PENGARUH GEL GETAH BUAH NANGKA (Artocarpus ...

79
PENGARUH GEL GETAH BUAH NANGKA (Artocarpus heterophyllus) TERHADAP JUMLAH FIBROBLAS PADA PROSES PENYEMBUHAN ULSER TRAUMATIK MUKOSA LABIAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi Oleh: Alfi Rachmad Kautsar Triadi NIM : 145070400111029 PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of PENGARUH GEL GETAH BUAH NANGKA (Artocarpus ...

PENGARUH GEL GETAH BUAH NANGKA (Artocarpus heterophyllus)

TERHADAP JUMLAH FIBROBLAS PADA PROSES PENYEMBUHAN

ULSER TRAUMATIK MUKOSA LABIAL TIKUS PUTIH (Rattus

norvegicus)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

Alfi Rachmad Kautsar Triadi

NIM : 145070400111029

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

PENGARUH GEL GETAH BUAH NANGKA (Artocarpus heterophyllus)

TERHADAP JUMLAH FIBROBLAS PADA PROSES PENYEMBUHAN ULSER

TRAUMATIK MUKOSA LABIAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

Oleh:

Alfi Rachmad Kautsar Triadi

NIM. 145070400111029

Menyetujui untuk diuji:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.dr. Umi Kalsum, M.Kes drg. Fredy Mardiyantoro, Sp. BM

NIP. 19550512 198701 2 001 NIK. 2012088 30318 1 001

iii

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGARUH GEL GETAH BUAH NANGKA (Artocarpus heterophyllus)

TERHADAP JUMLAH FIBROBLAS PADA PROSES PENYEMBUHAN ULSER

TRAUMATIK MUKOSA LABIAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Telah diuji pada:

Hari : Jumat

Tanggal: 8 Juni 2018

Telah dinyatakan lulus oleh:

Penguji I

Dr. drg. Nur Permatasari, MS NIP. 19601005 199103 2 001

Penguji II / Pembimbing 1 Penguji III / Pembimbing 2

Dr. dr. Umi Kalsum, M.Kes drg. Fredy Mardiyantoro, Sp.BM NIP. 19550512 198701 2 001 NIK. 2012088 30318 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya

drg. R. Setyohadi, MS

NIP. 19580212 198503 1 003

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan

karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Skripsi

ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana

kedokteran gigi dengan judul skripsi “Pengaruh Gel Getah Buah Nangka

(Artocarpus heterophyllus) terhadap Jumlah Fibroblas pada Proses

Penyembuhan Ulser Traumatik Mukosa Labial Tikus Putih (Rattus norvegicus)”.

Skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan pihak-pihak yang

telah mendukung dan membimbing penulis. Penulis juga mengucapkan

terimakasih kepada pihak-pihak tersebut:

1. drg. Setyohadi, MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Brawijaya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya

2. drg. Kartika Andari Wulan, Sp. Pros selaku Ketua Program Studi Sarjana

Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya

3. Dr. dr. Umi Kalsum, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I atas bimbingan,

dukungan, dan waktu yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat

segera diselesaikan

4. drg. Fredy Mardiyantoro, Sp. BM selaku Dosen Pembimbing II atas

bimbingan, dukungan, dan waktu yang telah diberikan sehingga skripsi ini

dapat segera diselesaikan

5. Dr. drg. Nur Permatasari, MS selaku Dosen Penguji atas bimbingan,

dukungan, dan waktu yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan

v

6. drg. Fatima, Sp. Pros selaku dosen penasehat akademik atas dukungan

dan motivasi dalam bidang akademik

7. Ayah dan ibu tercinta beserta kakak dan adik-adik atas doa, waktu, dan

kasih sayang sehingga menjadi motivasi utama untuk menyelesaikan

tugas dan pendidikan dengan baik dan tepat waktu, serta semangat untuk

terus mencari ilmu

8. Widyasari dan Irma Rahmaita, sebagai teman, sahabat, dan pendukung

serta menjadi alasan untuk segera lulus tepat waktu

9. Seluruh tim Skripsi Bismillah Barokah, Rara, Kiki, Tika, Firza dan

Rubaikah atas bantuan, usaha, doa, waktu dan dukungan untuk lulus

tepat waktu

10. Sita Silvia, John Victor, Brian Bara, Alfilza, Anisa, seluruh sahabat dan

teman seperjuangan Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Brawijaya angkatan 2014(K) yang telah memberikan

dukungan, semangat dan pengalaman

11. Seluruh pihak yang tak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah

membantu mewujudkan skripsi ini

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,

sehingga memerlukan kritik dan saran yang membangun. Demikian semoga

penelitian ini dapat bermanfaat bagi kesehatan seluruh masyarakat yang

memerlukan.

Malang, 12 Mei 2018

Penulis

vi

ABSTRAK

Rachmad, Alfi. 2018. Pengaruh Gel Getah Buah Nangka (Artocarpus heterophyllus) terhadap Jumlah Fibroblas pada Proses Penyembuhan Ulser Traumatik Mukosa Labial Tikus Putih (Rattus norvegicus). Skripsi, Program Studi Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) Dr. dr. Umi Kalsum, M.Kes (2) drg. Fredy Mardiyantoro, Sp.BM

Ulser traumatik merupakan keadaan patofisiologis kerusakan lapisan epitel dan jaringan di bawahnya yang disebabkan oleh trauma. Pemberian kortikosteroid topikal dapat menimbulkan efek samping seperti kandidiasis. Getah buah nangka memiliki kandungan senyawa aktif seperti flavonoid, tanin dan alkaloid yang berpengaruh dalam merangsang proliferasi fibroblas pada penyembuhan luka. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan desain penelitian randomized post test only control group design untuk mengetahui pengaruh gel getah buah nangka terhadap jumlah fibroblas pada proses penyembuhan ulser traumatik mukosa labial tikus putih. Penelitian ini dilakukan pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang dibagi menjadi kelompok kontrol, kelompok perlakuan dosis 0,5%, kelompok perlakuan dosis 1%, dan kelompok perlakuan dosis 2% dengan 2 time series yaitu hari ke-3 dan ke-7. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat peningkatan jumlah fibroblas pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan dosis 0,5%, 1%, dan 2%. Hasil uji one way anova menunjukan bahwa jumlah fibroblas antar kelompok berbeda secara signifikan (p<0,05). Rata-rata jumlah fibroblas pada semua kelompok meningkat dari hari ke-3 hingga hari ke-7 dengan jumlah fibroblas paling banyak pada kelompok perlakuan 2%. Rata-rata jumlah fibrolas meningkat seiring dengan bertambahnya dosis gel getah buah nangka yang diberikan. Kesimpulan pada penelitian ini yaitu gel getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) mempuyai pengaruh meningkatkan jumlah sel fibroblas pada proses penyembuhan ulser traumatik mukosa labial tikus putih (Rattus norvegicus).

Kata kunci : gel getah buah nangka, fibroblas, penyembuhan ulser traumatik

vii

ABSTRACT

Rachmad, Alfi. 2018. The Effect of jackfruit sap (Artocarpus heterophyllus) gel on fibroblasts number in healing process of labial mucous traumatic ulcer in white rat (Rattus norvegicus). Skripsi, Faculty of Dentistry Brawijaya University. Supervisor: (1) Dr. dr. Umi Kalsum, M.Kes (2) drg. Fredy Mardiyantoro, Sp.BM

A traumatic ulcers is a pathophysiological lesion of damage to epithelial lining and underlying tissue caused by trauma. Topical application of corticosteroids can cause side effects such as candidiasis. Jackfruit sap contains active compounds such as flavonoids, tannins and alkaloids that have an effect on stimulating fibroblast proliferation in wound healing. This study was an experimental study with randomized post test only control group design to determine the effect of jackfruit sap gel to the fibroblasts number in the healing process of labial mucous traumatic ulcer in white rat. This study was conducted on white rat (Rattus norvegicus) that divided into control group, treatment group dose 0,5%, treatment group dose 1% and treatment group dose 2% with 2 time series. Variable that examined was the number of fibroblasts in the oral mucous ulcer tissue calculated from HPA preparations with HE staining. The results showed that there was an increase in the number of fibroblasts in the control group, the treatment group dose 0.5%, 1%, and 2%. One way anova test results showed that the number of fibroblasts between groups differed significantly (p <0.05). The mean number of fibroblasts in all groups increased from day 3 to day 7 with the highest number of fibroblasts in the 2% treatment group. The average number of fibroblasts increases with the added dose of the jackfruit saps given. The conclusion of this research was jackfruit sap (Artocarpus heterophyllus) gel had an effect to increase the fibroblasts number in the wound healing process of labial mucous traumatic ulcer in white rat (Rattus norvegicus).

Keywords: jackfruit sap gel, fibroblast, traumatic ulcer healing

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ulser atau ulkus pada rongga mulut merupakan suatu keadaan

patofisiologis yang menimbulkan kerusakan lapisan epitel dan jaringan

dibawahnya, dilapisi oleh lapisan fibrin putih kekuningan dengan batas yang jelas

berupa cekungan (Birnbaum & Dunne, 2010). Ulser traumatik atau yang sering

disebut dengan sariawan oleh masyarakat Indonesia merupakan ulser tunggal

yang disebabkan oleh trauma, dapat berupa trauma fisik/mekanik, termal,

maupun trauma kimia dan menimbulkan rasa sakit serta rasa tidak nyaman bagi

penderitanya (Greenberg, 2008). Meski di Indonesia masih belum diketahui

prevalensinya, angka kejadian ulser di dunia mencapai 5% sampai 66% dengan

rata-rata 20% (Field, 2003). Sebesar 91,1% dari 68,2% angka kejadian lesi yang

diduga ulser dalam bentuk SAR disebabkan adanya faktor predisposisi berupa

trauma (Suling et al., 2013).

Proses Penyembuhan ulser traumatik terjadi selama 10-14 hari tanpa

diobati melalui fase-fase penyembuhan luka seperti: fase inflamasi, fase

proliferasi, dan fase remodeling (Neville, 2009). Fase inflamasi dimulai tepat

setelah luka terjadi dan berakhir setelah hari ke 3. Setelah terjadi luka, komponen

darah akan menuju ke jejas, terjadi hemostatis hingga memicu trombosit, sel-sel

PMN, dan munculnya sel makrofag. Makrofag melepaskan beberapa faktor

pertumbuhan (Growth factor) seperti Epidermal Growth Factor (EGF),

Transforming Growth Factor-α (TGF-α), Transforming Growth Factor-β (TGF-β),

2

Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Fibroblast Growth Factors (FGFs), dan

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) (Kumar et al., 2013). Pada proses

penyembuhan luka, fibroblas menjadi salah satu indikator penyembuhan karena

jumlahnya akan mempengaruhi jaringan yang rusak akibat luka. Fibroblas pada

area luka atau healing center ditemukan meningkat pada hari ke-3 dan mencapai

puncaknya pada hari ke-7 (Duarte et al., 2011). Oleh karena itu, fibroblas dapat

dijadikan tolak ukur kecepatan penyembuhan luka yang pada penelitian ini

didapatkan pada penyembuhan ulser traumatik.

Saat ini penyembuhan ulser dilakukan dengan pemberian obat-obatan

seperti triamcinolone acetonide, chlorhexidine, benzydamine, maupun

policresulen. Namun obat-obatan tersebut memiliki risiko dan dapat menimbulkan

efek samping. Triamcinolone acetonide sebagai antiinflamasi kortikosteroid dapat

menyebabkan candidiasis yang mampu memperparah ulser dan memberikan

efek samping seperti iritasi, rasa gatal, panas, kemerahan, maupun infeksi

sekunder pada area yang diobati (Fauzi et al., 2014). Penggunaan chlorhexidine

sebagai antiseptik dalam jangka panjang dapat menyebabkan extrinsic staining

pada gigi (Field & Allan, 2003). Benzydamine sebagai antiinflamasi dapat

menimbulkan efek samping berupa iritasi tenggorokan, rasa terbakar dan rasa

menyengat pada rongga mulut (Cawson, 2008). Selain itu, penggunaan obat

dengan kandungan policresulen sebagai hemostatik dan antiseptik juga dapat

menyebabkan berbagai efek samping seperti iritasi, nekrosis, kerusakan

jaringan, edema, infeksi, dan bahkan dapat memperparah ulser traumatik secara

kimia (Wardhany, 2016). Oleh karena itu diperlukan alternatif obat yang memiliki

efek samping minimal untuk penyembuhan ulser traumatik.

3

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga banyak

tumbuhan yang dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi tanaman obat untuk

kebutuhan medis. Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan menjadi obat

untuk kebutuhan medis adalah buah nangka. Tanaman nangka (Artocarpus

heterophyllus) merupakan salah satu tanaman yang banyak ditemukan di daerah

tropis. Berbagai penelitian dan studi terkait tanaman nangka menunjukan bahwa

buah, akar, daun, hingga batang nangka dapat dimanfaatkan dalam berbagai

bidang termasuk untuk obat dalam bidang kedokteran (Baliga et al., 2011).

Tanaman nangka mengandung beberapa senyawa seperti karotenoid, flavonoid,

asam folat, dan tanin (Baliga et al., 2011). Jika dibandingkan dengan buah

tropikal yang lain seperti jeruk, pisang, mangga, nanas, maupun pepaya, buah

nangka memiliki lebih banyak protein, kalsium, zat besi dan thiamin (Bhatia et

al.,1955, Haq,2006, Kumar et al.,1988).

Selain itu, nangka sering dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri

makanan. Dalam pengelolahannya, terdapat limbah tak terpakai yang salah

satunya yaitu getah buah nangka. Getah buah nangka yang biasa dianggap

sebagai masalah dalam mengelolah buah nangka karena konsistensinya yang

sangat lengket justru memiliki kandungan yang sangat bermanfaat. Getah buah

nangka memiliki kandungan bahan aktif antara lain fenol, flavonoid, tanin,

protein, karbohidrat, glikosida, alkaloid, dan artocarpain H (Madhavi et al., 2013).

Flavonoid berfungsi sebagai anti inflamasi, antibakteri, antivirus, analgesik dan

antialergi (Madhavi et al., 2013). Flavonoid dapat menghambat enzim

siklooksigenase sehingga dapat menekan dan menurunkan sintesis

prostaglandin dan vasodilatasi, sehingga migrasi sel radang pada area radang

akan menurun (Reynertson, 2007). Alkaloid memiliki kemampuan sebagai

4

antibakteri dengan mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel

bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan

menyebabkan kematian sel bakteri (Desmiaty et al., 2008). Oleh karena itu

penelitian ini akan menggunakan getah buah nangka sebagai obat dalam

penyembuhan ulser traumatik.

Penggunaan obat dalam bentuk gel topikal dapat memberikan hasil yang

baik. Gel topikal dapat menutup luka dalam bentuk ulser dan membentuk

pelindung dalam melawan infeksi sekunder dan iritasi mekanis yang lain (Field &

Allan, 2003). Dalam penggunaannya dapat diberikan dengan mudah dan akan

melekat pada mukosa cukup lama sehingga mempermudah penetrasi obat

menuju luka (BPOM, 2015).

Berdasarkan penelitian mengenai uji efektivitas sediaan gel topikal serbuk

kering getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) yang dilakukan oleh

Stefanus pada tahun 2015 sebagai antijerawat secara in vivo dan oleh Siswanto

pada tahun 2015 sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan Staphylococcus

aureus secara in vitro didapatkan hasil bahwa gel getah buah nangka dengan

konsentrasi 0,5%, 1%, dan 2% bekerja efektif sebagai obat antijerawat dan

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Tetapi belum ada

penelitian lebih lanjut mengenai gel getah buah nangka sebagai obat

penyembuhan ulser traumatik.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud menggunakan gel getah

buah nangka (Artocarpus heterophyllus) untuk mengetahui pengaruhnya

terhadap jumlah fibroblas pada proses penyembuhan ulser traumatik mukosa

labial tikus putih (Rattus norvegicus).

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian ini adalah:

Apakah gel getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) berpengaruh terhadap

jumlah fibroblas pada proses penyembuhan ulser traumatik mukosa labial tikus

putih (Rattus norvegicus) ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh gel getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus)

terhadap jumlah fibroblas pada proses penyembuhan ulser traumatik mukosa

labial tikus putih (Rattus norvegicus).

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membandingkan jumlah fibroblas pada proses penyembuhan ulser

traumatik mukosa labial tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberikan gel

getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) dengan dosis 0,5%, 1%,

dan 2% pada hari ke-3 dan ke-7.

2. Mengetahui hubungan antara dosis gel getah buah nangka (Artocarpus

heterophyllus) terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan ulser

traumatik mukosa labial tikus putih (Rattus norvegicus).

6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Dapat digunakan sebagai dasar teori untuk menambah wawasan ilmu

kedokteran gigi dalam pemanfaatan gel getah buah nangka (Artocarpus

heterophyllus) sekaligus sebagai dasar untuk pengembangan penelitian

selanjutnya dalam bidang kesehatan, khususnya tentang penyembuhan ulser

traumatik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan akan didapatkan informasi

mengenai potensi gel getah buah nangka terhadap proses penyembuhan ulser

traumatik mukosa labial dan pengaruhnya terhadap jumlah fibroblas.

7

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nangka

Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) adalah tanaman yang termasuk

dalam golongan tanaman tropis dengan penyebaran dan pengembangan lebih

banyak ditemukan pada daerah beriklim tropis. Nangka merupakan tanaman

yang berbuah sepanjang tahun (Baliga, 2011).

Kedudukan taksonomi tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.)

menurut Baliga (2011), adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Morales

Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus heterophyllus Lamk.

8

2.1.1 Morfologi Nangka

Gambar 2.1 Buah Nangka (Wicaksono, 2013)

Pohon Artocarpus heterophyllus memiliki tinggi 10-15 m. Pohon nangka

memproduksi buah yang terbesar di dunia. Pohon nangka dapat tumbuh dimana-

mana. Satu pohon dapat memproduksi 8 sampai 12 buah setiap tahun.

Batangnya tegak, berkayu, bulat, kasar, dan berwarna hijau. Daun nangka

tunggal, berseling, lonjong, memiliki tulang daun yang menyirip, daging daun

tebal, tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm, lebar 4-5 cm, tangkai panjang

lebih kurang 2 cm dan berwarna hijau. Bunga nangka merupakan bunga

majemuk yang berbentuk bulir, berada di ketiak daun dan berwarna kuning.

Bunga jantan dan betinanya terpisah dengan tangkai yang memiliki cincin, bunga

jantan ada di batang baru di antara daun atau di atas bunga betina. Saat masak

buah berwarna kuning, berbentuk oval, dan berbiji coklat muda (Syekhfani,

2013).

a. Akar

Tanaman Nangka memiliki akar berbentuk tunggang. Namun juga

memiliki akar cabang yang ditumbuhi bulu yang sangat banyak. Akar Tanaman

nangka ini dapat menembus permukaan tanah hingga kedalaman 10-15 meter.

9

Selain itu, akar tanaman ini berguna untuk menyokong pertumbuhannya hingga

kuat dan berdiri kokoh (Rita Purwanti, 2015).

b. Batang

Batang pada tanaman nangka merupakan pohon yang berkayu keras,

yang berbentuk bulat, silindris, dan berdiameter sampai sekitar 1 meter. Batang

nangka mempunyai tajuk yang padat dan lebat, dan juga melebar serta

membulat apabila berada di tempat terbuka (Rita Purwanti, 2015).

c. Daun

Daun pada tanaman nangka merupakan daun tunggal (folium komplek)

dan berbentuk bulat memanjang (oblongus). Memiliki ujung daun (apex folii)

berbentuk meruncing (acuminatus), memiliki tepi daun (margo folii) berbentuk

rata (integer), serta memiliki tulang daun (nervatio/ veneratio) bertulang menyirip

(penninervis). Selain itu, memiliki daging daun (intervenum) yang tipis lunak

(herbaceus), dan juga permukaan atas daun licin (laevis) dan mengkilap (nitidus)

dengan warna hijau tua. Sedangkan permukaan bawah daun kasar (scaler) dan

berwarna hijau muda. Daun pada tanaman nangka juga memiliki daun penumpu

yang berbentuk segitiga dengan warna kecoklatan (Rita Purwanti, 2015).

d. Bunga

Bunga pada tanaman nangka merupakan bunga berumah satu

(monoecious) yaitu dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan juga bunga

betina. Bunga ini muncul pada ketiak daun yang pendek dan khusus, yang

tumbuh pada sisi batang atau cabang tua. Bunga jantan ini memiliki ciri khas

berbentuk gada yang membengkok dan berwarna hijau tua. Sedangkan bunga

betina memiliki bentuk silindris dan pipih. Pada Tanaman Nangka ini, proses

pembuahan sering terjadi pada kelopak bunga (calyx) dan benang sari (stamen).

10

Biasanya dalam proses penyerbukan dibantu oleh angin dan juga binatang

sekitar (Rita Purwanti, 2015).

e. Buah

Buah pada tanaman nangka merupakan buah majemuk (syncarp) dan

berbentuk gelendong memanjang. Buah nangka dapat mencapai ukuran panjang

36 inci dengan diameter dapat mencapai 20 inci. Sisi luar buah membentuk duri

pendek yang lunak. Daging buah yang sesungguhnya merupakan

perkembangan dari tenda bunga. Daging Buah ini berwarna kuning keemasan

apabila telah masak, berbau harum-manis, berdaging, dan terkadang berisi

cairan (nektar) yang manis. Namun ketika buah nangka masih muda, buahnya

berwarna putih dan coklat, biasa dimanfaatkan untuk sayuran. Buah nangka ini

tumbuh pada batang dan juga percabangan (Balgia, 2011 ; Rita Purwanti, 2015).

f. Biji

Biji pada tanaman nangka memiliki bentuk bulat memanjang dan ada juga

yang bulat telur. memiliki warna keabu - abuan, dan juga terdiri dari lapisan luar

yang tipis dan lapisan dalam yang tebal serta berwarna putih. Selain itu, biji

nangka ini diselimuti daging tebal berwarna kekuningan hingga kuning pekat,

serta terdapat keping biji yang tidak setangkup (Rita Purwanti, 2015).

11

2.1.2 Kandungan

Kandungan pada buah nangka yang sudah matang (per 100 mg) dapat

ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Kandungan Gizi Buah Nangka (Direktorat Gizi Depkes RI, 1981)

Jika dibandingkan dengan buah tropikal yang lain seperti jeruk, pisang,

mangga, nanas, maupun pepaya, buah nangka memiliki lebih banyak protein,

kalsium, zat besi dan thiamin (Bhatia et. al.,1955; Haq,2006; Kumar et. al.,1988).

Selain buah pada tanaman nangka, berbagai bagian lainnya juga memiliki

banyak manfaat. Daun tanaman nangka dapat digunakan sebagai obat

antidiabetes karena ekstrak daun nangka memberi efek hipoglikemi. Daging

buah nangka muda (tewel) dimanfaatkan sebagai makanan sayuran yang

mengandung albuminoid dan karbohidrat. Sedangkan biji nangka dapat

digunakan sebagai obat batuk dan tonik (Baliga, 2011). Pohon nangka dapat

dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Kandungan kimia dalam kayunya adalah

No Kandungan Gizi Nangka Masak Nangka Muda

1 Kalori (kal) 106,00 51,00

2 Protein (g) 1,20 2,00

3 Lemak (g) 0,30 0,40

4 Karbohidrat (g) 27,60 11,30

5 Kalsium (mg) 20,00 45,00

6 Fosfor (mg) 19,00 29,00

7 Zat Besi (mg) 0,90 0,50

8 Vitamin A (SI) 330,00 25,00

9 Vitamin B1 (mg) 0,07 0,07

10 Vitamin C (mg) 7,00 9,00

11 Air (g) 70,00 85,40

12 Bagian dapat dimakan (%) 28,00 80,00

12

morin, sianomaklurin (zat samak), flavon, dan tannin. Selain itu, dikulit kayunya

juga terdapat senyawa flavonoid, yakni morusin, artonin E, sikloartobilosanton,

dan artonol B. Bioaktivitasnya terbukti secara empirik sebagai antikanker,

antivirus, antiinflamasi, diuretil, dan antihipertensi (Ersam, 2001).

Salah satu bagian yang dapat dimanfaatkan dari tanaman nangka adalah

getah buah nangka. Berdasarkan penelitian oleh madhavi (2013), getah buah

nangka yang diekstrak dalam chloroform, ethanol, dan menthanol sebagai

pelarut memiliki berbagai kandungan seperti fenol, flavonoid, tannin, alkaloid,

protein, karbohidrat, fruktosa, selulosa, hexose amine, dan sialic acid. Setiap 10

gram serbuk getah buah nangka yang diekstrak dalam 100 ml pelarut tersebut

memiliki sejumlah kandungan yang dijelaskan pada tabel 2.2. Selain itu

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stefanus (2015) dan Siswanto (2015)

getah buah nangka yang dibentuk dalam sediaan gel dengan konsentrasi 0,5 %,

1%, dan 2% efektif sebagai obat anti jerawat yang diteliti secara in vivo dan

efektif pula sebagai antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus yang diteliti secara in vitro.

Buah nangka (Artocarpus heterophyllus) termasuk ke dalam salah satu

famili dan genus yang menghasilkan berbagai jenis senyawa flavonoid. Flavonoid

yang dihasilkan oleh Artocarpus memiliki ciri khas adanya substituen isoprenil

pada C-3 dan pola 2’,4’dioksigenasi atau 2’,4’,5’trioksigenasi pada cincin B dari

kerangka dasar flavon. Ciri khas tersebut dapat terlihat dari keberadaan

senyawa-senyawa, seperti flavon dengan prenil bebas pada C-3, piranoflavon,

oksepinoflavon, oksosinoflavon, dihidrobenzosanton dan kuinonodihidro

benzosanton yang belum pernah ditemukan pada tumbuhan lain. Beberapa

senyawa flavon Artocarpus juga memperlihatkan bioaktivitas antitumor yang

13

tinggi pada sel leukemia L 1210 (Suhartati, 2001). Salah satu senyawa flavonoid

yang dihasilkan oleh Artocarpus adalah senyawa Artocarpain-H. Senyawa

tersebut dapat memberikan efek anti-inflamasi dengan cara menghambat

mediator peradangan seperti histamine, serotonin, dan prostaglandin (Indranil,

2009).

Tabel 2.2. Kandungan Getah Buah Nangka (Madhavi, 2013)

No. Kandungan Jumlah

1 Fenol 7,63 ± 0.25 μg/gram

2 Flavonoid 7.76 ± 0.15 μg/gram

3 Tannin 2.13 ± 0.15 μg/gram

4 Alkaloid 8.56 ± 0.30 mg/gram

5 Protein 3.57 ± 0.36 mg/gram

6 Karbohidrat 4.72 ± 0.20 μg/gram

7 Fruktosa 6.46 ± 0.29 μg/gram

8 Selulosa 6.03 ± 0.57 μg/gram

9 Hexose amine 6.69±0.80 mg/gram

10 Sialic acid 8.53±0.33 μg/gram

Keterangan: Jumlah kandungan dihitung dari 10 gram serbuk getah buah nangka yang diekstrak dalam 100 ml pelarut

2.2 Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder

yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk

dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Redha,

2010).

Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai

antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Senyawa-senyawa ini

14

dapat ditemukan pada batang, daun, bunga dan buah. Flavonoid dalam tubuh

manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan

kanker. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel,

meningkatkan efektivitas vitamin C, anti-inflamasi, mencegah keropos tulang dan

sebagai antibiotik.

Flavonoid mampu meningkatkan produksi IL-2 (Interleukin-2) yang

merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T. Sel T kemudian berdiferensiasi

menjadi Th1 yang mensekresi berbagai macam produk seperti IFN-, sitokin

yang berperan dalam proses inflamasi dan mitogen fibroblas. Peran flavonoid

sebagai antiinflamasi dan antibakteri mampu mempercepat penyembuhan luka

(Kumar et al., 2013).

Pada tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus) senyawa turunan

flavonoid yang ditemukan adalah artocarpin, sikloartokarpin, artoindonesianin B,

dan chaplasin. Senyawa artocarpin pada tanaman nangka Artocarpus

heterophyllus adalah artocarpain H. Berdasarkan penelitian oleh Chung-Ju Yeh

(2017), senyawa artocarpain memiliki potensi sebagai agen terapeutik yang

ampuh dalam pengobatan luka pada kulit. Senyawa tersebut memiliki sifat anti-

inflamasi dan anti-kanker. Artocarpain dapat mempercepat proses inflamasi dan

menurunkan peradangan persisten. Artocarpain bekerja dengan meningkatkan

produksi kolagen, meningkatkan diferensiasi myofibroblast, meningkatkan

proliferasi dan migrasi dari fibroblast dan keratinosit, dan mempercepat proses

sintesis dan pematangan kolagen, proses re-epitelisasi, dan proses

angiogenesis.

15

2.3 Alkaloid

Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang banyak

ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari berbagai jenis

tumbuhan. Semua alkaloid mengandung atom nitrogen yang bersifat basa dan

merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Alkaloid mempunyai kegiatan fisiologi

yang menonjol dan sering digunakan secara luas dalam bidang pengobatan.

Alkaloid merupakan senyawa yang mempunyai satu atau lebih atom nitrogen

biasanya dalam gabungan dan sebagian dari sistem siklik (Nilda et al., 2011).

Secara umum, alkaloid sering digunakan dalam bidang pengobatan (Nilda

et al., 2011). Alkaloid dapat berfungsi sebagai zat antioksidan (Hanani et al.,

2005). Alkaloid merupakan salah satu metabolisme sekunder yang terdapat pada

tumbuhan, yang bisa dijumpai pada bagian daun, ranting, biji, dan kulit batang.

Pengaruh alkaloid dalam bidang kesehatan dapat berupa pemicu sistem saraf,

menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang,

obat penyakit jantung dan lain-lain lain (Simbala, 2009).

2.4 Tanin

Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol

dengan berat molekul yang cukup tinggi. Tanin mampu mempresipitasi gelatin

dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai astringensi. Tannin dapat ditemukan

hampir di setiap bagian tanaman: kulit kayu, daun, buah, dan akar. Tannin

dibentuk dengan kondensasi turunan flavan yang ditransportasikan ke jaringan

kayu dari tanaman, tannin juga dibentuk dengan polimerisasi unit quinon.

Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks, maka dari itu efek yang

disebabkan tanin tidak dapat diprediksi. Tanin bersifat antiseptik pada

permukaan luka dan bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan

16

untuk menangkal infeksi pada kulit, mukosa, dan infeksi pada luka. Tanin

memiliki efek menangkal radikal bebas, meningkatkan oksigenasi, meningkatkan

kontraksi luka, meningkatkan pembentukan pembuluh darah, dan jumlah

fibroblas. Tannin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Deaville et

al., 2010)

2.5 Sediaan Gel

Gel merupakan suatu sediaan semi padat yang jernih, tembus cahaya

dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid yang mempunyai kekuatan

disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi

(Ansel,1989). Obat topikal dengan sediaan gel memiliki beberapa keuntungan

diantaranya adalah mudah diaplikasikan, mampu berikatan dengan mukosa

membran dalam waktu yang cukup lama, kemampuan penyebaran baik,

mempermudah penetrasi obat, dan dapat melindungi lesi dari kontaminasi benda

asing (BPOM, 2015).

Gel dapat dibentuk transparan hingga semi transparan. Komponen utama gel

terdiri atas basis gel dan pelembut, sulfaktan, zat pengawet, zat aktif, pewarna,

dan parfum. Di bawah ini merupakan beberapa komponen dari gel:

1. Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) merupakan suatu eksipien dalam

formulasi sediaan topikal dan oral. HPMC menghasil kan cairan yang

lebih jernih dibandingkan metal selulosa. Fungsi HPMC juga sebagai

pengemulsi, pensuspensi, dan penstabil dalam sediaan gel dan salep.

2. Karbopol 940 digunakan dalam sediaan formulasi semi solid dan

suspending agent. Dapat digunakan dalam pembuatan formulasi krim, gel

dan salep.

17

3. Natrium Karboksil Metil Seulosa (Na CMC) mengandung tidak kurang

6,5% dan tidak lebih 9,5% Na. kelarutan mudah mendispersi cairan

membentuk suspense koloid, dan tidak larut dalam etanol 95% (Depkes,

2000).

2.6 Ulser Traumatik

2.6.1 Definisi

Ulser traumatik merupakan lesi ulkus pada mukosa mulut yang

disebabkan oleh trauma (Ariyawardana, 2014). Ulser merupakan lesi yang

terbentuk oleh kerusakan lokal dari jaringan epitelium. Ulser yang terbentuk di

mukosa mulut merupakan gambaran lesi oral yang sangat umum dijumpai pada

kebanyakan orang di berbagai usia maupun jenis kelamin. Prevalensi terjadinya

ulser di dunia mencapai 5% sampai 66% dengan rata-rata 20% (Field, 2003).

Salah satu penyebab ulser yang paling sering adalah trauma. Sebesar 91,1%

dari 68,2% angka kejadian lesi yang diduga ulser dalam bentuk SAR disebabkan

adanya faktor predisposisi berupa trauma (Suling et al., 2013).

2.6.2 Etiologi Ulser Traumatik

Klasifikasi ulser traumatik berdasarkan etiologi:

a. Trauma mekanik

Trauma mekanik adalah penyebab paling umum. Disebabkan karena

pemakaian gigi palsu, adanya jaringan lunak terjebak antara gigi, atau

fisiologis trauma, dimana pasien memilki kebiasaan menggigit pipi atau bibir

(morsicatio buccalis atau labialis). Dapat juga disebabkan karena trauma

iatrogenik yang diakibatkan oleh instrument rotary atau pengangkatan cotton

roll kering dari mukosa (Regezi et al., 2008). Pada gambar 2.2 anak panah

18

hitam menunjukan contoh ulserasi karena trauma pada bagian lateral lidah

sebelah kanan. Ulser traumatik tersebut terjadi karena lidah yang tergigit

(Bruch, 2010).

Gambar 2.2 Ulser Traumatik (ditunjuk panah) karena Trauma Mekanik (Bruch, 2010)

b. Trauma kimia

Beberapa bahan kimia dan obat-obatan yang bersentuhan dengan

mukosa mulut dapat menyebabkan trauma mukosa karena sifat kaustik.

Sebagian orang cenderung menggunakan bahan kimia tertentu sebagai obat

untuk masalah mulut. Penggunaan aspirin maupun penggunaan bahan

medikasi lubang gigi yang mengandung fenol dapat menyebabkan iatrogenik

ulkus rongga mulut. Penggunaan bahan kimia etsa dan hidrogen peroksida

pun dapat menyebabkan ulkus (Delong & Burkhart, 2008). Contoh dari ulser

traumatik karena bahan kimia dapat dilihat pada gambar 2.3 ditunjukan oleh

panah hitam pada bagian gusi di posterior rahang atas. Ulser traumatik

tersebut terjadi karena efek samping dari penggunaan aspirin (Bruch, 2010).

19

Gambar 2.3 Ulser Traumatik (ditunjuk panah) karena Trauma Kimia (Bruch, 2010)

c. Trauma thermal

Ulser traumatik thermal dapat diakibatkan karena makanan panas, sering

terlihat di langit-langit dan lidah. Traumatik thermal sering ditemukan pada

mukosa mulut karena hal tersebut sangat umum. Lesi yang paling umum

terjadi yang diakibatkan traumatik thermal yaitu di daerah lengkung palatal

dan bagian anterior lidah (Regezi et al., 2008). Contoh dari ulser traumatik

karena trauma thermal dapat dilihat pada gambar 2.4 ditunjukkan oleh panah

hitam pada daerah palatal. Ulser traumatik tersebut disebabkan karena panas

dari makanan (Neville, 2009).

Gambar 2.4 Ulser Traumatik (ditunjuk panah) karena Trauma Thermal (Neville, 2009)

20

d. Trauma elektrik

Ulser traumatik elektrik terjadi karena menghisap atau menguyah kabel

listrik. Suhu yang tinggi menyebabkan kerusakan parah pada jaringan mulut.

Trauma elektrik paling umum di daerah bibir, hangus dengan daerah

kekuningan, dapat disertai sedikit atau tidak ada perdarahan dan diikuti oleh

edema dalam waktu beberapa jam. Jaringan nekrosis mengelupas dan

sembuh dengan jaringan parut (Regezi et al., 2008). Contoh dari ulser

traumatik karena trauma elektrik dapat dilihat pada gambar 2.5 ditunjukkan

oleh panah hitam pada bagian bibir rahang atas dan bawah. Ulser traumatik

tersebut terjadi karena sengatan listrik (Neville, 2009).

Gambar 2.5 Ulser traumatik (ditunjuk panah) karena Trauma Elektrik (Neville, 2009)

2.7 Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah respon tubuh terhadap berbagai cedera

dengan proses pemulihan yang kompleks dan dinamis yang menghasilkan

pemulihan anatomi dan fungsi secara terus menerus (Joyce, 2005).

2.7.1 Fase Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka untuk mengembalikan struktur dan fungsi jaringan

yang terluka terjadi melalui 3 tahap / fase yaitu :

21

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi dimulai sesaat setelah terjadi luka sampai hari ke-3 atau

ke-5 setelah terbentuknya luka. Sesaat setelah luka terjadi proses putusnya

pembuluh darah, dan diikuti keluarnya darah dari pembuluh darah yang

terbuka, tubuh berusaha menghentikan dengan cara vasokonstriksi,

pengkerutan ujung pembuluh darah yang terputus, pada saat yang

bersamaan juga terjadi reaksi hemostasis karena trombosit yang keluar dari

pembuluh darah saling melengket dan bersama jalan fibrin yang terbentuk

membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah (Theoret, 2009).

Platelet tidak hanya berfungsi untuk membentuk bekuan darah, tetapi juga

menghasilkan beberapa growth factor seperti platelet derived growth factor

(PDGF), insulin like growth factor-1 (IGF), epidermal growth factor (EGF),

fibroblast growth factor (FGF), dan transforming factor-β (TGF-β). Growth

factor tersebut berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan proliferasi dari

sel luka seperti keratinosit dan fibroblas untuk migrasi ke dalam luka (Werner

et al., 2003).

Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi pada fase

inflamasi sehingga terjadi erithema, oedema, dan suhu yang meningkat pada

daerah yang terluka. Perubahan permeabilitas vaskular ini memungkinkan

masuknya makrofag, neutrofil, mast cells dan antibodi. Makrofag mempunyai

peran sebagai fagosit dan memproduksi kolagenase yang akan

menghancurkan jaringan non vital. Makrofag melakukan peran mediasi pada

transisi dari fase inflamasi menuju fase proliferasi dengan mensekresi

beberapa growth factor dan cytokines diantaranya tumor necrosis factor- α

(TNF-α), transforming factor- α (TGF-α), PDGF, interleukin-1 (IL-1),

22

interleukin-6 (IL-6), IGF-1, dan heparing-binding epidermal growth factor

(Nabavian, 2006).

Neutrofil masuk ke dalam fibrin matrik 48 jam setelah trauma dan mengisi

ruang luka serta berfungsi sebagai agen debridement dengan membuang

jaringan mati dan mencegah infeksi melalui mekanisme oxygen-dependent

dan independent killing. Berbagai macam protease dikeluarkan oleh neutrofil

untuk melakukan degradasi matrik ekstraselular. Sel ini juga melepaskan

mediator inflamasi seperti TNF-α dan IL-1. Limfosit adalah sel yang terakhir

yang masuk pada luka antara hari ke-5 sampai ke-7 (Nabavian, 2006).

2. Fase Proliferasi

Sitokin dan faktor pertumbuhan yang disekresikan selama fase inflamasi

menstimulasi fase proliferasi secara berturut-turut. Fase proliferasi dimulai

setelah hari ke-3 terbentuknya luka hingga hari ke-21. Tahap pertama yang

penting yaitu pembentukan mikrosirkulasi untuk mensuplai oksigen dan nutrisi

yang diperlukan untuk regenerasi jaringan. Pembentukan pembuluh darah

baru (angiogenesis) berasal dari vaskular yang terputus didukung oleh

hipoksia dan juga faktor pertumbuhan terutama VEGF, FGF-2. Dan TNF-β.

Pada waktu yang bersaman fibroblas migrasi menuju luka yang dipicu oleh

sitokin dan faktor pertumbuhan. Fibroblas mulai mensintesis Extracellular

matrix (ECM) baru dan kolagen tipe III yang immature. Di permukaan dermal

luka terbentuk jaringan epitel yang baru (reepithelisasi) (Peterson, 2004).

23

Gambar 2.6 Sitokin dan Growth Factor Berperan dalam Proses Proliferasi (Peterson, 2004)

3. Fase Maturasi / Remodelling

Fase remodelling merupakan fase akhir dari penyembuhan luka dan

merupakan fase terlama yang berlangsung dari hari ke-21 dan bisa sampai 1

tahun. Fase ini dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan

granulasi dan proses reepitelialisasi usai. Tubuh berusaha menormalkan

kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Edema

dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan

diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai

dengan regangan yang ada (Gurtner, 2007).

Proses remodelling menghasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, serta

mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Kulit

mampu menahan regangan kira-kira 80% dari kemampuan kulit normal pada

akhir fase ini. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan

(Gurtner, 2007).

24

2.8 Fibroblas

2.8.1 Definisi Fibroblas

Fibroblas adalah komponen seluler primer dari jaringan ikat dan sumber

sintetis utama dari matrik protein seperti kolagen. Sel fibroblas adalah sel yang

paling banyak terdapat di jaringan ikat. Fibroblas menyintesis kolagen, elastin,

glikosaminoglikan, proteoglikan dan glikoprotein multiadhesif (Junqueira, 2007).

2.8.2 Struktur Fibroblas

Fibroblas adalah sel yang menghasilkan komponen ekstrasel dari

jaringan ikat yang berkembang, bila menjadi relatif tidak aktif dalam membuat

serat, ahli histologi menyebutnya sebagai fibrosit. Sel ini berpotensi untuk

fibrogenesis dalam jaringan ikat diam dewasa selama perkembangannya maka

digunakanlah istilah fibroblas. Bentuk sel ini tergantung pada sebagian besar

substratnya.

Sel tersebar di sepanjang berkas serat kolagen dan tampak dalam

sediaan sebagai sel fusiform dengan ujung-ujung meruncing. Fibroblas dalam

beberapa situasi ditemukan dalam bentuk stelata gepeng dengan beberapa

cabang langsing. Inti panjangnya terlihat jelas, namun garis bentuk selnya sukar

dilihat pada sediaan histologis karena bila relatif tidak aktif, sitoplasmanya

eosinofilik seperti serat kolagen di sebelahnya (Fawcet, 2002).

25

Gambar 2.7 Fibroblas (panah dan lingkaran menunjukan gambaran fibroblas secara mikroskopis pada mukosa labial tikus, Haematoxylin Eosin Stain, 200x, Mikroskop digital

Olympus dot slide) (Andriani, 2016)

2.8.3 Peran Fibroblas pada Penyembuhan Luka

Luka merupakan keadaan rusaknya jaringan tubuh. Penyembuhan luka

sebagai salah satu proses perbaikan jaringan, secara singkat meliputi fase

inflamasi, diikuti oleh fase proliferasi, dan fase maturasi atau remodeling jaringan.

Pada saat jaringan mengalami luka, terjadi fase inflamasi yang kemudian diikuti

dengan migrasi fibroblas ke arah luka, dilanjutkan dengan fase proliferasi akan

terlihat peningkatan jumlah sel dan faktor-faktor penyembuhan luka, salah

satunya yaitu terjadi proliferasi fibroblas. Fibroblas akan memproduksi matriks

kolagen dalam jumlah besar yang akan membantu mengisolasi dan memperbaiki

jaringan yang rusak (Ali Taqwim, 2011).

Fibroblas berperan dalam pembentukan jaringan ikat yang baru. Proses

fibrosis atau fibroplasia dan pembentukan jaringan parut merupakan proses

perbaikan yang melibatkan jaringan ikat yang memiliki empat komponen penting,

antara lain yaitu (a) pembentukan pembuluh darah baru, (b) migrasi dan

proliferasi fibroblas, (c) deposisi ECM (extracellular matrix), dan (d) maturasi dan

organisasi jaringan fibrous (remodeling). Dari keseluruhan proses yang telah

disebutkan di atas, fibroblas memiliki peran penting pada proses fibrosis pada

26

fase proliferasi yang melibatkan dua dari keempat komponen di atas yaitu

migrasi dan proliferasi fibroblas serta deposisi ECM untuk mempertahankan

integritas struktur jaringan ikat (Ali Taqwim, 2011).

2.9 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)

Tikus wistar atau mencit adalah tikus rumah dan binatang asli Asia, India

dan Eropa Barat. Krinke (2000) mengklasifikasikan Rattus norvegicus dalam

sistematika taksonomi hewan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Species : Norvegicus

Tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar dipilih sebagai sampel

karena tikus merupakan hewan coba yang tergolong jinak, mudah diperoleh

dalam jumlah banyak, mempunyai respon yang lebih cepat, mudah

perawatannya, dan fungsi metabolismenya mirip dengan manusia serta harganya

lebih terjangkau dibandingkan dengan menggunakan marmot (Cavia cobaya).

Para ilmuwan telah memunculkan banyak strain atau galur tikus khusus untuk

eksperimen. Sebagian besar berasal dari tikus Wistar albino, yang masih

digunakan secara luas (Sulistiawati, 2011).

27

Gambar 2.8 Tikus Rattus norvegicus Galur Wistar (Estina, 2010)

28

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Ulser Traumatik

↑ PMN

↑ Aktivasi Makrofag ↑↑

↑ Pelepasan growth factor ↑↑ :

FGF, EGF, PDGF, TGF-α,

TGF-β, IL-1, TNF, VEGF

Gel getah buah nangka

Flavonoid,

Tanin, Alkaloid,

Artocarpain H

↑ Angiogenesis ↑↑ ↑ Fibroblas ↑↑ ↑ Epitel ↑↑

↑ Jumlah pembuluh

darah ↑↑

↑ Sisntesis kolagen ↑↑

Fase Remodeling ↑↑

Penyembuhan Luka ↑↑

Fase Hemostasis

dan Inflamasi

Fase

Proliferasi

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Fase penyembuhan luka

: Mempengaruhi

: Efek pemberian gel getah

buah nangka

29

Ulser traumatik dapat terjadi akibat trauma seperti tergigit saat makan,

mukosa terperangkap gigi geligi yang malposisi, gigi tajam, atau protesa gigi

palsu yang tidak sesuai. Penyembuhan ulser traumatik terdiri dari 3 fase, yaitu

fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling. Proses penyembuhan

dimulai segera setelah terjadinya luka. Platelet akan teragregasi dan

mengakibatkan terjadinya proses hemostasis. Platelet yang teragregasi akan

mengeluarkan berbagai mediator yang dapat memicu proses inflamasi. Neutrofil

dan monosit yang kemudian digantikan oleh makrofag bergerak menuju luka.

Aktivasi platelet dan makrofag menyebabkan pelepasan growth factor dan sitokin

yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka, diantaranya FGF, EGF, PDGF,

TGF-α, TGF-β, IL-1, TNF, VEGF. Growth factor berupa FGF (Fibroblast Growth

Factor) berperan dalam proliferasi fibroblas dan proses angiogenesis serta EGF

(Epidermal Growth Factor) berperan dalam sintesis kolagen dan proses

epitelisasi. Dengan meningkatnya jumlah pembuluh darah dan epitelisasi

jaringan luka dapat terjadi proses penyembuhan luka setelah melalui fase

remodeling.

Gel getah buah nangka memiliki kandungan bahan aktif antara lain fenol,

flavonoid, tanin, protein, karbohidrat, glikosida dan alkaloid. Fungsi dari berbagai

bahan aktif tersebut khususnya flavonoid, tanin, dan alkaloid adalah

mempercepat proses penyembuhan luka yang terjadi. Pada fase inflamasi,

bahan aktif tersebut akan membantu dalam mempercepat memicu proses

migrasi dan aktivasi dari sel-sel inflamasi dan dengan segera mengurangi respon

dari inflamasi dengan mempercepat dalam mengeliminasi sel inflamasi sehingga

mengurangi terjadinya peradangan persisten. Pada fase proliferasi, bahan aktif

tersebut mampu meningkatkan proliferasi fibroblas sehingga membantu proses

30

sintesis kolagen dan juga meningkatkan proses angiogenesis. Pada fase

remodeling, kandungan flavonoid berupa artocarpain mampu membantu

meningkatkan myofibroblas dan mempercepat kontraksi luka sehingga mampu

membantu mempercepat proses terjadinya penutupan luka.

3.2 Hipotesis penelitian

Gel getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) berpengaruh dalam

meningkatkan jumlah fibroblas pada proses penyembuhan ulser traumatik

mukosa labial tikus putih (Rattus norvegicus).

31

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan desain

penelitian berupa Randomized Post Test Only Control Group Design. Subjek

penelitian ini menggunakan tikus putih yang dibagi menjadi 4 kelompok secara

acak dengan 2 time series yaitu hari ke-3 dan ke-7. Kelompok I merupakan

kelompok kontrol yang diberikan pembawa gel tanpa getah buah nangka,

sementara kelompok II, III, IV merupakan kelompok perlakuan yang diberikan gel

getah buah nangka secara topikal dengan konsentrasi 0,5% , 1%, dan 2%.

Perlakuan diberikan 2 kali sehari selama 3 dan 7 hari. Kemudian dilakukan

pengambilan jaringan untuk diobservasi dan dibandingkan efek gel getah buah

nangka terhadap jumlah fibroblasnya.

Gambar 4.1 Desain Penelitian

K H3

P1 H3

P2 H3

P3 H3

K H7

P1 H7

P2 H7

P3 H7

R S Observasi

32

Keterangan :

S = Sampel

R = Random

K H3 = Kelompok kontrol yang diberi perlakuan induksi panas tanpa

diaplikasikan gel getah nangka (diberi pembawa gel) kemudian dilakukan

pembedahan pada hari ke-3

P1 H3 = Kelompok perlakuan 1 yang diberi perlakuan induksi panas dan

diaplikasikan gel getah nangka 0,5% kemudian dilakukan pembedahan

pada hari ke-3

P2 H3 = Kelompok perlakuan 2 yang diberi perlakuan induksi panas dan

diaplikasikan gel getah nangka 1% kemudian dilakukan pembedahan

pada hari ke-3

P3 H3 = Kelompok perlakuan 3 yang diberi perlakuan induksi panas dan

diaplikasikan gel getah nangka 2% kemudian dilakukan pembedahan

pada hari ke-3

K H7 = Kelompok kontrol yang diberi perlakuan induksi panas tanpa

diaplikasikan gel getah nangka (diberi pembawa gel) kemudian dilakukan

pembedahan pada hari ke-7

P1 H7 = Kelompok perlakuan 1 yang diberi perlakuan induksi panas dan

diaplikasikan gel getah nangka 0,5% kemudian dilakukan pembedahan

pada hari ke-7

P2 H7 = Kelompok perlakuan 2 yang diberi perlakuan induksi panas dan

diaplikasikan gel getah nangka 1% kemudian dilakukan pembedahan

pada hari ke-7

33

P3 H7 = Kelompok perlakuan 3 yang diberi perlakuan induksi panas dan

diaplikasikan gel getah nangka 2% kemudian dilakukan pembedahan

pada hari ke-7

4.2 Sampel Penelitian

4.2.1 Pemilihan Binatang Coba dan Teknik Randomisasi

4.2.1.1 Kriteria Inklusi

Sampel penelitian dipilih berdasarkan ketentuain kriteria inklusi, yaitu:

a. Tikus putih strain wistar

b. Berjenis kelamin jantan

c. Usia 2,5-3 bulan

d. Berat badan 150-200 gram

e. Sehat, yang ditandai dengan gerakannya yang aktif, mata jernih, bulu

yang tebal dan berwarna putih mengkilap

4.2.1.2 Kriteria Eksklusi

Sampel penelitian tidak dipilih apabila memenuhi ketentuan kriteria

eksklusi, yaitu :

a. Tikus yang pernah digunakan dalam penelitian sebelumnya.

b. Tikus yang kondisinya menurun atau mati selama penelitian berlangsung

4.2.2 Estimasi Jumlah Pengulangan

Jumlah sampel pada penelitian dibagi menjadi 4 kelompok (kontrol, P1,

P2, dan P3). Penelitian ini menggunakan 2 time series yaitu hari ke-3 dan hari

ke-7. Menurut Federer (1963), jumlah sampel tiap perlakuan didapatkan dari

rumus (t - 1) (r - 1) ≥ 15, dengan t adalah jumlah perlakuan dan r adalah jumlah

34

sampel yang diperlukan disetiap perlakuan. Dari rumus tersebut maka diperoleh

hasil perhitungan :

(t - 1) (r - 1) ≥ 15

(4 perlakuan x 2 time series – 1) (r – 1) ≥ 15

(8 – 1)(r – 1) ≥ 15

7 (r – 1) ≥ 15

7 r – 7 ≥ 15

7 r ≥ 22

r ≥ 4

Sampel yang digunakan adalah 4 ekor tikus untuk setiap kelompok

perlakuan. Untuk menghindari berkurangnya subjek akibat tikus mati sebelum

atau selama diberi perlakuan maka jumlah tikus ditambah 1 ekor untuk setiap

kelompok perlakuan, sehingga total tikus yang digunakan untuk setiap kelompok

adalah 5 ekor. Total tikus yang diperlukan untuk 4 kelompok perlakuan dan 2

time series adalah 40 ekor tikus.

4.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu :

4.3.1 Variabel Bebas (Independen)

Gel getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) diberikan kepada

kelompok perlakuan.

4.3.2 Variabel Terikat (Dependen)

Jumlah fibroblas yang terlihat dalam preparat histologi.

35

4.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Brawijaya,

Laboratorium Farmasi, Laboratorium Biokimia, dan Laboratorium Patologi

Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dalam jangka waktu

±3 bulan dimulai dari bulan November 2017 sampai bulan Januari 2018.

4.5 Alat dan Bahan Penelitian

4.5.1 Pemeliharaan Hewan Coba

Alat yang dibutuhkan adalah kandang tikus ukuran 15 x 30 x 42 cm3 yang

diisi 7 ekor tikus dan diberi alas sekam yang diganti 2 kali setiap minggu, tutup

kandang dari anyaman kawat, tempat makan, dan botol air minum. Makanan

tikus dewasa adalah 40 mg/hari/ekor. Diet normal terdiri dari Comfeed PAR-S

dan terigu dalam perbandingan 2 : 1 dengan air secukupnya diberikan dalam

bentuk pelet (Anwari, 2003).

4.5.2 Pembuatan Gel Getah Buah Nangka (Artocarpus Heterophyllus)

Alat yang dibutuhkan untuk membuat gel getah buah nangka adalah

pisau, gelas ukur, sendok porselen, freeze dryer, wadah, mortar, pestle, dan pot

untuk menyimpan gel. Bahan yang dibutuhkan adalah getah buah nangka,

natrium metabisulfit 0,7%, etanol 96%, karbopol 940, gliserol, trietanolamin

(TEA), metil paraben, propil paraben, dan aquadest.

36

4.5.3 Perlakuan Hewan Coba

Alat yang dibutuhkan adalah cement stopper, bunsen, handle scalpel dan

blade, pinset, cotton bud, petridish, tempat antiseptik, syringe dan tabung organ.

Bahan yang dibutuhkan adalah handscoon, masker, ketamine 0,2 ml, Novalgin

500 mg/ml sebanyak 0,3 ml, cotton roll, cotton pellet, alkohol 70%, dan kassa

steril.

4.5.4 Pemeriksaan Histologi

Alat yang dibutuhkan adalah talenan, pisau scalpel, pinset, saringan,

tissue cassete, mesin prosesor otomatis, mesin vakum, mesin blocking, freezer,

mesin dan pisau mikrotom, water bath, object glass, kaca penutup, dan rak

khusus untuk pewarnaan. Bahan yang dibutuhkan adalah, potongan jaringan

yang telah difiksasi dengan formalin 10%, ethanol absolute, xylol, paraffin, lithium

carbonate, entellan, larutan hematoksilin, dan larutan eosin.

4.6 Definisi Operasional

4.6.1 Getah buah nangka

Getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) diperoleh dari buah

nangka di UD. Putra Fajar, Kota Batu. Getah buah nangka diperoleh dari mesin

pengolahan kripik nangka. Getah yang keluar ditampung dalam wadah steril,

kemudian ditambahkan natrium metabisulfit 0,7% untuk mencegah terjadinya

oksidasi (Siswanto, 2015).

4.6.2 Gel getah buah nangka

Gel yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran dari basis gel

dengan getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) dalam 3 konsentrasi yakni

0,5%, 1%, dan 2%.

37

4.6.3 Ulser traumatik

Ulser traumatik adalah keradangan mukosa mulut yang ditandai dengan

lesi berupa bercak putih kekuningan atau putih pucat, bentuk bulat atau oval,

dikelilingi oleh pinggiran kemerahan dan batasnya tidak lebih tinggi dari

permukaan mukosa dan merupakan lesi yang dangkal. Ulser traumatik yang

dibuat adalah dengan induksi panas, yakni menggunakan ujung cement stopper

dengan diameter ±4 mm yang dipanaskan dengan bunsen selama 10 detik atau

sampai warna cement stopper berwarna merah, kemudian ditempelkan tanpa

tekanan pada mukosa labial rahang bawah tikus putih untuk membentuk ulser

dengan kedalaman mencapai ±1mm selama 2 detik yang sebelumnya dianestesi

dengan ketamin 0,2 ml (10 mg/kg BB) secara intramuskular (Setianingtyas,

2012).

4.6.4 Jumlah Fibroblas

Penghitungan jumlah fibroblas dilihat dan diukur pada hari ke-3 dan ke-7.

Fibroblas yang terlihat pada preparat diambil dari mukosa labial tikus yang

dipotong dengan arah antero-posterior. Preparat diberikan pewarnaan

Hematoksilin-Eosin (HE). Jumlah fibroblas dilihat dalam 5 lapang pandang

dengan menggunakan mikrometer okuler pada mikroskop digital dan aplikasi

software Olyvia-Olympus dengan pembesaran 400x (Atik et al., 2009) pada

sediaan preparat sampel mukosa labial yang terkena ulser traumatik pada tikus

putih (Rattus norvegicus). Hasil dari teknik pewarnaan Hemotoksilin Eosin (HE)

akan nampak fibroblas dengan warna ungu kebiruan dan menampakkan

tonjolan-tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, inti sel berbentuk bulat, besar,

kromatin halus, dan memiliki nukleus yang jelas (Adnan, 2010).

38

4.7 Prosedur penelitian

4.7.1 Persiapan Hewan Coba

Hewan coba diseleksi berdasarkan kriteria sampel, kemudian dibagi

menjadi 8 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus.

4.7.2 Pemeliharaan Hewan Coba

Tikus dipelihara dan diadaptasikan dalam laboratorium selama 1 minggu

pada suhu ruangan konstan (270) (Tandon et. al., 2000). Untuk tempat

pemeliharaan digunakan dengan ketentuan satu kandang untuk 2 hingga 3 ekor

tikus, ditutup dengan kawat kasa, diberi alas sekam yang diganti 2 kali seminggu.

Kebutuhan makanan tikus dewasa adalah 40 gram/hari/ekor. Diet normal terdiri

dari 67% comfeed PAR-S, 33% terigu dan air secukupnya (Anwari, 2003).

4.7.3 Pengambilan Getah Buah Nangka

Getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus) diperoleh dari buah

nangka di UD. Putra Fajar, Kota Batu. Getah buah nangka diperoleh dengan

cara memotong buah nangka. Getah yang keluar ditampung dalam wadah steril,

kemudian ditambahkan natrium metabisulfit 0,7% untuk mencegah terjadinya

oksidasi (Siswanto, 2015).

4.7.4 Pembuatan Gel Topikal

Buah nangka dilakukan determinasi di UPT Materia Medica, kota Batu.

Getah yang telah dimasukkan kedalam wadah steril kemudian dikirim ke

laboratorium Fisiologi Hewan di Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA)

Universitas Brawijaya untuk dilakukan proses freeze drying. Proses tersebut

memakan waktu minimal 24 jam. Hasil yang didapatkan dari proses tersebut

39

berupa sediaan getah dalam bentuk serbuk dan siap dibentuk menjadi sediaan

gel di laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Prosedur pembuatan gel dilakukan dengan cara:

a. Formulasi sediaan gel getah buah nangka

Bahan Formula (%)

1 2 3

Serbuk kering getah

buah nangka

(Artocarpus

heterophyllus)

0,5%

(0,15 gram)

1%

(0,3 gram)

2%

(0,6 gram)

Karbopol 940 0,6 gram 0,6 gram 0,6 gram

TEA 0,375 gram 0,375 gram 0,375 gram

Gliserol 3,75 gram 3,75 gram 3,75 gram

Natrium metabisulfit 0,15 gram 0,15 gram 0,15 gram

Metil paraben 0,054 gram 0,054 gram 0,054 gram

Propil paraben 0,06 gram 0,06 gram 0,06 gram

Aquadest add. 30 ml add. 30 ml add. 30 ml

Tabel 4.1 Formulasi Sediaan Gel Getah Buah Nangka

a. Pembuatan gel getah buah nangka

1) Alat dan bahan disiapkan, ditimbang bahan-bahan yang diperlukan

2) Karbopol 940 dikembangkan dalam aquadest sebanyak 20 kali jumlah

karbopol 940 yang digunakan, lalu digerus hingga terbentuk dispersi

yang homogen

3) Setelah mengembang ditambahkan natirum metabisulfit, metil paraben

dan propil paraben yang telah dilarutkan di dalam gliserol hingga

homogen

40

4) Kemudian ditambahkan getah buah nangka dan aquadest sampai

volume yang diinginkan dengan pengadukan perlahan secara kontinyu

sampai membentuk gel yang homogen

5) TEA ditambahkan sampai mencapai pH yang diinginkan

6) Gel disimpan dalam wadah gel pada suhu ruangan (Siswanto, 2015).

b. Evaluasi sediaan gel dilakukan, meliputi:

1) Uji organoleptik

Pengamatan visual dengan melihat perubahan warna dan bau.

2) Uji homogenitas

Gel dioleskan diatas object glass, kemuadian object glass tersebut

dikatupkan dengan object glass lainnya dan dilihat apakah gel tersebut

homogen atau tidak.

3) Uji pemeriksaan Ph

Elektroda dicuci dan dibilas dengan air suling. Dikalibrasi pH meter

dengan menggunakan larutan dapar Ph 7 (dapar fosfat ekimolal) dan

dapar pH 4 (dapar KHP) kemudian nilai pH gel getah nangka ditentukan.

4) Uji daya sebar

Gel dengan diameter 15 mm dan ketebalan 3 mm diletakan di atas object

glass. Kemudian object glass yang lain diletakan di atasnya dan ditekan

dengan menggunakan beban seberat 200 gram dan didiamkan selama 3

menit. Setelah itu dipindahkan dan diukur diameter permukaan gel yang

melebar menggunakan jangka sorong (Stefanus, 2015).

41

4.7.5 Pembuatan Ulser Traumatik

Pembuatan ulser traumatik yang diinduksi panas didahului dengan

anestesi intramuskular menggunakan ketamine 0,2 ml atau dengan dosis 10

mg/kg BB kemudian diinduksi dengan ujung cement stopper kedokteran gigi

dengan diameter 4 mm yang sebelumnya telah dipanaskan dengan bunsen

selama 10 detik dan ditempelkan pada mukosa labial rahang bawah tanpa

tekanan selama 4 detik sehingga terbentuk ulser traumatik. Setelah itu dilakukan

pemberian analgesik intramuskular Novalgin 0,3 ml atau dengan dosis 500 mg/ml

(Herlina, 2016).

4.7.6 Pemberian Gel Getah Buah Nangka

Pemberian gel getah buah nangka dilakukan 24 jam setelah induksi

panas dan telah terbentuk ulserasi. Pemberian gel getah buah nangka dilakukan

secara topikal dengan cara mengoleskan gel getah buah nangka menggunakan

cotton bud pada mukosa labial di daerah luka dengan frekuensi 2 kali sehari

sampai hari ke-3 dan ke-7 setelah terbentuk ulserasi pada kelompok perlakuan

(P1, P2 dan P3), sedangkan kelompok kontrol diberikan senyawa pembawa gel

tanpa getah buah nangka.

4.7.7 Pembedahan Hewan Coba

Pada hari ke-3 dan ke-7, hewan coba dieuthanasia dengan menggunakan

kethamine dosis lethal yaitu 0,6-0,9 ml. Setelah proses tersebut selesai, jaringan

ulser diswab dengan alkohol 70% sebagai desinfektan lalu dilakukan

pengambilan jaringan dengan biopsi eksisi.

42

4.7.8 Prosedur Pembuatan Preparat

a. Fiksasi

Pada tahap fiksasi, dilakukan perendaman jaringan ulser pada larutan

formalin 10% selama 18-24 jam. Kemudian jaringan dicuci dengan menggunakan

aquadest selama 15 menit (Jusuf, 2009).

b. Embedding

Jaringan ulser dimasukkan pada beberapa cairan, yaitu aseton selama 1

jam dilakukan 4 kali, xylol selama setengah jam dilakukan 4 kali, paraffin cair

selama 1 jam dilakukan 3 kali, dan penanaman jaringan mukosa pada paraffin

blok (Jusuf, 2009).

c. Slicing

Blok yang sudah tertanam jaringan ulser diletakkan pada blok es selama

±15 menit, kemudian blok ditempelkan pada cakram mikrotom rotary kemudian

sayat jaringan ulser secara vertikal dengan ukuran 4 mikron. Sayatan jaringan

ulser yang berbentuk pita diambil dengan menggunakan kuas kecil, kemudian

diletakkan pada waterbath yang mengandung gelatin dengan suhu 36ºC. Setelah

sayatan ulser merentang, sayatan diambil dengan menggunakan object glass

dan didiamkan selama 24 jam (Jusuf, 2009).

d. Staining

Object glass dimasukkan dalam xylol selama 15 menit dilakukan 3 kali,

alkohol 96% selama 15 menit dilakukan 3 kali, kemudian dicuci dengan air

mengalir selama 15 menit. Setelah itu, object glass dimasukkan pada pewarna

Hematoksilin selama 15 menit dan dicuci dengan air mengalir selama 15 menit.

Object glass dimasukkan kedalam Lithium Carbonate selama 20 detik, dan dicuci

43

dengan air mengalir selama 15 menit. Selanjutnya object glass dimasukkan

kedalam pewarna Eosin selama 15 menit, alkohol 96% selama 15 menit

dilakukan 3 kali, dan xylol selama 15 menit dilakukan 3 kali. Terakhir, preparat

ditutup dengan menggunakan deck glass dan Entellan sebagai perekat (Jusuf,

2009).

4.7.9 Pengamatan Sediaan Histologi Mukosa Labial Rahang Bawah Rattus

norvegicus

Pengamatan sediaan histologi mukosa labial rahang bawah tikus putih

yang dibedah pada hari ke-3 dan ke-7 dilakukan dengan menggunakan

mikroskop mikrometer okuler pada mikroskop digital dan aplikasi software Olyvia-

Olympus dengan 5 lapang pandang dan pembesaran 400x (Atik et al., 2009) dan

dibuat foto dari preparat histologi tersebut lalu dilakukan perhitungan jumlah

fibroblas yang terlihat, kemudian membandingkan jumlah fibroblas antara

kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan (Herlina, 2016).

44

4.8 Skema Prosedur Penelitian

4.9.1 Pembuatan Gel Getah Buah Nangka

Getah Buah Nangka

Freeze dry sehingga terbentuk

serbuk getah buah nangka

Serbuk getah nangka yang disesuaikan dengan dosis masing-masing

ditambahkan pada karbopol 940 yang telah didispersikan dengan aquadest dan

ditambah natirum metabisulfit, metil paraben, propil paraben, dan TEA

Evaluasi sediaan gel

Uji

organoleptik

Uji

homogenitas

Uji pemeriksaan

pH

Uji daya

sebar

Gel getah

nangka 0,5%

Gel getah

nangka 1%

Gel getah

nangka 2%

45

4.9.2 Pengaruh Gel Getah Buah Nangka 0.5%, 1% dan 2%

Sample Rattus norvegicus

(40 Ekor)

Penyesuaian selama

7 hari

Injeksi ketamine 0,2 ml dengan dosis 10 mg/kg BB dan

perlakuan induksi panas pada mukosa labial rahang bawah

Perlakuan

1 (P1)

(10 ekor)

Perlakuan

2 (P2)

(10 ekor)

Perlakuan

3 (P3)

(10 ekor)

Pemberian

senyawa gel

tanpa getah

nangka 2 kali

perhari selama

3 dan 7 hari

Pemberian

gel getah

nangka 0,5%

2 kali perhari

selama 3 dan

7 hari

Pemberian

gel getah

nangka 1%

2 kali perhari

selama 3 dan

7 hari

Pemberian

gel getah

nangka 2%

2 kali perhari

selama 3 dan

7 hari

Dilakukan euthanasia menggunakan ketamine dosis lethal dan

pembedahan mukosa labial rahang bawah pada hari ke-3 dan ke-7

setelah terbentuk ulser untuk melihat jumlah sel fibroblas

Pembuatan preparasi histologi jaringan

Perhitungan jumlah sel fibroblas

Analisis data dan kesimpulan

Kontrol

(10 ekor)

46

4.9 Analisis Data

Hasil perhitungan jumlah fibroblas pada kontrol dan perlakuan dianalisis

secara statistik dengan program SPSS (Statistical Package for the Social

Sciences) dengan tingkat signifikasi 0,05 (p = 0,05) dan taraf kepercayaan 95%

(α = 0,05). Langkah-langkah uji hipostesis komparatif dan korelatif adalah

sebagai berikut:

1. Uji normalitas data: bertujuan untuk menginterpretasikan apakah suatu

data memiliki distribusi normal atau tidak. Untuk penyajian data yang

terdistribusi normal, maka digunakan mean dan standar deviasi sebagai

pasangan ukuran pemusatan dan penyebaran, uji hipotesis

menggunakan uji parametrik. Sedangkan untuk penyajian data yang tidak

terdistribusi normal digunakan median dan minumun-maksimum sebagai

pasangan ukuran pemusatan dan penyebaran, uji hipotesis

menggunakan uji non parametrik.

2. Uji homogentitas varian: bertujuan untuk menguji berlaku atau tidaknya

asumsi ANOVA, yaitu apakah data yang diperoleh dari sertiap perlakuan

memiliki varian yang homogen. Jika didapatkan varian yang homogen,

maka analisa dapat dilanjutkan dengan uji ANOVA.

3. Uji One-Way ANOVA: bertujuan untuk membandingkan nilai rata-rata dari

masing-masing kelompok perlakuan dan mengetahui minimal ada dua

kelompok yang berbeda signifikan.

4. Uji Independent Sample T-test: bertujuan untuk mengetahui ada atau

tidaknya perbedaan yang signifikan antara 2 kelompok yang berbeda.

47

5. Post Hoc test (uji Least Significant Difference): bertujuan untuk

mengetahui kelompok mana yang berbeda secara signifikan dari hasil tes

ANOVA. Uji Post Hoc yang digunakan adalah uji Tukey dengan tingkat

kemaknaan 95% (p < 0,05).

6. Uji korelasi Pearson: bertujuan untuk mengetahui besarnya perbedaan

secara kualitatif kelompok yang berbeda secara signifikan yang telah

ditentukan sebelumnya dari hasil Uji Post Hoc (Dahlan, 2008).

48

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

5.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh gel getah buah

nangka (Artocarpus heterophyllus) terhadap jumlah fibroblas pada proses

penyembuhan ulser traumatik mukosa labial tikus putih (Rattus norvegicus).

Sebelum diaplikasikan ke mukosa labial tikus putih, gel yang telah dibuat

dilakukan uji sediaan gel setelah 1x24 jam penyimpanan dengan suhu 4°C

dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.1 Hasil Evaluasi Organoleptik, pH, Homogenitas,

dan Daya Sebar Gel Getah Buah Nangka

Gel Jenis Evaluasi

Organoleptik pH Homogenitas Daya Sebar

Tanpa Getah Bening, tidak

berbau 7,0

Homogen 43 mm

Dosis 0,5%

Bening sedikit

keruh, berbau

samar bau khas

getah nangka

6,5

Putih-putih yang

terlihat tidak

menyatu 33 mm

Dosis 1%

Putih tulang,

berbau khas

getah nangka

6,5

Putih-putih kecil

yang tidak

menyatu

33 mm

Dosis 2%

Putih

kekuningan,

berbau khas

getah nangka

6,6

Putih-putih yang

lebih banyak

dan terlihat

tidak menyatu

33 mm

49

Uji evaluasi gel dilakukan dengan beberapa uji fisik sediaan gel yaitu uji

organoleptik, uji pH, uji homogenitas, dan uji daya sebar. Berdasarkan uji

evaluasi gel didapatkan hasil gel dengan kandungan getah buah nangka memiliki

warna keruh putih kekuningan dan berbau khas getah buah nangka sedangkan

pada gel tanpa getah buah nangka menunjukan warna bening dan tidak berbau.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Stefanus (2015) yang

menunjukan bahwa getah buah nangka mempengaruhi warna dan bau gel. Uji

pH menunjukan nilai pH berada pada nilai 6,5 – 7,0 sehingga memenuhi kriteria

pH sediaan topikal yang aman dan tidak mengiritasi jaringan serta disesuaikan

dengan pH saliva normal yaitu 6 – 7 (Humprey et al., 2001). Uji homogenitas

didapatkan semua sediaan bersifat homogen menunjukan formula yang baik. Hal

ini memenuhi syarat homogenitas yaitu tidak kasar saat diraba (Asmi, 2013). Uji

daya sebar menunjukan senyawa aktif dapat menyebar dengan panjang

diameter maksimal hingga 33 mm.

Penelitian ini menggunakan sampel hewan coba yang dibagi menjadi 4

kelompok secara acak dengan 2 time series yaitu hari ke-3 dan ke-7. Kelompok

tersebut dibagi menjadi kelompok kontrol, kelompok perlakuan 1, kelompok

perlakuan 2, dan kelompok perlakuan 3. Kelompok kontrol adalah kelompok

hewan coba yang diinduksi panas untuk pembuatan ulser dan hanya diberikan

basis gel tanpa getah buah nangka. Kelompok perlakuan adalah kelompok

hewan coba yang diinduksi panas untuk pembuatan ulser dan diberikan gel

getah buah nangka dengan dosis 0,5% ,1% , dan 2% sebanyak 2 kali sehari

selama 3 dan 7 hari.

50

Hewan coba yang telah diinduksi panas menggunakan ujung sement

stopper yang telah dipanaskan ditunggu selama 24 jam hingga terbentuk ulser

pada mukosa labial rahang bawah. Terbentuknya ulser ditandai dengan

gambaran klinis berupa lesi bulat atau oval dengan diameter ±1,5 mm berwarna

putih kekuningan dan dikelilingi batas tepi berwarna kemerahan. Setelah hewan

coba diberikan gel sesuai dengan kelompoknya, hewan coba didekaputasi pada

hari ke-3 dan hari ke-7 pasca pembuatan ulser untuk diambil jaringan mukosa

labial rahang bawahnya. Kemudian dilakukan pembuatan preparat dengan

pengecatan Haematoxylin-Eosin. Hasil dari pewarnaan tersebut diamati

menggunakan software OlyVIA dengan perbesaran 400x sehingga didapatkan

gambaran sel fibroblas berupa sel berbentuk gelendong atau fusiform dengan

menampakkan tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, inti sel bulat atau lonjong,

dan diliputi membran inti halus berwarna biru keunguan.

51

Gambar 5.1 Fibroblas (ditunjuk panah) mukosa labial tikus putih

(Rattus norvegicus) dengan pewarnaan HE dan perbesaran 400x.

(A) Kelompok Kontrol pada hari ke-3, (B) Kelompok perlakuan 1 dengan dosis

getah nangka 0,5% pada hari ke-3, (C) Kelompok perlakuan 2 dengan dosis getah

nangka 1% pada hari ke-3, (D) Kelompok perlakuan 3 dengan dosis getah nangka

2% pada hari ke-3, (E) Kelompok Kontrol pada hari ke-7, (F) Kelompok perlakuan 1

dengan dosis getah nangka 0,5% pada hari ke-7, (G) Kelompok perlakuan 2 dengan

dosis getah nangka 1% pada hari ke-7, (H) Kelompok perlakuan 3 dengan dosis

getah nangka 2% pada hari ke-7

E F

G H

A B

C D

52

Berdasarkan gambar 5.1 didapatkan bahwa jaringan ulser traumatik

mukosa labial tikus putih pada hari ke-3 tampak gambaran fibroblas dengan

jumlah tertinggi hingga terendah adalah kelompok perlakuan dosis 2%, kelompok

perlakuan dosis 1%, kelompok perlakuan dosis 0,5%, dan kelompok kontrol.

Pada hari ke-7 gambaran fibroblas dengan jumlah tertinggi hingga terendah

adalah kelompok perlakuan dosis 2%, kelompok perlakuan dosis 1%, kelompok

perlakuan dosis 0,5%, dan kelompok kontrol. Gambaran fibroblas pada hari ke-7

dibandingkan hari ke-3 pada kelompok kontrol, kelompok dosis 0,5%, kelompok

dosis 1%, dan kelompok dosis 2% terlihat perubahan berupa peningkatan jumlah

fibroblas.

Untuk analisa data hasil penghitungan fibroblas ditulis dengan format

mean ± standar deviasi.

Tabel 5.2 Hasil Penghitungan Rata-Rata Jumlah Fibroblas Kelompok

Kontrol, Kelompok Dosis 0,5%, Kelompok Dosis 1%, dan Kelompok Dosis

2% pada hari ke-3 dan ke-7

Kelompok

Pengamatan Hari

Ke-3 Ke-7

Rata-rata Jumlah per

lapang pandang

Standar Deviasi

Rata-rata Jumlah per

lapang pandang

Standar Deviasi

Kontrol 56.7400 8.58462 81.6500 6.19375

Dosis 0,5% 101.2333 5.71499 119.1500 10.59717

Dosis 1% 131.5667 12.46250 140.2833 12.03606

Dosis 2% 152.5833 4.34933 170.7667 10.56238

53

Gambar 5.3 Diagram Rata-Rata Jumlah Fibroblas pada Hari ke-3 dan ke-7

5.2 Analisa Data

Data hasil penghitungan jumlah sel fibroblas dianalisis menggunakan

metode One Way Anova. Data hasil penelitian sebelumnya diuji terlebih dahulu

menggunakan uji normalitas data dan uji homogenitas ragam. Untuk uji

normalitas data yang digunakan adalah uji Shapiro-Wilk karena sampel data

kurang dari 50 dan uji homogenitas ragam yang digunakan adalah uji Levene,

kedua uji ini menggunakan tingkat kesalahan (α) 0,05. Jika data normal dan

homogen maka dilanjutkan pengujian One Way Anova, kemudian T test, uji post

hoc (LSD), serta uji korelasi pearson.

Pada uji One Way Anova, hipotesis ditentukan dengan rumusan yaitu Ho

diterima apabila nilai signifikansi yang diperoleh >0,05 , dan ditolak apabila nilai

signifikansi yang diperoleh <0,05. Ho dari penelitian ini adalah gel getah buah

nangka tidak berpengaruh terhadap jumlah sel fibroblas pada proses

penyembuhan ulser traumatik mukosa labial rahang bawah tikus putih. Apabila

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Standar Deviasi

Kontrol

Hari Ke-3 Hari Ke-7

Standar Deviasi

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Perlakuan 3

54

Ho ditolak dengan nilai signifikansi <0,05 berarti terdapat perbedaan rata-rata

antara jumlah fibroblas antar kelompok.

5.2.1 Uji Normalitas Data

Pengujian normalitas data menggunakan uji one sample Shapiro-Wilk

karena jumlah data 39 (n<50), sedangkan untuk data dengan jumlah lebih dari 50

menggunakan uji Kolmogorov-smirnov. Uji normalitas data dilakukan dengan

tujuan untuk menguji apakah sebaran data yang ada dalam distribusi normal atau

tidak dengan melihat besaran hasil signifikansi. Jika nilai signifikansi > 0,05

(α=5%) maka distribusi data normal. Hasil dari uji normalitas data dapat dilihat

pada lampiran.

Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa nilai signifikansi rata-rata

jumlah fibroblas pada hari ke-3 lebih besar dari 0,05 (p>0,05) yaitu 0,078 dan

nilai signifikansi rata-rata jumlah fibroblas pada hari ke-7 juga lebih besar dari

0,05 (p>0,05) yaitu 0,339. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian

memiliki distribusi yang normal.

5.2.2 Uji Homogenitas Ragam

Setelah diketahui bahwa data penelitian berdistribusi normal selanjutnya

dilakukan uji homogenitas ragam yang bertujuan untuk mengetahui apakah data

yang diperoleh homogen atau tidak. Uji homogenitas ragam dilakukan dengan

menggunakan uji Levene. Hasil uji homogenitas raham terpenuhi apabila nilai

signifikansi lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Hasil dari uji homogenitas ragam

dapat dilihat pada lampiran.

Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa hasil nilai signifikansi pada hari

ke-3 lebih besar dari 0,05 (p>0,05) yaitu 0,378 dan nilai signifikansi pada hari ke-

55

7 juga lebih besar dari 0,05 (p>0,05) yaitu 0,417. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa data penelitian bersifat homogen.

5.2.3 Uji One Way Anova

Uji One Way Anova dilakukan dengan tujuan mengevaluasi perbedaan

nilai jumlah sel fibroblas masing-masing kelompok. Syarat dari uji One Way

Anova adalah data yang diambil dari sampel acak berdistribusi normal dan

memiliki ragam yang homogen. Data dikatakan memiliki perbedaan yang

bermakna apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Hasil dari uji One Way

Anova dapat dilihat pada lampiran.

Dari hasil uji one way anova didapatkan bahwa nilai signifikansi pada hari

ke-3 lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000 dan nilai signifikansi pada hari ke-7 juga

lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000. Sehingga Ho ditolak yang berarti terdapat

perbedaan rata-rata antara jumlah fibroblas antar kelompok pada hari ke-3 dan

hari ke-7.

5.2.4 Uji Independent Sample T-test

Setelah diketahui data memiliki perbedaan yang bermakna, dilanjutkan

dengan uji T-test yang bertujuan untuk melihat adanya perbedaan pada jumlah

rata-rata fibroblas antara hari ke-3 dan hari ke-7. Data dikatakan berbeda secara

bermakna apabila nilai signifikansi p<0,05. Hasil dari uji T-test dapat dilihat pada

lampiran.

Dari hasil uji T-test didapatkan bahwa nilai signifikansi kelompok kontrol,

kelompok perlakuan 1 dosis 0,5%, dan kelompok perlakuan 3 dosis 2% lebih

kecil dari 0,05 sedangkan untuk kelompok perlakuan 2 dosis 1% lebih besar dari

0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah fibroblas

56

yang signifikan antara hari ke-3 dan ke-7 pada kelompok kontrol, perlakuan 1

dosis 0,5%, dan perlakuan 3 dosis 2% dan tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara jumlah fibroblas kelompok perlakuan 2 dosis 1%.

5.2.5 Uji Post Hoc Multiple Comparison

Setelah diketahui data memiliki perbedaan yang bermakna, dilanjutkan

dengan uji Post Hoc yang bertujuan untuk melihat kelompok mana saja yang

berbeda diantara kelompok yang lain. Uji Post Hoc yang digunakan adalah uji

Tukey HSD. Data dikatakan berbeda secara bermakna apabila nilai signifikansi

p<0,05. Hasil dari uji Post Hoc dapat dilihat pada lampiran.

Hasil uji Post Hoc Tukey pada hari ke-3 menunjukan bahwa terdapat

perbedaan jumlah fibroblas yang signifikan antar kelompok pada hari ke-3. Hasil

uji Post Hoc Tukey pada hari ke-7 menunjukan bahwa terdapat perbedaan

jumlah fibroblas yang signifikan antar kelompok pada hari ke-7. Perbedaan yang

signifikan ditandai dengan nilai p<0,05.

Berdasarkan hasil uji post hoc tukey tersebut dapat dijelaskan bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan pada hari ke-3 dan hari ke-7.

5.2.6 Uji Korelasi Pearson

Uji ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji kekuatan dan arah

hubungan antara dua variabel dengan skala data interval atau rasio. Uji korelasi

pearson digunakan apabila data berdistribusi normal, dan jika distribusi tidak

normal dapat menggunakan uji korelasi spearman. Data dikatakan memiliki

hubungan yang signifikan apabila nilai signifikansi (p<0,05) dan memiliki

57

hubungan yang berbanding lurus apabila nilai korelasi bertanda positif. Hasil dari

uji korelasi pearson dapat dilihat pada lampiran.

Dari hasil perhitungan didapatkan nilai korelasi pearson pada kelompok

hari ke-3 sebesar 0,964 dengan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05) yaitu

0,000 dan nilai korelasi pearson pada kelompok hari ke-7 sebesar 0,958 dengan

nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05) yaitu 0,000. Hasil tersebut

menandakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kelompok sampel

dengan jumlah fibroblas karena hasil yang mendekati angka 1 dan memilki tanda

positif yang berarti korelasi yang terjadi memiliki hubungan yang berbanding

lurus, yaitu semakin besar dosis getah buah nangka yang diberikan semakin

besar jumlah sel fibroblas. Nilai signifikansi menunjukan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan. Maka dapat disimpulkan bahwa gel getah buah

nangka dapat meningkatkan jumlah sel fibroblas sehingga mempercepat proses

penyembuhan ulser traumatik mukosa labial tikus putih, hal ini dapat dilihat dari

jumlah rata-rata sel fibroblas kelompok perlakuan yang semakin meningkat

dibandingkan kelompok kontrol.

58

BAB 6

PEMBAHASAN

Pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada hari ke-3 dan ke-7 setelah

pembuatan ulser traumatik pada semua hewan coba kelompok sampel.

Perlakuan dilakukan 24 jam setelah pembuatan ulser traumatik dengan cara

induksi panas. Ulser traumatik ditandai dengan gambaran klinis berupa lesi bulat

atau oval dengan diameter ±1,5 mm berwarna putih kekuningan dan dikelilingi

batas tepi berwarna kemerahan.

Getah buah nangka yang diperoleh dilakukan proses freeze dry untuk

mendapatkan zat aktif yang terdapat pada getah buah nangka yang kemudian

dibuat dalam sediaan gel. Sediaan gel digunakan karena memiliki keuntungan

diantaranya mudah diaplikasikan, mampu berikatan dengan mukosa membran

dalam waktu yang cukup lama, kemampuan penyebaran baik, mempermudah

penetrasi obat, dan dapat melindungi dari kontaminasi benda asing (Field, 2003).

Basis gel yang digunakan adalah karbopol. Karbopol mampu menjadi basis gel

tanpa mempengaruhi senyawa aktif yang ada pada getah buah nangka,

sehingga tidak mempegaruhi efektivitas dari gel getah buah nangka (Anggraeni

et al., 2012). Selain itu karbopol memiliki sifat drug release yang baik,

kompabilitas dan stabilitas yang baik, dan tidak memilki efek toksik (Das et al.,

2011).

Berdasarkan uji anova yang telah dilakukan, terdapat perbedaan jumlah

fibroblas yang signifikan pada seluruh kelompok hewan coba. Dilanjutkan dengan

uji t-test, didapatkan perbedaan jumlah fibroblas yang signifikan antara hari ke-3

dan ke-7 pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan 0,5%, dan kelompok

59

perlakuan 2%. Sedangkan pada kelompok perlakuan 1% tidak didapatkan

perbedaan yang signifikan. Kemudian dilakukan uji post hoc, didapatkan pada

hari ke-3 dan hari ke-7 rata-rata jumlah fibroblas dari kelompok perlakuan

memilki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada

uji korelasi pearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara dosis getah buah nangka dengan jumlah fibroblas dalam penyembuhan

ulser traumatik.

Pada hari ke-3, sudah terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dosis 0,5%, 1%, maupun 2%.

Pada hari ke-7, jumlah fibroblas dari masing-masing kelompok mengalami

peningkatan dibandingkan dengan hari ke-3. Kelompok perlakuan dosis 0,5%,

1%, dan 2% memilki rata-rata jumlah fibroblas yang lebih tinggi dibandingkan

kelompok kontrol, dengan jumlah fibroblas tertinggi secara berurutan yaitu

kelompok perlakuan dosis 2%, 1% dan 0,5%. Hal ini menunjukan bahwa pada

kelompok perlakuan, proses penyembuhan luka berjalan lebih cepat

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terlihat juga gambaran klinis mukosa

labial menunjukan kondisi luka yang mulai membaik dengan tepi luka mulai

berwarna seperti jaringan sekitar dan luas luka mulai menyempit.

Rata rata jumlah fibroblas pada semua kelompok meningkat dari hari ke-3

hingga hari ke-7. Hal ini sesuai dengan pernyataan Volgas dan Harder (2012)

bahwa fibroblas pada area luka atau healing center ditemukan meningkat pada

hari ke-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke-7. Peningkatan hari menunjukan

peningkatan jumlah sel fibroblas, hal ini sesuai dengan teori bahwa tubuh

melakukan perbaikan tubuh sendiri (self-healing) dan telah mecapai tahap

proliferasi. Sepanjang tahap proliferasi akan terbentuk jaringan ikat baru yang

60

memenuhi area luka (Flanagan, 2002). Fibroblas adalah sel yang mensintesis

matriks ekstraseluler dan kolagen yang berperan penting dalam penyembuhan

luka. Dengan begitu fibroblas akan mempertahankan integritas struktur jaringan

ikat yang baru. Fibroblas terakumulasi di daerah luka melalui angiogenesis

antara dua sampai lima hari pasca cidera. Jumlah fibroblas mencapai puncaknya

sekitar satu minggu pasca trauma dan merupakan sel dominan pada minggu

pertama fase penyembuhan luka (Falanga, 2007).

Kelompok kontrol pada hari ke-3 maupun hari ke-7 memiliki rata-rata

jumlah fibroblas paling sedikit dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis

0,5%, 1%, maupun 2%. Meskipun begitu pada kelompok kontrol terdapat

peningkatan jumlah fibroblas dari hari ke-3 hingga hari ke-7. Hal ini terjadi karena

pada kelompok kontrol pasca pembuatan ulser traumatik hanya diberikan basis

gel tanpa getah yang tidak mengandung senyawa aktif apapun yang dapat

mempercepat penyembuhan luka. Seperti pernyataan Tizard (2003) bahwa

apabila terjadi peradangan kemudian diberikan suatu bahan tertentu dengan

senyawa aktif maka akan mengurangi reaksi yang memperparah radang itu

sendiri sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung cepat.

Pada kelompok perlakuan dosis 0,5%, rata-rata jumlah fibroblas lebih

tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol pada hari ke-3 maupun hari ke-

7. Jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain yaitu kelompok dosis

1% dan 2%, pada kelompok perlakuan dosis 0,5% memiliki jumlah fibroblas yang

terendah. Meskipun begitu rata-rata jumlah fibroblas pada kelompok perlakuan

dosis 0,5% mengalami peningkatan dari hari ke-3 hingga hari ke-7. Hal tersebut

terjadi karena pada kelompok perlakuan dosis 0,5% terdapat senyawa aktif dari

getah buah nangka seperti flavonoid, alkaloid, dan tanin yang membantu proses

61

penyembuhan, namun jumlah senyawa aktif yang terkandung masih kurang

sehingga diperlukan dosis yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih

maksimal.

Pada kelompok perlakuan dosis 1%, rata-rata jumlah fibroblas lebih tinggi

jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dosis 0,5%,

tetapi lebih rendah dari kelompok perlakuan dosis 2%. Rata-rata jumlah fibroblas

pada kelompok perlakuan dosis 1% mengalami peningkatan dari hari ke-3 hingga

hari ke-7. Pada uji t-test didapatkan bahwa kelompok perlakuan dosis 1% tidak

memiliki perbedaan yang signifikan antara hari ke-3 dengan hari ke-7. Hal ini

diduga terjadi karena adanya faktor-faktor yang tidak diteliti. Faktor tersebut

diduga dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. Faktor yang dapat

mempengaruhi proses penyembuhan luka yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.

Faktor lokal merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi karakteristik

abnormalitas dari luka itu sendiri. Adapun yang termasuk faktor lokal seperti

suplai darah dan oksigen, foreign body, jenis luka, ukuran luka, radiasi ion, dan

edema. Sedangkan faktor sistemik diantaranya nutrisi, status metabolik, status

imunitas, dan hormonal (Kumar, 2010). Faktor-faktor tersebut dapat

mempengaruhi tingkat absorpsi kandungan zat aktif pada getah buah nangka.

Pada kelompok perlakuan dosis 2%, rata-rata jumlah fibroblas merupakan

yang tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain maupun

dengan kelompok kontrol pada hari ke-3 ataupun hari ke-7 . Rata-rata jumlah

fibroblas pada kelompok perlakuan dosis 2% juga menunjukan peningkatan yang

signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stefanus dan

Siswanto (2015), dimana serbuk getah buah nangka dengan dosis 2%

62

memberikan efek yang lebih baik jika dibandingkan getah buah nangka dengan

dosis 0,5% dan 1%.

Apabila dilihat melalui pengamatan gambaran klinis secara makroskopis

yang terjadi pada ulser traumatik mukosa labial tikus putih, terjadi perubahan

ukuran yang menunjukan penyembuhan luka. Setelah pembuatan luka hingga

hari ke-3, ulser traumatik pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dosis

0,5% masih menunjukan gambaran luka yang terbuka. Sedangkan pada

kelompok perlakuan dosis 1% dan dosis 2%, sudah ada sampel tikus yang

menunjukan penutupan luka namun masih tampak adanya peradangan. Setelah

hari ke-7, apabila ulser traumatik mukosa labial tikus putih pada kelompok

perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok perlakuan

menunjukan lebih banyak perubahan ukuran berupa ukuran luka yang sudah

relatif menutup. Hal ini terjadi karena pada kelompok perlakuan diberikan gel

getah buah nangka dengan berbagai kandungan zat aktif yang membantu

penyembuhan luka. Hasil pengamatan gambaran klinis secara makroskopis

menunjukan kesesuaian dengan hasil perhitungan jumlah fibroblas pada ulser

traumatik mukosa labial tikus putih. Hal ini sesuai dengan penelitian Chung-Ju

Yeh (2017), dimana pada tikus putih yang diberikan kandungan getah buah

nangka mengalami proses penutupan luka yang lebih cepat dibandingkan tikus

yang tidak diberikan perlakuan apapun dilihat secara makroskopis dan

mikroskopis..

Gel getah buah nangka dapat berpengaruh dalam mempercepat

penyembuhan luka karena getah buah nangka mengandung berbagai senyawa

aktif yang bermanfaat seperti flavonoid, alkaloid, dan tanin. Flavonoid dapat

menghambat enzim siklooksigenase sehingga dapat menekan dan menurunkan

63

sintesis prostaglandin dan vasodilatasi, sehingga migrasi sel radang pada area

radang akan menurun (Reynertson, 2007). Selain itu flavonoid juga merangsang

platelet derived growth factor (PDGF) dan fibroblast growth factor (FGF) yang

mengatur proliferasi dan migrasi fibroblas dari jaringan sekitar luka menuju celah

luka sehingga meningkatkan vaskularisasi dan kekuatan serat kolagen (Patil,

2012). Tanin membantu sebagai antioksidan dan antiseptik pada permukaan

luka. Sedangkan, alkaloid sebagai antibakteri dapat mengganggu komponen

penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak

terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel bakteri (Desmiaty et al.,

2008).

64

BAB 7

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Pemberian gel getah buah nangka (Artocarpus heterophyllus)

berpengaruh terhadap jumlah sel fibroblas pada proses penyembuhan

ulser traumatik mukosa labial rahang bawah tikus putih (Rattus

norvegicus)

2. Pada hari ke-3 jumlah sel fibroblas pada proses penyembuhan ulser

traumatik mukosa labial tikus putih pada kelompok kontrol lebih sedikit

dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang telah diberi gel getah

buah nangka dengan dosis 0,5%, 1%, dan 2%. Pada hari ke-7 jumlah sel

fibroblas pada proses penyembuhan ulser traumatik mukosa labial tikus

putih pada kelompok kontrol lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok

perlakuan yang telah diberi gel getah buah nangka dengan dosis 0,5%,

1%, dan 2%. Berdasarkan hasil analisa data, jumlah fibroblas antara

kelompok kontrol dan perlakuan hari ke-3 berbeda secara signifikan

dengan kelompok kontrol dan perlakuan hari ke-7.

3. Terdapat korelasi yang positif dalam pemberian gel getah buah nangka

terhadap jumlah fibroblas yang berarti penambahan dosis gel getah buah

nangka akan berpengaruh pada peningkatan jumlah fibroblas pada

proses penyembuhan ulser traumatik mukosa labial tikus putih

65

7.2 Saran

Berdasarkan kekurangan yang ada pada penelitian ini, maka perlu diadakan

penelitian yang lebih lanjut sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati pengaruh gel

getah buah nangka dengan dosis yang lebih tinggi dan efek sampingnya

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji toksisitas untuk

mengetahui kemungkinan adanya efek toksik pada gel getah buah

nangka dan mengetahui dosis yang aman diberikan kepada manusia

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait kestabilan gel getah buah

nangka pada penyimpanan jangka panjang

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh gel getah buah

nangka terhadap jumlah fibroblas pada proses penyembuhan ulser

traumatik mukosa labial tikus putih yang dilakukan pada hewan coba lain

sehingga semakin mendekati aplikasi pada pengobatan manusia

66

DAFTAR PUSTAKA

Adnan. 2010. Buku Panduan Biologi FMIPA – Jaringan ikat. Malang: UNM

Ali Taqwim. Peran Fibroblas pada Proses Penyembuhan Luka [Internet]. [Place unknown]: 2011 [cited 2012 Sept 4]. Available from: http://dentosca.wordpress . com / 2011 / 04 / 18 / peran-fibroblas-padaproses penyembuhan-luka/. Diakses 12 Juli 2017

Andriani, Annisa. 2016. Pengaruh Gel Campuran Lendir Bekicot (Achatina fulica) dan Ekstrak Etanol Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Proses Penyembuhan Ulkus Traumatik Mukosa Labial Tikus Putih yang Diinduksi Panas. Malang. Tidak Diterbitkan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya

Anggraeni Y, Esti H, Tutiek P. 2012. Karakteristik Sediaan dan Pelepasan Natrium Diklofenak dalam Sistem Niosom dengan Basis Gel. pharmaScientia. 1(1): 1-15

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Farida Ibrahim (penerjemah). 2004. Universitas Indonesia Press: Jakarta

Anwari. 2003. Bersahabat dengan Hewan Coba. Edisi pertama, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Ariyawardana A. 2014. Traumatic Oral Mucosal Lessions: A Mini Review and Clinical Update. OHDM. Vol. 13 – no.2

Asmi R, Sulaiman T, Sujono T. 2003. Uji Efek Penyembuhan Luka Bakar Gel Ekstrak Herba Pegagan (cantella asiatica L. Urban) dengan Gelling Agent Carbopol 934 pada Kulit Punggung Kelinci Jantan. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Farmasi Universitan Muhammadiyah Surakarta

Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL (eds). Grabb and Smith’s Plastic Surgery, 6th edition. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, pp 15-22

Atik N, Iwan JA. 2009. Perbedaan Efek Pemberian Topikal Gel Lidah Buaya (Aloe vera L) dengan Solusio Povidone Iodine terhadap Penyembuhan Luka Sayat pada Kulit Mencit (Mus musculus). Bagian histology, Fakultas Kedokteran Padjajaran Bandung

67

Baliga M S, Shivashankara A R, Haniadka R, Dsouza J, Bhat H P. 2011. Phytochemistry, nutritional and pharmacological properties of Artocarpus heterophyllus Lam (jackfruit). Food Research International. p. 1800-1811

Bhatia, B. S., Siddapa, G. S., & Lal, G. 1955. Composition and nutritive value of jackfruit. Indian Journal of Agricultural Sciences, 25, 303−306.

Birnbaum, W. dan Dunne, S. 2010. Diagnosis Kelainan dalam Mulut Petunjuk bagi Klinisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

BPOM RI. 2015. Obat untuk Ulserasi dan Inflamasi Mulut. Pusat Informasi Obat Nasional. (online) http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-12-telinga-hidung-dan-tenggorok/123-obat-yang-bekerja-pada-tenggorok/1231-obat-untuk. diakses 2 April 2017

Bruch JM, Treister NS. 2010. Clinical Oral Medicine and Pathology. Humana Press: London

Cawson RA, Odell EW. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine 8th ed. Philadelphia: Elsevier. p. 220-224

Chung-Ju Y, Chin-Chuan C, Yann-Lii L, Ming-Wei L, Mei-Miao C, Shu-Huei W. 2017. The effects of artocarpin on wound healing: in vitro and in vivo studies. Scientific Reports 7 Article number 15599. Natureresearch Journal. Taiwan

Dahlan S. 2008. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Das S, Haldar P, Pramanik G. 2011. Formulation and Evaluation of Herbal Gel Containing Clerodendon Infortunatum Leaves Extract. International Journal of PharmTech Research, 3(1): 140-143

De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Deaville, E. R., Givens,D. I. and Harvey, I. M. 2010. Chesnut and Mimosa tannin silages: Effect in sheep differ for apparent digestibilty, nitrogen utilitation and losses. Anim. Feed Sci. Technol. 157: 129-138.

Delong L, Burkhart. 2008. General and Oral Pathology for The Dental Higienist. Philadelphia, US: Lippincott Williams & Wilkins. P. 297-295

Departemen Kesehatan RI. 2000. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan: Jakarta.

68

Desmiaty, Y.; Ratih H.; Dewi M.A.; Agustin R. 2008. Penentuan Jumlah Tanin Total pada Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) dan Daun Sambang Darah (Excoecaria bicolor Hassk.) secara Kolorimetri dengan Pereaksi Biru Prusia. Orthocarpus. P. 106-109.

Dian N, Femmy K, Fredrika NL. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Sectio Caesarea. Jurnal Ilmiah Bidan Volume 3 Nomor 1. Kebidanan Poltekkes Kemenkes Manado

Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan: Jakarta

Duarte TL, Cooke MS, Jones GD. 2011. Gene Expression Prolifing Reveals New Protection Role For Vitamin C In Human Skill Cells. (Online). http:// https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18973801. Diakses 12 Juli 2017

Ersam, T. 2001. Senyawa Kimia Makromolekul beberapa Tumbuhan Artocarpus Hutan Tropika Sumatera Barat. Disertasi ITB, Bandung

Estina. 2010. Jenis dan Ciri Tikus Laboratorium Disertai Gambar [Internet]. [Place unknown]: Available from: dokter.ternak.com Diakses 12 Juli 2017

Falanga. 2007. Wound Healing Process. (online). http://www.womencyclists.comlarticle_specific.php?articleID=49. Diakses 12 April 2018

Fauzi Kasim, et al. 2014. Informasi Spesialite Obat Indonesia, 49th. Jakarta : PT ISFI Penerbitan. P. 278.

Fawcett. 2002. Buku ajar histologi. Edisi 12. Terjemahan Jan Tambayong. Jakarta: EGC

Federer, W. 1963. Experimental Design, Theory, and Application. Mac. Millan, New York.

Field A, Longman L. 2003. Oral ulceration. In: Tyldesley’s oral medicine 5th ed. Oxford: Oxford University Press. p. 52-58.

Field EA, Allan RB. 2003. Oral Ulceration – Aetiopathogenesis, Clinical Diagnosis And Management In The Gastrointestinal Clinic. Aliment Pharmacol Therapy. p. 949-962.

Flanagan M. 2002. Review: The Physiology of Wound Healing. Journal of Wound care. vol.9 (6)

Greenberg MS, Glick M, Ship JA. 2008. Burket’s Oral Medicine 11th ed. Hamilton: BC Decker inc. p 181.

69

Gurtner GC, 2007. Wound healing, normal and abnormal. In Thorne CH, Beasly RW

Hanani, Endang. Abdul Mun‟im dan Ryany Sekarin. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan Dalam spons callyspongia sp dari kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.3, Desember 2005, 127 – 133. ISSN : 1693-9883.

Haq, N. 2006. Jackfruit (Artocarpus heterophyllus). In J. T. Williams, R. W. Smith, & Z. Dunsiger Eds., Tropical fruit trees. Southampton, UK: Southampton Centre for Underutilised Crops, University of Southampton.

Humprey S, Williamson R. 2001. A review of saliva: Normal composition, flow, and function. The journal of Prosthetic Dentistry Vol. 85 (2): 162 – 169

Indranil C, Smriti R, Sadhan K. 2009. Anti-inflammatory Activity of a Protease Extracted from the Fruit Stem Latex of the Plant Artocarpus heterophyllus Lam. Jurnal Internasional Penelitian Sains dan Teknik. P. 70-72.

Joyce MB, Jane HH, 2005. Medical-Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes. Edisi 7 Volume 1. Elsevier Saunders: Universitas Michigan.

Junqueira, LC. 2007. Persiapan Jaringan untuk Pemeriksaan Mikroskopik. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC

Jusuf A., A. 2009. Histoteknik Dasar. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia.

Kartikasari, Herlina. 2016. Pengaruh Gel Ekstrak Etanol Daun Kamboja (Plumeria acuminate) terhadap Jumlah Limfosit pada Proses Penyembuhan Ulser Mukosa Rattus norvegicus. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Krinke, G. J. 2000. The Handbook of Experimental Animals The Laboratory Rat. Academy Press, New York. Pp. 45-50, 295-296.

Kumar R, Abbas A, Delancey A, Malone R, Cotran. 2010. Pahtologic Basis Of Disease. Edisi 8. Philadelphia: Saunders Elsevier

Kumar S, Singh A, Abidi A, Upadhyay R, Singh A. 1988. Proximate composition of jack fruit seeds. Journal of Food Science and Technology, 25, 308−309.

70

Kumar V, Abbas AK, Aster JC. 2013. Inflammation and Repair. Robbins Basic Pathology 9th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. p. 29-65

Madhavi Y, Ragahava, Kiran R. 2013. Studies on Phytocemical Analysis and Antimicrobial Activity of Arthocarpus heterophyllus fruit latex against selected pathogenic microorganisms. Jurnal Internasional Penelitian Sains dan Teknik. P. 1458-1468.

Nabavian R, Garner W. 2006. Normal Wound Healing. in Sood R & Achauer B M (eds) Burn Surgery, Philadelphia. p. 27-49

Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. 2009. Allergies and immunologic diseases. In: Oral and maxillofacial pathology 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. p. 285-290.

Nilda AT, Bialangi N, Suleman N. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Alkaloid dari Daun Alpukat (Persea Americana Mill). Gorontalo.

Patil M, Kandhare A, Bhise S. 2012. Pharmacological Evaluation of Ethanolic Extract of Daucus Carota Linn Root Formulated Cream on Wound Healing Using Excision and Incision Wound Model. Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine. S646-S655

Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery Ed.2. Canada : BC Dacker Inc. P. 3-6.

Purwanti, Rita. 2015. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Nangka [Internet]. [Place unknown]: Available from: http://pakaretani.blogspot.co.id/2016/05/klasifikasi-dan-morfologi-nangka.html. Diakses 12 Juli 2017

Redha, Abdi. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya Dalam Sistem Biologis. Jurnal Belian Vol. 9. 196 – 202.

Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2008. Oral pathology clinical pathologic correlations, 5th ed. St. Louise. Missouri: Saunders Elsevier. p85-90.

Reynertson, K. A., 2007, Phytochemical Analysis of Bioactive Constituens from Edible Myrtaceae Fruit, Dissertation, The City University of New York, New York.

Setianingtyas D., Hardiano I. K., Sarianoferni. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Ganggang Coklat (Paeophyceae) Jenis Sarrgassum sp. Terhadap Jumlah Limfosit pada Ulkus Traumatikus. Departement Ilmu Penyakit Mulut. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah.

71

Setianingtyas D., Hardiano I. K., Sarianoferni. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Ganggang Coklat (Paeophyceae) Jenis Sarrgassum sp. Terhadap Jumlah Limfosit pada Ulkus Traumatikus. Departement Ilmu Penyakit Mulut. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah.

Simbala, Herny E. I. 2009. Analisis Senyawa Alkaloid beberapa Jenis Tumbuhan Obat sebagai Bahan Aktif Fitofarmako.

Siswanto. 2015. Formulasi Sediaan Gel Serbuk Getah Buah Nangka (Artocarpus heterophyllus) dan Uji Efektivitasnya terhadap Staphylococcus aureus secara In Vitro. Jurnal Farmasi dan Ilmu Farmasi Universitas Pancasila.

Stefanus. 2015. Formulasi dan Uji Efektivitas Sediaan Gel Topikal Serbuk Kering Getah Buah Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) sebagai Antijerawat secara In Vivo. Jurnal Farmasi dan Ilmu Farmasi Universitas Pancasila.

Suhartati, T. 2001. Senyawa Fenol Beberapa Spesies Tumbuhan Jenis Cempedak Indonesia. (Disertasi). Bandung. Hal. 94.

Suling P.L., Tumewu E, Soerwantoro J. S., Damayanto A. Y. 2013. Angka kejadian lesi yang diduga sebagai Stomatitis Aftosa Rekuren pada mahasiwa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Jurnal Kedokteran Gigi

Sulistiawati, N.A.D.I. 2011. Pemberian Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe vera) Konsentrasi 75% Lebih Menurunkan Jumlah Makrofag Daripada Konsentrasi 50% dan 25% pada Radang Mukosa Mulut Tikus Putih Jantan. Tesis. Universitas Udayana Denpasar

Syekhfani. 2013. Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk). Malang: Universitas Brawijaya

Tandon et., al. 2000. Antioxidants and Cardiovascular Health. JK Science.

Theoret C. 2009. Tissue Engineering in Wound Repair: The Three”R”s-Repair, Replace, Regenerate. Veterinary Surgery; 38:905-913

Tizard IR. 2003. Veterinary Immunology: An Introduction. 6th Ed. W.B. Saunders: USA, Pennsylvania

Volgas DA, Harder Y. 2012. Manual of Soft Tissue Management in Orthopaedic Trauma. Thieme: New York. p.44

72

Wardhany II, Wimardhani YS, Soegyanto AI. Oral mucosal burn caused by topical application of 36% policresulen solution – a case series. J Int Med Dent Res 2016: 9(Special Issue); 387-91.

Werner S and Grose R. 2003. Regulation of wound healing by growth factor and cytokines. Physiol Rev 83, p: 835-70

Wicaksono, D. 2013. Nangka Bisa Membuat Perut Menjadi Kembung. [Internet]. [Place unknown]: Available from: http://buahsehat-alami.blogspot.com/2013/10/nangka-bisa-membuat-perut-menjadi.html. Diakses 12 Juli 2017