reen, Tentara Mohammad, Garda Republik, Komandan
Militer, Abtal Al Iraq, Brigade Kelompok 9 April, Brigade Al Fatal, Brigade
Komando Jenderal Pasukan Keamanan, Nasionalis Sunni, Ansar al Islam, dan lain –
lain. The Economist menyebutkan bahwa sampai pemerintahan tetap Irak terbentuk,
setidaknya masih terdapat 61 kelompok perlawanan bersenjata garis keras. Wolfowitz
mengkategorikan mereka menjadi lima kelompok, yaitu teroris asing, kriminal,
penjarah, kelompok garis keras dukungan Iran dan para pendukung rezim Saddam
Hussein /Sunni (Trias Kuncahyono, 2005: 204-205)
Kelompok gerilyawan mempunyai posisi strategis karena sangat berpengaruh
dalam pengambilan kebijakan sebagai kekuatan politik tidak resmi. Serangan bom,
dan penculikan yang sering mereka lakukan membuat tentara AS dan pemerintah
sementara kewalahan. Pada setiap pengambilan kebijakan mereka merespon dengan
kekerasan. Diduga kuat bahwa mereka merupakan kelompok orang – orang yang
masih setia dengan Saddam Hussein atau milisi asing di bawah jaringan Al Qaeda.
Adapun tokoh terkenal dibalik 75 % serangan di Irak sejak Maret 2003 sampai 15
Januari 2005 adalah Abu Omar Al Kurdi (Sami Muhammad al Jafi), selain Al Zarqawi
dan Moqtada al Sadr.
Kondisi pergolakan kekuatan politik Irak lebih dinamis karena masing –
masing politik aliran tidak selalu bisa dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, serta
ruang gerak mereka yang lebih terbuka, terbukti dengan banyaknya kelompok
bersenjata yang muncul di Irak. Kekuatan – kekuatan politik tersebut berafiliasi
dengan partai – partai politik berbeda yang juga seringkali tidak mempunyai
pandangan dan strategi yang sama dalam menyikapi suatu persoalan. Mereka lebih
mengutamakan kepentingan pragmatis masing – masing, sehingga mengundang
konflik berkepanjangan diantara kelompok - kelompok tersebut.
Peran dan posisi masing – masing kekuatan politik tersebut dalam proses
politik Irak pasca Saddam Hussein dapat digambarkan berikut :
Gambar 1. Peta Konflik Irak
Keterangan:
linkaran menandakan pihak – pihak yang terlibat dalam situasi (aktor) tanda panah menandakan arah utama suatu pengaruh garis putus – putus menandakan hubungan tidak resmi / sementara garis turun naik menandakan perselisihan / konflik
Tahapan Pergolakan Politik Irak
Irak pasca Saddam Hussein dibagi dalam beberapa periode. Masa setelah Irak
diduduki Amerika sampai terbentuk pemerintahan transisi disebut masa dewan
pemerintahan sementara, yang terdiri dari Coalition Provisional Authority, Interim
Governing Council, dan Perserikatan Bangsa – Bangsa. Pada kurun ini, rakyat Irak
secara massif menentang intervensi tentara Amerika. Menghadapi suasana tersebut,
Amerika “berlepas tangan” dengan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan
transisi yang terdiri dari elite Irak.
Pemerintahan transisi dibentuk pada tanggal 28 Juni 2004. Beberapa tugas
pemerintahan transisi antaralain menyelenggarakan pemilu Majelis Nasional (Januari
2005), membuat rancangan dan mengadakan referendum konstitusi (Januari 2005 –
Kekuatan
politik
resmi
Kekuatan
politik
tidak
resmi
Tentara
penduduka
n Amerika Proses
politik
formal
15 Oktober 2005), dan membentuk pemerintah tetap Irak (15 Desember 2005 – 20
Mei 2006). Agenda tersebut merupakan persoalan politik yang mengundang
berlangsungnya konflik etnis dan sektarian.
Konflik etnis dan sektarian terus berkembang karena serangan biasanya
dilakukan di lokasi-lokasi yang identik dengn etnik dan sekte tertentu, misalnya
masjid Syiah atau masjid Sunni, selain penyerangan terhadap rumah sakit, kantor-
kantor pemerintahan dan fasilitas umum lainnya. Bentuk serangan selain peledakan
bom dan pengrusakan umum, biasanya berupa penculikan, pemutusan hubungan
listrik.
Beberapa data berikut menggambarkan eskalasi konflik Irak yang semakin
meningkat pada setiap proses politik strategis di Irak. Sebelum kabinet pertama Irak
pasca Saddam Hussein dilantik bulan September 2003, pada tanggal 28 Agustus 2003,
terjadi serangan bom di tempat suci Najaf yang menewaskan pemuka Muhammad
Baqir Hakim dan menewaskan 84 korban lainnya.
Pada bulan Maret 2004, konstitusi sementara Irak disahkan. Menyambut
proses politik tersebut pada tanggal 1 Februari 2004, 100 orang tewas karena
serangan ganda di kantor Partai Kurdi di Irbil. Tanggal 2 Maret 2004, 140 orang juga
tewas karena bom bunuh diri saat perayaan keagamaan Syiah di Karbala dan
Baghdad.
Menjelang penyerahan kedaulatan dari AS kepada pemerintah Transisi Irak
bulan Juni 2004, ledakan terjadi di Mosul dan empat kota lain. Peristiwa tersebut
menewaskan 100 orang pada tanggal 24 Juni 2004.
Pada tanggal 30 Januari 2005, Irak menggelar pemilu Majelis Nasional.
Tanggal 28 Februari 2005, 114 orang tewas akibat ledakan bom di Hilla. Pada bulan
Agustus 2005, rancangan final konstitusi Irak diserahkan ke parlemen. Tanggal 16
Agustus 2005, ledakan di Musayyib menyebabkan 90 orang tewas. Apalagi pada
tanggal 15 Oktober 2005 ketika referendum rancangan konstitusi dilakukan. Pada
tangga 14 September 2005, ledakan bom di Baghdad menewaskan 182 orang.
Selain ketidakpuasan kelompok milisi dengan hasil referendum karena 78%
pemilih mendukung rancangan konstitusi, menyambut pemilu 15 Desember 2005,
kembali terjadi ledakan bom di dua masjid Khanaqin, Baghdad, yang menewaskan 80
orang pada tanggal 18 November 2005. Pada tanggal 5 Januari 2006, menjelang
pengumuman hasil pemilu, 110 tewas di Karbala dan Ramadi.
Hasil pemilu diumumkan tanggal 20 Februari 2006 menunjukkan indikasi
afiliasi suara berdasarkan etnis tertentu. Pada tanggal 22 Februari 2006, terjadi
pengeboman masjid Askariah di Samarra yang menewaskan sekitar 120 orang.
Peristiwa ini merupakan titik klimaks semakin meningkatnya konflik etnis sektarian di
Irak. Peristiwa tersebut berpengaruh terhadap semua proses politik selanjutnya.
Menjelang pemilihan pejabat strategis Irak seperti Perdana Menteri, pada tanggal 7
April 2006, tiga bom bunuh diri di masjid Syiah menewaskan 85 orang.
Setelah kabinet pemerintahan tetap Irak terbentuk pada tanggal 20 Mei 2006,
konflik terus berlangsung di Irak. Pada tanggal 1 Juli 2006, bom meledak di kawasan
Syiah di Sadr City, Baghdad dan menewaskan 66 orang. Tanggal 18 Juli 2006, 53
pekerja tewas karena terkena bom mobil di dekat tempat suci Syiah di Kufa. Tanggal
13 Agustus 2006, tentara Amerika dan petugas Irak bertikai di distrik Zafaraniya
sehingga menyebabkan 57 orang tewas. Pada tanggal 31 Agustus, 64 orang tewas
karena serangan di daerah pemukiman Syiah, Baghdad. Pada tanggal 15 September
2006, ditemukan 176 mayat di Baghdad. Selain itu, serangan bom, penculikan, dan
pertempuran sampai sekarang terus berlangsung di Irak.
Gambaran di atas belum termasuk konflik – konflik lain dengan skala lebih
kecil yang terus berlangsung di berbagai wilayah Irak. Sejak Maret 2003 sampai
Agustus 2006, komposisi korban tewas mencapai 42.358 sipil Irak, 5.182 petugas
keamanan Irak, 2.596 militer AS, 115 militer Inggris, 115 pasukan koalisi lainnya, dan
77 orang wartawan. Setiap 24 jam rata – rata terjadi 85 serangan dengan 60 % korban
rakyat sipil. Konflik juga menyebabkan jumlah pengungsi meningkat menjadi 137.862
orang (Kompas, 4 September 2006).
Jika digambarkan dengan diagram, akibat pergolakan di Irak pasca Saddam
Hussein terlihat sebagai berikut:
Sumber: Kompas, 4 September 2006
Peta konflik tersebut berdasarkan wilayah penyebarannya digambarkan dalam
peta berikut,
Sumber: www.BBC NEWS Middle East Iraq violence Facts and figures.htm
Sumber: BBC NEWS Middle East Iraq violence Facts and figures.htm Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa konflik Irak berlangsung dengan
intensitas yang semakin tinggi. Persoalan mendasar di Irak meliputi masalah
keamanan, pengaturan masalah tenaga kerja dan standar hidup, serta format
pemerintahan yang demokratik. Konflik menunjukkan kepentingan yang beragam
dan tingkat kepercayaan antara etnis – etnis di Irak yang rendah. Pendudukan tentara
Amerika melemahkan militer Irak sehingga tidak mampu mengendalikan kondisi
keamanan. Di lain pihak, kelompok perlawanan menginginkan tentara Amerika
segera meninggalkan Irak. Menurut mereka, tentara Amerika menjadi alat dominasi
Amerika dan kekuatan politik Irak yang beraliansi dengan Amerika di Irak. Oleh
karena itu, kelompok – kelompok perlawanan senantiasa meningkatkan intensitas
serangan untuk merubah the rule of game pada fase nation building Irak. Kelompok –
kelompok perlawanan tersebut memaknai perlawanan sebagai perang suci (jihad).
Masyarakat Irak tersusun dengan pola crosscutting cleavage dalam etnis dan
identitas agama. Kurdi bukan arab tetapi kebanyakan Sunni, Syiah adalah orang –
orang arab tetapi berbeda dengan sekte islam dalam agama yang lain. Masalah ini
disatu sisi merupakan potensi mengurangi konflik dan membangun polaritas
masyarakat karena mempermudah komunikasi antarkekuatan – kekuatan politik,
tetapi disisi lain memicu konflik karena mempermudah akses serangan dari pihak –
pihak yang berkonflik. Data menunjukkan bahwa konflik lebih banyak terjadi di
daerah daerah “campuran” yang merupakan daerah “kunci” seperti Baghdad, Mosul,
dan Kirkuk. Kota – kota tersebut dihuni oleh penduduk Sunni, Syiah, Kurdi dan
berbagai suku – suku minoritas lainnya.
PENUTUP
Pergolakan kekuatan - kekuatan politik Irak pasca Saddam Hussein
berlangsung dengan dua pola. Pertama, pergolakan lebih banyak terjadi di daerah -
daerah basis Sunni dan Syiah, serta daerah – daerah crosscutting cleavage (campuran).
Kedua, pergolakan kekuatan – kekuatan politik Irak cenderung meningkat pada waktu
proses politik strategis berlangsung.
Dua pola pergolakan kekuatan politik Irak tersebut menggambarkan bahwa
demokratisasi di Irak baru bersifat prosedural. Proses politik belum disertai
terciptanya stabilitas keamanan, justru memecah belah struktur masyarakat dan
melemahkan institusi negara. Pemerintahan yang dihasilkan tidak legitimate sehingga
menyebabkan jumlah korban dan pengungsi semakin meningkat. Kelompok etnis
dan sekte yang tidak terwakili dalam pemerintahan terus melakukan perlawanan.
Kondisi tersebut menjadi indikasi bahwa stabilitas keamanan masih sulit diwujudkan.
Konflik etnis dan sekte akan terus berlangsung sebelum semua kekuatan politik
dilibatkan dalam pemerintahan Irak dan Amerika tidak segera meninggalkan Irak.
Daftar Pustaka
Anthony H. Cordesman. Iraq: What is to be Done?, dalam
www.csis.org/features/iraq_whatdone.pdf.
Gage Alle, Jhon. Webster New Encyclopedia of Dictionaries. 1986. Washington: Otten
Heimer Publisher Inc.
Gurr, Ted Robert, Why Men Rebel?. Princeton University Press.
Haris, Syamsuddin. Dinamika Kekuatan – Kekuatan Politik Indonesia di Bawah Orde Baru (
dalam Kekuatan – Kekuatan Politik Kontemporer di Indonesia ). 1997. Jakarta:
Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri.
Hudson C, Michael. Arab Politics : The Search for Legitimacy. 1977. New Haven and
London : Yale University Press.
Immawan, Riswanda. Kekuatan – Kekuatan Politik Kontemporer di Indonesia (dalam
Kekuatan – Kekuatan Politik Kontemporer di Indonesia ). 1997. Jakarta: Badan
Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri.
Iraq in Transition: Vortex or Catalyst?Scenario for Iraq, dalam
www.chathamhouse.org.uk/pdf/research/mep/BP0904.pdf
Kriesberg, Louis, Constructive Conflict: From Escalation to Resolution. 1998. Lanham:
Rowman and Littlefield Publisher
Kuncahyono, Trias . Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish. 2005. Jakarta: Kompas
Lasswel, d Harold and Abraham Kaplan, Power in Society: A Framework for Politcal
Inquiry. 1963. New Haven: Yale University Press.
Rais, Amien. Politik dan Pemerintahan di Timur Tengah. 1987. Yogyakarta : PAU Studi
Sosial UGM
Setiawati Siti, Muti’ah ( editor ). Irak di Bawah Kekuasaan Amerika Dampaknya Bagi
Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi ( Rakyat ) Indonesia. 2004. Yogyakarta:
Kerjasama Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah FISIPOL UGM dengan
Badan Pengkajian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri DEPLU RI.
Simon Fisher, et.al. Mengelola Konflik, keterampilan dan strategi untuk bertindak
(terjemahan). 2001. Jakarta: The British Council.
Tim Peneliti Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM. Proses
Perdamaian di Timur Tengah Pasca Krisis Irak. 2003. Yogyakarta: Kerjasama
DEPLU RI dengan Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM
Yash Ghai, Constitution-making in a New Iraq, dalam
www.minorityrights.org
Z. Rubin, Jeffrey. et.al., Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement. 1994. USA:
McGraw Hill Inc.