ekonomi islam

84
~ 1 ~ Diktat #1-Seri Ekonomi Islam Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar Oleh Dr. M. Shabri Abd. Majid, M.Ec Dosen Pengasuh Matakuliah Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh e-mail: [email protected] Handphone: +682160229553 DARUSSALAM-BANDA ACEH, 2011

Transcript of ekonomi islam

~ 1 ~

Diktat #1-Seri Ekonomi Islam

Ekonomi Islam:

Sebuah Pengantar

Oleh

Dr. M. Shabri Abd. Majid, M.Ec

Dosen Pengasuh

Matakuliah Ekonomi Islam

Fakultas Ekonomi

Universitas Syiah Kuala

Darussalam, Banda Aceh

e-mail: [email protected]

Handphone: +682160229553

DARUSSALAM-BANDA ACEH, 2011

~ 2 ~

BAB 1

SISTEM EKONOMI ISLAM

Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang tingkah laku manusia dalam menggunakan

sumber ekonomi (buruh, tanah, modal dan entrepreneurship) untuk memenuhi kebutuhan

yang tidak terbatas. Dengan kata lain, ilmu ekonomi bertujuan untuk memenej sumber

ekonomi yang terbatas (limited resources) untuk memenuhi kebutuhan yang tidak

terbatas (unlimited wants). Akibat terbatasnya sumber ekonomi, maka manusia harus

membuat pilihan berdasarkan skala prioritas dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam

usaha memenuhi kebutuhannya itu, manusia harus berinteraksi dengan manusia yang

lain, alam, dan lingkungannya. Jadi, ilmu ekonomi itu meliputi aktivitas ekonomi dan

juga sebuah disiplin ilmu.

Apa pula yang dimaksud dengan sistem ekonomi? Menurut Webster‘s International

Dictionary, sebuah sistem adalah:

“A system is an aggegation or assemblage of object united by some form

of regular interaction or interdependence, a group of diverse units so

combined by nature or art as to form an integral whole and to

function,operate or move in unison to attain a specific goal and often in

obedience to some form of control; an organic or organized whole”.

Berdasarkan definisi di atas, maka sebuah sistem itu harus mengandungi tiga unsur

utama:

1. Sebuah sistem terdiri dari entitas dan komponen yang berbeda.

2. Kesemua entitas dan komponen tersebut saling beriteraksi satu sama lain secara

teroganisir.

3. Hasil dari interaksi tersebut akan mengarah kepada pemenuhan tujuan tertentu.

Merujuk pada definisi sistem di atas, maka sekarang kita dapat mendefinisikan sistem

ekonomi. Sistem ekonomi adalah:

“Any aggregation or assemblage of economic institutions that interact

with one another according to a particular plan to direct the economic

forces of society for the fulfillment of economic goals and objectives”

~ 3 ~

Jadi, sistem ekonomi adalah bagian kecil dari semua sistem sosial yang menjelaskan

tentang tingkah laku kekuatan ekonomi (economic forces) dalam masyarakat. Kekuatan

ekonomi ini berperan untuk memberi respon terhadap berbagai problema ekonomi.

Dalam memberi solusi terhadap problema ekonomi, kekuatan ekonomi ini memiliki

tingkah laku yang berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok

masyarakat lainnya. Tujuan ekonomi yang ingin diraih juga berbeda antara kelompok

masyarakat. Atau bisa jadi tujuannya sama, tapi maknanya mungkin berbeda antar

masyarakat.

Dalam merespon problema ekonomi dan juga mencapai tujuan tertentu, manusia itu

dipengaruhi oleh rangkaian hukum alam (natural laws) dan hukum sosial (social law).

Hukum alam ini adalah sama bagi semua masyarakat, tanpa mengenal suku, bangsa dan

kepercayaan. Contohnya, ―law of diminishing returns, diminishing marginal utility,

diminishing marginal rate of technical substitution dan law of increasing opportunity

cost‖ adalah semua hukum alam yang ada dalam semua masyarakat. Sedangkan, hukum

sosial dibentuk oleh budaya, tradisi, sejarah, iklim, norma-norma sosial, agama dan

‗worldview‘ masyarakat tertentu. Contohnya, Islam melarang memproduksikan arak,

tapi ianya bisa diproduksikan oleh non-muslim. Singkatnya, sistem ekonomi itu dapat

diilustrasikan seperti Diagram 1 di bawah ini.

Dari Diagram 1, kita dapati bahwa sistem ilmu ekonomi itu adalah bagian dari sub-sistem

ilmu-ilmu social (social sciences) yang yang lahir atas landasan ‗worldview‘ masyarakat

tertentu. Seperti sub-sistem politik dan sosial, sistem ekonomi terdiri dari berbagai

komponen seperti landasan filosofi, prinsip-prinsip operasional, dan tujuan yang berbeda.

Atas landasan filosofi itulah, fondasi mikro ekonomi itu dibangun sehingga membentuk

paradigma tersendiri. Akibat berbedanya semua komponen ini, maka lahirlah sistem

ekonomi yang berbeda seperti sistem ekonomi kapitalis, komunis/sosialis dan Islamis.

~ 4 ~

Diagram 1: Struktur Sistem Ekonomi

Sumber: Muhammad Arif (1985).

Dalam artikelnya ―Toward a Definition of Islamic Economics: Some Scientific

Considerations‖ yang dipublikasikan di ―Journal of Research in Islamic Economics‖,

Volume 2, Nomor 2, Tahun 1985, Muhammad Arif menjelaskan secara lebih terperinci

tentang perbedaan antara sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan Islamis, seperti

diilustrasikan dalam Diagram 2 di bawah ini.

Berdasarkan Diagram 2 di atas, pada prinsipnya, sistem ekonomi itu di bangun atas

landasan paradigma yang berbeda. Sistem ekonomi sosial di bangun atas paradigma yang

diperkenalkan Karl Max (Marxian); sistem ekonomi kapitalis di bangun atas landasan

paradigma ekonomi pasar; sedangkan sistem ekonomi Islam di bangun atas landasan

paradigma Syari‘ah. Paradigma ekonomi ini pula di bangun atas fondasi filosofi yang

berbeda pula. Sistem ekonomi sosial di bangun atas landasan filosofi ―dialectical

materialism‖ berdasarkan gagasan Karl Marx. Menurut Karl Marx, pertumbuhan

ekonomi akibat kekuatan sumber ekonomi pada akhirnya akan mampu menghilangkan

kelas atau kasta dalam masyarakat (classless society).

~ 5 ~

Diagram 2: Dasar Fondasi Mikro Sistem Ekonomi

Sumber: Muhammad Arif (1985).

Selanjutnya, paradigm ekonomi kapitalis di bangun atas landasan filosofi ―utilitarian dan

individualistik‖ yang berlandaskan filosofi ―laissez faire‖. Filosofi ini memberikan

kebebasan yang luar biasa kepada pelaku ekonomi untuk memuskan kebutuhan yang

bersifat individualistik. Kapitalis percaya bahwa kalau individu itu hidupnya sudah

makmur, maka ekonomi secara makro pun akan maju. Sedangkan paradigma ekonomi

(Syari‘ah) Islam itu di bangun atas landasan filosofi ―kekhalifahan‖ (khalifah dan hamba

Allah) untuk meraih falah. Dalam ekonomi Syari‘ah, manusia itu hanya sebegai

pemegang amanah Allah yang dalam setiap tindak tanduknya harus berpedoman pada

aturan Allah dalam usahanya untuk meraih falah.

~ 6 ~

Ekonomi Islam: Definisi dan Karekteristinya

Apa itu ekonomi Islam? Apakah definisi ekonomi Islam itu sama dengan ekonomi

konvensional? Sudah tentu tidak! Karena di bangun atas landasan filosofi dan juga

memiliki tujuan yang berbeda dengan ekonomi konvensional, maka definisi ekonomi

Islam berbeda dengan ekonomi konvensional.

Menurut Hassanuzzaman (1984), ekonomi Islam itu adalah "…..the knowledge and

application of injunctions and rules of the Shari'ah that prevent injustice in the

acquisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human

beings and enable them to perform their obligations to Allah and the society."

Sedangkan Akram Khan (1984) menyebutkan bahwa: “Islamic economics aims at the

study of human falah achieved by orgainising the resources of earth on the basis of

cooperation and participation.‖

Mohamed Aslam Haneef (1997) mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah: ―an

approach to interpreting and solving man‟s economic problems based on the values,

norms, laws and institutions found in, and derived from, the sources o knowledge in

Islam.‖

Sedangkan Muhammad Arif (1985) mendefinisikan ekonomi Islam ―… is the study of

Muslim's behaviour who organises the resources, which are a trust, to achieve falah.”

Dari beberapa definisi ekonomi Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam

itu sangat menekankan pada pentingnya etika, moral, dan norma dalam memenej

sumberdaya ekonomi untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah). Walaupun

ekonomi Islam tidak bertujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) dan

keuntungan (profit) seperti ekonomi konvensional, namun ekonomi Islam tidak melarang

pelaku ekonomi untuk mencari keuntungan. Namun keutungan materi itu bukanlah

segala-galanya. Keuntungan itu haruslah digunakan sebagai alat untuk mencari falah.

Dalam ekonomi Islam, sumber ekonomi ciptaan Allah yang terdiri dari tanah, buruh,

modal dan entrepreneurship itu tidak terbatas jumlahnya. Dengan kata lain, konsep

kelangkaan (scarcity) yang ada dalam ekonomi konvensional itu ditolak oleh ekonomi

Islam. Kerena kalau kita mengatakan sumberdaya ekonomi itu langka dan terbatas, maka

secara tidak langsung kita mengatakan bahwa Allah Yang Maha Perkasa itu lemah dan

~ 7 ~

tidak berdaya. Berikut ini adalah beberapa firman Allah SWT yang menegaskan bahwa

Allah telah menciptakan sumberdaya ekonomi yang tidak terbatas baik yang bersumber

dari langit, darat, dan bahkan dari lautan untuk digunakan secara optimal dalam

membangun ekonomi umat, dapat kita lihat dalam ayat-ayat berikut: "...dan jika kamu

menghitung nikmat Allah, niscaya tidak mampulah kamu menghitungnya..." (Q.S.

Ibrahim: 34); "Adalah Allah swt yang telah menciptakan langit dan bumi dan

menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu

berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera

bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah

menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai"; (Q.S. Ibrahim: 32); "...dan Dia

menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya

(sebagai rahmat) daripada-Nya..." (Q.S. al-Jatsiyah: 13); dan "Dan sesungguhnya Kami

telah menetapkan kamu (dan memberi kuasa) di bumi, dan Kami jadikan untuk kamu

padanya (berbagai jalan) penghidupan (supaya kamu bersyukur, tetapi) amatlah sedikit

kamu bersyukur." (Q.S. al-'Araf: 10).

Semua ayat di atas mengandung makna bahwa Allah swt telah membekali hidup

umatNya di dunia ini dengan sumberdaya ekonomi yang melimpah ruah. Berjalannya

roda ekonomi itu sangat bergantung kepada berbagai nikmat Allah sumberdaya

ekonomi), seperti nikmat matahari, bulan, bintang, hujan, minyak bumi, gas alam, emas,

intan permata, kesuburan tanah, lautan, dan berbagai nikmat Allah lainnya yang tidak

terkira jumlahnya. Tanpa semua nikmat ini, bisakah kita bayangkan apa yang akan

berlaku terhadap bumi ini bila sesaat saja diberhentikan Allah? Apakah kehidupan

manusia masih wujud? Masih dapatkah kita tertawa-riang, menyanyi, bersiul, berteriak,

dan senyum sebagaimana biasa? Apakah mungkin pembangunan ekonomi akan terjadi

tanpa semua ini? Jelas jawabannya adalah mustahil pembangunan ekonomi bisa terjadi

tanpa semua nikmat dan karunia Allah swt yang tak terkirakan itu.

Merujuk pada makna ayat-ayat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa,

sebenarnya, bukanlah sumber daya alam (nikmat) Allah swt yang terbatas, melainkan

kemampuan (ilmu) dan ketaqwaan manusialah yang terbatas untuk mengekplorasi dan

~ 8 ~

mendistribusikan sumber daya secara optimal dan adil. Penngunaan dan pendistribusian

sumberdaya alam secara tidak tepat dan adil oleh manusia yang serakah juga telah

menyebabkan sebagian manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pendek

kata, Islam tidak mengenal konsep kelangkaan (scarcity) sumber daya alam, yang ada

hanyalah terbatasnya kemampuan (ilmu) manusia untuk mengekplorasi sumber daya

alam dan tipisnya kadar keimanan dan tingkat ketaqwaan (ikhtiar/do‘a) umat dalam

usahanya untuk membangun ekonomi.

Karakteristik Unik Ekonomi Islam

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ekonomi Islam itu berbeda dengan ekonomi

konvensional baik pada tataran filosofi maupun tujuan. Berikut ini adalah ringkasan ciri-

ciri ekonomi Islam:

1. Ekonomi Islam dibangun atas landasan filosofi dan paradigma Syari‘ah.

2. Manusia sebagai pelaku ekonomi itu adalah berfungsi sebagai Khalifah.

Kecendrungan mementingkan kepentingan pribadi (selfish) manusia itu

haruslah berada dalam bingkai Syari‘ah.

3. Dalam ekonomi Islam adanya perpanjangan waktu (extended time horizon),

yaitu percaya akan ada hari Akhirat. Apapun yang dilakukan di dunia ini akan

diminta pertanggungjawabannya di hari Akhirat kelak.

4. Ekonomi Islam menganut sistem kepemilikan relatif (relative ownership).

Harta yang dimiliki manusia itu adalah milik mutlak Allah, sedangkan

manusia adalah pemegang amanah.

5. Pengambilan keputusan dalam ekonomi Islam itu dilakukan melalui ―syura‖

(musyawarah) atau kesepakatan bersama.

6. Adanya institusi al-Hisba dalam ekonomi Islam yang berperan untuk

mengawas pelaksanaan aktivitas ekonomi itu agar dijalankan dengan penuh

keadilan.

7. Adanya institusi zakat yang berperan mengumpulkan dana zakat dari orang

kaya untuk didistribusikan kepada mereka yang melarat.

8. Tidak seperti dalam ekonomi konvensional, riba itu dilarang dalam ekonomi

Islam.

~ 9 ~

Jadi jelas bahwa yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional bukan

hanya terletak pada adanya zakat dan tiadanya riba dalam ekonomi Islam [atau dapat

ditulis dengan rumus: Ekonomi Islam = Ekonomi Konvensional + Zakat – Riba]; tetapi

lebih dari itu. Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional karena mereka di

bangun atas landasan filosofi yang berbeda, dan sudah tentu akan memiliki proses dan

tujuan yang berbeda pula.

Agar aktivitas ekonomi Islam itu benar-benar Islami, maka operasionalnya harus

berpandukan pada Syari‘ah. Untuk menjadikan sesuatu aktivitas itu Islami, tidak cukup

hanya dengan: ―membaca bismillah ketika memulai, menggunakan ayat al-Qur‘an dan

Hadist ditengah-tengahnya dan mengakhirinya dengan membaca Alhamdulillah‖. Hal ini

persis seperti disebutkan Syeik Idris (1987) berikut ini:

―How do we make some thing Islamic, including Islamic economic, of course, which is

already so? Or is it your intention merely to give each form of knowledge an Islamic

flavor by injection an “ayat” here, imposing a “Hadith” there, making an opening with

“bismillahi-rrahmani-rrahim” and a closing with “alhamdu lillahi rabbi-l‟alamin”?

Ekonomi Islam vs. Ekonomi Konvensional

Table 1 di bawah ini menjelaskan perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi Islam

dalam menjawab pertanyaan penting ekonomi.

Table 1: Answers to Basic Economic Decisions by Different Economic Systems

Question What to produce? How to produce? For whom to produce?

Traditionalist What is believed can

support family

members (subsistence

level)

Produced in a traditional way,

focusing on agricultural and

mineral commodity

Distribution according to

the status. Barter play a

very important role in

distribution

Capitalist What business firms

believe people want and

firm will make profit

Producer decides how to

produce efficiently keeping in

view desire to make profit

Distribution according to

ability and inherited wealth

Socialist What central planners

believe socially

beneficial

Central planners decide keeping

in view the greater benefits of

the Society

Distribution according to

individual need determined

by central planners

Islamist What is permissible in

Shariah (Haram and

Halal) and needed? No

extravagance

Producer decides how to

produce efficiently keeping in

view desire to make profit and

public interest (maslahah)

Every one in the society is

provided with the basic

necessities by the state

~ 10 ~

Sedangkan Table 2 berikut menjelaskan perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi

Islam dalam memenej aktivitas ekonomi.

Table 2: Salient Features of Different Economic Systems

Features Traditionalist Capitalist Socialist Islamist

Institution of property

ownership

Private

property by

tradition

Private

property

State owned

property

Both private and

public properties are

recognized

Motivational factor To survive

and retain the

power

Material

gain in this

world

Collective

welfare of

the society

Attain falah in this

world and hereafter

Organization decision

making & Coordination

mechanism

Tradition or

custom

Market

mechanism

Central

planning

Market mechanism

with positive role

of the state

~ 11 ~

BAB 2 EKONOMI ISLAM:

SOLUSI TERHADAP BERBAGAI PENYAKIT EKONOMI

Diskursus tentang sistem ekonomi yang paling ideal dan sesuai bagi umat sudah sejak

lama dimulai dan hingga detik ini belum lagi berakhir. Ini dapat kita baca dari lansiran

berita-berita di berbagai media massa tentang malapetaka ekonomi yang terjadi akibat

kelemahan sebuah sistem ekonomi. Setelah memudarnya sistem ekonomi komunis

bermula pada kehancuran negara Uni Soviet, maka kini giliran sistem ekonomi kapitalis

pula yang sentiasa mendapat sorotan dan kritikan. Seringnya timbul penyakit ekonomi,

seperti pengangguran, inflasi, dan bahkan krisis ekonomi di negara-negara penganut

ekonomi ala kapitalis merupakan bukti bahwa sistem ekonomi kapitalis bukanlah sebuah

sistem ekonomi yang ideal. Tulisan ini ingin menganalisa eksistensi sistem ekonomi

kapitalis dan komunis serta perbandingannya dengan sistem ekonomi Islam.

Sistem Ekonomi Kapitalis dan Komunis

Kita tidak menafikan bahwa ekonomi merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan

bermasyarakat. Oleh itu, terealisasinya kesejahteraan ekonomi masyarakat dalam sebuah

negara sangat ditentukan oleh eksistensi sistem ekonomi negara yang stabil dan mantap.

Dalam masyarakat, setidaknya, ada dua pemikiran azas yang mempengaruhi sistem

ekonomi negara. Pertama, prinsip individu dengan liberalis dan kapitalisnya. Kedua,

prinsip kebersamaan dengan sosialisnya. Berdasarkan kedua pemikiran azas inilah telah

lahir sistem-sistem ekonomi yang dikenal dunia saat ini, seperti sistem ekonomi pasar

bebas (kapitalis) dan ekonomi sentralistis (komunis). Dalam bukunya "An inquiry into the

Nature and Causes of Wealth of Nations", bapak pengasas ekonomi, Adam Smith (1776)

telah menganalisa semua permasalahan mendasar ekonomi kapitalis. Di dalam bukunya

itu, Adam Smith berhujah bahwa penggerak perekonomian suatu negara ialah individu-

individu, sehingga syarat mutlak berhasilnya perekonomian ialah terletak pada kebebasan

yang tidak terbatas yang diberikan negara kepada para individu atau pengusaha.

Penggunaan faktor-faktor ekonomi secara pribadi untuk keuntungan pribadi, pembukaan

pasar-pasar bebas global, penentuan harga barang dan jasa di pasar oleh mekanisme

~ 12 ~

penawaran dan permintaan (mekanisme pasar), keuntungan individu merupakan

penyumbang pembangunan ekonomi, dan terbatasnya peran pemerintah dalam

mengontrol sistem perekonomian negara adalah di antara ciri-ciri utama ekonomi

kapitalis. Merujuk pada ciri-ciri sistem kapitalis ini, sistem ini jelas memberikan peluang

yang seluas-luasnya bagi mereka-mereka yang memiliki modal yang banyak untuk

meraih keuntungan maksimum dengan memanfaatkan kelemahan golongan tidak

bermodal (miskin). Semua pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi ini cendrung

mementingkan diri sendiri (selfishness) tanpa peduli kesejahteraan hidup orang lain.

Apapun usaha dan kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam sistem ekonomi ini, semunya

dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan sebebas-bebasnya tanpa

campur tangan pemerintah. Akibatnya, dalam sistem ekonomi kapitalis, golongan kaya

akan semakin kaya-raya dan golongan miskin akan semakin papa-kedana.

Kelemahan sistem ekonomi kapitalis di atas—yang menjadikan jumlah pemilikan

―materi‖ sebagai pengukur keberhasilan individu dan negara—telah mengakibatkan

lahirnya sistem ekonomi komunis atau sosialis yang sangat menfokuskan kesejahteraan

kolektif (bersama) yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Latar belakang lahirnya

ekonomi komunis dapat kita baca dari teori Marxis–Lenin (1974) yang dituangkan dalam

bukunya bertajuk: ―Politische Oekonomie des Kapitalismus und des Sozialismus‖ sebagai

berikut: "...kaum buruh dapat melepaskan dirinya sendiri, hanya apabila kepemilikan

secara kapitalis terhadap barang-barang produksi dihilangkan dan sebagai gantinya ialah

dibentuknya kepemilikan secara sosial".

Pemikiran inilah yang menjadi azas dan prinsip kepemilikan bersama terhadap faktor-

faktor produksi dalam sistem ekonomi komunis. Kepemilikan bersama terhadap faktor-

faktor produksi, seperti tanah, modal, buruh, dan kewiraswataan adalah dimaksudkan

untuk kepentingan bersama. Jadi, dalam sistem ini, keuntungan pribadi secara materi

bukan merupakan pendorong bagi para pelaku ekonomi untuk memenuhi perencanaan

pembangunan negara, melainkan tanda-tanda jasa dari negara. Para pelaku ekonomi tidak

memiliki ruang gerak yang bebas dalam melakukan berbagai aktivitas ekonominya,

banyaknya produksi juga harus disesuaikan dengan keperluan konsumen, untuk ini

~ 13 ~

dibentuk neraca produksi yang disesuaikan oleh neraca keperluan produksi tersebut,

semua perencanaan pembangunan, strategi perekonomian dan implementasi serta

pelaksanaan aktivitas ekonomi, semuanya ditentukan dan dikontrol sebaik-baiknya oleh

pemerintah. Singkatnya, semua aktivitas ekonomi dalam sistem ekonomi komunis mutlak

diatur oleh pemerintah, sedangkan individu tidak memiliki kebebasan sama sekali.

Kesejahteraan ekonomi mutlak berada di tangan pemerintah.

Kedhaifan Sistem Ekonomi Kapitalis dan Komunis

Seperti dikatakan sebelumnya, sistem ekonomi komunis atau sosialis kian simakin pudar.

Banyak negara-negara yang dulunya menganut sistem ini, kini telah menganut sistem

ekonomi yang lebih terbuka, iaitu ekonomi kapitalis. Hal ini, diantaranya, disebabkan

oleh tidak produktifnya sistem ini (sosialis) di era globalisasi. Dimana untuk

memproduksikan suatu barang dan jasa dibutuhkan berbagai bahan mentah (raw

material) yang tidak semuanya dapat dipenuhi bersumber dari dalam negeri, dan bahkan

kesukaran untuk mengimportnya dari luar negeri dengan harga yang berpatutan (murah).

Banyak negara penganut ekonomi sosialis tidak mampu mencapai kepuasan pribadi

rakyatnya mulai dari masalah pembayaran upah buruh hingga ke masalah pengembangan

karier pelaku ekonomi. Kemudian, kelemahan utama sistem ini adalah tidak memberi

pengakuan terhadap kelebihan pemilikan skills, bakat, dan sumbangsih yang diberikan

para individu yang hidup dalam sistem ini. Bagaimanapun kerasnya usaha mereka dengan

skills dan bakat yang tinggi untuk memajukan ekonomi negara, namun mereka hanya

berhak mendapat kesejahteraan (pendapatan) yang sama-rata dengan orang lain yang

malas bekerja dan sama sekali tidak mempunyai skills. Inilah ketidakadilan terbesar yang

berlaku dalam sistem ekonomi komunis ini. Karena, dalam Islam, keadilan itu bukanlah

berarti bahwa negara harus membagi sama-rata hasil pembangunan tanpa

mempertimbangkan jerih payah dan usaha yang disumbangkan pada negara, melainkan

keadilan dalam Islam itu adalah membagi hasil pembangunan sesuai dengan jerih payah

dan usaha yang disumbangkan. Ini tentunya, mereka yang rajin bekerja dengan memiliki

skills dan bakat yang tinggi akan mendapat hak untuk menikmati hasil pembangunan

dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang malas bekerja dan

tidak berbakat dan memiliki skills. Ketidakadilan sistem ini dalam membagi hasil

~ 14 ~

pembangunan pasti akan menyebabkan orang-orang yang rajin bekerja akan semakin

malas bekerja—akibat tidak mendapat kompensasi proportional dengan sumbangan jerih

payah dan kerja yang mereka berikan pada negara—dan yang malas bekerja, sudah tentu,

akan terus semakin malas.

Sementara itu, di negara-negara yang menganut sistem kapitalis, kebebasan terhadap

kepemilikan faktor-faktor produksi dan harta-benda juga akan menimbulkan berbagai

masalah, antara lain ialah terkonsentrasinya pemilikan kekayaan negara pada satu atau

segelintir masyarakat saja, khususnya mereka yang memiliki modal yang banyak.

Konsekuensinya, sistem ini akan semakin memperlebar ―gap” antara si kaya dan si

miskin yang, pada gilirannya, akan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Seperti berlaku di Indonesia, misalnya, golongan kaya-raya bahkan pada kenyataannya

telah menguasai mekanisme penentuan harga di pasar, yang secara teori seharusnya

terbentuk melalui mekanisme penawaran dan permintaan antara konsumen dan produsen.

Dengan aksi monopolinya, kelompok ini semakin merajalela dalam memperkaya dirinya

sendiri tanpa memperhatikan kesejahteraan golongan menengah ke bawah yang hidupnya

dari hari ke hari semakin melarat, kebebasan dan keuntungan individu sebagai pendorong

lajunya roda perekonomian negara telah mengakibatkan pudar dan bahkan hilangnya

nilai-nilai rasionalitas masyarakat dalam membangunan negara, dan bahkan telah

menjadikan hawa nafsu sebagai acuan dalam berbagai tindakan mereka. Kalau ini telah

berlaku, maka kehancuran akan bermula, begitu Allah SWT menjanjikan dalam

firmanNya: ―Dan kalaulah kebenaran itu tunduk menurut hawa nafsu mereka, nescaya

rusak binasalah langit dan bumi serta segala isinya...‖ (Q.S. al-Mukminun: 71). Bila kita

melihat realitas sekarang dengan menatapi apa yang telah dan sedang berlaku di hampir

semua negara-negara penganut ekonomi kapitalis dan sosialis dewasa ini, maka janji

Allah SWT di atas telahpun menjadi kenyataan. Perekonomian negara-negara yang

dikuasai oleh dorongan hawa nafsu, satu-persatu telah mengalami kelesuan, kemorosotan

dan bahkan kehancuran. Seperti krisis ekonomi dan politik yang belum berakhir terjadi di

Indonesia, kebanyakannya disebabkan oleh bisnis-bisnis spekulatif yang dilakukan oleh

segelintir golongan yang tidak bertanggung jawab dengan mengekploitasi kekayaan

negara, tentunya, dengan memanfaatkan kelemahan sistem perekonomian pada umumnya

~ 15 ~

dan sistem perbankan Indonesia pada khususnya yang memiliki kemiripan dengan sistem

ekonomi kapitalis. Begitu juga dengan krisis ekonomi global 2007 yang bermula di

Amerika Syarikat, semuanya terjadi akibat keserakahan manusia bermodal untuk

mengeksploitasi mereka yang lemah.

Selanjutnya, akibat kebebasan tanpa batasan dalam sistem ekonomi kapitalis telah

memposisikan para golongan konglomerat (tycoons) sebagai penguasa ekonomi negara.

Perkara ini, misalnya, dapat kita lihat dari perkembangan ekonomi negara Indonesia

dimana dengan aksi-aksi permainan kotor (malpractices) di sektor keuangan, penetapan

harga barang primer yang tidak berpatutan di tengah krisis ekonomi, telah menyebabkan

kelompok konglomerat ini menjadi sangat dominan dalam menentukan berbagai

kebijakan ekonomi negara dan bahkan seringkali mampu mendesak pemerintah agar

kebijakan ekonomi negara tersebut semakin memihak kepada kepentingan mereka. Sifat

ini secara perlahan-lahan tapi pasti akan memudarkan dan sekaligus menghilangkan nilai-

nilai etika sosial dalam masyarakat. Bila sifat ini terus subur berlaku dalam masyarakat,

maka akan menutup kemungkinan bagi si miskin atau orang yang secara fisik tidak

mampu untuk hidup secara layak dan makmur. Sementara itu, dibukanya pintu untuk

pasar internasional secara bebas sesuai dengan kehendak sistem ekonomi kapitalis akan

menimbulkan kolonialisme gaya baru yang akan memonopoli kekayaan alam negara

tanpa peduli kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat. Khususnya di negara-negara

berkembang seperti di Asia, kebijakan-kebijakan dan prioritas ekonomi kapitalis ialah

pengeksploitasian kekayaaan negara dengan mengabaikan nilai-nilai sosial di dalam

masyarakatnya. Inilah sebabnya para kapitalis berhaluan keras (ekstrim) berhujah bahwa:

―kesejahteraan ekonomi itu dengan mudah akan dapat direalisasikan secara maksimal jika

tanpa dihalang oleh paraturan-peraturan‖. Dengan kata lain, para pelaku ekonomi baik

individu dan pengusaha harus diberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam melakukan

berbagai aktivitas ekonomi dalam rangka membangun ekonomi negara. Sikap dan prinsip

sistem kapitalisme seperti ini telah mengakibatkan memudar dan bahkan menghilangnya

nilai-nilai etika-sosial (akhlaqul karimah) dalam masyarakat kapitalis, dan bahkan

mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu yang kapan saja siap mengheret umat manusia ke

lembah kepapaan dan kehancuran.

~ 16 ~

Sebenarnya, cukup banyak kritikan-kritikan lain yang dilontarkan terhadap kedua sistem

ekonomi di atas, walaupun dalam realitasnya jarang sekali salah satu dari ke dua sistem

ini dianut secara sempurna oleh negara tertentu di dunia. Sebagai contoh sistem ekonomi

―Soziale Marktwirtschaft‖ di Jerman, di samping menganut sistem pasar bebas (kapitalis),

sistem ini juga memiliki jaringan sosial yang padu (komunis). Pendek kata, semua

kritikan yang dilontarkan terhadap ke dua sistem ekonomi besar dunia ini menunjukkan

bahwa sistem-sistem ekonomi ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kedhaifan

dalam menawarkan solusi terhadap permasalahan ekonomi global.

Ekonomi Islam: Sebuah Solusi?

Sebagai agama komprehensif (syumul), Islam tidak hanya mengatur persoalan

menyangkut peribadatan semata, malah sebagai ―the way of life‖ Islam juga mengatur

berbagai masalah ekonomi, dimulai dari pengaturan faktor-faktor produksi dan

hubungannya dengan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, seperti terakam

dalam ayat-ayat berikut yang, masing-masing, bererti: ―Dan Dialah yang menjadikan

kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian

(yang lain) beberapa derjat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya

kepadamu...‖ (Q.S. al-An‘am:165); ―Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para

Malaikat: „Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi‟...‖

(Q.S. al-Baqarah:30); dan ―...dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di

bumi...” (Q.S. al-Naml: 62). Kata-kata ―menjadikan manusia sebagai khalifah‖, seperti

disebutkan dalam ayat-ayat di atas, menurut para mufassirin (ahli tafsir), bermakna

bahwa Allah SWT telah menjadikan manusia berkuasa di atas muka bumi ini. Kekuasan

manusia ini, tentunya, tidak terbatas dalam aspek-aspek tertentu saja seperti aspek

peribadatan, tetapi juga meliputi aspek sosio-ekonomi, politik, budaya, dan berbagai

aspek kehidupan umat lainnya.

Dalam hal kekuasaan di bidang ekonomi, khususnya kepemilikan terhadap faktor-faktor

produksi, seperti tanah, modal, buruh dan kewiraswastaan adalah sesuatu yang dihalalkan

Allah SWT bagi manusia sebagai khalifah-Nya berteraskan nilai-nilai Islami. Ini

bermaksud bahwa kepemilikan mutlak (absolute ownership) dalam Islam hanya semata-

~ 17 ~

mata milik Allah SWT, dan manusia hanya merupakan ―pemegang amanah‖ (trustee)

terhadap pemilikan Allah SWT untuk digunakan sesuai dengan peraturan syara‘ demi

kemaslahatan orang banyak. Ini juga berimplikasi bahwa manusia juga diserukan untuk

sentiasa menempuh jalan yang telah digariskan Islam dalam melaksanakan aktivitas

ekonomi, seperti dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa.

Tegasnya tuntutan Islam agar umatnya senantiasa menjalankan berbagai kegiatan

duniawi berlandaskan Syari‘at jelas terlihat dari keharusan setiap individu Muslim untuk

mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang mereka lakukan di dunia ini pada hari

akhirat kelak. Di Mahkamah Ilahi, kita tidak berpeluang untuk memberi saksi palsu dan

menipu Allah SWT sebab semua catatan amalan baik dan buruk kita telah sangat rapi dan

komplit dicatat satu-persatu oleh dua Asisten Ilahi yang sangat loyal, Malaikat Raqib dan

Atid. Perkara ini seperti ditegaskan Allah SWT dalam firman-firmanNya, yang

bermaksud seperti berikut: ―(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal

perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada dekatnya malaikat pengawas

yang selalu hadir" (Q.S. Qaaf: 17-18); "Dan katakanlah wahai Muhammad saw:

Beramallah kamu (akan segala yang diperintahkan), maka Allah dan Rasul-Nya serta

orang yang beriman akan melihat apa yang kamu kerjakan" (Q.S. at-Taubah: 105); dan

―…sesungguhnya kamu akan ditanya kelak tentang apa yang kamu kerjakan‖ (Q.S. an-

Nahl: 93). Oleh karena itu, hak kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi pada

khususnya dan harta-benda pada umumnya yang dianugerahkan Allah SWT kepada

manusia sebagai pemegang amanah-Nya haruslah benar-benar dijalankan berteraskan

nilai-nilai Qur‘ani demi kemaslahatan umat, dan manusia sekali-kali tidak berupaya

untuk menipu Sang Penciptnya, Allah Rabb al-Jalil.

Cara Mendapat Hak Pemilikan

Secara umum, hak milik dalam Islam dapat diperolehi melalui beberapa cara, seperti

melalui bekerja dan harta warisan. Hal ini seperti sabda Rasulullah saw yang

mengandungi makna: "Barang siapa memakmurkan sebidang tanah bukan milik

seseorang, maka dialah yang lebih berhak memiliki tanah itu" (al-Hadis). Selanjutnya,

~ 18 ~

kepemilikan terhadap harta juga berlaku melalui pewarisan, pemberian (hadiah),

penjualan, wasiat dan berbagai cara pemindahan hak kepemilikan lainnya.

Islam mengenal hak kepemilikan terhadap harta dan faktor-faktor produksi sebagai tugas

sosial bagi pemilik hak tersebut dalam batas-batasnya sebagai khalifah di bumi ini.

Sebagai khalifah fil-Ard, manusia diserukan untuk menegakkan makruf dan

mengenyahkan munkar, termasuk dalam mengelola faktor-faktor produksi yang telah

dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. Penentuan harga secara bebas tanpa adanya

unsur monopoli merupakan ciri khas terbentuknya mekanisme harga dalam sistem

ekonomi Islam. Namun, perlu dicatat bahwa, dalam sistem ekonomi Islam pemerintah

berhak melakukan intervensi pasar apabila telah terjadinya kejahilan ekonomi, seperti

monopoli, penyeludupan, perjudian, hyperinflasi (membumbungnya harga barang dan

jasa di luar batas-batas harga yang berpatutan) dan berbagai aktivitas ekonomi yang

bertentangan dengan nilai-nilai keadilan ekonomi Islam lainnya. Tidak seperti ekonomi

kapitalis yang sama sekali bebas dari campur tangan pemerintah dan sistem ekonomi

komunis yang semua aktivitas ekonominya diatur sepenuhnya oleh pemerintah, sistem

ekonomi Islam berada di antara ke dua sistem ini dimana wujudnya kebebasan ekonomi

dalam batas-batas tertentu dan campur tangan pemerintah hanya dibenarkan sebatas

untuk mengawal kejahilan ekonomi dalam batasan-batasan tertentu pula. Pendek kata,

pemerintah mempunyai hak dan tanggung jawab untuk menstabilkan perekonomian

negara dalam sistem ekonomi Islam.

Peran Pemerintah dalam Ekonomi Islam

Urgensi peran aktif pemerintah untuk memastikan kestabilan ekonomi negara telah

direkam Allah SWT dalam ayat berikut yang bermakna: "Sesungguhnya Kami telah

mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami

turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat

melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang

hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan

supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasulNya padahal

Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha perkasa" (Q.S. al-

~ 19 ~

Hadith: 25). Ayat ini telah diinterpretasikan secara berbeda oleh para mufassirin.

Kaitannya dengan usaha untuk mewujudkan sistem ekonomi yang stabil dan berkeadilan,

Muhammad al-Mubarak (1972) di dalam bukunya "Nizam al-Islam al-Iqtisadi" telah

mengintepretasikan bahwa untuk memastikan kestabilan dan keadilan ekonomi, maka

Islam membenarkan negara untuk menggunakan kekuatan (besi) melalui penegakan

hukum. Sebagai contoh, apabila ada individu tertentu atau sekelompok anggota

masyarakat yang menyimpan (ihtikar) barang keperluan masyarakat awam yang sangat

mendesak (urgent needs), maka pemerintah berhak memaksa para penyimpan/penyorok

barang untuk menjual barangnya dengan "harga yang adil", meminjam istilah Ibn

Taymiyah, yaitu pada tingkat harga yang sama (qimat-al-mithl) dengan barang sejenis di

pasar. Demi mewujudkan kepentingan orang banyak (Maslahah al-Ammah), bahkan

Muhammad al-Ghazali (1952) dalam bukunya "Al-Islam wa al-Awda' al-Iqtisadiyyah"

mengatakan bahwa negara berhak membatasi kebebasan seseorang individu demi untuk

menyelamatkan kepentingan dan kemaslahatan orang ramai. Begitu juga bila orang kaya

menolak untuk mengeluarkan hak si miskin (zakat), maka negara berkewajiban untuk

memaksa orang kaya agar memenuhi hak si miskin tersebut. Tindakan memerangi umat

Islam yang ingkar membayar zakat ini dapat kita rujuk pada tindakan Khalifah Abu

Bakar as-Siddiq RA, beberapa hari setelah kemangkatan Rasulullah SAW, yang dikenal

dengan Perang Siffin. Alasan utama kenapa Khalifah al-Rasyidin pertama ini memerangi

mereka adalah seperti kata beliau sendiri: "Demi Allah SWT aku akan memerangi mereka

yang membedakan di antara sembahyang dan zakat karena zakat adalah tuntutan

terhadap harta. Demi Allah SWT, seandainya mereka enggan membayar zakat itu,

sedangkan mereka pernah membayarnya kepada Rasulullah dulu, aku tetap akan

memerangi mereka." (H.R. Ibn Hajar dan Bukhari).

Tindakan pemaksaan ini haruslah menjadi agenda negara dalam upayanya untuk

mensejahterakan ekonomi masyarakat miskin, sebab kegagalan negara dalam memenuhi

keperluan si miskin, menurut Abdul Qadir Audah (1977) di dalam bukunya "Al-Mal wa

al-Hukm fi al-Islam" adalah merupakan pertanda negara telah membenarkan terjadinya

penindasan terhadap hak-hak kaum miskin oleh kaum kaya. Pengabaian hak si miskin

~ 20 ~

yang telah dijamin Allah SWT oleh negara jelas telah melanggar aturan Ilahiah yang

tidak dibenarkan agama.

Pemerintah dalam memenej negara, menurut mayoritas para Fukaha (ahli Fikah),

setidaknya harus memproteksi empat hak dan kebebasan fundemantal setiap individu

Muslim (warga negara).

1. hak dan kebebasan untuk hidup;

2. hak dan kebebasan beragama;

3. hak dan kebebasan untuk mencari dan memiliki harta; dan

4. hak dan kebebasan untuk mengaktualisasi martabat dan harga diri.

Agar ke-empat unsur di atas terpenuhi, maka pemerintah berkewajiban untuk:

1. Menjamin terwujudnya pendistribusian kekayaan negara yang berkeadilan. Untuk

itu, maka Islam telah meletakkan zakat, inter alia, sebagai instrumen kebijakan

fiskal yang sangat penting dalam mewujudkan pendistribusian pendapatan yang

berkeadilan di antara sesama warga negara.

2. Menyediakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya sehingga ekonomi berada

dalam kondisi guna tenaga penuh (full-employment). Dalam hal ini, pemerintah

hendaklah membuka training dan program ketrampilan tertentu (seperti,

entrepreneurial skills) sehingga kalaupun para pencari kerja yang siap pakai

(ready employed) tidak mendapat peluang kerja di instansi pemerintahan dan

swasta, maka dengan bekal training yang mereka miliki, dengan sendirinya, akan

memudahkan mereka untuk memulai bisnis sendiri.

3. Memastikan pelaksanaan ―‗amar makruf wa nahi munkar”. Hal ini, diantaranya,

sesuai dengan firman Allah SWT dalam ayat berikut yang, masing-masing,

berarti: "Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka

bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat

yang makruf dan mencegah yang munkar, dan kepada Allahlah kembali semua

urusan" (Q.S. al-Hajj: 41) "Dan hendaklah ada diantara kamu yang menyeru

~ 21 ~

kepada kebaikan, meyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang

munkar...” (Q.S. Ali Imran: 104).

Agar penegakan ―amar makruf wa nahi munkar” dalam ekonomi Islam benar-

benar terlaksana, maka dalam melaksanakan tugas suci ini hendaklah negara

menunjukkan individu-individu yang berkompeten (berkelayakan), bertanggung

jawab, dan tidak ragu-ragu dalam menghukum dan memecat mereka yang berlaku

curang dan berlaku tidak adil. Seterusnya, negara tidak dibenarkan untuk

mengamalkan diskrimanasi hukum terhadap warganya yang melakukan kriminal

ekonomi. Siapapun yang bersalah, tanpa melihat kedudukan, kekayaan,

keturunan, tingkat pendidikan, dan pengaruhnya dalam masyarakat, haruslah

dihukum dengan standar hukuman (penalty) yang berkeadilan.

Pentingnya keagresifan pemerintah dalam mewujudkan kestabilan ekonomi, dapat

kita lihat dari besarnya perhatian Khalifah Ali bin Thalib RA dalam mengawasi

harga barang, timbangan dan ukuran barang yang digunakan para pedagang dan

pemborong (dealers) di pasar pada masa itu. Hal ini seperti disebutkan Dr. Abdul

Qadir Husaini (1966) di dalam bukunya, Arab Administration, "...dimana sejak

dari awal pemerintahan Islam, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA senantiasa telah

terjun langsung sendiri ke pasar Kufah untuk mengontrol timbangan yang

digunakan dan beliau memastikan bahwa benar-benar tidak ada seorangpun

yang merasa dirugikan...".

4. Memerangi institusi riba, monopoli, perjudian (gambling), dan semua tindakan

yang bertentangan dengan syari‘at Islam lainnya. Dalam hal ini, pemerintah harus

senantiasa mengadakan pengecekan mendadak (spot check) ke pasar-pasar dan ke

berbagai tempat aktivitas ekonomi dijalankan. Dan bila terjadi kejahilan ekonomi,

maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas tanpa pilih kasih dan ber-

korupsi, kolusi, dan nepostime (ber-KKN) dengan penjahat ekonomi. Tindakan

tegas ini sangat perlu diambil pemerintah dalam rangka menutup peluang dan

ruang gerak pelaku kejahatan ekonomi agar tidak mengulangi lagi kejahatan

~ 22 ~

mereka yang sangat merugikan umat. Singkatnya, pemerintah dalam semua

kebijakan ekonominya tidak bersifat pilih kasih terhadap rakyat jelata. Pemerintah

harus menyayangi dan menghargai rakyatnya sama rata (secara adil) sebagaimana

ia menyayangi dan menghargai setiap anggota tubuhnya sendiri, dan bahkan

menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadinya. Siapa

saja yang melanggar hukum harus ditindak dengan hukuman yang berkeadilan

tanpa membedakan status, keturunan, kekayaan, dan jasanya kepada rakyat dan

negara. Karena sifat pilih kasih baik dalam memprioritaskan alokasi kesejahteraan

maupun dalam menegakkan hukum (law enforcement) kepada rakyatnya akan

menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya, dan

bahkan akan mengundang malapetaka. Kemudian, dalam bertindak pemerintah itu

haruslah mampu mengikuti jejak-jejak praktek Rasulullah SAW dalam

menegakkan hukum, seperti sabda Rasulullah SAW berikut, yang bermakna:

―Sungguh Allah SWT telah membinasakan umat sebelum kamu, karena apabila

ada di antara orang besar mencuri dibiarkan saja, tetapi jika orang kecil yang

mencuri dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Demi Allah SWT yang jiwaku

berada di tanganNya, andaikata anakku Fathimah, Putri Rasullullah mencuri

pasti akan ku potong tangannya‖ (al-Hadits).

5. Menjamin semua warganya benar-benar mendapat keadilan melalui sistem

peradilan yang adil, efektif dan efisien dengan menggunakan standard dan moral

hukum yang sama tanpa mengenal istilah diskriminasi hukum. Singkatnya, Islam

mendorong kebebasan dan menentang peraturan-peraturan atau birokrasi yang

berlebih-lebihan terutama menyangkut aktivitas ekonomi dan perdagangan. Ini

semua bertujuan untuk memartabatkan ekonomi yang berkeadilan benar-benar

dirasakan oleh setiap warganya.

Batasan Peran Pemerintah

Walaupun demikian tidak berarti bahwa dalam mewujudkan kestabilan ekonomi yang

berkeadilan, pemerintah bisa bertindak sekehendak hatinya tanpa mengenal batasan-

batasan hukum. Menurut Yusuf (1971) dalam ―Economic Justice in Islam”-nya,

~ 23 ~

mengatakan bahwa dalam mewujudkan ekonomi yang stabil dan berkeadilan, pemerintah

haruslah memperhatikan batasan-batasan tertentu, diantaranya, adalah:

1. Pemerintah tidak dibenarkan bertindak ―immoral” yang sangat merugikan

warganya. Penggunaan kekuasaan dan hak istimewa untuk memonopoli

keuntungan, misalnya, memungut pajak secara berlebihan dan tidak berazas

dengan maksud untuk melindungi segelintir produsen atas alasan industrialisasi

yang sangat merugikan masyarakat umum adalah perbuatan tercela yang sangat

keras ditentang Islam. Atas alasan itulah, Islam tidak menggalakkan pemungutan

pajak secara tidak langsung (indirect tax) karena cara ini terkesan menipu dan

memaksa rakyat untuk membayar pajak tanpa sepengetahuan mereka. Sebaliknya,

Islam sangat menggalakkan pemungutan pajak untuk dilakukan secara langsung

(direct tax), karena pembayaran pajak secara langsung oleh masyarakat jelas

merupakan kontribusi yang dilakukan secara sadar dan sepengetahuan mereka

demi kepentingan umat.

2. Dalam pelaksanaan aktivitas bisnis, pemerintah hendaknya tidak membebankan

warganya untuk membayar biaya-biaya administrasi, surat izin transaksi dan

bisnis lainnya bila mereka melakukan aktivitas bisnis yang memerlukan perizinan

dan pengesahan (endorsement) dari pemerintah. Pemerintah hendaklah benar-

benar menciptakan keadaan bisnis yang kondusif dan bebas biaya, bukan

sebaliknya mematikan bisnis mereka dengan cara memungut biaya-biaya yang

tidak pada tempatnya. Begitu juga, ketika warga negaranya ingin mencari

keadilan, hendaklah pemerintah membebaskan biaya pengadilan sehingga

keadilan itu betul-betul wujud dalam masyarakat.

Seperti disebutkan sebelumnya, kewajipan berzakat merupakan bukti bahwa Islam sangat

memerhatikan kesejahteraan semua lapisan masyarakat, terutama para kaum lemah

ekonomi (fakir-miskin), seperti terkandung dalam erti ayat berikut: “...Makanlah dari

buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari

memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu

~ 24 ~

berlebih-lebihan...‖ (Q.S. al-An‘am: 141). Untuk menjembatani perbedaan sosio-

ekonomi antara si kaya dan si miskin, pemerintah harus melakukan usaha optimal dalam

mewujudkan keadilan sosial dengan merapatkan gap (jurang pemisah) antara si kaya dan

si miskin, diantaranya, dengan mengoptimalkan institusi zakat.

Dari penjelasan di atas, jelas terlihat bahwa pemerintah sebagai institusi yang mengatur

jalannya kehidupan bernegara diwajibkan untuk mengatur jalannya roda perekonomian

agar praktek-praktek yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami seperti monopoli,

konsentrasi kekayaan pada golongan tertentu dan berbagai tindakan kejahatan ekonomi

lainnya seperti aksi spekulasi dapat dihindari. Selain itu, kebijakan-kebijakan ekonomi

yang dibuat pemerintah hendaklah ditujukan untuk menciptakan keseimbangan dan

sekaligus keadilan sosio-ekonomi negara.

Dalam Islam, pembahasan tentang kedudukan modal (capital) sebagai salah satu dari

faktor-faktor produksi juga mendapat perhatian khusus. Pengumpulan modal secara

besar-besaran melalui institusi keuangan ribawi baik dalam sistem ekonomi kapitalis

maupun komunis adalah bertentangan dengan fitrah manusia sebagai khalifah Allah SWT

di bumi ini. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Islam menghalalkan hak

kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi dan harta-benda sejauhmana proses

pemilikan, pengurusan dan pengelolaan harta benda itu mengikut ajaran Ilahiah. Berbagai

cara penumpukan harta dan akumulasi modal terpusat serta berbagai praktek untuk

meraup keuntungan secara mambabi buta tanpa peduli nilai-nilai moral seperti

memlibatkan praktek riba secara rakus, serakah dan penuh hawa-nafsu adalah cara-cara

kotor, jijik dan lagi menjijikkan yang sangat keras dilarang Islam. Larangan Islam ini,

misalnya dapat kita simak dari ayat-ayat berikut yang bermakna: ―Hai orang-orang yang

beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib

Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil dan mereka

menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan

emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah

kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih‖ (Q.S. at-Taubah: 34);

dan ―Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-

~ 25 ~

lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (perbelanjaan itu) di tengah-tengah antara

yang yang demikian‖ (Q.S. al-Furqan: 67).

Berdasarkan arti ayat-ayat di atas jelas kita lihat bahwa Islam sangat menggalakkan

umatnya untuk menggunakan harta benda (faktor-faktor produksi) mereka secara

sederhana dan tidak mubazir (extravagance). Hal ini diperkuat lagi dengan ayat-ayat

berikut: ―Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan

janganlah kamu terlalu menghulurkan karena itu kamu menjadi tercela dan menyesali‖

(Q.S. al-Isra‘: 29); ―Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara

syaitan...‖ (Q.S. al-Isra‘: 27); dan “...makan dan minumlah kamu, dan janganlah

berlebih-lebihan...” (Q.S. al-A‘raf: 31).

Demikian pula Rasulullah SAW cukup banyak memberi peringatan kepada umatnya agar

menggunakan harta mereka dengan berhemat cermat sebagai salah satu cara terbaik

untuk hidup sejahtera, khususnya dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di luar

jangkaan manusia. Ini dapat kita lihat dari beberapa Hadist berikut yang bermakna:

“...Rasulullah SAW pernah membeli kurma dari Bani Nadhir dan menyimpannya untuk

perbekalan setahun buat keluarga...‖ (H.R. Bukhari); ―Simpanlah sebagian dari harta-

harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu‖ (H.R.

Bukhari); dan “...saya (Rasulullah) sungguh berlindung dari kemiskinan, kelangkaan dan

kejahatan....” (H.R. Bukhari). Pendek kata, penggunaan faktor-faktor produksi (harta

benda) secara amanah mengikut nilai-nilai Ilahiah akan menjamin terwujudkan

kesejahteraan ekonomi umat yang berkeadilan dan bebas dari berbagai penyakit sosio-

ekonomi, tidak seperti dalam sistem ekonomi komunis dan kapitalis yang bebas nilai

(value-free).

Timbulnya penyakit sosio-ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, dimana

pencapaian duniawi seorang individu diukur dengan tingkat pemilikan materi (harta-

benda)—yang nyata sekali berlaku antara golongan kaya dan miskin akibat tidak adanya

pemerataan kesejahteraan ekonomi dalam negara— sebenarnya sangat bertentangan

dengan indikator kesuksesan seorang individu Muslim dalam Islam. Di sisi Allah SWT,

~ 26 ~

setiap individu Muslim adalah sama kedudukannya, walaupun memiliki perbedaan warna

kulit, suku, bangsa, kekayaan, tingkat pendidikan dan berbagai kedudukan duniawi

lainnya. Dalam Islam, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi

Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu" (Q.S. al-Hujarat: 13). Jadi,

bukanlah banyaknya kepemilikan harta-benda, tingginya jabatan dan banyaknya usaha

bisnis yang dimiliki dan paras rupa yang menjadi ukuran kemuliaan seseorang dalam

ajaran Islam.

Ayat al-Hujurat di atas menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat menfokuskan

pembentukan moral Islami para pelaku ekonomi, bukannya penumpukan harta kekayaan

secara membabi buta. Itulah sebabnya sebagai agama yang hanif, universal dan syumul,

Islam telah meletakkan azas perekonomian baik menyangkut persoalan ekonomi mikro

(micro-economy), seperti larangan monopoli, menimbun harta, rakus, bernafsu dan

mengabaikan hak-hak si miskin maupun dalam masalah ekonomi makro (macro-

economy), seperti masalah zakat, peraturan pemerintah demi terciptanya kelangsungan

ekonomi yang stabil dan berkeadilan.

Islam sebagai agama yang sempurna telah menawarkan konsep ekonomi Islam sebagai

jawaban dan solusi bagi semua kelemahan yang melekat pada ke dua sistem ekonomi

kapitalis dan komunis. Kelembaban dan kemerosotan ekonomi serta krisis ekonomi yang

silih berganti melanda ekonomi dunia itu terjadi semata-mata karena kedhaifan sistem

ekonomi kapitalis dan komunis yang dikendalikan oleh hawa-nafsu. Sedangkan dalam

ekonomi Islam, semua tindakan ekonomi itu diarahkan oleh akal dan wahyu Ilahi serta

Sunnatullah, sehingga aktivitas ekonomi yang dilakukan itu akan memberikan manfaat,

bukannya mudarat baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan

negara. Sebaliknya, apabila hawa-nafsu telah menguasai manusia dalam berbagai

aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi, tentunya, akan semakin memperburuk moral

para pelaku ekonomi sehingga akan mengundang terjadinya krisis ekonomi silih berganti.

Bila kejahilan ekonomi ini sudah terjadi secara membudaya, maka krisis ekonomi dan

berbagai penyakit ekonomi yang merugikan umat sangat berpotensi terjadi kapan saja. Ini

semua disebabkan ketamakan dan kerakusan (greediness) manusia yang didorong oleh

~ 27 ~

hawa-nafsu untuk memperkaya diri sendiri tanpa mempedulikan dampak negatifnya

terhadap orang lain.

Sebagai khalifah Tuhan, kita harus menyadari bahwa dunia ini bukanlah milik mutlak

kita. Kita hanya sebagai pemegang amanah Allah SWT mempunyai tanggung jawab

untuk memelihara kemakmuran bumi beserta segala isinya. Karena, sesungguhnya, di

hari akhirat kelak kita akan diminta pertanggungjawapan terhadap semua yang telah kita

perbuat di dunia ini. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT, yang berarti:

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi ini sebagai perhiasan

baginya, agar Kami menguji mereka (manusia), siapakah di antara mereka yang terbaik

perbuatannya" (Q.S. al-Kahf: 7). Dan perlu, sekali lagi, diingatkan bahwa dalam

mempertanggungjawapkan semua amalan kita di Mahkamah Ilahi di hari akhirat kelak,

kita tidak memiliki peluang untuk memberi saksi palsu, apatah lagi untuk menipu Allah

karena "Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan

mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka

usahakan" (Q.S. Yasin: 65).

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa sistem ekonomi Islam memiliki keunggulan

tersendiri yang tiada dimiliki oleh ke dua sistem ekonomi komunis dan kapitalis dalam

menyelesaikan problema ekonomi umat. Muatan nilai-nilai (values loaded) Ilahiah yang

melekat dalam ekonomi Islam telah menjadikan sistem ekonomi ini memihak

kepentingan dan kemaslahatan semua golongan masyarakat, terutama kaum ekonomi

lemah tidak seperti sistem ekonomi kapitalis yang hanya memberi keuntungan bagi

golongan kaya-raya, sedangkan golongan papa-kedana sentiasa tertindas. Begitu juga

sistem ekonomi komunis yang tidak menghargai jerih payah, skills dan bakat individu

dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara telah menjadikan sistem ini

jauh dari nilai-nilai keadilan. Tidak seperti ekonomi Islam yang penuh dengan nilai-nilai

samawi (Islami), ke dua sistem ekonomi kapitalis dan komunis yang ‗bebas nilai‘ ini

telah mengabaikan nilai-nilai moral, etika, dan akhlaqul karimah dalam berbagai aktivitas

ekonomi mereka. Akibatnya, berbagai kejahilan ekonomi dan krisis ekonomi silih

berganti terjadi. Berhasilkah ekonomi Islam memberi solusi terhadap berbagai penyakit

~ 28 ~

dan krisis ekonomi yang melanda umat sejagat, atau setidaknya bagi negara-negara

Muslim? Jawabannya, ada pada setiap individu Muslim. Sejauhmana mereka mampu

menterjemahkan seruan Ilahi untuk diaplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari

dengan penuh amanah dan tanggung jawab sebagai khalifatullah fil-Ard, sejauh itu pula

ekonomi Islam akan mampu memberi jawaban dan menyediakan solusi. Wallahu‟alam

bissawab.

~ 29 ~

BAB 3

MENGKRITISI TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI

KONVENSIONAL

Sejak ilmu ekonomi mendapat pengakuan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri sekitar

abad ke-17 Masehi, para pemikir ekonomi barat telah menggunakan metode yang keliru

untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dunia, yang biasanya diukur dari pertumbuhan

GNP (Gross National Product) atau pendapatan per-kapita (income per-capita). Mereka,

pada awal-awal kemunculan teori pembangunan ekonomi, sempat menafikan peran ilmu

pengetahuan sebagai salah satu indikator penting dalam teori ekonomi untuk mengukur

pembangunan ekonomi sebuah negara. Pengabaian ini telah menyebabkan mereka gagal

total untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pembangunan ekonomi baik

perbedaan pembangunan ekonomi yang terjadi dalam sebuah negara antar waktu maupun

perbedaan pembangunan ekonomi yang terjadi antar negara. Mereka lupa bahwa sejak

lebih 1.400 tahun yang silam, Islam telah menegaskan bahwa, di samping rahmat Allah

swt, ilmu pengetahuan merupakan salah satu faktor terpenting bagi manusia untuk

mewujudkan kesejahteraan (pembangunan ekonomi) dan kemenangan (falah) di dunia

dan akhirat. Bukti ini cukup jelas direkamkan Allah swt dalam al-Qur'an, Surah yang

pertama sekali diturunkan di Gua Hira' kepada kekasihNya Muhammad saw, yaitu surat

al-Alaq yang intinya menyerukan umat untuk membaca (mencari ilmu).

Tulisan ini meninjau dan menguak kedhaifan teori pertumbuhan ekonomi barat, sejak

teori itu pertama kali digagaskan. Walaupun pada awalnya para ahli ekonomi barat

sempat mengabaikan peran ilmu pengetahuan sebagai salah satu indikator penting dalam

pembangunan ekonomi, namun di akhir milineum ke-II mereka telah menyadari bahwa

penguasaan ilmu pengetahuan adalah mutlak diperlukan untuk membangun ekonomi

negara. Ini, secara jelas, menunjukkan bahwa, akhirnya, para ahli ekonomi barat terpaksa

mengakui kebenaran kata-kata Allah swt yang telah dituangkan dalam kitab suci umat

Islam, al-Qur'an tentang pentingnya peran ilmu pengetahuan dalam menjalani kehidupan

di dunia fana ini.

~ 30 ~

Metode yang Keliru

Pada awal kelahirannya, teori-teori ekonomi pembangunan konvensional telah

mengabaikan peran penting ilmu pengetahuan sebagai salah satu faktor utama penyebab

terjadinya pembangunan ekonomi umat. Sebagai penggagas teori pembangunan ekonomi,

Harrod, R.F (1939) dalam artikelnya "An Essay in Dynamic Theory" yang dipublikasikan

dalam Economic Journal telah mengabaikan peran ilmu pengetahuan dalam teori

pertumbuhan ekonominya. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam tulisan Evsey

Domar (1946) dengan judul "Capital Expansion, Rate of Growth, and Employment" yang

dipublikasikan dalam Jurnal Econometrica. Teori-teori mereka, yang kemudian, dikenal

dengan teori pertumbuhan ekonomi ―Harrod-Domar‖ hanya melihat jumlah tabungan dan

modal per-output (saving and capital per output) sebagai dua faktor penting dalam

pertumbuhan ekonomi. Begitu juga Robert Solow (1956) dalam tulisannya "A

Contribution to the Theory of Economic Growth" yang diterbitkan dalam Quarterly

Journal of Economics menegaskan bahwa jumlah tabungan dan penduduk adalah dua

faktor utama penyebab berlakunya pertumbuhan ekonomi. Dalam tulisannya, Solow

berkesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat tabungan sesebuah negara maka akan

semakin maju negara tersebut. Sebaliknya, semakin banyak jumlah penduduk sesebuah

negara, maka semakin miskin negara itu.

Bila sekilas-lintas merujuk pada teori-teori pembangunan ekonomi di atas dan kaitannya

dengan realitas sekarang, maka teori mereka tersebut jelas berada jauh dari nilai-nilai

kebenaran. Hanya negara Indonesia sajalah yang memiliki jumlah penduduk nomor

empat terbesar di dunia, pertumbuhan ekonominya lemah. Sedangkan negara-negara

Cina, Amerika Serikat, India, dan Russia bisa dikatakan memiliki pertumbuhan ekonomi

yang stabil. Di samping itu, teori mereka baik teori Harrod-Domar maupun teori Solow

jelas tidak mampu atau gagal mengukur perbedaan pertumbuhan dalam sebuah negara

dari masa ke masa dan perbedaan pertumbuhan ekonomi yang berlaku antar negara.

Dengan kata lain, untuk mengukur pertumbuhan ekonomi tidaklah memadai dengan

hanya mengukur pertumbuhan modal fisik dan jumlah penduduk (tenaga kerja) semata,

pasti ada faktor lain, yang telah terabaikan, yang sangat menentukan pertumbuhan

ekonomi negara.

~ 31 ~

Perangkap (Trap) Teori Ekonomi Pembangunan Barat

Kalau kita lebih bijaksana melihat implikasi teori pertumbuhan ekonomi di atas, secara

implisit, para ahli ekonomi barat jelas telah menjebak negara-nagara Muslim yang

mayoritas kurang memiliki modal yang memadai untuk membangun ekonomi negaranya,

agar berhutang pada negara maju. Niat jahat negara maju untuk mengelabui negara

miskin jelas terlihat dari beberapa hasil kajian ilmiah yang dilakukan para ahli ekonomi

barat di negara-negara miskin yang menemukan bahwa kemunduran negara-negara

miskin adalah mutlak disebabkan oleh kekurangan modal yang mereka miliki. Sehingga

dalam membangun ekonomi negara, mereka merekomendasikan kepada negara-negara

miskin agar mendapatkan modal yang memadai, tentunya, dengan berhutang pada

negara-negara maju. Inilah jebakan negara-negara maju agar mereka dapat dengan

leluasa ikut campur tangan untuk mengatur perekonomian negara-negara miskin, yang

umumnya, didiami oleh mayoritas umat Islam.

Perlu kita sadari bahwa kalaulah negara-negara Muslim telah membiayai pembangunan

ekonomi mereka dengan bermodalkan hutang dari negara-negara maju, maka secara tidak

langsung kita telah dengan sengaja mengundang campur tangan negara asing untuk

mengatur kebijakan pembangunan ekonomi negara kita. Karena diakui atau tidak, bila

pembangunan ekonomi negara telah ditopang dengan hutang luar negeri, maka di sinilah

punca kehinaan bangsa kita bermula. Barangkali, atas kesadaran inilah, Mantan Perdana

Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad berani menolak sekeras-kerasnya ―bantuan‖

(pinjaman) asing untuk membiayai pembangunan ekonomi negaranya. Mahathir dan

rakyat Malaysia tidak mau membangun negerinya dengan dana dari berhutang pada

negara asing, walau dalam menghadapi krisis ekonomi sekalipun. Pengaruh negatif

membiayai pembangunan negara dengan berhutang pada negara lain dapat kita saksikan

di Indonesia, sampai akhir 2002 pun masih kucar-kacir membebaskan perekonomiannya

dari pengaruh campur tangan negara-negara asing.

Setelah mengidentifikasi jebakan para ahli ekonomi barat melalui teori pertumbuhan

ekonominya, seperti dijelaskan di atas, maka sudah seharusnya umat Islam bertindak

lebih hati-hati dalam mengatur kebijakan pembangunan ekonomi negara dengan berusaha

semaksimal mungkin untuk tidak membiayai pembangunan ekonomi yang bersumber

~ 32 ~

dari hutang negara-negara maju. Dalam konteks ini, mungkin, tindakan Mantan Perdana

Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad dalam menentang sekeras-kerasnya usaha

untuk membiayai pembangunan ekonomi Malaysia yang bersumber dari hutang luar

negeri haruslah dijadikan contoh teladan oleh negara-negara Muslim lainnya, terutama

negara Indonesia yang ekonominya dalam keadaan sekarat tercekik oleh hutang.

Kalaupun negara-negara Muslim terpaksa berhutang, hendaklah hutang itu dipinjami dari

sumber-sumber yang bebas riba, dan untuk itu, alternatif wadah Dana Moneter Islam

Internasional (Islamic International Monetary Funds, IIMF) menjadi solusi yang tepat.

Negara-negara Muslim di dunia dihimbau sebaiknya segera menyelenggarakan

Konferensi Internasional untuk membahas agenda penyelesaian krisis moneter melalui

pembentukan lembaga bersama IIMF yang berfungsi sebagai institusi peminjam modal

yang bebas riba.

Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Ekonomi Umat

Selanjutnya, kegagalan teori pembangunan Harrod-Domar dan Solow dalam

mengidentifikasi indikator penting penyebab berlakunya pembangunan ekonomi dunia

telah dikritik oleh Mankiw, Romer, dan Weil (1992) dalam artikelnya, "A Contribution to

the Empirics of Economic Growth" yang dipublikasikan dalam Quarterly Journal of

Economics dengan mengatakan bahwa sungguh dhaif dan sangat tidak realistik asumsi-

asumsi teori pertumbuhan ekonomi terdahulu, seperti asumsi hanya satu barang tersedia

dalam negara, mengabaikan peran pemerintah, pertumbuhan tenaga kerja, depresiasi, dan

perkembangan teknologi. Untuk merevisi kelemahan teori terdahulu, mereka telah

memasukkan teknologi dan modal manusia (human capital) di samping modal fisik

(physical capital) sebagai faktor penting penentu pembangunan ekonomi dalam teori

pertumbuhan ekonomi baru mereka. Modal manusia, menurut mereka, termasuklah

pendidikan keahlian buruh, kekuatan hak kepemilikan, kualitas infrastruktur, dan sikap

budaya terhadap entrepreneurship dan kerja. Teori mereka ini, kemudian, dikenal dengan

teori "Beyond Solow" yang telah memperkenalkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu

faktor penting penyebab terjadinya pembangunan ekonomi negara di samping faktor

modal fisik, buruh, dan teknologi.

~ 33 ~

Karena kebingungan mereka atas kelemahan teori pertumbuhan ekonomi terdahulu, maka

dalam teori "Beyond Solow" ini mereka juga telah memasukkan Riset dan Pengembangan

(Research and Development, R&D) atau ilmu pengetahuan sebagai faktor penting

penentu pembangunan ekonomi sesebuah negara. Alasan kenapa mereka memasukkan

ilmu pengetahuan sebagai salah satu faktor penting penentu pembangunan ekonomi,

seperti dikatakan oleh David Romer (1996) dalam bukunya "Advanced Macroeconomics"

bahwa ilmu pengetahuan adalah sangat berguna untuk menghasilkan ilmu pengetahuan

yang baru sebagai faktor utama penentu pembangunan ekonomi negara. Karena tatkala

proses akumulasi ilmu pengetahuan dimulai, ekonomi akan bergerak ke arah

pertumbuhan yang berkelanjutan. Mereka juga mengakui bahwa ilmu pengetahuan adalah

bersifat ―non-rival‖ dimana penggunaan sebagian ilmu pengetahuan pada waktu dan

untuk kegunaan tertentu oleh seseorang tidak akan menghalang orang lain untuk

menggunakan ilmu pengetahuan yang sama. Begitu juga J. M. Clark (2000), seorang ahli

ekonomi Kapitalis telah mengakui bahwa "ilmu pengetahuan adalah satu-satunya faktor

produksi yang tidak pernah berkurang (non-deminishing return)". Ini menunjukkan

bahwa satu-satunya benda di dunia ini yang tidak akan pernah berkurang baik dari segi

kuantitas maupun kualitas walaupun ia telah digunakan berulang-kali adalah ilmu

pengetahuan. Apa yang dikatakan mereka, sebenarnya, lebih 14 abad yang lampau telah

ditegaskan oleh Ali bin Abi Talib r.a., Khulafa ar-Rasyidin yang terakhir bahwa satu-

satunya benda yang bila diberikan pada orang lain tidak pernah berkurang, malah ia

senantiasa bertambah, tidak ada lain kecuali ilmu pengetahuan.

Dengan dimasukkannya ilmu pengetahuan (teknologi) sebagai salah satu faktor penting

untuk mengukur pembangunan ekonomi negara, maka perbedaan pertumbuhan ekonomi

dalam sebuah negara dari masa ke masa kini telah berhasil diukur. Perkembangan ilmu

pengetahuan didapati sebagai penyebab utama kenapa standar hidup dan pertumbuhan

ekonomi negara jauh lebih baik pada masa sekarang dibandingkan dengan masa silam.

Namun, sekali lagi, mereka masih gagal mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya

perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara. Hal ini telah dibuktikan oleh Denison

(1985) dalam bukunya ―Trends in American Economic Growth: 1929-1982‖, yang

menemukan bahwa menurunnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada periode

~ 34 ~

1929-1982 adalah disebabkan oleh melemahnya keahlian buruh, naiknya harga minyak,

dan akibat kekakuan peraturan pemerintah (the rigidity of goverment rules). Selanjutnya,

Yong (1994) dalam artikelnya "The Tiranny of Numbers: Confronting the Statistical

Reality of the East Asian Growth Experience" yang dipublikasikan dalam Quarterly

Journal of Economics, mendapati bahwa penyebab utama meningkatnya pertumbuhan

ekonomi negara-negara Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan adalah disebabkan

oleh naiknya tingkat investasi asing, meningkatnya peran aktif dan produktivitas buruh

dalam pembangunan ekonomi. Singkatnya, bukti empiris ini jelas telah menafikan bahwa

perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara adalah terjadi akibat perbedaan

pemilikan/penguasaan teknologi antar negara.

Alasan lain kenapa perbedaan pembangunan ekonomi antar negara berlaku bukan akibat

perbedaan pemilikan teknologi adalah disebabkan oleh sifat teknologi itu sendiri yang

dapat dipindahkan (transferable) dari satu tempat (negara) ke tempat lain. Negara-negara

miskin yang tidak memiliki teknologi terkini, tentunya, dapat mendatangkannya dari

negara-negara maju. Walaupun secara teoritis demikian, namun realitas menunjukkan

bahwa negara miskin tetap miskin dan bahkan menjadi lebih papa, sementara itu negara

maju semakin maju. Realitas ini telah mendorong para ahli ekonomi barat untuk memeras

otaknya kembali mencari jawaban yang sesungguhnya apa penyebab terjadinya

perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara.

Rahmat Ilahi dan Pembangunan Ekonomi Umat

Setelah melakukan riset lanjutan, Mankiw, Romer, dan Weil (1992) dan Romer (1996)

barulah menemukan jawaban yang hampir pasti kenapa pertumbuhan ekonomi antar

negara berbeda. Mereka berkesimpulan bahwa tarjadinya perbedaan pertumbuhan

ekonomi antar negara maju dengan negara miskin bukanlah disebabkan oleh ketidak ada

upayaan negara miskin untuk mengakses teknologi dari negara maju, tetapi semata-mata

disebabkan oleh kebodohan orang-orang (human capital incapability) yang berdomisili di

negara-negara miskin untuk menggunakan teknologi. Dalam risetnya, mereka

menemukan bahwa 80% perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara adalah

~ 35 ~

disebabkan oleh faktor modal fisik dan faktor modal manusia. Sedangkan, 20% lagi

sisanya mereka kategorikan ke dalam faktor-faktor yang tidak dapat diidentifikasi

(diukur), yang dalam istilah mereka disebut dengan ―residual‖ (nilai sisa). Menurut

Abramovitz (1956) and Denison (1967), sebenarnya, residual ini adalah pertanda atau

bukti yang menunjukkan kedhaifan dan kebodohan mereka dalam mengukur perbedaan

pertumbuhan ekonomi antar negara. Mereka lupa bahwa faktor rahmat Allah swt, di

samping ilmu pengetahuan untuk menguasai teknologi adalah merupakan faktor yang

sangat penting dalam pembangunan ekonomi umat. Karena tanpa limpahan rahmat Allah

swt, maka sangatlah susah dan bahkan mustahil bagi kita untuk dapat membangun

ekonomi negara. Sebagai contoh rahmat Allah swt adalah rahmat hujan. Bila hujan tidak

pernah turun, mana mungkin para petani mampu menghasilkan panen yang banyak, yang

pada gilirannya, akan meningkatkan jumlah komoditas hasil pertanian yang beredar di

pasar sehingga berlakulah pembangunan ekonomi.

Atas pertimbangan inilah Ramzan Akhtar (1993) terpanggil untuk melakukan riset

lanjutan. Dalam artikelnya "Modelling the Economic Growth of An Islamic Economy"

yang diterbitkan dalam ―The American Journal of Islamic Social Science (AJISS)‖,

Akhtar mengkritik sekeras-kerasnya teori pertumbuhan ekonomi barat. Akhtar

menegaskan bahwa tanpa adanya rahmat Allah swt, maka pembangunan ekonomi

sangatlah mustahil untuk berlaku. Kenapa para ahli ekonomi barat tidak memasukkan

rahmat Allah swt sebagai faktor penting penyebab terjadinya pembangunan ekonomi

negara dalam teori mereka adalah semata-mata disebabkan oleh kejahilan dan

ketidakpercayaan mereka terhadap kekuasaan Allah swt. Dengan alasan karena Allah swt

itu bersifat abstrak, dan ianya tidak dapat dibuktikan secara empiris, maka mereka tidak

mempercayainya. Sungguh mereka lupa bahwa mereka dilahirkan ke dunia ini seolah-

olah lahir begitu saja tanpa ada sesiapapun yang mentakdirkannya.

Singkatnya, perbedaan penguasaan ilmu pengetahuan untuk mengoperasikan mesin-

mesin teknologi dan rahmat Allah swt adalah penyebab utama berbedanya pertumbuhan

ekonomi antar negara. Penguasaan ilmu pengetahuan dan rahmat Allah swt merupakan

“driving force‖ pertumbuhan ekonomi negara. Oleh karena itu, terbatasnya keahlian dan

~ 36 ~

ilmu pengetahuan negara-negara miskin untuk mengoperasikan mesin-mesin

berteknologi tinggi dan teknologi komunikasi dan informasi (Information,

Communication and Technology, ICT) adalah merupakan faktor utama penyebab negara

miskin terus teperangkap dalam kemiskinan, sementara itu negara maju terus

mempergunakan kelemahan negara-negara miskin untuk memperkaya diri mereka. Sudah

masanya umat Islam harus menguasai semua bidang kehidupan, karena bukanlah perkara

mudah untuk membangun ekonomi secara komprehensif, adil, dan berkelanjutan

(sustainable) tanpa memiliki kemampuan untuk mengoperasikan dan bahkan menguasai

mesin-mesin teknologi canggih. Hal ini sangatlah tepat seperti apa yang telah dikatakan

oleh Robert Lucas (1988) dalam artikelnya berjudul "On Mechanics of Economics

Developmnent" yang diterbitkan dalam Journal of Monetary Policy sebagai berikut:

"sekali kita mulai berpikir tentang pembangunan ekonomi, maka sangatlah susah dan

tidak mempunyai masa untuk memikirkan tentang perkara-perkara yang lain".

Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa kegagalan para ahli ekonomi

barat untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan

ekonomi dalam sebuah negara dari masa ke masa dan perbedaan pertumbuhan ekonomi

antar negara adalah mutlak disebabkan oleh kedhaifan dan kejahilan mereka sendiri.

Selain sempat mengabaikan peran ilmu pengetahuan pada awal-awal kemunculan teori

pembangunan ekonomi, hingga detik ini mereka masih menafikan kehadiran rahmat

Allah swt sebagai faktor terpenting penyebab berlakunya pembangunan ekonomi umat.

Karena tingginya nilai ilmu pengetahuan dalam Islam, maka penguasaan ilmu

pengetahuan secara komprehensif dan benar jelas akan memudahkan umat Islam untuk

membangun ekonominya. Namun, pembangunan ekonomi umat tidak akan pernah

berlaku tanpa mendapat restu Allah swt melalui cucuran rahmatNya

~ 37 ~

BAB 4

MEMILIH BARANG DAN JASA DALAM EKONOMI ISLAM

Hampir semua pakar ekonomi setuju bahwa ekonomi sering didefinisikan sebagai suatu

ilmu atau seni bagaimana seseorang melakukan pemilihan (choices) terhadap sesuatu

barang atau jasa dengan cara mengalokasikan sumber daya alam yang terbatas (limited)

atau langka (scare) secara efisien. Karena rumitnya proses pemilihan ini, maka peran

ilmu pengetahuan adalah mutlak diperlukan. Sebab tanpa memiliki ilmu pengetahuan

yang memadai terhadap barang dan jasa yang akan dibeli, keputusan yang diambil

cenderung akan tidak memaksimumkan kepuasan para pembeli. Biasanya, hal ini

disebabkan oleh tindakan spekulasi atau tindakan yang bersifat terkaan (guesswork)

terhadap barang dan jasa yang dipilih. Artinya bahwa sebuah proses pemilihan tanpa

didasari dengan pemahaman ilmu pengetuan yang memadai tidaklah dapat dikategorikan

sebagai suatu cara yang tepat dalam menjatuhkan pilihan terhadap barang dan jasa yang

ingin dibeli.

Dalam setiap proses pemilihan dalam ekonomi, kita hanya memiliki satu kesempatan saja

untuk menetapkan pilihan. Dan pilihan yang kita buat tersebut juga tidak terlepas dari dua

kemungkinan pilihan, yaitu memilih barang dan jasa secara tepat atau sebaliknya,

menetapkan pilihan yang salah. Kedua alternatif ini, dalam ilmu ekonomi sering disebut

dengan proses ―tolak angsur‖ (trade off). Dalam kaitannya dengan konsep pemilihan

barang secara Islami, contoh trade-off ini dapat dilihat bahwa ketika kita telah

menjatuhkan pilihan untuk membeli barang dan jasa yang halal, maka kecendrungan

untuk memilih barang dan jasa yang haram sudah tertutup. Jadi, untuk menetapkan

pilihan yang tepat, maka keputusan yang dibuat itu haruslah didahului dengan observasi

pasar yang menyeluruh dan studi tentang barang dan jasa serta tingkah laku pasar secara

teliti.

Tidak seperti halnya ilmu ekonomi Islam, ilmu ekonomi konvensional hanya merupakan

suatu ilmu tentang cara bagaimana pemilihan terhadap barang dan jasa itu dibuat oleh

~ 38 ~

para pelaku ekonomi. Dalam melakukan investasi misalnya, pemilihan saham atau

obligasi untuk dibeli hanya semata-mata didasari atas orientasi keuntungan maksimum

(maximum profit oriented). Begitu juga dengan pembelian rumah dan mobil biasanya

dibuat hanya berdasarkan harga, kualitas dan kenyamanan dari barang-barang tersebut.

Hal ini menjelaskan bahwa ilmu ekonomi konvensional sangat jarang melihat

sejauhmana pengaruh pembelian sesuatu barang terhadap kesejahteraan hidup orang lain.

Hal inilah yang membuat ilmu ekonomi konvensional akhir-akhir ini hanya berfungsi

tidak lebih sebagai suatu ilmu yang berkaitan dengan proses pemilihan barang dan jasa

saja. Sedangkan pengaruh dari pemilihan sesuatu barang dan jasa terhadap kesejahteraan

orang lain lebih cenderung dikategorikan sebagai persoalan etika (akhlaq) yang

pembahasannya adalah di luar dari tanggung jawab ilmu ekonomi.

Dalam proses pemilihan terhadap barang dan jasa, ilmu ekonomi konvensional hanya

didasarkan pada kemampuan akal (reasons) dan fakta-fakta (facts) semata. Walaupun

demikian, dalam prakteknya sangat jarang kita temui kedua faktor ini difungsikan secara

maksimal dan berimbang dalam proses pemilihan. Hal ini dapat kita lihat dalam buku-

buku teks ekonomi yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan. Ilmu ekonomi

konvensional secara terang-terangan telah mengabaikan aspek tingkah laku psikologi

kemanusiaan (human psychological behaviuor) dalam proses pemilihan sehingga

menyebabkan barang dan jasa yang dipilih tidak tepat dan terarah sesuai dengan

keinginan mereka. Pemilihan barang dan jasa yang tidak tepat dan sembrono akan

memberi dampak negatif terhadap ekonomi secara makro. Pengaruh makro ini dapat kita

lihat dari pengaruh pembelian sesuatu barang tertentu terhadap kenaikan tingkat inflasi

atau penurunan daya beli masyarakat, kekurangan makanan, pengangguran,

ketidakstabilan mata uang, maupun terhadap kemunduran pertumbuhan ekonomi, dan

berbagai penyakit ekonomi lainnya.

Sementara itu, dalam Islam, studi terhadap pemilihan barang dan jasa sangat jelas

diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, ketika membahas bab etika

(akhlaq). Dengan merujuk pada pendapat Imam al-Ghazali, Dr. Saiful Azhar Roesly

~ 39 ~

(2000) menyebutkan bahwa proses pemilihan barang dan jasa dalam Islam itu meliputi

lima tahap penting. Pertama, ide (al-khawarij). Ide ini menurut Imam al-Ghazali adalah

merupakan dasar utama (fountainhead) daripada semua tindakan manusia. Ide ini akan

mempengaruhi hati manusia baik yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal.

Ide ini ada yang bersifat konstruktif dan destruktif. Ide yang bersifat konstruktif selalu

mengarah manusia kepada suatu tindakan yang baik, sedangkan ide yang bersifat

destruktif senantiasa bermuara pada sebuah kejahatan. Ide konstruktif biasanya

bersumber dari inspirasi atau intuisi (ilham), sedangkan yang bersifat destruktif biasanya

bersumber dari bisikan syaitan (waswas).

Merujuk pada keterangan di atas, maka dapat kita fahami bahwa jika pemilihan terhadap

sesuatu barang dan jasa yang sifatnya lebih menguntungkan kepentingan individu (self-

interest) dengan mengabaikan kepentingan umum (public interest), maka dapat dipastikan

bahwa keputusan pemilihan itu didorong oleh ide destruktif yang bersumber dari hasil

bisikan syaitan. Praktek-praktek ini sangat mudah kita jumpai dalam sebuah perusahaan

dimana apabila terjadinya pertentangan antara dua kepentingan, yaitu kepentingan para

pemegang saham (shareholders) dan kepentingan perusahaan (management) itu sendiri.

Dalam menghadapi problema ini biasanya para pemegang saham akan terdorong untuk

mengeluarkan biaya semaksimal mungkin untuk memonitor tingkah laku para manager

sehingga tidak mejalankan operasional perusahaan melenceng dari tujuan yang telah

ditetapkan.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa ide yang baik atau ilham ini bersumber dari akal

yang mendapat bimbingan hidayah Allah swt (al-taufiq). Ketika ide itu bersemi dalam

hati seseorang, maka ia akan menjadi pendorong (impulse) sehingga timbullah

kecenderungan (al-raghba) untuk memilih sesuatu barang atau jasa sebagai tahap kedua.

Kecenderungan ini akan berlanjut melalui proses intelektual yang dapat menumbuhkan

sebuah keyakinan (al-‗itiqad) bahwa ide itu adalah merupakan suatu ide yang baik.

Setelah adanya keyakinan diri (tahap ketiga), maka timbullah suatu keinginan (al-iradah)

dalam diri seseorang untuk segera memiliki barang dan jasa sebagai tahap keempat.

~ 40 ~

Selanjutnya, keinginan ini mendorong manusia untuk membuat suatu pemilihan yang

pada gilirannya berakhir pada sebuah usaha atau tindakan (al-ikhtiyar) untuk segera

memilih barang dan jasa yang ia kehendaki sebagai tahap terakhir.

Dari kata ikhtiyar di atas yang mendefinisikan konsep pemilihan dalam Islam, dapat

dipastikan bahwa proses pemilihan dalam Islam adalah suatu proses yang baik (khiyar)

dan membuahkan hasil pilihan yang baik pula. Jadi, setiap Muslim yang membuat

pemilihan terhadap barang dan jasa, maka sudah pasti pilihannya itu adalah pilihan yang

senantiasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan bukan kejahilan. Dengan kata lain,

pemilihan yang dibuat tanpa berbekalkan ilmu pengetahuan sudah tentu bukan

merupakan pemilihan yang Islami tetapi lebih kepada suatu tindakan kejahilan yang

dapat merusakkan sendi-sendi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya terdiri dari akal (reason)

semata, tetapi wahyu Allah swt (al-Qur‘an) dan Hadist Rasulullah saw juga sangat

memainkan peran penting dalam proses pemilihan. Sedangkan dalam ilmu ekonomi

konvensional, mereka tidak pernah percaya sama sekali terhadap keberadaan wahyu

Allah. Sebab wahyu itu, menurut mereka, tidak dapat dibuktikan secara empiris

(empirically untested). Sungguh menyedihkan, gejala tidak mempercayai pada sesuatu

makhluk/benda yang sifatnya ―ghaib‖, seperti keberadaan Allah swt dan para Malaikat,

kini secara gradual mulai merambah dunia intelektual Muslim. Tidak jarang kita melihat

bila ada sebuah riset ilmiah yang dalam presentasinya menggunakan metodologi atau

model metematik dan ekonometrik yang rumit (complicated), maka hasil penelitian

ilmiah itu akan sangat diyakini kebenarannya ketimbang dengan hasil riset yang

pembuktiannya hanya merujuk pada ayat-ayat al-Qur‘an dan Hadist Rasulullah saw.

Pendek kata, validitas, signifikan, representatif dan reliablenya hasil riset ilmiah dewasa

ini sangat ditentukan oleh tingkat kerumitan model yang digunakan, bukannya dalil naqli.

~ 41 ~

Selanjutnya, dalam Islam, pemilihan dengan menggunakan akal yang didasari atas al-

Qur‘an dan Hadist, pada gilirannya, akan menjamin kepentingan dan kemaslahatan

masyarakat secara umum. Sebagai contoh, di antara problema-problema ekonomi adalah

―apa yang harus kita produksikan dan berapa banyak‖? Untuk menjawab pertanyaan

pertama, ―apa yang harus kita produksikan‖, maka dengan merujuk pada konsep halal

dan haram berdasarkan al-Qur‘an dan Hadist, kita dengan mudah dapat memutuskan

barang-barang dan jasa-jasa apa yang halal dan haram diproduksikan dalam Islam.

Sedangkan pertanyaan kedua ―berapa banyak yang harus kita produksikan‖, ini akan

ditentukan oleh teori ekonomi dan prinsip-prinsip etika. Teori permintaan dan penawaran

(demand and supply theories) dalam ekonomi akan membantu kita dalam memutuskan

jumlah produksi terhadap sesuatu barang atau jasa jika harga barang itu naik atau turun.

Atau dengan kata lain, sejauhmana pengaruh elastisitas harga terhadap penawaran dan

permintaan barang dan jasa di pasar? Semua informasi ini sangat membantu kita untuk

menentukan berapa jumlah barang dan jasa yang sebaiknya diproduksikan.

Di samping itu, Ilmu ekonomi juga membantu kita untuk memproduksi atau

mengkonsumsi kombinasi barang atau jasa yang dapat memenuhi kepuasan maksimal

seseorang. Walaupun demikian, ilmu ekonomi itu sangat lemah dalam mengatur masalah

kesejahteraan umat (welfare of society). Untuk mengatasi kelemahan ini, maka ilmu

ekonomi harus dilengkapi dengan prinsip-prinsip etika (akhlaq). Karena dengan berpandu

pada prinsip-prinsip etika inilah, seseorang akan terhindari dari membuat pemilihan

terhadap sesuatu barang dan jasa yang hanya menguntungkan pribadinya sendiri tanpa

mempedulikan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Dan bila hal ini terjadi,

pemilihan yang hanya menguntungkan individu tertentu, maka pemilihan ini bukanlah

pemilihan yang Islami karena ianya tidak dilakukan melalui proses pemilihan yang

Islami.

~ 42 ~

BAB 5

MEKANISME PASAR DAN TEORI HARGA

DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dapat dimaklumi bahwa bila para ekonom kontemporer barat tidak menyadari apalagi

untuk memberi sebuah pengakuan bahwa keberadaan teori ekonomi konvensional

sekarang ini tidak terlepas dari teori ekonomi yang pernah dikemukakan oleh para

pemikir Islam sejak abad ke-7 Masehi. Usaha ini adalah sangat erat kaitannya dengan

usaha para intelektual barat untuk mengetepikan dan bahkan mengeliminir sumbangsih

para pemikir Islam terhadap teori-teori ekonomi modern. Namun, suatu keanehan bila

para ekonom kontemporer Islam sendiri tidak menyadari bahwa kebanyakan dari teori-

teori ekonomi konvensional sekarang adalah merupakan hasil jiplakan atau manipulasi

dari teori-teori ekonomi yang pernah diperkenalkan oleh para tokoh pemikir Islam

dahulu.

Penafian akan keberadaan teori ekonomi Islam oleh para ekonom kontemporer barat,

sebagai contoh, dapat kita lihat dari statemen yang dikemukan oleh seorang tokoh

pemikir ekonomi barat, Schumpeter (1972) terhadap konsep mekanisme pasar dan teori

harga dalam bukunya ―History of Economic Analysis‖ yang mengatakan bahwa: "as

regards the theory of mechanism of pricing, nothing worth mentioning existed before the

middle of the eighteenth century" (kaitannya dengan teori mekanisme harga, tidak ada

sesuatu yang bernilai untuk disebutkan sebelum pertengahan abad ke-18 Masehi).

Padahal bila Schumpeter mau jujur dan tidak hipokrit (hypocrite), maka dia harus

mengakui bahwa jauh sebelum pertengahan abad ke-18 M, sebenarnya, teori mekanisme

pasar dan teori harga telah sangat intens didiskusikan oleh para pemikir Islam.

Kekayaan khazanah teori ekonomi Islam yang telah dibahas oleh para tokoh pemikir dan

ulama Islam jauh sebelum teori ekonomi barat diakui sebagai suatu disiplin ilmu

tersendiri akan dibahas dalam tulisan ini. Di samping itu, tulisan ini juga bertujuan untuk

meluruskan mispersepsi umat Islam tentang eksistensi teori ekonomi pada umumnya dan

teori mekanisme pasar dan teori harga pada khususnya. Kita harus tahu bahwa teori

~ 43 ~

ekonomi yang dibangga-banggakan para ekonom kontemporer barat sekarang,

sebenarnya adalah merupakan teori ekonomi yang pernah dikemukakan oleh para pemikir

Islam dahulu. Tulisan ini juga ingin membantah statemen Schumpeter di atas dengan

menganalisa konsep mekanisme pasar dan teori harga dalam literatur ekonomi Islam

dengan pendekatan historis. Dalam analisanya, tulisan ini hanya memfokuskan

diskusinya terhadap ke-empat karya pemikir dan ulama Islam terkenal, yaitu; Kitab al-

Kharaj, karya Abu Yusuf (731- 98), Ihya Ulum al-Din-nya Imam al-Ghazali (1058-1111),

al-Hisbah dan al-Siyasah al-Syari'ah, karangan Ibn Taymiyah (1236-1328), dan Kitab al-

Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (1332-1404).

Abu Yusuf (731- 798)

Abu Yusuf adalah seorang Chief of Justice (setingkat dengan Mahkamah Agung atau

Menteri Kehakiman) pada masa khalifah Harun ar-Rasyid. Salah satu buku beliau yang

sangat terkenal dan erat kaitannya dengan ilmu ekonomi adalah Kitab al-Kharaj (Sistem

Pajak dalam Islam). Di dalam Kitabnya itu, kita dapat menemui bagaimana pendapat

beliau tentang teori harga dalam ekonomi Islam. Menurut beliau: "Tidak ada batasan

tertentu untuk menentukan murah atau mahalnya sesuatu barang. Penentuan harga ini,

sebenarnya merupakan persoalan yang ditentukan dari langit (Allah swt) yang prinsip-

prinsipnya di luar jangkauan manusia. Harga murah bukan dikarenakan kelebihan

(surplus) barang dan jasa, dan harga mahal juga bukan disebabkan oleh kelangkaan

(scarcity) barang dan jasa yang beredar di pasar. Ini semua sangat tergantung pada

keputusan, ketetapan dan perintah Allah swt. Sebab, kadangkala, barang dan jasa yang

tersedia di pasar adalah melimpah ruah, namun harganya cukup mahal. Begitu juga

sebaliknya, harga barang dan jasa cukup murah padahal barang dan jasa tersebut sangat

terbatas jumlahnya dijual di pasar".

Berdasarkan pendapat di atas, maka kita dapat melihat bahwa selain mengakui kekuasaan

Tuhan dalam proses penentuan harga, beliau juga mengakui bahwa penentuan harga itu

tidak hanya bergantung pada faktor penawaran (supply) semata, namun juga dipengaruhi

oleh faktor permintaan (demand). Karena banyak atau sedikitnya penawaran terhadap

~ 44 ~

suatu barang dan jasa tidak akan mempengaruhi harga bila tidak adanya permintaan dari

masyarakat terhadap barang dan jasa tersebut. Ini berarti bahwa harga sesuatu barang

adalah ditentukan oleh kekuatan faktor supply dan demand. Bila demand terhadap

sesuatu barang dan jasa lebih tinggi dari supply (jumlah produksi) yang tersedia di pasar,

maka harga barang dan jasa tersebut akan menjadi lebih mahal, dan sebaliknya.

Bila kita komparasikan teori harga ekonomi konvensional dengan teori harganya Abu

Yusuf, maka jelas bahwa teori penentuan harga Abu Yusuf ini secara aklamasi telah

diakui dan diadopsi oleh para pakar ekonomi modern sekarang. Pentingnya peran kedua

faktor supply dan demand dalam teori penentuan harga, seperti disebutkan oleh seorang

ekonom sekuler, James Tobin (1980) bahwa: "God gave us two eyes so that we could

watch both supply and demand" (Tuhan telah menganugerahkan manusia dua mata

sehingga kita dapat melihat kedua faktor penawaran dan permintaan).

Imam al-Ghazali (1058-1111 M)

Di dalam bukunya Ihya Ulum al-Din, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa penentuan

harga terhadap barang dan jasa dalam masyarakat adalah merupakan suatu proses yang

alami (natural order). Dalam ulasannya, beliau memberi contoh bahwa para petani yang

bercocok tanam dengan keterbatasan alat-alat pertanian yang tersedia di satu pihak, dan

di pihak lain para tukang kayu dan tukang besi yang tidak memiliki beras untuk dimakan,

pada gilirannya, untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka mereka akan saling tukar

menukar barang yang mereka produksikan. Petani menukar beras dengan alat-alat

pertanian yang mereka perlukan dari tukang besi dan tukang kayu. Proses tukar menukar

barang ini yang dalam istilah ekonomi disebut dengan ―Barter‖ ini baru akan berlaku bila

antara kedua mereka memiliki keinginan yang sama (similar wants). Bila keinginan

mereka berbeda, maka barter ini sangat mustahil untuk berlaku.

Kesulitan ini telah mendorong lahirnya sebuah pasar (trading places) dimana semua

mereka yang ingin ber-barter dengan mudah akan dapat menemukan partner bisnis yang

~ 45 ~

mempunyai keinginan yang sama. Karena dengan adanya pasar ini, maka para pembeli

dan penjual akan datang dari satu tempat ke tempat yang lain mencari dan untuk

memenuhi kebutuhan mereka. Perjalanan mencari pasar ini akan mendorong penciptaan

alat-alat transportasi untuk mempermudah perjalanan bisnis. Oleh karena itu, akumulasi

untung yang dilakukan oleh para pedagang (traders) adalah suatu motif yang wajar

karena dalam aktivitas bisnis ini selalu tidak terlepas dari faktor ketidakpastian

(uncertainty) dan berbagai resiko (risks). Namun, menurut al-Ghazali, keuntungan yang

ingin diperolehi oleh pedagang hendaklah bukan keuntungan yang berlebihan (excessive

profit). Karena, menurut beliau, keuntungan yang hakiki dalam bisnis bukannya

keuntungan material yang diperoleh dari pasar di dunia fana ini, tetapi melainkan

keuntungan yang diperoleh di pasar akhirat kelak (ultimate market) dengan menjalankan

bisnis sesuai dengan cara-cara yang diridhai Allah swt.

Dalam konteks ini, penentuan harga terhadap suatu barang dan jasa, menurut Imam al-

Ghazali adalah sangat bergantung kepada para pembeli (demand-side). Jika para petani

dengan mudah menemui para pembeli, maka mereka dapat menjualnya dengan harga

mahal, dan sebaliknya bila mereka sukar mencari pembeli yang ingin membeli beras

mereka, maka mereka akan menjualnya dengan harga yang murah. Walaupun beliau

tidak mendiskusikan supply atau demand dalam konteks ekonomi modern, namun

skenario ini dalam ilmu ekonomi konvensional telah digambarkan dengan bentuk kurva

penawaran (supply curve) yang berslope positif (upward sloping supply curve). Dalam

kitabnya, al-Ghazali juga sempat menyinggung konsep elastisitas harga permintaan

dengan menyebutkan bahwa: ―pemotongan terhadap margin keuntungan dengan

melakukan penurunan harga akan menyebabkan kenaikan penjualan dan juga

keuntungan‖. Di akhir penjelasan tentang teori harga dalam kitabnya, al-Ghazali memberi

solusi untuk menurunkan harga terhadap barang yang mahal dengan cara membatasi

jumlah permintaan (quantity of demand).

~ 46 ~

Ibn Taymiyah (1263-1328)

Kaitannya dengan mekanisme pasar dan bagaimana harga sesuatu barang itu ditentukan,

di dalam kedua kitabnya yang terkenal, al-Hisbah dan al-Siyasah al-Syari'ah, Ibn

Taymiyah dengan sangat jelas menyebutkan bahwa: "kenaikan dan penurunan harga

tidak selamanya disebabkan oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh orang lain.

Kadangkala, ketidakstabilan harga ini disebabkan oleh kekurangan produksi atau

penurunan jumlah barang import yang diperlukan. Jadi, jika keinginan untuk membeli

barang itu meningkat sementara ketersediaan barang tersebut terbatas, maka harga akan

naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang itu melimpah ruah sementara keinginan

konsumen untuk membeli barang tersebut menurun, maka harga akan turun. Sedikit atau

banyaknya ketersediaan barang mungkin tidak disebabkan oleh tindakan seseorang, dan

hal ini juga tidak semestinya disebabkan oleh praktek-praktek yang tidak adil dalam

bisnis".

Pendapat beliau di atas merefleksikan bahwa ketidakstabilan harga mungkin disebabkan

oleh praktek ekonomi yang berlaku pada masa tersebut dimana banyak terjadi praktek

ketidakadilan dalam ekonomi, seperti praktek manipulasi, dan tindakan yang melanggar

hukum (transgression) serta berbagai malpraktek lain. Walaupun demikian, beliau tidak

menafikan bahwa kenaikan dan penurunan harga barang itu mungkin disebabkan oleh

tekanan pasar (market pressure) yang berlaku secara alami. Selanjutnya, dari pendapat

beliau di atas, kita dapati bahwa sumber utama penawaran barang dan jasa adalah berasal

dari produksi dalam negeri dan import dari luar negeri.

Dalam membahas teori penentuan harga, analisa beliau tidak pernah terlepas dari takdir

Tuhan. Dalam situasi normal, bila seseorang menjual barangnya menurut kebiasaan yang

berlaku dengan tidak melibatkan tindakan manipulasi dan terjadinya kenaikan harga yang

disebabkan oleh berkurangnya jumlah barang yang tersedia atau disebabkan oleh

kenaikan jumlah produksi, maka menurut beliau ini adalah semata-mata terjadi

disebabkan oleh takdir Tuhan.

~ 47 ~

Di samping itu, beliau juga mengidentifikasikan beberapa faktor lain yang menentukan

jumlah permintaan dan penawaran, yang pada gilirannya, akan mempengarungi harga

pasar. Hal ini sangat jelas diilustrasikan dalam statemen beliau sebagai berikut:

"Keinginan seseorang untuk memiliki barang adalah berbeda antara satu sama lain.

Pertimbangan ini disebabkan oleh jumlah ketersediaan barang dan jasa yang diminta di

pasar. Barang dan jasa yang langka biasa akan diminati banyak orang ketimbang ketika

barang dan jasa itu melimpah ruah berada di pasar. Perbedaan ini juga disebabkan oleh

jumlah konsumen yang ingin membelinya. Jika jumlah konsumen yang meminta barang

dan jasa itu banyak, maka harganya akan naik dibandingkan dengan ketika jumlah

konsumen yang ingin membeli barang dan jasa tersebut sedikit. Tinggi rendahnya harga

sesuatu barang dan jasa juga dipengaruhi oleh kekuatan atau kelemahan kebutuhan akan

barang dan jasa tersebut. Jika kebutuhan akan barang dan jasa tersebut urgen, maka harga

barang dan jasa tersebut akan naik ketimbang ketika kebutuhan akan barang dan jasa

tersebut melemah. Kemudian, harga barang dan jasa juga bervariasi tergantung dengan

siapa dan bagaimana barang dan jasa itu diperjualbelikan. Jika jual beli itu dilakukan

dengan orang yang bisa dipercaya dalam pembayaran hutang (jika dijual secara kredit)

dan dapat membayar hutangnya sekaligus, maka harga murah adalah memadai ketimbang

menjual kepada pembeli yang diragukan kejujurannya dan tidak memiliki keupayaan

untuk membayar hutangnya sekaligus dan tepat waktu".

Dari pendapat beliau di atas dapat dipelajari bahwa demand dan supply itu ditentukan

oleh faktor-faktor, di antaranya, intensitas dan besarnya jumlah permintaan, kelangkaan

dan kelebihan barang di pasar, ketersediaan penjualan secara kredit, dan adanya diskon

untuk pembayaran secara kas. Ini juga menunjukkan bahwa penjualan secara kredit dan

pemberian diskon bagi pembeli yang sanggup membayar secara kas adalah sesuatu yang

lumrah berlaku pada masa itu. Bila kita bandingkan dengan pendapat Abu Yusuf dan al-

Ghazali di atas, maka Ibn Taymiyah tidak hanya melihat demand dan supply sebagai

faktor penentu harga. Namun, lebih jauh lagi, beliau melihat insentif, disinsentif,

ketidakpastian, dan resiko dalam bisnis juga memainkan peran penting dalam

menentukan harga barang dan jasa di pasar.

~ 48 ~

Lebih lanjut, dalam mengatasi ketidakadilan dalam berbisnis, beliau sangat menentang

semua usaha yang bersifat memaksa penjual untuk menjual barang dan jasa yang mereka

tidak ingin menjualnya. Begitu juga sebaliknya, usaha-usaha untuk menghalang para

penjual daripada menjual barang dan jasa yang tidak dilarang Islam adalah suatu tindakan

yang tidak berkeadilan. Ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama

untuk memasuki dan keluar dari pasar (freedom to enter or exit a market). Hal ini

memperlihatkan bahwa beliau sangat menentang peraturan yang berlebihan (excessive

regulation) dalam mendikte tingkat harga ketika pasar berada dalam keadaan stabil.

Namun demikian, dalam menghadapi pasar yang tidak normal dimana harga barang dan

jasa terlalu tinggi dan berada jauh dari jangkauan konsumen, maka hendaklah para

produsen menjual barang produksi mereka pada harga terjangkau sesuai dengan harga

barang-barang sejenis (the price of the equivalent) yang beredar di pasar. Inilah yang

disebut oleh Ibn Taymiyah dengan konsep harga yang adil (just price). Untuk menjamin

semua barang dan jasa itu dijual pada harga yang adil, misalnya, sebagai akibat dari

praktek monopoli, maka peran aktif pihak penguasa adalah sangat diperlukan. Dalam hal

ini, kebijakan pengontrolan harga (price control policy) untuk menjamin terwujudnya

harga yang adil adalah hal yang mutlak harus dipikul pemerintah.

Dari pembahasan di atas, semakin jelas bahwa konsep mekanisme pasar dan teori harga

yang diketengahkan oleh Ibn Taymiyah tidak terlepas dari prinsip-prinsip keadilan

(justice), kebebasan dalam memilih (freedom of choice), dan kejujuran (fairplay)

Ibn Khaldun (1332-1404)

Di dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah, Ibn Khaldun telah membagikan

barang dan jasa ke dalam dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok (necessary goods) dan

barang mewah (luxury goods). Kaitannya dengan penentuan tingkat harga, beliau

mengatakan bahwa ketika sebuah negara yang sedang berkembang yang ditandai dengan

bertambahnya jumlah penduduk, maka harga barang kebutuhan pokok akan turun

dibandingkan dengan harga barang mewah yang cenderung menjadi lebih mahal. Alasan

beliau adalah ketika jumlah permintaan barang kebutuhan pokok meningkat, maka para

~ 49 ~

produsen akan lebih mengkonsentrasikan untuk memproduksi lebih banyak barang-

barang kebutuhan pokok ketimbang barang mewah yang jumlah permitaannya relatif

konstan. Akibat banyaknya jumlah barang kebutuhan pokok yang diproduksikan, maka

kenaikan harga barang tersebut dengan sendirinya akan terkawal.

Sedangkan produksi barang mewah tidak begitu menarik perhatian pihak produsen,

sehingga harga barang mewah dengan sendirinya akan naik akibat terbatasnya

ketersediaan barang tersebut di pasar. Pendapat beliau ini sangat sesuai dengan hukum

permintaan (the law of demand) dan hukum penawaran (the law of supply) yang dapat

kita pelajari dalam ilmu ekonomi barat sekarang, yang masing-masing mengatakan

bahwa "jika jumlah permintaan terhadap sesuatu barang dan jasa adalah banyak, maka

harga barang dan jasa tersebut akan mahal, dan sebaliknya jika jumlah permintaan

sedikit, maka harga barang dan jasa tersebut akan murah", dan "jika jumlah barang dan

jasa yang ditawarkan adalah banyak, maka harganya akan turun, dan sebaliknya jika

jumlah barang dan jasa yang ditawarkan sedikit, maka harga barang akan naik".

Di samping itu, beliau juga mendeskripsikan pengaruh kenaikan dan penurunan

penawaran terhadap harga sesuatu barang. Beliau mengatakan bahwa "ketika barang yang

dibawa dari luar (di import) adalah sedikit, maka harga barang tersebut akan naik.

Sebaliknya, tatkala barang yang dibawa dari luar yang jaraknya berdekatan dan kondisi

transportasinya aman, sehingga dengan mudah untuk membawa barang masuk dari luar

dalam jumlah yang tidak terbatas, maka harga barang tersebut akan menurun".

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa seperti halnya Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun

juga mengakui peran kedua faktor permintaan dan penawaran dalam menentukan harga

barang dan jasa di pasar. Oleb sebab itu, dalam pembahasannya tentang mekanisme pasar

dan teori harga, Ibn Khaldun lebih menekankan pembahasannya sesuai dengan realitas

dan fakta-fakta di lapangan, sedangkan Ibn Taymiyah lebih cendrung untuk

mendiskusikan pembahasannya tentang isu-isu kebijakan (policy issues) pasar.

~ 50 ~

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat kita tarik konklusi bahwa ide-ide tentang mekanisme

pasar dan teori harga telah ada jauh sebelum pertengahan abad ke-18 M. Bahkan konsep

mekanisme pasar dan teori penentuan harga barang dan jasa yang dikemukan oleh

pemikir dan tokoh ulama Islam tersebut di atas cukup jelas menceritakan kinerja pasar

dan faktor-faktor yang menentukan harga barang dan jasa. Bukti ini dengan jelas telah

menolak mentah-mentah pendapat para pemikir ekonomi konvensional, seperti

Schumpeter yang mengatakan bahwa tidak ditemukannya konsep mekanisme pasar dan

teori harga sebelum abad ke-18 M. Disadari atau tidak, padahal hampir dari semua teori

ekonomi yang dibanggakan para pemikir ekonomi barat sekarang adalah bersumber dari

teori-teori dasar yang dikemukan oleh para pemikir Islam.

~ 51 ~

BAB 6

FUNGSI UANG DALAM EKONOMI ISLAM

Walaupun pada awal kemunculan pemikiran ekonomi Keynesian, eksistensi uang dalam

ekonomi belum diakui sepenuhnya. Namun seiring dengan peredaran masa dan sejalan

dengan perubahan ekonomi, fungsi dan peran uang dalam ekonomi semakin penting

sehingga ia tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi. Hal ini menyebabkan para

ekonom berkonklusi bahwa uang merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan

tingkat aktivitas ekonomi sebuah negara. Setidaknya ada dua alasan mendasar kenapa

para ekonom melihat uang itu penting dalam aktivitas perekonomian. Pertama adalah

karena uang dapat digunakan untuk menentukan jumlah nominal, seperti tingkat harga,

dan kedua karena ia juga dapat dijadikan standard untuk menentukan jumlah riel, seperti

jumlah out put riel dan tenaga kerja riel.

Dalam sejarah Islam, kesadaran akan pentingya uang dalam sebuah sistem ekonomi telah

muncul jauh sebelum ilmu ekonomi itu diakui sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri.

Peran uang dalam ekonomi Islam telah didiskusikan oleh Iman al-Ghazali (1058-1111 M)

dalam kitabnya yang terkenal, ―Ihya Ulum al-Din”. Menurut beliau, manusia

memerlukan uang sebagai alat perantara/pertukaran (medium of exchange) untuk

membeli barang dan jasa. Sementara itu, Ibn Taymiyah (1263) menyebutkan bahwa uang

itu tidak hanya berfungsi sebagai medium of exchange, tetapi ia juga berfungsi sebagai

alat untuk menentukan nilai (measurement of value). Akhirnya, dalam membahas peran

uang dalam ekonomi, Ibn Qayyim sependapat dengan al-Ghazali, sementara itu Ibn

Khaldun (1332-1404) lebih cenderung bersetuju dengan pendapat Ibn Taymiyah.

Karena ada instrumen-instrumen ekonomi konvensional baik yang bersifat instrumen

policy atau institusional yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur‘an dan Hadits, maka

fungsi dan peran uang di dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah

berbeda. Sebab mendasar mengapa fungsi uang dalam ekonomi Islam dan ekonomi

konvensional berbeda adalah karena dalam sistim ekonomi Islam, interest (riba),

perjudian (gambling) dan unsur-unsur tidak jelas, gharar (uncertainty) itu diharamkan

~ 52 ~

agama. Sedangkan ekonomi konvensional melihat semua unsur ini sebagai sesuatu yang

normal dan legal.

Dalam ekonomi konvensional, J. M. Keynes (1936) di dalam buku terkenalnya, ―General

Theory of Employment, Interest and Money” mengemukan sebuah teori tentang

permintaan uang yang dikenal dengan liquidity preference (preferensi likuiditas). Teori

preferensi likuiditas ini menyebutkan bahwa ada tiga motif utama yang menentukan

jumlah permintaan uang dalam sebuah perekonomian, yaitu: (i) motif transaksi

(transaction motive); (ii) motif berjaga-jaga (precautionary motive); dan (iii) motif

spekulasi (speculative motive).

Motif transaksi didefinisikan sebagai suatu motif permintaan uang yang diperlukan untuk

kebutuhan sebuah transaksi. Karena transaksi ini biasanya dilakukan oleh individu dan

pebisnis, maka J. M. Keynes membagi motif transaksi ini ke dalam: (a) motif pendapatan

(income motive), dan; (b) motif bisnis (business motive). Sementara itu, motif berjaga-

jaga adalah suatu motif untuk memegang uang dengan tujuan mengantisipasi produksi-

produksi yang tidak dapat diprediksikan di masa-masa mendatang. Dalam ekonomi

konvensional, motif ini dipengarahui oleh tingkat pendapatan individu dan tingkat suku

bunga. Sedangkan, permintaan uang dengan motif spekulasi itu dimaksudkan untuk

menghindari kemerosotan nilai modal (capital value) akibat penurunan aktivitas

ekonomi. Untuk menghindari kerugian ini, biasanya para pelaku bisnis menginvestasikan

uangnya (modal) di pasar-pasar saham yang keuntungannya itu sangat ditentukan oleh

perbedaan tingkat suku bunga.

Jadi dapat dikatakan bahwa dua motif pertama permintaan akan uang, yaitu motif

transaksi dan motif berjaga-jaga adalah berkaitan langsung dengan fungsi uang sebagai

alat pertukaran (tool of exchange) dalam sebuah kegiatan perekonomian. Sedangkan

motif spekulasi lebih erat kaitannya dengan fungsi uang sebagai alat penyimpan harga

atau kekayaan (store of value or wealth). Bila kita komparasikan antara pendapat para

pemikir ekonomi Islam dengan pendapat Keynes di atas, jelas terlihat bahwa kecuali

~ 53 ~

motif memegang uang untuk berspekulasi, semua motif untuk memiliki uang lainnya

adalah disetujui oleh pemikir-pemikir ekonomi Islam seperti disebutkan di atas.

Kita ketahui bahwa motif spekulasi ini dimaksudkan untuk meraup keuntungan dan

menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan perubahan tingkat suku bunga dari masa ke

masa. Melihat karakteristik dan cara spekulasi itu dipraktekkan dalam dunia bisnis yang

melibatkan bunga (interest) dengan menghalalkan segala cara, mengedepankan nilai

ketamakan (greediness) tanpa mempedulikan nilai-nilai keadilan, maka Islam secara

tegas menentang motif spekulasi. Salah satu contoh dari motif ini adalah tindakan

monopoli (ihtikar). Dalam memonopoli barang dan jasa sebagai salah satu tindakan

spekulasi, Imam al-Ghazali membedakan antara monopoli pada saat kekurangan

(shortages) atau ekonomi dalam paceklik dan pada saat kelebihan (surplus) barang dan

jasa. Dalam keadaan shortages, praktek monopoli adalah sangat bertentangan dengan

nilai-nilai ekonomi Islam. Sementara itu, pemikir ekonomi Islam tidak melihat tindakan

monopoli pada saat barang dan jasa dalam keadaan surplus sebagai sesuatu tindakan yang

bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan norma-norma keislaman. Hal ini

dikarenakan pada saat kelebihan barang dan jasa beredar di pasar, tindakan monopoli

tidak akan mempengaruhi harga barang dan jasa sehingga tidak akan membahayakan

kesejahteraan umat. Jadi jelaslah bagi kita bahwa, motif spekulasi ini sangat bertentangan

dengan nilai-nilai keadilan karena selain melibatkan riba (interest), ia juga melibatkan

unsur-unsur perjudian (gambling) dan juga melibatkan unsur-unsur ketidakpastian

(gharar).

Seperti disebutkan sebelumnya, kedua motif transaksi dan motif berjaga-jaga tidaklah

dilihat sebagai motif permintaan uang yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-

norma keislaman. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam melakukan transaksi,

seseorang itu bisa berbuat sekehendak hatinya dengan melanggar ketentuan Allah swt,

seperti melakukan manipulasi, eksploitasi, transaksi barang-barang illegal, transaksi yang

melibatkan bunga, dan monopoli. Motif transaksi ini hendaklah dilakukan berdasarkan

konsep transaksi Islami. Sedangkan, motif berjaga-jaga adalah suatu motif permintaan

uang yang sangat dianjurkan Islam, asal saja motif itu tidak semata-mata termotivasi

~ 54 ~

untuk meraup keuntungan semaksimal mungkin, dengan memanfaatkan perbedaan suku

bunga ketika menyimpan dan mengeluarkan uang dari tempat penyimpanan uang (bank).

Karena motif ini merupakan motif seseorang untuk menabung demi kepentingan masa

depan, terutama dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi yang tidak dapat

diperkirakan, maka motif ini sangat sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan

pertimbangan untuk membantu orang lain (altruistic consideration). Jadi motif ini sangat

berguna tidak hanya untuk meringankan beban diri sendiri, tetapi juga untuk membantu

meringankan beban orang lain tatkala menghadapi musibah ekonomi. Namun, tentu saja

bantuan yang diulurkan untuk meringankan beban orang lain itu hendaklah tidak dalam

bentuk pinjaman berbunga, tetapi sebaiknya dalam bentuk bantuan bebas bunga, Qardh

al-Hasan.

Di samping itu, perlu diketahui bahwa Islam melarang memperlakukan uang sama

dengan barang (commodity) yang bisa diperjualbelikan. ―In Islam, money is not identical

with commodity that can be traded for the purpose of making profit” (Dalam Islam, uang

tidaklah identik dengan barang yang dapat diperjualbelikan dengan tujuan untuk meraup

keuntungan). Islam hanya melihat uang itu sebagai alat tukar, alat perantara, dan alat

untuk menentukan nilai, bukan sebagai barang yang diperjualbelikan. Ini bermakna

bahwa Islam tidak membenarkan uang itu diperjualbelikan di pasar valuta asing (valas)

dengan tujuan spekulasi dan memperkaya diri. Keuntungan memperjualbelikan uang di

pasar valuta asing yang bersumber dari perbedaan harga beli dan harga jual dan

perbedaan tingkat bunga antara satu negara dengan negara lain dimana valuta asing

diperjualbelikan adalah bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Sebagai contoh, kita

membeli Dollar Amerika dengan menggunakan Rupiah, dan kemudian menjual Dollar

Amerika untuk membeli Poundsterling Inggris, dan kemudian Poundsterling dijual untuk

membeli Deutchmark Jerman, dan akhirnya Deutchmark dijual untuk kembali membeli

Rupiah, dan seterusnya. Dari proses jual beli ini, yang sering disebut dengan Arbitraging,

biasanya keuntungan ataupun kerugian yang di dapat adalah tidak setimpal dengan

pengorbanan yang dilakukan dan waktu yang diperlukan. Bisa jadi dalam masa yang

sesingkat-singkatnya, seperti kasus George Soros, yang dituding sebagai penyebab utama

terjadinya malapetaka krisis moneter di sebagian besar negara Asia Timur pada

~ 55 ~

pertengahan tahun 1997, keuntungan yang di dapat dengan memperjualbelikan uang di

pasar valuta asing dalam jumlah berbilion-bilion. Akibat tindakan Soros ini, tidak sedikit

negara yang langsung ambruk fundamental ekonominya, terutama Indonesia. Karenanya,

tidak sedikit rakyat negeri kepulauan ini harus menderita karena krisis ekonomi yang

menerpa sampai beberapa tahun kemudian. Inilah yang menjadi alasan mengapa Islam

tidak membenarkan uang itu diperlakukan sama seperti barang yang bebas

diperjualbelikan, seperti dipraktekkan dalam ekonomi barat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengharaman interest

(riba) dalam ekonomi Islam menyebabkan tidak semua fungsi uang dalam ekonomi

konvensional bisa diimplementasikan dalam sistem ekonomi Islam. Keterlibatan interest,

gambling dan gharar dalam motif permintaan uang untuk berspekulasi telah

menyebabkan motif ini secara keras ditentang oleh Islam. Sementara dua motif lainnya,

motif permintaan uang untuk bertransaksi dan untuk berjaga-jaga tidak dipandang

sebagai motif memegang uang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam sejauh elemen-

elemen riba tidak memotivasi mereka dalam kedua motif permintaan uang tersebut. Tidak

seperti halnya prinsip ekonomi konvensional, prinsip ekonomi Islam menentang keras

uang itu untuk diperlakukan sama dengan barang-barang (commodities) yang dapat

diperjualbelikan semata-mata untuk meraih keuntungan.

~ 56 ~

BAB 7

KONSEP MENABUNG DALAM EKONOMI ISLAM

Sebagai agama yang syumul, Islam mengatur umatnya dalam berbagai aspek kehidupan,

tidak hanya dalam dalam bidang sosial, politik dan ritual semata, tetapi juga dalam

bidang ekonomi. Ini berimplikasi bahwa Allah swt telah menyediakan panduan atau

aturan main (the rule of games) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di bidang

ekonomi. Panduan ini telah diatur sedemikian rupa oleh Allah swt dalam berbagai

sumber hukum Islam baik secara langsung maupun tidak langsung yang eksistensinya

sangat berbeda dengan hukum ekonomi buatan manusia. Hal inilah, di antaranya, telah

menempatkan sistim ekonomi Islam jauh lebih unggul dibandingkan dengan sistim

ekonomi kapitalis dan komunis. Keunggulan sistem ekonomi Islam ini, misalnya, dapat

dilihat bagaimana signifikansi konsep menabung dalam Islam dalam rangka untuk

menuju sebuah negara yang damai dan makmur (thayyibat al-rabb-al-ghafur).

Islam adalah agama yang bernuansakan pertengahan (moderate) dimana umat Islam

senantiasa diarahkan untuk hidup hemat dan berkonsumsi secara tidak mubazir

(extravagance). Penghematan ini harus dilakukan dengan mengurangi kecenderungan

untuk mengkonsumsi (propensity to consume) barang dan jasa. Jumlah pendapatan yang

tersisa dari konsumsi, pada gilirannya, akan memungkinkan seorang Muslim untuk

cenderung menabung (propensity to save) lebih banyak. Larangan untuk berbelanja

secara berlebihan (extravagance) dan tuntunan agama untuk mengkonsumsikan barang

dan jasa berdasarkan konsep halal dan haram, telah mendorong umat Islam agar gemar

menabung. Secara implisit ini berindikasi bahwa seorang Muslim yang baik yang

senantiasa mematuhi panduan Syari‘ah akan cenderung menabung lebih banyak

dibandingkan dengan orang non-Muslim (ignorant people). Namun yang jadi

permasalahan sekarang adalah mengapa banyak negara Muslim jauh lebih terbelakang

(backward) baik dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi dibandingkan dengan

negara sekuler? Padahal kita ketahui bahwa tingkat tabungan (saving) merupakan salah

satu indikator penting terhadap kemajuan setiap negara. Apakah karena ketaqwaan kita

~ 57 ~

masih diragukan, sehingga kita belum secara komprehensif dan perfek mengikuti aturan

Ilahi?

Tulisan ini tidak difokuskan untuk menjawab persoalan-persoalan di atas. Tulisan ini

hanya coba menganalisa konsep menabung dalam ekonomi Islam dengan menyuguhkan

beberapa dalil naqli terhadap kevaliditasan menabung dalam Islam, memberikan alasan-

alasan potensialitas menabung dalam Islam, memaparkan model tabungan yang Islami

dan mengilustrasikan besarnya ganjaran pahala menabung dalam Islam.

Validitas Menabung dalam Islam

Tidak sedikit ayat al-Qur‘an dan Hadits, baik yang secara langsung maupun tidak

langsung, yang mendorong umat Islam untuk menabung. Konsep kesederhanaan

(moderation) dalam berbelanja sangat tegas disebutkan Allah swt dimana Islam sangat

membenci praktek menghambur-hamburkan uang (mubazir) dalam mengkonsumsi

barang dan jasa. Kebencian Allah swt terhadap praktek mubazir ini adalah cukup

beralasan karena pemubaziran akan menyebabkan kehidupan masa depan seseorang

menjadi tidak pasti. Hidup tanpa perencanaan ekonomi yang matang, tentunya akan

menggangu aktivitas sehari-hari kita baik dalam bergaul dengan sesama manusia (Hablun

min al-Nas) maupun dalam bertaqarrub dan berubudiyah dengan sang Khaliqnya

(Hablun min al-Allah). Hal ini disebabkan karena tanpa memiliki jumlah tabungan yang

memadai, kita akan menghadapi kesulitan ekonomi yang tidak dapat diprediksikan di

masa-masa mendatang. Agar memiliki jumlah tabungan yang memadai untuk

menghadapi semua dugaan ekonomi, maka al-Qur‘an memberi solusi agar umatnya tidak

berbelanja secara berlebih-lebihan dan juga tidak terlalu kikir, seperti disebutkan dalam

beberapa ayat-ayat berikut: ―Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada

lehermu dan janganlah kamu terlalu menghulurkan karena itu kamu menjadi tercela dan

menyesali‖ (Q.S. al-Isra‘: 29); ―Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-

saudara syaitan...‖ (Q.S. al-Isra‘: 27); “...makan dan minumlah kamu, dan janganlah

berlebih-lebihan...” (Q.S. al-A‘raf: 31); dan ―Dan orang-orang yang apabila

membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir...” (Q.S. al-

Furqan: 67).

~ 58 ~

Sementara itu, Rasulullah saw dalam banyak Haditsnya memberi peringatan kepada

umatnya agar gemar menabung sebagai cara jitu menghadapi kesulitan ekonomi yang

terjadi diluar dugaan dan sekaligus untuk membasmi kemiskinan. Dapat disimak dari

beberapa Hadist berikut: “...Rasulullah saw pernah membeli kurma dari Bani Nadhir dan

menyimpannya untuk perbekalan setahun buat keluarga...‖ (H.R. Bukhari); ―Simpanlah

sebagian dari harta-harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih

baik bagimu‖ (H.R. Bukhari); dan “...saya (Rasulullah) sungguh berlindung dari

kemiskinan, kelangkaan dan kejahatan....” (H. R. Bukhari).

Berdasarkan maksud beberapa ayat al-Qur‘an dan Hadits di atas, kita dapat melihat

bahwa kegiatan menabung adalah sesuatu yang sangat digalakkan dalam Islam. Namun

ini tidak berarti bahwa Islam membenarkan umatnya untuk berlaku kikir dengan

menumpuk harta sesuka hatinya dan kemudian membiarkan harta itu tidak produktif.

Tumpukan harta yang tidak diinvestasikan dalam sektor-sektor produksi justeru akan

memperparah kondisi ekonomi karena langkanya kesempatan kerja sebagai konsekuensi

dari kurangnya jumlah permintaan terhadap barang dan jasa yang dijual di pasar.

Terbatasnya modal yang diinvestasikan dalam sektor produksi akan menyebabkan proses

produksi terkendala sehingga jangankan untuk merekrut tenaga kerja baru, kadang kala,

untuk membayar gaji pekerja yang sudah ada agak susah. Keadaan ini sering berakhir

pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan atau buruh-buruh karena

ketidakmampuan majikan untuk membayar gaji akibat rendah atau tidak lakunya barang

dan jasa yang mereka produksikan, mungkin akibat melemahnya animo atau kemampuan

daya beli (purchasing power) masyarakat. Ketiadaan sumber pendapatan yang tetap

menyebabkan para penganggur (mereka yang dipecat atau belum mendapat pekerjaan)

tidak berdaya untuk membeli barang dan jasa yang ditawarkan di pasar. Terbatasnya

jumlah pembeli barang dan jasa, pada akhirnya, akan mempengaruhi proses produksi

sehingga memungkinkan terjadi pemecatan (retrenchment) karyawan yang berkelanjutan

karena ketidaksanggupan para majikan membayar gaji akibat semakin berkurangnya

keuntungan yang diperoleh pihak produser.

~ 59 ~

Kenapa dalam Ekonomi Islam Menabung itu Potensial?

Seperti disebutkan di atas, selain galakan agama untuk berkonsumsi secara sederhana

(moderation), larangan bertindak mubazir, dan terbatasnya jumlah barang dan jasa yang

bisa dikonsumsikan sesuai dengan konsep halal dan haram dalam Islam, telah

menyebabkan jumlah tabungan para Muslim jauh lebih potensial dari non-Muslim. Tidak

seperti dalam ekonomi konvensional, Islam melarang umatnya untuk mengkonsumsi

barang dan jasa yang haram hukumnya karena ia akan dapat memudharatkan baik

kesehatan sistem ekonomi maupun kesehatan tubuh mereka. Contoh, Islam tidak

membenarkan umatnya mangadopsi hukum riba, mengkonsumsi makanan haram, seperti

babi, alkohol, dan sebagainya. Karena jumlah barang dan jasa yang bisa dikonsumsikan

terbatasnya, maka kecenderungan umat Islam untuk menabung akan semakin tinggi.

Faktor inilah yang menyebabkan menabung semakin potensial dalam Islam.

Tujuan kita berpedoman pada konsep halal dan haram dalam mengkonsumsi barang dan

jasa, menurut Akram Khan (1983) adalah sebagai pengontrol atau patron dalam

membelanjakan harta untuk tujuan konsumsi sehingga menyisakan jumlah harta

maksimal yang bisa ditabung. Sementara itu A. M. Sadeq (1992), seorang mantan

professor bidang ekonomi pembangunan Islam di International Islamic University

Malaysia (IIUM), lebih jauh melihat bahwa faktor-faktor penyebab potensialnya

tabungan dalam Islam tidak hanya seperti disebutkan di atas. Beliau melihat bahwa

kewajiban umat Islam untuk menggunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia

(natural and human resources) secara optimal dan keharusan untuk memobilisasi

tabungan secara produktif dimana tabungan itu harus disalurkan untuk diinvestasikan di

sektor-sektor yang menghasilkan keuntungan, juga merupakan di antara faktor-faktor

penting lainnya yang mendorong umat Islam untuk menabung. Di samping itu, Islam

melihat bekerja untuk memenuhi nafkah baik untuk dirinya maupun untuk orang yang

berada di bawah tanggungannya adalah merupakan bagian dari pada ibadat kepada Allah

swt. Ganjaran pahala yang diperolehi karena melakukan ibadat (bekerja keras dan

menabung) akan memotivasi umat Islam untuk bekerja lebih keras sehingga dari hasil

kerja keras tersebut mereka mendapat pendapatan/gaji yang lebih tinggi sehingga dengan

hidup hemat, maka jumlah sisa uang yang bisa mereka tabung/simpan akan lebih besar.

~ 60 ~

Walaupun demikian ada pendapat yang meragukan bahwa tingkat tabungan itu akan

terhambat karena penghapusan sistem bunga (interest/riba) dan keberadaan institusi zakat

dalam ekonomi Islam. Pendapat ini sebenarnya dilandaskan pada konsep tabungan

ekonomi klasik yang menyatakan bahwa tabungan itu bergantung secara positif pada

tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga, maka semakin tinggi animo masyarakat

untuk menabung karena mengharapkan keuntungan (bunga) yang lebih besar, begitu juga

sebaliknya. Ternyata hasil penelitian empiris telah membuktikan bahwa pandangan ini

adalah salah dan tidak cukup beralasan. Di dalam bukunya, ―Towards a Just Monetary

System‖, Umer Chapra (1985) membantah keras bahwa asumsi yang mengatakan

penghapusan bunga akan menghambat tingkat tabungan, yang pada gilirannya, akan

mengurangi formasi modal dalam ekonomi. Sedangkan pendistribusian zakat yang

ditujukan untuk mengimbangi jumlah pendapatan yang diterima antara masyarakat

miskin (have-not) dan kaya (have) justeru akan mempromosikan standar hidup

masyarakat miskin. Jika ini terealisasikan dimana masyarakat miskin dengan

pemberdayaan institusi zakat, secara ekonomi telah mampu mandiri bahkan telah well-

established, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa kecenderungan untuk menabung

(propensity to save) masyarakat semakin meningkat karena telah berpartisipasinya

masyarakat miskin untuk menabung. Ini memperlihatkan bahwa sejak lebih dari 1.400

tahun yang lalu ekonomi Islam telah mengakui bahwa tabungan adalah sebagai salah satu

faktor dominan dalam pembangunan ekonomi.

Model Tabungan Islami

Penghapusan bunga (interest) merupakan perbedaan mendasar antara model tabungan

Islami dengan non-Islami. Oleh karena itu, fungsi tabungan dalam Islam sama sekali

tidak bergantung pada tingkat suku bunga seperti dalam ekonomi konvensional. Dalam

hal ini Umer Chapra (1985) hanya melihat bahwa pendapatan dan kebutuhan konsumsi

sekarang (current income and current consumption needs) dan pendapatan plus konsumsi

di masa mendatang (expected future income and consumption needs) adalah merupakan

faktor-faktor yang mempengaruhi tabungan seseorang. Sementara itu, Monzer Kahf

(1992) melihat bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku menabung

~ 61 ~

(saving behaviour) dalam Islam. Faktor-faktor itu adalah: (i) tingkat pendapatan; (ii)

keinginan mengumpulkan harta untuk menjadi kaya; (iii) ketersediaan barang dan jasa

untuk dikonsumsi; (iv) zakat; (v) tingkat keuntungan investasi; (vi) keinginan untuk

menyimpan harta dengan motif berjaga-jaga; dan (vii) kadar ketaqwaan kepada Allah.

Kecuali faktor konsumsi dan ketaqwaan, semua faktor di atas menurut Monzer Kahf

mempunyai hubungan positif dengan tingkat tabungan. Ini berimplikasi bahwa semakin

tingginya tingkat ketaqwaan seseorang maka akan semakin rendah tingkat tabungan

mereka. Karena pada umumnya mereka lebih memilih untuk menderma hartanya di jalan

Allah swt ketimbang untuk menyimpan apalagi untuk menumpuknya.

Secara realitas --- maksud saya bukan teoritis --- sebenarnya ketaqwaanlah yang

sepatutnya menyebabkan seseorang cenderung untuk menabung lebih banyak. Dalam hal

ini mungkin Monzer Kahf telah lupa bahwa derma atau sadaqah yang dikeluarkan oleh

orang-orang taqwa juga merupakan tabungan, yaitu tabungan untuk hari akhirat atau

tabungan ukhrawi. Namun tabungan ukhrawi (Hereafter saving) ini, menurut Akram

Khan (1983) adalah berbeda dengan tabungan duniawi (worldly saving) karena

keuntungan tabungan ukhrawi ini tidak hanya dapat dirasakan sekarang (di dunia)

manfaatnya tetapi juga imbalan mutlaknya akan didapat pada hari pembalasan (akhirat)

kelak. Kemusykilan lain bila derma atau sadaqah tidak dikategorikan ke dalam jenis

tabungan adalah hanya orang kikir dan orang bakhil-lah yang cenderung menabung lebih

banyak karena kekikiran dan ke-bakhil-an mereka, walaupun pada dasarnya pendapatan

mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan orang kaya raya yang

bertaqwa dan senantiasa mendermakan hartanya di jalan Allah swt. Derma dan sadaqah

orang taqwa untuk para dhu‘afa justeru akan meningkatkan kualitas hidup mereka

sebagai bagian dari proses pemberdayaan (empowerment) ekonomi sehingga tidak

mustahil bila pada akhirnya para dhu‘afa akan mampu untuk memiliki tabungan sendiri.

Bukankah skenario ini juga akan meningkatkan kecenderurangan umat Islam untuk

menabung!

~ 62 ~

Ganjaran Menabung yang Luar Biasa

Seperti disebutkan sebelumnya, galakan Islam agar umatnya senantiasa menabung adalah

tidak terlepas dari besarnya ganjaran pahala yang akan diperoleh dan janji untuk

memasuki syurga Allah bagi siapa saja yang menabung (bersedekah) di jalanNya. Ini

menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat ketaqwaan seseorang individu Muslim,

maka akan semakin tinggi jumlah keseluruhan tabungannya, yaitu tabungan duniawi plus

ukhrawi (Naziruddin Abdullah dan M. Shabri Abdul Majid, 2001). Kenyataan ini,

tentunya, akan mendorong umat Islam yang beriman dan bertaqwa menjadi penabung

yang sangat potensial. Karena imbalan pahala yang luar biasa bagi siapa yang menabung

di bank Allah, dengan memberi sedekah, menderma dan menafkahkan hartanya di jalan

Allah swt sebagai tabungan mereka untuk mencapai falah (kemenangan di dunia dan di

hari akhirat kelak), tidaklah dapat dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh

dengan menabung di bank-bank konvensional buatan manusia di negara manapun.

Hal ini seperti telah diabadikan Allah swt dalam al-Qur'an Surah al-Baqarah ayat 261:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya

di jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada

tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia

kehendaki…". Makna ayat ini juga senada dengan sabda Rasulullah saw: ―Setiap amal

perbuatan kebajikan anak Adam akan dilipatkan pahalanya dengan sepuluh hingga tujuh

ratus kali ganda. Allah swt berfirman: „Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa

itu adalah untukKu dan Aku yang memberi balasannya…" (H.R. Muslim). Untuk

melihat lebih jauh tentang luar biasanya ganjaran menabung dalam Islam, lihat tulisan

Ramadhan dan Implikasinya dalam Ekonomi Islam di Bab VI buku ini.

Penutup

Dari uraian di atas, dapat kita catat bahwa Islam sangat menggalakkan umatnya untuk

menabung. Oleh karena jumlah tabungan merupakan indikator penting dalam sebuah

pembangunan ekonomi, maka dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa Islam

adalah agama yang sangat pro dan cinta akan kemajuan (pro-development). Umat Islam

~ 63 ~

adalah umat penabung dan umat yang berwawasan pembangunan. Untuk itu, seseorang

yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt semestinya senantiasa berpedoman pada al-

Qur‘an dan al-Sunnah secara kaffah (comprehensive) dalam menjalankan segala aspek

kehidupannya. Artinya, ia tidak hanya berpandukan dalam aspek ritual semata tetapi juga

dalam aspek ekonomi. Mengingat perintah menabung merupakan bagian dari akhlaqul

karimah dan bagian dari kewajiban agama (religious duties), maka melaksanakannya

merupakan bagian ibadat kepada Allah swt yang sekaligus berganjarkan pahala.

~ 64 ~

BAB 8

ZAKAT SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL

Kewajiban zakat telah ditetapkan Allah swt melalui wahyu-Nya kepada kekasihNya,

Muhammad saw lebih dari 1.400 tahun yang lalu dengan tujuan utama untuk

memberdayakan ekonomi para dhu'afa di kalangan masyarakat Islam. Diharapkan dengan

adanya institusi zakat dalam Islam, baik tujuan pembersihan individu dan sosial maupun

tujuan pertumbuhan sosial-ekonomi untuk semua golongan masyarakat dengan mudah

dapat diwujudkan. Pentingnya peran zakat dalam sistem perekonomian Islam,

sebagaimana telah dinukilkan dalam beberapa ayat al-Qur‘an yang senantiasa meletakkan

perintah wajib zakat setelah kewajiban melaksanakan shalat lima waktu. Dari ke-lima

rukun Islam, zakat adalah merupakan satu-satunya kewajiban (instrumen) yang sangat

erat kaitannya dengan perekonomian umat. Hal ini karena zakat merupakan peraturan

Ilahiah (Divine Order), maka diyakini bahwa zakat akan jauh lebih berperan dalam

memberdayakan dan sekaligus mensejahterakan ekonomi umat dibandingkan dengan

peraturan-peraturan buatan manusia (man-made regulations) lainnya.

Walaupun demikian, kenyataannya adalah sangat sukar bagi kita untuk menemui negara-

negara yang didiami mayoritas umat Islam yang kondisi ekonominya jauh lebih maju

dibandingkan dengan negara-negara sekuler. Bahkan hampir semua negara Muslim

adalah tergolong sebagai negara terbelakang (under-developed countries) atau negara

sedang berkembang (developing countries). Mengapa hal ini terjadi? Apakah karena

belum adanya kesadaran umat tentang kewajiban membayar zakat dan pentingnya peran

zakat terhadap program pengentasan kemiskinan? Atau apakah karena institusi zakat

yang belum dapat difungsikan secara optimal? Mungkinkah karena para pengurus (amil)

zakat yang tidak bertanggung jawab sehingga menyebabkan hasil kumpulan zakat

tercecer kemana-mana? Tulisan bab ini bertujuan untuk melihat sejauhmana peran dan

pengaruh zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal (fiscal policy) dalam dan

terhadap perekonomian umat. Dalam bahasan selanjutnya, kita akan menganalisa secara

sistematis fungsi zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi

Islam, tujuan-tujuan kebijakan fiskal dan pengaruhnya terhadap ekonomi umat secara

~ 65 ~

komprehensif. Dalam pembahasan lebih lanjut, pengalaman beberapa negara Islam dalam

mengelola zakat coba kita presentasikan sebagai standar atau tolok ukur keberhasilan

pelaksanaan institusi zakat dalam sebuah negara.

Beberapa Asumsi

Sudah menjadi suatu persyaratan mutlak dalam ilmu ekonomi, untuk menganalisa sebuah

teori, ia tidak bisa terlepas dari asumsi-asumsi yang ditetapkan. Karena tanpa adanya

asumsi tertentu, ilmu ekonomi akan sangat sukar, kalau tidak mustahil, untuk

mengaplikasikan setiap teorinya dalam dunia nyata. Oleh karena itu, sebelum analisa

lanjutan terhadap peran dan pengaruh zakat terhadap perekonomian umat dibahas, maka

perlu terlebih dahulu kita menetapkan beberapa asumsi.

Agar zakat dapat berperan secara maksimal dalam memberdayakan ekonomi umat, maka

zakat haruslah dilaksanakan dalam sebuah negara Islam yang dijalankan berdasarkan a-

Qur‘an dan al-Hadist. Karena dalam sebuah negara Islam, semua praktek yang

bertentangan dengan syari‘at Islam, seperti riba, monopoli, perjudian, dan malpraktek

lainnya yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah diharamkan. Sebaliknya, semua

praktek yang digalakkan syari‘at Islam (good deeds) dilaksanakan dengan sepenuhnya

seperti, pelaksanaan hukum warisan, kesederhanaan dalam berkonsumsi, wujudnya hak-

hak kepemilikan individu dan sosial terhadap alat-alat produksi, dan berbagai amar

lainnya yang mendukung kesuksesan institusi zakat dalam mensejahterakan umat.

Namun, ini tidak bermakna bahwa zakat tidak akan dapat memberdayakan ekonomi

penduduknya di negara-negara Muslim, yang belum secara kaffah menganut sistem Islam

dalam semua aspek kehidupan.

Dalam kenyataannya, kecuali Sudan, Afghanistan dan Iran, memang tidaklah mudah

untuk menjumpai sebuah negara Islam yang benar-benar dijalankan berdasarkan hukum

Islam secara kaffah. Fakta ini menyebabkan banyak para ekonom Islam, seperti Faridi

(1980) misalnya, terpaksa melonggarkan asumsinya terhadap sebuah negara Islam dalam

~ 66 ~

menganalisa peran dan kedudukan zakat dalam perokonomian umat. Sejauhmana sebuah

negara telah dijalankan berdasarkan ajaran Islam dengan memiliki ciri-ciri penting

seperti; pengharaman riba, adanya institusi zakat; pelarangan monopoli; dan berbagai

malpraktek lainnya, maka zakat akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap

pemberdayaan ekonomi umat. Asumsi ini sangat penting karena dengan adanya

pengharaman riba, sebagai contoh, maka akan menghambat pergerakan arus modal dan

tenaga kerja dari negara yang mengharamkan riba ke negara-negara yang membenarkan

riba dipraktekkan dalam aktivitas ekonomi mereka. Karena, pada umumnya, para

investor selalu mencari keuntungan maksimal dengan menanamkan modal mereka di

sektor-sektor atau negara-negara yang memberikan keuntungan dalam bentuk bunga

(riba) yang lebih tinggi. Tanpa pengharaman riba, pergerakan arus modal dan tenaga

kerja dari negara yang mengharamkan praktek riba ke negara yang membenarkan praktek

riba dilakukan dalam sistem ekonomi mereka akan terjadi dengan leluasa tanpa batasan.

Hal ini, secara otomatis, akan menyebabkan zakat tidak dapat berfungsi, berdampak dan

berperan optimal serta komprehensif terhadap pemberdayaan ekonomi umat.

Namun, jika semua asumsi di atas terpenuhi, maka kita optimis dan yakin bahwa zakat

sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam akan jauh lebih

efektif dan efisien dalam memberdayakan ekonomi umat dibandingkan dengan hanya

mengadopsi instrumen kebijakan fiskal ekonomi konvensional semata. Dapat

ditambahkan pula, karena tidak seperti para pembayar pajak, mereka yang membayar

zakat selain mendapat perhargaan di dunia (dihormati dan disayangi), mereka juga akan

mendapat ganjaran pahala di hari akhirat kelak. Hal ini, tentunya, akan lebih memotivasi

lagi kaum Muslimin untuk membayar zakat.

Zakat: Kebijakan Fiskal Ekonomi Islam

Kebijakan fiskal adalah merupakan salah satu instrumen penting dalam teori ekonomi

untuk mengatur ekonomi sebuah negara. Kebijakan ini, dalam ilmu ekonomi, sering

didefinisikan oleh para ahli ekonomi sebagai kebijakan ekonomi negara yang berkaitan

~ 67 ~

erat dengan pajak dan pembelanjaan negara dalam usaha untuk mewujudkan kestabilan

ekonomi.

Dibandingkan dengan kebijakan ekonomi konvensional, kalau tidak karena adanya

institusi zakat, pada prinsipnya, negara Islam memiliki instrumen kebijakan fiskal yang

sama dengan negara bukan Islam. Namun, penerapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal

dalam ekonomi Islam adalah sangat berbeda dengan kebijakan ekonomi konvensional.

Sebab, negara Islam memiliki sumber pendapatan yang unik, di samping sumber

pendapatan negara lainnya, yaitu zakat. Secara umum, instrumen kebijakan fiskal Islam

dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Pajak

Meskipun terjadi perdebatan tentang kebiasaan memungut pajak dalam Islam, namun

sejauhmana pendapatan negara tidak mencukupi dari sumber lain dan terutama dalam

kondisi mendesak, maka hampir semua para ulama dan ahli ekonomi Muslim

kontemporer tidak melihat pemungutan pajak sebagai sesuatu yang bertentangan dengan

Islam.

2. Zakat

Institusi ini dimaksudkan untuk mentrasfer kekayaan dari orang kaya kepada orang

miskin sehingga, pada gilirannya, akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin

keseimbangan pendistribusian pendapatan dan kesejahteraan serta terjaminnya

ketersediaan kebutuhan pokok kaum miskin.

3. Pengeluaran Negara

Jumlah, waktu, dan penggunaan pembelanjaan negara yang diperuntukkan untuk

menstabilkan ekonomi negara juga termasuk sebagai instrumen kebijakan fiskal dalam

ekonomi Islam.

~ 68 ~

Kenapa Zakat Dikatakan sebagai Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam?

Sebagaimana kita pahami bahwa karakteristik utama dari zakat, seperti nisab dan

kategori penerima zakat: fakir, miskin, mu'allaf, musafir, orang berhutang, amil,

fisabillah, dan untuk memerdekakan budak, (Lihat: Q. S. at-Taubah: 60) telah ditentukan

secara mutlak (Qath‟i) oleh syari‘at Islam. Ketentuan syari‘at ini tidak dapat dirubah dan

dimanipulasi sehingga menyebabkan zakat tereliminir untuk dapat dikategorikan sebagai

salah satu instrumen kebijakan ekonomi dalam Islam. Alasannya adalah karena kita

(negara) tidak mempunyai hak untuk memanipulasi ayat-ayat al-Qath‟i (bermakna

mutlak) yang mengatur tentang zakat. Walaupun demikian, ada beberapa faktor lain yang

memungkinkan institusi zakat dapat dikontrol atau disesuaikan dengan kebutuhan terkini

oleh negara dalam usaha untuk memberdayakan ekonomi umat.

Bagaimana cara zakat itu dikumpulkan dan didistribusikan? Berapa banyak komposisi

zakat yang dikumpulkan dalam bentuk uang atau barang, atau kombinasi dari keduanya?

Jawaban pertanyaan ini dapat ditentukan oleh pemerintah (penguasa), sejauhmana

prinsip-prinsip pengumpulan dan pendistribusian zakat tidak bertentangan dengan aturan

Ilahi dan nikmat zakat itu haruslah benar-banar dapar dirasakan secara optimal oleh para

penerima zakat. Dalam mensejahterakan ekonomi umat, pemerintah dapat

mengumpulkan dan mendistribusikan zakat pada masa yang paling tepat dalam tahun-

tahun tertentu demi kesejahteraan umat. Cara-cara ini telah pernah dipraktekkan

Rasulullah saw dan ke-empat Khulafa ar-Rasyidin-Nya. Dimana pada masa-masa tertentu

zakat tidak dibagi-bagikan pada tahun ia dikumpulkan, namun pendistribusiannya ditunda

dan dilakukan pada tahun-tahun selanjutnya sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat

pada waktu itu. Pendek kata, waktu pengumpulan dan pendistribusian zakat telah

memungkinkan negara untuk menyusun perencanaan kebijakan fiskal negara sebagai

suatu pendekatan untuk menyesuaikan perubahan struktural pendistribusian harta dalam

masyarakat.

Selanjutnya, dari segi kuantitas zakat yang berhasil dikumpulkan negara-negara Muslim,

persentase atau jumlah sumbangan sektor zakat terhadap pendapatan negara, GDP (Gross

~ 69 ~

Domestic Product), ternyata tidak bisa disepelekan. Ini dapat dilihat dari pengalaman

negara-negara, seperti Syria, Arab Saudi, dan Sudan dimana pendapatan negara yang

bersumber dari zakat adalah berkisar antara 1%-10% dari GDP. Alasan-alasan ini telah

memperkukuh institusi zakat sebagai salah satu instrumen penting kebijakan fiskal dalam

ekonomi Islam.

Tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam

Tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam, sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan

tujuan kebijakan fiskal versi ekonomi konvensional. Perbedaannya hanya lebih

disebabkan oleh prioritas dan esensi utama yang ingin dicapai. Tujuan umum yang ingin

dicapai kebijakan fiskal Islam, secara garis besar, adalah sebagai berikut: (1) untuk

mencapai pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan kontinuitas dengan penggunaan

sumberdaya alam dan sumber daya manusia secara optimal; (2) untuk menjamin

pendistribusian pendapatan yang berkeadilan; (3) untuk menjaga stabilitas harga (inflasi)

barang dan jasa di pasar; (4) untuk menciptakan lapangan kerja baru; dan (5) untuk

memastikan pelaksanaan norma-norma keislaman, amar ma‟ruf wa nahi munkar dan

memprioritaskan aktivitas-aktivitas ekonomi yang mengarah kepada usaha-usaha untuk

mensejahterakan ekonomi umat.

Keberhasilan Kebijakan Fiskal Ditentukan oleh Kebijakan Ekonomi Lainnya

Semua tujuan kebijakan fiskal di atas, pada intinya, adalah dimaksudkan untuk

mewujudkan kesejahterakan ekonomi umat. Tidak seperti konsep kesejahteraan dalam

Islam, konsep kesejahteraan dalam ekonomi konvensional hanya terbatas dan terfokus

pada usaha untuk memaksimalkan keuntungan material semata tanpa mempertimbangkan

aspek spritual umat. Sebaliknya, Islam melihat kesejahteraan umat sebagai sesuatu yang

bersifat komprehensif meliputi kesejahteraan dunia dan akhirat. Inilah, sebenarnya,

tujuan utama setiap insan hidup di dunia ini, yaitu untuk mencapai falah (kemenangan)

baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan tujuan suci ini, maka menurut Imam

al-Ghazali, zakat itu mesti diarahkan untuk mempromosikan kesejahteraan dan menjamin

~ 70 ~

terpeliharanya iman, kehidupan, intelektual, dan harta umat secara maksimal. Sementara

itu, Ibn Qayyim telah memasukkan keadilan yang hakiki, kebahagiaan, dan

kebijaksanaan (wisdom) sebagai unsur penting lainnya dari kesejehteraan umat yang

harus mendapat prioritas utama dari institusi zakat. Inilah perbedaan utama lainnya antara

sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional yang ―bebas nilai‖ (value-

free) dimana nilai-nilai moral tidak mendapat tempat dalam sistem ekonomi mereka.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa untuk memberdayakan ekonomi kaum berpendapatan

rendah dan menstabilkan ekonomi negara secara signifikan, kebijakan fiskal tidaklah

memadai bila diregulasikan secara sendiri dan terpisah dari kebijakan-kebijakan ekonomi

lainnya. Oleh karena itu, kebijakan ini haruslah dilaksanakan bersama-sama secara

paralel dan simultan serta integratif dengan kebijakan moneter (monetary policy) dan

kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya. Tentunya, keberhasilan zakat sebagai salah satu

instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam untuk memberdayakan ekonomi umat

sangat bergantung kepada sistem manajemen institusi zakat itu sendiri. Strategi

pendistribusian zakat, seperti pengalaman Malaysia, juga sangat menentukan berhasil

tidaknya ekonomi golongan papa diberdayakan.

Berdasarkan pengalaman Pusat Pungutan Zakat (PPZ), Jawatan Kuasa Baitulmal, Majlis

Agama Islam Wilayah Persekutuan dan Wilayah Selangor, Malaysia, cara yang sangat

efektif (jitu) untuk memberdayakan ekonomi para kaum dhu'afa adalah dengan cara

mendistribusikan zakat kepada mereka dengan cara memberikan modal usaha atau

menyediakan fasilitas-fasilitas ekonomi produktif, seperti mengusahakan pembukaan

bengkel, mesin jahit, pemberian modal untuk industri kecil keluarga, dan sebagainya.

Dalam penelitiannya terhadap beberapa responden (penerima zakat) di Wilayah Selangor

yang dilakukan akhir-akhir ini, Mohd. Ali Mohd. Noor (1999) menemukan bahwa hampir

setengah dari jumlah responden (penerima zakat) kini telah berhasil dalam usaha bisnis

yang dijalankan mereka yang dibiayai dengan modal zakat. Bahkan merekapun kini telah

menjadi pembayar zakat. Namun, keberhasilan ini, tentu saja, tidak terlepas dari sistem

~ 71 ~

manajemen dan pengawasan zakat profesional baik yang dijalankan oleh para amil yang

jujur, amanah dan bertanggung jawab.

Enggan Membayar Zakat, Bisa Dipaksa.

Seperti telah disebutkan di atas, tujuan utama yang ingin diwujudkan oleh zakat adalah

untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Hal ini seperti

disebutkan oleh Umer Chapra (1995) dengan mengutip dari apa yang telah ditegaskan

oleh Khalifah Umar bin Khattab yang berbunyi: "Bahwa setiap orang mempunyai hak

yang sama terhadap harta di dalam mesyarakat, tidak ada seorang pun, termasuk diri

saya (Umar ra) memiliki hak yang lebih besar terhadapnya daripada orang lain, dan

siapapun yang hidup lebih lama, dia akan melihat bahwa sungguhpun seorang

penggembala di bukit Sinai, ku (Umar ra) pastikan ianya akan menikmati bagiannya dari

harta itu". Selaras dengan perkataan Umar bin Khattab ra di atas, Ali bin Abi Thalib ra

juga menyebutkan bahwa: "Allah swt telah mewajibkan bagi orang kaya untuk

memberikan kaum miskin apa saja yang mencukupi bagi mereka, jika kaum miskin

kelaparan atau telanjang (tidak memiliki pakaian), itu karena mereka yang kaya telah

memeras mereka (dari hak mereka). Oleh karena itu adalah wajar bila hak orang miskin

tidak dipenuhi, maka Allah swt akan meminta pertanggungjawaban dan sekaligus

menghukum mereka (orang kaya)".

Tujuan berzakat ini, sebenarnya, telah dipertegas dengan jelas oleh Allah swt dalam al-

Qur‘an yang bermakna: ―Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu

kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo'alah untuk mereka,

sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka....‖. (Q.S. At-

Taubah: 103). Selain ayat al-Qur'an di atas, banyak juga Hadist yang menjelaskan

persoalan yang sama dimana zakat hendaklah dikeluarkan oleh si kaya untuk

didistribusikan kepada si miskin. Kalaupun si kaya enggan mengeluarkan zakat, ayat di

atas menegaskan "ambillah" dari harta mereka. Ini bermakna bahwa dalam harta orang

kaya ada hak-hak orang miskin (zakat) yang bisa diambil secara paksa seandainya si kaya

menolak untuk menunaikan tanggung jawabnya. Hal ini seperti diungkapkan oleh ulama

~ 72 ~

kontemporer terkenal, Syeikh Yusuf Qardhawi, dalam kitab Fiqh az-Zakat-nya yang

menegaskan bahwa zakat hanya diwajibkan bagi si kaya untuk membantu si miskin,

namun bila mereka enggan mengeluarkan zakat, maka pihak berkuasa memiliki hak

untuk memaksanya. Upaya untuk memerangi umat yang ingkar membayar zakat ini dapat

kita rujuk pada tindakan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra, beberapa hari setelah

kemangkatan Rasulullah saw, yang dikenal dengan Perang Siffin. Alasan utama kenapa

Khalifah pertama ini memerangi mereka adalah seperti kata beliau sendiri: "Demi Allah

aku akan memerangi mereka yang membedakan di antara sembahyang dan zakat karena

zakat adalah tuntutan terhadap harta. Demi Allah, seandainya mereka enggan membayar

zakat itu, sedangkan mereka pernah membayarnya kepada Rasulullah aku tetap akan

memerangi mereka." (H.R. Ibn Hajar dan Bukhari).

Zakat sebagai Penstabilisasi Ekonomi (Economic Stabilisator)

Selain berfungsi untuk menseimbangkan pemilikan harta antara si kaya dan si miskin,

menurut A. M Sadeq (1990) zakat juga dapat difungsikan sebagai instrumen kebijakan

untuk menstabilkan kondisi ekonomi yang stagnan dan berfluktuasi. Fungsi kebijakan ini,

diistilahkan dengan ―Counter-Cyclical Policy” (Kebijakan Kounter Siklus). Pada masa

resesi ekonomi yang ditandainya dengan sukarnya untuk menjual barang karena

terbatasnya jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, maka negara dapat membeli

barang yang tidak terjual itu dengan menggunakan pendapatan yang bersumber dari zakat

untuk didistribusikan kepada mereka yang miskin (penerima zakat). Tindakan ini

dimaksudkan untuk menstimulasi peningkatan jumlah permintaan masyarakat miskin

tanpa terjadi mismanagement, korupsi, manipulasi dana zakat dan kebocoran (leakages)

pemungutan dan pendistribusian dana zakat lainnya.

Namun dalam membeli barang untuk didistribusikan kepada kaum miskin, hendaklah

dipastikan bahwa barang tersebut merupakan barang-barang kebutuhan pokok mereka.

Sebalikya, pada masa inflasi yang ditandainya dengan melimpah ruahnya uang yang

beredar dalam masyarakat, penundaan pendistribusian zakat adalah strategi jitu untuk

menstabilkan tingkat harga. Akan tetapi harus disadari bahwa kebijakan ini mempunyai

~ 73 ~

kelemahan tersendiri karena penundaan pendistribusian zakat justeru akan lebih

memudaratkan kaum miskin yang sedang memerlukan bantuan mendesak, apalagi

golongan miskin inilah yang sangat merasakan dampak negatif pada masa inflasi. Di

tengah berlangsungnya inflasi yang ditandai dengan mahalnya harga barang dan jasa,

golongan dhu‘afa akan mengalami kesukaran untuk memenuhi kebutuhan mereka karena

kenaikan harga barang di pasar tidak diimbangi oleh kenaikan jumlah pendapatan yang

mereka terima. Kalau hal ini berlaku, maka keseluruhan tujuan zakat akan ternodai akibat

penundaan pendistribusian zakat itu sendiri.

Ini tidak berarti kebijakan ini tidak memungkinkan untuk diadopsi dalam menstabilkan

ekonomi. Hanya pengadopsiannya saja yang perlu disesuaikan dengan kondisi ekonomi

pada masa dan tempat tertentu. Kebijakan ini, sebenarnya, bukanlah sesuatu persoalan

baru dalam ekonomi Islam, sebab kebijakan ini telah pernah dipraktekkan Rasulullah dan

ke-empat Khalifahnya lebih kurang 14 abad lalu. Pada situasi tertentu, zakat yang telah

dikumpulkan tidak langsung didistribusikan pada tahun tersebut melainkan ditunda

pendistribusian pada tahun berikutnya demi mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan

ekonomi umat pada umumnya dan keberadaan ekonomi golongan miskin dan papa

khususnya.

Dengan kata lain, cara pendistribusian zakat hendaklah disesuaikan dengan keadaan

ekonomi terkini. Pada saat inflasi, zakat itu hendaklah tidak dibayar atau dikurangi

pembayaran dalam bentuk uang atau barang konsumen (consumer goods), namun

hendaklah pembayaran zakat itu lebih banyak didistribusikan dalam bentuk barang

produsen (producer goods). Sebaliknya, jika ekonomi dalam keadaan deflasi, hendaklah

zakat itu lebih banyak dibayar dalam bentuk kas atau barang produsen, sementara itu

pembayaran dalam bentuk barang konsumen hendaklah dibatasi, kalau tidak bisa

dihindari samasekali. Bila cara pendistribusian zakat seperti dipaparkan di atas mampu

berfungsi maksimal, maka tidaklah salah bila zakat dapat dikatakan sebagai penstabilisasi

ekonomi (economic stabilator) umat.

~ 74 ~

Walaupun demikian, ada dua keraguan yang mungkin timbul dalam konteks ini, yaitu:

Pertama, pola konsumsi umat Islam yang sederhana akan menyebabkan zakat tidak dapat

difungsikan secara maksimal untuk meningkatkan konsumsi dan permintaan masyarakat

golongan berpendapatan rendah terhadap barang. Kedua, pendistribusian zakat justeru

akan meningkatkan inflasi, jika ianya dimaksudkan untuk meningkatkan permintaan

efektif masyarakat terhadap barang.

Sebenarnya, kedua keraguan ini tidak cukup beralasan untuk ditakuti. Sebab anjuran

agama agar mengkonsumsi barang secara sederhana tidaklah berguna bagi orang miskin,

karena pada prinsipnya mereka belum terpenuhi kebutuhan pokok mereka.

Kesederhanaan dalam berkonsumsi hanya dibatasi bagi orang kaya terutama terhadap

barang-barang mewah, dan bukan bagi para penerima zakat yang memang belum cukup

memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, apalagi untuk berfoya-foya.

Ini dengan sendirinya akan mendorong para investor untuk menginvestasikan modal

mereka pada sektor-sektor yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa untuk

mengimbangi kenaikan kebutuhan masyarakat miskin (kebutuhan pokok). Ketersediaan

barang kebutuhan pokok yang mencukupi akibat munculnya industri baru, maka dengan

otomatis harga barang kebutuhan pokok akan lebih stabil dan terjangkau.

Selanjutnya, keraguan kedua dimana zakat akan mengakibatkan naiknya tingkat inflasi,

juga merupakan keraguan yang tidak beralasan. Sebagaimana dipahami bahwa inflasi itu

terjadi apabila jumlah uang yang beredar dalam masyarakat cukup banyak, sementara itu

jumlah barang dan jasa yang tersedia di pasar adalah terbatas. Pendistribusian zakat akan

meningkatkan daya beli para penerima zakat terutama terhadap barang-barang kebutuhan

pokok. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok akibat meningkatnya permintaan

masyarakat tidak akan terjadi sebab para investor telah terdorong untuk menanamkan

modal mereka di sektor-sektor yang menghasilkan barang-barang kebutuhan pokok

sehingga secara otomatis jumlah penawaran terhadap kebutuhan pokok akan meningkat

pula. Dengan demikian memperjelas bahwa kenaikan harga di sektor ini tidak akan

~ 75 ~

mempengaruhi permintaan barang di sektor-sektor lainnya, dan berarti skenario ini tidak

akan menimbulkan inflasi.

Walaupun keterbatasan zakat dalam menstabilkan ekonomi seperti disebutkan di atas,

karena fungsi zakat adalah lebih diutamakan untuk merapatkan jurang pendapatan

(income gap) antara si kaya dan si miskin, namun zakat tetap akan mendorong

pertumbuhan ekonomi umat dengan alasan-alasan berikut ini:

1. Zakat merupakan hukuman terhadap praktek monopoli dan menelantarkan kas yang

tidak produktif (idle cash). Karena zakat terhadap harta-harta yang sudah sampai

nisab harus senantiasa dibayar pada persentase yang telah ditentukan. Pembayaran

zakat terhadap kas yang tidak produktif, dengan sendirinya, secara perlahan-lahan

akan mengurangi jumlah kas yang tersedia. Dalam hal ini zakat telah berfungsi

sebagai disinsentif untuk membiarkan kas disimpan tidak produktif. Dengan kata lain,

disinsentif untuk membiarkan kas tidak produktif adalah merupakan insentif yang

mendorong umat Islam untuk menginvestasikan kas atau uang mereka di sektor-

sektor bisnis yang produktif.

2. Pendistribusian zakat kepada golongan miskin, dengan sendirinya, akan

meningkatkan standar hidup, kesehatan, pendidikan dan skill serta produktivitas para

penerima zakat (muzakki). Ini, pada gilirannya, secara gradual tapi pasti, akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

3. Pendistribusian zakat kepada mereka yang berhak menerimanya jelas akan

meningkatkan daya beli (purchasing power) mereka, terutama terhadap barang-

barang kebutuhan pokok. Peluang ini tentu menarik para investor untuk

menginvestasikan modal mereka di sektor-sektor yang memproduksikan barang-

barang kebutuhan pokok. Hal ini tentu saja, akan mewujudkan kestabilan harga,

membuka peluang kerja baru, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang

menjanjikan (promising economic growth).

~ 76 ~

Pengaruh Zakat terhadap Ekonomi

Setelah melihat peran zakat terhadap perekonomian umat secara umum di atas, sekarang

marilah kita lihat pengaruh zakat secara lebih terperinci terhadap Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN), produktivitas kerja, dan penciptaan lapangan kerja baru.

Pengaruh Zakat terhadap APBN

Setelah perang dunia ke-II berakhir, konsep kesejahteraan ekonomi umat telah menjadi

trend dan prioritas penting negara. Oleh karena itu, banyak negara yang telah

mengalokasikan biaya-biaya tertentu ke dalam pos APBN sebagai salah satu usaha untuk

memberdayakan kaum miskin dan mengentaskan kemiskinan, khususnya bagi mereka

yang tergolong ke dalam kategori ―muzakki‖ (penerima zakat). Dengan adanya institusi

zakat, maka dana APBN yang seharusnya dialokasikan untuk mensejahterakan kaum

dhu'afa, kini telah dapat dibiayai dari dana yang bersumber dari zakat. Karenanya, dalam

melihat sejauhmana pengaruh zakat terhadap APBN, dapat dijelaskan dari sejauhmana

sumber dana yang berasal dari zakat dapat didistribusikan untuk meningkatkan standar

hidup para penerima zakat. Hal ini dengan sendirinya berimplikasi bahwa jumlah dana

APBN yang sepatutnya digunakan untuk membantu fakir miskin telah ditutupi oleh dana

yang dikumpulkan dari zakat. Sehingga dana APBN yang diperuntukkan dan

dialokasikan untuk memberdayakan golongan miskin tersebut, akan bermanfaat untuk

membangun infrastruktur ekonomi lainnya sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan

ekonomi negara.

Walaupun demikian, untuk merealisasikan tujuan ini hendaklah zakat dikelola dengan

sistem administrasi dan manajemen zakat yang efisien, efektif, dan profesional serta

berada di bawah pengawasan orang-orang yang amanah, adil, jujur, dan bertanggung

jawab baik terhadap umat maupun kepada Allah Sang Pencipta. Begitu juga dengan biaya

administrasi zakat, hendaklah tidak dipungut melebihi dari 1,25% atau 1/8 dari dana

zakat yang dikumpulkan. Bila semua ketentuan ini dapat dipenuhi, maka dengan mudah

~ 77 ~

zakat itu akan bisa didistribusikan untuk para dhu'afa yang memang sangat

memerlukannya.

Pengaruh Zakat terhadap Produktivitas

Sebagaimana disetujui oleh mayoritas para fuqaha, tujuan zakat adalah untuk

meningkatkan standar hidup para dhu'afa dengan memberikan hak kepada mereka untuk

memiliki apa yang berhak mereka terima dari orang kaya. Artinya bahwa zakat haruslah

dibayar secara langsung kepada mereka agar dapat segera digunakan baik dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokok harian maupun digunakan sebagai modal

untuk menjalankan bisnis mereka. Kenaikan pendapatan para dhu'afa akibat menerima

zakat, secara otomatis, akan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengkonsumsikan

barang-barang dan jasa-jasa yang di jual di pasar. Pendapatan yang diterima dari hasil

zakat juga akan memberi kesempatan bagi kaum miskin untuk menggunakan fasilitas

sekolah serta memperbaiki pola makanan dan kesehatan mereka. Semua kesempatan ini,

tentunya, akan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Pemberdayaan ini, seperti

dibuktikan oleh riset ilmiah adalah merupakan faktor-faktor penting yang sangat

mempengaruhi produktivitas kerja. Singkatnya, pemenuhan kebutuhan pokok para

pekerja, terutama orang-orang dhaif (para penerima zakat) dengan sendirinya akan

mampu meningkatkan produktivitas kerja mereka.

Peningkatan produktivitas kerja para dhu'afa bisa jadi disebabkan oleh dua kemungkinan

berikut, yaitu: Pertama, peningkatan jumlah kontribusi para pekerja baik dalam bentuk

jumlah jam kerja maupun dalam bentuk jumlah hari kerja sebagai akibat perbaikan gizi

para pekerja, dan kedua, peningkatan produktivitas para pekerja akibat membaiknya

kesehatan fisik, psikologi, dan kemampuan spritual para pekerja, yang dalam ilmu

ekonomi sering disebut dengan intensitas kerja per jam (working intensity per-hour).

~ 78 ~

Pengaruh Zakat terhadap Peluang Kerja

Kaitannya dengan peluang kerja, kehadiran institusi zakat, sekurang-kurangnya, akan

menciptakan dua peluang kerja baru, yaitu: Pertama, peningkatan kesempatan kerja

untuk mengelola administrasi zakat (amil) mulai dari para pekerja pengumpul zakat

(collector), pengurus (administer), dan pendistribusi (distributor) zakat kepada mereka

yang berhak menerimanya dan kedua, pendistribusian zakat, seperti disebutkan terdahulu,

akan menyebabkan naiknya jumlah permintaan terhadap barang-barang kebutuhan pokok

oleh para dhu'afa, sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri baru yang

memproduksi barang-barang kebutuhan pokok tersebut. Lahirnya industri-industri baru

ini akan membuka lapangan kerja baru yang dapat segera diisi oleh golongan masyarakat

berpendapatan rendah yang umumnya masih berstatus pengangguran.

Maka dengan adanya peluang kerja baru ini, otomatis akan lebih mempercepat terjadinya

proses keadilan dalam ekonomi umat yang ditandai dengan semakin mengecilnya jurang

pemisah (pendapatan) antara si kaya dan si miskin. Artinya apa yang ditakutkan oleh

kebanyakan orang dimana orang yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan

semakin papa tidak akan berlaku. Berdasarkan studi simulasi statis (static simulation

study) yang dilakukan untuk mengetahui perbandingan pengaruh zakat terhadap jurang

pemisah ini, Monzer Kahf (1989) dalam risetnya mendapati bahwa dalam masa sepuluh

tahun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin di beberapa negara Muslim telah

berkurang drastis dari 9 poin menjadi 6,15 poin. Sementara itu, Anas Zarqa (1995) telah

menemukan bahwa jumlah pendapatan 10% kaum miskin yang hidup di beberapa negara

Islam, telah bertambah dua kali lipat sebagai konsekuensi positif pengdistribusian zakat

dari si kaya kepada si miskin.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bagaimana signifikan, sebenarnya, peran dan

pengaruh zakat dalam mensejahterakan ekonomi umat. Zakat tidak hanya berfungsi untuk

membantu memenuhi kebutuhan pokok kaum dhu'afa, tetapi lebih dari pada itu, zakat

~ 79 ~

berfungsi ganda (multi-fungsi) dalam mengangkat harkat dan martabat ekonomi umat.

Zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam Islam, juga dapat berfungsi

untuk menstabilkan ekonomi dan sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi umat.

Ilustrasi-ilustrasi di atas memberikan gambaran bahwa tidak mustahil bila institusi zakat

dikelola dengan efektif, efisien dan profesional oleh amil-amil yang amanah, adil, jujur,

dan bertanggung jawab, maka umat Islam dengan mudah akan dapat keluar dari

perangkap kemiskinan (poverty trap).

Hal ini seperti pernah dibuktikan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana

dengan sistem pengelolaan zakat yang baik serta didukung oleh kesadaran umat Islam

yang tinggi terhadap tanggung jawabnya untuk membayar zakat, maka tidaklah

berlebihan bila pada masa tersebut sang Khalifah mengalami kesukaran untuk mencari

orang yang mau dan patut menerima zakat. Semua orang pada masa tersebut sudah hidup

dalam suasana makmur dan sejahtera sehingga dana zakat yang terkumpulkan tidak ada

lagi yang mau menerimanya. Namun permasalahannya sekarang, kenapa Umar bin Abdul

Aziz bisa melakukan demikian, dan kenapa kita tidak? Apakah karena kita yang hidup di

akhir zaman sekarang tidak lagi berpegang teguh pada pedoman yang sama dengan Umar

bin Abdul Aziz? Mari kita ber-muhasabah (intropeksi) diri dan mulai mengatur derap

langkah ke depan dengan penuh perencanaan dengan bercermin pada pengajaran sejarah

silam Islam dan kemudian diadopsi serta dimodifikasi sesuai dengan kondisi terkini.

Tidak salah bila sistem pengelolaan zakat yang telah berhasil dipraktekkan di negara jiran

Malaysia dan negara-negara Muslim lainnya kita iktibari dan kemudian kita jadikan

masukan berharga untuk memanej institusi zakat secara profesional dan penuh tanggung

jawab di negara tercinta kita, InsyaAllah.

~ 80 ~

BIBLIOGRAFI

Ahmad, Khurshid. 1979. ―Economic Development in an Islamic Framework‖, dalam

Khurshid Ahmad (ed). Islamic Perpectives. Leicester: The Islamic

Foundation.

Akhtar, Ramzan. 1993. ―Modelling the Economic Growth of An Islamic Economy‖. The

American Journal of Islamic Social Science (AJISS). 10(1): 56-87.

al-Faridi, F. R. 1980. ―Zakat and Fiscal Policy‖, dalam Khurshid Ahmad (ed). Studies in

Islamic Economics. Great Britain: Redwood Barn Limited, Trowbridge and

Esher.

__________. 1993. Aspects of Islamic Economics and the Economy of Indian Muslim.

al-Ghazali, Muhammad. 1952. al-Islam wa al-Awda‟ al-Iqtisadiyyah. Cairo: Dar al-Kitab

al-‗Arabi.

al-Jammal, Muhammad Abdul Mun‘im. 2000. ―Ensiklopedia Ekonomi Islam‖, (terj)

Salahuddin Abdullah. Mausu‟at al-Iqtisad al-Islami. Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka (DBP).

al-Khaibawi. 1989. ―Durratun Nasihin‖, (terj) Syamsudin Manap. Butir-Butir Nasehat.

Kuala Lumpur: Victory Agencie.

al-Mubarak, Muhammad. 1972. Nizam al-Islam al-Iqtisadi: Mabadi wa Qawa‟id

„Ammah. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Qur‟an dan Terjemahan. 1974. Menteri Agama Republik Indonesia.

Ariff, Mohamed. 1982. ―Monetary and Fiscal Economics of Islam‖, dalam Arif, M. (ed).

Monetary and Fiscal Economics of Islam. King Abdul Aziz, Jeddah:

International Centre for Research in Islamic Economics.

Arif, Muhammad, 1983. "Towards Establishing the Micro foundations of Islamic

Economics: AContribution to the Theory of Consumer Behaviour in an

Islamic Society". A paper presented at the 12th Annual Conference of the

Association of Muslim Social Scientists, University of Illinois, Urbana

Champagn.

Awdah, Abd al-Qadir. 1977. Al-Mal wa al-Hukm fi al-Islam. 5th

Edition. Cairo: al-

Mukhtar al-Islami.

Chapra, M. Umer. 1985. Towards a Just Monetary System, Leicester, UK: The Islamic

Foundation.

~ 81 ~

__________. 1992. Islam and the Economic Challenge. Herdon, USA: The International

Institute of Islamic Thought and The Islamic Foundation.

__________. 1993. Islam and Economic Development: A Strategy for Development with

Justice and Stability. Islamabad: International Institute of Islamic Thought and

Islamic Research Institute.

__________. The Islamic Welfare State and Its Role in Economy. Leicester, UK: The

Islamic Foundation.

Denison, Edward F. 1967. Why Growth Rates Differ. Washington, D. C.: The Brookings

Institution.

__________.1985. Trends in American Economic Growth, 1929-1982. Washington,

D.C.: The Brookings Institution.

Domar, Evsey D. 1946. ―Capital Expansion, Rate of Growth, and Employment‖.

Econometrica. 14: 137-147. Reprinted in Stiglitz and Uzawa (1969).

Haneef, Mohamed Aslam Mohammed. 1997. ―Islam: The Islamic Worldview and Islamic

Economics‖. IIUM Journal of Economics & Management. 5(1): 39-65.

Harrod, R. F. 1939. ―An Essay in Dynamic Theory‖. Economic Journal. 49: 14-33.

Reprinted in Stglitz and Uzawa (1969).

Hassan, Zubair. 1988. ―Distributional Equity in Islam‖, dalam Munawar Iqbal (ed).

Distributive Justice and Need Fulfilment in An Islamic Economy. Leicester,

UK: The Islamic Foundation.

Hassan, Zubair and Muhammad Arif. 1990. "The Basic Needs Fulfillment Guarantee in

Islam and A Measure of Its Financial Dimension in Selected Muslim

Countries". Journal of Islamic Economics. 1(3): 2-23.

Husaini, Sayyid Abdul Qadir. 1966. Arab Administration. Lahore: Sh. Muhammad

Ashraf.

Hassanuzzaman, S.M. 1984. ―Definition of Islamic Economics". Journal of Research in

Islamic Economics, Vol. 1, No. 2.

Ibn Khaldun. 1993. ―Mukadimah Ibnu Khaldun‖, (terj) Muqaddimah. Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP).

Imam Nawawi. 2000. ―Riyadhus Salihin. Jilid 1‖, (terj) M. Ardai Rathomy. Taman

Orang-orang Salih. Singapura: Pustaka Nasional PTE. Ltd.

~ 82 ~

__________. 2000. ―Riyadhus Salihin. Jilid 2‖, (terj) M. Ardai Rathomy. Taman Orang-

orang Salih. Singapura: Pustaka Nasional PTE. Ltd.

Iqbal, Munawar. 1985. ―Moderation and Aggregate Consumption in an Islamic

Economy‖. Journal of Research in Islamic Economy. 3(1): 45-60.

James Tobin. 1980. ―Stabilization Policy Ten Years After‖. Brookings Papers on

Economic Activity. 1: 19-71.

Kahf, Monzer. 1992. ―Saving and Investment Function in Two-Sector Islamic Economy‖,

dalam Sadeq, AbulHasan, M, (ed). Financing Economic Development: Islamic

and Mainstream Approaches”. Kuala Lumpur: Longman Malaysia.

__________. 1997. ―Potential Effects of Zakat on Government Budget‖. IIUM Journal of

Economics & Management. 5(1): 67-85.

Kamali, Mohammad Hasyim. 1989. Principles of Islamic Jurisprudence. Petaling Jaya,

Kuala Lumpur: Pelanduk Publication.

Karl Marx. 1987. Das Kapital, (terj) S. Moore and E. Avehing. 3rd

Edition. London: F.

Engels.

Keynes, John Maynard. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money.

London: Macmillan.

Khan, Muhammad Akram. 1983. Issues in Islamic Economics, Lahore: Islamic

Publications Ltd.

__________. 1984. "Islamic Economics: Nature and Need". Journal of Research in

Islamic Economics. Vol. 1, No. 2.

__________. 1989. Economic Teachings of Prophet Muhammad: A Select Anthology of

Hadith Literature on Economics. Islamabad: International Institute of Islamic

Economics and Institute Policy Studies.

__________. 1994. An Introduction to Islamic Economics. Pakistan: The International

Institute of Islamic Thought and Institute of Policy Studies.

__________. 1994. Economics of the Quran: A Study of Sura al-Maida & Sura al-Mulk.

Lahore: Library & Information Management Academy.

Lucas, Robert E., Jr. 1988. ―On Mechanics of Economic Development‖. Journal of

Monetary Economics. 22: 3-42.

Mankiw, N. Gregory, Romer, David, and Weil, David N. 1992. ―A Contribution to the

Empirics of Economic Growth‖. Quarterly Journal of Economics. 107: 407-437.

~ 83 ~

Mannan, M. A. 1988. ―The Economics of Poverty in Islam with Special Reference to

Muslim Countries‖, dalam Munawar Iqbal (ed). Distributive Justice and Need

Fulfilment in an Islamic Economy. Leicester, UK: The Islamic Foundation.

__________. 1989. Economic Development and Social Peace in Islam. London: Taha

Publisher.

Naqvi, S. N. H. 1982. ―Interest Rate and Inter-temporal Allocative Efficiency in an

Islamic Economy‖, dalam Ariff, M. (ed). Monetary and Fiscal Economics of

Islam. King Abdul Aziz, Jeddah: International Centre for Research in Islamic

Economics.

__________. 2000. ―International Economics and Trade Liberalization: Challenges to

Muslim Countries‖, makalah dipresentasikan pada International Conference.

Kuala Lumpur, Malaysia.

Naziruddin Abdullah dan M. Shabri Abd. Majid. 2001. ―Saving Behaviour in Islamic

Framework: The Case of International Islamic University, Malaysia‖. Jurnal

Syari‟ah. 9(2): 61-84.

__________. 2002. ―The Influence of Religiosity, Income and Consumption on Saving

Behavior: The Case of International Islamic University, Malaysia‖. Proceedings.

Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islami, UII Yogyakarta, 13-14 Maret.

Qardhawi, Yusuf. 1969. Fiqh al-Zakat. Beirut: Dar al-Irshad.

__________. 1997. ―Peran Nilai dan Moral Dalam Islam‖, (trans.) Hafidhuddin, Didin et

al. Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islam, Jakarta: Rabbani Press.

Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics. New York: The McGraw-Hill

Companies, Inc.

Sadeq, AbulHasan, M. 1980. "Distribution of Wealth in Islam", dalam K. T. Hussain et

al. (ed). Thought on Islamic Economics. Dhaka: Islamic Economics Research

Bureau.

__________. 1990. Economic Development in Islam. Kuala Lumpur: Pelanduk

Publication.

__________. 1992. ―Development Finance in an Islamic Economy: Domestic Sources‖,

dalam Sadeq, AbulHasan, M (ed). Financing Economic Development: Islamic

and Mainstream Approaches. Kuala Lumpur: Longman Malaysia.

Saiful Azhar Roesly. 2000. ―The Process of Choice According to Islam‖. Sun. March 25.

~ 84 ~

Sattar, M. Abdus. 1980. Ibn Khaldun's Contribution to Economic Thought. USA:

American Trust Publication.

Schumpeter, J. A. 1972. History of Economic Analysis. New York: McGraw-Hill Book.

Co. Inc.

Solow, Robert M. 1956. ―A Contribution to the Theory of Economic Growth‖. Quarterly

Journal of Economics. 70: 69-94. Reprinted in Stiglitz and Uzawa (1969).

Sutcliffe, Claud R. 1975. ―Is Islam an Obstacle to Development? Ideal Patterns of Belief

versus Actual Patterns of Behaviour‖. Jounal of Developing Areas. 10: 77-81.

Ul-Haq, Irfan. 1996. Economic Doctrines of Islam: A Study in the Doctrine of Islam and

Their Implications for Poverty, Employment and Economic Growth. Herdon,

Virginia, USA: The International Institute of Islamic Thought.

Yong, Alwyn. 1994. ―The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Reality of the

East Asian Growth Experience‖. National Bureau of Economic Research

Working Paper, No. 4680.

Webster‘s International Dictionary

Yusuf, S. M. 1971. Economic Justice in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Zarqa, Muhammad Anas. 1988. ―Islamic Distributive Schemes‖, dalam Munawar Iqbal

(ed). Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy. Leicester,

UK: The Islamic Foundation.