PEMIKIRAN TENTANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM: TELAAH KRITIS ATAS PERUBAHAN STAIN/IAIN...
Transcript of PEMIKIRAN TENTANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM: TELAAH KRITIS ATAS PERUBAHAN STAIN/IAIN...
PEMIKIRAN TENTANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM:
TELAAH KRITIS ATAS PERUBAHAN STAIN/IAIN MENJADI UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
A. Pendahuluan
1. Latarbelakang
Jika meresapi pesan dari Surat Al-Anbiya’: 107, dan dikaitkan
dengan paradigma pendidikan tinggi Islam, dapat dipahami bahwa
seharusnya sarjana Islam harus mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan yang dihadapi umat manusia. Artinya,
pemikiranyang menjadi landasan keilmuan di pendidikan tinggi
Islam benar-benar harus mempunyai corak universal bukan
parsial.
107. dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk(menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Dalam ayat tersebut mengandung ajaran bahwa setiap Muslim
dituntut untuk menjadi aktor yang loyal dan berkomitmen
menjalankan ajaran Islam, dan mampu mendedikasikan dirinya
dalam bidang keahlian masing-masing untuk kepentingan
kemanusiaan.1 Karena itu umat Islam harus mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan proses perkembangannya bukan hanya
pesan doktrin agama, tetapi pesan tersebut benar-benar telah
1 Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Rosdakarya, 2008, hlm. 61.
1
terwujud dalam panggung sejarah ilmuwan. Merupakan fakta
sejarah, ilmu keislaman tumbuh dan berkembang karena banyak
faktor baik itu langsung atau pun tidak langsung yang
berkenaan dengan situasi sosial, politik, budaya yang
berkembang pada zamannya.2 Ilmu pengetahuan pada masa kejayaan
Islam tidak pernah dikotak-kotakkan menjadi bagian-bagian,
kemudian menganggap ilmu tertentu penting dan ilmu yang lain
tidak berguna. Perhatian ulama klasik terhadap ilmu-ilmu
profane (Filsafat, Eksakta, dan Humaniora) sama besarnya
terhadap ilmu-ilmu keislaman.3 Selanjutnya Shobahussurur
mengatakan dalam perkembanganya ilmu keislaman menjadi lebih
dominan sementara ilmu-ilmu profan menjadi ilmu pinggiran.
Pola kehidupan modern yang dibangun di atas keilmuan
rasionalistik, telah melahirkan manusia dan peradaban yang
kehilangan sebagian dari dimensinya.4 Dominasi epistemologi
sekular dalam peradaban Barat pada zaman modern membawa dampak
terhadap munculnya ateisme. Berbagai disiplin keilmuan,
seperti Teologi, Filsafat, Sains, Sosiologi, Psikologi,
Politik, Ekonomi tidak terlepas dari sekulerisasi dan ateisme.
2 Shobahussurur. Lembaga Pendidikases dan dalam Khazanah Islam Klasik: Telaah atas Proses Sejarah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan. Tsaqafah, Volume 2, Nomor 2, 2006/1427. Institut Studi Islam Darusslam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. 2006. hlm.251.
3 Shobahussurur. Lembaga Pendidikases dan dalam Khazanah Islam Klasik: Telaah atas Proses Sejarah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan. Tsaqafah, Volume 2, Nomor 2, 2006/1427. Institut Studi Islam Darusslam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. 2006. hlm.273
4 Azhar Arsyad. Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama Menuju Peradaban IslamUniversal dalam Tsaqafah, Volume 2, Nomor 2, 2006/1427. Institut Studi IslamDarusslam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. 2006. hlm.273
2
Bahkan epistemologi Barat juga sukses mensekulerkan teologi
Kristen dan Yahudi.5
Di Indonesia dikotomi pendidikan dipelopori oleh C. Ssnouck
Hurgronje yang menyarankan Politik Etis kepada Pemerintah
Hindia Belanda menerapkan pendidikan yang berbasis kenetralan
terhadap agama.6 Menurut Yudi Latif hal ini dilakukan karena
Pemerintah Hindia Belanda tidak menginginkan Pemimpin Adat dan
kalangan santri memainkan peranan penting di pemerintahan
kolonial. Maka pemerintah kolonial merasa perlu untuk
westernisasi Hindia Belanda melalui pendidikan. Politik
Asosiasi atau “membelandakan” Hindia Belanda tersebut agar
Hindia Belanda yang jauh dari Belanda secara geografis jauh,
namun dekat secara “spiritual”. Kebijakan ini merupakan
kebijakan pendidikan yang melahirkan dikotomi pendidikan
sampai saat ini.
Menurut Azyumardi Azra, pemahaman dikotomis muncul ketika
umat Islam Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang,
sehingga umat Islam mengalami keterbelakangan dan disintegrasi
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.7 Munculnya dikotomi
pendidikan umum dan pendidikan agama dikarenakan adanya dua
departemen yang mengelola pendidikan, yaitu Departemen
5 Adnin Armas. Krisis Epsitemologis dan Islamisasi Ilmu. Tsaqafah, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, Volume 3, Momor 1, Dzulqa’dah 1427.hlm. 33.
6 Yudi Latif. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi danIslamisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra, 2007, hlm. 297 Azyumardi Azra (1999) dalam (Muhaimin, Pendidikan Agama Islam: BerwawasanRekonstruksi Sosial (Pidato Ilmiah disampaikan di hadapan Sidang Terbuka Senat UIN Malang dalamrangka Pengukuhan Guru Besar). Malang: UIN Malang, 2004. hlm. 5.
3
Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.8 Pendidikan Islam
seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual,
sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya dianggap
sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garapan pendidikan
non-agama.9 Azyumardi Azra mengatakan bahwa pemahaman
dikotomis muncul ketika umat Islam Indonesia mengalami
penjajahan yang sangat panjang, sehingga umat Islam mengalami
keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat.
Menurut Azyumardi Azra, perkembangan Pendidikan Islam selalu
menarik dari berbagai aspek. Karena sistem pendidikan Islam di
Indonesia adalah yang terbesar, dan tidak ada di negara lain.
Lebih dari itu lembaga seperti IAIN bukan sekedar lembaga
pendidikan, tapi merupakan simbol kelembagaan Islam.
Pendidikan Islam bukan sekedar pendidikan tapi mempunyai nilai
historis, dan merupakan kebanggaan umat Islam. Olehkarena itu
marwah Islam harus diangkat melalui pembenahan pendidikan
Islam.
Paradigma dikotomis berimplikasi terhadap pengembangan
pendidikan agama Islam yang lebih berorientasi pada
keakhiratan yang menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah
(ilmu-ilmu keagamaan), sementara sains dianggap terpisah dari8 Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Budaya, dan Seni padaPerguruan Tinggi. El-Jadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Volume 3, Nomor 1,2005. Hlm. 40. 9 Muhaimin, Pendidikan Agama Islam: Berwawasan Rekonstruksi Sosial (Pidato Ilmiahdisampaikan di hadapan Sidang Terbuka Senat UIN Malang dalam rangka Pengukuhan Guru Besar).Malang: UIN Malang, 2004. hlm. 5
4
agama.10 Fenomena paradigma dikotomis ini bukan hanya bagian
sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tetapi masih
berlangsung sampai saat ini. Bahkan akan terus berlangsung,
selama masih ada salah pemahaman tentang konsep ilmu dan
konsep pendidikan dalam Islam. Terutama jika para pengambil
kebijakan yang tidak memahami permasalahan paradigma ilmu dan
pendidikan Islam.
Bukan hal yang aneh, ketika dalam pasar kerja, alumni IAIN
sering dianggap menjadi Warga Kelas 4. Selagi masih ada
universitas negeri dunia kerja lebih memilih alumni dari
universitas negeri. Berikutnya dunia kerja melirik universitas
swasta yang dianggap berkualitas, kemudian dunia kerja
memantau alumni-alumni universitas swasta yang walau tidaklah
terlampau berkualitas. Posisi alumni IAIN berada di kelas
empat, atau yang paling terakhir, itu pun kalau tersedia
lowongan atau formasi yang dibutuhkan perusahaan atau
instansi.
Marjinalisasi alumni IAIN menjadi warga kelas empat ini
benar-benar membuat mental alumni IAIN menjadi inferior, tidak
percaya diri dan semakin khawatir menghadapi realitas kembali
ke masyarakat setelah menjadi Sarjana IAIN. Inferioritas
alumni IAIN ini terus berlangsung bertahun-tahun. Sampai-
sampai di masyarakat sudah menjadi branding dan hanya
mengetahui bahwa alumni IAIN adalah tukang dakwah dan tukang
do’a, walau pun misalnya Sarjana IAIN tersebut adalah alumni
Fakultas Tarbiyah Jurusan Tadris di Program Studi Bahasa
10 Ibid, hlm. 5.5
Inggris. Alumni IAIN semakin berat menghadapi persaingan
dengan universitas yang semakin berkembang dan canggih. Bahkan
bisa dikatakan alumni IAIN seperti tidak bisa keluar dari
kerja-kerja yang berada di bawah Departemen Agama, misalnya
Pesantren, Madrasah, Kantor Urusan Agama.
Kegelisahan dan krisis pun semakin terasa ketika beberapa
kasus penerimaan Pegawai Negeri Sipil, banyak alumni IAIN yang
mempelajari “ilmu umum” berkasnya tidak diterima, dan kasus-
kasus lain yang semakin menyudutkan keberadaan IAIN. Hal ini
menjadi beban pemikiran bagi para penggagas Universitas Islam
Negeri, misalnya Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, dan Prof. Dr. Imam Suprayogo semakin berjuang
keras untuk mengangkat marwah IAIN.
Pertarungan dengan birokrasi kementrian, pergulatan wacana
keilmuan, bahkan upaya-upaya revolusioner terus gencar
dilakukan oleh para pelopor Universitas Islam Negeri. Baik
melalui pendekatan birokratis, dan pendekatan informal serta
lobi-lobi terus dilakukan untuk mewujudkan UIN.
Untuk mengulas dinamika IAIN ketika transformasi menjadi
UIN, maka makalah ini akan membahas landasan pemikiran
perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN, praktiknya setelah menjadi
UIN dan tinjauan kritis mengenai IAIN yang telah konversi
menjadi UIN.
2. Fokus Diskusi
Agar pembahasan fokus, pemakalah menetapkan empat fokusdiskusi, sebagai berikut:
6
a. Implikasi Paradigma Ilmu dalam Pendidikan Tinggi Islam
b. Transformasi STAIN/IAIN menjadi UIN
c. Tinjauan Kritis Universitas Islam Negeri
d. Harapan terhadap Universitas Islam Negeri
A. Pembahasan
1. Implikasi Paradigma Ilmu dalam Pendidikan Tinggi Islam
Berikut beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berkenaan dengan
ilmu. Kata-kata ilm dan derivasinya sering muncul dalam Al-
Qur’an sebagai pesan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
a. Islam dan Ilmu Pengetahuan
69. dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad)dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itutidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberipenerangan (36:69S)
80. dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besiuntuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Makahendaklah kamu bersyukur (kepada Allah) (21:80)
65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antarahamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya
7
rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkankepadanya ilmu dari sisi Kami.(18:65)
22. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialahmenciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamudan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itubenar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yangmengetahui (30:22)
20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Makaperhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) daripermulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekalilagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segalasesuatu (29:20)
Kata “ilmu” berasal dari kata Arab “ilm” yang satu akar
dengan ‘alam (bendera atau lambang), alamah (alamat atau
pertanda), dan ‘alam (jagat raya,universe). Ketiga kata ini
mewakili kenyataan atau gejala yang harus diketahui atau “di-
ma’lum-i,” yakni menjadi obyek pengetahuan atau ilmu, karena
dibalik gejala ada sesuatu yang berguna bagi manusia.11 Menurut
Nurcholish Madjid makna jagad raya tidak hanya ukurannya yang
besar, tetapi diciptakan untuk menopang kebahagiaan hidup
manusia.
Kaitan organik antara iman dan ilmu tidak lain adalah
hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memerhatikan dan
11 Nurcholish Madjid. Ensiklopedi Jilid 1 A-G, Jakarta, 2011: DemocracyProject, Edisi Digital, hlm. 684.
8
memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau
penyingkapan tabir akan rahasia-Nya.12 Berdasarkan tulisan Ibnu
Rusyd yang berjudul Fashl Al-Maqal wa Taqrir ma bayn Al-Hikmah wa Al-
Syari’ah min Al-Ittishal (Makalah Penentu tentang Pembuktian adanya
Hubungan antara Hikmah (Falsafah) dan Syari’at (Agama).
Nurcholish menjelaskan bahwa antara Iman dan Ilmu tidak
terpisahkan, meski dapat dibedakan. Dikatakan terpisahkan,
karena tidak saja iman mendorong adanya ilmu dan bahkan
seharusnya menghasilkan ilmu, tetapi juga karena ilmu itu
harus dibimbing oleh iman.
b. Perdebatan Paradigma Ilmu dan Rancang Bangun UIN
Ilmu dalam bahasa Inggris: science, Latin: scienta (pengetahuan),
scire (mengetahui), Yunani (episteme)13 Berikut beberapa konsep
ilmu yang ditulis Lobens Bagus dalam Kamus Filsafat.
1. Kata tahu (pengetahuan) secara umum menandakan suatu
pengetahuan tertentu. Dalam arti sempit, pengetahuan
bersifat pasti. Berbeda dengan iman, pengetahuan
didasarkan atas pengalaman dan pemahaman sendiri.
2. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaa
dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu
dapat memuat di dalam dirinya sendiri hipotesis-
hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya
dimantapkan.
12 Ibid, hal. 687.
13 Lobens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 307 9
3. Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab,
kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan
penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari
banyak pengamatan yang terpisah-pisah. Sebaliknya ilmu
menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi.
Alat bantu metodologis yang penting adalah terminologi
ilmiah.yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep
ilmu.14
Universitas Islam Negeri berdiri setelah melalui proses
pengkajian, dan perdebatan akademis mengenai ilmu dan
paradigma keilmuan. Istilah-istilah pun muncul untuk
mencerminkan konsep yang dipelopori oleh para ilmuan Muslim.
Beragam konsep yang ditawarkan, mulai dari Islamisasi ilmu,
dan Integrasi ilmu.
Mengenai Islamisasi ilmu terdapat beberapa sarjana Muslim
yang selalu menjadi rujukan dalam penolakan terhadap
westernisasi ilmu, diantaranya Ismail Raji al-Faruqi (1921),
Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931), Seyyed Hossein Nasr
(1933), Ziauddin Sardar15 dari Indonesia terdapat AM.
Saefuddin.16
14 Ibid, hlm.307-308.
15 Adnin Armas. Krisis Epsitemologis dan Islamisasi Ilmu. Tsaqafah, Jurnal IlmuPengetahuan dan Kebudayaan Islam, Volume 3, Momor 1, Dzulqa’dah 1427, hlm.3916 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu; dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-Rasional Teistik.Bandung: Benang Merah, 2005, hlm. 146.
10
Syed Muhammad Naquib al-Attas yang banyak menjadi rujukan
bagi ilmuwan Muslim Indonesia dalam Islamisasi ilmu
medefenisikan hakikat ilmu sebagai berikut.
“Ilmu itu dapat berarti Kitab Suci Alqur’an; Hukum yangdiwahyukan (Shari’ah); Sunnah; Islam; Keimanan (hikmah) danma’rifah, juga secara umum disebut sebagai Cahaya; Pemikiran;Sains (suatu ilmu khusus).17
Al-Attas menolak westernisasi ilmu, karena menganggap bahwa
ilmu modern Barat merupakan hasil dari kebingungan dan
skeptisisme yang antroposentris berdasarkan rasionalisme,
karena itu tidak pernah ada kepastian dan akan berubah terus
menerus yang ujungnya juga menghasilkan keraguan.
Lebih ekstrim lagi, jika tidak ingin dikatakan dangkal,
yaitu kritik Abu Al-A’la Al-Maududi terhadap ilmu dan sains
modern yang dihasilkan oleh Barat. Menurut Al-Maududi bahwa
Ilmu Geografi, Fisika, Kimia, Biologi, Zoologi, Geologi, dan
Ilmu Ekonomi diajarkan sistem pendidikan modern tanpa merujuk
kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Karena itu ilmu modern
Barat menjadi kesesatan bagi orang-orang Islam.18 Bagi Al-
Maududi sains modern Barat yang berdasarkan akal dan nafsu
sangat kontradiksi dengan karakter keilmuan Islam.
Maka menurut Nor Wan Daud yang merupakan murid langsung Al-
Attas konsep-konsep ilmu Barat tersebut menjadi masalah bagi
umat Islam. Umat Islam vis a vis dengan ilmu modern Barat yang
17 Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Islam dan Sekulerisme. Bandung: PIMPIN, 2011,hlm. 178. 18 Azyumardi Azra, 209. Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam. Dalam Integrasi Ilmu danAgama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005
11
bebas nilai. Maka umat Islam perlu mengislamisasikan ilmu.19
Dalam perkembangannya banyak ilmuwan Muslim yang menentang
konsep Islamisasi ilmu, diantaranya adalah Fazlur Rahman.
Namun sangat disayangkan ketika perdebatan akademis para
ilmuwan Muslim ini menjadi pengadilan sesat dan menyesatkan,
atau pengelompokan liberalis dan Islamis. Seperti yang dialami
oleh Fazlur Rahman yang dianggap kafir karena pemikirannya
yang banyak bertentangan dengan kelompok konservatif.
Bagi Al-Attas, ilmu yang secara sistematik disebarkan ke
seluruh dunia saat ini bukanlah ilmu yang sejati, tetapi ilmu
itu sudah diresapi oleh watak dan kepribadian kebudayaan
Barat.20 Al-Attas menegaskan bahwa unsur-unsur Barat tersebut
harus dikenali kemudian dipisahkan dari tubuh ilmu
pengetahuan, karena unsur-unsur Barat bukanlah ilmu
pengetahuan itu sendiri, tetapi hanyalah bentuk dari memahami,
menilai, dan menafsirkan ilmu sesuai kebudayaan Barat.
Sementara Isma’il Raj Al-Faruqi memaknai islamisasi ilmu
merupakan tinjauan kritis terhadap sistem pengetahuan Barat
dan Islam, sebagai usaha mengislamkan disiplin-disiplin ilmu
modern dalam wawasan Islam.21 Sayed Hossein Nasr mendefenisikan
Islamisasi ilmu sebagai upaya menerjemahkan pengetahuan modern
ke dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat muslim dimana
19 Nor Wan Daud, Moh Wan. Filsafat Pendidikan Islam Syed M. Naquib A-Attas. Jakarta: Mizan, 2003, hlm.317.
20 Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Islam dan Sekulerisme. Bandung: PIMPIN, 2011,hlm. 171
21 Cecep Sumarna. Op.cit. hlm.148.12
mereka tinggal. Islamisasi ilmu berarti perubahan pada dimensi
epistemologi dan aksiologi.22 Menurut Nasr, ilmu pengetahuan
dalam Islam berdasarkan pada ide transenden yang merupakan
jantung kewahyuan dalam Islam. Tujuan ilmu keislaman adalah
untuk menunjukkan kesatuan dan keterkaitan semua yang ada.23
Sementara kelompok ilmuwan Islam yang disebut Azra sebagai
kelompok Rekonstruksionis dan Pragmatis, seperti Sayyid Ahmad
Khan (1817-1898), Jamal Al-Din Al-Afghani (1838-1897) lebih
bisa menerima sains modern. Ahmad Khan memang menyadari antara
Al-Qur’an dan sains terkadang dapat muncul, tetapi tidak
nyata. Menurut Ahmad Khan umat Islam harus mengadopsi sains
Barat yang matrealistis untuk menyelesaikan masalah ummat yang
juga riil. Sementara Al-Afghani yang walau pun musuh
kolonialisme Barat, namun dia sangat terpikat dengan sains
Barat. Al-Afghani sadar bahwa sains modern Barat lah yang
membuat umat Islam bisa dikuasai dalam bebagai aspek.
Selanjutnya gagasan-gagasan Al-Afghani diteruskan dengan oleh
muridnya Muhammad Abduh, dalam praktiknya Muhammad Abduh
melakukan banyak perubahan ketika menjadi rektor Universitas
Al-Azhar, salah satunya dengan mendirikan fakultas-fakultas
non ilmu keislaman.
Terdapat beberapa tokoh lagi yang menolak Islamisasi ilmu;
Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam
Tibi.24 Bagi Fazlur Rahman tidak ada yang salah dengan ilmu,
jadi tidak perlu diislamkan. Hal terpenting adalah bagaimana
22 Ibid, hlm. 148.
23 Azyumardi Azra, Op.cit, hlm. 205.13
memanfaatkan ilmu pengetahuan. Sementara Abdus Salam
menyatakan: “there is only one universal science, its problems and modalities are
international and there is no such ting as Islamic science just as there is no Hindu
science, no Jewish science, nor Chritian science” (hanya ada satu sains universal,
problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada
sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau
sains Kristen)”25 Sementara Abdul Karim Sorush menyatakan Islamisasi
ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin.26
Bassam Tibi lebih melihat Islamisasi ilmu sebagai tanggapan
dunia ketiga kepada universalitas ilmu pengetahuan Barat.27
Sebagian ilmuan berpendapat bahwa ilmu merupakan hal yang
bebas nilai. Dalam ilmu tidak ada ruang berbicara mengenai
ilmu sekuler maupun ilmu sakral.28 Menurut Golshani asumsi
ini merupakan hal yang salah, karena pada dasarnya filsafat
dan ideologi tidak terpisah dari aktifitas ilmiah. Selanjutnya
Golshani membedakan antara ilmu sakral dan ilmu sekuler,
sebagai berikut:
24 Adnin Armas, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontempore. Makalah isid,hlm.51.
25 Adnin Armas, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontempore. Makalah isid,hlm.51. 26 Ibid, hlm. 55.
27 Ibid, hlm. 55.
28 Mehdi Golshani. Science and the Sacred: Sacred Science vs. SecularScience. Paper on International Confrence on Religion and Science in thePost Colonial World. Universitas Gadjah Mada dan Templeton Foundation, USA,2003.hlm. 1.
14
1. Ilmu sekuler berpandangan tidak ada ruang untuk Tuhan
dalam penataan alam. Sementara pandangan Islam bahwa
dunia diciptakan atas pengetahuan dan kekuatan Allah.
2. Ilmu sekuler berisikan spesialisasi dan fragmentasi
sains. Sementara pandangan Islam lebih menggunakan
pendekatan holistik.
3. Ilmu sekuler menolak akan adanya tujuan penciptaan alam.
Sementara pandangan Islam bahwa alam diciptakan untuk
beribadah kepada Allah.
4. Di ilmu sekuler, ilmu dikembangkan untuk mengontrol, dan
memanipulasi alam dan masyarakat. Sedangkan pandangan
Islam bahwa ilmu pengetahuan agar manusia dapat harmonis
dengan tatanan alam.29
Olehkarena itu ilmu pengetahuan tidak hanya mengajarkan
“yang ada” (existence) yang dapat dipahami sebagai netralitas,
tetapi juga mengajarkan “yang akan ada” (will exist), bagaimana
mempergunakan hakikat alam semesta dan hukum-hukumnya atau
temuan-temuan ilmu pengetahuan, serta bagaimana mengarahkannya
ke arah tertentu (aksiologis). Maka hanya ada dua pilihan:
Ilahi (Kebenaran) atau Manusiawi (hawa nafsu).30
Sementara Mulyadi Kartanegara mengatakan bahwa dengan
kecendrungan kepada postivime, ilmu modern hanya mengakui yang
empiris. Sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam bukan hanya29 Ibid, hlm.1.
30 Subakir , 1989 dalam Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan Islam: UpayaMengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Rosdakarya,2008, hlm. 65.
15
objek empiris, tapi juga objek non empiris. Sehingga sistem
epistemologi itu terbangun, yang diintegrasikan adalah objek
fisik dan non fisik.31 Selanjutnya Mulyadi Kartanagara
menjelaskan bahwa objek ada yang bersifat fisik namun ada yang
non fisik yaitu alam imajinal dan metafisik. Karena ada objek
fisik dan non fisik. Maka ilmu harus memiliki hirarki. Kalau
ada benda fisik maka harus ada yang non fisik. Karena ada
metafisik maka harus ada ilmu metafisik seperti Matematika.
Kalau tidak ada objek tidak mungkin ada ilmunya. Mulyadi
Kartanagara memberi contoh, kalau hal yang materi dianggap ada
dan dikatakan ilmu, maka tentu saja mimpi yang merupakan
immateri mempunyai ruang juga untuk diakui keberadaannya
sebagai Ilmu. Jika di Barat agama dianggap bukan bagian dari
ilmu, maka dengan landasan ini menurut Mulyadi Kartanagara,
agama juga berhak untuk dikaji sebagai ilmu.
Menurut Nurcholish Madjid, jika sains mengikuti metodenya
sendiri dengan lebih terbuka dan tidak apriori membatasi
kenyataan hanya kepada yang tampak mata saja, maka barangkali
ia akan mampu ikut membimbing manusia ke arah menginsafi alam
ruhani secara lebih mendalam, suatu alam yang sesungguhnya
menguasai seluruh yang ada.32
Senada dengan itu, Muhadjir mengatakan bahwa kehidupan yang
Islami menggarisbawahi perlunya bangunan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan yang tidak hanya31 Mulyadi Kartanagara dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. HotelMickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
32 Budhy Munawar-Rachman. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jakarta: Paramadina,Mizan, Center for Spirituality and Leadership. 2006. hlm. 219
16
meyakini kebenaran sensual-indrawi, logik dan etik insani,
tetapi juga mengakui dan meyakini kebenaran transedental.
Karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
bersifat value free, tetapi value-bound.33 Mulyadi Kartanagara
menambahkan bahwa “Sains tidak netral, yang netral adalah
fakta. Sains tidak cukup fakta tapi harus ada penjelasan.
Masalah penjelasan maka bergantung pada siapa yang
menjelaskan. Kalau ateis yang menjelaskan maka akan diarahkan
ke ateisme.34
Konteks perdebatan paradigma ilmuwan Muslim di atas dengan
transformasi IAIN menjadi UIN menjadi dasar, dan pertanyaan-
pertanyaan, bagaimanakah idealnya format IAIN jika ingin
dirubah menjadi Universitas Islam Negeri. Jika IAIN yang telah
berubah menjadi UIN tersebut, hal apa saja yang dilakukannya
sehingga tidak menghilangkan identitas Islamnya. Sebagaimana
yang diungkapkan Azis Berghout, ketika memulai workshop
perubahan empat IAIN di Brastagi Sumatera Utara.
“Hal yang paling penting adalah apa pertanyaan anda. Saatini kita berbicara kajian Islam, berbicara tentang sains,pertanyaanya adalah sistem yang ada. Berarti ini jugaberbicara tentang sistem yang sekuler, akan berdampakpada pendidikan Islam. Apa yang kita lakukan untukmentransformasi ilmu. Siapa yang mendukung Islammenjalankan program pembangunan umat. Siapa yangmerancang metode? Apa yang kita inginkan terhadap alumni?Bagaimana kita mengartikulasikan nilai-nilai ajaran Islamke dalam kurikulum.”35
33 Muhaimin. Op.cit, hlm. 65.
34 Mulyadi Kartanagara dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. Hotel Mickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
17
Menurut Al-Attas, pendidikan tinggi Islam memiliki
konsepsi yang berbeda dengan konsep pendidikan Barat.
“Sebuah universitas Islam memiliki strukur yang berbedadari universitas Barat, konsep ilmu yang berbeda dari apayang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dantujuan dan aspirasi yang berbeda dari konsepsi Barat.Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk“manusia sempurna” atau “manusia universal”...Seorangulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satubidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalamcara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapabidang keilmuan yang saling berkaitan.”36
Walau pun konsep Islamisasi ilmu banyak mendapat tentangan
dan tidak terlampau menjadi pedoman paradigma baru UIN, namun
peringatan Al-Attas adalah bahwa pedidikan tinggi Islam harus
mempu menciptakan manusia yang universal, tentunya juga harus
spesialis dalam bidang yang ditekuni.
2. Transformasi IAIN menjadi UIN
Mulai dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), kemudian
berkembang menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN), selanjutnya berkembang lagi menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), lembaga Perguruan Tinggi Islam Negeri ini
hanya berkutat pada pengkajian dan pengajaran Agama Islam.37
35 Azis Berghout dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. Hotel Mickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
36 Nor Wan Daud, Moh Wan. Filsafat Pendidikan Islam Syed M. Naquib A-Attas. Jakarta:Mizan, 2003.hlm.206
37 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu MemanusiakanManusia. Bandung, 2010, hlm. 208-210
18
Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial masyarakat,
maka mandat IAIN yang semulanya hanya berkenaan dengan Agama
Islam, maka mulai muncul wacana dan konsep untuk memperluas
mandat IAIN (wider mandate) untuk memperluas ranah kajiannya
dengan berubah menjadi Universitas Islam Negeri.
Ahmad Tafsir mengemukakan enam alasan mengapa IAIN harus
berubah menjadi UIN, sebagai berikut.
a. Kita memerlukan pemikir yang mampu berpikir komprehensif.
b. Ilmu agama memerlukan ilmu umum.
c. Meningkatkan harga diri Sarjana dan Mahasiswa Muslim.
d. Menghilangkan paham dikotomi Agama-Umum
e. Memenuhi harapan masyarakat muslim
f. Memenuhi kebutuhan lapangan kerja.38
Azyumardi Azra mengemukakan dua alasan mengapa IAIN harus
berubah menjadi UIN. Pertama, IAIN belum berperan secara
optimal dalam dunia akademik, birokrasi, dan masyarakat secara
keseluruhan. IAIN masih dikenal dengan orientasi dakwahnya,
daripada mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, kurikulum
IAIN belum merespon perkembangan iptek dan perubahan
masyarakat yang semakin kompleks. Kajian agama yang normatif
kurang mengalami interaksi dengan ilmu lain bahkan
terdikotomi.39
38 Ibid, hlm. 208-210.
39 Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru. Makalah, tanpa tahun
tanpa tanggal19
Menurut Mahlani, seorang perwakilan IIIT di Indonesia bahwa
sebenarnya proyek konversi IAIN menjadi UIN bermula pada tahun
1998. Mahlani yang terlibat dalam Islamic Development Bank
(IDB) di Singapore pada masa itu ragu bahwa Presiden Soeharto
menyetujui perubahan IAIN yang pada dasarnya telah mulai
digagas oleh M.Quraish Shihab dan Tarmizi Taher. Umar Shihab
yang yang pada masa itu adalah anggota parlemen turut membantu
meloloskan proyek perubahan IAIN.40
Lima IAIN yang merupakan pilot project UIN adalah: Jakarta,
Yogyakarta, Bandung, Pekanbaru, dan Surabaya, dan satu STAIN
Malang.41 Selanjutnya Muhaimin mengatakan bahwa untuk memahami
visi dan misi IAIN/STAIN ke UIN dapat dilihat dari tiga
dimensi berikut: (1) dimensi normatif-teologis; (2) dimensi
filosofis; (3) dimensi historik empiris. Hal ini karena Islam
mengajarkan agar berislam secara kaffah.
208. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalamIslam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkahsyaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Hal ini menggambarkan bahwa umat Islam tidak diperbolehkan
secara parsial dalam menjalankan Islam, termasuk dalam konsep
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Merupakan
kewajiban juga bagi umat Islam mengembangkan pendidikan Islam
40 Mahlani dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. Hotel Mickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
41 Muhaimin, Op.cit, hlm. 61.20
sebagaimana yang berkembang di dunia Barat yang berbasis riset
agar dapat menyelesaikan permasalahan manusia.
Jika dilihat secara filosofis, bahwa keinginan ideologis
dalam pendidikan Islam agar dapat mewujudkan manusia yang
hidup secara Islami dalam praktik kehidupan, maka seharusnya
setiap proses yang ada dalam pendidikan termasuk dalamnya
pegetahuan dan teknologi diajarkan dengan pendekatan
teosentris.
Secara historis perkembangan konversi menjadi UIN merupakan
keinginan untuk melanjutkan kejayaan para ilmuwan Islam
terdahulu atas sumbangsihnya dalam perkembangan peradaban
dalam berbagai disiplin ilmu maupun dengan lembaga-lembaga
pendidikan.
a. Tiga Corak Pilot Project Universitas Islam Negeri
Jika bicara transformasi IAIN menjadi UIN, biasanya
dikalangan Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) akan langsung
menyebut tiga tokoh penting konversi menjadi UIN, yaitu: Prof.
Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Amin Abdullah, dan Prof. Dr.
Imam Suprayogo. Walau pun banyak tokoh-tokoh lain yang
terlibat memperjuangkan IAIN menjadi UIN, namun mereka bertiga
seperti sudah ditetapkan sebagai Pembaharu Pendidikan Tinggi
Islam. Olehkarena itu pemakalah banyak mengutip pandangan-
pandangan tiga tokoh tersebut untuk menjelaskan dan meninjau
kritis konversi IAIN menjadi UIN.
Pada saat ini jumlah UIN telah bertambah. Keseluruhannya:
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga21
Yogyakarta, UIN Maliki Malang, UIN Syarief Kasim, UIN Makasar,
UIN Aceh,UIN Surabaya, UIN Sumatera Utara (dalam proses), UIN
palembang (dalam proses), UIN Semarang (dalam proses).
Namun untuk menyederhanakan makalah, diskusi hanya akan
fokus membahas corak di tiga Universitas Islam Negeri, yaitu:
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, dan UIN Maliki Ibrahim Malang. Dikarenakan tiga
UIN tersebut telah dianggap sukses dan mempunyai keunikan
masing-masing, makatepat untuk dianalisis perjalanan tiga UIN
tersebut setelah beberapa tahun berlangsung.
1. Reintegrasi Ilmu UIN Syarief Hidayatullah Jakarta
Posisi Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah yang
ada di Jakarta memberikan keuntungan dan corak tersendiri.
Karena kota besar selalu menarik untuk menjadi tujuan
melanjutkan studi. UIN Jakarta merupakan salah satu pilot project
yang memiliki keunikannya tersendiri.
UIN Jakarta menerapkan reintegrasi ilmu antara ayat qauliyah
dan ayat qauniyah, sebagaimana yang disampaikan oleh Azyumardi
Azra berikut.
“Dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu umum dan ilmu agama.Itu terjadi ketika umat Islam mengalami kemunduran. Sehinggadianggap ilmu yang paling utama untuk masuk surga adalahilmu-ilmu Fiqih. Kita sering lupa bahwa kehidupan kita iniadalah bagian dari tindakan agama. Kita tidak komprehensifmemahami Islam. Dalam kerangka itulah UIN Jakartareintegrasi ilmu-ilmu yang bersumber dari ayat ayat Allah.Ayat tertulis dan ayat Qur’ani. Tetapi Allah tidak terbatas,
22
ada ayat-ayat qauniyah. Kita harus reintegrasi kedua ilmu ituqauliyah dan qauniyah.”42
Selanjutnya Azyumardi Azra menegaskan “Bagi saya yang
penting reintegrasi ayat-ayat Allah”, merupakan sebuah
tantangan membawa ilmu-ilmu ke dalam mainstream perspektif Islam
mengenai ‘ilm secara menyeluruh dan utuh. Olehkarena itu perlu
rekonsiliasi dan reintegrasi antara dua kelompok keilmuan: al-
ayah al-qur’aniyyah, dan al-ayah kauniyah.
Pergulatan pemikiran dan konsep yang cocok ketika UIN
Jakarta akan didirikan cukup sengit. Bahkan menurut Azra,
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof.
Dr.Komaruddin Hidayat menyatakan keberatan mereka terhadap
agenda perubahan IAIN Jakarta menjadi UIN, dengan alasan bahwa
IAIN Jakarta telah memiliki kekhasan. Pernyataan Azra ini
dapat dikonfirmasi dengan tulisan Hamid Fahmi Zarkasyi yang
merekam penolakan Nurcholish Madjid terhadap perubahan IAIN.
“Kesimpulan ini diperkuat oleh fakta ketika NM mendirikanUniversitas Paramadina. Sudah tentu universitas ini adalahUniversitas Islam, bukan universitas sekuler. Sebelummendirikan universitas ini NM (dalam Orasi Ilmiyah di ISIDGontor tahun 1992) menolak jika IAIN dijadikan universitas.Alasannya karena disitu Fakultas Agama Islam hanya akanmenjadi salah satu dari fakultas-fakultas umum. Tapi ketikaNM mendirikan Universitas Paramadina ia melakukan sesuatuyang dikritiknya itu...” 43
42 Azyumardi Azra dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. Hotel Mickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
43 Hamid Fahmi Zarkasyi. Proyek “Pembaharuan” Pemikiran Islam di Indonesia (Kajian Kritisdan Evaluatif). Kumpulan Makalah Workshop bertajuk “Evaluasi PembaharuanPemikiran Islam”. Forum Komunikasi Ushuluddin Institut Studi IslamDarussalam Pondok Modern Darussalam Gontor, 2007, hlm. 37.
23
Tidak hanya resistensi para kaum intelektual terhadap
transformasi IAIN Jakarta, tetapi juga terjadi pergulatan
wacana konsep keilmuan Islam. Ada tawaran Konsep Universitas
Al-Azhar, dan Islamisasi Ilmu. Namun Azyumardi Azra yang
ditugaskan untuk menyusun Konsep Akademis UIN Jakarta
mengikuti yang disarankan Prof. Dr. Quraish Shihab, yaitu
untuk tidak mengikuti seperti yang ada di Universitas Al-Azhar
Mesir dan tidak dengan Konsep Islamisasi Ilmu.
“Di Ciputat itu disebut Paradigma Baru berdasarkan ayattersebut. Kenapa paradigmanya Islamisasi Pengetahuan? Ketikasaya kembali dari Oxford Fellow, saya ditugaskan untuk menyusunKonsep Akademis UIN. Pesan Quraish Shihab jangan meniru Al-Azhar. Kedua, jangan meniru Islamisasi pengetahuan. Kenapabukan Al-Azhar? Karena paradigma yang dikembangkan adalahparadigma yang mendorong analitis dan kritis untuk kehidupanmodern. Al- Azhar lebih menonjolkan hafalan, bukan berartitidak penting. Dalam konteks Indonesia menurut QuraishShihab tidak cocok. Kenapa tidak Islamisasi? karena semuailmu itu sudah Islam. Kalau saya mengikuti pak Quraish,kalau saya yang mengajukannya, dituduh sekuler karena alumniBarat.” 44
Sangat jelas konsep yang diterapkan di UIN Jakarta dengan
pernyataan Azyumardi Azra tersebut, bahwa untuk di Indonesia,
konsep yang cocok di Indonesia lebih kepada paradigma yang
mendorong untuk bersikap analitis dan kritis, tidak sepert di
Al-Azhar yang masih menghafal. Sedangkan mengenai konsep ilmu
itu sendiri bahwa setiap ilmu pada dasarnya sudah Islami.
Tentu saja konsep yang diterapkan di UIN Jakarta ini sangat
bertentangan dengan tawaran Islamisasi ilmu yang digagas
Ismail Raj Al-Faruqi dan Syed Naquib Al-Attas. Bahkan dengan44 Azyumardi Azra dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. Hotel Mickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
24
tegas Azra mengatakan bahwa wacana Islamisasi Ilmu di
Indonesia tidak begitu populer. Kemungkinan karena ini juga
rekomendasi Quraish Shihab maka konsep Paradigma Baru bisa
dilanjutkan, tentu akan berbeda jika hanya Azyumardi Azra yang
menggagasnya, pasti akan lebih banyak mendapat tentangan,
sebagaimana yang dikatakan Azra jika dia yang merumuskan
sendiri pasti akan dituduh sekuler. Pernyataan ini menegaskan
bahwa pada masa transisi IAIN yang pertama, dikotomi Barat dan
Islam sangat jelas.
“Gagasan Islamisasi Islam di Indonesia tidak begitu populardi Indonesia, tidak menjadi perdebatan kaum intelektual.Baru-baru saja isu ini dibawa, salah satunya Prof Mulyadi,dulu pusatnya di Singapore oleh IIIT. Islamisasi tidakwacana penting di Indonesia. Konteks IAIN yang mau jadi UINbisa mengembangkan paradigma masing-masing dankeunggulannya.” 45
Menurut Azyumardi Azra, tidak ada Matematika Islam, Kristen
dan lain-lain. Namun dalam aplikasinya bisa diterapkan untuk
kehidupan Islami. Misalnya dalam Ilmu Sosial, umat Islam butuh
Antropologi masyarakat Muslim sendiri yang tidak semerta-merta
diambil dari Barat. Karena tentu saja secara pandangan dan
struktur masyarakat Muslim sangat berbeda dengan masyarakat
Barat. Olehkarena itu menurut Azra Universitas Islam Negeri
harus mengkonstruksi Ilmu Humaniora yang berbasis pertumbuhan
masyarakat Muslim sendiri.
45. Azyumardi Azra dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. Hotel Mickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
25
Fakultas Kedokteran merupakan Program Studi yang menjadi
unggulan UIN Jakarta. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dalam
praktik keseharian di masyarakat, sering terjadi kesulitan
dalam bidang kesehatan, misalnya dokter kandungan yang
faktanya banyak digeluti laki-laki.
“Saya sering mengatakan, kenapa eks IAIN Jakarta beranimendirikan Fakultas Kedokteran? Padahal mahal, tapi sayasering bilang, umumnya dokter kandungan adalah laki-laki.Dengan alasan darurat, itu tidak perlu lagi, olehkarenaitu, kita perlu mendirikan kedokteran. Islam terlalu besarunntuk dikungkung oleh Fiqih, bukan berarti Fiqih tidakpenting, tetapi kita harus bagi tugas untuk mempelajarilainnya.”46
Kebutuhan masyarakat Muslim akan tenaga kesehatan ini di
respon sangat baik oleh masyarakat Muslim. Bahkan menurut
Azyumardi Azra, masyarakat cendrung memilih berobat ke dokter
alumni UIN Jakarta karena adanya distingsi masyarakat terhadap
dokter yang belajar di UIN.
Program Studi yang berkenaan dengan teknologi modern masih
digarap di level S1, belum ada program sains dan teknologi di
Pascasarja sebagaimana di Tabel 1. Pascasarjana UIN Jakarta
masih fokus dalam studi keilslaman.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi jendela
keunggulan akademis Islam Indonesia dan barometer
perkembangan pembelajaran, penelitian, dan kerja-kerja sosial
yang diselenggarakan kaum Muslim Indonesia dalam berbagai
bidang ilmu. Dalam kerangka memperkuat peranannya tersebut UIN
46 Azyumardi Azra dalam ceramah Workshop Kelompok Kerja UIN. Hotel Mickey Holliday. Brastagi, Sumatera Utara.
26
Syarif Hidayatullah Jakarta berkomitmen untuk mengembangkan
diri sebagai Universitas Riset dan Universitas Kelas Dunia.
Universitas Riset diartikan sebagai universitas yang
menjadikan tradisi riset sebagai basis normatif aktivitas
universitas. Sedangkan penyelenggaran manajemen UIN Jakarta
dilndaskan prinsip-prinsip dan penerapan Total Quality Management.47
Tabel 1
Fakultas dan Program Studi UIN Syarief Hidayatullah Jakarta
No Fakultas Jurusan
1 Fakultas Ilmu Tarbiyahdan Keguruan
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan BahasaArab, Pendidikan Bahasa Inggris,Pendidikan IPS, Pendidikan Matematika,Pendidikan Biologi, Pendidikan Fisika,Pendidikan Kimia, Manajemen Pendidikan,Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia,Pendidikan Guru SD/MI
2 Adab dan Humaniora Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah PeradabanIslam, Tarjamah, Bahasa dan SastraInggris, Ilmu Perpustakaan Islam
3 Ushuluddin Perbandingan Agama, Tafsir Hadits, AqidahFilsafat
4 Syari’ah dan Hukum Hukum Keluarga, Pidana dan Tata NegaraIslam, Muamalat, Ilmu Hukum, PerbandinganMazhab dan Hukum
5 Ilmu Dakwah danKomunikasi
Komunikasi dan Penyiaran Islam, BimbinganPenyuluhan Islam, Manajemen Dakwah,Pengembangan Masyarakat Islam,
47 http://www.uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html27
Kesejahteraan Sosial
6 Dirasat Islamiyah Dirasat Islamiyah
7 Psikologi Psikologi
8 Ekonomi dan Bisnis Akuntansi, Manajemen, Ilmu Ekonomi danStudi Pembangunan, Perbankan dan KeuanganSyari’ah, Ekonomi Syari’ah
9 Sains dan Teknologi Teknik Informatika, Agribisnis, SistemInformasi, Matematika, Biologi, Kimia,Fisika
10 Kedokteran dan IlmuKesehatan
Pendidikan Dokter, Ilmu Keperawatan,Farmasi, Kesehatan Masyarakat
11 Ilmu Sosial dan IlmuPolitik
Hubungan Internasional, Ilmu Politik,Sosiologi
12 Sekolah Pascasarjana Pemikiran Islam (Teologi, Filsafat danTasawuf); Pendidikan Islam; Syari'ah-Fiqh; Sejarah-Peradaban; Bahasa-SastraIslam; Tafsir Interdisiplin; Hadis danTradisi Kenabian; Dakwah Islamiyah;Ekonomi Syari’ah; Manajemen Perbankan danKeuangan Syari'ah; Psikologi Islam; Studi Agama-Agama; Kajian Islam-Jender-;Islam-Studi Perdamaian; Studi KawasanIslam; Arsitektur-Tata Ruang Islam; StudiManuskrip Islam; Filologi IslamIndonesia; Ekologi Islam; IslamMinoritas; Sosiologi-AntropologiMasyarakat Islam; Kajian Hubungan Intradan Antar Agama; InterdisciplinaryIslamic Studies; Agama dan Politik; Agamadan Sains; Islam dan Kependudukan; Agamadan Media; Analisis Produk Halal; Agamadan Kesehatan; Agama dan Kedokteran;Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM); SeniBudaya Islam; Islam dan Diplomasi; Agamadan Kewirausahaan.
b. Interkoneksi UIN Sunan Kalijaga
Menurut Amin Abdullah, sekarang bukan lagi eranya IlmuKesilaman menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi
28
ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan ilmu-ilmu kealaman. Begitujuga sebaliknya ilmu kealaman tidak lagi dapat berdiri sendiridengan tidak mengenal cara pandang dan analisis ilmu sosialdan humaniora.48 Amin mengemukakan konsep interdisciplinary yaitudimana setiap Fakultas yang ada di UIN sensitif terhadaprelasinya dengan disiplin lain, hal ini disebutnya dengan“Jaring Laba-laba Keilmuan Teoantroposentris-integralistik.”Maka dalam penerapannya, misalnya di Fakultas Syari’ah tidakboleh menolak mata kuliah yang mengandung muatan humanitieskontemporer, seperti hermeneutik,budaya, dan studi agama.
Tabel 2
Fakultas dan Program Studi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
No Fakultas Jurusan
1 Adab dan Ilmu Budaya Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah danKebudayaan Islam, Ilmu Perpustakaan,Sastra Inggris
2 Dakwah dan Komunikasi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Bimbingandan Konseling Islam, Manajemen Dakwah,Ilmu Kesejahteraan Sosial
3 Ilmu Tarbiyah danKeguruan
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan BahasaArab, Manajemen Pendidikan Islam,Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah,Pendidikan Guru Raudhatul Athfal
4 Syari’ah dan Hukum Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, PerbandinganMazhab dan Hukum, Jinayah Siyasah,Muamalat, Keuangan Islam, Ilmu Hukum
5 Ushuluddin dan PemikiranIslam
Filsafat Agama, Perbandingan Agama, Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Sosiologi Agama
6 Sains dan Teknologi Matematika, Fisika, Kimia, Biologi,Teknik Informatika, Teknik Industri,Pedidikan Matematika, Pendidikan Kimia,Pendidikan Biologi, Pendidikan Fisika
7 Ilmu Sosial dan Humaniora Psikologi, Sosiologi, Ilmu Komunikasi
48 Amin Abdullah. 261. Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN SunanKalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah IntegratifInterdisciplinary. Dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi.Bandung: Mizan, 2005
29
8 Ekonomi dan Bisnis Islam Ekonomi Islam, Perbankan Islam
9 Pascasarjana Agama dan Filsafat, Pendidikan Islam,Hukum Islam, Interdisciplinary Islamic Studies,Pendidikan Guru MI, Pendidikan GuruRA/PAUD, Studi Islam, Ekonomi Syari’ah,ICRS
Jika dilihat dari Fakultas-Fakultas, Jurusan-jurusan, dan
Program studi yang ada di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jelas
sangat nampak sangat dipengaruhi corak pemikiran M. Amin
Abdullah. Paradigma interkoneksi, bahwa setiap ilmu tidak bisa
terlepas dari ilmu lainnya nampak misalnya di Program
Pascasarjana, seperti ICRS, dan Interdisciplinary Islamic Studies.UIN
Yogyakarta nampak berupaya keras untuk mendialogkan Islam
dengan berbagai kehidupan dalam lingkup Nasional mau pun
global.
c. Integrasi Ilmu UIN Malang
UIN Malang memiliki konsep Tarbiyah uli al albab yang merupakan
kekuatan zikir, pikir, dan amal saleh yang mampu menggerakkan
integrasi antara sistem pendidikan pesantren dan sistem
pendidikan tinggi.49 Ulul-Albab tersebut dijadikan logo UIN
Malang, dan UIN Malang merupakan satu-satunya PTAIN yang
bersimbolkan tulisan Arab. Ciri khas UIN Malang berikutnya
yaitu Pohon Ilmu. Berbasiskan Pohon Ilmu inilah UIN Malang
49 Moh. Padil. Tarbiyah uli al albab: Ideologi Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri MaulanaMalik Ibrahim. Disertasi Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010,hlm. ix
30
mengembangkan paradigma ilmunya dan diwujudkan dalam fakultas
dan program studi.
Paradigma keilmuan yang dikembangkan UIN Malang yaitu dengan
mengembangkan konsep Ulul Albab. Ulul Albab terulang 16 kali
dalam Alqur’an: Q.S. Al-Baqarah:179, 197, 269; Q.S. Ali-Imran:
7, 190; Q.S. Al-Maidah: 100; Q.S. Yusuf: 111; Q.S. Al-Ra’d:
19; Q.S. Ibrahim: 52; Q.S. Shad: 29, 43; Q.S. Al-Zumar: 9, 18,
21; Q.S. Al-Mukmin/Ghafir: 54; Q.S. Al-Thalaq: 10. (Al-Baqy:
1945).50 Menurut Muhaimin dari 16 ayat tersebut, maka Ulul
Albab memiliki 16 karakteristik:
1. Orang yang memiliki akal pikiran yang murni dan jernih
yang tidak diselubungi oleh kabut-kabut ide yang dapat
melahirkan kerancuan berpikir.
2. Orang yang siap dan mampu dalam suasana pluralisme.
3. Orang yang mampu menangkap pelajaran dan meyeleksi benar
dan salah.
4. Orang yang giat melakukan penelitian sesuai dengan
bidangnya.
5. Orang yang mementingkan kualitas hidup disamping
kuantitasnya.
6. Orang yang selalu sadar akan kehadiran Allah dalam segala
kondisi.50 Muhaimin, Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa Depan.Malang: UIN Malang dan Bayumedia Publishing, 2004, hlm. xxiii.
31
7. Orang yang peduli terhadap kesinambungan pemikiran dan
sejarah.
8. Orang yang memiliki ketajaman hati dalam menangkap
fenomena.
9. Orang yang mampu dan bersedia mengingatkan orang lain
berdasar ajaran Ilahi.
10. Orang yang suka merenungkan dan mengkaji ayat-ayat
Allah.
11. Orang yang sabar dan tahan uji.
12. Orang yang mampu membedakan mana yang lebih
bermanfaat dan mana pula yang kurang bermanfaat.
13. Orang yang terbuka terhadap pendapat, ide, atau
teori dari mana pun datangnya.
14. Orang yang sadar dan peduli terhadap pelestarian
lingkungan hidup.
15. Orang yang berusaha mencari petunjuk dan pelajaran
dari fenomena historik.
16. Orang yang tidak mau membuat onar, keresahan,
kerusuhan dan makar. 51
Gambaran Al-Qur’an tentang Ulu al-albab benar-benar
bersessuaian dengan pengertian modern tentang kaum
cendekiawan.52 Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa Ulu al-albab51 Ibid, hlm. Xxiii-xiv
52 Nurcholish Madjid dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jilid U32
yang bisa juga disebut ulama, orang-orang berilmu bertanggung
jawab menyampakan dan mengembangkan makna hakiki dalam
keagamaan dan relegiusitas masyarakat agar tidak hanya dalam
ranah simbolik formalistik.
Ulu al-albab yang merupakan prinsip dan paradigma UIN Malang
menuntu profil alumni ilmuwan yang ulama-ulama yang ilmuwan.
Sarjana UIN Malang dengan ulu al-albab nya dituntut memahami
gejala alam, gejala sosial disekitarnya. Dalam praktiknya,
maka dianggap penting mengembangkan ilmu-ilmu yang berkenaan
dengan alam, sebagaimana prinsip yang disampaikan Imam
Suprayogo.
Jika dipelajari secara seksama, sesungguhnya ilmu
pengetahuan di dunia ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga
golongan, yaitu ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu sosial
(social science), dan ilmu-ilmu humaniora (humanities).53 Menurut
Imam Suprayogo ilmu alam yang bersifat murni terdiri atas
Fisika, Kimia, Biologi, Matematika. Ilmu sosial meliputi
Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Sejarah. Sedangkan ilmu
humaniora terdiri dari Filsafat, Bahasa, Sastra dan Seni.
“Jika dipelajari secara seksama, sesungguhnya ilmupengetahuan di dunia ini dapat diklasifikasikan menjaditiga golongan, yaitu ilmu-ilmu alam (natural science), ilmusosial (social science), dan ilmu-ilmu humaniora(humanities).”54
53 Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Budaya, dan Seni padaPerguruan Tinggi. El-Jadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Volume 3, Nomor 1,2005. Hlm. 40. 54 Ibid, hlm.40.
33
Menurut Imam Suprayogo ilmu alam yang bersifat murni terdiri
atas Fisika, Kimia, Biologi, Matematika. Ilmu sosial meliputi
Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Sejarah. Sedangkan ilmu
humaniora terdiri dari Filsafat, Bahasa, Sastra dan Seni.
Tabel 3
Fakultas dan Program Studi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
No Fakultas Jurusan
1 Ilmu Tarbiyah danKeguruan
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan IlmuPengetahuan Sosial (PIPS), PendidikanGuru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI),Pendidikan Bahasa Arab, PGRA, ManajemenPendidikan Islam
2 Syari’ah Al-akhwal al-Syakhsiyya, Hukum BisnisSyari’ah
3 Humaniora Bahasa dan Sastra Arab, Bahasa dan SastraInggris
4 Psikologi Psikologi
5 Ekonomi Manajemen, Akuntansi, Perbankan Syari’ah
6 Sains dan Teknologi Matematika, Biologi, Kimia, Fisika,Teknik Informatika, Teknik Arsitektur,Farmasi,
7 Pascsarjana Manajemen Pendidikan Islam, PendidikanBahasa Arab, Studi Agama Islam, PGMI,Pendidikan Agama Islam, Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, Ekonomi Syari’ah, PendidikanAgama Islam Berbasis StudiInterdisipliner
Menurut Mahlani, perwakilan IIIT Indonesia UIN Malangmerupakan contoh yang sangat baik dalam kesuksesannyamengintegrasikan ilmu. Konsep Pohon Ilmu yang menjadi“ideologi” dalam mengembangkan program studi di UIN Malangsangat menginspirasi civitas akademika, dan menginspirasi IAINdi seluruh Indonesia. Bahkan dalam Road Map Empat IAIN yangakan menjadi UIN (IAIN Sumatera Utara, IAIN Semarang, IAIN
34
Lombok, IAIN Palembang) yang di selenggarakan di BrastagiProvinsi Sumatera Utara sempat tercetus ide untukmenyeragamkan paradigma empat calon UIN ini dalam satuparadigma. Hal ini diinspirasikan oleh Pohon Ilmu UIN MalikiMalang, dan Jaring Laba-Laba (interkoneksi) UIN Sunan KalijagaYogyakarta. Namun hal ini tidak disepakati, mengingatrekomendasi para pakar bahwa setiap UIN sebaiknya memilikikarakter dan keunikan masing-masing, tidak perlu diseragamkan.
d. UIN Alauddin Makassar
Tabel 4
Fakultas dan Program Studi UIN Alauddin Makassar
No Fakultas Jurusan
1 Syari’ah dan Hukum Ilmu Hukum, Hukum Pidana danKetatanegaraan, Hukum Acara Peradilan danKekeluargaan, Perbandingan Mazhab danHukum
2 Ekonomi dan Bisnis Islam Ilmu Akuntansi, Ekonomi Islam, IlmuEkonomi, Manajemen
3 Tarbiyah dan Keguruan Pendidikan Agama Islam, Pendidikan BahasaArab, Manajemen Pendidikan Islam,Pendidikan Bahasa Inggris, PendidikanMatematika, Pendidikan Fisika, PendidikanBiologi, PGMI, Madrasah Aliyah Madani
4 Ushuluddin dan Filsafat Aqidah Filsafat, Kajian Agama-Agama, D2Instruktur Baca Tulis dan Terjemahan Al-Qur’an, Ilmu Politik, Pemikiran PolitikIslam, Sosiologi Agama, Tafsir Hadits
5 Dakwah dan Komunikasi Jurnalistik, Komunikasi dan Penyiaranislam, Bimbingan dan Penyuluhan Islam, D2Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam,Komunikasi, Studi Manajemen Dakwah,Pengembangan Masyarakat Islam
6 Adab dan Humaniora Bahasa dan Sastra Arab, Bahasa dan SastraInggris, Diploma 2 Ilmu Perpustakaan,Ilmu Perpustakaan, Sejarah dan KebudayaanIslam
7 Sains dan Teknologi Teknik Informatika, Biologi, Fisika,Kimia, Matematika, Ilmu Peternakan,
35
Teknik Pengembangan Wilayah dan Kota,Teknik Arsitektur, Sistem Informasi
8 Ilmu Kesehatan Keperawatan, Farmasi, Diploma 3Kebidanan, Kesehatan Masyarakat
9 Program PascasarjanaTafsir Hadis, Pemikiran Islam,Syariah/Hukum Islam, Pendidikan danKeguruan, Sejarah Peradaban Islam, Dakwahdan Komunikasi, Pendidikan Bahasa Arab,Bahasa Arab, Ekonomi Islam. ProgramDoktor:Tafsir Hadis, Pemikiran Islam,Syariah/Hukum Islam, Pendidikan danKeguruan, Sejarah Peradaban Islam, Dakwahdan Komunikasi, Pendidikan Bahasa Arab,BSA, PMI
e. UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Tabel 5
Fakultas dan Program Studi UIN Sultan Syarif Kasim Riau
No Fakultas Jurusan
1 Tarbiyah dan KeguruanPendidikan Agama Islam, Pendidikan BahasaArab, Jurusan Kependidikan Islam, JurusanPendidikan Bahasa Inggris, PendidikanMatematika, Pendidikan Guru MadrasahIbtidaiyah, Pendidikan Kimia, PendidikanIPS Ekonomi
2 Ushuluddin Aqidah Filsafat, Tafsir Hadis,Perbandingan Agama
3 Psikologi Psikologi Klinis dan Agama, PsikologiPendidikan dan Perkembangan, PsikologiIndustri,Organisasi, Sosial
4 Ekonomi dan Ilmu Sosial Manajemen, Administrasi Negara, D3Manajemen Perusahaan, Akuntansi S1, D3Akuntansi, D3 Administrasi
5 Syari’ah dan Hukum Islam Jinayah Siyasah, Perbandingan Mazhab danHukum, Muammalah, Akhwal-al Syakhsiyyah
6 Dakwah dan IlmuKomunikasi
Ilmu Komuikasi, Program D3 dan Grafika,Pengembangan Masyarakat Islam, ManajemenDakwah, Bimbingan dan Penyuluhan Islam
36
7 Sains dan Teknologi
8 Pertanian dan Peternakan Peternakan, Agroteknologi,
9 PascasarjanaPendidikan Agama Islam, Ekonomi Islam, Hukum Islam
Setelah beralih status menjadi universitas pada tahun
2005, UIN Suska telah menjadi salah satu universitas yang
mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun 2005
program studi yang diselenggarakan berjumlah 26 sampai kini
telah mencapai 37 program studi. Dan terus akan dikembangkan
dengan prodi-prodi baru lainnya dalam rangka meningkatkan dan
mengembangkan lembaga baik tingkat S1, S2 maupun S3. Begitu
pula jumlah mahasiswa yang belajar di UIN Suska, pada tahun
2005 jumlah mahasiswa sebanyak 4.752 kemudian berkembang dari
tahun ke tahun sehingga sampai saat ini jumlah mahasiswa yang
tercatat di tahun 2011 adalah sebanyak 18.346. pencapaian yang
luar biasa ini mengindikasikan bahwa UIN Suska telah mendapat
pengakuan publik sejajar dengan perguruan tinggi umum lainnya.
Disamping itu, juga karena layanan pendidikan yang diberikan
serta program-program yang ditawarkan.55
f. UIN Sunan Gunungdjati Bandung
UIN Sunan Gunung Djati memiliki Visi: Menjadi Universitas
Islam yang unggul dan kompetitif. Sedangkan Misinya: (1)
Menyelenggarakan dan mengelola pendidikan tinggi yang
profesional, akuntabel, dan berdaya saing di tingkat nasional
dan internasional, yang dibutuhkan oleh para pengguna jasa
55 http://uin-suska.ac.id/pages/view/fakta-dan-data37
pendidikan tinggi dan memenuhi harapan masyarakat; (2)
Menyelenggarakan penelitian dan kajian ilmiah yang mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS),
serta mampu memenuhi kebutuhan dan memberdayakan masyarakat;
(3) Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat yang mampu
mengembangkan dan memberdayakan diri menuju tatanan masyarakat
madani, demokratis, dan berkeadilan.56
Tabel 6
Fakultas dan Program Studi UIN Sunan Gunungdjati Bandung
No Fakultas Jurusan
1 Adab dan HumanioraSejarah Peradaban Islam, Bahasa danSastra Arab, Bahasa dan Sastra Inggris,D3 Terjemah Bahasa Inggris,
2 Dakwah dan Komunikasi BPI, KPI, MD,PM, Ilmu Komunikasi,Jurnalistik, Humas
3 Psikologi Psikologi
4 Sains dan Teknologi Matematika, Biologi, Fisika, Kimia,Teknik Informatika, Agroteknologi, TeknikElektro,
5 Syari’ah dan Hukum Ahwal-Al-syaksiyyah, Muammalah, Siyasah,Ilmu Hukum, PMH, HPI, MKS,
6 Tarbiyah dan Keguruan Kependidikan Islam, PAI, PBA, PBI,Pendidikan MIPA, Pendidikan Matematika,PGMI, Pendidikan Biologi, PendidikanFisika, Pendidikan Kimia,
7 Ushuluddin Aqidah Filsafat, Perbandingan Agama,Tasawwuf Psikoterapi, Tafsir Hadis,Sosiologi
8 Ilmu Sosial dan Politik Sosiologi, Manajemen, Administrasi
56 http://www.uinsgd.ac.id/front/arsip/page/kampus/visi-dan-misi
38
Negara,
9 Pascasarjana S3: Hukum Islam, Pendidikan Islam, Relegious Studies. S2: Relegious Studies,Ilmu Agama Islam, Ekonomi Islam, Ilmu Hukum,
g. UIN Sunan Ampel Surabaya
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), Surabaya
memperoleh status UIN sejak tanggal 1 Oktober 2013 berdasarkan
Peraturan Presiden No 65 tanggal 1 Oktober 2013. UINSA sudah
berstatus Badan Layanan Umum (BLU) melalui Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 511/KMK.05/ 2009 tanggal 28 Nopember 2009.57
Tabel 7
Fakultas dan Program Studi UIN Sunan Ampel Surabaya
No Fakultas Jurusan
1 Adab dan HumanioraBahasa dan Sastra Arab, Sejarah danKebudayaan Islam, Sastra Inggris
2 Dakwah dan IlmuKomunikasi
Bimbingan dan Konseling Islam,Pengembangan Masyarakat Islam, Komunikasidan Penyiaran Islam, Manajemen Dakwah,Sosiologi, Ilmu Komunikasi, Psikologi
3 Syari’ah dan Hukum Ekonomi Syari’ah, Muammalah
4 Ilmu Tarbiyah danKeguruan
Pendidikan Agama Isla, Pendidikan BahasaArab, Pendidikan Guru MadrasahIbtidaiyah, Pendidikan Guru RoudhotulAthfal, Bimbingan dan Konseling,Manajemen Pendidikan Islam, PendidikanBahasa Inggris, Pendidikan Matematika
5 Ushuluddin dan PemikiranIslam
Perbandngan Agama, Aqidah Filsafat,Politik Islam
6 Program Pascasarjana Ekonomi Islam, Al-Qur’an dan Tafsir,57 http://www.uinsby.ac.id/index.php/uinsa/selamat-datang
39
Pendidikan Agama Islam
UINSA memiliki paradigma ilmu yang disebutnya Twin Towers
yaitu mengembangkan ilmu sesuai karakter dan paradigma
masing-masing. Tiap ilmu harus didialogkan dengan ilmu lain
dan dikontekstualkan dengan kehidupan kongkrit. Keilmuan harus
dibingkai dengan Lebih dari itu, semua ilmu yang dikaji di
UINSA akan dikontekstualisasikannya dengan sejarah konkret
kehidupan, setelah sebelumna dibingkai dan berbasis nilai-
nilai moral yang kokoh.nilai-nilai moral yang kokoh. Paradigma
Twin Towers diharapkan menghasilkan ahli dibidangnya dan juga
mampu menebar ajaran Islam.58
h. UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Tepat diusia 50 tahun IAIN Ar-Raniry pada 5 Oktober 2013
berubah menjadi Universitas melalui PERPRES No. 64 Tahun 2013
yang dikeluarkan dan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2013
dengan nama Universitas Islam Negeri Ar-Raniry (UIN Ar-
Raniry).59 UIN Ar-Raniry Banda Aceh memiliki Visi “Menjadikan
UIN Ar-Raniry Banda Aceh sebagai Pusat Studi Islam yang
kontemporer dan bertaraf internasional. Misi UIN Ar-Raniry:
(1) Mengembangkan dan menyebarluaskan etika keilmuan Islam
melalui kehidupan akademik yang menjunjung tinggi kejujuran
dan integritas; (2) Meningkatkan intelektualitas,
58 Ibid
59 http://uin.ar-raniry.ac.id/web/web/pages/19/sekilas-uin-ar-raniry40
emosionalitas, dan spiritualitas lulusan; (3) Menjalankan
manajemen berbasis syari’at Islam.60
UIN Ar-Raniry Aceh memiliki fakultas: Tarbiyah dan Keguruan;
Syari’ah dan Ekonomi Islam; Dakwah dan Komunikasi; Ushuluddin;
Adab dan Humaniora; dan Pascasarjana.
c. Tinjauan Kritis Universitas Islam Negeri
Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan puncak pencapaian
untuk memiliki dan membangun Perguruan Tinggi Agama Islam
yang terhormat, bahkan hasilnya tidak pernah kita bayangkan
(beyond imagination).61 Walau pun terdapat banyak kemajuan IAIN
yang transformasi menjadi UIN, tetap saja ada aspek yang harus
terus diperbaiki.
1. Distingsi dan Diferensiasi Profil Sarjana UIN
Jika dilihat dari Fakultas dan program studi yang ada pada
UIN, dapat dipastikan yang membedakannya bahwa di UIN ada
studi keislaman, sementara di universitas tidak ada. Sedangkan
fakultas dan program studi “umum” yang ada di UIN pada
dasarnya telah menjadi garapan universitas non UIN. Artinya
profil lulusan UIN yang studi non kajian Islan, harus benar-
benar memiliki nilai plus daripada universitas lain. Harus ada
soft skills mau pun hard skills yang telah diprogram UIN dalam setiap
aktifitas kampus.
60 http://uin.ar-raniry.ac.id/web/web/pages/20/visi-dan-misi
61 Cerama Azyumardi Azra dalam Road Map UIN di Brastagi41
Misalnya apa yang membedakan alumni kedokteran UIN Jakarta
dibandingkan Universitas Indonesia? Apa yang membedakan alumni
Agroteknologi UIN Riau dengan Institut Pertanian Bogor? Apa
yang membedakan alumni Teknologi Informasi UIN Malang dengan
alumni Institut Teknologi Bandung? Apa keistmewaan alumni
Fakultas Humaniora UIN jika disandingkan dengan alumni
Fakultas Ilmu Budaya UI? Pada tingkat Pascasarjana misalnya
apa yang membedakan Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana
UIN Malang dengan Program Doktor Manajemen Pendidikan UPI
Bandung? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya harus bisa
dijawab oleh UIN.
Beban ideologis UIN jangan sampai menciptakan sarjana yang
“separuh-separuh”, yang tidak utuh menguasai keahliannya dan
juga tidak menguasai kajian keislaman. Hal ini masih terjadi
misalnya pada Fakultas Tarbiyah, katakan saja Pendidikan
Bahasa Inggris, alumninya banyak yang masih gagap berbahasa
Inggris, dikarenakan muatan kurikulum keislaman dan bidang
bahasa Inggris sama porsinya, sehingga mengurangi kesempatan
mahasiswa untuk lebih dalam mempelajari bahasa. Kasus Jurusan
Tadris di Fakultas Tarbiyah yang dianggap kurang kompeten di
bidang nya akan kembali terjadi pada UIN karena tuntutan
integrasi ilmu dan keislaman UIN. Dalam praktiknya banyak
mahasiswa UIN di prodi non keislaman merasa sungkan untuk
menggeluti atau memiliki kesungguhan mempelajari studi
keislaman, karena masih berpikir bukan minatnya. Ditambah lagi
alumni Sekolah Menengah Atas yang tidak memiliki dasar
keislaman yang kuat mulai melirik UIN menjadi tempat studi.
42
Hal ini akan membuat program studi yang ada di UIN tidak ada
bedanya dengan universitas non UIN.
2. Masa Depan Program Studi Keislaman
Fakultas studi keislaman seperti Ushuluddin semakin
termarjinalkan, karena sikap pragmatis dalam menuntut ilmu;
kuliah untuk kerja. Jangankan sebelum adanya UIN, pada masa
masih dalam status IAIN saja, program studi yang berada di
bawah Fakultas Ushuluddin sangat sepi peminat. Bahkan misalnya
di beberapa IAIN sudah ada yang mengeliminasi Program Studi
Aqidah Filsafat, dikarenakan tidak ada lagi calon mahasiswa
yang mendaftar. Terlebih lagi ketika beberapa IAIN sudah
konversi menjadi UIN, membuat Program Studi Keislaman yang
berada di Fakultas Ushluddin dan Fakultas Syari’ah semakin
sepi peminat. Misalnya Mahasiswa Program Studi Pemikiran
Politik Islam hanya berjumlah tidak lebih dari 20 orang begitu
juga dialamai Program Studi Aqidah Filsafat dan Tafsir Hadis,
walau pun ditawari beasiswa bagi calon mahasiswa yang mau
studi di program studi keislaman yang minim peminat. Hal ini
sebenarnya telah menjadi kekhawatiran setiap IAIN yang akan
konversi ke UIN. Kegelisahan terjadi mulai dari level
masyarakat, mahasiswa, dosen, sampai tingkat Senat Institut,
dapat dilihat dari catatan M. Amin Abdullah berikut:
“Setiap terjadi proses “perubahan”, kekhawatiran dankecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Sebelum Sidang SenatInstitut menyetujui konversi IAIN ke UIN, kekhawatiran dankecemasan tampak dalam diskusi Sidang Senat dan lebih-lebihdi luar Sidang Senat. Perbagai pertanyaan mulai muncul kepermukaan: bagaimana nasib Fakultas Adab, Dakwah, Syariah,
43
Tarbiyah, dan Ushuluddin? Bernasib samakah fakultas-fakultasagama di Universitas Islam Indonesia (UII) dan lingkunganUniversitas Muhammadiyah di seluruh tanah air?”62
Contoh kongkritnya dari seluruh UIN hanya UIN Maliki Malang
saja yang tidak memiliki Fakultas Ushuluddin. Hal ini
dikarenakan prinsip integrasi ilmu yang diterapkan di UIN
Malang. Atau karena landasan bahwa pada dasarnya ilmu
pengetahuan pada dasarnya telah Islam. Atau bisa juga karena
pengaruh Prof. Dr. Imam Suprayogo yang mungkin menganggap
bahwa pengkajian tentang Tuhan tidak terlalu penting, hal ini
dapat dipahami dari pernyataan beliau “Tuhan kok dipikirkan?”63
Pandangan Imam Suprayogo tersebut cendrung sangat pragmatis,
padahal jika dirunut paradigma keilmuan dan ulasan para
sarjana Muslim, bukankah konsep-konsep dasar berbagai hal
munculnya dari Fakultas Ushuluddin, yang selanjutnya bisa
dimanfaatkan oleh fakultas-fakultas lain. Sampai saat ini
pemakalah belum mendapatkan data yang valid atau argumentasi
mengapa UIN Maliki Malang menganggap Fakultas Ushuluddin tidak
perlu ada di UIN Maliki Malang.
3. Masih Dikotomis
Pertanyaan mendasar terhadap delapan Universitas Islam
Negeri adalah, sejauh mana civitas akademika “memaknai”
kehadiran fakultas-fakultas “ilmu umum”? paradigma seperti
apakah yang benar-benar menjadi landasan dalam menjalankan
62 M. Amin Abdullah. Dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi.Jakarta: Mizan, 2005, hlm. 238.63 Ceramah Prof.Dr. Imam Suprayogo dalam Kuliah Umum Pascasarjana UIN Malangtanggal 10 September 2014.
44
berbagai konsep dengan berbagai nama yang ditawarkan, sebut
saja Interkoneksi Ilmu, Integrasi Ilmu, atau Reintegrasi Ilmu?
Karena dalam praktiknya, masih banyak dosen dan mahasiswa yang
hanya melakukan “ayatisasi” ilmu-ilmu modern Barat. Misalnya
dalam karya ilmiah dosen atau pun skripsi mahasiswa Manajemen
Pendidikan Islam yang hanya memasukkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang sering terlihat “memaksa” ilmu-ilmu modern tersebut
menjadi Islami. Artinya yang berlangsung saat ini masih
Islamisasi ilmu, padahal dalam konsep pendirian UIN dari
ulasan di atas bukanlah Islamisasi ilmu, melainkan integrasi
ilmu.
Dalam aspek lain, jika dilihat dari tabel fakultas dan
program studi UIN di atas masih nampak seperti apa yang
terjadi di Mesir, dimana masih ada jarak antara Islam dan
ilmu, dengan didirikannya Fakultas Agama untuk mengakomodir
kajian keislaman. Kutipan berikut memperlihatkan kekhawatiran
Imam Suprayogo tentang formasi keilmuan yang ada di UIN, yang
tetap saja mendikotomi Pendidikan Islam dan Pendidikan Umum.
“....kehadiran Universitas Islam Negeri di beberapa kotayakni di Jakarta (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), diYogyakarta (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), UIN Malang dandi Pekanbaru (UIN Syarif Qosim Pekanbaru, Riau), salah satumisinya adalah berupaya mengembangkan keilmuan yang bersifatintegratif ini. Namun, lagi-lagi pada kenyataannya, dimasing-masing UIN tersebut selain mengembangkan fakultasagama juga mengembangkan fakultas-fakultas umum. Akibatnya,ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lagi-lagi masih terlihatdengan jelas terpisah, yakni masih memelihara pandangan danperlakuan dikotomik terhadap ilmu.”64
64 Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Budaya, dan Seni padaPerguruan Tinggi. El-Jadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Volume 3, Nomor 1,
45
Menurut Imam Suprayogo, pembidangan ilmu ushuluddin, ilmu
tarbiyah, ilmu syari’ah, ilmu dakwah, dan ilmu adab
dikategorikan ke ilmu agama. Sedangkan ilmu alam dan ilmu
humaniora dikategorikan ke ilmu umum sumber dikotomi.65
Sehingga sudah menjadi citra di masyarakat bahwa ketika
disebut “Ilmu Agama” maka persepsi langsung kepada ilmu fiqih,
ilmu tafsir, ilmu tauhid, ilmu akhlaq/tasawwuf, dan bahasa
Arab.
4. Etos Keilmuan yang masih lemah
Idealisme ingin mengembalikan kejayaan ilmu pengetahuan pada
masa ulama terdahulu masih menghadapi tantangan, salah satunya
adalah etos keilmuan yang lemah hingga terjadi stagnasi dalam
pengembangan pengetahuan dan teknologi.66 Muhaimin memberi lima
catatan tentang fakta persoalan: (1) kultus individu terhadap
temuan ilmuwan terdahulu, sehingga yang terjadi hanayalah
repetisi; (2) aktifitas ilmiah yang dilakukan dosen hanya
sebatas pencarian angka kredit untuk keperluan pangkat; (3)
kecendrungan dosen untuk menjadi da’i dalam arti sempit; (4)
beban mengajar yang tinggi dan berlebih hingga ke berbagai
perguruan tinggi; (5) masih rendahnya apresiasi terhadap
hasil-hasil penelitian.
5. Etos Dosen Umum
2005, hlm. 40. 65 Ibid, hlm. 43.
66 Muhaimin. Op.cit. Paradigma...hlm. 71.46
Banyaknya dosen-dosen dari universitas yang menjadi dosen di
UIN tidak memiliki landasan dasar, perspektif mengenai
khasanah Islam: Alqur’an, Hadits, Filsafat Islam, dan Sejarah
Islam.
Berdasarkan pengalaman sebagai Rektor UIN Jakarta, Azyumardi
Azra juga melakukan otokritik terhadap dosen-dosen yang
berasal dari “universitas.” Menurut Azra terdapat perbedaan
etos akademis dan etos kerja antara alumni IAIN dan alumni
universitas. Azra mengkritik perilaku materialistis dosen-
dosen dari bidang umum, bahkan dikatakan Azra nilai-nilai
“Ikhlas Beramal” mereka sangat minim.
“Hal yang diperlukan UIN adalah pengembangan sumber dayamasih menjadi prioritas. Dosen dibidang umum ikhlasberamalnya kurang, orientasi uangnya kuat. Ini pengalamansaya di UIN Ciputat. Berbeda dengan alumni IAIN.” 67
Kekhawatiran etos kerja dosen umum tersebut juga dirasakan
oleh Prof.Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis,MA Rektor IAIN Sumatera
Utara yang dalam waktu dekat akan berubah menjadi Universitas
Islam Negeri.
“Memang saya khawatir dengan dosen umum yang kurang semangat
beramalnya”68
Jika benar asumsi Azradan Nur Ahmad Fadhil tersebut,
tentunya UIN yang ada di Indonesia mengalami distorsi dan
pergeseran nilai-nilai dalam etos kerja sebagaimana ketika
67 Azyumardi Azra dalam ceramah di Road Map UIN, Brastagi Sumatera Utara.
68 Nur Ahmad Fadhil Lubis dalam dalam ceramah di Road Map UIN, Brastagi Sumatera Utara.
47
masih IAIN. Terdapat pengaruh antara pemahaman Islam dosen
terhadap perilaku profesionalitas mereka di kampus. Bahkan
tidak jarang moto Kementrian Agama “Ikhlas Beramal” menjadi
bahan ledekan, tidak hanya dikalangan dosen umum tetapi juga
dosen yang berkenaan dengan studi keislaman. Padahal konsep
Ikhlas Beramal merupakan ideologi yang seharusnya driven dalam
diri civitas akademika UIN. Kalau dirujuk ke ideologi tarbiyah uli
al-abab yang diterapkan di UIN Malang, bahwa Jihad menjadi
landasan perjuangan dan menjadi energi transformatif
pembangunan pendidikan Islam.
6. Masih ada Sektarianisme
Dilema Perguruan Tinggi Agama Islam adalah masih derasnya
arus sektarian dan primordial. Padahal fungsi kampus
Universitas Islam Negeri bukanlah kerja-kerja sektarian,
melainkan kerja-kerja kesarjanaan. tidak bisa dipungkiri, UIN
sebagai kampus Islam yang pada dasarnya adalah IAIN tentu saja
banyak keragaman paham, mau pun organisasi yang ada di kampus.
Baik yang ada di lingkup mahasiswa, mau pun di kalangan dosen.
Terkadang isu-isu sektarian yang dilandaskan keorganisasian
dosen muncul dalam transisi kepemimpinan, mulai dari Ketua
Prodi, Dekan, dan Rektor. Keorganisasian yang tidak ada
kaitannya dengan kehidupan akademis kampus sering di bawa-bawa
untuk memenangkan persaingan merebut posisi atau jabatan di
kampus. Seharusnya keorganisasian keagamaan tidak perlu
memperlemah iklim akademis hanya karena aktifitas politik
kampus ketika masa transisi. Apa pun organisasi yang
48
digelutinya, tetap saja seharusnya kampus UIN adalah lembaga
pendidikan Islam yang lebih menonjol kegiatan ilmiah. Artinya,
siapa pun dan dari organisasi mana pun yang memimpin kampus,
tetap saja kampus UIN adalah kampus UIN, dan bukan organisasi
keagamaan, sebagaimana yang disampaikan Prof. Dr. Muhaimin
“Boleh saja orang NU memimpin tapi tidak boleh meng NU kan
kampus, boleh saja orang Muhammadiyah memimpin, tetapi tidak
boleh memuhammadiyah kan kampus, dan boleh saja orang Persis
memimpin tetapi tidak boleh mempersiskan kampus!”69
Tidak jarang paham sektarian atau pemahaman tentang Islam
menganggu iklim akademis dan bahkan mengancam Kebebasan Mimbar
Akademik. Sebagaimana yang terjadi di UIN Pekanbaru tanggal,
Ulil Abshar Abdalla mengalami penolakan dalam sebuah Seminar
Internasional bertajuk “Demokrasi di Negara-negara Muslim”
diselenggarakan oleh BEM Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Kasim.70 Uniknya penolakan terhadap pemikir Islam ini dilakukan
oleh pihak Fakultas, yang semestinya tidak perlu terjadi dalam
dunia akademis, walau pun terdapat perbedaan pandangan. Karena
kebebasan mimbar akademis di jamin Undang-undang Nomor 12
tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
7. Romantisme Kejayaan Keilmuan Islam
69 Prof. Dr. Muhaimin dalam perkuliahan Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam tanggal 29 September 2014
70 http://www.merdeka.com/peristiwa/ulil-abshar-ditolak-hadiri-seminar-di-uin-suska.html
49
Merupakan sebuah fakta bahwa Islam pernah mengalami
peradaban dan keilmuan yang gilang gemilang. Sudah semestinya
kejayaan-kejayaan tersebut menjadi energi tranformatif untuk
membangun kembali peradaban Islam. Namun sayangnya romantisme
sejarah telah membuai bahkan menjadi sikap apologetik terhadap
ketidakmampuan”menemukan” yang harus berhadapan dengan temuan
temuan teori atau pun teknologi baru yang diperoleh Barat.
Misalnya ketika ada hasil penelitian baru dari universitas
yang berada di Barat, biasanya pernyataan yang muncul adalah
“hal itu sudah digambarkan dalam Al-Qur’an”, atau “dalam
sejarah Islam ini sudah pernah ada”, dan masih banyak
pernyatan-pernyataan serupa di lingkungan Perguruan Tinggi
Islam yang sebenarnya adalah sebagai ekspresi ketidakmampuan.
Sehingga spirit membangun peradaban Islam tersebut lebih
bersifat reaksioner daripada berijtihad menyelesaikan berbagai
permasalahan manusia yang begitu menjadi perhatian di
universitas-universitas Barat.
8. Politik Kampus lebih marak daripada akademis
Hampir rata di setiap perguruan tinggi di Indonesia setiap
momen transisi kepemimpinan selalu akan diwarnai intrik-intrik
politik, sehingga kampus lebih hangat mendiskusikan siapa yang
akan menjadi rektor daripada membahas permasalahan akademis.
Jika di universitas Barat, katakanlah di universitas-
universitas di Belanda, publik atau dunia global lebih
mengenal profesor-profesor nya dengan hasil-hasil
penelitiannya daripada siapa rektor yang memimpin universitas.
Di negara Barat para Profesor sangat dihargai dan merupakan50
garda utama universitas untuk dapat dibawa ke dunia
internasional dan menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa
untuk studi dengan melihat profil karakteristik keilmuan
profesor yang ingin ditelitinya. Sementara peran rektor adalah
sebagai pemimpin yang bertanggung jawab menjamin setiap
kegiatan akademis kampus dan menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak, sekaligus menciptakan usaha-usaha kreatif yang
intinya adalah mutu akademis universitas.
Sudah saatnya UIN yang ada merubah kultur politik kampus
yang cendrung tidak sehat. Dengan adanya konversi UIN,
andangan bahwa kepemimpinan institusi merupakan capaian atau
prestasi tidak lagi relevan. Jika tidak ingin perguruan tinggi
Islam semakin tertinggal dengan universitas di Barat, maka
spirit ingin kekuasaan harus dikembalikan kepada spirit
akademis. Profesor yang ada di UIN selayaknya menjadi
motivator, dan tauladan civitas sebagai ilmuwan daripada
sebagai politisi kampus.
3. Harapan dan Tantangan Universitas Islam Negeri ke depan
Harapan kepada STAIN/IAIN yang telah berubah menjadi
Universitas Islam Negeri, sebagai berikut:
a. Universitas Berbasis Riset
Majunya universitas di Barat dikarenakan kegiatan penelitian
yang terus menerus dilakukan, dosen yang masuk ke kelas tidak
lagi hanya “mengajar” tetapi menampilkan kepada mahasiswanya
hasil-hasil riset yang telah dilakukannya. Sehingga mahasiswa
benar-benar mendapatkan informasi terbaru berdasarkan riset,51
bukan hanya penyampaian atau pengulangan teori-teori yang
telah ada. Penelitian yang dilakukan dosen tentu saja akan
memotivasi mahasiswa untuk melakukan penelitian.
Sementara budaya mengajar di UIN saat ini cendrung masih
bersifat pengulangan atau sekedar menyampaikan teori-teori
yang telah ada. Dosen-dosen di UIN sudah semestinya di dorong
untuk melakukan penelitian, baik yang disponsori oleh
pemerintah mau pun hasil upaya dosen mencari donor yang
tertarik dengan penelitian dosen-dosen UIN. Sehingga pola
“hanya mengajar” di kelas di kampus UIN tidak perlu lagi
terjadi. Melainkan proses pembelajaran yang bermakna, dimana
dosen benar-benar menampilkan kepakaran di bidang atau di Mata
Kuliah yang diampunya dengan penyajian penelitian yang
dilakukannya untuk memperkaya teori atau bahkan sebagai anti
tesa terhadap teori-teori yang ada. Pascasarjana yang ada di
UIN merupakan tahap pertama untuk budaya riset untuk
selanjutnya ke program S1.
b. Pengembangan Ilmu Keislaman
Mempertahankan dan terus mengembangkan ilmu-ilmu Keislaman,
yang ada di Fakultas Usuluddin, Dirasah Islamiyah, Dakwah, dan
Syari’ah. Para pengambil kebijakan dan pimpinan Universitas
Islam Negeri seharusnya tidak melupakan dan meninggalkan ilmu-
ilmu dasar keislaman misalnya yang ada di Fakultas Ushuluddin.
Ilmu-ilmu profane atau program studi teknologi apa saja diberi
ruang luas untuk didirikan di Universitas Islam Negeri. Namun
52
keberadaan fakultas studi keislaman tetap harus diperjuangkan
bahkan seharusnya menjadi nilai tambah keberadaan UIN.
Meminjam istilah Mulyadi Kartanagara “Rumah Ilmu”, maka
Ushuluddin adalah “Rumah Ilmu” Universitas Islam Negeri. Di
Ushuluddin dikaji khasanah pemikiran Islam untuk kemudian
diaplikasikan ke kurikulum UIN sampai ke pembuatan buku daras.
Misalnya dengan penggarapan karya-karya klasik terlebih dulu
untuk menjiwai kurikulum UIN. Sehingga apa yang diterapkan di
UIN benar-benar hasil upaya keras para akademisi UIN, tidak
hanya menikmati hasil kerja sarjana Barat yang konsen terhadap
Studi Islam. “Kalau kita mau maju kedepan kita harus mundur ke
belakang. Seperti panah, semakin jauh tarikannya semakin jauh
melesatnya.” Demikian Mulyadi Kartanagara mengibaratkan kerja-
kerja akademis yang harus dilakukan kalangan UIN.
c. Pemahaman Keislaman Dosen Umum
Tantangan ke depan UIN dalam aspek sumber daya manusia,
adalah dosen umum yang ada di UIN yang minim wawasan
keislaman. Perlu diberikan pengenalan, pemahaman dan penerapan
konsep Keislaman dalam praktik mereka sebagai dosen UIN. Salah
satu cara memperoleh pemahaman utuh dosen UIN adalah dengan
memperketat proses penyeleksian calon dosen UIN. Para calon
pelamar dosen UIN yang berasal dari bidang umum harus
menyadari bahwa mereka akan bekerja di sebuah lembaga
pendidikan tinggi Islam yang memiliki visi menyeluruh. Maka
tidak terlampau berlebihan kiranya, seorang calon dosen dari
bidang umum harus memahami Alqur’an dan Al-Hadis, memahami
53
Filsafat Islam, Sejarah Islam, dan memiliki kehendak untuk
mempelajari belajar Bahasa Arab.
Sedangkan terhadap dosen bidang umum yang telah ada
sekarang baik yang telah lama bekerja atau pun yang masih
baru. Kemetrian Agama, atau pun Rektorat Universitas Islam
Negeri sebaiknya membuat sebuah program charging atau kursus
yang khusus mengenal Ilmu Keislaman, apakah itu Al-qur’an,
Hadis, Filsafat Islam, dan Sejarah Islam. Kursus bisa
dilakukan dengan beberapa Tahap, misalnya Tahap Pengenalan,
Tahap Pendalaman, dan Tahap Penerapan. Pada tahap Penerapan
inilah semestinya seorang dosen bidang umum mampu
mengintegrasikan, menghubungkan, atau mensintesiskan
keilmuannya dengan konsep Islam.
d. Memperluas Jaringan Kerja
Tanpa adanya perluasan jejaring kerjasama tentunya UIN
hanya akan menjadi menara gading, atau hanya mewah di ranahnya
sendiri, tanpa mampu memberikan dinamika dan memanfaatkan
kerjasama dari berbagai pihak, baik dari dalam mau pun luar
negeri. Azyumardi Azra mengatakan bahwa pimpinan UIN
berkewajiban untuk membangun relasi dengan dunia
internasional.
“....dan jaringan kerjasama dalam maupun luar negeri.Pimpinan bertugas menciptakan dan memanfataakan jaringan.Karena kita ingin IAIN atau UIN menjadi standarinternasional, maka perlu kerjasama internasional.
54
Contohnya di Ciputat Fakultas Dirasah Islamiyah bekerjasamadengan Al-Azhar.”71
e. Berperan Aktif mewujudkan Masyarakat Madani
“Pergeseran dalam orientasi pendidikan akan membawa
pengaruh penting terhadap profil dan karakter sekolah agama
dan kehidupan beragama di Indonesia.”72
Banyak peristiwa politik mau pun non politik yang membuat
Islam menjadi sorotan dunia, khususnya Barat. Banyak terjadi
kesalah pahaman masyarakat Barat terhadap Islam setelah
peristiwa September Eleven di Amerika Serikat dan Bom Bali di
Indonesia. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa negara Barat
mengakui bahwa Islam di Indonesia sangat bisa dijadikan
contoh, dimana Muslim Indonesia mampu berdialog dengan nilai-
nilai demokrasi. Walau pun dalam beberapa kasus, konflik-
konflik yang membawa nama Islam masih saja terjadi, namun
sangat relatif dibanding dengan negara-negara di Timur Tengah.
“Ruang toleransi di Indonesia begitu besar dibanding diluar”,demikian kata Azyumardi Azra.
Hal ini tidak terlepas dari peran Perguruan Tingi Islam
yang telah berhasil menanam benih-benih Islam yang damai dan
dialogis. Alumni STAIN/IAIN/UIN banyak terlibat dalam dunia
politik, ekonomi, dan bisnis yang tentunya hal ini akan
mendinamisir keadaan karena pemahaman keislaman mereka.71 Azyumardi Azra dalam dalam ceramah di Road Map UIN, Brastagi Sumatera Utara.
72 Yudi Latif. Op.cit. Dialektika...2007, hlm. 3155
Ulrich, seorang Sosiolog mengatakannya dengan social chemistry
dimana seorang intelektual mampu melebur dan mewarnai
lingkungan sosialnya dengan keilmuannya.
Dalam konteks keindonesiaan, UIN seharusnya mempertegas
perannya untuk mampu mengatasi trans ideologi. Mahasiswa UIN
harus diberikan pemahaman mendalam tentang peran mereka
sebagai intelektual muda dengan tidak tergoda terlibat dalam
aktifitas radikalisme atau pun makar kepada negara terutama
dengan ideologi yang mengatasnamakan Islam.
Dosen UIN harus terlibat aktif membentengi masyarakat
dari paham radikalisme. Akademisi UIN semestinya jangan hanya
berada di kampus, tetapi juga terus terlibat mengunjungi
masyarakat di mesjid-mesjid apakah melalui khutbah mau pun
kegiatan-kegiatan lain. Karena hal ini sudah banyak
ditinggalkan akademisi UIN karena cendrung menganggap kegiatan
ceramah di masyarakat tidak akademis. Padahal kata Azyumardi
Azra “kalau bukan kita akan diisi orang lain”, orang lain yang
dimaksud Azra adalah organisas-organisasi trans ideologi yang
sangat marak dan banyak mempengaruhi masyarakat.
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sangat berpotensi
mempersiapkan generasi muda Islam yang profesional namun
mempunyai wawasan kebangsaan, keindonesiaan dan global. Hal
ini penting, karena tentu saja kita tdak menginginkan alumni
yang profesional namun gagap terhadap berbagai fenomena yang
terjadi di masyarakat, nasional, dan global.
B. PENUTUP
56
1. Kesimpulan
a. Pada dasarnya dalam Islam tidak ada istilah “ilmu umum”
dan “ilmu agama.” Karena setiap ilmu merupakan ayat-ayat
Tuhan (kauliyah dan kauniyah) tetapi umat Islam sendirilah
yang mendikotomi paradigma keilmuan sehingga dalam
praktiknya terjadi pemisahan.
b. Jika dilihat paradigma ilmu UIN: Syarief Hidayatullah
Jakarta, Sunan Kalijaga Yogyakarta, Maliki Malang, Sunan
Gunungdjati Bandung, Alauddin Makassar, Sunan Ampel
Surabaya, Ar-Raniry Banda Aceh dapat disimpulkan semuanya
telah mencoba mengintegrasikan ilmu. Artinya bisa
dikatakan tidak ada “lmu umum” dan “ilmu agama.” Konsep
integrasi ilmu masih menjadi inspirasi bagi IAIN yang
akan berubah: IAIN Sumatera Utara, IAIN Palembang, IAIN
Semarang.
c. Dalam praktiknya, civitas akademika UIN masih belum
secara menyeluruh memahami dan mampu menerapkan paradigma
baru keilmuan di UIN.
d. UIN harus benar-benar mampu memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan kongkrit manusia dan
kemanusiaan dalam tataran nasional mau pun global. Baik
itu yang bersifat pemikiran mau pun teknologi sebagaimana
yang diberikan kampus-kampus Barat.
e. IAIN yang akan tranformasi menjadi UIN tidak perlu
menyeragamkan paradigma keilmuan atau mengadopsi dari UIN
yang telah ada. Tetapi benar-benar menggali keunikan dan57
karakter UIN dan derah masing-masing. Bahkan perbedaan
disetiap UIN akan memberikan khasanah dan memberi banyak
pilihan. UIN yang akan muncul harus memiliki core bussiness
atau yang harus ditonjolkan dan benar-benar digarap
serius.
58
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lobens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002
Latif, Yudi. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atasSekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. Yogyakarta:Jalasutra, 2007
Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan Islam: UpayaMengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung:Rosdakarya, 2008
Moh. Padil. Tarbiyah uli al albab: Ideologi Pendidikan Islam Universitas IslamNegeri Maulana Malik Ibrahim. Disertasi Program Pascasarjana IAINSunan Ampel Surabaya, 2010
Nor Wan Daud, Moh Wan. Filsafat Pendidikan Islam Syed M. Naquib A-Attas.Jakarta: Mizan, 2003.
Rachman, Munawar,Budhy. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jakarta:Paramadina, Mizan, Center for Spirituality and Leadership.2006
Zainal Abidin Bagir, Abidin, Zainal. dkk, Integrasi Ilmu danAgama: Interpretasi dan Aksi. Jakarta: Mizan, 2005
Zainuddin (Ed), Memadu Sains dan Agama: Menuju UniversitasIslam Masa Depan. Malang: UIN Malang dan Bayumedia Publishing,2004.
Jurnal
El-Jadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Volume 3, Nomor 1,
2005
Tsaqafah, Volume 2, Nomor 2, 2006/1427. Institut Studi IslamDarusslam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia.2006.
Tsaqafah, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, Volume3, Momor 1, Dzulqa’dah 1427
Makalah
59
Confrence Manual of International Confrence on Religion andScience in the Post Colonial World. Universitas Gadjah Madadan Templeton Foundation, USA, 2003
Proyek “Pembaharuan” Pemikiran Islam di Indonesia (Kajian Kritis dan Evaluatif).Kumpulan Makalah Workshop bertajuk “Evaluasi PembaharuanPemikiran Islam”. Forum Komunikasi Ushuluddin Institut StudiIslam Darussalam Pondok Modern Darussalam Gontor, 2007
Website
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/fakultas/fitk/info-
fakultas.html
http://uin-suka.ac.id/
http://uin-malang.ac.id/
http://www.uin-alauddin.ac.id/
http://fahum.uinsby.ac.id/
http://www.merdeka.com/peristiwa/ulil-abshar-ditolak-hadiri-
seminar-di-uin-suska.html
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html
60