STRATEGI PENERIMAAN MAHASISWA BARU AKADEMI KEBIDANAN MAMBAUL
penerimaan diri kelompok transgender
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of penerimaan diri kelompok transgender
PENERIMAAN DIRI KELOMPOK TRANSGENDER
MELALUI BIMBINGAN KEAGAMAAN
(Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa
Yogyakarta)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
KHOERUN NISA
NIM. 11150520000011
PROGRAM STUDI
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2021 M
i
ABSTRAK
Khoerun Nisa, NIM: 111505200000011, Penerimaan Diri
Kelompok Transgender Melalui Bimbingan Keagamaan
Studi Kasus Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Daerah
Istimewa Yogyakarta, di bawah bimbingan Suparto, M.Ed,
P.hd, 2021 Pondok pesantren waria Al-Fatah berfungsi sebagai penghubung layanan
jejaring dan advokasi untuk komunitas waria dan institusi lainnya, juga
menjadi salah satu pusat sosial dan pendidikan utama untuk komunitas waria
di Yogyakarta. Dalam konteks penerimaan diri yang dialami oleh santri waria
di pondok pesantren waria al-fatah adalah dengan menerima keadaan dirinya
dan bimbingan keagamaan yang didapatkan dapat menggerakan bathiniyah
dan lahiriyah untuk menjadi insan yang baik, dimana individu tersebut
merupakan makhluk yang beragama dan makhluk sosial pada umumnya.
Tujuan dari penelitian ini yakni, mengetahui proses penerimaan diri pada
kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan dan metode yang
digunakan dalam bimbingan keagamaan. Penelitian ini menggunakan
metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Sumber
data penelitian ini adalah sumber data primer yang terdiri dari; Pembina,
pengasuh, pembimbing agama, santri waria, dan warga. Sumber sekundernya
yaitu berupa buku-buku, jurnal, serta tindakan objek penelitian yang diamati.
Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dalam bentuk observasi,
wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisa data, bahwa bimbingan
keagamaan merupakan faktor penting dalam proses penerimaan diri santri
waria. Dengan menggunakan spiritual method and group guidance serta
metode direktif, yang dikemas melalui kitab bulughul marom dan bidayatul
hidayah oleh pembimbing agama di Pondok Pesantren Waria Al-fatah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Kata Kunci: Bimbingan Keagamaan, Penerimaan Diri,
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulilaahirabbil’alamin, berkat rahmat dan anugerah-Nya
penulis diberikan kekuatan dan kesehatan sehingga dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Penerimaan
Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan Keagamaan
(Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah Daerah Istimewa
Yogyakarta)” dengan lancar. Shalawat teriring salam semoga
tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta
pengikutinya di akhir zaman.
Dalam proses penyelesaian skripsi, penulis mengucapkan
banyak syukur, karena masih diberikan kesempatan untuk
menyelesaikannya, dan penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penelitian karya ilmiah ini. Dengan sangat
terbuka, mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
dan bermanfaat, sehingga penulis dapat mengembangkan ilmunya
dan memperbaiki kesalahan yang ada di kemudian hari.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian penelitian ini tidak
semata-mata hasil kerja sendiri, melainkan berkat bimbingan dan
dorongan dari pihak-pihak yang telah membantu dalam proses
menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan kali ini
dengan segala kerendahan hati dan cinta, peneliti mengucapkan
terima kasih kepada Alm. Ayanhanda Ahmad Fauzan dan Ibu
Magfiroh yang telah menghantarkan peneliti untuk menempuh
pendidikan sampai pada titik ini. Oleh karenanya, izinkan peneliti
mengucapkan banyak terima kasih kepada;
iii
1. Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi sekaligus pembimbing skripsi dan
juga Dosen Penasehat Akademik selama penulis
menempuh studi di Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan
Islam kelas A angkatan 2015, Dr. Siti Napsiyah, S.Ag,
BSW, MSW selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr.
Sihabuddin N, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum, Drs. Cecep Castrawijaya, M.A
selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni,
dan Kerjasama Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
2. Ir. Noor Bekti Negoro, SE. M.Si selaku Ketua Program
Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam dan Artriani
Puspita Arwan, M.Psi selaku Sekertaris Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam.
3. Seluruh Dosen dan Staff di lingkungan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tengah mendidik dan
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama
menempuh pendidikan di UIN Syaarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tengah memberikan
fasilitas untuk mendapatkan referensi dalam menyusun
skripsi ini.
5. Civitas Akademika dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang tengah menerima saya sebagai mahasiswa
iv
dan memberikan banyak pengalaman akademik, non
akademik sehingga saya menjadi insan yang baik.
6. Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan wadah untuk peneliti dalam menambah
wawasan dalam berbagai ilmu serta menyuguhkan buku-
buku yang menarik.
7. Keluarga besar penulis di Pemalang, Jakarta, yang selalu
memberikan dukungan moril maupun materil sehingga
peneliti mampu melewati semua kesulitan selama
penyusunan skripsi.
8. Kepada Guru-guru penulis yang telah memberikan nasihat
dan referensi dalam penyelesaian penelitian.
9. Beasiswa Bidikmisi yang tengah menjadi sponsor utama
dalam biaya pendidikan penulis.
10. Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fatah Daerah
Istimewa Yogyakarta, yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melaksanakan penelitian, menerima penulis
dengan sangat baik, dan membantu penulis dalam
memberikan informasi serta menyediakan waktu untuk
penulis.
11. Seluruh keluarga besar BPI 2015, 2014, 2013 maupun
senior (tidak disebutkan namanya satu-persatu) namun
tidak mengurangi rasa hormat dan kasih saya kepada
sahabat semuanya, tentunya memberikan support motivasi
kepada penulis.
12. Reading Volunteer Indonesia tengah mengajarkan banyak
hal dari literasi sampai sustainability dari tahun 2013
v
sampai seterusnya dan bersama dalam menggagas Desa
Literasi.
13. Keluarga besar PMII Komisariat Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi dan Cabang Ciputat serta KOPRI
sahabat-sahabati dari berbagai komisariat telah
memberikan penulis segi pengalaman organisasi, saling
menghargai.
14. Keluarga besar Ikatan Remaja Masjid Fathullah, kanda,
yunda, teman-teman, dan adik-adik saya yang saya
sayangi.
15. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang
Jakarta yang saya sayangi dan saya banggakan.
Semoga semua bantuan dan perhatian kepada peneliti dapat
mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT. Dan apa yang
menjadi hajat baik mendapat ridho dan keberkahan dari Allah
SWT. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini membutuhkan
kredibilitas melalui kritikan dan saran yang membangun dari
berbagai pihak. Sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca dan semua pihak khususnya dalam bidang
Bimbingan dan Penyuluhan Islam.
Jakarta, 11 Maret 2021
Khoerun Nisa
NIM: 11150520000011
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................... vi
DAFTAR TABEL ..................................................................... iix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 18
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 19
D. Manfaat penelitian ............................................................. 20
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................ 21
F. Metodologi Penelitian ........................................................ 32
G. Kerangka Berpikir ............................................................. 50
H. Sistematika Penulisan ........................................................ 52
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penerimaan Diri ................................................................. 53
1. Definisi Penerimaan Diri .......................................... 53
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri57
3. Aspek-aspek Penerimaan Diri .................................. 59
4. Ciri-ciri Penerimaan Diri .......................................... 60
5. Tahapan Penerimaan Diri ......................................... 63
6. Dampak Penerimaan Diri ......................................... 64
B. Transgender ...................................................................... 65
C. Bimbingan Keagamaan .................................................... 79
vii
1. Pengertian Bimbingan .............................................. 80
2. Landasan Bimbingan Keagamaan ............................ 84
3. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Keagamaan ............. 85
4. Metode Bimbingan Keagamaan ............................... 90
5. Prinsip Bimbingan Keagamaan ................................ 98
6. Dimensi Religiusitas/Keagamaan Dalam Bimbingan
Keagamaan ............................................................... 99
D. Religiusitas/ Keagamaan Kelompok Transgender di
Pondok Pesantren al-fatah DIY ............................................. 102
BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-
FATAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
A. Profil dan Sejarah Pondok Pesantren Al-Fatah DIY ...... 111
B. Visi, Misi, dan Tujuan .................................................... 118
C. Struktur Organisasi ........................................................ 119
D. Program Kerja Pondok Pesantren Al-Fattah DIY .......... 123
E. Jadwal Rutin Mingguan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta ............................................................................ 125
F. Jadwal Kegiatan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta ............................................................................ 126
G. Fasilitas Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta127
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Data Informan ................................................................ 129
B. Hasil Temuan Lapangan ................................................ 155
BAB V PEMBAHASAN
A. Metode Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren
Waria Al-Fatah Daerah Istimewa Yogyakarta .......... 187
viii
B. Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui
Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren Al-Fatah
Daerah Istimewa Yogyakarta .................................... 194
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan .................................................................... 198
B. Implikasi .................................................................... 199
C. Saran .......................................................................... 200
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Populasi Transgender di Indonesia
Tabel 1.2 : Komunitas / Pesantren Waria
Tabel 1.3 : Kegiatan Observasi
Tabel 2.1 : Materi Kajian Pembinaan
Tabel 2.2 : Kegiatan yang dilaksanakan di Pondok Pesantren
Waria Al-Fatah Yogyakarta
Tabel 3.1 : Perbedaan Pesantren Waria dan Pesantren Umum
Tabel 3.2 : Struktur Organisasi
Tabel 3.3 : Program Kerja Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta
Tabel 3.4 : Materi Bimbingan Keagamaan
Tabel 3.5 : Jadwal Rutin Kegiatan Mingguan Pondok Pesantren
Waria Al-Fatah Yogyakarta
Tabel 3.6 : Kegiatan Hari Minggu Sore Pondok Pesantren
Waria Al-Fatah Yogyakarta
Tabel 3.7 : Fasilitas Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta
Tabel 4.1 : Data Informan Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang; unik, menarik, dan
sangat penting dipelajari, sehingga dapat menemukan
perbedaan manusia itu sendiri.1 Melalui keturunan-keturunan
yang membuat manusia berkembang, membangun peradaban,
dan komunitas berdasarkan demografi, kepercayaan, ideologi,
dan lain sebagainya. Penciptaan manusia oleh Allah SWT
yaitu diberikannya dua jenis kelamin atau seks perempuan
dan laki-laki yang difitrahkan sejak manusia dilahirkan.2
Kata seks berasal dari bahasa Yunani, secare, yang artinya
“memisahkan”. Secara harfiah, seks diartikan sebagai
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, sedangkan
kata seksualitas merupakan komponen yang meliputi seks itu
sendiri, meliputi segala hal yang ada di diri manusia; dari hal
yang paling sederhana seperti cara berpakaian, berperilaku,
dan lain-lain. Hal ini terbentuk dari kecil hingga dewasa dalam
diri manusia.3
1 Mukti, Ali (ED), “Agama-agama di Dunia”. (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988) hal. 56 2 Mukti, Ali (ED), “Agama-agama di Dunia”. (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988) hal. 56 3 FX. Rudy Gunawan, Filsafat Sex (Yogyakarta: Bentang, 1993), hal.
9
2
Dalam buku Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan
Implementasi, Musdah Mulia membagi empat klasifikasi
golongan manusia secara seks dan gender melalui ilmu fiqih,
yakni; perempuan, laki-laki, khuntsa (waria, atau seseorang
yang memiliki alat kelamin ganda disebut khuntsa musykil)-
dan munkhannis (laki-laki secara biologis, namun
mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menginginkan
pergantian kelamin) atau mukhannats (secara biologis laki-laki
tetapi tidak ingin mengubah jenis kelaminnya).4 Di dunia
modern, jenis kelamin ini diidentifikasi sebagai seks. Manusia
kemudian mengelompokkan diri, seks perempuan atau laki-
laki.
Teori psikoanalisis Sigmund Freud;5 yang dijelaskan
Alwisol dalam buku Psikologi Kepribadian, menjelaskan
struktur kesadaran terpenting dari jiwa manusia dalam
penelitian freud yaitu, unconsciousness. Freud membuktikan,
bahwa ketidaksadaran bukanlah sebuah abstraksi hipotetik,
melainkan sebuah kenyataan empirik. Pada kenyataan empirik,
ketidaksadaran memiliki tiga komponen utama; insting,
impuls, drives yang terbawa sejak lahir, dan pengalaman-
4 Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan
Implementasi. (Yogyakarta: Naufan pustaka, 2010) hal.292 5 Alwisol. Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009) hal.
13
3
pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang
ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah tak-sadar.6
Kaitannya dengan seks, Sigmund Freud membedah dua
jenis insting yaitu; insting mati (death instinct) dan insting
hidup (life instinct). Penting untuk diketahui bahwa life
instinct yang disebut juga Eros adalah dorongan menjamin
survival dan reproduksi, seperti; lapar, haus, dan seks.7
Penjelasan lebih dalam pada teori ini yaitu Freud
mengasumsikan bahwa setiap orang lahir dalam keadaan
biseksual (setiap orang memiliki hormon seks pria-wanita)
mempunyai rasa tertarik pada jenis kelamin yang sama dan
yang berlainan. Sigmund Freud menjelaskan bahwa adanya
perubahan pada masa dewasa akan terlihat penyebabnya pada
masa kecil dengan melihat pengalaman atau kebiasan yang
biasa dilakukan atau sebuah traumatik.
Melengkapi pengertian adanya perubahan perasaan pada
jenis kelamin yang berbeda, buku Menguak Stigma dan
Diskriminasi mengartikan seksualitas yaitu; semua hal yang
terkait dengan seks atau jenis kelamin manusia sehingga dapat
diartikan bahwa seksualitas merupakan isu yang tidak berdiri
sendiri dan tidak lepas dari pengaruh sejarah, sosial, budaya,
hukum, agama, etika, ekonomi, dan politik.8
6 Alwisol. Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009) hal. 14
7 Alwisol. Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009) hal. 19
8 Laazulva, Indana. Menguak Stigma dan Diskriminasi (Jakarta: Arus
pelangi, 2013), hal. 17
4
Musdah Mulia juga menganalisa arti dari seksualitas
adalah hal yang positif dan berhubungan dengan jati diri
seseorang serta kejujuran seseorang terhadap dirinya.9
Arif Nuh Safri memaparkan dalam bukunya Keragaman
Gender dan Seksualitas, dalam memandang dan menyikapi
keragaman gender dan seksualitas atau LGBTI, harus
mengutamakan idealitas Tuhan—Yang Maha Cinta dan Kasih.
Dalam Al-Qur’an pun tidak disebutkan tentang hal ihwal
keragaman gender dan seksualitas.10
Sampai pada perilaku pun jenis kelamin diselaraskan
dengan konstruksi sosial yang dibangun di lingkungannya
tentang bagaimana seorang laki-laki dan perempuan
seharusnya bersikap, berpenampilan, berperilaku, dan
sebagaimana Foucault mengatakan bahwa seksualitas adalah
konstruksi sosial.11
Menurut pandangan Butler, dalam bab
kerangka heterosexual matrix, jenis kelamin kita sudah
ditentukan secara biologis. Buku Judith, P. Butler yang
berjudul Gender Trouble (Feminism and the Subversion of
Identity, menjelaskan secara substansial tentang gender laki-
laki, perempuan, dan interseks.
9 Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan
Implementasi. (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hal. 285 10
Safri, Nuh, A. Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas
(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam). (Yogyakarta: Lintang Books, 2020) hal. 22 11
Laazulya, Indana. Menguak Stigma Kekerasan dan Diskriminasi.(
Jakarta : Arus A. Pelangi, 2013) hal. 17
5
Bab akhir dalam buku Butler tertulis yaitu dengan
menyuguhkan referensi tentang heteroseksualitas, yaitu yang
terjadi pada salah satu filsuf adalah Michel Foucault tentang
kisah hidup Herculine Barbin saat itu pada tahun 1838-1868.
Barbin adalah seorang interseks yang diperlakukan sebagai
seorang perempuan setelah kelahirannya dan orang tuanya
memberi nama Alexina.
Butler berpandangan bahwa tidak adanya kondisi alamiah
bagi manusia selain penampakan tubuhnya. Seks, gender
maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Hal ini
dapat dicontohkan melalui fenomena transeksual, seorang
yang mengubah kondisi alamiahnya. Maka ditinjau dari
pemikiran Judith Butler; transgender bukanlah suatu
penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas
manusia yang didasarkan pada tindakan performatif.12
Di samping penelitian dari Butler, pada tahun 2014
National Health Interview Survey Amerika Serikat melakukan
survei kepada LGBT sebanyak 69.000 partisipan, diantaranya;
67.150 heteroseksual, sebanyak 69.000 partisipan,
diantaranya; 67.150 heteroseksual, 522 lesbi, 624 gay, dan 515
biseksual. Rata-arat usia partisipan yaitu pada umur 47 tahun.
Hasil survei menjelaskan bahwa; terdapat 91% yang
melakukan lesbiyan memeiliki resiko kesehatan yang buruk
12
Judith, P. Butler, Gender Trouble (Feminism and The Subversion
Of Identity. (New York, United States of America: Routed, 1990), hal 96
6
bagi perempuan heteroseksual, dan pada pria gay serta
biseksual memiliki peningkatan resiko pengidap stress dan
masalah kejiwaan lebih tinggi 26% dan 40%, dan pria
heteroseksual 17%.13
Lalu bagaimana kaum transgender mengidentifikasi
dirinya di negara multikultural seperti Indonesia. Indonesia
merupakan Negara religius dengan keragaman agama dan
budaya yang didalamnya terdapat orientasi seksual.
Transgender adalah istilah yang ditujukan kepada
identitas gender seseorang yang tidak mengubah jenis
kelaminnya yang diperoleh sejak lahir. Istilah transgender di
Indonesia dikenal dengan istilah waria. Pada daerah tertentu
dapat ditemukan istilah; wandu, wadam, bencong, dan
calabai.14
Beberapa daerah di Indonesia sudah mengenal
homoseksual dengan berbagai nama, dan keberadaan
transgender atau biasa disebut dengan waria di Indonesia
bukanlah hal yang baru—sebab waria atau homoseksual
sudah banyak ditemukan dalam tradisi lokal di masyarakat.
13
Nafisah, Mumluatun. Respon Al-qur’an Terhadap Legalitas Kaum
LGBT. Jurnal Studi Al-Qur’an, vol.15, No. 1, Tahun 2019.
DOI:doi.org/10.21009/JSQ.015.1.04 hal. 87. Dikutip pada hari Selasa, 26
April 2021, pukul 01.20 WIB 14
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi
Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.6
7
Hal tersebut ditandai dengan kegiatan seni, ritual
kebatinan, perdukunan dalam masyarakat.15
Contoh di Jawa
pelembagaan homoseksualitas dikenal juga pada hubungan
warok-gemblak terutama di Ponorogo. Sang warok (laki-laki
dewasa) memelihara gemblak-nya (laki-laki remaja)
berdasarkan kontrak dengan orang tua gemblak (berupa
pemberian sapi, misalnya). Ia melakukannya hal itu demi
ilmu kesaktian (kanuragan) yang mewajibkan menjauhi
wanita.16
Berbagai pandangan di masyarakat mengenai waria atau
transgender ini masih bergantung pada; agama, latar belakang
budaya, kelompok sosial, media, keluarga, pergaulan sebaya,
gender dan interaksi dengan individu waria atau transgender.
Penolakan dan penerimaan masyarakat masih bergantung
pada faktor-faktor di atas.17
Pada fenomena sosial ini, agama-agama akan diminta
menjawab dengan pertanyaan bagaimana hukumnya
keragaman gender dan seksualitas atau lainnya. Dalam agama
Islam akan dibenturkan dengan kitab suci Al-Qur’an, begitu
pun agama Kristen yang sudah dijelaskan dalam Al-Kitabiah;
15
Oetomo, Dede. Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional
Indonesia. (Indonesia: USAID dan UNDP, 2013), hal 18. 16
Oetomo, D. Memberi Suara Pada yang Bisu (Yogyakarta: Pustaka
Marwa, 2003), hal. 17-18 17
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi
Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.2
8
yang dikhutbahkan oleh Pendeta Emmanuel Gerrit Singgih,
bahwa penolakan atas keragaman gender dan seksualitas atau
LGBTI.18
Sama halnya dijelaskan dalam Agama Islam yang
melarang tegas perilaku menyimpang ini, karena tidak sesuai
dengan fitrah manusia, dalam penelitian Dampak LGBT dan
Antisipasinya mengambil QS. Asy-Syura ayat 165-166
sebagai penjelasan dan Allah SWT berfirman:
خلق لكم ربكم وتذرون ما ال أتتون الذكران من العالمي من أزواجكم بل أن تم ق وم عادون
Dalam perspektif Islam lain, yang dijelaskan dalam buku
Keragaman Gender dan Seksualitas (Sebuah Tafsir
Kontekstual islam), Tafsir al-Jailani dalam QS. Al-Baqarah
ayat 111;
وا ل ا ق و و أ ا ود ه ن ا ن ك م ال إ لنة ا ل خ د ي ن لم ت ن ن ك إ م ك ن ا ره ب وا ت ا ه ل ق م ه ي ن ا م أ ك ل ت رى ا ص ن
ي ق د ا .صDan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali
tidak akan masuk surge kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikia itu hanya
angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah,
18
Safri, Nuh, A. Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas
(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam). (Yogyakarta: Lintang Books, 2020) hal. 6-
7
9
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah
orang yang benar.”19
Jauh dari pandangan negatif dari sebagian masyarakat di
Nusa Tenggara Timur, yang memiliki Bunda Mayora menjadi
Badan Perwakilan Daerah di Kabupaten Sikka, Yokabus,
Maumere. Di Pondok Pesantren Al-Fatah juga memiliki mbak
Arum sebagai pemiliki shibori, mbak Jessika sebagai peneliti
di Solidaritas Perempuan, dan lain sebagainya yang tertuang
dalam buku “Santri Waria”.
Selanjutnya untuk populasi transgender di Indonesia
belum diketahui secara jelas. Berbeda jika dilihat dari
populasi grafik penduduk yang terkena HIV/AIDS yang
biasanya ditujukan pada transgender. Namun pada
kenyataannya, tidak semua transgender terkena virus
HIV/AIDS. Dalam buku laporan kajian LGBT yang disusun
oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, pada tahun 2015, menemukan data transgender yang
ada di Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa Negara menjamin keadilan sosial
bagi semua rakyat dan melaksana-kan hak asasi kepada
semua rakyat tanpa terkecuali (inklusif). Selain itu, pengakuan
hak asasi manusia juga telah disahkan dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang
19
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-
Baqaray ayat 111, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal. 17
10
Hak Asasi Manusia.20
Dalam hal ini penerimaan sikap sosial
dan religiusitas berpengaruh dalam meningkatkan
kesejahteraan seseorang.21
Tabel 1.1 Populasi Transgender di Indonesia
Tahun Keterangan
Antara
2002-2009
Pada tahun ini, peningkatan transgender secara
bermakna.22
2005-2008 400.000 – 6.000.000 jiwa23
2009-2012 Tidak ada peningkatan bermakna. Populasi ini
tidak mengacu pada jumlah tetap, namun dari
data waria rawan terdampak HIV, jumlah waria
diperkirakan mencapai 597.000 orang,
sedangkan lelaki yang seks dengan lelaki
temasuk biseksual, mencapai lebih dari
1.000.000 orang—data Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014. Pada tahun yang
20
Papilaya, J. O, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dan
Keadilan Sosial. Journal: volume III, No, 1, 2016 hal. 028. Dikutip pada hari
Rabu, 02 Oktober 2019 pukul 14:27 wib. 21
Fokta, R. H. Contribution of religious coping and social support to
the subjective well-being of Israeli Muslim parents of children with cancer: a
preliminary study. Journal of Health and Social Work 40, 2015, hal. 83-91
dalam skripsi Subjective Well-being Pada Waria Al-Fattah oleh Priskilla
Novariza Mboeik. Dikutip pada hari sabtu, 7 September 2019, pukul 15.00
WIB 22
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi
Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.2 23
Mboeik. Novariza. P. Subjective Well Being Pada Waria Di
Pesantren Al-Fattah. (Skripsi: Universitas Kristen Satya Wacana, 2017) hal. 1
Dikutip pada 14-02-2021 pukul 08.53 WIB
11
sama, jumlah yang menggunakan prevalensi
dari populasinya mencapai 3 juta.
2019 Hasil yang dilansir oleh Indonesian Times,
pada pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden mencapai 5.000.000 orang.24
Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Anak Republik Indonesia
Membicarakan religiusitas tentu lebih dalam
dan mendasar dari pada membicarakan religion atau
agama. Membicarakan religiusitas adalah
membincang tentang nilai-nilai spiritualitas yang
sifatnya universal, hakikatnya mempelajari nilai-nilai
yang ada dalam semua agama. Sehingga untuk
menjadi manusia religius harus memiliki kesadaran
atas keragaman keyakinan, serta keragaman lain
yang ada di muka bumi ini—yang berujung pada
peninggian dan pengangkatan nilai-nilai
universalitas, yaitu kemanusiaan. Bagaimana pun
24
https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/news/indonesia/
amp/vanny-rahman/ada-lima-juta-transpuan-kemana-arah-politiknya-dalam-
pilpres-1. Dikutip pada hari jumat, 13 desember 2019 pukul 14:56 WIB
12
juga, seluruh agama hadir dan turun untuk manusia
dan kemanusiaan itu sendiri.25
Pada penelitian kali ini, transgender yang
ditujukan yakni transgender wanita-pria (waria) di
pondok pesantren al-fatah waria Yogyakarta.
Sebelum pada pembahasan selanjutnya, peneliti
melakukan trakking beberapa komunitas waria yang
sudah melaksanakan bimbingan keagamaan seperti
halnya di pondok pesantren waria al-fatah:
Tabel 1.2 Komunitas/Pesantren Waria
Nama Komunitas Daerah Jadwal
Bimbingan
Pondok Pesantren
Waria Al-fatah
Daerah Istimewa
Yogyakarta
Hari minggu
dan hari lainnya
jika ada
kegiatan
Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah
(Pengajian al-ikhlas)
Sukorejo,
Situbondo, Jawa
Timur
Jum’at manis
Lembaga Swadaya
Masyarakat Kebaya
(khusus untuk orang
sudah jompo)
Daerah Istimewa
Yogyakarta
Selasa setiap
minggu
Rumah Singgah Waria
Anak Raja
Depok, Jawa Barat Kamis setiap
minggu
Pesantren ini merupakan ruang sosial masyarakat yang
berdiri di tengah masyarakat, sebagai tempat atau ruang untuk
25
Safri, Nuh A. Memahami Keragaman (Gender dan Seksualitas),
Sebuah Tafsir Kontekstual Islam, (Yogyakarta: Lintang, 2020) hal. 16
13
beribadah. Perlu diyakini bahwa setiap makhluk memiliki
motif teogenetis, sekalipun orang yang dianggap menyimpang
dari tatanan jenis kelamin. Interaksi manusia dengan Tuhan
seperti yang terwujud dalam ibadahnya dan dalam
kehidupannya sehari hari, dimana dapat merealisasikan
norma-norma agamanya sesuai dalam kitab sucinya, dll.26
Pada tahun 2008 sampai tahun 2020, transgender atau
waria yang berdomisili di Yogyakarta dan bergabung di
pondok pesantren senin-kamis atau al-fatah, artinya santri
tersebut sudah menerima dirinya sendiri untuk; belajar
keagamaan, bersosialisasi, dan beraktivitas lainnya yang
tergabung dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh
Hurlock; semakin baik seseorang dapat menerima dirinya,
maka akan semakin baik pula penyesuain diri dan
sosialnya.27
Bukan menjadi pesantren yang dijadikan wadah sebagai
perubahan santri waria menjadi laki-laki kembali, namun
pesantren ini merupakan ruang sosial masyarakat; dimana
santri dapat beraktivitas dengan hal positif, berkarya,
mengubah dirinya menjadi lebih baik—dari segi pekerjaan,
dan juga tempat dirinya bertemu dengan Tuhan kembali.
Penerimaan yang dimaksudkan dalam penelitian yakni, santri
26
W.A. Gerungan. Psikologi Sosial (Bandung: PT Refika Aditama,
2010) cet ke-3, hal. 155 27
Hurlock, E.B. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih Bahasa: Thandrasa
& Zaikasih). (Jakarta: Erlangga) hal.276
14
waria menerima dirinya atas potensi yang dimiliki, sehingga
dari potensi yang dimiliki dapat dimanfaatkan dengan baik.
Melalui bimbingan keagamaan, pembimbing dapat
memberikan arahan dalam bimbingan agama yang
dilaksanakan.
Dalam buku Psikologi Sosial, menyebutkan bahwa;
motif manusia merupakan dorongan, keinginan, hasrat, dan
tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya
untuk melakukan sesuatu. Motif-motif itu memberikan
tujuan dan arah kepada tingkah laku.28
Pada dasarnya setiap
manusia diberikan fitrah yaitu memiliki perasaan atau
spiritualitas terhadap Tuhannya. Surat Az-Zariyat ayat 56
menjelaskan dalam firmanNya yaitu;
نس إال لي عبدون وما خلقت ٱلن و ٱلArtinya: “Aku tidak menciptakan Jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”29
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia baik
laki-laki maupun perempuan sekalipun itu waria, memiliki
kewajiban untuk mengabdi kepada Allah swt, di manapun
dan kapanpun manusia itu berada dan selama ia telah
memenuhi syarat untuk melaksanakan kewajiban serta
28
W.A. Gerungan. Psikologi Sosial (Bandung: PT Refika Aditama,
2010) cet ke-3, hal. 152 29
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Az-
Zariyat ayat 56, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 523
15
mengabdikan diri kepada Allah swt. Wujud pengabdian
manusia kepada Allah SWT ini termanifestasikan dalam
bentuk ibadah kepada Allah swt sebagai pencipta seluruh
alam.30
Pondok Pesantren Al-Fatah dalam membentuk dan
melakukan kegiatan secara khusus memiliki 3 pilar yang
menjadi acuan. Pertama, mendidik waria supaya menjadi
pribadi yang baik untuk agama, keluarga, dan Negara juga
mendampingi santri dalam masalah pekerjaan dengan
diarahkan ke pekerjaan yang lebih baik seperti menjadi Make
Up Artist (MUA), salon, urut, berdagang, dll.31
Menjadi ruang sosial di tengah masyarakat, yang
dijadikan jembatan bagi santri untuk coming out dirinya dan
mengubah dirinya menjadi lebih baik; dari sisi keagamaan,
kesehatan mental, pekerjaan, atau bisa disebut dengan tempat
networking bagi santri waria untuk berkontribusi di tengah
masyarakat. Lalu bagaimana bimbingan keagamaan ini
menjadi bagian proses dari penerimaan diri santri?
Menanggapi hal tersebut, Prayitno dan Erna Anti32
memberikan garis bawah, bahwa bimbingan adalah proses
30
Safri, A. N. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Yogyakarta:
Journal Esensia. (UIN Sunan Kalijaga: Pusat Pengembangan Bahasa), Vol.15,
No. 2, September 2014. Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, 55281, Indonesia.
[email protected]. Dikutip pada Minggu, 05 Mei 2019, 18:39 WIB 31
Shinta Ratri. (2019, februari 09, pukul 17.00 WIB) Wawancara
dengan Shinta Ratri pengasuh pondok pesantren Al-Fattah DIY 32
Prayitno dan Erman Anti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling
(Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 99
16
pemberian bantuan yang dilakukan orang yang ahli kepada
seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak,
remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat
mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri
dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang
ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang
berlaku.33
Religiusitas atau keagamaan diwujudkan dalam berbagai
sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya
terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual
(beribadah), tetapi juga melakukan aktivitas) yang tak
tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Perbedaan
konstruksi antara dunia realitas empiris dan agama; tidak
semua waria dapat menghadapinya, justru banyaknya kasus
waria, yang cenderung menarik diri dari lingkungan atau
meninggalkan dari kehidupan agama.34
Namun, berbeda dengan transgender yang ada di pondok
pesantren al-fatah; justru dari 42 santri waria ini menunjukan
kesadaran spiritualitasnya dan membutuhkan ruang yang
dijadikan proses penerimaan diri, sehingga dapat melakukan
hal-hal positif tanpa terbebani oleh identitas dirinya sebagai
waria atau transgender. Dalam hal ini mereka juga memiliki
33
Prayitno dan Erman Anti . Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling
(Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 99 34
Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: LKiS, 2004) hal.
120-121
17
hasrat religiusitas untuk mengekspresikan kehidupan
beragamanya.
Sebelum menjadi pondok pesantren, ruang ini sudah
menjadi sanggar tari dan tempat perkumpulan waria atau
transgender. Selain itu juga aktif dalam membuat kegiatan
sosial. Menariknya, kesadaran menjadi waria juga disadari
oleh beberapa waria dan mereka membutuhkan kedekatan
diri dengan Tuhannya atas kesadaran diri sebagai makhluk.
Maryani selaku senior dari 30 waria saat itu tahun 2008
dibantu oleh K.H. Hamrolie membentuk pondok pesantren
Al-Fattah bertujuan untuk belajar Al-Qur’an, jilid (kitab
huruf hijaiyah), siraman rohani, konseling dari segi (Agama,
permasalahan pribadi, pekerjaan), dan kegiatan workshop
dari berbagai universitas.
Adanya dukungan dari beberapa institute hukum
(Kepolisian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga
Badan Hukum, Komnas Perempuan, dll), institut pendidikan
(Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Universitas Negeri Surakarta, dll), dan dukungan
lainnya sehingga pondok pesantren waria kembali
beraktifitas seperti biasanya sampai sekarang ini.
Shinta Ratri sebagai ketua Pondok Pesantren Al-Fattah
menyatakan bahwa adanya pondok pesantren yang memiliki
visi kepada santrinya supaya terbentuk menjadi pribadi santri
waria atau transgender yang bertanggung jawab terhadap
agama, keluarga, dan Negara. Kabar baik untuk Shinta Ratri
mendapatkan penghargaan dari Republik Dominika, Tunisia,
18
Rusia, dan Malawi members of line defe defenders sebagai
Pembela Hak Asasi Manusia berisiko tinggi dari pada hari
Jumat, 19 Juli 2019.
Bersama para ustadz serta pihak-pihak yang melindungi
ataupun sebagai institusi pendukung, harapan dan tujuannya
agar pondok pesantren Al-Fattah ini tetap ada dan dijadikan
wadah bagi transgender atau waria dengan tajuk mereka
untuk aktif dalam kegiatan masyarakat, mengubah profesi
pekerjaan menjadi lebih baik, dan tidak lupa untuk
memperbaiki diri yaitu dengan beribadah kepada Allah swt.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka
penulis mengambil penelitian dengan judul “Penerimaan
Diri Kelompok Transgender melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi kasus Pondok Pesantren Al-Fattah
Daerah istimewa Yogyakarta)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi
pembahasannya pada Penerimaan Diri Kelompok
Transgender melalui Bimbingan Keagamaan di Pondok
Pesantren Al-Fatah Yogyakarta meliputi:
a. Penelitian ini fokus pada penerimaan diri
kelompok transgender melalui bimbingan dan
keagamaan; penerimaan yang dimaksud yakni,
santri waria menyadari potensi dirinya. Berdirinya
19
Pondok Pesantren Al-fatah ini, merupakan suatu
ruang sosial masyarakat; sebagai wadah beribadah
dan bergerak ke hal positif, seperti yang dilakukan
oleh masyarakat lainnya.
b. Penelitian ini fokus pada metode bimbingan
keagamaan dalam bentuk dimensi peribadatan atau
praktik Agama yang dilakukan oleh transgender
atau waria yang diberikan oleh pembimbing
kepada pada kelompok transgender di Pondok
Pesantren Al-Fatah Yogyakarta
c. Penelitian ini membatasi subjek pada 2 santri yang
mukim dan non mukim, 2 secondary informan
yang merupakan transgender dan 1 pembimbing
Agama, 1 Pembina dan 1 pengasuh Pondok
Pesantren, 2 warga di Pondok Pesantren Waria Al-
Fatah Yogyakarta
2. Rumusan Masalah
a. Metode apa yang digunakan dalam bimbingan
keagamaan di Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah
Istimewa Yogyakarta?
b. Bagaimana penerimaan diri kelompok transgender
melalui Bimbingan Keagamaan di Pondok
Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
20
1. Mengetahui metode bimbingan keagamaan terhadap
penerimaan diri kelompok transgender di Pondok
Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta
2. Mengetahui proses penerimaan diri pada kelompok
transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok
Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta
D. Manfaat penelitian
1. Penelitian ini sebagai salah satu persyaratan data
memperoleh gelar sarjana (S1)
2. Bagi akademisi diharapkan dapat memperkaya sumber
informasi, memberikan sumbangsih keilmuan dalam
proses kegiatan akademik tentang keilmuan
penerimaan diri dan bimbingan keagamaan, terutama
sebagai referensi penelitian-penelitian selanjutnya.
Diharapkan insan akademisi untuk menggali informasi
dan menjadi penengah diantara isu transgender yang
kenyataannya masih membutuhkan bimbingan
keagamaan atau religiusitas.
3. Manfaat penelitian secara teoritis, diharapkan dapat
bermanfaat bagi peneliti untuk mengembangkan ilmu
yang telah didapatkan di bangku perkuliahan,
khususnya pada mata kuliah di Jurusan Bimbingan
Dan Penyuluhan Islam, karena pendidikan menjadi
pendamping dari sustainability (berkepanjangan) pada
perkembangan dan pengaplikasian keilmuan di
masyarakat.
21
4. Manfaat praktisi, diharapkan dapat memberikan
referensi pengembangan dan upgrade mengenai
metode bimbingan agama di pondok pesantren
transgender bagi santri penerima.
● Bagi Masyarakat: Penelitian ini dapat memberikan
gambaran tentang interaksi sosial antara transgender
dengan masyarakat, sehingga masyarakat tidak
memandang transgender atau waria dengan sebelah
mata, akan tetapi mereka menerima keberadaannya
dengan sikap yang positif.
● Bagi Pemerintah : Penelitian dapat memberikan
gambaran transgender yang benar adanya
membutuhkan studi spiritual keagamaan dan
pembentukan penerimaan diri, dan semoga pondok
pesantren waria juga terdapat di berbagai daerah yang
terdapat transgender.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Penelitian terdahulu sangat diperlukan dalam
peninjauan sebelum penelitian dilaksanakan. Sebagai
rujukan penulis; hasil skripsi, tesis, dan jurnal dapat
digunakan sebagai pedoman. Namun terdapat perbedaan
dari segi objek dan subjek penelitian yang menjadikan
pembeda antara penelitian sebelumnya dengan penelitian
penulis.
Rujukan yang sudah dijadikan kajian terdahulu, yakni
kajian yang masuk dalam pembahasan; sekelompok orang
22
yang merupakan bagian dari masyarakat, tengah berbeda
dengan heteronormativitas dalam mendekatkan dirinya
kepada Tuhan. Dalam hal ini kelompok marginal, yakni
transgender atau waria yang sudah mendapatkan
diskriminasi, sehingga mengalami konflik dalam
keluarga, lingkungan masyarakat dan atau agama.
Di tengah kegaduhan isu pada latar media sosial dan
social society yang tertuju pada sebuah keragaman
gender. Uniknya kelompok tersebut tidak diam dan tidak
melawan.
Terlihat dari salah satu kota pluralis, agamis, dan
sosialis, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta. Terbukti
dengan terbentuknya pondok pesantren waria al-fatah
pada tahun 2006 silam, yang dibentuk oleh KH. Hamrolie
selaku tokoh agama Islam dan Maryani salah satu
pengasuh sekelompok waria.
Pada dasarnya pondok pesantren al-fatah ini sudah
menjadi sorotan utama di masyarakat khususnya di
Yogyakarta. Disambung dengan penelitian skripsi oleh
Priskilla Novariza menginginkan penelitian ini dengan
berbagi rincian masalah, maka penulis menciptakan
tujuan untuk mengetahui gambaran subjective well-being
pada waria terutama ketika mereka berada di komunitas
pesantren waria.
Adapun Subjek penelitian ini adalah Waria dan saat
di masa dewasa menengah, yang merupakan anggota aktif
23
Pesantren Waria Al-Fattah serta berdomisili di
Yogyakarta.
Keberhasilan dalam penelitian ini yaitu terciptanya
penerimaan diri, hingga saat ini mereka dapat bertahan
dan nyaman dengan identitas waria. Ketika waria sudah
nyaman dengan dirinya maka dalam menjalani hidup
mereka mampu mencari kebahagiaannya disituasi apapun.
Teori yang menjelaskan kebahagiaan yang terdapat
beberapa dimensi yaitu fokus pada kebahagiaan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan. Tidak
lepas dari itu, pada penelitian ini terdapat kemiripan
penelitian skripsi saya yaitu kaitannya pada afek positif
yang dijelaskan dalam kerangka berfikir. Berdasarkan
hasil penelitian dan analisa data, penerimaan diri dan
adanya pesantren waria yang mendukungnya, merupakan
faktor penting bagi waria ketika mulai mengaktualisasikan
diri. Karena dengan penerimaan diri hingga saat ini
mereka dapat bertahan dan nyaman dengan identitas
waria. Ketika waria sudah nyaman dengan dirinya maka
dalam menjalani hidup mereka mampu mencari
kebahagiaannya disituasi apapun.
Dalam hal ini dapat dijelaskan letak kelebihan dan
kekurangan pada skripsi ini. Kelebihan yang penulis
ungkapkan, yakni pengambilan teori yang sesuai dengan
keadaan waria, dan kekurangan pada penelitian ini yaitu
terletak pada beberapa penulisan, yang kurang sesuai
dengan peletakan bahasa. Penelitian ini dilaksanakan pada
24
tahun 2017 membahas tentang Subjective Well Being
Pada Waria Di Pesantren Waria Al-Fattah35.
Waria adalah seorang laki-laki yang berbusana dan
bertingkah laku seperti wanita. Perilaku ini dianggap
menyimpang di masyarakat. Mengangkat permasalahan
waria di dalam skripsi yang dibuat oleh Ahriani Silvia ini
cukup menarik, yaitu tentang “Dukungan Sosial Bagi
Kemandirian Waria Pada Rumah Singgah Waria Anak
Raja, Depok”36. Penulis mengupas permasalahan
menggunakan teori dukungan sosial, terlihat pada
halaman 54 bahwa dukungan sosial sangat bermanfaat
bagi waria dengan adanya rumah singgah.
Maka dari itu Rumah singgah waria yang didirikan
oleh Yuli, para waria yang ada di dalamnya juga menjadi
bertambah percaya diri, dapat beribadah dengan baik,
contoh saja dengan program kerja yang ada di rumah
singgah. Semua itu untuk bekal waria supaya dapat
bekerja dengan profesi yang baik.
Adapun bimbingan rohani yaitu di hari kamis, yang
sudah tersususn lewat program kerja. Perbedaan dengan
penelitian penulis, yakni pada letak praktiknya.
35
Novariza, M. P. Subjective Well Being Pada Waria Di Pesantren
Waria Al-Fattah (Skripsi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2017) 36
Silvia, A. Dukungan Sosial Bagi Kemandirian Waria Pada Rumah
Singgah Waria Anak Raja, Depok. (Skripsi tidak dipublikasikan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018)
25
Terkait hal ini maka kelebihan skripsi ini yaitu
penulis dapat langsung berbaur dengan informan dengan
santai dan terbuka serta tepat penggunaan pada teori.
Kelemahan pada skripsi ini yaitu kurangnya penjelasan
metode-metode yang digunakan saat bimbingan rohani
dan hanya menjelaskan cerita waria saja.
Siti Maimunah37 menempatkan diri seorang
homoseksualitas sebagai laki-laki, dan menempatkannya
sebagai makhluk Allah yang wajib beribadah kepada
TuhanNya. Dalam penelitiannya dengan menggunakan
metode kepustakaan (Library research) yaitu dengan
mengkaji Pandangan Al-qur’an tentang homoseksualitas.
Selama menjelajah ayat-ayat Al-Qur’an tentang
homoseksualitas dari surat An-Nisa, Al-A’raf.
Kelebihan pada penelitian ini, yakni dalam firman
Allah menjelaskan asal usul dari adanya perbuatan
seksualitas yaitu QS. Al-A’raf ayat 80-81. Penulis skripsi
ini memiliki harapan besar bagi kaum homoseksual
mengerti dampak negatif dari apa yang telah diperbuat.
Maka dari itu peneliti menyimpulkan dengan literatur
yang ada bahwa skripsi ini dapat dijadikan referensi untuk
penelitian dalam ilmu tafsir, adapun kelemahan yang
didapatkan yaitu, gaya bahasa penulis dalam kelas
37
Maimunah, Siti. Pandangan Al-Qur’an tentang Homoseksuaitas
(Skripsi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2018)
26
penelitian itu kurang memadai contoh dalam abstrak
“omongan” seharusnya dapat digantikan dengan kata
pembicaraan. Motivasi Waria Menjadi Anggota
Pesantren. Waria pondok pesantren Al-Fatah yang
menjadi objek penelitian oleh Nidia Gabriella
Indyaningtyas pada tahun 2016. Menarik untuk dikaji dan
bagi peneliti tergolong penting sebagai acuan,
dikarenakan penulis menjelaskan bahwa teori motivasi
berhasil mengetahui informan masuk ke pesantren waria.
Mengutip dari hasil penelitian, jelas bahwa beberapa
motif dari afeksi, kekaguman, power, simpati, cinta,
pengetahuan dan prestasi itu terwujud dalam kebutuhan.
Penulis dari fakultas Psikologi, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta38 ini juga menghadirkan data
lengkap dari anggota pesantren waria dengan jumlah 42
orang yang meyakini adanya kebutuhan peribadatan.
Penulis menggunakan pendekatan fenomenologi
dengan tujuan dapat menganalisis secara utuh
menggunakan observasi, dan wawancara mendalam
secara struktural. Selain itu, pada keabsahan data dari
wawancara, dokumentasi menjadikan nilai kelebihan
bagi skripsi ini.
38
Indyaningtyas, N.G. Motivasi Waria Menjadi Anggota pesantren
(Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2016)
27
Kekurangan yang ditonjolkan oleh penulis yaitu
motif yang sama pada waria, yaitu counteraction yang
memunculkan waria untuk memiliki kontrol diri, dan
pada hal ini peneliti kurang memahami hal tersebut.
Selanjutnya thesis yang dikerjakan oleh Roudlotul
Jannah Sofiyana.39 Membawa judul Pola Interaksi Sosial
Masyarakat dengan Waria di Pondok Pesantren Al-
Fattah Senin-Kamis (Studi Kasus di Desa Notoyudan,
Sleman, Yogyakarta) yang diterbitkan dari Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Norma sosial
sudah mencatat bahwa, hidup bermasyarakat harus
menyesuaikan dengan culture yang ada.
Semua ada tata aturan, dan harus saling
berkonsolidasi supaya selaras juga dengan masyarakat
sekitar. Penulis memberikan wadah bagi para waria atau
transgender untuk bersama-sama belajar langsung
bagaimana menghadapi masyarakat yang kurang
menerima keadaan waria. Terbantu dengan teori
interaksi sosial yang terbentuk menjadi dua proses yaitu
proses asosiatif dan disosiatif, di dalam kedua proses
tersebut juga terbagi menjadi beberapa bentuk ada
kerjasama, akomodasi, asimilasi, persaingan,
kontroversi, dan pertentangan.
39
Sofiyana, R.J. Pola Interaksi Sosial Masyarakat dengan Waria di
Pondok Pesantren Al-Fattah Senin-Kamis (Skripsi Universitas Negeri
Semarang, 2014)
28
Untuk menjawab semua itu maka penulis berhasil
menerapkan teori tersebut dengan syarat aktivitas
kegiatan di pondok pesantren harus lebih sistematis dan
memperbaiki pola koordinasinya dengan pihak-pihak
yang menaungi komunitas waria dan ini merupakan
salah satu kelebihan yang penulis dapatkan.
Kekurangan yang peneliti dapatkan yaitu; pada bagian
profil waria, penulis seharusnya tidak terlalu banyak
menjelaskan transsexual jadi penjelasan pada sub bab
profil waria kurang sesuai dengan penjelasan. Dalam
penelitian ini sedikit mirip dengan skripsi saya yaitu ada
bagian teori arti dari transgender. Selebihnya tesis ini
dijadikan sebagai acuan dasar penelitian.
Teori Identitas Sosial menurut Brewer dan Gardiner
membagi tiga bentuk diri yang menjadi dasar bagi
seseorang yaitu individual self, relational self, and
collective self, teori tersebut merupakan salah satu dari
landasan Diyala Gelarina dalam menulis tesis di
pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Penulis memilih tema
yang tepat untuk pertumbuhan identitas sosial waria
melalui Proses Pembentukan Identitas Sosial Waria di
Pondok Pesantren Al-Fattah DIY.40
40
Gelarina, Diyala. Subjective Well Being Pada Waria Di Pesantren
Waria Al-Fattah (Tesis, UIN Sunan Kalijaga Daerah Istimewa Yogyakarta,
2016)
29
Lengkap dengan sejarah yang disajikan oleh penulis,
serta proses-proses yang sudah dicanangkan untuk
membantu jalannya penelitian ini sehingga dapat
tercapainya identitas sosial yang terdiri dari dimensi,
proses, motif, dan bias.
Dijelaskan dalam proses bahwa penulis menemukan
daya Tarik in group, konteks antar kelompok,
penyamaan keyakinan.
Tesis ini lahir dengan bantuan penelitian kualitatif
field research sehingga dapat menemukan data-data
yang valid dan dapat menjelaskan permasalahan
lapangan yang akan diteliti. Penelitian ini akan lebih
sempurna jika menambahkan lebih pada teori sosial,
karena dalam bentuk tesis harus sudah mencapai pada
menemukan hasil perbandingan teori dan yang
dihadapkan merupakan transgender dalam lingkup
sosial, sehingga peneliti menilai hal tersebut menjadi
kekurangan dari teori yang digunakan oleh Diyala.
Adanya kesinambungan antara teori satu dengan
yang lainnya maka menghasilkan suatu kelebihan dari
tesis tersebut. Kemiripan pada skripsi peneliti yaitu pada
pengertian seks yang terletak dalam latar belakang.
Pengalaman dalam membimbing santri waria atau
transgender oleh Ardiansyah selama 4 tahun terakhir ini
membuatnya untuk menganalisa spiritual yang ada
dalam diri waria untuk melakukan beribadah. QS. Al-
A’raf ayat 172 tengah menjadi rujukan utama dalam
30
jurnal ini. Dalam aspek aqidah, potensi ketauhidan
seseorang dari lahiriah manusia itu sudah ada. “Upaya
Bimbingan Konseling Nilai dan Spiritual terhadap
Transgender di Yogyakarta”41 Penulis mengonsep jurnal
ini dengan menggunakan konseling nilai dan spiritual
dalam diri masing-masing waria. Adapun kemiripan
dalam skripsi peneliti yaitu membandingkan antara data
penelitian yang bersumber dari pondok pesantren Al-
Fatah meskipun tidak terbentuk dalam sebuah bagan,
penulis menuliskan dengan sebuah pernyataan.
Kelebihan pada jurnal ini adalah saat melakukan
konseling pribadi dengan waria sehingga dapat
menemukan alasan waria untuk kembali beribadah
kepada Allah.
Adapun kekurangan yang terdapat dalam jurnal ini,
yaitu tidak adanya teori yang menjadi acuan sehingga
tidak terlihat apakah teori yang masuk dalam jurnal ini.
Arif Nuh Safri, yakni salah satu ustadz dari Pusat
Bahasa UIN Sunan Kalijaga yang tengah membimbing
santri waria di pondok pesantren Al-Fatah. Dalam
penelitiannya, penulis membedah masalah eksistensi
keberagaman waria dan memperkenalkan kepada
41
Ardiansyah, Upaya Bimbingan Konseling Nilai dan Spiritual
terhadap Transgender di Yogyakarta, Jurnal Bimbingan dan Konseling:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga no 8 (2), 71-87 november 2018, ISSN:
2088-3072, DOI: 10.25273/counsellia.v8i2.2568 dikutip pada 10 Juni 2019
pukul 14.00 WIB
31
pembaca bahwasanya waria atau transgender yang ada di
pondok pesantren al-fatah merupakan sekumpulan waria
yang ingin tetap beribadah kepada Tuhannya dalam
keadaan apapun.
Sthepen O Murray dalam bukunya Islamic
Homosecsualities yang bertuliskan kehidupan
homoseksualitas merupakan tradisi yang menyejarah
dalam kehidupan Timur Tengah, seperti kerajaan Turki,
Persia, dan islam Spanyol.
Alasan penulis mencantumkan dalam journalnya ini
cukup relevan karena Di tengah-tengah stigma negatif
yang muncul dari masyarakat kepada waria ternyata
agama memang muncul tidak direncanakan. Kehadiran
Tuhan dalam diri manusia tidak bisa dipungkiri. Inilah
disebut dengan fitrah uluhiyah (fitrah ketuhanan).
Manusia bukan sekedar makhluk sosial atau zoon
politicon namun juga makhluk bertuhan. Dalam hal ini
penulis tidak berposisi untuk menghakimi benar atau
salah pola keberagaman waria, namun hanya
menggambarkan bahwa setiap manusia memiliki fitrah
ketuhanan, dan hak untuk mengekspresikan sifat
ketuhanannya dan pengalaman spiritualnya, termasuk di
dalamnya para waria.
Ekspresi keberagaman inilah yang sengaja
diperjuangkan oleh para waria dalam pesantren ini.
Pernyataan tersebut merupakan hasil dari journal yang
bertemakan “Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fattah
32
Yogyakarta (Sebuah media eksistensi ekspresi
keberagamaan waria)”.42 Kesadaran perbedaan
identifikasi agama dan Tuhan, seharusnya menjadikan
manusia lebih leluasa untuk menghargai keberagamaan
dan ketuhanan orang lain, walaupun orang lain tersebut
muncul dari kaum marginal, atau kaum yang dianggap
pelaku dosa.
Kemunculan permasalahan ini memaparkan secara
deskriptif pola ekspresif keberagamaan waria di pondok
pesantren senin-kamis al-Fattah Yogyakarta. Jurnal ini
dapat dijadikan referensi untuk skripsi yang
berhubungan dengan pondok pesantren Al-Fatah dan ini
merupakan salah satu kelebihan. Adapun kekurangan
dalam jurnal ini yaitu; kurangnya bagan dalam
penunjukan metode khusus yang sesuai dengan metode
bimbingan keagamaan.
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji,
yaitu mengenai penerimaan diri pada kelompok
transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok
42
Safri, A. N. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Yogyakarta
(Sebuah media eksistensi ekspresi keberagamaan waria), Jurnal Pusat
pengembangan bahasa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ESENSIA, Vol.15,
No 2, September 2014. Dikutip tanggal 10 Juni 2019. Pukul 22.00 WIB
33
Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada
dasarnya sebuah penelitian memerlukan suatu pendekatan,
agar memberikan kemudahan dalam memhami fenomena
yang akan diteliti.
Tahun 1975 Bogdan dan Taylor menggaris bawahi
penelitian kualitatif, dan dikutip ulang oleh Moeleong,
yakni metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati.43
Moleong Lexy J merucutkan arti dari metode
kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang yang dialami oleh
subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah.44
Dalam buku The Elements of Research oleh F.L.
Whitney menjelaskan bahwa metode deskriptif adalah
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.45
Dalam
43
Moleong, L.J, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), hal. 4 44
Moleong, L.J, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), hal. 6 45
Whitney, F. L. The Elements of Research, (Prentice Hall Inc., New
York, 1960) hal. 160
34
penelitian ini data diperoleh dari jawaban-jawaban
informan yaitu 2 santri waria mukim dan non mukim, 2
seconday informan 1 pembimbing agama, 1 pembina
pesantren, dan 1 pengasuh pesantren, dan 2 warga yang
pro (mendukung) dan kontra (tidak mendukung); secara
langsung melalui observasi, wawancara, studi
dokumentasi, catatan rekaman, gambar, dan semua data
yang dikumpulkan merupakan kejadian dan tanggapan
secara real dan kebenarannya tidak menggunakan
pemikiran peneliti.
Penelitian kualitatif dipilih oleh peneliti langsung
karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk
menggali lebih dalam mengenai penerimaan diri kelompok
transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok
Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
metode bimbingan keagamaan dalam membentuk
penerimaan diri kelompok transgender atau santri waria.
Untuk mengetahui bagaimana perubahan yang terjadi
setelah melaksanakan bimbingan keagamaan, peneliti
menggunakan pendeketan kualitatif yang berbentuk studi
kasus.
Menggunakan studi kasus merupakan rancangan
penelitian yang ditemukan dibanyak bidang, khususnya
evaluasi, dimana peneliti mengembangkan analisis
35
mendalam atas suatu kasus.46 Menurut Stake dan Yin
dalam buku Research Design, Qualitative, Quantitative,
and Mix Methods Approaches menegaskan bahwa; Kasus-
kasus dibatasi oleh waktu, aktivitas, dan peneliti
mengumpulkan informasi secara lengkap dengan
menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data
berdasarkan waktu yang telah ditentukan.47
Penggunaan studi kasus sebagai sutau metode
penelitian kualitatif memiliki beberapa keuntungan,
yaitu:48
1. Studi kasus memberikan pandangan dari subjek yang
diteliti
2. Studi kasus dapat memberikan uraian yang
menyeluruh, mirip dengan apa yang dialami pembaca
kehidupan sehari-hari.
3. Merupakan sarana efektif untuk menunjukan
hubungan antara peneliti dan responden
4. Studi kasus dapat menyuguhkan uraian mendalam
yang diperlukan untuk penilaian atau transferbilitas.
Perlu diketahui bahwa studi kasus memiliki karakter
unik, sehingga penting dan bermanfaat bagi pembaca
46
Creswell, John W. Research Design, Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hal. 19 47
Creswell, John W. Research Design, Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hal. 19 48
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004) hal. 201
36
dalam penyusunan skripsi dan studi kasus harus dapat
membantu peneliti dalam menggali data baik perorangan,
kelompok, program, budaya, agama, masyarakat, dan
komunitas untuk memahami dan mengatasi masalah yang
sedang dihadapi atau akan dihadapi.49
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di Pondok Pesantren Al-Fattah
Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di Jl. Celenan Rt
09/Rw 02 Jagalan, Banguntapan, Kotagede, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun yang menjadi
latar belakang dan pertimbangan tempat ini yaitu kerena
pondok pesantren ini hanya ada satu di Indonesia, Pondok
Pesantren ini juga sudah dilindungi oleh KOMNAS HAM
(Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), LBH (Lembaga
Bantuan Hukum), Institusi Pendidikan, dll.
Tempat menimba ilmu bagi para santri transgender atau
waria yang beragama Islam. Pondok Pesantren Al-Fatah
mewadahi santri waria untuk beribadah kepada Allah swt.
Selain itu juga menjadi salah satu pusat sosial dan pendidikan
utama untuk komunitas waria di Yogyakarta, pesantren ini
juga berfungsi sebagai penghubung untuk pendidikan layanan
jejaring dan advokasi untuk komunitas waria.
49
R. Raco. Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta, 2010), hal. 49
37
Adapun waktu pelaksanaan observasi sebelum penelitian
yaitu pada tanggal 09 Februari 2019 selama 1 hari, tanggal
16-20 Mei 2019, dan intens dalam komunikasi dengan ketua
pondok pesantren Al-Fattah lewat whatsapp dari tanggal 31
juli, 22 Agustus, dan 13 september 2019, Januari 2020, 29
Juni 2020, 29 November 2020 dan seterusnya sampai dengan
selesai.
Tabel 1.3 Kegiatan Observasi
No Tanggal Tabel Kegiatan
1 09/02/2019
(16:00-18.00)
WIB
Peneliti bertamu dan memperkenalkan diri
untuk memohon izin penelitian di Pondok
Pesantren Waria Al-Fatah.
2 16/05/2019
(11:30) WIB
Peneliti datang tepat di bulan Ramdhan,
sehingga peneliti dapat mengikuti langsung
proses bimbingan keagamaan, dan peneliti
mewawancarai dengan calon key informan
dan 4 santri waria.
17/05/2019
16.00 WIB
45 santri melakukan vicity mobile oleh
Dinas Kesehatan Puskesmas Kotagede,
DIY dari Puskesmas Kotagede.
16.38 WIB Sebelum buka bersama, ustadz arif
memberikan ceramah tentang “Pentingnya
berpuasa dan hal-hal yang membatalkan
puasa” dalam lingkup seks, ibadah, dan
adanya Tanya jawab antara ustadz dan
waria itu sendiri di Pondok Pesantren
Waria Al-Fatah.
17:32-18:15
WIB
Buka bersama dengan 30 santri, dan
Mahasiswa dari Universitas Mercubuana
fakultas Psikologi, Pondok pesantren al-
fatah, Universitas Gadjah Mada.
18:30 WIB Sharing session dengan ustadz Arif.
Peneliti memperhatikan dengan seksama
diskusi yang tidak diam.
18/05/2019 Santri waria melakukan praktek
38
15:30 WIB pemulasaran jenazah dari memandikan,
mengkafani, dan mensholati serta doa-doa.
Dengan harapan, mereka dapat mengurus
jenazah waria yang meninggal, karena
selama ini tidak ada yang mau mengurus
jenazah waria selain dari rumah sakit.
16:48 WIB Peneliti wawancara Ibu Retno selaku
warga sekitar pondok.
17:00-17:35
WIB
Peneliti wawancara dengan santri waria
Ririn Mustika.
Buka puasa bersama dan saling bercakap
dengan mbak Yuni, mba Erni, mba Jamilah
selaku santri Waria.
19/05/2019
15:35 WIB
Peneliti melihat langsung proses
bimbingan keagamaan, mengaji, arisan,
dan kajian kitab bulughul maram
Santri Waria, Ustadz/Ustadzah.
16:00 WIB Peneliti wawancara dengan bapak Munarto
selaku RT.
17:04 WIB Peneliti wawancara dengan Ustadz Ardi
kaitannya dengan materi apa saja yang
dapat diterima oleh santri waria.
17:35 WIB Buka bersama dengan seluruh santri dan
beberapa mahasiswa Mercubuana,
Universitas Gadjah Mada, dan dilanjut
Sholat Magrib berjamaah di Pondok
Pesantren waria Al-Fatah.
18:49 WIB
20/05/2019
Peneliti wawancara dengan Mami Rully
Selaku pengurus pemberdayaan santri
waria.
3 31/07/2019 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri
selaku pengasuh Pondok Pesantren waria
Al-Fatah.
4 22/08/2019 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri
selaku pengasuh Pondok Pesantren waria
Al-Fatah.
5 13/09/2019 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri
39
selaku pengasuh Pondok Pesantren waria
Al-Fatah.
6 29/07/2020 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri
selaku pengasuh Pondok Pesantren waria
Al-Fatah.
7 17/10/2020 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri
selaku pengasuh Pondok Pesantren waria
Al-Fatah.
8 29/11/2020 Peneliti membantu melakukan bimbingan
keagamaan dan penentuan informan dan
juga mendalami indept interview bersama
informan maupun key informan.
9 4/12/2020 –
07/01/2021
Peneliti membantu melakukan bimbingan
keagamaan dan penentuan informan dan
juga mendalami indept interview bersama
informan maupun key informan sampai
selesai.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah 9 orang, terdiri dari
empat santri waria yang merupakan 2 santri yang
merupakan santri mukim dan non mukim, 2 Secondary
Informan, 1 pembimbing agama, 1 pengasuh, dan 1
pembina pesantren di Pondok Pesantren Al-Fattah DIY,
dan 2 warga yang pro (mendukung) dan kontra
(tidakmendukung) yang telah disesuaikan dengan
pertimbangan dan tujuan penelitian.
Objek penelitian ini adalah Penerimaan Diri
Kelompok Transgender melalui Bimbingan Keagamaan di
Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan subjek
adalah populasi. Dalam penelitian kualitatif tidak
40
menggunakan istilah populasi, akan tetapi menurut
Spradley dinamakan dengan situasi sosial yang terdiri dari
tiga elemen, yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas yang
berinteraksi secara sinergis.50
5. Penentuan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer dalam studi lapangan didapatkan dari
hasil wawancara kepada responden dari informan
terkait penelitian. Responden dalam penelitian adalah;
Pembimbing Agama, Santri, significant other,
Pembina, Pengasuh dengan pemilihan responden
teknik triangulasi merupakan sumber, yaitu dengan
menggunakan teknik pengumpulan yang berbeda-beda
untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
Peneliti menggunakan observasi, wawancara
mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang
sama secara serempak.51
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan pelengkap dari data
primer yang diperoleh dari buku-buku literatur,
karya-karya dan dokumentasi terkait objek
50
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2013), hal. 297 51
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2013), hal. 330
41
penelitian. Literatur yang berkaitan dengan metode
penelitian, bimbingan keagamaan, psikologi,
homoseksualitas, queer, seksualitas dan buku yang
memuat sejarah waria atau transgender di
nusantara, dan buku-buku lainnya.
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi merupakan tindakan atau proses
pengambilan informasi melalui media
pengamatan. Dalam melakukan observasi ini,
peneliti menggunakan sarana utama indera
penglihatan. Melalui pengamatan mata dan kepala
sendiri seorang peneliti diharuskan melakukan
tindakan pengamatan terhadap tindakan dan
perilaku responden di lapangan dan kemudian
mencatat atau merekamnya sebagai material utama
untuk dianalisis.52
Dua prinsip pokok yang telah menjadi tradisi
dari metode kualitatif diantaranya adalah; pertama,
peneliti tidak boleh “mencampuri” urusan subjek
penelitian, kedua peneliti menjaga sisi alamiah
dari subjek penelitian dengan tujuan memperoleh
data yang murni tanpa adanya rekayasa, dan
52
Sukardi. Penelitian Kualitatif-Naturalistik dalam pendidikan
(Yogyakarta: Usaha Kelu arga, 2006), hal. 49
42
memperoleh hasil observasi yang “valid” maka
dari itu membutuhkan pengamatan berulang-ulang
kali.53
Metode ini digunakan untuk memperoleh data
yang akurat tentang keadaan di lapangan dengan
melakukan pengamatan langsung. Hal yang perlu
diperhatikan ketika observasi yaitu; pengamat
harus selalu mengingat dan memahami apa yang
hendak direkam dan dicatat, selain itu juga harus
bisa membina hubungan baik antara pengamat dan
objek pengamatan.54
Observasi dilakukan secara langsung di
Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah istimewa
Yogyakarta, dengan mengamati kondisi letak
geografis pondok pesantren, kondisi demografi
sekitar pondok pesantren, dan aktivitas yang
dilakukan informan. Pada tanggal 09 februari
2019, peneliti kali pertama mencari pondok
pesantren dan bertemu langsung dengan pengasuh
pondok pesantren Ibu Shinta Ratri.55
53
Salim, Agus. Teori Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2005) hal. 14 54
Burhan, Bungin. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial (Jakarta: kencana,2008), hal. 116 55
Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta
pada tanggal 09 Februari 2019 pukul 14.00 WIB
43
Pada kesempatan kedua tepat di bulan
Ramadhan, sehingga peneliti dapat mengamati
langsung dari seluruh rangkaian kegiatan
keagamaan dan sosial yang dilaksanakan pada 16-
20 Mei 2019. Selama observasi pertama
berlangsung, peneliti melakukan pendekatan
secara langsung dengan santri waria dan
pembimbing agama.56
Beberapa bulan peneliti
mengikuti perkembangan pondok pesantren waria
al-fatah dengan menanyakan langsung ke Ibu
Shinta Ratri selaku pengasuh lewat media sosial
youtoube, website, dan whatshapp. Peneliti
kembali ke pondok pesantren waria al-fatah pada
tanggal 29 November 2020 sampai tanggal 07
Januari 2021.57
Menurut Shinta Ratri pengasuh
pondok pesantren waria al-fatah saat ini ada 62
santri waria yang bersedia mengikuti kegiatan di
pondok pesantren.58
Seluruh rangkaian kegiatan
yang bersifat religiusitas, spiritualitas, study tour,
sosial, dapat diikuti dengan baik, karena
menghasilkan kreativitas.
56
Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta
pada tanggal 16-20 Mei 2019 pukul 14.00 WIB 57
Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta
pada tanggal 16-20 Mei 2019 pukul 14.00 -16.00 sampai pukul 21.00 WIB 58
Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta
pada tanggal 09 Februari 2019 pukul 14.00 WIB
44
b. Wawancara/Interview
Wawancara merupakan salah satu kegiatan
tanya jawab dengan tatap muka antara
pewawancara (Interviewer) dan yang
diwawancarai (Interviewee) tentang masalah yang
diteliti.59
Wawancara dapat dilakukan dengan
menggunakan empat model, yaitu;
1. Wawancara alamiah informal yakni
pertanyaan dikembangkan secara spontan
terhadap responden.
2. Wawancara dengan pedoman umum yakni
peneliti telah mempersiapkan sebelumnya
pertanyaan umum yang akan diajukan
3. Wawancara dengan pedoman terstandar
terbuka yakni digunakan jika wawancara yang
digunakan banyak pengumpul data guna
membatasi temuan dengan variasi yang
muncul
4. Wawancara tidak langsung adalah teknik
wawancara yang digunakan oleh beberapa
59
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hal. 144
45
orang akibat sesuatu hal yang tidak dapat
dilakukan sendiri oleh peneliti.60
Sejalan dengan hal tersebut maka proses wawancara
akan dilakukan bersama 2 santri waria mukim dan non
mukim, 2 secondary informan 1 pembimbing agama, 1
pembina pesantren, dan 1 pengasuh pesantren, dan 2
warga yang pro (mendukung) dan kontra (tidak
mendukung).
Cakupan pemilihan proses wawancara ini dilakukan
dengan pertimbangan untuk memperoleh hasil yang
valid untuk menggali informasi tentang penerimaan diri
kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan di
Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah istimewa
Yogyakarta
c. Dokumentasi
Buku Studi Kasus Desain Metode oleh Robert K.
Yin61
menjelaskan dalam penelitian lapangan yang
akan dilaksanakan, informasi yang berbentuk dokumen
sangat relevan karena tipe informasi ini biasa
menggunakan berbagai bentuk dan dijadikan sebagai
sumber data yang eksplisit.
60
Salim, Agus. Teori Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2005) hal. 17 61
Yin, Robert K. Studi Kasus Desain Metode (Jakarta: Rajawali
Press, 1996), hal. 103
46
Adapun jenis-jenis data tersebut adalah surat,
memorandum, pengumuman resmi, penelitian yang
sama, kliping-kliping yang baru dan artikel yang
muncul di media massa, maupun laporan peristiwa
lainnya.
Berdasarkan argumen Robert K Yin di atas, maka
dalam penelitian ini yang termasuk data dalam kategori
dokumentasi adalah buku-buku informasi seputar
objek yang diteliti, foto-foto, dan penghargaan-
penghargaan. Metode dokumentasi dilakukan untuk
memperoleh gambaran umum dan komponen-
komponen di Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah
Istimewa Yogyakarta dan hal-hal yang berkaitan
dengan masalah yang dijadikan penelitian.
7. Teknik Analisa Data
Suharsimi Arikunto menjelaskan bahwa, analisa data
merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah saat dibaca dan diinterpretasikan.
Dalam menganalisa data, peneliti dapat mengolah dari
hasil observasi dan wawancara yang sudah dilakukan,
kemudian data tersebut disusun dan dikategorikan
berdasarkan hasil wawancara; dari dokumen yang telah
dikumpulkan, lalu data yang sudah terkumpul
47
dideskripsikan ke dalam bentuk bahasa yang mudah
dipahami.62
Pada penelitian pondok pesantren waria ini, peneliti
menggunakan model analisis interaktif Milles dan
Huberman. Terdapat tiga sub proses analisa data yang
saling berkaitan, yakni:63
a. Pengumpulan Data (Data Collection)
Tahapan terpenting dalam penelitian kualitatif yaitu
mengumpulkan data. Dalam penelitian kualitatif,
pengumpulan data dilakukan dengan observasi,
wawancara, dokumentasi, dan atau gabungan ketiganya
yakni triangulasi.
Pengumpulan data dapat dilakukan berhari-hari,
atau sampai berbulan-bulan, sehingga mendapatkan data
lebih banyak. Tahap awal yang dikerjakan oleh peneliti,
yakni melakukan eksplorasi secara umum terhadap
situasi sosial atau obyek yang diteliti, semua yang
dilihat dan didengar terekam semua. Maka dari itu
62
Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan
Praktik, (Jakarta: PT Rieka Cipta, 1998), hal. 78 63
Miles Huberman, Analisi Data kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru. Terj. Tjejep Rohendi Rohidi, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1992), hal. 20. Dikutip dari Tesis Nisa, Nur, Gaya Hidup Waria
Urban Jakarta: Sebuah Negoisasi Identitas, (UIN Jakarta: Tesis, 2018) hal. 40
48
peneliti akan memperoleh data yang banyak dan
bervariasi.64
b. Reduksi Data (Data Reduction)
Dalam tahap ini, mengolah data yang didapatkan
dari lapangan dengan tujuan untuk menemukan benang
merah tentang penerimaan diri santri waria melalui
bimbingan keagamaan. Mereduksi data adalah bagian
dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstraksian
dan mentransformasi data kasar yang diperoleh dari
lapangan melalui observasi dan wawancara.65
Melalui proses pengumpulan data dengan berbagai
tahap; meringkas, membuat kode, membuat catatan
obyektif, memusatkan tema, membuat partisi. Reduksi
data juga bagian dari analisis, yang awalnya
diidentifikasikan adanya satuan terkecil dalam data lalu
dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian.66
c. Penyajian Data (Data Display)
Miles dan Huberman berpendapat bahwa, dalam
penyajian data, yang paling sering digunakan pada
penelitian kualitatif ialah teks yang bersifat naratif.
64
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif untuk Penelitian yang
bersifat eksploratif, enterpretif, interaktif, dan konstruktif, (Bandung: Alfabeta,
2017) hal. 134 65
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006) hal. 22
66
Moleong, Lexy. Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017) hal. 288
49
Dalam hal ini dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
tabel, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.
Dan juga merupakan bagian proses pendiskripsian
kumpulan informasi dalam bentuk susunan yang jelas,
secara sistematis sehingga dapat membantu peneliti
menganalisa hasil penelitian.67
Pada proses ini peneliti membuat rangkuman dalam
susunan sistematis sehingga penerimaan diri santri lebih
mudah diketahui lewat bimbingan keagamaan.
d. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Data
(Conclusing drawing and verifikasi data)
Hasil kesimpulan yang relevan dengan bukti-bukti
yang valid, sesuai dengan data-data yang ditemukan di
lapangan, maka kesimpulan tersebut sudah kredibel.68
67
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006) hal. 22-23 68
Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan
Praktik, (Jakarta: PT Rieka Cipta, 2001), hal. 345
50
G. Kerangka Berpikir
Gambar.1 Simpuan Kerangka Berpikir
Kehidupan seorang santri waria merupakan suatu proses yang
panjang, baik secara individu maupun sosial. Mengalami
perbedaan adanya ketidaksesuaian sosial dan isu toleransi
beragama. Sehingga pada tahun 2008 berdirilah pondok pesantren
waria, agar santri waria memiliki wadah untuk mengekpresikan
dirinya dengan Tuhannya, sehingga dapat menemukan bathiniyah
maupun lahiriyah-nya.
Bimbingan
Keagamaan Metode Bimbingan
Keagamaan
Penerimaan Diri
Menjadi pondok pesantren yang menjadi pusat
pendidikan agama dan sosial serta memiliki
kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial. Melalui
bimbingan keagamaan, sehingga beberapa santri
mengalami perubahan pada dirinya setelah
mendapatkan bimbingan keagamaan. Terdapat
beberapa santri waria yang melakukan kebiasaan
baik dalam menerapkan hablum minannas, hablum
minal alam, dan hablum minal Allah.
51
H. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian skripsi ini sistematika penulisan dibagi
ke dalam enam bab untuk mempermudah penelaahan skripsi.
Pada masing-masing bab terdapat sub bab. Adapun
sistematika penulisannya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan isi dari keseluruhan Bab yang
ada pada skripsi ini. Bab I memuat; Latar
Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka
Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Pada Bab ini terdiri dari Landasan Teori
(Penerimaan Diri, Transgender, Bimbingan
Keagamaan) dalam hal ini, menggunakan teori
penerimaan diri. Selanjutnya dalam Bab ini juga
terdapat Kerangka Berpikir.
BAB III : GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN
Isi bab ini terdiri dari gambaran umum lembaga
yang meliputi; Profil, sejarah berdirinya, visi dan
misi, tujuan, struktur organisasi, program kerja,
program bimbingan, sarana dan prasarana
Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah istimewa
Yogyakarta dan dilengkapi proses perijinan.
52
BAB IV : DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Pada Bab ini peneliti membahas terkait; Proses
Pembentukan Penerimaan Diri pada Kelompok
Transgender melalui Bimbingan Keagamaan di
Pondok Pesantren al-fatah Daerah Istimewa
Yogyakarta, Pelaksanaan Bimbingan Keagamaan
dapat mempengaruhi Penerimaan Diri Kelompok
Transgender di Pondok Pesantren al-fatah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
BAB V : PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL
PENELITIAN
Peneliti menuangkan hasil penelitian mengenai
penerimaan diri pada kelompok transgender
melalui bimbingan keagamaan di Pondok
Pesantren al-fatah DIY. Menuliskan hasil
wawancara terhadap subjek penelitian, hasil
observasi yang telah dilaksanakan, serta
menganalisis secara deskriptif- dengan ini
menggunakan studi kasus di Pondok Pesantren al-
fatah DIY.
BAB VI : SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Merupakan kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian penerimaan diri pada kelompok
transgender di Pondok Pesantren al-fatah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
53
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penerimaan Diri
1. Definisi Penerimaan Diri
Manusia adalah makhluk ciptaan, makhluk sosial juga
makhluk beragama. Kebutuhan beragama terlahir dari
ketidakberdayaan manusia dihadapkan dengan kekuatan
supranatural, yakni manusia tidak dapat melawan dengan
kekuatan fisik, tidak dapat terurai melalui akal, tidak bisa
dianalogikan dengan logika. Di dalam kitab Al-hikam
(151) menjelaskan sedikit, bagaimana hati manusia dalam
berkomunikasi dengan Tuhan-Nya:
نوار, القلوب واألسرار مطا لع األTempat terbitnya cahaya ilahi adalah hati dan relung batin.
1
Sifat Tuhan yang ditemukan dalam teks kitab suci Al-
Qur’an yakni, Tuhan yang memiliki sifat al-rahman, al-
rahim, yang merupakan pesan pertama yang tertera dalam
surah al-Fatihah.2 Penjelasan dapat diringkas, yakni
agama merupakan salah satu sumber motivasi, kekuatan,
atau disebut dengan idealitas agama.
1 Sibawaih, Imam. KItab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalamn (Al-
Hikam), (Yogyakarta: Telaga Aksara, 2020) hal. 205. 2 Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas
(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 27
54
Sehingga kehadiran agama menjadi sebuah solusi di
tengah-tengah lingkungan sosial.3 Jika memang agama
hadir menghidupi manusia dan alam, maka dengan
agama, seharusnya mampu memunculkan dan
menyebarkan kemanusiaan, bukan inhibisi.
Dalam tulisannya, Komarudin Hidayat memberikan
statement, bahwa dalam tradisi kaum sufi, terdapat
postulat yang berbunyi: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa
rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia
(akan mudah) mengenal Tuhannya. Ketika seseorang
mampu menerima keadaan dirinya baik kelebihan maupun
kekurangan yang dimiliki, maka dia akan mampu
menerima keadaan orang lain meskipun keadaannya
berbeda. Pada kenyataannya tidak semua orang dapat
menerima keadaan dirinya dengan baik, karena sebagian
dari mereka merasa kurang puas dengan kondisinya.4
Secara psikologis, Maslow menjelaskan mengenai;
kebutuhan dasar (kebutuhan dasar fisik dan kebutuhan
rasa aman) harus lebih dulu dipenuhi sebelum beranjak
3 Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas
(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 28 4 Sri M, Rulita H, Ira El K. Hubungan Antara perlakuan Diskriminasi
Masyarakat dengan penerimaan Diri Transeksual di Kota Semarang.
(Universitas Negeri Semarang: INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi,
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI, 2015) dikutip pada hari
Kamis, 16 Januari 2020, pukul 23:03 WIB apa
55
pada pemenuhan kebutuhan psikologis (kebutuhan akan
cinta, menjadi anggota kelompok, dan harga diri).5
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Sri
Wahyuningsih membuat kesimpulan bahwa dengan
tingkah laku pada dasarnya ditujukan untuk mencapai
tujuan yang diketahui secara sadar oleh seorang individu;
dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku merupakan
keseluruhan kegiatan seperti; berjalan, berbicara, makan,
tidur, dan sebagainya. Sebetulnya tidak mudah mengenal
untuk mengenal jiwa manusia, karena sifatnya yang
abstrak. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah
dengan mengobservasi tingkah lakunya, meskipun tingkah
laku tidak merupakan mencerminkan jiwa secara
keseluruhan.6
Dalam hal ini tingkah laku menjadi dasar pada
pergerakan diri kita menerima diri kita sendiri.
Penerimaan ini mengumpamakan adanya kemampuan diri
sendiri dalam psikologis seseorang, yang menunjukan
kualitas diri. Hal ini dapat dikatakan bahwa; tinjauan
tersebut akan diarahkan pada seluruh kemampuan diri
yang mendukung. Kesadaran diri dengan segala kelebihan
5Wahyuningsih, Sri. Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori
Pendekatan Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya). (Madura: UTM PRESS,
2013) hal. 46 6 Wahyuningsih, Sri. Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori
Pendekatan Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya). (Madura: UTM PRESS,
2013) hal. 47
56
dan kekurangan diri, yang seharusnya seimbang, dan
saling melengkapi satu sama lain sehingga dapat
menumbuhkan kepribadian yang sehat.7
Dengan penerimaan diri, individu dapat menghargai
segala kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Tidak
hanya menghargai kelebihan dan kekurangan dirinya,
menurut Hurlock, bahwasanya apabila individu hanya
melihat dari satu sisi saja maka tidak mustahil akan timbul
kepribadian yang timpang, semakin individu menyukai
dirinya, maka akan menerima dirinya dan Semakin baik
seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin
baik pula penyesuain diri dan sosialnya.8
Peneliti menyimpulkan bahwa santri waria di pondok
pesantren al-fatah akan menerima dirinya saat melakukan
ritual keagamaan dengan mempertimbangkan berbagai
aspek yang ada pada dirinya yaitu potensi diri.
7 J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta: Raja Grafindo
Jakarta, 2005), hal. 250 8 Hurlock, E.B. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih Bahasa:
Thandrasa & Zaikasih). (Jakarta: Erlangga) hal.276
57
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan
Diri
Berkiblat pada teori Hurlock, 2008 (dalam Nisa Anandita,
2019), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
diri, antara lain:9
Adanya pemahaaman diri (Self-Understanding):
Hal ini tumbuh karena adanya kesempatan seseorang
untuk mengenali kemampuan dan
ketidakmampuannya. Ketika individu dapat
memahami dirinya, maka tidak akan hanya
tergantung pada intelektualnya, tetapi juga
mendapatkan penemuan diri sendiri—semakin orang
dapat memahami dirinya, maka akan mudah
menerima dirinya sendiri.
Adanya hal yang realistik: Hal ini timbul jika
individu menentukan sendiri harapannya yang sesuai
dengan pemahaman dan kemampuannya, serta bukan
diarahkan oleh orang lain dapat mencapai tujuannya.
Hal ini akan menimbulkan kepuasan tersendiri bagi
individu dan merupakan hal penting dalam
penerimaan diri.
9 Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan
Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area
2018). Hal. 12 Dikutip pada 11 Februari 2021, Pukul 14.00 WIB
58
Tidak adanya hambatan dalam lingkungan:
Meskipun seseorang sudah memiliki harapan yang
realistik, tetapi jika lingkungan tidak mendukung dan
tidak memberi kesempatan bahkan menghalangi
individu tersebut, maka harapan individu tersebut
akan sulit tercapai.
Tidak adanya gangguan emosional yang berat:
Dengan tidak adanya emosi yang berat, akan tercipta
individu yang dapat bekerja dengan baik dan merasa
bahagia dengan apa yang dikerjakan.
Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara
kualitatif dan kuantitatif: Keberhasilan yang
dialami dapat menimbulkan penerimaan diri dan
sebaliknya kegagalan yang dialami dapat
mengakibatkan adanya penolakan diri.
Identifikasi orang yang memiliki penyesuaian diri
yang baik: Individu yang mengidentifikasi dirinya
dengan individu lain yang mempunyai penyesuaian
diri yang baik akan memiliki tingkah laku yang sesuai
dengan individu yang dicontohnya.
Adanya perspektif diri yang luas: Yaitu
memperhatikan juga pandangan orang lain tentang
diri. Perspektif diri yang luas, dapat diperoleh melalui
pengalaman dan belajar.
Pola asuh masa kecil yang baik: Seorang anak
dengan pola asuh yang demokratis, akan cenderung
59
berkembang sebagai individu yang dapat menghargai
dirinya sendiri.
Pada penelitian ini, peneliti fokus pada penerimaan diri
kelompok transgender setelah mengeikuti rangkaian
bimbingan keagamaan.
3. Aspek-aspek Penerimaan Diri
Sheerer (dalam Ruth, 2019) menjelaskan mengenai
aspek-aspek dalam penerimaan diri:10
a. Perasaan Sederajat, Individu merasa dirinya
berharga sebagai manusia yang sederajat dengan
orang lain. Namun individu juga merasa dirinya
memiliki kelemahan dan kekurangan seperti halnya
orang lain.
b. Percaya Kemampuan Diri, mempunyai kemampuan
untuk mneghadapi kehidupan. Hal ini tampak dari
sikap individu yang percaya diri, dan menyukai
pengembangan sikap baiknya, lalu mengeliminasi
keburukannya dari pada ingin menjadi orang lain.
Oleh karena itu, puas menjadi dirinya sendiri.
c. Bertanggung Jawab, Individu yang berani memikul
tanggung jawab terhadap perilakunya. Sifat ini
tampak dari perilaku yang berkenan menerima kritik
10
Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada
Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) hal 10
60
dan menjadikannya sebagai masukan yang berharga
untuk mengembangkan diri.
d. Orientasi Keluar Diri, individu yang mempunyai
orientasi keluar diri dari pada bersikap ke dalam diri,
maka ia merasa tidak malu, dan lebih suka
memperhatikan, menyukai toleransi terhadap orang
lain, sehingga dengan sikap tersebut akan
mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungannya
e. Menyadari Keterbatasan, Individu tidak
menyalahkan diri akan keterbatasannya dana
mengingkari kelebihannya. Individu cenderung
mempunyai penilaian yang realistik tentang kelebihan
dan kekurangannya.
f. Menerima sifat kemanusiaan, Individu tidak
menyangkal impuls dan emosinya atau merasa
bersalah karenanya. Individu yang mampu menhenali
persaaan marah, takut, cemas, tanpa menganggapya
sebagai sesuatu yang ahrus diingkari atau ditutupi.
4. Ciri-ciri Penerimaan Diri
Individu dewasa adalah dapat menerima dirinya sendiri.
Dan dari penerimaan dirinya tersebut, dapat membantu
mencapai keamanan emosional. Allport (Dalam Ananda,
2017) juga menjelaskan bahwa, memiliki kepribadian yang
sehat, yaitu; mampu menerima semua segi dari diri mereka,
termasuk kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan
61
tanpa menyerah secara pasif dalam kelemahan dan kekurangan
tersebut.11
Jersild juga berpendapat juga menjelaskan ciri-ciri
individu yang memiliki penerimaan diri, yaitu:12
a. Individu memiliki keyakinan terhadap standar-standar
dan prinsip-prinsip dalam dirinya tanpa harus
dipengaruhi oleh opini orang lain.
b. Individu memiliki kemampuan dalam memandang
dirinya secara realistis tanpa harus menjadi malu akan
keadaan dirinya.
c. Individu mengenal kelebihan-kelebihan dalam dirinya,
dan bertindak dalam memanfaatkan kelebihannya
d. Individu mengenal kelemahan-kelemahan dalam
dirinya, tanpa menyalahkan atau mersa bersalah
terhadap diri sendiri.
e. Individu memiliki rasa tanggung jawab dalam dirinya
f. Individu tidak melihat diri mereka sebagai orang yang
harus dikuasai rasa marah atau takut.
g. Individu tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang
belum dapat diraih.
11
Rasulia, Ananda, “Penerimaan Diri Pada Istri yang Memiliki
Suami Homoseksual”, (Universitas Negeri Jakarta, 2017) Hal. 14 12
Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada
Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) Dikutip
pada 11 September 2020, Pukul 14.00 WIB
62
Johnson David dalam (Nisa Anandita, 2018) menyatakan
bahwa waria yang menerima dirinya, yakni:13
Menerima Diri Sendiri
Memiliki perasaan tulus, nyata, dan jujur untuk menilai
diri sendiri. Semakin dekat dan mengenal diri sendiri,
maka semakin besar untuk mnenerima dirinya serta
menghargai dirinya sendiri. Hal tersebur disampaikan juga
kepada orang lain betapa pentingya atau seharusnya mau
menerima diri sendiri.
Menerima Kelebihan dan Kelemahan
Lingkungan dapat membentuk sikap diri seseorang. Hal ini
terjadi pada individu yang mendapatkan sikap yang
menyenangkan dari lingkungannya. Tidak menolak diri
merupakan sikap menerima kenyataan diri pribadi, tidak
menyesali diri sendiri yang dulu maupun sekarang, tidak
membenci diri sendiri, serta jujur pada diri sendiri.
Mencintai Diri Sendiri
Jika individu sudah mencintai dirinya, maka tidak berharap
untuk dihargai orang lain maupun dicintai. Mencintai
dengan menerima segala kekurangan; memaafkan segala
kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat, dan
menghargai segala pencapaian yang telah dilakukan.
13
Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan
Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area
2018). Hal. 16 Dikutip pada 11 Januari 2021, Pukul 14.00 WIB
63
Semua itu dapat membangun diri dan memiliki
penghormatan tertinggi bagi pikiran, jiwa, tubuh dan hati.
5. Tahapan Penerimaan Diri
Kubler-Ross menjelaskan dalam buku Death & Dying
dalam (Anandita, 2018), bahwa sebelum mencapai Self-
accaptante individu akan melalui beberapa tahap ini:14
a. Tahap Denial, berupa pemberontakan atas peristiwa
yang tidak menyenangkan ataupun kekurangan yang
dimiliki
b. Tahap Anger, ditandai dengan reakasi emosi atau
marah atas kenyataan yang dialaminya.
c. Tahap Bergaining, Individu mengalihkan
kemarahannya dengan cara melibatkan Tuhan untuk
membuat sesatu yang baik dalam bentuk
kesepakatan.
d. Tahap Depression, pada tahap ini, individu
mengalami putus asa dan kehilangan harapan.
e. Tahap Acceptance, Individu mengalami pencapaian
titik terendah, dan mencoba menerima kenyataan
buruk yang terjadi.
14
Kubler-Ross, E. Death & Dying. (New York: Simon & Schuster
Inc, 2011) dalam Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan
Penrimaan Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas
Medan Area 2018). Hal. 16 Dikutip pada 11 November 2020, Pukul 14.00
WIB
64
Tahapan-tahapan yang tidak mudah untuk dijalankan
oleh seseorang untuk menerima diri sendiri, namun pada
kehidupan yang dijalankan oleh setiap individu, pasti
mengalami hal yang sama untuk menerima diri sendiri.
Saama halnya bimbingan keagamaan yang didapat oleh
santri waria, sehingga santri dapat mengetahui penerimaan
dirinya.
6. Dampak Penerimaan Diri
Pribadi yang memiliki penerimaan diri yang baik dan
menerima diri apa adanya, sehingga memiliki keseimbangan
emosional dan menjadi pribadi yang matang.15
Disisi lain, Maslow, mengemukakan dalam penelitiannya,
bahwa orang yang dapat menerima diri merupakan orang
yang sehat, karena tidak mengalami kecemasan-kecemasan
akan perasaan malu atau perasaan bersalah terhadap diri
mereka sendiri. Kemudian Hurlock menambahkan; apabila
terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan, maka individu
akan mampu berpikir logis tentang baik-buruknya masalah
ayng telah terjadi tanpa menimbulkan perasaan permusuhan,
perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman. 16
15
Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada
Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) hal 12
Dikutip pada 11 September 2020 16
Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada
Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) hal 14
Dikutip pada 11 September 2020
65
Seseorang yang memiliki penerimaan diri yang baik, akan
memiliki kualitas hidup yang baik berhubungan dengan
kesehatan fisiologis. Akan menunjukan selera makan yang
baik, tidur dengan nyenyak, dan menjalani proses penuaan
dengan baik—sehingga dapat diterima dengan perasaan
bahagia.17
B. Transgender
1. Pengertian Transgender
Transgender adalah istilah yang ditujukan kepada
identitas gender seseorang yang tidak mengubah jenis
kelaminnya yang diperoleh sejak lahir. Istilah transgender
di Indonesia dikenal dengan istilah waria. Pada daerah
tertentu dapat ditemukan istilah; wandu, wadam, bencong,
dan calabai.18
Kaitannya dengan transgender, menurut Hines teori
queer mencoba untuk mendekontruksikan kategori
tersebut karena semua gender dan identitas seksual adalah
17
Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada
Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) Dikutip
pada 11 September 2020 hal 30 18
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi
Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.6
66
konstruksi sosial, bertujuan untuk menghancurkan
anggapan patologi pada identitas minoritas.19
Pada tahun 1990 Teresa De Lauretis dan Judith Butler
memberikan pengertian bahwa teori queer berkaitan
dengan soal proses yang difokuskan pada pergerakan
yang melintasi ide, ekspresi, hubungan, ruang dan
keinginan yang menginovasi perbedaan cara hidup di
dunia.20
Pengertian lain dari transgender menurut Yash21
;
transgender adalah kata yang digunakan untuk
mendiskripsikan bagi orang yang melakukan, merasa,
berpikir, atau terlihat berbeda jenis kelamin yang telah
ditetapkan sejak lahir. Transgender tidak mengacu pada
bentuk spesifik apapun maupun orientasi seksual
orangnya. Seorang transgender dapat saja
mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang
heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.
19
S, Hines. Transforming Gender: Transgender Practices of identify,
intimacy, and care. (University of Bristol: The Police Press), hal. 25. Dalam
jurnal Iqra S, Anindita A. Representasi Transgender dan Transeksual dalam
Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis.
(Universitas Indonesia: Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, 2014), [email protected], [email protected] dikutip
pada Selasa, 08 Oktober 2019, pukul 20:35 WIB.
20
http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2015/11/15/memah mi-
teori-queer-5/ Dikutip pada 15-10-2019, pukul 20:18 WIB 21
Yash, Transseksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan
Transeksual Perempuan ke Laki-Laki (Semarang: AINI, 2003), hal. 17
67
Dari sekian banyaknya pengertian transgender,
peneliti menarik benang merah dari pengertiannya, yakni
seorang laki-laki yang mengalami perbedaan mulai dari;
perasaannya seperti perempuan, menyukai sesama jenis,
dan ingin bertingkah seperti perempuan pada umumnya,
ini disebut waria.
Seksualitas tidak lepas dengan bentuk keragaman
gender. Menurut Musdah Mulia dalam bukunya Islam
dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi juga
menganalisa arti dari seksualitas adalah hal yang positif
dan berhubungan dengan jati diri seseorang serta
kejujuran seseorang terhadap dirinya.22
Melengkapi pengertian adanya perubahan perasaan
pada jenis kelamin yang berbeda, buku Menguak Stigma
dan Diskriminasi mengartikan seksualitas yaitu semua hal
yang terkait dengan seks atau jenis kelamin manusia
sehingga dapat diartikan bahwa seksualitas merupakan isu
yang tidak berdiri sendiri dan tidak lepas dari pengaruh
sejarah, sosial, budaya, hukum, agama, etika, ekonomi,
dan politik.23
Seksualitas dijelaskan juga oleh Suparno (dalam
Kartika, 2016) bahwa seksualitas menyangkut seluruh
22
Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan
Implementasi. (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hal. 285 23
Laazulva, Indana. Menguak Stigma dan Diskriminasi (Jakarta: Arus
pelangi, 2013), hal. 17
68
keberadaan diri kita sebagai manusia yang diciptakan
Tuhan. Maka, kaitannya dengan penampilan tubuh,
bagaimana kita merasa aman dan bangga terhadap diri
kita, bagaimana kita berinteraksi dan membangun relasi
yang mendalam dengan diri sendiri dan orang lain.24
Transgender merupakan salah satu kelompok
minoritas atau kelompok kecil yang memiliki hak
beragama atas keyakinan mereka, sehingga tidak mudah
orang yang berbeda dengan heteronormativitas untuk
menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Dalam buku
Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas (Sebuah
tafsir dan kontekstual Islam), penulis mempertanyakan;
apakah agama memberikan ruang untuk orang dengan
hidup sebagai transgender atau waria? dalam konteks hak
beragama sebagai makhluk ber-Tuhan.
Bagi mereka yang menemukan jawaban, selain dari
jawaban penghakiman sekalius stigma negatif buruk dan
berdamai dengan dirinya, adalah sebuah augerah besar.
Karena dengan penerimaan tersebut, hidupnya akan
lebih tenang, dan mampu berdamai dengan situasi yang
menekan selama ini serta dapat berdamai dengan
24
Kusuma, Nur. Kartika Studi Fenomenologi Seksualitas
Transgender Wanita di Samarinda. (Psikoborneo: Fisip-Unmul) 4 (2): 362-373
(Suparno, Paul. Seksualitas Kaum Berjubah (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
69
dirinya.25
Menyambung kembali pada teori queer yang
digunakan oleh peneliti. Dalam kamus Oxford Learners
Pocket yang dikutip oleh Arif Nuh Safri, mengartikan
teori queer yang diartikan sebagai sesuatu yang tidak
biasa atau aneh, dan keanehan itu ditujukan pada orang-
orang homoseksual.26
Melihat penelitian penerimaan diri
kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan,
akan mengkiblat pada teori queer yang berbasis teologi—
queer yang memiliki sifat inklusif dan ramah yang
didasarkan pada teks keagamaan.
2. Konsep Transgender (Waria)
Kebanyakan dari kawan-kawan waria, mereka
mengatakan kenyamanan dengan kondisi fisiknya (masih
memiliki alat kelamin laki-laki) meskipun mereka dalam
kesehariannya berpenampilan seperti perempuan.27
Karena banyak waria yang tidak mengalami operasi
kelamin, hanya saja kawan-kawan waria akan lebih
senang jika disebut perempuan.
a. Ciri-ciri Transgender (waria)
25
Safri, N.A. Memahami Keragaman Gender Dan Seksualitas
(Sebuah tafsir kontekstual Islam), (Yogyakarta: Lintang books, 2020) hal. xviii 26
Safri, N.A. Memahami Keragaman Gender Dan Seksualitas
(Sebuah tafsir kontekstual Islam), (Yogyakarta: Lintang books, 2020) hal. 52 27
Sara, Yuni. Sudah Adakah Kesetaraan di Kelompok Waria?. Dalam
Waria Kami Memang Ada. (Yogyakarta: PKBI DIY, 2007) hal. 25-26
70
Untuk mengidentifikasikan individu tersebut seorang
transgender, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:28
Pada masa anak-anak; lebih suka memakai pakaian
lawan jenis, menyukai permainan lawan jenis, lebih
suka bermain dengan teman-teman lawan jenis,
menyukai peran sebagai lawan jenis dalam bermain
atau berfantasi menjadi lawan jenis, dan berulang kali
menyatakan keinginannya untuk menjadi lawan jenis.
Pada masa remaja dan dewasa; simtom-simtom seperti
keinginan untuk menjadi lawan jenis, ingin
diperlakukan sebagai lawan jenis, emosi yang dimiliki
bertipikal seperti lawan jenis.
b. Faktor-faktor Pembentuk Transgender (waria)
Dalam konteks ini, masih banyak perdebatan hal-hal
yang menyebabkan transgender. Berikut faktor-faktor
penyebab transgender yang dijelaskan dalam buku
Understanding Abnormal Behaviour:29
a. Perlindungan dan perhatian yang berlebihan dari
seorang ibu.
28
Davidson, G.C., Neala, J.M. & Kring, A.M. Psikologi Abnorma.
(Jakarta: Rajawali pers, 2010) hal 35-36 lihat di Pratama, Rendi. Upaya Waria
Untuk Mendapatkan Penerimaan Sosial Dari Masyarakat. (Skripsi:
Universitas Jember, 2017) hal 13. Dikutip pada 14-02-2021 pukul 15.05 WIB 29
Sue, David. Understanding Abnormal Behaviour, (Boston:
Houghton Mifflin Company, 1986) Edisi 3, hal. 339 lihat di Pratama, Rendi.
Upaya Waria Untuk Mendapatkan Penerimaan Sosial Dari Masyarakat.
(Skripsi: Universitas Jember, 2017) hal 13. Dikutip pada 14-02-2021 pukul
20.00 WIB
71
b. Tidak adanya figur ayah
c. Kurang mendapatkan teman laki-laki dalam
bermain
d. Dukungan pemakaian pakaian yang menyimpang
Dalam penjelasan lain, penyebab terjadinya waria atau
transgender menurut beberapa penelitian:
Faktor Biologis
Dalam psikologi perkembangan, Elizabeth
menjelaskan bahwa faktor pembentuk individu waria,
dapat terjadi karena faktor biologis/genetis. Pada masa
pembuahan awal, yakni saat penentuan jenis kelamin.
Jenis kelamin individu bergantung dari jenis
spermatozoon (sel kelamin pria) yang menyatu dengan
ovum. Ada dua jenis spermatozoa (bentuk jamak
spermatozoon), yang pertama yakni mengandung 22
pasang kromosom ditambah 1 kromosom X, sedangkan
jenis yang kedua mengandung 22 kromosom ditambah
1 kromosom Y.
Sel telur yang matang selalu mengandung
kromosom X, yang akan menghasilkan janin kelamin
perempuan dan jika dibuahi oleh spermatozoa kedua
(Y) akan menghasilkan janin kelamin laki-laki.30
30
Elizabeth B. Hurlock. Psikologi Perkembangan, hal. 30-31 lihat di
Sandiah, Anwar, F. Konsep Diri Santri Waria. (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga,
2016) hal. 32. Dikutip pada 15-02-2021 pukul 10.10 WIB
72
Wanita normal memiliki kromosom XX sedangkan
laki-laki yaitu XY.
Penelitian yang dilakukan oleh Jacob dan Strong
menjelaskan bahwa konstitusi kromosom tidak bersifat
mutlak, yakni kromosom XX (wanita) dan kromosom
XY (pria), terkadang individu dapat memiliki susunan
kromosom XXY atau XXYY.31
Bertambahnya susunan
kromosom pada masing-masing kromosom yang
dimiliki wanita dan laki-laki, maka dapat menjadikan
salah satu faktor perubahan sifat alamiah dari genetik.
Penelitian lain juga menyebutkan penyebab lain yakni
dari pola asuh.
Faktor Psikologi
Faktor yang kedua ini disebutkan dalam Social
Learning Theory yang dikutip oleh Nisa Anandita,
2018; menjadi penyebab transgender atau waria bisa
juga disebabkan oleh faktor psikologis. Pada masa
kecil, anak laki-laki sudah menghadapi permasalahan
yang tidak menyenangkan; baik dengan orang tua, jenis
kelamin yang lain, frustasi heteroseksual, iklim
keluarga yang brokenhome atau tidak harmonis,
sehingga dapat mempengaruhi perkembangan
31
Dalam buku Koeswinarno, namun tidka menjelaskan secara rinci
penelitian yang dilakukan oleh Jacobs dan Strong. Lihat Koeswinarno. Hidup
Sebagai Waria, (Yogyakarta: Lkis, 2004) hal. 17. Dikutip oleh Sandiah.
Anwar. F. Konsep Diri Santri Waria, (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga, 2016) hal
33. Dikutip pada 15-02-2021 pukul 10.42 WIB
73
psikologis anak. Selain itu juga keinginan orang tua
untuk memiliki anak perempuan, pada kenyataannya
anaknya adalah seorang laki-laki.32
Faktor Sosiologis33
Pada faktor lingkungan sosial termasuk keadaan
yang kurang kondusif. Waria atau transgender
mengalami stigma dan pengasingan dari masyarakat
terhadap komunitas waria atau transgender yang
merupakan tempat perkumpulan/kelompok, karena di
tempat ini, waria atau transgender akan menjadikan
dirinya lebih baik dalam berperilaku maupun orientasi
seksualnya.
Menjadi seorang waria atau transgender mengalami
beberapa kasus termasuk sulit mendapatkan pekerjaan.
Hal tersebut dapat menyebabkan individu mengubah
penampilannya menjadi waria atau transgender—hanya
untuk mencari nafkah dan akhirnya menjadi permanen.
Terakhir dari faktor sosiologis ini, yakni kesalahan
dalam mengasuh di masa kecil. Misalnya keinginan
orang tua menginginkan memiliki anak perempuan,
sehingga ada sedikit sikap orang tua; memberikan
32
Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan
Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area
2018). Hal. 4 Dikutip pada 16 Januari 2021, Pukul 07.00 WIB 33
Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan
Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area
2018). Hal. 4 Dikutip pada 16 Januari 2021, Pukul 07.30 WIB
74
pakaian anak perempuan, ataupun mendandani anak
laki-lakinya layaknya anak perempuan.
Berdasakan uraian di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa; adanya faktor-faktor yang menjadikan individu
menjadi waria atau transgender tidak disebabka karena
satu dua faktor saja, karena ada beberapa hal yang yang
harus dilihat secara holistic, sebab memiliki banyak
variabel juga bagian dari terbentuknya seorang menjadi
waria atau transgender terutama pada faktor biologis dan
sosiologis. Dalam konteks ini, kembali lagi pada waria
atau transgender yang bukan hanya sebagai makhluk
sosial, namun juga makhluk ciptaan-Nya atau makhluk
yang memiliki rasa ketuhanan.
c. Hambatan yang dialami Transgender (Waria) di
Indonesia
Pandangan kurang baik terhadap transgender, sehingga
banyak orang yang menilai dari kehidupan, pekerjaan mereka
hanyalah menjadi pengamen atau pekerja seks. Pada
kenyatannya, banyak profesi yang digeluti oleh seorang
75
transgender. Istiqlal menjelaskan hambatan-hambatan yang
dialami transgender (waria):34
1. Hambatan Menjalankan Ritual Keagamaan
Kesempatan individu untuk beribadah, khususnya
bagi yang muslim tidak dapat melaksanakan di
tempat ibadah umum. Mengingat masih dalam
keadaan berpakaian seperti wanita.
2. Hambatan dalam Pendidikan
Memasuki usia Sekolah Menengah Pertama (SMP)
mereka mengalami masalah dalam pergaulan
dilingkungannya. Karena individu tersebut merasa
terganggu dengan dorongan perasaan dan libidonya
untuk lebih dekat dengan laki-laki. Keadaan ini
menimbulkan penolakan dari teman-teman sebayanya
di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Keadaan
ini menimbulkan hambatan kelanjutan belajar di SMP
sampai ke Perguruan Tinggi.
3. Hambatan Kesempatan Bekerja
Rendahnya taraf pendidikan dan kemampuan
keterampilan yang ditempuh oleh individu waria,
membuat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Namun
jenis pekerjaan yang disukai pada umumnya yaitu di
bidang wanita, sehingga masyarakat melihatnya aneh
34
Istiqlal Praja Dinar. Spiritualitas Pada Waria Pekerja Seks
Komersial Di Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta, (Skripsi: Fakultas
Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Jakarta, 2019) hal. 33-34
76
dan sulit memberikan pekerjaan kepada waria. Di sisi
lain, banyak dari mereka yang memiliki keahlian;
merias wajah, menjahit, menggunting rambut, dengan
keterampilan tersebut mereka tidak sulit memperoleh
pekerjaan. Bagi waria yang kesulitan mencari
pekerjaan, akibatnya sekelompok waria ada kalanya
mencoba menjadi pekerja seks atau mengamen.
4. Hambatan Kesempatan Perlindungan Hukum
Ditinjau dari segi hukum, seorang transgender
dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki, maka yang
dituis dalam akte berjenis kelamin laki-laki.
Demikian juga didalam Kartu Tanda Penduduk (KTP)
adalah laku-laki dan perempuan. Jika di kemudian
hari ada dari kelompok yang ingin mengubah
kelaminnya dengan operasi kelamin, maka akan
menyangkut berbagi faktor, seperti kejiwaan, medis,
dan hukum. Melibatkan pula berbagai pihak, yakni
keputusan Hakim, keputusan keluarga, dan
pertimbangan Hukum Agama.
d. Potensi yang Dimiliki Transgender (waria)
Tuhan menitipkan kelebihan dan kekurangan pada diri
manusia, yakni untuk diolah menjadi potensi diri. Setiap
manusia memiliki potensi yang unik dan menarik. Pun
demikian tidak berbeda dengan waria atau transgender yang
juga memiliki potensi diri. Dalam bukunya Fuad Nashori
menjelaskan, manusia memiliki potensi yang beragam dan
77
potensi tersebut digolongkan menjadi dua; potensi fisik dan
non fisik.35
Potensi Fisik
Pada potensi fisik, kemampuan yang dimiliki individu yakni,
keadaan jasmani, penampilan indrawi dan sesuatu yang
terlihat oleh mata. Dalam konteks ini, individu transgender
memiliki penampilan maupun perilaku yang berbeda; lemah-
gemulai, lembut, kulit, dan cenderung memiliki tubuh yang
kuat, dll. Jika potensi-potensi tersebut diasah, maka akan
menjadi suatu kecakapan, keahlian, dan ketrampilan dalam
bidang tertentu.
Potensi Non Fisik
Potensi yang sangat mahal adaah potensi intelektual,
kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual.
1. Kecerdasan Spiritual, kecerdasan yang menyangkut
moral, mampu memberikan pemahaman untuk
membdakan sesuatu yang benar dan salah, dan
memiliki hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dan
sesama dengan memberikan kebermanfaatan. Memiliki
tekanan sosial dari masyarakat, dalam beribadah pun
masih dipandang belum baik.
35
Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia (Seri Psikologi Islami).
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal. 89
78
2. Kecerdasan emosional, dalam kecerdasan ini,
transgender memiliki kemampuan untuk; memotivasi
diri sendiri, mampu menghadapi frustasi, mengatur
suasana hati, menjaga mental supaya tidak stress
sehingga tidak melumpuhkan pikiran, memiliki empati
dan banyak berdoa.
3. Potensi Intelektual, semua manusia memiliki potensi
yang terbesar pada dirinya, yakni otak. Otak
terklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu otak kanan
(berfungsi untuk melakukan aktivitas imajinasi atau
intuisi, kreasi atau kreativitas, dan inovasi atau seni)
dan otak kiri (berfungsi untuk menghafal atau
mengingat, logika atau berhitung, menganalisis,
memutuskan dan bahasa).36
4. Kecerdasan Sosial, merupakan kepekaan sosial,
memiliki cara berkomunikasi yang baik, empati,
pengertian dan mampu memahami orang lain.
C. Bimbingan Keagamaan
1. Pengertian Bimbingan
Pada manuskrip sejarah pekembangan agama-agama
di dunia, bimbingan agama telah dijalankan oleh; nabi,
rasul, sahabat nabi, para ulama, pendeta, rahib, dan para
pendidik di lingkungan masyarakat dari zaman ke zaman.
36
Wiyono, Slamet. Manajaman Potensi Diri, (Jakarta: Grasindo,
2006) hal. 38
79
Maka dari itu, dalam lingkup masyarakat beragama secara
non formal, sudah tidak asing dengan bimbingan agama—
namun, ada sedikit perbedaan yang tidak didasari oleh
teori-teori pengetahuan yang berhubungan dengan teknis
ataupun administrasi pelaksanaan.
Istilah Guidance merupakan terjemahan dari
bimbingan yang berasal dari bahasa Inggris secara
etimologis. Kata dasar dari “guidance” yaitu “guide” yang
memiliki beberapa arti yakni; menunjukan jalan (showing
the way), memimpin (leading), memberikan petunjuk
(giving instruction), mengatur (regulating), mengarahkan
(governing), dan memberi nasehat (giving advice).37
Sesuai
dengan istilahnya, maka bimbingan dapat diartikan secara
umum sebagai suatu bantuan. Namun untuk mencapai
pengertian sebenarnya, bantuan atau tuntutan perlu
memperhatikan sistematika dan prosedur dasarnya serta
tujuan tertentu.38
Dalam Buku Psikologi Konseling juga mengartikan
bimbingan yaitu suatu proses pemberian bantuan yang
terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada
yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam
pemahaman diri dan perwujudan diri, dalam mencapai
37
Tohirin. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah
(Berbasis Integrasi). (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 16 38
Dewa Ketut Sukardi & Nila Kusmawati, Proses Bimbingan dan
Konseling (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), hal. 1
80
tingkat perkembangan yang optimal serta penyesuain diri
dengan lingkungannya.39
Syamsu Yusuf memberikan
istilah, bahwa bimbingan dapat dimaknai sebagai bantuan
atau pertolongan yaitu sebagai upaya untuk menciptakan
lingkungan (fisik, psikis, sosial, spiritual) yang kondusif
bagi perkembangan seseorang, memberikan dorongan dan
semangat, mengembangkan keberanian bertindak,
bertanggung jawab, serta mengembangkan kemampuan
untuk memperbaiki dan mengubah perilakunya sendiri.40
Istilah bimbingan dari berbagai pendapat di atas,
dapat disimpulkan oleh Prayitno dan Erna Anti41
bahwa,
proses pemberian bantuan yang dilakukan orang yang ahli
kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik
anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya
sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan
individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan
berdasarkan norma-norma yang berlaku.42
Keagamaan merupakan salah satu istilah dari
kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan
39
Surya, Mohammad. Psikologi Konseling (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2003), hal. 2 40
Syamsu Y, Juantika N. Landasan Bimbingan dan Konseling.
(Bandung: Rosdakarya, 2008) hal. 6 41
Prayitno dan Erman Anti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 99 42
Prayitno dan Erman Anti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 99
81
mengadakan hubungan dengan Nya melalui upacara,
penyembahan, dan permohonan, serta membentuk sikap
hidup manusia menurut alam berdasarkan ajaran
Agama.43
Menurut Glock & Stark Religiusitas atau keagamaan
diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.
Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga
melakukan aktivitas) yang tak tampak dan terjadi dalam
hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang akan
meliputi berbagai macam dimensi. Menurut C.Y Glock
dan R.Strak,44
terdapat lima dimensi keagamaan yaitu: 1)
Dimensi Ideologis (the ideological dimensions / religious
belief), 2) Dimensi praktik agama (the ritualistic
dimensions/ religious practice), 3) Dimensi pengalaman
dan penghayatan (the experiential dimensions / religious
feeling), 4) Dimensi pengetahuan agama (the intellectual
dimensions / religious knowledge), 5) Dimensi
Pengalaman dan konsekuensi (the consequential
dimensions / religious effect)
Bouquet mendefinisikan agama yaitu sebagai
hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang
43
Daud Ali. Pengatr Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2002) hal, 40 44
Djmalaludin Ancok, & Suroso, Fuad Nashori. Psikologi Islami,
Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Belajar, 1995) hal. 77
82
bukan manusia dan itu bersifat suci dan supranatural,
berada dengan sendirinya dan mempunyai kekuasaan
absolut yang disebut Tuhan.45
Menurut Harun Nasution,
Agama berasal dari kata al-din, religi (religare, religare)
dan agama. Al-din berarti undang-undang hukum,
kemudian dalam bahasa Arab, kata ini diartikan
menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan,
kebiasaan.
Menurutnya intisari dari agama adalah ikatan, yang
mana ikatan tersebut yang harus dipatuhi dan dipegang
teguh oleh manusia.46
Berbeda dengan pendapat W.H. Clark yang tertulis
dalam buku Ilmu Jiwa, bahwa; tidak ada yang lebih sukar
mencari kata-kata, kecuali menemukan kata-kata yang
sepadan untuk mendefinisikan agama, dimana penuh
dengan kegaiban dan misteri.47
Sejalan dengan pengertian dari bimbingan dan
keagamaan, maka dapat disimpulkan, yakni suatu usaha
pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami
kesulitan, baik lahiriyah maupun batiniah, yang
menyangkut kehidupan dimasa kini dan mendatang.
45
Rusmin, Tumanggor. Ilmu Jiwa Agama, The Psychology of
Religion (Jakarta: Kencana, 2014) hal. 2 46
Nasution, Harun, Islam (ditinjau dari berbagai aspeknya). (Jakarta:
UI Press, 2013), hal 1-2 47
Tumanggor Rusmi, Ilmu Jiwa Agama, The Psychology of Religion
(Jakarta: Kencana, 2014) hal. 2014
83
Bantuan tersebut berupa pertolongan di bidang mental dan
spiritual, dengan maksud agar orang yang bersangkutan
mampu mengatasi kesulitannya dengan kemampuan yang
ada pada dirinya sendiri melalui dorongan dari kekuatan
iman dan takwa kepada Allah swt.48
Menurut Ainul Muttaqin dalam tesisnya
menyimpulkan, bahwa bimbingan keagamaan merupakan
kegiatan yang dilaksanakan untuk pemberian kecerahan
batin sesuai dengan ajaan agama, dan harapannya santri
atau yang terbimbing dapat mengatasi masalah yang
terjadi dalam dirinya, serta lebih pasrah juga berserah diri
kepada Tuhan Yang Mahah Esa.49
Seperti yang
diterangkan dalam QS Al-Maidah ayat 2:
شديد ث والعدوان وات قوا الل إن الل وال ت عاونوا على ال العقاب
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
48
Arifin, Stretegi Komunikasi, Sebuah Penganar Ringkas, (Bandung:
CV. Armico, 1994) hal 2 49
Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan
Nilai-Nilai Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas
Kelas II-A Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program
Pasca Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal.
16 Dikutp pada 20-02-2021 pukul 06.00 WIB.
84
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakawalah kamu
keoada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.50
2. Landasan Bimbingan Keagamaan
Proses pemberian bantuan yang sistematis dari
pembimbing kepada yang dibimbing, tentunya ada hal yang
mendasari agar tercapai. Hamdani Adz-Dzaky memberikan
enam asas atau kaidah yang diterapkan menjadi landasan
dan pedoman dalam melakukan bimbingan, yakni:51
b. Asas Tauhid, dalam hal ini pembimbing membantu
santri untuk membangkitkan potensi imannya
supaya terhindar dari kemusyrikan.
c. Asas Penyerahan Diri, atau tunduk dan tawakal
kepada Allah, pada proses ini pembimbing
menyadarkan santri dengan memberi tahu bahwa
dibalik berusaha maksimal yang disertai doa, juga
harus berserah kepada Allah SWT.
d. Asas Syukur, dalam memberikan layanan bimbingan
keagamaan hendaknya diingat bahwa kesuksesan
usaha adalah atas pertolongan dan izin Allah SWT,
oleh sebab itu masing-masing pihak harus bersyukur
atas kesuksesan yang diraih.
50
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-
Maidah ayat 2, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 106 51
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Konseling dan Psikoterapi Islam,
(Yogyakarta: Al-Manar, 2008) cet ke-6, hal. 1-2
85
e. Asas Sabar, pada tahap ini pembimbing dan santri
dalam melaksanakan pernaikan atau pengambangan
diri harus bersabar dalam melaksanakan perintah
Allah SWT dan menunggu hasilnya atas izinNya.
f. Asas Hidayah Allah, tahap yang tidak dapat ditebak
oleh manusia sehingga kesuksesan dalam
membimbing yaitu tidak sepenuhnya hasil upaya
dari pembimbing dan santri, namun masih
bergantung pada hidayah dari Allah SWT.
g. Asas dzikrullah, untuk menjaga hasil bimbingan
yang sudah didapatkan, seyogyanya santri banyak
mengingat Allah SWT baik dalam hati, dalam
bentuk ucapan dan perbuatan.
3. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Keagamaan
Dua komponen bimbingan dan keagamaan,
merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat terpisahkan,
karena bagian integral untuk memberikan petunjuk dalam
proses bimbingan kepada santri waria. Dalam buku
pokok-pokok pikiran tentang bimmbingan dan penyuluhan
agama merumuskan dua tujuan umum yakni, dalam
membantu mewujudkan individu menjadi manusia
seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat. Selanjutnya tujuan khususnya, yaitu:
a. Membantu orang yang dibimbing supaya memiliki
religious reference (sumber pegangan keagamaan)
dalam pemecahan problem-problem.
86
b. Membantu orang yang dibimbing supaya bersedia
mengamalkan ajaran agamanya melalui kesadaran
dan kemaunnya.52
Harapan terwujudnya tujuan bimbingan keagamaan,
dalam beberapa penelitian, yakni supaya individu atau
santri yang telah melaksanakan bimbingan tersebut dapat
merencanakan, mengembangkan potensi yang dimiliki
setelah bimbingan, serta bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitranya juga dapat mengatasi masalah atau
hambatan yang terjadi dalam diri individu.
Sehingga Nurihsan menjelaskan lebih detail, apa yang
harus dipersiapkan oleh pembimbing kepada individu
atau santri yang dibimbing:
a. Mengenal dan memahami potensi-potensi yang ada di
lingkungannya
b. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan dan
tugas-tugasnya.
c. Mengenal dan menentukan rencana dalam tujuan
hidupnya, serta rencana pencapaian tujuannaya nanti.
d. Memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitannya
sendiri
e. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari
lingkungannya
52
M. Arifin, Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan
Penyuluhan Agama (di Sekolah dan di Luar Sekolah), (Jakarta: Bulan Bintang,
1978) hal.29
87
f. Mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang
dimilikinya secara tepat, teratur, dan optimal.
Aunur Rahim Faqih yang dijelaskan kembali oleh
Anwar Sutoyo merumuskan tujuan bimbingan, yang
dibagi menjadi dua bagian umum dan khusus. Tujuan
umumnya adalah dengan membantu individu untuk
mewujudkan dirinya menjadi insan yang lebih baik agar
tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Selanjutnya untuk tujuan khususnya, yakni:
Membantu individu dalam mengatasi masalah yang
sedang dihadapinya
Membantu individu untuk mengolah (memelihara dan
mengembangkan) situasi dan kondisi yang baik agar
tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak
menyebabkan sumber masalah bagi dirinya dan orang
lain.53
Di sisi lain, terdapat fungsi bimbingan keagamaan yang
disampaikan oleh beberapa ahli:
Fungsi kuratif, membantu individu memecahkan
masalah yang sedang di alaminya.
Fungsi preservatif, membantu individu untuk menjaga
situasi dan kondisi yang awalnya tidak baik atau
53
Sutoyo, Anwar. Bimbingan dan konseling Islami (Teori dan
Praktek), (Semarang: CV Cipta Prima Nusantara, 2007) hal. 36-37
88
bermasalah berubah menjadi baik dengan memecahkan
masalah dan kebaikan itu bertahan lama.
Fungsi developmental, membantu individu memelihara
dan mengembangkan situasi dan kondisi yang sudah
baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga
tidak menyebabkan munculnya masalah bagi dirinya.54
Fungsi pengembangan, adalah fungsi untuk
mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang
dimiliki individu.
Fungsi penyesuaian, dalam hal ini membantu individu
menemukan penyesuaian diri dan perkembangannya
secara optimal.55
Fungsi pemahaman, merupakan bimbingan dalam
memahami dirinya sendiri yang meliputi; kemampuan
diri, bakat diri, serta lingkungannya.
Fungsi perbaikan, pada fungsi ini akan menghasilkan
perbaikan dirinya dengan mengatasi masalah dan
memperbaiki dirinya.
54
Sutoyo, Anwar. Bimbingan dan konseling Islami (Teori dan
Praktek), (Semarang: CV Cipta Prima Nusantara, 2007) hal. 36-37 55
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan & Konseling Dalam
Berbagai Latar Kehidupan. (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) hal. 8-9
dalam Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan Nilai-
Nilai Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas Kelas
II-A Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program Pasca
Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal. 16
Dikutip pada 22-02-2021 pukul 12.00 WIB.
89
Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, melalui
fungsi ini, santri atau peserta bimbingan dapat
memilihara dan mengembangkan pribadinya untuk
lebih terarah dan terkontrol.56
Dalam hal dapat disimpulkan bahwa fungsi utama
bimbingan keagamaan, yaitu tidak dapat terpisahnya antara
hubungan kejiwaan dengan masalah-masalah spiritual
(keyakinan). Islam memberikan bimbingan kepada individu
agar dapat kembali pada bimbingan Al-Qur’an dan As-
Sunnah, karena sudah jelas bahwasanya sebagai umat manusia
yang diciptakan Allah SWT harus mengikuti apa yang telah
diturunkan oleh Allah kepada umat manusia yakniAl-Qur’an
dan As-Sunnah, hal tersebut telah jelas dalam QS. Al-A’raf
ayat 3:57
اتبعوا ما انزل اليكم من ربكم وال ت تبعوا من دونهرون ما قليل اولياء تذك
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan
janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).58
56
Sukardi Ketut Dewa, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan
dan Konseling Di Sekolah, (Jakarta: PT Renika Cipta, 2008) hal. 43 57
Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan
Nilai-Nilai Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas
Kelas II-A Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program
Pasca Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal.
16 Dikutip pada 22-02-2021 pukul 14.00 WIB. 58
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-
A’raf ayat 3, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 151
90
4. Metode Bimbingan Keagamaan
Dalam melaksanakan bimbingan keagamaan, metode
merupakan bahan utama yang digunakan oleh
pembimbing. Metode berasal dari bahasa Yunani, yang
terdiri dari penggalan kata “meta” yang berarti melalui
dan “hodos” berarti jalan. Buku Bimbingan dan Konseling
Islam membawa pengertian yang lebih luas, metode bisa
diartikan sebagai segala sesuatu atau cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
Melengkapi metode yang dijadikan sebagai acuan,
terdapat “teknik” dan “pendekatan”, keduanya dipahami
sebagai cara-cara ilmiah yang dipakai sebagai alat atau
instrument dalam melakukan pekerjaan yang sifatnya
lebih fokus kepada subyek dan obyek penelitian.59
Dalam konteks bimbingan keagamaan terhadap santri
waria, maka dapat menggunakan metode-metode di
bawah ini yang dirumuskan oleh beberapa ahli:
a. Spiritualism method
(1) Latihan spiritual
Metode ini mengarahkan klien/santri waria untuk
mencari ketenangan hati dengan mendekatkan
59
M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling
Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
hal. 120-133 dalam Naimah, Alfin. Mekanisme Problem Focused Coping
Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual. (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2020) hal. 65 Dikutp pada 20 februari 2021
Pukul 23.00 WIB
91
diri kepada Allah SWT, yang dijadikan sebagai
sumber ketenangan hati, kekuatan dan
penyelsaian masalah serta penyembuhan penyakit
mental.
(2) Menjalin kasih sayang (ukhuwah Islamiyah)
Keberhasilan dalam melaksanakan bimbingan
tidak lepas dari terciptanya hubungan baik antara
pembimbing dan santri atau klien. Hubungan
yang dimasksud yakni kasih sayang (ukhuwah
islamiyah).
(3) Cerminan alqudwah al-hasanah
Proses bimbingan yang berlangsung secara face
fo face, maka dapat menempatkan pembimbing
pada posisi sentral di hadapan klien. Sudut
perhatian klien tidak hanya pada batasan
petunjuk-petunjuk yang diberikan selama
bimbingan berlangsung, namun klien meyakini
bahwa pembimbing sebagai sosok yang mampu
menyelesaikan masalahnya. Oleh karena itu, sifat
keteladanan yang dimiliki pembimbing perlu
diekspresika atau diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam proses bimbingan
muapun di luar kegiatan.60
60
Noer Iskandar, M. Ali Mansyur, Waria Dan Pengubahan Kelamin
DItinjau Dari Hukum Islam. (Yogyakarta: nurcahya, 1981) hal 137-143 dalam
92
b. Wawancara, yaitu cara atau teknik yang digunakan
untuk mengetahui mengenai fakta-fakta mental
atau kejiwaan (psikis) yang ada pada diri yang
dibimbing dengan cara tanya jawab secara face to
face.
c. Observasi, yaitu cara atau teknik yang digunakan
untuk mengamati secara langsung sikap dan
perilaku yang tampak pada saat-saat tertentu,
muncul sebagai pengaruh dari kondisi mental atau
kejiwaannya.
d. Bimbingan kelompok (group guidance), yaitu:
teknik bimbingan melalui kegiatan
bersama/kelompo, seperti kegiatan; diskusi,
ceramah, seminar dan sebagainya. Teknik ini
dipakai untuk mempelajari dan mengetahui
komunikasi dan interaksi sosial yang dilakukan
individu-individu (terbimbing/klien) agar mampu
menumbuhkan atau mengembangkan potensi-
potensi sosial klien.
e. Non direktif (teknik tidak mengarahkan), pada
teknik ini mengaktifkan klien dalam
mengungkapkan dan memecahkan masalah
dirinya.
Jurnal Dakwah (2010, Vol. XI, No. 2) hal. 182-183. Dikutip pada 29
Desember 2020 pukul 18:53 WIB
93
f. Direktif (bersifat mengarahkan), adalah satu teknik
yang diberikan dan digunakan bagi klien yang
tidak bisa mengerti masalahnya dan mengalami
kesulitan dalam memahami dan
memecahkannya.61
g. Metode Demonstrasi / percontohan
Pada metode ini, pembimbing memberikan contoh
dengan mempertunjukan atau memperagakan.
Contoh dalam metode demonstrasi yaitu
menyangkut praktek ibadah; cara berwudhu,
praktek shalat, merawat jenazah, dan berdoa.
h. Metode Psikoterapi
Metode ini merujuk pada tokoh psikolog yaitu
Sigmund Freud, tentang alam ketidaksadaran dan
psikoanalisa. Pada fenomena iceberg (gunung es)
terapung di laut yang berarti sebagian besar
perilaku manusia didorong oleh motif yang tidak
disadari, hal tersebut disampaikan oleh Sigmung
Freud. Sarlito menjelaskan di dalam bukunya,
bahwa terdapat dua kesadaran yang terlihat pada
bagian atas gunung es terlihat 12 % pikiran sadar
61
M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling
Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
hal. 120-133 dalam Naimah, Alfin. Mekanisme Problem Focused Coping
Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual. (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2020) hal. 65 Dikutp pada 20 februari 2021
Pukul 23.00 WIB
94
(conscious) dan bagaian bawahnya 88 % pikiran
tidak sadar (subsconcious).62
Dalam Nurokhi yang dikutip oleh Nurwahidah
dalam penelitiannya menjelaskan bahwa conscious
memiliki empat fungsi utama; menggali informasi dari
panca indra, lalu dibandingkan dengan memori,
selanjutnya menganalisa dan memutuskan respon
spesifik terhadap informasi tersebut. Berbeda pada
subsconcious, berfungsi untuk memproses kebiasaan,
perasaan, kepribadian, memori permanen, intiusi,
kreativitas, dan keyakinan.63
Metode-metode bimbingan yang telah diuraikan di
atas, secara khusus dalam metode bimbingan keagamaan
menggunakan pendekatan Islami yang dikemas ke dalam
beberapa teknik pendekatan, berikut yaitu:64
1. Teknik bil-hikmah; teknik ini digunakan dalam
menghadapi orang-orang terpelajar, intelek, dan
62
Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta:
Rajawali Press, 2009) hal. 31-32 63
Nurwahiah Revita, Bimbingan Agama Untuk Pembentukan
Karakter Kepedulian Sosial Santriwati Di Pondok Pesantren Darunnajah 3
Serang Banten, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020) hal. 35 64
M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling
Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
Hal. 135-137 dalam Naimah, Alfin. Mekanisme Problem Focused Coping
Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual. (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2020) hal. 65 Dikutp pada 20 februari 2021
Pukul 23.00 WIB
95
memiliki tingkat rasional yang tinggi, yang
kurang yakin akan kebenaran ajaran agama.
2. Teknik bil-mujadalah; merupakan perdebatan
yang digunakan untuk menunjukan dan
membuktikan kebenaran ajaran agama dengan
menggunakan dalil-dalil Allah yang rasional.
3. Metode bil-mauidzah; dengan menunjukan
contoh yang benar dan tepat, agar yang
dibimbing dapat mengikuti dan menangkap dari
apa yang diterimanya secara logika dan
penjelasan akan teori yang masih baku.
4. Teknik ceramah; yaitu penjelasan yang bersifat
umum, cara ini lebih tepat diberikan dalam
bimbingan kelompok (group gidance)
5. Teknik diskusi atau dialog tanya jawab;
kelebihan teknik ini klien dapat menyampaikan
secara luas apa yang dirasakannya.
6. Teknik persuasif; adalah dorongan-dorongan
yang bersifat positif, santai, hiburan, dan
mendidik—sehingga klien termotivasi untuk
melakukan nasehat dengan senang hati.
7. Teknik lisan; yaitu melalui pesan-pesan langsung
yang disampaikan dengan ucapan atau kata-kata,
guna membantu penyelesaian masalah klien, atau
menjelaskan sesuatudan pesan-pesan tertentu
untuk kebaikan dirinya dengan menggunakan
kata-kata atau bahasa yang mudah dimengerti.
96
8. Teknik doa dan dzikrullah (dengan hati); dalam
Islam, setipa permsalahan tidak mungkin diatasi
sendiri tanpa bantuan dari Yang Maha Kuasa,
karena itu dalam mengatasi dan memecahkan
masalah klien—pembimbing membimbingnya
untuk bersama-sama memohon pertolongan dan
bantuan dari Allah SWT., sebab terapis yang
terbaik adlaah Allah SWT. Jadi kesembuhan
yang hakiki dan sejati hanya datang dan milik-
Nya.
Dari berbagai macam metode yang dipaparkkan di
atas, penelitian ini memiliki varibael-variabel dan
karakteristik khusus yang ditinjau. Penelitian ini fokus
menampilkan metode dari pelaksanaan bimbingan
keagamaan yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-
fatah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang pastinya
memiliki variasi dan keunikan maupun karakteristik
tersendiri dalam bimbingan keagamaan, sehingga akan
menghasilkan beberapa metode dari metode yang tertera
di atas khususnya dalam penerimaan diri kelompok
transgender.
5. Prinsip Bimbingan Keagamaan
Pada dasarnya prinsip bimbingan keagamaan
merupakan hal utama yang dijadikan pedoman bagi
pembimbing. Seperti yang dijelaskan oleh Achamad
97
Juntika dalam bukunya Bimbingan dan Konseling Dalam
Berbagai Latar Kehidupan:65
Bimbingan dimulai dengan mengidentifikasi
kebutuhan yang dirassakan oleh santri atau individu
yang akan dibimbing.
Dalam menjalankan bimbingan harus fleksibel dan
luwes sesuai dengan kebutuhan individu.
Pembimbing yang baik yaitu mengetahui individu yang
akan dibimbing, agar tujuan atau target dari kegiatan
bimbingan keagamaan dapat tercapai.
6. Dimensi Religiusitas/Keagamaan Dalam
Bimbingan Keagamaan
Proses penerimaan diri melalui bimbingan keagamaan
ini, santri transgender atau waria menerima materi bimbingan
keagamaan; berkaitan dengan tujuannya, yaitu membantu
individu ataupun kelompok transgender/waria mampu
melaksanakan kewajiban dirinya sebagai makhluk yang ber-
Tuhan sehingga dapat mensyukuri apa yang ada pada
65
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan & Konseling Dalam
Berbagai Latar Kehidupan. (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) hal. 9 dalam
Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan Nilai-Nilai
Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas Kelas II-A
Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program Pasca
Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal. 16
Dikutp pada 20-02-2021 pukul 07.00 WIB.
98
dirinya. Dalam proses keagamaan dapat diwujudkan dalam
berbagai sisi kehidupan.
Perlu diketahui konteks aktivitas beragama bukan
hanya menjalankan ritual keagamaan, namun saat mealukan
aktivitas lain, juga dibantu oleh kekuatan supranatural—
bukan hanya aktivitas yang tampak dilihat oleh mata dan
tidak tampak yang terjadi di dalam hati seseorang.
Menurut Glock & Strak, ada lima macam dimensi
keberagamaan (religius), yaitu:66
a. Dimensi Keyakinan (Ideologis); Pada dimensi ini,
berisi pengharapan-pengharapan dimana orang
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu
dan mengakui keberadaan doktrin tersebut. Setiap
agama memegang kepercayaa, di mana para
penganut diharapkan akan taat. Djalaludin dan Fuad
mengkategorikan tiga kategori kepercayaan, yaitu:
Kepercayaan yang mendasari esensial suatu agama
yaitu percaya kepada Nabi Muhammad SAW
Kepercayaan dengan tujuan ilahi dalam penciptaan
manusia yang terwadah di dalam QS Al-Mulk ayat
2:
ة ا ي ل وا وت م ل ا ق ل خ ي لذ م ا يك أ م وك ل ب ي لور ف غ ل ا ز زي ع ل ا و ه و ل م ع ن س ح أ
66
Djamaludin Ancok & Fuad Ansori, Psikologi Islami; Solusi Islam
Atas Problem-Problem Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 77
99
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.67
Kepercayaan yang berkaitan dengan cara terbaik untuk
melaksanakan tujuan di atas. Dengan mempercayai
bahwa untuk mendapatkan amal yang shaleh, manusia
harus melakukan pengabdian kepada Allah dan
pengkhidmatan kepada sesama manusia.68
Bukan hanya
dengan itu saja, namun ada tiga; hablum minal-Allah,
hablum minannas, hablum minal alam. Pada dimensi
keyakinan ini, akan lebih meningkatkan keyakinan
Santri dalam agama—terutama dalam beribadah kepada
Allah SWT dan yakin akan dirinya berubah menjadi
lebih baik.
b. Dimensi Praktik Agama (Ritualistik); Dimensi ini,
mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal
yang dilakukan orang untuk menunjukan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek
keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:
1) Ritual, mengacu pada perangkat ritus, dengan
tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci
untuk dilakukan oleh pemeluk.
67
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-
Mulk ayat 2, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 562 68
Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama Sebuah pengantar. (Bandung:
Mizan, 2003) hal. 44
100
2) Ketaatan, sebagai pelengkap dari ritual, menurut
Jalaludin Rahmat seperti ikan dengan air, meski ada
perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari
komitmen sangat formal dan khas publik, semua
agama yang dikenal juga personal yang realtif,
informal, dan khas pribadi.69
Pada dimensi praktik agama ini, akan menjadikan
Santri mampu memahami dan meningkatkan
ketaatannya dengan belajar dan mengikuti kegiatan yang
ada di pondok pesantren.
c. Dimensi Penghayatan (eksperensial); Dimensi ini
berkaitan dengan perasaan keagamaan yang
dialami oleh penganut agama. Pengalaman
keagamaan ini terjadi secara moderat,
kekhusuyuan di dalam shalat atau pengalaman
intens yang dialami oleh sufi. Dengan dimensi ini,
Santri dapat memperhatikan dirinya dan ilmu
agamanya dengan rutin belajar keagamaan di
Pondok Pesantren.
d. Dimensi Pengamalan (konsekuensial); dimensi ini
menunjukkan pada identifikasi akibat-akibat ajaran
agama dalaml perilaku sehari-hari/umum, yang
tidak secara langsung dan secara khusus yang
69
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami;
Solusi Islam Atas Problem-problemPsikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011) hal 78
101
sudah ditetapkan agama (seperti dalam dimensi
ritualistik).70
praktik pengalaman, dan pengetahuan
seseorang dari hari ke hari. Melalui dimensi ini,
Santri akan belajar mengaplikasikan apa yang
didapatkan dari kegiatan Bimbingan keagamaan—
dapat merasakan rasa bersyukur dalam hidupnya,
tata beribadah, dan lebih sabar dalam menjadi
kehidupannya.
e. Dimensi Pengetahuan Agama (Intelektual);
Dimensi ini tertuju kepada harapan bahwa manusia
yang beragama, setidaknya memiliki pengetahuan
dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus kitab suci dan
tradisi-tradisi. Sangat jelas bahwa dimensi
pengetahuan dan keyakinan itu berkitan satu sama
lain, karena pengetahuan mengenai keyakinan
adalah syarat bagi pemeluknya. Dalam konteks
tersebut, terdapat metode-metode bimbingan
keagamaan yang dijadikan acuan oleh pembimbing
agama. Sebagai jalan menuju Tuhan, tentu
dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan keyakinan.
70
Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung:
Mizan, 2003) hal. 47
102
D. Religiusitas/ Keagamaan Kelompok Transgender di
Pondok Pesantren al-fatah DIY
Sebagai lembaga yang berbasis agama (educational
institution-based religion), awalnya pesantren hanya
dijadikan sebagai pusat pendalaman nilai-nilai dan penyiaran
agama Islam. Namun, seiring perkembangannya, pesantren
tidak hanya sekedar mengakselerasikan penjelajahan materi-
materi keagamaan (mobilitas vertikal) saja, akan tetapi juga
kesadaran sosial (mobilitas horizontal).
Oleh sebab itu, kini pesantren tidak lagi didakwa sebagai
lembaga keagamaan murni, tetapi juga sebagai lembaga sosial
yang hidup dan peka terhadap persoalan masyarakat
sekitarnya.71
Secara terminologis, pesantren didefinisikan sebagai
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk; mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.72
Memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori
71
Matsuki & Ishom, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva
Pustaka, 2006) hal. 1 72
M. Damopolii. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim
Modern. (Jakarta: Bulan Bintang,2011) hal. 57-58
103
sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang
unik.73
Dalam hal ini, Pondok Pesantren (PP) yang ditujukan
yaitu; salah satu PP khusus transgender notaben waria yang
baru ada satu di Indonesia. Berjalan sudah 12 tahun tepat di
bulan februari 2020, dengan jumlah santri 45 orang. Para
santri ini berasal dari daerah yang berbeda di Nusantara dan
profesi atau pekerjaan yang berbeda pula. Sebagian dari
mereka adalah santri mukim (bertempat tinggal di dalam PP)
dan santri non mukim (datang dan langsung pulang). Santri
mukim ataupun non mukim sendiri datang untuk belajar
Agama (ngaji), melakukan konseling, pengajian, kegiatan
sosial yang dilaksanakan oleh PP ataupun institute
Pendidikan, sosial, dll.
Perbedaan pada kedua santri ini adalah tidak bertempat
tinggal dalam satu atap di PP al-fatah Yogyakarta. Orientasi
penerimaan santri di PP Waria al-fatah ini dengan merekrut
anggota santri dari kalangan transgender yang ada di
Yogyakarta, dimana menginginkan pembelajaran Agama
untuk menumbuhkan nilai-nilai spiritual kaum waria. Rentan
usia santri yang ada di PP al-fatah, yakni 24-50 tahun.74
73
Robert A Baron dan Donn Byrne, Psikologi Sosial. (Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, 2003) cet ke-10, hal. 163 74
Ardiansyah. Upaya Bimbingan Konseling Nilai dan
Spiritual terhadap Transgender di Yogyakarta. (Journal; Universitas
PGRI Madiun), vol 8 (2), 71-87 November 2018.
104
Hasil pengamatan peneliti, individu-individu santri
Pondok Pesantren al-fatah Yogyakarta memiliki ciri khas dan
keunikan masing-masing. Misalnya; saat melaksanakan
kewajiban 5 waktu mereka bebas untuk memilih
menggunakan sarung ataupun mukena sebagai atribut
keagamaan.75
Metode yang digunakan di PP al-fatah yaitu metode
ceramah, metode Tanya jawab, dan metode diskusi. Metode
juga diartikan sebagai salah satu komponen penting yang
menghubungkan tindakan dengan tujuan pendidikan, sebab
tidak mungkin materi pendidikan dapat diterima dengan baik
kecuali disampaikan dengan metode yang tepat. 76 Dalam hal
ini juga membutuhkan media untuk tersampaikan materi ke
santri waria, adapun media yang digunakan yakni; papan
tulis, buku tulis, dan sumber ajar
Tabel 2.1 Materi kajian pembinaan
No Materi Kajian Waktu
1 Akhlak 1 Jam
2 Aqidah 1 Jam
3 Ibadah Tentative
4 Baca tulis Al-Qur’an dan
tajwid
30 menit
75
Ratri, Shinta. Wawancara dengan ketua Pondok Pesantren
al-fatah Yogyakarta, tanggal 09 februari 2019, pukul 16:30 WIB. 76
Syahidin. Menelusuri Metode Pendidikan Dalam Al-
qur’an. (Bandung: Alfabeta, 2009) hal. 43
105
5 Tema langsung dari
pembina dari kitab
Bulughul maram
1 Jam 30 menit
Tabel 2.2 Kegiatan yang dilaksanakan di Pondok Pesantren
No Rutin
(mingguan)
Bulanan (setiap
minggu ke-3)
Tahunan
1 Belajar Al-
Qur’an
Kajian bulanan
(tema ditentukan
oleh pembina
PP Waria al-
fatah)
Hari besar
Islam ( Maulid
Nabi
Muhammad
SAW, Isra’
Mi’raj )
2 Belajar Iqra
IDAHOT
(International
Day Against
Homophobia
and
Transphobia),
yakni
3 Sholat magrib
berjamaah, doa,
sholawat, dzikir,
sholat Isya
berjamaah
Goes to campus Menolak pada
homo dan
transphobia
4 Aqidah Kajian tafsir
tematik
Hari
Transgender
Internasional
5 Fiqih Konsultasi
Agama
6 Muamalah
Beragama merupakan naluri yang dimiliki setiap insan.
Religiusitas atau keagamaan diwujudkan dalam berbagai sisi
106
kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi
ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi
juga melakukan aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam
hati seseorang.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Galih M, bahwa
agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam
kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Pengertian lain dari Mc Guire yang dikutip oleh Zakiah
Daradjat, yakni agama sebagai sistem nilai yang berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat modern dan berperan dalam
membuat perubahan sosial. Disisi lain, agama juga
menunjukan kemampuan adaptasi dan vital dalam berbagai
segi kehidupan sosial.77
Karena itu, keberagamaan seseorang
akan meliputi berbagai macam dimensi.
Transgender merupakan salah satu kelompok minoritas
yang mempunyai hak untuk mempraktekkan keyakinan
agama mereka. Kelompok ini selalu menerima perlakuan
yang tidak sama dengan masyarakat dominan, sehingga
mereka kerap kali mengalami kekerasan dan diskriminasi dari
orang lain.78
Dalam hal ini, transgender yang termasuk dalam
pondok pesantren Al-Fatah yakni santri waria. Sebenarnya
77
Maryanuntoro, Galih. Keberagamaan Santri Waria (Skripsi, UIN
Sunan Kalijaga Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016) 78
Rr. Siti Kurnia, dkk. Problem-Problem Minoritas Transgender
dalam Kehidupan Sosial Beragama (UGM: Inter Religious Studies Program,
2016), vol. 10 (2), Juli-Desember, ISSN:1978-4457 (p), 2548-477X (o)
107
keberadaan transgender atau biasa disebut dengan waria di
Indonesia bukanlah hal yang baru, sebab waria atau
homoseksual sudah banyak ditemukan dalam tradisi lokal
dalam masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan; kegiatan
seni, ritual kebatinan, ritual, perdukunan dalam masyarakat.79
Merangkum hasil wawancara, bahwa menjadi seorang
waria bukan sebuah pilihan hidup melainkan takdir hidup.
Sebagian tidak ada yang menginginkan hidup sebagai waria,
meskipun kemudian jiwa perempuan terperangkap pada tubuh
seorang laki-laki. Bukan berarti menghapus hak-hak dan
kewajiban sebagai manusia beragama.
Dalam Penelitian disertasi Doctor of Philosophy
dengan pembahasan Religious Fundamentalism, Empathy,
and Attitudes toward Lesbian and Gays within Therapeutic
Relationship oleh Jonathan E. Procter menjelaskan:80
“Many of the world’s major religions suggest that we
are to treat others as we wish to be treated” (Banyak
agama besar dunia menyarankan agar kita
memperlakukan orang lain adalah sebagaimana kita
ingin diperlakukan)
79
Oetomo, Dede. Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional
Indonesia. (Indonesia: USAID dan UNDP, 2013), hal 18. 80
Jonathan E. Procter. Religious Fundamentalism, Empathy, and
Attitudes Toward Lesbian and Gays within Therapeutic Relationship.
(Disertasi- The Patton of Education of Ohio University, 2013) hal.50
108
Hak beragama merupakan hak kewajiban bagi setiap
orang bebas mempraktekkan agama dan ibadah sesuai
dengan agamanya. Hal tersebut tertuang pada Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia pada tahun 1945 (UUD
1945).81
Dengan dihadapkan berbagai persoalan termasuk
praktik seks bebas, minum-minuman sehingga kehidupan
agama bagi mereka menjadi suatu realitas dikotomis. Namun
seorang transgender juga memiliki kesadaran untuk memiliki
kehidupan religious, karena seorang transgender atau waria
juga makhluk religius (homo religious) dan memiliki hak
untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa santri waria
itu sendiri termasuk sosok manusia yang berkiprah di bumi
yang sama. Oleh sebab itu, menyebabkan fitrah ketuhanan
mereka pun tidak dapat dinafikan, karena kesadaran akan
Tuhan adalah sesuatu yang integral pada diri manusia.
Bersama dengan hal tersebut, menyebabkan setiap manusia
memiliki pengalaman yang berbeda dalam beragama.
Banyak penelitian studi menyebutkan bahwa religiusitas
atau kepatuhan dalam beragama dapat berdampak positif
81
Pasal 28 E (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam artikel Rr. Kurnia Siti, Adeney Farjisana, Problem-problem
Minoritas Transgender Dalam Kehidupan Sosial Beragama, Artikel dari
Disertasi Siti Kurnia Widiastuti: Inter Religious Studies Program, Universitas
Gadjah Mada no 2 (10), 94-95 Juli-Desemberr 2016, ISSN: 1978—4457 (p),
2548-477x (o) dikutip pada 16 februari 2021 pukul 19.00 WIB
109
bagi kesehatan.82
Semua itu terlepas dari penolakan dan
diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat terhada waria,
namun pada kenyataannya, masih terdapat masyarakat yang
menerima kehadiran transgender atau waria. Maka sesuai
dengan penelitian Komarudin, dalam konteks waria atau
transgender merupakan sosok yang memiliki agama, dan
mempunyai dorongan untuk menjalankan, melaksanakan,
serta menaati ajaran agama.83
Pada dasarnya setiap manusia diberikan fitrah yaitu
memiliki perasaan atau spiritualitas terhadap Tuhannya.
Surat Az-Zariyat ayat 56 menjelaskan dalam firmanNya
yaitu;
جن و ٱل
ت
ق
ل
ون وما خ
ليعبد
نس إل
ٱل
Artinya: “Aku tidak menciptakan Jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”84
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia baik
laki-laki maupun perempuan sekalipun itu waria, memiliki
kewajiban untuk mengabdi kepada Allah swt, di manapun
82
Faisyal, Usman, Prasetya. Makna Religiusitas bagi Kaum Waria.
STAI Muhammadiyah Probolinggo Jurnal Studi Keislaman No 1 (20), 95 1
Juni 2020, ISSN: 2502-3969 (p), DOI: hattp://dx.doi.org/10.24042/ajskv.v20il.
5880, 2548-477x (o) dikutip pada 16 februari 2021 pukul 22.00 WIB 83
Faisyal, Usman, Prasetya, Makna Religiusitas bagi Kaum Waria.
STAI Muhammadiyah Probolinggo No 1 (20), 97 1 Juni 2020, ISSN: 2502-
3969 (p), DOI: hattp://dx.doi.org/10.24042/ajskv.v20il. 5880, 2548-477x (o)
dikutip pada 17 februari 2021 pukul 06.00 WIB 84
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Az-
Zariyat ayat 56, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 523
110
dan kapanpun manusia itu berada dan selama ia telah
memenuhi syarat untuk melaksanakan kewajiban serta
mengabdikan diri kepada Allah swt. Wujud pengabdian
manusia kepada Allah SWT ini termanifestasikan dalam
bentuk ibadah kepada Allah swt sebagai pencipta seluruh
alam.85
85
Safri, A. N. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Yogyakarta:
Journal Esensia. (UIN Sunan Kalijaga: Pusat Pengembangan Bahasa), Vol.15,
No. 2, September 2014. Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, 55281, Indonesia.
[email protected]. Dikutip pada Minggu, 05 Mei 2019, 18:39 WIB
111
BAB III
GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-
FATAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
A. Profil dan Sejarah Pondok Pesantren Al-Fatah DIY
Secara terminologi pada “pesantren” santrinya tidak
disediakan asrama (pemondokan) di komplek pesantren
tersebut; dikarenakan mereka tinggal di seluruh penjuru desa
sekeliling pesantren (santri kalong) dimana cara metode
pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dnegan
sistem wetonan, yakni para santri datang pada waktu-waktu
tertentu.86
Di sisi lain, asrama (pondok) yang seharusnya
dijadikan tempat penginapan santri-santri yang belajar di
pesantren untuk memperlancar proses pembelajran dan
menjalin hubungan murid dan guru supaya lebih akrab,
namun pada kenyataannya di beberapa opndok yang terjadi
hanya sebagai tempat tidur semata.
Sebenarnya penggunaan kedua istilah secara integral
yaitu pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren akan
lebih mengakomodasikan karakter keduanya. Menurut
Qomar, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama
Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat, dengan
memiliki sistem asrama dan santri menerima pendidikan
86
Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokrasi Institusi. (Jakarta, Erlangga, 2010) hal. 1
112
agama melalui system pegajian atau madrasah yang berada di
bawah pimpinan seseorang atau beberapa kyai dengan
memiliki khas tersendiri yang bersifat kharismatik serta
independen dalam segala hal.87
Setelah memaparkan teori
pesantren secara terminologis, maka dari hasil observasi dan
wawancara; bahwa pesantren waria berbeda dengan pesantren
pada umumnya.
Pondok pesantren waria al-fatah menjadi ruang sosial
yang berdiri di tengah masyarakat. Berawal dari kegiatan-
kegiatan sosial yang sudah diterapkan sejak tahun 2006, yakni
adanya gempa bumi di Yogykarta, peran santri waria
mengambil alih untuk menolong sesama. Selanjutnya,
dijadikan sanggar tari yang digunakan untuk belajar menari.
Kemudian memiliki kesadaran diri sebagai makhluk sosial
juga makhluk bertuhan, sehingga ibu Maryani bersama KH.
Hamrolie sepakat untuk diadakannya pengajian setiap hari
senin dan kamis. Melalui kesepakatan bersama, pada tahun
2008 di Yogyakarta memiliki pondok pesantren waria senin-
kamis.
87
Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokrasi Institusi. (Jakarta, Erlangga, 2010) hal 2
113
Tabel 3.1 Perbedaan pesantren waria dan pesantren umum
Bentuk Persamaan Perbedaan
Pesantren
Waria
Sebagai lembaga
pendidikan
tradisional Islam
untuk; mempelajari,
menghayati, dan
mengamalkan
ajaran agama Islam
dengan menekankan
pentingnya
pengetahuan moral
keagamaan sebagai
pedoman perilaku
sehari-hari.88
Santri waria
yang mukim
hanya beberapa
saja
Metode
pembelajarannya
tidak seperti
pesantren biasa
yang dilakukan
setiap hari.
Dilakukan hanya
satu minggu
sekali dan setiap
satu bulan sekali
mengadakan
kegiatan
bersama
masyarakat atau
kegiatan lainnya
Terdapat
workshop atau
kegiatan lainnya
dari tamu dan
prohram kerja
pondok
pesantren waria
Pesantren
Umum Memiliki asrama
Pembinaan
dilakukan setiap
hari
88
Damopoli, Muljono. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak muslim
Modern. (Jakarta: Rajawali pers, 2011) hal. 57-58
114
Pondok Pesantren al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan tempat lokasi penelitian penulis dengan judul
Penerimaan Diri Kelompok Transgender melalui Bimbingan
Keagamaan di Pondok Pesantren al-fatah. Berbicara sejarah
latar belakang pondok pesantren Al-Fatah ini memiliki cerita
yang cukup panjang. Berdirinya pondok pesantren ini
diprakarsai oleh Maryani, beliau merupakan salah satu waria
yang menjadi jama’ah pengajian al-Fattah dibimbing oleh
KH. Hamrolie Harun di kawasan Pathuk. Pada umumnya
jama’ah pengajian yaitu perempuan ataupun laki-laki, namun
Tuhan tidak membatasi makhluknya untuk beribadah kepada-
Nya dan Maryani merupakan salah satu jama’ah berlatar
belakang waria dari tiga ribu jama’ah pengajian al-Fattah
tersebut.89
Motivasi dari dalam diri sendiri yang membuat Maryani
untuk tetap mengikuti dan menjadi jama’ah pengajian
tersebut, karena niat untuk ibadah dan mengalahkan tekanan
dari pandangan negatif masyarakat. Kegelisahan Maryani
akan stigma negatif yang diterima dari masyarakat, sehingga
cenderung dikucilkan atau dijauhi oleh masyarakat saat itu,
maka dari itu Maryani mengajak teman-teman untuk
beribadah. Bukan hanya sebagai pembuktian kepada
89
Safri, A. N. Penerimaan Keluarga Terhadap Waria Atau
Transgender (Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di Pesantren Waria Al-
Fatah Yogyakarta), (Pusat Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga:
NIZHAM, Vol. 05, No. 01 Januari-Juni 2016), [email protected],
dikutip pada Kamis, 16-01-2020, pukul 23:03 WIB
115
masyarakat bahwa waria tidak hanya melakukan prostitusi,
perilaku menyimpang, dan dengan izin Tuhan Maryani
memiliki jamaah pengajian di rumahnya daerah Sukarsan,
pengajian tersebut bersifat umum bukan hanya kaum waria
saja yang dilaksanakan setiap malam rabu pon. Selanjutya
dari peristiwa gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006,
kelompok transgender atau waria turut membantu eksekusi
korban gempa saat itu, dan kemudian membangkitkan
kesadaran spiritual bagi kalangan waria dengan adanya doa
bersama.
Berawal nama pondok pesantren senin-kamis menjadi
Al-Fattah ini melalui proses yang panjang. Pondok pesantren
yang didirikan oleh ibu Maryani dan KH. Hamrolie Harun
pada tanggal 08 Juli 2008, merupakan hari pembukaan
Pondok Pesantren Senin-Kamis dan pada tanggal 21 januari
2011 pondok pesantren tersebut disahkan oleh akta notaris
Nomor 21 dengan nama lembaga “Pesantren Waria Senin-
Kamis, Al-Fattah” dan mulai sah berdiri pada tanggal 31
januari 2011. asal usul nama pondok pesantren senin-kamis
yaitu karena hari senin dan kamis biasanya digunakan oleh
orang jawa untuk bertirakat atau beribadat. Sebelum menjadi
pondok pesantren senin-kamis, tempat tersebut menjadi
sanggar tari dan menjadi salah satu tempat belajar budaya.
Setiap senin wage (penanggalan jawa) rutin menjalankan
aktifitas pengajian yang dipimpin oleh KH. Hamrolie, maka
dari itu beliau memiliki ide dan menawarkan ide tersebut ke
teman-teman waria untuk mendirikan pondok pesantren Al-
116
Fatah di rumah Maryani sebagai tempat belajar beribadah
setiap hari senin-kamis.
Sejarah pondok pesantren Al-Fatah tidak berjalan
dengan lancar seperti pondok pesantren lainnya. Perbedaan
pendapat antara ibu Maryani sebagai pengasuh dan KH.
Hamrolie sebagai pembina dan pengajar, dimana KH.
Hamrolie memiliki maksud dan tujuan menjadikan teman-
teman waria kembali menjadi laki-laki sejati. Kemudian hal
itu ditolak semua teman-teman waria dan dilanjutkan oleh
ustadz Murtedja, ustadz Mu’iz, dan lain-lain
menggantikannya sebagai pengasuh dan pengajar pondok
pesantren senin-kamis.
Adanya respon positif dari beberapa ustadz/ustadzah
maupun kyai dengan keberadaan santri waria yang sadar akan
beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa, tepat di tahun 2010
ustadz Arif bergabung dan menjadi ketua pembina pesantren
senin-kamis.
Setiap agama tentunya membicarakan seksualitas sesuai
dengan norma dan ajaran masing-masing. Adanya
pemahaman eksklusif tersebut dapat memberikan dampak
negatif pada waria, kekhawatiran di Indonesia sendiri sangat
merebak atas nama Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender
(LGBT) dan semua golongan angkat bicara sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing.
Pondok pesantren waria al-fattah kerap mengalami
korban tragedi sasaran kemarahan salah satu ormas di
Yogyakarta yaitu Front Jihad Islam pada hari Jum’at, 19
117
februari 2016 ba’da sholat Jum’at. Masa Front Jihad Islam
(FJI) mendatangi pesantren waria dan meminta agar pesantren
tersebut ditutup.90
Kejadian yang membuat santri waria
menjadi khawatir akan keberadaannya, dan pondok pesantren
tersebut aktif kembali setelah 4 bulan tutup kemudian pondok
pesantren waria Al-Fatah menggandeng beberapa instansi dan
lembaga untuk menjadi penguat yaitu; Puskesmas, Komnas
Hak Asasi Manusia (HAM), Lembaga Bantuan Hukum
(LBH), Fakultas Psikologi Uniersitas Sanata Dharma,
Universitas Klaten (UKA DEWI), Fakultas Ushuludin UIN
Sunan Kalijaga, Univesitas Nahdlatul Ulama Jepara, dan
beberapa instansi lainnya, baik Lembaga Swadaya Mayarakat
maupun instansi pendidikan.
Pondok Pesantren ini juga mendapatkan dukungan
secara finansial dari International Trans Fun, dan dukungan
dari akademisi, jaringan koalisi perempuan, LBH, Kepolisian,
AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), dan masyarakat sekitar.
Menurut Shinta Ratri sebagai ketua PP al-Fattah benar adanya
mencari dukungan untuk meraih hak untuk beribadah, dan
kawan-kawan memberanikan diri untuk kegiatan sesudah 4
bulan tutup.
90
Safri, A. N. Penerimaan Keluarga Terhadap Waria Atau
Transgender (Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di Pesantren
Waria Al-Fatah Yogyakarta), (Pusat Pengembangan Bahasa UIN
Sunan Kalijaga: NIZHAM, Vol. 05, No. 01 Januari-Juni 2016),
[email protected], dikutip pada Kamis, 16-01-2020, pukul
23:03 WIB
118
Saat ini Pondok Pesantren Waria Al-Fattah terletak di
daerah Notoyudan GT II/1294 RW 24 RT 85, Kelurahan
Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
B. Visi, Misi, dan Tujuan
1. Visi
Mewujudkan kehidupan waria yang bertaqwa kepada
Allah SWT dan tanggung jawab terhadap diri dan
keluarga, serta komunitas/masyarakat/Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Misi
Mendidik para santri menjadi pribadi yang taqwa
dengan bekal ilmu Agama Islam yang kuat dan
mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan segala
lapisan komponen masyarakat Indonesia yang ber-
Bhineka Tunggal Ika
3. Tujuan
Memberi wadah para santri waria untuk beribadah
untuk memperdalam spiritual, dan membuat
kehidupan waria menjadi lebih baik karena dekat
dengan Tuhan.
C. Struktur Organisasi
Berjalannya suatu organisasi atau kelopok, pastinya tidak
lepas dari pengurus yang bertanggung atas seluruh
kegiatan maupun tanggung jawab dari organisasi tersebut.
119
Tabel 3.1 Struktur Organisasi
Nama Support system Waktu
- K.H. Hamrolie
(alm)
- K.H. Abdul
Muhaimin
Pembimbing
2008-2010
2018-sekarang
-Fakultas Syariah
dan Hukum
Universitas Islam
Nahdlatul Ulama
Jepara
- Fakultas Ushuludin
dari UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Kerjasama
2015-2018
2018-sekarang
Ust. Arif Nur Safri
Usth. Masthuriyah
Ust. Makmun
Ustadz /
Ustadzah
2010-sekarang
2018-sekarang
Maryani (alm)
Shinta Ratri
Ketua
2008
2014-sekarang
Yuni Shara Al
Buchori
Sekretaris 2010-sekarang
Yetty Rumarupen Bendahara 2010-sekarang
Rully Mallay Divisi
Pemberdayaan
Santri waria
2010-sekarang
Arum Divisi Media
dan Kampanye
Nur Kamboja
Erna Mandala
Divisi.
Pembantu
Umum
2010-sekarang
Pepeng Volunteer
120
Berdiri dari tahun 2008-2021 masa kini, Pondok Pesantren
Waria Al-Fattah mengalami kemajuan dan banyak dukungan
dari berbagai lembaga pemerintah maupun institusi pendidikan
perguruan tinggi. Struktur kepengurusan yang terdiri dari
pembimbing yaitu sebagai pemberi saran, penasehat spiritual,
advokasi, sedangkan pembina adalah pihak yang memberikan
kewenangan secara langsung untuk ustadz yang ditugaskan di
Pondok Pesantren tersebut. Peran Universitas Islam Nahdlatul
Ulama (UNISNU) sebagai instansi yang bekerjasama, selain
menjadi jalan pengadaan dana untuk kepentingan sosial,
UNISNU berperan besar adanya tenaga pendidik.
Membina anggota santri agar berdaya secara ekonomi
merupakan tugas mulia dari seksi pemberdayaan santri.
Pondok Pesantren Al-Fattah memiliki suatu pemahaman
tersendiri yaitu jika seseorang memiliki perekonomian yang
stabil, maka akan lebih tenang dalam menjalankan ibadah
terhadap Tuhan yang Esa. Terakhir yaitu seksi pembantu
umum yang ditugaskan untuk menyiapkan berbagai macam
sarana prasarana seperti tempat, jika ada kunjungan dan
menyiapkan perbekalan saat santri pondok pesantren
melakukan kunjungan.
121
Tabel 3.2 Profile Pondok Pesantren Waria “Al-Fatah”
Nama
Lembaga
Pondok Pesantren Waria “ Al-Fatah “
Yogyakarta
Alamat
Lengkap
Celenan RT 09 / Rw 02 Jagalan ( Kotagede ),
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Alamat
Tanggal
berdiri /
latar
belakang
Berlatar belakang mengikuti pengajian dalam
jamaah Kyai Haji Hamroli Harun, Maryani
(salah seorang waria) mencetuskan ide dan
memprakarsai untuk mendirikan Pondok
Pesantren Waria yang kemudian diberi nama
Pondok Pesantren Waria “Senin-Kamis Al-
Fatah “pada tanggal 8 Juli 2008. Usaha
Maryani ini disambut baik oleh beberapa
rekan waria seperjuangannya, sampai
akhirnya mendapatkan sokongan / dukungan
dari rekan-rekan waria di kantong-kantong
komunitas waria yang ada di Yogyakarta.
Visi Mewujudkan kehidupan waria yang bertaqwa
kepada Allah SWT dan bertanggung jawab
terhadap diri dan keluarga, serta komunitas /
masyarakat / negara kesatuan Republik
Indonesia.
Misi Mendidik para santri waria menjadi pribadi
yang taqwa dengan berbekal ilmu agama
Islam yang kuat dan mampu beradaptasi dan
berinteraksi dengan segala lapisan komponen
masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka
Tunggal Ika.
Tujuan Memberikan kemampuan dasar dan
pengetahuan agama kepada para (
santri ) waria akan pentingnya nilai-
122
nilai keagamaan.
Meningkatkan dan mengembangkan
kehidupan ( santri ) waria sebagai
pribadi dan anggota masyarakat, dan
mempersiapkan para ( santri ) waria
untuk bergaul dan mengarungi
kehidupan yang lebih bermanfaat dan
bertanggung jawab.
Sasaran Komunitas Waria yang ada di wilayah
Yogyakarta
Program a. Pengajaran agama Islam ( Al-Quran
dan Hadist )
b. Pertemuan rutin mingguan dan
bulanan
c. Pengajian dan Ibadah khusus di bulan
Ramadhan.
d. Syawalan
e. Bakti Sosial
f. Ziarah
g. Pengorganisasian ( pelatihan,
pengayaan, capasity building )
Wilayah
Dampingan
Komunitas Waria yang ada di Yogyakarta,
meliputi wilayah :
- Sleman ( komunitas waria
Rejoinangun & Prambanan )
- Bantul
- Kodya ( komunitas waria Sidomulyo,
Badran, Patangpuluhan, Kotagede )
- Waria Kulon Progro ( Warkop )
Lembaga
Donor
Independent
Contact
Person
Ibu Shinta Ratri : 0877-3856-6418
Yuni Shara : 0878-3937-9090
123
D. Program Kerja Pondok Pesantren Al-Fattah DIY
Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) sebagai bekal bimbingan agama dan konseling di
Pondok Pesantren Al-Fattah yang sudah tersusun dalam
bentuk program kerja yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.2 Program Kerja Pondok Pesantren Al-Fattah
No Metode Bentuk Waktu
1 Pengajaran
Agama Islam
(Al-Qur’an dan
Hadits, IQRA)
1. Mengelompok
menjadi satu
berbentuk pengajian
dan dipimpin oleh
ustadz
2. Individu dan ustadz
3. Pengajian berbentuk
kajian
Minggu
2 Hafalan dan
Zikir (dari
istigfar,
tahmid, dan
lainnya)
Hafalan surat pendek,
doa-doa solat, dan tata
cara sholat
15.30 ba’da
Ashar
3 Konseling
Bertatap muka secara
langsung di dalam ruang
konseling
Sebulan sekali
(pertengahan
bulan) atau
tentative bagi
santri yang
memerlukan.
4 Sholat
Berjamaah
Sholat berjamaah dan
bebas memilih pakai
mukena atau tetap
berpakaian muslim laki-
laki
Setiap sholat
magrib, dan
isa di bulan
puasa dan
setiap
bimbingan
agama
dilaksanakan
124
5 Ngaji Kitab
bersama ustadz
Arif
Mengupas kitab
bulughul marom dan
tanya jawab bebas
sesuai pertanyaan santri
Setelah shalat
Magrib
6
Sharing
session
Sharing terkait
pekerjaan,
permasalahan, ataupun
spiritual
Malam hari
7
Arisan
42 santri berkumpul
Sebelum
waktu
bimbingan
Agama
8 Sekolah sore Belajar bersama
masyarakat, seperti;
membuat kue, kreasi
hijab, atau kerajinan
tangan lainnya
Minggu sore
setiap satu
bulan sekali
9 Kunjungan ke
beberapa
instansi
pendidikan,
ataupun
komunitas
PP al-fatah melakukan
beberapa kunjungan
yang bertujuan sebagai
bentuk saling
memberikan ilmu
Tentatif sesuai
dengan
kesepakatan
dan waktu dari
instansi
10 Ziarah makam PP al-fatah melakukan
zirah ke walisongo
bersama Pembina dan
ustadz/ustadzah
Sesuai
kesepakatan
bersama
11 Buka dan
Sahur bersama
- -
12 Pelatihan-
pelatihan yang
diadakan
beberapa
instansi
pendidikan
Diskusi, tanya jawab
dan saling berbagi cerita
Sesuai
kesepakatan
kedua belah
pihak
125
Materi yang disampaikan pada waktu bimbingan
keagamaan yaitu;
Tabel 3.3 Materi bimbingan keagamaan
No Materi Pengisi
1 Kitab Bulughul maram Ustadz Arif Nuh
2 Iqra Ustadz Arif, ustadzah
masthuriyah dan 4
mahasiswa sebagai
volunteer dari
Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga
3 Al-Qur’an
4 Menghafal bacaan
sholat dan lainnya
5 Praktek Sholat Jenazah Pembimbing
E. Jadwal Rutin Mingguan Pondok Pesantren Waria Al-
Fatah Yogyakarta
Santri Waria pada hari sabtu atau minggu melaksanakan
kegiatan keagamaan di Pondok Pesantrren Al-Fatah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Seusai shalat Magrib berjamaah, santri
waria berkumpul dan duduk secara rapi di ruangan latar
pesantren untuk mendengarkan pengajian dan kajian. 91
Adapun kegiatan pengajian dan kajiannya berbeda-beda di
setiap minggunya, seperti jadwal yang telah dirangkum
dalam tabel di bawah ini:
91
Sa’dan Masthuriyah, Santri Waria, (Yogyakarta: Diva
Press, 2020) hal. 81-83
126
Tabel 3.4: Jadwal rutin kegiatan mingguan
Pondok Pesantren Al-Fatah Waria DIY
Minggu Kegiatan Penanggung
Jawab
Pertama Dialog Feminisme Solidaritas
Perempuan
Kinasih
Kedua Pengajian Agama PW. Fatayat NU
DIY
Ketiga Ngaji Kitab Bidayatu
Al-Hidayah karya
Imam Al-Ghazali
Ust. Arief Nuh
Safri
Keempat Tadarus Al-Qur’an
atau membaca Yasin
bersama-sama dengan
doa
Pengurus dan
Santri
F. Jadwal Kegiatan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta
Metode pengajaran yang diberikan kepada santri waria,
dalam senggang waktu setelah magrib adalah dialog, yaitu tanya
jawab antara santri waria dengan ustadz atau ustadzah. Berikut
jadwal kegiatan di minggu sore, daoat dilihat dalam tabel di
bawha ini:92
92
Sa’dan Masthuriyah, Santri Waria, (Yogyakarta: Diva
Press, 2020) hal. 83-84
127
Tabel 3.5: Kegiatan hari minggu sore
Pondok Pesantren Al-Fatah Waria DIY
Jam Jenis Kegiatan
15.00-16.00 Sholat Asar dan arisan mingguan
16.00-17.45 Belajar yang terbagi dalam kelas Al-
Qur’an dan kelas Iqra’. Dan belajar
menulis arab, hafalan juz amma, hafalan
doa-doa, dll.
17.45-18.00 Persiapan salat magrib berjamaah
18.00-18.05 Adzan dan menunggu makmum lengkap
18.05-18.15 Salat berjamaah dan dzikir
18.15-19.10 Pengajian/ngaji kitab/dialog/baca
yasinan
19.10-19.20 Salat Isya’ berjmaah dan dzikir
19.20-20.00 Makan malam bersama
G. Fasilitas Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta
Fasilitas atau sarana dan prasarana yang tersedia di
Pondok Pesantren al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai berikut:
128
Tabel 3.6 Fasilitas Pondok Pesantren Waria AL-fattah
No Sarana dan Prasarana Jumlah
1 Kantor 1
2 Kamar Tamu 2
3 Kamar Pengasuh 2
4 Kamar Mandi 2
5 Kamar Santri 3
6 Perpustakaan 1
7 Ruang Ngaji 1
8 Ruang Kajian/Pelatihan/Diskusi 1
9 Ruang Konseling 1
10 Tempat Wudhu 1
11 Tempat Parkir 1
129
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai temuan-
temuan data yang didapatkan selama observasi dan wawancara
berlangsung. Penelitian ini meneliti tentang penerimaan diri
kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok
Pesantren Al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta.
A. Data Informan
Berdasarkan temuan data penelitian yang dikumpulkan,
peneliti kan mendiskripsikan hasil temuan dari 1 Pembina, 1
Pembimbing, 1 Pengasuh, 2 waria, 2 significant other, dan 2
warga di Pondok Pesantren Al-fatah Yogyakarta dan daerah
setempat, Desa Celenan, GG. Soka, Jagalan, Kotagede.
Tabel 4.1 Data informan yang bersedia
dalam menyelesaikan penelitian
Nama Informan Keterangan
KH. Abdul Muhaimin Pembina
Ustadz Arif Nuh Safri Pembimbing
Shinta Ratri Pengasuh
Rere Informan mukim
Inul Informan non mukim
Rini Significant Other Inul
Nur Significant Other Rere
Tumirah Warga
Munarto Warga
130
1. Deskripsi Informan Pembina Pondok Pesantren Al-
Fatah
Nama : KH. Abdul Muhaimin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tgl/lahir : Kotagede, 13 Maret 1953
Agama : Islam
Alamat :Pondok Pesantren Nurul
ummahat, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pekerjaan :
- Pendiri dan pengasuuh Pondok Pesantren Nurul
Ummahat, Kotagede, Yogyakarta.
- Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace
- Koordinator FPUB (Forum Persaudaraan Umat beragama)
- Ketua Konsorsium Toya Mili
- Ketua Konsorsium Palem
- Dewan Pembina Impulse
- Dan beberapa jabatan di organisasi nirlaba lainnya
KH. Abdul Muhaimin merupakan salah seorang pendiri
pondok pesantren Nurul Ummahat juga aktif diberbagai
organisasi nirlaba terutama pada antar umat beragama, gender,
dan keislaman. Menjadi koordinator forum persaudaraan umat
beragama yang dideklarasikan pada tahun 2010.
KH. Muhaimin menjadi Pembina di pondok pesantren waria
al-fatah. Sebelumnya pada tahun yang sama, Ibu Shinta
berkunjung ke pandok pesantren Nurul Ummahat dan meminta
131
KH. Abdul Muhaimin untuk menjadi pembina pondok pesantren
al-fatah. Santri-santri akrab menyapanya dengan sebutan Kyai
Muhaimin. Pada hari rabu, 09 Desember 2020 bertemu dengan
Kyai Muhaimin, untuk menanyakan langsung kaitannya dengan
podok pesantren waria al-fatah yang sudah dibinanya selama 3
tahun belakang.
Beliau merupakan sosok yang open minded, ramah dan
mencintai segala macam bentuk manusia—karena menurut kyai
Muhaimin, memanusiakan manusia merupakan kunci pertama
mencintai Allah swt. Beliau adalah sosok yang terbuka dengan
siapapun, sehingga Ibu Shinta selaku pengasuh pondok pesantren
al-fatah juga merasakan keamanan dalam berkegiatan di pondok
pesantren waria ini. Berikut adalah penggalan wawancara dengan
Kyai Muhaimin di pondok pesantren Nurul Ummahat:
“saya terbuka dan saya tidak memandang siapapun dengan yang dia
miliki. Namun, kalau dari sisi kemanusiaan, mereka yang kita anggap
berbeda, mereka masih bani adam. Jadi, saya melihat waria, sudah
waria dan mau shalat, itu kan sudah termasuk nilai positive. Lhoh,
jangan-jangan derajat nilai shalatnya, malah lebih tinggi dari pada kita.
Mereka secara sosiologis sudah diremehkan, tapi mereka masih mau
mencari Tuhannya. Itu luar biasa lo”.1
Menurut Kyai Muhaimin, masyarakat sudah
mempercayainya dan mereka tidak risih adanya pondok pesantren
tersebut. Menjawab kemungkinan setelah terjadi penggerebekan
1 Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Rabu, 09 Desember 2020, pukul 10.30
WIB di pondok pesantren Nurul Ummahat.
132
oleh organisasi tertentu padatahun 2016, Kyai Muhaimin
menegaskan dalam wawancaranya sebagai berikut:
“Masyarakat sudah mengerti adanya ponpes itu, dan masyarakat tidak
merasakan risih juga. Ya, masyarakat Cuma bilang; “kalau sudah sama
kyai, saya percaya”. Justru, yang membuat kerusuhan adalah orang luar,
bukan orang kotagede sendiri”2
أ ء نأه لباطررظهر كل ش
ء نأه لباطن طنى طوى كل ش
“Adzhara Kulla Syaiin Liannahuul Batinu, Wathowa Wujuda Kulli
Syaiin Liannahu Dzohiru”
“Allah menampakan segala sesuatu karena Dia Maha Tersembunyi. Dia
melipat keberadaan segala sesuatu karena Dia Maha Tamapak”.3
Kyai Muhaimin menjelaskan juga bagaimana teologi
seseorang berinteraksi dengan Tuhannya. Pada kutipan ayat Al-
Hikam di atas, menjelaskan; dengan menyadari bahwa yang
terlihat “nyata”, sebab Dia tersembunyi (al-Bathin), sebab itu dia
Dia “nyata” (al-Zhahir). Wujud perubahan ini semata karena
keberadaan manusia dan keberadaan alam semesta ini hanyalah
simbol-Nya. Berikut penggalan wawancara:
“Jadi gini, teologi seseorang itu kita tidak tahu ya, bagaimana mereka
berinteraksi dengan Tuhan. Contoh saja: ada perempuan yang shalat
pakai mukena bagus, apakah shalatnya akan lebih bagus nilainya di
2 Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Rabu, 09 Desember 2020, pukul 10.30
WIB di pondok pesantren Nurul Ummahat. 3 El-Hasany Imam, Al-Hikam Kitab Kebahagiaan dan Petunjuk Jalan
Menuju Tuhan. (Yogyakarta; Telaga Akasara, 2020) hal. 187
133
mata Tuhan, kan belum tentu. Jangan-jangan yang pake mukena ngga
bagus, itu jauh lebih khusyu. Nah, untuk kitab-kitab atau apa, kita tidak
mengkhususkan, artinya: dimana dia mau baca iqra, ngaji Al-Qur’an,
dia mau salat saja, itu sudah termasuk perubahan yang luar biasa.
Kemarin mereka ziarah, pada pakai gamis, ya ngga apa-apa”.
2. Deskripsi Informan Pembimbing Pondok Pesantren
Al-Fatah
Nama : Ustadz Arif Nuh Safri
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tgl/lahir : Paran Padang, 19 Agustus 1983
Agama : Islam
Alamat : Seyegan, Yogyakarta
Pekerjaan :
- Dosen Hadis dan Pemikiran Hadis di Institut Ilmu
Alqur’an An-Nur
- Aktif mendampingi orang dengan HIV AIDS di LSM
Kebaya, Yogyakarta
- Pengajar di Pondok Pesantren Tahfiz Ibn Sina
- Pembimbing Agama di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
Pondok pesantren waria al-fatah berdiri sejak tahun 2008, dan
Ustadz Arif sebagai pembimbing agama sejak tahun kedua 2010.
Artinya, sudah 10 tahun ustadz Arif mendampingi santri waria di
pondok pesantren waria al-fatah. Menurut ustadz Arif,
mendampingi santri waria selama 1 dekade ini, tidak merasakan
rasa yang berbesar hati, menganggapnya bahwa setiap
pendakwah itu bergerak di masing-masing tempat serta tidak ada
134
rasa keistimewaan pada dirinya, karena dianggap lumrah juga
bukan sebuah beban. Berikut penggalan wawancara bersama
ustadz Arif di LSM Kebaya:
“Saya selalu bilang; apa yang harus di “wah” kan, kan sebenarnya itu
lumrah ya, Ya lumrah aja sebenarnya, ngga ada yang istimewa, yak
an emang itu lah Agama, emang harus hadir disitu kan. Kan kalau,
maksud saya: yang ceramah di masjid ya silahkan, yang ceramah di
tv-tv ya silahkan, gimana lumrahnya orang ceramah di masjid ya
seperti itu. Ngga ada yang perlu diistimewakan; kan emang masing-
masing, kita yo bergerak di bidang masing-masing. Kamu ngga usah
pernah menyalahkan saya maka saya ngga akan menyalahkan apa
yang kamu lakukan, ya gitu aja si sebenarnya. Jadi kalau tanya
perasaan ya, saya ngga tahu, karena lumrah-lumrah aja. Ngga ada
yang, Cuma orang aja yang kadang “Ko kuat? loh karena saya
tinggalnya di Jogja, apa yang harus saya bebankan, kan seperti itu”.4
Ayah yang memiliki 3 anak ini, mengajar di pondok
pesantren secara ikhlas. Baginya pekerjaan yang didapatkan hari
ini sudah mencukupi kost untuk keluarga. Sosok yang sangat
rendah hati dan memberikan kenyamanan untuk santri waria, saat
mereka menanyakan tentang; shalat, wudhu, doa-doa shalat, dan
keresahan yang dirasakan santri dari bathiniyah maupun
lahiriyah. Berbeda dengan pondok pesantren pada umumnya yang
menjalankan kegiatan keagamaan setiap hari. Pondok pesantren
al-fatah menjalankan praktik keagamaannya setiap hari minggu
sore yang diikuit oleh seluruh santri waria 40 orang. Ustadz Arif
4 Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020, pukul 18:30 WIB di LSM Kebaya.
135
bersama ustadz-ustadzah membagi tugas untuk melakukan
bimbingan keagamaan; mulai dari belajar Iqra, Al-Qur’an,
hafalan surat pendek, hafalan bacaan shalat dan wudhu. Setelah
shalat magrib berjamaah, dilanjutkan dengan mengaji kitab
Buluhul Muharram, Bidayatul Hidayah.
“Dari ashar sampai magrib kan belajar ngaji, dulu waktu di kotagede juga
saya masih di kelas kuliah, dan waktu dulu masih ada mas Pepeng dia
lumayan aktif. Dia mendampingi dari Ashar sampai Magrib. Saya
sebenernya fokusnya dari Magrib sampai Isa; nah itu yang kajian-kajian
itu. Dulu kita sempat, apa dulu kitab bulughul marom, kemudian
barusan, bukan barusan si, udah agak lama juga sih, Bidayatul Hidayah
kan, itu yang saya ampu bombing”.5
Bimbingan ini dilakukan menggunakan metode bimbingan
kelompok (group discussion), yang divariasikan melalui; teknik
ceramah, teknik lisan, bil mauidzah, teknik doa dan dzikrullah,
dan persuasif. Penyampaian yang tidak kaku dengan interaksi
bersama santri berjalan sangat baik. Apa yang disampaikan oleh
Ustadz Arif, kurang lebih ada 10 santri yang bertanya. Santri
mengikuti bimbingan keagamaan ini sejak pukul 16.00 WIB
sampai pukul 20.00 WIB di dalam rangkaian yang berbeda-beda.
Santri waria juga dapat berkonsultasi secara personal kepada
pembimbing di luar jadwal kegiatan praktik keagamaan.
3. Deskripsi Informan Pengasuh Pondok Pesantren Al-
Fatah
5 Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020, pukul 18.30 WIB di LSM Kebaya
136
Nama : Shinta Ratri
Pendidikan Terakhir : S1 Universitas Gadjah Mada
Tempat/tgl/lahir : Bantul, 15 Oktober 1962
Agama : Islam
Alamat :Pondok Pesantren Waria Al-
fatah, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pekerjaan dan Jabatan :
- Membuat kerajinan tangan
- Rias pengantin
- Pengasuh Pondok Pesantren Al-fatah Yogyakarta
- Dan beberapa jabatan di organisasi nirlaba lainnya
Shinta Ratri memimpin pondok pesantren waria sudah ada 7
tahun dari tahun 2013 sampai saat ini. Menjadikan ruang sosial di
tengah masayarakat desa Jagalan, Shinta tidak sendiri. Dalam hal
ini banyak kolaborasi antar lembaga advokasi maupun instansi
akademik yang memiliki tujuan yang sama, yakni; membantu
dalam memberikan bimbingan keagamaan, bimbingan spiritual
atau konsultasi agama, layanan kesehatan jiwa dan fisik, dan juga
bidang sosial lainnya yang dpat dijadikan kreativitas santri.
Berikut penggalan wawancara peniliti bersama Shinta yang
bertempat di pondok pesantren waria al-fatah pada pukul 13.00
WIB:
“Alhamdulilah mba, mas Dekanat Fakultas Ushuludin UIN Sunan
kalijaga memberikan dukungan kepada Pondok pesantren waria ini
dengan membimbing kegaaman, belajar bimbingan spiritual,
bekerjasama dengan Fakultas Ushuludin, dan mereka sebagai
pembimbing. Kita kerjasama dengan Puskeamas, Komnas HAM,
137
LBH, Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Universitas UK Dewi
Salatiga Satya Wacana.”6
Pondok pesantren waria al-fatah bukan hanya menjadi ruang
sosial yang dapat dijadikan kreativitas santri, namun memiliki
rumah aman untuk santri yang menjadi korban perskusi,
pemukulan, pengusiran dari tempat kos sebagai bentuk
perlindungan terhadap santri waria. Sosok Ibu sekaligus menjadi
orang tua untuk santri waria, Ibu Shinta selalu menjadi pendengar
yang baik, sehingga ibu Shinta sering mendapatkan cerita-cerita
religiusitas mereka dalam mencari jalan Tuhannya. Seperti yang
dilansir dalam wawancara di pondok pesantren waria:
“Kalau kita ini ni begini; tidak pernah menggurui, dan kita tidak pernah
mengacau, kita biarkan mereka merasakan atmosfer spiritualitas di sini.
Nah, nanti kawan-kawan itu akan bercerita sendiri, jika dia sudah
tergerak hatinya. ya dari mendengarkan pengajian, berdiskusi dengan
pak Ustadz, lalu di pengajian; kita ngga harus mendorong-dorong harus
seperti ini, biar mereka sendiri yang bertanya. Jadi kita membiarkan dan
di akan tergerak sendiri.”7
Sesuai dengan misi pondok pesantren yang kedua, yakni
Mendidik para santri menjadi pribadi yang taqwa dengan bekal
ilmu Agama Islam yang kuat dan mampu beradaptasi dan
6 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-
fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah 7 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-
fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
138
berinteraksi dengan segala lapisan komponen masyarakat
Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Setiap bulan sekali di ondok pesantren waria al-fatah
mengadakan sekolah sore yang melibatkan warga, kelas sore ini
dibentuk dalam berbagai kreativitas; cooking class, hijab
creation, dan lain-lain. Berikut penggalan wawancara bersama
Ibu Shinta:
“Melibatkan warga, ada sekolah sore. Sekolah sore itu sebulan sekali,
kita belajar yang diluar Agama. Jadi seperti; belajar memasak, belajar
kreasi hijab, lah nanti Ibu-ibu belajar kesini.”8
Menjadi trangender ternyata bukan lagi menghadapi wilayah
marginalisasi. Saat mereka ingin singgah dan bercumbu dengan
Tuhan di baith-Nya, mereka tidak dapat memasuki dengan
percaya diri. Tempat ibadah saat ini sudah paradigma yang
berbeda bagi santri waria; karena saat mereka masuk ke Masjid,
Gereja, orang-orang sekitar masih berkesempatan mencemooh di
Baith-Nya. Sudah menjadi harapan bagi Ibu Shinta selain santri
dapat beribadah di tempat ibadah masyarakat dan juga tetap bisa
bekerja dengan halal. Akhir dari ucapan pengharapan, ibu Shinta
memberikan kalimat “Jadi kesejahteraan ekonomi itu berbanding
lurus dengan peribadatan”, dalam pernyataannya dalam
wawancara berikut:
8 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-
fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
139
Harapan saya kita dapat bermanfaat untuk waria di Jogja spesialnya
untuk Santrinya dulu bisa mengambil manfaat, dengan hadirnya disini,
santri itu benar-benar mendapatkan manfaat; dari peningkatan
keimanannya, kesegaran jiwanya, kesegaran fisiknya, ya, karena kami
melihat kondisi, apa ya namanya, keuangan.
Jadi kesejahteraan ekonomi itu berbanding lurus dengan peribadatan.
Jadi ketika kawan-kawan mengejar ekonomi untuk membayar
utangnya. Jadi ini yang kami pikirkan; ketika kami bisa
mensejahterakan kawan-kawan pas hari kegiatan disini dengan
beribadah, maka dapat mengikuti dengan baik dapat mencapai
kesejahteraan bersama.
Diterima masyarakat, bahkan harapan saya kalau bisa ke depannya
bahkan; kawan-kawan waria bisa shalat dimana saja. Ya masyarakat
sudah tidak lagi takut untuk bersebelahan.
Dan harapan yang paling tinggi ya; jadi waria tidak memiliki tempat
khusus untuk belajar dimana saja, tapi kalau kita bareng-bareng, pas
ziarah, piknik, ya kalau ada masjid, kita mempir untuk shalat bersama.
Ya biasa, tapi kalau kita sendiri-sendiri merka kadang ngga percaya
diri, atau masih kaku, takut. Karena itu tadi, kejadian sebelumnya itu
banyak ketidaknyamanan, jadi waria mikir dulu “paling nanti gimana-
gimana, kalau shalat di Masjid, makanya shalat di rumah aja”. Tapi,
kalau kita piknik, ya tidak pernah terjadi masalah, tidak apa-apa.”9
4. Santri Waria
Nama Lahir : Ebnu Wibisono
Nama panggilan : Rere 9 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-
fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
140
Pendidikan Terakhir : SMA
Tempat/tgl/lahir : Yogyakarta, 15-09-1991
Agama : Islam
Alamat : Yogyakarta
Pekerjaan :
- Yayasan Vasta Indonesia
- Driver Go-jek
Santri mukim yang masuk pada tahun 2016 ke pondok waria
al-fatah ini bernama Rere. Memiliki gaya yang khas, dengan
potongan rambut cepak, memakai celana panjang dan baju lengan
panjang. Merupakan seorang yang lemah lembut dalam tutur
katanya, terbuka, open minded, dan tengah menjadi relawan di
Yayasan Vasta Indonesia. Yayasan ini bergerak dalam beberapa
bidang; terutama pada penanggulangan HIV dan AIDS. Rere
sendiri bertugas sebagai humas, dan dirinya menceritakan
tugasnya untuk mencari transgender, guy, dan lainnya yang
menjadi pekerja seks—untuk diperiksa, dan menghentikan
penyebaran HIV/AIDS. Demi menyambung hidup, Rere juga
kerap menjadi pelayan café dan driver Go-Jek wilayah
Yogyakarta, berikut wawancara bersama Rere di ruang tamu
pondok pesantren, hari Senin, 07 Desember 2020:
“Aku kemarin-kemarin kerja di bartender café di Club Malam. Ya,
taulah dunia malam, tu gimana, dan aku juga jadi driver online. Hehe,
masih sepi kan, terus kebetulan pas Corona ini ka ada kerja di LSM
141
Yayasan Vasta Indonesia kan, buat ngisi waktu bagian mengurus di
HIV/AIDS.”10
Menurut Rere pekerja seks merupakan perilaku yang tidak
baik untuk dijadikan pekerjaan. Selaras dengan bimbingan yang
diarahkan oleh pondok pesantren al-aftah. Usia yang sudah tidak
lagi muda, dan seorang yang sangat mencintai keluarganya,
meskipun sejak kecil belum pernah merasakan tangan dari
seorang ayah. Meskipun ada sosok Ibu yang berusaha
menggantikan kasih sayang seorang ayah, Rere tetap saja
terpukul sampai sekarang. Dukungan yang Rere peroleh, yakni
dari keluarga inti—keluarga kecil yang memiliki rasa toleransi
atas pilihan orang lain, Ibu dan Adik Rere menerima dirinya
dengan baik. Adanya penerimaan diri ini, setidaknya memberikan
motivasi pada diri Rere, yang sudah merasakan perbedaan
perasaan seperti perempuan dari sejak kecil. Berikut penggalan
wawancara bersama Rere di ruang tamu pondok pesantren pada
hari Senin, 7 Desember 2020:
“Sampai sekarang, karena kan aku udah kepala 3, dan yang lain
keponakan aku kan udah menikah. Ya kadang, aku bimbang, bingung,
sedih, kok apa ya. Kalian ngga ngerasain jadi aku tu gimana. Kalau
mereka dari kecil udah ada bapak, ada iu. Nah aku, broken heart, udah
kaya gini. Siapa yang mau memilih seperti ini, ya kan. Aku ngga
menyesali, karena apa yah, Tuhan menciptakan keluargaku seperti ini.
10
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
142
Aku udah ngga punya Ayah dari kecil. Ibu masih berjuang dengan
membesarkan anaknya, belum di keluarga selalu dibilang: ”Anakmu
lanang iku sing mbarep, wis ngono kui…” (Itu lo, anak kamu cowok,
yang pertama, udah tampilannya kaya gitu). Dan aku tu ngga pengen
dia sakit. Iya, tapi kan beda sama saudara-saudara Ibu, Kalau mereka
kan keluarganya lengkap. Tapi ya, ya udah, ini kan sudah digariskan
oleh Tuhan keluargaku seperti ini, kan kita ngga bisa berontak “aku
ngga mau seperti ini, seperti ini.”11
Jiwa penolong dan menjadi santri waria yang aktif, Rere turut
bergabung di beberapa organisasi atau komunitas. Sehingga Rere
dapat meng-eksplore dirinya untuk bergerak dan menginginkan
menjadi seorang yang bermanfaat. Menyadari dirinya seorang
yang berbeda dari teman-temannya sejak Sekolah Menengah
Pertama, Rere menanyakan kepada Tuhan sampai mengakui
dirinya sebagai seorang transgender. Perbedaan yang ada pada
dalam dirinya, dianggap sebagai pemberian Tuhan yang
ditakdirkan pada dirinya, karena dia mengalami perasaan yang
berkecamuk di dalam batin dan lahirnya, dan memuncak pada
tahun 2016 merasakan kebutuhan manusia sebagai seorang
makhluk yang ber-Tuhan.
“Saya masuk pada tahun 2016. Jadi, masuk ke pesantren ini kan
pindahan ke-2 dari Notoyudan. Akhirnya aku curhat sama yang di atas,
keluarin pas waktu salat itu, kadang pas mau salat pun juga nangis. Iya,
serius, bener, pokokya kalau udah ngerasain salat, bener-bener, apalagi
11
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
143
salat tahajud, nangis tu, plong, tenang. Terus, kaya, ya kaya ngga da
beban.”12
Nama Lahir : Wisnu Setiawan
Nama panggilan : Inul
Pendidikan Terakhir : SMA
Tempat/tgl/lahir : Jakarta, 26 Agustus 1971
Agama : Islam
Alamat : Yogyakarta
Pekerjaan : Mengamen
Kebaikan seseorang tidak terlihat dari seberapa postingan
dalam media sosial, dan banyaknya orang yang mengetahui atas
apa yang sudah disumbang. Kini lingkungan sosial dinilai dari
terlihat dari tampilan luar apa yang dikenakan. Menyisihkan
sebagian pendapatan pribadinya dalam satu minggu, untuk dua
orang janda tua di Desanya salah satu daerah Kulonprogo—yang
dilakukan oleh Inul santri non mukim atau kalong pondok
pesantren waria al-fatah Yogyakarta pada tahun 2016. Memiliki
sikap yang terbuka, dan sosok pengasih juga baik, Inul
menjadwalkan dirinya setiap senin untuk mengantarkan orang
tuanya yang sakit atau orang sekitar yang sakit ke rumah sakit
untuk kontrol.
“Iya, lebih lancar. Satu, lagian hati lebih tenang. Eeee dalam aku sendiri
loh, bukan orang lain, e e aku kadang em ternyata harus memberikan
12
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
144
untuk orang yang membutuhkan pertolongan. Eeem aku kan, sekarang
jadi pengamen ya, emm aku kan pengamen jalanan sekarang, mengikuti
alur aja waktu itu. Ternyata mba Nur, waktu itu dia keluar, karena
waktu itu masih sepi, dia keluar ikut ngamen. Makanya ketemu aku,
ternyata satu komunitas selain IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta),
ternyata ada Pondok Pesantren Waria, aku penasaran ya kan. Nah,
pertama kita udah tau dunia waria dijalanan, aku ingin merubah nasib
dengan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.”13
Terlahir dari didikan keluarga yang disiplin, dari sosok ayah
seorang Tentara, dan dua orang Kakak yang berprofesi TNI dan
Polisi, Inul merasakan hal yang sangat berbeda dari keluarganya
dan sejak Sekolah Dasar menyukai teman laki-lakinya. Berikut
penggalan wawancara bersama Inul di lataran pondok pesantren
waria al-fatah:
“Aku mengalami perbedaan pendidikan itu SD. Aku udah keliatan,
sama temen-temen, aku mengalami karena apa? Setiap aku bertaman
sama perempuan, dan aku melihat laki-laki itu ikut-ikut nge-fans, jadi
ngga ada getaran, nah aku kok, beda dengan laki-laki lain ya. Iya, aku
emang, dari keluarga tentara, karena kakak pertama ku jadi tentara, dan
kakak kedua ku jadi polisi. Dan aku doang yang, he he he lain dari pada
yang lain.”14
13
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 14
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15:30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
145
Meskipun berbeda dari kedua saudaranya, saat masih
menduduki SD, SMP, Inul serius dalam mempalajari agama
Islam di Taman Alqur’an setempat dimana dia tinggal saat
mengikuti dinas bapak-ibunya. Sejak kecil santri waria ini
memiliki hobi adzan, sampai dewasa dan di pondok pesantren al-
fatah memiliki julukan “Sang Muazin”.
Suara yang bagus, jelas, dan lantang, dimulai dengan lafadz
Allahu Akbar Inul menjadi muazin setiap shalat jamaah di
pondok pesantren waria al-fatah. Semua itu tidak lepas dari
berkat didikan disiplin dari keluarganya. Bekerja mnejadi seorang
pengamen di stasiun, jalanan, itu tidak mudah, apalagi dirinya
seorang waria, yang harus berdandan saat mengamen. Bukan
menjadi masalah bagi Inul sendiri, karena Inul percaya bahwa;
rejeki sudah diatur oleh Sang Kuasa, sehingga dirinya enggan
bekerja saat lima waktu tiba.
Investasi waktu shalat dan berbagi merupakan sudah menjadi
prinsip utama Inul. Bimbingan keagamaan yang didapatkan dari
ustadz Arif, menyadarkan dirinya dan beberapa tahun setelah
masuk pondok pesantren ini, Inul merasakan ketenangan batin
atas perubahan perilaku pada dirinya, oleh dirinya. Berikut
penggalan wawancara bersama Inul, dari pengalaman yang luar
biasa:
“Ustadz Arif ngasih wejangan bagi Inul sendiri ibaratnya gini yang
masih terngiang-ngiang; yang itu, jangan dibesar-besarkan hidup di
dunia dalam arti berfoya-foya, lebih baik memikirkan akhiratnya. Itu
yang paling Inul berkesan, jadi makanya kan Inul memandang harta
146
adalah titipan, kan itu yang benar-benar Inul, kasih ini karena sewaktu-
waktu bisa saja ntar misalnya aku habis ketemu Mbak Nisa, terus
meninggal. Itu yang paling aku, aku nggak mikir yang lain-lain. Di
situlah yang paling berkesan yaitu ibaratnya itu titipan ya yang paling
berkesan tadinya makanya aku yaudah harta itu titipan, ya aku bisa
membantu sama orang-orang yang masih dalam artian menolong dalam
hal positif Siapa tahu aku bisa dapat dapat doa gitu.”15
5. Significant Other
Nama : Nur
Tempat/tgl/lahir : Yogyakarta, 19-12-1969
Agama : Islam
Alamat : Yogyakarta
Pekerjaan : Memasak / Koki
Harumnya kebaikan manusia akan tercium dari orang-orang
sekitar yang sering bersamanya, seperti yang dikatakan oleh Nur,
sahabat dekat Rere. Bagaimana rere di mata Nur, perubahan apa
yang Nur rasakan setelah Rere masuk ke pondok pesantren,
semua akan dijelaskan oleh Nur. Merupakan seorang waria yang
sudah lama di pondok pesantren sejak pesantren tersebut berdiri.
Mba Nur seorang transgender sekaligus santri yang bekerja
sebagai Koki di pondok pesantren dan juga pesanan dari luar
pesantren, sebelumya menjadi seorang pengamen. Berawal dari
tahun 2012, Nur mengenali Rere di pelatihan kewirausahaan yang
15
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
147
diadakan oleh Ikatan Waria Yogyakarta. Berikut penggalan
wawancara bersama Nur di lataran pondok pesantren waria al-
fatah:
“Kita ketemu waktu itu kita ada pelatihan wirausahaan, dan waktu itu
sama Rere. Disitu kita dikumpulkan bersama beberapa waria yang tidak
kita kenal. Kebetulan belum ada pondok pesantren ini, dan disini juga
belum jadi pondok santri. Sebenarnya ada juga waria yang ngga kita
kenal. Kebetulan ada perkumpulan waria yang ikut. Dan itu juga belum
tentu mondok santri, dia datang kesini sendiri.”16
Religiusitas atau memiliki perasaan dekat dengan Tuhan,
dirasakan oleh semua makhluk hidup tanpa terkecuali. Dijelaskan
pula oleh Imam Sibawaih penulis buku Al-Hikam—kitab
kebahagiaan dan petunjuk jalan menuju Tuhan.
ط ء عط
ن لب ي
ع ع
من لبط ع ع
من لب
نم ف
هف لب
طب
بك بحت ف
مت
Ketika Dia membukakan pintu pemahaman kepadamu mengapa
tidak diberi, maka hal itu merupakan bentuk pemberian.17
Menyadari apa yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta
kepada makhluknya, maka akan menemukan kelem butan-Nya.
Ketentuan-Nya yang beriringan dengan kebijaksanaanNya,
bahkan yang sudah dianggap sebagai penolakan. Dalam buku Al-
Hikam ini, menunjukan bahwa Allah selalu ada, meskipun
16
Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere, pada
hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 15:30 WIB di Pondok Pesantren Waria
Al-fatah 17
El-Hasany Imam, Al-Hikam Kitab Kebahagiaan dan Petunjuk
Jalan Menuju Tuhan. (Yogyakarta; Telaga Akasara, 2020) hal. 114
148
manusia mengalami kesepian dari nikmat-Nya, sebenarnya Allah
sedang berkehendak membuat ramai dengan hikmah-Nya.
Bahkan, dalam kesempitan Allah telah memberimu nikmat
kesempatan. Kesempatan untuk tercerah, karena kesadaran
berserah.
Sebagai seorang sahabat, Nur bangga atas perubahan yang
dilewati oleh Rere. Santri waria yang masuk pada tahun 2016
lalu, menurut Nur; sudah sering mengikuti kegiatan pondok
pesantren, Rere juga sudah tidak mengasingkan dirinya, dan
sudah bisa mengatasi problematika keadaan dirinya sebagai waria
dihadapan keluarga dan lingkungannya. Di sisi lain, ada sikap
yang belum berubah dari awal Nur kenal dengan Rere, yakni sifat
ringan tangan, dan tidak pelit. Berikut penggalan wawancara
bersama Nur dengan mengekpresikan bahagia saat menceritakan
sahabatnya sendiri:
“Ya, ya itu kalau untuk pas ada pengajian disini, ikut belajar ngaji.
Yang aku tahu Rere selama ini; iya dia dulu, yang awalnya ngga
pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan diri, dia tidak mau
bergaul dengan temen-temen disini. Nah, sekarang kan sering
kumpul-kumpul, ikut kegiatan. Hehe dia itu ringan tangan, dia tu
kalau disuruh apa-apa pasti berangkat. Meskipun kadang ada feenya
ya hehehe. Dia kalau ngga dikasih pun ngga masalah. Yang satu
149
kebaikan Rere yaitu; ee ringan tangan, terus dia orangnya tidak
pelit. Iya, dia kalo punya ya, Iya ngasih aja.”18
Nama : Rini
Tempat/tgl/lahir : Jakarta, 27-10-1969
Agama : Islam
Alamat : Yogyakarta
Pekerjaan : Mengamen
Hidup adalah pilihan bagi makhluk hidup dan juga makhluk
sosial. Memilih untuk menjadi seperti apa, biasanya akan
mempertimbangkan sesuai kebutuhan dan kenyamanan pribadi.
Pada tahun 2007, Rini bertemu dengan Inul di Stasiun
Lempuyangan, saar dirinya berjualan Koran bekas atau asongan
di kereta-kereta. Tepat Inul berpindah bekerja dari seorang
karyawan di perusahaan swasta Jakarta. Tahun 1998 krisis
moneter, sehingga Inul berpindah ke Yogyakarta dan menjadi
seorang pengamen yang sudah menjadi seorang transgender atau
waria. Seperti tanggapan Rini saat wawancara di lataran Pondok
Pesantren al-fatah waria:
“Saya sejak tahun 2007. Di Stasiun Lempuyangan dulu masih hidup
di jalanan. Ya, di jalan terus ketemu, “ada waria tu, namanya siapa”
kataku. Ternyata namanya Inul. Ternyata mba Inul juga udah lama
juga, karena dia kan udah lama di Lempuyangan, ngamen di kereta-
18
Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere, pada
hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 15.30 WIB di Pondok Pesantren Waria
Al-fatah
150
kereta itu. Karena kan saya masih jualan koran-koran bekas 500-an,
kopi-kopi gitu, di kereta kan banyak lah, masih bebas dulu di stasiun
itu.”19
Perjumpaan yang cukup lama 14 tahun menjadi seorang
pendengar, teman, dan sahabat, Rini hampir tidak merasakan
kebosanan. Menurutnya, persahabatan itu juga tidak berjalan
dengan mulus, banyak bercanda sedikit bertengkar. Sosok Inul
yang senang memberikan; motivasi hidup, perduli, humble,
mengajak kebaikan, dan menyenangkan, sehingga dapat
memberikan keamanan bagi Rini pribadi. Berikut penggalan
wawancara bersama Rini di lataran pondok pesanten waria:
“Orangnya baik, “tur” ya orangnya sopan. Ya, jadi temen-temen
waria tu seneng sama mba Inul. Kadang saya suka kan ngamen
bareng, kadang-kadang saya sendiri, dan mba inul itu orangnya
baik. Suka apa, eee nasihatin kita-kita; Rini, ini yang baik, nah yang
ngga baik jangan diikutin. Yang bagus gitu, nah yang jelek jangan
diikutin. Ya emang nasihatin yang paling baik ya mba Inul, yang
paling deket, saya sama dia.”20
6. Warga
Nama : Munarto
Tempat/tgl/lahir : Yoyakarta, 13-11-1960
19
Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul, pada
hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Pondok Pesantren Waria
Al-fatah
20 Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul, pada
hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Pondok Pesantren Waria
Al-fatah
151
Agama : Islam
Alamat : Yogyakarta
Pekerjaan : Ketua RT
Ruang sosial di tengah masyarakat, pondok pesantren waria
yang terletak disebelah kiri potong rambut dan sudah banyak
diakui keberadaannya dari; Departemen Sosial, Institute
Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Nirlaba,
dan masyarakat setempat maupun daerah Yogyakarta maupun
luar daerah. Meskipun hal tersebut sudah diakui, ada masyarakat
yang masih kontra dengan keberadaan pondok tersebut. Seperti
yang diutarakan oleh Bapak Munarto, di rumahnya, saat peneliti
bertamu:
“Kalau sebagai ketua RT ya, jelas itu. Hirarkinya kan ndak ada ijin
ya, hanya kelompok pengajian sudah. Itu kalau dari ke
pemerintahan sampai RT ya. Sebenarnya masyarakat itu, katakanlah
ada yang mau ngomong sebenarnya ngga setuju gituloh, adanya apa
adanyapondok pesantren ini ngga setuju. Tapi kan kalau dibebankan
ke masyarakat ya ngga bisa, karena kan jaringannya udah besar
gituloh, kita ya ngga bisa apa-apa.”21
Menurut sepehaman bapak Munarto, pondok pesantren waria
al-fatah belum memiliki izin berdirinya bangunan pesantren
seperti yang sudah dalam aturan perundang-undangan wilayah
diIndonesia khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga
21
Wawancara dengan Munarto, Warga , pada hari Minggu, 27
Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Rumah bapak Arif
152
menimbulkan kontra dan tidak kesukaan selepas kejadian
penyerangan Front Jihad Islam terhadap pondok pesantren waria
al-fatah Yogyakarta pada tahun 2016. Berikut penggalan
wawancara bersama bapak Munarto yang bertempat di rumah
bapak Munarto:
“Iya jadi kan gini, itu pondok pesantren waria, juga bertempat
disini, dan kami itu mempertanyakan apakah ada ijinnya dari
pemerintah loh ya. Kan pondok kan, setiap ada kegiatan ada apa,
kan ada ijinnya biasanya. Mendirikan pondok atau mendirikan
apalah, sebenernya ada ijinnya dari pemerintah no berapa, ini kan
disini ngga ada.”
Bapak Munarto pribadi memiliki kesan baik terhadap kegiatan
pondok pesantren, seperti; mengaji, pengajian, shalat, dan
kegiatan sosial lainnya. Namun, satu hal yang menjadi harapan
besar bagi bapak Munarto, yakni ada support bangunan pondok
yang dilindungi oleh pemerintah, sehingga pondok pesantren
tersebut tidak bertempat di wilayah masyarakat umum. Berikut
penggalan wawancara bersama bapak Munarto di tengah sore
pukul 17.30 WIB:
“Kalu ngajinya saya ngga masalah wong itu ibadah kok masa
dilarang. Nah itu, tapi ya kami juga hanya apa, bertanya juga; ini
Dinas Sosial melindungi, nanti ada ini lagi, nah itu yang menjadi
pertanyaan. Pemecahannya tu bagaiamana, kami sebagai tataran
yang paling rendah kan, sebetulanya itu udah tau ya, mungkin dari
ya, kami yang disini ya hanya mengusulkan, mbok pindah dari sini,
153
disana di tempat yang lebih apa, mungkin yang ngga punya tetangga
gitu.”22
Nama : Tumirah
Tempat/tgl/lahir : 27-12-1971
Agama : Islam
Alamat : Yogyakarta
Pekerjaan : Penjual Soto gg. Depan pondok
pondok pesantren waria
Perbedaan pendapat kerap terjadi di lingkungan masyarakat.
Masyarakat merupakan tempat belajar bagi siapa saja yang hidup
bermasyarakat. Ibu Tumirah salah satu warga Desa Jagalan atau
tepat sebelah pondok pesantren waria al-fatah. Wanita yang
berumur 49 tahun ini sangat antusias terhadap adanya pondok
pesantren al-fatah ini. Meskipun ibu Tumirah tidak mengetahui
secara mendetail bagaimana cara melakukan bimbingan
keagamaannya, namun kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh
santri waria di pondok pesantren waria al-fatah, masayarakat
sekitar merasakan kebermanfaatannya. Seperti yang dicontohkan
oleh ibu Tumirah, yakni ada pengajian dan klinik gratis yang
pernah diikuti oleh beliau. Menurut Ibu Tumirah, gerakan yang
bagus bagi teman-teman waria, yang orang melihat hanya di
pinggir jalan dan melakukan hal yang tidak bermanfaat. Berikut
22
Wawancara dengan Munarto, Warga, pada hari Minggu, 27
Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Rumah bapak Arif
154
penggalan wawancara bersama Ibu tumirah di warung soto gg.
Depan pondok pesantren waria, pada 06 Januari 2021:
“Baik, semuanya itu kalau sama lingkungan sama apa ya baik.
Pernah, pengajian, tapi yang dateng bukan orang sini. Pokoknya
ngga tau dari mana, tapi penuh li (dan) saya juga pernah dateng.”23
Sisi teologis santri waria tengah menjadi perbincangan
masyarakat. Bagaimana santri waria mengerjakan shalat, apakah
memakai mukena atau tetap memakai perlengkapan shalat pada
santri umumnya. Setelah peneliti menjelaskan bagaimana santri
waria mengerjakan bimbingan keagamaan, Ibu Tumirah semakin
percaya, bahwa; pondok pesantren waria al-fatah ini, memang
benar untuk menuju berserah padaNya. Ibu Tumirah juga
menceritakan sikap santri waria, berikut penggalan wawancara
bersama Ibu Tumirah:
“Iya, ngga apa-apa. Kita kan tetangga kan saling berbagi, kalau
ngga ada yang mengganggu ya ngga. Kalau keluar masuk leat sini
ya ngga apa-apa. Karena kan kegiatannya juga bagus, ada yang
mau buka salon, tata rias pengantin, kreativitas lain, ini mau buka
lagi, sebelah sini.”24
23
Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06 Januari
2021, pukul 16.30 WIB di warung soto milik ibu Tumirah 24
Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06 Januari
2021, pukul 16.30 WIB di warung soto milik ibu Tumirah
155
B. Hasil Temuan Lapangan
1. Proses Penelitian
Puji syukur telah menyelesaikan penelitian di pondok
pesantren waria al-fatah sejak 2019. Dalam hal ini peneliti
mengalami beberapa hambatan, yang tengang waktu yang
cukup lama diakarenakan pandemik covid-19 dan keadaan
peneliti yang kurang stabil selama beberapa bulan.
Pendekatan yang dilakukan cukup panjang dan
membutuhkan penerimaan diri sebagai peneliti, yakni mental
yang cukup baik, dengan cara menjaga etika, sopan dan
santun, serta berkomunikasi untuk menyesuaikan keadaan
santri waria.
Pada tanggal 09 februari 2019, peneliti melakukan
pendekatan dengan pengasuh pondok pesantren dengan
menanyakan; diperbolehkan atau tidak pondok pesantren
waria al-fatah dijadikan penelitian skripsi. Karena pada saat
itu, peneliti mencari alamat pondok pesantren waria lewat
website, tidak ditemukan, sehingga peneliti mencari bantuan
lewat teman-teman mahasiswa UGM dan UIN Sunan
Kalijaga untuk silaturahim ke pondok pesantren waria al-
fatah. Setelah mendapatkan izin dari pihak pondok pesantren
waria al-fatah.
Peneliti kembali datang dan mengikuti langsung kegiatan
santri waria berlangsung pada tanggal 16-20 Mei 2019 tepat
di bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, kegiatan
pondok pesantren waria al-fatah berlangsung; mulai dari
156
bimbingan keagamaan, konseling agama maupun psikologis,
kegiatan sosial yang diadakan oleh LSM, Universitas
Gunadharma, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata
Dharma dan pemeriksaan gratis dari Puskesmas Kotagede.
Pertama kali peneliti bertemu langsung dengan 42 santri
waria yang turut melaksanakan kegiatan di pondok pesantren
waria, ada sedikit perasaan khawatir tidak diterima oleh
kawan-kawan santri waria. Namun, pengasuh pondok yang
baik memperkenalkan satu-persatu tamu yang ada di pondok,
sehingga peneliti mendapatkan kesiapan mental yang baik
dengan menerima diri.
Berjalan dengan baik pendekatan yang dilakukan oleh
peneliti juga dapat berkomunikasi langsung dengan santri
waria, ustadz, dan pengasuh. Jarak yang ditempuh selama
penelitian, cukup jauh dari Jakarta ke Yogyakarta serta
persiapan lainnya. Namun, peneliti tetap melaksanakan,
bukan karena terpaksa, akan tetapi peneliti memiliki
ketertarikan sendiri dan sudah yakin dengan penelitian yang
bertemakan kelompok marginal. Peneliti melanjutkan
penelitiannya setelah seminar proposal, selang sebulan
bertepatan dengan pandemi covid-19, sehingga tempat
penelitian di tutup sementara setelah 2 minggu.
Daerah Istimewa Yogyakarta lockdown dan sampai bulan
September. Selama masa pandemi covid-19, peneliti
melakukan komunikasi lewat whatshapp dengan Shinta Ratri
selaku pengasuh pondok pesantren waria al-fatah. Pada bulan
November awal, pondok pesantren sudah memperbolehkan
157
tamu datang dengan pemberlakuan protokol covid-19 yang
sudah ditentukan oleh pemerintah.
Pada tanggal 29 November peneliti terjun langsung dalam
membantu bimbingan keagamaan mengajar Iqra. Selama
penelitian berlangsung dari tanggal 29 November sampai 7
Januari, peneliti terhambat oleh transportasi. Karena
transportasi di Yogyakarta hanya Ojek online untuk menuju
tempat penelitian dan juga cuaca hujan, sehingga peneliti
berusaha keras dalam mencari solusi. Pendekatan terhadap
informan santri waria cukup baik, berbeda dengan
pendekatan warga sekitar yang tidak mau untuk
diwawancarai. Setelah 3 minggu, peneliti bertemu warga
yang mau dijadikan informan. Sejauh penelitian berlangsung,
peneliti menjalankan dengan penuh semangat, karena ini
merupakan penelitian yang menarik.
2. Tahapan/proses Penerimaan Diri Santri Waria
Melalui Bimbingan Keagamaan
Dinobatkan menjadi kota pluralisme, Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki sisi-sisi keunikan; selain dari sisi
kebudayaan dan pendidikan, yakni memiliki ratusan pondok
pesantren. Salah satunya yaitu pondok pesantren waria al-
fatah. Keberadaan pondok pesantren ini sangat dibutuhkan
oleh kaum transgender atau waria. Sebagai makhluk bertuhan
dan sosial, santri waria membutuhkan pondok pesantren ini
sebagai ruang sosial, pendidikan, kreativitas di tengah
masyarakat.
158
Berjalan selama 11 tahun lebih pondok pesantren ini
mengalami banyak perjuangan, sampai pada penyeragan Front
Jihad Islam pada tahun 2016. Sehingga masyarakat
menghindar dan takut. Namun, beberapa bulan setelah
mengalami penyerangan, pondok pesantren waria al-fatah ini
kembali melakukan aktivitasnya. Tentunya bukanlah hal yang
mudah, santri waria harus bangkit kembali dengan
membangun rasa penerimaan diri melalui bimbingan
keagamaan di pondok pesantren.
a) Tahap Denial dan Anger
Pada tahap ini santri merasakan pemberontakan atas
peristiwa yang tidak menyenangkan ataupun kekurangan
yang dimiliki juga ditandai dengan perasaan emosi. Hal
serupa diungkapkan juga oleh Ka Rere saat dirinya memiliki
pengalaman religiusitas-nya:
“Jadi, masuk ke pesantren ini, kan pindahan ke-2 dari
Notoyudan. Terus aku ada masalah besar, masalahnya aku sama
keluargaku. Karena aku berantem sama ibuku dan keluarga
ibuku. Mereka nentang aku, disuruh nikah, disuruh jadi yang
bener, jadi mereka malu kalau aku dandan perempuan.”25
25
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
159
Berawal dari hal yang tidak menyenangkan terhadap
dirinya, karena merasakan perbedaan dengan yang lain, maka
pengalaman yang sama juga dirasakan oleh Ka Inul pada
tahap bergaining.
b) Tahap Bergaining dan tahap Depression
Pada tahap ini, santri waria mengalihkan kemarahannya
dengan cara melibatkan Tuhan untuk membuat sesuatu yang
baik dalam bentuk kesepakatan. Karena santri waria
mengalami putus asa dan kehilangan harapan. Seperti yang
dialami ka Inul:
“Eeee, kalau aku itu terus terang dan temen-temen yang dulu;
arogan, udah aku kasih alur, ayo kapan kita mendekatkan.
Tapi kan waktu itu, ada yang di jalan. Aku diminta untuk
membentuk satu komunitas, yang ini kan seorang Abdi
Pamungkas itu. Tapi kan aku ikut sama orang yang bener-
bener hidup di jalanan. Dan aku saling kasih arahan inilah
saatnya mendekatkan diri sama yang kuasa sewaktu-waktu
kita mesti mencari. Dimana ada ketenangan, ya di Agama
kan.
Perasaan pada tahap ini juga kerap dirasakan oleh ka
Rere saat dirinya mengalami permasalahan yang cukup
berat dengan keluarganya dan dirinya.
“Perasaan balik ke Tuhan tu gini, jadi di saat, aku ada
masalah besar sama keluarga kemarin kan. Aku curhat sama
pak Ustadz Arif kan, terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa
terus solusinya katanya; ya udah, tenangin dulu di pondok,
nenangin pikiran, ya dengan ngaji, terus aku tiap malam juga
shalat eeee, tahajud. Karena ada ketenangan diri, maksudnya
setelah kita shalat malam itu ya, pokoknya kalau udah
160
meneteskan semua air mata yang kita curahkan itu, tenang.
Kan kalau di pendam itu kan sakit ya, akhirnya aku curhat
sama yang di Atas, keluar semua. Dan kadang kalau pas mau
shalat pun nangis. Jadi, kalau kembali kesini itu sebagai
wadah apa, ya. Kaya wadah kembali ke Tuhan, ya ngga sih
mba.”26
c) Tahap Acceptance,
Individu mengalami pencapaian titik terendah dan
mencoba menerima kenyataan buruk yang terjadi. Dalam
konteks ini, penerimaan diri sebagai seorang santri waria yang
berhadapan dengan Tuhan atas kesadaran diri, bahwa hanya
kepada-Nya; santri waria memohon, bersimpuh, mengadu,
dan hanya Tuhan yang mengerti keadaan dirinya sebagai
seorang waria. Bentuk penerimaan diri ka Rere dan ka Inul
yaitu dengan mengakui bahwa Tuhan menciptakan dirinya
dengan jenis kelamin laki-laki dan berperasaan dan jiwa
seperti perempuan. Maka dari itu, saat shalat mereka tetap
mengenakan pakaian shalat laki-laki. Berikut ungkapan ka
Inul:
“Kalau aku, kalau aku ya itu; aku punya prinsip sendiri, aku
walaupun aku jiwanya perempuan casing-nya laki-laki aku
menghadap Tuhan harus bentuk laki-laki karena apa? ngga
26
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
161
mungkin ya, apa Ibaratnya Tuhan menciptakan ini, ini dalam
arti kok aneh-aneh menghadap Tuhan kan Inul pribadinya
makanya pakai sarung.”27
Hal serupa juga dialami oleh ka Rere, bagaimana
dirinya berkekspresi dengan Tuhan. Wawancara yang
hening dan syahdu, disampaikan langsung oleh ka Rere:
“Iya, aku pake sarung. Kan tergantung dari penampilan ya.
Kemarin kan temen-temen liat, ada yang rambut panjang,
yang dia pake mukenah, ada yang pake sarung. Nah itu,
kenyamanan kita. Temen-temen waria nyamannya gimana?
Mau sarung atau mukenah. Contoh aja mami Rully, dia pake
hijab, tapi kalau shalat, dia lebih nyaman salat yang kaya
cowok.”28
Pondok pesantren waria al-fatah tidak mengharuskan
santrinya memakai mukenah. Artinya, di dalam pondok
pesantren ini bebas mengekpresikan dirinya kepada
Tuhan. Semua itu hak pribadi. Disampaikan juga oleh
pembimbing pondok pesantren Ustadz Arif:
“Laki-laki mau dia pake jubah, pake mukena, ya yang
penting menutup aurat, iya selesai. Tanpa busana juga boleh
kok, kalau kita sendirian di tempat yang gelap. Misalnya;
27
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 28
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
162
mungkin ngga punya baju ya, semuanya tutup semua, tanpa
baju bisa shalat. Konsep aurat muncul itu, karena ada orang
yang lihat.”29
3. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat dalam
Panerimaan Diri Santri Waria
a) Adanya pemahaman diri (Self-Understanding) dan hal yang
realistik
Dalam self understanding santri waria dapat mengenali
dirinya; mulai dari kemampuan dan ketidakmampuan yang
dimiliki dan tidak tergantung pada intelektual yang
dimiliki, tetapi mendapatkan penilaian orang sehingga akan
mudah menerima dirinya sendiri. Hal tersebut dapat
menimbulkan kepuasan tersendiri bagi individu dalam
penerimaan diri.
Dalam konteks ini, santri waria merasakan
kenyamanan di pondok pesantren dan menerima dirinya
sebagai seorang waria yang memiliki potensi pada dirinya.
Dengan ini, santri waria hanya dapat berinteraksi bebas
dengan Tuhan; karena jauh dari diskriminasi, perlakuan
yang membuat sakit hati, dan lain sebagaianya. Menurut
santri waria, hanya Tuhan yang bisa memahami
perasaannya dan tahu jalan keluar masalahnya.
29
Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya.
163
Tingkat ketakwaan santri waria mungkin lebih besar
dari yang dipikirkan oleh manusia sosial lainnya, yang
menganggap individu waria akan masuk neraka. Inilah
alasan KH. Abdul Muhaimin yang sekarang menjadi
Pembina pondok pesantren waria al-fatah:
“Gus Dur sempat beberapakali datang kesini. Orang syiah,
orang Atheis, orang Katolik, Kristen, Cina, dll sering kesini.
Karena saya terbuka dan saya tidak memandang siapa pun
dengan yang dia miliki. Namun, kalau dari sisi kemanusiaan,
mereka yang kita anggap berbeda, mereka masih bani adam.
Menurut kamu, mereka bani adam bukan?
Nah, itu.. Jadi, saya melihat waria, sudah waria dan mau
shalat, itu kan sudah termasuk nilai positif. Lhoh, jangan-
jangan derajat nilai shalatnya, malah lebih tinggi dari pada
kita. Mereka secara sosiologis sudah diremehkan, tapi mereka
masih mau mencari Tuhannya. Itu luar biasa loh.”30
Seperti halnya diungkapkan oleh ka Rere saat dirinya
merasakan kenyamanan dengan identitasnya juga dukungan
keluarga untuk belajar di pondok peantren al-fatah:
“Iya masuk pesantren karena kesadaran diri. Kendala si ngga
ada, kebetulan ibuku mendukung, jadi kan kemarin ke
Cirebon ziarah, dan aku emang dandan, dua hari. Ibu dan
adek ku juga ikut. Aku ngga menyesali aku seperti ini,
karena apa yah, Tuhan menciptakan keluargaku seperti ini.
30
Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Rabu, 09 Desember 2020, pukul 10.30
WIB di pondok pesantren Nurul Ummahat.
164
Aku udah ngga punya Ayah dari kecil. Ibu masih berjuang
dengan membesarkan anaknya, belum di keluarga selalu
dibilang:”Anakmu lanang iku sing mbarep, wis ngono kui…”
(Itu lo, anak kamu cowok, yang pertama, udah tampilannya
kaya gitu). Dan aku tu ngga pengen dia sakit. Dan untuk di
Pesantren ya alhamdulilah nyaman, ya, dengan mengikuti
kegiatan-kegiatan, kadang merasakan capek. Tapi, terus
lama-lama ya ee enjoy aja. Iya, hmmm kadang dengan
kepenatan yang karena kesibukan dunia itu, akan lebih
tenang saat shalat dan seneng juga berjamaah, dan untuk
ngaji, dari kecil aku udah dibekali ilmu agama, jadi aku
tahu.”31
Disisi lain, ka Rere merasakan hambatan dalam
proses pelaksanaan bimbingan keagamaan di pondok
pesantren waria al-fatah. Berikut yang diungkapkan oleh
Rere:
“Kendala tidak ada sama sekali mbak Nisa, karena dari kecil
soal agama saya sudah belajar, jadi ingat akan bimbingan
agama. Hal yang belom saya dapat di pesantren adalah
kebersamaan santri yang hanya setiap Minggu aja.”32
Perasaan nyaman dan aman yang dialami oleh ka Rere
juga diungkapkan oleh teman dekatnya yaitu ka Nur. Ka
Nur sendiri pengurus pondok pesantren al-fatah. Selain itu
31
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah. 32
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 06 Februari 2021, pukul 09.02 WIB di
Whatshapp
165
juga menjadi sahabat Rere selama di pondok pesantren,
tidak menutup kemungkinan, ka Rere menceritakan segala
pribadinya ke ka Nur. Namun pada penelitian ini, ka Nur
menceritakan pribadi ka Rere selama dia menjadi teman
dekatnya:
“Rere datang kesini sendiri (pondok pesantren al-fatah). Iya,
mungkin karena waktu itu ada pelatihan, dan dia itu ke Bali.
Dan di Bali itu ada masalah, terus akhirnya dia kesini. Dan
mungkin menurut dia disini tempat paling nyaman, dan
aman, nah akhirnya dia kesini dan akhirnya masuk ke
pondok pesantren. Rere, iya dia mulai dulu, yang awalnya
ngga pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan diri,
dia tidak mau bergaul dengan temen-temen disini. Nah,
sekarang kan sering kumpul-kumpul, ikut kegiatan.”33
Hal serupa juga dirasakan oleh ka Inul, baginya
pemahaman diri ini sangat penting dalam menjalani
kehidupan, apalagi ia menjalaninya sebagai seorang
pengamen waria:
“Eeem aku kan, sekarang jadi pengamen ya, kan pengamen
jalanan sekarang, mengikuti alur aja waktu itu. Ternyata mba
Nur, waktu itu dia keluar, karena waktu itu masih sepi, dia
keluar ikut ngamen. Makanya ketemu aku, ternyata satu
komunitas di IWAYO, ternyata selain itu ada Pondok
Pesantren Waria, aku penasaran ya kan. Yang pertama, udah
tau dunia waria di jalanan, aku ingin merubah nasib dengan
33
Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere, pada
hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 15.30 WIB di Pondok Pesantren Waria
Al-fatah
166
mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Kalau aku
pribadi, aku punya komitmen, aku bekerja, ya bekerja. Selagi
aku udah mengenal ponpes, karena aku juga dulu dilandasai
agama. Dan kalau shalat tahajud ya sebenarnya ngga terlalu.
Aku kalau malam, kebangun sampai jam 2, dan aku bangun.
Aku interaksi dengan Allah dengan cara ngga shalat. Aku
bertanya; Ya Allah, kalau aku emang berat dalam bentuk
kaya gini, aku ngga menyesal. Tapi, berilah aku jalan yang
lurus. Apa yang Allah berikan sabda sama Rasul-rasulnya;
berilah aku jalan yang terbaik menuju surgaMu.”34
Sama halnya dengan ka Rere, ka Inul merasakan
hambatan dalam melaksanakan bimbingan keagamaan:
“Iya bener, dan aku sebenarnya juga ada permintaan sama
ibu; seharusnya pondok pesantren ini jangan hanya hari
minggu, tapi di hari yang lain juga, karena kan hubungan
sama Tuhan tidak hanya hari minggu. Karena kan, memang
kesibukan masing-masing untuk mencari uang, jadi
ketemunya hari minggu, tapi kan kalau setiap hari; keliatan
orang yang mau jelek-jelek sekalian, kalau mau baik-baik
sekalian. Hal yang belum kudapatkan sampai sekarang yaitu
kebersamaan masih kurang.”35
Menjadi sahabat ka Inul sejak 2008, ka Rini merasa
bersyukur atas kehadiran ka Inul dalam hidupnya,
34
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 35
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
167
menurutnya ka Inul menjadi sosok yang berpengaruh
dengan mengingatkan ibadah:
“Inul orangnya baik, “tur” ya orangnya sopan. Ya, jadi
temen-temen waria tu seneng sama mba Inul. Kadang saya
suka ngamen bareng, kadang-kadang saya sendiri, dan mba
inul itu orangnya baik. Suka nasihatin kita-kita; Rini, ini
yang baik, nah yang ngga baik jangan diikutin. Yang bagus
gitu, nah yang jelek jangan diikutin. Mba inul orangnya biasa
aja, ngga banyak macam-macam, Ibadahnya bagus.”36
Pengasuh pondok pesantren turut memberikan
statement hambatan dalam pelaksanaan bimbingan
keagamaan yang dilaksanakan. Seperti yang diungkapkan
oleh ka Shinta Ratri:
“Spesialnya untuk santrinya dulu bisa mengambil manfaat,
dengan hadirnya disini, santri itu benar-benar mendapatkan
manfaat; dari peningkatan keimanannya, kesegaran jiwanya,
kesegaran fisiknya, ya, karena kami melihat kondisi, apa ya
namanya, keuangan. Jadi kesejahteraan ekonomi itu
berbanding lurus dengan peribadatan.”37
36
Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul, pada
hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Pondok Pesantren Waria
Al-fatah
37 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok
Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020,
pukul 10.30 WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
168
b) Tidak ada hambatan dalam lingkungan dan Identifikasi
orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik serta
perspektif diri yang luas
Meskipun individu sudah memiliki harapan realistik,
namun jika lingkungan tidak mendukung, maka harapan
individu tersebut akan sulit tercapai. Individu yang
mengidentifikasi dirinya dengan individu lain yang
mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memiliki
tingkah laku yang sesuai dengan individu yang
dicontohnya. Yaitu memperhatikan juga pandangan orang
lain tentang diri. Perspektif diri yang luas, dapat diperoleh
melalui pengalaman dan belajar.
Dalam konteks ini, keberagamaan santri waria tidak
memiliki hambatan dalam melaksanakan ibadah dan juga
adaptasi dengan masyarakat. Sama halnya diungkapkan
oleh ka Inul saat dirinya beradaptasi dengan masyarakat
dengan mengikuti perkumpulan RT/RW dan ibadah shalat
5 waktu di masjid yang dilaksanakan oleh dirinya:
“Ngga ada masalah dengan masyarakat, kalau aku pribadi
ngga. Karena aku setiap minggu pun pulang. Kalau di
kampung setiap kegiatan itu pasti. Dan aku juga kadang
kalau tiap awal bulan ada perkumpulan RT/RW di rumah,
sebulan sekali. Kalau aku pribadi, aku menghadap Allah aku
pakai baju pria. Mereka tahu kalau aku waria dan mereka
menerima. Eee, Kalau aku sebenarnya lima waktu dari dulu.
Aku shalat juga, tapi dalam arti yang dulu-dulu belum
mengenal Ponpes. Aku punya aturan ya, jadi kayak
tayamum, aku kadang di jalan ya udah yang penting aku mau
mendekatkan diri aku harus komunikasi sama Tuhan itu
169
harus, aku begitu. Kalau untuk lima waktu ya di masjid, ya
deket-deket ini karena; satu bisa mengontrol pekerjaan aku
harus jam ini bekerja masalah rezeki ya, kuasa yang ngatur
kita istirahat Kalau mau dandan lagi kalau nggak ntar abis
maghrib lagi.”38
Pengalaman yang sama dirasakan oleh ka Rere,
seberapa jauh lingkungan mempengaruhinya dirinya
melalui eksistensi keberagamaan dan sosialnya:
“Ya, kalau di sini, penerimaan terhadap kawan-kawan waria
ya menerima. Dari ujung gang depan sampai gang sana,
kenal sama aku, karena eeeem, ya maksudnya aku kan,
membaurnya baik, jadi masyarakat tahu; “itu itu si rere” Eee,
tergantung dari kita bawanya bagus ya, penerimaannya juga
baik gituh. Kalau di rumah, ya ngga mungkin aku melakukan
hal yang sama, jadi ngga semua tempat juga sama, bisa
menerima. Aku kan waria, bukan malu ya, karena dari
dalam. Tapi penampilan aku tetap kaya cowok, aku bukan
kaya waria yang pake apa-apa, itu ngga.39
Sebagai santri waria yang mukim di pondok
pesantren, ka Rere juga menceritakan; bahwa di pondok
pesantren juga melibatkan kegiatan sosial dengan
masyarakat, instansi pendidikan, ataupun kegiatan sosial
lainnya. Dalam pengertian, pondok pesantren ini bersifat
inklusif.
38
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 39
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
170
Iya, aktivitasnya banyak sebetulnya di pondok, jadi ngga
cuman hari minggu aja. Ada juga di bidang sosial, dan aku
dilibatkan dari panitia juga, gitu. dan apalagi setelah
penyerangan Front Jihad Islam, kita sibuk nih, Go Show ke
kampus-kampus ngisi-ngisi acara sama ustadz Arif ke UIN
Sunan Kaijaga, dll, hehe. Di pondok serius, bener; pokokya
kalau udah ngerasain shalat, bener-bener shalat tahajud, dan
nangis itu, plong, dan tenang. Terus, kaya ngga ada beban,
tapi setelah itu, bangun tidur hehe.”40
Menelaah dari kedua informan di atas yang sudah
bisa menyesuaikan dirinya dengan masyarakat, pun
masyarakat dapat menghargai atau bersikap saling
toleransi. Dalam hal ini disampaikan langsung oleh
Tumirah selaku pihak masyarakat:
“Baik, semuanya kalau sama lingkungan sama apa ya baik.
Kita kan tetangga kan saling berbagi, kalau ngga ada yang
mengganggu ya ngga. Kalau keluar masuk lewat sini ya ngga
apa-apa. Karena kan kegiatannya juga bagus, ada yang mau
buka salon, tata rias pengantin, kreativitas lain, ini mau buka
lagi, sebelah sini.”41
Setiap masyarakat tidak memiliki pandangan yang
sama terhadap adanya pondok pesantren waria. Pro dan
kontra akan selalu ada dalam lingkungan masyarakat, pun
dalam kegiatan positif. Seperti yang diungkapkan oleh
40
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
41 Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06 Januari
2021, pukul 16.30 WIB di warung soto milik ibu Tumirah
171
bapak Munarto, karena ketidaktahuan bagaimana kegiatan
santri waria di dalam pondok pesantren:
“Nah pada waktu jamaah, itu katakanlah warianya, letaknya
di laki-laki atau perempuan. Waktu apa bakti sosial ke orang
lain saya ngga tahu; apa ke tukang becak dan orang yang
ngga mampu, tapi itu tidak ada ijin sama sekali gitu. Nah,
jadikan, mungkin kalau ini ya, apa, khusus lansia-lansia,
seumpama gitu lo, kan seumpama ada pengajian ya disitu,
ada. Ya mungkin kalau pemerintah memberikan dana untuk
apa ya, semacam; kursus kecantikan, maksud saya, kalau itu
emang ya, kami seneng. Kami kan doanya seperti itu kan,
ngga ke arah yang apa gitu, karena tinggalnya kan masih
pada disitu ya? Iya, asal tidak mengganggu lah, sementara ini
tidak ada konfliklah. Kalau ngajinya saya ngga masalah,
wong itu ibadah kok masa dilarang. Kalau saya kemarin
cuman, ya kalau kelurahan kan punya akses ke departemen
sosial, nah maksud saya itu pak lurah kan bisa memberikan
apa, masukan, mbok itu ditempatkan khusus gitu, jangan di
sini.42
Sebagai pengasuh pondok pesantren waria, Ka Shinta
Ratri dikenal sebagai sosok yang baik di ranah lingkungan
masyarakat sekitar. Dengan menjalankan visi, misi, dan
tujuan pondok pesantren waria, maka akan melibatkan
banyak kegiatan sosial yang bersifat inklusif dan
membantu masyarakat sekitar serta menjaga nama baik
42
Wawancara dengan Munarto, Warga , pada hari Minggu, 27
Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Rumah bapak Munarto
172
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang
diungkapkan oleh ka Shinta:
“Eee, sama saja. Mereka (masyarakat) juga mendukung,
mereka juga menghargai, bahkan mereka membantu kami
ketika berkegiatan. Tapi, juga sempat masyarakat sini takut.
Ketika 2016 itu, mereka takut ketika FJI kesini dan kami
dikira berarti membantu LGBT, kemudian mengatakan kalau
menerima kami disini, Allah akan menghisab, dan kemudian
masyarakat menjauh. Dan kemudian kami mengembalikan
kepercayaan masyarakat itu, dan alhamdulilah sudah
membaik kembali.
Ya masyarakat sudah tidak lagi takut untuk
bersebelahan. Dan harapan yang paling tinggi ya; jadi waria
tidak memiliki tempat khusus untuk belajar dimana saja, tapi
kalau kita bareng-bareng, pas ziarah, piknik, ya kalau ada
masjid, kita mempir untuk shalat bersama. Ya biasa, tapi
kalau kita sendiri-sendiri mereka kadang ngga PD (percaya
diri), atau masih kaku, takut.
Karena itu tadi, kejadian sebelumnya itu banyak
krtidaknyamanan, jadi waria mikir dulu; “paling nanti
gimana-gimana, kalau shalat disana di Masjid, makanya
shalat di rumah aja”. Tapi, kalau kita piknik, ya tidak pernah
terjadi masalah, tidak apa-apa. Bahkan kalau itu tadi, jadi
kita bagaimana kita kemudian duduk di tengah masyarakat
sini dan menjadikan supaya kiya punya manfaat untuk
masyarakat. Jadi itu, sebagai penguatan keberadaan kita
disini. Contohnya ya, kita bikin dapur umum disini, kita
berikan sembako sebulan sekali selama covid ini.
Misalnya kaya gitu sebagai contoh-contoh yang terjadi
sampai sekarang masih kita lakukan, terus kita bikin klinik
gratis. Sebetulnya kalau dukungan materil tidak sih, namun
kalau dukungan secara moril iya. Justru ini yang harus kita
173
terima, artinya kita kan ngga bisa, apa ya, ee berdiri sendiri
tanpa dukungan yang moril itu tadi.
Salah satu contoh begini, ketika ee di Indonesia ya, kita
melakukan kegiatan, ketika tetangga ini (tidak nyaman), lalu
lapor polisi; “Oh ini mengganggu kami, ini” pasti kita sudah
bisa dibubarkan, ya kan. Ya kan, otomatis. Jadi ini
merupakan salah satu bentuk hubungan; bagaimana
masyarakat sekitar sini ee apa ya, memberikan ruang untuk
kami berkegiatan, berorganisasi.43
c) Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif
dan kuantitatif dan Pola asuh masa kecil yang baik.
Seorang anak dengan pola asuh yang demokratis,
akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat
menghargai dirinya sendiri. Disambung dengan faktor-
faktor di atas, maka keberhasilan yang dialami dapat
menimbulkan penerimaan diri dan sebaliknya kegagalan
yang dialami dapat mengakibatkan adanya penolakan diri.
Pola asuh yang dimaksud yakni; orang tua
membangun rasa percaya diri pada anaknya dengan apa
yang dijalankan oleh anaknya. Dalam hal ini, anak tidak
mengalami kekerasan secara fisik, cacian, dan lain
sebagaianya yang membangunkan mental menjadi lemah
pada individu. Berikut pengalaman ka Rere yang
43
Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
174
menjadikan dirinya sekarang mampu bekerja dengan baik
di Yayasan Vasta Indonesia:
“Baground keluargaku itu, hemm, jadi gini, dari kecil
aku udah ngga punya ayah sampai sekarang. Ya, cuma
punya ibu aja yang ngurus dari kecil. Iya sejak kecil,
mungkin ini ya; aku merenungkan setiap malam, melihat
teman-temanku waktu aku kecil, keluarga mereka kan
lengkap. Mereka kalau sekolah kadang dianter gentian-
gantian juga kadang bapaknya, kan aku iri. Aku ngga dianter
bapak, dan mama aku juga kan ngga nikah lagi. Kalau nikah
lagi kan, aku komplit keluarganya. Ya… Eem, sebenarnya
dari situ, aku nyaman kalau dekat sama cowok. Aku pengen
selalu deket, karena kan aku ngga dapet kasih sayang dari
sosok seorang ayah. Dan Ibu kan merangkap jadi seorang
ayah dan ibu, eem, kan tetap ngga maksimal, karena bukan
sosok ayah asli.
Tapi dari kecil itu, dari umur 2 atau 3 tahun, aku suka
main bonek-boneka, masak-masakan. He he he, tapi ngga
apa-apa sih, malah dibeliin sama ibu. Iya, he he he. Sampai
tetangga bilang; loh, kok kamu malah main-mainan cewek,
he he he ya mereka malah ngatain ibu ku, terus aku kan
sering mainin jarit, tau kan?
Jarik simbah aku kan banyak, hehe, yaudah aku pake
buat mainan gibek (tari-tarian), terus ibu ku ada lipstick,
hehe yaudah aku pake lipstick. He he he, yaudah seru-
serunya waktu kecil, apa, apa itu merasakan berbeda dengan
adik ku, he he.”
Selain merasakan perbedaan di masa kecil, ka Rere
sejak SMP menyukai sesame jenis yaitu laki-laki. Namun
dengan memendam perasaan secara diam-diam. Berikut
ungkapan ka Rere:
175
“Ya, aku SMP (Sekolah Menengah Pertama) itu
merasakan suka sama temen, ya aku diem aja, dan ngga ada
yang tahu. Aku cuma pendam aja, ngga berani cerita. Sama
guru aku, ya guru ku udah punya istri dan anak juga, guru ku
juga aku ajak ke rumah, dan ibu ku ngga apa-apa setiap aku
bawa cowok ke rumah.
Heeem, iya, karena kan beda, tapi ada juga yang masih
main sampe sekarang, dia udah nikah juga, tapi ya main aja
ke rumah, adek ku juga ngga apa-apa, karena dia bisa diajak
ngobrol. Iya, terus aku rasa jaga perasaan adek ku aja. Ya,
biar sama-sama nyaman, iya ngga mempermasalahkan
jadinya.
Dan aku setelah SMA (Sekolah Menengah Atas) berani
membuka diri sebagai waria. Iya, jadi kan disini juga ada
program penerimaan terhadap keluarga itu kan, untuk teman-
teman waria yang keluarganya itu mendukung.”44
Setelah berani untuk coming out, berusaha untuk
melawan diri sendiri dengan tekanan bathiniyah dan
lahiriyah-nya, Adik dan Ibu Rere memberikan
kepercayaan pada dirinya, bahwa dirinya harus menjadi
waria yang baik.
“Jadi kan, dari aku kecil ya, jadi ibuku menghidupi keluarga,
ya mesikupun menghidupi dua anak ini, ya dengan menjadi
pembantu. Kalau gajian, pasti di transfer buat bayar SPP,
uang kos, uang makan buat kita berdua sekolah SMP, SMA.
Dan adekku kan kerja di restoran jepang selama 3 tahun. Dan
44
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
176
aku juga punya banyak sampingan kerja; mulai dikonter,
batik malioboro, ya kerja freelance yang aku ambil. Jadi
kalau bilang jadi tulalng punggung keluar atau ngga, ya jadi
kan kita berdua cowo semua, jadi satu beban kita angkat
bareng-bareng.”
Berbeda dengan ka Inul yang terlahir di keluarga
yang penuh kedisiplinan, yakni keluarga tentara dan
polisi. Namun, sejak kecil sebagai anak laki-laki terakhir,
ka Inul lebih dekat dengan Ibunya. Seperti yang
diungkapkan oleh ka Inul sebagai berikut:
“Iya, aku pribadi, merasakan perubahan yang secara
alami. Aku dalam casing laki-laki, ibaratnya hatinya wanita
itu, eee, aku udah merasakan kebiasaan seperti perempuan.
Aku juga lebih deket sama Ibu dan lebih enjoy, dari pada
sama Ayah dan saudara laki-laki ngga ada pendekatan, yang
aku alamin lho. Aku mengalami perbedaan itu sejak SD.
Aku udah keliatan, setiap aku berteman sama
perempuan, dan aku melihat laki-laki itu ikut-ikut ngefans.
“Nah aku kok, beda dengan laki-laki lain ya?” Dan ya, aku
emang dari keluarga tentara, karena kakak pertama ku jadi
tentara, dan kakak ku satunya jadi polisi.
Dan aku doang yang, he he he lain dari pada yang lain.
Dulu aku sebelum SLTA (Sekolah Menengah Atas)
sebenarnya orang tua mengharapkan; setelah aku SLTA, itu
aku disuruh ikut pendidikan, kaya kakak-kakak ku, aku udah
ngga minat.
Ternyata aku melalui program yang SLTA aku lain dari
pada yang lain, aku masuk yayasan orang Kristian, aku
masuk SMA Kristen Magelang. Ya kan disitu juga deket,
waktu ayah ku tugas disitu, jadi aku disitu ikut-ikutan glamor
lah, he he he dalam arti, belum tahu agama ya. Ya tahu
177
agama ya, emm tapi ini aku belum mengetahui aku mau
kemana gitu.
Setelah itu aku, ya emang waktu itu, ayahku
mengharuskan, mengikuti pendidikan kan aparat. Ternyata
lain, aku ikut e program computer, dan aku ikut perusahaan
asing malah di Gunungsari 11 waktu itu. Dan pas gonjang-
ganjing krisis moneter, dan aku kena PHK. Karena bangkrut.
Hidup sebagai transgender, ka Inul mengalami keadaan
yang tidak stabil, sehingga pada tahun 2000-an kembali ke
Yogyakarta:
Terus kembali ke Kulonprogo, pas ayah pensiun kan
balik lagi ke Kulonprogo. Iya, karena aku sebagai pengamen,
aku ya bersyukur ya pengamen waria. Dan aku punya tipe
setia, seandainya aku punya pasangan. Dulu aku punya
pasangan kan sampai 11 tahun, dan ternyata aku punya
prinsip; “kalaupun ikut waria, ya kamu harus punya jodoh.”
Akhirnya kita putus dan aku kursusin montir, akhirnya bisa
bekerja dan dapat orang Banyuwangi sampai sekarang masih
komunikasi. Daripada aku menambah dosaku. Aku
mengenalkan mereka, siapa tahu itu mengasih jalan aku. Aku
tidak ingin melecehkan makna dari seorang waria Jalan.
Walaupun diluar logika kan sedih, tapi aku juga punya
perasaan sendiri prinsip sendiri nggak kayak temen-temen
aku yang harus ganti pacar. Kalau aku masalah seks enggak
besar-besarin, disitulah aku walaupun waria; 1) takut
penyakit, 2) takut dosa ya terutama aku takut dosa. Aku
178
perlahan-lahan bisa sampai sekarang aku 5 tahun kalau
nggak udah nggak melakukan itu ibaratnya.45
4. Potensi Diri Menunjang Penerimaan Diri Santri Waria
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan masing-
masing. Di dalam pemahaman penerimaan diri, individu dapat
dikatakan menerima diri sendiri jika individu tersebut sudah
menjadikan kelebihan dan kekurangannya menjadi sebuah
potensi. Santri waria di Pondok Pesantren Al-fatah memiliki
potensi fisik dan non fisik. Seperti yang sudah diketahui, bahwa
latar belakang pekerjaan santri waria bukan hanya sebagai
pengamen, namun banyak yang memiliki karya; pemilik kain
shibori, peneliti solidaritas perempuan, termasuk ka Rere
memiliki potensi yang cukup membantu keselamatan manusia,
yakni di Yayasan Vasta Indonesia dan seorang driver:
“Aku kemarin-kemarin kerja di bartender café di Club Malam.
Ya, taulah dunia malam, tu gimana, dan aku juga jadi driver online
dari 2016, sampai sekarang masih, hehe Aku jadi mitra dari tahun
2016, ini bisa dilihat, nama Ebnu Wibisono terus kebetulan pas
corona ini ka ada kerja di LSM kan, buat ngisi waktu. Yayasan
Vasta Indonesia, bagian mengurus di HIV dan aku bagian
informasi center dan objek-objek yang membutuhkan
penyuluhan.”46
45
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 46 Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
179
Potensi fisik yakni bakat yang dimiliki individu dan
terlihat oleh mata. Selanjutnya potensi yang dimiliki oleh ka
Inul yakni, dengan memiliki kelenturan tubuh, sehingga ka
Inul memiliki latar belakang sebagai penari. Di pondok
pesantren juga terdapat kelas menari, ada 50% dari 60 orang
santri waria di pondok pesantren bisa melekukan tubuhnya
dengan menari dan diolah menjadi penghasilan tambahan:
“Kalau di kos pun; kan ada kegiatan ya, kadang aku ikut dan aku
nari. Iya, kadang kalau nari, orang-orang pada bilang; “Nul, ini
anak-anakku, mau belajar nari.”47
Tuhan menciptakan manusia dengan bahan yang sama dan
juga Tuhan memberikan fitrah yang sama kepada semua
manusia, kecuali kembali kepada manusia itu sendiri. Disisi
lain, santri waria memiliki potensi non fisik, seperti halnya;
kecerdasan (intelektual, spiritual, emosional, dan sosial). Pada
observasi yang dilakukan oleh peneliti, banyak sekali santri
waria yang memiliki sesuatu yang tak terduga dan tidak dilihat
oleh mata.
Seperti halnya kedua informan ka Rere dan ka Inul.
Menghidupi janda-janda tua di Desanya, juga mendedikasikan
dirinya untuk mengantar orang berobat karena tidak adanya
47 Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
180
keandaraan, semua itu dilakukan dengan ikhlas dengan
penghasilan dirinya yang seadanya, berikut ungkapan ka Inul:
“Dengan menjadi waria, saya lebih gampang membantu orang
lain, apakah ini jalan dariMu ya Allah? Bukan berarti kita ria ya,
untuk menolong seseorang. Ya Allah, Tuhan berikan jalan gini,
ternyata hati lebih tenang. Bagi aku ya penghasilan, apa yang
terpenting ku syukuri, ternyata bisa membantu orang lain;
membutuhkan pertolongan, anak-anak jalanan dalam arti dalam
kesusahan, aku bisa membantu. Walaupun sedikit uang ya aku
kasih untuk; biaya sunatan, dan yah gitu Kalau masalah agama
aku juga tahu ya mbak, terus terang; masalah prostitusikan
dilarang.”48
Sebagai seorang yang memiliki sifat yang lemah lembut,
sehingga Ka Rere terpanggil untuk membantu Yayasan Vasta
Indonesia. Dari sifat ini juga menjadikan ka Rere dipercaya
menjadi tim Humas (hubungan masyarakat) di Yayasan Vasta
Indonesia bekerja selama 24 jam demi memangkas terjadinya
HIV khususnya teman-teman waria di Yogyakarta:
“Aku keinginan sendiri, karena gimana yah, temen-temen ku mati
konyol, karena HIV. Mereka bermain seks bebas. Kan misalkan
cowok itu udah nyoba satu, pengin nyoba sama ini, pengin nyoba
sama yang lainnya. Udah gitu temen-temen waria ngga mungkin
ngecek kesehatannya kan, dia kena apa ngga. Banyak waria yang
selesai hidupnya karena itu, dan aku merasa terpanggil aja sih,
untuk membantu. Dan aku 24 jam, masih nyari waria, guy, dan
48
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
181
orang-orang yang mempunyai istri tapi suka main sama waria,
yang belum pernah diperiksa.”
5. Metode Bimbingan Keagamaan Dalam Menciptakan
Peneriman Diri Santri Waria Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta
Metode bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing
pondok pesantren diklasifikasikan menjadi beberapa metode
dan teknik bimbingan. Pada dasarnya, pembimbing pondok
pesantren tidak menjelaskan bahwa tidak ada metode khusus
untuk melaksanakan bimbingan.
“Sebenarnya kan ngga ada perubahan sebenarnya, cuma memang
dulu lebih ke saya. Artinya kan emang dulu kan, yang ndampingi
teman-teman kan saya kan, sehingga persis apa yang dilakukan
dulu, dari apa tu namanya; dari Ashar sampai Magrib kan belajar
ngaji, dulu waktu di kotagede juga saya masih di kelas kuliah, dan
waktu dulu masih ada mas Pepeng dia lumayan aktif dia,
mendampingi dari Ashar sampai Magrib. Saya sebenernya
fokusnya dari Magrib sampai Isa; nah itu yang kajian-kajian itu.
Dulu kita sempat, apa dulu kitab Buluhul Marom, kemudian
barusan, bukan barusan si, udah agak lama juga sih, Bidayatul
Hidayah.”49
Berdasarkan pengamatan dari peneliti selama melakukan
observasi dan terjun langsung dalam melaksanakan bimbingan
49
Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya.
182
keagamaan, metode yang digunakan dalam melaksanakan
bimbingan dengan menggunakan metode Bimbingan kelompok
(group guidance), Spiritualism method. Dan dilengkapi oleh
beberapa teknik:
a. Teknik lisan, teknik ceramah, teknik diskusi
Pada teknik ini ustadz Arif menjelaskan tentang mutoharoh,
syarat sah wajib shalat, dan pembahasan lainnya dengan
menggunakan kitab bulughul marom dan bidayatul hidayah.
Seperti yang dijelaskan oleh Ustadz Arif Nuh Safri:
“Bulughul marom yang saya pakai itu, yang pertama itu
sebenarnya alasannya; karena itu gampang karena tipis kan, dan
itu pun tidak semua. Ngga semua, kita bahasnya bab-bab yang
memang kebutuhan mereka sehari-hari. Kalau dulu kan, mungkin
yah, mungkin saya mikir; teman-teman ini butuh motivasi dulu.
Sehingga saya tanpa buku, pada saat itukan, sehingga apa
yang saya bahas; bisa sambil ngobrol, nah tapi kok kayakya
temen-temen butuh ini, nah bulughul marom kan memang bicara
tentang fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak tentang fiqih;
mulai dari Thoharoh, cara wudhu, cara bersuci, nah itu, jaid
kehidupan mereka.
Dalam arti gini, yang mereka butuhkan dalam kehidupan
mereka, karena: kehidupan mereka bicara tentang thoharoh ya luar
biasa, melihat bagaimana cara mandi, cara wudhu, itu sebenarnya
lebih ke itu. Kalau alasan kenapa itu menggunakan bulughul
183
marom pada saat itu, dan itu dipilih-pilih ya, ngga semua kita
bahas.”50
b. Spiritualism method, teknik doa dan dzikrullah, teknik
persuasif
Peneliti mengamati langsung bagaimana santri waria sangat
antusias apa yang disampaikan oleh ustadz Arif. Menjadi sosok
yang terbuka bagi santri waria, sehingga tidak ada yang takut
bertanya. Ustadz Arif menggunakan kitab Bidayatul Hidayah.
Berikut yang disampaikan oleh ustadz Arif:
“Kemudian, saya memutuskan, memakai bidayatul hidayah.
Kenapa saya pakai itu; biar ada nilai-nilai spiritualitas. Karena di
Buluhul Marom itu kan kaya fiqih yang dibahas. Bidayatul
Hidayah, dia bahas bicara tentang fiqih, tapi kemudian dia bicara
tentang spiritualitas kan seperti itu, kenapa kita harus bersuci, eee
ketika kita setelah wudhu, kemudian mau bernagkat ke masjid,
apa yang harus kita lakukan. Jadi ada ritual-ritual yang sifatnya
spiritualitas.”51
Metode ini dilakukan untuk berlatih menghayati segala
ibadah yang dilaksanakan, karena semua itu untuk kebaikan
dirinya juga cara mendekatkan diri kepada Tuhannya. Sehingga
bimbingan keagamaan dijadikan sebagai renungan dalam proses
penerimaan diri—bagaimana harus bersikap terhadap
Tuhannya.
50
Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya. 51
Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya.
184
c. Teknik Direktif
Semua pembimbing pondok pesantren bersifat terbuka dan
siap menjadi teman santri waria, jika meminta nasihat atau
pendapat. Dan itu dirasakan langsung oleh santri waria. Seperti
yang dirasakan oleh ka Rere:
“Perasaan balik ke Tuhan tu gini, jadi di saat, aku ada masalah
besar sama keluarga kemarin kan. Aku curhat sama pak Ustadz
Arif kan, terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa terus solusinya
katanya; ya udah, tenangin dulu di pondok, nenangin pikiran, ya
dengan ngaji, terus aku tiap malam juga shalat eeee, tahajud.
Karena ada ketenangan diri, maksudnya setelah kita shalat malam
itu ya, pokoknya kalau udah meneteskan semua air mata yang kita
curahkan itu, tenang. Kan kalau di pendam itu kan sakit ya,
akhirnya aku curhat sama yang di Atas, keluar semua.”52
Perasaan yang sama disampaikan oleh ka Inul, atas kesan
yang disampaikan oleh ustadz Arif:
“Eee kalau, Ustadz Arif ngasih wejangan bagi Inul sendiri
ibaratnya gini yang masih terngiang-ngiang; yang itu, jangan
dibesar-besarkan hidup di dunia dalam arti berfoya-foya lebih baik
memikirkan akhiratnya itu yang paling Inul berkesan. Jadi
makanya kan Inul walaupun orang memandang gimana. Tapi
Harta adalah titipan kan itu itu yang benar-benar Inul kasih ini
karena sewaktu-waktu bisa saja ntar misalnya aku habis ketemu
Mbak Nisa, meninggal. Itu yang paling aku, aku nggak mikir yang
lain-lain. Di situlah yang paling berkesan yaitu ibaratnya itu
titipan ya yang paling berkesan tadinya makanya aku yaudah harta
52 Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
185
itu titipan, ya aku bisa membantu sama orang-orang yang masih
dalam artian menolong dalam hal positif Siapa tahu aku bisa dapat
dapat doa gitu.”53
Melihat dari kedua kitab yang dijadikan acuan
dalam melakukan bimbingan keagamaan dan sikap dari
pembimbing agama yang memiliki sifat yang hangat
dan terbuka dengan santri waria, sehingga peneliti
memperhatikan adanya metode yang berbeda dari
metode yang biasa dilakukan oleh pembimbing agama.
Peneliti menemukan gabungan dari beberapa metode
yang dilakukan oleh pembimbing, yakni gabungan dari
metode spiritual dan metode kelompok (group
guidance) dengan catatan mengacu pada kitab bulughul
marom yang membahas tentang; bagaimana santri
dapat belajar tentang toharoh, tata cara shalat, dan
bidayatul hidayah yang membahas tentang spiritualitas
manusia dalam meraih hidayah Allah swt.
Berdasarkan pengamatan peneliti selama
penelitian berlangsung; mulai dari komunikasi
pembimbing dengan santri waria, bagaimana santri
waria melakukan bimbingan, begitupun sebaliknya
bagaimana pembimbing merespon segala hal yang
dipertanyakan oleh santri.
53
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
186
Sehingga terlihat sifat empati pembimbing yang
menjadikan santri waria nyaman saat melakukan
bimbingan keagamaan. Atas dasar penelitian yang
dilakukan dan berdasarkan materi yang dibawakan
dalam melaksanakan bimbingan keagamaan oleh
pembimbing agama atau ustadz/ustadzah, peneliti
menemukan metode, yakni metode empati; yaitu
metode yang tertuju pada pembimbing agama, dengan
membawakan materi yang mengacu pada kedua kitab
(bulughul marom dan bidayatul hidayah) serta
penerimaan ustadz terhadap santri yang dibimbingnya.
Dalam hal ini ustadz/ustadzah tidak memiliki beban
saat membimbing, sehingga peneliti melihat
komunikasi yang terjadi antara santri dan pembimbing
berlangsung dengan khidmat.
187
BAB V
PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Penelitian
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan uraian analisi data hasil
temuan di lapangan dengan berlandaskan teori yang digunakan
dalam penerimaan diri kelompok transgender melalui bimbingan
keagamaan.
1. Metode Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta
Pondok pesantren waria al-fatah sudah berjalan selama 11
tahun. Menurut Ustadz Arif Nuh Safri selaku pembimbing agama,
dalam melaksanakan bimbingan agama tidak menggunakan metode
khusus yang tertulis. Namun, kebiasaan yang dilakukan di pondok
pesantren waria al-fatah yakni dengan membagi dua kelas; kelas
Iqra dan Al-qur’an yang dimulai setelah shalat Ashar dan
selanjutnya shalat berjamaah magrib lalu dilanjut dengan
pembinaan kajian dengan menggunakan kitab bulughul marom dan
bidayatul hidayah, lalu dilanjutkan dengan shalat Isa berjamaah.
Semua itu dilakukan selama seminggu sekali di hari Minggu.
Dalam pengamatan peneliti selama observasi, di tengah proses
bimbingan keagamaan, terdapat beberapa metode yang berulang
digunakan oleh pembimbing agama. Seperti yang dijelaskan dalam
buku Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling Islam,
metode berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari penggalan kata
“meta” yang berarti melalui dan “hodos” berarti jalan.
188
Sehingga dapat diartikan sebagai segala sesuatu atau cara yang
digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
Melengkapi metode yang dijadikan sebagai acuan, terdapat “teknik”
dan “pendekatan”, keduanya dipahami sebagai cara-cara ilmiah
yang dipakai sebagai alat atau instrument dalam melakukan
pekerjaan yang sifatnya lebih fokus kepada subyek dan obyek
penelitian.54
Menurut Ali Mansyur,55
spiritual method, pada metode ini
santri waria dapat menemukan ketenangan hati dengan
mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang dijadikan sebagai
sumber ketenangan hati, kekuatan dan penyelsaian masalah serta
penyembuhan penyakit mental. Sesuai dengan penjelasan dari teori
di atas, pembimbing agama di pondok pesantren waria al-fatah
menggunakan metode tersebut:
“Kemudian, saya memutuskan, memakai bidayatul hidayah. Kenapa
saya pakai itu; biar ada nilai-nilai spiritualitas. Karena di Buluhul
Marom itu kan kaya fiqih yang dibahas. Bidayatul Hidayah, dia bahas
bicara tentang fiqih, tapi kemudian dia bicara tentang spiritualitas kan
seperti itu, kenapa kita harus bersuci, eee ketika kita setelah wudhu,
54
M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling
Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
Hal. 120-133 55
Noer Iskandar, M. Ali Mansyur, Waria Dan Pengubahan Kelamin
DItinjau Dari Hukum Islam. (Yogyakarta: nurcahya, 1981) hal 137-143 dalam
Jurnal Dakwah (2010, Vol. XI, No. 2) hal. 182-183. Dikutip pada 29
Desember 2020 pukul 18:53 WIB
189
kemudian mau bernagkat ke masjid, apa yang harus kita lakukan. Jadi
ada ritual-ritual yang sifatnya spiritualitas.”56
Dalam proses penerimaan bimbingan keagamaan yang
dibawakan melalui metode ini, santri waria kerap menceritakan hal-
hal yang dialami sejak masuk ke dalam pondok pesantren waria al-
fatah. Metode selanjutnya yakni, metode direktif, metode ini berifat
mengarahkan. Pada metode ini, adalah satu teknik yang diberikan
dan digunakan bagi klien yang tidak bisa mengerti masalahnya dan
mengalami kesulitan dalam memahami dan memecahkannya.57
Seperti yang dialami oleh ka Rere, saat dirinya bingung untuk
memecahkan masalah dan sudah tidak tahu apa ayng harus
dilakukan, sehingga membuat diirnya menetap di pesantren. Seperti
yang diungkapkan oleh ka Rere:
“Jadi saat, aku ada masalah besar sama keluarga kemarin kan. Aku
curhat sama pak Ustadz Arif kan, terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa
terus solusinya katanya; ya udah, tenangin dulu di pondok, nenangin
pikiran, ya dengan ngaji, terus aku tiap malam juga shalat tahajud.”58
Selanjutnya ada metode bimbingan kelompok (group
guidance) yang meliputi teknik ceramah, teknik lisan, dan teknik
diskusi. Pada metode ini, mengerahkan teknik bimbingan melalui
56
Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya. 57
M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling
Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
Hal. 120-133 58
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah
190
kegiatan bersama/kelompok, seperti seperti kegiatan; diskusi,
ceramah, seminar dan sebagainya. Teknik ini dipakai untuk
mempelajari dan mengetahui komunikasi dan interaksi sosial
yang dilakukan individu-individu (terbimbing/klien) agar mampu
menumbuhkan atau mengembangkan potensi-potensi sosial
klien.59
Berdasarkan analisis dari metode yang digunakan dalam
malakukan bimbingan keagamaan, diantara spiritual method dan
group discussion yang mengacu pada kitab buluhul marom dan
bidayatul hidayah serta penerimaan pembimbing terhadap santri
waria, berdasarkan pengamatan dan analisis yang dilakukan oleh
peneliti, terdapat metode baru; yakni gabungan dari spiritual
method dan group discussion serta penerimaan pembimbing
terhadap santri waria, peneliti menemukan rasa empati
ustadz/ustadzah yang tulus dalam membimbing santri waria, yaitu
metode empati. Hal ini dapat diperthatikan dalam wawancara
yang berlangsung dengan ustadz Arif:
“Saya sebenernya fokusnya dari Magrib sampai Isa; nah itu
yang kajian-kajian itu. Dulu kita sempat, apa dulu kitab Buluhul
Marom, kemudian Bidayatul Hidayah. Bulughul marom yang
saya pakai itu, yang pertama itu sebenarnya alasannya; karena itu
gampang untuk di, karena tipis kan, dan itu pun tidak semua. Ngga
semua, kita bahasnya bab-bab yang memang kebutuhan merka
sehari-hari.
59
M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling
Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
Hal. 120-133
191
Kalau dulu kan, mungkin yah, mungkin saya mikir; teman-
teman ini butuh motivasi dulu. Sehingga saya tanpa buku, pada saat
itukan, sehingga apa yang saya bahas; bisa sambil ngobrol, nah tapi
“kok kayakya temen-temen butuh ini, nah bulughul marom kan
memnag bicara tentang fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak
tentang fiqih; mulai dari Thoharoh, cara wudhu, cara bersuci, nah
itu, jaid kehidupan mereka.
“Dalam arti gini, yang mereka butuhkan dalam kehidupan
mereka, karena: kehidupan mereka bicara tentang thoharoh ya luar
biasa, melihat bagaimana cara mandi, cara wudhu, itu sebenarnya
lebih ke itu. Kalau alasan kenapa itu menggunakan bulughul marom
pada saat itu, dan itu dipilih-pilih ya, ngga semua kita bahas”60
Sesuai dengan teori yang dibawakan oleh M. Arifin yang
terwadah dalam tujuan bimbingan keagamaan, yakni dapat
membantu orang yang dibimbing supaya memiliki religious
reference (sumber pegangan keagamaan) dalam pemecahan
problem-problem. dan membantu orang yang dibimbing supaya
bersedia mengamalkan ajaran agamanya melalui kesadaran dan
kemaunnya.61
60
Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama
Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember
2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya. 61
M. Arifin, Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan
Penyuluhan Agama (di Sekolah dan di Luar Sekolah), (Jakarta: Bulan Bintang,
1978) hal.29
192
2. Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui
Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren Al-fatah
Daerah Istimewa Yogyakarta
Hurlock mengartikan penerimaan diri yakni, dengan tidak
melihat dari satu sisi saja maka tidak mustahil akan timbul
kepribadian yang timpang, semakin individu menyukai dirinya,
maka akan menerima dirinya dan Semakin baik seseorang dapat
menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuain diri
dan sosialnya.62
Dalam konteks penerimaan diri yang dialmi oleh santri waria
di pondok pesantren waria al-fatah adalah dengan menerima
keadaan dirinya dengan segala potensi yang dimilikinya dan
bimbingan keagamaan yang didapatkan dapat menggerakan
bathiniyah dan lahiriyah untuk menjadi insan yang baik, dimana
individu tersebut merupakan makhluk ber-Tuhan dan makhluk
sosial pada umumnya. Seperti yang dirasakan oleh ka Inul
bagaimana dirinya berikteraksi dengan Tuhannya dan melakukan
ritual ibadahnya, berikut yang diungkapkan oleh ka Inul:
“Dengan menjadi waria, saya lebih gampang membantu orang lain,
apakah ini jalan dariMu ya Allah? Bukan berarti kita ria ya, untuk
menolong seseorang. Ya Allah, Tuhan berikan jalan gini, ternyata hati
lebih tenang. Bagi aku ya penghasilan, apa yang terpenting ku syukuri,
ternyata bisa membantu orang lain; membutuhkan pertolongan, anak-
anak jalanan dalam arti dalam kesusahan, aku bisa membantu.
62
Hurlock, E.B. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih Bahasa:
Thandrasa & Zaikasih). (Jakarta: Erlangga) hal.276
193
Walaupun sedikit uang ya aku kasih untuk; biaya sunatan, dan yah gitu
Kalau masalah agama aku juga tahu ya mbak, terus terang; masalah
prostitusikan dilarang.”63
Bentuk ibadah seperti yang diketahui yakni dengan;
mempraktikan shalat, dizikir, dan ritual lainnya. Namun dalam
penelitian ini, menemukan cara orang berinteraksi dengan
Tuhannya, bukan hanya dengan memperaktikan shalat, seperti
yang dialami oleh ka Inul:
“Aku punya aturan ya, jadi kayak tayamum, aku kadang di jalan ya
udah yang penting aku mau mendekatkan diri aku harus komunikasi
sama Tuhan itu harus, aku begitu. Kalau untuk lima waktu ya di masjid,
ya deket-deket ini karena; satu bisa mengontrol pekerjaan aku harus
jam ini bekerja masalah rezeki ya, kuasa yang ngatur kita istirahat
Kalau mau dandan lagi kalau nggak ntar abis maghrib lagi. Bagi aku
perlu shalat tahajud, cuman aku komunikasinya seperti orang gila,
menghadap ke barat, karena kan kalau jam 2-3 kan sepi, ngga bising ah.
Iya, kendaraan udah sepi, aku lebih, hatiku lebih tajam, daripada kita
sholat”64
Menanggapi ka Inul saat berinteraksai dengan Tuhan, hal
yang sama juga dijelaskan dalam kitab Al-Hikam:
هىلر, لبقلىب طلنأرسلر مطط بع لنأ
Tempat terbitnya cahaya ilahi adalah hati dan relung batin.65
63
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 64
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 65
Sibawaih, Imam. KItab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalamn (Al-
Hikam), (Yogyakarta: Telaga Aksara, 2020) hal. 205.
194
Sifat Tuhan yang ditemukan dalam teks kitab suci Al-
Qur’an yakni, Tuhan yang memiliki sifat al-rahman, al-rahim,
yang merupakan pesan pertama yang tertera dalam surah al-
Fatihah.66
agama merupakan salah satu sumber motivasi,
kekuatan, atau disebut dengan idealitas agama. Arif Nuh
menjelaskan secara rinci, bahwa; agama harus berperan dalam
perlindungan kemanusiaan, terutama kepada orang-orang yang
mengalami intimidasi, penindasan, juga ketidakadilan. Karena
agama harus hadir menjadi perangkul bagi semua golongan,
tanpa melampaui batas primordial apa pun. Sehingga kehadiran
agama menjadi sebuah solusi di tengah-tengah lingkungan
sosial.67
Sama halnya dirasakan oleh ka Rere, pengalaman dirinya
menerima dirinya apa adanya, yakni individu merasakan
pergejolakan batin dengan pertanyaan: “mengapa dirinya hidup
menjadi seperti ini” sehingga mengakibatkan pertengkaran
dengan keluarga besarnya. Namun, dukungan keluarga inti ka
Rere yaitu adik dan ibu, sehingga ka Rere merasakan
kenyamanan dan tidak menyalahkan dirinya sendiri sejak SMP.
“Iya masuk pesantren karena kesadaran diri. Kendala si ngga ada,
kebetulan ibuku mendukung, jadi kan kemarin ke Cirebon ziarah,
dan aku emang dandan, dua hari. Ibu dan adek ku juga ikut. Aku
ngga menyesali aku seperti ini, karena apa yah, Tuhan menciptakan
66
Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas
(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 27 67
Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas
(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 28
195
keluargaku seperti ini. Aku udah ngga punya Ayah dari kecil. Ibu
masih berjuang dengan membesarkan anaknya, belum di keluarga
selalu dibilang: ”Anakmu lanang iku sing mbarep, wis ngono kui…”
(Itu lo, anak kamu cowok, yang pertama, udah tampilannya kaya
gitu). Dan aku tu ngga pengen dia sakit. Dan untuk di Pesantren ya
alhamdulilah nyaman, ya, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan,
kadang merasakan capek. Tapi, terus lama-lama ya ee enjoy aja. Iya,
hmmm kadang dengan kepenatan yang karena kesibukan dunia itu,
akan lebih tenang saat shalat dan seneng juga berjamaah, dan untuk
ngaji, dari kecil aku udah dibekali ilmu agama, jadi aku tahu.”68
Berkiblat pada teori Hurlock, 2008 (dalam Nisa Anandita,
2019), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
diri, antara lain:69
Adanya pemahaaman diri (Self-
Understanding): Hal ini tumbuh karena adanya kesempatan
seseorang untuk mengenali kemampuan dan
ketidakmampuannya. Ketika individu dapat memhami dirinya,
maka tidak akan hanya tergantung pada intelektualnya, tetapi
juga mendapatkan penemuan diri sendiri—semakin orang dapat
memahami dirinya, maka akan mudah menerima dirinya sendiri.
Sesuai dengan apa yang dialami oleh ka Rere.
Pada dasarnya pondok pesantren waria al-fatah bukan hanya
menjadi tempat mengenyam pendidikan agama, namun sebagai
68
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria
Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di
Pondok Pesantren Waria Al-fatah. 69
Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan
Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area
2018). Hal. 12 Dikutip pada 11 Februari 2021, Pukul 14.00 WIB
196
wadah perlindungan teman-teman waria yang terkena perskusi
ataupun penolakan keluarga.
“Alhamdulilah mba, mas Dekanat Fakultas Ushuludin UIN Sunan
kalijaga memberikan dukungan kepada Pondok pesantren waria ini
dengan membimbing kegaaman, belajar bimbingan spiritual,
bekerjasama dengan Fakultas Ushuludin, dan mereka sebagai
pembimbing Iya, nah disini juga ada rumah aman, ruang yang
disediakan untuk kaum yang menjadi korban kekerasan, disana juga
ada tempat pelayanan bagi korban, layanan psikologi, kesehatan
Rumah aman di tempat yang kita rahasiakan, tempat khusus untuk
penyelamatan. Kita kerjasama dengan Puskeamas, Komnas HAM,
LBH, Fakultas Psikologi SANATA DHARMA, UKA DEWI,
karena itu konsultasi yang non muslim.”70
Transgender dalam kehidupan sosialnya memiliki
perlakuan yang tidak mudah diterima dalam bentuk dikriminasi
dan marjinalisasi yang terjadi pada lingkungan apa saja; keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Dianggap sebagai perlakuan yang
abnormal, sehingga mereka diperlakukan dengan sikap yang tidak
nyaman. Sehingga masyarakat cenderung menyisihkan
keberadaan mereka dalam pergaulan dan memperlakuannya pun
tidak menyenangkan. Menurut Ayudhia yang dikutip oleh (Moris
Mangke, 2017)71
, tindakan tersebut penyebab dari timbulnya
70
Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren
Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30
WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah
71 Mangke, Moris. Pola Komuikasi Interpersonal Kaum Transgender
Dalam Keuarga, (Skripsi: Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater
Surabaya, 2017) hal 20 Dikutip pada 20 Deember 2020 pukul 03.00 WIB
197
perasaan tertekan dan kecemasan bagi kelompok transgender,
karena baik dari individu sendiri menginginkan hal yang sama
dengan masyarakat lainnya, yakni memiliki jiwa yang sesuai
dengan bentuk tubuhnya.
Dari teori di atas sudah dijelaskan bahwa pondok pesantren
waria al-fatah, yakni ruang sosial yang berada di tengah
masyrakat dengan melakukan kegiatan yang sama; beribadah,
bersosial, pelatihan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang diadakan
bersama masyarakat setempat atau instansi tertentu
198
BAB VI
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan analisis hasil penelitian,
peneliti menarik kesimpulan bahwa bimbingan keagamaan
dapat menjadi bagian dari penerimaan diri kelompok
transgender dimanapun berada.
1. Metode bimbingan keagamaan pondok pesantren
waria al-fatah dilakukan secara group guidance.
Dengan menggunakan teknik ceramah, teknik
lisan, teknik doa/dzikrullah, teknik persuasif dan
spiritual method. Di sisi lain dari kedua metode
yang terlihat saat bimbingan berlangsung. Terdapat
metode empati yakni yang digunakan oleh
pembimbing yang secara tidak sadar, pembimbing
melakukannya dengan sikap terbuka dan tulus.
Metode ini tidak lepas dari kedua kitab yang
dijadikan acuan oleh pembimbing saat
melaksanakan bimbinmgan, yaitu kitab bulughul
amron dan bidayatul hidayah.
2. Dalam penerimaan diri kelompok transgender
pondok pesantren al-fatah adalah dengan
memahami diri (self understanding) apa yang
dimilikinya atau yang disebut dengan potensi diri,
sehingga tidak memiliki hambatan dalam
199
lingkungan dan penyesuain diri yang baik. Semua
itu terangkum dalam self-acceptance. Dalam hal
ini, dilakukan melalui tahapan penerimaan diri
yaitu: Tahap denial, anger, bergaining,
depression, and acceptance. Kemudian setelah
mendapatkan bimbingan keagamaan di pondok
pesantren waria al-fatah, santri waria dapat
menggunakan potensi diri yang dimiliki sebagai
eksistensi dirinya dalam mencari pekerjaan yang
baik serta menjadi insan yang merindukan
Tuhannya.
B. Implikasi
Penelitian ini akan memberikan efek positif bagi santri
khususnya, sehingga proses coming out yang sudah terjadi
membawa efek positif bagi dirinya dan pondok pesantren
waria al-fatah. Sebagai ruang sosial di tengah masyarakat,
pondok pesantren waria al-fatah dengan visi, misi, serta
tujuannya dapat berjalan dengan baik. Semua itu kerja
kolaborasi antara individu santri waria, pembimbing, dan
kembali kepada konsistensi santri waria untuk berjalan
dengan baik sesuai dengan apa yang sudah menjadi bekal dari
hasil bimbingan keagamaan.
200
C. Saran
Pada kesempatan ini peneliti mengungkapkan beberapa
saran setelah melihat kondisi yang ada berdasarkan hasil
penelitian.
1. Bagi pembimbing agama agar rutin untuk
memberikan kajian, supaya santri waria konsisten
untuk mempelajari bab-bab kajian lainnya yang
sudah di jadwalkan. Peran pembimbing dalam
bimbingan ini memiliki peran utama dalam
menunjukan jalan permasalahan spiritual atau
religiusitas.
2. Bagi santri waria, dalam menjalankan bimbingan
keagamaan agar lebih konsisten, sehingga dapat
menyerap masuk dalam bathiniyah dan lahiriyah
diri santri waria.
3. Bagi pembaca, agar lebih menambah wawasan dan
menambah keterbukan pemikiran dalam melihat
sisi kemanusiaan yang dianggap marginal.
Terutama pada masalah moralitas, dan pendapat.
Jadi, sebagai makhluk sosial dan berTuhan, kita
harus melihat seluruh sisi ruangan tanpa
memberikan pendapat yang kurang berkenan
terhadap individu yang terlihat berbeda dari
realitas sosial.
201
DAFTAR PUSTAKA
Sumber dari Buku
Agus Salim. 2005. Teori Paradigma Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Ali Mukti (ED). 1988. “Agama-agama di Dunia”. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Arif Nuh Safri. 2020. Memahami Keragaman Gender dan
Seksualitas (Sebuah Tafsir Kontekstual Islam).
Yogyakarta: Lintang Books
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian; Suatu
Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rieka Cipta
Burhan, Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif; Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta:
kencana
Christanty, Linda. 2009. Dari Jawa Menuju Atjeh (Kumpulan
Tulisan tentang Politik, Islam, dan Guy). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia
Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja
Grafindo Jakarta
Dede Oetomo. 2003. Memberi Suara Pada yang Bisu.
Yogyakarta: Pustaka Marwa
Deddy. Mulyana. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
209
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Djamalaludin & Suroso, Fuad Nashori, Ancok. 1995. Psikologi
Islami, Solusi Islami atas Problem-problem Psikologi.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar
Elizabeth, Hurlock. 2014. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih
Bahasa: Thandrasa & Zaikasih). Jakarta: Erlangga
Erman Anti, dan Prayitno. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan
Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
F.L. Whitney. 1960. The Elements of Research.New York:
Pretince Hall In
Fuad, Nashori. 2003. Potensi-potensi Manusia (Seri Psikologi
Islami). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
FX Rudy Gunawan. 1993. Filsafat Sex. Yogyakarta: Bentang
Gerungan. W.A. 2010. cet ke-3. Psikologi Sosial. Bandung: PT
Refika Aditama
Hawari, Dadang. 2000. Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran JIwa dan
Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dhana Bakti Primayasa
_____________. 2000. Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran JIwa dan
Kesehatan Jiwa. Yoagyakarta: Dhana Bakti Primayasa
Imam Gunawan. 2103. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan
Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara
Imam. Sibawaih. 2020. KItab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalamn
(Al-Hikam), Yogyakarta: Telaga Aksara
Indana Laazulya. 2013. Menguak Stigma Kekerasan dan
Diskriminasi. Jakarta: Arus A. Pelangi
210
Irawan Soehartono. 2008. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik
Penelitian Bidang Kesejahteraan dan Ilmu Sosial
lainnyan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Irwan, Abdullah. 1995. Reproduksi Ketimpangan Gender:
Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Ekonomi. Prisma.
cet. 6
Istiqomah, dkk. 2013. Psikologi Komunitas. Universitas
Indonesia: LPSP3. cet ke-2
John W. Creswell. 2016. Research Design, Qualitative,
Quantitative, and Mix Methods Approaches. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Juantika N, Syamsu Y. 2008. Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: Rosdakarya
K. Yin Robert. 1996. Studi Kasus Desain Metode. Jakarta:
Rajawali Press
Kementrian Agama RI. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Jakarta: PT Insan Media Pustaka
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
2015. Pandangan Transgender Terhadap Status Gender
dan Persamaan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Bogor,
Depok, dan Tangerang. Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia
Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKIS
Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya
___________ 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya
211
Mudah, Mulia. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan
Implementasi. Yogyakarta: Naufan pustaka
Masthuriyah Sa’dan. 2020. Santri Waria. Yogyakarta: Diva Press
Muljono, Damopoli,. 2011. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak
muslim Modern. Jakarta: Rajawali Pers
Mujamil, Qomar. 2010. Pesantren Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokrasi Institusi. Jakarta: Erlangga
Mohammad. Surya. 2003. Psikologi Konseling. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy
Prayitno, Anti Erman. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Rwenika Cipta
P. Butler, Judith. 1990. Gender Trouble (Feminism And The
Subversion Of Identity. New York, United States of
America: Routede
R. Raco. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta
Sarwono, Sarlito W. 2009. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta:
Rajawali Press
Sri, Wahyuningsih. 2013. Metode Penelitian Studi Kasus
(Konsep, Teori Pendekatan Komunikasi, dan Contoh
Penelitiannya). Madura: UTM PRESS
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
Alfabeta
Sukardi. 2006. Penelitian Kualitatif-Naturalistik dalam
pendidikan. Yogyakarta: Usaha Keluarga
Syamsu Yusuf, Juantika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan
dan Konseling. Bandung, : Rosdakarya
212
Tobroni, Imam Suprayogo. 2008. Metode Penelitian Sosial-
Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tohirin. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan
Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
United State Agency for International Development and United
Nations Development Programme. 2013. Hidup sebagai
LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia. Indonesia:
USAID dan UNDP
Yash. 2003. Transseksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan
Transseksual Perempuan ke Laki-Laki. Semarang: AINI
Yusuf Syamsu. 2005. Mental hygiene perkembangan kesehatan
mental dalam kajian psikologi dan agama. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy
Skripsi
Ahriani Silvia, (2018). Dukungan Sosial Bagi Kemandirian
Waria Pada Rumah Singgah Waria Anak Raja, Depok.
(Skripsi tidak di publikasikan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Anandita, Nisa. (2018). Hubungan Penyesuaian Diri Dengan
Penerimaan Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat.
(Skripsi: Universitas Medan Area)
Alfin, Naimah. (2020) Mekanisme Problem Focused Coping
Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual
(Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
213
Ananda, Rasulia. (2017). “Penerimaan Diri Pada Istri yang
Memiliki Suami Homoseksual”, (SkUniversitas Negeri
Jakarta)
Anwar, Sandiah, (2016). Konsep Diri Santri Waria. (Skripsi: UIN
Sunan Kalijaga)
Dinar, Praja Istiqlal. (2019). Spiritualitas Pada Waria Pekerja
Seks Komersial Di Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta,
(Skripsi: Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas
Negeri Jakarta)
Nidiya Gabriella Indyaningtyas, (2016). Motivasi Waria Menjadi
Anggota pesantren (Skripsi Universitas Negeri Semarang)
Novariza, M. P. (2017). Subjective Well Being Pada Waria Di
Pesantren Waria Al-Fattah (Skripsi Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga
Priskilla Novariza Mboeik, (2017). Subjective Well Being Pada
Waria Di Pesantren Waria Al-Fattah (Skripsi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga)
Roudlotul Jannah Sofiyana, (2014). Pola Interakasi Sosial
Masyarakat dengan Waria di Pondok Pesantren Al-Fattah
Senin-Kamis (Skripsi Universitas Negeri Semarang)
Ruth, Intan. (2019). “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan
Diri Pada Pria Homoseksual (Gay)” (Skripsi Univeristas
Sanata Dharma)
Rendi. Pratama. (2017). Upaya Waria Untuk Mendapatkan
Penerimaan Sosial Dari Masyarakat. (Skripsi: Universitas
Jember)
214
Revita, Nurwahiah. (2020) Bimbingan Agama Untuk
Pembentukan Karakter Kepedulian Sosial Santriwati Di
Pondok Pesantren Darunnajah 3 Serang Banten, (Skripsi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Siti Maimunah, (2018). Padangan Al-Qur’an tentang
Homoseksuaitas (Skripsi Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga)
Tesis
Ainul, Muttaqin. (2018) Bimbingan Keagamaan Dalam
Menanamkan Nilai-Nilai Keislaman Pada Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan Lapas Kelas II-A Pamekasan.
(Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program
Pasca Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya)
Diyala Gelarina, (2016). Subjective Well Being Pada Waria Di
Pesantren Waria Al-Fattah (Tesis, UIN Sunan Kalijaga
Daerah Istimewa Yogyakarta)
E. Procter.Jonathan. 2013. Religious Fundamentalism, Empathy,
and Attitudes toward Lesbian and Gays within
Therapeutic Relationship. (Disertasi- The Patton of
Education of Ohio University, 2013
Nur, Nisa. 2018. Gaya Hidup Waria Urban Jakarta: Sebuah
Negoisasi Identitas, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:
Tesis)
215
McGarry, G.E. A Companion to Lesbian, Gay, Bisexual,
Transgender and Queer Studies. (Oxford: Blackwell
Publishing)
Journal
Ardiansyah, Upaya Bimbingan Konseling Nilai dan Spiritual
terhadap Tarnsgender di Yogyakarta, Jurnal Bimbingan
dan Konseling: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga no 8
(2), 71-87 november 2018, ISSN: 2088-3072, DOI:
10.25273/counsellia.v8i2.2568 dikutip pada 10 Juni
2019 pukul 14.00 WIB
Anindita A, Iqrak S. 2014. Representasi Transgender dan
Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa:
Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis. Universitas
Indonesia: Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, [email protected],
Arif Nuh, S. 2014. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fattah
Yogyakarta: Journal Esensia, Vol.15, No. 2, September
2014. Pusat Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, 55281,
Indonesia. [email protected]. Dikutip hari Jum’at,
03 Mei 2019, 18:39 WIB
Arif Nuh, S. 2016. Penerimaan Keluarga Terhadap Waria Atau
Transgender (Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di
Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta: Pusat
Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga: Vol. 05,
216
No. 01 Januari-Juni 2016. NIZHAM,
[email protected], dikutip pada Kamis, 16-01-
2020, pukul 23:03 WIB
Graham, S. 2010 It’s Like One Of Those Puzzles: coceptualizizng
gender among Bugis. Jurnal dari Respon Komunitas
Waria Surabaya terhadap Kontruk Subyek Transgender
di Media Indonesia, Vol. 23, No. 3 hal. 221-228. Dikutip
pada hari Jumat, 03 Mei 2019 pukul 18:53 WIBJeanete
Ophilia Papiliya, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender
(LGBT) dan Keadilan Sosial. Journal: volume III, No, 1,
2016 hal. 028. Dikutip pada hari Rabu, 02 Oktober 2019
pukul 14:27 wib.
Kartika Nur, Kusuma. 2007. Studi Fenomenologi Seksualitas
Transgender Wanita di Samarinda. (Psikoborneo: Fisip-
Unmul) 4 (2): 362-373 (Suparno, Paul. Seksualitas
Kaum Berjubah. Yogyakarta: Kanisius
Mumluatun, Nafisah. Respon Al-qur’an Terhadap Legalitas
Kaum LGBT. Jurnal Studi Al-Qur’an, vol.15, No. 1,
Tahun 2019. DOI:doi.org/10.21009/JSQ.015.1.04 hal.
87. Dikutip pada hari Selasa, 26 April 2021, pukul 01.20
WIB
Papilaya, J. O. 2016. Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender
(LGBT) dan Keadilan Sosial. Journal: volume III, No, 1,
hal. 028. Dikutip pada hari Rabu, 02 Oktober 2019 pukul
14:27 wib.
Prasetya, Faisyal, Usman. 2020. Makna Religiusitas bagi Kaum
Waria: Jurnal Studi Keislaman STAI Muhammadiyah
217
Probolinggo No 1 (20), 95 1 Juni 2020, ISSN: 2502-
3969 (p), DOI: hattp://dx.doi.org/10.24042/ajskv.v20il.
5880, 2548-477x (o) dikutip pada 16 februari 2021
pukul 22.00 WIB
Riya, H. & Fokta, Contribution of religious coping and social
support to the subjective well-being of Israeli muslim
parents of children with cancer: a preliminary study.
Journal of Health and Social Work 40, 2015, hal. 83-91
dalam skripsi Subjctive Well-being Pada Waria Al-Fattah
oleh Priskilla Novariza Mboeik. Dikutip pada hari sabtu,
7 September 2019, pukul 15.00 WIB
Rulita H, Ira El K., Sri M. 2020. Hubungan Antara perlakuan
Diskriminasi Masyarakat dengan penerimaan Diri
Transeksual di Kota Semarang. (Universitas Negeri
Semarang: INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi,
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI, 2015)
dikutip pada hari Kamis, 16 Januari, pukul 23:03 WIB
Hasil Wawancara
Penolakan dari keluarga menjadi hal yang lumrah diterima oleh
para transgender atau waria. Koeswinarno, Hidup
Sebagai Waria. (Yogyakarta: LKIS, 2004), hal. 127.
Hasil wawancara dengan ketua pondok pesantren Al-
Fattah ibu Shinta Ratri, Februari 2019.
Wawancara dengan Shinta Ratri pengasuh pondok pesantren Al-
Fattah DIY, 9 Februari 2019
218
Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah
Yogyakarta pada tanggal 09 Februari 2019
Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah
Yogyakarta pada tanggal 16-20 Mei 2019
Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok
Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 09 Desember 2020
Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok
Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 12 Desember 2020
Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok
Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 08 Desember 2020
Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok
Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 07 Desember 2020
Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing
Agama Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 10
Desember 2020 WIB.
Wawancara dengan Munarto, Warga 27 Desember 2020
Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06
Januari 2021
Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul,
26 Desember 2020
Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere,
26 Desember 2020
Website
https://puspensos.kemsos.go.id/home/breng/324. Dikutip pada
tanggal 7 September 2019, pukul 15.00 WIB
219
https://books.google.de/books?id=5KkUCgAAQBA&lpg=PP1&
hl=de&pg=PP4#v=onepage&q&f=fals. Dikutip pada
tanggal 3 Desember 2019, pukul 14:50 WIB
https://www.kemenpa.go.id/lib/uploads/list/0ea2c-1-laporan-lgbt-
transgender-pdf. Dikutip pada tanggal 3 Desember 2019,
pukul 20:30 WIB
https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/news/indones
ia/amp/vanny-rahman/ada-lima-juta-transpuan-kemana-
arah-politiknya-dalam-pilpres-1. Dikutip pada hari
jumat, 13 desember 2019 pukul 14:56 WIB
http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2015/11/15/memahmi-
teori-queer-5/ Dikutip pada 15-10-2019, pukul 20:18
WIB
Artikel
Adeney Farjisana Rr. Kurnia Siti. 2016. Problem-problem
Minoritas Transgender Dalam Kehidupan Sosial
Beragama, Artikel dari Disertasi Siti Kurnia Widiastuti:
Inter Religious Studies Program, Universitas Gadjah
Mada no 2 (10), 94-95 Juli-Desemberr 2016, ISSN:
1978—4457 (p), 2548-477x (o) dikutip pada 16 februari
2021 pukul 19.00 WIB
Lampiran 1: Jadwal narasumber dialog feminisme
dari Solidaritas Perempuan Kinasih
No Bulan/tahun Tema
1 Maret 2020 Perbedaan seks dan gender
2 April 2020 Gender sebagai kontruksi
sosial
3 Mei 2020 Mengenal gender ketiga
4 Juni 2020 Perbedaan Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender
(LGBT)
5 Juli 2020 Waria dalam Islam
6 Agustus 2020 Waria dalam agama Katolik
dan Kristen
7 September 2020 Sejarah feminism
8 Oktober 2020 Pengertian feminisme dalam
Islam
9 November 2020 HAM untuk kelompok
minoritas
10 Desember 2020 Makna keadilan
11 Januari 2021 Makna kesetaraan
12 Februari 2021 Mengenal perjuangan
kelompok minoritas gender
Lampiran II: Jadwal penceramah setelah Magrib
dengan Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2020
Penceramah Tema Bulan
Khatimul Husna Rukun Iman dan
Penjelasannya
Februari 2020
Wahyuni
Shifaturrahmah
Rukun Islam dan
Penjelasannya
Maret 2020
Uqbah Fahira Urgensi Shalat dalam
Kehidupan Manusia
April 2020
Yuli Makna Puasa terhadap
Diri Pribadi dan Sosial
Mei 2020
Rindang Farihah Makna Pribadi Qur’ani Juni 2020
Dewi Yulaikha Makna Pengorbanan
dalam Kisah Ibrohim
dan Ismail
Juli 2020
Vivin Maryam Amal Jariyah dan
Penjelasannya
Agustus 2020
Maria Perbedaan Sedekah,
Infaq dan Zakat
September 2020
Amaliyatul Ulya Memahami Kelahiran
Nabi Muhammad
SAW
Oktober 2020
Mustaghfiroh
Rahayu
Makna Cinta dari
Kisah Nabi Yusuf dan
Zulaikho
November 2020
Masfiyah Makna Cinta dari
Kisah Nabi Sulaiman
dan Ratu Bilqis
Desember 2020
Nanda Mahmudah Wudhu dan
Kecantikan
Januari 2021
Lampiran III: Rencana Kegiatan Pesantren Waria Al-Fatah
Tahun 2019-2020
Bln/thn Minggu Kegiatan Lokasi
03/2019
Ke-2 Bersama KEBAYA &
IWAYO melakukan
advokasi ke kantor
Dinas Pendudukan &
Catatan Sipil
(DUKCAPIL) DIY
Kantor
DUKCAPIL
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Ke-2 Sekolah sore dengan
tema: Merias
Pengantin
Pesantren
Waria
Ke-3 Bersama KEBAYA &
IWAYO melakukan
advokasi ke kantor
Dinas Pariwisata
(DINPAR) DIY
Kantor Dinas
Pariwisata
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
04/2019
Ke-1 Pengajian Isra’
Mikraj Nabi
Muhammad SAW
1440 H
Pesantren
Waria
05/2019
Ke-1 Nyekar ke
pemakaman waria
asebelum romadhon
(nyandran) & makan
bersama dengan nasi
gurih, ketan kolak
apem, roti dan lemper
Yogyakarta
Ke-2 &
3
Buka bersama
(takjilan), shalat
terawih berjamaah
dan tadarus Al-
Qur’an
Pesantren
Waria
07/2019
Ke-2
Study tour ke nyai
Masriyah Amva di
Pondok Pesantren Al-
Islamy Kebon Jambu,
ziarah ke makam
Sunan Gunung Jati
dan Keraton Cirebon
Cirebon,
Jawa Barat
Sekolah sore
“Rambut
Professional”
Pesantren
Waria
08/2019
Ke-2 Sekolah sore “Belajar
Menjahit”
Pesantren
Waria
Ke-3 Menyembelih hewan
Qurban di Idul Adha
Pesantren
Waria
Ke-4 Bersama KEBAYA &
IWAYO melakukan
advokasi ke Kantor
Gubernur DIY
Kantor
Gubernur
Yogyakarta
09/2019
Ke-1 Pengajian tahun abru
hijriyah 1441 H
Pesantren
Waria
Perayaan Milad
Pondok Waria ke-11
dengan Khatmil
Qur’an
Pesantren
Waria
Ke-2 Sekolah sore “Belajar
Memasak”
Pesantren
Waria
10/2019
Ke-2 Sekolah sore “Belajar
Make-Up Artis”
Pesantren
Waria
Ke-3 Perayaan ulang tahun
Ibu Shinta Ratri dan
piknik kr pantai
Ngobaran
Gunungkidul,
Yogyakarta
11/2019 Ke-1 Shalwatan dan
Pengajian
Pesantren
Waria
memperingati Maulid
Nabi Muhammad
1441 H
12/2019
Ke-2 Sekolah sore “Belajar
Menari”
Pesantren
Waria
Ke-3 Study Tour ke KH.
Mustofa Bisri Pondok
Pesantren Raudlatul
Thalibin Rembang
dan Pondok Pesantren
Raudloh
Aththohiriyah Kajen
Pati Jawa Tengah dan
Ziarah ke Petilasan
Sunan Bonang
Rembang,
Jawa Tengah
Ke-4 Makan malam
bersama
memperingati tahun
baru masehi 2020
Pesantren
Waria
01/2020
Ke-1
Silaturrahmi dan
dialog ke kediaman
KH. Imam Aziz
(Pengasuh Pesantren
Bumi Cendekia
Sleman)
Selman,
Yogyakarta
Audiensi dan
penandatanganan
kerjasama dengan
PW. Fatayat DIY
Sudagaran,
Yogyakarta
Ke-2 Sekolah sore
“pengelolaan
sampah”
Pesantren
Waria
Ke-1 Bakti alam dan tanam
1.000 bibit pohon di
Gunung Andong
Magelang,
Jawa Tengah
02/2020
Ke-2
Sekolah sore “praktek
menari”
Pesantren
Waria
Audiensi dan
penandatanganan
kerjasama dengan
Solidaritas
Perempuan Kinasih
Godean,
Sleman
Ke-3
Bersama KEBAYA &
IWAYO mengadakan
audiensi ke Kantor
Dinas Sosial DIY
Kantor
DINSOS,
Daerah
Istimewa
Yogykarta
Ke-4
Silaturahmi dan
dialog ke kediaman
ibu Alissa Wahid
(Gusdurian)
Sleman,
Yogyakarta
03/2020
Ke-1
Silaturahmi dan
dialog ke kediaman
Pak Sahiron
Syamsuddin
Pengasuh Pesantren
Baitul Hikmah
Krapyak,
Yogyakarta
Ke-2 Sekolah sore
“Sosialisasi Gelar
Budaya”
Pesantren
Waria
LAMPIRAN IV: DATA SANTRI WARIA PONDOK
PESANTREN WARIA AL-FATAH DIY
Nama/Pekerjaan
Tempat/tangg
al lahir
Pendidikan
terakhir
Kemampuan
membaca dan
lainnya
Nurya Ayu Bunga
Kamboja
(Ngamen)
Yogyakarta,
19 Desember
1969
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Ahmad Yasin
(Endang )
(Ngamen)
Purworejo, 9
April 1969
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Lancar
Iqra : Lancar
Rasikin ( Sisri )
(Ngamen)
Purwogondo,
14 Juli 1967
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Ines Cntya Bela
(Ngamen)
Sukoharjo, 24
Oktober 1985
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Nonica Denadya E
( Oik )
(PSK)
Yogyakarta, 4
Januari 1989
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Sedang
Iqra : Sedang
Nur Kayla
(Lainnya)
Mataram, 14
Desember
1991
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Sedang
Iqra : Sedang
Rully Mallay
(LSM/ Pembina
KEBAYA)
Surabaya, 24
Maret 1961
Perguruan
Tinggi
Latin : Lancar
Al-Quran :
Sedang
Iqra : Sedang
Eva Warisman
(PSK)
Bandung, 21
Juli 1964
SD Latin : Lancar
Al-Quran : Belum
Bisa
Iqra : Belum Bisa
Ridwan ( Oki )
(almarhum) Riau, 14
Pebruari 1976
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Sedang
Iqra : Lancar
Wulan Agustian
(LSM / Volunteer
KEBAYA)
Tasikmalaya,
21 Maret 1965
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Sedang
Iqra : Sedang
Ari Pardiana
(Wiraswasta)
Yogyakarta,
22 Juni 1964
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Maya Tongtong
(Lainnya / Buruh
Gendong)
Yogyakarta, 8
Agustus 1979
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Rina
(Ngamen) Medan, 30 Juli
1961
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Agus Erick (Kelly)
(Ngamen)
Medan, 10
Agustus 1964
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Shinta Ratri
(Wiraswasta/pengu
saha perak/dll)
Yogyakarta,
15 Oktober
1962
Perguruan
Tinggi
Latin : Lancar
Al-Quran :
Lancar
Iqra : Lancar
Yuni Shara Al
Buchory
(LSM/Staf
Yayasan Vista)
Yogyakarta, 2
Oktober 1967
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Aspan Amri Pane
(Yetty )
(LSM / Staf
Yayasan Vista)
Medan, 23
Maret 1959
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Lancar
Iqra : Lancar
Elly Muharom
(Wirasawasta)
Sumenep, 14
Maret 1966
SMU Latin : Lancar
Al-Quran : Lancar
Iqra : Lancar
Irma Erviana
(Wirasawasta)
Yogyakarta, 6
Maret 1963
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Yuli Tujiyanto
(Ngamen)
Cilacap, 7 Juli
1971
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Ririn Iswarini
(almarhum)
Yogyakarta, 9
Juli 1962
Perguruan
Tinggi
Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Mimin
(Wirasawasta)
Yogyakarta, 6
Juni 1966
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Adi Susanto ( Eni
Jalu )
(Ngamen)
Banyumas, 5
April 1960
ST Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Wagiman
(Nurkanza )
(PSK)
Yogyakarta, 6
Januari 1970
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Joko Kurnia ( Rini
Kaleng )
(Ngamen)
Jakarta, 27
September
1969
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Suyatno ( Nunik )
(Wirasawasta)
Yogyakarta, 1
Agustus 1965
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Hanna
(Lainnya)
Magelang, 6
Juni 1986
SMU Latin : Lancar
Al-Quran : Belum
Bisa
Iqra : Belum Bisa
Wisnu Setiawan (
Inul )
(Ngamen)
Jakarta, 26
Agustus 1971
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Sedang
Iqra : Lancar
Julianto ( Sasa )
(Ngamen)
Klaten, 27 Juli
1966
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Alya Putri
Rahmadani
(PSK)
Yogyakarta,
26 Nopember
1989
Perguruan
Tinggi
Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Lenny ( Lulux )
(PSK)
Purworejo, 7
Juni 1986
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Agus Betty
(Wirasawasta)
Yogyakarta,
11 Agustus
1964
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Tri Gumoro
Condro ( Sandra)
(Lainnya)
Yogyakarta,
15 Oktober
1964
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Febi Andika
(PSK)
Medan, 4
Desember
1982
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Vera Enindradewi
(Lainnya)
Klaten, 4
Januari 1967
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Shinta Maharani
(Ngamen)
Kutoarjo, 5
Juli 1988
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Fahry ( Shinta
Medan )
(Lainnya)
Medan, 21
September
1960
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Dolly
(Lainnya)
Palembang, 25
Pebruari 1963
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Sedang
Nining Mawan
(Ngamen)
Medan, 27
Agustus 1968
SD Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Helmi Laura
(Ngamen)
Surakarta, 23
Juli 1987
SMP Latin : Lancar
Al-Quran :
Belum Bisa
Iqra : Belum
Bisa
Wisnu Wibisono
( Rere Renata )
(LSM)
Yogyakarta,
15 September
1991
SMU Latin : Lancar
Al-Quran :
Lancar
Iqra : Lancar
Wulan
(LSM / Volunteer
KEBAYA)
Tasikmalaya
(55 tahun)
SMU
Tinuk
(Perias Pengantin)
Yogyakarta
(52 tahun)
SMU
Tika
(Perias Pengantin)
Yogyakarta
(38 tahun)
SMK
Tania
(PSK)
Yogyakarta
(28 tahun)
SMA
Sri
(Terapis Pijat)
Kebumen
(65 tahun)
SD
Shinta Yola
(Salon Penata
Rambut)
Medan
(61 tahun)
SMP
Oni
(Karyawan)
Bantul
(47 tahun)
SMA
Novi
(Staf LSM Victory)
Surabaya
(43 tahun)
SMA
Nining
(PSK)
Medan
(52 tahun)
SD
Kusuma Ayu
(Manager Bose
Club)
Yogyakarta
(42 tahun)
SD
Juna
(Pengusaha Salon)
Yogyakarta
(39 tahun)
SMA
Marimas
(Ketua RT)
Yogyakarta
(49 tahun)
SMA
Laura
(PSK)
Surakarta
(33 tahun)
SMP
Rini Cantik
(PSK)
Cilacap
(31 tahun)
D3
Perkantoran
Jamilah
(Ngamen)
Kebumen
(53 tahun)
SMP
Arum
(Pengusaha Sibori)
Yogyakarta
(44 tahun)
SMA
Desi
(Pengusaha Salon)
Yogyakarta
(58 tahun)
SMA
Dita
(Perias LC)
Semarang
(30 tahun)
SMA
Erna
(Ngamen)
Kediri
(68 tahun)
SD
Erni
(Ngamen)
Bandung
(52 tahun)
SMP
Jesika
(Peneliti Solidaritas
Perempuan)
Yogyakarta
PEDOMAN WAWANCARA SANTRI
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Rere
Alamat : Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 15-09-1991
Hari/tanggal wawancara : Senin, 07 Desember 2020
Tempat Wawancara : Ruang tamu Ponpes Al-Fatah
Pertanyaan
1. Siapakah nama lengkap dan nama panggilan anda?
Jawaban: Nama asliku Ebnu Wibisono, nama panggilannya
Rere.
2. Bisa Anda ceritakan pengalaman sebelumnya sebelum
menjadi waria?
Jawaban: Pengalaman ya, waktu di sekolah itu, aku
mengenal materi tentang seks, di SMA (Sekolah Menengah
Atas). Jadi, aku tahu, kalau aku berbeda sama laki-laki.
3. Bagaimana kehidupan Anda saat itu?
Jawaban: Dan aku juga punya banyak sampingan kerja;
mulai di konter, batik malioboro, ya kerja freelance yang
aku ambil. Jadi kalau bilang jadi tulang punggung keluarga
atau ngga, ya jadi kan kita berdua cowo semua, dan satu
beban kita angkat bareng-bareng.
4. Sejak kapan Anda merasakan perbedaan pada diri
Anda?
Jawaban: Iya sejak kecil, mungkin ini ya. Baground
keluargaku itu, hemm, jadi gini, dari kecil aku udah ngga
punya ayah sampai sekarang. Ya, cuma punya ibu (Imah) aja
yang ngurus dari kecil. Aku merenungkan setiap malam,
melihat teman-temanku waktu aku kecil, keluarga mereka
kan lengkap. Mereka kalau sekolah kadang dianter, gentian-
gantian juga kadang bapaknya, kan aku iri. Aku ngga dianter
bapak, dan mama aku juga kan ngga nikah lagi.
Kalau nikah lagi-kan, aku komplit keluarganya. Ya
eemmmm, sebenarnya dari situ, aku nyaman kalau dekat
sama cowok. Aku pengen selalu deket, karena kan aku ngga
dapet kasih sayang dari sosok seorang ayah. Iya dan Ibu-kan
merangkap jadi seorang ayah dan ibu, eem, kan tetap ngga
maksimal, karena bukan sosok ayah asli. Tapi, dari kecil itu,
apa itu, dari umur 2 atau 3 tahun, aku suka main boneka-
boneka, masak-masakan. Hehehe, tapi ngga apa-apa sih,
malah dibeliin sama ibu.
Iya, sampai tetangga bilang; “Loh, kok kamu malah main-
mainan cewek”, he he he ya mereka malah ngatain ibuku,
terus aku kan sering mainin jarit, tau kan? Jarik simbah aku
kan banyak, hehe, yaudah aku pake buat mainan gibek (tari-
tarian), terus ibuku kan ada lipstick, hehe yaudah aku pake
lipstick. Hehehe, yaudah seru-serunya waktu kecil,
merasakan berbeda dengan adikku (Sandi), hehe. Iya, pas
waktu SMP (Sekolah Menengah Pertama), aku juga sama
temen SMP ku. Mmm EeeNgga sih, aku cuma pendam aja,
ngga berani cerita.
Ya, walaupun aku smp itu merasakan suka sama temen, ya
aku diem aja, dan ngga ada yang tahu. Sama guru aku, ya
guruku udah punya istri dan anak juga, guruku juga aku ajak
ke rumah, dan ibuku ngga apa-apa aku bawa cowok ke
rumah. Heeem, iya, karena kan beda, tapi ada juga yang
masih main sampe sekarang, dia udah nikah juga, tapi ya
main aja ke rumah, adekku juga ngga apa-apa, karena dia
bisa jak ngobrol.
5. Kapan Anda memutuskan untuk mengubah
penampilan?
Jawaban: Dan aku setelah SMA berani membuka diri
sebagai waria. Iya, saya sekarang udah berani menunjukan
bahwa saya waria.
6. Apa tanggapan orang tua setelah Anda mengubah
penampilan?
Jawaban: Iya, jadi kan disini juga ada program penerimaan
terhadap keluarga itu kan, untuk teman-teman waria yng
keluarganya itu mendukung. kebetulan ibuku mendukung. \
7. Bagaimana kehidupan awal Anda saat merubah
penampilan?
Jawaban: Iya, tapi kan beda sama saudara-saudara Ibu,
Kalau mereka kan keluarganya lengkap. Tapi ya, ya udah,
ini kan sudah digariskan oleh Tuhan keluargaku seperti ini,
kan kita ngga bisa berontak “aku ngga mau seperti ini,
seperti ini. Sebelumnya ada masalah ini, masalah besar,
masalahnya aku sama kaeluargaku; akau berantem sama
ibuku, dan keluarga besarku. Iya, aku berantem sama ibuku
dan keluarga ibuku, nentang aku, disuruh nikah, disuruh jadi
yang bener, jadi mereka malu kalau aku dandan perempuan.
Iya, kamu malu-maluin trah keluarga prawitoyo, ya kan, aku
maksudnya; aku kan waria, bukan malu ya, karena dari
dalam. Tapi penampilan aku tetap kaya cowok, aku bukan
kaya waria yang pake apa-apa, itu ngga. Sampai sekarang,
karena kan aku udah kepala 3, dan yang lain keponakan aku
kan udah menikah. Ya kadang, ya aku bimbang, bingung,
sedih, kok apa ya. Kalian ngga ngerasain jadi aku tu gimana,
Meninggal dari aku umur 4 tahun, terus keluarga dari Ayah
juga ngga ada yang peduli sama kita Kalau mereka dari kecil
udah ada bapak, ada iu. Nah aku, broken heart, udah kaya
gini. Siapa yang mau memilih seperti ini, ya kan Karena
mereka ngga pernah ngrasain seperti aku.
8. Apa pekerjaan Anda saat ini?
Jawaban: Aku kemarin-kemarin kerja di bartender café di
Club Malam. Terus di Yayasan Vasta Indonesia Iya bagian
informasi center dan objek-objek yang membutuhkan
penyuluhan, Aku keinginan sendiri, karena gimana yah,
temen-temen ku mati konyol, karena HIV. Mereka bermain
seks bebas. Kan misalkan cowok itu udah nyoba satu,
pengin nyoba sama ini, ini, yang lainnya. Udah gitu temen-
temen waria ngga mungin ngecek kesehatannya kan, dia
kena apa ngga. Banyak waria yang selesai hidupnya Karena
itu, dan aku merasa terpanggil aja sih, untuk membantu. Dan
aku 24 jam lhoh, masih nyari waria, guy, dan orang-orang
yang mempunyai istri tapi suka main sama waria, yang
belum pernah diperiksa. Dan sebagai Driver Online Go-Jek
sejak 2016.
9. Komunitas apa saja yang Anda ikuti?
Jawaban: komunitas IWAYO, Pondok Pesantren. Dulu kan
IWABA (Ikatan Waria Bantul), ada IWASO (Ikatan Waria
Solo), WARKOP (Ikatan Waria Kulonprogo), dan di 5
kabupaten di Jogja.
10. Boleh ceritakan selama Anda mengikuti aktivitas
tersebut, hal baik apa yang Anda dapatkan?
11. Bagaimana Anda mengetahui Pondok Pesantren ini?
Jawaban: Iya, temen-temen waria-kan belajar ngaji,
pengajian, dan aku sering diajak sama Bu Shinta untuk
pelatihan-pelatihan, entah itu bantuan salon, bantuan temen-
temen waria kan banyak yang berkreativititas. Terus bu
Shinta yang jadi ketua pondok.
12. Hal apa yang membuat Anda tertarik masuk ke Pondok
Pesantren ini?
Jawaban: Iya, aktivitasnya banyak sebetulnya di pondok,
jadi ngga cuman hari minggu aja, di bidang sosial, dan aku
dilibatkan dari panitia juga, gitu
13. Sejak kapan Anda bergabung menjadi santri di Pondok
Pesantren ini?
Jawaban: 2016
14. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk ke Pondok
Pesantren ini?
Jawaban: Iya, itu karena kesadaran diri Perasaan balik ke
Tuhan tu gini, jadi di saat, aku ada masalah besar sama
keluarga kemarin kan, aku curhat sama pak ustadz Arif kan,
terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa terus solusinya katanya:
ya udah, tenangin dulu di pondok, nenangin pikiran, ya
dengan ngaji, terus aku tiap malam juga sholat, eeee Iya,
tahajud, ada ketenangan diri, maksudnya setelah kita salat
malam itu.
15. Kendala apa yang Anda rasakan saat shalat?
Jawaban: Ya, kadang bolong-bolong, Iya tetap, menjalankan
shalat 5 waktu
16. Kendala apa yang Anda rasakan saat memasuki Pondok
Pesantren?
Jawaban: Kendala si ngga ada, kebetulan ibuku mendukung,
jadi kan kemarin ke Cirebon, dan aku emang dandan, dua
hari. Iya, ziarah, ibuku juga ikut, adekku juga ikut
17. Bagaimana pendapat Anda tentang kegiatan bimbingan
keagamaan di Pondok Pesantren?
Jawaban: Ya ada, jadikan emmm, ya pokoknya jangan lupa
kewajibanmu, dan aku lebih suka kalau shalat tahajud.
Tengah malam aku bangun, dan apalagi setelah penyerangan
Front Jihad Islam, kita sibuk nih, Go Show ke kampus-
kampus ngisi-ngisis acara sama ustadz Arif ke UIN terus,
hehe
18. Apa yang Anda rasakan saat dan setelah mengikuti
bimbingan keagamaan di Pesantren ini?
Jawaban: Ya, saat ceramah kadang ada yang menyentuh
hati, kadang pas tanpa disengaja. Ya, sangat bertambah
ilmu. Setiap orang kan beda-beda, jadi pas lagi masuk ke
hati, ya masuk. Hehehe
19. Apakah Anda juga mengaji Al-Qur’an/Jilid?
Jawaban: Iya, di Al-Qur’an, karena kan kecil aku sudah
diberikan dasar atau pondasi waktu TPA, TPQ.
20. Kendala apa yang Anda rasakan saat melakukan
bimbingan keagamaan?
Jawaban: Kendala tidak ada sama sekali ya mba Nsisa,
karena dari kecil soal agama saya sudah belajar, jadi ingat
akan bimbingan agama. Eeeem, Karena kan setiap hari kan
temen-temen waria itu kan punya aktivitas sendiri-sendiri.
Ada yang kerja, ada yang usaha, dan lain-lain, jadi ya hanya
waktu hari minggu aja. Mungkin beda dari pesantren
lainnya, ya kita juga beda, makanya beda, jadi seperti itu
21. Bagaimana pengalaman Anda setelah mempraktikan
shalat di Pesantren ini?
Jawaban: Iya, serius, bener, pokokya kalau udah ngerasain
shalat, bener-bener salat tahajud, nangis itu, plong, tenang.
Terus, kaya ngga ada beban, tapi setelah itu, bangun tidur
ya, he he he tapi ya tetep seperti itu si aktivitasnya.
22. Apakah pengalaman yang baik, kalau iya boleh
diceritakan?
Jawaban: Ya, pokoknya kalau udah meneteskan semua air
mata yang kita curahkan itu, kan kalau di pendam di hati
kan, Iya, sakit, ya akhirnya aku curhat sama yang di atas,
keluarinpas waktu salat itu, kadang pas mau salat pun juga
nangis.
23. Pernahkah Anda merasakan ketidaknyamanan dengan
menggunakan atribut shalat yang ditentukan?
Jawaban: Iya, ngga ada, dimana kita nyaman, yaudah kita
shalat.
24. Bagaimana cara mengatasinya?
Jawaban: Dulu aku pernah, pas lagi dandan, dan aku pake
mukena. Iya, aku pake sarung. ngga sih, kan tergantugn dari
penampilan ya. Kemarin kan temen-temen liat, ada yang
rambut panjang, yang dia pake mukenah, ada yang pake
sarung. Nah itu, kenyamanan kita. Temen-temen waria
nyamannya gimana? Mau sarung atau mukenah. Contoh aja
mami Rully, dia pake hijab, tapi kalau shalat, dia lebih
nyaman shalat yang kaya cowok.
25. Apa yang Anda rasakan shalat berjamaah pertama kali?
Jawaban: Iya, hmmm kadang dengan kepenatan yang karena
kesibukan dunia itu, akan lebih tenang saat shalat dan
seneng berjamaah, karena kan rame-rame.
26. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk merasakan
manfaat dari Pesantren Al-Fatah, baik secara spiritual
ataupun mental?
Jawaban: Tahun 2016 Iya, alhamdulilah nyaman dengan
engikuti kegiatan-kegiatan, kadang mersasakan capek. Tapi,
terus lama-lama ya enjoy aja. Iya, adapatasinya ngga terlalu
lama. Dari bulan maret itu, kan aku masih tinggal di pondok,
Iya, ngalamin Corona, ya ada suka ada dukanya, kan ya kita
harus menaati protokol kesehatan kan, karena mnerima tamu
juga. Iya, di tutup, dan alhamdulilah dapat rejeki juga dari
bantuan-bantuan selain waria, dari bantuan nasi bok, untuk
dianter ke komunitas temen-temen waria. Iya bener-bener
disini, seperti itu, ya alhamdulilahnya banyak bantuan, dan
bantuannya sangat membantu.
27. Apa harapan Anda terhadap Pondok pesantren ini?
Jawaban: Untuk program di 2019 ini kan banyak banget,
apalagi diikuti oleh temen-temen juga lansia, banyak banget
manfaatnya dari pesantren ini. Dan banyak juga pas
pandemi, kan ngga kerja, ada bantuan uang juga buat
keseharian.
28. Bagaimana pengalaman Anda di lingkungan masyarakat
setelah menjadi waria?
Jawaban: Ya, kalau di sini, penerimaan terhadap kawan-
kawan waria ya menerima, dari ujung gang depan sampai
gang sana, kenal sama aku, karena ee.. ya maksudnya aku
kan membaurnya baik, jadi masyarakat tahu, itu itu si Rere.
Iya tergantung dari kita bawanya bagus ya, penerimaannya
juga baik gituh. Kalau di rumah, ya ngga mungkin aku
melakukan hal yang sama, jadi ngga semua tempat juga
sama, bisa menerima.
29. Apakah pernah mengalami konflik dengan masyarakat?
Jawaban: Tidak
30. Kalau iya, boleh diceritakan?
31. Hal apa yang belum pernah didapatkan selama di
Pondok pesantren?
Jaawaban: Kebersamaan santri yang hanya setiap minggu
saja
32. Apakah pernah melakukan ibadah shalat di luar
Pesantren?
Jawaban: Iya pasti
PEDOMAN WAWANCARA SANTRI
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Inul
Alamat : Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 26 Agustus 1971
Hari/tanggal wawancara : Selasa, 08 Desember 2020
Tempat Wawancara : Lataran Ponpes Al-Fatah
Pertanyaan
1. Siapakah nama lengkap dan nama panggilan anda?
Jawaban: Wisnu Setiawan panggilan Inul
2. Bisa Anda ceritakan pengalaman sebelumnya sebelum
menjadi waria?
Jawaban: Aku ikut e program computer, aku ikut, terus
perusahaan asing malah di Gunungsari 11 waktu itu.
3. Bagaimana kehidupan Anda saat itu?
Jawaban: Saya pas gonjang-ganjing krisis moneter, dan aku
kena PHK. Karena bangkrut (pada tahun 1998)
4. Sejak kapan Anda merasakan perbedaan pada diri
Anda?
Jawaban: Iya, ee aku pribadi, perubahan yang aku alami;
aku dalam casing laki-laki, ibaratnya hatinya wanita itu, eee
aku udah merasakan kebiasaan seperti perempuan. Aku juga
lebih deket sama Ibu lebih enjoy, dari pada sama Ayah dan
asudara laki-laki ngga ada pendekatan, yang aku alamin lho.
Aku mengalami perbedaan pendidikan itu SD.
Aku udah keliatan, sama temen-temen, aku mengalami
karena apa? Setiap aku berteman sama perempuan, dan aku
melihat laki-laki itu ikut-ikut ngefans. Jadi ada getaran, nah
aku kok, beda dengan laki-laki lain ya. Iya, aku emang, dari
keluarga tentara, karena kakak pertamaku jadi tentara, dan
kakak ku satunya jadi polisi. Dan aku doang yang, he he he
lain dari pada yang lain.
5. Kapan Anda memutuskan untuk mengubah
penampilan?
Jawaban: Iya, jadi aku sebelum SLTA sebenarnya orang tua
mengharapkan, setelah aku SLTA, itu aku disuruh ikut
pendidikan, kaya kakak-kakakku, tapi aku udah ngga minat.
Ternyata aku melalui program yang SLTA aku e lain dari
pada yang lain, aku masuk yayasan orang Kristian, aku
masuk SMA Kristen Magelang. Iyak kan disitu juga deket,
waktu ayah ku tugas disitu, jadi aku disitu ikut-ikutan
glamor lah, hehehe dalam arti, belum tahu agama ya, ya tahu
agama ya emm tapi ini aku belum mengetahui aku mau
kemana gitu. Setelah itu aku, ya emang waktu itu, ayahku
harus, Karena aku itu dalam artian pendidikannya kan aparat
semua ya, ternyata lain.
6. Apa tanggapan orang tua setelah Anda mengubah
penampilan?
Jawaban: Kakak saya paling paling tidak setuju, tapi setelah
banyak orang yang mengetahui dan aku baik ya ngga
masalah.
7. Bagaimana kehidupan awal Anda saat merubah
penampilan?
Jawaban: bahwa dengan menjadi waria, saya lebih gampang
membantu orang lain, apakah ini jalan dariMu ya Allah?
Bukan berarti kita ria ya, untuk menolong seseorang. Ya
Allah, Tuhan berikan jalan gini, ternyata hati lebih tenang,
Iya, lebih lancar. Satu, lagian hati lebih tenang. Eeee dalam
aku sendiri loh, bukan orang lain, ee aku kadang em am
ternyata harus memberikan untuk orang yang membutuhkan
pertolongan. Kalau masalah agama aku juga tahu ya mbak,
terus terang; masalah prostitusi kan dilarang.
Kalau aku ibarat sebagai seperti orang lain, aku punya tipe
setia. Seandainya aku punya pasangan; dulu aku punya
pasangan kan sampai 11 tahun dan ternyata aku punya
prinsip kamu harus berkeluarga pun walaupun ikut waria, ya
kamu harus punya jodoh akhirnya kita putus akhirnya aku
kursus montir Akhirnya bisa bekerja akhirnya dapat orang
Banyuwangi.
Ya itu aku sekarang punya prinsip sendiri; kamu mau sama
aku aku lebih baik daripada aku menambah dosaku. Aku
mengenalkan mereka, siapa tahu itu mengasih jalan aku.
Tidak semua melecehkan makna dari seorang waria Jalan.
Artikan ibaratnya walaupun diluar logika kan sedih tapi aku
juga punya perasaan sendiri prinsip sendiri nggak kayak
temen-temen aku yang harus ganti pacar.
Kalau aku masalah seks enggak besar-besar in disitulah aku
walaupun waria; 1) takut penyakit, 2) takut dosa ya terutama
aku takut dosa lah karena setiap melakukan kegiatan
prostitusi atau melakukan seks tanpa apa ke muhrimnya
dalam arti enggak sepantasnya aku harus perlahan-lahan
bisa sampai sekarang aku 5 tahun kalau nggak udah nggak
melakukan itu ibaratnya.
8. Apa pekerjaan Anda saat ini?
Jawaban: Mengamen. Iya, karena aku sebagai pengamen,
aku ya bersyukur ya, pengamen waria ternyata, bagi aku ya
penghasilan apa, yang terpenting ku syukuri. Ternyata bisa
membantu orang lain; membutuhkan pertolongan, anak-
anak jalanan dalam arti dalam kesusahan, aku bisa
membantu, walaupun sedikit uang, ya aku kaasih, untuk
biaya sunatan, dan yah gitu. Dalam arti aku, kalo kegiatan
positif ya, aku kenal, kalau aku misalnya punya sesuatu
untuk hura-hura, aku ngga ada prinsip. Terutama untuk
orang, maaf mabuk atau lainnya aku ngga mau bantu. Kalau
orang itu bener-bener sakit, dan membutuhkan bantuan,
walapun aku ngga makan, ya ngga makan.
9. Komunitas apa saja yang Anda ikuti?
Jawaban: IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta)
10. Boleh ceritakan selama Anda mengikuti aktivitas
tersebut, hal baik apa yang Anda dapatkan?
11. Bagaimana Anda mengetahui Pondok Pesantren ini?
Jawaban: Eeem aku kan, sekarang jadi pengamen ya, emm
aku kan pengamen jalanan sekarang. Mengikuti alur aja
waktu itu. Ternyata mba Nur, waktu itu dia keluar, karena
waktu itu masih sepi, dia keluar ikut ngamen. Makanya
ketemu aku, ternyata satu komunitas selain IWAYO,
ternyata ada Pondok Pesantren Waria, aku penasaran yakan.
12. Hal apa yang membuat Anda tertarik masuk ke Pondok
Pesantren ini?
Jawaban: Yang satu udah, udah tau dunia waria dijalanan,
aku ingin merubah nasib dengan mendekatkan diri kepada
Yang Maha Kuasa.
13. Sejak kapan Anda bergabung menjadi santri di Pondok
Pesantren ini?
Jawaban: 2016
14. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk ke Pondok
Pesantren ini?
Jawaban: Tentunya seneng. Sebenarnya udah banyak yang
waktu itu kurang lebih ada kali 30-an santri. Pengalaman
yang waktu ada penyerangan itu hehehe penyerangan FJI itu
paling berkesan banget. itu paling berkesan banget, Karena
apa? Temen-temenku ya akhirnya kan kita nggak berkumpul
satu pihak, rasa-rasa keraguan ada ada Kayaknya waktu itu
lalu kalau aku masalah; untuk pendekatan diri nggak ada ada
tapi kan untuk berkumpul kan takutnya takutnya diserang
gitu. Waktu itu, kurang lebih ya, kayanya satu mingguan itu,
disini msasih adalam keadaan sepi. Lalu akhirnya kita
komunikasi lagi, ya yang penting kita, eee datang dalam arti
ee ngga usah dengan cara keluar-keluar dulu. Ngga, ngga
sampai, karena sebeum kejadian itu, polisis udah berjaga-
jaga. kyai Abdul Muhaimin dan pak Arif yang selalu
mendampingi
15. Kendala apa yang Anda rasakan saat shalat?
Jawaban: Kalau aku pribadi, aku punya komitmen, aku
bekerja, ya bekerja, selagi aku udah mengenal ponpes.
Karena aku juga dulu dilandasai agama ya, tapi kan karena
tau kan masalah anak-anak muda, kalau melakukan ngga
memikirkan ke belakangnya. Setelah aku berjalan, sebisa
mungkin membagi waktunya untuk shalat ya shalat, nanti
ngamen ya ngamen.
Walaupun orang kan kalo udah-udah kan, kaya temenku
males ah nanti bedakan lagi. Rejeki udah ada yang ngatur,
kan kalo udah sholat bedakan lagi. Jalan, pasti Tuhan kasih.
Jadi aku ngga ada kata, ntar sayang, kalao temenku udah
duluan. Rezeki dari Yang Kuasa sehingga aku abis salat
bedakan di jalan pasti, Tuhan kasih jalan jadi enggak ada
kata antar sayang, kalau temen aku udah jalan duluan karena
apa rezeki dari Tuhan akan kembali ke Tuhan juga.
16. Kendala apa yang Anda rasakan saat memasuki Pondok
Pesantren?
Jawaban: Ngga ada
17. Apakah Anda juga mengaji Al-Qur’an/Jilid?
Jawaban: Bisa
18. Bagaimana pendapat Anda tentang kegiatan bimbingan
keagamaan di Pondok Pesantren?
Jawaban: Kalau masalah bimbingan ya itu bagus, tinggal
orangnya cara menerapkannya. Karena apa lagi
Ustadz/ustadzah atau orang yang ngasih bimbingan itu
nggak mungkin untuk menjerumuskan ke hal buruk, tinggal
manusianya melaksanakan itulah.
19. Apa yang Anda rasakan saat dan setelah mengikuti
bimbingan keagamaan di Pesantren ini?
Jawaban: Eee kalau, Ustadz Arif ngasih wejangan bagi Inul
sendiri ibaratnya gini yang masih terngiang-ngiang, yang itu
itu, jangan dibesar-besarkan hidup di dunia dalam arti
berfoya-foya lebih baik memikirkan akhirat nya itu yang
paling Inul berkesan jadi makanya kan Inul walaupun orang
memandang. Harta adalah titipan kan itu itu yang benar-
benar Inul kasih ini karena sewaktu-waktu bisa saja ntar
misalnya aku habis ketemu Mbak Nisa, meninggal. Itu yang
paling aku, aku nggak mikir yang lain-lain. Di situlah yang
paling berkesan yaitu ibaratnya itu titipan ya yang paling
berkesan tadinya makanya aku yaudah harta itu titipan, ya
aku bisa membantu sama orang-orang yang masih dalam
artian menolong dalam hal positif Siapa tahu aku bisa dapat
dapat doa gitu.
20. Kendala apa yang Anda rasakan saat melakukan
bimbingan keagamaan?
Jawaban: Tidak ada, aku sebenarnya juga ada permintaan
sama ibu; seharusnya pondok pesantren ini jangan hanya
hari minggu, tapi di ahri yang lain juga, karena kan
hubungan sama Tuhan tidak hanya hari minggu. Karena
kan, memang kesibukan masing-masing untuk mencari
uang, jadi ketemunya hari minggu, tapi kan kalau setiap
hari; keliatan orang yang mau jelek-jelek sekalian, kalau
mau baik-baik sekalian.
21. Bagaimana pengalaman Anda setelah mempraktikan
shalat di Pesantren ini?
Jawaban: kalau shalat tahajud ya sebenarnya ngga terlalu.
Aku kalau malam, kebangun sampai owh udah jam 2, dan
aku bangun, aku lebih interaksi dengan Allah dengan cara
ngga shalat. Aku bertanya; Ya Allah, kalau aku emang berat
dalam bentuk kaya gini, aku ngga menyesal. Tapi, berilah
aku jalan yang lurus. Apa yang Allah berikan sabda sama
Rasul-rasulnya; berilah aku jalan yang terbaik menuju
surgaMu. Eeem, kalau untuk tajahud malah aku jarang.
22. Apakah pengalaman yang baik, kalau iya boleh
diceritakan?
Jawaban: Aku malah interaksi: Ya Allah, berilah kekuatan
dalam au mneghadapi semua cobaan yang kau berikan, tapi
seolah-olah aku diberi, aku kadang minta, dan alhamdulilah
lewat kejadian-kejadian di mata aku, menamh aku jadi
berpikir. Aku yaa, memang jarang shalat tahajud, kalau aku
bangun sih, menghadap ke barat, dan aku berdoa. Ya
walaupun aku dibilang gila, ya biarin. hehe, bagi aku perlu
shalat tahajud, cuman aku komunikasinya seperti orang gila,
menghadap ke barat, karena kan kalau jam 2-3 kan sepi,
ngga bising. Iya, kendaraan udah sepi, aku lebih, hatiku
lebih tajam.
23. Pernahakan Anda merasakan ketidaknyamanan dengan
menggunakan atribut shalat yang ditentukan?
Jawaban: Kalau aku, Kalau aku ya itu tadi Mbak Nisa
bilang; aku punya prinsip sendiri, aku walaupun aku jiwanya
perempuan casing-nya laki-laki aku menghadap Tuhan
harus bentuk laki-laki karena apa? nggak mungkin ya, apa
Ibaratnya Tuhan menciptakan ini, ini dalam arti kok aneh-
aneh menghadap Tuhan kan Inul pribadinya makanya pakai
sarung.
24. Bagaimana cara mengatasinya?
25. Apa yang Anda rasakan shalat berjamaah pertama kali?
Jawaban: Banyak, kalau aku kan lebih suka hukum agama.
Kalau shalat jamaah kan lebih banyak pahala dari pada
shalat sendiri. Ibaratnya kan kaya eee, kalau aku lebih bagus
sholat berjamaah. Lebih spesial banget, karena apa? 1. Kita
bisa tahu kalau yang bener-bener kesininya sholat atau main.
Disini kan dri rumah kan berarti dia beum punya niat, dalam
arti niat sholat. Disini jamaah ngga mau, apalagi di rumah
sendiri, gitu kalau kata aku
26. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk merasakan
manfaat dari Pesantren Al-Fatah, baik secara spiritual
ataupun mental?
Jawaban: Eeee, kalau aku itu terus terang dan temen-temen
yang dulu; arogan, udah aku kasih alur, ayo kapan kita
mendekatkan. Tapi kan waktu itu, ada yang di jalan. Aku
diminta untuk membentuk satu komunitas, yang ini kan
seorang Abdi Pamungkas itu. Tapi kan aku ikut sama orang
yang bener-bener hidup di jalanan. Dan aku saling kasih
arahan inilah saatnya mendekatkan diri sama yang kuasa
sewaktu-waktu kita mesti mencari. Dimana ada ketenangan,
ya di Agama kan.
27. Apa harapan Anda terhadap Pondok pesantren ini?
Jawaban: Eeem, kalau motivasi aku, dalam pesantren ini;
aku harap pesantren ini lebih maju dari tahun-yahun yang
kemarin, lebih banyak santrinya, lebih maju, dan
membangun pesantren yang lebih religious.
28. Bagaimana pengalaman Anda di lingkungan
masyarakat setelah menjadi waria?
Jawaban: Iya, ya. Selalu dalam artian, ngga ada e pikiran
negatif. Setiap orang mau yang pinter, mau yang, aku punya
prinsip pikiran positif. Ngga ada, Tanya orang-orang yang,
bener-bener setelan waria yang rumahnya dijogja, dan aku
diakui sama temen-temen anak jalanan, becak. Ogh itu Inul.
Dan itu sudah menjadi nilai positif, aman, dan nyaman.
29. Apakah pernah mengalami konflik dengan masyarakat?
Jawaban: Ngga ada, kalau aku pribadi ngga, karena aku
setiap minggu pun pulang. Karena kalau di kos pun; kan ada
kegiatan ya, ya kadang aku ikut, aku nari. Iya, kadang kalau
nari, orang-orang pada bilang;
“Nul, ini anak-anakku, mau belajar nari.” Kalau di kampung
setiap kegiatan itu pasti. Nah, kalau kemarin aku ngga bisa
itu karena aku udah tua. Dan aku juga kadang kalau tiap
awal bulan ada perkumpulan RT/RW di rumah, kalau aku
telat kan aku ngga enak.
Lagian sebulan sekali. Kalau aku ini,kalau aku pribadi,
kalau aku menghadap Allah aku pakai baju pria, tau mereka
kalau aku waria dan mereka menerima. Ibarata mba nisa
sewaktu-waktu mau ngikutin mba Inul; Boleh, banyak
banget sumpah, di bawain makanan. Kadang orang banyak
yang tanya; Inul, kenapa ya orang-orang bawain makanan?
Makanan ini ntar kalau ketemu temenku yang lapar, aku
kasihkan lagi, gitu. Hehehe
30. Kalau iya, boleh diceritakan?
31. Hal apa yang belum pernah didapatkan selama di
Pondok pesantren?
Jawaban: Kebersamaan masih kurang
33. Apakah pernah melakukan ibadah shalat di luar
Pesantren?
Jawaban: Kalau aku sebenarnya nya nya lima waktu dari
dulu. Aku shalat juga tapi dalam arti yang dulu-dulu belum
mengenal Ponpes. Aku punya aturan ya jadi kayak
tayamum, aku kadang di jalan ya udah yang penting aku
mau mendekatkan diri aku harus komunikasi sama Tuhan itu
harus aku begitu.
PEDOMAN WAWANCARA PENGASUH
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Shinta Ratri
Alamat : Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Bantul, 15 Oktober 1962
Hari/tanggal wawancara : Sabtu, 12 Desember 2020
Tempat Wawancara : Ruang Kajian Ponpes Al-Fatah
Pertanyaan
1. Aktivitas apa saja yang dilakukan oleh Ibu saat ini?
Jawaban: Menjaga, mengasuh pondok pesantren waria,
bikin kerajinan rias pengantin
2. Sejak kapan Ibu menjadi Pengasuh Pondok Pesantren
ini?
Jawaban: 2014
3. Apa motif awal mendirikan Pesantren?
Jawaban: Iya, nah disini juga ada rumah aman, ruang yang
disediakan untuk kaum yang menjadi korban kekerasan,
disana juga ada tempat pelayanan bagi korban, layanan
psikologi, kesehatan. Rumah aman itu hanya untuk korban
perskusi, kawan-kawan sekarang dalam keadaan aman
mereka hidup di sekitar jogja ini, mereka bekerja sebagai
pengamen. Tetapi nanti kalau ada korban perskusi,
pengusiran dari tempat kos, korban pemukulan, baru rumah
aman bekerja, kalau hari-hari begini tetap bekerja seperti
biasa, dan kita sedang tidak ada penganan korban
4. Siapa saja tokoh yang mendirikan Pesantren?
Jawaban: KH. Hamrolie, Maryani dan setalah itu menyusul
ada Ustadz Arif, Kyai Muhaimin
5. Bagaimana jalannya Pesantren setelah ibu Maryani?
Jawaban: Jadi begini, pak Muhaimin, itu kan dulu ketua
FPUP, nah FPUP itu organisasi yang pertamakali menjadi
mitra kita. Waktu itu FPUP sama DIAN INTERFREEDAY,
itu LSM yang bergerak di lintas iman. Kemudian disusul
dengan SELVIS itu lembaga kajian Islam dan Sosial. Jadi,
kawan-kawan yang pertama kita itu, sebelum ada NU,
sebelum ada yang lain-lain, akademisi,. Jadi yang saya
masih ingat, makanya saya; nah kami lalu, karena pak
Muhaimin kebetulan juga orang Kotagede, kita dekat, lalu
akhirnya akrab, kita akrab; kalau dia mengadakan acara,
kami pernah diundang ke tempatnya, tu kan ada pendeta,
ada pastor. Nah kemudian, keika tahun seuadah pak
hamroie meninggal itu, kami berjalan tanpa kyai. Kami
berjalan ee sampai awal 2014 itu, yang memimpin Muiz
Ghazali. Kemudian menggantikan pembelajrannya,
konsultasi. Nah kemudian, karena pak Muiz Ghazali pindah
ke Cirebon, lalu bu Maryani meninggal itu, kemudian
pindah kesini. Nah, ketika mau pindah kesini ini lah saya
melamar pak Muhaimin supaya kersa menjadi pembina
kita. Akhirnya beliau mau, dan yang mmrbuka disini bapak
Muhaimin sampai sekarang. Pak Muhaimin hanya datang
kalau hari-hari besar. Kalau ee Idul adha, kemudian Isra
Miraj. Tapi kalau hari-hari yang lain kita juga, kalau
memang diperlukan, kita juga konsultasi. Kalau kita sedang
mengadakan hubungan ke kamus, kita juga mengajak pak
Muhaimin
6. Alasan memilih nama Pesantren?
Jawaban: Al-fatah itu kan karena, yaa Al-fatah itu
pembukan jalan artinya. Tadinya namanya senin-kamis,
karena mencerminkan suatu keadaan yang prihatin,
kemudian memang pada waktu itu kegiatanya pada senin
dan kamis
7. Apa saja kegiatan saat ini dan rencana kegiatan ke
depan?
Jawaban: Nanti ada rangkaiannya, mbak nisa nanti saya
kasih
8. Pondok Pesantren Al-Fatah bekerjasama dengan siapa
saja?
Jawaban: Kalau disini benar-benar kita dukungan dari
akademisi, jaringan koalisi perempuan, LBH, Kepolisian,
AJI (Aliansi Jurmalistik Indonesa), jadi kita mencari
dukungan itu untuk penguatan, selain itu kita dapat
dukungan dari masyarakat sekitar, kalau tidak dukungan
dari masyarakat sekitar kita juga tidak mungkin kita ada,
karena pada dasarnya masyarakat itu sebagai penguat
keberadaan kami. Secara kalau dulu itu kalau mereka dari
jauh ya, datang kesini tapi memang strategi mereka selalu
memakai bahwa masyarakat sekitar tidak menerima, itu
kata-kata yang selalu dipakai.
Ini kerjasama dengan Universitas UKDewi Salatiga Satya
Wacana UKSB Mereka relasi ke sini, terus kita yang
berkomunikasi.
9. Bagaimana respon waria terhadap Pesantren?
Jawaban: Jadi ketika kawan-kawan mengejar ekonomi
untuk membayar utangnya. Jadi ini yang kami pikirkan;
ketika kami bisa mensejahterakan kawan-kawan pas hari
kegiatan disini dengan beribadah, maka dapat mengikuti
dengan baik dapat mencapai kesejahteraan bersama.
Diterima masyarakat, bahkan harapan saya kalau bisa ke
depannya bahkan; kawan-kawan waria bisa shalat dimana
saja
10. Adakah santri yang bercerita ke Ibu tentang
pengalaman selama di Pondok Pesantren?
Jawaban: Owh, ada, hehe biasanya kawan-kawan ini yang
kemudian, apa ya ee kalau dibilang ya, mendapatkan
hidayah lah artinya Tuhan membukakan hatinya, jadi e itu
ada namanya itu mba Oki. Nah mba Oki ini kan pekerja
seks di Malaysia, terus dia pulang ke Batak. Rumahnya kan
di Riau, dia pulang ke Riau, kemudia terus e pada waktu itu
iu kosnya tu bilang; anu, kamu ke Jogjakarta aja, di sana
ada pondok pesantren. Dan akhirnya dia ke Jogja, lalu dan
dia masih melakukan untuk pekerja seks, dan emang sehari-
harinya dia emang dari pelacur. Tapi kemudian dia
bergabung dengan kami; di abaca Al-Qur’annya fasih, dia
sering terpakai kalau ada acar-acara. Dan kemudian pada
waktu itu, kalau kita ini ni begini; tidak pernah menggurui,
dan kita tidak pernah mengacau, kita biarkan mereka
merasakan atmosfer spiritualitas di sini. Nah, nanti kawan-
kawan itu akan bercerita sendiri, jika dia sudah tergerak
hatinya. Seperti mba Oki juga gitu, dia nanya, “dia bisa
apa?” terus akhirnya dia punya ide untuk jualan. Itu kita
dorong, lalu kita pinjamkan modal
11. Apakah harapan Ibu terhadap Pondok Pesantren ini?
Jawaban: Harapan saya kita dapat bermanfaat untuk waria
di Jogja gitu. Eeee apa, spesialnya untuk Santrinya dulu
bisa mengambil manfaat, dengan hadirnya disini, santri itu
benar-benar mendapatkan manfaat; dari peningkatan
keimanannya, kesegaran jiwanya, kesegaran fisiknya, ya,
karena kami melihat kondisi, apa ya namanya, keuangan.
Jadi kesejahteraan ekonomi itu berbanding lurus dengan
peribadatan
12. Apakah warga terlibat dalam kegiatan tertentu?
Jawaban: Melibatkan warga, ada sekolah sore. Sekolah sore
itu sebulan sekali, kita belajar yang diluar Agama. Jadi
seperti; belajar memasak, belajar kreasi hijab, lah nanti Ibu-
ibu belajar kesini.
13. Bagaimana pandangan warga terhadap Pesantren?
Jawaban: Ya masyarakat sudah tidak lagi takut untuk
bersebelahan. Dan harapan yang paling tinggi ya; jadi waria
tidak memiliki tempat khusus untuk belajar dimana saja,
tapi kalau kita bareng-bareng, pas ziarah, piknik, ya kalau
ada masjid, kita mempir untuk shalat bersama.
14. Bagaimana komunikasi santri dengan masyarakat?
Jawaban: Ya, kalau komunikasi santri dengan masyarakat
itu kan komunikasi, kalau disini kan kita terbuka dengan
masyarakat kita, artinya ketika kawan-kawan ini melakukan
kegiatan kan juga mengundang masyarakat sekitar, itu satu.
Yang kedua, kaya komunikasi yang setiap hari, ya misalnya
beli di warung sekitar sini, tu juga salah satu bentuk
komunikasi kan? Karena biasanya ada pertanyaan, “ada
acara apa” gitu hari itu. Kan santri menerangkan, ini lagi
ada ini-ini, komunikasi yang lain itu misalnya apa ya;
kumpul-kumpul seperti ini.
15. Apakah pernah mengalami konflik dengan
masyarakat?
Jawaban: Iya, yang 2016 itu sama FJI. Selebihnya ngga
ada. Ya, tahun kemarin kita cuman mengenang “bagaimana
ko masih ada kelompok masyarakat yang benar-benar tega
untuk melakukan itu menutup tempat ini, karena mereka
bilang Tuhan hanya menciptakan laki-laki dan perempuan,
seolah-olah mereka menyempitkan kekuasan Tuhan, Tuhan
hanya menciptakan laki-laki dan perempuan.” Waria itu
tidak ada, kalau mau ibadah harus betul-betul menjadi laki-
laki ngga boleh ada seperti ini. Tetapi kami manusia punya
hak untuk beribadah, kami melawan pelanggaran HAM,
dan kami memang sempat tutup selama 4 bulan kemudian
kami membuat mencari penguatan ke RATU HAMAS,
LBH, KOMNAS HAM, kita benar-benar mencari
dukungan untuk meraih hak kita, hak untuk beribadah. Dari
kawan-kawan waria ini, akhirnya kita memberanikan diri
untuk berkegiatan lagi sesudah 4 bulan itu, karena kita
mendesak bulan puasa. Bulan puasa kita kebiasaan sholat
terawih bersama, buka bersama, saur bersama, selama
teraweh itu kita ikuti dengan apa yang kita lakukan dengan
ibadah sholat hajat, duha, tahajud. Tapi kita ngga setiap
hari, Kalo bulan puasa itu hari minggu dan hari rabu, kalo
hari biasa kita hari minggu saja.
16. Dukungan apa saja yang diberikan oleh masyarakat?
Jawaban: Sebetulnya kalau dukungan tidak sih, artinya;
kalau dukungan secara moril iya, kalau materil tidak ada.
Justru ini yang harus kita terima, artinya kita kan ngga bisa,
apa ya, ngga bisa berdiri sendiri tanpa dukungan yang moril
itu tadi. Salah satu contoh begini, ketika di Indonesia ya,
kita melakukan kegiatan, ketika tetangga ini, lalu lapor
polisi; “Oh ini mengganggu kami, ini” kita sudah bisa
dibuabarkan. Ya kan, otomatis. Jadi ini merupakan salah
satu bentuk hubungan; bagaimana masyarakat sekitar sini
ee apa ya, memberikan ruang untuk kami berkegiatan,
berorganisasi.
17. Adakah masyarakat yang tidak menyetujui Pesantren
ini?
18. Adakah saran baik dari masyarakat untuk Pesantren
ini?
Jawaban: Sebenarnya kalau dapat dikatakan lebih sempit,
bagaimana saya berhubungan dengan masyarakat, yang tadi
tu komunikasi ya. Tapi kemudian, saya menjadi seoalah-
olah menafsirkan teman-teman yang ada disini, yang
berkegiatan disini, ketika nanti kawan-kawan itu melakukan
hal yang buruk atau apa, pastikan mereka nanti
mempertanyaka kepada saya. Jadi saya yang diminta
pertanggung jawaban. Maka saya selalu mengatakan
kepada kawan-kawa itu; menjaga nama baik, menjaga nama
baik pondok pesantren, itu kan ada di janji ketika menjadi
santri, apa itu namanya?
19. Adakah kontribusi yang diberikan Pondok Pesantren
terhadap masyarakat sekitar?
Jawaban: Bahkan kalau itu tadi, jadi kita bagaimana kita
kemudian duduk di tengah masyarakat sini. Menjadikan
supaya kiya punya manfaat untuk masyarakat. Jadi itu,
sebagai penguatan keberadaan kita disini. Contohnya ya,
kita bikin dapur umum disini, kita berikan sembako sebulan
sekali selama covid ini, misalnya kaya gitu sebagai contoh-
contoh yangterjadi sampai sekarang masih kita lakukan,
terus kita bikin klinik gratis. Klinik untuk masyarakat
sekitar Disini, itu setahun dua kali, itu dan salah satunya
seperti itu, kemudian ee kami punya manfaat untuk orang-
orang di sekitar.
Owh ya, ya itu pas klinik gratis, itu kan ngga cuman orang-
orang sini aja, misalkan orang yang beda RW, ya lain
daerah juga mengakses kesini, ya kaya gitulah, kita punya
manfaat buat orang banyak
PEDOMAN WAWANCARA PEMBIMBING
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Arif Nuh Safri
Alamat : Sayegan, Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Paran Padang, 19 Agustus 1983
Hari/tanggal wawancara : Kamis, 10 Desember 2020
Tempat Wawancara : LSM Kebaya
Pertanyaan
1. Aktivitas apa saja yang dilakukan selain menjadi
Ustadz di Pondok Pesantren?
Jawaban: Dosen Hadis dan Pemikiran Hadis di Institut
Ilmu Al-Qur’an An-Nur, Yogyakarta, Pengajar Pondok
Pesantren Ibn Sina
2. Sejak kapan Anda menjadi Ustadz di Pesantren?
Jawaban: 2010
3. Alasan apa yang membuat Ustadz tergerak untuk
membantu Pesantren ini?
Jawaban: Kan kalau, apa ya namanya, ya biarin lah,
maksud saya: yang ceramah di masjid ya silahkan, yang
ceramah di tv-tv ya silahkan, gimana lumrahnya orang
ceramah di masjid ya seperti itu, Sebenernya ya lumrah
juga, ngga ada yang perlu di wah kan, ngga ada yang
perlu disitimewakan, kan emang masing-masing, kita yo
bergerak di bidang masing-masing; kamu ngga usah
pernah menyalahkan saya maka saya ngga akan
menyalahkan apa yang kamu lakukan, ya gitu aja si
sebenarnya: jadi kalau Tanya perasaan ya, saya ngga tahu,
karena lumrah-lumrah aja.
4. Bagaimana proses bimbingan dan Metode apa yang
Ustadz gunakan selama bimbingan?
Jawaban: Kalau dulu kan, mungkin yah, mungkin saya
mikir; teman-teman ini butuh motivasi dulu. Sehingga
saya tanpa buku, pada saat itukan, sehingga apa yang saya
bahas; bisa sambil ngobrol, nah tapi “kok kayakya temen-
temen butuh ini, nah bulughul marom kan memnag bicara
tentang fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak
tentang fiqih; mulai dari Thoharoh, cara wudhu, cara
bersuci, nah itu.
Sebenarnya kan ngga ada perubahan sebenarnya, cuma
memang dulu lebih ke saya. Artinya kan emang dulu kan,
yang ndampingi teman-teman kan saya kan, ee sehingga
persis apa yang dilakukan dulu, dari apa tu namanya;dari
ashar sampai magrib kan belajar ngaji, dulu waktu di
kotagede juga saya masih di kelas kuliah, dan waktu dulu
masih ada mas Pepeng dia lumayan aktif dia,
mendampingi dari Ashar sampai Magrib.
Saya sebenernya fokusnya dari magrib sampai Isa; nah itu
yang kajian-kajian itu. Dulu kita sempat, apa dulu kitab
bulughul marom, kemudian barusan, bukan barusan si,
udah agak lama juga sih, Bidayatul Hidayah kan, itu
yang saya mampu bimbing. Pandemi juga sama, cuman
sebelum pandemi ini ya, kemudian bu Masturiyah kan ee
membuat jaringan, kerja sama dengan fatayat, nah itu lo,
ee yang rutin, rutin dalam artian ada jadawalnya. Jadi
yang mereka isi ya terserah mereka. Bisa tentang
perempuan, bisa tentang apa aja seperti itu. Hampir mirip,
ngga ada perubahan sama sekali, cuman orangnya aja
yang berbeda
5. Materi apa yang digunakan untuk membimbing?
Jawaban: Bulughul Marom kan memang bicara tentang
fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak tentang fiqih;
mulai dari thoharoh, cara wudhu, cara bersuci, nah itu,
jadi kehidupan mereka.
Dalam arti gini, yang mereka butuhkan dalam kehidupan
mereka, karena: kehidupan mereka bicara tentang
thoharoh ya luar biasa, melihat bagaimana cara mandi,
cara wudhu, itu sebenarnya lebih ke itu.
Kalau alasan kenapa itu menggunakan bulughul marom
pada saat itu, dan itu dipilih-pilih ya, ngga semua kita
bahas.
Bidayatul Hidayah, dia bahas bicara trntang fiqih, tapi
kemudian dia bicara tentang spiritualitas kan seperti itu,
kenapa kita harus bersuci, eee ketika kita setelah wudhu,
kemudian mau bernagkat ke masjid, apa yang harus kita
lakukan. Jadi ada ritual-ritual yang sifatnya spiritualitas.
6. Biasanya mengacu pada kitab apa, untuk dijadikan
pegangan dalam membimbing?
Jawaban: Buluhul Marom dan Bidayatul Hidayah
7. Bagaimana tanggapan Ustadz tentang fiqih waria?
Jawaban: Ya, fiqih-kan luas sebenarnya, dan belum lagi
bicara soal fiqih. Fiqih itu kan artinya; makanya yang
dimaksud fiqih yang seperti apa? Fiqih secara hukum?
Hukum waria itu luas.
Hukum waria persis berlakunya dengan saya, saya dengan
mbak nisa juga bisa. Artinya kalau kriminal ya salah,
kalau bukan kriminal ya ngga salah kan seperti itu. Kedua,
harus ditulis dulu apa yang mau dibahas.
Yang mau dibahas tentang warianya ini apanya dulu? Oke
cara shalat ya tadi, sebelum yang itu, akan kita bahas
eksistensinya dulu. Benar ngga waria ada dalam Alquran,
dalam hadis misalnya, ya emang ga ada kan. Kalau kita
bicara, mana buktinya bahwa ada waria dalam Alqur’an,
ya ngga ada. Ngga ada emang. Sama aja, HP dalam Al-
Qur’an juga ngga ada. Seperti itu.
Tapi ada ngga, yang mengarah kesitu? Saya pikir ada,
disini salah satunya yang saya tulis. Ada beberapa teori-
teori yang saya tawarkan tentang teori queer, maka
kemudian saya bilang; bahwa salah satu yang paling
dijadikan ayat untuk melegitimasi eksistensinya teman-
teman waria An-nur ayat 31 itu kan.
Bahwa ada pengakuan dari Allah, ada legislasi secara
seks. Laki-laki memiliki penis dan perangkat-perangkat
lainnya, tapi mereka ngga punya hasrat rasa seksual
terhadap perempuan. Kalau kita baca di tafsir-tafsir, maka
mereka akan mengatakan “mukhannatsan” Maka saya
masukan ke kategori mukhannats, mukhannats itu adalah
stigma laki-laki, tapi ekspresinya perempuan. Sayangnya
ketika itu kemudian diterjemahkan, “ada Al-Qur’an
terjemah ngga disini? Ngga ada ya”. Yang ada disitu
adalah orang jompo. Ya orang tua, siapa yang bilang
bahwa orang tua ngga punya rasa seksual terhadap
perempuan?
Ya selama dia punya orientasi seks hetero, mau dia umur
60,70,80 tetap punya hasrat terhadap perempuan.
Buktinya apa? Banyak pedofil orang-orang tua, banyak
pemerkosa yang orang-orang tua. Jadi ngga bisa, kalau
kemudian kita artikan bahwa yang ee apa itu, laki-laki
yang tidak punya rasa seksual adalah orang jompo.
Nah, kalau kita mau jujur, maka bener; temen-temen trans
adalah masuk dalam kategori ini. E itu dalam tafsir, kita
temukan tafsir per tafsir, tapi saya ngga tahu, ketika bicara
lagi, orang merasa, ya ngga ada waria dalam Al-Qur’an.
Emang ngga ad adalam Al-Qur’an. Tapi, yang mengarah
kesitu, ada. Kemudian dalam hadist juga ada kan?
Dalam Hadis juga ada. Nah kalau kemudian ada
permasalahan dalam fiqih, Fiqih tadi itu ya mba, yang
hokum-hukum. Ya memang iya, belum tuntas. Dari dulu,
yang namanya fiqih ngga ada yang tuntas. Kalau yang
namanya fiqih tuntas, maka ngga ada fiqih-fiqih yang
sekarang ini. Semua permsalahan ngga mungkin kita rujuk
pada fiqih-fiqih yang sekarang. Kalau kita bicara 4
madzhab lho (Hanafi, Syafii, Maliki, dan Hambali). Jadi
ee, termasuk masalah mukhannast juga ngga dibahas.
Kemudian, yang dibahas adlah al-khuntsa, sayangnya
ketika kita bicara al-khuntsa maka seolah-olah kita bicara
al-mukhanntas kan berbeda.
Khuntsa kan bicara tentang seks. Jadi khuntsa itu adalah
punya kelamin dan dandan, tapi ada yang, Yang relative
menonjol itu Cuma satu, yang satunya ngga dipakai,
walaupun dia punya dua-duanya, itu namanya huntsa.
Atau khuntsa musyqil; Yang sama-sama tidak punya.
Ngga ada seks laki-lakinya, ngga ada seks perempuannya.
Nah itu yo gampang, medis selesai itu.
Ngga usah kita bicara tentang fiqih, medis selesai bicara
itu. Bahwa kalau dia memang punya yaudah. Mana yang
lebih. Iya, beda, jadi atau ngga punya, yaudah bikinkan
aja selesai. Maka itulah yang tuntas dari jaman dahulu.
Tapi, bicara tentang mukhanntas, kemudian muncul
beberapa penelitian mendapat kendala. Kenapa saya
bilang kendala untuk mendeteksi mereka. Maka ada
psikiater, psikolog, ada sosial. Jadi, sekarang ada istilah
SOGISC, kan itu. Maka di dalam buku saya bilang; salah
satu yang menguatkan saya, karena ngga da sains yang
mmbuktikan bahwa; transpuan, kemudia guy, lesbian itu
bukan penyakit.
Suatu saat kalau ada yang mengatakan itu penyakit, saya
akan rubah, dengan kata-kata saya itu, dengan
kesimpulannya itu. Tapi selama itu tidak berubah, maka
saya akan menulis dalam kesimpulan itu. Iya, kenapa saya
ngomong seperti itu, karena saya tidak punya kapasitas;
untuk mengatakan bahwa itu pura-pura. Yang punya
kapasitas mengatakan mereka pura-pura adalah psikolog,
psikiater, atau mau berbicara tentang gen, kromosom,
brati ya dokter, kank seperti itu.
Jadi, ustadz kalau mau ngomong seperti itu ya dzolim
namanya. Ngga punya kapasitas tentang itu. Itu mungkin
mba. Artinya masih sangat panjang. Shalatnya gimana
shalatnya? Ya yang penting menutup aurat, selesai gitu.
Laki-laki mau dia pake jubbah, pake mukena, ka yang
penting menutup aurat, iya selesai. Tanpa busana juga
boleh kok, kalo kita sendirian di tempat yang gelap.
Misalnya; mungkin ngga punya baju ya, semuanya tutup
semua, tanpa baju bisa shalat. Konsep aurat muncul itu,
karena ada orang yang lihat
8. Apakah perilaku santri diperhatikan?
Jawaban: Saya bukan hakim, saya bukan malaikat, jadi
tugas saya adalah mnenyampaikan apa yang saya ngga
benar, apa yang saya ngga baik, mereka terima
Alhamdulillah. Sepuluh orang yang saya ajari dan satu
orang yang menerima itu aja udah alhamdulilah.
Nabi Nuh itu berapa ratus tahun ya, kalau ngga salah 400
orang, dan setahun hanya dapat 1 oang yang bisa dia
rangkul. Jadi kalau kita bicara dakwah kemudian masih
berharap orang bisa berubah sesuai apa yang saya
dakwahkan, udahlah ngga usah jadi pendakawah, ngga
usah bicara tentang dakwah.
Jadi kembalikan yang itu. Saya perhatikan mereka, dan
saya juga ngga akan pernah memperhatikan perilaku
mereka. Bahwa mereka hadir ketika saya mengajar, jauh
lebih menyenangkan saya. Itu lebih dari cukup bagi saya.
Apakah ada yang tidak berkenan, saya ngga peduli.
Jadi ee apakah mereka setelah itu pergi, saya ngga peduli.
Karena bagi saya, kecuali anak saya yang masih kecil.
Kalau juga anak saya udah dewasa, ngga bakalan saya
paksakan juga. Prinsip saya adalah, bahwa apa yang
bernama agama itu adalah keselamatan. Selama kamu
beragama itu karena pemaksaan, ngga ada nikmatnya
Beragama itu.
9. Bagaimana perasaan Ustadz selama melakukan
bimbingan keagamaan?
Jawaban: Saya ngga ada, saya selalu bilang; apa yang
harus di wahkan, kan sebenarnya itu lumrah ya, saya pikir
apa yang dilakukan, yang saya lakukanlah, kalau saya
mengejar pribadi.
Ya lumrah aja sebenarnya, ngga ada yang istimewa, yak
an emang itu lah Agama, emang harus hadir disitu kan.
Ngga ada yang, Cuma orang aja yang kadang “Ko kuat?’,
loh karena saya tinggalnya di Jogja, apa yang harus saya
bebankan, kan seperti itu.
Kecuali saya dari Solo, dan saya mengajar, kan baru kan
seperti itu. Wong kita tinggal di Jogja kok. 10 tahun,
yabumrah lah menurut saya.
PEDOMAN WAWANCARA PEMBINA
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : KH. Abdul Muhaimin
Alamat : Ponpes Nurul Ummahat
Tempat, tanggal lahir : Kotagede, 13 Maret 1953
Hari/tanggal wawancara : Rabu, 09 Desember 2020
Tempat Wawancara : Ponpes Nurul Ummahat
Pertanyaan
1. Aktivitas apa saja yang dilakukan oleh Abah Kyai
sebelum memutuskan menjadi pembina Pesanten ini?
Jawaban: Masih sama pengasuh pondok pesantren Nurul
Ummahat
2. Boleh ceritakan alasan Abah Kyai mau membina
Pondok Pesantren ini?
Jawaban: Daerah sini dulu menjadi pusat pertempuran, di
sebelah pondok itu, di tembok. Menjadi keluarga yang
berbeda sendiri, aliran sunni, pastinya menjadikan saya
harus bersikap baik terhadap masyarakat.
Sejarah saya di masa lalu dan masa sekarang, sangat
banyak. He he he, Gus Dur sempat beberapakali datang
kesini. Orang syiah, orang atheis, orang katolik, Kristen,
cina, dll sering kesini.
Karena saya terbuka dan saya tidak memandang siapapun
dengan yang dia miliki. Namun, kalau dari sisi
kemanusiaan, mereka yang kita anggap berbeda, mereka
masih bani adam. Menurut kamu, mereka bani adam
bukan? Nah, itu. Jadi, saya melihat waria, sudah waria dan
mau shalat, itu kan sudah termasuk nilai positif. Lhoh,
jangan-jangan derajat nilai shalatnya, malah lebih tinggi
dari pada kita.
Mereka secara sosiologis sudah diremehkan, tapi mereka
masih mau mencari Tuhannya. Itu luar biasa lo.
Masyarakat sudah mengerti adanya ponpes itu, dan
masyarakat tidak merasakan risih juga. Ya, masyarakat
Cuma bilang; “kalau sudah sama kyai, saya percaya”.
Justru, yang membuat kerusuhan adalah orang luar, bukan
orang kotagede sendiri.
3. Apakah Pesanten tersebut berpengaruh pada diri
santri waria, mengubah menjadi lebih baik; dari sifat,
ibadah Adakah kitab–kitab khusus untuk melakukan
bimbingan keagamaan?
Jawaban: Jadi gini, teologi seseorang itu kita tidak tahu
ya, bagaimana mereka berinteraksi dengan Tuhan.
Contoh saja: ada perempuan yang salat pakai mukena
bagus, apakah salatnya akan lebih bagus nilainya di mata
Tuhan, kan belum tentu. Jangan-jangan yang pake
mukena ngga bagus, itu jauh lebih khusyu. Nah, untuk
kitab-kitab atau apa, kita tidak mengkhususkan, artinya:
dimana dia mau baca iqra, ngaji Al-Qur’an, dia mau
shalat.Itu sudah termasuk perubahan yang luar biasa.
Kemarin mereka ziarah, pada pakai gamis, ya ngga apa-
apa.
PEDOMAN WAWANCARA SIGNIFICANT
OTHER INUL
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Rini
Alamat : Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 27 Oktober 1969
Hari/tanggal wawancara : Sabtu, 26 Desember 2020
Tempat Wawancara : Lataran Ponpes Al-Fatah
Pertanyaan
1. Aktivitas Anda apa saja yang dilakukan Anda?
Jawaban: Ngamen mba
2. Sejak kapan Anda masuk ke Pondok pesantren?
Jawaban: Sejak 2007-an, pokoknya masih sama ibu
Maryani, terus almarhum. Jadi pindah kesini.
3. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk Pesantren
dan Pesan untuk Pondok Pesantren?
Jawaban: Ya supaya nanti maju lancar, rejekinya lancar,
harapan saya ya gitu, aku suka dadine hehehe
4. Apakah Anda mengenal mba Inul?
Jawaban: Iya, orangnya baik, “tur” ya orangnya sopan.
Ya, jadi temen-temen waria itu seneng sama mba Inul.
Kadang saya suka kan ngamen bareng, kadang-kadang
saya sendiri, dan mba inul itu orangnya baik. Suka apa,
eee nasihatin kita-kita; Rini, ini yang baik, nah yang ngga
baik jangan diikutin, yang bagus gitu, nah yang jelek
jangan diikutin.
5. Sejak kapan Anda dekat dengan mba Inul?
Jawaban: Terus deket sama Mba Inul tadi sejak tahun
2007. Ya, ketemu di jalan terus ketemu, “ada waria tu,
namanya siapa” kataku. Ternyata namanya Inul, karena
dia kan udah lama di Lempuyangan, ngamen di kereta-
kereta itu. Karena kan saya masih jualan Koran-koran
bekas 500-an, kopi-kopi gitu, di kereta kan banyak lah,
masih bebas dulu di stasiun itu. Masih ada asongan-
asongan jualan apa aja bisa masuk. Tiket kereta masih
8.000 atau 9.000.
6. Bagaimana mba Inul di kacamata Anda?
Jawaban: Owh sisi baiknya mba Inul. Kadang seneng
bercanda, sehingga membuat hatiku seneng, seneng
banget. Kalau saya, ya bantu, misalnya; aku sakit ya
dateng, Iya, peduli sama aku. Dari dulu tu, belum ada
temen yang dateng, sewaktu aku sakit. Itu belum pernah.
Ya cuman mba Inul aja yang dateng, pokoknya mba Inul
nomer satu. Waktu aku sakit ya mba Inul yang dateng.
7. Hal negatif apa yang terjadi pada mba Inul?
Jawaban: Kadang-kadang aku marah gitu sama Inul,
karena aku yang salah. Semua suka semua, saling ngerti
aja. Misalnya dia ngompor-ngommporin apa ya, “wis ben,
koe tak tinggal” heheh. He he he ya paling gitu aja.
8. Bagaimana cara mba Inul beribadah?
Jawaban: Mba inul orangnya biasa aja, ngga banyak
macam-macam. Ibadahnya bagus, fisiknya juga bagus, ya
paling dia cuma sakit batuk, pilek wis. Udah selesai
istirahat. Kadang-kadang pas saya habis ngamen, dan saya
capek. Saya ditanyain, ora “makan” ya saya jawab ngga
wis, capek sikile.
9. Bagaimana hubungan mba Inul dengan lingkungan
sekitar?
Jawaban: Semua temen ya baik, jadi ya saling
menghargai, menghormati, gitu aja. Jadi kan kita tahu
mana yang baik dan yang buruk. Sama temen kan ada
yang beda-beda gitu lo.
10. Perubahan apa yang Anda rasakan terhadap mba Inul
dari pertama bertemu sampai sekarang?
Jawaban: Kalau mba Inul, pesannya ya aku cuman gitu
aja; kita guyub rukun, sama-sama toleransinya ada, saling
mengerti.
PEDOMAN WAWANCARA SIGNIFICANT
OTHER RERE
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Nur Ayu
Alamat : Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 19 Desember 1969
Hari/tanggal wawancara : Sabtu, 26 Desember 2020
Tempat Wawancara : Lataran Ponpes Al-Fatah
Pertanyaan
1. Aktivitas apa saja yang dilakukan Anda?
Jawaban: Memasak
2. Sejak kapan Anda masuk ke Pondok pesantren?
Jawaban: Dari dulu 2006-an
3. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk Pesantren?
Jawaban: Senang, dulu belum pondok pesantren, masih
jadi sanggar tari
4. Apakah Anda mengenal mba Rere?
Jawaban: Iya tahun 2009, iya
5. Sejak kapan Anda dekat dengan mba Rere?
Jawaban: Ngga, kita ketemu waktu itu kita ada pelatihan
wirausahaan, dan waktu itu sama Rere. Disitu kita
dikumpulkan bersama beberapa waria yang tidak kita
kenal. Kebetulan belum ada pondok pesantren ini, dan
disini juga belum jadi pondok santri. sebenarnya ada
juga waria yang ngga kita kenal. Kebetulan ada
perkumpulan waria yang ikut. Dan itu juga beluk tentu
mondok santri. Disini untuk sanggar seni waria
6. Bagaimana mba Rere di kacamata Anda?
Jawaban: Iya, hehe dia itu ringan tangan, dia tu kalau
disuruh apa-apa pasti berangkat. Meskipun kadang ada
feenya ya hehehe. Dia kalau ngga dikasih pun ngga
masalah. Yang satu kebaikan Rere yaitu; ee ringan
tangan, terus dia orangnya tidak pelit. Iya, dia kalo
punya ya Iya ngasih aja.
7. Hal negatif apa yang terjadi pada mba Rere?
Jawaban: Sedikit jail, tapi baik juga
8. Bagaimana cara mba Rere beribadah?
Jawaban: Dia datang kesini (pondok pesantren) sendiri.
Iya, mungkin karena waktu itu ada pelatihan, dan dia itu
ke Bali, dan di Bali itu ada masalah, terus akhirnya dia
kesini. Dan mungkin menurut dia disini tempat paling
nyaman, dan aman, nah akhirnya dia kesini masuk ke
pondok pesantren. Ya, ya itu kalau untuk pas ada
pengajian disini, ikut belajar ngaji, yang aku tahu Rere
selama ini.
9. Bagaimana hubungan mba Rere dengan lingkungan
sekitar?
Jawaban: Rere, iya dia mulai dulu, yang awalnya ngga
pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan diri,
dia tidak mau bergaul dengan temen-temen disini. Nah,
sekarang kan sering kumpul-kumpul, ikut kegiatan yang
apa ya, berbasis kewariaan, yang awalnya dulu, dia itu
tidak berdandan kan Positifnya dia sudah berani
mengakui sebagai waria dengan takdir dia. Yang
awalnya dia ngga berani dandan, dan dia beran terbuka
dengan keluarganya, pada masyarakat, ee seorang waria
10. Perubahan apa yang Anda rasakan terhadap mba
Rere dari pertama bertemu sampai sekarang?
Jawaban: sama Rere, iya dia mulai dulu, yang awalnya
ngga pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan
diri, dia tidak mau bergaul dengan temen-temen disini.
Nah, sekarang kan sering kumpul-kumpul, ikut kegiatan
yang apa ya, berbasis kewariaan, yang awalnya dulu, dia
itu tidak berdandan kan
PEDOMAN WAWANCARA WARGA
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Munarto
Alamat : Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 13 November 1960
Hari/tanggal wawancara : Minggu, 27 Desember 2020
Tempat Wawancara : Rumah bapak Munarto
Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat bapak terhadap Pesantren?
Jawaban: Iya jadi kan gini, itu pondok pesantren waria,
juga bertempat di sini, dan kami itu mempertanyakan
apakah ada ijinnya dari pemerintah loh ya. Kan pondok
kan, setiap ada kegiatan ada apa, kan ada ijinnya
biasanya. Mendirikan pondok atau mendirikan apalah,
sebenernya ada ijinnya dari pemerintah no berapa, ini
kan disini ngga ada.
Owh ada Akta, Nah itu kan akta pendirian dari
pemerintah apa tidak, nah itu yang jadi pertanyaan gitu
loh. Kalau apa, mendirikan mungkin, kita mendirikan
banyak, apakan pondok itu ada. Karena selama ini kan,
ee saya sebagai RT diisnikan tidak ada ijinnya gitu loh,
yang jadi masalah gitu loh, apa karena pemerintah
membiarkan itu, ee , apa ya, karena itu masalah sensitive
lah. Kalau ini tapi saya ngga tahu ya, mungkin ini satu-
satunya. Selama ini ka ngga ada ijin, apakah itu resmi
atau tidak. Perkumpulan aja, dann selama ini kan tidak
ada ijinnya ke pemerintah. Perkumpulan udah,
berkembang sendiri
2. Apakah Bapak mendukung adanya Pesantren ini?
Jawaban: Eeee sebetulnya kalau ee apa, tidak setuju, ya
tidak setuju
3. Jika tidak, apa alasannya?
sJawaban: Eeee sebetulnya kalau ee apa, tidak setuju, ya
tidak setuju. Tetapi tidak kesetujuan ini, juga kami tidak
berani bilang; ‘oh tidak setuju ini’, bubarkan. Ya Ngga
bisa seperti itu
4. Bagaimana menurut Bapak kegiatan di Pesantren?
Jawaban: Nah pada waktu jamaah, itu katakanlah
warianya, letaknya di laki-laki atau perempuan. : Nah,
itu yang menjadi masalah. Seharusnya kan, ya sudah,
opo shalat kan cerminan, cerminan dari tindakan gitu
loh, ya kami mungkin kehidupannya ngga tau ya
5. Apakah Pesantren ini menganggu kenyamanan
masyarakat sekitar?
Jawaban:
6. Adakah kontribusi baik yang diberikan oleh
Pesantren untuk masyarakat sekitar?
Jawaban: Kalau setahu saya, ngga pernah ada ijin setiap
kegiatan itu ngga ada. Waktu apa bakti sosial ke orang
lain saya ngga tahu apa ke tukang becak dan orang yang
ngga mampu, tapi itu tidak ada ijin sama sekali gitu
7. Dukungan apa saja yang diberikan oleh masyakarat?
Jawaban:
8. Apakah Pondok Pesantren ini pernah mengadakan
kegiatan bersama warga?
Jawaban: Ada
9. Bagaimana komunikasi santri waria dengan
masyarakat?
Jawaban:
10. Apakah pernah mengalami konflik dengan
Pesantren?
Jaawaban: Ngga ada, Iya, asal tidak mengganggu lah,
sementara ini tidak ada konfliklah,
11. Bagaimana penyelesaiannya?
Jawaban:
12. Menurut Bapak seberapa penting Pondok Pesantren
ini?
Jawaban: Kalau saya kemarin cuman, ya kalau kelurahan
kan punya akses ke departemen sosial, nah maksud saya
itu pak lurah kan bisa memberikan apa, masukan, mbok
itu ditempatkan khusus gitu
13. Harapan untuk Pondok Pesantren ini?
Jawaban: Kalau berubah itu mungkin tidak terjadi ya,
tapi kalau masyarakat itu jadi, tempatnya jangan disitu
gitu. Nah, jadikan, mungkin kalau ini ya, apa, khusus
lansia-lansia, kemudian, nah seumpama gitu lo, kan
seumpama ada pengajian ya disitu, ada.. ya mungkin
kalau pemerintah memberikan dana untuk apa ya,
semcam; owh ini kursus kecantikan, maksud saya, nah
jangan di dalam kampung gini lo. Kalau itu emang ya,
kami seneng, kami kan doanya seperti itu kan, ngga ke
arah, apa yang seksual lah, karena nanti, nah tinggalnya
kan masih pada disitu ya, Kalau ngajinya saya ngga
masalah, wong itu ibadah kok masa dilarang.
PEDOMAN WAWANCARA WARGA
Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan
Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah
Yogyakarta)
Nama : Tumirah
Alamat : Yogyakarta
Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 27 Desember 1971
Hari/tanggal wawancara : Rabu, 06 Januari 2021
Tempat Wawancara : Warung Soto ibu Tumirah
Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat Ibu terhadap Pesantren?
Jawaban: Saya lihat ya biasa-biasa aja mba, ngga ada
yang aneh
2. Apakah Ibu mendukung adanya Pesantren ini?
Jawaban:
3. Jika tidak, apa alasannya?
Jawaban:
4. Bagaimana menurut Ibu kegiatan di Pesantren?
Jawaban:
5. Apakah Pesantren ini menganggu kenyamanan
masyarakat sekitar?
Jawaban: Baik, semuanya itu kalau sama lingkungan
sama apa ya baik
6. Adakah kontribusi baik yang diberikan oleh
Pesantren untuk masyarakat sekitar?
Jawaban: Iya, ngga apa-apa. Kita kan tetangga kan
saling berbagi, kalau ngga ada yang mengganggu ya
ngga. Kalau keluar masuk leat sini ya ngga apa-apa.
Karena kan kegiatannya juga bagus, ada yang mau buka
salon, tata rias pengantin, kreativitas lain, ini mau buka
lagi, sebelah sini. Terus ada yang bordrr, “kalau mau
bordirin ke saya aja.” Namanya siapa ya, cantik banget
kalo cewek noh. Ada yang ini, membuat kreativitas opo
keterampilan. Dan setiap orang itu punya keterampilan
masing-masing. Iya, misalnya dia bikin ini, nanti dijual
gitu, saya lihat kok. Iya, bagus kok mereka. Nek Ibu-ibu
tetangga ngga ada yang ni sih, karena dulu tahun 2016.
Nah namanya mba Inuk itu dulu suka ngerias penganten.
Ya yang ngerias namanya mba Tinuk. Wong ponakan
saya yang ngerias juga dulu dia. Dia tu apa, yo terserah
mau ngasih berapa, pokoknya dia ngga harus sekian,
niku. Mau ngasih uang rokok berapa terserah, padahal
yang di rias banyak. Saudara-saudara juga sampe di rias.
Kaya contoh yang lain pasang 1,5 jjta, dia mau dikasih
700 ribu, apik nggone rias, tapi dee yo kursus
7. Dukungan apa saja yang diberikan oleh masyarakat?
Jawaban: Dengan menerimanya baik mba
8. Apakah Pondok Pesantren ini pernah mengadakan
kegiatan bersama warga?
Jawaban: Pernah, pengajian, tapi yang dateng bukan
orang sini. Pokoknya ngga tau dari mana, tapi penuh. Li
saya juga pernah dateng. Ya waktu pengajian aja pada
bingung, kok banyak yang dating
9. Bagaimana komunikasi santri waria dengan
masyarakat?
Jawaban: Kalau sama lingkungan sini yo, kayaknya ngga
ada yang komplen
10. Menurut Ibu seberapa penting Pondok Pesantren
ini?
Jawaban: Bagus ya,
11. Apakah pernah mengalami konflik dengan
Pesantren?
12. Jawaban: Ndak
13. Bagaimana penyelesaiannya?
Jawaban:
14. Harapan untuk Pondok Pesantren ini?
Jawaban:
Lampiran Foto Dokumentasi
Kegiatan wawancara dengan bapak Munarto ketua RT setempat.
Selaku informan dari warga
Ka Nur Ayu (Significant other dari ka Rere)
Simulasi Memandikan jenazah, menyolati jenazah
Kenapa diadakan simulasi jenazah waria? Karena menurut Ibu
Shinta Ratri selaku pengasuh pondok pesantren waria; “jarang
ada yang mau menyucikan/memandikan jenazah waria kecuali
dari rumah sakit itu sendiri. Jadi, kami belajar untuk memandikan
jenazah waria.”
Kegiatan Wawancara bersama ka Rere selaku informan
Kegiatan Wawancara bersama ka Inul selaku
informan
Kegiatan Wawancara bersama KH. Abdul Muhaimin selaku
Pembina Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta
Kegiatan Wawancara bersama Ustadz Arif selaku Pembimbing
Agama Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta
Kegiatan Wawancara bersama ka Rini selaku significant other
dari ka Inul
Kegiatan Wawancara bersama ibu Tumirah selaku Warga yang
memperhatikan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Kegiatan Wawancara bersama ibu Shinta selaku Pengasuh
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
Kegiatan bimbingan agama “Santri belajar dari Iqra”
Kegiatan bimbingan agama “Santri belajar
Al-Qur’an”
Kegiatan pengajian; Tanya jawab bersama “Fatayat NU
(Nahdlatul Ulama)” tentang Sunah Rasul dan tema yang
ditanyakan langsung oleh santri.
Kegiatan Kajian; Tanya jawab bersama “Solidaritas Perempuan
Yogyakarta” tentang Kekerasan Seksual
Pembagian sembako bagi santri waria lansia
Rutinan “Yasinan” setelah shalat Magrib
Pentas wayang dengan tema “Bethari Jaluwati” (kehidupan
waria) dari Surakarta
Kegiatan pemeriksaan gratis / kontrol untuk santri waria yang
dilaksanakan sebulan sekali dari Puskesmas Kotagede.
Kegiatan konseling pribadi bersama Psikolog; bagi santri waria
yang merasakan stress, emosional, dll. Dilakukan secara gratis.
Kegiatan bimbingan konseling; religiusitas.
Menariknya di dalam konseling ini; salah satu santri waria
menyampaikan keresahan dari dalam diri dengan mental spiritual
pribadinya. Seperti yang disampaikan salah satu santri berikut.
Kegiatan konseling hukum dan dilakukan secara gratis dari
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.
Kegiatan membuat batik sendiri. Sehingga dapat menjadi
kreativitas baru untuk santri waria.
“Pojok Baca” Pondok Pesantren Waria Al-Fatah dan
memanfaatkan botol bekas yang digunakan sebagai “pot bunga”.
Satu hal dari dokumentasi ini adalah; semangat yang tak pudar
dari santri waria agar dapat membaca Al-Qur’an dengan baik,
sehingga bisa mendakatkan diri kepada Tuhan juga baik.
Semangat untuk belajar Iqra, Al-Qur’an, hafalan shalat,
mendengarkan kajian—dan dapat tanya jawab langsung dengan
pembimbing agama, sehingga pertanyaan-pertanyaan dalam
individu dapat terjawab dengan baik.
نوار, القلوب واألسرار مطا لع األTempat terbitnya cahaya ilahi adalah hati dan relung batin
(Sibawaih, Imam. Kitab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalan (Al-Hikam),
(Yogyakarta: Telaga Aksara, 2020) hal. 205)
CATATAN LAPANGAN
Puji syukur telah menyelesaikan penelitian di pondok
pesantren waria al-fatah sejak 2019. Tepatnya pada tanggal 09
februari 2019, peneliti melakukan pendekatan dengan pengasuh
pondok pesantren dengan menanyakan; diperbolehkan atau tidak
pondok pesantren waria al-fatah dijadikan penelitian skripsi.
Karena pada saat itu, peneliti mencari alamat pondok pesantren
waria lewat website, tidak ditemukan, sehingga peneliti mencari
bantuan lewat teman-teman mahasiswa UGM dan UIN Sunan
Kalijaga untuk silaturahim ke pondok pesantren waria al-fatah.
Setelah mendapatkan izin dari pihak pondok pesantren waria al-
fatah. Saat itu peneliti bertemu dengan Ibu Shinta Ratri selaku
pengasuh PP Waria Al-fatah, dengan sikap terbukanya beliau,
sehingga peneliti rileks untuk melakukan tanya jawab.
Selanjutnya Peneliti datang kembali dan mengikuti langsung
kegiatan santri waria pada tanggal 16-20 Mei 2019 tepat di bulan
Ramadhan. Pertama kali peneliti terjun langsung berbaur dengan
kawan-kawan, sehingga pendekatan ini menjadi jembatan awal
bagi peneliti untuk memulai penelitian. Selama bulan Ramadhan,
kegiatan pondok pesantren waria al-fatah berlangsung; mulai dari
bimbingan keagamaan, konseling agama maupun psikologis,
kegiatan sosial yang diadakan oleh LSM, Universitas
Gunadharma, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata
Dharma dan pemeriksaan gratis dari Puskesmas Kotagede.
Peneliti bertemu langsung dengan 42 santri waria yang turut
melaksanakan kegiatan di pondok pesantren waria.
CATATAN LAPANGAN
Ada sedikit perasaan khawatir tidak diterima oleh kawan-
kawan santri waria. Namun, pengasuh pondok yang baik
memperkenalkan satu-persatu tamu yang ada di pondok, sehingga
peneliti mendapatkan kesiapan mental yang baik dengan
menerima diri.
Berjalan dengan baik pendekatan yang dilakukan oleh
peneliti juga dapat berkomunikasi langsung dengan santri waria,
Pendekatan yang dilakukan cukup panjang dan membutuhkan
penerimaan diri sebagai peneliti, yakni mental yang cukup baik,
dengan cara menjaga etika, sopan dan santun, serta
berkomunikasi untuk menyesuaikan keadaan santri waria. ustadz,
ustadzah dan pengasuh. Dalam beberapa hari selama mengikuti
kegiatan pondok pesantren, peneliti melakukan mini riset dengan
mewawancarai beberapa santri; mba Nur, mba Ririn dari
Kalimanta (karena waktu itu sedang melakukan studi banding
antar komunitas waria), mba Jamilah, Bunda Rully, Mami YS,
Ustadz Arif, Ustadz Ardi, dan 2 Warga setempat.
Dalam pelaksanaan kegiatan, terdapat simulasi jenazah
waria. Dengan alasan; tidak ada warga yang mau memandikan
jenazah waria kecuali dari pihak rumah sakit. Peneliti juga turut
bergabung dalam membantu beberapa kegiatan. Menurut peneliti,
pondok pesantren ini tergolong sangat aktif dengan berbagai
kegiatan, sehingga dapat mendobrak santri waria untuk bekerja
lebih baik di bidang yang sudah dipelajari bersama, serta
mengikis santri waria dari virus HIV.
Karena di dalam kegiatan juga terdapat pemeriksaan HIV dari
Puskesmas Kotagede.
Peneliti melanjutkan penelitiannya setelah seminar proposal,
selang sebulan bertepatan dengan pandemi covid-19, sehingga
tempat penelitian di tutup sementara setelah 2 minggu. Setelah itu
dalam tengang waktu yang cukup lama dikarenakan pandemik
covid-19 pondok pesantren waria al-fatah di tutup.
Selama masa pandemi covid-19, peneliti melakukan
komunikasi lewat whatshapp dengan Shinta Ratri selaku
pengasuh pondok pesantren waria al-fatah. Pada bulan
November awal, pondok pesantren sudah memperbolehkan tamu
datang dengan pemberlakuan protokol covid-19 yang sudah
ditentukan oleh pemerintah.
Pada tanggal 29 November peneliti terjun langsung dalam
membantu bimbingan keagamaan mengajar Iqra. Selama
penelitian berlangsung dari tanggal 29 November sampai 7
Januari, peneliti terhambat oleh transportasi. Karena transportasi
di Yogyakarta hanya Ojek online untuk menuju tempat penelitian
dan juga cuaca hujan, sehingga peneliti berusaha keras dalam
mencari solusi. Pendekatan terhadap informan santri waria cukup
baik, berbeda dengan pendekatan warga sekitar yang tidak mau
untuk diwawancarai. Setelah 3 minggu, peneliti bertemu warga
yang mau dijadikan informan. Sejauh penelitian berlangsung,
peneliti menjalankan dengan penuh semangat, karena ini
merupakan penelitian yang menarik.