PENEGAKAN HUKUM ISLAM DIINDONESIA NEW

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Islam masuk Indonesia doikuti masukya kerajaan-karajaan islam.Sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk Indonesia,maka dengan itu hukum islam pun mulai berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat, kaidah hukum diajarkan sebaagai pedoman kehidupan stelah terlebihm dahulu mengalami institusionalisasi dari proses interaksi sosial inilah hukum islam mulai mangakar menjadi sistm hukum islam dalam masyarakat. Penyebaran islam di Indonesia yang berlansung secara bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum islam pun mengalami pentahapan.Selain itu Masyarakat pada umunya sudaj memiliki aturan atau adat istiadat sendiri,sehigga ketika oslam datang terjadi akulturasi antara hukum islam dan hukum adat.Perkembangan hukum islam juga dipengaruhu oleh kebijakan oemarintah yang sedang berkuasa. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkrmbangan hukum islam dari masa kerajaan islam hingga masa reformasi (sekarang ini).Dan juga akan dibahas faktor faktor yang mendukunf dan menghambat hukum islam di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Dari Latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah: 1. Bagaimana sejarah masuknya Islam dan perkembangan hukum islam di Indonesia ? 1

Transcript of PENEGAKAN HUKUM ISLAM DIINDONESIA NEW

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam masuk Indonesia doikuti masukya kerajaan-karajaan

islam.Sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk

Indonesia,maka dengan itu hukum islam pun mulai berlaku dalam

tata kehidupan bermasyarakat, kaidah hukum diajarkan sebaagai

pedoman kehidupan stelah terlebihm dahulu mengalami

institusionalisasi dari proses interaksi sosial inilah hukum

islam mulai mangakar menjadi sistm hukum islam dalam

masyarakat.

Penyebaran islam di Indonesia yang berlansung secara

bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum islam pun mengalami

pentahapan.Selain itu Masyarakat pada umunya sudaj memiliki

aturan atau adat istiadat sendiri,sehigga ketika oslam datang

terjadi akulturasi antara hukum islam dan hukum

adat.Perkembangan hukum islam juga dipengaruhu oleh kebijakan

oemarintah yang sedang berkuasa.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkrmbangan

hukum islam dari masa kerajaan islam hingga masa reformasi

(sekarang ini).Dan juga akan dibahas faktor faktor yang

mendukunf dan menghambat hukum islam di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Dari Latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan

masalah:

1. Bagaimana sejarah masuknya Islam dan perkembangan

hukum islam di Indonesia ?1

2. Apa faktor-fakto pendukung dan penghambat

perkembangan hukum islam di Indonesia ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui sejarah masuknya islam di Indonesia dan

perkembangan hukum islam do Indonesia

2. Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan hukum islam di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 studi Pustaka

untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan,

penulis mempergunakan metode Studi Pustaka. Pada metode

ini penulis membaca buku-buku dan literature yang

berhubungan dengan penulisan makalah ini.

2

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 SEJARAH PENEGAKAN HUKUM ISLAM DIINDONESIA

Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara.

Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab

yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa

Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa

Cina, Islam masuk dari berbagai arah salah satunya yakni dari

jalur sutera (jalur perdagangan), dakwah sehingga islam mulai3

merambah di pesisir-pesisir Nusantara.

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia

menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul

Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu:

-       Teori Gujarat,

-       Teori Makkah dan

-       Teori Persia.

Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang

permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan

tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke

Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori

tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini;

1.  Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia

pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay),

India. Dasar dari teori ini adalah:

1.              Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan

bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.

2.              Hubungan dagang Indonesia dengan India

telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah –

Eropa.

3.              Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai

yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.

Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF

Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung

teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat

timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan4

Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan

Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak

( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak

sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang

Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

2. Teori Makkah

Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai

sanggahan terhadap teori lamayaitu teori Gujarat. Teori

Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad

ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori

ini adalah:

1.              Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai

barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab);

dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan

perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai

dengan berita Cina.

2.              Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran

mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada

waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India

adalah penganut mazhab Hanafi.

3.              Raja-raja Samudra Pasai menggunakan

gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.

Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan

T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan

bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi

masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7

dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah

bangsa Arab sendiri.5

3. Teori Persia

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia

abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar

teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya

masyarakat Islam Indonesia seperti:

1.              Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas

meninggalnya Hasan dan  Husein cucu Nabi Muhammad, yang

sangat di junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra

Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara

Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan

pembuatan bubur Syuro.

2.              Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh

Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.

3.              Penggunaan istilah bahasa Iran dalam

sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.

4.              Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim

tahun 1419 di Gresik.

5.              Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri

daerah Gresik. Leren  adalah nama salah satu Pendukung teori

ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.

Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing

memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan

teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke

Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami

perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam

penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan

Gujarat (India).

6

3.2 PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONEIA

A. Hukum Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara

Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup di

antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya

berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam.

Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah

membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian

lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas

dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan

disusul dengan kerajaan Islam yang didukung para wali pembawa

dan penyiar agama Islam.

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut

sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama

hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi.

Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan

utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal

gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan

gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam

pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas

muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya

kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal

dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara.

Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh

Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya

seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain

itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesulatanan

demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan

7

maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta

tidore.

Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting

dalam sejarah hukum islam di Indonesia. Dengan adanya

kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha

berarti untuk pertama kalinya hukum islam telah ada di

Indonesia sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan

fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang

ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an.

Zaman para penguasa ketika itu memposisikan hukum islam

sebagi hukum Negara.

Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia

dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan

sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan

bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang

bercorak Islam  dilakukan dengan cara mencampurkan

(mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia pada

kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya ahli hokum

Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal

dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai

ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan,

dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di

selesaikan di manjid.

Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan

hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau

perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di berlakukan dalam

kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi

terkadang tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan

8

kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah

ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada

kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I,

Hanafi, Maliki,  dan Hambali berkembang di Indonesia hingga

saat ini. Sistem hokum islam terus berjalan bersamaan dengan

system hokum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi

yang dilakukan oleh Negara-negar barat di Indonesia. Semula

pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh

Belanda, dan Inggris.

Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantarahukum

Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir

bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah,

ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan),

peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.

Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang

digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah

berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan

belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.

Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara

teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi

penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan

patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran islam dalam

berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian

menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang

membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan

sampai misi kristenis

B. Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan abad XX )

9

Fase ini berlamgsung sejak Belanda secara de facto

menancapkan kolonialosmenya di Indonesia. Pada awal

kedatangan bangsa Eropa, yaitu abad 17, mereka berkepentingan

mengembangkan usaha perdagangan. Dari niat berdagang lambat

laun muncul keinginan untuk menguasai wilayah yang kaya akan

rempah-rempah.

Bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah

Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari keempatnya,

Belanda yang paling lama dan memberikan pengaruh yang cukup

besar dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk

dalam hukum islam.

Sejarah perkembangan hukum islam pada masa kolonial

terbagi dalam dua periode, yaitu periode in complexu dan

periode receptie. Pereiode pertama terjadi pada abad ke-17

higgga akhir abad 18, yaitu pada saat awal pemerintahan

Belanda. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum

Islam sepenuhnya bagi orang Islam. Misalnya hukum keluarga

Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan

diaplikasikan sepenuhnya.

Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda memberikan

pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang

berlaku. Melalui VOC, dikeluarkanlah Resolute de Indieshe

Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan

Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini

dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan

legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.

Legislasi lainnya adalah pepakem Cirebon yang dibuat

atas usul residen Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini

10

merupakan kompilasi kitab hukum Jawa Kuno. Aturan ini dipakai

sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana

di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi

oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan undang-udang.

Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung hingga

masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811).hal

ini tidak lepas dari peran ahli hukum Belanda, khususnya yang

menulis tenang Islam di Indonesia. Diantaranya adalah J.E.W.

van Nes, A. Meurenge,dan Lodewijk Willem Christian van den

Berg yang merupakan ahli hukum yang paling baerjasa dalam hal

ini dengan teorinya yang bernama receptio in complexu. Dian

juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi

ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang

beragama Islam adalah hukum Islam. Peraturan lain yang

menguatkan berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi umat Islam

adalah Reglement of het Beleid der Regering ven Nederlandsch

Indie ( RR ) yang menegaskan bahwa bagi hakim Indonesia

hendaklah memberlakukan hukum agama dan kebiasaan penduduk

Indonesia.

Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang

bersifat intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat.

Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap

pemberlakuan hukum Islam. Periode ini di mulai ketika terjadi

transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan

Belanda. Pemerintah kerajaan belanda melakukan represi

terhadap hukum Islam dengan cara mengonfrontasikannya dengan

hukum adat. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda

ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir peran hukum

11

Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang

mensubordinasikan hukun Islam di bawah Hukum adat.

Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran

system hukum Islam adalah dengan memperlemah institusi

peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai

penasehat hukum dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda

mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang berdirinya peradilan

agama di Jawa dan Madura. Pengadilan ini dipimpin oleh

seorang penghulu dan dibantu oleh para ulama. Berdirinya

lembaga ini menjukkan adanya pengakuan yuridis pemerintah

Belanda terhadap keberadaan hukum Islam.

Akibat dari pelembagaaan peradilan Islam adalah, bahwa

setiap keputusan harus diratifikasikan kepada pengadilan umum

sebelm diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu,

karena pada kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering

dikesampingkan. Akibatnya terjadi ketegangan antara umat

Islam dengan pemerintah kolonial. Menyadari situasi ini pada

tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi yang diharapkan

mampu meningkatkan saling pengertian antarapenjajah dengan

masyarakat jajahan.

Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian

Snouck Hurgronje ( 1867-1936 ). Tugas dari lembaga ini adalah

memberikan advis kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan

kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya

Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan

pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-

hatian dalam menghadapi perluasan control politik islam.

12

Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau

dikehendaki oleh hukum adat.

Upaya mengontrol operasionalisasi hukum Islam juga

dilakukan Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang

perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai pejabat

pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Keadaan ini

memudahkan Belanda untukmenguasai dan mengintervensi

pelaksanaan hukum Islam.

Pada tahun 1931 keluar Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi

3 hal, yaitu: (1) priesterred akan dihapuskan dan diganti

dengan pengadilan penghulu, (2) penghulu berstatus sebagai

abdi pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3) pengadilan

banding akan dibentuk untuk mereview keputusan-keputusan dari

pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah

dilakanakan karena Belanda mengalami kesulitan keuangan.

Untuk mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun 1937

dikeluarkan Stbl No.610 tentang pembenukan Hof voor

Islamietische Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk menerima

perkara banding. Melalui Stlb. No. 116 tahun 1937,pemerintah

memindahkan penyelesaib masalah kewarisan dari peradilan

Islam ke peradilan umum, dimana perkara tersebut

diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm Islam belum

sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi

perebutan supremasi hukum antara hukum adat yang diunggulkan

Belanda dengan hukum Islam.

Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam

masalah hukum Islam banyak ditulis dalam buku dan surat

kabar. Jelas bahwa polotik hukum yang menjauhkan umat Islam

13

dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk

meneguhkan kekusaannya di Indonesia. Apapun dilakukan Belanda

untuk menguatkan posisi hukum adar dan melemahkan hukum Islam

di Indinesia.

Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantive

terhadap peradilan hukum Islam dan hkum Isla. Jepang hanya

mengubah nama lembaga peradilan Islam dari priesterrad

menjadi Sooryoo Hooin dan Pengadilan Banding dari Hof voor

Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin. Di Jawa dan

Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus

perkawinan, dan kadang member nasehat dalam bidang kewarisan.

C. Masa Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru )

Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga

mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan

hukum islam. Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan

mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun mayoritas

masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang

mudah untuk memberlakukan hukum islam di Indonesia. Pelan

tapi pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai

konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi negara.

Pada fase hukum islam mengalami dua periode, yaitu

periode persuasive-source dan authoritative-source. Periode persuasive

adalah periode penerimaan hukum islam sebagai persuasive,

yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan

menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive

bagi groundwetinterpretatie UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta

juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun dalam UUD

1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun hukum

14

islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam

berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).

Periode kedua, authoritative-source dimulai ketika piagam

Jakarta ditempatkan dalam dekrit presiden RI tahun 1959.

Dalam konsiderans dekrit presiden disebutkan “bahwa kami

berkeyakinan bahwa piagam Jakarta bertanggal 22 juni 1945

menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian

kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan demikian dasar

hukum piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu

peraturan perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum

tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang

sama.

Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik

hukum sebagaimana dirumuskan dalam ketetapan MPRS No.

11/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan

hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan

faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu

berlakunya ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 tidak satupun

muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan

kewarisan.

Memasuki orde baru, pembangunan nasional dalam bidang

terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan

Garis Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan haluan

pembangunan nasional, menghendaki terciptanya hukum baru

Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum

pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan

nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-

ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama

15

(termasuk hukum islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar

yuridis bagi upaya formatisasi hukum islam dalam hukum

nasional.

Formatisasi hukum islam dilakukan dengan upaya

mentransformasikan hukum islam ke dalam aturan perundangan.

Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum islam

semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum

islam yang bersifat nasional, yaitu UU No. 1/1974 tentang

Perkawinan dan UU No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-

masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum

dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada hukum yang

berdasar keyakinan agama.

Institusi peradilan islam juga menenpati posisi yang

kuat berdasarkan UU No.14/1970 tentang kekuasaan Kehakiman.

Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman

di Indonesia dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan

peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut

meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding.

Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara,

yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan

berlaku khusus untuk umat islam.

Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan

ditetapkannya UU No.7/1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama.

Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas

personalitas dan bidang hukum perkara tertentu. Dalam Bab II

16

Pasal 49-53 kewenangan peradilan agama meliputi bidang-bidang

hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat,

hibah, wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat

dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah biadang

hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).

Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hokum materil

sebagai pedoman bagi para hakim peradilan Agama dalam

menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim

peradilan Agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar

putusannya. Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan

agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini

mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang

sama.

Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah

keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama

tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 tentang

penunjukan pelaksanaan pengembangan hukum Islam. Proyek ini

dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur

fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke

negara-negara yang penduduknya mayoritas islam. Hal ini

dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan

sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan

perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.

Format KHI terbagi kedalam tiga buku. Buku satu berisi

tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan

dan buku tiga tentang hukum perwakafan.

17

Pemberlakuan hukum islam semakin menguat dan melebar ke

berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan

memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga

Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama

Indonesia. Disamping itu, muncul perundang-undangan yang

mendukung terlaksananya hukum islam, seperti UU.No.17/1999

tentang Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 tentang

Pengelolaan Zakat.

Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama

Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang

berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi

umat islam saja. Hukum islam yang berlaku nasional tercermin

dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan, PP No.28/1977 Tentang

Perwakafan, dan UU No.7/1992 Tentang Perbankan, di mana di

dalamnya diakui keberadaan Bank Islam. Formatisasi yang

berupa hukum khusus terlihat dalam inpres No.1/1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam, UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan

Haji, dan UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.

C. Masa Reformasi (1998 - sekarang)

Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun

1998), keinginan mempositifkan hukum islam sangat kuat.

Perkembangan hukum islam pada masa ini mengalami kemajuan.

Secara riil hukum islam mulai teraktualisasikan dalam

kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas,

tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi

masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh

18

munculnya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Undang-undang

otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22/1999

tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui

UU No.31/2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan

Undang-undang ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk

mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum.

Akibatnya bagi perkembangan hukum islam adalah banyak

daerah menerapkan hukum islam. Secara garis besar,

pemberlakuan hukum islam di berbagai wilayah Indonesia dapat

dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan

penegakan sebagian. Penegakan hukum islam sepenuhnya dapat

dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan

model ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan

materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak

hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah

Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite

Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut

yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan

Syari’at Islam (LP3SyI).

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah

terdepan dalam pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar

hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut

meliputi empat hal, diantaranya ialah:

a.               Penerapan syari’at islam diseluruh

aspek kehidupan beragama,

19

b.             Penggunaan kurikulum pendidikan

berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan

kurikulum umum.

c.               Pemasukan unsur adat dalam sistem

pemerintah desa, dan

d.              Pengakuan peran ulama dalam penetapan

kebijakan daerah.

Tindak lanjut dari Undang-undang di atas adalah

ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Nangroe Aceh Darussalam.

Fenomena pelaksanaan hukum islam juga merambah daerah-

daerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan

Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, maka munculah

perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I

maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain:

provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang pariaman,

Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur,

Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih

banyak lagi.

Materi perda syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh,

tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika

dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-

perda syari’at, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan,

pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, Penggunaan busana

muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras,

pelarangan pelacuran, dan sebagainya.

3.3 FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT HUKUM ISLAM DI

INDONESIA20

Untuk mengetahui bagaimana masa depan kedudukan dan

keberlakuan hukum islam di Indonesia, harus dilihat dari

berbagai faktor yang mendukung adanya penerimaan (sustainsi)

dan juga faktor yang menghambat atau melakukan resistensi.

Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal,

yaitu bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia.

Bentuk negara Indonesia sudah dianggap final, dan pluralitas

masyarakat juga sebuah kenyataan sosial. Dengan demikian yang

dapat dilakukan adalah mengetahui berbagai peluang atau

prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum

islam di Indonesia.

Secara politis maupun sosiologis terdapat faktor-faktor

yang dianggap sebagai pendukung bagi pemberlakuan hukum islam

di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah: kedudukan hukum

islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum islam

yang luas, serta dukungan aktif organisasi kemasyarakatan

islam. Kedudukan huku islam sejajar dengan hukum yang lain,

dalam artian mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan

hukum nasional. Namun, hukum islam mempunyai prospek yang

lebih cerah berdasarkan berbagai alasan, baik alasan

historis,yuridis,maupun sosiologis.Nilai-nilai huku islam

mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan sebagian nilai-

nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional.

Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan.

Faktor lain, kenyataan bahwa islam merupakan agama

dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan.

Dengan modal mayoritas ini, umat islam bisa masuk dalam

berbagai lembaga pemerintahan, baik eksekutif,legislatif,

maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan menetapkan21

politik hukum. Logikanya, semakin banyak populasi muslim,

maka semakin banyak pula aspirasi yang masuk dan terwakili.

Namun realitas ini tidak serta merta menjadi menjadi niscaya,

karena sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya

umat islam mengimplementasikannya.

Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang hukum

yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum islam merupakan

alternatif utama dalam pembentukan tata hukum,karena mampu

mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengambil nilai-nilai

islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk

dijadikan sebagai konsep teoritis guna dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan. Faktor keempat yang juga

penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi islam.

Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi islam

dalam sistem politik Indonesia menjadi pengimbang bagi

kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari berbagai

organisasi islam setidaknya menjadi daya tawar dalam

pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan

umum.

Keempat faktor diatas memberikan gambaran betapa hukum

islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi hukum

nasional. Namun semua itu tergantung bagaimana umat islam

mengelola potensi tersebut. Hal yang terpenting adalah

menyatukan visi tenteng islam, tanpa kesatuan islam maka

cita-cita untuk mengimplementasikan hukum islam hanya akan

menjadi angan-angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi

di kalangan umat islam.

22

Disamping peluang atau prospek positif di atas, perlu

dicermati juga hambatan yang menjadi penghalang bagi

berlakunya hukum islam di Indonesia. Secara sederhana faktor

yang tidak mendukung prospek hukum islam di Inddonesia tediri

dari faktor internal dan ekstenal. Faktor internal berasal

dari kurang ‘kafahnya’ (maxsimal) institusionalisasi dan

pandangan dikotomis terhadap hukum islam. Sedangkan faktor

eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah

terhadap bidang-bidang hukum tertentu.

Belum kafahnya pelembagaan hukum Islam di Indonesia

terlihat dari pandangan dikhotomis dalam implementasinya.

Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah perdata atau

hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapat perhatian

khusus. Namun hukum-hukum selainnya, seperti hukum pidana dan

ketatanegaraan belum tersentuh atau minim perhatian. Sehingga

penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang berlaitan

dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius.

Hal ini tidak lepas dari peran kolonial Belanda yang

melakukan represi dan eliminasi terhadap hukum Islam. Pada

masa kerajaan islam, hukum Islam berlaku sepenuhnya, dalam

arti menjadi pegangan para hakim/ qadhi untuk memutuskan

jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi

penjajah dengan kekuatan politiknya menyebabkan terjadinya

dikhotomis, dimana hukum pidana dan tata negara digantikan

dengan sistem hukum Barat/ Eropa.

Pola dikhotomi hukum privat dan publik ini

berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah yang baru

hanya memberi kewenangan pemberlakuan hukum perdata Islam.

Sedangkan hukum publik menjadi monopoli pemerintah,yang masih23

memberlakukan hukum Belanda. Pengadilan Agama sebagai

institusi resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara

yang terjadi diantara orang-orang yang beragama

Islam,misalnya dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,

hibah, wakaf, serta sadaqoh yang dilaksanakan menurut hukum

Islam.

Kurang melembagakan hukum publik Islam ini juga

dipengaruhi oleh faktor politik hukum. Negara Indonesia

bukanlah negara agama, permasalahan penetapan hukum adalah

kekuasaan negara, termasuk masalah agama menjadi wewenang

negara. Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk

pada undang-undang yang diberikan oleh negara. Menyikapi hal

ini perlu adanya penegasan kaidah agama dengan cara penegakan

diri agar para penganutnya tidak melanggar ajaran agamanya.

Dengan demikian, syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi

diaktualisasikan dan disosialisasikan guna membatasi

kelemahan dan kekurangan hukum positif.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa

perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya

ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri

dan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal

tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi

mudah. Namun sebaliknya jika kedua hal tersebut bertentangan

orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan

kedudukan hukum Islam. Kondisin inilah yang mewarnai sejarah

hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga masa

kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan

seberapa kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan

eksistensi hukum Islam.24

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Masi

banyak faktor-faktor yang menghambat perkembangan hukum islam

di Indonesia.

25

DAFTAR PUSTAKA

- http://mohamsholihulwafi.blogspot.com/2013/01/Perkembangan-

hukum-islam-Indonesia-versi-makalah.html

26