PERAN KOMITE MEDIK

30
PERAN KOMITE MEDIK, KOMITE ETIK DAN HUKUM SERTA PROGRAM PATIENT SAFETY DALAM PENYELAIAN KETIDAKPUASAN/ GUGATAN PASIEN PENDAHULUAN Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan, ditinjau dari aspek hukum, maka rumah sakit bukan sebagai badan hukum, sehingga kedudukan mdirektur sebagai Top Manager adalah penanggung jawab pelaksana pelayanan kesehatan tetapi tidak dapat bertindak atas nama badan hukum. Badan hukum adalah status diri dimata ukum, dan badan hukum rumah sakit ada dipihak pemilik sarana pelyanan kesehatan atau rumah sakit. Rumah sakit swasta non profit, maka badan hukum ada di yayasan atau perkumpulan, atau persyarikatan, sedangkan pada rumah sakit yang berorientasi pada profit, maka badan hukumnya adalah perseroan terbatas atau disebut PT. Rumah sakit adalah suatu sarana pelayanan kesehatan yang menyediakan fasilitas rawat inap dan rawat jalan, serta pemeriksaan penunjang medis yang memberikan pelayanan kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapetik dan rehabilitatif untuk orang yang menderita sakit, cidera maupun melahirkan, dan pelayanannya bersifat paripurna meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Rumah sakit dalam kenyataannya sangat padat dengan investasi; untuk menyediakan sarana dan prasarana,

Transcript of PERAN KOMITE MEDIK

PERAN KOMITE MEDIK, KOMITE ETIK DAN HUKUM SERTA PROGRAM

PATIENT SAFETY DALAM PENYELAIAN KETIDAKPUASAN/ GUGATAN

PASIEN

PENDAHULUAN

Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan, ditinjau

dari aspek hukum, maka rumah sakit bukan sebagai badan

hukum, sehingga kedudukan mdirektur sebagai Top Manager

adalah penanggung jawab pelaksana pelayanan kesehatan

tetapi tidak dapat bertindak atas nama badan hukum.

Badan hukum adalah status diri dimata ukum, dan

badan hukum rumah sakit ada dipihak pemilik sarana

pelyanan kesehatan atau rumah sakit. Rumah sakit swasta

non profit, maka badan hukum ada di yayasan atau

perkumpulan, atau persyarikatan, sedangkan pada rumah

sakit yang berorientasi pada profit, maka badan

hukumnya adalah perseroan terbatas atau disebut PT.

Rumah sakit adalah suatu sarana pelayanan

kesehatan yang menyediakan fasilitas rawat inap dan

rawat jalan, serta pemeriksaan penunjang medis yang

memberikan pelayanan kesehatan baik jangka pendek

maupun jangka panjang yang terdiri dari observasi,

diagnostik, terapetik dan rehabilitatif untuk orang

yang menderita sakit, cidera maupun melahirkan, dan

pelayanannya bersifat paripurna meliputi promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Rumah sakit dalam kenyataannya sangat padat dengan

investasi; untuk menyediakan sarana dan prasarana,

seperti tanah, gedung,peralatan medis, peralatan non

medis serta untuk pengadaan berbagai sarana

penunjangoperasional seperti alat pengolahan limbah,

cadangan sumber listrik, alat transportasi, komunikasi

sehingga membutuhkan sumber dana sangat besar.

Rumah sakit dalam kenyataannya juga padat dengan

SDM, baik tenaga medis, tenaga perawatan, tenaga

penunjang medis maupun tenaga non medis yang masing-

masing mempunyai latar belakang profesi atau disiplin

keilmuan yang berbeda-beda, bahkan juga tingkat

pendidikannya yang sangat heterogen, tetapi harus

menyatu dalam mendukung visi dan misi rumah sakit.

Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan disebuah rumah

sakit atau pelayanan kesehatan, sangat dimungkinkan

adanya pergesekan atau kesalahpahaman yang menyebabkan

kekeliruan antara profesi satu dengan profesi lainnya,

bahkan dalam satu profesi atau satu tim saja

dimungkinkan terjadi kesalahan jika dalam menejemen

pengelolaaanya tidak baik, seperti struktur organisasi

tidak overlap, uraian tugas tidak ada atau jika ada

sulit dipahami sehingga sering adanya tugas dengan

tugas yang lainnya. Halini berpotensi terjadinya ‘human

errors/medical errors’, sehingga muncul adanya gugatan

pasien.

STATUTA RUMAH SAKIT.

Rumah sakit dalam pengelolannya terikat oleh

Undang-undang maupun berbagai aturan sebagai

persyaratan operasional, disamping harus menyusun

berbagai aturan internal rumah sakit sendiri, seperti

hubungan kerja antara pemilik, pengelola maupun

pelaksana atau biasa disebut dengan hospital bylaws

atau statuta. Hospital bylaws pada tigkatan hubungan

tata kelola antara pemilik dan pelaksana disebut dengan

corporate bylaws yang mengatur hubungan tata kerja, hak

dan kewajiban antara pemilik (pemerintah, yayasan,

perkumpulan, persyerikatan, PT, dan lain-lainnya) dalam

hubungannya dengan direktur serta jajaran pejabat

struktural sebagi pelaksana operasional rumah sakit,

termasuk disalamnya dengan adanya dewan pengampu atau

badan pengurus harian atau komisaris, BPH dan mempunyai

kedudukan serta berfungsi sebagai Govening Board.

Pada tatarann pelaksana operasional rumah skit,

khususnya terkait dengan dokter dan tenaga kesehatan

lainnya, ada medical staff bylaws, seperti mengatur

peran komite midik, tugas dan wewenang komite etik

(disiplin) dan hukum, atau komite keperawtan, serta

staff medik fungsional (SMF) yang beranggotakan para

dokter dan dokter gigi, juga pengelolaan rekam medik

dan menjaga rahasia kedokterannya, serta aturan lain

yang lebih teknis.

KOMITE MEDIK

Komite medik sebagai partner manajeme, dituntut

perannya untuk meningkatkan berfungsi sebagai

kredensial yaitu mengkaji/ menyeleksi dokter gigi yang

baik, kompeten, legal, beretika baik, serta taat aturan

rumah sakit. Komite medik juga berfungsi untuk menjaga

mutu pelayanan dan profesionalisme dokter, seperti

melakukan rekrendetial jika terbukti dokter sudah tidak

lagi kompeten karena perkembangan usia atau gangguan

kesehatan. Audit medik sebagai metoda melakukan kajian

atas kasus-kasus yang dinilai ada medical erors

sehingga tidak terulang pada kesempatan berikutnya.

Audit medik bukan untuk menghakimi dokter yang bersalah

tetapi untuk proses pembelajaran bagi semua pihak untuk

meningkatkan mutu.

Peran komite medik bukan sebaliknya sebagai

perongrong manajemen, bahkan ada yang berfungsi tidak

lebih dari seperti serikat pekerja medis seluruh

Indonesia dalam arti sempit, sehingga fungsinya hanya

menuntut kenaikan jasa medik dan kesejahteraan bagi

para dokter.

NORMA KEDOKTERAN

Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H, bahwa setiap

orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pengadaan sarana pelayanan kesehatan menjadi tanggung

jawab negara (pasal 34ayat (3) UUD 1945) dan tetap

memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pengadaan sarana pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Semkin banyaknya sarana pelayanan kesehatan menyebabkan

berbagai persaingan ketat sehingga menuntut mengelola

sarana pelayanan kesehatan untuk lebih memperhatikan

masalah kualitas pelayanannya. Salah stu faktor yang

menentukan kualitas pelayanan adalah sumber daya

manusia, terutama profesionalitas dokter dan dokter

gigi dalam menjalankan profesinya.

Keseluruhan dokter dan dokter gigi karena tugas

utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi

salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan dan

kesehatan. Sebagaimana dalam penjelasan umum UU. No. 29

tahun 2004 tentang praktik kedokteran bahwa pembangunan

bidang kesehatan ditujukan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang

optimal sebagai unsur kesejahteraan. Visi Indonesia

Sehat 2010 yang mencanangkan kesehatan bangsa hendak

dicapai adalah kehidupan masyaraka, bangsa dan negara

ditandai oleh penduduk yang sehat, memiliki kemampuan

untuk menjangkau pelayanan kesehatan bermutu secara

adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya diseluruh wilayah republik

Indonesia. Dokter dan dokter gigi dalam menjalankan

tugasnya terikat oleh suatu norma, sehingga tidak

bebasdalam tiap langkahnya.

PENEGAKAN HUKUM KEDOKTERAN

Penegakan hukum kedokteran bukan hanya persoalan

hitam putih, secara konsepsi hukum terkait soal benar

atau salah seorang dokter menjalankan profesinya

melakukan praktik kedokteran. Aturan hukum dibuat oleh

Pemerintah dan DPR, seperti contohnya UU/PP/Kepres dll.

Aturan perundang – undangan dimaksudkan untuk mengatur

norma perilaku manusia pada umumnya. Dalam aturan

hukum, jika bersalah maka seseorang atau korporasi akan

diberi sanksi, bisa berupa sanksi pidana seperti

hukuman mati, hukuman kurungan, penjara atau denda,

serta sanksi perdata berupa ganti rugi dan sanksi

administrasi antara lain dapat berupa teguran atau

pencabut ijin. Dalam penegakan hukum, lembaga yang

berwenang adalah Pengadilan. Beberapa ajaran tentang

fungsi hukum dan perkembangan dalam masyarakat, yaitu :

1.      Ajaran legisme

Ajaran legisme memandang hukum identik dengan undang-

undang artinya pandangan ini berkeyakinan bahwa setiap

masalah social dapat diselesaikan melaui perundang-

undangan.

2.      Ajaran hukum fungsional

Secara fungsional hukum dipandang sebagai instrument

pengaturan masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja

yang menyebut fungsi hukum sebagai alat pembaharuan

bagi masyarakat, yang mana hukum merupakan suatu alat

untuk memelihara ketertiban dalam masyrakat mengingat

fungsi hukum pada dasarnya adalah konservatif.

3.      Ajaran hukum kritis

Ajaran hukum kritis memandang hukum sebagai bagian dari

masyarakat, dengan kata lain hukum dalam masyarakat.

Ajaran ini melihat didalam hukum di satu pihak endapan

dari perbandingan kekuatan yang nyata dan kepentingan –

kepentingan yang dominan, sedang di pihak lain juga

aspirasi untuk keadilan dan legitimasi.

Peraturan Konsil kedokteran Indonesia merupakan

peraturan yang mempunyai kekuatan hukum yang

berdasarkan pendelegasian kewenangan dalam pembentukan

peraturan. Peraturan perundang-undangan yang dapat

dijadikan dasar penegakan disiplin kedokteran dan

kedokteran gigi adalah tidak hanya Undang Praktik

Kedokteran, tetapi juga keputusan –keputusan Konsil

Kedokteran Indonesia. Penerapan ajaran legisme dalam

praktik peradilan berdasarkan suatu anggapan bahwa

semua hukum terdapat undang-undang, oleh karenanya

hakim itu hanya sebagai corong undang-undang.

Dalam ajaran hukum yang fungsional, disiplin

kedokteran dan kedokteran gigi sebagai hukum merupakan

alat yang berfungsi melakukan pembaharuan agar tercapai

ketertiban dalam praktik kedokteran. Undang - undang

praktik kedoketran dengan jelas menentukan perbuatan –

perbuatan yang termasuk criteria pelanggaran hukum dan

besaran sanksi.

KOMITE ETIK (DISIPLIN) DAN HUKUM RS

Tujuan utama pelayanan rumah sakit adalah

memberikan pelayanan yang bermutu, professional, dan

diterima masyarakat. Salah satu upaya mencapai

pelayanan kesehatan bermutu dan professional rumah

sakit adalah dengan memenuhi kaidah – kaidah yang

tercantum dalam Kode Etik Rumah Sakit (KERS). KERS

merupakan badan yang dibentuk dengan anggota dari

berbagai disiplin perawatan kesehatan dalam rumah

sakit, yang bertujuan membantu pimpinan rumah sakit

menjalankan kode etik rumah sakit. KERS dapat menjadi

sarana efektif dalam mengusahakan saling pengertian

antara berbagai pihak yang terlibat seperti dokter,

pasien, keluarga pasien dan masyarakat tentang berbagai

masalah etika, hukum, dan kedokteran di rumah sakit.

Seluruh permasalahan yang berkaitan dengan etika

biomedis dirumah sakit ditangani oleh KERS.

Fungsi Komite Etik Rumah Sakit :

1.      Pendidikan

Melakukan peningkatan pengetahuan dan kemampuan anggota

KERS. Menyelenggarakan berbagai pelatihan dan seminar

tentang etika pelayanan kesehatan dan memberikan

pengetahuan etika kepada staf rumah sakit, pasien dan

rumah sakit.

2.      Rekomendasi kebijakan rumah sakit

Pimpinan rumah sakit menugaskan kepada KERS untuk

mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan etika dan

hukum kedokteran apabila muncul berbagai masalah etika

kedokteran dirumah sakit. Berbagai kebijakan yang

disusun oleh KERS, antara lain :

a.       Prosedur penanganan pasien gawat darurat

b.      Pasien terminal

c.       Pasien inkompeten

d.      Pasien koma

e.       Penentuan kematian

f.       Persetujuan tindakan medis

g.      Rahasia medis

h.      Rekam medis

i.        Neonates dengan cacat congenital berat atau

premature

j.        Masalah nbidang obstetric-ginekologi

k.      Hak dan kewajiban pasien

l.        Hak dan kewajiban dokter

m.    Hak dan kewajiban rumah sakit

n.      Konflik dalam hubungan dokter-pasien

3.      Pembahasan kasus

KERS dapat melakukan diskusi dan pembahasan berbagai

kasus medis dengan kandungan aspek etika rumah sakit.

PATIENT SAFETY

Patient Safety atau keselamatan pasien adalah

suatu upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien dan

mutu pelayanan di rumah sakit dan ini adalah tekad dan

visi dari gerakan patient safety. Namun harus diingat

bahwa di rumah sakit terdapat ratusan jenis obat,

terdapat banyak alat, terdapat banyak kelompok profesi

dan non profesi yang memberikan pelayanan kepada

pasien. Apabila dalam pengelolaanya kurang berhati –

hati maka keberagaman ini dapat berpotensi menimbulkan

kejadian yang tidak diharapkan.

Meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai

pentingnya kesehatan akan lebih berhati – hati dalam

memilih rumah sakit dalam perawatan dan penyembuhan

penyakitnya. Akses informasinya yang sangat terbuka

seperti ini sangat memungkinkan masyarakat untuk

memilih siapa dan dimana akan melakukan pengobatan. Dan

harus diakui bahwa rumah sakit yang menerapkan sistem

keselamatan pasien akan lebih dicari dan diutamakan

penggunaannya oleh perusahaan dan asuransi sebagai

provider kesehatan karyawan / kliennya.

Ada 5 aspek yang harus diperhatikan oleh

pengelola rumah sakit dalam penanganan patient safety

yaitu :

1.      Keselamatan pasien

2.      Keselamatan pekerja atau petugas kesehatan

3.      Keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit

yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan

petugas

4.      Keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap

pencemaran lingkungan

5.      Keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait dengan

kelangsungan hidup rumah sakit.

Untuk mendukung program pengembangan sistem keselamatan

pasien, maka pengelola rumah sakit hendaknya tidak

melupakan tiga factor utama yang sangat penting yaitu :

1.      Environmental safety meliputi penanaman kesadaran

terhadap dokter, perawat, staf dan pasien tentang

pentingnya menciptakan lingkungan yang aman di rumah

sakit. Misalnya tidak boleh menaruh barang – barang

sembarangan di lantai untuk menghindari kebakaran.

2.      Clinical safety antara lain menyangkut masalah

kompetensi dan kredibilitas dokter dan perawat, apakah

mereka memiliki skill atau lisensi untuk mulai

berpraktik. Karena dilakukan penyaringan terlebih

dahulu terhadap para dokter atau perawat, apakah sudah

layak untuk praktik, punya surat izin atau tidak.

3.      Clinical safety & risk management, hal ini tidak

lepas dari service quality yaitu bagaimana penanganan

dokter terhadap pasiennya.

PELANGGARAN ETIK DOKTER DI RUMAH SAKIT

Pelayanan rumah sakit pada masa kini jauh lebih komplek

disbanding dengan beberapa dasawarsa sebelumnya.

Situasi pelayanan kesehatan yang kompleks ini

seringkali kurang dipahami oleh pasien, keluarga dan

masyarakat, dan dokter kesulitan menjelaskan hal ini

hingga berakibat munculnya berbagai keluhan,

ketidakpercayaan kepada pemberi jasa layanan kesehatan.

Kompleksitas pelayanan rumah sakit ini terkadang akan

menimbulkan pelanggaran etik oleh dokter atau petugas

pelayanan rumah sakit.

Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan tugasnya

terikat oleh norma etik yaitu suatu norma yang terikat

dengan nilai – nilai moral menyangkut baik atau buruk

dan pantas atau tidak pantas suatu perbuatan itu

dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi. Kode

etik kedokteran atau kode etik kedokteran gigi adalah

pedoman yang disusun organisasi profesi IDI atau PDGI.

Norma etik disusun untuk mengatur norma perilaku

pelaksanaaan profesi para dokter dan dokter gigi.

Perbuatan dokter dan dokter gigi dirumah sakit dinilai

secara moral adalah buruk atau tidak pantas dilakukan

maka yang bersangkutan dinilai telah melakukan

pelanggaran etik.

Pengaduan terhadap dokter atau dokter gigi yang diduga

telah melakukan pelanggaran etik di rumah sakit dapat

diproses oleh Komite Etik (disipilin) dan Hukum, dan

jika terbukti Dokter atau dokter gigi tersebut telah

melakukan pelanggaran etik maka direktur rumah sakit

dapat berfungsi sebagai eksekutor dengan cara member

peringatan secara lisan maupun tertulis terhadap dokter

tersebut. Jika aduan dugaan pelanggaran etik di rumah

sakit tidak dapat diselesaikan secara internal maka

pihak rumah sakit dapat mengadukan permasalahannya ke

MKEK IDI MAKERSI PERSI tergantung pada kasusnya.

Disiplin kedokteran sebagai aturan memuat standarisasi

dalam menjalankan profesi kedokteran meliputi :

a.       Standar profesi (pendidikan), merupakan batasan

kemampuan penguasaan keilmuan, kemampuan dan sikap

profesional minimal yang harus dikuasai oleh seorang

individu untuk dapat melakukan profesionalnya pada

masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi.

Dalam penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor

29 Tahun 2004 dijelaskan, bahwa standar pendidikan

profesi dokter dan dokter gigi adalah pendidikan

profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem

pendidikan nasional. Standar pendidikan profesi dokter

dan dokter gigi ditetapkan bersama oleh konsil

kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran,

kolegium kedoteran gigi, asosiasi rumah sakit

pendidikan, yang disahkan oleh konsil kedokteran

Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2)

Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran. Demikian pula standar pendidikan profesi

kedokteran yang dilakukan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem

pendidikan, sebagaiman diatur dalam Undang-undang nomor

29 Tahun 2004 pasal 26 dan penjelasannya.

b.      Standar pelayanan, sebagai pedoman yang harus

diikuti oleh dokter dan dokter gigi dalam

menyelenggarakan praktik kedokteran, sebagaimana di

atur dalam Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 pasal 44:

1)        Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan

praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan

kedokteran atau kedokteran gigi.

2)        Standat pelayanan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)

dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan

kesehatan.

3)        Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur

dengan peraturan menteri.

c.       Standar prosedur operasional, suatu perangkat

instruksi atau langkah-langkah baku yang dipergunakan

untuk menyelesaikan suatu kerja rutin, sebagaimana

diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004

penjelasan pasal 50. Standar prosedur operasional

sebagai langkah yang benar dan terbaik berdasarkan

konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan

dan fungsi layanan yang dibuat oleh sarana pelayanan

kesehatan berdasarkan standar profesi.

d.      Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan

tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk

melaksankan pekerjaan tersebut, pasal 22 ayat (1) (3)

Permenkes.

e.       Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi

tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa

sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien,

sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (3) c UU No.

29/2004 yang menentukan persyaratan untuk memperoleh

surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi harus

memenuhi persyaratan memiliki surat keterangan

kesehatan fisik dan mental. Hal ini dimaksudkan sebagai

upaya memberikan perlindungan kepada pasien.

Peraturan konsil Kedokteran Indonesia Nomor

17/KKI/KEP/VIII/2006 tertanggal 24 Agustus 2006 tentang

Pedoman Penegakan Displin Profesi Kedokteran telah

merumuskan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam

pelanggaran disiplin kedokteran:

1.        Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan

tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk

melaksanakan pekerjaan tersebuat. Pasal 22 ayat (1) (3)

Permenkes 1419/2005.

2.        Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi

tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa

sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien,

sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (3) c UU No.

29/2004 yang menentukan persyaratan untuk memperoleh

surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi harus

memenuhi persayaratan memiliki surat keterangan sehat

fisik dan mental. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya

memberikan perlindungan terhadap pasien.

3.        Menyediakan dokter pengganti sementara yang tidak

memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau

tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian

tersebut. Oleh karena itu pasal 40 UU No. 29 Tahun 2004

mensyaratkan bahwa dokter atau dokter gigi yang

berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus

membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter

gigi pengganti yang mempunyai surat izin praktik (Pasal

40 UU No. 29/2004 dan Pasal 20 ayat (3) (14) Permenkes

No.1419/2005).

4.        Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan

yang tdak sesuai dengan kebutuhan pasien. Pasal 51

huruf a UU No. 29 Tahun 2004 menentukan kewajiban bagi

dokter dan dokter gigi untuk memberikan pelayanan medis

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan medis pasien. Demikian pula

pasal 52 c UU No. 29 Tahun 2004 menentukan pasien

dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran

mempunyai hak mendapatkan pelayanan sesaui dengan

kebutuhan medis.

5.        Dalam pasal 44 ayat (1) dan (2) UU No. 29 Tahun

2004 yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam

menyelenggarakan praktik kedokterannya wajib mengikuti

standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi

dengan memperhatikan jenis dan strata pelayanan

kesehatan. Demikian pula pasal 51 a UU No. 29 Tahun

2004 menentukan dokter atau dokter gigi dalam

melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban

memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar

profesi dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan medis pasien.

6.        Melakukan perbuatan yang mengakhiri kehidupan

pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.

(Fatwa IDI No. 231/PB/4/7/1990 dan World Medical

Association : Declaration of Euthanasia) (Madrid, 1987)

7.        Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan

pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum

di terima atau di luar tata cara praktik kedokteran

yang layak. Artinya ada kewajiban bagi dokter atau

dokter gigi dalam melaksanakan profesinya berdasarkan

kompetensi, sebagaiman Pasal 27 UU No. 29 Tahun 2004

menentukan, bahwa pendidikan dan pelatihan kedokteran

atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi

kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai

dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau

dokter gigi. Sedangkan Pasal 28 UU No. 29 Tahun 2004

menentukan kewajiban dokter dan dokter gigi mengikuti

pendidikan dan pelatihan berkelanjutan yang

diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga

lainyang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam

rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran atau kedokteran gigi. Pasal 27,

28, dan 51 a UU No. 29/2004.

8.        Ketergantungan pada narkotika, psikotropika,

alkohol serta zat adiktif lainnya.

Dalam Pasal 29 ayat (3) c UU No. 29 Tahun 2004

menentukan untuk memperoleh surat tanda registrasi

dokter dan dokter gigi harus memiliki surat keterangan

sehat fisik dan mental. Apalagi dalam UU No.22 Tahun

1997 Tentang Narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 Tentang

Psikotropika, mengatur tentang penggunaan narkotika dan

psikotropika, selain untuk kepentingan kedokteran.

9.        Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran

dengan menggunakan manusia sebagai subyek penelitian,

tanpa memperoleh persetujuan etik dari lembaga yang

diakui pemerintah. Kegiatan tersebut telah dilarang

oleh World Medical Association: Deklarasi Helsinki

(1964) yang diamandemen di Venesia (1983).

10.    Tidk melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, padahal tidak menbahyakan dirinya,

kecuali ia yakin bahwa ada orang lain yang bertugas dan

mampu melakukannya. Dalam Pasal 51d UU No. 29 Tahun

2004 menyatakan, bahwa dokter atau dokter gigi dalam

melaksanakan praktik kedokteran berkewajiban melakukan

pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali

ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya.

11.    Menolak atau menghentikan tanpa alasan, pengobatan

terhadap pasien tanpa alasasan yang layak dan sah.

Perbuatan tersebut bertentangan dengan Pasal 51a dan

52c UU No.29 Tahun 2004 yang mengatur pelayanan medis

harus sesuai dengan standar profesi, standar prosedur

operasional dan kebutahn medis pasien.

12.    Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh

persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali

atau pengampunya. Pasal 45 UU No.29 Tahun 2004 mengatur

tentang tindakan-tindakan dokter dan dokter gigi harus

mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarga, baik

persetujuan secara tertulis maupun tidak tertulis,

selanjutnya Pasal 52d UU No. 29 Tahun 2004 menyatakan

pasien mempunyai hak untuk menolak tindakan medis,

demikian pula diatur dalam Permenkes No. 1419/2005

Pasal 17

13.    Membuka rahasia kedokteran.

Pasal 48 UU No. 29 Tahun 2004 Menentukan:

a.    Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan

praktik kedoteran wajib menyimpan rahasia kedokteran;

b.    Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk

kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan

aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,

permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan

perundang-undangan;

Demikian pula Pasal 51c UU No. 29 Tahun 2004 menentukan

kewajiban dokter atau dokter gigi dalam melaksakan

praktik kedokteran wajib merahasiakan segala sesuatu

yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah

pasien itu meninggal dunia, bahkan Permenkes No.

1419/2005 Pasal 18 dan PP No. 10 Tahun 1966 mengatur

kewajiban simpan rahasia kedokteran.

14.    Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan

memadai kepada pasien atau keluarganya dalam dalam

melakukan praktik kedokteran. Pasal 45 ayat (2) dan (3)

menyatakan bahwa persetujuan atas tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi diberikan setelah pasien mendapat

penjelasan secara lengkap, sekurang-kurangnya mencakup:

a.    Diagnosis dan tata cara tindakan medis.

b.    Tujuan tindakan medis yang dilakukan.

c.    Alternatif tindakan lain dan resikonya.

d.   Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.

e.    Pronogsis terhadap tindakan yang dilakukan.

Demikian pula kewajiban memberikan penjelasan diatur

dalam Pasal 52a,b,e UU No.29 Tahun 2004, menyatakan

pasien berhak mendapatkan penjelasan secara lengkap

tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau

dokter gigi lain dan mendapatkan isi rekam medik, dan

diatur pula dalam Pasal 17 Pemenkes No. 1419/2005.

15.    Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan

kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar

dan patut. Hal tersebut diatur dalam kode etik

kedokteran.

16.    Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.

UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 51d menyatakan, bahwa

melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain

yang bertugas dan mampu melakukannya. Demikian pula

diatur dalam kode etik kedokteran.

17.    Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi

atau Surat Izin Praktik dan atau sertifikat kompetensi

yang tidak sah. Hal tersebut melanggar UU No. 29 Tahun

2004 Pasal 36 yang berbunyi setiap dokter dan doter

gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia

wajib mempunyai surat izin praktik.

18.    Tidak memberika informasi, dokumen dan alat bukti

lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas

dugaan pelanggaran disiplin.

Perkonsil No. 16/KKI/PER/VIII/2006 Pasal 3 ayat (5)

tentang tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran

disi[lin dokter dan dokter gigi oleh MKDKI dan MKDKI-P.

19.    Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang

bukan haknya UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional mengatur larangan penggunaan gelar

akademik atau profesi yang bukan haknya. Demikian pula

Kode Etik Kedokteran mengatur tentang penggunaan gelar

akademik.

20.    Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangandan etika profesi.

Perbuatan tersebuat diatas sudah diatur dalam UU No.22

Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No.5 Tentang

Pesikotropika

21.    Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk

menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan

ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan dan etika profesi. Pasal 15 UU No.

23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, menyatakan bahwa dalam

keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu

hamil dan janinnyadapat dilakukan tindakan medis

tertentu dengan pertimbangan:

a.    Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan

diambilnya tindakan tersebut;

b.    Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan

tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan

ahli;

c.    Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau

suami atau keluarganya;

d.   Pada saran kesehatan tertentu

22.    Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam

medik, sebgaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan atau etika profesi.

Pasal 46 UU No. 29 Tahun 2004 mengatur tentang

kewajiban dokter dan dokter gigi membuat rekam medis.

Demikianlah pula diatur dalam Permenkas No. 1419/2005

Pasal16.

Seluruhnya ada 28 butir bentuk pelanggara disiplin

kedokteran dalam Perkonsil Nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006,

Tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.

PELANGGARAN ETIK DOKTER DI RUMAH SAKIT

Pelayanan rumah sakit pada masa kini jauh lebih komplek

dibandingdengan beberapa dasawarsa sebelumnya.Situasi

pelayanan kesehatan yang komplek ini seringkali kurang

dipahami oleh pasien,keluarga dan masyarakat, dan

dokter kesulitan menjelaskan hal ini sehingga berakibat

pada munculnya berbagai keluhan,ketidakpercayaan kepada

pemberi jasa pelayanan kesehatan.Kompleksitas pelayanan

rumah sakit ini terkadang akan menimbulkan pelanggaran

etik oleh dokter atau petugas pelayanan rumah sakit.

Dokter dan Dokter Gigi dalam melaksanakan tugasnya

terikat oleh norma etik yaitu suatu norma yang terkait

dengan nilai-nilai moral menyangkut baik atau buruk

pantas atau tidak pantas suatu perbuatan itu dilakukan

oleh seorang Dokter atau Dokter Gigi.Kode etik

kedokteran atau kode etik kedokteran gigi adalah

pedoman yang disusun oleh organisasi profesi IDI atau

PDGI.Norma etik disusun untuk mengatur norma perilaku

pelaksanaan profesipara Dokter dan Dokter

Gigi.Perbuatan Dokter dan Dokter Gigi di rumah sakit

yang dinilai secara moral buruk atau tidak pantas

dilakukan maka yang bersangkutan dinilai telah

melakukan pelanggaran kode etik.

Pengaduan terhadap Dokter atau Dokter Gigi yang diduga

telah melakukan pelanggaran etik dirumah sakit dapat

diproses oleh komite etik (disiplin) dan Hukum,dan jika

terbukti Dokter atau Dokter Gigi tersebut telah

melakukan pelanggaran etik maka direktur rumah sakit

dapat berfungsi sebagai eksekutor dengan cara member

peringatan secara lisan maupun tertulis terhadap dokter

tersebut.Jika aduan dugaan pelanggaran etik di rumah

sakit tidak dapat diselesaikan secara internal maka

pihak rumah sakit dapat mengadukan permasalahannya ke

MKEK IDI dan MAKERSI PERSI tergantung pada

kasusnya.Berikut ini salah satu contoh pelanggaran etik

yang dilakukan dokter berkaitan dengan peresepan obat.

Agus Purwadianto ,Kepala Biro Hukum dan Organisasi

Departemen Kesehatan RI,sekaligus Ketua MKEK PB IDI

sekarang mengatakan:

Praktik Kolusi antara dokterdan perusahaan farmasi ini

sudah melanggar etik disiplin kedokteran,sebab dokter

memberikan resep bukan berdasarkan penyakit

pasien,melainkan gejala penyakit yang diperkirakan

dokter sebelumnya.Obat yang diresepkan pun berdasarkan

kontrak perusahaan farmasi dengan dokter.Kartono

Mohammad,mantan ketua PB IDI mengatakan,bahwa adanya

perselingkuhan diantara produsen obat dengan dokter

memang sulit dibuktikan,dan obat yang tidak perlu

diberikan ,tetapi ditulis didalam resep. (Sumber :

www.media.komunikasi.com tanggal 13 Maret 2008)

PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DIRUMAH SAKIT

Dugaan telah terjadi pelanggaran disiplin kedokteran di

rumah sakit,maka kasusnya sebaiknya dapat segera

dilakukan kajian atau analisa.Setiap kasus yang muncul

dugaan pelanggaran disiplin ,dibuatkan laporan ke

Direktur, dan Direktur berkoordinasi dengan Komite etik

(disiplin) dan hukum untuk dikaji dan diadakan forum

penegakan etik,disiplin dan hukum oleh KERS.

Rumah sakit belum semuanya mempunyai komite etikj

(disiplin) dan hukum sehingga penanganan di rumah sakit

dapat digantikan oleh komite medik,khususnya di panitia

etik profesi medik.

Dugaan pelanggaran disiplin kedokteran jika

terbukti ,maka direktur sebagai eksekutor dapat

memberikan peringatan kepada sejawat dokter yang

bersalah,bisa peringatan lisan,peringatan tertulis

sampai dengan pembatasan kewenangan penanganan

pasien,jika direkomendasikan oleh komite medik,bahkan

jika sudah melebihi batas toleransi,dapat dilakukan

“PHK”.

Pelanggaran disiplin kedokteran yang disertai dengan

tuntutan pasien,maka sebelum kasusnya keluar,maka

sebaiknya diselesaikan secara cepat oleh pihak rumah

sakit,khususnya dokter yang bersangkutan.Jika

diperlukan maka komite etik (disiplin) dan hukum dapat

mengambil peran memfasilitasi penyelesaiannya atau jika

perlu sebagai mediator.Kasus gugatan pasien atas

pelanggaran disiplin kedokteran bisa di mediasi oleh

pihak ketiga/mediator professional,sebelum kasusnya

keluar rumah sakit dan dilaporkan ke MKDKI.

Kasus dugaan pelanggaran disiplin yang sudah terlanjur

diadukan ke MKDKI,tidak dapat dicabut pengaduannya jika

sudah sampai disidangkan di Majelis Pemeriksaan

Disiplin (MPD),tetapi jika baru disidangkan di Majelis

Pemeriksaan Awal (MPA) maka pengadu dapat mencabut

aduannya.Untuk itu,upaya mediasi untuk “damai” masih

dimungkinkan sebelum ada sidang MPA .

PELANGGARAN HUKUM DOKTER DI RUMAH SAKIT

Dugaan pelanggaran hukum yang terjadi di sarana

pelayanan kesehatan akan berdampak luas dalam proses

penyelesaiannya,apalagi jika kasusnya telah keluar dari

rumah sakit.Rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit

swasta berbeda cara mencari solusinya,karena rumah

sakit pemerintah,para dokternya adalah Pegawai Negeri

Sipil (PNS),yang berstatus sebagai dokter

organic,berbeda dengan rumah sakit swasta,khususnya

yang mayoritas para dokternya adalah dokter mitra.Upaya

“damai” dalam kasus pelanggaran hukum,maka sebaiknya

cepat diselesaikan,khusunya oleh dokter yang

bersangkutan karena kasus hukum adalah soal tanggung

jawab pribadi lebih dominan.Peran Komite Etik,

(Disiplin),dan Hukum Rumah Sakit (KERS),sangar

sentral,khususnya jika upaya pendekatan yang dilakukan

dokter tidak menemui titik temu,dan persoalannya masih

internal di rumah sakit.Jika terjadi gugatan pasien

atas dugaan pelanggaran hukum ,dan kasusnya sudah

mencuat keluar,maka kewajiban pihak rumah sakit bersama

dokter untuk menghadapi secara bersama dan kerja

sama.Kelengkapan proses hukum ,jika pihak rumah sakit

bisa menyediakan pengacara hukum.Jika keputusan ada

mediasi atau sanksi perdata/denda uang,maka sesuai

aturan hospital bylaws bagaimana rumah sakit mengatur

besaran masing-masing kontribusi pihak yaitu rumah

sakit dan pihak dokter tergugat.Keputusan “bagi hasil

sanksi” tiap rumah sakit bisa berbeda.Potongan jasa

medis rumah sakit bisa sebagai acuan dalam pembagian

‘urunan’ biaya gugatan pasien.

Permasalahan gugatan pasien sampai ke pengadilan atau

ke kepolisian,maka pihak rumah sakit disamping

menyediakan pengacara hukum,juga menyiapkan berbagai

hal untuk kepentingan sidang.

Berdasarakan peraturan Konsil Kedokteran Indonesia

Nomor 16/KKI/PER/VII/2006,pembuktian dalam pemeriksaan

pelanggaran disiplin kedokteran dan kedokteran gigi

meliputi alat bukti :

a.                   Surat

b.                  Keterangan saksi

c.                   Pengakuan teradu

d.                  Keterangan ahli

e.                   Barang bukti

GW Paton membagi alat bukti menjadi 3, yaitu oral evidence

(saksi,pengakuan teradu dan keterangan ahli),documentary

evidence (buku,tulisan atau dokumen),material evidence

(barang bukti).

1.    Surat

Pemeriksaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia menggunakan pedoman dasar Hukum Acara

Perdata,sehingga pemeriksaan surat yang dimaksud dalam

alat bukti menurut Konsil Kedokteran Indonesia memiliki

kesamaan dengan surat yang dipergunakan dalam Hukum

Acara Perdata.

2.    Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah keterangan dari orang yang

melihat,mendengar dan atau mengalami sendiri adanya

suatu pelanggaran.Dalam pasal 169 HIR telah menetapkan

asas “seorang saksi,bukan saksi” artinya untuk

menetapkan suatu kebenaran harus didasarkan atas

sedikit-sedikitnya 2(dua) orang saksi,kecuali ada bukti

lain.Hal ini yang harus diperhatikan MKDKI.

3.    Pengakuan

Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata diatur dalam pasal

174 HIR dan pasal 1923 s/d 1928 KUHPerdata.Pengakuan

merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau

lisan dari salah satu pihak yang berperkara.

4.    Keterangan Ahli

Keterangan ahli merupakan pendapat yang disampaikan

oleh orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan

khusus dan disampaikan dihadapan sidang.Pengadilan

tidak sekali-kali diwajibkan mengikuti pendapat ahli.

5.    Barang bukti

Barang bukti,dalam peraturan Konsil Kedokteran

Indonesia Nomor 16/KKI/VII/2006 disebut sebagai alat

bukti,sedangkan dalam hukum acara perdata dan pidana

barang bukti ditampung dalam persangkaan.

PENUTUP

1.         Rumah sakit sebagai sarana pelayanan

kesehatan,berkumpul berbagai profesi dan dalam proses

pelayanan terkait oleh berbagai aturan atau SPO,

sehingga sangat rawan terjadinya “medical errors” yang

berakibat gugatan pasien

2.         Dokter dan dokter gigi dimungkinakan melakukan

pelanggaran norma etik, norma disiplin dan norma hukum

dalam menjalankan tugasnya.

3.         Komite medik bukan SPSI medis atau IDI ranting

rumah sakit,tetapi mitra manajemen dalam peningkatan

mutu pelayanan,keselamatan pasien dan profesionalisme

dokter.

4.         Komite etik,(disiplin) dan hukum bertugas

menjalankan kode etik RS,dan dapat akomodir tugas sub

komite etik profesi medik.KERS dapat menjadi mediator

gugatan pasien di internal RS.

5.         Patient safety merupakan gerakan RS untuk keselamatan

pasien dan meningkatkan mutu pelayanan yang harus ada

di setiap RS.

6.         Ketidakpuasan pasien yang berujung pada gugatan

pasien perlu diselesaikan secara cepat agar tidak

berkembang keluar rumah sakit dan tidak terkontrol.

7.         Rumah sakit ikut bertanggung jawab terhadap

adanya gugatan pasien,termasuk jika ada sanksi

denda/uang.