penerimaan diri kelompok transgender

321
PENERIMAAN DIRI KELOMPOK TRANSGENDER MELALUI BIMBINGAN KEAGAMAAN (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: KHOERUN NISA NIM. 11150520000011 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

Transcript of penerimaan diri kelompok transgender

PENERIMAAN DIRI KELOMPOK TRANSGENDER

MELALUI BIMBINGAN KEAGAMAAN

(Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa

Yogyakarta)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

KHOERUN NISA

NIM. 11150520000011

PROGRAM STUDI

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

i

ABSTRAK

Khoerun Nisa, NIM: 111505200000011, Penerimaan Diri

Kelompok Transgender Melalui Bimbingan Keagamaan

Studi Kasus Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Daerah

Istimewa Yogyakarta, di bawah bimbingan Suparto, M.Ed,

P.hd, 2021 Pondok pesantren waria Al-Fatah berfungsi sebagai penghubung layanan

jejaring dan advokasi untuk komunitas waria dan institusi lainnya, juga

menjadi salah satu pusat sosial dan pendidikan utama untuk komunitas waria

di Yogyakarta. Dalam konteks penerimaan diri yang dialami oleh santri waria

di pondok pesantren waria al-fatah adalah dengan menerima keadaan dirinya

dan bimbingan keagamaan yang didapatkan dapat menggerakan bathiniyah

dan lahiriyah untuk menjadi insan yang baik, dimana individu tersebut

merupakan makhluk yang beragama dan makhluk sosial pada umumnya.

Tujuan dari penelitian ini yakni, mengetahui proses penerimaan diri pada

kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan dan metode yang

digunakan dalam bimbingan keagamaan. Penelitian ini menggunakan

metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Sumber

data penelitian ini adalah sumber data primer yang terdiri dari; Pembina,

pengasuh, pembimbing agama, santri waria, dan warga. Sumber sekundernya

yaitu berupa buku-buku, jurnal, serta tindakan objek penelitian yang diamati.

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dalam bentuk observasi,

wawancara mendalam, dan dokumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisa data, bahwa bimbingan

keagamaan merupakan faktor penting dalam proses penerimaan diri santri

waria. Dengan menggunakan spiritual method and group guidance serta

metode direktif, yang dikemas melalui kitab bulughul marom dan bidayatul

hidayah oleh pembimbing agama di Pondok Pesantren Waria Al-fatah Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Kata Kunci: Bimbingan Keagamaan, Penerimaan Diri,

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulilaahirabbil’alamin, berkat rahmat dan anugerah-Nya

penulis diberikan kekuatan dan kesehatan sehingga dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Penerimaan

Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan Keagamaan

(Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah Daerah Istimewa

Yogyakarta)” dengan lancar. Shalawat teriring salam semoga

tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta

pengikutinya di akhir zaman.

Dalam proses penyelesaian skripsi, penulis mengucapkan

banyak syukur, karena masih diberikan kesempatan untuk

menyelesaikannya, dan penulis menyadari masih banyak

kekurangan dalam penelitian karya ilmiah ini. Dengan sangat

terbuka, mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun

dan bermanfaat, sehingga penulis dapat mengembangkan ilmunya

dan memperbaiki kesalahan yang ada di kemudian hari.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian penelitian ini tidak

semata-mata hasil kerja sendiri, melainkan berkat bimbingan dan

dorongan dari pihak-pihak yang telah membantu dalam proses

menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan kali ini

dengan segala kerendahan hati dan cinta, peneliti mengucapkan

terima kasih kepada Alm. Ayanhanda Ahmad Fauzan dan Ibu

Magfiroh yang telah menghantarkan peneliti untuk menempuh

pendidikan sampai pada titik ini. Oleh karenanya, izinkan peneliti

mengucapkan banyak terima kasih kepada;

iii

1. Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi sekaligus pembimbing skripsi dan

juga Dosen Penasehat Akademik selama penulis

menempuh studi di Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan

Islam kelas A angkatan 2015, Dr. Siti Napsiyah, S.Ag,

BSW, MSW selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr.

Sihabuddin N, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang

Administrasi Umum, Drs. Cecep Castrawijaya, M.A

selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni,

dan Kerjasama Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi.

2. Ir. Noor Bekti Negoro, SE. M.Si selaku Ketua Program

Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam dan Artriani

Puspita Arwan, M.Psi selaku Sekertaris Jurusan

Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

3. Seluruh Dosen dan Staff di lingkungan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tengah mendidik dan

memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama

menempuh pendidikan di UIN Syaarif Hidayatullah

Jakarta.

4. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tengah memberikan

fasilitas untuk mendapatkan referensi dalam menyusun

skripsi ini.

5. Civitas Akademika dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang tengah menerima saya sebagai mahasiswa

iv

dan memberikan banyak pengalaman akademik, non

akademik sehingga saya menjadi insan yang baik.

6. Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan wadah untuk peneliti dalam menambah

wawasan dalam berbagai ilmu serta menyuguhkan buku-

buku yang menarik.

7. Keluarga besar penulis di Pemalang, Jakarta, yang selalu

memberikan dukungan moril maupun materil sehingga

peneliti mampu melewati semua kesulitan selama

penyusunan skripsi.

8. Kepada Guru-guru penulis yang telah memberikan nasihat

dan referensi dalam penyelesaian penelitian.

9. Beasiswa Bidikmisi yang tengah menjadi sponsor utama

dalam biaya pendidikan penulis.

10. Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fatah Daerah

Istimewa Yogyakarta, yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk melaksanakan penelitian, menerima penulis

dengan sangat baik, dan membantu penulis dalam

memberikan informasi serta menyediakan waktu untuk

penulis.

11. Seluruh keluarga besar BPI 2015, 2014, 2013 maupun

senior (tidak disebutkan namanya satu-persatu) namun

tidak mengurangi rasa hormat dan kasih saya kepada

sahabat semuanya, tentunya memberikan support motivasi

kepada penulis.

12. Reading Volunteer Indonesia tengah mengajarkan banyak

hal dari literasi sampai sustainability dari tahun 2013

v

sampai seterusnya dan bersama dalam menggagas Desa

Literasi.

13. Keluarga besar PMII Komisariat Fakultas Dakwah dan

Ilmu Komunikasi dan Cabang Ciputat serta KOPRI

sahabat-sahabati dari berbagai komisariat telah

memberikan penulis segi pengalaman organisasi, saling

menghargai.

14. Keluarga besar Ikatan Remaja Masjid Fathullah, kanda,

yunda, teman-teman, dan adik-adik saya yang saya

sayangi.

15. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang

Jakarta yang saya sayangi dan saya banggakan.

Semoga semua bantuan dan perhatian kepada peneliti dapat

mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT. Dan apa yang

menjadi hajat baik mendapat ridho dan keberkahan dari Allah

SWT. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini membutuhkan

kredibilitas melalui kritikan dan saran yang membangun dari

berbagai pihak. Sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca dan semua pihak khususnya dalam bidang

Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

Jakarta, 11 Maret 2021

Khoerun Nisa

NIM: 11150520000011

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................... vi

DAFTAR TABEL ..................................................................... iix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 18

C. Tujuan Penelitian ............................................................... 19

D. Manfaat penelitian ............................................................. 20

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................ 21

F. Metodologi Penelitian ........................................................ 32

G. Kerangka Berpikir ............................................................. 50

H. Sistematika Penulisan ........................................................ 52

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri ................................................................. 53

1. Definisi Penerimaan Diri .......................................... 53

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri57

3. Aspek-aspek Penerimaan Diri .................................. 59

4. Ciri-ciri Penerimaan Diri .......................................... 60

5. Tahapan Penerimaan Diri ......................................... 63

6. Dampak Penerimaan Diri ......................................... 64

B. Transgender ...................................................................... 65

C. Bimbingan Keagamaan .................................................... 79

vii

1. Pengertian Bimbingan .............................................. 80

2. Landasan Bimbingan Keagamaan ............................ 84

3. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Keagamaan ............. 85

4. Metode Bimbingan Keagamaan ............................... 90

5. Prinsip Bimbingan Keagamaan ................................ 98

6. Dimensi Religiusitas/Keagamaan Dalam Bimbingan

Keagamaan ............................................................... 99

D. Religiusitas/ Keagamaan Kelompok Transgender di

Pondok Pesantren al-fatah DIY ............................................. 102

BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-

FATAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

A. Profil dan Sejarah Pondok Pesantren Al-Fatah DIY ...... 111

B. Visi, Misi, dan Tujuan .................................................... 118

C. Struktur Organisasi ........................................................ 119

D. Program Kerja Pondok Pesantren Al-Fattah DIY .......... 123

E. Jadwal Rutin Mingguan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Yogyakarta ............................................................................ 125

F. Jadwal Kegiatan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Yogyakarta ............................................................................ 126

G. Fasilitas Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta127

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Data Informan ................................................................ 129

B. Hasil Temuan Lapangan ................................................ 155

BAB V PEMBAHASAN

A. Metode Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren

Waria Al-Fatah Daerah Istimewa Yogyakarta .......... 187

viii

B. Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui

Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren Al-Fatah

Daerah Istimewa Yogyakarta .................................... 194

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan .................................................................... 198

B. Implikasi .................................................................... 199

C. Saran .......................................................................... 200

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Populasi Transgender di Indonesia

Tabel 1.2 : Komunitas / Pesantren Waria

Tabel 1.3 : Kegiatan Observasi

Tabel 2.1 : Materi Kajian Pembinaan

Tabel 2.2 : Kegiatan yang dilaksanakan di Pondok Pesantren

Waria Al-Fatah Yogyakarta

Tabel 3.1 : Perbedaan Pesantren Waria dan Pesantren Umum

Tabel 3.2 : Struktur Organisasi

Tabel 3.3 : Program Kerja Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Yogyakarta

Tabel 3.4 : Materi Bimbingan Keagamaan

Tabel 3.5 : Jadwal Rutin Kegiatan Mingguan Pondok Pesantren

Waria Al-Fatah Yogyakarta

Tabel 3.6 : Kegiatan Hari Minggu Sore Pondok Pesantren

Waria Al-Fatah Yogyakarta

Tabel 3.7 : Fasilitas Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Yogyakarta

Tabel 4.1 : Data Informan Penelitian

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk yang; unik, menarik, dan

sangat penting dipelajari, sehingga dapat menemukan

perbedaan manusia itu sendiri.1 Melalui keturunan-keturunan

yang membuat manusia berkembang, membangun peradaban,

dan komunitas berdasarkan demografi, kepercayaan, ideologi,

dan lain sebagainya. Penciptaan manusia oleh Allah SWT

yaitu diberikannya dua jenis kelamin atau seks perempuan

dan laki-laki yang difitrahkan sejak manusia dilahirkan.2

Kata seks berasal dari bahasa Yunani, secare, yang artinya

“memisahkan”. Secara harfiah, seks diartikan sebagai

perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, sedangkan

kata seksualitas merupakan komponen yang meliputi seks itu

sendiri, meliputi segala hal yang ada di diri manusia; dari hal

yang paling sederhana seperti cara berpakaian, berperilaku,

dan lain-lain. Hal ini terbentuk dari kecil hingga dewasa dalam

diri manusia.3

1 Mukti, Ali (ED), “Agama-agama di Dunia”. (Yogyakarta: IAIN

Sunan Kalijaga Press, 1988) hal. 56 2 Mukti, Ali (ED), “Agama-agama di Dunia”. (Yogyakarta: IAIN

Sunan Kalijaga Press, 1988) hal. 56 3 FX. Rudy Gunawan, Filsafat Sex (Yogyakarta: Bentang, 1993), hal.

9

2

Dalam buku Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan

Implementasi, Musdah Mulia membagi empat klasifikasi

golongan manusia secara seks dan gender melalui ilmu fiqih,

yakni; perempuan, laki-laki, khuntsa (waria, atau seseorang

yang memiliki alat kelamin ganda disebut khuntsa musykil)-

dan munkhannis (laki-laki secara biologis, namun

mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menginginkan

pergantian kelamin) atau mukhannats (secara biologis laki-laki

tetapi tidak ingin mengubah jenis kelaminnya).4 Di dunia

modern, jenis kelamin ini diidentifikasi sebagai seks. Manusia

kemudian mengelompokkan diri, seks perempuan atau laki-

laki.

Teori psikoanalisis Sigmund Freud;5 yang dijelaskan

Alwisol dalam buku Psikologi Kepribadian, menjelaskan

struktur kesadaran terpenting dari jiwa manusia dalam

penelitian freud yaitu, unconsciousness. Freud membuktikan,

bahwa ketidaksadaran bukanlah sebuah abstraksi hipotetik,

melainkan sebuah kenyataan empirik. Pada kenyataan empirik,

ketidaksadaran memiliki tiga komponen utama; insting,

impuls, drives yang terbawa sejak lahir, dan pengalaman-

4 Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan

Implementasi. (Yogyakarta: Naufan pustaka, 2010) hal.292 5 Alwisol. Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009) hal.

13

3

pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang

ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah tak-sadar.6

Kaitannya dengan seks, Sigmund Freud membedah dua

jenis insting yaitu; insting mati (death instinct) dan insting

hidup (life instinct). Penting untuk diketahui bahwa life

instinct yang disebut juga Eros adalah dorongan menjamin

survival dan reproduksi, seperti; lapar, haus, dan seks.7

Penjelasan lebih dalam pada teori ini yaitu Freud

mengasumsikan bahwa setiap orang lahir dalam keadaan

biseksual (setiap orang memiliki hormon seks pria-wanita)

mempunyai rasa tertarik pada jenis kelamin yang sama dan

yang berlainan. Sigmund Freud menjelaskan bahwa adanya

perubahan pada masa dewasa akan terlihat penyebabnya pada

masa kecil dengan melihat pengalaman atau kebiasan yang

biasa dilakukan atau sebuah traumatik.

Melengkapi pengertian adanya perubahan perasaan pada

jenis kelamin yang berbeda, buku Menguak Stigma dan

Diskriminasi mengartikan seksualitas yaitu; semua hal yang

terkait dengan seks atau jenis kelamin manusia sehingga dapat

diartikan bahwa seksualitas merupakan isu yang tidak berdiri

sendiri dan tidak lepas dari pengaruh sejarah, sosial, budaya,

hukum, agama, etika, ekonomi, dan politik.8

6 Alwisol. Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009) hal. 14

7 Alwisol. Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009) hal. 19

8 Laazulva, Indana. Menguak Stigma dan Diskriminasi (Jakarta: Arus

pelangi, 2013), hal. 17

4

Musdah Mulia juga menganalisa arti dari seksualitas

adalah hal yang positif dan berhubungan dengan jati diri

seseorang serta kejujuran seseorang terhadap dirinya.9

Arif Nuh Safri memaparkan dalam bukunya Keragaman

Gender dan Seksualitas, dalam memandang dan menyikapi

keragaman gender dan seksualitas atau LGBTI, harus

mengutamakan idealitas Tuhan—Yang Maha Cinta dan Kasih.

Dalam Al-Qur’an pun tidak disebutkan tentang hal ihwal

keragaman gender dan seksualitas.10

Sampai pada perilaku pun jenis kelamin diselaraskan

dengan konstruksi sosial yang dibangun di lingkungannya

tentang bagaimana seorang laki-laki dan perempuan

seharusnya bersikap, berpenampilan, berperilaku, dan

sebagaimana Foucault mengatakan bahwa seksualitas adalah

konstruksi sosial.11

Menurut pandangan Butler, dalam bab

kerangka heterosexual matrix, jenis kelamin kita sudah

ditentukan secara biologis. Buku Judith, P. Butler yang

berjudul Gender Trouble (Feminism and the Subversion of

Identity, menjelaskan secara substansial tentang gender laki-

laki, perempuan, dan interseks.

9 Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan

Implementasi. (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hal. 285 10

Safri, Nuh, A. Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas

(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam). (Yogyakarta: Lintang Books, 2020) hal. 22 11

Laazulya, Indana. Menguak Stigma Kekerasan dan Diskriminasi.(

Jakarta : Arus A. Pelangi, 2013) hal. 17

5

Bab akhir dalam buku Butler tertulis yaitu dengan

menyuguhkan referensi tentang heteroseksualitas, yaitu yang

terjadi pada salah satu filsuf adalah Michel Foucault tentang

kisah hidup Herculine Barbin saat itu pada tahun 1838-1868.

Barbin adalah seorang interseks yang diperlakukan sebagai

seorang perempuan setelah kelahirannya dan orang tuanya

memberi nama Alexina.

Butler berpandangan bahwa tidak adanya kondisi alamiah

bagi manusia selain penampakan tubuhnya. Seks, gender

maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Hal ini

dapat dicontohkan melalui fenomena transeksual, seorang

yang mengubah kondisi alamiahnya. Maka ditinjau dari

pemikiran Judith Butler; transgender bukanlah suatu

penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas

manusia yang didasarkan pada tindakan performatif.12

Di samping penelitian dari Butler, pada tahun 2014

National Health Interview Survey Amerika Serikat melakukan

survei kepada LGBT sebanyak 69.000 partisipan, diantaranya;

67.150 heteroseksual, sebanyak 69.000 partisipan,

diantaranya; 67.150 heteroseksual, 522 lesbi, 624 gay, dan 515

biseksual. Rata-arat usia partisipan yaitu pada umur 47 tahun.

Hasil survei menjelaskan bahwa; terdapat 91% yang

melakukan lesbiyan memeiliki resiko kesehatan yang buruk

12

Judith, P. Butler, Gender Trouble (Feminism and The Subversion

Of Identity. (New York, United States of America: Routed, 1990), hal 96

6

bagi perempuan heteroseksual, dan pada pria gay serta

biseksual memiliki peningkatan resiko pengidap stress dan

masalah kejiwaan lebih tinggi 26% dan 40%, dan pria

heteroseksual 17%.13

Lalu bagaimana kaum transgender mengidentifikasi

dirinya di negara multikultural seperti Indonesia. Indonesia

merupakan Negara religius dengan keragaman agama dan

budaya yang didalamnya terdapat orientasi seksual.

Transgender adalah istilah yang ditujukan kepada

identitas gender seseorang yang tidak mengubah jenis

kelaminnya yang diperoleh sejak lahir. Istilah transgender di

Indonesia dikenal dengan istilah waria. Pada daerah tertentu

dapat ditemukan istilah; wandu, wadam, bencong, dan

calabai.14

Beberapa daerah di Indonesia sudah mengenal

homoseksual dengan berbagai nama, dan keberadaan

transgender atau biasa disebut dengan waria di Indonesia

bukanlah hal yang baru—sebab waria atau homoseksual

sudah banyak ditemukan dalam tradisi lokal di masyarakat.

13

Nafisah, Mumluatun. Respon Al-qur’an Terhadap Legalitas Kaum

LGBT. Jurnal Studi Al-Qur’an, vol.15, No. 1, Tahun 2019.

DOI:doi.org/10.21009/JSQ.015.1.04 hal. 87. Dikutip pada hari Selasa, 26

April 2021, pukul 01.20 WIB 14

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi

Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.6

7

Hal tersebut ditandai dengan kegiatan seni, ritual

kebatinan, perdukunan dalam masyarakat.15

Contoh di Jawa

pelembagaan homoseksualitas dikenal juga pada hubungan

warok-gemblak terutama di Ponorogo. Sang warok (laki-laki

dewasa) memelihara gemblak-nya (laki-laki remaja)

berdasarkan kontrak dengan orang tua gemblak (berupa

pemberian sapi, misalnya). Ia melakukannya hal itu demi

ilmu kesaktian (kanuragan) yang mewajibkan menjauhi

wanita.16

Berbagai pandangan di masyarakat mengenai waria atau

transgender ini masih bergantung pada; agama, latar belakang

budaya, kelompok sosial, media, keluarga, pergaulan sebaya,

gender dan interaksi dengan individu waria atau transgender.

Penolakan dan penerimaan masyarakat masih bergantung

pada faktor-faktor di atas.17

Pada fenomena sosial ini, agama-agama akan diminta

menjawab dengan pertanyaan bagaimana hukumnya

keragaman gender dan seksualitas atau lainnya. Dalam agama

Islam akan dibenturkan dengan kitab suci Al-Qur’an, begitu

pun agama Kristen yang sudah dijelaskan dalam Al-Kitabiah;

15

Oetomo, Dede. Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional

Indonesia. (Indonesia: USAID dan UNDP, 2013), hal 18. 16

Oetomo, D. Memberi Suara Pada yang Bisu (Yogyakarta: Pustaka

Marwa, 2003), hal. 17-18 17

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi

Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.2

8

yang dikhutbahkan oleh Pendeta Emmanuel Gerrit Singgih,

bahwa penolakan atas keragaman gender dan seksualitas atau

LGBTI.18

Sama halnya dijelaskan dalam Agama Islam yang

melarang tegas perilaku menyimpang ini, karena tidak sesuai

dengan fitrah manusia, dalam penelitian Dampak LGBT dan

Antisipasinya mengambil QS. Asy-Syura ayat 165-166

sebagai penjelasan dan Allah SWT berfirman:

خلق لكم ربكم وتذرون ما ال أتتون الذكران من العالمي من أزواجكم بل أن تم ق وم عادون

Dalam perspektif Islam lain, yang dijelaskan dalam buku

Keragaman Gender dan Seksualitas (Sebuah Tafsir

Kontekstual islam), Tafsir al-Jailani dalam QS. Al-Baqarah

ayat 111;

وا ل ا ق و و أ ا ود ه ن ا ن ك م ال إ لنة ا ل خ د ي ن لم ت ن ن ك إ م ك ن ا ره ب وا ت ا ه ل ق م ه ي ن ا م أ ك ل ت رى ا ص ن

ي ق د ا .صDan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali

tidak akan masuk surge kecuali orang-orang (yang

beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikia itu hanya

angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah,

18

Safri, Nuh, A. Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas

(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam). (Yogyakarta: Lintang Books, 2020) hal. 6-

7

9

“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah

orang yang benar.”19

Jauh dari pandangan negatif dari sebagian masyarakat di

Nusa Tenggara Timur, yang memiliki Bunda Mayora menjadi

Badan Perwakilan Daerah di Kabupaten Sikka, Yokabus,

Maumere. Di Pondok Pesantren Al-Fatah juga memiliki mbak

Arum sebagai pemiliki shibori, mbak Jessika sebagai peneliti

di Solidaritas Perempuan, dan lain sebagainya yang tertuang

dalam buku “Santri Waria”.

Selanjutnya untuk populasi transgender di Indonesia

belum diketahui secara jelas. Berbeda jika dilihat dari

populasi grafik penduduk yang terkena HIV/AIDS yang

biasanya ditujukan pada transgender. Namun pada

kenyataannya, tidak semua transgender terkena virus

HIV/AIDS. Dalam buku laporan kajian LGBT yang disusun

oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak, pada tahun 2015, menemukan data transgender yang

ada di Indonesia.

Ini menunjukkan bahwa Negara menjamin keadilan sosial

bagi semua rakyat dan melaksana-kan hak asasi kepada

semua rakyat tanpa terkecuali (inklusif). Selain itu, pengakuan

hak asasi manusia juga telah disahkan dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang

19

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-

Baqaray ayat 111, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal. 17

10

Hak Asasi Manusia.20

Dalam hal ini penerimaan sikap sosial

dan religiusitas berpengaruh dalam meningkatkan

kesejahteraan seseorang.21

Tabel 1.1 Populasi Transgender di Indonesia

Tahun Keterangan

Antara

2002-2009

Pada tahun ini, peningkatan transgender secara

bermakna.22

2005-2008 400.000 – 6.000.000 jiwa23

2009-2012 Tidak ada peningkatan bermakna. Populasi ini

tidak mengacu pada jumlah tetap, namun dari

data waria rawan terdampak HIV, jumlah waria

diperkirakan mencapai 597.000 orang,

sedangkan lelaki yang seks dengan lelaki

temasuk biseksual, mencapai lebih dari

1.000.000 orang—data Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia, 2014. Pada tahun yang

20

Papilaya, J. O, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dan

Keadilan Sosial. Journal: volume III, No, 1, 2016 hal. 028. Dikutip pada hari

Rabu, 02 Oktober 2019 pukul 14:27 wib. 21

Fokta, R. H. Contribution of religious coping and social support to

the subjective well-being of Israeli Muslim parents of children with cancer: a

preliminary study. Journal of Health and Social Work 40, 2015, hal. 83-91

dalam skripsi Subjective Well-being Pada Waria Al-Fattah oleh Priskilla

Novariza Mboeik. Dikutip pada hari sabtu, 7 September 2019, pukul 15.00

WIB 22

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi

Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.2 23

Mboeik. Novariza. P. Subjective Well Being Pada Waria Di

Pesantren Al-Fattah. (Skripsi: Universitas Kristen Satya Wacana, 2017) hal. 1

Dikutip pada 14-02-2021 pukul 08.53 WIB

11

sama, jumlah yang menggunakan prevalensi

dari populasinya mencapai 3 juta.

2019 Hasil yang dilansir oleh Indonesian Times,

pada pemilihan umum Presiden dan Wakil

Presiden mencapai 5.000.000 orang.24

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan

dan Anak Republik Indonesia

Membicarakan religiusitas tentu lebih dalam

dan mendasar dari pada membicarakan religion atau

agama. Membicarakan religiusitas adalah

membincang tentang nilai-nilai spiritualitas yang

sifatnya universal, hakikatnya mempelajari nilai-nilai

yang ada dalam semua agama. Sehingga untuk

menjadi manusia religius harus memiliki kesadaran

atas keragaman keyakinan, serta keragaman lain

yang ada di muka bumi ini—yang berujung pada

peninggian dan pengangkatan nilai-nilai

universalitas, yaitu kemanusiaan. Bagaimana pun

24

https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/news/indonesia/

amp/vanny-rahman/ada-lima-juta-transpuan-kemana-arah-politiknya-dalam-

pilpres-1. Dikutip pada hari jumat, 13 desember 2019 pukul 14:56 WIB

12

juga, seluruh agama hadir dan turun untuk manusia

dan kemanusiaan itu sendiri.25

Pada penelitian kali ini, transgender yang

ditujukan yakni transgender wanita-pria (waria) di

pondok pesantren al-fatah waria Yogyakarta.

Sebelum pada pembahasan selanjutnya, peneliti

melakukan trakking beberapa komunitas waria yang

sudah melaksanakan bimbingan keagamaan seperti

halnya di pondok pesantren waria al-fatah:

Tabel 1.2 Komunitas/Pesantren Waria

Nama Komunitas Daerah Jadwal

Bimbingan

Pondok Pesantren

Waria Al-fatah

Daerah Istimewa

Yogyakarta

Hari minggu

dan hari lainnya

jika ada

kegiatan

Pondok Pesantren

Salafiyah Syafi’iyah

(Pengajian al-ikhlas)

Sukorejo,

Situbondo, Jawa

Timur

Jum’at manis

Lembaga Swadaya

Masyarakat Kebaya

(khusus untuk orang

sudah jompo)

Daerah Istimewa

Yogyakarta

Selasa setiap

minggu

Rumah Singgah Waria

Anak Raja

Depok, Jawa Barat Kamis setiap

minggu

Pesantren ini merupakan ruang sosial masyarakat yang

berdiri di tengah masyarakat, sebagai tempat atau ruang untuk

25

Safri, Nuh A. Memahami Keragaman (Gender dan Seksualitas),

Sebuah Tafsir Kontekstual Islam, (Yogyakarta: Lintang, 2020) hal. 16

13

beribadah. Perlu diyakini bahwa setiap makhluk memiliki

motif teogenetis, sekalipun orang yang dianggap menyimpang

dari tatanan jenis kelamin. Interaksi manusia dengan Tuhan

seperti yang terwujud dalam ibadahnya dan dalam

kehidupannya sehari hari, dimana dapat merealisasikan

norma-norma agamanya sesuai dalam kitab sucinya, dll.26

Pada tahun 2008 sampai tahun 2020, transgender atau

waria yang berdomisili di Yogyakarta dan bergabung di

pondok pesantren senin-kamis atau al-fatah, artinya santri

tersebut sudah menerima dirinya sendiri untuk; belajar

keagamaan, bersosialisasi, dan beraktivitas lainnya yang

tergabung dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh

Hurlock; semakin baik seseorang dapat menerima dirinya,

maka akan semakin baik pula penyesuain diri dan

sosialnya.27

Bukan menjadi pesantren yang dijadikan wadah sebagai

perubahan santri waria menjadi laki-laki kembali, namun

pesantren ini merupakan ruang sosial masyarakat; dimana

santri dapat beraktivitas dengan hal positif, berkarya,

mengubah dirinya menjadi lebih baik—dari segi pekerjaan,

dan juga tempat dirinya bertemu dengan Tuhan kembali.

Penerimaan yang dimaksudkan dalam penelitian yakni, santri

26

W.A. Gerungan. Psikologi Sosial (Bandung: PT Refika Aditama,

2010) cet ke-3, hal. 155 27

Hurlock, E.B. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih Bahasa: Thandrasa

& Zaikasih). (Jakarta: Erlangga) hal.276

14

waria menerima dirinya atas potensi yang dimiliki, sehingga

dari potensi yang dimiliki dapat dimanfaatkan dengan baik.

Melalui bimbingan keagamaan, pembimbing dapat

memberikan arahan dalam bimbingan agama yang

dilaksanakan.

Dalam buku Psikologi Sosial, menyebutkan bahwa;

motif manusia merupakan dorongan, keinginan, hasrat, dan

tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya

untuk melakukan sesuatu. Motif-motif itu memberikan

tujuan dan arah kepada tingkah laku.28

Pada dasarnya setiap

manusia diberikan fitrah yaitu memiliki perasaan atau

spiritualitas terhadap Tuhannya. Surat Az-Zariyat ayat 56

menjelaskan dalam firmanNya yaitu;

نس إال لي عبدون وما خلقت ٱلن و ٱلArtinya: “Aku tidak menciptakan Jin dan manusia

melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”29

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia baik

laki-laki maupun perempuan sekalipun itu waria, memiliki

kewajiban untuk mengabdi kepada Allah swt, di manapun

dan kapanpun manusia itu berada dan selama ia telah

memenuhi syarat untuk melaksanakan kewajiban serta

28

W.A. Gerungan. Psikologi Sosial (Bandung: PT Refika Aditama,

2010) cet ke-3, hal. 152 29

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Az-

Zariyat ayat 56, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 523

15

mengabdikan diri kepada Allah swt. Wujud pengabdian

manusia kepada Allah SWT ini termanifestasikan dalam

bentuk ibadah kepada Allah swt sebagai pencipta seluruh

alam.30

Pondok Pesantren Al-Fatah dalam membentuk dan

melakukan kegiatan secara khusus memiliki 3 pilar yang

menjadi acuan. Pertama, mendidik waria supaya menjadi

pribadi yang baik untuk agama, keluarga, dan Negara juga

mendampingi santri dalam masalah pekerjaan dengan

diarahkan ke pekerjaan yang lebih baik seperti menjadi Make

Up Artist (MUA), salon, urut, berdagang, dll.31

Menjadi ruang sosial di tengah masyarakat, yang

dijadikan jembatan bagi santri untuk coming out dirinya dan

mengubah dirinya menjadi lebih baik; dari sisi keagamaan,

kesehatan mental, pekerjaan, atau bisa disebut dengan tempat

networking bagi santri waria untuk berkontribusi di tengah

masyarakat. Lalu bagaimana bimbingan keagamaan ini

menjadi bagian proses dari penerimaan diri santri?

Menanggapi hal tersebut, Prayitno dan Erna Anti32

memberikan garis bawah, bahwa bimbingan adalah proses

30

Safri, A. N. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Yogyakarta:

Journal Esensia. (UIN Sunan Kalijaga: Pusat Pengembangan Bahasa), Vol.15,

No. 2, September 2014. Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, 55281, Indonesia.

[email protected]. Dikutip pada Minggu, 05 Mei 2019, 18:39 WIB 31

Shinta Ratri. (2019, februari 09, pukul 17.00 WIB) Wawancara

dengan Shinta Ratri pengasuh pondok pesantren Al-Fattah DIY 32

Prayitno dan Erman Anti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling

(Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 99

16

pemberian bantuan yang dilakukan orang yang ahli kepada

seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak,

remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat

mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri

dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang

ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang

berlaku.33

Religiusitas atau keagamaan diwujudkan dalam berbagai

sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya

terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual

(beribadah), tetapi juga melakukan aktivitas) yang tak

tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Perbedaan

konstruksi antara dunia realitas empiris dan agama; tidak

semua waria dapat menghadapinya, justru banyaknya kasus

waria, yang cenderung menarik diri dari lingkungan atau

meninggalkan dari kehidupan agama.34

Namun, berbeda dengan transgender yang ada di pondok

pesantren al-fatah; justru dari 42 santri waria ini menunjukan

kesadaran spiritualitasnya dan membutuhkan ruang yang

dijadikan proses penerimaan diri, sehingga dapat melakukan

hal-hal positif tanpa terbebani oleh identitas dirinya sebagai

waria atau transgender. Dalam hal ini mereka juga memiliki

33

Prayitno dan Erman Anti . Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling

(Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 99 34

Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: LKiS, 2004) hal.

120-121

17

hasrat religiusitas untuk mengekspresikan kehidupan

beragamanya.

Sebelum menjadi pondok pesantren, ruang ini sudah

menjadi sanggar tari dan tempat perkumpulan waria atau

transgender. Selain itu juga aktif dalam membuat kegiatan

sosial. Menariknya, kesadaran menjadi waria juga disadari

oleh beberapa waria dan mereka membutuhkan kedekatan

diri dengan Tuhannya atas kesadaran diri sebagai makhluk.

Maryani selaku senior dari 30 waria saat itu tahun 2008

dibantu oleh K.H. Hamrolie membentuk pondok pesantren

Al-Fattah bertujuan untuk belajar Al-Qur’an, jilid (kitab

huruf hijaiyah), siraman rohani, konseling dari segi (Agama,

permasalahan pribadi, pekerjaan), dan kegiatan workshop

dari berbagai universitas.

Adanya dukungan dari beberapa institute hukum

(Kepolisian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga

Badan Hukum, Komnas Perempuan, dll), institut pendidikan

(Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga, Universitas Negeri Surakarta, dll), dan dukungan

lainnya sehingga pondok pesantren waria kembali

beraktifitas seperti biasanya sampai sekarang ini.

Shinta Ratri sebagai ketua Pondok Pesantren Al-Fattah

menyatakan bahwa adanya pondok pesantren yang memiliki

visi kepada santrinya supaya terbentuk menjadi pribadi santri

waria atau transgender yang bertanggung jawab terhadap

agama, keluarga, dan Negara. Kabar baik untuk Shinta Ratri

mendapatkan penghargaan dari Republik Dominika, Tunisia,

18

Rusia, dan Malawi members of line defe defenders sebagai

Pembela Hak Asasi Manusia berisiko tinggi dari pada hari

Jumat, 19 Juli 2019.

Bersama para ustadz serta pihak-pihak yang melindungi

ataupun sebagai institusi pendukung, harapan dan tujuannya

agar pondok pesantren Al-Fattah ini tetap ada dan dijadikan

wadah bagi transgender atau waria dengan tajuk mereka

untuk aktif dalam kegiatan masyarakat, mengubah profesi

pekerjaan menjadi lebih baik, dan tidak lupa untuk

memperbaiki diri yaitu dengan beribadah kepada Allah swt.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka

penulis mengambil penelitian dengan judul “Penerimaan

Diri Kelompok Transgender melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi kasus Pondok Pesantren Al-Fattah

Daerah istimewa Yogyakarta)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi

pembahasannya pada Penerimaan Diri Kelompok

Transgender melalui Bimbingan Keagamaan di Pondok

Pesantren Al-Fatah Yogyakarta meliputi:

a. Penelitian ini fokus pada penerimaan diri

kelompok transgender melalui bimbingan dan

keagamaan; penerimaan yang dimaksud yakni,

santri waria menyadari potensi dirinya. Berdirinya

19

Pondok Pesantren Al-fatah ini, merupakan suatu

ruang sosial masyarakat; sebagai wadah beribadah

dan bergerak ke hal positif, seperti yang dilakukan

oleh masyarakat lainnya.

b. Penelitian ini fokus pada metode bimbingan

keagamaan dalam bentuk dimensi peribadatan atau

praktik Agama yang dilakukan oleh transgender

atau waria yang diberikan oleh pembimbing

kepada pada kelompok transgender di Pondok

Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

c. Penelitian ini membatasi subjek pada 2 santri yang

mukim dan non mukim, 2 secondary informan

yang merupakan transgender dan 1 pembimbing

Agama, 1 Pembina dan 1 pengasuh Pondok

Pesantren, 2 warga di Pondok Pesantren Waria Al-

Fatah Yogyakarta

2. Rumusan Masalah

a. Metode apa yang digunakan dalam bimbingan

keagamaan di Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah

Istimewa Yogyakarta?

b. Bagaimana penerimaan diri kelompok transgender

melalui Bimbingan Keagamaan di Pondok

Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:

20

1. Mengetahui metode bimbingan keagamaan terhadap

penerimaan diri kelompok transgender di Pondok

Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta

2. Mengetahui proses penerimaan diri pada kelompok

transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok

Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta

D. Manfaat penelitian

1. Penelitian ini sebagai salah satu persyaratan data

memperoleh gelar sarjana (S1)

2. Bagi akademisi diharapkan dapat memperkaya sumber

informasi, memberikan sumbangsih keilmuan dalam

proses kegiatan akademik tentang keilmuan

penerimaan diri dan bimbingan keagamaan, terutama

sebagai referensi penelitian-penelitian selanjutnya.

Diharapkan insan akademisi untuk menggali informasi

dan menjadi penengah diantara isu transgender yang

kenyataannya masih membutuhkan bimbingan

keagamaan atau religiusitas.

3. Manfaat penelitian secara teoritis, diharapkan dapat

bermanfaat bagi peneliti untuk mengembangkan ilmu

yang telah didapatkan di bangku perkuliahan,

khususnya pada mata kuliah di Jurusan Bimbingan

Dan Penyuluhan Islam, karena pendidikan menjadi

pendamping dari sustainability (berkepanjangan) pada

perkembangan dan pengaplikasian keilmuan di

masyarakat.

21

4. Manfaat praktisi, diharapkan dapat memberikan

referensi pengembangan dan upgrade mengenai

metode bimbingan agama di pondok pesantren

transgender bagi santri penerima.

● Bagi Masyarakat: Penelitian ini dapat memberikan

gambaran tentang interaksi sosial antara transgender

dengan masyarakat, sehingga masyarakat tidak

memandang transgender atau waria dengan sebelah

mata, akan tetapi mereka menerima keberadaannya

dengan sikap yang positif.

● Bagi Pemerintah : Penelitian dapat memberikan

gambaran transgender yang benar adanya

membutuhkan studi spiritual keagamaan dan

pembentukan penerimaan diri, dan semoga pondok

pesantren waria juga terdapat di berbagai daerah yang

terdapat transgender.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Penelitian terdahulu sangat diperlukan dalam

peninjauan sebelum penelitian dilaksanakan. Sebagai

rujukan penulis; hasil skripsi, tesis, dan jurnal dapat

digunakan sebagai pedoman. Namun terdapat perbedaan

dari segi objek dan subjek penelitian yang menjadikan

pembeda antara penelitian sebelumnya dengan penelitian

penulis.

Rujukan yang sudah dijadikan kajian terdahulu, yakni

kajian yang masuk dalam pembahasan; sekelompok orang

22

yang merupakan bagian dari masyarakat, tengah berbeda

dengan heteronormativitas dalam mendekatkan dirinya

kepada Tuhan. Dalam hal ini kelompok marginal, yakni

transgender atau waria yang sudah mendapatkan

diskriminasi, sehingga mengalami konflik dalam

keluarga, lingkungan masyarakat dan atau agama.

Di tengah kegaduhan isu pada latar media sosial dan

social society yang tertuju pada sebuah keragaman

gender. Uniknya kelompok tersebut tidak diam dan tidak

melawan.

Terlihat dari salah satu kota pluralis, agamis, dan

sosialis, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta. Terbukti

dengan terbentuknya pondok pesantren waria al-fatah

pada tahun 2006 silam, yang dibentuk oleh KH. Hamrolie

selaku tokoh agama Islam dan Maryani salah satu

pengasuh sekelompok waria.

Pada dasarnya pondok pesantren al-fatah ini sudah

menjadi sorotan utama di masyarakat khususnya di

Yogyakarta. Disambung dengan penelitian skripsi oleh

Priskilla Novariza menginginkan penelitian ini dengan

berbagi rincian masalah, maka penulis menciptakan

tujuan untuk mengetahui gambaran subjective well-being

pada waria terutama ketika mereka berada di komunitas

pesantren waria.

Adapun Subjek penelitian ini adalah Waria dan saat

di masa dewasa menengah, yang merupakan anggota aktif

23

Pesantren Waria Al-Fattah serta berdomisili di

Yogyakarta.

Keberhasilan dalam penelitian ini yaitu terciptanya

penerimaan diri, hingga saat ini mereka dapat bertahan

dan nyaman dengan identitas waria. Ketika waria sudah

nyaman dengan dirinya maka dalam menjalani hidup

mereka mampu mencari kebahagiaannya disituasi apapun.

Teori yang menjelaskan kebahagiaan yang terdapat

beberapa dimensi yaitu fokus pada kebahagiaan dan

faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan. Tidak

lepas dari itu, pada penelitian ini terdapat kemiripan

penelitian skripsi saya yaitu kaitannya pada afek positif

yang dijelaskan dalam kerangka berfikir. Berdasarkan

hasil penelitian dan analisa data, penerimaan diri dan

adanya pesantren waria yang mendukungnya, merupakan

faktor penting bagi waria ketika mulai mengaktualisasikan

diri. Karena dengan penerimaan diri hingga saat ini

mereka dapat bertahan dan nyaman dengan identitas

waria. Ketika waria sudah nyaman dengan dirinya maka

dalam menjalani hidup mereka mampu mencari

kebahagiaannya disituasi apapun.

Dalam hal ini dapat dijelaskan letak kelebihan dan

kekurangan pada skripsi ini. Kelebihan yang penulis

ungkapkan, yakni pengambilan teori yang sesuai dengan

keadaan waria, dan kekurangan pada penelitian ini yaitu

terletak pada beberapa penulisan, yang kurang sesuai

dengan peletakan bahasa. Penelitian ini dilaksanakan pada

24

tahun 2017 membahas tentang Subjective Well Being

Pada Waria Di Pesantren Waria Al-Fattah35.

Waria adalah seorang laki-laki yang berbusana dan

bertingkah laku seperti wanita. Perilaku ini dianggap

menyimpang di masyarakat. Mengangkat permasalahan

waria di dalam skripsi yang dibuat oleh Ahriani Silvia ini

cukup menarik, yaitu tentang “Dukungan Sosial Bagi

Kemandirian Waria Pada Rumah Singgah Waria Anak

Raja, Depok”36. Penulis mengupas permasalahan

menggunakan teori dukungan sosial, terlihat pada

halaman 54 bahwa dukungan sosial sangat bermanfaat

bagi waria dengan adanya rumah singgah.

Maka dari itu Rumah singgah waria yang didirikan

oleh Yuli, para waria yang ada di dalamnya juga menjadi

bertambah percaya diri, dapat beribadah dengan baik,

contoh saja dengan program kerja yang ada di rumah

singgah. Semua itu untuk bekal waria supaya dapat

bekerja dengan profesi yang baik.

Adapun bimbingan rohani yaitu di hari kamis, yang

sudah tersususn lewat program kerja. Perbedaan dengan

penelitian penulis, yakni pada letak praktiknya.

35

Novariza, M. P. Subjective Well Being Pada Waria Di Pesantren

Waria Al-Fattah (Skripsi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2017) 36

Silvia, A. Dukungan Sosial Bagi Kemandirian Waria Pada Rumah

Singgah Waria Anak Raja, Depok. (Skripsi tidak dipublikasikan, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2018)

25

Terkait hal ini maka kelebihan skripsi ini yaitu

penulis dapat langsung berbaur dengan informan dengan

santai dan terbuka serta tepat penggunaan pada teori.

Kelemahan pada skripsi ini yaitu kurangnya penjelasan

metode-metode yang digunakan saat bimbingan rohani

dan hanya menjelaskan cerita waria saja.

Siti Maimunah37 menempatkan diri seorang

homoseksualitas sebagai laki-laki, dan menempatkannya

sebagai makhluk Allah yang wajib beribadah kepada

TuhanNya. Dalam penelitiannya dengan menggunakan

metode kepustakaan (Library research) yaitu dengan

mengkaji Pandangan Al-qur’an tentang homoseksualitas.

Selama menjelajah ayat-ayat Al-Qur’an tentang

homoseksualitas dari surat An-Nisa, Al-A’raf.

Kelebihan pada penelitian ini, yakni dalam firman

Allah menjelaskan asal usul dari adanya perbuatan

seksualitas yaitu QS. Al-A’raf ayat 80-81. Penulis skripsi

ini memiliki harapan besar bagi kaum homoseksual

mengerti dampak negatif dari apa yang telah diperbuat.

Maka dari itu peneliti menyimpulkan dengan literatur

yang ada bahwa skripsi ini dapat dijadikan referensi untuk

penelitian dalam ilmu tafsir, adapun kelemahan yang

didapatkan yaitu, gaya bahasa penulis dalam kelas

37

Maimunah, Siti. Pandangan Al-Qur’an tentang Homoseksuaitas

(Skripsi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2018)

26

penelitian itu kurang memadai contoh dalam abstrak

“omongan” seharusnya dapat digantikan dengan kata

pembicaraan. Motivasi Waria Menjadi Anggota

Pesantren. Waria pondok pesantren Al-Fatah yang

menjadi objek penelitian oleh Nidia Gabriella

Indyaningtyas pada tahun 2016. Menarik untuk dikaji dan

bagi peneliti tergolong penting sebagai acuan,

dikarenakan penulis menjelaskan bahwa teori motivasi

berhasil mengetahui informan masuk ke pesantren waria.

Mengutip dari hasil penelitian, jelas bahwa beberapa

motif dari afeksi, kekaguman, power, simpati, cinta,

pengetahuan dan prestasi itu terwujud dalam kebutuhan.

Penulis dari fakultas Psikologi, Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta38 ini juga menghadirkan data

lengkap dari anggota pesantren waria dengan jumlah 42

orang yang meyakini adanya kebutuhan peribadatan.

Penulis menggunakan pendekatan fenomenologi

dengan tujuan dapat menganalisis secara utuh

menggunakan observasi, dan wawancara mendalam

secara struktural. Selain itu, pada keabsahan data dari

wawancara, dokumentasi menjadikan nilai kelebihan

bagi skripsi ini.

38

Indyaningtyas, N.G. Motivasi Waria Menjadi Anggota pesantren

(Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2016)

27

Kekurangan yang ditonjolkan oleh penulis yaitu

motif yang sama pada waria, yaitu counteraction yang

memunculkan waria untuk memiliki kontrol diri, dan

pada hal ini peneliti kurang memahami hal tersebut.

Selanjutnya thesis yang dikerjakan oleh Roudlotul

Jannah Sofiyana.39 Membawa judul Pola Interaksi Sosial

Masyarakat dengan Waria di Pondok Pesantren Al-

Fattah Senin-Kamis (Studi Kasus di Desa Notoyudan,

Sleman, Yogyakarta) yang diterbitkan dari Fakultas Ilmu

Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Norma sosial

sudah mencatat bahwa, hidup bermasyarakat harus

menyesuaikan dengan culture yang ada.

Semua ada tata aturan, dan harus saling

berkonsolidasi supaya selaras juga dengan masyarakat

sekitar. Penulis memberikan wadah bagi para waria atau

transgender untuk bersama-sama belajar langsung

bagaimana menghadapi masyarakat yang kurang

menerima keadaan waria. Terbantu dengan teori

interaksi sosial yang terbentuk menjadi dua proses yaitu

proses asosiatif dan disosiatif, di dalam kedua proses

tersebut juga terbagi menjadi beberapa bentuk ada

kerjasama, akomodasi, asimilasi, persaingan,

kontroversi, dan pertentangan.

39

Sofiyana, R.J. Pola Interaksi Sosial Masyarakat dengan Waria di

Pondok Pesantren Al-Fattah Senin-Kamis (Skripsi Universitas Negeri

Semarang, 2014)

28

Untuk menjawab semua itu maka penulis berhasil

menerapkan teori tersebut dengan syarat aktivitas

kegiatan di pondok pesantren harus lebih sistematis dan

memperbaiki pola koordinasinya dengan pihak-pihak

yang menaungi komunitas waria dan ini merupakan

salah satu kelebihan yang penulis dapatkan.

Kekurangan yang peneliti dapatkan yaitu; pada bagian

profil waria, penulis seharusnya tidak terlalu banyak

menjelaskan transsexual jadi penjelasan pada sub bab

profil waria kurang sesuai dengan penjelasan. Dalam

penelitian ini sedikit mirip dengan skripsi saya yaitu ada

bagian teori arti dari transgender. Selebihnya tesis ini

dijadikan sebagai acuan dasar penelitian.

Teori Identitas Sosial menurut Brewer dan Gardiner

membagi tiga bentuk diri yang menjadi dasar bagi

seseorang yaitu individual self, relational self, and

collective self, teori tersebut merupakan salah satu dari

landasan Diyala Gelarina dalam menulis tesis di

pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Penulis memilih tema

yang tepat untuk pertumbuhan identitas sosial waria

melalui Proses Pembentukan Identitas Sosial Waria di

Pondok Pesantren Al-Fattah DIY.40

40

Gelarina, Diyala. Subjective Well Being Pada Waria Di Pesantren

Waria Al-Fattah (Tesis, UIN Sunan Kalijaga Daerah Istimewa Yogyakarta,

2016)

29

Lengkap dengan sejarah yang disajikan oleh penulis,

serta proses-proses yang sudah dicanangkan untuk

membantu jalannya penelitian ini sehingga dapat

tercapainya identitas sosial yang terdiri dari dimensi,

proses, motif, dan bias.

Dijelaskan dalam proses bahwa penulis menemukan

daya Tarik in group, konteks antar kelompok,

penyamaan keyakinan.

Tesis ini lahir dengan bantuan penelitian kualitatif

field research sehingga dapat menemukan data-data

yang valid dan dapat menjelaskan permasalahan

lapangan yang akan diteliti. Penelitian ini akan lebih

sempurna jika menambahkan lebih pada teori sosial,

karena dalam bentuk tesis harus sudah mencapai pada

menemukan hasil perbandingan teori dan yang

dihadapkan merupakan transgender dalam lingkup

sosial, sehingga peneliti menilai hal tersebut menjadi

kekurangan dari teori yang digunakan oleh Diyala.

Adanya kesinambungan antara teori satu dengan

yang lainnya maka menghasilkan suatu kelebihan dari

tesis tersebut. Kemiripan pada skripsi peneliti yaitu pada

pengertian seks yang terletak dalam latar belakang.

Pengalaman dalam membimbing santri waria atau

transgender oleh Ardiansyah selama 4 tahun terakhir ini

membuatnya untuk menganalisa spiritual yang ada

dalam diri waria untuk melakukan beribadah. QS. Al-

A’raf ayat 172 tengah menjadi rujukan utama dalam

30

jurnal ini. Dalam aspek aqidah, potensi ketauhidan

seseorang dari lahiriah manusia itu sudah ada. “Upaya

Bimbingan Konseling Nilai dan Spiritual terhadap

Transgender di Yogyakarta”41 Penulis mengonsep jurnal

ini dengan menggunakan konseling nilai dan spiritual

dalam diri masing-masing waria. Adapun kemiripan

dalam skripsi peneliti yaitu membandingkan antara data

penelitian yang bersumber dari pondok pesantren Al-

Fatah meskipun tidak terbentuk dalam sebuah bagan,

penulis menuliskan dengan sebuah pernyataan.

Kelebihan pada jurnal ini adalah saat melakukan

konseling pribadi dengan waria sehingga dapat

menemukan alasan waria untuk kembali beribadah

kepada Allah.

Adapun kekurangan yang terdapat dalam jurnal ini,

yaitu tidak adanya teori yang menjadi acuan sehingga

tidak terlihat apakah teori yang masuk dalam jurnal ini.

Arif Nuh Safri, yakni salah satu ustadz dari Pusat

Bahasa UIN Sunan Kalijaga yang tengah membimbing

santri waria di pondok pesantren Al-Fatah. Dalam

penelitiannya, penulis membedah masalah eksistensi

keberagaman waria dan memperkenalkan kepada

41

Ardiansyah, Upaya Bimbingan Konseling Nilai dan Spiritual

terhadap Transgender di Yogyakarta, Jurnal Bimbingan dan Konseling:

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga no 8 (2), 71-87 november 2018, ISSN:

2088-3072, DOI: 10.25273/counsellia.v8i2.2568 dikutip pada 10 Juni 2019

pukul 14.00 WIB

31

pembaca bahwasanya waria atau transgender yang ada di

pondok pesantren al-fatah merupakan sekumpulan waria

yang ingin tetap beribadah kepada Tuhannya dalam

keadaan apapun.

Sthepen O Murray dalam bukunya Islamic

Homosecsualities yang bertuliskan kehidupan

homoseksualitas merupakan tradisi yang menyejarah

dalam kehidupan Timur Tengah, seperti kerajaan Turki,

Persia, dan islam Spanyol.

Alasan penulis mencantumkan dalam journalnya ini

cukup relevan karena Di tengah-tengah stigma negatif

yang muncul dari masyarakat kepada waria ternyata

agama memang muncul tidak direncanakan. Kehadiran

Tuhan dalam diri manusia tidak bisa dipungkiri. Inilah

disebut dengan fitrah uluhiyah (fitrah ketuhanan).

Manusia bukan sekedar makhluk sosial atau zoon

politicon namun juga makhluk bertuhan. Dalam hal ini

penulis tidak berposisi untuk menghakimi benar atau

salah pola keberagaman waria, namun hanya

menggambarkan bahwa setiap manusia memiliki fitrah

ketuhanan, dan hak untuk mengekspresikan sifat

ketuhanannya dan pengalaman spiritualnya, termasuk di

dalamnya para waria.

Ekspresi keberagaman inilah yang sengaja

diperjuangkan oleh para waria dalam pesantren ini.

Pernyataan tersebut merupakan hasil dari journal yang

bertemakan “Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fattah

32

Yogyakarta (Sebuah media eksistensi ekspresi

keberagamaan waria)”.42 Kesadaran perbedaan

identifikasi agama dan Tuhan, seharusnya menjadikan

manusia lebih leluasa untuk menghargai keberagamaan

dan ketuhanan orang lain, walaupun orang lain tersebut

muncul dari kaum marginal, atau kaum yang dianggap

pelaku dosa.

Kemunculan permasalahan ini memaparkan secara

deskriptif pola ekspresif keberagamaan waria di pondok

pesantren senin-kamis al-Fattah Yogyakarta. Jurnal ini

dapat dijadikan referensi untuk skripsi yang

berhubungan dengan pondok pesantren Al-Fatah dan ini

merupakan salah satu kelebihan. Adapun kekurangan

dalam jurnal ini yaitu; kurangnya bagan dalam

penunjukan metode khusus yang sesuai dengan metode

bimbingan keagamaan.

F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji,

yaitu mengenai penerimaan diri pada kelompok

transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok

42

Safri, A. N. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Yogyakarta

(Sebuah media eksistensi ekspresi keberagamaan waria), Jurnal Pusat

pengembangan bahasa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ESENSIA, Vol.15,

No 2, September 2014. Dikutip tanggal 10 Juni 2019. Pukul 22.00 WIB

33

Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada

dasarnya sebuah penelitian memerlukan suatu pendekatan,

agar memberikan kemudahan dalam memhami fenomena

yang akan diteliti.

Tahun 1975 Bogdan dan Taylor menggaris bawahi

penelitian kualitatif, dan dikutip ulang oleh Moeleong,

yakni metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati.43

Moleong Lexy J merucutkan arti dari metode

kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang yang dialami oleh

subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode ilmiah.44

Dalam buku The Elements of Research oleh F.L.

Whitney menjelaskan bahwa metode deskriptif adalah

pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.45

Dalam

43

Moleong, L.J, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2007), hal. 4 44

Moleong, L.J, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2007), hal. 6 45

Whitney, F. L. The Elements of Research, (Prentice Hall Inc., New

York, 1960) hal. 160

34

penelitian ini data diperoleh dari jawaban-jawaban

informan yaitu 2 santri waria mukim dan non mukim, 2

seconday informan 1 pembimbing agama, 1 pembina

pesantren, dan 1 pengasuh pesantren, dan 2 warga yang

pro (mendukung) dan kontra (tidak mendukung); secara

langsung melalui observasi, wawancara, studi

dokumentasi, catatan rekaman, gambar, dan semua data

yang dikumpulkan merupakan kejadian dan tanggapan

secara real dan kebenarannya tidak menggunakan

pemikiran peneliti.

Penelitian kualitatif dipilih oleh peneliti langsung

karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk

menggali lebih dalam mengenai penerimaan diri kelompok

transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok

Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

metode bimbingan keagamaan dalam membentuk

penerimaan diri kelompok transgender atau santri waria.

Untuk mengetahui bagaimana perubahan yang terjadi

setelah melaksanakan bimbingan keagamaan, peneliti

menggunakan pendeketan kualitatif yang berbentuk studi

kasus.

Menggunakan studi kasus merupakan rancangan

penelitian yang ditemukan dibanyak bidang, khususnya

evaluasi, dimana peneliti mengembangkan analisis

35

mendalam atas suatu kasus.46 Menurut Stake dan Yin

dalam buku Research Design, Qualitative, Quantitative,

and Mix Methods Approaches menegaskan bahwa; Kasus-

kasus dibatasi oleh waktu, aktivitas, dan peneliti

mengumpulkan informasi secara lengkap dengan

menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data

berdasarkan waktu yang telah ditentukan.47

Penggunaan studi kasus sebagai sutau metode

penelitian kualitatif memiliki beberapa keuntungan,

yaitu:48

1. Studi kasus memberikan pandangan dari subjek yang

diteliti

2. Studi kasus dapat memberikan uraian yang

menyeluruh, mirip dengan apa yang dialami pembaca

kehidupan sehari-hari.

3. Merupakan sarana efektif untuk menunjukan

hubungan antara peneliti dan responden

4. Studi kasus dapat menyuguhkan uraian mendalam

yang diperlukan untuk penilaian atau transferbilitas.

Perlu diketahui bahwa studi kasus memiliki karakter

unik, sehingga penting dan bermanfaat bagi pembaca

46

Creswell, John W. Research Design, Qualitative, Quantitative, and

Mixed Methods Approaches (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hal. 19 47

Creswell, John W. Research Design, Qualitative, Quantitative, and

Mixed Methods Approaches (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hal. 19 48

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2004) hal. 201

36

dalam penyusunan skripsi dan studi kasus harus dapat

membantu peneliti dalam menggali data baik perorangan,

kelompok, program, budaya, agama, masyarakat, dan

komunitas untuk memahami dan mengatasi masalah yang

sedang dihadapi atau akan dihadapi.49

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bertempat di Pondok Pesantren Al-Fattah

Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di Jl. Celenan Rt

09/Rw 02 Jagalan, Banguntapan, Kotagede, Kabupaten

Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun yang menjadi

latar belakang dan pertimbangan tempat ini yaitu kerena

pondok pesantren ini hanya ada satu di Indonesia, Pondok

Pesantren ini juga sudah dilindungi oleh KOMNAS HAM

(Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), LBH (Lembaga

Bantuan Hukum), Institusi Pendidikan, dll.

Tempat menimba ilmu bagi para santri transgender atau

waria yang beragama Islam. Pondok Pesantren Al-Fatah

mewadahi santri waria untuk beribadah kepada Allah swt.

Selain itu juga menjadi salah satu pusat sosial dan pendidikan

utama untuk komunitas waria di Yogyakarta, pesantren ini

juga berfungsi sebagai penghubung untuk pendidikan layanan

jejaring dan advokasi untuk komunitas waria.

49

R. Raco. Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta, 2010), hal. 49

37

Adapun waktu pelaksanaan observasi sebelum penelitian

yaitu pada tanggal 09 Februari 2019 selama 1 hari, tanggal

16-20 Mei 2019, dan intens dalam komunikasi dengan ketua

pondok pesantren Al-Fattah lewat whatsapp dari tanggal 31

juli, 22 Agustus, dan 13 september 2019, Januari 2020, 29

Juni 2020, 29 November 2020 dan seterusnya sampai dengan

selesai.

Tabel 1.3 Kegiatan Observasi

No Tanggal Tabel Kegiatan

1 09/02/2019

(16:00-18.00)

WIB

Peneliti bertamu dan memperkenalkan diri

untuk memohon izin penelitian di Pondok

Pesantren Waria Al-Fatah.

2 16/05/2019

(11:30) WIB

Peneliti datang tepat di bulan Ramdhan,

sehingga peneliti dapat mengikuti langsung

proses bimbingan keagamaan, dan peneliti

mewawancarai dengan calon key informan

dan 4 santri waria.

17/05/2019

16.00 WIB

45 santri melakukan vicity mobile oleh

Dinas Kesehatan Puskesmas Kotagede,

DIY dari Puskesmas Kotagede.

16.38 WIB Sebelum buka bersama, ustadz arif

memberikan ceramah tentang “Pentingnya

berpuasa dan hal-hal yang membatalkan

puasa” dalam lingkup seks, ibadah, dan

adanya Tanya jawab antara ustadz dan

waria itu sendiri di Pondok Pesantren

Waria Al-Fatah.

17:32-18:15

WIB

Buka bersama dengan 30 santri, dan

Mahasiswa dari Universitas Mercubuana

fakultas Psikologi, Pondok pesantren al-

fatah, Universitas Gadjah Mada.

18:30 WIB Sharing session dengan ustadz Arif.

Peneliti memperhatikan dengan seksama

diskusi yang tidak diam.

18/05/2019 Santri waria melakukan praktek

38

15:30 WIB pemulasaran jenazah dari memandikan,

mengkafani, dan mensholati serta doa-doa.

Dengan harapan, mereka dapat mengurus

jenazah waria yang meninggal, karena

selama ini tidak ada yang mau mengurus

jenazah waria selain dari rumah sakit.

16:48 WIB Peneliti wawancara Ibu Retno selaku

warga sekitar pondok.

17:00-17:35

WIB

Peneliti wawancara dengan santri waria

Ririn Mustika.

Buka puasa bersama dan saling bercakap

dengan mbak Yuni, mba Erni, mba Jamilah

selaku santri Waria.

19/05/2019

15:35 WIB

Peneliti melihat langsung proses

bimbingan keagamaan, mengaji, arisan,

dan kajian kitab bulughul maram

Santri Waria, Ustadz/Ustadzah.

16:00 WIB Peneliti wawancara dengan bapak Munarto

selaku RT.

17:04 WIB Peneliti wawancara dengan Ustadz Ardi

kaitannya dengan materi apa saja yang

dapat diterima oleh santri waria.

17:35 WIB Buka bersama dengan seluruh santri dan

beberapa mahasiswa Mercubuana,

Universitas Gadjah Mada, dan dilanjut

Sholat Magrib berjamaah di Pondok

Pesantren waria Al-Fatah.

18:49 WIB

20/05/2019

Peneliti wawancara dengan Mami Rully

Selaku pengurus pemberdayaan santri

waria.

3 31/07/2019 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri

selaku pengasuh Pondok Pesantren waria

Al-Fatah.

4 22/08/2019 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri

selaku pengasuh Pondok Pesantren waria

Al-Fatah.

5 13/09/2019 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri

39

selaku pengasuh Pondok Pesantren waria

Al-Fatah.

6 29/07/2020 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri

selaku pengasuh Pondok Pesantren waria

Al-Fatah.

7 17/10/2020 Peneliti whatsapp bersama Shinta Ratri

selaku pengasuh Pondok Pesantren waria

Al-Fatah.

8 29/11/2020 Peneliti membantu melakukan bimbingan

keagamaan dan penentuan informan dan

juga mendalami indept interview bersama

informan maupun key informan.

9 4/12/2020 –

07/01/2021

Peneliti membantu melakukan bimbingan

keagamaan dan penentuan informan dan

juga mendalami indept interview bersama

informan maupun key informan sampai

selesai.

4. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah 9 orang, terdiri dari

empat santri waria yang merupakan 2 santri yang

merupakan santri mukim dan non mukim, 2 Secondary

Informan, 1 pembimbing agama, 1 pengasuh, dan 1

pembina pesantren di Pondok Pesantren Al-Fattah DIY,

dan 2 warga yang pro (mendukung) dan kontra

(tidakmendukung) yang telah disesuaikan dengan

pertimbangan dan tujuan penelitian.

Objek penelitian ini adalah Penerimaan Diri

Kelompok Transgender melalui Bimbingan Keagamaan di

Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan subjek

adalah populasi. Dalam penelitian kualitatif tidak

40

menggunakan istilah populasi, akan tetapi menurut

Spradley dinamakan dengan situasi sosial yang terdiri dari

tiga elemen, yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas yang

berinteraksi secara sinergis.50

5. Penentuan Sumber Data

a. Data Primer

Data primer dalam studi lapangan didapatkan dari

hasil wawancara kepada responden dari informan

terkait penelitian. Responden dalam penelitian adalah;

Pembimbing Agama, Santri, significant other,

Pembina, Pengasuh dengan pemilihan responden

teknik triangulasi merupakan sumber, yaitu dengan

menggunakan teknik pengumpulan yang berbeda-beda

untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.

Peneliti menggunakan observasi, wawancara

mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang

sama secara serempak.51

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan pelengkap dari data

primer yang diperoleh dari buku-buku literatur,

karya-karya dan dokumentasi terkait objek

50

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,

2013), hal. 297 51

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,

2013), hal. 330

41

penelitian. Literatur yang berkaitan dengan metode

penelitian, bimbingan keagamaan, psikologi,

homoseksualitas, queer, seksualitas dan buku yang

memuat sejarah waria atau transgender di

nusantara, dan buku-buku lainnya.

6. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Observasi merupakan tindakan atau proses

pengambilan informasi melalui media

pengamatan. Dalam melakukan observasi ini,

peneliti menggunakan sarana utama indera

penglihatan. Melalui pengamatan mata dan kepala

sendiri seorang peneliti diharuskan melakukan

tindakan pengamatan terhadap tindakan dan

perilaku responden di lapangan dan kemudian

mencatat atau merekamnya sebagai material utama

untuk dianalisis.52

Dua prinsip pokok yang telah menjadi tradisi

dari metode kualitatif diantaranya adalah; pertama,

peneliti tidak boleh “mencampuri” urusan subjek

penelitian, kedua peneliti menjaga sisi alamiah

dari subjek penelitian dengan tujuan memperoleh

data yang murni tanpa adanya rekayasa, dan

52

Sukardi. Penelitian Kualitatif-Naturalistik dalam pendidikan

(Yogyakarta: Usaha Kelu arga, 2006), hal. 49

42

memperoleh hasil observasi yang “valid” maka

dari itu membutuhkan pengamatan berulang-ulang

kali.53

Metode ini digunakan untuk memperoleh data

yang akurat tentang keadaan di lapangan dengan

melakukan pengamatan langsung. Hal yang perlu

diperhatikan ketika observasi yaitu; pengamat

harus selalu mengingat dan memahami apa yang

hendak direkam dan dicatat, selain itu juga harus

bisa membina hubungan baik antara pengamat dan

objek pengamatan.54

Observasi dilakukan secara langsung di

Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah istimewa

Yogyakarta, dengan mengamati kondisi letak

geografis pondok pesantren, kondisi demografi

sekitar pondok pesantren, dan aktivitas yang

dilakukan informan. Pada tanggal 09 februari

2019, peneliti kali pertama mencari pondok

pesantren dan bertemu langsung dengan pengasuh

pondok pesantren Ibu Shinta Ratri.55

53

Salim, Agus. Teori Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2005) hal. 14 54

Burhan, Bungin. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi,

Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial (Jakarta: kencana,2008), hal. 116 55

Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta

pada tanggal 09 Februari 2019 pukul 14.00 WIB

43

Pada kesempatan kedua tepat di bulan

Ramadhan, sehingga peneliti dapat mengamati

langsung dari seluruh rangkaian kegiatan

keagamaan dan sosial yang dilaksanakan pada 16-

20 Mei 2019. Selama observasi pertama

berlangsung, peneliti melakukan pendekatan

secara langsung dengan santri waria dan

pembimbing agama.56

Beberapa bulan peneliti

mengikuti perkembangan pondok pesantren waria

al-fatah dengan menanyakan langsung ke Ibu

Shinta Ratri selaku pengasuh lewat media sosial

youtoube, website, dan whatshapp. Peneliti

kembali ke pondok pesantren waria al-fatah pada

tanggal 29 November 2020 sampai tanggal 07

Januari 2021.57

Menurut Shinta Ratri pengasuh

pondok pesantren waria al-fatah saat ini ada 62

santri waria yang bersedia mengikuti kegiatan di

pondok pesantren.58

Seluruh rangkaian kegiatan

yang bersifat religiusitas, spiritualitas, study tour,

sosial, dapat diikuti dengan baik, karena

menghasilkan kreativitas.

56

Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta

pada tanggal 16-20 Mei 2019 pukul 14.00 WIB 57

Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta

pada tanggal 16-20 Mei 2019 pukul 14.00 -16.00 sampai pukul 21.00 WIB 58

Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta

pada tanggal 09 Februari 2019 pukul 14.00 WIB

44

b. Wawancara/Interview

Wawancara merupakan salah satu kegiatan

tanya jawab dengan tatap muka antara

pewawancara (Interviewer) dan yang

diwawancarai (Interviewee) tentang masalah yang

diteliti.59

Wawancara dapat dilakukan dengan

menggunakan empat model, yaitu;

1. Wawancara alamiah informal yakni

pertanyaan dikembangkan secara spontan

terhadap responden.

2. Wawancara dengan pedoman umum yakni

peneliti telah mempersiapkan sebelumnya

pertanyaan umum yang akan diajukan

3. Wawancara dengan pedoman terstandar

terbuka yakni digunakan jika wawancara yang

digunakan banyak pengumpul data guna

membatasi temuan dengan variasi yang

muncul

4. Wawancara tidak langsung adalah teknik

wawancara yang digunakan oleh beberapa

59

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik

(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hal. 144

45

orang akibat sesuatu hal yang tidak dapat

dilakukan sendiri oleh peneliti.60

Sejalan dengan hal tersebut maka proses wawancara

akan dilakukan bersama 2 santri waria mukim dan non

mukim, 2 secondary informan 1 pembimbing agama, 1

pembina pesantren, dan 1 pengasuh pesantren, dan 2

warga yang pro (mendukung) dan kontra (tidak

mendukung).

Cakupan pemilihan proses wawancara ini dilakukan

dengan pertimbangan untuk memperoleh hasil yang

valid untuk menggali informasi tentang penerimaan diri

kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan di

Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah istimewa

Yogyakarta

c. Dokumentasi

Buku Studi Kasus Desain Metode oleh Robert K.

Yin61

menjelaskan dalam penelitian lapangan yang

akan dilaksanakan, informasi yang berbentuk dokumen

sangat relevan karena tipe informasi ini biasa

menggunakan berbagai bentuk dan dijadikan sebagai

sumber data yang eksplisit.

60

Salim, Agus. Teori Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2005) hal. 17 61

Yin, Robert K. Studi Kasus Desain Metode (Jakarta: Rajawali

Press, 1996), hal. 103

46

Adapun jenis-jenis data tersebut adalah surat,

memorandum, pengumuman resmi, penelitian yang

sama, kliping-kliping yang baru dan artikel yang

muncul di media massa, maupun laporan peristiwa

lainnya.

Berdasarkan argumen Robert K Yin di atas, maka

dalam penelitian ini yang termasuk data dalam kategori

dokumentasi adalah buku-buku informasi seputar

objek yang diteliti, foto-foto, dan penghargaan-

penghargaan. Metode dokumentasi dilakukan untuk

memperoleh gambaran umum dan komponen-

komponen di Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah

Istimewa Yogyakarta dan hal-hal yang berkaitan

dengan masalah yang dijadikan penelitian.

7. Teknik Analisa Data

Suharsimi Arikunto menjelaskan bahwa, analisa data

merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk

yang lebih mudah saat dibaca dan diinterpretasikan.

Dalam menganalisa data, peneliti dapat mengolah dari

hasil observasi dan wawancara yang sudah dilakukan,

kemudian data tersebut disusun dan dikategorikan

berdasarkan hasil wawancara; dari dokumen yang telah

dikumpulkan, lalu data yang sudah terkumpul

47

dideskripsikan ke dalam bentuk bahasa yang mudah

dipahami.62

Pada penelitian pondok pesantren waria ini, peneliti

menggunakan model analisis interaktif Milles dan

Huberman. Terdapat tiga sub proses analisa data yang

saling berkaitan, yakni:63

a. Pengumpulan Data (Data Collection)

Tahapan terpenting dalam penelitian kualitatif yaitu

mengumpulkan data. Dalam penelitian kualitatif,

pengumpulan data dilakukan dengan observasi,

wawancara, dokumentasi, dan atau gabungan ketiganya

yakni triangulasi.

Pengumpulan data dapat dilakukan berhari-hari,

atau sampai berbulan-bulan, sehingga mendapatkan data

lebih banyak. Tahap awal yang dikerjakan oleh peneliti,

yakni melakukan eksplorasi secara umum terhadap

situasi sosial atau obyek yang diteliti, semua yang

dilihat dan didengar terekam semua. Maka dari itu

62

Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan

Praktik, (Jakarta: PT Rieka Cipta, 1998), hal. 78 63

Miles Huberman, Analisi Data kualitatif: Buku Sumber Tentang

Metode-Metode Baru. Terj. Tjejep Rohendi Rohidi, (Jakarta: Universitas

Indonesia, 1992), hal. 20. Dikutip dari Tesis Nisa, Nur, Gaya Hidup Waria

Urban Jakarta: Sebuah Negoisasi Identitas, (UIN Jakarta: Tesis, 2018) hal. 40

48

peneliti akan memperoleh data yang banyak dan

bervariasi.64

b. Reduksi Data (Data Reduction)

Dalam tahap ini, mengolah data yang didapatkan

dari lapangan dengan tujuan untuk menemukan benang

merah tentang penerimaan diri santri waria melalui

bimbingan keagamaan. Mereduksi data adalah bagian

dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstraksian

dan mentransformasi data kasar yang diperoleh dari

lapangan melalui observasi dan wawancara.65

Melalui proses pengumpulan data dengan berbagai

tahap; meringkas, membuat kode, membuat catatan

obyektif, memusatkan tema, membuat partisi. Reduksi

data juga bagian dari analisis, yang awalnya

diidentifikasikan adanya satuan terkecil dalam data lalu

dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian.66

c. Penyajian Data (Data Display)

Miles dan Huberman berpendapat bahwa, dalam

penyajian data, yang paling sering digunakan pada

penelitian kualitatif ialah teks yang bersifat naratif.

64

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif untuk Penelitian yang

bersifat eksploratif, enterpretif, interaktif, dan konstruktif, (Bandung: Alfabeta,

2017) hal. 134 65

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2006) hal. 22

66

Moleong, Lexy. Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2017) hal. 288

49

Dalam hal ini dilakukan dalam bentuk uraian singkat,

tabel, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.

Dan juga merupakan bagian proses pendiskripsian

kumpulan informasi dalam bentuk susunan yang jelas,

secara sistematis sehingga dapat membantu peneliti

menganalisa hasil penelitian.67

Pada proses ini peneliti membuat rangkuman dalam

susunan sistematis sehingga penerimaan diri santri lebih

mudah diketahui lewat bimbingan keagamaan.

d. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Data

(Conclusing drawing and verifikasi data)

Hasil kesimpulan yang relevan dengan bukti-bukti

yang valid, sesuai dengan data-data yang ditemukan di

lapangan, maka kesimpulan tersebut sudah kredibel.68

67

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2006) hal. 22-23 68

Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan

Praktik, (Jakarta: PT Rieka Cipta, 2001), hal. 345

50

G. Kerangka Berpikir

Gambar.1 Simpuan Kerangka Berpikir

Kehidupan seorang santri waria merupakan suatu proses yang

panjang, baik secara individu maupun sosial. Mengalami

perbedaan adanya ketidaksesuaian sosial dan isu toleransi

beragama. Sehingga pada tahun 2008 berdirilah pondok pesantren

waria, agar santri waria memiliki wadah untuk mengekpresikan

dirinya dengan Tuhannya, sehingga dapat menemukan bathiniyah

maupun lahiriyah-nya.

Bimbingan

Keagamaan Metode Bimbingan

Keagamaan

Penerimaan Diri

Menjadi pondok pesantren yang menjadi pusat

pendidikan agama dan sosial serta memiliki

kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial. Melalui

bimbingan keagamaan, sehingga beberapa santri

mengalami perubahan pada dirinya setelah

mendapatkan bimbingan keagamaan. Terdapat

beberapa santri waria yang melakukan kebiasaan

baik dalam menerapkan hablum minannas, hablum

minal alam, dan hablum minal Allah.

51

H. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian skripsi ini sistematika penulisan dibagi

ke dalam enam bab untuk mempermudah penelaahan skripsi.

Pada masing-masing bab terdapat sub bab. Adapun

sistematika penulisannya sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan isi dari keseluruhan Bab yang

ada pada skripsi ini. Bab I memuat; Latar

Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka

Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

Pada Bab ini terdiri dari Landasan Teori

(Penerimaan Diri, Transgender, Bimbingan

Keagamaan) dalam hal ini, menggunakan teori

penerimaan diri. Selanjutnya dalam Bab ini juga

terdapat Kerangka Berpikir.

BAB III : GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN

Isi bab ini terdiri dari gambaran umum lembaga

yang meliputi; Profil, sejarah berdirinya, visi dan

misi, tujuan, struktur organisasi, program kerja,

program bimbingan, sarana dan prasarana

Pondok Pesantren Al-Fattah Daerah istimewa

Yogyakarta dan dilengkapi proses perijinan.

52

BAB IV : DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Pada Bab ini peneliti membahas terkait; Proses

Pembentukan Penerimaan Diri pada Kelompok

Transgender melalui Bimbingan Keagamaan di

Pondok Pesantren al-fatah Daerah Istimewa

Yogyakarta, Pelaksanaan Bimbingan Keagamaan

dapat mempengaruhi Penerimaan Diri Kelompok

Transgender di Pondok Pesantren al-fatah Daerah

Istimewa Yogyakarta.

BAB V : PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL

PENELITIAN

Peneliti menuangkan hasil penelitian mengenai

penerimaan diri pada kelompok transgender

melalui bimbingan keagamaan di Pondok

Pesantren al-fatah DIY. Menuliskan hasil

wawancara terhadap subjek penelitian, hasil

observasi yang telah dilaksanakan, serta

menganalisis secara deskriptif- dengan ini

menggunakan studi kasus di Pondok Pesantren al-

fatah DIY.

BAB VI : SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

Merupakan kesimpulan dan saran dari hasil

penelitian penerimaan diri pada kelompok

transgender di Pondok Pesantren al-fatah Daerah

Istimewa Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

53

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri

1. Definisi Penerimaan Diri

Manusia adalah makhluk ciptaan, makhluk sosial juga

makhluk beragama. Kebutuhan beragama terlahir dari

ketidakberdayaan manusia dihadapkan dengan kekuatan

supranatural, yakni manusia tidak dapat melawan dengan

kekuatan fisik, tidak dapat terurai melalui akal, tidak bisa

dianalogikan dengan logika. Di dalam kitab Al-hikam

(151) menjelaskan sedikit, bagaimana hati manusia dalam

berkomunikasi dengan Tuhan-Nya:

نوار, القلوب واألسرار مطا لع األTempat terbitnya cahaya ilahi adalah hati dan relung batin.

1

Sifat Tuhan yang ditemukan dalam teks kitab suci Al-

Qur’an yakni, Tuhan yang memiliki sifat al-rahman, al-

rahim, yang merupakan pesan pertama yang tertera dalam

surah al-Fatihah.2 Penjelasan dapat diringkas, yakni

agama merupakan salah satu sumber motivasi, kekuatan,

atau disebut dengan idealitas agama.

1 Sibawaih, Imam. KItab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalamn (Al-

Hikam), (Yogyakarta: Telaga Aksara, 2020) hal. 205. 2 Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas

(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 27

54

Sehingga kehadiran agama menjadi sebuah solusi di

tengah-tengah lingkungan sosial.3 Jika memang agama

hadir menghidupi manusia dan alam, maka dengan

agama, seharusnya mampu memunculkan dan

menyebarkan kemanusiaan, bukan inhibisi.

Dalam tulisannya, Komarudin Hidayat memberikan

statement, bahwa dalam tradisi kaum sufi, terdapat

postulat yang berbunyi: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa

rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia

(akan mudah) mengenal Tuhannya. Ketika seseorang

mampu menerima keadaan dirinya baik kelebihan maupun

kekurangan yang dimiliki, maka dia akan mampu

menerima keadaan orang lain meskipun keadaannya

berbeda. Pada kenyataannya tidak semua orang dapat

menerima keadaan dirinya dengan baik, karena sebagian

dari mereka merasa kurang puas dengan kondisinya.4

Secara psikologis, Maslow menjelaskan mengenai;

kebutuhan dasar (kebutuhan dasar fisik dan kebutuhan

rasa aman) harus lebih dulu dipenuhi sebelum beranjak

3 Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas

(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 28 4 Sri M, Rulita H, Ira El K. Hubungan Antara perlakuan Diskriminasi

Masyarakat dengan penerimaan Diri Transeksual di Kota Semarang.

(Universitas Negeri Semarang: INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi,

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI, 2015) dikutip pada hari

Kamis, 16 Januari 2020, pukul 23:03 WIB apa

55

pada pemenuhan kebutuhan psikologis (kebutuhan akan

cinta, menjadi anggota kelompok, dan harga diri).5

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Sri

Wahyuningsih membuat kesimpulan bahwa dengan

tingkah laku pada dasarnya ditujukan untuk mencapai

tujuan yang diketahui secara sadar oleh seorang individu;

dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku merupakan

keseluruhan kegiatan seperti; berjalan, berbicara, makan,

tidur, dan sebagainya. Sebetulnya tidak mudah mengenal

untuk mengenal jiwa manusia, karena sifatnya yang

abstrak. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah

dengan mengobservasi tingkah lakunya, meskipun tingkah

laku tidak merupakan mencerminkan jiwa secara

keseluruhan.6

Dalam hal ini tingkah laku menjadi dasar pada

pergerakan diri kita menerima diri kita sendiri.

Penerimaan ini mengumpamakan adanya kemampuan diri

sendiri dalam psikologis seseorang, yang menunjukan

kualitas diri. Hal ini dapat dikatakan bahwa; tinjauan

tersebut akan diarahkan pada seluruh kemampuan diri

yang mendukung. Kesadaran diri dengan segala kelebihan

5Wahyuningsih, Sri. Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori

Pendekatan Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya). (Madura: UTM PRESS,

2013) hal. 46 6 Wahyuningsih, Sri. Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori

Pendekatan Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya). (Madura: UTM PRESS,

2013) hal. 47

56

dan kekurangan diri, yang seharusnya seimbang, dan

saling melengkapi satu sama lain sehingga dapat

menumbuhkan kepribadian yang sehat.7

Dengan penerimaan diri, individu dapat menghargai

segala kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Tidak

hanya menghargai kelebihan dan kekurangan dirinya,

menurut Hurlock, bahwasanya apabila individu hanya

melihat dari satu sisi saja maka tidak mustahil akan timbul

kepribadian yang timpang, semakin individu menyukai

dirinya, maka akan menerima dirinya dan Semakin baik

seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin

baik pula penyesuain diri dan sosialnya.8

Peneliti menyimpulkan bahwa santri waria di pondok

pesantren al-fatah akan menerima dirinya saat melakukan

ritual keagamaan dengan mempertimbangkan berbagai

aspek yang ada pada dirinya yaitu potensi diri.

7 J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta: Raja Grafindo

Jakarta, 2005), hal. 250 8 Hurlock, E.B. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih Bahasa:

Thandrasa & Zaikasih). (Jakarta: Erlangga) hal.276

57

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan

Diri

Berkiblat pada teori Hurlock, 2008 (dalam Nisa Anandita,

2019), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan

diri, antara lain:9

Adanya pemahaaman diri (Self-Understanding):

Hal ini tumbuh karena adanya kesempatan seseorang

untuk mengenali kemampuan dan

ketidakmampuannya. Ketika individu dapat

memahami dirinya, maka tidak akan hanya

tergantung pada intelektualnya, tetapi juga

mendapatkan penemuan diri sendiri—semakin orang

dapat memahami dirinya, maka akan mudah

menerima dirinya sendiri.

Adanya hal yang realistik: Hal ini timbul jika

individu menentukan sendiri harapannya yang sesuai

dengan pemahaman dan kemampuannya, serta bukan

diarahkan oleh orang lain dapat mencapai tujuannya.

Hal ini akan menimbulkan kepuasan tersendiri bagi

individu dan merupakan hal penting dalam

penerimaan diri.

9 Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan

Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area

2018). Hal. 12 Dikutip pada 11 Februari 2021, Pukul 14.00 WIB

58

Tidak adanya hambatan dalam lingkungan:

Meskipun seseorang sudah memiliki harapan yang

realistik, tetapi jika lingkungan tidak mendukung dan

tidak memberi kesempatan bahkan menghalangi

individu tersebut, maka harapan individu tersebut

akan sulit tercapai.

Tidak adanya gangguan emosional yang berat:

Dengan tidak adanya emosi yang berat, akan tercipta

individu yang dapat bekerja dengan baik dan merasa

bahagia dengan apa yang dikerjakan.

Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara

kualitatif dan kuantitatif: Keberhasilan yang

dialami dapat menimbulkan penerimaan diri dan

sebaliknya kegagalan yang dialami dapat

mengakibatkan adanya penolakan diri.

Identifikasi orang yang memiliki penyesuaian diri

yang baik: Individu yang mengidentifikasi dirinya

dengan individu lain yang mempunyai penyesuaian

diri yang baik akan memiliki tingkah laku yang sesuai

dengan individu yang dicontohnya.

Adanya perspektif diri yang luas: Yaitu

memperhatikan juga pandangan orang lain tentang

diri. Perspektif diri yang luas, dapat diperoleh melalui

pengalaman dan belajar.

Pola asuh masa kecil yang baik: Seorang anak

dengan pola asuh yang demokratis, akan cenderung

59

berkembang sebagai individu yang dapat menghargai

dirinya sendiri.

Pada penelitian ini, peneliti fokus pada penerimaan diri

kelompok transgender setelah mengeikuti rangkaian

bimbingan keagamaan.

3. Aspek-aspek Penerimaan Diri

Sheerer (dalam Ruth, 2019) menjelaskan mengenai

aspek-aspek dalam penerimaan diri:10

a. Perasaan Sederajat, Individu merasa dirinya

berharga sebagai manusia yang sederajat dengan

orang lain. Namun individu juga merasa dirinya

memiliki kelemahan dan kekurangan seperti halnya

orang lain.

b. Percaya Kemampuan Diri, mempunyai kemampuan

untuk mneghadapi kehidupan. Hal ini tampak dari

sikap individu yang percaya diri, dan menyukai

pengembangan sikap baiknya, lalu mengeliminasi

keburukannya dari pada ingin menjadi orang lain.

Oleh karena itu, puas menjadi dirinya sendiri.

c. Bertanggung Jawab, Individu yang berani memikul

tanggung jawab terhadap perilakunya. Sifat ini

tampak dari perilaku yang berkenan menerima kritik

10

Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada

Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) hal 10

60

dan menjadikannya sebagai masukan yang berharga

untuk mengembangkan diri.

d. Orientasi Keluar Diri, individu yang mempunyai

orientasi keluar diri dari pada bersikap ke dalam diri,

maka ia merasa tidak malu, dan lebih suka

memperhatikan, menyukai toleransi terhadap orang

lain, sehingga dengan sikap tersebut akan

mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungannya

e. Menyadari Keterbatasan, Individu tidak

menyalahkan diri akan keterbatasannya dana

mengingkari kelebihannya. Individu cenderung

mempunyai penilaian yang realistik tentang kelebihan

dan kekurangannya.

f. Menerima sifat kemanusiaan, Individu tidak

menyangkal impuls dan emosinya atau merasa

bersalah karenanya. Individu yang mampu menhenali

persaaan marah, takut, cemas, tanpa menganggapya

sebagai sesuatu yang ahrus diingkari atau ditutupi.

4. Ciri-ciri Penerimaan Diri

Individu dewasa adalah dapat menerima dirinya sendiri.

Dan dari penerimaan dirinya tersebut, dapat membantu

mencapai keamanan emosional. Allport (Dalam Ananda,

2017) juga menjelaskan bahwa, memiliki kepribadian yang

sehat, yaitu; mampu menerima semua segi dari diri mereka,

termasuk kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan

61

tanpa menyerah secara pasif dalam kelemahan dan kekurangan

tersebut.11

Jersild juga berpendapat juga menjelaskan ciri-ciri

individu yang memiliki penerimaan diri, yaitu:12

a. Individu memiliki keyakinan terhadap standar-standar

dan prinsip-prinsip dalam dirinya tanpa harus

dipengaruhi oleh opini orang lain.

b. Individu memiliki kemampuan dalam memandang

dirinya secara realistis tanpa harus menjadi malu akan

keadaan dirinya.

c. Individu mengenal kelebihan-kelebihan dalam dirinya,

dan bertindak dalam memanfaatkan kelebihannya

d. Individu mengenal kelemahan-kelemahan dalam

dirinya, tanpa menyalahkan atau mersa bersalah

terhadap diri sendiri.

e. Individu memiliki rasa tanggung jawab dalam dirinya

f. Individu tidak melihat diri mereka sebagai orang yang

harus dikuasai rasa marah atau takut.

g. Individu tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang

belum dapat diraih.

11

Rasulia, Ananda, “Penerimaan Diri Pada Istri yang Memiliki

Suami Homoseksual”, (Universitas Negeri Jakarta, 2017) Hal. 14 12

Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada

Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) Dikutip

pada 11 September 2020, Pukul 14.00 WIB

62

Johnson David dalam (Nisa Anandita, 2018) menyatakan

bahwa waria yang menerima dirinya, yakni:13

Menerima Diri Sendiri

Memiliki perasaan tulus, nyata, dan jujur untuk menilai

diri sendiri. Semakin dekat dan mengenal diri sendiri,

maka semakin besar untuk mnenerima dirinya serta

menghargai dirinya sendiri. Hal tersebur disampaikan juga

kepada orang lain betapa pentingya atau seharusnya mau

menerima diri sendiri.

Menerima Kelebihan dan Kelemahan

Lingkungan dapat membentuk sikap diri seseorang. Hal ini

terjadi pada individu yang mendapatkan sikap yang

menyenangkan dari lingkungannya. Tidak menolak diri

merupakan sikap menerima kenyataan diri pribadi, tidak

menyesali diri sendiri yang dulu maupun sekarang, tidak

membenci diri sendiri, serta jujur pada diri sendiri.

Mencintai Diri Sendiri

Jika individu sudah mencintai dirinya, maka tidak berharap

untuk dihargai orang lain maupun dicintai. Mencintai

dengan menerima segala kekurangan; memaafkan segala

kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat, dan

menghargai segala pencapaian yang telah dilakukan.

13

Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan

Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area

2018). Hal. 16 Dikutip pada 11 Januari 2021, Pukul 14.00 WIB

63

Semua itu dapat membangun diri dan memiliki

penghormatan tertinggi bagi pikiran, jiwa, tubuh dan hati.

5. Tahapan Penerimaan Diri

Kubler-Ross menjelaskan dalam buku Death & Dying

dalam (Anandita, 2018), bahwa sebelum mencapai Self-

accaptante individu akan melalui beberapa tahap ini:14

a. Tahap Denial, berupa pemberontakan atas peristiwa

yang tidak menyenangkan ataupun kekurangan yang

dimiliki

b. Tahap Anger, ditandai dengan reakasi emosi atau

marah atas kenyataan yang dialaminya.

c. Tahap Bergaining, Individu mengalihkan

kemarahannya dengan cara melibatkan Tuhan untuk

membuat sesatu yang baik dalam bentuk

kesepakatan.

d. Tahap Depression, pada tahap ini, individu

mengalami putus asa dan kehilangan harapan.

e. Tahap Acceptance, Individu mengalami pencapaian

titik terendah, dan mencoba menerima kenyataan

buruk yang terjadi.

14

Kubler-Ross, E. Death & Dying. (New York: Simon & Schuster

Inc, 2011) dalam Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan

Penrimaan Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas

Medan Area 2018). Hal. 16 Dikutip pada 11 November 2020, Pukul 14.00

WIB

64

Tahapan-tahapan yang tidak mudah untuk dijalankan

oleh seseorang untuk menerima diri sendiri, namun pada

kehidupan yang dijalankan oleh setiap individu, pasti

mengalami hal yang sama untuk menerima diri sendiri.

Saama halnya bimbingan keagamaan yang didapat oleh

santri waria, sehingga santri dapat mengetahui penerimaan

dirinya.

6. Dampak Penerimaan Diri

Pribadi yang memiliki penerimaan diri yang baik dan

menerima diri apa adanya, sehingga memiliki keseimbangan

emosional dan menjadi pribadi yang matang.15

Disisi lain, Maslow, mengemukakan dalam penelitiannya,

bahwa orang yang dapat menerima diri merupakan orang

yang sehat, karena tidak mengalami kecemasan-kecemasan

akan perasaan malu atau perasaan bersalah terhadap diri

mereka sendiri. Kemudian Hurlock menambahkan; apabila

terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan, maka individu

akan mampu berpikir logis tentang baik-buruknya masalah

ayng telah terjadi tanpa menimbulkan perasaan permusuhan,

perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman. 16

15

Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada

Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) hal 12

Dikutip pada 11 September 2020 16

Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada

Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) hal 14

Dikutip pada 11 September 2020

65

Seseorang yang memiliki penerimaan diri yang baik, akan

memiliki kualitas hidup yang baik berhubungan dengan

kesehatan fisiologis. Akan menunjukan selera makan yang

baik, tidur dengan nyenyak, dan menjalani proses penuaan

dengan baik—sehingga dapat diterima dengan perasaan

bahagia.17

B. Transgender

1. Pengertian Transgender

Transgender adalah istilah yang ditujukan kepada

identitas gender seseorang yang tidak mengubah jenis

kelaminnya yang diperoleh sejak lahir. Istilah transgender

di Indonesia dikenal dengan istilah waria. Pada daerah

tertentu dapat ditemukan istilah; wandu, wadam, bencong,

dan calabai.18

Kaitannya dengan transgender, menurut Hines teori

queer mencoba untuk mendekontruksikan kategori

tersebut karena semua gender dan identitas seksual adalah

17

Intan, Ruth. “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan Diri Pada

Pria Homoseksual (Gay)” (Univeristas Sanata Dharma: Skripsi, 2019) Dikutip

pada 11 September 2020 hal 30 18

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi

Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. (Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia, 2015) hal.6

66

konstruksi sosial, bertujuan untuk menghancurkan

anggapan patologi pada identitas minoritas.19

Pada tahun 1990 Teresa De Lauretis dan Judith Butler

memberikan pengertian bahwa teori queer berkaitan

dengan soal proses yang difokuskan pada pergerakan

yang melintasi ide, ekspresi, hubungan, ruang dan

keinginan yang menginovasi perbedaan cara hidup di

dunia.20

Pengertian lain dari transgender menurut Yash21

;

transgender adalah kata yang digunakan untuk

mendiskripsikan bagi orang yang melakukan, merasa,

berpikir, atau terlihat berbeda jenis kelamin yang telah

ditetapkan sejak lahir. Transgender tidak mengacu pada

bentuk spesifik apapun maupun orientasi seksual

orangnya. Seorang transgender dapat saja

mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang

heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.

19

S, Hines. Transforming Gender: Transgender Practices of identify,

intimacy, and care. (University of Bristol: The Police Press), hal. 25. Dalam

jurnal Iqra S, Anindita A. Representasi Transgender dan Transeksual dalam

Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis.

(Universitas Indonesia: Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, 2014), [email protected], [email protected] dikutip

pada Selasa, 08 Oktober 2019, pukul 20:35 WIB.

20

http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2015/11/15/memah mi-

teori-queer-5/ Dikutip pada 15-10-2019, pukul 20:18 WIB 21

Yash, Transseksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan

Transeksual Perempuan ke Laki-Laki (Semarang: AINI, 2003), hal. 17

67

Dari sekian banyaknya pengertian transgender,

peneliti menarik benang merah dari pengertiannya, yakni

seorang laki-laki yang mengalami perbedaan mulai dari;

perasaannya seperti perempuan, menyukai sesama jenis,

dan ingin bertingkah seperti perempuan pada umumnya,

ini disebut waria.

Seksualitas tidak lepas dengan bentuk keragaman

gender. Menurut Musdah Mulia dalam bukunya Islam

dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi juga

menganalisa arti dari seksualitas adalah hal yang positif

dan berhubungan dengan jati diri seseorang serta

kejujuran seseorang terhadap dirinya.22

Melengkapi pengertian adanya perubahan perasaan

pada jenis kelamin yang berbeda, buku Menguak Stigma

dan Diskriminasi mengartikan seksualitas yaitu semua hal

yang terkait dengan seks atau jenis kelamin manusia

sehingga dapat diartikan bahwa seksualitas merupakan isu

yang tidak berdiri sendiri dan tidak lepas dari pengaruh

sejarah, sosial, budaya, hukum, agama, etika, ekonomi,

dan politik.23

Seksualitas dijelaskan juga oleh Suparno (dalam

Kartika, 2016) bahwa seksualitas menyangkut seluruh

22

Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan

Implementasi. (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hal. 285 23

Laazulva, Indana. Menguak Stigma dan Diskriminasi (Jakarta: Arus

pelangi, 2013), hal. 17

68

keberadaan diri kita sebagai manusia yang diciptakan

Tuhan. Maka, kaitannya dengan penampilan tubuh,

bagaimana kita merasa aman dan bangga terhadap diri

kita, bagaimana kita berinteraksi dan membangun relasi

yang mendalam dengan diri sendiri dan orang lain.24

Transgender merupakan salah satu kelompok

minoritas atau kelompok kecil yang memiliki hak

beragama atas keyakinan mereka, sehingga tidak mudah

orang yang berbeda dengan heteronormativitas untuk

menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Dalam buku

Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas (Sebuah

tafsir dan kontekstual Islam), penulis mempertanyakan;

apakah agama memberikan ruang untuk orang dengan

hidup sebagai transgender atau waria? dalam konteks hak

beragama sebagai makhluk ber-Tuhan.

Bagi mereka yang menemukan jawaban, selain dari

jawaban penghakiman sekalius stigma negatif buruk dan

berdamai dengan dirinya, adalah sebuah augerah besar.

Karena dengan penerimaan tersebut, hidupnya akan

lebih tenang, dan mampu berdamai dengan situasi yang

menekan selama ini serta dapat berdamai dengan

24

Kusuma, Nur. Kartika Studi Fenomenologi Seksualitas

Transgender Wanita di Samarinda. (Psikoborneo: Fisip-Unmul) 4 (2): 362-373

(Suparno, Paul. Seksualitas Kaum Berjubah (Yogyakarta: Kanisius, 2007)

69

dirinya.25

Menyambung kembali pada teori queer yang

digunakan oleh peneliti. Dalam kamus Oxford Learners

Pocket yang dikutip oleh Arif Nuh Safri, mengartikan

teori queer yang diartikan sebagai sesuatu yang tidak

biasa atau aneh, dan keanehan itu ditujukan pada orang-

orang homoseksual.26

Melihat penelitian penerimaan diri

kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan,

akan mengkiblat pada teori queer yang berbasis teologi—

queer yang memiliki sifat inklusif dan ramah yang

didasarkan pada teks keagamaan.

2. Konsep Transgender (Waria)

Kebanyakan dari kawan-kawan waria, mereka

mengatakan kenyamanan dengan kondisi fisiknya (masih

memiliki alat kelamin laki-laki) meskipun mereka dalam

kesehariannya berpenampilan seperti perempuan.27

Karena banyak waria yang tidak mengalami operasi

kelamin, hanya saja kawan-kawan waria akan lebih

senang jika disebut perempuan.

a. Ciri-ciri Transgender (waria)

25

Safri, N.A. Memahami Keragaman Gender Dan Seksualitas

(Sebuah tafsir kontekstual Islam), (Yogyakarta: Lintang books, 2020) hal. xviii 26

Safri, N.A. Memahami Keragaman Gender Dan Seksualitas

(Sebuah tafsir kontekstual Islam), (Yogyakarta: Lintang books, 2020) hal. 52 27

Sara, Yuni. Sudah Adakah Kesetaraan di Kelompok Waria?. Dalam

Waria Kami Memang Ada. (Yogyakarta: PKBI DIY, 2007) hal. 25-26

70

Untuk mengidentifikasikan individu tersebut seorang

transgender, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:28

Pada masa anak-anak; lebih suka memakai pakaian

lawan jenis, menyukai permainan lawan jenis, lebih

suka bermain dengan teman-teman lawan jenis,

menyukai peran sebagai lawan jenis dalam bermain

atau berfantasi menjadi lawan jenis, dan berulang kali

menyatakan keinginannya untuk menjadi lawan jenis.

Pada masa remaja dan dewasa; simtom-simtom seperti

keinginan untuk menjadi lawan jenis, ingin

diperlakukan sebagai lawan jenis, emosi yang dimiliki

bertipikal seperti lawan jenis.

b. Faktor-faktor Pembentuk Transgender (waria)

Dalam konteks ini, masih banyak perdebatan hal-hal

yang menyebabkan transgender. Berikut faktor-faktor

penyebab transgender yang dijelaskan dalam buku

Understanding Abnormal Behaviour:29

a. Perlindungan dan perhatian yang berlebihan dari

seorang ibu.

28

Davidson, G.C., Neala, J.M. & Kring, A.M. Psikologi Abnorma.

(Jakarta: Rajawali pers, 2010) hal 35-36 lihat di Pratama, Rendi. Upaya Waria

Untuk Mendapatkan Penerimaan Sosial Dari Masyarakat. (Skripsi:

Universitas Jember, 2017) hal 13. Dikutip pada 14-02-2021 pukul 15.05 WIB 29

Sue, David. Understanding Abnormal Behaviour, (Boston:

Houghton Mifflin Company, 1986) Edisi 3, hal. 339 lihat di Pratama, Rendi.

Upaya Waria Untuk Mendapatkan Penerimaan Sosial Dari Masyarakat.

(Skripsi: Universitas Jember, 2017) hal 13. Dikutip pada 14-02-2021 pukul

20.00 WIB

71

b. Tidak adanya figur ayah

c. Kurang mendapatkan teman laki-laki dalam

bermain

d. Dukungan pemakaian pakaian yang menyimpang

Dalam penjelasan lain, penyebab terjadinya waria atau

transgender menurut beberapa penelitian:

Faktor Biologis

Dalam psikologi perkembangan, Elizabeth

menjelaskan bahwa faktor pembentuk individu waria,

dapat terjadi karena faktor biologis/genetis. Pada masa

pembuahan awal, yakni saat penentuan jenis kelamin.

Jenis kelamin individu bergantung dari jenis

spermatozoon (sel kelamin pria) yang menyatu dengan

ovum. Ada dua jenis spermatozoa (bentuk jamak

spermatozoon), yang pertama yakni mengandung 22

pasang kromosom ditambah 1 kromosom X, sedangkan

jenis yang kedua mengandung 22 kromosom ditambah

1 kromosom Y.

Sel telur yang matang selalu mengandung

kromosom X, yang akan menghasilkan janin kelamin

perempuan dan jika dibuahi oleh spermatozoa kedua

(Y) akan menghasilkan janin kelamin laki-laki.30

30

Elizabeth B. Hurlock. Psikologi Perkembangan, hal. 30-31 lihat di

Sandiah, Anwar, F. Konsep Diri Santri Waria. (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga,

2016) hal. 32. Dikutip pada 15-02-2021 pukul 10.10 WIB

72

Wanita normal memiliki kromosom XX sedangkan

laki-laki yaitu XY.

Penelitian yang dilakukan oleh Jacob dan Strong

menjelaskan bahwa konstitusi kromosom tidak bersifat

mutlak, yakni kromosom XX (wanita) dan kromosom

XY (pria), terkadang individu dapat memiliki susunan

kromosom XXY atau XXYY.31

Bertambahnya susunan

kromosom pada masing-masing kromosom yang

dimiliki wanita dan laki-laki, maka dapat menjadikan

salah satu faktor perubahan sifat alamiah dari genetik.

Penelitian lain juga menyebutkan penyebab lain yakni

dari pola asuh.

Faktor Psikologi

Faktor yang kedua ini disebutkan dalam Social

Learning Theory yang dikutip oleh Nisa Anandita,

2018; menjadi penyebab transgender atau waria bisa

juga disebabkan oleh faktor psikologis. Pada masa

kecil, anak laki-laki sudah menghadapi permasalahan

yang tidak menyenangkan; baik dengan orang tua, jenis

kelamin yang lain, frustasi heteroseksual, iklim

keluarga yang brokenhome atau tidak harmonis,

sehingga dapat mempengaruhi perkembangan

31

Dalam buku Koeswinarno, namun tidka menjelaskan secara rinci

penelitian yang dilakukan oleh Jacobs dan Strong. Lihat Koeswinarno. Hidup

Sebagai Waria, (Yogyakarta: Lkis, 2004) hal. 17. Dikutip oleh Sandiah.

Anwar. F. Konsep Diri Santri Waria, (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga, 2016) hal

33. Dikutip pada 15-02-2021 pukul 10.42 WIB

73

psikologis anak. Selain itu juga keinginan orang tua

untuk memiliki anak perempuan, pada kenyataannya

anaknya adalah seorang laki-laki.32

Faktor Sosiologis33

Pada faktor lingkungan sosial termasuk keadaan

yang kurang kondusif. Waria atau transgender

mengalami stigma dan pengasingan dari masyarakat

terhadap komunitas waria atau transgender yang

merupakan tempat perkumpulan/kelompok, karena di

tempat ini, waria atau transgender akan menjadikan

dirinya lebih baik dalam berperilaku maupun orientasi

seksualnya.

Menjadi seorang waria atau transgender mengalami

beberapa kasus termasuk sulit mendapatkan pekerjaan.

Hal tersebut dapat menyebabkan individu mengubah

penampilannya menjadi waria atau transgender—hanya

untuk mencari nafkah dan akhirnya menjadi permanen.

Terakhir dari faktor sosiologis ini, yakni kesalahan

dalam mengasuh di masa kecil. Misalnya keinginan

orang tua menginginkan memiliki anak perempuan,

sehingga ada sedikit sikap orang tua; memberikan

32

Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan

Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area

2018). Hal. 4 Dikutip pada 16 Januari 2021, Pukul 07.00 WIB 33

Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan

Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area

2018). Hal. 4 Dikutip pada 16 Januari 2021, Pukul 07.30 WIB

74

pakaian anak perempuan, ataupun mendandani anak

laki-lakinya layaknya anak perempuan.

Berdasakan uraian di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa; adanya faktor-faktor yang menjadikan individu

menjadi waria atau transgender tidak disebabka karena

satu dua faktor saja, karena ada beberapa hal yang yang

harus dilihat secara holistic, sebab memiliki banyak

variabel juga bagian dari terbentuknya seorang menjadi

waria atau transgender terutama pada faktor biologis dan

sosiologis. Dalam konteks ini, kembali lagi pada waria

atau transgender yang bukan hanya sebagai makhluk

sosial, namun juga makhluk ciptaan-Nya atau makhluk

yang memiliki rasa ketuhanan.

c. Hambatan yang dialami Transgender (Waria) di

Indonesia

Pandangan kurang baik terhadap transgender, sehingga

banyak orang yang menilai dari kehidupan, pekerjaan mereka

hanyalah menjadi pengamen atau pekerja seks. Pada

kenyatannya, banyak profesi yang digeluti oleh seorang

75

transgender. Istiqlal menjelaskan hambatan-hambatan yang

dialami transgender (waria):34

1. Hambatan Menjalankan Ritual Keagamaan

Kesempatan individu untuk beribadah, khususnya

bagi yang muslim tidak dapat melaksanakan di

tempat ibadah umum. Mengingat masih dalam

keadaan berpakaian seperti wanita.

2. Hambatan dalam Pendidikan

Memasuki usia Sekolah Menengah Pertama (SMP)

mereka mengalami masalah dalam pergaulan

dilingkungannya. Karena individu tersebut merasa

terganggu dengan dorongan perasaan dan libidonya

untuk lebih dekat dengan laki-laki. Keadaan ini

menimbulkan penolakan dari teman-teman sebayanya

di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Keadaan

ini menimbulkan hambatan kelanjutan belajar di SMP

sampai ke Perguruan Tinggi.

3. Hambatan Kesempatan Bekerja

Rendahnya taraf pendidikan dan kemampuan

keterampilan yang ditempuh oleh individu waria,

membuat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Namun

jenis pekerjaan yang disukai pada umumnya yaitu di

bidang wanita, sehingga masyarakat melihatnya aneh

34

Istiqlal Praja Dinar. Spiritualitas Pada Waria Pekerja Seks

Komersial Di Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta, (Skripsi: Fakultas

Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Jakarta, 2019) hal. 33-34

76

dan sulit memberikan pekerjaan kepada waria. Di sisi

lain, banyak dari mereka yang memiliki keahlian;

merias wajah, menjahit, menggunting rambut, dengan

keterampilan tersebut mereka tidak sulit memperoleh

pekerjaan. Bagi waria yang kesulitan mencari

pekerjaan, akibatnya sekelompok waria ada kalanya

mencoba menjadi pekerja seks atau mengamen.

4. Hambatan Kesempatan Perlindungan Hukum

Ditinjau dari segi hukum, seorang transgender

dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki, maka yang

dituis dalam akte berjenis kelamin laki-laki.

Demikian juga didalam Kartu Tanda Penduduk (KTP)

adalah laku-laki dan perempuan. Jika di kemudian

hari ada dari kelompok yang ingin mengubah

kelaminnya dengan operasi kelamin, maka akan

menyangkut berbagi faktor, seperti kejiwaan, medis,

dan hukum. Melibatkan pula berbagai pihak, yakni

keputusan Hakim, keputusan keluarga, dan

pertimbangan Hukum Agama.

d. Potensi yang Dimiliki Transgender (waria)

Tuhan menitipkan kelebihan dan kekurangan pada diri

manusia, yakni untuk diolah menjadi potensi diri. Setiap

manusia memiliki potensi yang unik dan menarik. Pun

demikian tidak berbeda dengan waria atau transgender yang

juga memiliki potensi diri. Dalam bukunya Fuad Nashori

menjelaskan, manusia memiliki potensi yang beragam dan

77

potensi tersebut digolongkan menjadi dua; potensi fisik dan

non fisik.35

Potensi Fisik

Pada potensi fisik, kemampuan yang dimiliki individu yakni,

keadaan jasmani, penampilan indrawi dan sesuatu yang

terlihat oleh mata. Dalam konteks ini, individu transgender

memiliki penampilan maupun perilaku yang berbeda; lemah-

gemulai, lembut, kulit, dan cenderung memiliki tubuh yang

kuat, dll. Jika potensi-potensi tersebut diasah, maka akan

menjadi suatu kecakapan, keahlian, dan ketrampilan dalam

bidang tertentu.

Potensi Non Fisik

Potensi yang sangat mahal adaah potensi intelektual,

kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan

spiritual.

1. Kecerdasan Spiritual, kecerdasan yang menyangkut

moral, mampu memberikan pemahaman untuk

membdakan sesuatu yang benar dan salah, dan

memiliki hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dan

sesama dengan memberikan kebermanfaatan. Memiliki

tekanan sosial dari masyarakat, dalam beribadah pun

masih dipandang belum baik.

35

Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia (Seri Psikologi Islami).

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal. 89

78

2. Kecerdasan emosional, dalam kecerdasan ini,

transgender memiliki kemampuan untuk; memotivasi

diri sendiri, mampu menghadapi frustasi, mengatur

suasana hati, menjaga mental supaya tidak stress

sehingga tidak melumpuhkan pikiran, memiliki empati

dan banyak berdoa.

3. Potensi Intelektual, semua manusia memiliki potensi

yang terbesar pada dirinya, yakni otak. Otak

terklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu otak kanan

(berfungsi untuk melakukan aktivitas imajinasi atau

intuisi, kreasi atau kreativitas, dan inovasi atau seni)

dan otak kiri (berfungsi untuk menghafal atau

mengingat, logika atau berhitung, menganalisis,

memutuskan dan bahasa).36

4. Kecerdasan Sosial, merupakan kepekaan sosial,

memiliki cara berkomunikasi yang baik, empati,

pengertian dan mampu memahami orang lain.

C. Bimbingan Keagamaan

1. Pengertian Bimbingan

Pada manuskrip sejarah pekembangan agama-agama

di dunia, bimbingan agama telah dijalankan oleh; nabi,

rasul, sahabat nabi, para ulama, pendeta, rahib, dan para

pendidik di lingkungan masyarakat dari zaman ke zaman.

36

Wiyono, Slamet. Manajaman Potensi Diri, (Jakarta: Grasindo,

2006) hal. 38

79

Maka dari itu, dalam lingkup masyarakat beragama secara

non formal, sudah tidak asing dengan bimbingan agama—

namun, ada sedikit perbedaan yang tidak didasari oleh

teori-teori pengetahuan yang berhubungan dengan teknis

ataupun administrasi pelaksanaan.

Istilah Guidance merupakan terjemahan dari

bimbingan yang berasal dari bahasa Inggris secara

etimologis. Kata dasar dari “guidance” yaitu “guide” yang

memiliki beberapa arti yakni; menunjukan jalan (showing

the way), memimpin (leading), memberikan petunjuk

(giving instruction), mengatur (regulating), mengarahkan

(governing), dan memberi nasehat (giving advice).37

Sesuai

dengan istilahnya, maka bimbingan dapat diartikan secara

umum sebagai suatu bantuan. Namun untuk mencapai

pengertian sebenarnya, bantuan atau tuntutan perlu

memperhatikan sistematika dan prosedur dasarnya serta

tujuan tertentu.38

Dalam Buku Psikologi Konseling juga mengartikan

bimbingan yaitu suatu proses pemberian bantuan yang

terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada

yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam

pemahaman diri dan perwujudan diri, dalam mencapai

37

Tohirin. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah

(Berbasis Integrasi). (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 16 38

Dewa Ketut Sukardi & Nila Kusmawati, Proses Bimbingan dan

Konseling (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), hal. 1

80

tingkat perkembangan yang optimal serta penyesuain diri

dengan lingkungannya.39

Syamsu Yusuf memberikan

istilah, bahwa bimbingan dapat dimaknai sebagai bantuan

atau pertolongan yaitu sebagai upaya untuk menciptakan

lingkungan (fisik, psikis, sosial, spiritual) yang kondusif

bagi perkembangan seseorang, memberikan dorongan dan

semangat, mengembangkan keberanian bertindak,

bertanggung jawab, serta mengembangkan kemampuan

untuk memperbaiki dan mengubah perilakunya sendiri.40

Istilah bimbingan dari berbagai pendapat di atas,

dapat disimpulkan oleh Prayitno dan Erna Anti41

bahwa,

proses pemberian bantuan yang dilakukan orang yang ahli

kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik

anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang

dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya

sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan

individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan

berdasarkan norma-norma yang berlaku.42

Keagamaan merupakan salah satu istilah dari

kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan

39

Surya, Mohammad. Psikologi Konseling (Bandung: Pustaka Bani

Quraisy, 2003), hal. 2 40

Syamsu Y, Juantika N. Landasan Bimbingan dan Konseling.

(Bandung: Rosdakarya, 2008) hal. 6 41

Prayitno dan Erman Anti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling

(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 99 42

Prayitno dan Erman Anti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling

(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 99

81

mengadakan hubungan dengan Nya melalui upacara,

penyembahan, dan permohonan, serta membentuk sikap

hidup manusia menurut alam berdasarkan ajaran

Agama.43

Menurut Glock & Stark Religiusitas atau keagamaan

diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.

Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang

melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga

melakukan aktivitas) yang tak tampak dan terjadi dalam

hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang akan

meliputi berbagai macam dimensi. Menurut C.Y Glock

dan R.Strak,44

terdapat lima dimensi keagamaan yaitu: 1)

Dimensi Ideologis (the ideological dimensions / religious

belief), 2) Dimensi praktik agama (the ritualistic

dimensions/ religious practice), 3) Dimensi pengalaman

dan penghayatan (the experiential dimensions / religious

feeling), 4) Dimensi pengetahuan agama (the intellectual

dimensions / religious knowledge), 5) Dimensi

Pengalaman dan konsekuensi (the consequential

dimensions / religious effect)

Bouquet mendefinisikan agama yaitu sebagai

hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang

43

Daud Ali. Pengatr Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam, (Jakarta:

PT Raja Grafindo, 2002) hal, 40 44

Djmalaludin Ancok, & Suroso, Fuad Nashori. Psikologi Islami,

Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Belajar, 1995) hal. 77

82

bukan manusia dan itu bersifat suci dan supranatural,

berada dengan sendirinya dan mempunyai kekuasaan

absolut yang disebut Tuhan.45

Menurut Harun Nasution,

Agama berasal dari kata al-din, religi (religare, religare)

dan agama. Al-din berarti undang-undang hukum,

kemudian dalam bahasa Arab, kata ini diartikan

menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan,

kebiasaan.

Menurutnya intisari dari agama adalah ikatan, yang

mana ikatan tersebut yang harus dipatuhi dan dipegang

teguh oleh manusia.46

Berbeda dengan pendapat W.H. Clark yang tertulis

dalam buku Ilmu Jiwa, bahwa; tidak ada yang lebih sukar

mencari kata-kata, kecuali menemukan kata-kata yang

sepadan untuk mendefinisikan agama, dimana penuh

dengan kegaiban dan misteri.47

Sejalan dengan pengertian dari bimbingan dan

keagamaan, maka dapat disimpulkan, yakni suatu usaha

pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami

kesulitan, baik lahiriyah maupun batiniah, yang

menyangkut kehidupan dimasa kini dan mendatang.

45

Rusmin, Tumanggor. Ilmu Jiwa Agama, The Psychology of

Religion (Jakarta: Kencana, 2014) hal. 2 46

Nasution, Harun, Islam (ditinjau dari berbagai aspeknya). (Jakarta:

UI Press, 2013), hal 1-2 47

Tumanggor Rusmi, Ilmu Jiwa Agama, The Psychology of Religion

(Jakarta: Kencana, 2014) hal. 2014

83

Bantuan tersebut berupa pertolongan di bidang mental dan

spiritual, dengan maksud agar orang yang bersangkutan

mampu mengatasi kesulitannya dengan kemampuan yang

ada pada dirinya sendiri melalui dorongan dari kekuatan

iman dan takwa kepada Allah swt.48

Menurut Ainul Muttaqin dalam tesisnya

menyimpulkan, bahwa bimbingan keagamaan merupakan

kegiatan yang dilaksanakan untuk pemberian kecerahan

batin sesuai dengan ajaan agama, dan harapannya santri

atau yang terbimbing dapat mengatasi masalah yang

terjadi dalam dirinya, serta lebih pasrah juga berserah diri

kepada Tuhan Yang Mahah Esa.49

Seperti yang

diterangkan dalam QS Al-Maidah ayat 2:

شديد ث والعدوان وات قوا الل إن الل وال ت عاونوا على ال العقاب

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam

48

Arifin, Stretegi Komunikasi, Sebuah Penganar Ringkas, (Bandung:

CV. Armico, 1994) hal 2 49

Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan

Nilai-Nilai Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas

Kelas II-A Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program

Pasca Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal.

16 Dikutp pada 20-02-2021 pukul 06.00 WIB.

84

berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakawalah kamu

keoada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.50

2. Landasan Bimbingan Keagamaan

Proses pemberian bantuan yang sistematis dari

pembimbing kepada yang dibimbing, tentunya ada hal yang

mendasari agar tercapai. Hamdani Adz-Dzaky memberikan

enam asas atau kaidah yang diterapkan menjadi landasan

dan pedoman dalam melakukan bimbingan, yakni:51

b. Asas Tauhid, dalam hal ini pembimbing membantu

santri untuk membangkitkan potensi imannya

supaya terhindar dari kemusyrikan.

c. Asas Penyerahan Diri, atau tunduk dan tawakal

kepada Allah, pada proses ini pembimbing

menyadarkan santri dengan memberi tahu bahwa

dibalik berusaha maksimal yang disertai doa, juga

harus berserah kepada Allah SWT.

d. Asas Syukur, dalam memberikan layanan bimbingan

keagamaan hendaknya diingat bahwa kesuksesan

usaha adalah atas pertolongan dan izin Allah SWT,

oleh sebab itu masing-masing pihak harus bersyukur

atas kesuksesan yang diraih.

50

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-

Maidah ayat 2, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 106 51

Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Konseling dan Psikoterapi Islam,

(Yogyakarta: Al-Manar, 2008) cet ke-6, hal. 1-2

85

e. Asas Sabar, pada tahap ini pembimbing dan santri

dalam melaksanakan pernaikan atau pengambangan

diri harus bersabar dalam melaksanakan perintah

Allah SWT dan menunggu hasilnya atas izinNya.

f. Asas Hidayah Allah, tahap yang tidak dapat ditebak

oleh manusia sehingga kesuksesan dalam

membimbing yaitu tidak sepenuhnya hasil upaya

dari pembimbing dan santri, namun masih

bergantung pada hidayah dari Allah SWT.

g. Asas dzikrullah, untuk menjaga hasil bimbingan

yang sudah didapatkan, seyogyanya santri banyak

mengingat Allah SWT baik dalam hati, dalam

bentuk ucapan dan perbuatan.

3. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Keagamaan

Dua komponen bimbingan dan keagamaan,

merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat terpisahkan,

karena bagian integral untuk memberikan petunjuk dalam

proses bimbingan kepada santri waria. Dalam buku

pokok-pokok pikiran tentang bimmbingan dan penyuluhan

agama merumuskan dua tujuan umum yakni, dalam

membantu mewujudkan individu menjadi manusia

seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

di akhirat. Selanjutnya tujuan khususnya, yaitu:

a. Membantu orang yang dibimbing supaya memiliki

religious reference (sumber pegangan keagamaan)

dalam pemecahan problem-problem.

86

b. Membantu orang yang dibimbing supaya bersedia

mengamalkan ajaran agamanya melalui kesadaran

dan kemaunnya.52

Harapan terwujudnya tujuan bimbingan keagamaan,

dalam beberapa penelitian, yakni supaya individu atau

santri yang telah melaksanakan bimbingan tersebut dapat

merencanakan, mengembangkan potensi yang dimiliki

setelah bimbingan, serta bisa menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitranya juga dapat mengatasi masalah atau

hambatan yang terjadi dalam diri individu.

Sehingga Nurihsan menjelaskan lebih detail, apa yang

harus dipersiapkan oleh pembimbing kepada individu

atau santri yang dibimbing:

a. Mengenal dan memahami potensi-potensi yang ada di

lingkungannya

b. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan dan

tugas-tugasnya.

c. Mengenal dan menentukan rencana dalam tujuan

hidupnya, serta rencana pencapaian tujuannaya nanti.

d. Memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitannya

sendiri

e. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari

lingkungannya

52

M. Arifin, Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan

Penyuluhan Agama (di Sekolah dan di Luar Sekolah), (Jakarta: Bulan Bintang,

1978) hal.29

87

f. Mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang

dimilikinya secara tepat, teratur, dan optimal.

Aunur Rahim Faqih yang dijelaskan kembali oleh

Anwar Sutoyo merumuskan tujuan bimbingan, yang

dibagi menjadi dua bagian umum dan khusus. Tujuan

umumnya adalah dengan membantu individu untuk

mewujudkan dirinya menjadi insan yang lebih baik agar

tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Selanjutnya untuk tujuan khususnya, yakni:

Membantu individu dalam mengatasi masalah yang

sedang dihadapinya

Membantu individu untuk mengolah (memelihara dan

mengembangkan) situasi dan kondisi yang baik agar

tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak

menyebabkan sumber masalah bagi dirinya dan orang

lain.53

Di sisi lain, terdapat fungsi bimbingan keagamaan yang

disampaikan oleh beberapa ahli:

Fungsi kuratif, membantu individu memecahkan

masalah yang sedang di alaminya.

Fungsi preservatif, membantu individu untuk menjaga

situasi dan kondisi yang awalnya tidak baik atau

53

Sutoyo, Anwar. Bimbingan dan konseling Islami (Teori dan

Praktek), (Semarang: CV Cipta Prima Nusantara, 2007) hal. 36-37

88

bermasalah berubah menjadi baik dengan memecahkan

masalah dan kebaikan itu bertahan lama.

Fungsi developmental, membantu individu memelihara

dan mengembangkan situasi dan kondisi yang sudah

baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga

tidak menyebabkan munculnya masalah bagi dirinya.54

Fungsi pengembangan, adalah fungsi untuk

mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang

dimiliki individu.

Fungsi penyesuaian, dalam hal ini membantu individu

menemukan penyesuaian diri dan perkembangannya

secara optimal.55

Fungsi pemahaman, merupakan bimbingan dalam

memahami dirinya sendiri yang meliputi; kemampuan

diri, bakat diri, serta lingkungannya.

Fungsi perbaikan, pada fungsi ini akan menghasilkan

perbaikan dirinya dengan mengatasi masalah dan

memperbaiki dirinya.

54

Sutoyo, Anwar. Bimbingan dan konseling Islami (Teori dan

Praktek), (Semarang: CV Cipta Prima Nusantara, 2007) hal. 36-37 55

Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan & Konseling Dalam

Berbagai Latar Kehidupan. (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) hal. 8-9

dalam Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan Nilai-

Nilai Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas Kelas

II-A Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program Pasca

Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal. 16

Dikutip pada 22-02-2021 pukul 12.00 WIB.

89

Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, melalui

fungsi ini, santri atau peserta bimbingan dapat

memilihara dan mengembangkan pribadinya untuk

lebih terarah dan terkontrol.56

Dalam hal dapat disimpulkan bahwa fungsi utama

bimbingan keagamaan, yaitu tidak dapat terpisahnya antara

hubungan kejiwaan dengan masalah-masalah spiritual

(keyakinan). Islam memberikan bimbingan kepada individu

agar dapat kembali pada bimbingan Al-Qur’an dan As-

Sunnah, karena sudah jelas bahwasanya sebagai umat manusia

yang diciptakan Allah SWT harus mengikuti apa yang telah

diturunkan oleh Allah kepada umat manusia yakniAl-Qur’an

dan As-Sunnah, hal tersebut telah jelas dalam QS. Al-A’raf

ayat 3:57

اتبعوا ما انزل اليكم من ربكم وال ت تبعوا من دونهرون ما قليل اولياء تذك

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan

janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat

sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).58

56

Sukardi Ketut Dewa, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan

dan Konseling Di Sekolah, (Jakarta: PT Renika Cipta, 2008) hal. 43 57

Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan

Nilai-Nilai Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas

Kelas II-A Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program

Pasca Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal.

16 Dikutip pada 22-02-2021 pukul 14.00 WIB. 58

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-

A’raf ayat 3, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 151

90

4. Metode Bimbingan Keagamaan

Dalam melaksanakan bimbingan keagamaan, metode

merupakan bahan utama yang digunakan oleh

pembimbing. Metode berasal dari bahasa Yunani, yang

terdiri dari penggalan kata “meta” yang berarti melalui

dan “hodos” berarti jalan. Buku Bimbingan dan Konseling

Islam membawa pengertian yang lebih luas, metode bisa

diartikan sebagai segala sesuatu atau cara yang digunakan

untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.

Melengkapi metode yang dijadikan sebagai acuan,

terdapat “teknik” dan “pendekatan”, keduanya dipahami

sebagai cara-cara ilmiah yang dipakai sebagai alat atau

instrument dalam melakukan pekerjaan yang sifatnya

lebih fokus kepada subyek dan obyek penelitian.59

Dalam konteks bimbingan keagamaan terhadap santri

waria, maka dapat menggunakan metode-metode di

bawah ini yang dirumuskan oleh beberapa ahli:

a. Spiritualism method

(1) Latihan spiritual

Metode ini mengarahkan klien/santri waria untuk

mencari ketenangan hati dengan mendekatkan

59

M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling

Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

hal. 120-133 dalam Naimah, Alfin. Mekanisme Problem Focused Coping

Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual. (UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2020) hal. 65 Dikutp pada 20 februari 2021

Pukul 23.00 WIB

91

diri kepada Allah SWT, yang dijadikan sebagai

sumber ketenangan hati, kekuatan dan

penyelsaian masalah serta penyembuhan penyakit

mental.

(2) Menjalin kasih sayang (ukhuwah Islamiyah)

Keberhasilan dalam melaksanakan bimbingan

tidak lepas dari terciptanya hubungan baik antara

pembimbing dan santri atau klien. Hubungan

yang dimasksud yakni kasih sayang (ukhuwah

islamiyah).

(3) Cerminan alqudwah al-hasanah

Proses bimbingan yang berlangsung secara face

fo face, maka dapat menempatkan pembimbing

pada posisi sentral di hadapan klien. Sudut

perhatian klien tidak hanya pada batasan

petunjuk-petunjuk yang diberikan selama

bimbingan berlangsung, namun klien meyakini

bahwa pembimbing sebagai sosok yang mampu

menyelesaikan masalahnya. Oleh karena itu, sifat

keteladanan yang dimiliki pembimbing perlu

diekspresika atau diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari, baik dalam proses bimbingan

muapun di luar kegiatan.60

60

Noer Iskandar, M. Ali Mansyur, Waria Dan Pengubahan Kelamin

DItinjau Dari Hukum Islam. (Yogyakarta: nurcahya, 1981) hal 137-143 dalam

92

b. Wawancara, yaitu cara atau teknik yang digunakan

untuk mengetahui mengenai fakta-fakta mental

atau kejiwaan (psikis) yang ada pada diri yang

dibimbing dengan cara tanya jawab secara face to

face.

c. Observasi, yaitu cara atau teknik yang digunakan

untuk mengamati secara langsung sikap dan

perilaku yang tampak pada saat-saat tertentu,

muncul sebagai pengaruh dari kondisi mental atau

kejiwaannya.

d. Bimbingan kelompok (group guidance), yaitu:

teknik bimbingan melalui kegiatan

bersama/kelompo, seperti kegiatan; diskusi,

ceramah, seminar dan sebagainya. Teknik ini

dipakai untuk mempelajari dan mengetahui

komunikasi dan interaksi sosial yang dilakukan

individu-individu (terbimbing/klien) agar mampu

menumbuhkan atau mengembangkan potensi-

potensi sosial klien.

e. Non direktif (teknik tidak mengarahkan), pada

teknik ini mengaktifkan klien dalam

mengungkapkan dan memecahkan masalah

dirinya.

Jurnal Dakwah (2010, Vol. XI, No. 2) hal. 182-183. Dikutip pada 29

Desember 2020 pukul 18:53 WIB

93

f. Direktif (bersifat mengarahkan), adalah satu teknik

yang diberikan dan digunakan bagi klien yang

tidak bisa mengerti masalahnya dan mengalami

kesulitan dalam memahami dan

memecahkannya.61

g. Metode Demonstrasi / percontohan

Pada metode ini, pembimbing memberikan contoh

dengan mempertunjukan atau memperagakan.

Contoh dalam metode demonstrasi yaitu

menyangkut praktek ibadah; cara berwudhu,

praktek shalat, merawat jenazah, dan berdoa.

h. Metode Psikoterapi

Metode ini merujuk pada tokoh psikolog yaitu

Sigmund Freud, tentang alam ketidaksadaran dan

psikoanalisa. Pada fenomena iceberg (gunung es)

terapung di laut yang berarti sebagian besar

perilaku manusia didorong oleh motif yang tidak

disadari, hal tersebut disampaikan oleh Sigmung

Freud. Sarlito menjelaskan di dalam bukunya,

bahwa terdapat dua kesadaran yang terlihat pada

bagian atas gunung es terlihat 12 % pikiran sadar

61

M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling

Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

hal. 120-133 dalam Naimah, Alfin. Mekanisme Problem Focused Coping

Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual. (UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2020) hal. 65 Dikutp pada 20 februari 2021

Pukul 23.00 WIB

94

(conscious) dan bagaian bawahnya 88 % pikiran

tidak sadar (subsconcious).62

Dalam Nurokhi yang dikutip oleh Nurwahidah

dalam penelitiannya menjelaskan bahwa conscious

memiliki empat fungsi utama; menggali informasi dari

panca indra, lalu dibandingkan dengan memori,

selanjutnya menganalisa dan memutuskan respon

spesifik terhadap informasi tersebut. Berbeda pada

subsconcious, berfungsi untuk memproses kebiasaan,

perasaan, kepribadian, memori permanen, intiusi,

kreativitas, dan keyakinan.63

Metode-metode bimbingan yang telah diuraikan di

atas, secara khusus dalam metode bimbingan keagamaan

menggunakan pendekatan Islami yang dikemas ke dalam

beberapa teknik pendekatan, berikut yaitu:64

1. Teknik bil-hikmah; teknik ini digunakan dalam

menghadapi orang-orang terpelajar, intelek, dan

62

Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta:

Rajawali Press, 2009) hal. 31-32 63

Nurwahiah Revita, Bimbingan Agama Untuk Pembentukan

Karakter Kepedulian Sosial Santriwati Di Pondok Pesantren Darunnajah 3

Serang Banten, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020) hal. 35 64

M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling

Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

Hal. 135-137 dalam Naimah, Alfin. Mekanisme Problem Focused Coping

Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual. (UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2020) hal. 65 Dikutp pada 20 februari 2021

Pukul 23.00 WIB

95

memiliki tingkat rasional yang tinggi, yang

kurang yakin akan kebenaran ajaran agama.

2. Teknik bil-mujadalah; merupakan perdebatan

yang digunakan untuk menunjukan dan

membuktikan kebenaran ajaran agama dengan

menggunakan dalil-dalil Allah yang rasional.

3. Metode bil-mauidzah; dengan menunjukan

contoh yang benar dan tepat, agar yang

dibimbing dapat mengikuti dan menangkap dari

apa yang diterimanya secara logika dan

penjelasan akan teori yang masih baku.

4. Teknik ceramah; yaitu penjelasan yang bersifat

umum, cara ini lebih tepat diberikan dalam

bimbingan kelompok (group gidance)

5. Teknik diskusi atau dialog tanya jawab;

kelebihan teknik ini klien dapat menyampaikan

secara luas apa yang dirasakannya.

6. Teknik persuasif; adalah dorongan-dorongan

yang bersifat positif, santai, hiburan, dan

mendidik—sehingga klien termotivasi untuk

melakukan nasehat dengan senang hati.

7. Teknik lisan; yaitu melalui pesan-pesan langsung

yang disampaikan dengan ucapan atau kata-kata,

guna membantu penyelesaian masalah klien, atau

menjelaskan sesuatudan pesan-pesan tertentu

untuk kebaikan dirinya dengan menggunakan

kata-kata atau bahasa yang mudah dimengerti.

96

8. Teknik doa dan dzikrullah (dengan hati); dalam

Islam, setipa permsalahan tidak mungkin diatasi

sendiri tanpa bantuan dari Yang Maha Kuasa,

karena itu dalam mengatasi dan memecahkan

masalah klien—pembimbing membimbingnya

untuk bersama-sama memohon pertolongan dan

bantuan dari Allah SWT., sebab terapis yang

terbaik adlaah Allah SWT. Jadi kesembuhan

yang hakiki dan sejati hanya datang dan milik-

Nya.

Dari berbagai macam metode yang dipaparkkan di

atas, penelitian ini memiliki varibael-variabel dan

karakteristik khusus yang ditinjau. Penelitian ini fokus

menampilkan metode dari pelaksanaan bimbingan

keagamaan yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-

fatah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang pastinya

memiliki variasi dan keunikan maupun karakteristik

tersendiri dalam bimbingan keagamaan, sehingga akan

menghasilkan beberapa metode dari metode yang tertera

di atas khususnya dalam penerimaan diri kelompok

transgender.

5. Prinsip Bimbingan Keagamaan

Pada dasarnya prinsip bimbingan keagamaan

merupakan hal utama yang dijadikan pedoman bagi

pembimbing. Seperti yang dijelaskan oleh Achamad

97

Juntika dalam bukunya Bimbingan dan Konseling Dalam

Berbagai Latar Kehidupan:65

Bimbingan dimulai dengan mengidentifikasi

kebutuhan yang dirassakan oleh santri atau individu

yang akan dibimbing.

Dalam menjalankan bimbingan harus fleksibel dan

luwes sesuai dengan kebutuhan individu.

Pembimbing yang baik yaitu mengetahui individu yang

akan dibimbing, agar tujuan atau target dari kegiatan

bimbingan keagamaan dapat tercapai.

6. Dimensi Religiusitas/Keagamaan Dalam

Bimbingan Keagamaan

Proses penerimaan diri melalui bimbingan keagamaan

ini, santri transgender atau waria menerima materi bimbingan

keagamaan; berkaitan dengan tujuannya, yaitu membantu

individu ataupun kelompok transgender/waria mampu

melaksanakan kewajiban dirinya sebagai makhluk yang ber-

Tuhan sehingga dapat mensyukuri apa yang ada pada

65

Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan & Konseling Dalam

Berbagai Latar Kehidupan. (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) hal. 9 dalam

Muttaqin, Ainul. Bimbingan Keagamaan Dalam Menanamkan Nilai-Nilai

Keislaman Pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas Kelas II-A

Pamekasan. (Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program Pasca

Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal. 16

Dikutp pada 20-02-2021 pukul 07.00 WIB.

98

dirinya. Dalam proses keagamaan dapat diwujudkan dalam

berbagai sisi kehidupan.

Perlu diketahui konteks aktivitas beragama bukan

hanya menjalankan ritual keagamaan, namun saat mealukan

aktivitas lain, juga dibantu oleh kekuatan supranatural—

bukan hanya aktivitas yang tampak dilihat oleh mata dan

tidak tampak yang terjadi di dalam hati seseorang.

Menurut Glock & Strak, ada lima macam dimensi

keberagamaan (religius), yaitu:66

a. Dimensi Keyakinan (Ideologis); Pada dimensi ini,

berisi pengharapan-pengharapan dimana orang

berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu

dan mengakui keberadaan doktrin tersebut. Setiap

agama memegang kepercayaa, di mana para

penganut diharapkan akan taat. Djalaludin dan Fuad

mengkategorikan tiga kategori kepercayaan, yaitu:

Kepercayaan yang mendasari esensial suatu agama

yaitu percaya kepada Nabi Muhammad SAW

Kepercayaan dengan tujuan ilahi dalam penciptaan

manusia yang terwadah di dalam QS Al-Mulk ayat

2:

ة ا ي ل وا وت م ل ا ق ل خ ي لذ م ا يك أ م وك ل ب ي لور ف غ ل ا ز زي ع ل ا و ه و ل م ع ن س ح أ

66

Djamaludin Ancok & Fuad Ansori, Psikologi Islami; Solusi Islam

Atas Problem-Problem Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 77

99

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia

menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih

baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha

Pengampun.67

Kepercayaan yang berkaitan dengan cara terbaik untuk

melaksanakan tujuan di atas. Dengan mempercayai

bahwa untuk mendapatkan amal yang shaleh, manusia

harus melakukan pengabdian kepada Allah dan

pengkhidmatan kepada sesama manusia.68

Bukan hanya

dengan itu saja, namun ada tiga; hablum minal-Allah,

hablum minannas, hablum minal alam. Pada dimensi

keyakinan ini, akan lebih meningkatkan keyakinan

Santri dalam agama—terutama dalam beribadah kepada

Allah SWT dan yakin akan dirinya berubah menjadi

lebih baik.

b. Dimensi Praktik Agama (Ritualistik); Dimensi ini,

mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal

yang dilakukan orang untuk menunjukan

komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek

keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:

1) Ritual, mengacu pada perangkat ritus, dengan

tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci

untuk dilakukan oleh pemeluk.

67

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Al-

Mulk ayat 2, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 562 68

Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama Sebuah pengantar. (Bandung:

Mizan, 2003) hal. 44

100

2) Ketaatan, sebagai pelengkap dari ritual, menurut

Jalaludin Rahmat seperti ikan dengan air, meski ada

perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari

komitmen sangat formal dan khas publik, semua

agama yang dikenal juga personal yang realtif,

informal, dan khas pribadi.69

Pada dimensi praktik agama ini, akan menjadikan

Santri mampu memahami dan meningkatkan

ketaatannya dengan belajar dan mengikuti kegiatan yang

ada di pondok pesantren.

c. Dimensi Penghayatan (eksperensial); Dimensi ini

berkaitan dengan perasaan keagamaan yang

dialami oleh penganut agama. Pengalaman

keagamaan ini terjadi secara moderat,

kekhusuyuan di dalam shalat atau pengalaman

intens yang dialami oleh sufi. Dengan dimensi ini,

Santri dapat memperhatikan dirinya dan ilmu

agamanya dengan rutin belajar keagamaan di

Pondok Pesantren.

d. Dimensi Pengamalan (konsekuensial); dimensi ini

menunjukkan pada identifikasi akibat-akibat ajaran

agama dalaml perilaku sehari-hari/umum, yang

tidak secara langsung dan secara khusus yang

69

Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami;

Solusi Islam Atas Problem-problemPsikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011) hal 78

101

sudah ditetapkan agama (seperti dalam dimensi

ritualistik).70

praktik pengalaman, dan pengetahuan

seseorang dari hari ke hari. Melalui dimensi ini,

Santri akan belajar mengaplikasikan apa yang

didapatkan dari kegiatan Bimbingan keagamaan—

dapat merasakan rasa bersyukur dalam hidupnya,

tata beribadah, dan lebih sabar dalam menjadi

kehidupannya.

e. Dimensi Pengetahuan Agama (Intelektual);

Dimensi ini tertuju kepada harapan bahwa manusia

yang beragama, setidaknya memiliki pengetahuan

dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus kitab suci dan

tradisi-tradisi. Sangat jelas bahwa dimensi

pengetahuan dan keyakinan itu berkitan satu sama

lain, karena pengetahuan mengenai keyakinan

adalah syarat bagi pemeluknya. Dalam konteks

tersebut, terdapat metode-metode bimbingan

keagamaan yang dijadikan acuan oleh pembimbing

agama. Sebagai jalan menuju Tuhan, tentu

dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan keyakinan.

70

Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung:

Mizan, 2003) hal. 47

102

D. Religiusitas/ Keagamaan Kelompok Transgender di

Pondok Pesantren al-fatah DIY

Sebagai lembaga yang berbasis agama (educational

institution-based religion), awalnya pesantren hanya

dijadikan sebagai pusat pendalaman nilai-nilai dan penyiaran

agama Islam. Namun, seiring perkembangannya, pesantren

tidak hanya sekedar mengakselerasikan penjelajahan materi-

materi keagamaan (mobilitas vertikal) saja, akan tetapi juga

kesadaran sosial (mobilitas horizontal).

Oleh sebab itu, kini pesantren tidak lagi didakwa sebagai

lembaga keagamaan murni, tetapi juga sebagai lembaga sosial

yang hidup dan peka terhadap persoalan masyarakat

sekitarnya.71

Secara terminologis, pesantren didefinisikan sebagai

lembaga pendidikan tradisional Islam untuk; mempelajari,

memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan

ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral

keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.72

Memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori

71

Matsuki & Ishom, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva

Pustaka, 2006) hal. 1 72

M. Damopolii. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim

Modern. (Jakarta: Bulan Bintang,2011) hal. 57-58

103

sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang

unik.73

Dalam hal ini, Pondok Pesantren (PP) yang ditujukan

yaitu; salah satu PP khusus transgender notaben waria yang

baru ada satu di Indonesia. Berjalan sudah 12 tahun tepat di

bulan februari 2020, dengan jumlah santri 45 orang. Para

santri ini berasal dari daerah yang berbeda di Nusantara dan

profesi atau pekerjaan yang berbeda pula. Sebagian dari

mereka adalah santri mukim (bertempat tinggal di dalam PP)

dan santri non mukim (datang dan langsung pulang). Santri

mukim ataupun non mukim sendiri datang untuk belajar

Agama (ngaji), melakukan konseling, pengajian, kegiatan

sosial yang dilaksanakan oleh PP ataupun institute

Pendidikan, sosial, dll.

Perbedaan pada kedua santri ini adalah tidak bertempat

tinggal dalam satu atap di PP al-fatah Yogyakarta. Orientasi

penerimaan santri di PP Waria al-fatah ini dengan merekrut

anggota santri dari kalangan transgender yang ada di

Yogyakarta, dimana menginginkan pembelajaran Agama

untuk menumbuhkan nilai-nilai spiritual kaum waria. Rentan

usia santri yang ada di PP al-fatah, yakni 24-50 tahun.74

73

Robert A Baron dan Donn Byrne, Psikologi Sosial. (Jakarta: PT

Gelora Aksara Pratama, 2003) cet ke-10, hal. 163 74

Ardiansyah. Upaya Bimbingan Konseling Nilai dan

Spiritual terhadap Transgender di Yogyakarta. (Journal; Universitas

PGRI Madiun), vol 8 (2), 71-87 November 2018.

104

Hasil pengamatan peneliti, individu-individu santri

Pondok Pesantren al-fatah Yogyakarta memiliki ciri khas dan

keunikan masing-masing. Misalnya; saat melaksanakan

kewajiban 5 waktu mereka bebas untuk memilih

menggunakan sarung ataupun mukena sebagai atribut

keagamaan.75

Metode yang digunakan di PP al-fatah yaitu metode

ceramah, metode Tanya jawab, dan metode diskusi. Metode

juga diartikan sebagai salah satu komponen penting yang

menghubungkan tindakan dengan tujuan pendidikan, sebab

tidak mungkin materi pendidikan dapat diterima dengan baik

kecuali disampaikan dengan metode yang tepat. 76 Dalam hal

ini juga membutuhkan media untuk tersampaikan materi ke

santri waria, adapun media yang digunakan yakni; papan

tulis, buku tulis, dan sumber ajar

Tabel 2.1 Materi kajian pembinaan

No Materi Kajian Waktu

1 Akhlak 1 Jam

2 Aqidah 1 Jam

3 Ibadah Tentative

4 Baca tulis Al-Qur’an dan

tajwid

30 menit

75

Ratri, Shinta. Wawancara dengan ketua Pondok Pesantren

al-fatah Yogyakarta, tanggal 09 februari 2019, pukul 16:30 WIB. 76

Syahidin. Menelusuri Metode Pendidikan Dalam Al-

qur’an. (Bandung: Alfabeta, 2009) hal. 43

105

5 Tema langsung dari

pembina dari kitab

Bulughul maram

1 Jam 30 menit

Tabel 2.2 Kegiatan yang dilaksanakan di Pondok Pesantren

No Rutin

(mingguan)

Bulanan (setiap

minggu ke-3)

Tahunan

1 Belajar Al-

Qur’an

Kajian bulanan

(tema ditentukan

oleh pembina

PP Waria al-

fatah)

Hari besar

Islam ( Maulid

Nabi

Muhammad

SAW, Isra’

Mi’raj )

2 Belajar Iqra

IDAHOT

(International

Day Against

Homophobia

and

Transphobia),

yakni

3 Sholat magrib

berjamaah, doa,

sholawat, dzikir,

sholat Isya

berjamaah

Goes to campus Menolak pada

homo dan

transphobia

4 Aqidah Kajian tafsir

tematik

Hari

Transgender

Internasional

5 Fiqih Konsultasi

Agama

6 Muamalah

Beragama merupakan naluri yang dimiliki setiap insan.

Religiusitas atau keagamaan diwujudkan dalam berbagai sisi

106

kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi

ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi

juga melakukan aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam

hati seseorang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Galih M, bahwa

agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam

kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.

Pengertian lain dari Mc Guire yang dikutip oleh Zakiah

Daradjat, yakni agama sebagai sistem nilai yang berpengaruh

dalam kehidupan masyarakat modern dan berperan dalam

membuat perubahan sosial. Disisi lain, agama juga

menunjukan kemampuan adaptasi dan vital dalam berbagai

segi kehidupan sosial.77

Karena itu, keberagamaan seseorang

akan meliputi berbagai macam dimensi.

Transgender merupakan salah satu kelompok minoritas

yang mempunyai hak untuk mempraktekkan keyakinan

agama mereka. Kelompok ini selalu menerima perlakuan

yang tidak sama dengan masyarakat dominan, sehingga

mereka kerap kali mengalami kekerasan dan diskriminasi dari

orang lain.78

Dalam hal ini, transgender yang termasuk dalam

pondok pesantren Al-Fatah yakni santri waria. Sebenarnya

77

Maryanuntoro, Galih. Keberagamaan Santri Waria (Skripsi, UIN

Sunan Kalijaga Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016) 78

Rr. Siti Kurnia, dkk. Problem-Problem Minoritas Transgender

dalam Kehidupan Sosial Beragama (UGM: Inter Religious Studies Program,

2016), vol. 10 (2), Juli-Desember, ISSN:1978-4457 (p), 2548-477X (o)

107

keberadaan transgender atau biasa disebut dengan waria di

Indonesia bukanlah hal yang baru, sebab waria atau

homoseksual sudah banyak ditemukan dalam tradisi lokal

dalam masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan; kegiatan

seni, ritual kebatinan, ritual, perdukunan dalam masyarakat.79

Merangkum hasil wawancara, bahwa menjadi seorang

waria bukan sebuah pilihan hidup melainkan takdir hidup.

Sebagian tidak ada yang menginginkan hidup sebagai waria,

meskipun kemudian jiwa perempuan terperangkap pada tubuh

seorang laki-laki. Bukan berarti menghapus hak-hak dan

kewajiban sebagai manusia beragama.

Dalam Penelitian disertasi Doctor of Philosophy

dengan pembahasan Religious Fundamentalism, Empathy,

and Attitudes toward Lesbian and Gays within Therapeutic

Relationship oleh Jonathan E. Procter menjelaskan:80

“Many of the world’s major religions suggest that we

are to treat others as we wish to be treated” (Banyak

agama besar dunia menyarankan agar kita

memperlakukan orang lain adalah sebagaimana kita

ingin diperlakukan)

79

Oetomo, Dede. Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional

Indonesia. (Indonesia: USAID dan UNDP, 2013), hal 18. 80

Jonathan E. Procter. Religious Fundamentalism, Empathy, and

Attitudes Toward Lesbian and Gays within Therapeutic Relationship.

(Disertasi- The Patton of Education of Ohio University, 2013) hal.50

108

Hak beragama merupakan hak kewajiban bagi setiap

orang bebas mempraktekkan agama dan ibadah sesuai

dengan agamanya. Hal tersebut tertuang pada Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia pada tahun 1945 (UUD

1945).81

Dengan dihadapkan berbagai persoalan termasuk

praktik seks bebas, minum-minuman sehingga kehidupan

agama bagi mereka menjadi suatu realitas dikotomis. Namun

seorang transgender juga memiliki kesadaran untuk memiliki

kehidupan religious, karena seorang transgender atau waria

juga makhluk religius (homo religious) dan memiliki hak

untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa santri waria

itu sendiri termasuk sosok manusia yang berkiprah di bumi

yang sama. Oleh sebab itu, menyebabkan fitrah ketuhanan

mereka pun tidak dapat dinafikan, karena kesadaran akan

Tuhan adalah sesuatu yang integral pada diri manusia.

Bersama dengan hal tersebut, menyebabkan setiap manusia

memiliki pengalaman yang berbeda dalam beragama.

Banyak penelitian studi menyebutkan bahwa religiusitas

atau kepatuhan dalam beragama dapat berdampak positif

81

Pasal 28 E (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dalam artikel Rr. Kurnia Siti, Adeney Farjisana, Problem-problem

Minoritas Transgender Dalam Kehidupan Sosial Beragama, Artikel dari

Disertasi Siti Kurnia Widiastuti: Inter Religious Studies Program, Universitas

Gadjah Mada no 2 (10), 94-95 Juli-Desemberr 2016, ISSN: 1978—4457 (p),

2548-477x (o) dikutip pada 16 februari 2021 pukul 19.00 WIB

109

bagi kesehatan.82

Semua itu terlepas dari penolakan dan

diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat terhada waria,

namun pada kenyataannya, masih terdapat masyarakat yang

menerima kehadiran transgender atau waria. Maka sesuai

dengan penelitian Komarudin, dalam konteks waria atau

transgender merupakan sosok yang memiliki agama, dan

mempunyai dorongan untuk menjalankan, melaksanakan,

serta menaati ajaran agama.83

Pada dasarnya setiap manusia diberikan fitrah yaitu

memiliki perasaan atau spiritualitas terhadap Tuhannya.

Surat Az-Zariyat ayat 56 menjelaskan dalam firmanNya

yaitu;

جن و ٱل

ت

ق

ل

ون وما خ

ليعبد

نس إل

ٱل

Artinya: “Aku tidak menciptakan Jin dan manusia

melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”84

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia baik

laki-laki maupun perempuan sekalipun itu waria, memiliki

kewajiban untuk mengabdi kepada Allah swt, di manapun

82

Faisyal, Usman, Prasetya. Makna Religiusitas bagi Kaum Waria.

STAI Muhammadiyah Probolinggo Jurnal Studi Keislaman No 1 (20), 95 1

Juni 2020, ISSN: 2502-3969 (p), DOI: hattp://dx.doi.org/10.24042/ajskv.v20il.

5880, 2548-477x (o) dikutip pada 16 februari 2021 pukul 22.00 WIB 83

Faisyal, Usman, Prasetya, Makna Religiusitas bagi Kaum Waria.

STAI Muhammadiyah Probolinggo No 1 (20), 97 1 Juni 2020, ISSN: 2502-

3969 (p), DOI: hattp://dx.doi.org/10.24042/ajskv.v20il. 5880, 2548-477x (o)

dikutip pada 17 februari 2021 pukul 06.00 WIB 84

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya QS. Az-

Zariyat ayat 56, (Jakarta: PT Insan Media Pustaka, 2013), hal 523

110

dan kapanpun manusia itu berada dan selama ia telah

memenuhi syarat untuk melaksanakan kewajiban serta

mengabdikan diri kepada Allah swt. Wujud pengabdian

manusia kepada Allah SWT ini termanifestasikan dalam

bentuk ibadah kepada Allah swt sebagai pencipta seluruh

alam.85

85

Safri, A. N. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Yogyakarta:

Journal Esensia. (UIN Sunan Kalijaga: Pusat Pengembangan Bahasa), Vol.15,

No. 2, September 2014. Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, 55281, Indonesia.

[email protected]. Dikutip pada Minggu, 05 Mei 2019, 18:39 WIB

111

BAB III

GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-

FATAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

A. Profil dan Sejarah Pondok Pesantren Al-Fatah DIY

Secara terminologi pada “pesantren” santrinya tidak

disediakan asrama (pemondokan) di komplek pesantren

tersebut; dikarenakan mereka tinggal di seluruh penjuru desa

sekeliling pesantren (santri kalong) dimana cara metode

pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dnegan

sistem wetonan, yakni para santri datang pada waktu-waktu

tertentu.86

Di sisi lain, asrama (pondok) yang seharusnya

dijadikan tempat penginapan santri-santri yang belajar di

pesantren untuk memperlancar proses pembelajran dan

menjalin hubungan murid dan guru supaya lebih akrab,

namun pada kenyataannya di beberapa opndok yang terjadi

hanya sebagai tempat tidur semata.

Sebenarnya penggunaan kedua istilah secara integral

yaitu pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren akan

lebih mengakomodasikan karakter keduanya. Menurut

Qomar, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama

Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat, dengan

memiliki sistem asrama dan santri menerima pendidikan

86

Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokrasi Institusi. (Jakarta, Erlangga, 2010) hal. 1

112

agama melalui system pegajian atau madrasah yang berada di

bawah pimpinan seseorang atau beberapa kyai dengan

memiliki khas tersendiri yang bersifat kharismatik serta

independen dalam segala hal.87

Setelah memaparkan teori

pesantren secara terminologis, maka dari hasil observasi dan

wawancara; bahwa pesantren waria berbeda dengan pesantren

pada umumnya.

Pondok pesantren waria al-fatah menjadi ruang sosial

yang berdiri di tengah masyarakat. Berawal dari kegiatan-

kegiatan sosial yang sudah diterapkan sejak tahun 2006, yakni

adanya gempa bumi di Yogykarta, peran santri waria

mengambil alih untuk menolong sesama. Selanjutnya,

dijadikan sanggar tari yang digunakan untuk belajar menari.

Kemudian memiliki kesadaran diri sebagai makhluk sosial

juga makhluk bertuhan, sehingga ibu Maryani bersama KH.

Hamrolie sepakat untuk diadakannya pengajian setiap hari

senin dan kamis. Melalui kesepakatan bersama, pada tahun

2008 di Yogyakarta memiliki pondok pesantren waria senin-

kamis.

87

Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokrasi Institusi. (Jakarta, Erlangga, 2010) hal 2

113

Tabel 3.1 Perbedaan pesantren waria dan pesantren umum

Bentuk Persamaan Perbedaan

Pesantren

Waria

Sebagai lembaga

pendidikan

tradisional Islam

untuk; mempelajari,

menghayati, dan

mengamalkan

ajaran agama Islam

dengan menekankan

pentingnya

pengetahuan moral

keagamaan sebagai

pedoman perilaku

sehari-hari.88

Santri waria

yang mukim

hanya beberapa

saja

Metode

pembelajarannya

tidak seperti

pesantren biasa

yang dilakukan

setiap hari.

Dilakukan hanya

satu minggu

sekali dan setiap

satu bulan sekali

mengadakan

kegiatan

bersama

masyarakat atau

kegiatan lainnya

Terdapat

workshop atau

kegiatan lainnya

dari tamu dan

prohram kerja

pondok

pesantren waria

Pesantren

Umum Memiliki asrama

Pembinaan

dilakukan setiap

hari

88

Damopoli, Muljono. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak muslim

Modern. (Jakarta: Rajawali pers, 2011) hal. 57-58

114

Pondok Pesantren al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta

merupakan tempat lokasi penelitian penulis dengan judul

Penerimaan Diri Kelompok Transgender melalui Bimbingan

Keagamaan di Pondok Pesantren al-fatah. Berbicara sejarah

latar belakang pondok pesantren Al-Fatah ini memiliki cerita

yang cukup panjang. Berdirinya pondok pesantren ini

diprakarsai oleh Maryani, beliau merupakan salah satu waria

yang menjadi jama’ah pengajian al-Fattah dibimbing oleh

KH. Hamrolie Harun di kawasan Pathuk. Pada umumnya

jama’ah pengajian yaitu perempuan ataupun laki-laki, namun

Tuhan tidak membatasi makhluknya untuk beribadah kepada-

Nya dan Maryani merupakan salah satu jama’ah berlatar

belakang waria dari tiga ribu jama’ah pengajian al-Fattah

tersebut.89

Motivasi dari dalam diri sendiri yang membuat Maryani

untuk tetap mengikuti dan menjadi jama’ah pengajian

tersebut, karena niat untuk ibadah dan mengalahkan tekanan

dari pandangan negatif masyarakat. Kegelisahan Maryani

akan stigma negatif yang diterima dari masyarakat, sehingga

cenderung dikucilkan atau dijauhi oleh masyarakat saat itu,

maka dari itu Maryani mengajak teman-teman untuk

beribadah. Bukan hanya sebagai pembuktian kepada

89

Safri, A. N. Penerimaan Keluarga Terhadap Waria Atau

Transgender (Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di Pesantren Waria Al-

Fatah Yogyakarta), (Pusat Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga:

NIZHAM, Vol. 05, No. 01 Januari-Juni 2016), [email protected],

dikutip pada Kamis, 16-01-2020, pukul 23:03 WIB

115

masyarakat bahwa waria tidak hanya melakukan prostitusi,

perilaku menyimpang, dan dengan izin Tuhan Maryani

memiliki jamaah pengajian di rumahnya daerah Sukarsan,

pengajian tersebut bersifat umum bukan hanya kaum waria

saja yang dilaksanakan setiap malam rabu pon. Selanjutya

dari peristiwa gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006,

kelompok transgender atau waria turut membantu eksekusi

korban gempa saat itu, dan kemudian membangkitkan

kesadaran spiritual bagi kalangan waria dengan adanya doa

bersama.

Berawal nama pondok pesantren senin-kamis menjadi

Al-Fattah ini melalui proses yang panjang. Pondok pesantren

yang didirikan oleh ibu Maryani dan KH. Hamrolie Harun

pada tanggal 08 Juli 2008, merupakan hari pembukaan

Pondok Pesantren Senin-Kamis dan pada tanggal 21 januari

2011 pondok pesantren tersebut disahkan oleh akta notaris

Nomor 21 dengan nama lembaga “Pesantren Waria Senin-

Kamis, Al-Fattah” dan mulai sah berdiri pada tanggal 31

januari 2011. asal usul nama pondok pesantren senin-kamis

yaitu karena hari senin dan kamis biasanya digunakan oleh

orang jawa untuk bertirakat atau beribadat. Sebelum menjadi

pondok pesantren senin-kamis, tempat tersebut menjadi

sanggar tari dan menjadi salah satu tempat belajar budaya.

Setiap senin wage (penanggalan jawa) rutin menjalankan

aktifitas pengajian yang dipimpin oleh KH. Hamrolie, maka

dari itu beliau memiliki ide dan menawarkan ide tersebut ke

teman-teman waria untuk mendirikan pondok pesantren Al-

116

Fatah di rumah Maryani sebagai tempat belajar beribadah

setiap hari senin-kamis.

Sejarah pondok pesantren Al-Fatah tidak berjalan

dengan lancar seperti pondok pesantren lainnya. Perbedaan

pendapat antara ibu Maryani sebagai pengasuh dan KH.

Hamrolie sebagai pembina dan pengajar, dimana KH.

Hamrolie memiliki maksud dan tujuan menjadikan teman-

teman waria kembali menjadi laki-laki sejati. Kemudian hal

itu ditolak semua teman-teman waria dan dilanjutkan oleh

ustadz Murtedja, ustadz Mu’iz, dan lain-lain

menggantikannya sebagai pengasuh dan pengajar pondok

pesantren senin-kamis.

Adanya respon positif dari beberapa ustadz/ustadzah

maupun kyai dengan keberadaan santri waria yang sadar akan

beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa, tepat di tahun 2010

ustadz Arif bergabung dan menjadi ketua pembina pesantren

senin-kamis.

Setiap agama tentunya membicarakan seksualitas sesuai

dengan norma dan ajaran masing-masing. Adanya

pemahaman eksklusif tersebut dapat memberikan dampak

negatif pada waria, kekhawatiran di Indonesia sendiri sangat

merebak atas nama Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender

(LGBT) dan semua golongan angkat bicara sesuai dengan

kapasitasnya masing-masing.

Pondok pesantren waria al-fattah kerap mengalami

korban tragedi sasaran kemarahan salah satu ormas di

Yogyakarta yaitu Front Jihad Islam pada hari Jum’at, 19

117

februari 2016 ba’da sholat Jum’at. Masa Front Jihad Islam

(FJI) mendatangi pesantren waria dan meminta agar pesantren

tersebut ditutup.90

Kejadian yang membuat santri waria

menjadi khawatir akan keberadaannya, dan pondok pesantren

tersebut aktif kembali setelah 4 bulan tutup kemudian pondok

pesantren waria Al-Fatah menggandeng beberapa instansi dan

lembaga untuk menjadi penguat yaitu; Puskesmas, Komnas

Hak Asasi Manusia (HAM), Lembaga Bantuan Hukum

(LBH), Fakultas Psikologi Uniersitas Sanata Dharma,

Universitas Klaten (UKA DEWI), Fakultas Ushuludin UIN

Sunan Kalijaga, Univesitas Nahdlatul Ulama Jepara, dan

beberapa instansi lainnya, baik Lembaga Swadaya Mayarakat

maupun instansi pendidikan.

Pondok Pesantren ini juga mendapatkan dukungan

secara finansial dari International Trans Fun, dan dukungan

dari akademisi, jaringan koalisi perempuan, LBH, Kepolisian,

AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), dan masyarakat sekitar.

Menurut Shinta Ratri sebagai ketua PP al-Fattah benar adanya

mencari dukungan untuk meraih hak untuk beribadah, dan

kawan-kawan memberanikan diri untuk kegiatan sesudah 4

bulan tutup.

90

Safri, A. N. Penerimaan Keluarga Terhadap Waria Atau

Transgender (Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di Pesantren

Waria Al-Fatah Yogyakarta), (Pusat Pengembangan Bahasa UIN

Sunan Kalijaga: NIZHAM, Vol. 05, No. 01 Januari-Juni 2016),

[email protected], dikutip pada Kamis, 16-01-2020, pukul

23:03 WIB

118

Saat ini Pondok Pesantren Waria Al-Fattah terletak di

daerah Notoyudan GT II/1294 RW 24 RT 85, Kelurahan

Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Daerah

Istimewa Yogyakarta.

B. Visi, Misi, dan Tujuan

1. Visi

Mewujudkan kehidupan waria yang bertaqwa kepada

Allah SWT dan tanggung jawab terhadap diri dan

keluarga, serta komunitas/masyarakat/Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

2. Misi

Mendidik para santri menjadi pribadi yang taqwa

dengan bekal ilmu Agama Islam yang kuat dan

mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan segala

lapisan komponen masyarakat Indonesia yang ber-

Bhineka Tunggal Ika

3. Tujuan

Memberi wadah para santri waria untuk beribadah

untuk memperdalam spiritual, dan membuat

kehidupan waria menjadi lebih baik karena dekat

dengan Tuhan.

C. Struktur Organisasi

Berjalannya suatu organisasi atau kelopok, pastinya tidak

lepas dari pengurus yang bertanggung atas seluruh

kegiatan maupun tanggung jawab dari organisasi tersebut.

119

Tabel 3.1 Struktur Organisasi

Nama Support system Waktu

- K.H. Hamrolie

(alm)

- K.H. Abdul

Muhaimin

Pembimbing

2008-2010

2018-sekarang

-Fakultas Syariah

dan Hukum

Universitas Islam

Nahdlatul Ulama

Jepara

- Fakultas Ushuludin

dari UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta

Kerjasama

2015-2018

2018-sekarang

Ust. Arif Nur Safri

Usth. Masthuriyah

Ust. Makmun

Ustadz /

Ustadzah

2010-sekarang

2018-sekarang

Maryani (alm)

Shinta Ratri

Ketua

2008

2014-sekarang

Yuni Shara Al

Buchori

Sekretaris 2010-sekarang

Yetty Rumarupen Bendahara 2010-sekarang

Rully Mallay Divisi

Pemberdayaan

Santri waria

2010-sekarang

Arum Divisi Media

dan Kampanye

Nur Kamboja

Erna Mandala

Divisi.

Pembantu

Umum

2010-sekarang

Pepeng Volunteer

120

Berdiri dari tahun 2008-2021 masa kini, Pondok Pesantren

Waria Al-Fattah mengalami kemajuan dan banyak dukungan

dari berbagai lembaga pemerintah maupun institusi pendidikan

perguruan tinggi. Struktur kepengurusan yang terdiri dari

pembimbing yaitu sebagai pemberi saran, penasehat spiritual,

advokasi, sedangkan pembina adalah pihak yang memberikan

kewenangan secara langsung untuk ustadz yang ditugaskan di

Pondok Pesantren tersebut. Peran Universitas Islam Nahdlatul

Ulama (UNISNU) sebagai instansi yang bekerjasama, selain

menjadi jalan pengadaan dana untuk kepentingan sosial,

UNISNU berperan besar adanya tenaga pendidik.

Membina anggota santri agar berdaya secara ekonomi

merupakan tugas mulia dari seksi pemberdayaan santri.

Pondok Pesantren Al-Fattah memiliki suatu pemahaman

tersendiri yaitu jika seseorang memiliki perekonomian yang

stabil, maka akan lebih tenang dalam menjalankan ibadah

terhadap Tuhan yang Esa. Terakhir yaitu seksi pembantu

umum yang ditugaskan untuk menyiapkan berbagai macam

sarana prasarana seperti tempat, jika ada kunjungan dan

menyiapkan perbekalan saat santri pondok pesantren

melakukan kunjungan.

121

Tabel 3.2 Profile Pondok Pesantren Waria “Al-Fatah”

Nama

Lembaga

Pondok Pesantren Waria “ Al-Fatah “

Yogyakarta

Alamat

Lengkap

Celenan RT 09 / Rw 02 Jagalan ( Kotagede ),

Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Alamat

email

[email protected]

Tanggal

berdiri /

latar

belakang

Berlatar belakang mengikuti pengajian dalam

jamaah Kyai Haji Hamroli Harun, Maryani

(salah seorang waria) mencetuskan ide dan

memprakarsai untuk mendirikan Pondok

Pesantren Waria yang kemudian diberi nama

Pondok Pesantren Waria “Senin-Kamis Al-

Fatah “pada tanggal 8 Juli 2008. Usaha

Maryani ini disambut baik oleh beberapa

rekan waria seperjuangannya, sampai

akhirnya mendapatkan sokongan / dukungan

dari rekan-rekan waria di kantong-kantong

komunitas waria yang ada di Yogyakarta.

Visi Mewujudkan kehidupan waria yang bertaqwa

kepada Allah SWT dan bertanggung jawab

terhadap diri dan keluarga, serta komunitas /

masyarakat / negara kesatuan Republik

Indonesia.

Misi Mendidik para santri waria menjadi pribadi

yang taqwa dengan berbekal ilmu agama

Islam yang kuat dan mampu beradaptasi dan

berinteraksi dengan segala lapisan komponen

masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka

Tunggal Ika.

Tujuan Memberikan kemampuan dasar dan

pengetahuan agama kepada para (

santri ) waria akan pentingnya nilai-

122

nilai keagamaan.

Meningkatkan dan mengembangkan

kehidupan ( santri ) waria sebagai

pribadi dan anggota masyarakat, dan

mempersiapkan para ( santri ) waria

untuk bergaul dan mengarungi

kehidupan yang lebih bermanfaat dan

bertanggung jawab.

Sasaran Komunitas Waria yang ada di wilayah

Yogyakarta

Program a. Pengajaran agama Islam ( Al-Quran

dan Hadist )

b. Pertemuan rutin mingguan dan

bulanan

c. Pengajian dan Ibadah khusus di bulan

Ramadhan.

d. Syawalan

e. Bakti Sosial

f. Ziarah

g. Pengorganisasian ( pelatihan,

pengayaan, capasity building )

Wilayah

Dampingan

Komunitas Waria yang ada di Yogyakarta,

meliputi wilayah :

- Sleman ( komunitas waria

Rejoinangun & Prambanan )

- Bantul

- Kodya ( komunitas waria Sidomulyo,

Badran, Patangpuluhan, Kotagede )

- Waria Kulon Progro ( Warkop )

Lembaga

Donor

Independent

Contact

Person

Ibu Shinta Ratri : 0877-3856-6418

Yuni Shara : 0878-3937-9090

123

D. Program Kerja Pondok Pesantren Al-Fattah DIY

Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga

(AD/ART) sebagai bekal bimbingan agama dan konseling di

Pondok Pesantren Al-Fattah yang sudah tersusun dalam

bentuk program kerja yaitu sebagai berikut:

Tabel 3.2 Program Kerja Pondok Pesantren Al-Fattah

No Metode Bentuk Waktu

1 Pengajaran

Agama Islam

(Al-Qur’an dan

Hadits, IQRA)

1. Mengelompok

menjadi satu

berbentuk pengajian

dan dipimpin oleh

ustadz

2. Individu dan ustadz

3. Pengajian berbentuk

kajian

Minggu

2 Hafalan dan

Zikir (dari

istigfar,

tahmid, dan

lainnya)

Hafalan surat pendek,

doa-doa solat, dan tata

cara sholat

15.30 ba’da

Ashar

3 Konseling

Bertatap muka secara

langsung di dalam ruang

konseling

Sebulan sekali

(pertengahan

bulan) atau

tentative bagi

santri yang

memerlukan.

4 Sholat

Berjamaah

Sholat berjamaah dan

bebas memilih pakai

mukena atau tetap

berpakaian muslim laki-

laki

Setiap sholat

magrib, dan

isa di bulan

puasa dan

setiap

bimbingan

agama

dilaksanakan

124

5 Ngaji Kitab

bersama ustadz

Arif

Mengupas kitab

bulughul marom dan

tanya jawab bebas

sesuai pertanyaan santri

Setelah shalat

Magrib

6

Sharing

session

Sharing terkait

pekerjaan,

permasalahan, ataupun

spiritual

Malam hari

7

Arisan

42 santri berkumpul

Sebelum

waktu

bimbingan

Agama

8 Sekolah sore Belajar bersama

masyarakat, seperti;

membuat kue, kreasi

hijab, atau kerajinan

tangan lainnya

Minggu sore

setiap satu

bulan sekali

9 Kunjungan ke

beberapa

instansi

pendidikan,

ataupun

komunitas

PP al-fatah melakukan

beberapa kunjungan

yang bertujuan sebagai

bentuk saling

memberikan ilmu

Tentatif sesuai

dengan

kesepakatan

dan waktu dari

instansi

10 Ziarah makam PP al-fatah melakukan

zirah ke walisongo

bersama Pembina dan

ustadz/ustadzah

Sesuai

kesepakatan

bersama

11 Buka dan

Sahur bersama

- -

12 Pelatihan-

pelatihan yang

diadakan

beberapa

instansi

pendidikan

Diskusi, tanya jawab

dan saling berbagi cerita

Sesuai

kesepakatan

kedua belah

pihak

125

Materi yang disampaikan pada waktu bimbingan

keagamaan yaitu;

Tabel 3.3 Materi bimbingan keagamaan

No Materi Pengisi

1 Kitab Bulughul maram Ustadz Arif Nuh

2 Iqra Ustadz Arif, ustadzah

masthuriyah dan 4

mahasiswa sebagai

volunteer dari

Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga

3 Al-Qur’an

4 Menghafal bacaan

sholat dan lainnya

5 Praktek Sholat Jenazah Pembimbing

E. Jadwal Rutin Mingguan Pondok Pesantren Waria Al-

Fatah Yogyakarta

Santri Waria pada hari sabtu atau minggu melaksanakan

kegiatan keagamaan di Pondok Pesantrren Al-Fatah Daerah

Istimewa Yogyakarta. Seusai shalat Magrib berjamaah, santri

waria berkumpul dan duduk secara rapi di ruangan latar

pesantren untuk mendengarkan pengajian dan kajian. 91

Adapun kegiatan pengajian dan kajiannya berbeda-beda di

setiap minggunya, seperti jadwal yang telah dirangkum

dalam tabel di bawah ini:

91

Sa’dan Masthuriyah, Santri Waria, (Yogyakarta: Diva

Press, 2020) hal. 81-83

126

Tabel 3.4: Jadwal rutin kegiatan mingguan

Pondok Pesantren Al-Fatah Waria DIY

Minggu Kegiatan Penanggung

Jawab

Pertama Dialog Feminisme Solidaritas

Perempuan

Kinasih

Kedua Pengajian Agama PW. Fatayat NU

DIY

Ketiga Ngaji Kitab Bidayatu

Al-Hidayah karya

Imam Al-Ghazali

Ust. Arief Nuh

Safri

Keempat Tadarus Al-Qur’an

atau membaca Yasin

bersama-sama dengan

doa

Pengurus dan

Santri

F. Jadwal Kegiatan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Yogyakarta

Metode pengajaran yang diberikan kepada santri waria,

dalam senggang waktu setelah magrib adalah dialog, yaitu tanya

jawab antara santri waria dengan ustadz atau ustadzah. Berikut

jadwal kegiatan di minggu sore, daoat dilihat dalam tabel di

bawha ini:92

92

Sa’dan Masthuriyah, Santri Waria, (Yogyakarta: Diva

Press, 2020) hal. 83-84

127

Tabel 3.5: Kegiatan hari minggu sore

Pondok Pesantren Al-Fatah Waria DIY

Jam Jenis Kegiatan

15.00-16.00 Sholat Asar dan arisan mingguan

16.00-17.45 Belajar yang terbagi dalam kelas Al-

Qur’an dan kelas Iqra’. Dan belajar

menulis arab, hafalan juz amma, hafalan

doa-doa, dll.

17.45-18.00 Persiapan salat magrib berjamaah

18.00-18.05 Adzan dan menunggu makmum lengkap

18.05-18.15 Salat berjamaah dan dzikir

18.15-19.10 Pengajian/ngaji kitab/dialog/baca

yasinan

19.10-19.20 Salat Isya’ berjmaah dan dzikir

19.20-20.00 Makan malam bersama

G. Fasilitas Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Yogyakarta

Fasilitas atau sarana dan prasarana yang tersedia di

Pondok Pesantren al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta

sebagai berikut:

128

Tabel 3.6 Fasilitas Pondok Pesantren Waria AL-fattah

No Sarana dan Prasarana Jumlah

1 Kantor 1

2 Kamar Tamu 2

3 Kamar Pengasuh 2

4 Kamar Mandi 2

5 Kamar Santri 3

6 Perpustakaan 1

7 Ruang Ngaji 1

8 Ruang Kajian/Pelatihan/Diskusi 1

9 Ruang Konseling 1

10 Tempat Wudhu 1

11 Tempat Parkir 1

129

BAB IV

DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai temuan-

temuan data yang didapatkan selama observasi dan wawancara

berlangsung. Penelitian ini meneliti tentang penerimaan diri

kelompok transgender melalui bimbingan keagamaan di Pondok

Pesantren Al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta.

A. Data Informan

Berdasarkan temuan data penelitian yang dikumpulkan,

peneliti kan mendiskripsikan hasil temuan dari 1 Pembina, 1

Pembimbing, 1 Pengasuh, 2 waria, 2 significant other, dan 2

warga di Pondok Pesantren Al-fatah Yogyakarta dan daerah

setempat, Desa Celenan, GG. Soka, Jagalan, Kotagede.

Tabel 4.1 Data informan yang bersedia

dalam menyelesaikan penelitian

Nama Informan Keterangan

KH. Abdul Muhaimin Pembina

Ustadz Arif Nuh Safri Pembimbing

Shinta Ratri Pengasuh

Rere Informan mukim

Inul Informan non mukim

Rini Significant Other Inul

Nur Significant Other Rere

Tumirah Warga

Munarto Warga

130

1. Deskripsi Informan Pembina Pondok Pesantren Al-

Fatah

Nama : KH. Abdul Muhaimin

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/tgl/lahir : Kotagede, 13 Maret 1953

Agama : Islam

Alamat :Pondok Pesantren Nurul

ummahat, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta

Pekerjaan :

- Pendiri dan pengasuuh Pondok Pesantren Nurul

Ummahat, Kotagede, Yogyakarta.

- Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace

- Koordinator FPUB (Forum Persaudaraan Umat beragama)

- Ketua Konsorsium Toya Mili

- Ketua Konsorsium Palem

- Dewan Pembina Impulse

- Dan beberapa jabatan di organisasi nirlaba lainnya

KH. Abdul Muhaimin merupakan salah seorang pendiri

pondok pesantren Nurul Ummahat juga aktif diberbagai

organisasi nirlaba terutama pada antar umat beragama, gender,

dan keislaman. Menjadi koordinator forum persaudaraan umat

beragama yang dideklarasikan pada tahun 2010.

KH. Muhaimin menjadi Pembina di pondok pesantren waria

al-fatah. Sebelumnya pada tahun yang sama, Ibu Shinta

berkunjung ke pandok pesantren Nurul Ummahat dan meminta

131

KH. Abdul Muhaimin untuk menjadi pembina pondok pesantren

al-fatah. Santri-santri akrab menyapanya dengan sebutan Kyai

Muhaimin. Pada hari rabu, 09 Desember 2020 bertemu dengan

Kyai Muhaimin, untuk menanyakan langsung kaitannya dengan

podok pesantren waria al-fatah yang sudah dibinanya selama 3

tahun belakang.

Beliau merupakan sosok yang open minded, ramah dan

mencintai segala macam bentuk manusia—karena menurut kyai

Muhaimin, memanusiakan manusia merupakan kunci pertama

mencintai Allah swt. Beliau adalah sosok yang terbuka dengan

siapapun, sehingga Ibu Shinta selaku pengasuh pondok pesantren

al-fatah juga merasakan keamanan dalam berkegiatan di pondok

pesantren waria ini. Berikut adalah penggalan wawancara dengan

Kyai Muhaimin di pondok pesantren Nurul Ummahat:

“saya terbuka dan saya tidak memandang siapapun dengan yang dia

miliki. Namun, kalau dari sisi kemanusiaan, mereka yang kita anggap

berbeda, mereka masih bani adam. Jadi, saya melihat waria, sudah

waria dan mau shalat, itu kan sudah termasuk nilai positive. Lhoh,

jangan-jangan derajat nilai shalatnya, malah lebih tinggi dari pada kita.

Mereka secara sosiologis sudah diremehkan, tapi mereka masih mau

mencari Tuhannya. Itu luar biasa lo”.1

Menurut Kyai Muhaimin, masyarakat sudah

mempercayainya dan mereka tidak risih adanya pondok pesantren

tersebut. Menjawab kemungkinan setelah terjadi penggerebekan

1 Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Rabu, 09 Desember 2020, pukul 10.30

WIB di pondok pesantren Nurul Ummahat.

132

oleh organisasi tertentu padatahun 2016, Kyai Muhaimin

menegaskan dalam wawancaranya sebagai berikut:

“Masyarakat sudah mengerti adanya ponpes itu, dan masyarakat tidak

merasakan risih juga. Ya, masyarakat Cuma bilang; “kalau sudah sama

kyai, saya percaya”. Justru, yang membuat kerusuhan adalah orang luar,

bukan orang kotagede sendiri”2

أ ء نأه لباطررظهر كل ش

ء نأه لباطن طنى طوى كل ش

“Adzhara Kulla Syaiin Liannahuul Batinu, Wathowa Wujuda Kulli

Syaiin Liannahu Dzohiru”

“Allah menampakan segala sesuatu karena Dia Maha Tersembunyi. Dia

melipat keberadaan segala sesuatu karena Dia Maha Tamapak”.3

Kyai Muhaimin menjelaskan juga bagaimana teologi

seseorang berinteraksi dengan Tuhannya. Pada kutipan ayat Al-

Hikam di atas, menjelaskan; dengan menyadari bahwa yang

terlihat “nyata”, sebab Dia tersembunyi (al-Bathin), sebab itu dia

Dia “nyata” (al-Zhahir). Wujud perubahan ini semata karena

keberadaan manusia dan keberadaan alam semesta ini hanyalah

simbol-Nya. Berikut penggalan wawancara:

“Jadi gini, teologi seseorang itu kita tidak tahu ya, bagaimana mereka

berinteraksi dengan Tuhan. Contoh saja: ada perempuan yang shalat

pakai mukena bagus, apakah shalatnya akan lebih bagus nilainya di

2 Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Rabu, 09 Desember 2020, pukul 10.30

WIB di pondok pesantren Nurul Ummahat. 3 El-Hasany Imam, Al-Hikam Kitab Kebahagiaan dan Petunjuk Jalan

Menuju Tuhan. (Yogyakarta; Telaga Akasara, 2020) hal. 187

133

mata Tuhan, kan belum tentu. Jangan-jangan yang pake mukena ngga

bagus, itu jauh lebih khusyu. Nah, untuk kitab-kitab atau apa, kita tidak

mengkhususkan, artinya: dimana dia mau baca iqra, ngaji Al-Qur’an,

dia mau salat saja, itu sudah termasuk perubahan yang luar biasa.

Kemarin mereka ziarah, pada pakai gamis, ya ngga apa-apa”.

2. Deskripsi Informan Pembimbing Pondok Pesantren

Al-Fatah

Nama : Ustadz Arif Nuh Safri

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/tgl/lahir : Paran Padang, 19 Agustus 1983

Agama : Islam

Alamat : Seyegan, Yogyakarta

Pekerjaan :

- Dosen Hadis dan Pemikiran Hadis di Institut Ilmu

Alqur’an An-Nur

- Aktif mendampingi orang dengan HIV AIDS di LSM

Kebaya, Yogyakarta

- Pengajar di Pondok Pesantren Tahfiz Ibn Sina

- Pembimbing Agama di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

Pondok pesantren waria al-fatah berdiri sejak tahun 2008, dan

Ustadz Arif sebagai pembimbing agama sejak tahun kedua 2010.

Artinya, sudah 10 tahun ustadz Arif mendampingi santri waria di

pondok pesantren waria al-fatah. Menurut ustadz Arif,

mendampingi santri waria selama 1 dekade ini, tidak merasakan

rasa yang berbesar hati, menganggapnya bahwa setiap

pendakwah itu bergerak di masing-masing tempat serta tidak ada

134

rasa keistimewaan pada dirinya, karena dianggap lumrah juga

bukan sebuah beban. Berikut penggalan wawancara bersama

ustadz Arif di LSM Kebaya:

“Saya selalu bilang; apa yang harus di “wah” kan, kan sebenarnya itu

lumrah ya, Ya lumrah aja sebenarnya, ngga ada yang istimewa, yak

an emang itu lah Agama, emang harus hadir disitu kan. Kan kalau,

maksud saya: yang ceramah di masjid ya silahkan, yang ceramah di

tv-tv ya silahkan, gimana lumrahnya orang ceramah di masjid ya

seperti itu. Ngga ada yang perlu diistimewakan; kan emang masing-

masing, kita yo bergerak di bidang masing-masing. Kamu ngga usah

pernah menyalahkan saya maka saya ngga akan menyalahkan apa

yang kamu lakukan, ya gitu aja si sebenarnya. Jadi kalau tanya

perasaan ya, saya ngga tahu, karena lumrah-lumrah aja. Ngga ada

yang, Cuma orang aja yang kadang “Ko kuat? loh karena saya

tinggalnya di Jogja, apa yang harus saya bebankan, kan seperti itu”.4

Ayah yang memiliki 3 anak ini, mengajar di pondok

pesantren secara ikhlas. Baginya pekerjaan yang didapatkan hari

ini sudah mencukupi kost untuk keluarga. Sosok yang sangat

rendah hati dan memberikan kenyamanan untuk santri waria, saat

mereka menanyakan tentang; shalat, wudhu, doa-doa shalat, dan

keresahan yang dirasakan santri dari bathiniyah maupun

lahiriyah. Berbeda dengan pondok pesantren pada umumnya yang

menjalankan kegiatan keagamaan setiap hari. Pondok pesantren

al-fatah menjalankan praktik keagamaannya setiap hari minggu

sore yang diikuit oleh seluruh santri waria 40 orang. Ustadz Arif

4 Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020, pukul 18:30 WIB di LSM Kebaya.

135

bersama ustadz-ustadzah membagi tugas untuk melakukan

bimbingan keagamaan; mulai dari belajar Iqra, Al-Qur’an,

hafalan surat pendek, hafalan bacaan shalat dan wudhu. Setelah

shalat magrib berjamaah, dilanjutkan dengan mengaji kitab

Buluhul Muharram, Bidayatul Hidayah.

“Dari ashar sampai magrib kan belajar ngaji, dulu waktu di kotagede juga

saya masih di kelas kuliah, dan waktu dulu masih ada mas Pepeng dia

lumayan aktif. Dia mendampingi dari Ashar sampai Magrib. Saya

sebenernya fokusnya dari Magrib sampai Isa; nah itu yang kajian-kajian

itu. Dulu kita sempat, apa dulu kitab bulughul marom, kemudian

barusan, bukan barusan si, udah agak lama juga sih, Bidayatul Hidayah

kan, itu yang saya ampu bombing”.5

Bimbingan ini dilakukan menggunakan metode bimbingan

kelompok (group discussion), yang divariasikan melalui; teknik

ceramah, teknik lisan, bil mauidzah, teknik doa dan dzikrullah,

dan persuasif. Penyampaian yang tidak kaku dengan interaksi

bersama santri berjalan sangat baik. Apa yang disampaikan oleh

Ustadz Arif, kurang lebih ada 10 santri yang bertanya. Santri

mengikuti bimbingan keagamaan ini sejak pukul 16.00 WIB

sampai pukul 20.00 WIB di dalam rangkaian yang berbeda-beda.

Santri waria juga dapat berkonsultasi secara personal kepada

pembimbing di luar jadwal kegiatan praktik keagamaan.

3. Deskripsi Informan Pengasuh Pondok Pesantren Al-

Fatah

5 Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020, pukul 18.30 WIB di LSM Kebaya

136

Nama : Shinta Ratri

Pendidikan Terakhir : S1 Universitas Gadjah Mada

Tempat/tgl/lahir : Bantul, 15 Oktober 1962

Agama : Islam

Alamat :Pondok Pesantren Waria Al-

fatah, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta

Pekerjaan dan Jabatan :

- Membuat kerajinan tangan

- Rias pengantin

- Pengasuh Pondok Pesantren Al-fatah Yogyakarta

- Dan beberapa jabatan di organisasi nirlaba lainnya

Shinta Ratri memimpin pondok pesantren waria sudah ada 7

tahun dari tahun 2013 sampai saat ini. Menjadikan ruang sosial di

tengah masayarakat desa Jagalan, Shinta tidak sendiri. Dalam hal

ini banyak kolaborasi antar lembaga advokasi maupun instansi

akademik yang memiliki tujuan yang sama, yakni; membantu

dalam memberikan bimbingan keagamaan, bimbingan spiritual

atau konsultasi agama, layanan kesehatan jiwa dan fisik, dan juga

bidang sosial lainnya yang dpat dijadikan kreativitas santri.

Berikut penggalan wawancara peniliti bersama Shinta yang

bertempat di pondok pesantren waria al-fatah pada pukul 13.00

WIB:

“Alhamdulilah mba, mas Dekanat Fakultas Ushuludin UIN Sunan

kalijaga memberikan dukungan kepada Pondok pesantren waria ini

dengan membimbing kegaaman, belajar bimbingan spiritual,

bekerjasama dengan Fakultas Ushuludin, dan mereka sebagai

pembimbing. Kita kerjasama dengan Puskeamas, Komnas HAM,

137

LBH, Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Universitas UK Dewi

Salatiga Satya Wacana.”6

Pondok pesantren waria al-fatah bukan hanya menjadi ruang

sosial yang dapat dijadikan kreativitas santri, namun memiliki

rumah aman untuk santri yang menjadi korban perskusi,

pemukulan, pengusiran dari tempat kos sebagai bentuk

perlindungan terhadap santri waria. Sosok Ibu sekaligus menjadi

orang tua untuk santri waria, Ibu Shinta selalu menjadi pendengar

yang baik, sehingga ibu Shinta sering mendapatkan cerita-cerita

religiusitas mereka dalam mencari jalan Tuhannya. Seperti yang

dilansir dalam wawancara di pondok pesantren waria:

“Kalau kita ini ni begini; tidak pernah menggurui, dan kita tidak pernah

mengacau, kita biarkan mereka merasakan atmosfer spiritualitas di sini.

Nah, nanti kawan-kawan itu akan bercerita sendiri, jika dia sudah

tergerak hatinya. ya dari mendengarkan pengajian, berdiskusi dengan

pak Ustadz, lalu di pengajian; kita ngga harus mendorong-dorong harus

seperti ini, biar mereka sendiri yang bertanya. Jadi kita membiarkan dan

di akan tergerak sendiri.”7

Sesuai dengan misi pondok pesantren yang kedua, yakni

Mendidik para santri menjadi pribadi yang taqwa dengan bekal

ilmu Agama Islam yang kuat dan mampu beradaptasi dan

6 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-

fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah 7 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-

fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

138

berinteraksi dengan segala lapisan komponen masyarakat

Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Setiap bulan sekali di ondok pesantren waria al-fatah

mengadakan sekolah sore yang melibatkan warga, kelas sore ini

dibentuk dalam berbagai kreativitas; cooking class, hijab

creation, dan lain-lain. Berikut penggalan wawancara bersama

Ibu Shinta:

“Melibatkan warga, ada sekolah sore. Sekolah sore itu sebulan sekali,

kita belajar yang diluar Agama. Jadi seperti; belajar memasak, belajar

kreasi hijab, lah nanti Ibu-ibu belajar kesini.”8

Menjadi trangender ternyata bukan lagi menghadapi wilayah

marginalisasi. Saat mereka ingin singgah dan bercumbu dengan

Tuhan di baith-Nya, mereka tidak dapat memasuki dengan

percaya diri. Tempat ibadah saat ini sudah paradigma yang

berbeda bagi santri waria; karena saat mereka masuk ke Masjid,

Gereja, orang-orang sekitar masih berkesempatan mencemooh di

Baith-Nya. Sudah menjadi harapan bagi Ibu Shinta selain santri

dapat beribadah di tempat ibadah masyarakat dan juga tetap bisa

bekerja dengan halal. Akhir dari ucapan pengharapan, ibu Shinta

memberikan kalimat “Jadi kesejahteraan ekonomi itu berbanding

lurus dengan peribadatan”, dalam pernyataannya dalam

wawancara berikut:

8 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-

fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

139

Harapan saya kita dapat bermanfaat untuk waria di Jogja spesialnya

untuk Santrinya dulu bisa mengambil manfaat, dengan hadirnya disini,

santri itu benar-benar mendapatkan manfaat; dari peningkatan

keimanannya, kesegaran jiwanya, kesegaran fisiknya, ya, karena kami

melihat kondisi, apa ya namanya, keuangan.

Jadi kesejahteraan ekonomi itu berbanding lurus dengan peribadatan.

Jadi ketika kawan-kawan mengejar ekonomi untuk membayar

utangnya. Jadi ini yang kami pikirkan; ketika kami bisa

mensejahterakan kawan-kawan pas hari kegiatan disini dengan

beribadah, maka dapat mengikuti dengan baik dapat mencapai

kesejahteraan bersama.

Diterima masyarakat, bahkan harapan saya kalau bisa ke depannya

bahkan; kawan-kawan waria bisa shalat dimana saja. Ya masyarakat

sudah tidak lagi takut untuk bersebelahan.

Dan harapan yang paling tinggi ya; jadi waria tidak memiliki tempat

khusus untuk belajar dimana saja, tapi kalau kita bareng-bareng, pas

ziarah, piknik, ya kalau ada masjid, kita mempir untuk shalat bersama.

Ya biasa, tapi kalau kita sendiri-sendiri merka kadang ngga percaya

diri, atau masih kaku, takut. Karena itu tadi, kejadian sebelumnya itu

banyak ketidaknyamanan, jadi waria mikir dulu “paling nanti gimana-

gimana, kalau shalat di Masjid, makanya shalat di rumah aja”. Tapi,

kalau kita piknik, ya tidak pernah terjadi masalah, tidak apa-apa.”9

4. Santri Waria

Nama Lahir : Ebnu Wibisono

Nama panggilan : Rere 9 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-

fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

140

Pendidikan Terakhir : SMA

Tempat/tgl/lahir : Yogyakarta, 15-09-1991

Agama : Islam

Alamat : Yogyakarta

Pekerjaan :

- Yayasan Vasta Indonesia

- Driver Go-jek

Santri mukim yang masuk pada tahun 2016 ke pondok waria

al-fatah ini bernama Rere. Memiliki gaya yang khas, dengan

potongan rambut cepak, memakai celana panjang dan baju lengan

panjang. Merupakan seorang yang lemah lembut dalam tutur

katanya, terbuka, open minded, dan tengah menjadi relawan di

Yayasan Vasta Indonesia. Yayasan ini bergerak dalam beberapa

bidang; terutama pada penanggulangan HIV dan AIDS. Rere

sendiri bertugas sebagai humas, dan dirinya menceritakan

tugasnya untuk mencari transgender, guy, dan lainnya yang

menjadi pekerja seks—untuk diperiksa, dan menghentikan

penyebaran HIV/AIDS. Demi menyambung hidup, Rere juga

kerap menjadi pelayan café dan driver Go-Jek wilayah

Yogyakarta, berikut wawancara bersama Rere di ruang tamu

pondok pesantren, hari Senin, 07 Desember 2020:

“Aku kemarin-kemarin kerja di bartender café di Club Malam. Ya,

taulah dunia malam, tu gimana, dan aku juga jadi driver online. Hehe,

masih sepi kan, terus kebetulan pas Corona ini ka ada kerja di LSM

141

Yayasan Vasta Indonesia kan, buat ngisi waktu bagian mengurus di

HIV/AIDS.”10

Menurut Rere pekerja seks merupakan perilaku yang tidak

baik untuk dijadikan pekerjaan. Selaras dengan bimbingan yang

diarahkan oleh pondok pesantren al-aftah. Usia yang sudah tidak

lagi muda, dan seorang yang sangat mencintai keluarganya,

meskipun sejak kecil belum pernah merasakan tangan dari

seorang ayah. Meskipun ada sosok Ibu yang berusaha

menggantikan kasih sayang seorang ayah, Rere tetap saja

terpukul sampai sekarang. Dukungan yang Rere peroleh, yakni

dari keluarga inti—keluarga kecil yang memiliki rasa toleransi

atas pilihan orang lain, Ibu dan Adik Rere menerima dirinya

dengan baik. Adanya penerimaan diri ini, setidaknya memberikan

motivasi pada diri Rere, yang sudah merasakan perbedaan

perasaan seperti perempuan dari sejak kecil. Berikut penggalan

wawancara bersama Rere di ruang tamu pondok pesantren pada

hari Senin, 7 Desember 2020:

“Sampai sekarang, karena kan aku udah kepala 3, dan yang lain

keponakan aku kan udah menikah. Ya kadang, aku bimbang, bingung,

sedih, kok apa ya. Kalian ngga ngerasain jadi aku tu gimana. Kalau

mereka dari kecil udah ada bapak, ada iu. Nah aku, broken heart, udah

kaya gini. Siapa yang mau memilih seperti ini, ya kan. Aku ngga

menyesali, karena apa yah, Tuhan menciptakan keluargaku seperti ini.

10

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

142

Aku udah ngga punya Ayah dari kecil. Ibu masih berjuang dengan

membesarkan anaknya, belum di keluarga selalu dibilang: ”Anakmu

lanang iku sing mbarep, wis ngono kui…” (Itu lo, anak kamu cowok,

yang pertama, udah tampilannya kaya gitu). Dan aku tu ngga pengen

dia sakit. Iya, tapi kan beda sama saudara-saudara Ibu, Kalau mereka

kan keluarganya lengkap. Tapi ya, ya udah, ini kan sudah digariskan

oleh Tuhan keluargaku seperti ini, kan kita ngga bisa berontak “aku

ngga mau seperti ini, seperti ini.”11

Jiwa penolong dan menjadi santri waria yang aktif, Rere turut

bergabung di beberapa organisasi atau komunitas. Sehingga Rere

dapat meng-eksplore dirinya untuk bergerak dan menginginkan

menjadi seorang yang bermanfaat. Menyadari dirinya seorang

yang berbeda dari teman-temannya sejak Sekolah Menengah

Pertama, Rere menanyakan kepada Tuhan sampai mengakui

dirinya sebagai seorang transgender. Perbedaan yang ada pada

dalam dirinya, dianggap sebagai pemberian Tuhan yang

ditakdirkan pada dirinya, karena dia mengalami perasaan yang

berkecamuk di dalam batin dan lahirnya, dan memuncak pada

tahun 2016 merasakan kebutuhan manusia sebagai seorang

makhluk yang ber-Tuhan.

“Saya masuk pada tahun 2016. Jadi, masuk ke pesantren ini kan

pindahan ke-2 dari Notoyudan. Akhirnya aku curhat sama yang di atas,

keluarin pas waktu salat itu, kadang pas mau salat pun juga nangis. Iya,

serius, bener, pokokya kalau udah ngerasain salat, bener-bener, apalagi

11

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

143

salat tahajud, nangis tu, plong, tenang. Terus, kaya, ya kaya ngga da

beban.”12

Nama Lahir : Wisnu Setiawan

Nama panggilan : Inul

Pendidikan Terakhir : SMA

Tempat/tgl/lahir : Jakarta, 26 Agustus 1971

Agama : Islam

Alamat : Yogyakarta

Pekerjaan : Mengamen

Kebaikan seseorang tidak terlihat dari seberapa postingan

dalam media sosial, dan banyaknya orang yang mengetahui atas

apa yang sudah disumbang. Kini lingkungan sosial dinilai dari

terlihat dari tampilan luar apa yang dikenakan. Menyisihkan

sebagian pendapatan pribadinya dalam satu minggu, untuk dua

orang janda tua di Desanya salah satu daerah Kulonprogo—yang

dilakukan oleh Inul santri non mukim atau kalong pondok

pesantren waria al-fatah Yogyakarta pada tahun 2016. Memiliki

sikap yang terbuka, dan sosok pengasih juga baik, Inul

menjadwalkan dirinya setiap senin untuk mengantarkan orang

tuanya yang sakit atau orang sekitar yang sakit ke rumah sakit

untuk kontrol.

“Iya, lebih lancar. Satu, lagian hati lebih tenang. Eeee dalam aku sendiri

loh, bukan orang lain, e e aku kadang em ternyata harus memberikan

12

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

144

untuk orang yang membutuhkan pertolongan. Eeem aku kan, sekarang

jadi pengamen ya, emm aku kan pengamen jalanan sekarang, mengikuti

alur aja waktu itu. Ternyata mba Nur, waktu itu dia keluar, karena

waktu itu masih sepi, dia keluar ikut ngamen. Makanya ketemu aku,

ternyata satu komunitas selain IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta),

ternyata ada Pondok Pesantren Waria, aku penasaran ya kan. Nah,

pertama kita udah tau dunia waria dijalanan, aku ingin merubah nasib

dengan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.”13

Terlahir dari didikan keluarga yang disiplin, dari sosok ayah

seorang Tentara, dan dua orang Kakak yang berprofesi TNI dan

Polisi, Inul merasakan hal yang sangat berbeda dari keluarganya

dan sejak Sekolah Dasar menyukai teman laki-lakinya. Berikut

penggalan wawancara bersama Inul di lataran pondok pesantren

waria al-fatah:

“Aku mengalami perbedaan pendidikan itu SD. Aku udah keliatan,

sama temen-temen, aku mengalami karena apa? Setiap aku bertaman

sama perempuan, dan aku melihat laki-laki itu ikut-ikut nge-fans, jadi

ngga ada getaran, nah aku kok, beda dengan laki-laki lain ya. Iya, aku

emang, dari keluarga tentara, karena kakak pertama ku jadi tentara, dan

kakak kedua ku jadi polisi. Dan aku doang yang, he he he lain dari pada

yang lain.”14

13

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 14

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15:30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

145

Meskipun berbeda dari kedua saudaranya, saat masih

menduduki SD, SMP, Inul serius dalam mempalajari agama

Islam di Taman Alqur’an setempat dimana dia tinggal saat

mengikuti dinas bapak-ibunya. Sejak kecil santri waria ini

memiliki hobi adzan, sampai dewasa dan di pondok pesantren al-

fatah memiliki julukan “Sang Muazin”.

Suara yang bagus, jelas, dan lantang, dimulai dengan lafadz

Allahu Akbar Inul menjadi muazin setiap shalat jamaah di

pondok pesantren waria al-fatah. Semua itu tidak lepas dari

berkat didikan disiplin dari keluarganya. Bekerja mnejadi seorang

pengamen di stasiun, jalanan, itu tidak mudah, apalagi dirinya

seorang waria, yang harus berdandan saat mengamen. Bukan

menjadi masalah bagi Inul sendiri, karena Inul percaya bahwa;

rejeki sudah diatur oleh Sang Kuasa, sehingga dirinya enggan

bekerja saat lima waktu tiba.

Investasi waktu shalat dan berbagi merupakan sudah menjadi

prinsip utama Inul. Bimbingan keagamaan yang didapatkan dari

ustadz Arif, menyadarkan dirinya dan beberapa tahun setelah

masuk pondok pesantren ini, Inul merasakan ketenangan batin

atas perubahan perilaku pada dirinya, oleh dirinya. Berikut

penggalan wawancara bersama Inul, dari pengalaman yang luar

biasa:

“Ustadz Arif ngasih wejangan bagi Inul sendiri ibaratnya gini yang

masih terngiang-ngiang; yang itu, jangan dibesar-besarkan hidup di

dunia dalam arti berfoya-foya, lebih baik memikirkan akhiratnya. Itu

yang paling Inul berkesan, jadi makanya kan Inul memandang harta

146

adalah titipan, kan itu yang benar-benar Inul, kasih ini karena sewaktu-

waktu bisa saja ntar misalnya aku habis ketemu Mbak Nisa, terus

meninggal. Itu yang paling aku, aku nggak mikir yang lain-lain. Di

situlah yang paling berkesan yaitu ibaratnya itu titipan ya yang paling

berkesan tadinya makanya aku yaudah harta itu titipan, ya aku bisa

membantu sama orang-orang yang masih dalam artian menolong dalam

hal positif Siapa tahu aku bisa dapat dapat doa gitu.”15

5. Significant Other

Nama : Nur

Tempat/tgl/lahir : Yogyakarta, 19-12-1969

Agama : Islam

Alamat : Yogyakarta

Pekerjaan : Memasak / Koki

Harumnya kebaikan manusia akan tercium dari orang-orang

sekitar yang sering bersamanya, seperti yang dikatakan oleh Nur,

sahabat dekat Rere. Bagaimana rere di mata Nur, perubahan apa

yang Nur rasakan setelah Rere masuk ke pondok pesantren,

semua akan dijelaskan oleh Nur. Merupakan seorang waria yang

sudah lama di pondok pesantren sejak pesantren tersebut berdiri.

Mba Nur seorang transgender sekaligus santri yang bekerja

sebagai Koki di pondok pesantren dan juga pesanan dari luar

pesantren, sebelumya menjadi seorang pengamen. Berawal dari

tahun 2012, Nur mengenali Rere di pelatihan kewirausahaan yang

15

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

147

diadakan oleh Ikatan Waria Yogyakarta. Berikut penggalan

wawancara bersama Nur di lataran pondok pesantren waria al-

fatah:

“Kita ketemu waktu itu kita ada pelatihan wirausahaan, dan waktu itu

sama Rere. Disitu kita dikumpulkan bersama beberapa waria yang tidak

kita kenal. Kebetulan belum ada pondok pesantren ini, dan disini juga

belum jadi pondok santri. Sebenarnya ada juga waria yang ngga kita

kenal. Kebetulan ada perkumpulan waria yang ikut. Dan itu juga belum

tentu mondok santri, dia datang kesini sendiri.”16

Religiusitas atau memiliki perasaan dekat dengan Tuhan,

dirasakan oleh semua makhluk hidup tanpa terkecuali. Dijelaskan

pula oleh Imam Sibawaih penulis buku Al-Hikam—kitab

kebahagiaan dan petunjuk jalan menuju Tuhan.

ط ء عط

ن لب ي

ع ع

من لبط ع ع

من لب

نم ف

هف لب

طب

بك بحت ف

مت

Ketika Dia membukakan pintu pemahaman kepadamu mengapa

tidak diberi, maka hal itu merupakan bentuk pemberian.17

Menyadari apa yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta

kepada makhluknya, maka akan menemukan kelem butan-Nya.

Ketentuan-Nya yang beriringan dengan kebijaksanaanNya,

bahkan yang sudah dianggap sebagai penolakan. Dalam buku Al-

Hikam ini, menunjukan bahwa Allah selalu ada, meskipun

16

Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere, pada

hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 15:30 WIB di Pondok Pesantren Waria

Al-fatah 17

El-Hasany Imam, Al-Hikam Kitab Kebahagiaan dan Petunjuk

Jalan Menuju Tuhan. (Yogyakarta; Telaga Akasara, 2020) hal. 114

148

manusia mengalami kesepian dari nikmat-Nya, sebenarnya Allah

sedang berkehendak membuat ramai dengan hikmah-Nya.

Bahkan, dalam kesempitan Allah telah memberimu nikmat

kesempatan. Kesempatan untuk tercerah, karena kesadaran

berserah.

Sebagai seorang sahabat, Nur bangga atas perubahan yang

dilewati oleh Rere. Santri waria yang masuk pada tahun 2016

lalu, menurut Nur; sudah sering mengikuti kegiatan pondok

pesantren, Rere juga sudah tidak mengasingkan dirinya, dan

sudah bisa mengatasi problematika keadaan dirinya sebagai waria

dihadapan keluarga dan lingkungannya. Di sisi lain, ada sikap

yang belum berubah dari awal Nur kenal dengan Rere, yakni sifat

ringan tangan, dan tidak pelit. Berikut penggalan wawancara

bersama Nur dengan mengekpresikan bahagia saat menceritakan

sahabatnya sendiri:

“Ya, ya itu kalau untuk pas ada pengajian disini, ikut belajar ngaji.

Yang aku tahu Rere selama ini; iya dia dulu, yang awalnya ngga

pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan diri, dia tidak mau

bergaul dengan temen-temen disini. Nah, sekarang kan sering

kumpul-kumpul, ikut kegiatan. Hehe dia itu ringan tangan, dia tu

kalau disuruh apa-apa pasti berangkat. Meskipun kadang ada feenya

ya hehehe. Dia kalau ngga dikasih pun ngga masalah. Yang satu

149

kebaikan Rere yaitu; ee ringan tangan, terus dia orangnya tidak

pelit. Iya, dia kalo punya ya, Iya ngasih aja.”18

Nama : Rini

Tempat/tgl/lahir : Jakarta, 27-10-1969

Agama : Islam

Alamat : Yogyakarta

Pekerjaan : Mengamen

Hidup adalah pilihan bagi makhluk hidup dan juga makhluk

sosial. Memilih untuk menjadi seperti apa, biasanya akan

mempertimbangkan sesuai kebutuhan dan kenyamanan pribadi.

Pada tahun 2007, Rini bertemu dengan Inul di Stasiun

Lempuyangan, saar dirinya berjualan Koran bekas atau asongan

di kereta-kereta. Tepat Inul berpindah bekerja dari seorang

karyawan di perusahaan swasta Jakarta. Tahun 1998 krisis

moneter, sehingga Inul berpindah ke Yogyakarta dan menjadi

seorang pengamen yang sudah menjadi seorang transgender atau

waria. Seperti tanggapan Rini saat wawancara di lataran Pondok

Pesantren al-fatah waria:

“Saya sejak tahun 2007. Di Stasiun Lempuyangan dulu masih hidup

di jalanan. Ya, di jalan terus ketemu, “ada waria tu, namanya siapa”

kataku. Ternyata namanya Inul. Ternyata mba Inul juga udah lama

juga, karena dia kan udah lama di Lempuyangan, ngamen di kereta-

18

Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere, pada

hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 15.30 WIB di Pondok Pesantren Waria

Al-fatah

150

kereta itu. Karena kan saya masih jualan koran-koran bekas 500-an,

kopi-kopi gitu, di kereta kan banyak lah, masih bebas dulu di stasiun

itu.”19

Perjumpaan yang cukup lama 14 tahun menjadi seorang

pendengar, teman, dan sahabat, Rini hampir tidak merasakan

kebosanan. Menurutnya, persahabatan itu juga tidak berjalan

dengan mulus, banyak bercanda sedikit bertengkar. Sosok Inul

yang senang memberikan; motivasi hidup, perduli, humble,

mengajak kebaikan, dan menyenangkan, sehingga dapat

memberikan keamanan bagi Rini pribadi. Berikut penggalan

wawancara bersama Rini di lataran pondok pesanten waria:

“Orangnya baik, “tur” ya orangnya sopan. Ya, jadi temen-temen

waria tu seneng sama mba Inul. Kadang saya suka kan ngamen

bareng, kadang-kadang saya sendiri, dan mba inul itu orangnya

baik. Suka apa, eee nasihatin kita-kita; Rini, ini yang baik, nah yang

ngga baik jangan diikutin. Yang bagus gitu, nah yang jelek jangan

diikutin. Ya emang nasihatin yang paling baik ya mba Inul, yang

paling deket, saya sama dia.”20

6. Warga

Nama : Munarto

Tempat/tgl/lahir : Yoyakarta, 13-11-1960

19

Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul, pada

hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Pondok Pesantren Waria

Al-fatah

20 Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul, pada

hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Pondok Pesantren Waria

Al-fatah

151

Agama : Islam

Alamat : Yogyakarta

Pekerjaan : Ketua RT

Ruang sosial di tengah masyarakat, pondok pesantren waria

yang terletak disebelah kiri potong rambut dan sudah banyak

diakui keberadaannya dari; Departemen Sosial, Institute

Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Nirlaba,

dan masyarakat setempat maupun daerah Yogyakarta maupun

luar daerah. Meskipun hal tersebut sudah diakui, ada masyarakat

yang masih kontra dengan keberadaan pondok tersebut. Seperti

yang diutarakan oleh Bapak Munarto, di rumahnya, saat peneliti

bertamu:

“Kalau sebagai ketua RT ya, jelas itu. Hirarkinya kan ndak ada ijin

ya, hanya kelompok pengajian sudah. Itu kalau dari ke

pemerintahan sampai RT ya. Sebenarnya masyarakat itu, katakanlah

ada yang mau ngomong sebenarnya ngga setuju gituloh, adanya apa

adanyapondok pesantren ini ngga setuju. Tapi kan kalau dibebankan

ke masyarakat ya ngga bisa, karena kan jaringannya udah besar

gituloh, kita ya ngga bisa apa-apa.”21

Menurut sepehaman bapak Munarto, pondok pesantren waria

al-fatah belum memiliki izin berdirinya bangunan pesantren

seperti yang sudah dalam aturan perundang-undangan wilayah

diIndonesia khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga

21

Wawancara dengan Munarto, Warga , pada hari Minggu, 27

Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Rumah bapak Arif

152

menimbulkan kontra dan tidak kesukaan selepas kejadian

penyerangan Front Jihad Islam terhadap pondok pesantren waria

al-fatah Yogyakarta pada tahun 2016. Berikut penggalan

wawancara bersama bapak Munarto yang bertempat di rumah

bapak Munarto:

“Iya jadi kan gini, itu pondok pesantren waria, juga bertempat

disini, dan kami itu mempertanyakan apakah ada ijinnya dari

pemerintah loh ya. Kan pondok kan, setiap ada kegiatan ada apa,

kan ada ijinnya biasanya. Mendirikan pondok atau mendirikan

apalah, sebenernya ada ijinnya dari pemerintah no berapa, ini kan

disini ngga ada.”

Bapak Munarto pribadi memiliki kesan baik terhadap kegiatan

pondok pesantren, seperti; mengaji, pengajian, shalat, dan

kegiatan sosial lainnya. Namun, satu hal yang menjadi harapan

besar bagi bapak Munarto, yakni ada support bangunan pondok

yang dilindungi oleh pemerintah, sehingga pondok pesantren

tersebut tidak bertempat di wilayah masyarakat umum. Berikut

penggalan wawancara bersama bapak Munarto di tengah sore

pukul 17.30 WIB:

“Kalu ngajinya saya ngga masalah wong itu ibadah kok masa

dilarang. Nah itu, tapi ya kami juga hanya apa, bertanya juga; ini

Dinas Sosial melindungi, nanti ada ini lagi, nah itu yang menjadi

pertanyaan. Pemecahannya tu bagaiamana, kami sebagai tataran

yang paling rendah kan, sebetulanya itu udah tau ya, mungkin dari

ya, kami yang disini ya hanya mengusulkan, mbok pindah dari sini,

153

disana di tempat yang lebih apa, mungkin yang ngga punya tetangga

gitu.”22

Nama : Tumirah

Tempat/tgl/lahir : 27-12-1971

Agama : Islam

Alamat : Yogyakarta

Pekerjaan : Penjual Soto gg. Depan pondok

pondok pesantren waria

Perbedaan pendapat kerap terjadi di lingkungan masyarakat.

Masyarakat merupakan tempat belajar bagi siapa saja yang hidup

bermasyarakat. Ibu Tumirah salah satu warga Desa Jagalan atau

tepat sebelah pondok pesantren waria al-fatah. Wanita yang

berumur 49 tahun ini sangat antusias terhadap adanya pondok

pesantren al-fatah ini. Meskipun ibu Tumirah tidak mengetahui

secara mendetail bagaimana cara melakukan bimbingan

keagamaannya, namun kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh

santri waria di pondok pesantren waria al-fatah, masayarakat

sekitar merasakan kebermanfaatannya. Seperti yang dicontohkan

oleh ibu Tumirah, yakni ada pengajian dan klinik gratis yang

pernah diikuti oleh beliau. Menurut Ibu Tumirah, gerakan yang

bagus bagi teman-teman waria, yang orang melihat hanya di

pinggir jalan dan melakukan hal yang tidak bermanfaat. Berikut

22

Wawancara dengan Munarto, Warga, pada hari Minggu, 27

Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Rumah bapak Arif

154

penggalan wawancara bersama Ibu tumirah di warung soto gg.

Depan pondok pesantren waria, pada 06 Januari 2021:

“Baik, semuanya itu kalau sama lingkungan sama apa ya baik.

Pernah, pengajian, tapi yang dateng bukan orang sini. Pokoknya

ngga tau dari mana, tapi penuh li (dan) saya juga pernah dateng.”23

Sisi teologis santri waria tengah menjadi perbincangan

masyarakat. Bagaimana santri waria mengerjakan shalat, apakah

memakai mukena atau tetap memakai perlengkapan shalat pada

santri umumnya. Setelah peneliti menjelaskan bagaimana santri

waria mengerjakan bimbingan keagamaan, Ibu Tumirah semakin

percaya, bahwa; pondok pesantren waria al-fatah ini, memang

benar untuk menuju berserah padaNya. Ibu Tumirah juga

menceritakan sikap santri waria, berikut penggalan wawancara

bersama Ibu Tumirah:

“Iya, ngga apa-apa. Kita kan tetangga kan saling berbagi, kalau

ngga ada yang mengganggu ya ngga. Kalau keluar masuk leat sini

ya ngga apa-apa. Karena kan kegiatannya juga bagus, ada yang

mau buka salon, tata rias pengantin, kreativitas lain, ini mau buka

lagi, sebelah sini.”24

23

Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06 Januari

2021, pukul 16.30 WIB di warung soto milik ibu Tumirah 24

Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06 Januari

2021, pukul 16.30 WIB di warung soto milik ibu Tumirah

155

B. Hasil Temuan Lapangan

1. Proses Penelitian

Puji syukur telah menyelesaikan penelitian di pondok

pesantren waria al-fatah sejak 2019. Dalam hal ini peneliti

mengalami beberapa hambatan, yang tengang waktu yang

cukup lama diakarenakan pandemik covid-19 dan keadaan

peneliti yang kurang stabil selama beberapa bulan.

Pendekatan yang dilakukan cukup panjang dan

membutuhkan penerimaan diri sebagai peneliti, yakni mental

yang cukup baik, dengan cara menjaga etika, sopan dan

santun, serta berkomunikasi untuk menyesuaikan keadaan

santri waria.

Pada tanggal 09 februari 2019, peneliti melakukan

pendekatan dengan pengasuh pondok pesantren dengan

menanyakan; diperbolehkan atau tidak pondok pesantren

waria al-fatah dijadikan penelitian skripsi. Karena pada saat

itu, peneliti mencari alamat pondok pesantren waria lewat

website, tidak ditemukan, sehingga peneliti mencari bantuan

lewat teman-teman mahasiswa UGM dan UIN Sunan

Kalijaga untuk silaturahim ke pondok pesantren waria al-

fatah. Setelah mendapatkan izin dari pihak pondok pesantren

waria al-fatah.

Peneliti kembali datang dan mengikuti langsung kegiatan

santri waria berlangsung pada tanggal 16-20 Mei 2019 tepat

di bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, kegiatan

pondok pesantren waria al-fatah berlangsung; mulai dari

156

bimbingan keagamaan, konseling agama maupun psikologis,

kegiatan sosial yang diadakan oleh LSM, Universitas

Gunadharma, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata

Dharma dan pemeriksaan gratis dari Puskesmas Kotagede.

Pertama kali peneliti bertemu langsung dengan 42 santri

waria yang turut melaksanakan kegiatan di pondok pesantren

waria, ada sedikit perasaan khawatir tidak diterima oleh

kawan-kawan santri waria. Namun, pengasuh pondok yang

baik memperkenalkan satu-persatu tamu yang ada di pondok,

sehingga peneliti mendapatkan kesiapan mental yang baik

dengan menerima diri.

Berjalan dengan baik pendekatan yang dilakukan oleh

peneliti juga dapat berkomunikasi langsung dengan santri

waria, ustadz, dan pengasuh. Jarak yang ditempuh selama

penelitian, cukup jauh dari Jakarta ke Yogyakarta serta

persiapan lainnya. Namun, peneliti tetap melaksanakan,

bukan karena terpaksa, akan tetapi peneliti memiliki

ketertarikan sendiri dan sudah yakin dengan penelitian yang

bertemakan kelompok marginal. Peneliti melanjutkan

penelitiannya setelah seminar proposal, selang sebulan

bertepatan dengan pandemi covid-19, sehingga tempat

penelitian di tutup sementara setelah 2 minggu.

Daerah Istimewa Yogyakarta lockdown dan sampai bulan

September. Selama masa pandemi covid-19, peneliti

melakukan komunikasi lewat whatshapp dengan Shinta Ratri

selaku pengasuh pondok pesantren waria al-fatah. Pada bulan

November awal, pondok pesantren sudah memperbolehkan

157

tamu datang dengan pemberlakuan protokol covid-19 yang

sudah ditentukan oleh pemerintah.

Pada tanggal 29 November peneliti terjun langsung dalam

membantu bimbingan keagamaan mengajar Iqra. Selama

penelitian berlangsung dari tanggal 29 November sampai 7

Januari, peneliti terhambat oleh transportasi. Karena

transportasi di Yogyakarta hanya Ojek online untuk menuju

tempat penelitian dan juga cuaca hujan, sehingga peneliti

berusaha keras dalam mencari solusi. Pendekatan terhadap

informan santri waria cukup baik, berbeda dengan

pendekatan warga sekitar yang tidak mau untuk

diwawancarai. Setelah 3 minggu, peneliti bertemu warga

yang mau dijadikan informan. Sejauh penelitian berlangsung,

peneliti menjalankan dengan penuh semangat, karena ini

merupakan penelitian yang menarik.

2. Tahapan/proses Penerimaan Diri Santri Waria

Melalui Bimbingan Keagamaan

Dinobatkan menjadi kota pluralisme, Daerah Istimewa

Yogyakarta memiliki sisi-sisi keunikan; selain dari sisi

kebudayaan dan pendidikan, yakni memiliki ratusan pondok

pesantren. Salah satunya yaitu pondok pesantren waria al-

fatah. Keberadaan pondok pesantren ini sangat dibutuhkan

oleh kaum transgender atau waria. Sebagai makhluk bertuhan

dan sosial, santri waria membutuhkan pondok pesantren ini

sebagai ruang sosial, pendidikan, kreativitas di tengah

masyarakat.

158

Berjalan selama 11 tahun lebih pondok pesantren ini

mengalami banyak perjuangan, sampai pada penyeragan Front

Jihad Islam pada tahun 2016. Sehingga masyarakat

menghindar dan takut. Namun, beberapa bulan setelah

mengalami penyerangan, pondok pesantren waria al-fatah ini

kembali melakukan aktivitasnya. Tentunya bukanlah hal yang

mudah, santri waria harus bangkit kembali dengan

membangun rasa penerimaan diri melalui bimbingan

keagamaan di pondok pesantren.

a) Tahap Denial dan Anger

Pada tahap ini santri merasakan pemberontakan atas

peristiwa yang tidak menyenangkan ataupun kekurangan

yang dimiliki juga ditandai dengan perasaan emosi. Hal

serupa diungkapkan juga oleh Ka Rere saat dirinya memiliki

pengalaman religiusitas-nya:

“Jadi, masuk ke pesantren ini, kan pindahan ke-2 dari

Notoyudan. Terus aku ada masalah besar, masalahnya aku sama

keluargaku. Karena aku berantem sama ibuku dan keluarga

ibuku. Mereka nentang aku, disuruh nikah, disuruh jadi yang

bener, jadi mereka malu kalau aku dandan perempuan.”25

25

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

159

Berawal dari hal yang tidak menyenangkan terhadap

dirinya, karena merasakan perbedaan dengan yang lain, maka

pengalaman yang sama juga dirasakan oleh Ka Inul pada

tahap bergaining.

b) Tahap Bergaining dan tahap Depression

Pada tahap ini, santri waria mengalihkan kemarahannya

dengan cara melibatkan Tuhan untuk membuat sesuatu yang

baik dalam bentuk kesepakatan. Karena santri waria

mengalami putus asa dan kehilangan harapan. Seperti yang

dialami ka Inul:

“Eeee, kalau aku itu terus terang dan temen-temen yang dulu;

arogan, udah aku kasih alur, ayo kapan kita mendekatkan.

Tapi kan waktu itu, ada yang di jalan. Aku diminta untuk

membentuk satu komunitas, yang ini kan seorang Abdi

Pamungkas itu. Tapi kan aku ikut sama orang yang bener-

bener hidup di jalanan. Dan aku saling kasih arahan inilah

saatnya mendekatkan diri sama yang kuasa sewaktu-waktu

kita mesti mencari. Dimana ada ketenangan, ya di Agama

kan.

Perasaan pada tahap ini juga kerap dirasakan oleh ka

Rere saat dirinya mengalami permasalahan yang cukup

berat dengan keluarganya dan dirinya.

“Perasaan balik ke Tuhan tu gini, jadi di saat, aku ada

masalah besar sama keluarga kemarin kan. Aku curhat sama

pak Ustadz Arif kan, terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa

terus solusinya katanya; ya udah, tenangin dulu di pondok,

nenangin pikiran, ya dengan ngaji, terus aku tiap malam juga

shalat eeee, tahajud. Karena ada ketenangan diri, maksudnya

setelah kita shalat malam itu ya, pokoknya kalau udah

160

meneteskan semua air mata yang kita curahkan itu, tenang.

Kan kalau di pendam itu kan sakit ya, akhirnya aku curhat

sama yang di Atas, keluar semua. Dan kadang kalau pas mau

shalat pun nangis. Jadi, kalau kembali kesini itu sebagai

wadah apa, ya. Kaya wadah kembali ke Tuhan, ya ngga sih

mba.”26

c) Tahap Acceptance,

Individu mengalami pencapaian titik terendah dan

mencoba menerima kenyataan buruk yang terjadi. Dalam

konteks ini, penerimaan diri sebagai seorang santri waria yang

berhadapan dengan Tuhan atas kesadaran diri, bahwa hanya

kepada-Nya; santri waria memohon, bersimpuh, mengadu,

dan hanya Tuhan yang mengerti keadaan dirinya sebagai

seorang waria. Bentuk penerimaan diri ka Rere dan ka Inul

yaitu dengan mengakui bahwa Tuhan menciptakan dirinya

dengan jenis kelamin laki-laki dan berperasaan dan jiwa

seperti perempuan. Maka dari itu, saat shalat mereka tetap

mengenakan pakaian shalat laki-laki. Berikut ungkapan ka

Inul:

“Kalau aku, kalau aku ya itu; aku punya prinsip sendiri, aku

walaupun aku jiwanya perempuan casing-nya laki-laki aku

menghadap Tuhan harus bentuk laki-laki karena apa? ngga

26

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

161

mungkin ya, apa Ibaratnya Tuhan menciptakan ini, ini dalam

arti kok aneh-aneh menghadap Tuhan kan Inul pribadinya

makanya pakai sarung.”27

Hal serupa juga dialami oleh ka Rere, bagaimana

dirinya berkekspresi dengan Tuhan. Wawancara yang

hening dan syahdu, disampaikan langsung oleh ka Rere:

“Iya, aku pake sarung. Kan tergantung dari penampilan ya.

Kemarin kan temen-temen liat, ada yang rambut panjang,

yang dia pake mukenah, ada yang pake sarung. Nah itu,

kenyamanan kita. Temen-temen waria nyamannya gimana?

Mau sarung atau mukenah. Contoh aja mami Rully, dia pake

hijab, tapi kalau shalat, dia lebih nyaman salat yang kaya

cowok.”28

Pondok pesantren waria al-fatah tidak mengharuskan

santrinya memakai mukenah. Artinya, di dalam pondok

pesantren ini bebas mengekpresikan dirinya kepada

Tuhan. Semua itu hak pribadi. Disampaikan juga oleh

pembimbing pondok pesantren Ustadz Arif:

“Laki-laki mau dia pake jubah, pake mukena, ya yang

penting menutup aurat, iya selesai. Tanpa busana juga boleh

kok, kalau kita sendirian di tempat yang gelap. Misalnya;

27

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 28

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

162

mungkin ngga punya baju ya, semuanya tutup semua, tanpa

baju bisa shalat. Konsep aurat muncul itu, karena ada orang

yang lihat.”29

3. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat dalam

Panerimaan Diri Santri Waria

a) Adanya pemahaman diri (Self-Understanding) dan hal yang

realistik

Dalam self understanding santri waria dapat mengenali

dirinya; mulai dari kemampuan dan ketidakmampuan yang

dimiliki dan tidak tergantung pada intelektual yang

dimiliki, tetapi mendapatkan penilaian orang sehingga akan

mudah menerima dirinya sendiri. Hal tersebut dapat

menimbulkan kepuasan tersendiri bagi individu dalam

penerimaan diri.

Dalam konteks ini, santri waria merasakan

kenyamanan di pondok pesantren dan menerima dirinya

sebagai seorang waria yang memiliki potensi pada dirinya.

Dengan ini, santri waria hanya dapat berinteraksi bebas

dengan Tuhan; karena jauh dari diskriminasi, perlakuan

yang membuat sakit hati, dan lain sebagaianya. Menurut

santri waria, hanya Tuhan yang bisa memahami

perasaannya dan tahu jalan keluar masalahnya.

29

Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya.

163

Tingkat ketakwaan santri waria mungkin lebih besar

dari yang dipikirkan oleh manusia sosial lainnya, yang

menganggap individu waria akan masuk neraka. Inilah

alasan KH. Abdul Muhaimin yang sekarang menjadi

Pembina pondok pesantren waria al-fatah:

“Gus Dur sempat beberapakali datang kesini. Orang syiah,

orang Atheis, orang Katolik, Kristen, Cina, dll sering kesini.

Karena saya terbuka dan saya tidak memandang siapa pun

dengan yang dia miliki. Namun, kalau dari sisi kemanusiaan,

mereka yang kita anggap berbeda, mereka masih bani adam.

Menurut kamu, mereka bani adam bukan?

Nah, itu.. Jadi, saya melihat waria, sudah waria dan mau

shalat, itu kan sudah termasuk nilai positif. Lhoh, jangan-

jangan derajat nilai shalatnya, malah lebih tinggi dari pada

kita. Mereka secara sosiologis sudah diremehkan, tapi mereka

masih mau mencari Tuhannya. Itu luar biasa loh.”30

Seperti halnya diungkapkan oleh ka Rere saat dirinya

merasakan kenyamanan dengan identitasnya juga dukungan

keluarga untuk belajar di pondok peantren al-fatah:

“Iya masuk pesantren karena kesadaran diri. Kendala si ngga

ada, kebetulan ibuku mendukung, jadi kan kemarin ke

Cirebon ziarah, dan aku emang dandan, dua hari. Ibu dan

adek ku juga ikut. Aku ngga menyesali aku seperti ini,

karena apa yah, Tuhan menciptakan keluargaku seperti ini.

30

Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Rabu, 09 Desember 2020, pukul 10.30

WIB di pondok pesantren Nurul Ummahat.

164

Aku udah ngga punya Ayah dari kecil. Ibu masih berjuang

dengan membesarkan anaknya, belum di keluarga selalu

dibilang:”Anakmu lanang iku sing mbarep, wis ngono kui…”

(Itu lo, anak kamu cowok, yang pertama, udah tampilannya

kaya gitu). Dan aku tu ngga pengen dia sakit. Dan untuk di

Pesantren ya alhamdulilah nyaman, ya, dengan mengikuti

kegiatan-kegiatan, kadang merasakan capek. Tapi, terus

lama-lama ya ee enjoy aja. Iya, hmmm kadang dengan

kepenatan yang karena kesibukan dunia itu, akan lebih

tenang saat shalat dan seneng juga berjamaah, dan untuk

ngaji, dari kecil aku udah dibekali ilmu agama, jadi aku

tahu.”31

Disisi lain, ka Rere merasakan hambatan dalam

proses pelaksanaan bimbingan keagamaan di pondok

pesantren waria al-fatah. Berikut yang diungkapkan oleh

Rere:

“Kendala tidak ada sama sekali mbak Nisa, karena dari kecil

soal agama saya sudah belajar, jadi ingat akan bimbingan

agama. Hal yang belom saya dapat di pesantren adalah

kebersamaan santri yang hanya setiap Minggu aja.”32

Perasaan nyaman dan aman yang dialami oleh ka Rere

juga diungkapkan oleh teman dekatnya yaitu ka Nur. Ka

Nur sendiri pengurus pondok pesantren al-fatah. Selain itu

31

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah. 32

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 06 Februari 2021, pukul 09.02 WIB di

Whatshapp

165

juga menjadi sahabat Rere selama di pondok pesantren,

tidak menutup kemungkinan, ka Rere menceritakan segala

pribadinya ke ka Nur. Namun pada penelitian ini, ka Nur

menceritakan pribadi ka Rere selama dia menjadi teman

dekatnya:

“Rere datang kesini sendiri (pondok pesantren al-fatah). Iya,

mungkin karena waktu itu ada pelatihan, dan dia itu ke Bali.

Dan di Bali itu ada masalah, terus akhirnya dia kesini. Dan

mungkin menurut dia disini tempat paling nyaman, dan

aman, nah akhirnya dia kesini dan akhirnya masuk ke

pondok pesantren. Rere, iya dia mulai dulu, yang awalnya

ngga pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan diri,

dia tidak mau bergaul dengan temen-temen disini. Nah,

sekarang kan sering kumpul-kumpul, ikut kegiatan.”33

Hal serupa juga dirasakan oleh ka Inul, baginya

pemahaman diri ini sangat penting dalam menjalani

kehidupan, apalagi ia menjalaninya sebagai seorang

pengamen waria:

“Eeem aku kan, sekarang jadi pengamen ya, kan pengamen

jalanan sekarang, mengikuti alur aja waktu itu. Ternyata mba

Nur, waktu itu dia keluar, karena waktu itu masih sepi, dia

keluar ikut ngamen. Makanya ketemu aku, ternyata satu

komunitas di IWAYO, ternyata selain itu ada Pondok

Pesantren Waria, aku penasaran ya kan. Yang pertama, udah

tau dunia waria di jalanan, aku ingin merubah nasib dengan

33

Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere, pada

hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 15.30 WIB di Pondok Pesantren Waria

Al-fatah

166

mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Kalau aku

pribadi, aku punya komitmen, aku bekerja, ya bekerja. Selagi

aku udah mengenal ponpes, karena aku juga dulu dilandasai

agama. Dan kalau shalat tahajud ya sebenarnya ngga terlalu.

Aku kalau malam, kebangun sampai jam 2, dan aku bangun.

Aku interaksi dengan Allah dengan cara ngga shalat. Aku

bertanya; Ya Allah, kalau aku emang berat dalam bentuk

kaya gini, aku ngga menyesal. Tapi, berilah aku jalan yang

lurus. Apa yang Allah berikan sabda sama Rasul-rasulnya;

berilah aku jalan yang terbaik menuju surgaMu.”34

Sama halnya dengan ka Rere, ka Inul merasakan

hambatan dalam melaksanakan bimbingan keagamaan:

“Iya bener, dan aku sebenarnya juga ada permintaan sama

ibu; seharusnya pondok pesantren ini jangan hanya hari

minggu, tapi di hari yang lain juga, karena kan hubungan

sama Tuhan tidak hanya hari minggu. Karena kan, memang

kesibukan masing-masing untuk mencari uang, jadi

ketemunya hari minggu, tapi kan kalau setiap hari; keliatan

orang yang mau jelek-jelek sekalian, kalau mau baik-baik

sekalian. Hal yang belum kudapatkan sampai sekarang yaitu

kebersamaan masih kurang.”35

Menjadi sahabat ka Inul sejak 2008, ka Rini merasa

bersyukur atas kehadiran ka Inul dalam hidupnya,

34

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 35

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

167

menurutnya ka Inul menjadi sosok yang berpengaruh

dengan mengingatkan ibadah:

“Inul orangnya baik, “tur” ya orangnya sopan. Ya, jadi

temen-temen waria tu seneng sama mba Inul. Kadang saya

suka ngamen bareng, kadang-kadang saya sendiri, dan mba

inul itu orangnya baik. Suka nasihatin kita-kita; Rini, ini

yang baik, nah yang ngga baik jangan diikutin. Yang bagus

gitu, nah yang jelek jangan diikutin. Mba inul orangnya biasa

aja, ngga banyak macam-macam, Ibadahnya bagus.”36

Pengasuh pondok pesantren turut memberikan

statement hambatan dalam pelaksanaan bimbingan

keagamaan yang dilaksanakan. Seperti yang diungkapkan

oleh ka Shinta Ratri:

“Spesialnya untuk santrinya dulu bisa mengambil manfaat,

dengan hadirnya disini, santri itu benar-benar mendapatkan

manfaat; dari peningkatan keimanannya, kesegaran jiwanya,

kesegaran fisiknya, ya, karena kami melihat kondisi, apa ya

namanya, keuangan. Jadi kesejahteraan ekonomi itu

berbanding lurus dengan peribadatan.”37

36

Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul, pada

hari Sabtu, 26 Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Pondok Pesantren Waria

Al-fatah

37 Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok

Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020,

pukul 10.30 WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

168

b) Tidak ada hambatan dalam lingkungan dan Identifikasi

orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik serta

perspektif diri yang luas

Meskipun individu sudah memiliki harapan realistik,

namun jika lingkungan tidak mendukung, maka harapan

individu tersebut akan sulit tercapai. Individu yang

mengidentifikasi dirinya dengan individu lain yang

mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memiliki

tingkah laku yang sesuai dengan individu yang

dicontohnya. Yaitu memperhatikan juga pandangan orang

lain tentang diri. Perspektif diri yang luas, dapat diperoleh

melalui pengalaman dan belajar.

Dalam konteks ini, keberagamaan santri waria tidak

memiliki hambatan dalam melaksanakan ibadah dan juga

adaptasi dengan masyarakat. Sama halnya diungkapkan

oleh ka Inul saat dirinya beradaptasi dengan masyarakat

dengan mengikuti perkumpulan RT/RW dan ibadah shalat

5 waktu di masjid yang dilaksanakan oleh dirinya:

“Ngga ada masalah dengan masyarakat, kalau aku pribadi

ngga. Karena aku setiap minggu pun pulang. Kalau di

kampung setiap kegiatan itu pasti. Dan aku juga kadang

kalau tiap awal bulan ada perkumpulan RT/RW di rumah,

sebulan sekali. Kalau aku pribadi, aku menghadap Allah aku

pakai baju pria. Mereka tahu kalau aku waria dan mereka

menerima. Eee, Kalau aku sebenarnya lima waktu dari dulu.

Aku shalat juga, tapi dalam arti yang dulu-dulu belum

mengenal Ponpes. Aku punya aturan ya, jadi kayak

tayamum, aku kadang di jalan ya udah yang penting aku mau

mendekatkan diri aku harus komunikasi sama Tuhan itu

169

harus, aku begitu. Kalau untuk lima waktu ya di masjid, ya

deket-deket ini karena; satu bisa mengontrol pekerjaan aku

harus jam ini bekerja masalah rezeki ya, kuasa yang ngatur

kita istirahat Kalau mau dandan lagi kalau nggak ntar abis

maghrib lagi.”38

Pengalaman yang sama dirasakan oleh ka Rere,

seberapa jauh lingkungan mempengaruhinya dirinya

melalui eksistensi keberagamaan dan sosialnya:

“Ya, kalau di sini, penerimaan terhadap kawan-kawan waria

ya menerima. Dari ujung gang depan sampai gang sana,

kenal sama aku, karena eeeem, ya maksudnya aku kan,

membaurnya baik, jadi masyarakat tahu; “itu itu si rere” Eee,

tergantung dari kita bawanya bagus ya, penerimaannya juga

baik gituh. Kalau di rumah, ya ngga mungkin aku melakukan

hal yang sama, jadi ngga semua tempat juga sama, bisa

menerima. Aku kan waria, bukan malu ya, karena dari

dalam. Tapi penampilan aku tetap kaya cowok, aku bukan

kaya waria yang pake apa-apa, itu ngga.39

Sebagai santri waria yang mukim di pondok

pesantren, ka Rere juga menceritakan; bahwa di pondok

pesantren juga melibatkan kegiatan sosial dengan

masyarakat, instansi pendidikan, ataupun kegiatan sosial

lainnya. Dalam pengertian, pondok pesantren ini bersifat

inklusif.

38

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 39

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

170

Iya, aktivitasnya banyak sebetulnya di pondok, jadi ngga

cuman hari minggu aja. Ada juga di bidang sosial, dan aku

dilibatkan dari panitia juga, gitu. dan apalagi setelah

penyerangan Front Jihad Islam, kita sibuk nih, Go Show ke

kampus-kampus ngisi-ngisi acara sama ustadz Arif ke UIN

Sunan Kaijaga, dll, hehe. Di pondok serius, bener; pokokya

kalau udah ngerasain shalat, bener-bener shalat tahajud, dan

nangis itu, plong, dan tenang. Terus, kaya ngga ada beban,

tapi setelah itu, bangun tidur hehe.”40

Menelaah dari kedua informan di atas yang sudah

bisa menyesuaikan dirinya dengan masyarakat, pun

masyarakat dapat menghargai atau bersikap saling

toleransi. Dalam hal ini disampaikan langsung oleh

Tumirah selaku pihak masyarakat:

“Baik, semuanya kalau sama lingkungan sama apa ya baik.

Kita kan tetangga kan saling berbagi, kalau ngga ada yang

mengganggu ya ngga. Kalau keluar masuk lewat sini ya ngga

apa-apa. Karena kan kegiatannya juga bagus, ada yang mau

buka salon, tata rias pengantin, kreativitas lain, ini mau buka

lagi, sebelah sini.”41

Setiap masyarakat tidak memiliki pandangan yang

sama terhadap adanya pondok pesantren waria. Pro dan

kontra akan selalu ada dalam lingkungan masyarakat, pun

dalam kegiatan positif. Seperti yang diungkapkan oleh

40

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

41 Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06 Januari

2021, pukul 16.30 WIB di warung soto milik ibu Tumirah

171

bapak Munarto, karena ketidaktahuan bagaimana kegiatan

santri waria di dalam pondok pesantren:

“Nah pada waktu jamaah, itu katakanlah warianya, letaknya

di laki-laki atau perempuan. Waktu apa bakti sosial ke orang

lain saya ngga tahu; apa ke tukang becak dan orang yang

ngga mampu, tapi itu tidak ada ijin sama sekali gitu. Nah,

jadikan, mungkin kalau ini ya, apa, khusus lansia-lansia,

seumpama gitu lo, kan seumpama ada pengajian ya disitu,

ada. Ya mungkin kalau pemerintah memberikan dana untuk

apa ya, semacam; kursus kecantikan, maksud saya, kalau itu

emang ya, kami seneng. Kami kan doanya seperti itu kan,

ngga ke arah yang apa gitu, karena tinggalnya kan masih

pada disitu ya? Iya, asal tidak mengganggu lah, sementara ini

tidak ada konfliklah. Kalau ngajinya saya ngga masalah,

wong itu ibadah kok masa dilarang. Kalau saya kemarin

cuman, ya kalau kelurahan kan punya akses ke departemen

sosial, nah maksud saya itu pak lurah kan bisa memberikan

apa, masukan, mbok itu ditempatkan khusus gitu, jangan di

sini.42

Sebagai pengasuh pondok pesantren waria, Ka Shinta

Ratri dikenal sebagai sosok yang baik di ranah lingkungan

masyarakat sekitar. Dengan menjalankan visi, misi, dan

tujuan pondok pesantren waria, maka akan melibatkan

banyak kegiatan sosial yang bersifat inklusif dan

membantu masyarakat sekitar serta menjaga nama baik

42

Wawancara dengan Munarto, Warga , pada hari Minggu, 27

Desember 2020, pukul 16.30 WIB di Rumah bapak Munarto

172

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang

diungkapkan oleh ka Shinta:

“Eee, sama saja. Mereka (masyarakat) juga mendukung,

mereka juga menghargai, bahkan mereka membantu kami

ketika berkegiatan. Tapi, juga sempat masyarakat sini takut.

Ketika 2016 itu, mereka takut ketika FJI kesini dan kami

dikira berarti membantu LGBT, kemudian mengatakan kalau

menerima kami disini, Allah akan menghisab, dan kemudian

masyarakat menjauh. Dan kemudian kami mengembalikan

kepercayaan masyarakat itu, dan alhamdulilah sudah

membaik kembali.

Ya masyarakat sudah tidak lagi takut untuk

bersebelahan. Dan harapan yang paling tinggi ya; jadi waria

tidak memiliki tempat khusus untuk belajar dimana saja, tapi

kalau kita bareng-bareng, pas ziarah, piknik, ya kalau ada

masjid, kita mempir untuk shalat bersama. Ya biasa, tapi

kalau kita sendiri-sendiri mereka kadang ngga PD (percaya

diri), atau masih kaku, takut.

Karena itu tadi, kejadian sebelumnya itu banyak

krtidaknyamanan, jadi waria mikir dulu; “paling nanti

gimana-gimana, kalau shalat disana di Masjid, makanya

shalat di rumah aja”. Tapi, kalau kita piknik, ya tidak pernah

terjadi masalah, tidak apa-apa. Bahkan kalau itu tadi, jadi

kita bagaimana kita kemudian duduk di tengah masyarakat

sini dan menjadikan supaya kiya punya manfaat untuk

masyarakat. Jadi itu, sebagai penguatan keberadaan kita

disini. Contohnya ya, kita bikin dapur umum disini, kita

berikan sembako sebulan sekali selama covid ini.

Misalnya kaya gitu sebagai contoh-contoh yang terjadi

sampai sekarang masih kita lakukan, terus kita bikin klinik

gratis. Sebetulnya kalau dukungan materil tidak sih, namun

kalau dukungan secara moril iya. Justru ini yang harus kita

173

terima, artinya kita kan ngga bisa, apa ya, ee berdiri sendiri

tanpa dukungan yang moril itu tadi.

Salah satu contoh begini, ketika ee di Indonesia ya, kita

melakukan kegiatan, ketika tetangga ini (tidak nyaman), lalu

lapor polisi; “Oh ini mengganggu kami, ini” pasti kita sudah

bisa dibubarkan, ya kan. Ya kan, otomatis. Jadi ini

merupakan salah satu bentuk hubungan; bagaimana

masyarakat sekitar sini ee apa ya, memberikan ruang untuk

kami berkegiatan, berorganisasi.43

c) Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif

dan kuantitatif dan Pola asuh masa kecil yang baik.

Seorang anak dengan pola asuh yang demokratis,

akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat

menghargai dirinya sendiri. Disambung dengan faktor-

faktor di atas, maka keberhasilan yang dialami dapat

menimbulkan penerimaan diri dan sebaliknya kegagalan

yang dialami dapat mengakibatkan adanya penolakan diri.

Pola asuh yang dimaksud yakni; orang tua

membangun rasa percaya diri pada anaknya dengan apa

yang dijalankan oleh anaknya. Dalam hal ini, anak tidak

mengalami kekerasan secara fisik, cacian, dan lain

sebagaianya yang membangunkan mental menjadi lemah

pada individu. Berikut pengalaman ka Rere yang

43

Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

174

menjadikan dirinya sekarang mampu bekerja dengan baik

di Yayasan Vasta Indonesia:

“Baground keluargaku itu, hemm, jadi gini, dari kecil

aku udah ngga punya ayah sampai sekarang. Ya, cuma

punya ibu aja yang ngurus dari kecil. Iya sejak kecil,

mungkin ini ya; aku merenungkan setiap malam, melihat

teman-temanku waktu aku kecil, keluarga mereka kan

lengkap. Mereka kalau sekolah kadang dianter gentian-

gantian juga kadang bapaknya, kan aku iri. Aku ngga dianter

bapak, dan mama aku juga kan ngga nikah lagi. Kalau nikah

lagi kan, aku komplit keluarganya. Ya… Eem, sebenarnya

dari situ, aku nyaman kalau dekat sama cowok. Aku pengen

selalu deket, karena kan aku ngga dapet kasih sayang dari

sosok seorang ayah. Dan Ibu kan merangkap jadi seorang

ayah dan ibu, eem, kan tetap ngga maksimal, karena bukan

sosok ayah asli.

Tapi dari kecil itu, dari umur 2 atau 3 tahun, aku suka

main bonek-boneka, masak-masakan. He he he, tapi ngga

apa-apa sih, malah dibeliin sama ibu. Iya, he he he. Sampai

tetangga bilang; loh, kok kamu malah main-mainan cewek,

he he he ya mereka malah ngatain ibu ku, terus aku kan

sering mainin jarit, tau kan?

Jarik simbah aku kan banyak, hehe, yaudah aku pake

buat mainan gibek (tari-tarian), terus ibu ku ada lipstick,

hehe yaudah aku pake lipstick. He he he, yaudah seru-

serunya waktu kecil, apa, apa itu merasakan berbeda dengan

adik ku, he he.”

Selain merasakan perbedaan di masa kecil, ka Rere

sejak SMP menyukai sesame jenis yaitu laki-laki. Namun

dengan memendam perasaan secara diam-diam. Berikut

ungkapan ka Rere:

175

“Ya, aku SMP (Sekolah Menengah Pertama) itu

merasakan suka sama temen, ya aku diem aja, dan ngga ada

yang tahu. Aku cuma pendam aja, ngga berani cerita. Sama

guru aku, ya guru ku udah punya istri dan anak juga, guru ku

juga aku ajak ke rumah, dan ibu ku ngga apa-apa setiap aku

bawa cowok ke rumah.

Heeem, iya, karena kan beda, tapi ada juga yang masih

main sampe sekarang, dia udah nikah juga, tapi ya main aja

ke rumah, adek ku juga ngga apa-apa, karena dia bisa diajak

ngobrol. Iya, terus aku rasa jaga perasaan adek ku aja. Ya,

biar sama-sama nyaman, iya ngga mempermasalahkan

jadinya.

Dan aku setelah SMA (Sekolah Menengah Atas) berani

membuka diri sebagai waria. Iya, jadi kan disini juga ada

program penerimaan terhadap keluarga itu kan, untuk teman-

teman waria yang keluarganya itu mendukung.”44

Setelah berani untuk coming out, berusaha untuk

melawan diri sendiri dengan tekanan bathiniyah dan

lahiriyah-nya, Adik dan Ibu Rere memberikan

kepercayaan pada dirinya, bahwa dirinya harus menjadi

waria yang baik.

“Jadi kan, dari aku kecil ya, jadi ibuku menghidupi keluarga,

ya mesikupun menghidupi dua anak ini, ya dengan menjadi

pembantu. Kalau gajian, pasti di transfer buat bayar SPP,

uang kos, uang makan buat kita berdua sekolah SMP, SMA.

Dan adekku kan kerja di restoran jepang selama 3 tahun. Dan

44

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

176

aku juga punya banyak sampingan kerja; mulai dikonter,

batik malioboro, ya kerja freelance yang aku ambil. Jadi

kalau bilang jadi tulalng punggung keluar atau ngga, ya jadi

kan kita berdua cowo semua, jadi satu beban kita angkat

bareng-bareng.”

Berbeda dengan ka Inul yang terlahir di keluarga

yang penuh kedisiplinan, yakni keluarga tentara dan

polisi. Namun, sejak kecil sebagai anak laki-laki terakhir,

ka Inul lebih dekat dengan Ibunya. Seperti yang

diungkapkan oleh ka Inul sebagai berikut:

“Iya, aku pribadi, merasakan perubahan yang secara

alami. Aku dalam casing laki-laki, ibaratnya hatinya wanita

itu, eee, aku udah merasakan kebiasaan seperti perempuan.

Aku juga lebih deket sama Ibu dan lebih enjoy, dari pada

sama Ayah dan saudara laki-laki ngga ada pendekatan, yang

aku alamin lho. Aku mengalami perbedaan itu sejak SD.

Aku udah keliatan, setiap aku berteman sama

perempuan, dan aku melihat laki-laki itu ikut-ikut ngefans.

“Nah aku kok, beda dengan laki-laki lain ya?” Dan ya, aku

emang dari keluarga tentara, karena kakak pertama ku jadi

tentara, dan kakak ku satunya jadi polisi.

Dan aku doang yang, he he he lain dari pada yang lain.

Dulu aku sebelum SLTA (Sekolah Menengah Atas)

sebenarnya orang tua mengharapkan; setelah aku SLTA, itu

aku disuruh ikut pendidikan, kaya kakak-kakak ku, aku udah

ngga minat.

Ternyata aku melalui program yang SLTA aku lain dari

pada yang lain, aku masuk yayasan orang Kristian, aku

masuk SMA Kristen Magelang. Ya kan disitu juga deket,

waktu ayah ku tugas disitu, jadi aku disitu ikut-ikutan glamor

lah, he he he dalam arti, belum tahu agama ya. Ya tahu

177

agama ya, emm tapi ini aku belum mengetahui aku mau

kemana gitu.

Setelah itu aku, ya emang waktu itu, ayahku

mengharuskan, mengikuti pendidikan kan aparat. Ternyata

lain, aku ikut e program computer, dan aku ikut perusahaan

asing malah di Gunungsari 11 waktu itu. Dan pas gonjang-

ganjing krisis moneter, dan aku kena PHK. Karena bangkrut.

Hidup sebagai transgender, ka Inul mengalami keadaan

yang tidak stabil, sehingga pada tahun 2000-an kembali ke

Yogyakarta:

Terus kembali ke Kulonprogo, pas ayah pensiun kan

balik lagi ke Kulonprogo. Iya, karena aku sebagai pengamen,

aku ya bersyukur ya pengamen waria. Dan aku punya tipe

setia, seandainya aku punya pasangan. Dulu aku punya

pasangan kan sampai 11 tahun, dan ternyata aku punya

prinsip; “kalaupun ikut waria, ya kamu harus punya jodoh.”

Akhirnya kita putus dan aku kursusin montir, akhirnya bisa

bekerja dan dapat orang Banyuwangi sampai sekarang masih

komunikasi. Daripada aku menambah dosaku. Aku

mengenalkan mereka, siapa tahu itu mengasih jalan aku. Aku

tidak ingin melecehkan makna dari seorang waria Jalan.

Walaupun diluar logika kan sedih, tapi aku juga punya

perasaan sendiri prinsip sendiri nggak kayak temen-temen

aku yang harus ganti pacar. Kalau aku masalah seks enggak

besar-besarin, disitulah aku walaupun waria; 1) takut

penyakit, 2) takut dosa ya terutama aku takut dosa. Aku

178

perlahan-lahan bisa sampai sekarang aku 5 tahun kalau

nggak udah nggak melakukan itu ibaratnya.45

4. Potensi Diri Menunjang Penerimaan Diri Santri Waria

Setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan masing-

masing. Di dalam pemahaman penerimaan diri, individu dapat

dikatakan menerima diri sendiri jika individu tersebut sudah

menjadikan kelebihan dan kekurangannya menjadi sebuah

potensi. Santri waria di Pondok Pesantren Al-fatah memiliki

potensi fisik dan non fisik. Seperti yang sudah diketahui, bahwa

latar belakang pekerjaan santri waria bukan hanya sebagai

pengamen, namun banyak yang memiliki karya; pemilik kain

shibori, peneliti solidaritas perempuan, termasuk ka Rere

memiliki potensi yang cukup membantu keselamatan manusia,

yakni di Yayasan Vasta Indonesia dan seorang driver:

“Aku kemarin-kemarin kerja di bartender café di Club Malam.

Ya, taulah dunia malam, tu gimana, dan aku juga jadi driver online

dari 2016, sampai sekarang masih, hehe Aku jadi mitra dari tahun

2016, ini bisa dilihat, nama Ebnu Wibisono terus kebetulan pas

corona ini ka ada kerja di LSM kan, buat ngisi waktu. Yayasan

Vasta Indonesia, bagian mengurus di HIV dan aku bagian

informasi center dan objek-objek yang membutuhkan

penyuluhan.”46

45

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 46 Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

179

Potensi fisik yakni bakat yang dimiliki individu dan

terlihat oleh mata. Selanjutnya potensi yang dimiliki oleh ka

Inul yakni, dengan memiliki kelenturan tubuh, sehingga ka

Inul memiliki latar belakang sebagai penari. Di pondok

pesantren juga terdapat kelas menari, ada 50% dari 60 orang

santri waria di pondok pesantren bisa melekukan tubuhnya

dengan menari dan diolah menjadi penghasilan tambahan:

“Kalau di kos pun; kan ada kegiatan ya, kadang aku ikut dan aku

nari. Iya, kadang kalau nari, orang-orang pada bilang; “Nul, ini

anak-anakku, mau belajar nari.”47

Tuhan menciptakan manusia dengan bahan yang sama dan

juga Tuhan memberikan fitrah yang sama kepada semua

manusia, kecuali kembali kepada manusia itu sendiri. Disisi

lain, santri waria memiliki potensi non fisik, seperti halnya;

kecerdasan (intelektual, spiritual, emosional, dan sosial). Pada

observasi yang dilakukan oleh peneliti, banyak sekali santri

waria yang memiliki sesuatu yang tak terduga dan tidak dilihat

oleh mata.

Seperti halnya kedua informan ka Rere dan ka Inul.

Menghidupi janda-janda tua di Desanya, juga mendedikasikan

dirinya untuk mengantar orang berobat karena tidak adanya

47 Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

180

keandaraan, semua itu dilakukan dengan ikhlas dengan

penghasilan dirinya yang seadanya, berikut ungkapan ka Inul:

“Dengan menjadi waria, saya lebih gampang membantu orang

lain, apakah ini jalan dariMu ya Allah? Bukan berarti kita ria ya,

untuk menolong seseorang. Ya Allah, Tuhan berikan jalan gini,

ternyata hati lebih tenang. Bagi aku ya penghasilan, apa yang

terpenting ku syukuri, ternyata bisa membantu orang lain;

membutuhkan pertolongan, anak-anak jalanan dalam arti dalam

kesusahan, aku bisa membantu. Walaupun sedikit uang ya aku

kasih untuk; biaya sunatan, dan yah gitu Kalau masalah agama

aku juga tahu ya mbak, terus terang; masalah prostitusikan

dilarang.”48

Sebagai seorang yang memiliki sifat yang lemah lembut,

sehingga Ka Rere terpanggil untuk membantu Yayasan Vasta

Indonesia. Dari sifat ini juga menjadikan ka Rere dipercaya

menjadi tim Humas (hubungan masyarakat) di Yayasan Vasta

Indonesia bekerja selama 24 jam demi memangkas terjadinya

HIV khususnya teman-teman waria di Yogyakarta:

“Aku keinginan sendiri, karena gimana yah, temen-temen ku mati

konyol, karena HIV. Mereka bermain seks bebas. Kan misalkan

cowok itu udah nyoba satu, pengin nyoba sama ini, pengin nyoba

sama yang lainnya. Udah gitu temen-temen waria ngga mungkin

ngecek kesehatannya kan, dia kena apa ngga. Banyak waria yang

selesai hidupnya karena itu, dan aku merasa terpanggil aja sih,

untuk membantu. Dan aku 24 jam, masih nyari waria, guy, dan

48

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

181

orang-orang yang mempunyai istri tapi suka main sama waria,

yang belum pernah diperiksa.”

5. Metode Bimbingan Keagamaan Dalam Menciptakan

Peneriman Diri Santri Waria Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta

Metode bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing

pondok pesantren diklasifikasikan menjadi beberapa metode

dan teknik bimbingan. Pada dasarnya, pembimbing pondok

pesantren tidak menjelaskan bahwa tidak ada metode khusus

untuk melaksanakan bimbingan.

“Sebenarnya kan ngga ada perubahan sebenarnya, cuma memang

dulu lebih ke saya. Artinya kan emang dulu kan, yang ndampingi

teman-teman kan saya kan, sehingga persis apa yang dilakukan

dulu, dari apa tu namanya; dari Ashar sampai Magrib kan belajar

ngaji, dulu waktu di kotagede juga saya masih di kelas kuliah, dan

waktu dulu masih ada mas Pepeng dia lumayan aktif dia,

mendampingi dari Ashar sampai Magrib. Saya sebenernya

fokusnya dari Magrib sampai Isa; nah itu yang kajian-kajian itu.

Dulu kita sempat, apa dulu kitab Buluhul Marom, kemudian

barusan, bukan barusan si, udah agak lama juga sih, Bidayatul

Hidayah.”49

Berdasarkan pengamatan dari peneliti selama melakukan

observasi dan terjun langsung dalam melaksanakan bimbingan

49

Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya.

182

keagamaan, metode yang digunakan dalam melaksanakan

bimbingan dengan menggunakan metode Bimbingan kelompok

(group guidance), Spiritualism method. Dan dilengkapi oleh

beberapa teknik:

a. Teknik lisan, teknik ceramah, teknik diskusi

Pada teknik ini ustadz Arif menjelaskan tentang mutoharoh,

syarat sah wajib shalat, dan pembahasan lainnya dengan

menggunakan kitab bulughul marom dan bidayatul hidayah.

Seperti yang dijelaskan oleh Ustadz Arif Nuh Safri:

“Bulughul marom yang saya pakai itu, yang pertama itu

sebenarnya alasannya; karena itu gampang karena tipis kan, dan

itu pun tidak semua. Ngga semua, kita bahasnya bab-bab yang

memang kebutuhan mereka sehari-hari. Kalau dulu kan, mungkin

yah, mungkin saya mikir; teman-teman ini butuh motivasi dulu.

Sehingga saya tanpa buku, pada saat itukan, sehingga apa

yang saya bahas; bisa sambil ngobrol, nah tapi kok kayakya

temen-temen butuh ini, nah bulughul marom kan memang bicara

tentang fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak tentang fiqih;

mulai dari Thoharoh, cara wudhu, cara bersuci, nah itu, jaid

kehidupan mereka.

Dalam arti gini, yang mereka butuhkan dalam kehidupan

mereka, karena: kehidupan mereka bicara tentang thoharoh ya luar

biasa, melihat bagaimana cara mandi, cara wudhu, itu sebenarnya

lebih ke itu. Kalau alasan kenapa itu menggunakan bulughul

183

marom pada saat itu, dan itu dipilih-pilih ya, ngga semua kita

bahas.”50

b. Spiritualism method, teknik doa dan dzikrullah, teknik

persuasif

Peneliti mengamati langsung bagaimana santri waria sangat

antusias apa yang disampaikan oleh ustadz Arif. Menjadi sosok

yang terbuka bagi santri waria, sehingga tidak ada yang takut

bertanya. Ustadz Arif menggunakan kitab Bidayatul Hidayah.

Berikut yang disampaikan oleh ustadz Arif:

“Kemudian, saya memutuskan, memakai bidayatul hidayah.

Kenapa saya pakai itu; biar ada nilai-nilai spiritualitas. Karena di

Buluhul Marom itu kan kaya fiqih yang dibahas. Bidayatul

Hidayah, dia bahas bicara tentang fiqih, tapi kemudian dia bicara

tentang spiritualitas kan seperti itu, kenapa kita harus bersuci, eee

ketika kita setelah wudhu, kemudian mau bernagkat ke masjid,

apa yang harus kita lakukan. Jadi ada ritual-ritual yang sifatnya

spiritualitas.”51

Metode ini dilakukan untuk berlatih menghayati segala

ibadah yang dilaksanakan, karena semua itu untuk kebaikan

dirinya juga cara mendekatkan diri kepada Tuhannya. Sehingga

bimbingan keagamaan dijadikan sebagai renungan dalam proses

penerimaan diri—bagaimana harus bersikap terhadap

Tuhannya.

50

Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya. 51

Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya.

184

c. Teknik Direktif

Semua pembimbing pondok pesantren bersifat terbuka dan

siap menjadi teman santri waria, jika meminta nasihat atau

pendapat. Dan itu dirasakan langsung oleh santri waria. Seperti

yang dirasakan oleh ka Rere:

“Perasaan balik ke Tuhan tu gini, jadi di saat, aku ada masalah

besar sama keluarga kemarin kan. Aku curhat sama pak Ustadz

Arif kan, terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa terus solusinya

katanya; ya udah, tenangin dulu di pondok, nenangin pikiran, ya

dengan ngaji, terus aku tiap malam juga shalat eeee, tahajud.

Karena ada ketenangan diri, maksudnya setelah kita shalat malam

itu ya, pokoknya kalau udah meneteskan semua air mata yang kita

curahkan itu, tenang. Kan kalau di pendam itu kan sakit ya,

akhirnya aku curhat sama yang di Atas, keluar semua.”52

Perasaan yang sama disampaikan oleh ka Inul, atas kesan

yang disampaikan oleh ustadz Arif:

“Eee kalau, Ustadz Arif ngasih wejangan bagi Inul sendiri

ibaratnya gini yang masih terngiang-ngiang; yang itu, jangan

dibesar-besarkan hidup di dunia dalam arti berfoya-foya lebih baik

memikirkan akhiratnya itu yang paling Inul berkesan. Jadi

makanya kan Inul walaupun orang memandang gimana. Tapi

Harta adalah titipan kan itu itu yang benar-benar Inul kasih ini

karena sewaktu-waktu bisa saja ntar misalnya aku habis ketemu

Mbak Nisa, meninggal. Itu yang paling aku, aku nggak mikir yang

lain-lain. Di situlah yang paling berkesan yaitu ibaratnya itu

titipan ya yang paling berkesan tadinya makanya aku yaudah harta

52 Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

185

itu titipan, ya aku bisa membantu sama orang-orang yang masih

dalam artian menolong dalam hal positif Siapa tahu aku bisa dapat

dapat doa gitu.”53

Melihat dari kedua kitab yang dijadikan acuan

dalam melakukan bimbingan keagamaan dan sikap dari

pembimbing agama yang memiliki sifat yang hangat

dan terbuka dengan santri waria, sehingga peneliti

memperhatikan adanya metode yang berbeda dari

metode yang biasa dilakukan oleh pembimbing agama.

Peneliti menemukan gabungan dari beberapa metode

yang dilakukan oleh pembimbing, yakni gabungan dari

metode spiritual dan metode kelompok (group

guidance) dengan catatan mengacu pada kitab bulughul

marom yang membahas tentang; bagaimana santri

dapat belajar tentang toharoh, tata cara shalat, dan

bidayatul hidayah yang membahas tentang spiritualitas

manusia dalam meraih hidayah Allah swt.

Berdasarkan pengamatan peneliti selama

penelitian berlangsung; mulai dari komunikasi

pembimbing dengan santri waria, bagaimana santri

waria melakukan bimbingan, begitupun sebaliknya

bagaimana pembimbing merespon segala hal yang

dipertanyakan oleh santri.

53

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

186

Sehingga terlihat sifat empati pembimbing yang

menjadikan santri waria nyaman saat melakukan

bimbingan keagamaan. Atas dasar penelitian yang

dilakukan dan berdasarkan materi yang dibawakan

dalam melaksanakan bimbingan keagamaan oleh

pembimbing agama atau ustadz/ustadzah, peneliti

menemukan metode, yakni metode empati; yaitu

metode yang tertuju pada pembimbing agama, dengan

membawakan materi yang mengacu pada kedua kitab

(bulughul marom dan bidayatul hidayah) serta

penerimaan ustadz terhadap santri yang dibimbingnya.

Dalam hal ini ustadz/ustadzah tidak memiliki beban

saat membimbing, sehingga peneliti melihat

komunikasi yang terjadi antara santri dan pembimbing

berlangsung dengan khidmat.

187

BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisis Hasil Penelitian

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan uraian analisi data hasil

temuan di lapangan dengan berlandaskan teori yang digunakan

dalam penerimaan diri kelompok transgender melalui bimbingan

keagamaan.

1. Metode Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Daerah Istimewa Yogyakarta

Pondok pesantren waria al-fatah sudah berjalan selama 11

tahun. Menurut Ustadz Arif Nuh Safri selaku pembimbing agama,

dalam melaksanakan bimbingan agama tidak menggunakan metode

khusus yang tertulis. Namun, kebiasaan yang dilakukan di pondok

pesantren waria al-fatah yakni dengan membagi dua kelas; kelas

Iqra dan Al-qur’an yang dimulai setelah shalat Ashar dan

selanjutnya shalat berjamaah magrib lalu dilanjut dengan

pembinaan kajian dengan menggunakan kitab bulughul marom dan

bidayatul hidayah, lalu dilanjutkan dengan shalat Isa berjamaah.

Semua itu dilakukan selama seminggu sekali di hari Minggu.

Dalam pengamatan peneliti selama observasi, di tengah proses

bimbingan keagamaan, terdapat beberapa metode yang berulang

digunakan oleh pembimbing agama. Seperti yang dijelaskan dalam

buku Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling Islam,

metode berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari penggalan kata

“meta” yang berarti melalui dan “hodos” berarti jalan.

188

Sehingga dapat diartikan sebagai segala sesuatu atau cara yang

digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.

Melengkapi metode yang dijadikan sebagai acuan, terdapat “teknik”

dan “pendekatan”, keduanya dipahami sebagai cara-cara ilmiah

yang dipakai sebagai alat atau instrument dalam melakukan

pekerjaan yang sifatnya lebih fokus kepada subyek dan obyek

penelitian.54

Menurut Ali Mansyur,55

spiritual method, pada metode ini

santri waria dapat menemukan ketenangan hati dengan

mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang dijadikan sebagai

sumber ketenangan hati, kekuatan dan penyelsaian masalah serta

penyembuhan penyakit mental. Sesuai dengan penjelasan dari teori

di atas, pembimbing agama di pondok pesantren waria al-fatah

menggunakan metode tersebut:

“Kemudian, saya memutuskan, memakai bidayatul hidayah. Kenapa

saya pakai itu; biar ada nilai-nilai spiritualitas. Karena di Buluhul

Marom itu kan kaya fiqih yang dibahas. Bidayatul Hidayah, dia bahas

bicara tentang fiqih, tapi kemudian dia bicara tentang spiritualitas kan

seperti itu, kenapa kita harus bersuci, eee ketika kita setelah wudhu,

54

M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling

Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

Hal. 120-133 55

Noer Iskandar, M. Ali Mansyur, Waria Dan Pengubahan Kelamin

DItinjau Dari Hukum Islam. (Yogyakarta: nurcahya, 1981) hal 137-143 dalam

Jurnal Dakwah (2010, Vol. XI, No. 2) hal. 182-183. Dikutip pada 29

Desember 2020 pukul 18:53 WIB

189

kemudian mau bernagkat ke masjid, apa yang harus kita lakukan. Jadi

ada ritual-ritual yang sifatnya spiritualitas.”56

Dalam proses penerimaan bimbingan keagamaan yang

dibawakan melalui metode ini, santri waria kerap menceritakan hal-

hal yang dialami sejak masuk ke dalam pondok pesantren waria al-

fatah. Metode selanjutnya yakni, metode direktif, metode ini berifat

mengarahkan. Pada metode ini, adalah satu teknik yang diberikan

dan digunakan bagi klien yang tidak bisa mengerti masalahnya dan

mengalami kesulitan dalam memahami dan memecahkannya.57

Seperti yang dialami oleh ka Rere, saat dirinya bingung untuk

memecahkan masalah dan sudah tidak tahu apa ayng harus

dilakukan, sehingga membuat diirnya menetap di pesantren. Seperti

yang diungkapkan oleh ka Rere:

“Jadi saat, aku ada masalah besar sama keluarga kemarin kan. Aku

curhat sama pak Ustadz Arif kan, terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa

terus solusinya katanya; ya udah, tenangin dulu di pondok, nenangin

pikiran, ya dengan ngaji, terus aku tiap malam juga shalat tahajud.”58

Selanjutnya ada metode bimbingan kelompok (group

guidance) yang meliputi teknik ceramah, teknik lisan, dan teknik

diskusi. Pada metode ini, mengerahkan teknik bimbingan melalui

56

Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya. 57

M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling

Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

Hal. 120-133 58

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah

190

kegiatan bersama/kelompok, seperti seperti kegiatan; diskusi,

ceramah, seminar dan sebagainya. Teknik ini dipakai untuk

mempelajari dan mengetahui komunikasi dan interaksi sosial

yang dilakukan individu-individu (terbimbing/klien) agar mampu

menumbuhkan atau mengembangkan potensi-potensi sosial

klien.59

Berdasarkan analisis dari metode yang digunakan dalam

malakukan bimbingan keagamaan, diantara spiritual method dan

group discussion yang mengacu pada kitab buluhul marom dan

bidayatul hidayah serta penerimaan pembimbing terhadap santri

waria, berdasarkan pengamatan dan analisis yang dilakukan oleh

peneliti, terdapat metode baru; yakni gabungan dari spiritual

method dan group discussion serta penerimaan pembimbing

terhadap santri waria, peneliti menemukan rasa empati

ustadz/ustadzah yang tulus dalam membimbing santri waria, yaitu

metode empati. Hal ini dapat diperthatikan dalam wawancara

yang berlangsung dengan ustadz Arif:

“Saya sebenernya fokusnya dari Magrib sampai Isa; nah itu

yang kajian-kajian itu. Dulu kita sempat, apa dulu kitab Buluhul

Marom, kemudian Bidayatul Hidayah. Bulughul marom yang

saya pakai itu, yang pertama itu sebenarnya alasannya; karena itu

gampang untuk di, karena tipis kan, dan itu pun tidak semua. Ngga

semua, kita bahasnya bab-bab yang memang kebutuhan merka

sehari-hari.

59

M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Konseling

Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

Hal. 120-133

191

Kalau dulu kan, mungkin yah, mungkin saya mikir; teman-

teman ini butuh motivasi dulu. Sehingga saya tanpa buku, pada saat

itukan, sehingga apa yang saya bahas; bisa sambil ngobrol, nah tapi

“kok kayakya temen-temen butuh ini, nah bulughul marom kan

memnag bicara tentang fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak

tentang fiqih; mulai dari Thoharoh, cara wudhu, cara bersuci, nah

itu, jaid kehidupan mereka.

“Dalam arti gini, yang mereka butuhkan dalam kehidupan

mereka, karena: kehidupan mereka bicara tentang thoharoh ya luar

biasa, melihat bagaimana cara mandi, cara wudhu, itu sebenarnya

lebih ke itu. Kalau alasan kenapa itu menggunakan bulughul marom

pada saat itu, dan itu dipilih-pilih ya, ngga semua kita bahas”60

Sesuai dengan teori yang dibawakan oleh M. Arifin yang

terwadah dalam tujuan bimbingan keagamaan, yakni dapat

membantu orang yang dibimbing supaya memiliki religious

reference (sumber pegangan keagamaan) dalam pemecahan

problem-problem. dan membantu orang yang dibimbing supaya

bersedia mengamalkan ajaran agamanya melalui kesadaran dan

kemaunnya.61

60

Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing Agama

Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Kamis, 10 Desember

2020 WIB, pukul 18:30 di LSM Kebaya. 61

M. Arifin, Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan

Penyuluhan Agama (di Sekolah dan di Luar Sekolah), (Jakarta: Bulan Bintang,

1978) hal.29

192

2. Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui

Bimbingan Keagamaan di Pondok Pesantren Al-fatah

Daerah Istimewa Yogyakarta

Hurlock mengartikan penerimaan diri yakni, dengan tidak

melihat dari satu sisi saja maka tidak mustahil akan timbul

kepribadian yang timpang, semakin individu menyukai dirinya,

maka akan menerima dirinya dan Semakin baik seseorang dapat

menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuain diri

dan sosialnya.62

Dalam konteks penerimaan diri yang dialmi oleh santri waria

di pondok pesantren waria al-fatah adalah dengan menerima

keadaan dirinya dengan segala potensi yang dimilikinya dan

bimbingan keagamaan yang didapatkan dapat menggerakan

bathiniyah dan lahiriyah untuk menjadi insan yang baik, dimana

individu tersebut merupakan makhluk ber-Tuhan dan makhluk

sosial pada umumnya. Seperti yang dirasakan oleh ka Inul

bagaimana dirinya berikteraksi dengan Tuhannya dan melakukan

ritual ibadahnya, berikut yang diungkapkan oleh ka Inul:

“Dengan menjadi waria, saya lebih gampang membantu orang lain,

apakah ini jalan dariMu ya Allah? Bukan berarti kita ria ya, untuk

menolong seseorang. Ya Allah, Tuhan berikan jalan gini, ternyata hati

lebih tenang. Bagi aku ya penghasilan, apa yang terpenting ku syukuri,

ternyata bisa membantu orang lain; membutuhkan pertolongan, anak-

anak jalanan dalam arti dalam kesusahan, aku bisa membantu.

62

Hurlock, E.B. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih Bahasa:

Thandrasa & Zaikasih). (Jakarta: Erlangga) hal.276

193

Walaupun sedikit uang ya aku kasih untuk; biaya sunatan, dan yah gitu

Kalau masalah agama aku juga tahu ya mbak, terus terang; masalah

prostitusikan dilarang.”63

Bentuk ibadah seperti yang diketahui yakni dengan;

mempraktikan shalat, dizikir, dan ritual lainnya. Namun dalam

penelitian ini, menemukan cara orang berinteraksi dengan

Tuhannya, bukan hanya dengan memperaktikan shalat, seperti

yang dialami oleh ka Inul:

“Aku punya aturan ya, jadi kayak tayamum, aku kadang di jalan ya

udah yang penting aku mau mendekatkan diri aku harus komunikasi

sama Tuhan itu harus, aku begitu. Kalau untuk lima waktu ya di masjid,

ya deket-deket ini karena; satu bisa mengontrol pekerjaan aku harus

jam ini bekerja masalah rezeki ya, kuasa yang ngatur kita istirahat

Kalau mau dandan lagi kalau nggak ntar abis maghrib lagi. Bagi aku

perlu shalat tahajud, cuman aku komunikasinya seperti orang gila,

menghadap ke barat, karena kan kalau jam 2-3 kan sepi, ngga bising ah.

Iya, kendaraan udah sepi, aku lebih, hatiku lebih tajam, daripada kita

sholat”64

Menanggapi ka Inul saat berinteraksai dengan Tuhan, hal

yang sama juga dijelaskan dalam kitab Al-Hikam:

هىلر, لبقلىب طلنأرسلر مطط بع لنأ

Tempat terbitnya cahaya ilahi adalah hati dan relung batin.65

63

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 64

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Selasa, 08 Desember 2020, pukul 15.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah 65

Sibawaih, Imam. KItab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalamn (Al-

Hikam), (Yogyakarta: Telaga Aksara, 2020) hal. 205.

194

Sifat Tuhan yang ditemukan dalam teks kitab suci Al-

Qur’an yakni, Tuhan yang memiliki sifat al-rahman, al-rahim,

yang merupakan pesan pertama yang tertera dalam surah al-

Fatihah.66

agama merupakan salah satu sumber motivasi,

kekuatan, atau disebut dengan idealitas agama. Arif Nuh

menjelaskan secara rinci, bahwa; agama harus berperan dalam

perlindungan kemanusiaan, terutama kepada orang-orang yang

mengalami intimidasi, penindasan, juga ketidakadilan. Karena

agama harus hadir menjadi perangkul bagi semua golongan,

tanpa melampaui batas primordial apa pun. Sehingga kehadiran

agama menjadi sebuah solusi di tengah-tengah lingkungan

sosial.67

Sama halnya dirasakan oleh ka Rere, pengalaman dirinya

menerima dirinya apa adanya, yakni individu merasakan

pergejolakan batin dengan pertanyaan: “mengapa dirinya hidup

menjadi seperti ini” sehingga mengakibatkan pertengkaran

dengan keluarga besarnya. Namun, dukungan keluarga inti ka

Rere yaitu adik dan ibu, sehingga ka Rere merasakan

kenyamanan dan tidak menyalahkan dirinya sendiri sejak SMP.

“Iya masuk pesantren karena kesadaran diri. Kendala si ngga ada,

kebetulan ibuku mendukung, jadi kan kemarin ke Cirebon ziarah,

dan aku emang dandan, dua hari. Ibu dan adek ku juga ikut. Aku

ngga menyesali aku seperti ini, karena apa yah, Tuhan menciptakan

66

Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas

(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 27 67

Safri, Nuh. A, Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas

(Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. (Yogyakarta: Lintang Books) hal. 28

195

keluargaku seperti ini. Aku udah ngga punya Ayah dari kecil. Ibu

masih berjuang dengan membesarkan anaknya, belum di keluarga

selalu dibilang: ”Anakmu lanang iku sing mbarep, wis ngono kui…”

(Itu lo, anak kamu cowok, yang pertama, udah tampilannya kaya

gitu). Dan aku tu ngga pengen dia sakit. Dan untuk di Pesantren ya

alhamdulilah nyaman, ya, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan,

kadang merasakan capek. Tapi, terus lama-lama ya ee enjoy aja. Iya,

hmmm kadang dengan kepenatan yang karena kesibukan dunia itu,

akan lebih tenang saat shalat dan seneng juga berjamaah, dan untuk

ngaji, dari kecil aku udah dibekali ilmu agama, jadi aku tahu.”68

Berkiblat pada teori Hurlock, 2008 (dalam Nisa Anandita,

2019), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan

diri, antara lain:69

Adanya pemahaaman diri (Self-

Understanding): Hal ini tumbuh karena adanya kesempatan

seseorang untuk mengenali kemampuan dan

ketidakmampuannya. Ketika individu dapat memhami dirinya,

maka tidak akan hanya tergantung pada intelektualnya, tetapi

juga mendapatkan penemuan diri sendiri—semakin orang dapat

memahami dirinya, maka akan mudah menerima dirinya sendiri.

Sesuai dengan apa yang dialami oleh ka Rere.

Pada dasarnya pondok pesantren waria al-fatah bukan hanya

menjadi tempat mengenyam pendidikan agama, namun sebagai

68

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Yogyakarta, pada hari Senin, 07 Desember 2020, pukul 15.10 WIB di

Pondok Pesantren Waria Al-fatah. 69

Nisa, Anandita. Hubungan Penyesuaian Diri Dengan Penrimaan

Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat. (Skripsi: Universitas Medan Area

2018). Hal. 12 Dikutip pada 11 Februari 2021, Pukul 14.00 WIB

196

wadah perlindungan teman-teman waria yang terkena perskusi

ataupun penolakan keluarga.

“Alhamdulilah mba, mas Dekanat Fakultas Ushuludin UIN Sunan

kalijaga memberikan dukungan kepada Pondok pesantren waria ini

dengan membimbing kegaaman, belajar bimbingan spiritual,

bekerjasama dengan Fakultas Ushuludin, dan mereka sebagai

pembimbing Iya, nah disini juga ada rumah aman, ruang yang

disediakan untuk kaum yang menjadi korban kekerasan, disana juga

ada tempat pelayanan bagi korban, layanan psikologi, kesehatan

Rumah aman di tempat yang kita rahasiakan, tempat khusus untuk

penyelamatan. Kita kerjasama dengan Puskeamas, Komnas HAM,

LBH, Fakultas Psikologi SANATA DHARMA, UKA DEWI,

karena itu konsultasi yang non muslim.”70

Transgender dalam kehidupan sosialnya memiliki

perlakuan yang tidak mudah diterima dalam bentuk dikriminasi

dan marjinalisasi yang terjadi pada lingkungan apa saja; keluarga,

sekolah, dan masyarakat. Dianggap sebagai perlakuan yang

abnormal, sehingga mereka diperlakukan dengan sikap yang tidak

nyaman. Sehingga masyarakat cenderung menyisihkan

keberadaan mereka dalam pergaulan dan memperlakuannya pun

tidak menyenangkan. Menurut Ayudhia yang dikutip oleh (Moris

Mangke, 2017)71

, tindakan tersebut penyebab dari timbulnya

70

Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok Pesantren

Waria Al-fatah Yogyakarta, pada hari Sabtu, 12 Desember 2020, pukul 10.30

WIB di Pondok Pesantren Waria Al-fatah

71 Mangke, Moris. Pola Komuikasi Interpersonal Kaum Transgender

Dalam Keuarga, (Skripsi: Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater

Surabaya, 2017) hal 20 Dikutip pada 20 Deember 2020 pukul 03.00 WIB

197

perasaan tertekan dan kecemasan bagi kelompok transgender,

karena baik dari individu sendiri menginginkan hal yang sama

dengan masyarakat lainnya, yakni memiliki jiwa yang sesuai

dengan bentuk tubuhnya.

Dari teori di atas sudah dijelaskan bahwa pondok pesantren

waria al-fatah, yakni ruang sosial yang berada di tengah

masyrakat dengan melakukan kegiatan yang sama; beribadah,

bersosial, pelatihan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang diadakan

bersama masyarakat setempat atau instansi tertentu

198

BAB VI

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan analisis hasil penelitian,

peneliti menarik kesimpulan bahwa bimbingan keagamaan

dapat menjadi bagian dari penerimaan diri kelompok

transgender dimanapun berada.

1. Metode bimbingan keagamaan pondok pesantren

waria al-fatah dilakukan secara group guidance.

Dengan menggunakan teknik ceramah, teknik

lisan, teknik doa/dzikrullah, teknik persuasif dan

spiritual method. Di sisi lain dari kedua metode

yang terlihat saat bimbingan berlangsung. Terdapat

metode empati yakni yang digunakan oleh

pembimbing yang secara tidak sadar, pembimbing

melakukannya dengan sikap terbuka dan tulus.

Metode ini tidak lepas dari kedua kitab yang

dijadikan acuan oleh pembimbing saat

melaksanakan bimbinmgan, yaitu kitab bulughul

amron dan bidayatul hidayah.

2. Dalam penerimaan diri kelompok transgender

pondok pesantren al-fatah adalah dengan

memahami diri (self understanding) apa yang

dimilikinya atau yang disebut dengan potensi diri,

sehingga tidak memiliki hambatan dalam

199

lingkungan dan penyesuain diri yang baik. Semua

itu terangkum dalam self-acceptance. Dalam hal

ini, dilakukan melalui tahapan penerimaan diri

yaitu: Tahap denial, anger, bergaining,

depression, and acceptance. Kemudian setelah

mendapatkan bimbingan keagamaan di pondok

pesantren waria al-fatah, santri waria dapat

menggunakan potensi diri yang dimiliki sebagai

eksistensi dirinya dalam mencari pekerjaan yang

baik serta menjadi insan yang merindukan

Tuhannya.

B. Implikasi

Penelitian ini akan memberikan efek positif bagi santri

khususnya, sehingga proses coming out yang sudah terjadi

membawa efek positif bagi dirinya dan pondok pesantren

waria al-fatah. Sebagai ruang sosial di tengah masyarakat,

pondok pesantren waria al-fatah dengan visi, misi, serta

tujuannya dapat berjalan dengan baik. Semua itu kerja

kolaborasi antara individu santri waria, pembimbing, dan

kembali kepada konsistensi santri waria untuk berjalan

dengan baik sesuai dengan apa yang sudah menjadi bekal dari

hasil bimbingan keagamaan.

200

C. Saran

Pada kesempatan ini peneliti mengungkapkan beberapa

saran setelah melihat kondisi yang ada berdasarkan hasil

penelitian.

1. Bagi pembimbing agama agar rutin untuk

memberikan kajian, supaya santri waria konsisten

untuk mempelajari bab-bab kajian lainnya yang

sudah di jadwalkan. Peran pembimbing dalam

bimbingan ini memiliki peran utama dalam

menunjukan jalan permasalahan spiritual atau

religiusitas.

2. Bagi santri waria, dalam menjalankan bimbingan

keagamaan agar lebih konsisten, sehingga dapat

menyerap masuk dalam bathiniyah dan lahiriyah

diri santri waria.

3. Bagi pembaca, agar lebih menambah wawasan dan

menambah keterbukan pemikiran dalam melihat

sisi kemanusiaan yang dianggap marginal.

Terutama pada masalah moralitas, dan pendapat.

Jadi, sebagai makhluk sosial dan berTuhan, kita

harus melihat seluruh sisi ruangan tanpa

memberikan pendapat yang kurang berkenan

terhadap individu yang terlihat berbeda dari

realitas sosial.

201

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari Buku

Agus Salim. 2005. Teori Paradigma Penelitian Sosial.

Yogyakarta: Tiara Wacana

Ali Mukti (ED). 1988. “Agama-agama di Dunia”. Yogyakarta:

IAIN Sunan Kalijaga Press

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press

Arif Nuh Safri. 2020. Memahami Keragaman Gender dan

Seksualitas (Sebuah Tafsir Kontekstual Islam).

Yogyakarta: Lintang Books

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian; Suatu

Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rieka Cipta

Burhan, Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif; Komunikasi,

Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta:

kencana

Christanty, Linda. 2009. Dari Jawa Menuju Atjeh (Kumpulan

Tulisan tentang Politik, Islam, dan Guy). Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia

Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja

Grafindo Jakarta

Dede Oetomo. 2003. Memberi Suara Pada yang Bisu.

Yogyakarta: Pustaka Marwa

Deddy. Mulyana. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya

209

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Djamalaludin & Suroso, Fuad Nashori, Ancok. 1995. Psikologi

Islami, Solusi Islami atas Problem-problem Psikologi.

Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar

Elizabeth, Hurlock. 2014. Perkembangan Anak Jilid 2 (Alih

Bahasa: Thandrasa & Zaikasih). Jakarta: Erlangga

Erman Anti, dan Prayitno. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan

Konseling. Jakarta: Rineka Cipta

F.L. Whitney. 1960. The Elements of Research.New York:

Pretince Hall In

Fuad, Nashori. 2003. Potensi-potensi Manusia (Seri Psikologi

Islami). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

FX Rudy Gunawan. 1993. Filsafat Sex. Yogyakarta: Bentang

Gerungan. W.A. 2010. cet ke-3. Psikologi Sosial. Bandung: PT

Refika Aditama

Hawari, Dadang. 2000. Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran JIwa dan

Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dhana Bakti Primayasa

_____________. 2000. Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran JIwa dan

Kesehatan Jiwa. Yoagyakarta: Dhana Bakti Primayasa

Imam Gunawan. 2103. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan

Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara

Imam. Sibawaih. 2020. KItab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalamn

(Al-Hikam), Yogyakarta: Telaga Aksara

Indana Laazulya. 2013. Menguak Stigma Kekerasan dan

Diskriminasi. Jakarta: Arus A. Pelangi

210

Irawan Soehartono. 2008. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik

Penelitian Bidang Kesejahteraan dan Ilmu Sosial

lainnyan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Irwan, Abdullah. 1995. Reproduksi Ketimpangan Gender:

Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Ekonomi. Prisma.

cet. 6

Istiqomah, dkk. 2013. Psikologi Komunitas. Universitas

Indonesia: LPSP3. cet ke-2

John W. Creswell. 2016. Research Design, Qualitative,

Quantitative, and Mix Methods Approaches. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Juantika N, Syamsu Y. 2008. Landasan Bimbingan dan

Konseling. Bandung: Rosdakarya

K. Yin Robert. 1996. Studi Kasus Desain Metode. Jakarta:

Rajawali Press

Kementrian Agama RI. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Jakarta: PT Insan Media Pustaka

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

2015. Pandangan Transgender Terhadap Status Gender

dan Persamaan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Bogor,

Depok, dan Tangerang. Pusat Penelitian Kesehatan

Universitas Indonesia

Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKIS

Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: Remaja Rosdakarya

___________ 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya

211

Mudah, Mulia. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan

Implementasi. Yogyakarta: Naufan pustaka

Masthuriyah Sa’dan. 2020. Santri Waria. Yogyakarta: Diva Press

Muljono, Damopoli,. 2011. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak

muslim Modern. Jakarta: Rajawali Pers

Mujamil, Qomar. 2010. Pesantren Dari Transformasi Metodologi

Menuju Demokrasi Institusi. Jakarta: Erlangga

Mohammad. Surya. 2003. Psikologi Konseling. Bandung:

Pustaka Bani Quraisy

Prayitno, Anti Erman. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan

Konseling. Jakarta : Rwenika Cipta

P. Butler, Judith. 1990. Gender Trouble (Feminism And The

Subversion Of Identity. New York, United States of

America: Routede

R. Raco. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta

Sarwono, Sarlito W. 2009. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta:

Rajawali Press

Sri, Wahyuningsih. 2013. Metode Penelitian Studi Kasus

(Konsep, Teori Pendekatan Komunikasi, dan Contoh

Penelitiannya). Madura: UTM PRESS

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:

Alfabeta

Sukardi. 2006. Penelitian Kualitatif-Naturalistik dalam

pendidikan. Yogyakarta: Usaha Keluarga

Syamsu Yusuf, Juantika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan

dan Konseling. Bandung, : Rosdakarya

212

Tobroni, Imam Suprayogo. 2008. Metode Penelitian Sosial-

Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Tohirin. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan

Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

United State Agency for International Development and United

Nations Development Programme. 2013. Hidup sebagai

LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia. Indonesia:

USAID dan UNDP

Yash. 2003. Transseksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan

Transseksual Perempuan ke Laki-Laki. Semarang: AINI

Yusuf Syamsu. 2005. Mental hygiene perkembangan kesehatan

mental dalam kajian psikologi dan agama. Bandung:

Pustaka Bani Quraisy

Skripsi

Ahriani Silvia, (2018). Dukungan Sosial Bagi Kemandirian

Waria Pada Rumah Singgah Waria Anak Raja, Depok.

(Skripsi tidak di publikasikan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Anandita, Nisa. (2018). Hubungan Penyesuaian Diri Dengan

Penerimaan Diri Pada Waria Di Kota Rantauprapat.

(Skripsi: Universitas Medan Area)

Alfin, Naimah. (2020) Mekanisme Problem Focused Coping

Perempuan KDRT Melalui Bimbingan Mental Spiritual

(Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

213

Ananda, Rasulia. (2017). “Penerimaan Diri Pada Istri yang

Memiliki Suami Homoseksual”, (SkUniversitas Negeri

Jakarta)

Anwar, Sandiah, (2016). Konsep Diri Santri Waria. (Skripsi: UIN

Sunan Kalijaga)

Dinar, Praja Istiqlal. (2019). Spiritualitas Pada Waria Pekerja

Seks Komersial Di Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta,

(Skripsi: Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas

Negeri Jakarta)

Nidiya Gabriella Indyaningtyas, (2016). Motivasi Waria Menjadi

Anggota pesantren (Skripsi Universitas Negeri Semarang)

Novariza, M. P. (2017). Subjective Well Being Pada Waria Di

Pesantren Waria Al-Fattah (Skripsi Universitas Kristen

Satya Wacana Salatiga

Priskilla Novariza Mboeik, (2017). Subjective Well Being Pada

Waria Di Pesantren Waria Al-Fattah (Skripsi Universitas

Kristen Satya Wacana Salatiga)

Roudlotul Jannah Sofiyana, (2014). Pola Interakasi Sosial

Masyarakat dengan Waria di Pondok Pesantren Al-Fattah

Senin-Kamis (Skripsi Universitas Negeri Semarang)

Ruth, Intan. (2019). “Studi Deskripstif Terhadap Penerimaan

Diri Pada Pria Homoseksual (Gay)” (Skripsi Univeristas

Sanata Dharma)

Rendi. Pratama. (2017). Upaya Waria Untuk Mendapatkan

Penerimaan Sosial Dari Masyarakat. (Skripsi: Universitas

Jember)

214

Revita, Nurwahiah. (2020) Bimbingan Agama Untuk

Pembentukan Karakter Kepedulian Sosial Santriwati Di

Pondok Pesantren Darunnajah 3 Serang Banten, (Skripsi:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Siti Maimunah, (2018). Padangan Al-Qur’an tentang

Homoseksuaitas (Skripsi Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga)

Tesis

Ainul, Muttaqin. (2018) Bimbingan Keagamaan Dalam

Menanamkan Nilai-Nilai Keislaman Pada Warga Binaan

Lembaga Pemasyarakatan Lapas Kelas II-A Pamekasan.

(Tesis: Magister Pendidikan Agama Islam Program

Pasca Sarajana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya)

Diyala Gelarina, (2016). Subjective Well Being Pada Waria Di

Pesantren Waria Al-Fattah (Tesis, UIN Sunan Kalijaga

Daerah Istimewa Yogyakarta)

E. Procter.Jonathan. 2013. Religious Fundamentalism, Empathy,

and Attitudes toward Lesbian and Gays within

Therapeutic Relationship. (Disertasi- The Patton of

Education of Ohio University, 2013

Nur, Nisa. 2018. Gaya Hidup Waria Urban Jakarta: Sebuah

Negoisasi Identitas, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:

Tesis)

215

McGarry, G.E. A Companion to Lesbian, Gay, Bisexual,

Transgender and Queer Studies. (Oxford: Blackwell

Publishing)

Journal

Ardiansyah, Upaya Bimbingan Konseling Nilai dan Spiritual

terhadap Tarnsgender di Yogyakarta, Jurnal Bimbingan

dan Konseling: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga no 8

(2), 71-87 november 2018, ISSN: 2088-3072, DOI:

10.25273/counsellia.v8i2.2568 dikutip pada 10 Juni

2019 pukul 14.00 WIB

Anindita A, Iqrak S. 2014. Representasi Transgender dan

Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa:

Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis. Universitas

Indonesia: Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, [email protected],

[email protected]

Arif Nuh, S. 2014. Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fattah

Yogyakarta: Journal Esensia, Vol.15, No. 2, September

2014. Pusat Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, 55281,

Indonesia. [email protected]. Dikutip hari Jum’at,

03 Mei 2019, 18:39 WIB

Arif Nuh, S. 2016. Penerimaan Keluarga Terhadap Waria Atau

Transgender (Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di

Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta: Pusat

Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga: Vol. 05,

216

No. 01 Januari-Juni 2016. NIZHAM,

[email protected], dikutip pada Kamis, 16-01-

2020, pukul 23:03 WIB

Graham, S. 2010 It’s Like One Of Those Puzzles: coceptualizizng

gender among Bugis. Jurnal dari Respon Komunitas

Waria Surabaya terhadap Kontruk Subyek Transgender

di Media Indonesia, Vol. 23, No. 3 hal. 221-228. Dikutip

pada hari Jumat, 03 Mei 2019 pukul 18:53 WIBJeanete

Ophilia Papiliya, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender

(LGBT) dan Keadilan Sosial. Journal: volume III, No, 1,

2016 hal. 028. Dikutip pada hari Rabu, 02 Oktober 2019

pukul 14:27 wib.

Kartika Nur, Kusuma. 2007. Studi Fenomenologi Seksualitas

Transgender Wanita di Samarinda. (Psikoborneo: Fisip-

Unmul) 4 (2): 362-373 (Suparno, Paul. Seksualitas

Kaum Berjubah. Yogyakarta: Kanisius

Mumluatun, Nafisah. Respon Al-qur’an Terhadap Legalitas

Kaum LGBT. Jurnal Studi Al-Qur’an, vol.15, No. 1,

Tahun 2019. DOI:doi.org/10.21009/JSQ.015.1.04 hal.

87. Dikutip pada hari Selasa, 26 April 2021, pukul 01.20

WIB

Papilaya, J. O. 2016. Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender

(LGBT) dan Keadilan Sosial. Journal: volume III, No, 1,

hal. 028. Dikutip pada hari Rabu, 02 Oktober 2019 pukul

14:27 wib.

Prasetya, Faisyal, Usman. 2020. Makna Religiusitas bagi Kaum

Waria: Jurnal Studi Keislaman STAI Muhammadiyah

217

Probolinggo No 1 (20), 95 1 Juni 2020, ISSN: 2502-

3969 (p), DOI: hattp://dx.doi.org/10.24042/ajskv.v20il.

5880, 2548-477x (o) dikutip pada 16 februari 2021

pukul 22.00 WIB

Riya, H. & Fokta, Contribution of religious coping and social

support to the subjective well-being of Israeli muslim

parents of children with cancer: a preliminary study.

Journal of Health and Social Work 40, 2015, hal. 83-91

dalam skripsi Subjctive Well-being Pada Waria Al-Fattah

oleh Priskilla Novariza Mboeik. Dikutip pada hari sabtu,

7 September 2019, pukul 15.00 WIB

Rulita H, Ira El K., Sri M. 2020. Hubungan Antara perlakuan

Diskriminasi Masyarakat dengan penerimaan Diri

Transeksual di Kota Semarang. (Universitas Negeri

Semarang: INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi,

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI, 2015)

dikutip pada hari Kamis, 16 Januari, pukul 23:03 WIB

Hasil Wawancara

Penolakan dari keluarga menjadi hal yang lumrah diterima oleh

para transgender atau waria. Koeswinarno, Hidup

Sebagai Waria. (Yogyakarta: LKIS, 2004), hal. 127.

Hasil wawancara dengan ketua pondok pesantren Al-

Fattah ibu Shinta Ratri, Februari 2019.

Wawancara dengan Shinta Ratri pengasuh pondok pesantren Al-

Fattah DIY, 9 Februari 2019

218

Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah

Yogyakarta pada tanggal 09 Februari 2019

Obervasi peneliti ke Pondok Pesantren Waria Al-fatah

Yogyakarta pada tanggal 16-20 Mei 2019

Wawancara dengan Kyai Muhaimin, Pembina Pondok

Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 09 Desember 2020

Wawancara dengan Shinta Ratri, Pengasuh Pondok

Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 12 Desember 2020

Wawancara dengan Inul, Santri Non Mukim Pondok

Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 08 Desember 2020

Wawancara dengan Rere, Santri Mukim Pondok

Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 07 Desember 2020

Wawancara dengan Ustadz Arif Nuh Safri, Pembimbing

Agama Pondok Pesantren Waria Al-fatah Yogyakarta, 10

Desember 2020 WIB.

Wawancara dengan Munarto, Warga 27 Desember 2020

Wawancara dengan Tumirah, Warga, pada hari Rabu, 06

Januari 2021

Wawancara dengan Rini, Significant Other Informan Inul,

26 Desember 2020

Wawancara dengan Nur, Significant Other Informan Rere,

26 Desember 2020

Website

https://puspensos.kemsos.go.id/home/breng/324. Dikutip pada

tanggal 7 September 2019, pukul 15.00 WIB

219

https://books.google.de/books?id=5KkUCgAAQBA&lpg=PP1&

hl=de&pg=PP4#v=onepage&q&f=fals. Dikutip pada

tanggal 3 Desember 2019, pukul 14:50 WIB

https://www.kemenpa.go.id/lib/uploads/list/0ea2c-1-laporan-lgbt-

transgender-pdf. Dikutip pada tanggal 3 Desember 2019,

pukul 20:30 WIB

https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/news/indones

ia/amp/vanny-rahman/ada-lima-juta-transpuan-kemana-

arah-politiknya-dalam-pilpres-1. Dikutip pada hari

jumat, 13 desember 2019 pukul 14:56 WIB

http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2015/11/15/memahmi-

teori-queer-5/ Dikutip pada 15-10-2019, pukul 20:18

WIB

Artikel

Adeney Farjisana Rr. Kurnia Siti. 2016. Problem-problem

Minoritas Transgender Dalam Kehidupan Sosial

Beragama, Artikel dari Disertasi Siti Kurnia Widiastuti:

Inter Religious Studies Program, Universitas Gadjah

Mada no 2 (10), 94-95 Juli-Desemberr 2016, ISSN:

1978—4457 (p), 2548-477x (o) dikutip pada 16 februari

2021 pukul 19.00 WIB

220

LAMPIRAN-LAMPIRAN

221

Lampiran 1: Jadwal narasumber dialog feminisme

dari Solidaritas Perempuan Kinasih

No Bulan/tahun Tema

1 Maret 2020 Perbedaan seks dan gender

2 April 2020 Gender sebagai kontruksi

sosial

3 Mei 2020 Mengenal gender ketiga

4 Juni 2020 Perbedaan Lesbian, Gay,

Biseksual, dan Transgender

(LGBT)

5 Juli 2020 Waria dalam Islam

6 Agustus 2020 Waria dalam agama Katolik

dan Kristen

7 September 2020 Sejarah feminism

8 Oktober 2020 Pengertian feminisme dalam

Islam

9 November 2020 HAM untuk kelompok

minoritas

10 Desember 2020 Makna keadilan

11 Januari 2021 Makna kesetaraan

12 Februari 2021 Mengenal perjuangan

kelompok minoritas gender

Lampiran II: Jadwal penceramah setelah Magrib

dengan Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama

Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2020

Penceramah Tema Bulan

Khatimul Husna Rukun Iman dan

Penjelasannya

Februari 2020

Wahyuni

Shifaturrahmah

Rukun Islam dan

Penjelasannya

Maret 2020

Uqbah Fahira Urgensi Shalat dalam

Kehidupan Manusia

April 2020

Yuli Makna Puasa terhadap

Diri Pribadi dan Sosial

Mei 2020

Rindang Farihah Makna Pribadi Qur’ani Juni 2020

Dewi Yulaikha Makna Pengorbanan

dalam Kisah Ibrohim

dan Ismail

Juli 2020

Vivin Maryam Amal Jariyah dan

Penjelasannya

Agustus 2020

Maria Perbedaan Sedekah,

Infaq dan Zakat

September 2020

Amaliyatul Ulya Memahami Kelahiran

Nabi Muhammad

SAW

Oktober 2020

Mustaghfiroh

Rahayu

Makna Cinta dari

Kisah Nabi Yusuf dan

Zulaikho

November 2020

Masfiyah Makna Cinta dari

Kisah Nabi Sulaiman

dan Ratu Bilqis

Desember 2020

Nanda Mahmudah Wudhu dan

Kecantikan

Januari 2021

Lampiran III: Rencana Kegiatan Pesantren Waria Al-Fatah

Tahun 2019-2020

Bln/thn Minggu Kegiatan Lokasi

03/2019

Ke-2 Bersama KEBAYA &

IWAYO melakukan

advokasi ke kantor

Dinas Pendudukan &

Catatan Sipil

(DUKCAPIL) DIY

Kantor

DUKCAPIL

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

Ke-2 Sekolah sore dengan

tema: Merias

Pengantin

Pesantren

Waria

Ke-3 Bersama KEBAYA &

IWAYO melakukan

advokasi ke kantor

Dinas Pariwisata

(DINPAR) DIY

Kantor Dinas

Pariwisata

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

04/2019

Ke-1 Pengajian Isra’

Mikraj Nabi

Muhammad SAW

1440 H

Pesantren

Waria

05/2019

Ke-1 Nyekar ke

pemakaman waria

asebelum romadhon

(nyandran) & makan

bersama dengan nasi

gurih, ketan kolak

apem, roti dan lemper

Yogyakarta

Ke-2 &

3

Buka bersama

(takjilan), shalat

terawih berjamaah

dan tadarus Al-

Qur’an

Pesantren

Waria

07/2019

Ke-2

Study tour ke nyai

Masriyah Amva di

Pondok Pesantren Al-

Islamy Kebon Jambu,

ziarah ke makam

Sunan Gunung Jati

dan Keraton Cirebon

Cirebon,

Jawa Barat

Sekolah sore

“Rambut

Professional”

Pesantren

Waria

08/2019

Ke-2 Sekolah sore “Belajar

Menjahit”

Pesantren

Waria

Ke-3 Menyembelih hewan

Qurban di Idul Adha

Pesantren

Waria

Ke-4 Bersama KEBAYA &

IWAYO melakukan

advokasi ke Kantor

Gubernur DIY

Kantor

Gubernur

Yogyakarta

09/2019

Ke-1 Pengajian tahun abru

hijriyah 1441 H

Pesantren

Waria

Perayaan Milad

Pondok Waria ke-11

dengan Khatmil

Qur’an

Pesantren

Waria

Ke-2 Sekolah sore “Belajar

Memasak”

Pesantren

Waria

10/2019

Ke-2 Sekolah sore “Belajar

Make-Up Artis”

Pesantren

Waria

Ke-3 Perayaan ulang tahun

Ibu Shinta Ratri dan

piknik kr pantai

Ngobaran

Gunungkidul,

Yogyakarta

11/2019 Ke-1 Shalwatan dan

Pengajian

Pesantren

Waria

memperingati Maulid

Nabi Muhammad

1441 H

12/2019

Ke-2 Sekolah sore “Belajar

Menari”

Pesantren

Waria

Ke-3 Study Tour ke KH.

Mustofa Bisri Pondok

Pesantren Raudlatul

Thalibin Rembang

dan Pondok Pesantren

Raudloh

Aththohiriyah Kajen

Pati Jawa Tengah dan

Ziarah ke Petilasan

Sunan Bonang

Rembang,

Jawa Tengah

Ke-4 Makan malam

bersama

memperingati tahun

baru masehi 2020

Pesantren

Waria

01/2020

Ke-1

Silaturrahmi dan

dialog ke kediaman

KH. Imam Aziz

(Pengasuh Pesantren

Bumi Cendekia

Sleman)

Selman,

Yogyakarta

Audiensi dan

penandatanganan

kerjasama dengan

PW. Fatayat DIY

Sudagaran,

Yogyakarta

Ke-2 Sekolah sore

“pengelolaan

sampah”

Pesantren

Waria

Ke-1 Bakti alam dan tanam

1.000 bibit pohon di

Gunung Andong

Magelang,

Jawa Tengah

02/2020

Ke-2

Sekolah sore “praktek

menari”

Pesantren

Waria

Audiensi dan

penandatanganan

kerjasama dengan

Solidaritas

Perempuan Kinasih

Godean,

Sleman

Ke-3

Bersama KEBAYA &

IWAYO mengadakan

audiensi ke Kantor

Dinas Sosial DIY

Kantor

DINSOS,

Daerah

Istimewa

Yogykarta

Ke-4

Silaturahmi dan

dialog ke kediaman

ibu Alissa Wahid

(Gusdurian)

Sleman,

Yogyakarta

03/2020

Ke-1

Silaturahmi dan

dialog ke kediaman

Pak Sahiron

Syamsuddin

Pengasuh Pesantren

Baitul Hikmah

Krapyak,

Yogyakarta

Ke-2 Sekolah sore

“Sosialisasi Gelar

Budaya”

Pesantren

Waria

LAMPIRAN IV: DATA SANTRI WARIA PONDOK

PESANTREN WARIA AL-FATAH DIY

Nama/Pekerjaan

Tempat/tangg

al lahir

Pendidikan

terakhir

Kemampuan

membaca dan

lainnya

Nurya Ayu Bunga

Kamboja

(Ngamen)

Yogyakarta,

19 Desember

1969

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Ahmad Yasin

(Endang )

(Ngamen)

Purworejo, 9

April 1969

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Lancar

Iqra : Lancar

Rasikin ( Sisri )

(Ngamen)

Purwogondo,

14 Juli 1967

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Ines Cntya Bela

(Ngamen)

Sukoharjo, 24

Oktober 1985

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Nonica Denadya E

( Oik )

(PSK)

Yogyakarta, 4

Januari 1989

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Sedang

Iqra : Sedang

Nur Kayla

(Lainnya)

Mataram, 14

Desember

1991

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Sedang

Iqra : Sedang

Rully Mallay

(LSM/ Pembina

KEBAYA)

Surabaya, 24

Maret 1961

Perguruan

Tinggi

Latin : Lancar

Al-Quran :

Sedang

Iqra : Sedang

Eva Warisman

(PSK)

Bandung, 21

Juli 1964

SD Latin : Lancar

Al-Quran : Belum

Bisa

Iqra : Belum Bisa

Ridwan ( Oki )

(almarhum) Riau, 14

Pebruari 1976

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Sedang

Iqra : Lancar

Wulan Agustian

(LSM / Volunteer

KEBAYA)

Tasikmalaya,

21 Maret 1965

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Sedang

Iqra : Sedang

Ari Pardiana

(Wiraswasta)

Yogyakarta,

22 Juni 1964

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Maya Tongtong

(Lainnya / Buruh

Gendong)

Yogyakarta, 8

Agustus 1979

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Rina

(Ngamen) Medan, 30 Juli

1961

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Agus Erick (Kelly)

(Ngamen)

Medan, 10

Agustus 1964

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Shinta Ratri

(Wiraswasta/pengu

saha perak/dll)

Yogyakarta,

15 Oktober

1962

Perguruan

Tinggi

Latin : Lancar

Al-Quran :

Lancar

Iqra : Lancar

Yuni Shara Al

Buchory

(LSM/Staf

Yayasan Vista)

Yogyakarta, 2

Oktober 1967

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Aspan Amri Pane

(Yetty )

(LSM / Staf

Yayasan Vista)

Medan, 23

Maret 1959

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Lancar

Iqra : Lancar

Elly Muharom

(Wirasawasta)

Sumenep, 14

Maret 1966

SMU Latin : Lancar

Al-Quran : Lancar

Iqra : Lancar

Irma Erviana

(Wirasawasta)

Yogyakarta, 6

Maret 1963

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Yuli Tujiyanto

(Ngamen)

Cilacap, 7 Juli

1971

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Ririn Iswarini

(almarhum)

Yogyakarta, 9

Juli 1962

Perguruan

Tinggi

Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Mimin

(Wirasawasta)

Yogyakarta, 6

Juni 1966

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Adi Susanto ( Eni

Jalu )

(Ngamen)

Banyumas, 5

April 1960

ST Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Wagiman

(Nurkanza )

(PSK)

Yogyakarta, 6

Januari 1970

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Joko Kurnia ( Rini

Kaleng )

(Ngamen)

Jakarta, 27

September

1969

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Suyatno ( Nunik )

(Wirasawasta)

Yogyakarta, 1

Agustus 1965

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Hanna

(Lainnya)

Magelang, 6

Juni 1986

SMU Latin : Lancar

Al-Quran : Belum

Bisa

Iqra : Belum Bisa

Wisnu Setiawan (

Inul )

(Ngamen)

Jakarta, 26

Agustus 1971

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Sedang

Iqra : Lancar

Julianto ( Sasa )

(Ngamen)

Klaten, 27 Juli

1966

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Alya Putri

Rahmadani

(PSK)

Yogyakarta,

26 Nopember

1989

Perguruan

Tinggi

Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Lenny ( Lulux )

(PSK)

Purworejo, 7

Juni 1986

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Agus Betty

(Wirasawasta)

Yogyakarta,

11 Agustus

1964

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Tri Gumoro

Condro ( Sandra)

(Lainnya)

Yogyakarta,

15 Oktober

1964

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Febi Andika

(PSK)

Medan, 4

Desember

1982

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Vera Enindradewi

(Lainnya)

Klaten, 4

Januari 1967

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Shinta Maharani

(Ngamen)

Kutoarjo, 5

Juli 1988

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Fahry ( Shinta

Medan )

(Lainnya)

Medan, 21

September

1960

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Dolly

(Lainnya)

Palembang, 25

Pebruari 1963

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Sedang

Nining Mawan

(Ngamen)

Medan, 27

Agustus 1968

SD Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Helmi Laura

(Ngamen)

Surakarta, 23

Juli 1987

SMP Latin : Lancar

Al-Quran :

Belum Bisa

Iqra : Belum

Bisa

Wisnu Wibisono

( Rere Renata )

(LSM)

Yogyakarta,

15 September

1991

SMU Latin : Lancar

Al-Quran :

Lancar

Iqra : Lancar

Wulan

(LSM / Volunteer

KEBAYA)

Tasikmalaya

(55 tahun)

SMU

Tinuk

(Perias Pengantin)

Yogyakarta

(52 tahun)

SMU

Tika

(Perias Pengantin)

Yogyakarta

(38 tahun)

SMK

Tania

(PSK)

Yogyakarta

(28 tahun)

SMA

Sri

(Terapis Pijat)

Kebumen

(65 tahun)

SD

Shinta Yola

(Salon Penata

Rambut)

Medan

(61 tahun)

SMP

Oni

(Karyawan)

Bantul

(47 tahun)

SMA

Novi

(Staf LSM Victory)

Surabaya

(43 tahun)

SMA

Nining

(PSK)

Medan

(52 tahun)

SD

Kusuma Ayu

(Manager Bose

Club)

Yogyakarta

(42 tahun)

SD

Juna

(Pengusaha Salon)

Yogyakarta

(39 tahun)

SMA

Marimas

(Ketua RT)

Yogyakarta

(49 tahun)

SMA

Laura

(PSK)

Surakarta

(33 tahun)

SMP

Rini Cantik

(PSK)

Cilacap

(31 tahun)

D3

Perkantoran

Jamilah

(Ngamen)

Kebumen

(53 tahun)

SMP

Arum

(Pengusaha Sibori)

Yogyakarta

(44 tahun)

SMA

Desi

(Pengusaha Salon)

Yogyakarta

(58 tahun)

SMA

Dita

(Perias LC)

Semarang

(30 tahun)

SMA

Erna

(Ngamen)

Kediri

(68 tahun)

SD

Erni

(Ngamen)

Bandung

(52 tahun)

SMP

Jesika

(Peneliti Solidaritas

Perempuan)

Yogyakarta

PEDOMAN WAWANCARA SANTRI

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Rere

Alamat : Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 15-09-1991

Hari/tanggal wawancara : Senin, 07 Desember 2020

Tempat Wawancara : Ruang tamu Ponpes Al-Fatah

Pertanyaan

1. Siapakah nama lengkap dan nama panggilan anda?

Jawaban: Nama asliku Ebnu Wibisono, nama panggilannya

Rere.

2. Bisa Anda ceritakan pengalaman sebelumnya sebelum

menjadi waria?

Jawaban: Pengalaman ya, waktu di sekolah itu, aku

mengenal materi tentang seks, di SMA (Sekolah Menengah

Atas). Jadi, aku tahu, kalau aku berbeda sama laki-laki.

3. Bagaimana kehidupan Anda saat itu?

Jawaban: Dan aku juga punya banyak sampingan kerja;

mulai di konter, batik malioboro, ya kerja freelance yang

aku ambil. Jadi kalau bilang jadi tulang punggung keluarga

atau ngga, ya jadi kan kita berdua cowo semua, dan satu

beban kita angkat bareng-bareng.

4. Sejak kapan Anda merasakan perbedaan pada diri

Anda?

Jawaban: Iya sejak kecil, mungkin ini ya. Baground

keluargaku itu, hemm, jadi gini, dari kecil aku udah ngga

punya ayah sampai sekarang. Ya, cuma punya ibu (Imah) aja

yang ngurus dari kecil. Aku merenungkan setiap malam,

melihat teman-temanku waktu aku kecil, keluarga mereka

kan lengkap. Mereka kalau sekolah kadang dianter, gentian-

gantian juga kadang bapaknya, kan aku iri. Aku ngga dianter

bapak, dan mama aku juga kan ngga nikah lagi.

Kalau nikah lagi-kan, aku komplit keluarganya. Ya

eemmmm, sebenarnya dari situ, aku nyaman kalau dekat

sama cowok. Aku pengen selalu deket, karena kan aku ngga

dapet kasih sayang dari sosok seorang ayah. Iya dan Ibu-kan

merangkap jadi seorang ayah dan ibu, eem, kan tetap ngga

maksimal, karena bukan sosok ayah asli. Tapi, dari kecil itu,

apa itu, dari umur 2 atau 3 tahun, aku suka main boneka-

boneka, masak-masakan. Hehehe, tapi ngga apa-apa sih,

malah dibeliin sama ibu.

Iya, sampai tetangga bilang; “Loh, kok kamu malah main-

mainan cewek”, he he he ya mereka malah ngatain ibuku,

terus aku kan sering mainin jarit, tau kan? Jarik simbah aku

kan banyak, hehe, yaudah aku pake buat mainan gibek (tari-

tarian), terus ibuku kan ada lipstick, hehe yaudah aku pake

lipstick. Hehehe, yaudah seru-serunya waktu kecil,

merasakan berbeda dengan adikku (Sandi), hehe. Iya, pas

waktu SMP (Sekolah Menengah Pertama), aku juga sama

temen SMP ku. Mmm EeeNgga sih, aku cuma pendam aja,

ngga berani cerita.

Ya, walaupun aku smp itu merasakan suka sama temen, ya

aku diem aja, dan ngga ada yang tahu. Sama guru aku, ya

guruku udah punya istri dan anak juga, guruku juga aku ajak

ke rumah, dan ibuku ngga apa-apa aku bawa cowok ke

rumah. Heeem, iya, karena kan beda, tapi ada juga yang

masih main sampe sekarang, dia udah nikah juga, tapi ya

main aja ke rumah, adekku juga ngga apa-apa, karena dia

bisa jak ngobrol.

5. Kapan Anda memutuskan untuk mengubah

penampilan?

Jawaban: Dan aku setelah SMA berani membuka diri

sebagai waria. Iya, saya sekarang udah berani menunjukan

bahwa saya waria.

6. Apa tanggapan orang tua setelah Anda mengubah

penampilan?

Jawaban: Iya, jadi kan disini juga ada program penerimaan

terhadap keluarga itu kan, untuk teman-teman waria yng

keluarganya itu mendukung. kebetulan ibuku mendukung. \

7. Bagaimana kehidupan awal Anda saat merubah

penampilan?

Jawaban: Iya, tapi kan beda sama saudara-saudara Ibu,

Kalau mereka kan keluarganya lengkap. Tapi ya, ya udah,

ini kan sudah digariskan oleh Tuhan keluargaku seperti ini,

kan kita ngga bisa berontak “aku ngga mau seperti ini,

seperti ini. Sebelumnya ada masalah ini, masalah besar,

masalahnya aku sama kaeluargaku; akau berantem sama

ibuku, dan keluarga besarku. Iya, aku berantem sama ibuku

dan keluarga ibuku, nentang aku, disuruh nikah, disuruh jadi

yang bener, jadi mereka malu kalau aku dandan perempuan.

Iya, kamu malu-maluin trah keluarga prawitoyo, ya kan, aku

maksudnya; aku kan waria, bukan malu ya, karena dari

dalam. Tapi penampilan aku tetap kaya cowok, aku bukan

kaya waria yang pake apa-apa, itu ngga. Sampai sekarang,

karena kan aku udah kepala 3, dan yang lain keponakan aku

kan udah menikah. Ya kadang, ya aku bimbang, bingung,

sedih, kok apa ya. Kalian ngga ngerasain jadi aku tu gimana,

Meninggal dari aku umur 4 tahun, terus keluarga dari Ayah

juga ngga ada yang peduli sama kita Kalau mereka dari kecil

udah ada bapak, ada iu. Nah aku, broken heart, udah kaya

gini. Siapa yang mau memilih seperti ini, ya kan Karena

mereka ngga pernah ngrasain seperti aku.

8. Apa pekerjaan Anda saat ini?

Jawaban: Aku kemarin-kemarin kerja di bartender café di

Club Malam. Terus di Yayasan Vasta Indonesia Iya bagian

informasi center dan objek-objek yang membutuhkan

penyuluhan, Aku keinginan sendiri, karena gimana yah,

temen-temen ku mati konyol, karena HIV. Mereka bermain

seks bebas. Kan misalkan cowok itu udah nyoba satu,

pengin nyoba sama ini, ini, yang lainnya. Udah gitu temen-

temen waria ngga mungin ngecek kesehatannya kan, dia

kena apa ngga. Banyak waria yang selesai hidupnya Karena

itu, dan aku merasa terpanggil aja sih, untuk membantu. Dan

aku 24 jam lhoh, masih nyari waria, guy, dan orang-orang

yang mempunyai istri tapi suka main sama waria, yang

belum pernah diperiksa. Dan sebagai Driver Online Go-Jek

sejak 2016.

9. Komunitas apa saja yang Anda ikuti?

Jawaban: komunitas IWAYO, Pondok Pesantren. Dulu kan

IWABA (Ikatan Waria Bantul), ada IWASO (Ikatan Waria

Solo), WARKOP (Ikatan Waria Kulonprogo), dan di 5

kabupaten di Jogja.

10. Boleh ceritakan selama Anda mengikuti aktivitas

tersebut, hal baik apa yang Anda dapatkan?

11. Bagaimana Anda mengetahui Pondok Pesantren ini?

Jawaban: Iya, temen-temen waria-kan belajar ngaji,

pengajian, dan aku sering diajak sama Bu Shinta untuk

pelatihan-pelatihan, entah itu bantuan salon, bantuan temen-

temen waria kan banyak yang berkreativititas. Terus bu

Shinta yang jadi ketua pondok.

12. Hal apa yang membuat Anda tertarik masuk ke Pondok

Pesantren ini?

Jawaban: Iya, aktivitasnya banyak sebetulnya di pondok,

jadi ngga cuman hari minggu aja, di bidang sosial, dan aku

dilibatkan dari panitia juga, gitu

13. Sejak kapan Anda bergabung menjadi santri di Pondok

Pesantren ini?

Jawaban: 2016

14. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk ke Pondok

Pesantren ini?

Jawaban: Iya, itu karena kesadaran diri Perasaan balik ke

Tuhan tu gini, jadi di saat, aku ada masalah besar sama

keluarga kemarin kan, aku curhat sama pak ustadz Arif kan,

terus aku cerita kaya gini-gini. Yaa terus solusinya katanya:

ya udah, tenangin dulu di pondok, nenangin pikiran, ya

dengan ngaji, terus aku tiap malam juga sholat, eeee Iya,

tahajud, ada ketenangan diri, maksudnya setelah kita salat

malam itu.

15. Kendala apa yang Anda rasakan saat shalat?

Jawaban: Ya, kadang bolong-bolong, Iya tetap, menjalankan

shalat 5 waktu

16. Kendala apa yang Anda rasakan saat memasuki Pondok

Pesantren?

Jawaban: Kendala si ngga ada, kebetulan ibuku mendukung,

jadi kan kemarin ke Cirebon, dan aku emang dandan, dua

hari. Iya, ziarah, ibuku juga ikut, adekku juga ikut

17. Bagaimana pendapat Anda tentang kegiatan bimbingan

keagamaan di Pondok Pesantren?

Jawaban: Ya ada, jadikan emmm, ya pokoknya jangan lupa

kewajibanmu, dan aku lebih suka kalau shalat tahajud.

Tengah malam aku bangun, dan apalagi setelah penyerangan

Front Jihad Islam, kita sibuk nih, Go Show ke kampus-

kampus ngisi-ngisis acara sama ustadz Arif ke UIN terus,

hehe

18. Apa yang Anda rasakan saat dan setelah mengikuti

bimbingan keagamaan di Pesantren ini?

Jawaban: Ya, saat ceramah kadang ada yang menyentuh

hati, kadang pas tanpa disengaja. Ya, sangat bertambah

ilmu. Setiap orang kan beda-beda, jadi pas lagi masuk ke

hati, ya masuk. Hehehe

19. Apakah Anda juga mengaji Al-Qur’an/Jilid?

Jawaban: Iya, di Al-Qur’an, karena kan kecil aku sudah

diberikan dasar atau pondasi waktu TPA, TPQ.

20. Kendala apa yang Anda rasakan saat melakukan

bimbingan keagamaan?

Jawaban: Kendala tidak ada sama sekali ya mba Nsisa,

karena dari kecil soal agama saya sudah belajar, jadi ingat

akan bimbingan agama. Eeeem, Karena kan setiap hari kan

temen-temen waria itu kan punya aktivitas sendiri-sendiri.

Ada yang kerja, ada yang usaha, dan lain-lain, jadi ya hanya

waktu hari minggu aja. Mungkin beda dari pesantren

lainnya, ya kita juga beda, makanya beda, jadi seperti itu

21. Bagaimana pengalaman Anda setelah mempraktikan

shalat di Pesantren ini?

Jawaban: Iya, serius, bener, pokokya kalau udah ngerasain

shalat, bener-bener salat tahajud, nangis itu, plong, tenang.

Terus, kaya ngga ada beban, tapi setelah itu, bangun tidur

ya, he he he tapi ya tetep seperti itu si aktivitasnya.

22. Apakah pengalaman yang baik, kalau iya boleh

diceritakan?

Jawaban: Ya, pokoknya kalau udah meneteskan semua air

mata yang kita curahkan itu, kan kalau di pendam di hati

kan, Iya, sakit, ya akhirnya aku curhat sama yang di atas,

keluarinpas waktu salat itu, kadang pas mau salat pun juga

nangis.

23. Pernahkah Anda merasakan ketidaknyamanan dengan

menggunakan atribut shalat yang ditentukan?

Jawaban: Iya, ngga ada, dimana kita nyaman, yaudah kita

shalat.

24. Bagaimana cara mengatasinya?

Jawaban: Dulu aku pernah, pas lagi dandan, dan aku pake

mukena. Iya, aku pake sarung. ngga sih, kan tergantugn dari

penampilan ya. Kemarin kan temen-temen liat, ada yang

rambut panjang, yang dia pake mukenah, ada yang pake

sarung. Nah itu, kenyamanan kita. Temen-temen waria

nyamannya gimana? Mau sarung atau mukenah. Contoh aja

mami Rully, dia pake hijab, tapi kalau shalat, dia lebih

nyaman shalat yang kaya cowok.

25. Apa yang Anda rasakan shalat berjamaah pertama kali?

Jawaban: Iya, hmmm kadang dengan kepenatan yang karena

kesibukan dunia itu, akan lebih tenang saat shalat dan

seneng berjamaah, karena kan rame-rame.

26. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk merasakan

manfaat dari Pesantren Al-Fatah, baik secara spiritual

ataupun mental?

Jawaban: Tahun 2016 Iya, alhamdulilah nyaman dengan

engikuti kegiatan-kegiatan, kadang mersasakan capek. Tapi,

terus lama-lama ya enjoy aja. Iya, adapatasinya ngga terlalu

lama. Dari bulan maret itu, kan aku masih tinggal di pondok,

Iya, ngalamin Corona, ya ada suka ada dukanya, kan ya kita

harus menaati protokol kesehatan kan, karena mnerima tamu

juga. Iya, di tutup, dan alhamdulilah dapat rejeki juga dari

bantuan-bantuan selain waria, dari bantuan nasi bok, untuk

dianter ke komunitas temen-temen waria. Iya bener-bener

disini, seperti itu, ya alhamdulilahnya banyak bantuan, dan

bantuannya sangat membantu.

27. Apa harapan Anda terhadap Pondok pesantren ini?

Jawaban: Untuk program di 2019 ini kan banyak banget,

apalagi diikuti oleh temen-temen juga lansia, banyak banget

manfaatnya dari pesantren ini. Dan banyak juga pas

pandemi, kan ngga kerja, ada bantuan uang juga buat

keseharian.

28. Bagaimana pengalaman Anda di lingkungan masyarakat

setelah menjadi waria?

Jawaban: Ya, kalau di sini, penerimaan terhadap kawan-

kawan waria ya menerima, dari ujung gang depan sampai

gang sana, kenal sama aku, karena ee.. ya maksudnya aku

kan membaurnya baik, jadi masyarakat tahu, itu itu si Rere.

Iya tergantung dari kita bawanya bagus ya, penerimaannya

juga baik gituh. Kalau di rumah, ya ngga mungkin aku

melakukan hal yang sama, jadi ngga semua tempat juga

sama, bisa menerima.

29. Apakah pernah mengalami konflik dengan masyarakat?

Jawaban: Tidak

30. Kalau iya, boleh diceritakan?

31. Hal apa yang belum pernah didapatkan selama di

Pondok pesantren?

Jaawaban: Kebersamaan santri yang hanya setiap minggu

saja

32. Apakah pernah melakukan ibadah shalat di luar

Pesantren?

Jawaban: Iya pasti

PEDOMAN WAWANCARA SANTRI

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Inul

Alamat : Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 26 Agustus 1971

Hari/tanggal wawancara : Selasa, 08 Desember 2020

Tempat Wawancara : Lataran Ponpes Al-Fatah

Pertanyaan

1. Siapakah nama lengkap dan nama panggilan anda?

Jawaban: Wisnu Setiawan panggilan Inul

2. Bisa Anda ceritakan pengalaman sebelumnya sebelum

menjadi waria?

Jawaban: Aku ikut e program computer, aku ikut, terus

perusahaan asing malah di Gunungsari 11 waktu itu.

3. Bagaimana kehidupan Anda saat itu?

Jawaban: Saya pas gonjang-ganjing krisis moneter, dan aku

kena PHK. Karena bangkrut (pada tahun 1998)

4. Sejak kapan Anda merasakan perbedaan pada diri

Anda?

Jawaban: Iya, ee aku pribadi, perubahan yang aku alami;

aku dalam casing laki-laki, ibaratnya hatinya wanita itu, eee

aku udah merasakan kebiasaan seperti perempuan. Aku juga

lebih deket sama Ibu lebih enjoy, dari pada sama Ayah dan

asudara laki-laki ngga ada pendekatan, yang aku alamin lho.

Aku mengalami perbedaan pendidikan itu SD.

Aku udah keliatan, sama temen-temen, aku mengalami

karena apa? Setiap aku berteman sama perempuan, dan aku

melihat laki-laki itu ikut-ikut ngefans. Jadi ada getaran, nah

aku kok, beda dengan laki-laki lain ya. Iya, aku emang, dari

keluarga tentara, karena kakak pertamaku jadi tentara, dan

kakak ku satunya jadi polisi. Dan aku doang yang, he he he

lain dari pada yang lain.

5. Kapan Anda memutuskan untuk mengubah

penampilan?

Jawaban: Iya, jadi aku sebelum SLTA sebenarnya orang tua

mengharapkan, setelah aku SLTA, itu aku disuruh ikut

pendidikan, kaya kakak-kakakku, tapi aku udah ngga minat.

Ternyata aku melalui program yang SLTA aku e lain dari

pada yang lain, aku masuk yayasan orang Kristian, aku

masuk SMA Kristen Magelang. Iyak kan disitu juga deket,

waktu ayah ku tugas disitu, jadi aku disitu ikut-ikutan

glamor lah, hehehe dalam arti, belum tahu agama ya, ya tahu

agama ya emm tapi ini aku belum mengetahui aku mau

kemana gitu. Setelah itu aku, ya emang waktu itu, ayahku

harus, Karena aku itu dalam artian pendidikannya kan aparat

semua ya, ternyata lain.

6. Apa tanggapan orang tua setelah Anda mengubah

penampilan?

Jawaban: Kakak saya paling paling tidak setuju, tapi setelah

banyak orang yang mengetahui dan aku baik ya ngga

masalah.

7. Bagaimana kehidupan awal Anda saat merubah

penampilan?

Jawaban: bahwa dengan menjadi waria, saya lebih gampang

membantu orang lain, apakah ini jalan dariMu ya Allah?

Bukan berarti kita ria ya, untuk menolong seseorang. Ya

Allah, Tuhan berikan jalan gini, ternyata hati lebih tenang,

Iya, lebih lancar. Satu, lagian hati lebih tenang. Eeee dalam

aku sendiri loh, bukan orang lain, ee aku kadang em am

ternyata harus memberikan untuk orang yang membutuhkan

pertolongan. Kalau masalah agama aku juga tahu ya mbak,

terus terang; masalah prostitusi kan dilarang.

Kalau aku ibarat sebagai seperti orang lain, aku punya tipe

setia. Seandainya aku punya pasangan; dulu aku punya

pasangan kan sampai 11 tahun dan ternyata aku punya

prinsip kamu harus berkeluarga pun walaupun ikut waria, ya

kamu harus punya jodoh akhirnya kita putus akhirnya aku

kursus montir Akhirnya bisa bekerja akhirnya dapat orang

Banyuwangi.

Ya itu aku sekarang punya prinsip sendiri; kamu mau sama

aku aku lebih baik daripada aku menambah dosaku. Aku

mengenalkan mereka, siapa tahu itu mengasih jalan aku.

Tidak semua melecehkan makna dari seorang waria Jalan.

Artikan ibaratnya walaupun diluar logika kan sedih tapi aku

juga punya perasaan sendiri prinsip sendiri nggak kayak

temen-temen aku yang harus ganti pacar.

Kalau aku masalah seks enggak besar-besar in disitulah aku

walaupun waria; 1) takut penyakit, 2) takut dosa ya terutama

aku takut dosa lah karena setiap melakukan kegiatan

prostitusi atau melakukan seks tanpa apa ke muhrimnya

dalam arti enggak sepantasnya aku harus perlahan-lahan

bisa sampai sekarang aku 5 tahun kalau nggak udah nggak

melakukan itu ibaratnya.

8. Apa pekerjaan Anda saat ini?

Jawaban: Mengamen. Iya, karena aku sebagai pengamen,

aku ya bersyukur ya, pengamen waria ternyata, bagi aku ya

penghasilan apa, yang terpenting ku syukuri. Ternyata bisa

membantu orang lain; membutuhkan pertolongan, anak-

anak jalanan dalam arti dalam kesusahan, aku bisa

membantu, walaupun sedikit uang, ya aku kaasih, untuk

biaya sunatan, dan yah gitu. Dalam arti aku, kalo kegiatan

positif ya, aku kenal, kalau aku misalnya punya sesuatu

untuk hura-hura, aku ngga ada prinsip. Terutama untuk

orang, maaf mabuk atau lainnya aku ngga mau bantu. Kalau

orang itu bener-bener sakit, dan membutuhkan bantuan,

walapun aku ngga makan, ya ngga makan.

9. Komunitas apa saja yang Anda ikuti?

Jawaban: IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta)

10. Boleh ceritakan selama Anda mengikuti aktivitas

tersebut, hal baik apa yang Anda dapatkan?

11. Bagaimana Anda mengetahui Pondok Pesantren ini?

Jawaban: Eeem aku kan, sekarang jadi pengamen ya, emm

aku kan pengamen jalanan sekarang. Mengikuti alur aja

waktu itu. Ternyata mba Nur, waktu itu dia keluar, karena

waktu itu masih sepi, dia keluar ikut ngamen. Makanya

ketemu aku, ternyata satu komunitas selain IWAYO,

ternyata ada Pondok Pesantren Waria, aku penasaran yakan.

12. Hal apa yang membuat Anda tertarik masuk ke Pondok

Pesantren ini?

Jawaban: Yang satu udah, udah tau dunia waria dijalanan,

aku ingin merubah nasib dengan mendekatkan diri kepada

Yang Maha Kuasa.

13. Sejak kapan Anda bergabung menjadi santri di Pondok

Pesantren ini?

Jawaban: 2016

14. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk ke Pondok

Pesantren ini?

Jawaban: Tentunya seneng. Sebenarnya udah banyak yang

waktu itu kurang lebih ada kali 30-an santri. Pengalaman

yang waktu ada penyerangan itu hehehe penyerangan FJI itu

paling berkesan banget. itu paling berkesan banget, Karena

apa? Temen-temenku ya akhirnya kan kita nggak berkumpul

satu pihak, rasa-rasa keraguan ada ada Kayaknya waktu itu

lalu kalau aku masalah; untuk pendekatan diri nggak ada ada

tapi kan untuk berkumpul kan takutnya takutnya diserang

gitu. Waktu itu, kurang lebih ya, kayanya satu mingguan itu,

disini msasih adalam keadaan sepi. Lalu akhirnya kita

komunikasi lagi, ya yang penting kita, eee datang dalam arti

ee ngga usah dengan cara keluar-keluar dulu. Ngga, ngga

sampai, karena sebeum kejadian itu, polisis udah berjaga-

jaga. kyai Abdul Muhaimin dan pak Arif yang selalu

mendampingi

15. Kendala apa yang Anda rasakan saat shalat?

Jawaban: Kalau aku pribadi, aku punya komitmen, aku

bekerja, ya bekerja, selagi aku udah mengenal ponpes.

Karena aku juga dulu dilandasai agama ya, tapi kan karena

tau kan masalah anak-anak muda, kalau melakukan ngga

memikirkan ke belakangnya. Setelah aku berjalan, sebisa

mungkin membagi waktunya untuk shalat ya shalat, nanti

ngamen ya ngamen.

Walaupun orang kan kalo udah-udah kan, kaya temenku

males ah nanti bedakan lagi. Rejeki udah ada yang ngatur,

kan kalo udah sholat bedakan lagi. Jalan, pasti Tuhan kasih.

Jadi aku ngga ada kata, ntar sayang, kalao temenku udah

duluan. Rezeki dari Yang Kuasa sehingga aku abis salat

bedakan di jalan pasti, Tuhan kasih jalan jadi enggak ada

kata antar sayang, kalau temen aku udah jalan duluan karena

apa rezeki dari Tuhan akan kembali ke Tuhan juga.

16. Kendala apa yang Anda rasakan saat memasuki Pondok

Pesantren?

Jawaban: Ngga ada

17. Apakah Anda juga mengaji Al-Qur’an/Jilid?

Jawaban: Bisa

18. Bagaimana pendapat Anda tentang kegiatan bimbingan

keagamaan di Pondok Pesantren?

Jawaban: Kalau masalah bimbingan ya itu bagus, tinggal

orangnya cara menerapkannya. Karena apa lagi

Ustadz/ustadzah atau orang yang ngasih bimbingan itu

nggak mungkin untuk menjerumuskan ke hal buruk, tinggal

manusianya melaksanakan itulah.

19. Apa yang Anda rasakan saat dan setelah mengikuti

bimbingan keagamaan di Pesantren ini?

Jawaban: Eee kalau, Ustadz Arif ngasih wejangan bagi Inul

sendiri ibaratnya gini yang masih terngiang-ngiang, yang itu

itu, jangan dibesar-besarkan hidup di dunia dalam arti

berfoya-foya lebih baik memikirkan akhirat nya itu yang

paling Inul berkesan jadi makanya kan Inul walaupun orang

memandang. Harta adalah titipan kan itu itu yang benar-

benar Inul kasih ini karena sewaktu-waktu bisa saja ntar

misalnya aku habis ketemu Mbak Nisa, meninggal. Itu yang

paling aku, aku nggak mikir yang lain-lain. Di situlah yang

paling berkesan yaitu ibaratnya itu titipan ya yang paling

berkesan tadinya makanya aku yaudah harta itu titipan, ya

aku bisa membantu sama orang-orang yang masih dalam

artian menolong dalam hal positif Siapa tahu aku bisa dapat

dapat doa gitu.

20. Kendala apa yang Anda rasakan saat melakukan

bimbingan keagamaan?

Jawaban: Tidak ada, aku sebenarnya juga ada permintaan

sama ibu; seharusnya pondok pesantren ini jangan hanya

hari minggu, tapi di ahri yang lain juga, karena kan

hubungan sama Tuhan tidak hanya hari minggu. Karena

kan, memang kesibukan masing-masing untuk mencari

uang, jadi ketemunya hari minggu, tapi kan kalau setiap

hari; keliatan orang yang mau jelek-jelek sekalian, kalau

mau baik-baik sekalian.

21. Bagaimana pengalaman Anda setelah mempraktikan

shalat di Pesantren ini?

Jawaban: kalau shalat tahajud ya sebenarnya ngga terlalu.

Aku kalau malam, kebangun sampai owh udah jam 2, dan

aku bangun, aku lebih interaksi dengan Allah dengan cara

ngga shalat. Aku bertanya; Ya Allah, kalau aku emang berat

dalam bentuk kaya gini, aku ngga menyesal. Tapi, berilah

aku jalan yang lurus. Apa yang Allah berikan sabda sama

Rasul-rasulnya; berilah aku jalan yang terbaik menuju

surgaMu. Eeem, kalau untuk tajahud malah aku jarang.

22. Apakah pengalaman yang baik, kalau iya boleh

diceritakan?

Jawaban: Aku malah interaksi: Ya Allah, berilah kekuatan

dalam au mneghadapi semua cobaan yang kau berikan, tapi

seolah-olah aku diberi, aku kadang minta, dan alhamdulilah

lewat kejadian-kejadian di mata aku, menamh aku jadi

berpikir. Aku yaa, memang jarang shalat tahajud, kalau aku

bangun sih, menghadap ke barat, dan aku berdoa. Ya

walaupun aku dibilang gila, ya biarin. hehe, bagi aku perlu

shalat tahajud, cuman aku komunikasinya seperti orang gila,

menghadap ke barat, karena kan kalau jam 2-3 kan sepi,

ngga bising. Iya, kendaraan udah sepi, aku lebih, hatiku

lebih tajam.

23. Pernahakan Anda merasakan ketidaknyamanan dengan

menggunakan atribut shalat yang ditentukan?

Jawaban: Kalau aku, Kalau aku ya itu tadi Mbak Nisa

bilang; aku punya prinsip sendiri, aku walaupun aku jiwanya

perempuan casing-nya laki-laki aku menghadap Tuhan

harus bentuk laki-laki karena apa? nggak mungkin ya, apa

Ibaratnya Tuhan menciptakan ini, ini dalam arti kok aneh-

aneh menghadap Tuhan kan Inul pribadinya makanya pakai

sarung.

24. Bagaimana cara mengatasinya?

25. Apa yang Anda rasakan shalat berjamaah pertama kali?

Jawaban: Banyak, kalau aku kan lebih suka hukum agama.

Kalau shalat jamaah kan lebih banyak pahala dari pada

shalat sendiri. Ibaratnya kan kaya eee, kalau aku lebih bagus

sholat berjamaah. Lebih spesial banget, karena apa? 1. Kita

bisa tahu kalau yang bener-bener kesininya sholat atau main.

Disini kan dri rumah kan berarti dia beum punya niat, dalam

arti niat sholat. Disini jamaah ngga mau, apalagi di rumah

sendiri, gitu kalau kata aku

26. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk merasakan

manfaat dari Pesantren Al-Fatah, baik secara spiritual

ataupun mental?

Jawaban: Eeee, kalau aku itu terus terang dan temen-temen

yang dulu; arogan, udah aku kasih alur, ayo kapan kita

mendekatkan. Tapi kan waktu itu, ada yang di jalan. Aku

diminta untuk membentuk satu komunitas, yang ini kan

seorang Abdi Pamungkas itu. Tapi kan aku ikut sama orang

yang bener-bener hidup di jalanan. Dan aku saling kasih

arahan inilah saatnya mendekatkan diri sama yang kuasa

sewaktu-waktu kita mesti mencari. Dimana ada ketenangan,

ya di Agama kan.

27. Apa harapan Anda terhadap Pondok pesantren ini?

Jawaban: Eeem, kalau motivasi aku, dalam pesantren ini;

aku harap pesantren ini lebih maju dari tahun-yahun yang

kemarin, lebih banyak santrinya, lebih maju, dan

membangun pesantren yang lebih religious.

28. Bagaimana pengalaman Anda di lingkungan

masyarakat setelah menjadi waria?

Jawaban: Iya, ya. Selalu dalam artian, ngga ada e pikiran

negatif. Setiap orang mau yang pinter, mau yang, aku punya

prinsip pikiran positif. Ngga ada, Tanya orang-orang yang,

bener-bener setelan waria yang rumahnya dijogja, dan aku

diakui sama temen-temen anak jalanan, becak. Ogh itu Inul.

Dan itu sudah menjadi nilai positif, aman, dan nyaman.

29. Apakah pernah mengalami konflik dengan masyarakat?

Jawaban: Ngga ada, kalau aku pribadi ngga, karena aku

setiap minggu pun pulang. Karena kalau di kos pun; kan ada

kegiatan ya, ya kadang aku ikut, aku nari. Iya, kadang kalau

nari, orang-orang pada bilang;

“Nul, ini anak-anakku, mau belajar nari.” Kalau di kampung

setiap kegiatan itu pasti. Nah, kalau kemarin aku ngga bisa

itu karena aku udah tua. Dan aku juga kadang kalau tiap

awal bulan ada perkumpulan RT/RW di rumah, kalau aku

telat kan aku ngga enak.

Lagian sebulan sekali. Kalau aku ini,kalau aku pribadi,

kalau aku menghadap Allah aku pakai baju pria, tau mereka

kalau aku waria dan mereka menerima. Ibarata mba nisa

sewaktu-waktu mau ngikutin mba Inul; Boleh, banyak

banget sumpah, di bawain makanan. Kadang orang banyak

yang tanya; Inul, kenapa ya orang-orang bawain makanan?

Makanan ini ntar kalau ketemu temenku yang lapar, aku

kasihkan lagi, gitu. Hehehe

30. Kalau iya, boleh diceritakan?

31. Hal apa yang belum pernah didapatkan selama di

Pondok pesantren?

Jawaban: Kebersamaan masih kurang

33. Apakah pernah melakukan ibadah shalat di luar

Pesantren?

Jawaban: Kalau aku sebenarnya nya nya lima waktu dari

dulu. Aku shalat juga tapi dalam arti yang dulu-dulu belum

mengenal Ponpes. Aku punya aturan ya jadi kayak

tayamum, aku kadang di jalan ya udah yang penting aku

mau mendekatkan diri aku harus komunikasi sama Tuhan itu

harus aku begitu.

PEDOMAN WAWANCARA PENGASUH

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Shinta Ratri

Alamat : Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Bantul, 15 Oktober 1962

Hari/tanggal wawancara : Sabtu, 12 Desember 2020

Tempat Wawancara : Ruang Kajian Ponpes Al-Fatah

Pertanyaan

1. Aktivitas apa saja yang dilakukan oleh Ibu saat ini?

Jawaban: Menjaga, mengasuh pondok pesantren waria,

bikin kerajinan rias pengantin

2. Sejak kapan Ibu menjadi Pengasuh Pondok Pesantren

ini?

Jawaban: 2014

3. Apa motif awal mendirikan Pesantren?

Jawaban: Iya, nah disini juga ada rumah aman, ruang yang

disediakan untuk kaum yang menjadi korban kekerasan,

disana juga ada tempat pelayanan bagi korban, layanan

psikologi, kesehatan. Rumah aman itu hanya untuk korban

perskusi, kawan-kawan sekarang dalam keadaan aman

mereka hidup di sekitar jogja ini, mereka bekerja sebagai

pengamen. Tetapi nanti kalau ada korban perskusi,

pengusiran dari tempat kos, korban pemukulan, baru rumah

aman bekerja, kalau hari-hari begini tetap bekerja seperti

biasa, dan kita sedang tidak ada penganan korban

4. Siapa saja tokoh yang mendirikan Pesantren?

Jawaban: KH. Hamrolie, Maryani dan setalah itu menyusul

ada Ustadz Arif, Kyai Muhaimin

5. Bagaimana jalannya Pesantren setelah ibu Maryani?

Jawaban: Jadi begini, pak Muhaimin, itu kan dulu ketua

FPUP, nah FPUP itu organisasi yang pertamakali menjadi

mitra kita. Waktu itu FPUP sama DIAN INTERFREEDAY,

itu LSM yang bergerak di lintas iman. Kemudian disusul

dengan SELVIS itu lembaga kajian Islam dan Sosial. Jadi,

kawan-kawan yang pertama kita itu, sebelum ada NU,

sebelum ada yang lain-lain, akademisi,. Jadi yang saya

masih ingat, makanya saya; nah kami lalu, karena pak

Muhaimin kebetulan juga orang Kotagede, kita dekat, lalu

akhirnya akrab, kita akrab; kalau dia mengadakan acara,

kami pernah diundang ke tempatnya, tu kan ada pendeta,

ada pastor. Nah kemudian, keika tahun seuadah pak

hamroie meninggal itu, kami berjalan tanpa kyai. Kami

berjalan ee sampai awal 2014 itu, yang memimpin Muiz

Ghazali. Kemudian menggantikan pembelajrannya,

konsultasi. Nah kemudian, karena pak Muiz Ghazali pindah

ke Cirebon, lalu bu Maryani meninggal itu, kemudian

pindah kesini. Nah, ketika mau pindah kesini ini lah saya

melamar pak Muhaimin supaya kersa menjadi pembina

kita. Akhirnya beliau mau, dan yang mmrbuka disini bapak

Muhaimin sampai sekarang. Pak Muhaimin hanya datang

kalau hari-hari besar. Kalau ee Idul adha, kemudian Isra

Miraj. Tapi kalau hari-hari yang lain kita juga, kalau

memang diperlukan, kita juga konsultasi. Kalau kita sedang

mengadakan hubungan ke kamus, kita juga mengajak pak

Muhaimin

6. Alasan memilih nama Pesantren?

Jawaban: Al-fatah itu kan karena, yaa Al-fatah itu

pembukan jalan artinya. Tadinya namanya senin-kamis,

karena mencerminkan suatu keadaan yang prihatin,

kemudian memang pada waktu itu kegiatanya pada senin

dan kamis

7. Apa saja kegiatan saat ini dan rencana kegiatan ke

depan?

Jawaban: Nanti ada rangkaiannya, mbak nisa nanti saya

kasih

8. Pondok Pesantren Al-Fatah bekerjasama dengan siapa

saja?

Jawaban: Kalau disini benar-benar kita dukungan dari

akademisi, jaringan koalisi perempuan, LBH, Kepolisian,

AJI (Aliansi Jurmalistik Indonesa), jadi kita mencari

dukungan itu untuk penguatan, selain itu kita dapat

dukungan dari masyarakat sekitar, kalau tidak dukungan

dari masyarakat sekitar kita juga tidak mungkin kita ada,

karena pada dasarnya masyarakat itu sebagai penguat

keberadaan kami. Secara kalau dulu itu kalau mereka dari

jauh ya, datang kesini tapi memang strategi mereka selalu

memakai bahwa masyarakat sekitar tidak menerima, itu

kata-kata yang selalu dipakai.

Ini kerjasama dengan Universitas UKDewi Salatiga Satya

Wacana UKSB Mereka relasi ke sini, terus kita yang

berkomunikasi.

9. Bagaimana respon waria terhadap Pesantren?

Jawaban: Jadi ketika kawan-kawan mengejar ekonomi

untuk membayar utangnya. Jadi ini yang kami pikirkan;

ketika kami bisa mensejahterakan kawan-kawan pas hari

kegiatan disini dengan beribadah, maka dapat mengikuti

dengan baik dapat mencapai kesejahteraan bersama.

Diterima masyarakat, bahkan harapan saya kalau bisa ke

depannya bahkan; kawan-kawan waria bisa shalat dimana

saja

10. Adakah santri yang bercerita ke Ibu tentang

pengalaman selama di Pondok Pesantren?

Jawaban: Owh, ada, hehe biasanya kawan-kawan ini yang

kemudian, apa ya ee kalau dibilang ya, mendapatkan

hidayah lah artinya Tuhan membukakan hatinya, jadi e itu

ada namanya itu mba Oki. Nah mba Oki ini kan pekerja

seks di Malaysia, terus dia pulang ke Batak. Rumahnya kan

di Riau, dia pulang ke Riau, kemudia terus e pada waktu itu

iu kosnya tu bilang; anu, kamu ke Jogjakarta aja, di sana

ada pondok pesantren. Dan akhirnya dia ke Jogja, lalu dan

dia masih melakukan untuk pekerja seks, dan emang sehari-

harinya dia emang dari pelacur. Tapi kemudian dia

bergabung dengan kami; di abaca Al-Qur’annya fasih, dia

sering terpakai kalau ada acar-acara. Dan kemudian pada

waktu itu, kalau kita ini ni begini; tidak pernah menggurui,

dan kita tidak pernah mengacau, kita biarkan mereka

merasakan atmosfer spiritualitas di sini. Nah, nanti kawan-

kawan itu akan bercerita sendiri, jika dia sudah tergerak

hatinya. Seperti mba Oki juga gitu, dia nanya, “dia bisa

apa?” terus akhirnya dia punya ide untuk jualan. Itu kita

dorong, lalu kita pinjamkan modal

11. Apakah harapan Ibu terhadap Pondok Pesantren ini?

Jawaban: Harapan saya kita dapat bermanfaat untuk waria

di Jogja gitu. Eeee apa, spesialnya untuk Santrinya dulu

bisa mengambil manfaat, dengan hadirnya disini, santri itu

benar-benar mendapatkan manfaat; dari peningkatan

keimanannya, kesegaran jiwanya, kesegaran fisiknya, ya,

karena kami melihat kondisi, apa ya namanya, keuangan.

Jadi kesejahteraan ekonomi itu berbanding lurus dengan

peribadatan

12. Apakah warga terlibat dalam kegiatan tertentu?

Jawaban: Melibatkan warga, ada sekolah sore. Sekolah sore

itu sebulan sekali, kita belajar yang diluar Agama. Jadi

seperti; belajar memasak, belajar kreasi hijab, lah nanti Ibu-

ibu belajar kesini.

13. Bagaimana pandangan warga terhadap Pesantren?

Jawaban: Ya masyarakat sudah tidak lagi takut untuk

bersebelahan. Dan harapan yang paling tinggi ya; jadi waria

tidak memiliki tempat khusus untuk belajar dimana saja,

tapi kalau kita bareng-bareng, pas ziarah, piknik, ya kalau

ada masjid, kita mempir untuk shalat bersama.

14. Bagaimana komunikasi santri dengan masyarakat?

Jawaban: Ya, kalau komunikasi santri dengan masyarakat

itu kan komunikasi, kalau disini kan kita terbuka dengan

masyarakat kita, artinya ketika kawan-kawan ini melakukan

kegiatan kan juga mengundang masyarakat sekitar, itu satu.

Yang kedua, kaya komunikasi yang setiap hari, ya misalnya

beli di warung sekitar sini, tu juga salah satu bentuk

komunikasi kan? Karena biasanya ada pertanyaan, “ada

acara apa” gitu hari itu. Kan santri menerangkan, ini lagi

ada ini-ini, komunikasi yang lain itu misalnya apa ya;

kumpul-kumpul seperti ini.

15. Apakah pernah mengalami konflik dengan

masyarakat?

Jawaban: Iya, yang 2016 itu sama FJI. Selebihnya ngga

ada. Ya, tahun kemarin kita cuman mengenang “bagaimana

ko masih ada kelompok masyarakat yang benar-benar tega

untuk melakukan itu menutup tempat ini, karena mereka

bilang Tuhan hanya menciptakan laki-laki dan perempuan,

seolah-olah mereka menyempitkan kekuasan Tuhan, Tuhan

hanya menciptakan laki-laki dan perempuan.” Waria itu

tidak ada, kalau mau ibadah harus betul-betul menjadi laki-

laki ngga boleh ada seperti ini. Tetapi kami manusia punya

hak untuk beribadah, kami melawan pelanggaran HAM,

dan kami memang sempat tutup selama 4 bulan kemudian

kami membuat mencari penguatan ke RATU HAMAS,

LBH, KOMNAS HAM, kita benar-benar mencari

dukungan untuk meraih hak kita, hak untuk beribadah. Dari

kawan-kawan waria ini, akhirnya kita memberanikan diri

untuk berkegiatan lagi sesudah 4 bulan itu, karena kita

mendesak bulan puasa. Bulan puasa kita kebiasaan sholat

terawih bersama, buka bersama, saur bersama, selama

teraweh itu kita ikuti dengan apa yang kita lakukan dengan

ibadah sholat hajat, duha, tahajud. Tapi kita ngga setiap

hari, Kalo bulan puasa itu hari minggu dan hari rabu, kalo

hari biasa kita hari minggu saja.

16. Dukungan apa saja yang diberikan oleh masyarakat?

Jawaban: Sebetulnya kalau dukungan tidak sih, artinya;

kalau dukungan secara moril iya, kalau materil tidak ada.

Justru ini yang harus kita terima, artinya kita kan ngga bisa,

apa ya, ngga bisa berdiri sendiri tanpa dukungan yang moril

itu tadi. Salah satu contoh begini, ketika di Indonesia ya,

kita melakukan kegiatan, ketika tetangga ini, lalu lapor

polisi; “Oh ini mengganggu kami, ini” kita sudah bisa

dibuabarkan. Ya kan, otomatis. Jadi ini merupakan salah

satu bentuk hubungan; bagaimana masyarakat sekitar sini

ee apa ya, memberikan ruang untuk kami berkegiatan,

berorganisasi.

17. Adakah masyarakat yang tidak menyetujui Pesantren

ini?

18. Adakah saran baik dari masyarakat untuk Pesantren

ini?

Jawaban: Sebenarnya kalau dapat dikatakan lebih sempit,

bagaimana saya berhubungan dengan masyarakat, yang tadi

tu komunikasi ya. Tapi kemudian, saya menjadi seoalah-

olah menafsirkan teman-teman yang ada disini, yang

berkegiatan disini, ketika nanti kawan-kawan itu melakukan

hal yang buruk atau apa, pastikan mereka nanti

mempertanyaka kepada saya. Jadi saya yang diminta

pertanggung jawaban. Maka saya selalu mengatakan

kepada kawan-kawa itu; menjaga nama baik, menjaga nama

baik pondok pesantren, itu kan ada di janji ketika menjadi

santri, apa itu namanya?

19. Adakah kontribusi yang diberikan Pondok Pesantren

terhadap masyarakat sekitar?

Jawaban: Bahkan kalau itu tadi, jadi kita bagaimana kita

kemudian duduk di tengah masyarakat sini. Menjadikan

supaya kiya punya manfaat untuk masyarakat. Jadi itu,

sebagai penguatan keberadaan kita disini. Contohnya ya,

kita bikin dapur umum disini, kita berikan sembako sebulan

sekali selama covid ini, misalnya kaya gitu sebagai contoh-

contoh yangterjadi sampai sekarang masih kita lakukan,

terus kita bikin klinik gratis. Klinik untuk masyarakat

sekitar Disini, itu setahun dua kali, itu dan salah satunya

seperti itu, kemudian ee kami punya manfaat untuk orang-

orang di sekitar.

Owh ya, ya itu pas klinik gratis, itu kan ngga cuman orang-

orang sini aja, misalkan orang yang beda RW, ya lain

daerah juga mengakses kesini, ya kaya gitulah, kita punya

manfaat buat orang banyak

PEDOMAN WAWANCARA PEMBIMBING

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Arif Nuh Safri

Alamat : Sayegan, Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Paran Padang, 19 Agustus 1983

Hari/tanggal wawancara : Kamis, 10 Desember 2020

Tempat Wawancara : LSM Kebaya

Pertanyaan

1. Aktivitas apa saja yang dilakukan selain menjadi

Ustadz di Pondok Pesantren?

Jawaban: Dosen Hadis dan Pemikiran Hadis di Institut

Ilmu Al-Qur’an An-Nur, Yogyakarta, Pengajar Pondok

Pesantren Ibn Sina

2. Sejak kapan Anda menjadi Ustadz di Pesantren?

Jawaban: 2010

3. Alasan apa yang membuat Ustadz tergerak untuk

membantu Pesantren ini?

Jawaban: Kan kalau, apa ya namanya, ya biarin lah,

maksud saya: yang ceramah di masjid ya silahkan, yang

ceramah di tv-tv ya silahkan, gimana lumrahnya orang

ceramah di masjid ya seperti itu, Sebenernya ya lumrah

juga, ngga ada yang perlu di wah kan, ngga ada yang

perlu disitimewakan, kan emang masing-masing, kita yo

bergerak di bidang masing-masing; kamu ngga usah

pernah menyalahkan saya maka saya ngga akan

menyalahkan apa yang kamu lakukan, ya gitu aja si

sebenarnya: jadi kalau Tanya perasaan ya, saya ngga tahu,

karena lumrah-lumrah aja.

4. Bagaimana proses bimbingan dan Metode apa yang

Ustadz gunakan selama bimbingan?

Jawaban: Kalau dulu kan, mungkin yah, mungkin saya

mikir; teman-teman ini butuh motivasi dulu. Sehingga

saya tanpa buku, pada saat itukan, sehingga apa yang saya

bahas; bisa sambil ngobrol, nah tapi “kok kayakya temen-

temen butuh ini, nah bulughul marom kan memnag bicara

tentang fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak

tentang fiqih; mulai dari Thoharoh, cara wudhu, cara

bersuci, nah itu.

Sebenarnya kan ngga ada perubahan sebenarnya, cuma

memang dulu lebih ke saya. Artinya kan emang dulu kan,

yang ndampingi teman-teman kan saya kan, ee sehingga

persis apa yang dilakukan dulu, dari apa tu namanya;dari

ashar sampai magrib kan belajar ngaji, dulu waktu di

kotagede juga saya masih di kelas kuliah, dan waktu dulu

masih ada mas Pepeng dia lumayan aktif dia,

mendampingi dari Ashar sampai Magrib.

Saya sebenernya fokusnya dari magrib sampai Isa; nah itu

yang kajian-kajian itu. Dulu kita sempat, apa dulu kitab

bulughul marom, kemudian barusan, bukan barusan si,

udah agak lama juga sih, Bidayatul Hidayah kan, itu

yang saya mampu bimbing. Pandemi juga sama, cuman

sebelum pandemi ini ya, kemudian bu Masturiyah kan ee

membuat jaringan, kerja sama dengan fatayat, nah itu lo,

ee yang rutin, rutin dalam artian ada jadawalnya. Jadi

yang mereka isi ya terserah mereka. Bisa tentang

perempuan, bisa tentang apa aja seperti itu. Hampir mirip,

ngga ada perubahan sama sekali, cuman orangnya aja

yang berbeda

5. Materi apa yang digunakan untuk membimbing?

Jawaban: Bulughul Marom kan memang bicara tentang

fiqih ya, hadis-hadis yang kajiannya banyak tentang fiqih;

mulai dari thoharoh, cara wudhu, cara bersuci, nah itu,

jadi kehidupan mereka.

Dalam arti gini, yang mereka butuhkan dalam kehidupan

mereka, karena: kehidupan mereka bicara tentang

thoharoh ya luar biasa, melihat bagaimana cara mandi,

cara wudhu, itu sebenarnya lebih ke itu.

Kalau alasan kenapa itu menggunakan bulughul marom

pada saat itu, dan itu dipilih-pilih ya, ngga semua kita

bahas.

Bidayatul Hidayah, dia bahas bicara trntang fiqih, tapi

kemudian dia bicara tentang spiritualitas kan seperti itu,

kenapa kita harus bersuci, eee ketika kita setelah wudhu,

kemudian mau bernagkat ke masjid, apa yang harus kita

lakukan. Jadi ada ritual-ritual yang sifatnya spiritualitas.

6. Biasanya mengacu pada kitab apa, untuk dijadikan

pegangan dalam membimbing?

Jawaban: Buluhul Marom dan Bidayatul Hidayah

7. Bagaimana tanggapan Ustadz tentang fiqih waria?

Jawaban: Ya, fiqih-kan luas sebenarnya, dan belum lagi

bicara soal fiqih. Fiqih itu kan artinya; makanya yang

dimaksud fiqih yang seperti apa? Fiqih secara hukum?

Hukum waria itu luas.

Hukum waria persis berlakunya dengan saya, saya dengan

mbak nisa juga bisa. Artinya kalau kriminal ya salah,

kalau bukan kriminal ya ngga salah kan seperti itu. Kedua,

harus ditulis dulu apa yang mau dibahas.

Yang mau dibahas tentang warianya ini apanya dulu? Oke

cara shalat ya tadi, sebelum yang itu, akan kita bahas

eksistensinya dulu. Benar ngga waria ada dalam Alquran,

dalam hadis misalnya, ya emang ga ada kan. Kalau kita

bicara, mana buktinya bahwa ada waria dalam Alqur’an,

ya ngga ada. Ngga ada emang. Sama aja, HP dalam Al-

Qur’an juga ngga ada. Seperti itu.

Tapi ada ngga, yang mengarah kesitu? Saya pikir ada,

disini salah satunya yang saya tulis. Ada beberapa teori-

teori yang saya tawarkan tentang teori queer, maka

kemudian saya bilang; bahwa salah satu yang paling

dijadikan ayat untuk melegitimasi eksistensinya teman-

teman waria An-nur ayat 31 itu kan.

Bahwa ada pengakuan dari Allah, ada legislasi secara

seks. Laki-laki memiliki penis dan perangkat-perangkat

lainnya, tapi mereka ngga punya hasrat rasa seksual

terhadap perempuan. Kalau kita baca di tafsir-tafsir, maka

mereka akan mengatakan “mukhannatsan” Maka saya

masukan ke kategori mukhannats, mukhannats itu adalah

stigma laki-laki, tapi ekspresinya perempuan. Sayangnya

ketika itu kemudian diterjemahkan, “ada Al-Qur’an

terjemah ngga disini? Ngga ada ya”. Yang ada disitu

adalah orang jompo. Ya orang tua, siapa yang bilang

bahwa orang tua ngga punya rasa seksual terhadap

perempuan?

Ya selama dia punya orientasi seks hetero, mau dia umur

60,70,80 tetap punya hasrat terhadap perempuan.

Buktinya apa? Banyak pedofil orang-orang tua, banyak

pemerkosa yang orang-orang tua. Jadi ngga bisa, kalau

kemudian kita artikan bahwa yang ee apa itu, laki-laki

yang tidak punya rasa seksual adalah orang jompo.

Nah, kalau kita mau jujur, maka bener; temen-temen trans

adalah masuk dalam kategori ini. E itu dalam tafsir, kita

temukan tafsir per tafsir, tapi saya ngga tahu, ketika bicara

lagi, orang merasa, ya ngga ada waria dalam Al-Qur’an.

Emang ngga ad adalam Al-Qur’an. Tapi, yang mengarah

kesitu, ada. Kemudian dalam hadist juga ada kan?

Dalam Hadis juga ada. Nah kalau kemudian ada

permasalahan dalam fiqih, Fiqih tadi itu ya mba, yang

hokum-hukum. Ya memang iya, belum tuntas. Dari dulu,

yang namanya fiqih ngga ada yang tuntas. Kalau yang

namanya fiqih tuntas, maka ngga ada fiqih-fiqih yang

sekarang ini. Semua permsalahan ngga mungkin kita rujuk

pada fiqih-fiqih yang sekarang. Kalau kita bicara 4

madzhab lho (Hanafi, Syafii, Maliki, dan Hambali). Jadi

ee, termasuk masalah mukhannast juga ngga dibahas.

Kemudian, yang dibahas adlah al-khuntsa, sayangnya

ketika kita bicara al-khuntsa maka seolah-olah kita bicara

al-mukhanntas kan berbeda.

Khuntsa kan bicara tentang seks. Jadi khuntsa itu adalah

punya kelamin dan dandan, tapi ada yang, Yang relative

menonjol itu Cuma satu, yang satunya ngga dipakai,

walaupun dia punya dua-duanya, itu namanya huntsa.

Atau khuntsa musyqil; Yang sama-sama tidak punya.

Ngga ada seks laki-lakinya, ngga ada seks perempuannya.

Nah itu yo gampang, medis selesai itu.

Ngga usah kita bicara tentang fiqih, medis selesai bicara

itu. Bahwa kalau dia memang punya yaudah. Mana yang

lebih. Iya, beda, jadi atau ngga punya, yaudah bikinkan

aja selesai. Maka itulah yang tuntas dari jaman dahulu.

Tapi, bicara tentang mukhanntas, kemudian muncul

beberapa penelitian mendapat kendala. Kenapa saya

bilang kendala untuk mendeteksi mereka. Maka ada

psikiater, psikolog, ada sosial. Jadi, sekarang ada istilah

SOGISC, kan itu. Maka di dalam buku saya bilang; salah

satu yang menguatkan saya, karena ngga da sains yang

mmbuktikan bahwa; transpuan, kemudia guy, lesbian itu

bukan penyakit.

Suatu saat kalau ada yang mengatakan itu penyakit, saya

akan rubah, dengan kata-kata saya itu, dengan

kesimpulannya itu. Tapi selama itu tidak berubah, maka

saya akan menulis dalam kesimpulan itu. Iya, kenapa saya

ngomong seperti itu, karena saya tidak punya kapasitas;

untuk mengatakan bahwa itu pura-pura. Yang punya

kapasitas mengatakan mereka pura-pura adalah psikolog,

psikiater, atau mau berbicara tentang gen, kromosom,

brati ya dokter, kank seperti itu.

Jadi, ustadz kalau mau ngomong seperti itu ya dzolim

namanya. Ngga punya kapasitas tentang itu. Itu mungkin

mba. Artinya masih sangat panjang. Shalatnya gimana

shalatnya? Ya yang penting menutup aurat, selesai gitu.

Laki-laki mau dia pake jubbah, pake mukena, ka yang

penting menutup aurat, iya selesai. Tanpa busana juga

boleh kok, kalo kita sendirian di tempat yang gelap.

Misalnya; mungkin ngga punya baju ya, semuanya tutup

semua, tanpa baju bisa shalat. Konsep aurat muncul itu,

karena ada orang yang lihat

8. Apakah perilaku santri diperhatikan?

Jawaban: Saya bukan hakim, saya bukan malaikat, jadi

tugas saya adalah mnenyampaikan apa yang saya ngga

benar, apa yang saya ngga baik, mereka terima

Alhamdulillah. Sepuluh orang yang saya ajari dan satu

orang yang menerima itu aja udah alhamdulilah.

Nabi Nuh itu berapa ratus tahun ya, kalau ngga salah 400

orang, dan setahun hanya dapat 1 oang yang bisa dia

rangkul. Jadi kalau kita bicara dakwah kemudian masih

berharap orang bisa berubah sesuai apa yang saya

dakwahkan, udahlah ngga usah jadi pendakawah, ngga

usah bicara tentang dakwah.

Jadi kembalikan yang itu. Saya perhatikan mereka, dan

saya juga ngga akan pernah memperhatikan perilaku

mereka. Bahwa mereka hadir ketika saya mengajar, jauh

lebih menyenangkan saya. Itu lebih dari cukup bagi saya.

Apakah ada yang tidak berkenan, saya ngga peduli.

Jadi ee apakah mereka setelah itu pergi, saya ngga peduli.

Karena bagi saya, kecuali anak saya yang masih kecil.

Kalau juga anak saya udah dewasa, ngga bakalan saya

paksakan juga. Prinsip saya adalah, bahwa apa yang

bernama agama itu adalah keselamatan. Selama kamu

beragama itu karena pemaksaan, ngga ada nikmatnya

Beragama itu.

9. Bagaimana perasaan Ustadz selama melakukan

bimbingan keagamaan?

Jawaban: Saya ngga ada, saya selalu bilang; apa yang

harus di wahkan, kan sebenarnya itu lumrah ya, saya pikir

apa yang dilakukan, yang saya lakukanlah, kalau saya

mengejar pribadi.

Ya lumrah aja sebenarnya, ngga ada yang istimewa, yak

an emang itu lah Agama, emang harus hadir disitu kan.

Ngga ada yang, Cuma orang aja yang kadang “Ko kuat?’,

loh karena saya tinggalnya di Jogja, apa yang harus saya

bebankan, kan seperti itu.

Kecuali saya dari Solo, dan saya mengajar, kan baru kan

seperti itu. Wong kita tinggal di Jogja kok. 10 tahun,

yabumrah lah menurut saya.

PEDOMAN WAWANCARA PEMBINA

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : KH. Abdul Muhaimin

Alamat : Ponpes Nurul Ummahat

Tempat, tanggal lahir : Kotagede, 13 Maret 1953

Hari/tanggal wawancara : Rabu, 09 Desember 2020

Tempat Wawancara : Ponpes Nurul Ummahat

Pertanyaan

1. Aktivitas apa saja yang dilakukan oleh Abah Kyai

sebelum memutuskan menjadi pembina Pesanten ini?

Jawaban: Masih sama pengasuh pondok pesantren Nurul

Ummahat

2. Boleh ceritakan alasan Abah Kyai mau membina

Pondok Pesantren ini?

Jawaban: Daerah sini dulu menjadi pusat pertempuran, di

sebelah pondok itu, di tembok. Menjadi keluarga yang

berbeda sendiri, aliran sunni, pastinya menjadikan saya

harus bersikap baik terhadap masyarakat.

Sejarah saya di masa lalu dan masa sekarang, sangat

banyak. He he he, Gus Dur sempat beberapakali datang

kesini. Orang syiah, orang atheis, orang katolik, Kristen,

cina, dll sering kesini.

Karena saya terbuka dan saya tidak memandang siapapun

dengan yang dia miliki. Namun, kalau dari sisi

kemanusiaan, mereka yang kita anggap berbeda, mereka

masih bani adam. Menurut kamu, mereka bani adam

bukan? Nah, itu. Jadi, saya melihat waria, sudah waria dan

mau shalat, itu kan sudah termasuk nilai positif. Lhoh,

jangan-jangan derajat nilai shalatnya, malah lebih tinggi

dari pada kita.

Mereka secara sosiologis sudah diremehkan, tapi mereka

masih mau mencari Tuhannya. Itu luar biasa lo.

Masyarakat sudah mengerti adanya ponpes itu, dan

masyarakat tidak merasakan risih juga. Ya, masyarakat

Cuma bilang; “kalau sudah sama kyai, saya percaya”.

Justru, yang membuat kerusuhan adalah orang luar, bukan

orang kotagede sendiri.

3. Apakah Pesanten tersebut berpengaruh pada diri

santri waria, mengubah menjadi lebih baik; dari sifat,

ibadah Adakah kitab–kitab khusus untuk melakukan

bimbingan keagamaan?

Jawaban: Jadi gini, teologi seseorang itu kita tidak tahu

ya, bagaimana mereka berinteraksi dengan Tuhan.

Contoh saja: ada perempuan yang salat pakai mukena

bagus, apakah salatnya akan lebih bagus nilainya di mata

Tuhan, kan belum tentu. Jangan-jangan yang pake

mukena ngga bagus, itu jauh lebih khusyu. Nah, untuk

kitab-kitab atau apa, kita tidak mengkhususkan, artinya:

dimana dia mau baca iqra, ngaji Al-Qur’an, dia mau

shalat.Itu sudah termasuk perubahan yang luar biasa.

Kemarin mereka ziarah, pada pakai gamis, ya ngga apa-

apa.

PEDOMAN WAWANCARA SIGNIFICANT

OTHER INUL

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Rini

Alamat : Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 27 Oktober 1969

Hari/tanggal wawancara : Sabtu, 26 Desember 2020

Tempat Wawancara : Lataran Ponpes Al-Fatah

Pertanyaan

1. Aktivitas Anda apa saja yang dilakukan Anda?

Jawaban: Ngamen mba

2. Sejak kapan Anda masuk ke Pondok pesantren?

Jawaban: Sejak 2007-an, pokoknya masih sama ibu

Maryani, terus almarhum. Jadi pindah kesini.

3. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk Pesantren

dan Pesan untuk Pondok Pesantren?

Jawaban: Ya supaya nanti maju lancar, rejekinya lancar,

harapan saya ya gitu, aku suka dadine hehehe

4. Apakah Anda mengenal mba Inul?

Jawaban: Iya, orangnya baik, “tur” ya orangnya sopan.

Ya, jadi temen-temen waria itu seneng sama mba Inul.

Kadang saya suka kan ngamen bareng, kadang-kadang

saya sendiri, dan mba inul itu orangnya baik. Suka apa,

eee nasihatin kita-kita; Rini, ini yang baik, nah yang ngga

baik jangan diikutin, yang bagus gitu, nah yang jelek

jangan diikutin.

5. Sejak kapan Anda dekat dengan mba Inul?

Jawaban: Terus deket sama Mba Inul tadi sejak tahun

2007. Ya, ketemu di jalan terus ketemu, “ada waria tu,

namanya siapa” kataku. Ternyata namanya Inul, karena

dia kan udah lama di Lempuyangan, ngamen di kereta-

kereta itu. Karena kan saya masih jualan Koran-koran

bekas 500-an, kopi-kopi gitu, di kereta kan banyak lah,

masih bebas dulu di stasiun itu. Masih ada asongan-

asongan jualan apa aja bisa masuk. Tiket kereta masih

8.000 atau 9.000.

6. Bagaimana mba Inul di kacamata Anda?

Jawaban: Owh sisi baiknya mba Inul. Kadang seneng

bercanda, sehingga membuat hatiku seneng, seneng

banget. Kalau saya, ya bantu, misalnya; aku sakit ya

dateng, Iya, peduli sama aku. Dari dulu tu, belum ada

temen yang dateng, sewaktu aku sakit. Itu belum pernah.

Ya cuman mba Inul aja yang dateng, pokoknya mba Inul

nomer satu. Waktu aku sakit ya mba Inul yang dateng.

7. Hal negatif apa yang terjadi pada mba Inul?

Jawaban: Kadang-kadang aku marah gitu sama Inul,

karena aku yang salah. Semua suka semua, saling ngerti

aja. Misalnya dia ngompor-ngommporin apa ya, “wis ben,

koe tak tinggal” heheh. He he he ya paling gitu aja.

8. Bagaimana cara mba Inul beribadah?

Jawaban: Mba inul orangnya biasa aja, ngga banyak

macam-macam. Ibadahnya bagus, fisiknya juga bagus, ya

paling dia cuma sakit batuk, pilek wis. Udah selesai

istirahat. Kadang-kadang pas saya habis ngamen, dan saya

capek. Saya ditanyain, ora “makan” ya saya jawab ngga

wis, capek sikile.

9. Bagaimana hubungan mba Inul dengan lingkungan

sekitar?

Jawaban: Semua temen ya baik, jadi ya saling

menghargai, menghormati, gitu aja. Jadi kan kita tahu

mana yang baik dan yang buruk. Sama temen kan ada

yang beda-beda gitu lo.

10. Perubahan apa yang Anda rasakan terhadap mba Inul

dari pertama bertemu sampai sekarang?

Jawaban: Kalau mba Inul, pesannya ya aku cuman gitu

aja; kita guyub rukun, sama-sama toleransinya ada, saling

mengerti.

PEDOMAN WAWANCARA SIGNIFICANT

OTHER RERE

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Nur Ayu

Alamat : Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 19 Desember 1969

Hari/tanggal wawancara : Sabtu, 26 Desember 2020

Tempat Wawancara : Lataran Ponpes Al-Fatah

Pertanyaan

1. Aktivitas apa saja yang dilakukan Anda?

Jawaban: Memasak

2. Sejak kapan Anda masuk ke Pondok pesantren?

Jawaban: Dari dulu 2006-an

3. Bagaimana perasaan Anda setelah masuk Pesantren?

Jawaban: Senang, dulu belum pondok pesantren, masih

jadi sanggar tari

4. Apakah Anda mengenal mba Rere?

Jawaban: Iya tahun 2009, iya

5. Sejak kapan Anda dekat dengan mba Rere?

Jawaban: Ngga, kita ketemu waktu itu kita ada pelatihan

wirausahaan, dan waktu itu sama Rere. Disitu kita

dikumpulkan bersama beberapa waria yang tidak kita

kenal. Kebetulan belum ada pondok pesantren ini, dan

disini juga belum jadi pondok santri. sebenarnya ada

juga waria yang ngga kita kenal. Kebetulan ada

perkumpulan waria yang ikut. Dan itu juga beluk tentu

mondok santri. Disini untuk sanggar seni waria

6. Bagaimana mba Rere di kacamata Anda?

Jawaban: Iya, hehe dia itu ringan tangan, dia tu kalau

disuruh apa-apa pasti berangkat. Meskipun kadang ada

feenya ya hehehe. Dia kalau ngga dikasih pun ngga

masalah. Yang satu kebaikan Rere yaitu; ee ringan

tangan, terus dia orangnya tidak pelit. Iya, dia kalo

punya ya Iya ngasih aja.

7. Hal negatif apa yang terjadi pada mba Rere?

Jawaban: Sedikit jail, tapi baik juga

8. Bagaimana cara mba Rere beribadah?

Jawaban: Dia datang kesini (pondok pesantren) sendiri.

Iya, mungkin karena waktu itu ada pelatihan, dan dia itu

ke Bali, dan di Bali itu ada masalah, terus akhirnya dia

kesini. Dan mungkin menurut dia disini tempat paling

nyaman, dan aman, nah akhirnya dia kesini masuk ke

pondok pesantren. Ya, ya itu kalau untuk pas ada

pengajian disini, ikut belajar ngaji, yang aku tahu Rere

selama ini.

9. Bagaimana hubungan mba Rere dengan lingkungan

sekitar?

Jawaban: Rere, iya dia mulai dulu, yang awalnya ngga

pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan diri,

dia tidak mau bergaul dengan temen-temen disini. Nah,

sekarang kan sering kumpul-kumpul, ikut kegiatan yang

apa ya, berbasis kewariaan, yang awalnya dulu, dia itu

tidak berdandan kan Positifnya dia sudah berani

mengakui sebagai waria dengan takdir dia. Yang

awalnya dia ngga berani dandan, dan dia beran terbuka

dengan keluarganya, pada masyarakat, ee seorang waria

10. Perubahan apa yang Anda rasakan terhadap mba

Rere dari pertama bertemu sampai sekarang?

Jawaban: sama Rere, iya dia mulai dulu, yang awalnya

ngga pernah kumpul-kumpul, dia selalu mengasingkan

diri, dia tidak mau bergaul dengan temen-temen disini.

Nah, sekarang kan sering kumpul-kumpul, ikut kegiatan

yang apa ya, berbasis kewariaan, yang awalnya dulu, dia

itu tidak berdandan kan

PEDOMAN WAWANCARA WARGA

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Munarto

Alamat : Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 13 November 1960

Hari/tanggal wawancara : Minggu, 27 Desember 2020

Tempat Wawancara : Rumah bapak Munarto

Pertanyaan

1. Bagaimana pendapat bapak terhadap Pesantren?

Jawaban: Iya jadi kan gini, itu pondok pesantren waria,

juga bertempat di sini, dan kami itu mempertanyakan

apakah ada ijinnya dari pemerintah loh ya. Kan pondok

kan, setiap ada kegiatan ada apa, kan ada ijinnya

biasanya. Mendirikan pondok atau mendirikan apalah,

sebenernya ada ijinnya dari pemerintah no berapa, ini

kan disini ngga ada.

Owh ada Akta, Nah itu kan akta pendirian dari

pemerintah apa tidak, nah itu yang jadi pertanyaan gitu

loh. Kalau apa, mendirikan mungkin, kita mendirikan

banyak, apakan pondok itu ada. Karena selama ini kan,

ee saya sebagai RT diisnikan tidak ada ijinnya gitu loh,

yang jadi masalah gitu loh, apa karena pemerintah

membiarkan itu, ee , apa ya, karena itu masalah sensitive

lah. Kalau ini tapi saya ngga tahu ya, mungkin ini satu-

satunya. Selama ini ka ngga ada ijin, apakah itu resmi

atau tidak. Perkumpulan aja, dann selama ini kan tidak

ada ijinnya ke pemerintah. Perkumpulan udah,

berkembang sendiri

2. Apakah Bapak mendukung adanya Pesantren ini?

Jawaban: Eeee sebetulnya kalau ee apa, tidak setuju, ya

tidak setuju

3. Jika tidak, apa alasannya?

sJawaban: Eeee sebetulnya kalau ee apa, tidak setuju, ya

tidak setuju. Tetapi tidak kesetujuan ini, juga kami tidak

berani bilang; ‘oh tidak setuju ini’, bubarkan. Ya Ngga

bisa seperti itu

4. Bagaimana menurut Bapak kegiatan di Pesantren?

Jawaban: Nah pada waktu jamaah, itu katakanlah

warianya, letaknya di laki-laki atau perempuan. : Nah,

itu yang menjadi masalah. Seharusnya kan, ya sudah,

opo shalat kan cerminan, cerminan dari tindakan gitu

loh, ya kami mungkin kehidupannya ngga tau ya

5. Apakah Pesantren ini menganggu kenyamanan

masyarakat sekitar?

Jawaban:

6. Adakah kontribusi baik yang diberikan oleh

Pesantren untuk masyarakat sekitar?

Jawaban: Kalau setahu saya, ngga pernah ada ijin setiap

kegiatan itu ngga ada. Waktu apa bakti sosial ke orang

lain saya ngga tahu apa ke tukang becak dan orang yang

ngga mampu, tapi itu tidak ada ijin sama sekali gitu

7. Dukungan apa saja yang diberikan oleh masyakarat?

Jawaban:

8. Apakah Pondok Pesantren ini pernah mengadakan

kegiatan bersama warga?

Jawaban: Ada

9. Bagaimana komunikasi santri waria dengan

masyarakat?

Jawaban:

10. Apakah pernah mengalami konflik dengan

Pesantren?

Jaawaban: Ngga ada, Iya, asal tidak mengganggu lah,

sementara ini tidak ada konfliklah,

11. Bagaimana penyelesaiannya?

Jawaban:

12. Menurut Bapak seberapa penting Pondok Pesantren

ini?

Jawaban: Kalau saya kemarin cuman, ya kalau kelurahan

kan punya akses ke departemen sosial, nah maksud saya

itu pak lurah kan bisa memberikan apa, masukan, mbok

itu ditempatkan khusus gitu

13. Harapan untuk Pondok Pesantren ini?

Jawaban: Kalau berubah itu mungkin tidak terjadi ya,

tapi kalau masyarakat itu jadi, tempatnya jangan disitu

gitu. Nah, jadikan, mungkin kalau ini ya, apa, khusus

lansia-lansia, kemudian, nah seumpama gitu lo, kan

seumpama ada pengajian ya disitu, ada.. ya mungkin

kalau pemerintah memberikan dana untuk apa ya,

semcam; owh ini kursus kecantikan, maksud saya, nah

jangan di dalam kampung gini lo. Kalau itu emang ya,

kami seneng, kami kan doanya seperti itu kan, ngga ke

arah, apa yang seksual lah, karena nanti, nah tinggalnya

kan masih pada disitu ya, Kalau ngajinya saya ngga

masalah, wong itu ibadah kok masa dilarang.

PEDOMAN WAWANCARA WARGA

Penerimaan Diri Kelompok Transgender Melalui Bimbingan

Keagamaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Fatah

Yogyakarta)

Nama : Tumirah

Alamat : Yogyakarta

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 27 Desember 1971

Hari/tanggal wawancara : Rabu, 06 Januari 2021

Tempat Wawancara : Warung Soto ibu Tumirah

Pertanyaan

1. Bagaimana pendapat Ibu terhadap Pesantren?

Jawaban: Saya lihat ya biasa-biasa aja mba, ngga ada

yang aneh

2. Apakah Ibu mendukung adanya Pesantren ini?

Jawaban:

3. Jika tidak, apa alasannya?

Jawaban:

4. Bagaimana menurut Ibu kegiatan di Pesantren?

Jawaban:

5. Apakah Pesantren ini menganggu kenyamanan

masyarakat sekitar?

Jawaban: Baik, semuanya itu kalau sama lingkungan

sama apa ya baik

6. Adakah kontribusi baik yang diberikan oleh

Pesantren untuk masyarakat sekitar?

Jawaban: Iya, ngga apa-apa. Kita kan tetangga kan

saling berbagi, kalau ngga ada yang mengganggu ya

ngga. Kalau keluar masuk leat sini ya ngga apa-apa.

Karena kan kegiatannya juga bagus, ada yang mau buka

salon, tata rias pengantin, kreativitas lain, ini mau buka

lagi, sebelah sini. Terus ada yang bordrr, “kalau mau

bordirin ke saya aja.” Namanya siapa ya, cantik banget

kalo cewek noh. Ada yang ini, membuat kreativitas opo

keterampilan. Dan setiap orang itu punya keterampilan

masing-masing. Iya, misalnya dia bikin ini, nanti dijual

gitu, saya lihat kok. Iya, bagus kok mereka. Nek Ibu-ibu

tetangga ngga ada yang ni sih, karena dulu tahun 2016.

Nah namanya mba Inuk itu dulu suka ngerias penganten.

Ya yang ngerias namanya mba Tinuk. Wong ponakan

saya yang ngerias juga dulu dia. Dia tu apa, yo terserah

mau ngasih berapa, pokoknya dia ngga harus sekian,

niku. Mau ngasih uang rokok berapa terserah, padahal

yang di rias banyak. Saudara-saudara juga sampe di rias.

Kaya contoh yang lain pasang 1,5 jjta, dia mau dikasih

700 ribu, apik nggone rias, tapi dee yo kursus

7. Dukungan apa saja yang diberikan oleh masyarakat?

Jawaban: Dengan menerimanya baik mba

8. Apakah Pondok Pesantren ini pernah mengadakan

kegiatan bersama warga?

Jawaban: Pernah, pengajian, tapi yang dateng bukan

orang sini. Pokoknya ngga tau dari mana, tapi penuh. Li

saya juga pernah dateng. Ya waktu pengajian aja pada

bingung, kok banyak yang dating

9. Bagaimana komunikasi santri waria dengan

masyarakat?

Jawaban: Kalau sama lingkungan sini yo, kayaknya ngga

ada yang komplen

10. Menurut Ibu seberapa penting Pondok Pesantren

ini?

Jawaban: Bagus ya,

11. Apakah pernah mengalami konflik dengan

Pesantren?

12. Jawaban: Ndak

13. Bagaimana penyelesaiannya?

Jawaban:

14. Harapan untuk Pondok Pesantren ini?

Jawaban:

Lampiran Foto Dokumentasi

Kegiatan wawancara dengan bapak Munarto ketua RT setempat.

Selaku informan dari warga

Ka Nur Ayu (Significant other dari ka Rere)

Simulasi Memandikan jenazah, menyolati jenazah

Kenapa diadakan simulasi jenazah waria? Karena menurut Ibu

Shinta Ratri selaku pengasuh pondok pesantren waria; “jarang

ada yang mau menyucikan/memandikan jenazah waria kecuali

dari rumah sakit itu sendiri. Jadi, kami belajar untuk memandikan

jenazah waria.”

Kegiatan Wawancara bersama ka Rere selaku informan

Kegiatan Wawancara bersama ka Inul selaku

informan

Kegiatan Wawancara bersama KH. Abdul Muhaimin selaku

Pembina Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta

Kegiatan Wawancara bersama Ustadz Arif selaku Pembimbing

Agama Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta

Kegiatan Wawancara bersama ka Rini selaku significant other

dari ka Inul

Kegiatan Wawancara bersama ibu Tumirah selaku Warga yang

memperhatikan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Kegiatan Wawancara bersama ibu Shinta selaku Pengasuh

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah

Kegiatan bimbingan agama “Santri belajar dari Iqra”

Kegiatan bimbingan agama “Santri belajar

Al-Qur’an”

Kegiatan pengajian; Tanya jawab bersama “Fatayat NU

(Nahdlatul Ulama)” tentang Sunah Rasul dan tema yang

ditanyakan langsung oleh santri.

Kegiatan Kajian; Tanya jawab bersama “Solidaritas Perempuan

Yogyakarta” tentang Kekerasan Seksual

Pembagian sembako bagi santri waria lansia

Rutinan “Yasinan” setelah shalat Magrib

Pentas wayang dengan tema “Bethari Jaluwati” (kehidupan

waria) dari Surakarta

Kegiatan pemeriksaan gratis / kontrol untuk santri waria yang

dilaksanakan sebulan sekali dari Puskesmas Kotagede.

Kegiatan konseling pribadi bersama Psikolog; bagi santri waria

yang merasakan stress, emosional, dll. Dilakukan secara gratis.

Kegiatan bimbingan konseling; religiusitas.

Menariknya di dalam konseling ini; salah satu santri waria

menyampaikan keresahan dari dalam diri dengan mental spiritual

pribadinya. Seperti yang disampaikan salah satu santri berikut.

Kegiatan konseling hukum dan dilakukan secara gratis dari

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.

Kegiatan membuat batik sendiri. Sehingga dapat menjadi

kreativitas baru untuk santri waria.

Karya santri waria di Pondok Pesantren Al-FatahYogyakarta.

“Pojok Baca” Pondok Pesantren Waria Al-Fatah dan

memanfaatkan botol bekas yang digunakan sebagai “pot bunga”.

Satu hal dari dokumentasi ini adalah; semangat yang tak pudar

dari santri waria agar dapat membaca Al-Qur’an dengan baik,

sehingga bisa mendakatkan diri kepada Tuhan juga baik.

Semangat untuk belajar Iqra, Al-Qur’an, hafalan shalat,

mendengarkan kajian—dan dapat tanya jawab langsung dengan

pembimbing agama, sehingga pertanyaan-pertanyaan dalam

individu dapat terjawab dengan baik.

نوار, القلوب واألسرار مطا لع األTempat terbitnya cahaya ilahi adalah hati dan relung batin

(Sibawaih, Imam. Kitab Kebahagiaan Dan Petunjuk Jalan (Al-Hikam),

(Yogyakarta: Telaga Aksara, 2020) hal. 205)

CATATAN LAPANGAN

Puji syukur telah menyelesaikan penelitian di pondok

pesantren waria al-fatah sejak 2019. Tepatnya pada tanggal 09

februari 2019, peneliti melakukan pendekatan dengan pengasuh

pondok pesantren dengan menanyakan; diperbolehkan atau tidak

pondok pesantren waria al-fatah dijadikan penelitian skripsi.

Karena pada saat itu, peneliti mencari alamat pondok pesantren

waria lewat website, tidak ditemukan, sehingga peneliti mencari

bantuan lewat teman-teman mahasiswa UGM dan UIN Sunan

Kalijaga untuk silaturahim ke pondok pesantren waria al-fatah.

Setelah mendapatkan izin dari pihak pondok pesantren waria al-

fatah. Saat itu peneliti bertemu dengan Ibu Shinta Ratri selaku

pengasuh PP Waria Al-fatah, dengan sikap terbukanya beliau,

sehingga peneliti rileks untuk melakukan tanya jawab.

Selanjutnya Peneliti datang kembali dan mengikuti langsung

kegiatan santri waria pada tanggal 16-20 Mei 2019 tepat di bulan

Ramadhan. Pertama kali peneliti terjun langsung berbaur dengan

kawan-kawan, sehingga pendekatan ini menjadi jembatan awal

bagi peneliti untuk memulai penelitian. Selama bulan Ramadhan,

kegiatan pondok pesantren waria al-fatah berlangsung; mulai dari

bimbingan keagamaan, konseling agama maupun psikologis,

kegiatan sosial yang diadakan oleh LSM, Universitas

Gunadharma, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata

Dharma dan pemeriksaan gratis dari Puskesmas Kotagede.

Peneliti bertemu langsung dengan 42 santri waria yang turut

melaksanakan kegiatan di pondok pesantren waria.

CATATAN LAPANGAN

Ada sedikit perasaan khawatir tidak diterima oleh kawan-

kawan santri waria. Namun, pengasuh pondok yang baik

memperkenalkan satu-persatu tamu yang ada di pondok, sehingga

peneliti mendapatkan kesiapan mental yang baik dengan

menerima diri.

Berjalan dengan baik pendekatan yang dilakukan oleh

peneliti juga dapat berkomunikasi langsung dengan santri waria,

Pendekatan yang dilakukan cukup panjang dan membutuhkan

penerimaan diri sebagai peneliti, yakni mental yang cukup baik,

dengan cara menjaga etika, sopan dan santun, serta

berkomunikasi untuk menyesuaikan keadaan santri waria. ustadz,

ustadzah dan pengasuh. Dalam beberapa hari selama mengikuti

kegiatan pondok pesantren, peneliti melakukan mini riset dengan

mewawancarai beberapa santri; mba Nur, mba Ririn dari

Kalimanta (karena waktu itu sedang melakukan studi banding

antar komunitas waria), mba Jamilah, Bunda Rully, Mami YS,

Ustadz Arif, Ustadz Ardi, dan 2 Warga setempat.

Dalam pelaksanaan kegiatan, terdapat simulasi jenazah

waria. Dengan alasan; tidak ada warga yang mau memandikan

jenazah waria kecuali dari pihak rumah sakit. Peneliti juga turut

bergabung dalam membantu beberapa kegiatan. Menurut peneliti,

pondok pesantren ini tergolong sangat aktif dengan berbagai

kegiatan, sehingga dapat mendobrak santri waria untuk bekerja

lebih baik di bidang yang sudah dipelajari bersama, serta

mengikis santri waria dari virus HIV.

Karena di dalam kegiatan juga terdapat pemeriksaan HIV dari

Puskesmas Kotagede.

Peneliti melanjutkan penelitiannya setelah seminar proposal,

selang sebulan bertepatan dengan pandemi covid-19, sehingga

tempat penelitian di tutup sementara setelah 2 minggu. Setelah itu

dalam tengang waktu yang cukup lama dikarenakan pandemik

covid-19 pondok pesantren waria al-fatah di tutup.

Selama masa pandemi covid-19, peneliti melakukan

komunikasi lewat whatshapp dengan Shinta Ratri selaku

pengasuh pondok pesantren waria al-fatah. Pada bulan

November awal, pondok pesantren sudah memperbolehkan tamu

datang dengan pemberlakuan protokol covid-19 yang sudah

ditentukan oleh pemerintah.

Pada tanggal 29 November peneliti terjun langsung dalam

membantu bimbingan keagamaan mengajar Iqra. Selama

penelitian berlangsung dari tanggal 29 November sampai 7

Januari, peneliti terhambat oleh transportasi. Karena transportasi

di Yogyakarta hanya Ojek online untuk menuju tempat penelitian

dan juga cuaca hujan, sehingga peneliti berusaha keras dalam

mencari solusi. Pendekatan terhadap informan santri waria cukup

baik, berbeda dengan pendekatan warga sekitar yang tidak mau

untuk diwawancarai. Setelah 3 minggu, peneliti bertemu warga

yang mau dijadikan informan. Sejauh penelitian berlangsung,

peneliti menjalankan dengan penuh semangat, karena ini

merupakan penelitian yang menarik.