Pergolakan Kekuatan-Kekuatan Politik Irak Pasca Saddam Hussein

17
Pergolakan Kekuatan-Kekuatan Politik Irak Pasca Saddam Hussein Gonda Yumitro * ABSTRAK Pada tanggal 9 April 2003, Amerika menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Pasca Saddam, proses politik tidak dapat menciptakan stabilitas politik dan keamanan, justru menyebabkan pergolakan antar kekuatan-kekuatan politik di Irak. Pergolakan berawal dari penolakan masyarakat atas intervensi Amerika dalam proses politik Irak kemudian berubah menjadi konflik etnik dan sektarian. Kondisi tersebut merupakan respon kelompok milisi dan kekuatan politik informal lainnya terhadap proses politik yang terjadi di parlemen. Sehingga pergolakan di Irak terjadi dalam dua bentuk. Pertama, kebanyakan pergolakan berlangsung di wilayah Sunni dan Syiah dan daerah campuran. Kedua, Pergolakan kekuatan-kekuatan politik Irak cenderung meningkat pada momen proses politik strategis. Pergolakan di wilayah Sunni dan Syiah merupakan konflik antara pemerintah Irak, yang didukung oleh tentara Amerika dengan milisi Sunni dan Syiah. Konflik di daerah campuran seperti di Baghdad, Mosul, dan Kirkuk adalah konflik etnis dan sektarian. Konflik meningkat pada momen proses politik strategis karena proses politik Irak menguntungkan Kurdi dan Syiah, tetapi merugikan Sunni. Proses politik yang berlangsung di tengah konflik antara kekuatan politik formal dan informal di Irak menghasilkan pemerintahan yang tidak legitimate dan meningkatkan jumlah korban jiwa serta pengungsi. Kelompok etnik dan sekte yang mempunyai wakil dalam pemerintahan cenderung melanjutkan perlawanan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa stabilitas keamanan masih sulit diciptakan di Irak. Konflik etnik dan sektarian akan terus berlangsung sampai semua kekuatan politik Irak tergabung dalam pemerintahan dan Amerika segera meninggalkan Irak. --------------- Kata Kunci: Kekuatan, Politik, Etnik, Sektarian, Pergolakan. ABSTRACT In April 9, 2003, America failed Saddam Hussein governance. Post Saddam, political process cann’t created politic and secure stability, but it make disturbances of Iraq political powers. The disturbances begin from society refusing of America intervention to Iraq’s political process then be changed an ethnic and sektarian conflict. That condition is the respons of militia and others informal political power to political process in parlemen. So, the disturbances in Iraq happened in two form. First, most of disturbances happened in Sunni and Syiah regions, and crosscutting cleavage. Second, the disturbance of Iraq political powers tend to increase in strategic political process moment. The disturbances in Sunni and Syiah regions is conflict between Iraq government, supported by America soldier to Sunni and Syiah militia. The conflict is * Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jl. Sosio Yusticia,Bulaksumur, Yogyakarta. Telp: 0274- 563362,081328775415, Email: [email protected]

Transcript of Pergolakan Kekuatan-Kekuatan Politik Irak Pasca Saddam Hussein

Pergolakan Kekuatan-Kekuatan Politik Irak Pasca Saddam Hussein

Gonda Yumitro*

ABSTRAK Pada tanggal 9 April 2003, Amerika menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Pasca Saddam, proses politik tidak dapat menciptakan stabilitas politik dan keamanan, justru menyebabkan pergolakan antar kekuatan-kekuatan politik di Irak. Pergolakan berawal dari penolakan masyarakat atas intervensi Amerika dalam proses politik Irak kemudian berubah menjadi konflik etnik dan sektarian. Kondisi tersebut merupakan respon kelompok milisi dan kekuatan politik informal lainnya terhadap proses politik yang terjadi di parlemen. Sehingga pergolakan di Irak terjadi dalam dua bentuk. Pertama, kebanyakan pergolakan berlangsung di wilayah Sunni dan Syiah dan daerah campuran. Kedua, Pergolakan kekuatan-kekuatan politik Irak cenderung meningkat pada momen proses politik strategis. Pergolakan di wilayah Sunni dan Syiah merupakan konflik antara pemerintah Irak, yang didukung oleh tentara Amerika dengan milisi Sunni dan Syiah. Konflik di daerah campuran seperti di Baghdad, Mosul, dan Kirkuk adalah konflik etnis dan sektarian. Konflik meningkat pada momen proses politik strategis karena proses politik Irak menguntungkan Kurdi dan Syiah, tetapi merugikan Sunni. Proses politik yang berlangsung di tengah konflik antara kekuatan politik formal dan informal di Irak menghasilkan pemerintahan yang tidak legitimate dan meningkatkan jumlah korban jiwa serta pengungsi. Kelompok etnik dan sekte yang mempunyai wakil dalam pemerintahan cenderung melanjutkan perlawanan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa stabilitas keamanan masih sulit diciptakan di Irak. Konflik etnik dan sektarian akan terus berlangsung sampai semua kekuatan politik Irak tergabung dalam pemerintahan dan Amerika segera meninggalkan Irak. --------------- Kata Kunci: Kekuatan, Politik, Etnik, Sektarian, Pergolakan.

ABSTRACT In April 9, 2003, America failed Saddam Hussein governance. Post Saddam, political process cann’t created politic and secure stability, but it make disturbances of Iraq political powers. The disturbances begin from society refusing of America intervention to Iraq’s political process then be changed an ethnic and sektarian conflict. That condition is the respons of militia and others informal political power to political process in parlemen. So, the disturbances in Iraq happened in two form. First, most of disturbances happened in Sunni and Syiah regions, and crosscutting cleavage. Second, the disturbance of Iraq political powers tend to increase in strategic political process moment. The disturbances in Sunni and Syiah regions is conflict between Iraq government, supported by America soldier to Sunni and Syiah militia. The conflict is

*Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jl. Sosio Yusticia,Bulaksumur, Yogyakarta. Telp: 0274- 563362,081328775415, Email: [email protected]

crosscutting cleavage like in Baghdad, Mosul, and Kirkuk is ethnic and sektarian conflict. Conflict tend to increase in strategic political moment in Iraq because it is favorable to Kurdi and Syiah, but it lose Sunni. Iraq political process in the conflict of Iraq formal and informal Iraq political power produced unlegitimate government and increase the number of victims and displaces people. Unrepresentative ethnic and sektarian groups tend to continue attacking. That condition indicate the the secure stability is still difficult in Iraq. Ethnic and sektarian conflict will be continuely happened until all of Iraqs political power are joined in Iraq government and America as soon as leaves Iraq. ----------------- Keywords: Power, Ethnic, Sectarian, Disturbance, Political.

PENDAHULUAN

Pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak, dan

berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein tanggal 9 April 2003. Invasi tersebut

juga memporakporandakan Irak, khususnya kota – kota penting seperti Baghdad,

Mosul, Nasiriyah, dan Tikrit, mendisintegrasikan Irak yang berpenduduk heterogen

dan mengancam siapapun pemimpin Irak yang berani menentang Amerika.

Invasi Amerika berpengaruh besar terhadap perubahan pemetaan kekuatan

politik Irak dengan dominasi kaum Syiah dan Kurdi, yang selama ini termarjinalkan,

dalam pemerintahan Irak. Hanya saja mereka tidak mampu menciptakan suasana

yang stabil. Pergolakan tersebut disebabkan rendahnya pendidikan politik rakyat Irak

masa pemerintahan otoriter Saddam Hussein dipicu dengan keterlibatan Amerika

Serikat dalam kehidupan politik Irak, sehingga proses politik dinilai tidak fair.

Persoalan yang muncul adalah konflik Irak berlangsung dengan intensitas

yang lebih massif, bahkan sampai pemerintahan transisi berakhir. Perang Irak

sesungguhnya justru terjadi setelah pemerintahan Saddam Hussein dijatuhkan.

Kematian Zarqawi sebagai pimpinan Al-Qaedah di Irak tidak mengurangi jumlah

konflik. Menurut Nir Rosen, situasi di Irak sebenarnya lebih buruk daripada yang

diberitakan di media massa. Upaya melakukan rekonsiliasi nasional yang diinginkan

PM Nuri Al Maliki masih sulit diwujudkan. Apalagi setelah G.W. Bush menyatakan

dalam pidatonyo “4th of July” bahwa hingga 3 Juli 2006 tercatat 2.527 prajurit Amerika

tewas “sia – sia” di Irak.

Kondisi Irak tersebut sesuai dengan asumsi yang pernah ditulis Siti Muti’ah

Setiawati tidak lama setelah kejatuhan pemerintah Saddam Hussein. Menurutnya akan

terjadi disintegrasi yang lebih parah di Irak daripada sebelum invasi (Siti Muti’ah,

2004: 18). Kekuatan - kekuatan politik Irak akan senantiasa berkonflik. Berbagai

tindak kekerasan bersenjata terjadi sehingga eskalasi pergolakan antara kekuatan –

kekuatan politik Irak semakin intens dan membutuhkan waktu lama untuk

membangun suasana stabil.

Masalah tersebut, memunculkan pertanyaan yang menjadi rumusan masalah

penelitian ini, yaitu “bagaimana pergolakan antara kekuatan – kekuatan politik Irak

pasca Saddam Hussein berlangsung?”.

Landasan Teoritis

Pertanyaan dalam penelitian ini akan dijawab dengan terlebih dahulu

memahami kerangka konseptual dalam kaitannya dengan pergolakan antara kekuatan

politik dan pemahaman terhadap alat bantu ketika terjadi konflik atau bahkan

kekerasan antara kekuatan – kekuatan politik di Irak. Hal ini perlu dilakukan sebagai

panduan untuk menjelaskan masalah secara lebih sederhana dan sistematis.

Menurut Riswanda Immawan, kekuatan politik adalah kelompok orang yang

berdasarkan nilai lebih yang ada padanya, memiliki power yang mempengaruhi,

membentuk opini publik dan secara aktif mampu terlibat dalam penyusunan serta

penetapan agenda pemerintahan. Power disini berkenaan dengan kemampuan

mempengaruhi pengambilan keputusan di setiap proses politik dari formulasi,

implementasi, sampai evaluasi. Syamsuddin Haris mendefinisikan kekuatan politik

sebagai elemen apa saja dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi kebijakan

negara baik yang bersifat formal maupun tidak formal (Syamsuddin Haris, 1997: 118).

Jadi, ciri penting setiap kekuatan politik adalah mempunyai nilai lebih dan mampu

mempengaruhi kebijakan negara dengan kepentingan tertentu.

Kepentingan yang berbeda antara masing – masing kekuatan politik seringkali

menimbulkan konflik. Jeffrey Z. Rubin, Dean G. Pruitt dan Sung Hee Kim

menyatakan,“ Conflict means percieved divergence of interest or a belief that the parties current

aspirations cannot be achieved simultaniously.” (Jeffrey Z. Rubin, 1994: 5). Menurut John

Gage Alle, “ Conflict means a prolonged struggle, a trial of strenght or strong disagreement”

(J.Gage Alle, 1986: 82). Menurut Morgenthau, pada semua konflik yang terjadi

berlaku prinsip perjuangan kekuasaan (struggle for power) (Amien Rais, 1989: 32).

Apabila konflik tersebut sudah berupa tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur

atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental sosial, atau lingkungan,

dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh, maka

disebut kekerasan. Konflik yang berlangsung terus menerus atau dengan eskalasi yang

tinggi disebut pergolakan. Adapun indikasi yang digunakan untuk menilai level

penggunaan kekerasan dalam konflik biasanya berkaitan dengan jumlah korban. Jadi,

pergolakan kekuatan – kekuatan politik Irak pasca Saddam Hussein merupakan

suasana tidak tenang seperti berbagai konflik dan kerusuhan antara kekuatan –

kekuatan politik yang mewarnai proses politik Irak setelah Saddam Hussein tidak

berkuasa di Irak. Proses politik ini dimulai dari artikulasi kepentingan sampai

keluarnya kebijakan dengan perimbangan kekuatan (bargaining position) tertentu.

Salah satu sebab utama terjadinya pergolakan dalam sebuah negara karena

legitimasi yang rendah. Maksudnya, pasca Saddam Hussein di Irak tidak terjadi

“…harmonious relationship between the ruler and the ruled is that in which the ruled accept the

rightness of the ruler superior power”. Michael C.Hudson menulis, “without legitimacy, a ruler,

regime or governmental system is hard-pressed to attain the conflict-management capability essential

for long-run stability and good government” (Michael C. Hudson, 1977: 1). Kondisi tersebut

menyebabkan munculnya kekerasan kolektif sebagaimana disebutkan dalam teori

Relative Deprivation yang menyatakan “Relative Deprivation is percieved disrepancy between

men’s value expactation and their values capabilities” (Ted Robert Gurr, 1970: 24). Stabilitas

semakin sulit diwujudkan apabila militer dalam sebuah negara tidak lagi kuat atau

bahkan dikalahkan oleh pihak asing. Gullermo O’Donnell menulis,“…Bagaimanapun,

kekalahan militer oleh kekuasaan asing menyingkirkan peluang angkatan bersenjata sebagai

pesaing bagi kekuasaan selama transisi…” (Gullermo O’Donnel,p.4)

Upaya menggambarkan kondisi konflik biasanya dengan menggunakan alat

bantu. Dua kombinasi alat bantu yang menurut penulis lebih mudah dan tepat untuk

menganalisa pergolakan kekuatan politik di Irak adalah pemetaan konflik dan

penahapan konflik. Pemetaan konflik adalah suatu teknik yang digunakan untuk

menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak – pihak dengan

masalah dan dengan pihak lainnya. Adapun penahapan konflik maksudnya analisa

dengan grafik yang menunjukkan peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang

digambar dalam skala waktu tertentu.

Dalam kasus Irak, pergolakan kekuatan – kekuatan politik dibatasi sejak

Saddam Hussein tidak berkuasa lagi di Irak, yaitu mulai tanggal 9 April 2003 sampai

sekarang. Rentang waktu tersebut dibagi menjadi masa prapemerintahan transisi,

masa pemerintahan transisi dan pasca pemerintahan transisi.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara diskriptik analitik. Pembahasan dilakukan

dengan mendeskripsikan data dan permasalahan yang terjadi di Irak pada masa

pemerintahan transisi sesuai landasan konseptual yang digunakan.

Bahan untuk menganalisis masalah dalam penelitian ini diperoleh dengan

melakukan studi pustaka dari berbagai sumber sekunder, baik berupa buku, koran,

artikel, situs - situs internet dan beberapa catatan pengamat tentang persoalan

tersebut.

Peta Konflik Irak

Perubahan suasana politik Irak pasca Saddam Hussein berpengaruh terhadap

pemetaan kekuatan – kekuatan politik Irak. Sebaliknya, kepentingan masing – masing

kekuatan politik mempengaruhi suasana politik Irak. Pasca Saddam, muncul kekuatan

– kekuatan politik baru yang lebih adaptif, meskipun pada dasarnya kekuatan –

kekuatan politik tersebut tetap berafiliasi dengan tiga kelompok utama masyarakat

yaitu Sunni, Syiah dan Kurdi, yang pada masing – masing kelompok tersebut muncul

faksi-faksi. Selain itu, Amerika menjadi salah satu kekuatan politik dominan di Irak.

Proses politik Irak menguntungkan kelompok Kurdi dan Syiah sedangkan

Sunni merasa dirugikan. Kurdi diuntungkan baik secara politik maupun budaya

karena mempunyai suara signifikan dalam pemilu. Adapun Syiah menjadi kelompok

dominan dalam pemerintah Irak. Namun Sunni yang selama ini menguasai

pemerintah kehilangan kekuasaannya. Kondisi tersebut mengundang konflik antara

Sunni, Syiah dan Kurdi.

Pergolakan di daerah basis Sunni dan Syiah merupakan konflik antara

pemerintah Irak yang didukung tentara Amerika dengan milisi – milisi Sunni dan

Syiah. Kekuatan – kekuatan politik Irak tersebut menolak intervensi Amerika dalam

proses politik Irak. Mereka menuntut Amerika segera meninggalkan Irak dan masalah

Irak diselesaikan secara internal. Mereka juga menghendaki proses politik di Irak

melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk kelompok perlawanan seperti

Moqtada Al Sadr. Namun, pemerintah meminta pasukan Amerika tetap tinggal di

Irak dengan alasan sebagai penjaga keamanan. Pemerintah Irak tidak percaya bahwa

kelompok perlawanan bisa diajak tergabung dalam pemerintahan karena dinilai tidak

mempunyai agenda politik yang jelas. Selain itu, militer Irak masih lemah sehingga

membutuhkan pembinaan tentara Amerika.

Kekuatan tidak resmi terdiri dari beberapa elemen seperti ulama (komite

ulama), lembaga – lembaga agama, dan kelompok gerilyawan/perlawanan. Kelompok

perlawanan Irak antaralain kelompok Ansar Al Sunnah, Jaish Muhammed, Tentara

Islam, Tentara Mujahiddin, Tentara Mahdi, Kelompok Tauhid (Al Qaedah), Satuan

Pelopor, Brigade Ash Reen, Tentara Mohammad, Garda Republik, Komandan

Militer, Abtal Al Iraq, Brigade Kelompok 9 April, Brigade Al Fatal, Brigade

Komando Jenderal Pasukan Keamanan, Nasionalis Sunni, Ansar al Islam, dan lain –

lain. The Economist menyebutkan bahwa sampai pemerintahan tetap Irak terbentuk,

setidaknya masih terdapat 61 kelompok perlawanan bersenjata garis keras. Wolfowitz

mengkategorikan mereka menjadi lima kelompok, yaitu teroris asing, kriminal,

penjarah, kelompok garis keras dukungan Iran dan para pendukung rezim Saddam

Hussein /Sunni (Trias Kuncahyono, 2005: 204-205)

Kelompok gerilyawan mempunyai posisi strategis karena sangat berpengaruh

dalam pengambilan kebijakan sebagai kekuatan politik tidak resmi. Serangan bom,

dan penculikan yang sering mereka lakukan membuat tentara AS dan pemerintah

sementara kewalahan. Pada setiap pengambilan kebijakan mereka merespon dengan

kekerasan. Diduga kuat bahwa mereka merupakan kelompok orang – orang yang

masih setia dengan Saddam Hussein atau milisi asing di bawah jaringan Al Qaeda.

Adapun tokoh terkenal dibalik 75 % serangan di Irak sejak Maret 2003 sampai 15

Januari 2005 adalah Abu Omar Al Kurdi (Sami Muhammad al Jafi), selain Al Zarqawi

dan Moqtada al Sadr.

Kondisi pergolakan kekuatan politik Irak lebih dinamis karena masing –

masing politik aliran tidak selalu bisa dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, serta

ruang gerak mereka yang lebih terbuka, terbukti dengan banyaknya kelompok

bersenjata yang muncul di Irak. Kekuatan – kekuatan politik tersebut berafiliasi

dengan partai – partai politik berbeda yang juga seringkali tidak mempunyai

pandangan dan strategi yang sama dalam menyikapi suatu persoalan. Mereka lebih

mengutamakan kepentingan pragmatis masing – masing, sehingga mengundang

konflik berkepanjangan diantara kelompok - kelompok tersebut.

Peran dan posisi masing – masing kekuatan politik tersebut dalam proses

politik Irak pasca Saddam Hussein dapat digambarkan berikut :

Gambar 1. Peta Konflik Irak

Keterangan:

linkaran menandakan pihak – pihak yang terlibat dalam situasi (aktor) tanda panah menandakan arah utama suatu pengaruh garis putus – putus menandakan hubungan tidak resmi / sementara garis turun naik menandakan perselisihan / konflik

Tahapan Pergolakan Politik Irak

Irak pasca Saddam Hussein dibagi dalam beberapa periode. Masa setelah Irak

diduduki Amerika sampai terbentuk pemerintahan transisi disebut masa dewan

pemerintahan sementara, yang terdiri dari Coalition Provisional Authority, Interim

Governing Council, dan Perserikatan Bangsa – Bangsa. Pada kurun ini, rakyat Irak

secara massif menentang intervensi tentara Amerika. Menghadapi suasana tersebut,

Amerika “berlepas tangan” dengan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan

transisi yang terdiri dari elite Irak.

Pemerintahan transisi dibentuk pada tanggal 28 Juni 2004. Beberapa tugas

pemerintahan transisi antaralain menyelenggarakan pemilu Majelis Nasional (Januari

2005), membuat rancangan dan mengadakan referendum konstitusi (Januari 2005 –

Kekuatan

politik

resmi

Kekuatan

politik

tidak

resmi

Tentara

penduduka

n Amerika Proses

politik

formal

15 Oktober 2005), dan membentuk pemerintah tetap Irak (15 Desember 2005 – 20

Mei 2006). Agenda tersebut merupakan persoalan politik yang mengundang

berlangsungnya konflik etnis dan sektarian.

Konflik etnis dan sektarian terus berkembang karena serangan biasanya

dilakukan di lokasi-lokasi yang identik dengn etnik dan sekte tertentu, misalnya

masjid Syiah atau masjid Sunni, selain penyerangan terhadap rumah sakit, kantor-

kantor pemerintahan dan fasilitas umum lainnya. Bentuk serangan selain peledakan

bom dan pengrusakan umum, biasanya berupa penculikan, pemutusan hubungan

listrik.

Beberapa data berikut menggambarkan eskalasi konflik Irak yang semakin

meningkat pada setiap proses politik strategis di Irak. Sebelum kabinet pertama Irak

pasca Saddam Hussein dilantik bulan September 2003, pada tanggal 28 Agustus 2003,

terjadi serangan bom di tempat suci Najaf yang menewaskan pemuka Muhammad

Baqir Hakim dan menewaskan 84 korban lainnya.

Pada bulan Maret 2004, konstitusi sementara Irak disahkan. Menyambut

proses politik tersebut pada tanggal 1 Februari 2004, 100 orang tewas karena

serangan ganda di kantor Partai Kurdi di Irbil. Tanggal 2 Maret 2004, 140 orang juga

tewas karena bom bunuh diri saat perayaan keagamaan Syiah di Karbala dan

Baghdad.

Menjelang penyerahan kedaulatan dari AS kepada pemerintah Transisi Irak

bulan Juni 2004, ledakan terjadi di Mosul dan empat kota lain. Peristiwa tersebut

menewaskan 100 orang pada tanggal 24 Juni 2004.

Pada tanggal 30 Januari 2005, Irak menggelar pemilu Majelis Nasional.

Tanggal 28 Februari 2005, 114 orang tewas akibat ledakan bom di Hilla. Pada bulan

Agustus 2005, rancangan final konstitusi Irak diserahkan ke parlemen. Tanggal 16

Agustus 2005, ledakan di Musayyib menyebabkan 90 orang tewas. Apalagi pada

tanggal 15 Oktober 2005 ketika referendum rancangan konstitusi dilakukan. Pada

tangga 14 September 2005, ledakan bom di Baghdad menewaskan 182 orang.

Selain ketidakpuasan kelompok milisi dengan hasil referendum karena 78%

pemilih mendukung rancangan konstitusi, menyambut pemilu 15 Desember 2005,

kembali terjadi ledakan bom di dua masjid Khanaqin, Baghdad, yang menewaskan 80

orang pada tanggal 18 November 2005. Pada tanggal 5 Januari 2006, menjelang

pengumuman hasil pemilu, 110 tewas di Karbala dan Ramadi.

Hasil pemilu diumumkan tanggal 20 Februari 2006 menunjukkan indikasi

afiliasi suara berdasarkan etnis tertentu. Pada tanggal 22 Februari 2006, terjadi

pengeboman masjid Askariah di Samarra yang menewaskan sekitar 120 orang.

Peristiwa ini merupakan titik klimaks semakin meningkatnya konflik etnis sektarian di

Irak. Peristiwa tersebut berpengaruh terhadap semua proses politik selanjutnya.

Menjelang pemilihan pejabat strategis Irak seperti Perdana Menteri, pada tanggal 7

April 2006, tiga bom bunuh diri di masjid Syiah menewaskan 85 orang.

Setelah kabinet pemerintahan tetap Irak terbentuk pada tanggal 20 Mei 2006,

konflik terus berlangsung di Irak. Pada tanggal 1 Juli 2006, bom meledak di kawasan

Syiah di Sadr City, Baghdad dan menewaskan 66 orang. Tanggal 18 Juli 2006, 53

pekerja tewas karena terkena bom mobil di dekat tempat suci Syiah di Kufa. Tanggal

13 Agustus 2006, tentara Amerika dan petugas Irak bertikai di distrik Zafaraniya

sehingga menyebabkan 57 orang tewas. Pada tanggal 31 Agustus, 64 orang tewas

karena serangan di daerah pemukiman Syiah, Baghdad. Pada tanggal 15 September

2006, ditemukan 176 mayat di Baghdad. Selain itu, serangan bom, penculikan, dan

pertempuran sampai sekarang terus berlangsung di Irak.

Gambaran di atas belum termasuk konflik – konflik lain dengan skala lebih

kecil yang terus berlangsung di berbagai wilayah Irak. Sejak Maret 2003 sampai

Agustus 2006, komposisi korban tewas mencapai 42.358 sipil Irak, 5.182 petugas

keamanan Irak, 2.596 militer AS, 115 militer Inggris, 115 pasukan koalisi lainnya, dan

77 orang wartawan. Setiap 24 jam rata – rata terjadi 85 serangan dengan 60 % korban

rakyat sipil. Konflik juga menyebabkan jumlah pengungsi meningkat menjadi 137.862

orang (Kompas, 4 September 2006).

Jika digambarkan dengan diagram, akibat pergolakan di Irak pasca Saddam

Hussein terlihat sebagai berikut:

Sumber: Kompas, 4 September 2006

Peta konflik tersebut berdasarkan wilayah penyebarannya digambarkan dalam

peta berikut,

Sumber: www.BBC NEWS Middle East Iraq violence Facts and figures.htm

Sumber: BBC NEWS Middle East Iraq violence Facts and figures.htm Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa konflik Irak berlangsung dengan

intensitas yang semakin tinggi. Persoalan mendasar di Irak meliputi masalah

keamanan, pengaturan masalah tenaga kerja dan standar hidup, serta format

pemerintahan yang demokratik. Konflik menunjukkan kepentingan yang beragam

dan tingkat kepercayaan antara etnis – etnis di Irak yang rendah. Pendudukan tentara

Amerika melemahkan militer Irak sehingga tidak mampu mengendalikan kondisi

keamanan. Di lain pihak, kelompok perlawanan menginginkan tentara Amerika

segera meninggalkan Irak. Menurut mereka, tentara Amerika menjadi alat dominasi

Amerika dan kekuatan politik Irak yang beraliansi dengan Amerika di Irak. Oleh

karena itu, kelompok – kelompok perlawanan senantiasa meningkatkan intensitas

serangan untuk merubah the rule of game pada fase nation building Irak. Kelompok –

kelompok perlawanan tersebut memaknai perlawanan sebagai perang suci (jihad).

Masyarakat Irak tersusun dengan pola crosscutting cleavage dalam etnis dan

identitas agama. Kurdi bukan arab tetapi kebanyakan Sunni, Syiah adalah orang –

orang arab tetapi berbeda dengan sekte islam dalam agama yang lain. Masalah ini

disatu sisi merupakan potensi mengurangi konflik dan membangun polaritas

masyarakat karena mempermudah komunikasi antarkekuatan – kekuatan politik,

tetapi disisi lain memicu konflik karena mempermudah akses serangan dari pihak –

pihak yang berkonflik. Data menunjukkan bahwa konflik lebih banyak terjadi di

daerah daerah “campuran” yang merupakan daerah “kunci” seperti Baghdad, Mosul,

dan Kirkuk. Kota – kota tersebut dihuni oleh penduduk Sunni, Syiah, Kurdi dan

berbagai suku – suku minoritas lainnya.

PENUTUP

Pergolakan kekuatan - kekuatan politik Irak pasca Saddam Hussein

berlangsung dengan dua pola. Pertama, pergolakan lebih banyak terjadi di daerah -

daerah basis Sunni dan Syiah, serta daerah – daerah crosscutting cleavage (campuran).

Kedua, pergolakan kekuatan – kekuatan politik Irak cenderung meningkat pada waktu

proses politik strategis berlangsung.

Dua pola pergolakan kekuatan politik Irak tersebut menggambarkan bahwa

demokratisasi di Irak baru bersifat prosedural. Proses politik belum disertai

terciptanya stabilitas keamanan, justru memecah belah struktur masyarakat dan

melemahkan institusi negara. Pemerintahan yang dihasilkan tidak legitimate sehingga

menyebabkan jumlah korban dan pengungsi semakin meningkat. Kelompok etnis

dan sekte yang tidak terwakili dalam pemerintahan terus melakukan perlawanan.

Kondisi tersebut menjadi indikasi bahwa stabilitas keamanan masih sulit diwujudkan.

Konflik etnis dan sekte akan terus berlangsung sebelum semua kekuatan politik

dilibatkan dalam pemerintahan Irak dan Amerika tidak segera meninggalkan Irak.

Daftar Pustaka

Anthony H. Cordesman. Iraq: What is to be Done?, dalam

www.csis.org/features/iraq_whatdone.pdf.

Gage Alle, Jhon. Webster New Encyclopedia of Dictionaries. 1986. Washington: Otten

Heimer Publisher Inc.

Gurr, Ted Robert, Why Men Rebel?. Princeton University Press.

Haris, Syamsuddin. Dinamika Kekuatan – Kekuatan Politik Indonesia di Bawah Orde Baru (

dalam Kekuatan – Kekuatan Politik Kontemporer di Indonesia ). 1997. Jakarta:

Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri.

Hudson C, Michael. Arab Politics : The Search for Legitimacy. 1977. New Haven and

London : Yale University Press.

Immawan, Riswanda. Kekuatan – Kekuatan Politik Kontemporer di Indonesia (dalam

Kekuatan – Kekuatan Politik Kontemporer di Indonesia ). 1997. Jakarta: Badan

Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri.

Iraq in Transition: Vortex or Catalyst?Scenario for Iraq, dalam

www.chathamhouse.org.uk/pdf/research/mep/BP0904.pdf

Kriesberg, Louis, Constructive Conflict: From Escalation to Resolution. 1998. Lanham:

Rowman and Littlefield Publisher

Kuncahyono, Trias . Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish. 2005. Jakarta: Kompas

Lasswel, d Harold and Abraham Kaplan, Power in Society: A Framework for Politcal

Inquiry. 1963. New Haven: Yale University Press.

Rais, Amien. Politik dan Pemerintahan di Timur Tengah. 1987. Yogyakarta : PAU Studi

Sosial UGM

Setiawati Siti, Muti’ah ( editor ). Irak di Bawah Kekuasaan Amerika Dampaknya Bagi

Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi ( Rakyat ) Indonesia. 2004. Yogyakarta:

Kerjasama Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah FISIPOL UGM dengan

Badan Pengkajian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri DEPLU RI.

Simon Fisher, et.al. Mengelola Konflik, keterampilan dan strategi untuk bertindak

(terjemahan). 2001. Jakarta: The British Council.

Tim Peneliti Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM. Proses

Perdamaian di Timur Tengah Pasca Krisis Irak. 2003. Yogyakarta: Kerjasama

DEPLU RI dengan Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM

Yash Ghai, Constitution-making in a New Iraq, dalam

www.minorityrights.org

Z. Rubin, Jeffrey. et.al., Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement. 1994. USA:

McGraw Hill Inc.