PERAN KOMITE MEDIK
Transcript of PERAN KOMITE MEDIK
PERAN KOMITE MEDIK, KOMITE ETIK DAN HUKUM SERTA PROGRAM
PATIENT SAFETY DALAM PENYELAIAN KETIDAKPUASAN/ GUGATAN
PASIEN
PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan, ditinjau
dari aspek hukum, maka rumah sakit bukan sebagai badan
hukum, sehingga kedudukan mdirektur sebagai Top Manager
adalah penanggung jawab pelaksana pelayanan kesehatan
tetapi tidak dapat bertindak atas nama badan hukum.
Badan hukum adalah status diri dimata ukum, dan
badan hukum rumah sakit ada dipihak pemilik sarana
pelyanan kesehatan atau rumah sakit. Rumah sakit swasta
non profit, maka badan hukum ada di yayasan atau
perkumpulan, atau persyarikatan, sedangkan pada rumah
sakit yang berorientasi pada profit, maka badan
hukumnya adalah perseroan terbatas atau disebut PT.
Rumah sakit adalah suatu sarana pelayanan
kesehatan yang menyediakan fasilitas rawat inap dan
rawat jalan, serta pemeriksaan penunjang medis yang
memberikan pelayanan kesehatan baik jangka pendek
maupun jangka panjang yang terdiri dari observasi,
diagnostik, terapetik dan rehabilitatif untuk orang
yang menderita sakit, cidera maupun melahirkan, dan
pelayanannya bersifat paripurna meliputi promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Rumah sakit dalam kenyataannya sangat padat dengan
investasi; untuk menyediakan sarana dan prasarana,
seperti tanah, gedung,peralatan medis, peralatan non
medis serta untuk pengadaan berbagai sarana
penunjangoperasional seperti alat pengolahan limbah,
cadangan sumber listrik, alat transportasi, komunikasi
sehingga membutuhkan sumber dana sangat besar.
Rumah sakit dalam kenyataannya juga padat dengan
SDM, baik tenaga medis, tenaga perawatan, tenaga
penunjang medis maupun tenaga non medis yang masing-
masing mempunyai latar belakang profesi atau disiplin
keilmuan yang berbeda-beda, bahkan juga tingkat
pendidikannya yang sangat heterogen, tetapi harus
menyatu dalam mendukung visi dan misi rumah sakit.
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan disebuah rumah
sakit atau pelayanan kesehatan, sangat dimungkinkan
adanya pergesekan atau kesalahpahaman yang menyebabkan
kekeliruan antara profesi satu dengan profesi lainnya,
bahkan dalam satu profesi atau satu tim saja
dimungkinkan terjadi kesalahan jika dalam menejemen
pengelolaaanya tidak baik, seperti struktur organisasi
tidak overlap, uraian tugas tidak ada atau jika ada
sulit dipahami sehingga sering adanya tugas dengan
tugas yang lainnya. Halini berpotensi terjadinya ‘human
errors/medical errors’, sehingga muncul adanya gugatan
pasien.
STATUTA RUMAH SAKIT.
Rumah sakit dalam pengelolannya terikat oleh
Undang-undang maupun berbagai aturan sebagai
persyaratan operasional, disamping harus menyusun
berbagai aturan internal rumah sakit sendiri, seperti
hubungan kerja antara pemilik, pengelola maupun
pelaksana atau biasa disebut dengan hospital bylaws
atau statuta. Hospital bylaws pada tigkatan hubungan
tata kelola antara pemilik dan pelaksana disebut dengan
corporate bylaws yang mengatur hubungan tata kerja, hak
dan kewajiban antara pemilik (pemerintah, yayasan,
perkumpulan, persyerikatan, PT, dan lain-lainnya) dalam
hubungannya dengan direktur serta jajaran pejabat
struktural sebagi pelaksana operasional rumah sakit,
termasuk disalamnya dengan adanya dewan pengampu atau
badan pengurus harian atau komisaris, BPH dan mempunyai
kedudukan serta berfungsi sebagai Govening Board.
Pada tatarann pelaksana operasional rumah skit,
khususnya terkait dengan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya, ada medical staff bylaws, seperti mengatur
peran komite midik, tugas dan wewenang komite etik
(disiplin) dan hukum, atau komite keperawtan, serta
staff medik fungsional (SMF) yang beranggotakan para
dokter dan dokter gigi, juga pengelolaan rekam medik
dan menjaga rahasia kedokterannya, serta aturan lain
yang lebih teknis.
KOMITE MEDIK
Komite medik sebagai partner manajeme, dituntut
perannya untuk meningkatkan berfungsi sebagai
kredensial yaitu mengkaji/ menyeleksi dokter gigi yang
baik, kompeten, legal, beretika baik, serta taat aturan
rumah sakit. Komite medik juga berfungsi untuk menjaga
mutu pelayanan dan profesionalisme dokter, seperti
melakukan rekrendetial jika terbukti dokter sudah tidak
lagi kompeten karena perkembangan usia atau gangguan
kesehatan. Audit medik sebagai metoda melakukan kajian
atas kasus-kasus yang dinilai ada medical erors
sehingga tidak terulang pada kesempatan berikutnya.
Audit medik bukan untuk menghakimi dokter yang bersalah
tetapi untuk proses pembelajaran bagi semua pihak untuk
meningkatkan mutu.
Peran komite medik bukan sebaliknya sebagai
perongrong manajemen, bahkan ada yang berfungsi tidak
lebih dari seperti serikat pekerja medis seluruh
Indonesia dalam arti sempit, sehingga fungsinya hanya
menuntut kenaikan jasa medik dan kesejahteraan bagi
para dokter.
NORMA KEDOKTERAN
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H, bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pengadaan sarana pelayanan kesehatan menjadi tanggung
jawab negara (pasal 34ayat (3) UUD 1945) dan tetap
memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengadaan sarana pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Semkin banyaknya sarana pelayanan kesehatan menyebabkan
berbagai persaingan ketat sehingga menuntut mengelola
sarana pelayanan kesehatan untuk lebih memperhatikan
masalah kualitas pelayanannya. Salah stu faktor yang
menentukan kualitas pelayanan adalah sumber daya
manusia, terutama profesionalitas dokter dan dokter
gigi dalam menjalankan profesinya.
Keseluruhan dokter dan dokter gigi karena tugas
utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi
salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan dan
kesehatan. Sebagaimana dalam penjelasan umum UU. No. 29
tahun 2004 tentang praktik kedokteran bahwa pembangunan
bidang kesehatan ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal sebagai unsur kesejahteraan. Visi Indonesia
Sehat 2010 yang mencanangkan kesehatan bangsa hendak
dicapai adalah kehidupan masyaraka, bangsa dan negara
ditandai oleh penduduk yang sehat, memiliki kemampuan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan bermutu secara
adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya diseluruh wilayah republik
Indonesia. Dokter dan dokter gigi dalam menjalankan
tugasnya terikat oleh suatu norma, sehingga tidak
bebasdalam tiap langkahnya.
PENEGAKAN HUKUM KEDOKTERAN
Penegakan hukum kedokteran bukan hanya persoalan
hitam putih, secara konsepsi hukum terkait soal benar
atau salah seorang dokter menjalankan profesinya
melakukan praktik kedokteran. Aturan hukum dibuat oleh
Pemerintah dan DPR, seperti contohnya UU/PP/Kepres dll.
Aturan perundang – undangan dimaksudkan untuk mengatur
norma perilaku manusia pada umumnya. Dalam aturan
hukum, jika bersalah maka seseorang atau korporasi akan
diberi sanksi, bisa berupa sanksi pidana seperti
hukuman mati, hukuman kurungan, penjara atau denda,
serta sanksi perdata berupa ganti rugi dan sanksi
administrasi antara lain dapat berupa teguran atau
pencabut ijin. Dalam penegakan hukum, lembaga yang
berwenang adalah Pengadilan. Beberapa ajaran tentang
fungsi hukum dan perkembangan dalam masyarakat, yaitu :
1. Ajaran legisme
Ajaran legisme memandang hukum identik dengan undang-
undang artinya pandangan ini berkeyakinan bahwa setiap
masalah social dapat diselesaikan melaui perundang-
undangan.
2. Ajaran hukum fungsional
Secara fungsional hukum dipandang sebagai instrument
pengaturan masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja
yang menyebut fungsi hukum sebagai alat pembaharuan
bagi masyarakat, yang mana hukum merupakan suatu alat
untuk memelihara ketertiban dalam masyrakat mengingat
fungsi hukum pada dasarnya adalah konservatif.
3. Ajaran hukum kritis
Ajaran hukum kritis memandang hukum sebagai bagian dari
masyarakat, dengan kata lain hukum dalam masyarakat.
Ajaran ini melihat didalam hukum di satu pihak endapan
dari perbandingan kekuatan yang nyata dan kepentingan –
kepentingan yang dominan, sedang di pihak lain juga
aspirasi untuk keadilan dan legitimasi.
Peraturan Konsil kedokteran Indonesia merupakan
peraturan yang mempunyai kekuatan hukum yang
berdasarkan pendelegasian kewenangan dalam pembentukan
peraturan. Peraturan perundang-undangan yang dapat
dijadikan dasar penegakan disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi adalah tidak hanya Undang Praktik
Kedokteran, tetapi juga keputusan –keputusan Konsil
Kedokteran Indonesia. Penerapan ajaran legisme dalam
praktik peradilan berdasarkan suatu anggapan bahwa
semua hukum terdapat undang-undang, oleh karenanya
hakim itu hanya sebagai corong undang-undang.
Dalam ajaran hukum yang fungsional, disiplin
kedokteran dan kedokteran gigi sebagai hukum merupakan
alat yang berfungsi melakukan pembaharuan agar tercapai
ketertiban dalam praktik kedokteran. Undang - undang
praktik kedoketran dengan jelas menentukan perbuatan –
perbuatan yang termasuk criteria pelanggaran hukum dan
besaran sanksi.
KOMITE ETIK (DISIPLIN) DAN HUKUM RS
Tujuan utama pelayanan rumah sakit adalah
memberikan pelayanan yang bermutu, professional, dan
diterima masyarakat. Salah satu upaya mencapai
pelayanan kesehatan bermutu dan professional rumah
sakit adalah dengan memenuhi kaidah – kaidah yang
tercantum dalam Kode Etik Rumah Sakit (KERS). KERS
merupakan badan yang dibentuk dengan anggota dari
berbagai disiplin perawatan kesehatan dalam rumah
sakit, yang bertujuan membantu pimpinan rumah sakit
menjalankan kode etik rumah sakit. KERS dapat menjadi
sarana efektif dalam mengusahakan saling pengertian
antara berbagai pihak yang terlibat seperti dokter,
pasien, keluarga pasien dan masyarakat tentang berbagai
masalah etika, hukum, dan kedokteran di rumah sakit.
Seluruh permasalahan yang berkaitan dengan etika
biomedis dirumah sakit ditangani oleh KERS.
Fungsi Komite Etik Rumah Sakit :
1. Pendidikan
Melakukan peningkatan pengetahuan dan kemampuan anggota
KERS. Menyelenggarakan berbagai pelatihan dan seminar
tentang etika pelayanan kesehatan dan memberikan
pengetahuan etika kepada staf rumah sakit, pasien dan
rumah sakit.
2. Rekomendasi kebijakan rumah sakit
Pimpinan rumah sakit menugaskan kepada KERS untuk
mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan etika dan
hukum kedokteran apabila muncul berbagai masalah etika
kedokteran dirumah sakit. Berbagai kebijakan yang
disusun oleh KERS, antara lain :
a. Prosedur penanganan pasien gawat darurat
b. Pasien terminal
c. Pasien inkompeten
d. Pasien koma
e. Penentuan kematian
f. Persetujuan tindakan medis
g. Rahasia medis
h. Rekam medis
i. Neonates dengan cacat congenital berat atau
premature
j. Masalah nbidang obstetric-ginekologi
k. Hak dan kewajiban pasien
l. Hak dan kewajiban dokter
m. Hak dan kewajiban rumah sakit
n. Konflik dalam hubungan dokter-pasien
3. Pembahasan kasus
KERS dapat melakukan diskusi dan pembahasan berbagai
kasus medis dengan kandungan aspek etika rumah sakit.
PATIENT SAFETY
Patient Safety atau keselamatan pasien adalah
suatu upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien dan
mutu pelayanan di rumah sakit dan ini adalah tekad dan
visi dari gerakan patient safety. Namun harus diingat
bahwa di rumah sakit terdapat ratusan jenis obat,
terdapat banyak alat, terdapat banyak kelompok profesi
dan non profesi yang memberikan pelayanan kepada
pasien. Apabila dalam pengelolaanya kurang berhati –
hati maka keberagaman ini dapat berpotensi menimbulkan
kejadian yang tidak diharapkan.
Meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya kesehatan akan lebih berhati – hati dalam
memilih rumah sakit dalam perawatan dan penyembuhan
penyakitnya. Akses informasinya yang sangat terbuka
seperti ini sangat memungkinkan masyarakat untuk
memilih siapa dan dimana akan melakukan pengobatan. Dan
harus diakui bahwa rumah sakit yang menerapkan sistem
keselamatan pasien akan lebih dicari dan diutamakan
penggunaannya oleh perusahaan dan asuransi sebagai
provider kesehatan karyawan / kliennya.
Ada 5 aspek yang harus diperhatikan oleh
pengelola rumah sakit dalam penanganan patient safety
yaitu :
1. Keselamatan pasien
2. Keselamatan pekerja atau petugas kesehatan
3. Keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit
yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan
petugas
4. Keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap
pencemaran lingkungan
5. Keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait dengan
kelangsungan hidup rumah sakit.
Untuk mendukung program pengembangan sistem keselamatan
pasien, maka pengelola rumah sakit hendaknya tidak
melupakan tiga factor utama yang sangat penting yaitu :
1. Environmental safety meliputi penanaman kesadaran
terhadap dokter, perawat, staf dan pasien tentang
pentingnya menciptakan lingkungan yang aman di rumah
sakit. Misalnya tidak boleh menaruh barang – barang
sembarangan di lantai untuk menghindari kebakaran.
2. Clinical safety antara lain menyangkut masalah
kompetensi dan kredibilitas dokter dan perawat, apakah
mereka memiliki skill atau lisensi untuk mulai
berpraktik. Karena dilakukan penyaringan terlebih
dahulu terhadap para dokter atau perawat, apakah sudah
layak untuk praktik, punya surat izin atau tidak.
3. Clinical safety & risk management, hal ini tidak
lepas dari service quality yaitu bagaimana penanganan
dokter terhadap pasiennya.
PELANGGARAN ETIK DOKTER DI RUMAH SAKIT
Pelayanan rumah sakit pada masa kini jauh lebih komplek
disbanding dengan beberapa dasawarsa sebelumnya.
Situasi pelayanan kesehatan yang kompleks ini
seringkali kurang dipahami oleh pasien, keluarga dan
masyarakat, dan dokter kesulitan menjelaskan hal ini
hingga berakibat munculnya berbagai keluhan,
ketidakpercayaan kepada pemberi jasa layanan kesehatan.
Kompleksitas pelayanan rumah sakit ini terkadang akan
menimbulkan pelanggaran etik oleh dokter atau petugas
pelayanan rumah sakit.
Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan tugasnya
terikat oleh norma etik yaitu suatu norma yang terikat
dengan nilai – nilai moral menyangkut baik atau buruk
dan pantas atau tidak pantas suatu perbuatan itu
dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi. Kode
etik kedokteran atau kode etik kedokteran gigi adalah
pedoman yang disusun organisasi profesi IDI atau PDGI.
Norma etik disusun untuk mengatur norma perilaku
pelaksanaaan profesi para dokter dan dokter gigi.
Perbuatan dokter dan dokter gigi dirumah sakit dinilai
secara moral adalah buruk atau tidak pantas dilakukan
maka yang bersangkutan dinilai telah melakukan
pelanggaran etik.
Pengaduan terhadap dokter atau dokter gigi yang diduga
telah melakukan pelanggaran etik di rumah sakit dapat
diproses oleh Komite Etik (disipilin) dan Hukum, dan
jika terbukti Dokter atau dokter gigi tersebut telah
melakukan pelanggaran etik maka direktur rumah sakit
dapat berfungsi sebagai eksekutor dengan cara member
peringatan secara lisan maupun tertulis terhadap dokter
tersebut. Jika aduan dugaan pelanggaran etik di rumah
sakit tidak dapat diselesaikan secara internal maka
pihak rumah sakit dapat mengadukan permasalahannya ke
MKEK IDI MAKERSI PERSI tergantung pada kasusnya.
Disiplin kedokteran sebagai aturan memuat standarisasi
dalam menjalankan profesi kedokteran meliputi :
a. Standar profesi (pendidikan), merupakan batasan
kemampuan penguasaan keilmuan, kemampuan dan sikap
profesional minimal yang harus dikuasai oleh seorang
individu untuk dapat melakukan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi.
Dalam penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor
29 Tahun 2004 dijelaskan, bahwa standar pendidikan
profesi dokter dan dokter gigi adalah pendidikan
profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem
pendidikan nasional. Standar pendidikan profesi dokter
dan dokter gigi ditetapkan bersama oleh konsil
kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran,
kolegium kedoteran gigi, asosiasi rumah sakit
pendidikan, yang disahkan oleh konsil kedokteran
Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2)
Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Demikian pula standar pendidikan profesi
kedokteran yang dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, sebagaiman diatur dalam Undang-undang nomor
29 Tahun 2004 pasal 26 dan penjelasannya.
b. Standar pelayanan, sebagai pedoman yang harus
diikuti oleh dokter dan dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran, sebagaimana di
atur dalam Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 pasal 44:
1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan
praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan
kedokteran atau kedokteran gigi.
2) Standat pelayanan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan
kesehatan.
3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan menteri.
c. Standar prosedur operasional, suatu perangkat
instruksi atau langkah-langkah baku yang dipergunakan
untuk menyelesaikan suatu kerja rutin, sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004
penjelasan pasal 50. Standar prosedur operasional
sebagai langkah yang benar dan terbaik berdasarkan
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan
dan fungsi layanan yang dibuat oleh sarana pelayanan
kesehatan berdasarkan standar profesi.
d. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan
tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk
melaksankan pekerjaan tersebut, pasal 22 ayat (1) (3)
Permenkes.
e. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi
tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa
sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien,
sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (3) c UU No.
29/2004 yang menentukan persyaratan untuk memperoleh
surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi harus
memenuhi persyaratan memiliki surat keterangan
kesehatan fisik dan mental. Hal ini dimaksudkan sebagai
upaya memberikan perlindungan kepada pasien.
Peraturan konsil Kedokteran Indonesia Nomor
17/KKI/KEP/VIII/2006 tertanggal 24 Agustus 2006 tentang
Pedoman Penegakan Displin Profesi Kedokteran telah
merumuskan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam
pelanggaran disiplin kedokteran:
1. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan
tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pekerjaan tersebuat. Pasal 22 ayat (1) (3)
Permenkes 1419/2005.
2. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi
tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa
sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien,
sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (3) c UU No.
29/2004 yang menentukan persyaratan untuk memperoleh
surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi harus
memenuhi persayaratan memiliki surat keterangan sehat
fisik dan mental. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
memberikan perlindungan terhadap pasien.
3. Menyediakan dokter pengganti sementara yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau
tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian
tersebut. Oleh karena itu pasal 40 UU No. 29 Tahun 2004
mensyaratkan bahwa dokter atau dokter gigi yang
berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter
gigi pengganti yang mempunyai surat izin praktik (Pasal
40 UU No. 29/2004 dan Pasal 20 ayat (3) (14) Permenkes
No.1419/2005).
4. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan
yang tdak sesuai dengan kebutuhan pasien. Pasal 51
huruf a UU No. 29 Tahun 2004 menentukan kewajiban bagi
dokter dan dokter gigi untuk memberikan pelayanan medis
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien. Demikian pula
pasal 52 c UU No. 29 Tahun 2004 menentukan pasien
dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran
mempunyai hak mendapatkan pelayanan sesaui dengan
kebutuhan medis.
5. Dalam pasal 44 ayat (1) dan (2) UU No. 29 Tahun
2004 yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokterannya wajib mengikuti
standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi
dengan memperhatikan jenis dan strata pelayanan
kesehatan. Demikian pula pasal 51 a UU No. 29 Tahun
2004 menentukan dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
6. Melakukan perbuatan yang mengakhiri kehidupan
pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.
(Fatwa IDI No. 231/PB/4/7/1990 dan World Medical
Association : Declaration of Euthanasia) (Madrid, 1987)
7. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan
pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum
di terima atau di luar tata cara praktik kedokteran
yang layak. Artinya ada kewajiban bagi dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan profesinya berdasarkan
kompetensi, sebagaiman Pasal 27 UU No. 29 Tahun 2004
menentukan, bahwa pendidikan dan pelatihan kedokteran
atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi
kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai
dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau
dokter gigi. Sedangkan Pasal 28 UU No. 29 Tahun 2004
menentukan kewajiban dokter dan dokter gigi mengikuti
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga
lainyang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam
rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran atau kedokteran gigi. Pasal 27,
28, dan 51 a UU No. 29/2004.
8. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika,
alkohol serta zat adiktif lainnya.
Dalam Pasal 29 ayat (3) c UU No. 29 Tahun 2004
menentukan untuk memperoleh surat tanda registrasi
dokter dan dokter gigi harus memiliki surat keterangan
sehat fisik dan mental. Apalagi dalam UU No.22 Tahun
1997 Tentang Narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika, mengatur tentang penggunaan narkotika dan
psikotropika, selain untuk kepentingan kedokteran.
9. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran
dengan menggunakan manusia sebagai subyek penelitian,
tanpa memperoleh persetujuan etik dari lembaga yang
diakui pemerintah. Kegiatan tersebut telah dilarang
oleh World Medical Association: Deklarasi Helsinki
(1964) yang diamandemen di Venesia (1983).
10. Tidk melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, padahal tidak menbahyakan dirinya,
kecuali ia yakin bahwa ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya. Dalam Pasal 51d UU No. 29 Tahun
2004 menyatakan, bahwa dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran berkewajiban melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
11. Menolak atau menghentikan tanpa alasan, pengobatan
terhadap pasien tanpa alasasan yang layak dan sah.
Perbuatan tersebut bertentangan dengan Pasal 51a dan
52c UU No.29 Tahun 2004 yang mengatur pelayanan medis
harus sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional dan kebutahn medis pasien.
12. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh
persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali
atau pengampunya. Pasal 45 UU No.29 Tahun 2004 mengatur
tentang tindakan-tindakan dokter dan dokter gigi harus
mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarga, baik
persetujuan secara tertulis maupun tidak tertulis,
selanjutnya Pasal 52d UU No. 29 Tahun 2004 menyatakan
pasien mempunyai hak untuk menolak tindakan medis,
demikian pula diatur dalam Permenkes No. 1419/2005
Pasal 17
13. Membuka rahasia kedokteran.
Pasal 48 UU No. 29 Tahun 2004 Menentukan:
a. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedoteran wajib menyimpan rahasia kedokteran;
b. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan;
Demikian pula Pasal 51c UU No. 29 Tahun 2004 menentukan
kewajiban dokter atau dokter gigi dalam melaksakan
praktik kedokteran wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia, bahkan Permenkes No.
1419/2005 Pasal 18 dan PP No. 10 Tahun 1966 mengatur
kewajiban simpan rahasia kedokteran.
14. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan
memadai kepada pasien atau keluarganya dalam dalam
melakukan praktik kedokteran. Pasal 45 ayat (2) dan (3)
menyatakan bahwa persetujuan atas tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap, sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis.
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan.
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya.
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
e. Pronogsis terhadap tindakan yang dilakukan.
Demikian pula kewajiban memberikan penjelasan diatur
dalam Pasal 52a,b,e UU No.29 Tahun 2004, menyatakan
pasien berhak mendapatkan penjelasan secara lengkap
tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau
dokter gigi lain dan mendapatkan isi rekam medik, dan
diatur pula dalam Pasal 17 Pemenkes No. 1419/2005.
15. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan
kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar
dan patut. Hal tersebut diatur dalam kode etik
kedokteran.
16. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 51d menyatakan, bahwa
melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya. Demikian pula
diatur dalam kode etik kedokteran.
17. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi
atau Surat Izin Praktik dan atau sertifikat kompetensi
yang tidak sah. Hal tersebut melanggar UU No. 29 Tahun
2004 Pasal 36 yang berbunyi setiap dokter dan doter
gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib mempunyai surat izin praktik.
18. Tidak memberika informasi, dokumen dan alat bukti
lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas
dugaan pelanggaran disiplin.
Perkonsil No. 16/KKI/PER/VIII/2006 Pasal 3 ayat (5)
tentang tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran
disi[lin dokter dan dokter gigi oleh MKDKI dan MKDKI-P.
19. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang
bukan haknya UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengatur larangan penggunaan gelar
akademik atau profesi yang bukan haknya. Demikian pula
Kode Etik Kedokteran mengatur tentang penggunaan gelar
akademik.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangandan etika profesi.
Perbuatan tersebuat diatas sudah diatur dalam UU No.22
Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No.5 Tentang
Pesikotropika
21. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk
menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan
ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan etika profesi. Pasal 15 UU No.
23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, menyatakan bahwa dalam
keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan janinnyadapat dilakukan tindakan medis
tertentu dengan pertimbangan:
a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan
diambilnya tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan
tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan
ahli;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau
suami atau keluarganya;
d. Pada saran kesehatan tertentu
22. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam
medik, sebgaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau etika profesi.
Pasal 46 UU No. 29 Tahun 2004 mengatur tentang
kewajiban dokter dan dokter gigi membuat rekam medis.
Demikianlah pula diatur dalam Permenkas No. 1419/2005
Pasal16.
Seluruhnya ada 28 butir bentuk pelanggara disiplin
kedokteran dalam Perkonsil Nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006,
Tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.
PELANGGARAN ETIK DOKTER DI RUMAH SAKIT
Pelayanan rumah sakit pada masa kini jauh lebih komplek
dibandingdengan beberapa dasawarsa sebelumnya.Situasi
pelayanan kesehatan yang komplek ini seringkali kurang
dipahami oleh pasien,keluarga dan masyarakat, dan
dokter kesulitan menjelaskan hal ini sehingga berakibat
pada munculnya berbagai keluhan,ketidakpercayaan kepada
pemberi jasa pelayanan kesehatan.Kompleksitas pelayanan
rumah sakit ini terkadang akan menimbulkan pelanggaran
etik oleh dokter atau petugas pelayanan rumah sakit.
Dokter dan Dokter Gigi dalam melaksanakan tugasnya
terikat oleh norma etik yaitu suatu norma yang terkait
dengan nilai-nilai moral menyangkut baik atau buruk
pantas atau tidak pantas suatu perbuatan itu dilakukan
oleh seorang Dokter atau Dokter Gigi.Kode etik
kedokteran atau kode etik kedokteran gigi adalah
pedoman yang disusun oleh organisasi profesi IDI atau
PDGI.Norma etik disusun untuk mengatur norma perilaku
pelaksanaan profesipara Dokter dan Dokter
Gigi.Perbuatan Dokter dan Dokter Gigi di rumah sakit
yang dinilai secara moral buruk atau tidak pantas
dilakukan maka yang bersangkutan dinilai telah
melakukan pelanggaran kode etik.
Pengaduan terhadap Dokter atau Dokter Gigi yang diduga
telah melakukan pelanggaran etik dirumah sakit dapat
diproses oleh komite etik (disiplin) dan Hukum,dan jika
terbukti Dokter atau Dokter Gigi tersebut telah
melakukan pelanggaran etik maka direktur rumah sakit
dapat berfungsi sebagai eksekutor dengan cara member
peringatan secara lisan maupun tertulis terhadap dokter
tersebut.Jika aduan dugaan pelanggaran etik di rumah
sakit tidak dapat diselesaikan secara internal maka
pihak rumah sakit dapat mengadukan permasalahannya ke
MKEK IDI dan MAKERSI PERSI tergantung pada
kasusnya.Berikut ini salah satu contoh pelanggaran etik
yang dilakukan dokter berkaitan dengan peresepan obat.
Agus Purwadianto ,Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Kesehatan RI,sekaligus Ketua MKEK PB IDI
sekarang mengatakan:
Praktik Kolusi antara dokterdan perusahaan farmasi ini
sudah melanggar etik disiplin kedokteran,sebab dokter
memberikan resep bukan berdasarkan penyakit
pasien,melainkan gejala penyakit yang diperkirakan
dokter sebelumnya.Obat yang diresepkan pun berdasarkan
kontrak perusahaan farmasi dengan dokter.Kartono
Mohammad,mantan ketua PB IDI mengatakan,bahwa adanya
perselingkuhan diantara produsen obat dengan dokter
memang sulit dibuktikan,dan obat yang tidak perlu
diberikan ,tetapi ditulis didalam resep. (Sumber :
www.media.komunikasi.com tanggal 13 Maret 2008)
PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DIRUMAH SAKIT
Dugaan telah terjadi pelanggaran disiplin kedokteran di
rumah sakit,maka kasusnya sebaiknya dapat segera
dilakukan kajian atau analisa.Setiap kasus yang muncul
dugaan pelanggaran disiplin ,dibuatkan laporan ke
Direktur, dan Direktur berkoordinasi dengan Komite etik
(disiplin) dan hukum untuk dikaji dan diadakan forum
penegakan etik,disiplin dan hukum oleh KERS.
Rumah sakit belum semuanya mempunyai komite etikj
(disiplin) dan hukum sehingga penanganan di rumah sakit
dapat digantikan oleh komite medik,khususnya di panitia
etik profesi medik.
Dugaan pelanggaran disiplin kedokteran jika
terbukti ,maka direktur sebagai eksekutor dapat
memberikan peringatan kepada sejawat dokter yang
bersalah,bisa peringatan lisan,peringatan tertulis
sampai dengan pembatasan kewenangan penanganan
pasien,jika direkomendasikan oleh komite medik,bahkan
jika sudah melebihi batas toleransi,dapat dilakukan
“PHK”.
Pelanggaran disiplin kedokteran yang disertai dengan
tuntutan pasien,maka sebelum kasusnya keluar,maka
sebaiknya diselesaikan secara cepat oleh pihak rumah
sakit,khususnya dokter yang bersangkutan.Jika
diperlukan maka komite etik (disiplin) dan hukum dapat
mengambil peran memfasilitasi penyelesaiannya atau jika
perlu sebagai mediator.Kasus gugatan pasien atas
pelanggaran disiplin kedokteran bisa di mediasi oleh
pihak ketiga/mediator professional,sebelum kasusnya
keluar rumah sakit dan dilaporkan ke MKDKI.
Kasus dugaan pelanggaran disiplin yang sudah terlanjur
diadukan ke MKDKI,tidak dapat dicabut pengaduannya jika
sudah sampai disidangkan di Majelis Pemeriksaan
Disiplin (MPD),tetapi jika baru disidangkan di Majelis
Pemeriksaan Awal (MPA) maka pengadu dapat mencabut
aduannya.Untuk itu,upaya mediasi untuk “damai” masih
dimungkinkan sebelum ada sidang MPA .
PELANGGARAN HUKUM DOKTER DI RUMAH SAKIT
Dugaan pelanggaran hukum yang terjadi di sarana
pelayanan kesehatan akan berdampak luas dalam proses
penyelesaiannya,apalagi jika kasusnya telah keluar dari
rumah sakit.Rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit
swasta berbeda cara mencari solusinya,karena rumah
sakit pemerintah,para dokternya adalah Pegawai Negeri
Sipil (PNS),yang berstatus sebagai dokter
organic,berbeda dengan rumah sakit swasta,khususnya
yang mayoritas para dokternya adalah dokter mitra.Upaya
“damai” dalam kasus pelanggaran hukum,maka sebaiknya
cepat diselesaikan,khusunya oleh dokter yang
bersangkutan karena kasus hukum adalah soal tanggung
jawab pribadi lebih dominan.Peran Komite Etik,
(Disiplin),dan Hukum Rumah Sakit (KERS),sangar
sentral,khususnya jika upaya pendekatan yang dilakukan
dokter tidak menemui titik temu,dan persoalannya masih
internal di rumah sakit.Jika terjadi gugatan pasien
atas dugaan pelanggaran hukum ,dan kasusnya sudah
mencuat keluar,maka kewajiban pihak rumah sakit bersama
dokter untuk menghadapi secara bersama dan kerja
sama.Kelengkapan proses hukum ,jika pihak rumah sakit
bisa menyediakan pengacara hukum.Jika keputusan ada
mediasi atau sanksi perdata/denda uang,maka sesuai
aturan hospital bylaws bagaimana rumah sakit mengatur
besaran masing-masing kontribusi pihak yaitu rumah
sakit dan pihak dokter tergugat.Keputusan “bagi hasil
sanksi” tiap rumah sakit bisa berbeda.Potongan jasa
medis rumah sakit bisa sebagai acuan dalam pembagian
‘urunan’ biaya gugatan pasien.
Permasalahan gugatan pasien sampai ke pengadilan atau
ke kepolisian,maka pihak rumah sakit disamping
menyediakan pengacara hukum,juga menyiapkan berbagai
hal untuk kepentingan sidang.
Berdasarakan peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 16/KKI/PER/VII/2006,pembuktian dalam pemeriksaan
pelanggaran disiplin kedokteran dan kedokteran gigi
meliputi alat bukti :
a. Surat
b. Keterangan saksi
c. Pengakuan teradu
d. Keterangan ahli
e. Barang bukti
GW Paton membagi alat bukti menjadi 3, yaitu oral evidence
(saksi,pengakuan teradu dan keterangan ahli),documentary
evidence (buku,tulisan atau dokumen),material evidence
(barang bukti).
1. Surat
Pemeriksaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia menggunakan pedoman dasar Hukum Acara
Perdata,sehingga pemeriksaan surat yang dimaksud dalam
alat bukti menurut Konsil Kedokteran Indonesia memiliki
kesamaan dengan surat yang dipergunakan dalam Hukum
Acara Perdata.
2. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah keterangan dari orang yang
melihat,mendengar dan atau mengalami sendiri adanya
suatu pelanggaran.Dalam pasal 169 HIR telah menetapkan
asas “seorang saksi,bukan saksi” artinya untuk
menetapkan suatu kebenaran harus didasarkan atas
sedikit-sedikitnya 2(dua) orang saksi,kecuali ada bukti
lain.Hal ini yang harus diperhatikan MKDKI.
3. Pengakuan
Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata diatur dalam pasal
174 HIR dan pasal 1923 s/d 1928 KUHPerdata.Pengakuan
merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau
lisan dari salah satu pihak yang berperkara.
4. Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan pendapat yang disampaikan
oleh orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan
khusus dan disampaikan dihadapan sidang.Pengadilan
tidak sekali-kali diwajibkan mengikuti pendapat ahli.
5. Barang bukti
Barang bukti,dalam peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 16/KKI/VII/2006 disebut sebagai alat
bukti,sedangkan dalam hukum acara perdata dan pidana
barang bukti ditampung dalam persangkaan.
PENUTUP
1. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan,berkumpul berbagai profesi dan dalam proses
pelayanan terkait oleh berbagai aturan atau SPO,
sehingga sangat rawan terjadinya “medical errors” yang
berakibat gugatan pasien
2. Dokter dan dokter gigi dimungkinakan melakukan
pelanggaran norma etik, norma disiplin dan norma hukum
dalam menjalankan tugasnya.
3. Komite medik bukan SPSI medis atau IDI ranting
rumah sakit,tetapi mitra manajemen dalam peningkatan
mutu pelayanan,keselamatan pasien dan profesionalisme
dokter.
4. Komite etik,(disiplin) dan hukum bertugas
menjalankan kode etik RS,dan dapat akomodir tugas sub
komite etik profesi medik.KERS dapat menjadi mediator
gugatan pasien di internal RS.
5. Patient safety merupakan gerakan RS untuk keselamatan
pasien dan meningkatkan mutu pelayanan yang harus ada
di setiap RS.
6. Ketidakpuasan pasien yang berujung pada gugatan
pasien perlu diselesaikan secara cepat agar tidak
berkembang keluar rumah sakit dan tidak terkontrol.
7. Rumah sakit ikut bertanggung jawab terhadap
adanya gugatan pasien,termasuk jika ada sanksi
denda/uang.